View
230
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
KEMATIAN PERSPEKTIF KITAB HAQĀ’IQ AL-TAFSĪR
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Hilman Mulyana
NIM: 1111034000138
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2018 M.
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
KEMATIAN PERSPEKTIF KITAB HAQĀ’IQ AL-TAFSĪR
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Hilman Mulyana
NIM: 1111034000138
Pembimbing:
Moh. Anwar Syarifuddin, MA
NIP. 19720518 199803 1 003
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2018 M.
ABSTRAK
Kematian adalah terputusnya hubungan ruh dengan badan, perpisahan antara keduanya,
pergantian keadaan, dan perpindahan dari satu alam ke alam yang lain. Penelitian terkait
kematian dalam lintas disiplin keilmuan sudah banyak dilakukan bahkan pada Fakultas
Ushuluddin, khususnya program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir juga sudah dilakukan.
Akan tetapi penulis mengangkat tema kematian studi kitab Haqā’iq al-Tafsīr karya Imam
al-Sulami. Sebagaimana diketahui Imam al-Sulami adalah seorang sufi yang menuai banyak
pro dan kontra, tetapi menarik bagi penulis khususnya karena al-Sulami adalah seorang penulis
bibliografi sufi pada zamannya. Penelitian ini penulis mengajukan pertanyaan, bagaimana
kematian di dalam kitab Haqā’iq al-Tafsīr menurut Imam al-Sulami.
Adapun metode yang penulis lakukan dengan cara metode kualitatif Library research.
Sebagaimana diketahui salah satu metode kualitatif adalah menguji keabsahan utnuk
meyakinkan apa yang telah dikutip dan ditulis sudah sesuai dengan sumber yang ada. Hasilnya
penulis mendapatkan bahwa kematian di dalam kitab Haqā’iq al-Tafsīr karya al-Sulami terdiri
atas; Kematian fana, Tidur bagian dari kematian, dan Istiqȃmah sebagai solusi bagi “kematian”
di Dunia.
Kata Kunci :Tafsir, Kematian, al-Sulamī, Haqā’iq al-Tafsīr.
v
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرمحن الرحمي
Alhamdulillāh segala puji bagi Allah, yang telah menciptakan manusia
sebagai replika alam yang begitu besar, atas kasih sayang dan pengetahuan yang
Allah berikan, maka peneliti bisa menyelasikan skripsi ini dengan judul “Kematian
Perspektif Kitab Haqā’iq al-Tafsīr”.
Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muḥammad Saw.,
Keluarga beserta Sahabatnya. Nabi sebagai manusia pembawa risalah yang menuntun
kebodohan manusia menjadi bersinar penuh pengetahuan dan berakhlak yang mulia.
Semoga Nabi membawa ummatnya bisa berkumpul dalam majlis-Nya yang penuh
kebahagiaan dalam keabadian.
Penelitian ini dilakukan dalam rangka sebagai syarat dalam pengajuan gelar
Sarjana Strata Satu (S1) pada program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Peneliti
sadar dan menyadari bahwa penyusunan penelitian yang dilakukan dari awal sampai
ahir bukan sebatas hasil sendiri, melainkan juga atas kebaikan serta pancaran
motivasi baik secara material dan non-material sehingga penelitian bisa terselsaikan
dengan baik dan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu kiranya peneliti sampaikan
rasa terimakasih dan penghargaan yang seluas-luasnya kepada:
1. Bpapk Prof. Dr. Dede Rosyada, MA Selaku Rektor Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.
vi
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajaran
dekanatnya.
3. Ibu Dr. Lilik Umi Kaltsum, M.A. Selaku kepala Program studi Ilmu al-Qur’an
dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd. Sebagai sekertaris Jurusan
Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
4. Bapak Ramlan A. Gani. M.Ag. selaku Dosen pembimbing akademik.
5. Bapak Moh. Anwar Syarifuddin M.A. Selaku pembimbing skripsi yang
senantiasa sabar dalam mengarahkan skripsi ini, dan memberikan waktu yang
luang untuk memberikan masukan yang positif selama penulisan skripsi,
semoga Allah Swt., memberikan keberkahan dalam setiap detiknya.
6. Kepada Bapak Rahmat Hidayat, S.Ag. yang selalu dengan senang hati
meminjamkan koleksi bukunya untuk referensi penulis.
7. Terimakasih kepada Para Guru Besar yang mengajar di tingkat Strata Satu,
serta Para Dosen yang telah meluangkan waktunya untuk konsultasi skripsi ini,
saya ucapkan terimakasih dan mohon maaf tidak bisa menyebutkan satu
persatu. Terimakasih kepada Civitas akademika Fakultas Ushuluddin, staf dan
karyawan Perpustakaan FU, FDK dan PU UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memudahkan penulis dalam mencari refrensi terbaik semasa
perkuliahan hingga proses penyelesaian skripsi.
8. Teruntuk orang yang pertama kali mengajarkan abjad, mengajarkan rangkaian
abjad dengan kasih sayang, serta mencintai peneliti tanpa alasan, kedua ibu
bapak. Ayahanda Atam Rustandi dan Ibunda Nasroh, atas kesabaran, cinta,
vii
kasih, sayang serta doa yang tak pernah berhenti, sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
9. Terimakasih kepada Keluarga Besar Yayasan Waqaf Paramadina, Kajian
Tadabbur al-Qur’an Parmadina yang tidak pernah berhenti memberikan do’a
dan dukungannya.
10. Terimakasih untuk keluarga besar Abah Isoeb dan Abah Sambas yang turut
mendoakan penelitian ini. Terimakasih juga untuk Keluarga Besar pengajian
Pamulang di bawah naungan Abah Kyai Rifki Muhammad Fathi.
11. Terimakasih kepada teman-teman Tafsir Hadis angkatan 2011, teman-teman
Sektor 11 (Muflih, Dede Multajam Lc, Gus Lutffi, Gus Huda, Ian, Jangkrik,
Eka, Asep, Fuad, Ust. Gandi, Subhan, Seman, arif brewok, dkk) teman-teman
TH E (Rahib Mujib. Gandi, Didi, Rofi, mbah Akrom, Mas Bazit menkes, Ipul,
Ilyas, Irfan, Ais, Hilmi, Indana, Moeqit, Dayat, Hasyir, Zainul dkk) inilah
jawaban doa kalian tentang skripsi. Keluarga Besar Dialog serial “Cahaya
Kemenangan Hati”, Pak Radhar Panca Dahana, Pak Rahmat Hidayat S.Ag, Pak
Afi, Pak Hendro, Ihya, Mas Sis, Kang Iyus, Lutfi dkk. Keluarga Besar DEMA
FU 2015. Keluarga Besar HIMALAYA Jakarta dan Sahabat PC PMII Ciputat.
HMI KOMFUF. DPW IMM Jakarta. DPP HIMA KOSGORO Periode 2017-
2019. KKN HARMONI 2015. Terimaksih pula untuk kosan pak mentri ( Bazit
menkes, Gus Lutfi, Irpan, dan bos Didi) atas segudang cerita kopi. Ahirnya
peneliti berharap agar apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua kalangan
pada umumnya dan dapat memperkaya khazanah keilmuan metodologi
penelitian tafsir. peneliti menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Kritik
viii
dan saran yang sifatnya membangun penulisan sangat diharapkan. Sebagai
penutup, peneliti berharap, semoga Allah swt selalau membimbing kejalan yang
diridoi-Nya. Amiin ya Rabbal ‘Alamiin.
Ciputat, 10 Juli 2018
(Hilman Mulyana)
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………………………..i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN…………………………………………………ii
LEMBAR PERNYATAAN ………………………………………………………………….....iii
ABSTRAK……………………………………………………………………………………….iv
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………...v
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………….ix
PEDOMAN TRANSLITERASI………………………………………………………………..xi
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………..1
A. Latar Belakang………………………………………………………………...1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah…………………………………………...3
C. Tinjauan dan Manfaat Penulisan………………………………………………3
1. Manfaat Teoritis…………………………………………………………...3
2. Manfaat Praktis……………………………………………………………4
D. Tinjauan Pustaka………………………………………………………………4
E. Metode Penelitian……………………………………………………………..6
1. Jenis Penelitian…………………………………………………………….6
2. Sumber Data……………………………………………………………….6
3. Pengolahan Data…………………………………………………………..6
4. Pedoman Penulisan………………………………………………………..7
F. Sistematika Penulisan…………………………………………………………7
BAB II GAMBARAN UMUM…………………………………………………………..9
A. Gambaran Umum Kematian…………………………………………………..9
1. Kematian Menurut al-Qur‟an……………………………………………11
a. Ajal…………………………………………………………………..11
b. Maut……………………………………………………………….....13
c. Wafat…………………………………………………………………13
d. Tidur………………………………………………………………….15
2. Kematian Menurut Kedokteran…………………………………………..16
3. Kematian Menurut Sufi…………………………………………………..18
B. Gambaran Umum Kitab Haqā‟iq al-Tafsīr…………………………………..20
1. Sekilas Kitab Haqā‟iq al-Tafsīr………………………………………….20
2. Pro-Kontra Haqā‟iq al-Tafsīr…………………………………………….21
x
3. Profil Singkat Imam Abū „Abdul al-Rahman Muhammad Ibn al-Husaīn
Ibn Mūsa al-Ażḍī al-Sulamī……………………………………………..24
4. Corak Pemikiran…………………………………………………………26
5. Karya-karya al-Sulamī…………………………………………………...26
BAB III PENAFISRAN AYAT-AYAT AL-QUR’AN TENTANG KEMATIAN
DALAM TAFSIR HAQĀ’IQ AL-TAFSĪR…………………………………...28
A. Hakikat Kematian…………………………………………………………...28
1. Fana……………………………………………………………………...30
B. Tidur Bagian dari Kematian…………………………………………………33
1. Pengertian Tidur…………………………………………………………33
2. Tidur Serupa Kematian………………………………………………….35
C. Istiqamah Sebagai Solusi bagi “Kematian” Dunia dalam Menggapai
Kehidupan Abadi di Akhirat………………………………………………...40
1. Istiqomah dalam Niat…………………………………………………....44
2. Istiqomah dengan Lisan…………………………………………………45
3. Istiqomah dengan Perbuatan…………………………………………….45
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………………..46
B. Kritik dan Saran……………………………………………………………...46
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………...47
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI HURUF ARAB-LATIN
Skripsi ini menggunakan “Pedoman Penulisan Skripsi” yang terdapat
dalam Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Ceqda 2007 dan Pedoman Akademik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta 2011/2012.
Padanan Aksara
No. HurufArab HurufLatin Keterangan
Tidak dilambangkan ا 1
b Be ب 2
t Te ت 3
ts Te da nes ث 4
j Je ج 5
h Ha dengan garis bawah ح 6
kh Ka dan ha خ 7
d De د 8
dz De dan zet ذ 9
r Er ر 10
z Zet ز 11
s Es س 12
sy Es dan ye ش 13
s Es dengan garis di bawah ص 14
d De dengan garis di bawah ض 15
t Te dengan garis di bawah ط 16
z Zet dengan garis di bawah ظ 17
ع 18
„ Koma terbalik di atas hadap
Kanan
gh Ge dan ha غ 19
f Ef ف 20
xii
q Ki ق 21
k Ka ك 22
l El ل 23
m Em م 24
n En ن 25
w We و 26
h Ha ه 27
Apostrof „ ء 28
y Ye ي 29
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tuggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
No. VokalArab VokalLatin Keterangan
1
a Fathah
2
i Kasrah
3
u Dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
No. VokalArab VokalLatin Keterangan
1
ai A dan i
2
au A dan u
Vokal Panjang
ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
xiii
No.
VokalArab
VokalLatin
Keterangan
1
â A dengan topi di atas
2
î I dengan topi di atas
3
û u dengan topidi atas
Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksaraArab dilambangkan dengan huruf,
yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti oleh huruf syamsiyyah,
maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-
dîwân.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam tulisan Arab yang dilambangkan dengan
sebah tanda ( _ ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata tidak ditulis ad-
darûrah, melainkan al-darûrah, demikian dan seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti kata benda ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/
(lihat contoh 3). Contoh:
No Kata Arab Transliterasi
1
Tarîqah
2
al-jâmiʻah al-Islâmiyyah
3
Wahdat al-wujûd
xiv
Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
untuk menulisakna permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî,
bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-kindi bukan Al-Kindi.
Beberpa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialih aksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,
tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nur al-Dîn al-Rânîrî.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kematian adalah suatu keniscayaan yang tak terelakan dalam kehidupan
manusia.1 al-Qur‟an sebagai wahyu Allah Swt., yang diyakini kebenarannya oleh
umat Islam, banyak yang memberikan penjelasan tentang hakekat kematian, serta
apa yang harus dipersiapkan oleh manusia dalam hidupnya di dunia ini sebagai
proses menghadapi kematian.
Di zaman modern seperti sekarang ini, ditandai dengan pesatnya ilmu
pengetahuan teknologi, persoalan manusia terasa lebih kompleks yang terus
menimbulkan berbagai kepentingan yang berbenturan di antara manusia guna
memperoleh kepentingan hidupnya. Hal ini menyebabkan manusia lupa akan
hakikat hidup mereka, termasuk masalah hidup mereka yang terus berlangsung
dalam waktu singkat dan akan berakhir dengan datangnya kematian.
Walaupun manusia berusaha sekuatnya untuk melupakan hakikat kematian,
tetapi mati adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari oleh setiap mahluk yang
hidup. Bagaimanapun keadaannya dan di manapun tempatnya. Manusia melalui
nalar dan pengalamannya tidak mampu mengetahui hakikat kematian, karena
kematian dinilai sebagai salah satu ghaib nisbi yang paling besar. Walaupun pada
hakekatnya kematian merupakan sesuatu yang tidak diketahui.2
Ayat dalam al-Qur‟an menjelaskan tentang kematian diantaranya adalah Qs
al-Nisa/4:78, Ibn Kathir menafsirkan maksud dari ayat tersebut yaitu kalian pasti
1 Komarudin Hidayat. Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme,
(Jakarta: Noura Books, 2012), h. x. 2 Quraish Shihab. Wawasan al-Qur’an, (Bandung Mizan, 1996), h. 69.
2
akan mati, dan tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat dari maut, adalah
sama maknanya dengan yang disebutkan di dalam ayat lain yaitu; Qs al-
Rāhman/55:26, Qs Ali-Imrān/3:185, dan Qs al-Anbiya/21:34, maknanya yaitu
setiap orang pasti akan mati.
