View
4
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kacang Tunggak
Kacang tunggak (Vigna unguiculata L) termasuk dalam famili
Leguminoceae. Kacang tunggak dikenal juga dengan nama cowpea, southern pea,
black-eye pea, crowder pea, lubia, niebe, coupe atau frijole. Kacang tungak berasal
dari Afrika dan tumbuh secara luas di Afrika, Amerika Latin, Asia Tenggara, dan
Amerika selatan (Davis et al, 2003). Kacang tunggak merupakan tanaman tahunan
yang tumbuh merambat, panjangnya sampai 2,5 m, buahnya berbentuk polong
dengan panjang rata-rata antara 7,5-45 cm. Biji kacang tunggak berbentuk bulat
panjang, berwarna merah tua, hitam atau putih dan mempunyai kelekukan di
tengahnya (Andarwulan dan Hariyadi, 2005). Selain itu, bijinya berbentuk globular
atau menyerupai ginjal. Klasifikasi dari kacang tunggak (Vigna unguiculata L.)
menurut nomenklatur adalah :
Diviso : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosales
Ordo : Caesalpiniaceae
Genus : Vigna
Spesies : Vigna unguiculata L.
Pertumbuhan terbaik di bawah cahaya matahari penuh tetapi dapat toleran
pada sedikit naungan. Temperatur siang diperlukan antara 25 - 35°C dan temperatur
malam tidak di bawah 15°C, itu artinya bahwa penanaman terbatas pada ketinggian
rendah dan sedang. Pada ketinggian di atas 700 m pertumbuhan akan lebih lambat.
Penanaman pada musim kemarau dengan irigasi besar dilakukan, seperti halnya
5
penanaman sepanjang musim hujan, dengan ketentuan pengairan yang cukup.
Penaburan benih pada saat musim hujan boleh akan menyebabkan kerusakan pada
kemunculan atau pertumbuhan tanaman muda. Tanaman tumbuh baik pada lahan
basah tapi apabila tiba-tiba terdapat suatu periode muncul air berlebih akan
menyebabkan kerusakan serius dan pengurangan hasil panen. Kacang tunggak
dapat tumbuh pada semua tipe lahan dari tanah berpasir ringan atau latosol hingga
tanah liat berat dengan pH 5.5—7.5. Kacang tunggak toleran pada lahan yang
sedikit asam (Kushwaha, 2015). Contoh kenampakan kacang tunggak dapat dilihat
pada gambar 1.
Gambar 1. Kenampakan Kacang Tunggak (Republika, 2017)
Kacang tunggak merupakan salah satu jenis kacang-kacangan yang
mengandung protein cukup tinggi, selain itu harganya pun relatif terjangkau.
Mengingat bahwa protein mutlak dibutuhkan, lebih-lebih di negara berkembang
termasuk Indonesia, maka yang termasuk dalam golongan proritas II ini adalah
sumber protein yang murah harganya. Termasuk dalam golongan ini adalah
bermacam-macam kacang-kacangan, tempe, ikan laut, ikan sungai, ikan asin dan
telur. Diketahui bahwa protein nabati dari kacang-kacangan mengandung protein
yang cukup memadai. Mengingat secara umum konsumsi protein penduduk
Indonesia adalah kurang, maka sangat perlu meningkatkan produksi pangan sumber
protein yang murah, baik hewani maupun nabati. Jenis kacang-kacangan yang
6
terdapat di Indonesia cukup potensial untuk dikembangkan menjadi produk yang
bergizi, aman, dan sesuai dengan selera masyarakat. Misalnya produk atau olahan
biji kacang tunggak, biji turi, dan koro benguk (Handajani, 2003).
Kacang tunggak merupakan komponen yang bergizi di dalam diet manusia.
Komposisi biji kacang tunggak, terutama kandungan protein, pati dan vitamin B,
sangat bervariasi tergantung pada kultivar dan asal bijinya (Kay, 2009).
