75
ANALISIS SEMANTIK TERHADAP TERJEMAHAN AL-QUR’AN (Surat adh-Dhuha dan al-Insyirah): Studi Komparatif antara Terjemahan Mahmud Yunus dengan T. M. Hasbi ash Shiddieqy Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S). Oleh Muhamad Hilman NIM:105024000874 JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 i

93202 Muhamad Hilman Fah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

semoga

Citation preview

Page 1: 93202 Muhamad Hilman Fah

ANALISIS SEMANTIK TERHADAP TERJEMAHAN AL-QUR’AN

(Surat adh-Dhuha dan al-Insyirah): Studi Komparatif antara Terjemahan Mahmud

Yunus dengan T. M. Hasbi ash Shiddieqy

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S).

Oleh Muhamad Hilman

NIM:105024000874

JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010

i

Page 2: 93202 Muhamad Hilman Fah

PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berupa

pencabutan gelar.

Jakarta, 03 Juni 2010

Muhamad Hilman NIM: 105024000874

Page 3: 93202 Muhamad Hilman Fah

ABSTRAK Muhamad Hilman “Analisis Semantik Terjemahan Al-Qur’an (Surat adh Dhuha dan al-Insyirah): Studi Komparatif antara Terjemahan Mahmud Yunus dengan T. M. Hasbi ash Shiddieqy”. Di bawah bimbingan Dr. Ahmad Syatibi, MA. Menerjemah bukanlah sesuatu kegiatan yang mudah, karena tidak semua orang mampu menerjemah dengan baik, dan tentunya menerjemahkan al-Qur’an mempunyai tingkat kesulitan yang lebih tinggi dari sekedar menerjemahkan naskah-naskah lainnya. Baik Mahmud Yunus atau Hasbi ash Shiddieqy telah menerjemahkan al-Qur’an dengan sangat baik, hingga mudah dimengerti pembaca dari segi makna. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama menerjemahkan al-Qur’an secara akurat serta dapat menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer dengan prespektif al-Qur’an dengan bahasa yang lugas dan tidak berbelit-belit. Pokok permasalahan penelitian kali ini adalah pada perbedaan dan persamaan serta aspek semantik yang berpengaruh pada hasil terjemahan pada tafisr Quran Karim karya Mahmud Yunus dan Tafsir al-Bayan karya Hasbi ash Shiddieqy. Penelitian ini menunjukkan bahwa gaya terjemahan semantik leksikal yang mempengaruhi perbedaan dan persamaanya adalah aspek instension atau tujuan. Dalam menerjemahkan al-Qur’an kedua penerjemah tidak hanya dipengaruhi oleh faktor linguistik namun ada pula yang dipengaruhi oleh faktor ekstralinguistik yakni seperti pada keadaan saat menerjemahkan dan latar belakang keilmuan kedua penerjemah dalam menerjemahkan al-Qur’an.

Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an Mahmud Yunus bersifat ringkas dan sederhana. Hal ini terlihat dalam penyajian tafsirnya, penafsiran dilakukan pertama kali dengan memberi arti dari ayat-ayat al-Qur'an, kemudian langsung memberikan penafsiran global, tanpa mengawali dengan penjelasan arti kata. Dengan tidak menambahkan banyak catatan-catatan dalam tafsirnya seolah-olah Mahmud Yunus ingin mengajak pembaca untuk konsentrasi berdialog langsung dengan Tuhan. Sedangkan Hasbi dalam tafsir al Bayan nya banyak memberikan catatan kaki ataupun opsi terjemahan lain. Dengan adanya penjelasan itu, Penulis mengira bahwa apa yang dilakukan Hasbi ash Shiddieqy semata-mata untuk memperjelas dan mempermudah pembaca dalam memahami makna ayat-ayat al-Qur’an.

xii

Page 4: 93202 Muhamad Hilman Fah

PRAKATA

Rasa syukur dan terima kasih kepada Allah swt hingga pagi ini, pada akhir pagi

Penulis menyelsaikan tulisan skripsi ini masih diberikan kesehatan dan kenyamanan

tanpa rasa bosan untuk meneruskan penelitian hingga pangkalnya. Allahumma shalli ‘ala

Muhammad wa ‘ala alih. Puji kepada Rasul sang pembawa risalah suci yang mengajari

penulis tentang ilmu kehidupan agar terus mencari dan tidak berhenti belajar tentang

hidup.

Terima kasih Penulis ucapkan kepada civitas academica Fakultas Adab dan

Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Abdul Wahid Hasyim, MA., Dekan

Fakultas Adab dan Humaniora; Drs. Ikhwan Azizi, MA., Ketua Jurusan Tarjamah serta

Sekretaris Jurusan Tarjamah, Ahmad Saekhuddin, M.Ag. Serta jajaran dosen yang telah

rela memberikan banyak ilmu dan pengalaman. Semoga ilmu dan pengalaman yang telah

Penulis terima dapat menjadi manfaat kemudian hari.

Ucapan terima kasih dan doa Penulis tujukan kepada Dr. Ahmad Syatibi, MA.

yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi dan memberikan saran

yang berguna dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah swt senantiasa

memberikan kebaikan kepada Bapak dan keluarga. Amin.