Tiada sesuatu pun yang dapat menyelamatkan dari kematian, baik ikut
dalam berjihad ataupun tidak ikut berjihad. Karena sesungguhnya umur manusia
itu ada batasnya dan mempunyai ajal yang telah ditentukan serta kedudukan yang
telah ditetapkan baginya.3 Sayyid Qutb menjelaskan dalam karyanya Tafsir Fi
Zilail al-Qur’an, kematian menurutnya adalah suatu kepastian yang sudah
ditentukan waktunya, dan tidak ada hubungannya dengan perlindungan tempat
yang dapat melindungi seseorang atau tidak dapat melindungi. Kalau demikian,
kematian juga tidak dapat ditunda dengan ditundanya tugas perang, dan tidak
dapat pula dimajukan dengan dimajukannya tugas jihad sebelum waktunya.4
Kematian sebagai sesuatu yang pasti bagi semua mahluk hidup tanpa
terkecuali memberikan beberapa pemahaman, hal ini bisa terlihat bagi disiplin
keilmuan dengan berbagai hal, dari kematian secara jasad, dunia bagian dari
kematian sejak awal sampai hati menjadi bagian kematian bagi barometer jiwa.
Dari uraian diatas peneliti semakin tertarik untuk meneliti Kematian dalam
Perspektif kitab Haqā‟iq al-Tafsīr karya Imam Abī „Abdul al-Rahman
Muhammad Ibn al-Husaīn Ibn Mūsa al-Ażḍī al-Sulamī.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
3 Abdullah bin Muhammad bin „Abd al-Rahman bin Ishaq Al al-Sheikh. Lubab al-Tafsir
min Ibn Kathir, Terj. Abdul Ghaffar (Bogor: Pustaka Imam al-Syafi‟i, 2001), cet. I, h. 356. 4 Sayyid Qutb. Tafsir Fi Zilal al-Qur’an, Terj. As‟ad Yasin, et. All.,(Jakarta Gema Insani,
2008), juz IV, h.32.
3
Mengingat banyaknya ayat al-Qur‟an yang membahas tentang kematian
maka peneliti membatasi dan mengklasifikasi sebagai berikut. Pertama,
membahas pengertian secara umum. Kedua, membahas ayat-ayat kematian.
Ketiga, membahas gambaran umum tentang kitab Haqā‟iq al-Tafsīr.
Berdasarkan pembatasan masalah diatas maka rumusan masalahnya adalah:
Bagaimana penafsiran tentang kematian dalam kitab Haqā‟iq al-Tafsīr karya
Imam Abī „Abdul al-Rahman Muhammad Ibn al-Husaīn Ibn Mūsa al-Ażḍī al-
Sulamī, serta ayat apa saja yang ditafsirkan.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Dengan mengacu pada beberapa rumusan serta latar belakang di atas maka
terdapat beberapa poin yang bisa diambil dari tujuan penelitian diantaranya:
a. Untuk mengetahui penafsiran tentang kematian dalam kitab Haqā‟iq al-Tafsīr
karya Imam Abī „Abdul al-Rahman Muhammad Ibn al-Husaīn Ibn Mūsa al-
Ażaḍī al-Sulamī.
b. Untuk mengetahui metode, sumber dan rujukan yang di gunakan oleh Imam
Abī „Abdul al-Rahman Muhammad Ibn al-Husaīn Ibn Mūsa al-Ażaḍī al-
Sulamī, pada kitab Haqā‟iq al-Tafsīr dalam memahami kematian.
Adapun dengan adanya penelitian ini di harapkan dapat membawa manfaat
baik secara teoritis maupun secara praktis.
1. Manfaat Teoritis
a. Tafsir sufi yang lebih dianggap sebagai takwil.
b. Untuk mengetahui dan memperdalam wawasan tentang tafsir sufi.
4
c. Menjadi pelengkap penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Gerhard
Browing.5
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini dapat diharapkan bisa menjadi rujukan dalam mata kuliah
metode pemahaman al-Qur‟an, Ulum al-Qur‟an.
D. Tinjauan Pustaka
Beberapa karya ilmiah dari tinjauan pustaka terdahulu yang berhubungan
dengan penelitian yang peneliti angkat yakni, karya Mathin Kusuma Wijaya,
skripsi tersebut dijelaskan bahwa makna dari kematian adalah proses penyucian
diri, proses manusia menyucikan diri dari aktivitas atau perbuatannya di dunia.
Sebelum melakukan penyucian tersebut manusia diharapkan melakukan taubat.
Dijelaskan pula penyucian itu terjadi tiga kali, pertama, di alam dunia, kedua, di
alam barzah, dan ketiga, di alam akhirat. Jadi, kematian adalah proses menyucikan
diri dari hal yang bersifat bathil ketika di dunia.6
Kedua karya Jazilatul Mu‟ati7 skripsi ini menjelaskan tentang; istilah yang
digunakan al-Qur‟an tentang kematian, (a) Anjuran mengingat kematian dalam al-
Qur‟an, (b) Persiapan apa saja yang harus dilakukan dalam mengahadapi
kematian. Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan skripsi ini adalah
bahwa kematian bukanlah berarti suatu kesudahan, kepunahan, tapi merupakan
langkah awal untuk kehidupan selanjutnya, karena pada hakikatnya kematian
adalah masa berpindahnya manusia dari alam dunia ke alam akhirat. Kematian
5 Gerhard Bowering. Tafsir al-Qur‟an Karya al-Sulami: Studi atas bibliografi kitab
Haqa‟iq al-Tafsir. JSQ, Vol, 1. No, 2 (2007),h. 253-270. 6 Mathin Kusuma Wijaya. Makna Kematian dalam Pandangan Jalaludin Rakhmat,
(Skripsi S1: Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, 2009). 7 Jazilatul Mu‟ati. Kematian Menurut al-Qur’an, (Skripsi S1: Fakultas Ushuluddin IAIN
Sunan Ampel Surabaya, 1999).
5
bukanlah hal yang menakutkan dan buka pula beban yang harus dilupakan. Tetapi
sebaliknya dengan melihat adanya kematian justru akan dapat menjadikan
kehidupan di dunia ini untuk menjalani keridhaan Allah Swt., sehingga dunia
merupakan jembatan penyebrangan menuju Allah Swt., Menggunakan metode
maudhu‟i yaitu pendekatan tematik dengan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan
dengan persoalan dan tema yang di bahas.
Karya Murtiningsih8 penelitian ini menguraiakan tentang kematian
menurut tinjauan tasawuf dimana kematian bagi seorang tasawuf adalah mati rasa
atau tidak mempunyai kepekaan dalam kehidupan. dan karya Gerhard Boewing9
dalam penelitian ini dikemukakan tentang al-Sulami sebagai seorang cendekiawan
sufi klasik yang cemerlang, akan tetapi penelitian ini di fokuskan pada kutipan
atau rujukan yang diambil oleh al-Sulami dalam menafsirkan kitabnya, salah satu
sufi yang paling dominan di jadikan rujukan adalah Imam Ibn „Aṭā‟.
Dari beberapa penelitian diatas peneliti memiliki persamaan dan
perbedaan, persamaan yang peneliti adalah tentang kematian, jika pada tiga karya
diatas kematian lebih kepada pengertian secara umum, maka dalam hal ini peneliti
meneliti kematian dari sumber Haqā‟iq al-Tafsīr. Adapun penelitian yang terkait
imam al-Sulami perbedaanya adalah jika penelitian sebelumnya hanya tertuju
kepada penelitian bibliografi, pada penelitian peneliti yang sekarang lebih kepada
penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan kematian. Dengan demikian penelitian
yang peneliti angkat benar-benar baru dan orisinal.
8 Murtiningsih. Hakikat kematian menurut Tinjauan tasawuf. Intizar. Vol 19. No, 2
(2013), h. 1-19. 9 Gerhard Bowering. Tafsir al-Qur’an Karya al-Sulami: Studi atas bibliografi kitab
Haqa’iq al-Tafsir. JSQ, Vol, 1. No, 2 (2007),h. 253-270.
6
E. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian ini terbagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu jenis
penelitian, sumber data, pengolahan data, dan pedoman penulisan. Adapun
rinciannya sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari suatu objek
yang dapat yang dapat diambil dan diteliti.10
2. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari dokumen
perpustakaan tertulis (library research). Adapun pengumpulannya ialah dengan
cara menelusuri kitab-kitab, buku ilmiah dan referensi tertulis lainnya.
Adapun sumber data yang diambil penulis terdapat dua macam. Pertama
data primer yang diambil dari kitab Haqā‟iq al-Tafsīr karya Imam Abū „Abdul al-
Rahman Muhammad Ibn al-Husaīn Ibn Mūsa al-Ażḍī al-Sulamī yang berjumlah
dua jilid. Sedangkan data sekundernya adalah kitab, buku, jurnal, tesis, skripsi
yang berkaitan dengan tema yang dibahas.
3. Pengolahan Data
Penelitian ini diolah dengan cara Deskriptif-Analisis, yakni mendeskripsikan
penelitian dari mulai permasalahan, teori yang digunakan serta hasil penelitian.
Adapun analisisnya adalah merupakan pengolahan masalah yang diteliti dan
menghubungkannya dengan teori yang digunakan. Masalah yang diangkat adalah
10
Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2002), h.3.
7
makna kematian, adapun untuk memahaminya penulis menggunakan kitab
Haqā‟iq al-Tafsīr karya Imam Abū „Abdul al-Rahman Muhammad Ibn al-Husaīn
Ibn Mūsa al-Ażḍī al-Sulamī sebagai alat analsisnya.
4. Pedoman Penulisan
Pedoman penulisan skripsi ini berdasarkan pada Pedoman Akademik tahun
2011/2012 Program Strata I UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang diterbitkan
oleh Biro Administrasi dan Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sedangkan mengenai transliterasi dalam penulisan skripsi ini mengacu pada
sistem transliterasi Jurnal Ilmu Ushuluddin / Hipius (Himpunan Peminat Ilmu
Ushuluddin).
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari empat Bab supaya
mempermudah penulis dalam menguraiakn skripsi ini, adapun sistematika
penulisanya adalah sebagai berikut:
Bab I yaitu pendahuluan yang menguraikan argumen tentang problematika
dan signifikansi penelitian. Pendahuluan meliputi latar belakang masalah
diangkatnya tema penelitian ini, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
Bab II Pada pembahasan bab ini peneliti membagi dalam dua poin yaitu:
Pertama, mengenai gambaran umum mengenai kematian yang meliputi: (a)
pengertian kematian secara umum (b) kematian dalam al-Qur‟an meliputi, Ajal,
Maut, wafat dan tidur. (c) Kematian menurut sufi (d) pengertian kematian
menurut kedokteran. Kedua, gambaran umum mengenai kitab Haqā‟iq al-Tafsīr.
8
(a) Sekilas kitab Haqā‟iq al-Tafsīr (b) Pro-Kontra Haqā‟iq al-Tafsīr. (c) Biograpi
Imam Abū „Abdul al-Rahman Muhammad Ibn al-Husaīn Ibn Mūsa al-Ażaḍī al-
Sulamī (d) corak pemikiran Haqā‟iq al-Tafsīr dan (e) karyanya.
Bab III peneliti menguraikan kematian menurut kitab Haqā‟iq al-Tafsīr
karya Imam Abū „Abdul al-Rahman Muhammad Ibn al-Husaīn Ibn Mūsa al-Ażḍī
al-Sulamī. Terdiri dari tiga poin utama, yakni: (a) Hakikat kematian yang meliputi
fana (b) Tidur bagian dari kematian, serta poin terakhir adalah (c) Istiqomah
sebagai solusi bagi “kematian”.
Bab IV adalah penutup yang berisi kesimpulan dan kritik serta saran.
9
BAB II
GAMBARAN UMUM
A. Gambaran Umum Kematian
Kematian bukanlah ketiadaaan dan kefanaan. Kematian adalah terputusnya
hubungan ruh dengan badan, perpisahan antara keduanya, pergantian keadaan, dan
perpindahan dari satu alam ke alam yang lain. Kematian merupakan musibah
terbesar. Allah swt. menamainya “musibah” dalam firman-Nya “Lalu kamu ditimpa
musibah kematian.” Qs al-Ma`idah/5:106.1
Kemudian dalam Qs al-Imran/3:185; “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan
mati (dzȃ`iqatul maut). Dan sesungguhnya pada hari kiamat disempurnakan
pahalamu. Barangsiapa diajauhkan dari neraka dan dimasukkan ke da2lam surga
maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan
yang memperdayakan.”
Tentang ungkapan dzȃ`iqatul maut, “meraskan mati”, dalam ayat diatas al-
Qurthubī r.a. mengatakan bahwa hal itu adalah suatu rasa. Rasa ini tidak dapat
dihindari oleh manusia maupun binatang. Ia berdalil dengan bait syair Umayyah bin
Abī ash-Shalat:
Siapa yang tak mati di masa muda
Ia pasti mati di masa tua.
Kematian itu memiliki cawan.
1 Dr. `Ali Muhammad Lagha. Perjalanan Kematian, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,
2002), h. 17. 2 Dr. `Ali Muhammad Lagha. Perjalanan Kematian, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,
2002), h. 18.
10
Dan setiap orang merasakannya.
Kematian adalah keniscayaan yang akan dirasakan seluruh mahluk hidup dan
merupakan kenyataan yang pasti, karena tidak ada mahluk yang hidup selamanya.3
Mati atau kematian secara etimologi berasal dari bahasa Arab ( موت ) bentuk isim
mashdar dari kata ( يموت – ا موت مات – ) yang artinya mati.4 Sedangkan mati
menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:
Menurut Ibn Mandzur mati adalah lawan kata dari hidup, hidup dan mati
adalah istilah yang saling berlawanan seperti halnya siang dan malam, gelap dan
terang, dingin dan panas, oleh karena itu, salah satu dari keduanya merupakan kata
yang saling berlawanan.5 Sedangkan menurut Quraish Shihab kematian ibarat anak
panah lepas dari busurnya, akan terus mengejar sasarannya, begitu ia mengenai
sasaran, saat itu pula kematian yang ditujunya tiba.6
Akan tetapi menurut Sudirman Teba kematian berasal dari kata mati yang
memiliki makna dasar padam, diam, dan tenang, maksudnya sesuatu yang tidak
memiliki ruh. Jika tenang merupakan makna asal dari kematian maka gerak adalah
makna dari kehidupan. Kehidupan manusia timbul pada saat ruh ditiupkan pada
jasad janin dalam rahim ibunya. Sedangkan kematian adalah terputusnya hubungan
dan terpisahnya roh dengan badan. Kematian juga bermakna bergantinya keadaan
dan berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain. 7 Dalam pemahamannya
3 Pada pemaparan ini berdasarkan penelusuranya menggunakan beberapa ayat al-Qur‟an dari
sūrāh al-„Imran/3: 185 sūrāh al-Nisā/4: 78 Sudirman Teba. Menuju Kematian yang Khusnul
Khatimah: Kiat Sukses Menjemput Maut (Ciputat: Pustaka irVan, 2006), h. 21. 4Ahmad Warson Munawwir. al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h.1365.
sedangkan 5 Ibn Mandzur. Lisanul ‛Arab (Lebanon: Dar al-Khotob al-Ilmiyah, 2009), h.103.