Berdasarkan Balai Penelitian Kacang-Kacangan dan Umbi-umbian (2008), varietas
unggul kacang tunggak di Indonesia memiliki kandungan protein 20.5 – 22.11%.
komposisi zat gizi dan nilai energi kacang tunggak dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Zat Gizi dan Nilai Energi Kacang Tunggak
Komponen Jumlah (per 100 gram)
Energi (kkal) 346
Total karbohidrat (g) 63.4
Protein (g) 22
Lemak (g) 1,3
Abu (g) 3,3
Serat kasar (g) 4,5
Neutral detergent fiber (g) 7,7
Thiamin (mg) 0,94
Riboflavin (mg) 0,227
Niacin (mg) 2,36
B6 (mg) 0,44
Total folacin (mg) 0,545
Total asam pantotenat (mg) 1,39
β Karoten (mg) 28
Phosphorus (mg) 426,5
Potassium (mg) 1450,3
Sodium (mg) 23
Kalsium (mg) 80,3
Magnesium (mg) 250,2
Seng (mg) 3,77
Mangan (mg) 1,28
Tembaga (mg) 0,94
Besi (mg) 7,54
Sumber: Matthews (2009)
Sama halnya dengan kacang-kacangan lainnya, kacang tunggak
mengandung komponen anti-nutrisi. Komponen anti-nutrisi dapat menyebakan
7
penurunan nilai gizi suatu bahan pangan. Komponen anti-nutrisi yang terdapat di
dalam kacang tunggak di antaranya inhibitor tripsin, asam fitat, dan tanin. Inhibitor
tripsin membentuk kompleks dengan enzim tripsin sehingga daya cerna protein
turun. Asam fitat membentuk kompleks dengan logam-logam bivalen (Mg, Ca, Fe)
yang menyebabkan logam-logam tersebut tidak dapat diserap oleh usus. Sedangkan
tanin akan menghambat penyerapan mineral Fe. Kacang tunggak mentah
mengandung inhibitor tripsin sebesar 13.7 ± 0.5 mg/g, asam fitat sebesar 12.8 ± 0.2
mg/g, dan tanin sebesar 9.7 ± 0.4 mg/g (Vasagam et al, 2006). Menurut Rackis
(2006), inhibitor tripsin relatif labil terhadap panas dan perlakuan panas yang cukup
telah diketahui dapat mengatasinya. Sedangkan asam fitat sangat tahan terhadap
panas. Kadar asam fitat akan turun dengan adanya perlakuan germinasi.
2.2 Modified Cassava Flour (MOCAF)
MOCAF yang juga dikenal dengan istilah MOCAL merupakan produk
tepung dari singkong (Manihot esculenta Crantz) yang diproses menggunakan
prinsip memodifikasi sel singkong secara fermentasi, dimana mikrobia BAL
(Bakteri Asam Laktat) mendominasi selama fermentasi tepung singkong ini.
Mikroba yang tumbuh menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat
menghancurkan dinding sel singkong sedemikian rupa sehingga terjadi liberasi
granula pati. Mikroba tersebut juga menghasilkan enzim-enzim yang
menghidrolisis pati menjadi gula dan selanjutnya mengubahnya menjadi asam-
asam organik, terutama asam laktat. Hal ini akan menyebabkan perubahan
karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan
gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut. Cita rasa mocaf juga menjadi netral
karena menutupi cita rasa singkong sampai 70% (Subagio et al., 2008).
8
Menurut Subagio et al. (2008), komposisi kimia mocaf tidak jauh berbeda
dengan tepung singkong, tetapi mocaf mempunyai karakteristik organoleptik yang
spesifik. Komposisi kimia dan karakteristik organoleptik antara mocaf dan tepung
singkong dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Secara organoleptik warna mocaf yang
dihasilkan lebih putih jika dibandingkan dengan warna tepung singkong biasa. Hal
ini disebabkan karena kandungan protein mocaf yang lebih rendah dibandingkan
dengan tepung singkong. Kandungan protein dapat menyebabkan warna coklat
ketika pengeringan atau pemanasan.