Kepada orang tua Penulis, Bpk. H. Nurdin dan Hj. Nurlailah, terima kasih atas

cinta, kasih dan doa selama ini untuk Penulis. Kepada saudara-saudara Penulis: Fuad

Ikhwan-Neni Musyarofah, Salma Arfiani-Umar dan Khairizal Anwar terima kasih telah

memberikan banyak motivasi dan dorongan. Terima kasih atas senyum, pelukan dan

kecerian kepada kedua keponakan Abin dan Agif

Page 5: 93202 Muhamad Hilman Fah

Penulis ucapkan terima kasih pula kepada kawan-kawan Tarjamah, rekan-rekan

basecamp Sri Makmur dan kepada rekan-rekan di Sanggar Sarang Serangga yang

setengah dekade terakhir ini memberikan canda, tawa dengan guyonan-guyonan fresh

dan membesarkan kembali hati Penulis pada setiap tikungan-tikungan tajam penghambat

penyelesaian kuliah dan skripsi ini. Kepada emba-emba kantin yang siap sedia kala

Penulis membutuhkan segelas kopi. Kepada kawan-kawan Jejak Sebelas, “skripsi saya

sudah beres, ayo kita mulai packing barang dan siap berangkat.” Untuk Ari dan Matif,

terima kasih telah sudi merelakan kupingnya mendengar seabrek-abrek cita-cita Penulis.

Semoga Allah swt mendengar dan menjawab segala cita-cita itu. Amin.

Untuk malam terima kasih telah bersahabat dan membantu menyarikan padanan

ide penelitian untuk Penulis. Salam damai kepada seluruh makhluk dan alam. Akhirnya,

Penulis berharap semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat memberi

manfaat bagi semua.

Jakarta, 03 Juni 2010

Penulis

Page 6: 93202 Muhamad Hilman Fah

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

PERNYATAAN.............................................................................................. ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN............................................................... iv

PRAKATA ...................................................................................................... v

DAFTAR ISI................................................................................................... vii

PEDOMAN TRANSLITRASI ...................................................................... ix

ABSTRAK ...................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah........................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................... 5

C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 6

D. Manfaat Penelitian ................................................................... 6

E. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 6

F. Metodologi Penelitian .............................................................. 7

G. Sistematika Penulisan .............................................................. 8

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL

A. Konsep Umum Semantik ......................................................... 9

1. Pengertian Semantik ............................................................ 9

2. Jenis-jenis Semantik............................................................. 10

3. Perbedaan Makna Kata ........................................................ 11

B. Konsep Umum Penerjemahan al-Qur’an ................................. 20

1. Pengertian Terjemah Al-Qur’an......................................... 20

2. Macam-Macam Terjemahan Al-Qur’an.............................. 21

3. Syarat-syarat Terjemah Al-Qur’an...................................... 22

BAB III BIOGRAFI KEDUA PENERJEMAH

A. Biografi Prof. Dr. Mahmud Yunus .......................................... 26

vii

Page 7: 93202 Muhamad Hilman Fah

viii

B. Biografi Prof. Dr. T. M. Hasbi ash Shiddieqy.......................... 33

BAB IV ANALISIS SEMANTIK TERHADAP TERJEMAHAN AL-

QUR’AN

A. Terjemahan Surat adh-Dhuha dan al-Insyirah Versi Mahmud

Yunus ...................................................................................... 41

B. Terjemahan Surat adh-Dhuha dan al-Insyirah Versi T. M.

Hasbi ash Shiddieqy................................................................. 42

C. Unsur Persamaan Kedua Terjemahan ...................................... 43

D. Unsur Perbedaan Kedua Terjemahan ...................................... 53

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................. 61

B. Saran......................................................................................... 62

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 64

Page 8: 93202 Muhamad Hilman Fah

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke dalam huruf

latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam Buku

“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin

T ط ا

Z ظ b ب

‘ ع t ت

Gh غ ts ث

F ف j ج

h ح Q ق

K ك kh خ

L ل d د

M م dz ذ

N ن r ر

W و z ز

H ة s س

` ء sy ش

s ص Y ي

d ض

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

A. Vokal tunggal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

---- a Fathah

---- i Kasrah

----- u Dammah

ix

Page 9: 93202 Muhamad Hilman Fah

B. Vokal rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي--- ai a dan i

و--- au a dan u

C. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu :

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

----ا/ي â a dengan topi di atas

ي---- î i dengan topi di atas

و--- û u dengan topi di atas

3. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu ال , dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah

maupun huruf qamariyyah. Contoh : al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan

ad- dîwân.

4. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda--- dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal

ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah

kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata

.tidak ditulis ad-darûrah melainkan al- darûrah, demikian seterusnya الضرورة

5. Ta Marbûtah

Jika huruf Ta Marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf

tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh no.1). hal yang sama juga

berlaku, jika Ta Marbûtah tersebut diikuti oleh (na’t) atau kata sifat (contoh no.2).

x

Page 10: 93202 Muhamad Hilman Fah

xi

namun jika huruf Ta Marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf

tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (contoh no.3)

No. Kata Arab Alih Aksara

Tarîqah طريقة 1

al-jâmi’ah al-islâmiyah الجامعة اإلسالمية 2

wihdat al-wujûd وحدة الوجود 3

6. Huruf kapital

Mengikuti EYD bahasa Indonesia. Untuk proper name (nama diri, nama tempat,

dan sebagainya), seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf “al” a tidak boleh

kapital.

Page 11: 93202 Muhamad Hilman Fah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Semantik berasal dari bahasa Yunani: semantikos yang berarti, tanda atau

memberikan tanda. Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari makna

yang terkandung pada suatu bahasa, kode atau jenis representasi lain.1 Semantik

dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti dan merupakan satu

dari tiga jenis analisis bahasa: fonologi, gramatika dan semantik.2 Dalam

menganalisis semantik, seseorang harus menyadari bahwa bahasa itu bersifat unik

dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat

pemakainya.3 Maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja dan

tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Itu semua karena bahasa

adalah sebuah produk budaya. Jadi makna sebuah kata bisa menjadi berbeda atau

memiliki nuansa makna yang berlainan.