6 M. Quraish Shihab. Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga dan Ayat-ayat Tahlil,
(Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 13. 7 Sudirman Teba. Menuju Kematian yang Khusnul Khatimah: Kiat Sukses Menjemput Maut
(Ciputat: Pustaka irVan, 2006), h. 11.
11
kematian dapat dibagi kedalam beberapa kelompok yakni:
1. Kematian Menurut al-Qur’an
Kematian dalam al-Qur‟an setidaknya terdiri dari tiga pengertian yakni, Ajal,
Maut dan Wafat. Adapun uraiannya sebagai berikut.
a. Ajal
Ajal di dalam al-Qur‟an termasuk dalam bentuk Nakirah/invinitif biasanya
kata ini akan bersanding dengan kata tsumma sebagaimana dalam Qs al-An‟am/6: 2,
dalam kaidah kebahasaan apabila kata yang sama berulang dalam bentuk nakirah,
maka kata pertama berbeda artinya dengan kata yang kedua, hal ini menimbulkan
pengertian ajal dalam dua posisi yakni ajal tentang kematian dan ajal tentang
kebangkitan menuju ke-Esa-an Allah Swt.8
Pada pembagian ajal atas kedua macam tersebut, ulama memberikan pendapat
terkait ajal baik secara umum yang tidak dapat diketahui kapan datangnya dan ajal
yang secara khusus atau ajal yang berada di sisi Allah swt dan ini tidak dapat
berubah berdasar pengaitannya dengan kata di sisi-Nya. Hubungan ajal pertama
dengan ajal kedua serupa dengan hubungan antara sesuatu yang mutlak dengan
sesuatu yang bersyarat. Sesuatu yang bersyarat bisa saja tidak terjadi jika syarat-
syaratnya tidak terpenuhi, berbeda dengan sesuatu yang tanpa syarat.
Ajal dalam pengertian ini sebagaimana yang terdapat dalam Qs al-Ra‟du/13:
38-39, ulama berpendapat bahwa ajal yang ditentukan disisi-Nya adalah apa yang
ada dalam Ummul Kitab itu, sedangkan ajal pertama yang tidak disertai kata-kata
„indahu, disisi-Nya adalah ajal yang ditentukan tetapi dapat dihapus atau tidak oleh
Allah Swt., Ini oleh sebagian ulama dikatakan sebagai lauh al-mahwa wa al-itsbat
8 M. Quraish Shihab. Perjalanan Menuju Keabadian Kematian Surga Dan Ayat - Ayat Tahlil
(Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 12-14.
12
yakni lauh yang tetap dan dapat juga berubah. Karena itu bisa jadi ajal pertama
berbeda dengan ajal kedua, dan bisa terjadi juga jika tidak ada faktor penghalang.
Ajal kedua sepenuhnya sama dengan ajal pertama, namun demikian yang pasti
dan tidak berubah adalah ajal yang ditetapkan Allah Swt., dalam ummul kitab
tersebut. Sebagaimana Imam Thabathaba‟i memberikan pandangan dengan
mengumpamakan sinar matahari. Manusia dapat mengetahui bahwa malam akan
berakhir beberapa saat lagi dan matahari akan terbit menyinari bumi, tetapi apa
yang diketahui bisa saja tidak terjadi demikian. Bila ada awan yang menutupi atau
karena posisi bulan terhadap matahari menghalangi sampainya cahaya sang surya
ke bumi (gerhana) atau faktor lainnya. Adapun jika matahari telah berada di ufuk
dan tidak ada faktor-faktor penghalang menyertai kehadirannya, maka ketika itu
pastilah ia menyinari permukaan bumi.9
Dalam istilah dari pendapat lain ajal dapat dikelompokan menjadi Ajal Maqdi
dan Ajal Musamma yakni. Pertama, Ajal Maqdi adalah ialah ajal yang sedang
dijalani atau dilalui atau ajal yang dijatuhi hukuman padanya. Disebut juga dengan
ajal yang bertalian dengan perbuatan manusia itu sendiri dengan dirinya atau
dengan orang lain. Seperti contoh, terlibat dalam suatu perkelahian atau dilibatkan
dalam suatu pertempuran, sehingga ia mengalami ajalnya yang membawa kepada
ajal musamma. Karena itulah Allah Swt., memerintahkan agar manusia itu
hendaknya menjaga diri atau selalu waspada atau menjauhkan diri dari sesuatu hal
yang membawanya kepada kebinasaan.10
Dua, ajal musamma atau disebut juga ajal mubram, yaitu ajal yang termaktub
9 Murtiningsih. "Hakikat Kematian Menurut Tinjauan Tasawuf." Intizar. Vol. 19, No. 2,
(2013): h. 323-339. 10
Peneliti sampai pada saat ini berpendapat bahwa beberapa cendekiawan mengambil rujukan
dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan beberapa hadis terkait dengan silaturahmi.
Lihat.
13
putus pastinya dilakukan terhadap diri tiap- tiap jiwa. Ajal ini tidak ada tempat
pelarian atau perlindungan dan tidak bisa dimajukan atau dimundurkan, tapi tepat
pada saatnya telah ditentukan oleh Allah Swt., dan hanya diketahui oleh Allah Swt.
Selain ajal maqdi dan musamma terdapat pula ajal terhadap individu dan ajal
terhadap kelompok atau masyarakat, contoh dalam ajal individu adala ketika orang
sudah sampai pada masa tua sedangkan contoh ajal kepada masyarakat adalah
runtuhnya suatu kerajaan atau pemerintahan.
b. Maut
Maut dapat diartikan dengan ketiadaan hidup atau lawan kata hidup, dalam
hidup ditandai dengan rasa, gerak dan sadar sedangkan maut tidak lagi merasakan
rasa, gerak dan sadar. Kata maut dalam al-Qur‟an berasal dari lafadz ( موت ) bentuk
isim mashdar dari kata ( يموت – ا موت مات – ) yang artinya mati.11
Maut juga dikatakan sama dengan tidur, seperti do`a yang biasa dibaca oleh
seseorang ketika bangun tidur adalah, “Segala puji bagi Allah Swt., yang
menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepadaNya kebangkitan”.
(HR Bukhari dan Muslim). Yang dimaksudkan dengan menghidupkan adalah
membangunkan dari tidur, sedangkan mematikan adalah menidurkan. Sedang do`a
beliau sebelum tidur adalah “Ya Allah dengan nama-Mu aku hidup dan dengan
nama-Mu aku mati” (HR Bukhari). Seseorang yang tidur diibaratkan layangan
terbang jauh ke angkasa, tapi talinya dipegang oleh pemain. Sedangkan yang mati.
Adalah layangan yang telah putus talinya, sehingga ia terbang tidak dapat kembali
lagi.
c. Wafat
11
Ahmad Warson Munawwir. al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1572.
14
Wafat menurut Warson adalah bentuk lain dari kata maut12
adapun bagi
Murtadha Muthahari kata wafat terdiri dari tawaffa dan istîfa menerima segala
sesuatu secara sempurna, maksudnya adalah kata tawaffa dan wafat berasal dari
akar kata yang sama. Kata tawaffa artinya mengambil sesuatu atau menerima secara
sempurna. Misalnya ada orang yang berhutang dan mengembalikan utangnya secara
sempurna maka itu disebut istiifa.
Kata istiifa juga berasal dari kata ini. Jika seseorang menerima seluruh
piutangnya dan bukan hanya sebagian disebut dengan tawaffa atau istiifa. Hal ini
berarti bahwa tawaffa dan istiifa tidak berarti hilang dari tangan, sebaliknya
menerima segala sesuatu secara sempurna. al-Qur`an senantiasa menyebut
“kematian” dengan “menerima secara sempurna”. Oleh karena itu al-Qur`an
mengatakan Allah Swt., menerima berbagai jiwa pada saat kematiannya. Allah
Swt., menerima berbagai jiwa itu secara utuh dan sempurna saat kematiannya. Jadi
jelaslah bahwa kematian adalah wafat, kematian bukan berarti hilang. Mati ialah
dipindahkan, diserahkan dari satu alam ke alam lain. Malaikat-malaikat Ilahi datang
dan menerimanya, baik dengan penerimaan yang baik maupun penerimaan yang
buruk.13
sedangkan Quraish Shihab berpendapat kata ini berasal dari kata mutawafika
sebagaimana yang terdapat dalam Qs al-„Imran/3: 55 bermakna sempurna. Dalam
memahami wafat sebagai sebuah kematian beberapa aliran berbeda pendapat seperti
perbedaan pendapat tentang ihwal kematian normal dan pembunuhan. Apakah
orang yang mati terbunuh menyempurnakan umur yang dianugerahkan Allah Swt.,
kepadanya atau si pembunuh yang mengakhiri umur tersebut menjadikan umur itu
12
lafadz ) توفي (, ) الوفاة( yang berarti wafat, atau mati. Lihat. Ahmad Warson Munawwir. al-
Munawwir, h. 1572. 13
Lihat. Murtadha Muthahari. Pelajaran Penting Al-Qur`an (Jakarta: Lentera Basritama,
2002), h. 139-140.
15
belum sempurna.
Kelompok Mu`tazilah yang terkenal sangat rasional berpendapat bahwa si
pembunuh mengakhiri umur seseorang, bukan dalam arti nyawanya melayang
sebelum tiba ajalnya, tetapi dalam arti ajalnya telah datang sebelum sempurna usia
yang disiapkan oleh Allah Swt., untuknya.14
Pendapat ini ditolak oleh kelompok ulama yang menilai bahwa kematian,
apapun sebabnya adalah kesempurnaan umur seseorang. Kematian akibat
pembunuhan, kecelakaan, atau sakit semuanya adalah wafat dan kesemuanya telah
memenuhi usia yang ditetapkan oleh Allah Swt., tidak berlebih atau berkurang. Dari
sini penganut pandangan ini berkata bahwa kata mutawaffika berarti mengambil
engkau secara sempurna, yakni melindungimu, sehingga mereka tidak akan
melukaimu apalagi mencelakakan dan membunuhmu (Nabi Isa as).15
d. Tidur
Diksi dalam al-Qur‟an ada banyak ayat yang membahas tentang tidur. Tidur
dinyatakan dengan lafal an-naum, ar-ruqud, as-sinah, dan an-nu’as. Lafal an-naum
ini dalam al-Qur‟an terulang sebanyak dua belas kali yang tersebar dalam sepuluh
surah, antara lain dalam Qs al-An‟am/6: 60, Qs al-A‟raf/7:79, Qs al-Kahfi/18: 18-
19, Qs al-Zumar/39: 42, Qs al-Zariyat/51: 17, Qs al-Qalam/68: 19, Qs al-Rum/30,
Qs al-Baqarah/2: 25, Qs al-Furqan/25: 47, Qs al-Naba/78: 9, serta tidur kaitannya
14
Atas dasar pemahaman inilah sehingga Az-Zamakhsari, salah seorang tokoh dan penafsir
dari aliran tersebut berpendapat bahwa firman Allah Swt., “Sesungguhnya Aku akan
mewafatkanmu” berarti sesungguhnya Aku (Allah) akan menyempurnakan umurmu sehingga
engkau tidak akan terbunuh oleh mereka, tetapi engkau akan hidup dalam usia yang Aku tetapkan,
tidak berkurang sedikitpun, baik kekurangan itu akibat pembunuhan maupun dengan kematian
normal sebelum waktu yang Allah Swt., tetapkan. 15
Asya`rawi yang memilih pendapat terakhir ini menjelaskan lebih rinci maksud ayat.
Menurutnya, ada perbedaaan antara kematian normal dan pembunuhan. Memang, keduanya
mengakibatkan berakhirnya hidup duniawi, tetapi pembunuhan mengakibatkan rusaknya tubuh
manusia oleh manusia, sedang kematian bukan disebabakan oleh pengrusakan tubuh oleh manusia.
Manusia yang mati normal tubuhnya utuhorgan-organnya sempurna. Sedangkan yang terbunuh, ia
mati karena salah satu organnya dirusak oleh makhluk Allah Swt.,
16
dengan mimpi, terulang 15 kali, masing-masing; Qs al-Anfal/8: 43, Qs
Yusuf/12:4,5,6, dan 36, 43, 44, dan 100, Qs al-Hajj/22: 5, Qs al-Saffat/37: 102,103,
104, dan 105, Qs al-Fath/48:27 dan Qs al-Tur/52: 32.
Tidur disebut kematian kecil, karena orang tidur tidak hidup di alam waktu,
kesadaran, dan persepsi, melainkan di alam yang kedap waktu. Jika tidak
dibangunkan, orang tidur akan memasuki kematian besar.
Seseorang yang tidur tidak merasakan perjalanan waktu, karena saat itu
ruhnya sedang berada di alam arwah yang tidak ada perjalanan waktu di dalamnya.
Salah satu contohnya adalah para pemuda Ashabul Kahfi yang tidur selama 300
tahun dan ketika bangun mereka tidak tahu berapa lama mereka telah tidur, ini
disebabkan karena ketika tidur ruh mereka meninggalkan jasadnya. Sehingga
mereka tidak tahu apapun yang terjadi di sekitar mereka.
Keluarnya ruh dari jasad ini merupakan peristiwa kematian. Oleh karena itu,
di saat seseorang sedang tidur berarti dia sedang mengalami kematian kecil. Sebab
ruhnya telah keluar dari jasadnya, hanya saja ruh dan jasadnya masih berhubungan.
Orang yang tidur bisa disebut sebagai orang mati tentu saja bukan dalam
pengertiannya yang hakiki. Seperti makna dalam do‟a16
menjelang tidur dan do‟a
bangun tidur yang diajarkan Rasulullah Saw., jelas-jelas menyamakan tidur itu
dengan mati.