Tabel 2. Perbedaan Komposisi Kimia MOCAF dengan Tepung Singkong
Parameter MOCAF Tepung Singkong
Kadar air (%) Maks 13 Maks 13
Kadar protein (%) Maks 1,0 Maks 1,2
Kadar abu (%) Maks 0,2 Maks 0,2
Kadar pati (%) 85-87 82 – 85
Kadar serat (%) 1,9 – 3,4 1,0 – 4,2
Kadar lemak (%) 0,4 – 0,8 0,4 – 0,8
Kadar HCN (mg/kg) Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi
Sumber : Subagio et al. (2008)
Tabel 3. Perbedaan Sifat Organoleptik MOCAF dengan Tepung Singkong
Parameter MOCAF Tepung Singkong
Warna Putih Putih agak kecoklatan
Aroma Netral Kesan singkong
Rasa Netral Kesan singkong
Sumber : Subagio et al. (2008)
Mocaf menghasilkan aroma dan cita rasa khas yang dapat menutupi aroma
dan citarasa singkong yang cenderung tidak menyenangkan konsumen apabila
bahan tersebut diolah. Hal ini disebabkan oleh hidrolisis granula pati menghasilkan
monosakarida sebagai bahan baku penghasil asam-asam organik, terutama asam
laktat yang akan terimbibisi dalam bahan. Hal ini membuat aroma dan rasa mocaf
menjadi netral.
9
Pembuatan mocaf secara teknis sangat sederhana, mirip dengan cara
pengolahan tepung ubi kayu konvensional, namun disertai dengan proses
fermentasi. Proses produksi tepung singkong termodifikasi dimulai dengan
pengupasan kulit ubi kayu, pencucian sampai bersih, pengecilan ukuran,
dilanjutkan dengan tahap fermentasi selama 12-72 jam. Setelah fermentasi, ubi
kayu tersebut dikeringkan dan kemudian ditepungkan sehingga dihasilkan produk
tepung singkong termodifikasi (Subagio, 2006).
Mocaf dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan mi, bakery, cookies,
hingga makanan semi basah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Demiate et al.
(2000) menunjukkan bahwa fermentasi ubi kayu dapat menghasilkan tepung yang
dapat digunakan untuk membuat roti dan biskuit spesial yang bebas gluten. Namun
demikian, tepung mocaf tidak sama persis karakteristiknya dengan tepung terigu,
tepung beras, atau tepung lainnya. Oleh karena itu, dalam aplikasinya diperlukan
sedikit perubahan dalam formula atau prosesnya sehingga akan dihasilkan produk
dengan mutu optimal yang memenuhi standar. Berdasarkan penelitian sebelumnya,
produk-produk makanan yang dibuat dengan bahan baku 100% tepung mocaf
mempunyai karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan produk yang dibuat
dengan menggunakan tepung terigu berprotein rendah (pastry flour). Selain itu,
hasil uji coba yang telah dilakukan dengan mensubtitusi tepung mocaf terhadap
tepung terigu menunjukkan bahwa tepung mocaf dapat mensubtitusi tepung terigu
hingga tingkat 15% pada produk mi instan, dan hingga 25% untuk produk mie
bermutu rendah (Subagio et al., 2008).
10
2.3 Elisitasi
Elisitasi adalah metode untuk menginduksi pembentukan senyawa sekunder
termasuk antioksidan dengan menambahkan senyawa yang disebut elisitor. Elisitor
ditambahkan pada saat perendaman kacang dalam proses perkecambahan. Elisitor
yang biasanya digunakan adalah polisakarida. Polisakarida tersebut diharapkan
mampu memicu pembentukan senyawa yang dapat berperan sebagai antioksidan.
Proses pengecambahan dengan elisitasi terbukti dapat meningkatkan kadar
komponen antioksidan dan aktivitas antioksidan kecambah kacang-kacangan
(Randhir dkk, 2008).. Aplikasi elisitasi pada proses pengecambahan dimaksudkan
untuk memberikan kondisi stres lingkungan, yang dapat memicu produksi
metabolit sekunder yang dikenal dengan phytoalexin, yaitu komponen bioaktif
tanaman yang berperan sebagai pertahanan termasuk terhadap infeksi maupun
reactive oxygen species (ROS) (Angelova dkk, 2001).