Teks adalah objek utama dalam kajian semantik. Ketika kita berhadapan

dengan teks, maka kita akan menemukan dua unsur pembangun, yaitu penulis dan

pembaca. Suatu teks tidak ada artinya, jika tidak ada penulis sebagai pengirim

makna (sender) dan pembaca sebagai penerima makna (receiver) dari sang

1 www.id.wikipedia.org/semantik. tanpa nama penulis. Data diakses pada tanggal 19

Februari 2010. 2 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Cet

ke-2, h. 2. 3 Siti Kurrotulaini, Analisis Semantik Terhadap Terjemahan al-Qur’an Juz 30 (Surat al-

Qadr, al-Alaq dan al-Ikhlash) Studi Komparatif antara Terjemahan Hamka dengan Terjemahan Mahmud Yunus, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Jakarta, 2008), h. 5

1

Page 12: 93202 Muhamad Hilman Fah

penulis. Di samping itu juga, sebagai penerima makna, “pembaca juga memberi

makna kedua” bagi teks. Di dalam posisi ini, pembaca diartikan sebagai penafsir

makna.4.

Sebagai teks, al-Qur’an telah include dalam kajian semantik. Al-Qur’an

sebagai kitab suci tidak hanya berisi mengenai kumpulan ayat-ayat berbahasa

Arab yang sastrawi dan indah, tetapi juga telah menjadi pedoman hidup kaum

muslimin. Agar menjadi pegangan hidup maka kaum muslimin perlu menafsirkan

al-Qur’an agar senantiasa aplikatif di dalam kehidupan.

Al-Qur’an adalah mukjizat maha dahsyat yang diturunkan Allah melalui

rasul-Nya agar umat manusia dapat mengkaji isi kandungan al-Qur’an dengan

seksama dan tentunya dengan pemahaman yang benar, yang sesuai dengan

perintah Allah swt serta anjuran Rasulullah saw. Setiap muslim tidak meragukan

lagi isi knadungan al-Qur'an, karena di sela-sela ayat-Nya, Allah swt

menyebutkan bahwa kitab ini akan dijaga keontetikannya dan kesakralannya:

“Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Qur’an dan Kami pulalah pemlihara-pemelihara-Nya.” (QS. 15:9)

Pemahaman yang salah pada al-Qur’an dapat menimbulkan interpretasi yang

menyimpang dari ajaran sesungguhnya. Pemahaman tentang teks dan konteks al-

Qur’an sangatlah beragam dan bermacam-macam.

4 Yustian Yusa, Terjemahan Ayat-Ayat Ttentang Eksklusivitas Islam: Analisis

Hermeneutik Terhadap Terjemahan Versi Departemen Agama dan The Holy Quran , (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Jakarta, 2009), h. 2.

2

Page 13: 93202 Muhamad Hilman Fah

Beragam bahasa dalam arti bahasa yang sesungguhnya ataupun bahasa

dalam arti isyarat seperti yang terkandung dalam alam semesta. Alam sebenarnya

manifestasi wahyu yang paling konkret sekaligus abstrak, konkret dalam

pengertian bahwa ia tampak secara nyata. Namun menjadi abstrak pada tatanan

kemungkinannya untuk dipahami. Sebab setiap orang dapat ‘menerjemahkan’

alam secara berbeda sesuai kapasitas pengetahuannya.5

Penerjemahan adalah suatu tindak komunikasi satu arah. Sebagai tindak

komunikasi, kegiatan tersebut tidak terlepas dari bahasa dan dalam

pembahasannya pun tidak dapat mengabaikan pemahaman tentang konsep-konsep

kebahasaan dan kaidah dalam penerjemahan. Sebagai bagian penting dalam

menjembatani ilmu pengetahuan, maka lahirlah konsep-konsep tersendiri dalam

penyampaian sebuah terjemahan.

Para pakar ahli bahasa mencoba memberikan pendapatnya tentang

penerjemahan. New mark memberikan definisi tentang penerjemahan sebagai

“reading the meaning of a text into another language in the way that the author

intenced the text” ‘mengalihkan suatu makna suatu teks ke dalam bahasa lain

sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pengarang’. Pinchuk pun mendefinisikan

penerjemahan sebagai “ a process of finding a TL (target language) equivalent for

an SL” ‘suatu proses menemukan padanan suatu ujaran dari bahasa sumber ke

dalam bahasa sasaran’.6

5 www.kampusislam.com, Oleh: Dr. Aceng Rahmat. Data diakses pada tanggal 19

Februari 2010 6 Dr. Frans Sayogie, M. Pd, Penerjemah Bahasa Asing ke dalam Bahasa Indonesia,

(Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negri Jakarta, 2008), h. 7.

3

Page 14: 93202 Muhamad Hilman Fah

Perbedaan penafsiran dengan berbagai latar belakang seorang penafsir

serta disiplin ilmu yang digunakan, menunjukkan bahwa teks al-Qur’an telah

sedemikian global dan luas yang dapat diterjemahkan dengan berbagai kondisi

dan situasi yang sedang berkembang.

Atas dasar inilah penulis tertarik dengan karya-karya terjemahan al

Qur’an, terutama yang dianggap sulit untuk dipahami. Untuk itu Penulis ingin

menganalisis terjemahan-terjemahan ulama besar dan tokoh penerjemah al Qur’an

sesuai dengan materi yang dibahas. Dalam pembahasan kali ini Penulis

mengangkat dua profil ulama Indonesia yang sudah diakui karya-karya

terjemahannya, yaitu Mahmud Yunus sebagai Ulama yang banyak bekecimpunga

dalam dunia pendidikan dan T. M. Hasbi ash Shiddieqy yang memiliki kepakaran

dalam bidang ilmu fiqh dan usul fiqh, tafsir, hadits, dan ilmu kalam.