2. Kematian menurut kedokteran
Kematian dalam ilmu kedokteran atau medis dipelajari dalam suatu disiplin
16
Lihat Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy al-Naisaburi. Sahih Muslim, Juz. 4,
(Beirut: Dar al-Kutb, 1992), h. 2083.
17
ilmu yang disebut dengan ilmu thanatologi17
kematian dalam ilmu kedokteran ialah
hilangnya secara permanen semua tanda-tanda kehidupan pada setiap waktu setelah
kelahiran hidup, yakni lenyapnya fungsi-fungsi hidup sesudah dilahirkan, tanpa
kemungkinan resusitasi.18
Tanda Tanda-tanda kehidupan yang dimaksud dalam definisi tersebut ialah
tanda kehidupan manusia sejak pertama kali dikeluarkan secara sempurna oleh
ibunya, yaitu: jantung berbunyi, tali pusat berdenyut, atau otot serat lintang nyata
bergerak. Selain pengertian tersebut, para ahli berpendapat bahwa hidup
didefinisikan sebagai berfungsinya berbagai organ vital, yakni paru-paru, jantung
dan otak sebagai satu kesatuan yang utuh, yang ditandai oleh adanya konsumsi
oksigen.19
Adapun kematian dari ilmu kedokteran sendiri minimal terbagi atas tiga
jenis, yakni. Pertama, kematian individu, kematian sel atau kematian dapat
diperjelas lagi menjadi berhentinya secara permanen fungsi berbagai organ vital
(jantung, paru-paru dan otak) sebagai satu kesatuan yang utuh yang ditandai oleh
berhentinya konsumsi oksigen.20
Kedua, kematian suri (matri suri) mati suri adalah suatu keadaan di mana
proses vital turun ke tingkat yang paling minimal untuk mempertahankan
17
Ilmu thanatologi merupakan cabang dari ilmu kedokteran forensik yang mempelajari
kepentingan peradilan dan penegakan hukum. Lihat. Abdul Mun‟im Idris dan Agung Legowo
Tjiptomartono. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Proses Penyidikan ( Jakarta: Sagung
Seto, 2008), h. 1. Thanatologi berasal dari dua buah kata, yaitu “thanatos” yang berarti mati dan
“logos” yang berarti ilmu. Jadi, thanatologi adalah ilmu yang mempelajari segala macam aspek yang
berkaitan dengan mati. Lihat. Sofwan Dahlan. Ilmu Kedokteran Forensik: Pedoman Bagi Dokter dan
Penegak Hukum (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007), h. 47. 18
Resusitasi adalah usaha menghidupkan kembali dengan pernapasan buatan atau pijat dan
rangsangan jantung. Lihat. Ahmad A.K. Muda. Kamus Lengkap Kedokteran (Surabaya: Gitamedia
Press, 2003), h. 231. menurut Arjatmo. death is the permanent dissaperance of all evidence of life of
any time after live birth has taken place, post natal cessation of vital function without capability of
resuscitation. lihat. Arjatmo Tjokronegoro dan Sumedi Sudarsono. Metodologi Penelitian Bidang
Kedokteran (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999), h. 111. 19
Arjatmo Tjokronegoro dan Sumedi Sudarsono. Metodologi Penelitian Bidang Kedokteran
(Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999), h. 92. 20
Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 12.
18
kehidupan, sehingga tanda-tanda kliniknya tampak seperti sudah mati. Keadaan
seperti ini sering ditemukan pada orang yang mengalami acute heart failure,
tenggelam, kedinginan, anestesi.21
Ketiga, matinya batang otak, kematian pada dekade belakangan ini semakin
bertambah, yakni akibat dari semakin canggihnya teknologi. Kemajuan dalam
teknologi medis telah melahirkan kontroversi mengenai kriteria apa yang
seharusnya digunakan untuk menentukan seseorang tersebut mati. Karena pada saat
ini, dalam dunia kedokteran modern yang juga dijadikan acuan untuk menentukan
kematian adalah matinya batang otak (brain Stem death).
Untuk kematian batang otak sedikitnya ada delapan tanda yaitu, terhentinya
denyut jantung, terhentinya pergerakan pernapasan, kulit terlihat pucat,
melemahnya otot-otot tubuh, secara klinis tidak ditemukan refleks-refleks,
Elektroensefalografi (EEG)22
mendatar, nadi tidak teraba dan suara pernapasan
tidak terdengar pada auskultasi.23
3. Kematian menurut Sufi
Dalam kajian tasawuf kematian itu belum tentu berarti kematian fisik. Karena
Mati dalam hal ini dikaitkan dengan kematian hati, di mana hati menurut al-Ghazali
Dalam pandangan al-Ghazali pengertian Qalb itu ada dua. Pertama, qalb dalam
pengertian fisik, yaitu segumpal daging sebagai organ tubuh yang terletak pada
bagian kiri rongga dada dan merupakan sentral peredaran darah, dimana darah itu
membawa kehidupan. Hati dalam kategori ini adalah hati biologis yang menjadi
21
sedangkan untuk pengertian dari Anestesi adalah hilangnya rasa pada tubuh yang
disebabkan oleh pengaruh obat bius; keadaan mati rasa. Lihat: Ahmad A.K Muda, Kamus Lengkap
Kedokteran, h. 34. 22
EEG adalah sebuah pemeriksaan penunjang yang berbentuk rekaman gelombang elektrik
sel saraf yang berada di otak yang memiliki tujuan untuk mengetahui adanya gannguan fisiologi
fungsi otak. 23
Peneliti dalam mengambil tanda-tanda kematian menurut ahli medis menggunakan kamus
ilmu kedokteran yang ditulis oleh Ahmad A.K Muda dan diterbitkan oleh Gramedia tahun 2003.
19
objek kajian para ahli kesehatan. Kedua, qalb dalam pengertian lathifun
Rabbaniyah, ruhaniyah, sesuatu yang halus yang memiliki sifat ketuhanan dan
keruhanian, dengannya seseorang merasa sedih, gembira, cinta, marah, takut dan
lain-lain.24
Pandangan terkait Qalb atau hati bagi Rahmat bisa di definisikan dengan dua
hal utama yakni Qalb dalam arti fisik biasa disebut dengan jantung. Dlam
kaitannya dengan hal inilah Nabi bersabda: ”Di dalam tubuh itu ada mudghah
(segumpal daging), apabila ia baik, maka baiklah seluruh tubuh dan apabila ia
rusak, maka rusaklah seluruh tubuh itu, Ketahuilah mudghah itu adalah qalb”.
Orang sering menerjemahkan qalb di sini sebagai “hati” sehingga mereka berkata :
”Jika hati kita bersih maka seluruh tubuh akan bersih”. Padahal sebenarnya yang
dimaksud di sini adalah hati dalam bentuk jasmani karena Nabi menyebutnya
segumpal daging.25
Bagi Quraish Shihab, Qalb atau hati menjelaskan bahwa, melalui debu tanah
dan Ruh Ilahi, Allah menganugerahkan manusia empat daya; Pertama, daya tubuh
yang mengantarkan manusia berkekuatan fisik. Organ tubuh dan panca indra
berasal dari daya ini, Kedua, daya hidup yang menjadikannya memiliki kemampuan
mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan serta mempertahankan
hidupnya dalam menghadapi tantangan. Ketiga, daya akal yang memungkinkannya
memiliki pengetahuan dan teknologi. Keempat, daya kalbu yang memungkinkannya
bermoral, merasakan keindahan, kelezatan iman dan kehadiran Allah Swt., Dari
daya ini, lahir intuisi dan indra keenam. Apabila keempat daya ini digunakan dan
dikembangkan dengan baik, kualitas pribadi akan mencapai puncaknya, yaitu suatu
24
Lihat. Khozin Abu Faqih. Manajemen Kematian,Bagi Mereka Yang Merindukan Kematian
Mulia (Bandung: Syamil, 2004), h. 14. 25
Jalaluddin Rahmat. Memaknai Kematian Agar Mati Menjadi Istirahat Paling Indah
(Depok: Pustaka Iiman, 2008), h. 69-70.
20
pribadi yang beriman, berbudi pekerti luhur, memiliki kecerdasan, ilmu
pengetahuan, ketrampilan, keuletan serta wawasan masa depan.26
Dari uraian terkait kematian dari bidang tasawuf maka bisa saja seorang
manusia dikatakan telah mati walaupun jasadnya masih hidup. Karena dalam
tasawuf seseorang dapat dikatakan telah mati, jika seseorang telah kehilangan sifat-
sifat kemanusiaannya.27
B. Gambaran Umum Kitab Haqā’iq al-Tafsīr
1. Sekilas Kitab Haqā’iq al-Tafsīr
Kitab Haqā‟iq al-Tafsīr atau yang lebih dikenal dengan tafsir al-Sulami hanya
ada satu jilid besar, dan terdapat dua salinan yang ada di perpustakaan al-Azhar,
Mesir. Kitab ini diterbitkan pada tahun 1986 di Beirut, Libanon. Manuskrip dari
Haqā‟iq al-Tafsīr termasuk yang di lindungi di Gazi Hursrev-Borgova Bibioleteka
di Sarajevo, Bosnia. Manuskrip kitab ini masih menunggu publikasi.28
Kira-kira ada 50 manuskrip yang telah di salin pada pertengahan abad ke 6,
sekitar 150 tahun setelah al-Sulami wafat. Pada abad 7 terdapat manuskrip dalam
dua versi, yaitu versi panjang dan pendek. Sedangkan pada abad 9 terdapat juga
manuskrip dalam bentuk tradisonal.29
Kitab Haqā‟iq al-Tafsīr mencantumkan anggapan baru dan sumber asli materi
tentang sejarah sufi yang tidak ditemukan dalam kitab manapun. Selain itu kitab ini
26
M. Quraish Shihab. Lentera Hati (Bandung: Mizan, 2008), h. 103. 27
Kematian ini lebih kepada kematian hati, hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan
Abu Khuroiroh r.a, Rasullulah Saw., bersabda “Sesungguhnya orang mukmin itu jika berbuat dosa
maka terbentuklah titik hitam dihatinya. Apabila ia bertobat, meninggalkan dosa dan beristighfar
maka mengkilatlah hatinya, jika ia menambah dosa nya maka bertambahlah bintik hitamnya sampai
menutupi hatinya”. Lihat. Murtiningsih. "Hakikat Kematian Menurut Tinjauan Tasawuf." Intizar.
Vol. 19, No. 2, (2013): h. 323-339. 28
Gerhard Bowering. The Minor Quran Commentary of Abu Abdul Rahman al Husyain al-
Sulami (Beirut: Dar al-Machreq Sarl Editeur, 1995), h. 10. 29
Gerhard Bowering. The Minor Quran Commentary of Abu Abdul Rahman al Husyain al-
Sulami, (Beirut: Dar al-Machreq Sarl Editeur, 1995) h. 13.
21
adalah sebagai sebuah pendapat, maka al-Sulami banyak menggunakanm pendapat
para ulama sufi diataranya Ja‟far Ibn Muhammad al-Shadiq, Ibnu Atho‟illah al-
Sukandari, Sahal bin Abdillah. Dan pendapat-pendapat yang digunakan al-Sulami
adalah pendapat para ulama adab 2-4.30
2. Pro-Kontra Haqā’iq al-Tafsīr
Kitab Haqā‟iq al-Tafsīr merupakan kitab yang secara umum sulit dipahami
oleh publik sebagaimana yang di utarakan oleh penulisnya di dalam muqadimmah.
al-Sulami bermaksud mengumpulkan pandangan para tokoh yang termasuk ahli al-
haqiqa tentang al-Qur'an. sebagaimana orang lain telah menyusun banyak karya
yang menampilkan ilmu-ilmu yang termasuk dalam dimensi zhahir al-Qur'an seperti
fawa'id, musykilat, ahkam, i'rab, lughah, mujmal dan mufassar, nasikh mansukh
dan lainnya.31
Hal ini menjadikan Haqā‟iq al-Tafsīr sebagai kitab yang berisi penjelasan
makna ayat-ayat al-Qur'an di luar kategori proses pengambilan makna secara i'tibari
seperti yang berlaku dalam tafsir. Belum lagi, penilaian yang beragam terhadap
figur-figur sufi yang dimuat pandangan-pandangannya di dalam penilaian terhadap
metode penafsiran yang dilakukan oleh para sufi itu, di mana setiap individu
memiliki keunikannya sendiri, tetapi juga menyertakan penilaian terhadap aspek
kepribadian mereka dari yang paling taat dan salih sampai kepada beberapa pribadi
30
Gerhard Bowering. The Minor Quran Commentary of Abu Abdul Rahman al Husyain al-
Sulami. (Beirut: Dar al-Machreq Sarl Editeur, 1995), h. 17. 31
Abu Abd al-Rahman al-Sulami. Haqā’iq al-Tafsīr. (Beirut:Dar al-kutun al-Ilmiyya,2002),
vol. i, h.19-20.
22
yang dianggap nyeleneh karena pernyataan-pernyataannya yang samar-samar
(syathahiyyat).32
Dalam hal ini selain memuat padangan Ja'far al-Sadiq, Dhu al-Nun al-Misri,
Junayd, Sahl al-Tustari, Ibn Atha al-Baghdadi, Abu Bakr al-Wasiti, Fudhayl b.
Iyadh, serta Shibli, tuduhan yang memberatkan kitab ini adalah ketika al-Sulami
juga memuat pandangan-pandangan Abu Manshur al-Hallaj, seorang sufi martir
yang mati digantung di tiang salib karena pandangan-pandangan wahdat al-syuhud,
dan aktivitas dakwahnya yang mendukung pemeberontakan Qaramithah terhadap
kekhalifahan Abbasiah.33
Meskipun begitu, adalah sangat mungkin bila kritik pedas al-Wahdidi dan Ibn
Shalah ditujukan bukan untuk mengahakimi penafsiran sufi yang telah dikumpulkan
oleh al-Sulami, tetapi lebih sebagai peringatan keras kepada teman sejawat yang
masih sesama penganut mazhab Syafi'i untuk tidak memasukkan karyanya sebagai
sebuah tafsir, yang nampaknya telah mengalami penyempitan makna seperti yang
diungkap di muka.34
Bahwa metode periwayatan tanpa menyertakan sanad lengkap sebenarnya
baru dianggap sebagai kesalahan prosedur ketika isi matan hadis yang
dikandungnya memang berkaitan dengan aspek ibadah yang mengandung unsur
legalitas atau teologis yang memerlukan argumentasi naqli yang didukung oleh
kesahihan riwayat.