Vasconsuelo dan Boland (2006) menyebutkan bahwa terdapat dua jenis
elisitor yaitu biotik dan abiotik. Sedangkan Baenas (2012) menambahkan terdapat
satu kelompok elisitor lagi yaitu hormon tanaman. Secara umum mekanisme elisitor
biotik seperti Na alginat dan kitosan, berbasis interaksi elisitor-reseptor di dalam
sel melalui pengikatan elisitor oleh reseptor protein di dalam membran plasma
(Aijaz, 2011). Elisitor abiotik seperti NaCl mempengaruhi kondisi fisiologis
pertumbuhan tanaman, karena ketidakseimbangan gizi, kekurangan air, dan stres
oksidatif (Kaymakanova, 2009). Beberapa penelitian menunjukkan terjadinya
perubahan jumlah produksi metabolit sekunder termasuk komponen fenolik dan
terpenoid, sebagai mekanisme pertahanan terhadap kondisi stress, khususnya stres
oksidatif yang dipicu oleh konsentrasi salinitas yang tinggi (Carvalho, 2002).
11
Mekanisme umum induksi akumulasi fitoaleksin oleh molekul elisitor pada
tumbuhan diawali dengan pengenalan molekul elisitor oleh reseptor pada sel
tumbuhan. Dalam hal ini terdapat dua model pengenalan elisitor terhadap sel
tumbuhan yaitu adanya reseptor dalam membran sel tumbuhan untuk elisitor atau
elisitor langsung berikatan pada DNA dalam inti tumbuhan, dan kemudian secara
khusus mengaktifkan transkripsi gen yang diperlukan untuk biosintesis fitoaleksin.
Elisitor dikenali oleh sel-sel tumbuhan melalui interaksi dengan reseptor yang
spesifik pada tumbuhan dan interaksi reseptor-elisitor tersebut diduga
menghasilkan sinyal yang kemudian mengaktifkan suatu rangkaian peristiwa
metabolisme, termasuk transkipsi dan translasi dari gen-gen yang spesifik untuk
induksi de-novo enzim-enzim biosintesis, terutama untuk sintesis fitoaleksin. Kunci
dalam respons biosintesis fitoaleksin yang dimediasi oleh elisitor adalah interaksi
elisitor dengan reseptor yang diduga berada di berbagai tempat, termasuk dinding
sel, plasmalemma, dan beberapa komponen intraseluler yang telah diduga sebagai
target-target untuk kerja utama dari elisitor. (Yoshikawa, 2006)
Reseptor-reseptor yang berada pada membrane plasma berfungsi sebagai
suatu sistem pengenal untuk sinyal eksternal, dan kemudian sinyal ditransduksi ke
dalam sistem messenger intraseluler melalui aktivitas adenilat siklase dan aktivitas
fosfolipase C. Fosfolipase C mesntimulasi hidrolisis fosfatidilinositol-4-5-bifosfat
(P1P2) dalam membran menjadi inositol trifosfat (IP3) dan diasilgliserol (DAG).
Peningkatan induksi IP3 menyebabkan aktivasi enzim-enzim yang bergantung pada
Ca2+ dan protein kinase. Jadi penambahan elisitor pada jaringan tumbuhan atau sel
kultur meningkatkan aktivitas enzim yang terlibat dalam biosintesis fitoaleksin.
Transduksi sinyal terjadi sangat cepat setelah pemberian elisitor (Oku, 2004).