Contoh perbedaan dalam penerjemahan Mahmud Yunus dan Hasbi ash

Shiddieqy dalam al Qur’an terdapat pada surat adh Dhuha ayat ke 2:

Mahmud Yunus menerjemahkan: Demi malam, apabila telah sunyi

Sedangkan Hasbi ash Shiddieqy menerjemahkan: Demi malam apa bila telah

sangat gelapnya.

Dari contoh itu, jika dilihat dari teks terjemahannya sangat jelas

perbedaannya. Terjemahan pertama, Kata (سجى) sajaa pada ayat tersebut

dipadankan dengan kata sunyi, sedangkan Hasbi memadankannya dengan kata

gelap. Dalam kamus al ashri kata (سجى) bersinonim dengan kata سكن dan هدأ yang

4

Page 15: 93202 Muhamad Hilman Fah

Melihat fakta di atas kiranya Penulis merasa perlu menggali makna yang

terkandung di dalam surat adh Dhuha dan al Insyirah dari sisi penerjemahannya

dengan membandingkan antara terjemahan Mahmud Yunus dan Hasbi ash

Shiddieqy. Oleh karena itu, Penulis mengambil skripsi yang berjudul “ANALISIS

SEMANTIK TERHADAP TERJEMAHAN AL-QUR’AN (Surat adh Dhuha

dan al Insyirah): Studi Komparatif antara Terjemahan Mahmud Yunus

dengan T.M. Hasbi ash Shiddieqy”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.

Pengamatan pada terjemahan Tafsir Quran Karim cetakan ke-73, tahun 2004

karya Prof. Dr. Mahmud Yunus dan Al Bayan Tafsir Penjelas Al-Qur’anul Karim

cetakan ke-2, tahun 2002 karya Prof. Dr. T.M. Hasbi ash Shiddieqy, memberikan

inspirasi kepada Penulis untuk mengangkat permasalahan kajian semantik

khususnya dalam surat adh-Dhuha dan al-Insyirah. Agar penulisan ini tidak

meluas, Penulis merumuskan masalah ini dengan bentuk pertanyaan yang akan

dijawab setelah melalui telaah mendalam. Bentuk pertanyaannya adalah:

• Model terjemahan apakah yang dipakai oleh Prof. Dr. Mahmud Yunus dan

Prof. Dr. T. M. Hasbi ash Shiddieqy dalam menerjemahkan al-Qur’an?

• Bagaimana letak perbedaan dan persamaan maknanya?

7 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia: al -Ashri, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, Cet kelima, 1998), h. 1047.

5

Page 16: 93202 Muhamad Hilman Fah

• Apa kelebihan dan kekurangan pada kedua model terjemahan tersebut?

• Apa aspek semantik yang mempengaruhi perbedaan makna tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

• Untuk mengetahui model terjemahan yang digunakan oleh Mahmud

Yunus dan T. M. Hasbi ash Shiddieqy.

• Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan makna kedua terjemahan

tersebut.

• Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan pada terjemahan Mahmud

Yunus dan T. M. Hasbi ash Shiddieqy.

• Untuk mengetahui aspek semantik yang mempengaruhi perbedaan makna

tersebut.

D. Manfaat Penelitian

Penulis skripsi ini mencoba menunjukkan kepada pembaca, bahwa setiap

penerjemah dapat menghasilkan sebuah pemaknaan yang berbeda dan pemakain

bahasa yang berbeda walaupun ayat yang diterjemahkannya sama.

E. Tinjauan Pustaka

Pada skripsi ini Penulis menggunakan Terjemahan al-Qur’an surat adh Dhuha dan

al Insyirah yang diterjemahkan oleh Mahmud Yunus dan T.M. Hasbi ash

Shiddieqy sebagai objek utama dalam penelitian ini. Adapun judul skripsi ini

6

Page 17: 93202 Muhamad Hilman Fah

terinspriasi dari skripsi Siti Kurrotulaini angkatan 2000 yang mengangkat analisa

semantik dengan study komparatif antara terjemahan Hamka dengan Mahmud

Yunus. Sedangkan analisis semantik yang membandingkan antara terjemahan

Mahmud Yunus dengan T. M. Hasbi ash Shiddieqy hanya pada skripsi ini.

Dengan sebab dan gejala yang ada pada permasalahan yang bagi Penulis sangat

menarik sekaligus menantang, maka Penulis merujuk pada buku-buku ataupun

bahan bacaan lain yang dapat dijadikan acuan serta data yang dapat ditemukan di

perspustakaan atau buku yang terkait dengan analisis yang Penulis teliti. Seperti

dalam buku Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, karangan Abdul Chaer.

F. Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriftif, yaitu

dengan cara mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan masalah yang

diteliti, kemudian dideskripsikan sehingga dapat memberikan kejelasan terhadap

objek yang diteliti. Selain itu juga dengan analisis, yaitu dengan mengadakan

perincian terhadap masalah yang diteliti dengan cara memilih antara pengertian

yang satu dengan pengertian yang lain. Sedangkan perincian data yang dilakukan

adalah dengan langkah-langkah membaca, menelaah karya terjemahan Mahmud

Yunus dan karya tejemahan T.M. Hasbi ash Shiddieqy.