32
Uraian ini penulis ambil dari materi yang dibawakan oleh Anwar Syarifuddin, MA pada
seminar Menimbang Otoritas Sufi dalam menafsirkan al-Qur‟an pada Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Maret 2018. 33
Kisah peristiwa ini secara persis dikutip oleh Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq
Bain al-Firaq, lihat kitab h. 199. Kesepakatan mayoritas ulama Baghdad di masa khalifah al-
Muqtadir Billah tentang kekufuran al-Hallaj hingga ia dibunuh dengan cara disalib. 34
Kenneth Honerkamp. Abu Abdul Rahman al-Sulami, On Sama` ectasy and dance. (Jurnal of
The History of Sufisme, 2003), h.7
23
Sementara pesan-pesan moral yang menyangkut aspek adab atau etika, seperti
juga halnya mau'idhah yang baik, tidak begitu mensyaratkan kesahihan sanad
karena banyak hadis yang berisi mau'idhah hasanah tetap bisa ditrima dan
diamalkan meskipun diriwayatkan melalui sanad yang lemah (dhaif). Oleh
karenanya, sebagaimana Khatib al-Baghdadi dan Subki yang menilai al-Sulami
sebagai perawi yang tsiqat, persoalan penghilangan sanad dalam proses penukilan
pandangan-pandangan yang berkaitan dengan konsepsi etika para sufi dalam
memahami al-Qur'an bukan menjadi problematika utama yang menjadikan
penafisrannya dikritik pedas oleh kalangan muhadditsun, seperti diwakili oleh al-
Wahidi dan Ibn Shalah.
Sebagaimana al-Sulami juga tidak meyakini pandangan yang dinukilkannya
sebagai tafsir dalam arti penjelasan tentang makna yang dikehendaki Allah Swt.,
dari ayat-ayat al-Qur'an, Ibn Shalah memberikan jawaban dalam fatwanya, "...Imam
Abu al-Hasan al-Wahidi, seorang mufassir al-Qur'an, menyatakan bahwa Abu Abd
al-Rahman al-Sulami telah menyusun Haqā‟iq al-Tafsīr. Jika dia meyakininya
sebagai tafsir, maka dia telah kafir. Saya berpendapat bahwa ini sangat diragukan
datang dari orang yang dianggap tsiqat dalam kalangan ahli hadis”.
Jika ia mengungkapkan penjelasan semacam itu, maka dia semestinya tidak
memasukkannya sebagai tafsir, atau penjelasan apapun yang berkaitan dengan ayat-
ayat al-Qur'an, karena hal itu sama saja dengan cara yang ditempuh oleh kelompok
Bathiniyyah..."35
Oleh karena itu, kenyataan bahwa al-Sulami sendiri tidak meyakini apa yang
diungkapkannya di dalam Haqā‟iq sebagai tafsir cukup memberi excuse baginya
35
Kenneth Honerkamp. Abu Abdul Rahman al-Sulami, On Sama` ectasy and dance. (Jurnal of
The History of Sufisme, 2003), h.7
24
dari tuduhan bahwa ia telah bertindak melampui batas keimanan. Tuduhan kufur
baru dikenakan bila ternyata ia memang menjalankan metode yang ditempuh
kelompok Bathiniyyah. Sa'd al-Din al-Taftazani (w.722/1390) memberikan
penjelasan dalam syarh Aqa'id al-Nasafiyah, "Kaum Bathiniyyah dijuluki dengan
sebutan itu karena mereka menyandarkan interpretasi terhadap teks al-Qur'an bukan
melalui indikasi yang tertuang dalam makna zhahir, tetapi dengan mengambil
makan batin yang hanya diketahui oleh imam Shi'ah yang digelari dengan julukan
para mu'allim."36
Tindakan yang memalingkan makna zhahir kepada makna batin yang
dilakukan kalangan Bathiniyyah ini, menurut Taftazani, dianggap sebagai tindak
kekufuran karena maksud mereka sebenarnya adalah menolak syariah secara
keseluruhan. Sebuah penjelasan yang sangat gamblang, yang sasaran sebenarnya
berada di luar kelompok sunni, terutama karena kelompok Bathiniyyah memiliki
anutan ideologis yang berbeda untuk menolak syari'ah dengan bersembunyi di balik
penafsiran batin.
3. Profil Singkat Imam Abū ‘Abdul al-Rahman Muhammad Ibn al-Husaīn
Ibn Mūsa al-Ażḍī al-Sulamī
Nama lengkapnya adalah Abū „Abdul al-Rahman Muhammad Ibn al-Husaīn
Ibn Mūsa al-Ażḍī al-Sulamī.37
Sedangkan menurut Mahjuddin nama lengkap al-
Sulami adalah Abi Abdi al-Rahman Muhammad bin Husayn bin Muhammad bin
36
Taqiy al-Din Ibn Shalah, Fatawa, Kairo: Idara Thaba'a al-Muniriyya,1438 H, h.29 37
Ia hidup dalam sebuah keluarga yang sangat taat bergama. Bahkan kedua orang tuanya di
kenal sebagai ulama dan Sufi yang masyhur di Khurasan. Ketika ia berusia 15 tahun, ayahnya
Husain Ibn Muhammad Ibn Musa al-Azdi, wafat 348 H/958 M. Ia kemudian diasuh oleh nenek dari
pihak ibunya. Dan kemudian pendidikannya diambil alih oleh kakeknya Abu 'Amr Ismail Ibn
Nujayd al-Sulami (w. 360 H/971 M). Lihat. Kenneth HONERKAMP. “ABÛ „ABD AL-RAHMÂN
AL-SULAMÎ (D. 412/1201) ON SAM„ECTASY and DANCE” Journal of the History of Sufism,
4 (2003), h. 1-13.
25
Musa al-Sulami al-Azdi, lahir di Khurasan Iran lahir pada 16 April tahun 325
H/937 M dan wafat pada bulan Sya'ban pada 3 november 412 H/1012 M..38
al-Sulamī termasuk keturunan suku Arab suku Azd b. Ghawts dari garis
ayahnya, dan Sulaym b. Mansur dari garis ibu. beberapa ulama terkenal yang
termasuk dalam garis keturunan ibunya adalah Ahmad b. Yusuf b. Khalid al-
Naisaburi, seorang ahli hadis; dan Abu Amr Isma'il b. Nujayd (w.360 H/971 M)
yang selain ahli hadis juga seorang tokoh sufi abad ke-4 H.39
Ibn Nujayd inilah yang pertama kali menanamkan pengaruhnya di dalam
perkembangan intelektual al-Sulamī. Memulai periwayatan hadis dari Ibn Nujayd,
al-Sulami dikenal sebagai seorang yang tsiqat yang menjadi sumber bagi Hakim al-
Naisaburi (w.405/1014), al-Qusyairi, Abu Bakr al-Bayhaqi (w.458/1066) dan Abu
Nu'aym al-Isfahani.40
Sejak usia delapan tahun ia sudah mendalami hadis bahkan kemudian
meriwayatkannya. Ia mempelajari hadis dari beberapa guru seperti Syekh Abu
Bakar As-Sibhghi dan Imam Abu Nua‟im al-Isbahani, pengarang kitab mengenai
tasawuf, “Hilyatul Awliya”. Kepiawaiannya dalam ilmu hadis menjadikan imam al-
Sulami sebagai rujukan banyak ulama.41
Oleh karena itu al-Sulami terkenal sebagai
seorang pakar hadis, guru para sufi, dan pakar sejarah. Dia seorang syekh tariqah
yang telah dianugerahi penguasaan dalam berbagai ilmu hakikat dan perjalanan
38
Mahjuddin. Akhlak Tasawuf II (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h. 41. 39
Mahjuddin. Akhlak Tasawuf II (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h. 41. 40
M. Anwar Syarifuddin. “Menimbang Otoritas Sufi dalam menafsirkan al-Qur‟an” Jurnal
Studi AGAMA DAN MASYARAKAT vol. 1, no.2 Desember 2004, Jurnal ini dikelola oleh Pusat
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) STAIN Palangka Raya Kalimantan Tengah. 41
Para ulama tersebut antara lain: Imam Al-Hakim, pengarang kitab Al-Mustadrak, Imam Al-
Qusyairi, pengarang kitab Al-Risalah Qusyairiyah, Imam Al-Bayhaqi, Abu Said Abu Ramish, Abu
Bakr Muhammad ibn Yahya ibn Ibrahim Al-Muzakk, Abu Saleh Al-Muadhdhin, Abu Abdillah Al-
Qasim ibn Al-Fadl ibn Ahmad Al-Thaqafi Al-Jubari, Ahmad ibn Muhammad ibn Abd. Al-Wahid
Al-Wakil Al-Munkadiri, Al-Qadi Ahmad ibn Ali ibn Al-Husyain Al-Tawwazi, Abu bakar Ahmad
ibn Ali ibn Abdillah Al-Shirazi, Abu Hamid Ahmad ibn Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi, dan Abu
Muhammad al-Juwaini.
26
tasawuf.42
Pada abad ke-3 dan ke-4 H, mengalami puncak kemajuan ilmu tasawuf .
Tasawuf berfungsi sebagai jalan mengenal Allah Swt., (ma'rifah) yang tadinya
hanya sebagai jalan beribadah. Tasawuf pada masa itu merupakan pengejawantahan
tasawuf teoritis.43
al-Sulami yang lahir dan masuk kelompok sufi pada masa itu,
terkenal sebagai penulis sejarah biografi kaum sufi masyhur yang semasa
dengannya yaitu dalam kitabnya Adab al-Mutasawwafah.44
Selain itu, dia juga
terkenal dengan kitabnya Thabaqah al-Sufiyin yang juga memaparkan biografi-
biografi para sufi.45
al-Sulami menitik tekankan tasawuf pada ketaatan terhadap al-
Qur'an, meninggalkan perkara bid'ah dan nafsu syahwat, ta'dzim pada guru/syekh,
serta bersifat pemaaf.
4. Corak Pemikiran
al-Sulamī mengambil beberapa tasawuf dari para syekh yang masyhur,
misalnya Ibn Manazil (W 320 H/932 M), Abu Ali al-Thaqafi, dan ia juga pernah
belajar ilmu tasawuf pada Abu Nashr al-Sarraj (pengarang kitab al-Luma' fi al-
Tasawuf) (W. 369 H/979 M), Abu Qasim al-Nasrabadzi dan banyak yang lainnya.
Oleh karena itu otomatis corak pemikiran tasawuf al-Sulamī sedikit banyak
dipengaruhi oleh tasawuf mereka. Ia termasuk sufi yang yang beraliran sunni, yang
selalu berusaha menyebarkan tasawuf sunni di masa hidupnya.46
5. Karya-karya al-Sulami
42
Sara Saviri. Demikianlah Kaum Sufi Berbicara, Terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2002), h. 23. 43
Asmaran, MA. Pengantar Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 258. 44
Gafna Raizha Wahyudi. Warisan Sufi, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), h. 73. 45
A. J. al-Berry. Tasawuf Versus Syari'at, Terj. Bambang Herawan, (Jakarta: Hikmah, 2000),
h. 94. 46
Jamaluddin Kafi. Tasawuf Kontemporer, (Prenduan: al-Amin, 2003), h.10.
27
Di antara karyanya47
yakni: Al-Farq Bayna al-Shari‟ah wa-al Haqiqah, Al-
Hadithu al-Arba‟un, Adab As-Sufiyya, Adab Al-Suhba wa Husn al-Ushra, Amthal
al-Qur‟an, Al-Arbain fi al-Hadis, Bayan fi Al-Sufiyya, Darajat al-Muamalat,
Darajat As-Shiddiqin, kitab Al-Futuwwa48
, Ghalatat al-Sufiyya, Al-Ikhwah wal
Akhwa min al-Sufiyya, al-Istishadat, Juwami, al-Malamatiyya, Manahij al-Arifin,
Maqamat al-Awliya, Masail Waradat min Makkah, Mihan Al-Sufiyya, Al-
Muqaddimah fi at-Tasawuf wa Haqiqatih al-Radd „ala ahl al-Kalam, Al-Sama, Al-
Sualat Suluk al-Arifin, Sunnah al-Sufiyya, al- Mutasawwafah, tarikh al-sufiyyah.49
47
Penulis dalam hal ini hanya menunjukan judul dari karya-karya al-sulami, beberapa buku
yang banyak menjelaskan karya al-Sulami ada di dalam karya salah satunya Media Zainul Bahri.
Tasawuf Mendamaikan Dunia dan lain-lain. 48
Media Zainul Bahri. Tasawuf Mendamaikan Dunia, (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 64. 49
Muhammad Hisyam Kabbani.Tasawuf dan Ikhsan Antivirus Kebatilan dan Kedzaliman
(Jakarta: PT Serambi Ilmu semesta, 2007), h. 94.
28
BAB III
PENAFISRAN AYAT-AYAT AL-QUR’AN TENTANG KEMATIAN DALAM
TAFSIR HAQĀ’IQ AL-TAFSĪR
Sebagaimana pada pembahasan sebelumnya, pada Bab ini uraian kematian di
fokuskan pada dua hal, Pertama, tidur bagian dari mati dan Kedua, kematian adalah
kepastian dan yang ketiga kematian bagian dari ujian, adapun uraiannya sebagaimana
di bawah ini;
A. Hakikat Kematian
Kematian dan kehidupan merupakan dua kaitan yang tidak bisa di pisahkan,
kedua kata ini mempunyai arti tersendiri. Kedua kata itu terdiri dari kata dasar yakni
mati dan hidup. Keduanya mempunyai arti tersendiri dan bukan merupakan lawan kata,
karena kata hidup bukan lawan kata dari mati. Sebab kata mati merupakan lawan kata
dari lahir dan pengertiannya lahir adalah awal kehidupan sedangkan, mati merupakan
akhir dari kehidupan.1
Hidup dan kehidupan diartikan berbeda, karena hidup merupakan keadaan suatu
benda yang karena kekuatan zat Yang Maha Kuasa benda itu dapat benafas. Seperti
misalnya fungsi paru-paru dan peredaran darah bagi manusia. Kehidupan merupakan
serba-serbi dari pada hidup itu sendiri, mulai dari lahir sampai nanti matinya suatu
mahluk. Seperti halnya perkawinan dengan segala serba-serbi seperti peminangan,
pertunangan dan perceraiaan.2
1 Komaruddin Hidayat. Psikologi Kematian, (Jakarta: Noura Books, 2012). h. 83.
2 K, Bertens. Filsafat Barat Kontemporer. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000). hal. 155.
29
Hubungan antara jiwa/ruh dengan tubuh merupakan dua kaitan yang sangat erat
dan tidak bisa dipisahkan. Keduanya mempunyai hubungan yang saling
menguntungkan dan merupakan substansi yang berbeda. Ahmad Ali Riyadi,
menjelaskan tentang hubungannya jiwa dengan tubuh.3
Pertama, jasad merupakan bagian dari alam, tersusun dan terbentuk dari tanah
dan tidak sempurna. Kedua, yakni jiwa, merupakan substansi inmaterial yang berdiri
sendiri, berasal dari „alam al-amr, tidak bertempat, mempunyai pengetahuan yang
mengetahui dan menggerakkan, mempunyai sifat dasar kekal dan diciptakan.