12
2.4 Cookies
Cookies atau kue kering merupakan salah satu jenis biskuit yang dibuat dari
adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif . Husain (2006) juga menyatakan
bahwa cookies termasuk jenis biskuit yang mengandung kadar lemak dan gula yang
lebih tinggi dibandingkan dengan jenis biskuit lainnya. Cookies dengan tepung non
terigu termasuk kedalam golongan short dough (Manley, 2003). Syarat mutu
cookies di Indonesia tercantum menurut SNI 01-2973-2011 sebagai berikut :
Tabel 4. Syarat Mutu Cookies
Kriteria Uji Syarat
Energi (kkal/100 g) Min 400
Air (%) Maks 5
Protein (%) Min 9
Lemak (%) Min 9,5
Karbohidrat (%) Min 70
Abu (%) Maks 1,5
Serat kasar (%) Maks 0,5
Logam berbahaya Negatif
Bau dan rasa Normal dan tidak tengik
Warna Normal
Sumber: BSN (2011)
2.4.1 Bahan Baku Pembuatan Cookies
Menurut Matz (2002), bahan pembuat cookies dibagi menjadi dua menurut
fungsinya yaitu bahan pembentuk struktur dan bahan pendukung kerenyahan.
Bahan pembentuk struktur meliputi tepung, susu skim, dan putih telur sedangkan
bahan pendukung kerenyahan meliputi gula, shortening, bahan pengembang, dan
kuning telur. Telur berpengaruh terhadap tekstur produk patiseri. Telur digunakan
untuk menambah rasa dan warna. Telur juga membuat produk lebih mengembang
karena menangkap udara selama pengocokan. Putih telur bersifat sebagai
pengikat/pengeras. Sedangkan, kuning telur bersifat sebagai pengempuk . Bahan-
bahan penyusun cookies terdiri atas bahan pengikat dan bahan pelembut. Bahan
13
pengikat adalah tepung, air, padatan susu, putih telur atau telur utuh, dan garam.
Sedangkan bahan pelembut adalah gula, shortening, bahan pengembang dan kuning
telur (Husain, 2006).
Tepung merupakan komposisi dasar pada produk bakery. Dalam adonan,
tepung berfungsi sebagai pembentuk tekstur, pengikat bahan-bahan lain dan
mendistribusikannya secara merata, serta berperan dalam membentuk cita rasa
(Matz dan Matz, 2008). Manley (2003) membagi tepung menjadi tiga jenis
berdasarkan kandungan proteinnya, yaitu terigu keras (kadar protein minimal 12%),
terigu sedang (kadar protein sebesar 10-11%), dan terigu lunak (kadar protein
sebesar 7-9%). Tepung yang digunakan untuk pembuatan cookies adalah tepung
gandum lunak dengan kadar protein 8-9%. Tepung terigu lunak juga biasa
digunakan untuk membuat bolu, kue kering, crackers, dan biskuit karena terigu
lunak cenderung membentuk adonan yang lebih lembut dan lengket (Matz, 2002).
Selain itu, tepung jenis ini lebih mudah terdispersi dan tidak mempunyai daya serap
air yang terlalu tinggi sehingga dalam pembuatan adonan membutuhkan lebih
sedikit cairan (U.S Wheat Associates, 2003). Semakin keras tepung gandum maka
semakin banyak lemak dan gula yang harus ditambahkan untuk memperoleh tekstur
yang baik. Tepung terigu dengan kadar protein yang tinggi akan mempengaruhi
kekerasan cookies dan kekerasan remah bagian dalam serta penampakan
permukaan. Bila jumlah tepung sangat sedikit, sedangkan lemak yang ditambahkan
cukup banyak maka akan menyebabkan cookies kehilangan bentuk dan sangat
mudah patah (Matz, 2002).