Kajian ini dilakukan melalui kepustakaan (library research). Data-data

yang diperlukan dicari dari sumber-sumber kepustakaan (buku-buku terjemahan,

terjemahan al-Qur’an dan lain-lain). Sedangkan secara teknis, penulisannya

7

Page 18: 93202 Muhamad Hilman Fah

8

didasarkan pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Sayrif

Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, yang akan Penulis rincikan

sebagai berikut: bab I, Penulis akan menulis pendahuluan yang berisi mengenai

latar belakang masalah. Selain itu, Penulis akan menulis tinjauan pustaka, sebagai

informasi pembanding dengan penelitian sebelumnya dan juga berfungsi sebagai

tanggung jawab ilmiah. Setelah itu, Penulis membatasi, menemukan serta

merumuskan masalah sehingga nantinya tujuan dari penelitian ini tercapai.

Penulis juga membeberkan metode yang dipakai di dalam penelitian ini. Semua

dilakukan, agar pembaca mengetahui dan bisa menilai keilmiahan penelitian ini.

Dalam bab II, Penulis akan merumuskan konsep penerjemahan secara

umum, pengertian terjemah al-Qur’an beserta model-model terjemahan al-Quran

dan juga wawasan sematik secara global.

Bab III akan berisi mengenai sekilas biografi kedua penerjemah berserta

karya-karya mereka.

Bab IV merupakan hasil dari analisis semantik terjemahan al-Qur’an surat

adh Dhuha dan al Insyirah dengan melakukan analisa komparatif antara hasil

terjemahan versi Mahmud Yunus dengan T. M. Hasbi ash Shiddieqy.

Bab V adalah bab penutup yang berisi mengenai kesimpulan dari

penelitian yang telah dilakukan, serta saran untuk melakukan penelitian lebih

lanjut.

Page 19: 93202 Muhamad Hilman Fah

BAB II

KERANGKA KONSEPTUAL

A. Konsep Umum Semantik

Semantik, dengan objeknya yakni makna, berada diseluruh atau disemua tataran yang

membangun kalimat; satuan kalimat dibangun oleh klausa; satuan klausa dibangun oleh

frase; satuan frase dibangun oleh kata; satuan kata dibangun oleh morfem; satuan morfem

dibangun oleh fon’ (bunyi). Makna berada di dalam tataran fonologi, morfologi dan

sintaksis. Oleh karena itu semantik merupakan unsur yang berada pada semua tataran itu,

meskipun sifat kehadirannya pada tiap tataran itu tidak sama. Sebagai Displin ilmu,

semantik banyak memberikan manfaat dalam kehidupan. Ilmu ini merefleksikan bidang

ilmu masing-masing. Bagi seorang yang bergelut di media cetak dan elektronik, kajian

ilmu ini akan sangat praktis digunakan karena berkerja di bidang ini selalu berhubungan

dengan bahasa dan teks-teks yang menjadi bahan pustaka.8 Namun, sebelum Penulis

membicarakan lebih rinci lagi, Penulis akan memaparkan hal-hal yang diperlukan sebagai

berikut:

1. Pengertian Semantik

Kata semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani sema yang berarti

tanda’ atau lambang’. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti menandai’ atau

melambangkan. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk

bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-

hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang

8 Siti Kurrotulaini, Analisis Semantik Terhadap Terjemahan al-Qur’an Juz 30 (Surat al-Qadr, al-

Alaq dan al-Ikhlash) Studi Komparatif antara Terjemahan Hamka dengan Terjemahan Mahmud Yunus, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Jakarta, 2008), h. 33

9

Page 20: 93202 Muhamad Hilman Fah

mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan

sebagai ilmu arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatikal

dan semantik.9 Sedangkan Verhaar menyebutkannya sebagai teori makna atau teori arti.10

Dalam menganalisis semantik, seseorang harus menyadari bahwa bahasa itu

bersifat unik dan mempunyai hubungan yang erat dengan budaya masyarakat

pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja tidak dapat

digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Mengapa hal ini dapat terjadi? Semua ini

karena bahasa itu adalah produk budaya sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari

masyarakat bahasa yang bersangkutan. Selain itu, dalam bahasa yang penuturnya terdiri

dari kelompok-kelompok yang mewakili latar belakang budaya, pandangan hidup dan

status sosial yang berbeda. Maka makna sebuah kata bisa menjadi berbeda atau memiliki

nuansa makna yang berlainan.

Begitu pula halnya pada objek kajian skripsi ini. Berhubung bahasan objek yang

dianalisis Penulis adalah bahasa Arab, maka analisis semantisnya tidak lepas dari

kebudayaan Arab atau produk budayanya.

2. Jenis-jenis Semantik

Bila melihat dan mengkaji semantik maka akan kita temukan jenis-jenis semantik yang

sangat beragam bentuknya. Namun untuk memudahkan pembahasan, Penulis akan

menjelaskan dua model semantik yang kerap ditemukan di beberapa kajian bahasa.

Pertama, semantik leksikal: semantik ini lazim digunakan dalam studi semantik untuk

menyebut satuan bahasa bermakna. Kedua, semantik gramatikal dari tataran tata bahasa

yaitu morfologi dan sintaksis, kata, frase, klausa dan kalimat. Semua bentuk tersebut

9 Abdul Chaer. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002, Cet. Ke-2), h. 2.

10 J.W.M Verhaar, Pengantar Linguistik, (Yogyakarta; UGM Press, 1989), h. 124.

10

Page 21: 93202 Muhamad Hilman Fah

memiliki makna dalam bentuknya. Telaah bentuk semantik dilakukan ketika satuan-

satuan morfologi dan sintkasis itu terdapat dan membentuk kalimat. Berbeda dengan

leksikal, penelaahannya bisa dilakukan ketika satuan-satuannya terpisah atau berada

dalam kalimat.