Melihat kehidupan sehari-hari, mati adalah keniscayaan. Orang dapat menyadari
bahwa dirinya akan mati dan akan meninggalkan kehidupan di dunia ini. Banyak yang
mengatakan, yang akan meninggalkan kehidupan di dunia hanyalah roh, jiwa, atau
nyawa. Raga atau tubuh tetap ada dan kembali pada asalnya. Orang zaman dahulu
mengartikan mati dengan menghilangnya denyut nadi seseorang. Juga ada yang
mengartikan dengan berhentinya detak jantung seseorang.
Pengaruh dari majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, mati diartikan dengan
mendatarnya saraf pada otak seseorang. Jadi bila pengertian mati dengan hilangnya
denyut nadi zaman dahulu, mungkin di zaman sekarang ini orang itu masih hidup.
Semua orang berkeyakinan bahwa mati adalah perginya “diri” atau jiwa meninggalkan
tubuh jasmani yang hidup di bumi ini.
Kematian atau mati merupakan suatu fenomena yang harus disadari karena
adanya realitas itu sendiri. Kesadaran dalam hal ini diartikan kesadaran akan sesuatu,
yakni kesadaran akan kematian. Kesadaran berdasarkan kodratnya bersifat
3 Ahmad Ali Riyadi, Psikologi Sufi Al-Ghazali, (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2008). hal. 67.
30
intensionalitas; intensionalitas adalah struktur hakiki kesadaran. Kesadaran ditandai
dengan intensionalitas, dan fenomena harus di mengerti sebagai apa yang
menampakkan diri. Kedua istilah intensionalitas dan fenomena ini erat kaitannya, untuk
memahaminya menggunakan “konstitusi”. Dalam arti, fenomena-fenomena
mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Adanya korelasi antara realitas dan kesadaran
dapat dikatakan konstitusi merupakan aktivitas kesadaran yang memungkinkan
tampaknya realitas.
Kematian dan kehidupan tidak dapat dihindari oleh semua mahluk dan harus
menerima apa adanya. Manusia harus mampu dan berani dalam menerima kenyataan
bahwa hidup dan berakhir pada kematian. Bukan jiwa dan ruh yang ia perlihatkan pada
orang lain di dunia melainkan eksistensinya karena ia hidup di dunia. Lebih jelasnya
bukanlah esensi yang didahulukan melainkan eksistensi yang didahulukan.
1. Fana
Fana secara leksikal disebutkan dalam beragam makna, di antaranya: sirna, tiada,
punah, hancur, tuntas, terputus, akhir, kematian, lebur, berlalu, berubah, berada dalam
bentuk yang lain, keluarnya sesuatu dari sifatnya yang tidak dapat lagi digunakan dan
sebagainya.
Hal ini senada dengan apa yang ada di dalam Qs al-Rahman/55: 26 yang berbunyi
sebagai berikut:
كم ي عهب فب
Ayat yang menyampaikan tentang punah dan binasanya secara mutlak seluruh
eksisten (yang hidup atau yang mati) khususnya manusia dan jin, baik yang berada di
muka bumi atau yang berada di planet lain demikian juga di tujuh petala langit. Di
31
mana hal ini tidak menunjukkan adanya pembatasan kehidupan di planet bumi.
Terdapat banyak bukti Qur‟ani dan riwayat terkait masalah ini. Seperti ayat-ayat,
“Setiap jiwa akan merasakan kematian.”4 “Dia-lah Yang Maha Awal dan Yang Maha
Akhir”,5 “Segala sesuatu di muka bumi (kini dan akan datang) akan binasa,”
6 “Dan
Dia-lah yang memulai penciptaan, kemudian mengembalikannya,”7 “Sebagaimana
Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengembalikannya.”8
Yang dimaksud fana pada ayat terkait (dan kebinasaan pada Qs al-Qashash/28:88
yang menyebutkan: “Segala sesuatunya binasa kecuali wajah Tuhan.” Kematian
(badan) dan keluar dari kegunaannya.9 Kendati ayat-ayat ini tidak termasuk ruh-ruh dan
wujud-wujud non-material, kalau pun termasuk, maka mereka tidak termasuk dalam
hukum ini (fana dan mati); karena terdapat dalil-dalil rasional dan referensial yang
menjelaskan tentang kekalnya ruh-ruh dan segala sesuatu di sisi Tuhan.10
Di samping
itu, “maujud” (eksisten, ada) sekali-kali tidak akan pernah “ma‟dum” (non-eksisten,
tiada) yang telah ditetapkan oleh argumen-argumen filosofis.
Ayat yang menjelaskan terputus, tuntasnya kehidupan dunia dan terangkatnya
efek dan hukum dimana dengan fana dan binasanya penghuninya pemilik intelegensia
adalah akibat dari kefanaan ini. Demikian juga, tenggelamnya mentari duniawi dan
terbitnya fajar ukhrawi dan berpindahnya dunia menuju akhirat. Redaksi “fana” secara
4 Pada ayat ini penulis hanya menyebutkan arti sebagaimana dalam al-Qur‟an tarjamah Qs. Ali
Imran/3:185 5 Qs. Al-Anbiya/21:35
6 Qs. Al-Ankabut/29:57.
7 Qs. Al-Rum/30:27
8 Qs. Al-Anbiya/21:104
9 Sayid Abdullah Syubbar. Haq al-Yaqin, h. 98.
10 Qs. Dukhkhan/44:93; Qs. Ali Imran [3]:169, 170 & 185; Qs. Al-Nahl [16]:96; Asfar, jil. 8, h.
380 dan seterusnya; Asfar, jil. 9, h. 237 dan seterusnya & 279; Mafatih al-Ghaib, jil. 2, h. 623-640;
Ma‟arif Qur‟an, jil. 1-3, h. 445.
32
lahir menandaskan hari esok, artinya akhir usia dunia dan apa yang ada di dalamnya
dan akan muncul di hari esok.
Akan tetapi al-Sulami dalam menafsirkan Qa al-Rahman/55: 26 adalah sebagai
berikut:
[ . سعج جعفش ب يحذ انخاص قل 62كم ي عهب . . . . . ] ات :
: سئم انجذ سحت هللا عه ع قن : ! ) كم ي عهب فب ( ! فقبل : ي كب ب
ب . قبل اب عطبء : ي كب يقب عه احببع ا ف فب بنك طشف فبء ف ف
ي حث ال شعش . سئم بعضى ع عهى انفبء انبقبء قبل : عهى فبء انذب
صانب بقبء اخشة دايب دنه ي انقشآ قن : ) كم ي عهب فب (.
Dalam pandangannya al-Sulami berpendapat mengutip dari apa yang didengar
melalui Imam Ja‟far bahwa:
“Saya mendengar Ja‟far Ibn Muhammad al-Khawash berkata, Imam Junaid
rahimahullahu alaih pernah ditanya tentang penafsiran ayat “Semua yang ada di bumi
itu akan binasa.” Ia menjawab, barang siapa yang berada di antara dua ujung
kebinasaan, maka ia telah binasa. Ibn „Atha berkata, barang siapa yang senantiasa
mengikuti hawa nafsunya, maka ia telah binasa, rusak dari bentuk perasaannya.
Sebagian ulama ditanya seputar pengetahuan binasa dan kekal. Sebagian ulama
menjawab, pengetahuan seputar kebinasaan dan kehancuran dunia, kekekalan dan
ketetapan akhirat petunjuknya ada di dalam al-Qur‟an: “Semua yang ada di bumi itu
akan binasa.”
33
Dengan demikian, hakikat fana ini adalah perpindahan dari dunia kepada akhirat
dan kembali kepada Tuhan, sebagaimana pada kebanyakan ayat ditafsirkan demikian.
B. Tidur Bagian dari Kematian
Agama juga mengisyaratkan bahwa setiap orang dan setiap hari manusia
mengalami apa yang serupa dengan kematian, yakni tidur. Memang al-Qur‟an
mempersamakan mati dengan tidur.
1. Pengertian Tidur
Tidur dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tidur berarti keadaan berhenti badan
dan kesadarannya (biasanya dengan memejamkan mata).11
Sedangkan dalam ilmu
kesehatan, tidur merupakan proses fisiologis12
normal yang bersifat aktif, teratur,
berulang, kehilangan tingkah laku yang reversible, dan tidak berespons terhadap
lingkungan. Tidur dibutuhkan otak untuk menunjang proses fisiologis. Tidur adalah
suatu fenomena kehidupan yang berlangsung dalam suatu siklus sirkadian yang
memengaruhi siklus endokrin dan pola sikap (behavior) secara langsung atau tak
langsung.13
Setiap hari manusia melewati waktu tidur dan terjaga. Semua itu ada sesuatu yang
mengaturnya pada sistem saraf pusat. Para ilmuwan telah lama mengkaji masalah ini,
dan mereka telah menyimpulkan bahwa dalam otak terdapat satu titik khusus yang
mengontrol keadaan jaga dan keadaan tidur yang disebut sebagai jam biologis. Jam
11
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 943. 12
Cabang biologi yang berkaitan dengan fungsi dan kegiatan kehidupan atau zat hidup (organ,
jaringan atau sel). Lihat Heppy El Rais, Kamus Ilmiah Populer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h.
197. 13
Cabang biologi yang berkaitan dengan fungsi dan kegiatan kehidupan atau zat hidup (organ,
jaringan atau sel). Lihat Heppy El Rais, Kamus Ilmiah Populer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h.
197.
34
biologis inilah yang mengatur manusia dan hewan untuk tidur dan bangun pada jam-
jam tertentu.14
Saat tidur seseorang memang terlihat pasif, namun tidur tidak identik dengan
kemalasan, terutama tidur yang dilakukan secara baik, wajar, dan proporsional. Saat
tidur, manusia membangun kemampuan kognitifnya. Selain itu, kemampuan
konsentrasi, kreativitas, ketelitian, semangat, dan emosi positif, semuanya dibangun
saat manusia tidur. Ketika tidur, manusia terlihat beristirahat total, namun sebenarnya
manusia tetap berpikir. Buktinya adalah munculnya dunia mimpi.15
Saat seseorang tidur dan bermimpi, otak bekerja sedemikian rupa melalui gerakan-
gerakan sel saraf dan pelepasan muatan. Mimpi bukan hanya “bunga tidur”, melainkan
juga “pintu” atau “jalan” atau sarana otak untuk mewartakan diri.
Para peneliti mengatakan bahwa seperampat waktu tidur manusia dihabiskan
untuk mimpi. Namun, sebagian besar mimpi tersebut tidak dapat diingat kecuali mimpi
yang berpengaruh besar terhadap kejiwaan seseorang sehingga ia tetap ingat ketika
bangun di pagi hari.16
Dalam kajian psikologi, mimpi merupakan aktivitas mental yang
berlangsung dalam tidur. Keadaan mental itu berbeda dengan keadaan mental atau
pikiran ketika seseorang terjaga. Sifat dan rahasia aktivitas mimpi telah menjadi objek
penelitian klinis dan uji coba di laboratorium. Kebanyakan mimpi yang dialami
14
Ahmad Syawqi Ibrahim. Misteri Tidur:Rahasia Kesehatan, Kepribadian, dan Keajaiban Lain
di Balik Tidur Anda. Terj. Syamsu A. Rizal dan Luqman Junaidi (Jakarta: Zaman, 2013), h. 40. 15
Menurut Aristoteles mimpi tak lebih dari persoalan psiklogis, mimpi didefinisikan sebagai
aktivitas psikis seseorang ketika ia berada dalam kondisi tidak sadar atau sedang tidur. Lihat Sigmund
Freud, Tafsir Mimpi, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2001), h. 3. 16
Jamal Muhammad Elzaky. Buku Induk Mukjizat Kesehatan Ibadah. Terj. Dedi Slamet Riyadi,
(Jakarta: Zaman, 2011), h. 481.
35
manusia muncul dalam bentuk rangkaian kisah yang terpenggal-penggal, terbentuk dari
kumpulan ingatan dan terdiri atas beberapa adegan yang sering kali tumpang tindih.
2. Tidur Serupa Kematian
Sebagaimana disinggung pada pembahasan sebelumnya bahwa salah satu
konsentrasi kematian dalam kitab Haqaiq al-Tafsir adalah mengenai tidur menjadi
bagian dari kematian. adapun ayatnya adalah Qs al-Zumar/39: 42 sebagai berikut:
فه ال خ ب هللاه ع عه كك انهخ قض ج ف يبيب ف ف انهخ نى ح حب ي ف ح
ش و خفكه بث نق نك ه ف رع إ ع أجم يك ع إن شسم الخش ث ان
Sedangkan dalam penafsiran kitab Haqa‟iq al-Tafsir ayat di atas penguraiannya
sebagai berikut ini:
[ 26هللا خف الف . . . . . ] ات :
قبل سم : إ هللا إرا حف الف اخشج انشح انس ي نطف ف انطبع
انكثف فبنز خف ف انو ي نطف ف انطبع ال نطف ف انشح فبنبئى
نطفب ف انشح انز إرا صال نى ك نهعبذ حشكت كب يخب . قبل خف فكب
حبة انف انطبع بس نطف حبة نطف ف انشح ببنزكش هلل . قبل أضب :
انشح حقو بهطفت ف راحب بغش ف انطبع أال حش أ هللا خبطب انكم ف انزس
س طبع كثف . قن حعبن : ! ) أو بف سح فى عقم عهى نطف بال حض
.احخزا ي د هللا شفعبء (
36
Kata (خف) yatawaffa terdiri dari kata wafa yang pada mulanya berarti
menyempurnakan atau mencapai batas akhir, Kematian dinamai wafah karena usia
seseorang telah mencapai batas akhir.