Gula dalam bentuk sukrosa berfungsi sebagai pemanis nutririf, pembentuk
tekstur (pelembut), pemberi warna, dan pengontrol penyebaran cookies. Gula yang
14
ditambahkan dapat berfungsi sebagai pengawet karena gula dapat mengurangi aw
bahan pangan sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Buckle
et al, 2005). Gula yang digunakan bisa dalam bentuk gula pasir, gula halus, atau
tepung gula. Besarnya partikel gula dalam bentuk adonan akan mempengaruhi
penyebaran cookies. Gula halus memiliki sifat pengkriman yang lebih baik
dibandingkan dengan tepung gula. Jenis pemanis lain yang dapat digunakan adalah
brown sugar, invert syrup laktosa atau madu (Matz, 2002). Tipe dan jumlah
shortening dan emulsifier dalam formula akan mempengaruhi respon adonan
selama pembentukan dan kualitas produk akhir. Jenis shortening yang dapat
digunakan adalah mentega, minyak tumbuhan, margarin, atau lemak hewan seperti
lemak sapi. Jenis shortening juga akan mempengaruhi penyebaran dan penampakan
cookies (Matz, 2002).
Pemberian mentega bertujuan untuk meningkatkan penerimaan, terutama
flavor. Rendahnya titik cair mentega menyebabkan produk menjadi berminyak.
Untuk mengurangi efek berminyak yang dihasilkan mentega, biasanya
ditambahkan margarin (Matz, 2002). Selama proses pencampuran adonan, lemak
memutuskan jaringan gluten di dalamnya sehingga karakteristik makan setelah
pemanggangan menjadi tidak keras, lebih pendek, dan lebih cepat meleleh di mulut
(Manley, 2003). Telur mempengaruhi tekstur produk kue karena sifat pengemulsi,
pengaerasi, pelembut, dan pengikat yang dimilikinya. Selain itu telur juga berfungsi
untuk meningkatkan nilai gizi, memberikan warna dan flavor yang disukai. Telur
penting dalam menentukan kualitas organoleptik semua jenis cookies. Seluruh telur
(putih dan kuning telur) dapat menghasilkan struktur cookies yang baik. Pemakaian
kuning telur untuk menggantikan sebagian atau seluruh telur akan menghasilkan
15
cookies yang lembut, tetapi struktur dalamnya tidak sebaik yang menggunakan
seluruh telur.
Susu berfungsi memperbaiki tekstur, memberikan aroma, dan memperbaiki
warna permukaan. Laktosa yang terkandung di dalam susu merupakan disakarida
pereduksi yang jika dikombinasi dengan protein melalui reaksi Maillard dan proses
pemanasan akan memberikan warna coklat yang menarik pada permukaan setelah
dipanggang. Gas karbondioksida, uap air, dan udara berperan pada pengembangan
produk-produk kue. Sumber karbondioksida pada kue antara lain sodium
bikarbonat, amonium bikarbonat, dan baking powder. Dosis maksimum
penggunaan bahan pengembang tersebut berdasarkan PerKBPOM No.11 Tahun
2013 adalah 0,2% dari berat tepung. Amonium bikarbonat digunakan untuk
menghasilkan produk kue kering yang kadar airnya rendah, tetapi tidak untuk
produk yang kadar airnya tinggi, karena aroma amoniak lebih terasa bila kadar air
produk masih tinggi. Amonium bikarbonat larut pada air dan dapat terdekomposisi
pada suhu 104oC (Stauffer, 2000). Sodium bikarbonat lebih sering digunakan
karena toksisitasnya rendah, mudah ditangani, tidak meninggalkan rasa pada
produk dan lebih murni. Baking powder merupakan campuran dari sodium
bikarbonat dengan pereaksi asam dengan atau tanpa penambahan pati. Baking
powder bersifat cepat larut pada suhu kamar dan tahan selama pengolahan (Matz
dan Matz, 2008). Pereaksi asam yang digunakan antara lain garam asam dari asam
tartarat, asam fosfat, atau komponen aluminium (Matz, 2002).
Kaplan (2011) menyebutkan peranan garam dalam pembuatan kue adalah
untuk menguatkan flavor, membantu dalam pelarutan gluten untuk menciptakan
struktur yang baik dalam adonan. Matz (2002) menyebutkan bahwa sebagian besar
16
formula kue menggunakan 1% garam atau kurang. Penambahan flavor pada cookies
ditujukan untuk memberi rasa tertentu guna meningkatkan penerimaan produk.