3. Definisi Perbedaan Makna

Sebelum Penulis menjelaskan apa itu perbedaan makna, terlebih dahulu Penulis akan

mengurai definisi makna itu sendiri. Makna adalah: pertama, arti, seperti dalam kalimat

“dia membaca buku klasik itu sekaligus memperhatikan maknanya”; kedua, maksud

pembicara atau penulis; dan ketiga, pengertian yang diberikan kepada suatu betuk

kebahasaan.

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa aspek fundamental pada setiap bahasa

adalah makna yang dikandungnya. Dengan makna itulah orang lain dapat memahami apa

yang dimaksud oleh pembicara. Sulit untuk dibayangkan betapa rumitnya menjalin

komunikasi jika bahasa yang digunakan tidak memiliki makna. Artinya antara satu

dengan yang lain tidak bisa saling memahami.

Dalam kajian linguistik, makna adalah salah satu persoalan yang dapat dikaji

secara mendalam. Penyelidikan makna dalam kajian linguistik disebut semantik. Dengan

demikian, semantik merupakan bagian penting dalam linguistik. Dari sejumlah definisi

semantik yang telah terpapar sebelumnya, makna adalah titik fokusnya. Verhaar,

mendefiniskan semantik sebagai teori makna atau teori arti.11 Demikian juga dengan

Lyons mendefinisikan semantik dengan penyelidikan makna.12

11 Verhaar, Pengantar Linguistik, h. 123 12 John Lyons, Pengatar Teori Linguistk, (Jakarta: Gramedia Pustaka utama 1995), h. 393 (terj. I.

Soetikno)

11

Page 22: 93202 Muhamad Hilman Fah

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan semantik

adalah bagian dari cabang-cabang linguistik yang mengkaji persoalan makna kata.

Menurut Verhaar, persoalan makna menyentuh sebagian besar tataran linguistik. Mulai

dari hal yang paling rendah yaitu leksikal, dimana di dalamnya ada makna dan disebut

dengan makna leksikal. Pada tataran morfologi dan sintaksis juga makna yang disebut

dengan makna struktural.13 Berdasarkan hal tersebut, ia membagi makna kepada dua

jenis, yaitu makna leksikal dan makna gramatikal. dalam hubungannya dengan perbedaan

pada makna dapat terjadi pada makna leksikal dan makna gramatikal.

Menurut Kridalaksana, yang dimaksud dengan makna lesikal adalah makna

unsur-unsur bahasa lambang benda, peristiwa, dan lain-lain.14 Pateda mendefinisikan

makna atau makna leksikal adalah kata yang ketika kata itu berdiri sendiri, baik dalam

bentuk kata atau bentuk perimbuhan yang maknanya kurang lebih tetap, seperti yang

dapat dibaca di dalam kamus bahasa tertentu. Dikatakan berdiri sendiri sebab makna

sebuah kata dapat berubah apabila kata tersebut telah berada dalam satu kalimat.

Sementara yang dimaksud dengan makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai

akibat berfungsinya kata itu dalam kalimat.

Dari kedua jenis makna tersebut, yang menjadi fokus pembicaraan kali ini adalah

perbedaan makna leksikal yang terjadi pada kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa

Indonesia.

Kata serapan yang mengalami perbedaan makna dapat diklasifikasikan sesuai

kategorinya, yaitu kata benda (nomina), kata kerja (verba) dan kata sifat (adjektiva).

Nomina (kata benda) adalah kelas kata dalam bahasa Indonesia yang ditandai oleh tidak

13 Verhaar, Pengantar Linguistik, h. 124-125. 14 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia, 2001 cet. Ke-5), h. 133

12

Page 23: 93202 Muhamad Hilman Fah

dapatnya ia bergabung dengan kata tidak. Misalnya rumah adalah nomina Contoh: kata

rumah dalam kalimat adalah “warga kampung Klingkit membangun rumah ibadat orang

muslim di kampung mereka”. Verba adalah kata kerja, kata yang menggambarkan proses,

perbuatan atau keadaan, seperti kata baca dalam kalimat “Si Dion membaca buku

pelajaran”. Adjektiva (kata sifat) adalah kata yang menerangkan nomina (kata benda) dan

secara umum dapat bergabung dengan kata lebih dan sangat. Seperti kata bagus dalam

kalimat “sepatu baru Adi bagus sekali”.

Dalam pembahasannya dalam semantik ada beberapa faktor yang melatar

belakangi perbadaan makna itu terjadi. Seperti dikemukakan di atas bahwa perbedaan

makna itu terjadi seiring dengan perbedaan kata yang terus menerus berubah sesuai

dengan perbedaan pemikiran dan kebutuhan manusia. Di samping itu, ada yang

menyebutkan, di antara penyebab perbedaan makna itu adalah kerena pengaruh bahasa

asing. Beberapa faktor yang memudahkan terjadinya perubahan makna. Di antaranya

yang disebutkan oleh J.D Parera -dengan beberapa perubahan- yang mengutip tulisan

Antonie Meillet, yaitu:

1. Bahasa turun temurun dari generasi ke generasi dengan cara yang langsung dan

tidak langsung: seorang anak selalu belajar bahasa dalam bentuknya yang segar.