Kata anfus adalah bentuk jamak dari kata Nafs, dalam hal ini al-Qur‟an
menggunakan diksi kata Nafs dalam berbagai makna, di antaranya adalah bermakna
jiwa, nyawa, diri manusia, yang ditunjukan dengan kata saya, yakni totalitas jiwa dan
raganya serta sisi dalam manusia yang merupakan potensi batiniah untuk memahami
dan mendorong serta motivator kegiatan-kegiatan.
Mati mempunyai dua makna, yaitu tidur sebagai mati ringan (al-mawt al-khafif)
dan mati dalam arti yang sebenarnya (al-mawt al-tsaqil). Mati dalam arti tidur
digambarkan dalam ayat QS al-Zumar 42.
Maksud dari penafsiran yang digunakan oleh al-Sulami dalam penafsirannya
adalah sebagaimana kutipan dari Imam Sahal bahwa dalam jiwa itu terdapat Nafs yakni
tempat atau jasad seseorang, jadi apabila seseorang mengalami kematian bukan berarti
ruh nya yang mati tetpi ada komponen Jasad yang mempunyai tanda-tanda seperti
berhentinya detak jatung, atau keluar masuknya udara melalui hidung.
Senada dengan Imam al-Sulami, mufassir al-Maraghi dalam kitabnya menyatakan
bahwa: sesungguhnya pada anak Adam terdapat jiwa dan ruh yang dihubungkan antara
keduanya oleh semacam cahaya matahari, Jiwa adalah tempat akal dan pikiran,
37
sedangkan ruh adalah yang menyebabkan adanya nafas dan gerakan, keduanya di
wafatkan saat terjadi kematian, adapun saat tidur hanya jiwa yang di wafatkan.17
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menahan (memegang) nafs (jiwa atau ruh)
manusia dari dunia fana ketika telah tiba ajal manusia tersebut, dan kematian yang
seperti ini merupakan kematian jasad-jasad (kematian sebenarnya). Sedangkan (jiwa
atau ruh) yang dimatikan Allah Swt., ketika tidur adalah jiwa yang berhubungan
dengan akal pikiran. Karena sebenarnya manusia itu mempunyai dua jiwa, yakni jiwa
yang berhubungan dengan kehidupan dan akan terpisah ketika datangnya mawt dan
akan hilang seiring dengan hilangnya kehidupan manusia tersebut dari dunia.
Jiwa yang kedua adalah jiwa yang berhubungan dengan akal pikiran, yang
terpisah ketika tidur dan tidak akan hilang dengan hilangnya jiwa-jiwa (ruh-ruh). Maka
ketika Allah Swt., menetapkan kematian seseorang, maka Dia akan menahan ruh-ruh
tersebut untuk tidak kembali kepada jasadnya. Dan dalam kondisi yang lain Allah Swt.,
akan melepaskan ruh-ruh tersebut kemabali kepada jasadnya, ketika kematian tidak
ditetapkan atasnya, hingga datang saat ajal kematiannya.
Dikatakan juga bahwa sesungguhnya manusia itu mempunyai nafs pada jasad.
Kemudian, ketika manusia terbangun dari tidurnya, kembali ruh tersebut kedalam jasad
dengan segera.
Ruh terdiri dari ruh yang hidup dan ruh yang mati, keduanya akan bertemu ketika
tidur, maka keduanya akan mengetahui apa yang dikehendaki Allah swt yakni ketika
17
Sebagaimana dalam penjelasan kitab al-Maraghi yang telah ditransliterasi oleh Harry Noer,
pendapat ini disandarkan pada Sahabat Ibn Abbas, Lihat. Ahmad Mustafa al-Maraghi. Tafsir al-Maraghi
terj. Herry Noer Ali DKK (Semarang: Karya Toha Putra, 1992), h. 17-18.
38
ruh tersebut ingin kembali pada jasad, maka Allah swt akan menahan ruh-ruh yang
mati di sisi-Nya, dan melepaskan ruh-ruh yang hidup disisi Tuhannya dengan mendapat
rezeki.
Kehidupan setelah kematian itu sendiri, menempati suatu dimensi lain yang
berbeda dengan dunia. Manusia yang dimatikan dari dunia, sesungguhnya hidup dalam
dunia yang berbeda dengan kita. Mereka akan mendapatkan kenikmatan-kenikmatan
dari Allah swt sebagai balasan atas amal baik yang mereka lakukan di dunia. Tentang
bagaimana keadaan kehidupan tersebut, hanya Allah Swt., yang mengetahuinya.
Selain itu bagi Fakhr al-Din al-Râzî, antara tidur dan mati adalah satu jenis yang
sama, hanya saja jikalau tidur itu terputusnya ruh secara tidak sempurna, sedangkan
mati terputusnya ruh secara sempurna. Beliau juga menjelaskan rûh itu ibarat jauhar
(intan) yang bercahaya, ketika dalam keadaan tidur putuslah cahaya tersebut, dan
cahaya tersebut akan bersinar ketika seseorang terbangun dari tidurnya. Dalam ayat ini
dijelaskan tiga hubungan antara ruh dengan badan. Pertama, rûh bercahaya ketika
menyatu dengan badan, kedua, meskipun antara tidur dan mati adalah satu jenis yang
sama akan tetapi keadaan tidur tidak sepenuhnya mati, masih memiliki sifat kehidupan
seperti bernafas dan sebagainya, ketiga, kematian adalah terputusnya ruh secara
sempurna. Yang demikian itu adalah salah satu keagungan Allah Swt., bahwa Allah
Swt., berhak atas semuanya, dan agar kalian semua berpikir.18
Menurut sementara ulama, nafs/nyawa ditempatkan Allah Swt., dalam satu
wadah, yaitu jasmani, tetapi penempatan yang bersipat sementara dan bila saatnya,
cepat atau lambat, akibat kerusakan organ maupun peruskana (pembunuhan), Allah
18
Fakhr al-Dîn al-Râzî. Mafâtîh al-Ghaib, jilid 9, h. 5727-5728
39
Swt., memisahkan nafs itu dengan pemisahan sempurna dan menempatkannya di
tempat yang dikehendaki-Nya. Jika demikian, nafs tetap ada setelah kerusakan
wadahnya yang bersipat sementara itu. Ini berarti setelah maut datang, nafs yang dalam
hal ini adalah potensi batiniah itu, masih tetap berfungsi dalam arti masih dapat
bergerak, merasa dan mengetahui.
Sementara ulama berkata; nafs/nyawa berpisah dengan jasmani manusia pada saat
kematiannya dengan pemisahan yang sempurna, sedang pada saat tidur, pemisahannya
tidak sempurna. Karena itu, nafs bagi yang tidur kembali ke wadah yang
menampungnya sampai tiba masa pemisahannya yang sempurna, yakni kematiannya.
Itu sebabnya bila kematian tiba, hilanglah dari tubuh mahluk hidup gerak, rasa, dan
kesadaran, akibat perpisahan sempurna itu. Ini karena potensi yang memerintahkan
bergerak, demikian juga pada saat tidur, karena perpisahan nafs dengan badan belum
sempurna, maka yang hilang darinya hanya unsur kesadaran itu saja. Sebagian gerak,
yakni yang bukan lahir dari kehendak dan kontrolnya, demikian juga sebagian rasa,
masih menyertai yang tidur.
Dalam buku Perjalanan Menuju Keabadian, “Seseorang yang tidur diibaratkan
sebagai layangan terbang jauh ke angkasa, tetapi talinya tetap dipegang oleh pemain,
sedang yang mati adalah layangan yang telah putus talinya, sehingga ia terbang tidak
kembali tetapi terbang menuju arah yang dikehendaki oleh angin. Otak manusia pun
saat tidur masih berfungsi, bahkan dia mampu memisahkan hal-hal yang dianggap
perlu bagi sosok yang tidur dan mengabaikan yang lain. Ada yang dapat tidur dengan
nyenyak betapapun bisingnya suasana, namun demikian ada suara-suara tertentu yang
40
didengarnya seperti halnya ibu yang tidur namun mendengar gerak atau tangis bayinya
karena itulah yang diprogram oleh otaknya berdasarkan keinginan Ibu. Ini berbeda
dengan bapak yang merasa bahwa ibulah yang bertugas bangun bukan dia. Ingatan
orang yang tidur pun demikian. Buktinya tidak jarang orang yang mampu menceritakan
mimpinya secara detail. Demikian, tidur serupa dengan mati dan mati serupa dengan
tidur dalam sekian banyak aspeknya. Nabi Muhammad Saw., pun mengisyaratkan
tentang keserupaan mati dengan tidur. Beliau mengajarkan doa ketika tidur:
كب سسل هللا صه هللا عه سهى إرا اسخقظ قبل انحذ هلل انز أحبب بعذيب
أيبحب إن انشس سا انبخبس
“Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah mematikan kami dan
hanya kepada-Nya kebangkitan akan menuju.”
Yang beliau maksud dengan “menghidupkan” adalah membangunkan dari tidur
sedang “mematikan” adalah menidurkan. Pada saat yang lain beliau ditanya: “Di surga
apakah ada tidur?.” Beliau menjawab:
“Tidur adalah saudaranya mati, sedang di surga tidak ada kematian”
Sementara orang berkata, jika mati sama dengan tidur, maka pastilah mati terasa
nyaman. “mengantuk itu nyaman dan lebih nyaman daripada mengantuk adalah tidur,
dan yang lebih nyaman dari tidur adalah mati. Filosof Jerman, Schopenhauer, yang
berpandangan pesimistis tentang hidup melanjutkan, bahwa “Yang lebih nyaman dari
mati adalah tidak wujud sama sekali.”
41
C. Istiqamah Sebagai Solusi bagi “Kematian” Dunia dalam Menggapai
Kehidupan Abadi di Akhirat
Pada pembahasan terkait kematian poin ketiga adalah tentang istiqamah,
sebagaimana di sebutkan pada bab II bahwa salah satu yang membuat penulis tertarik
meneliti karya al-Sulami adalah adanya makna dahir yang dipadukan dengan esensi
tasawuf, seperti saat menafsirkan Qs al-Mulk/67 : 2 sebagai berikut;
انعضض انغفس ال ع كى أكى أحك انحبة نبه ث انهز خهق ان
Dalam menafsirkan ayat tersebut al-Sulami mengutip dari Imam Sahal dan Imam
Abdul Azis yakni sebagai berikut;
( الذي خلق املوت . . . . . ] اآلية : 2قوله تعاىل : ) الذي خلق املوت واحلياة ( امللك : )
[ . قال سهل : املوت يف الدنيا باملعصية ويف اآلخرة بالطاعة يف الدنيا . وقال عبد العزيز يف قوله : 2
احسن استقامة على األوامر ، وقال : ) أيكم أحسن عمال ( ) ليبلوكم أيكم أحسن عمال ( أي ايكم
أي ايكم الذي يدركه التوفيق فيحببه يف الطاعة ويبعده عن املعصية.
Dapat diartikan sebagai berikut: Sahal berkata: kematian di dunia itu dengan
kemaksiatan dan kematian di akhirat itu dengan ketaatan yang dilakukan di dunia.
Abdul Aziz berkata dalam menafsirkan ayat, “agar Dia menguji siapakah di antara
kamu yang lebih baik amalnya.” Maksudnya, siapakah di antara kalian yang lebih baik
istiqamahnya dalam menjalankan perintah-perintah-Nya. Abdul Aziz berkata,
“siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Maksudnya, siapakah di antara
42
kalian yang mendapatkan taufik kemudian ia mencintai perbuatan taat dan menjauhi
perbuatan maksiat.
Ayat ini dijelaskan bahwa kematian ini mencakup kematian yang mendahului
kehidupan dan kematian sesudah kehidupan. Semuanya adalah ciptaan Allah Swt.,
sebagaimana ditetapkan ayat ini, yang melahirkan hakikat ini di dalam pandangan
manusia. Disamping itu, ia menimbulkan kesadaran terhadap maksud dan ujian yang
ada dibaliknya. Semua itu adalah ujian untuk menampakan apa yang tersembunyi
dalam ilmu Allah Swt., mengenai perilaku manusia di muka bumi dan keberkahan
mereka terhadap balasan amal mereka.19
Penetapan hakikat ini di dalam hati menjadikan hati ini senantiasa sadar, hati-hati,
memperhatikan, dan merenungkan segala sesuatu yang kecil dan yang besar, di dalam
niat yang tersembunyi dan pada perbuatan nyata. Juga tidak membiarkan hati lalai dan
lengah, tidak pula santai dan bersenang-senang belaka. Apabila hati telah menyadari
dan merasa bahwa semua ini sebagai ujian dan cobaan, lantas ia berhati-hati dan
menjaga diri, maka ia merasa tenang untuk mendapatkan pengampunan Allah Swt., dan
rahmat-Nya, merasa yakin dan senang dengan rahmat Allah Swt., itu.
Hal ini sebagaimana arti dasar dari istiqamah yang merupakan suatu istilah
bahasa arab yang tidak asing lagi diungkapkan oleh masyarakat Indonesia khususnya
umat Islam. Secara bahasa isitiqomah berarti lurus (al-I‟tidal).20
Dalam kajian ilmu
sorof, istiqamah adalah bentuk masdar dari fi‟il madi “istaqoma” yang kata dasarnya
adalah qoma. Maka, istiqoma merupakan fi‟il madi dari wazan yang berjenis fi‟il
tsulasi mazid dan mendapat tambahan tiga huruf (hamzah wasol, sin dan ta). Kata
19
Sayyid Quthb. Fi Zhilalil Quran, (Jakarta: Gema Insani), h. 353. 20
Ibnu Manzur. Lisan al-Arab (Keherah: Dar al-Ma‟arif, 1119), h. 3782.