Flavor relatif stabil pada suhu pemanggangan, tetapi dapat berubah drastis jika
dibakar dengan api. Kategori flavor meliputi minyak esensial yang diekstrak dari
jaringan tanaman, campuran bahan-bahan kimia aromatik sintetik, maupun dari
proses alami bahan karena bahan-bahan tersebut mempunyai aroma kuat dan
menyenangkan (Manley, 2003). Menurut Manley (2003), biskuit dan produk yang
dimasak lainnya dapat ditambah dengan flavor dengan tiga cara, yaitu: 1) ditambah
flavor dalam adonan sebelum dipanggang, 2) ditaburkan atau disemprotkan setelah
dipanggang, 3) flavor yang tidak ikut dipanggang, seperti pelapisan cream-jam,
icing ataupun mallow.
2.4.2 Proses Pembuatan Cookies
Pembuatan cookies meliputi tiga tahap, yaitu pembuatan adonan,
pencetakan, dan pemanggangan (Matz, 2006). Pembuatan adonan dilakukan
dengan mencampur bahan, kemudian mengaduknya. Menurut Whiteley (2005),
terdapat dua metode dasar pencampuran adonan, yaitu metode krim (creaming
method) dan metode all in. Pada metode krim bahan dicampur secara bertahap.
Campuran pertama adalah lemak dan gula, kemudian ditambah pewarna dan flavor,
kemudian susu dan bahan kimia aerasi berikut garam. Tepung ditambahkan pada
bagian paling akhir. Sementara itu, pada metode all in semua bahan dicampur
secara langsung bersama tepung. Pencampuran dilakukan sampai adonan cukup
mengembang. Menurut Faridi (2008), terdapat dua jenis prosedur pembuatan krim,
yaitu two-stage method dan three-stage method. Pembuatan krim two-stage method
dilakukan dengan mencampur semua bahan, termasuk air, lemak, gula, emulsifier,
17
dan komponen minor lainnya, kecuali leavening agent. Pencampuran dilakukan
selama 4-10 menit, sampai semua bahan padat terlarut dan krim terbentuk. Setelah
itu, tepung dan acidic leavening agent dicampurkan sampai konsistensi yang
diinginkan tercapai. Berbeda dengan two stage-method, pembuatan krim three-
stage method dilakukan dengan cara mencampurkan lemak, gula, susu bubuk, dan
bahan kering lainnya sampai terbentuk krim yang lembut. Setelah itu, emulsifier
dan sebagian besar air ditambahkan. Garam, alkaline leavening, flavor, dan
pewarna disuspensikan dalam air dan dicampurkan ke dalam krim yang telah
dibuat. Tepung dan acidic leavening agent ditambahkan pada bagian paling akhir.
Tahap pembuatan cookies selanjutnya adalah tahap pencetakan. Pencetakan
dilakukan dengan menggiling adonan dengan ketebalan tertentu, kemudian
mencetaknya sesuai selera. Penggilingan dilakukan berulang-ulang agar dihasilkan
adonan yang halus dan kompak, serta memiliki ketebalan yang seragam. Tahap
terakhir adalah pemanggangan. Menurut Faridi (2008), selama pemanggangan
terjadi perubahan yang kompleks. Pada awal pemanggangan belum terjadi
perubahan, tetapi setelah lemak meleleh pada suhu 37-40oC, ada tiga perubahan
yang terjadi, yaitu lemak menjadi bentuk tetesan, emulsi air dalam minyak (W/O)
berubah menjadi minyak dalam air (O/W), gelembung udara bergerak dari fase
lemak ke fase air. Pada suhu 52-99oC terjadi gelatinisasi pati. Udara dibebaskan
dari adonan pada suhu 65oC. Selanjutnya pada suhu 70oC terjadi penguapan air serta
denaturasi dan koagulasi protein. Lama waktu dan suhu pemanggangan akan
mempengarui kadar air cookies. Cookies yang telah selesai dipanggang segera
didinginkan untuk menurunkan suhu dan mencegah pengerasan akibat memadatnya
gula dan lemak.
Recommended