Persepsi dan tanggapan anak terhadap makna didasarkan pada konteks

pemakaiannya. Apakah persepsi dan tanggapan anak akan makna kata itu sama

seperti yang dikehendaki penuturnya? Pada umumnya tidak. Cukup banyak salah

persepsi dan salah tanggapan yag dilakukan oleh anak; terdapat konteks dan

kondisi waktu tanggapan yang salah diperbaiki sebelum berlanjut lebih jauh.

13

Page 24: 93202 Muhamad Hilman Fah

Akan tetapi, cukup banyak kesalahan persepsi dan tanggapan akan makna kata

diperbaiki. Dari sanalah bermula pergeseran makna.15

2. Kekaburan dan ketidakpastian makna menjadi salah satu sumber pergeseran dan

perubahan makna. Batas antar makna tidak jelas. Ketidak akraban pemakai

bahasa dengan makna sebuah kata menjadi sumber kekaburan makna yang

berakibat kepada pergeseran dan perubahan makna. Misalnya, dalam kegiatan

pasca-Pemilu 1999 di Indonesia para politikus tidak dapat membedakan antar

koalisi dan aliansi karena makna ini sebelumnya tidak akrab bagi para politikus

Indonesia. Dalam bahasa Belanda dan Perancis koalisi bermakna “permufakatan

antara dua partai atau bangsa untuk menghadapi musuh yang sama”, sedangkan

aliansi “persekutuan militer yang menghadapi musuh bangsa”. Di Indonesia

“koalisi dan aliansi antar partai peserta Pemilu untuk memenangkan Pemilu”; di

sini tidak terdapat pikiran musuh bersama atau pemikiran militer.16

3. Loss of motivation ‘kehilangan motivasi’ juga menjadi salah satu faktor

terjadinya pergeseran makna, demikian kata Meillet. Dalam penjelasannya,

dikatakan sepanjang sebuah kata tetap dengan kuat berpegang pada akarnya

(tentu makna dasar awal) dan pada medan makna yang sama, maka makna kata

itu masih dalam batas-batas bukan pergeseran makna atau perubahan makna.

Akan tetapi, sekali hubungan ini diabaikan, maka makna itu akan bergulir jauh

dari asalnya dan berkembang tak terkendali.17 Dalam bahasa Indonesia dapat

dicontohkan kata canggih. Makna kata ini telah terlepas dari makna dasarnya.

Kata canggih dihidupkan kembali karena kepentingan pemadanan tertentu.

15 J. D. Parera, Teori Semantik, (Jakarta: Erlangga, 2004, Edisi ke-dua), h. 108-109 16 J. D. Parera, Teori Semantik, h. 108-109 17J. D. Parera, Teori Semantik, h. 108-109

14

Page 25: 93202 Muhamad Hilman Fah

Makna kata itu berkembang tak terkendalikan, misalnya mesin yang canggih,

gadis itu canggih, perbuatannya canggih, warna yang canggih, dan seterusnya.

Penggunaan kata canggih itu tak terkendalikan lagi. Di sini kehilangan faktor

motivasi menonjol.

Disamping tiga faktor yang dikemukakan oleh Meillet di atas, J. D Parera

menambahkan beberapa faktor seperti di bawah ini.

1. Faktor salah kaprah juga mempermudah pergesaran dan perubahan makna. Salah

kaprah adalah kesalahan yang terjadi karena kelaziman atau kebiasaan dengan

sesuatu yang salah dan dibiarkan terus berjalan tanpa usaha perbaikan oleh

pemakainya. Usaha perbaikan datang terlambat. Kelaziman pemakaian makna

kata menjadi tumpuan walaupun maknanya sudah salah.18

Makna kata pertanda ialah “pelebaya, algojo”. Akan tetapi, kata pertanda selama

ini dipahami bermakna “alamat, gelagat” dan akibatnya makna terakhir ini (akibat

salah kaparah) telah dimasukkan ke dalam KBBI edisi kedua sebagai homonimi

terhadap makna “pelebaya, algojo” yang asli.19

2. Struktur kosa kata memegang peran penting dalam pergesaran makna. Struktur

fonologi, morfologi dan sintaksis lebih bersifat tertutup, sedangkan struktur

kosakata sangat bersifat terbuka. Setiap makna kosakata dapat berkembang,

bertambah, berubah, bergeser atau malah menghilang dari peredaran pemakaian

karena tidak diperlukan lagi.

18 J. D. Parera, Teori Semantik, h. 108-109 19 Jamiluddin Ali, Analisis Semantik Ayat-Ayat al-Qur’an Tentang Jilbab dalam Buku ‘Jilbab

Pakaian Wanita Muslimah Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiwan Kontemporer’ Karya M. Quraish Shihab, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Jakarta, 2007), h. 28

15

Page 26: 93202 Muhamad Hilman Fah

Dari apa yang diuraikan di atas dapat dipahami mengapa perubahan makna bisa

terjadi dan yang memudahkan perubahan makna tersebut terjadi. Selain itu terdapat juga

beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna, artinya ada hal-hal yang

menjadi penyebab terjadinya perubahan makna. Hal-hal tersebut terjadi yaitu:

1. Kebahasaan (sebab-sebab linguitsik)

Perubahan makna karena faktor kebahasaan berhubungan dengan fonologi,

morfologi dan sintaksis. Misalnya kata sahaya yang pada mulanya maknanya

dihubungkan dengan budak; tetapi karena kata ini berubah menjadi saya, maka

kata saya selalu dihubungkan dengan orang pertama terhormat, misalnya dalam

kalimat, “saya akan mencalonkan diri menjadi Gubernur.” Orang tidak

menghubungkan dengan makna budak. Dengan kata lain makna kata itu telah

berubah.