43
qoma merupakan kata dasar dan memiliki arti berdiri tegak lurus.21
Adapun isitilah
isitiqamah dalam kamus besar bahasa indonesia bermaksud sikap teguh pendirian dan
selalu konsekuen.22
Isitilah tersebut dalam kamus bahasa inggris merupakan kata sifat yang berarti not
charging yakni tidak berubah, senantiasa berperilaku sama terutama dalam hal
posoitif.23
Sedangkan dalam kamus bahasa Arab-Indonesia, istiqomah diterjemahkan
dengan kelurusan dan keadilan.24
Adapun dalam Ensiklopedi Islam Indonesia,
isitiqomah bermaksud taat asas, selalu setia dan taat kepada asas atau suatu
keyakinan.25
Secara terminologi istiqamah adalah lurus dan benar dalam niat, perkataan dan
perbuatan yang mencakup seluruh agama yaitu menghadap Allah Swt., dengan
sebenar-benar jujur dan memenuhi janji serta diimplementasikan hanya karena Allah
Swt., di jalan-Nya dan atas perintah Allah Swt.,26
Istiqamah jika ditelusuri dari perkataan para Sahabat dan lainnya antaranya Abu
Bakar al-Shiddiq, orang yang paling lurus dan jujur serta yang paling istiqamah pernah
ditanya berkenaan istiqomah. Maka beliau menjawab, “Janganlah engkau
21
Ahmad Warson Munawwir. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terelengkap, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997) 22
Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia (semarang: Widya Karya,
2011), h. 193. 23
Cambrige Advanced Learner‟s Dictionary (China: Cambrige University Pres, 2008), h.297. 24
Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pondok Pesantren
Krapyak), h.1476. 25
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan,
1982), h.461. 26
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Madarijus Salikin: Pendakian Menuju Allah (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 1998), h. 228
44
menyekutukan sesuatu pun dengan Allah Swt.,”. Maksudnya, istiqamah adalah berada
dalam tauhid yang murni.27
Umar bin al-Khattab juga menyatakan bahwa istiqamah artinya “Engkau teguh
hati pada perintah dan larangan dan tidak menyimpang seperti jalannya rubah”.
Demikian juga sebagaimana yang dikatakan oleh Utsman bin Affan istiqomah artinya
“Amal yang ikhlas karena Allah Swt.,”. Adapun Ali bin Abu Thalib dan Ibnu Abbas
menyatakan istiqamah artinya “Melaksanakan kewajiban-kewajiban”.
Sedangkan Mujahid berkata, “Istiqamah artinya teguh hati pada syahadat bahwa
tiada Tuhan selain Allah Swt., hingga bertemu Allah Swt.,”. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata “Istiqamah artinya teguh hati untuk mencintai dan beribadah
kepada-Nya, tidak menoleh dari-Nya ke kiri atau ke kanan.”
Adapun Imam al-Nawawi berpandangan sebagaimana para Ulama menafsirkan
maksud istiqamah dengan „Luzūmu Tho‟ah‟ artinya tetap konsekuen dan konsisten
dalam ketaatan kepada Allah Swt.,28
Berdasarkan beberapa pandangan yang dinyatakan, kesimpulan dapat dirumuskan
bahwa istiqamah merupakan suatu sikap konsisten dan konsekuen terhadap suatu
keyakinan yakni Islam dan diimplementasikan segala perintah kewajiban dan perintah
larangan, ikhlas hanya karena Allah Swt., baik secara zahir dan batin sampai ajal
menjemput.
Sedangkan secara bentuknya istiqamah dibagi menjadi tiga poin utama sebagai
berikut;
27
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Madarijus Salikin: Pendakian Menuju Allah (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 1998), h. 227 28
Muhammad bin Shalih al-„Utsaimin, Syarah Riyadh al-Shalihin, (Riyad: Dar al-Wathan, 1426
H), h. 537.
45
1. Istiqamah dalam Niat
Niat identik di dalam hati, sedangkan adalah anggota tubuh yang paling penting
yang wajib dijaga dengan sunguh-sunguh oleh seorang hamba agar tetap istiqomah. Hal
ini karena hati bagi segenap anggota tubuh laksana raja yang mengatur bala tentaranya,
yang semua perbuatan berasal dari perintahnya, lalu ia gunakan sekehendaknya,
sehingga semua berada di bawah kekuasaan dan perintahnya, dan daripadanya sebab
istiqamah dan kesesatan, serta daripadanya pula niat termotivasi atau pudar.29
Istiqomah dalam dalam niat atau hati ini merupakan bagaimana individu tersebut
dapat menjaga niat yang sudah tertanam sejak awal, sehingga ketika individu tersebut
mengalami suatu ujian dalam proses beristiqomah, maka individu tersebut akan kuat
dalam berpegang teguh pada niat yang sudah tertanam dalam hatinya.
2. Istiqamah dengan Lisan
Selain Hati hal yang perlu di perhatikan adalah lisan, Anggota yang perlu di beri
perhatian setelah hati adalah lisan. Istiqomah dengan lisan merupakan salah satu bentuk
bagaimana individu tersebut mampu beristiqomah secara lisan. Seseorang bisa
istiqomah apabila lisannya istiqomah dalam berbuat ketaatan atau tidak berbicara hal-
hal yang mendatangkan dosa dan murka Allah. Sebagaimana contoh, yaitu selalu
menjaga lisannya dari perkataan yang buruk atau kotor bahkan kalimat- kalimat yang
bisa membatalkan keislaman seseorang.
3. Istiqamah dengan Perbuatan
29
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Manajemen Qalbu: Melumpuhkan Senjata Syetan (Jakarta: Darul
Falah, 2005), h. XXXVI.
46
Bentuk istiqamah terahir adalah istiqamah secara perilaku, yakni bagaimana
individu tersebut dapat melakukan suatu kebaikan untuk mengembangkan potensi
positif dirinya secara istiqamah. Hal-hal seperti melakukan sholat wajib berjamaah,
membaca al-Qur‟an setiap usai sholat wajib, mengkaji nilai-nilai keagamaaan dan lain
sebagainya. Sehingga mampu mengantarkan seseorang istiqamah dalam Tauhidnya.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh „Aisyah ra dari Rasulullah Saw., bersabda,
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta‟ala adalah amalan yang berterusan
walaupun itu sedikit.” (HR. Muslim).30
Anggota tubuh laksana rakyat bagi hati sebagaimana dijelaskan sebelumnya
sudah pasti akan menurut perintah rajanya. Seandai sebaliknya yang berlaku, itu adalah
tanda bagi kurangnya keimanan dan lunturnya istiqamah seseorang Kesimpulannya,
bahwa yang dimaksud dengan istiqamah dalam niat atau dalam hati adalah senantiasa
teguh dengan pendirian yaitu Tauhid dan kebenaran, istiqamah dangan lisan atau
ucapan berarti senantiasa mengucapkan kalimat yang baik dan waspada dari kalimat
yang membatalkan keislaman, sedangkan istiqamah dengan perbuatan anggota tubuh
maksudnya adalah konsisten melakukan ibadah dan ketaatan-ketaatan yang dapat
menjadikan dirinya menjadi lebih baik dan dekat dengan Allah Swt.,. Ketiga bentuk
sinergi ini mampu menjadikan seseorang istiqamah dalam menjalankan Syariat Islam
dan loyal terhadap Islam dari menyimpang jalan yang tidak di ridhai Allah Swt.,
30
Abu Zakariyya Yahya al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim (Beirut: Dar Ihya Turath al-„Arabi, t.t),
h. 70.
47
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya maka kesimpulan Imam al-Sulamī di
dalam kitab Haqā’iq al-Tafsīr mengenai kematian, penulis menemukan tiga poin utama yakni;
1. Hakikat kematian yang meliputi fana
2. Tidur bagian dari kematian
3. Istiqamah sebagai solusi bagi “kematian”
B. Kritik dan Saran
Penelitian terhadap kematian yang selama ini lebih dekat dengan lawan dari kehidupan.
Ternyata pada kitab Haqā’iq al-Tafsīr terdapat dialektika lain bahwa salah satu indikasi
kematian adalah istiqamah. Akan tetapi penelitian ini terdapat pada tiga ayat al-Qur’an yang
ditafsirkan diantara beberapa ayat lain yang ditafsirkan oleh Imam al-Sulamī. Maka penelitian
ini belum secara sempurna dan mendalam. Untuk itu besar harapan peneliti akan ada penelitian
selanjutnya yang mengembangkan karya Imam al-Sulamī dengan metode dan pola yang
berbeda. Sehingga dapat menimbulkan gairah dan semangat intelektual pada Fakultas
Ushuluddin khususnya ditingkat strata satu.
48
DAFTAR PUSTAKA
A. J. al-Berry. Tasawuf Versus Syari'at, Terj. Bambang Herawan, Jakarta: Hikmah,
2000.
Abu Abd al-Rahman al-Sulami, Haqa'iq al-Tafsir, Beirut: Dar al-kutun al-ilmiyya,
2002.
Abu Abd al-Rahman al-Sulami, Haqa'iq al-Tafsir, Beirut: Dar al-kutun al-ilmiyya,
2002.
al-Naisaburi, Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy, Sahih Muslim, Juz. 4,
Beirut: Dar al-Kutb, 1992.
al-Sheikh, Abdullah bin Muhammad bin „Abd al-Rahman bin Ishaq Al. Lubab al-Tafsir
min Ibn Kathir, terj. Abdul Ghaffar Bogor: Pustaka Imam al-Syafi‟i, 2001.
Asmaran, MA. Pengantar Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Bowering, Gerhard. Tafsir al-Qur‟an Karya al-Sulami: Studi atas bibliografi kitab
Haqa‟iq al-Tafsir. JSQ, Vol, 1. No, 2 (2007), h. 253-270.
Dahlan, Sofwan.Ilmu Kedokteran Forensik: Pedoman Bagi Dokter dan Penegak
Hukum, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007.
Freud, Sigmund, Tafsir Mimpi, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2001.
Heppy El Rais, Kamus Ilmiah Populer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Hidayat, Komaruddin. Psikologi Kematian, Jakarta: Noura Books, 2012.
__________________Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme,
Jakarta: Noura Books 2012.
Hisyam Kabbani, Muhammad. Tasawuf dan Ikhsan Antivirus Kebatilan dan
Kedzaliman, Jakarta: PT Serambi Ilmu semesta, 2007.
Honerkamp, Kenneth. “ABÛ „ABD AL-RAHMÂN AL-SULAMÎ (D. 412/1201) ON
SAM„ECTASY and DANCE” Journal of the History of Sufism, 4, 2003.
Ibn Shalah, Taqiy al-Din, Fatawa, Kairo: Idara Thaba'a al-Muniriyya,1438 H.
Ibrahim, Ahmad Syawqi, Misteri Tidur: Rahasia Kesehatan, Kepribadian, dan
Keajaiban Lain di Balik Tidur Anda. Terj. Syamsu A. Rizal dan Luqman Junaidi,
Jakarta: Zaman, 2013.
K, Bertens. Filsafat Barat Kontemporer. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.
49
Kafi, Jamaluddin. Tasawuf Kontemporer, Prenduan: al-Amin, 2003.
Khozin Abu Faqih. Manajemen Kematian,Bagi Mereka Yang Merindukan Kematian
Mulia, Bandung: Syamil, 2004
Kusuma Wijaya, Mathin. 2008. Makna Kematian dalam Pandangan Jalaludin
Rakhmat, Skripsi S1: Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga.
Lagha, Ali Muhammad. Perjalanan Kematian, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,
2002.
M. Anwar Syarifuddin, MA pada seminar Menimbang Otoritas Sufi dalam menafsirkan
al-Qur‟an pada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Maret
2018.
Mahjuddin. Akhlak Tasawuf II, Jakarta: Kalam Mulia, 2010.
Mandzur, Ibn. Lisanul ‛Arab, Lebanon: Dar al-Khotob al-Ilmiyah, 2009.
Media Zainul Bahri. Tasawuf Mendamaikan Dunia, Jakarta: Erlangga, 2010.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2002.
Mu‟ati, Jazilatul. Kematian Menurut al-Qur’an, Skripsi S1: Fakultas Ushuluddin IAIN
Sunan Ampel Surabaya, 1999.
Muda, Ahmad A.K. Kamus Lengkap Kedokteran, Surabaya: Gitamedia Press, 2003.
Muhammad Elzaky, Jamal, Buku Induk Mukjizat Kesehatan Ibadah, terj. Dedi Slamet
Riyadi, Jakarta: Zaman, 2011.
Mun‟im, Abdul Idris dkk. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Proses
Penyidikan, Jakarta: Sagung Seto, 2008.
Munawwir, Warson Ahmad. al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Murtiningsih. "Hakikat Kematian Menurut Tinjauan Tasawuf." Intizar. Vol. 19, No. 2,
(2013): h. 323-339.
Murtiningsih. Hakikat kematian menurut Tinjauan tasawuf. Intizar. Vol 19. No, 2
(2013), h. 1-19.
Mustafa al-Maraghi, Ahmad. Tafsir al-Maraghi terj. Herry Noer Ali DKK, Semarang:
Karya Toha Putra, 1992.
Muthahari, Murtadha. Pelajaran Penting Al-Qur`an, Jakarta: Lentera Basritama, 2002.
50
Qs. Dukhkhan [44]:93; Qs. Ali Imran [3]:169, 170 & 185; Qs. Al-Nahl [16]:96; Asfar,
jil. 8, hal. 380 dan seterusnya; Asfar, jil. 9, hal. 237 dan seterusnya & 279;
Mafatih al-Ghaib, jil. 2, hal. 623-640; Ma‟arif Qur‟an, jil. 1-3, hal. 445.
Qutb, Sayyid. 2008. Tafsir Fi Zilal al-Qur’an, terj. As‟ad Yasin, et. All, Jakarta Gema
Insani.
Rahmat, Jalaluddin. Memaknai Kematian Agar Mati Menjadi Istirahat Paling Indah,
Depok: Pustaka Iiman, 2008.
Riyadi, Ahmad Ali. Psikologi Sufi Al-Ghazali, Yogyakarta: Panji Pustaka, 2008.
Sara Saviri. Demikianlah Kaum Sufi Berbicara, Terj. Ilyas Hasan, Bandung: Pustaka
Hidayah, 2002.
Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf , Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Shihab, M. Quraish, Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga dan Ayat-ayat
Tahlil, Jakarta: Lentera Hati, 2001.
Shihab, M. Quraish. Lentera Hati, Bandung: Mizan, 2008.
________________. Perjalanan Menuju Keabadian Kematian Surga Dan Ayat - Ayat
Tahlil, Jakarta: Lentera Hati, 2001.
_______________. Wawasan al-Qur’an, Bandung Mizan 2012.
Syarifuddin, M. Anwar. “Menimbang Otoritas Sufi dalam menafsirkan al-Qur‟an”
Jurnal Studi AGAMA DAN MASYARAKAT vol. 1, no.2 Desember 2004, Jurnal
ini dikelola oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) STAIN
Palangka Raya Kalimantan Tengah.
Syubbar, Sayid Abdullah, Haq al-Yaqin,
Teba, Sudirman. Menuju Kematian yang Khusnul Khatimah: Kiat Sukses Menjemput
Maut. Ciputat: Pustaka irVan, 2006.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Tjokronegoro, Arjatmo dkk. Metodologi Penelitian Bidang Kedokteran, Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999.
Wahyudi, Gafna Raizha. Warisan Sufi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002.
Warson Munawwir, Ahmad. al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Recommended