2. Kesejarahan (sebab-sebab historis)

Faktor kesejarahan ini dapat diuraikan menjadi objek, institusi, ide, dan konsep

ilmiah. Perubahan makna karena faktor dapat dicontohkan dengan kata wanita,

yang sebenarnya berasal dari kata betina. Kata betina selalu dihubungkan dengan

hewan, misalnya ayam betina. Kata betina dalam perkembangannya berubah

menjadi batina, lalu fonem /b/ berubah menjadi /w/ sehingga watina, lalu menjadi

wanita. Kata wanita berpadanan maknanya dengan makna perempuan. Kini,

orang tidak menghubungkan makna kata wanita dengan hewan, tetapi dengan

objek. Demikian pula dengan kata seni yang makna asalnya adalah ‘air kencing’,

tetapi berubah maknanya menjadi ‘segala sesuatu yang indah’.20 Hal yang

berhubungan dengan institusi, misalnya dalam bahasa Indonesia terdapat kata

20 Jamiluddin Ali, Analisis Semantik Ayat-Ayat al-Qur’an Tentang Jilbab, h. 28

16

Page 27: 93202 Muhamad Hilman Fah

rukun, seperti dalam urutan kata rukun tetangga dan rukun warga. Dahulu, urutan

kata tersebut dihubungkan dengan kerukunan antar warga, baik tetangga dengan

tentangga maupun antar warga dengan warga lingkungan dalam satu desa. Kini

pengertian itu yang sudah menjadi institusi resmi, maknanya bukan lagi khusus

mengenai soal kerukunan, tetapi sudah lebih luas dari itu. Adapun yang berkaitan

dengan ide-ide sangat tergantung pada adanya ide-ide baru sehingga dibutuhkan

kosakata baru ataupun kosakata lama tetapi kosakata tersebut sudah berubah

maknanya. Contohnya seperti kata simposium yang pada mulanya bermakna

‘orang yang minum-minum di restoran dan kadang-kadang ada acara dansa yang

diselingi diskusi’. Namun pada saat sekarang ini kosa kata simposium lebih

menitikberatkan pada diskusi, membahas berbagai masalah dalam bidang ilmu

tertentu. Hal yang berhubungan dengan konsep ilmiah, misalnya makna kata volt.

Dahulu kata volt dikaitkan dengan nama penemunya yakni Alessandro Voltas.

Kini makna tersebut berubah maknanya menjadi satuan potensial listrik yang

diperlukan untuk mengalirkan satu ampere arus listrik melalui satu ohm.,

misalnya dalam kalimat Voltase aliran listrik di rumahmu harus ditambah.

3. Sosial

Perkembangan sosial masyarakat sangat mempengaruhi perubahan makna.

Misalnya kata gerombolan pada mulanya bermakna ‘orang yang berkumpul’ atau

‘kerumunanan orang, tetapi kemudian kata tersebut tidak disukai lagi karena

selalu dihubungkan dengan ‘pemberontak’ atau ‘perampok’. Sebelum tahun 1945

orang dapat berkata, “Gerombolan laki-laki menuju ke pasar”, tetapi setelah tahun

17

Page 28: 93202 Muhamad Hilman Fah

1945, apalagi dengan munculnya pemberontak, maka kata gerombolan enggan

digunakan, bahkan ditakuti.

4. Psikologis

Perubahan makna mempunyai akar yang kuat pada kedaan mental pemakai

bahasa atau pada ciri-ciri tertentu yang permanen dalam pembentukan mental

pemakai bahasa. Beberapa faktor emotif dan faktor tabu.

Perubahan makna karena faktor psikologis yang berhubungan dengan emosi,

misalnya penggunaan kata bangsat. Dahulu makna kata bangsat dihubungkan

dengan binatang yang biasa menggigit jika kita duduk di kursi rotan karena

binatang itu hidup di sela-sela anyaman rotan. Kini kalau orang mengatakan, “Hei

bangsat, kenapa hanya duduk?” makna bangsat bukan lagi binatang kecil yang

suka menggigit, tetapi manusia yang malas yang kelakuannya menyakitkan hati.

Dengan kata lain, makna kata bangsat telah berubah.

Adapun perubahan makna yang berkaitan dengan tabu terbagi dalam beberapa

bagian. Di antaranya yaitu tabu karena takut, misalnya dalam menyebutkan nama

Tuhan atau Allah. Orang Inggris menyebut Allah dengan Lord dan orang Jawa

dengan Gusti. Selain itu juga terdapat tabu karena persolan yang genting dan tidak

mengenakan, misalnya untuk menyebutkan kekurangan-kekurangan fisik dan

mental yang berhubungan dengan manusia digunakanlah bahasa yang sudah mati

(bahasa Snaskrit) yaitu tunarungu, tunanetra.

Terdapat juga tabu yang berhubungan dengan masalah kesusilaan. Yakni tabu

yang langsung berhubungan dengan seks, beberapa fungsi dari organ tubuh dan

18

Page 29: 93202 Muhamad Hilman Fah

sumpah serapah. Misalnya, untuk menyebutkan bagian tubuh wanita yang

menonjol di dada disebut buah dada diganti dengan kata baru payudara.

5. Pengaruh bahasa asing.

Perubahan makna karena pengaruh bahasa asing, misalnya kata keran yang

berasal dari bahasa Inggris crank yang kemudian dalam bahasa Indonesia

bermakna keran, pancuran air ledeng yang dapat dibuka dan ditutup.21

6. Karena kebutuhan kata yang baru

Telah diketahui bahwa pemikiran manusia berkembang terus sesuai dengan

kebutuhannya. Kebutuhan tersebut memerlukan nama atau kata baru, karena

bahasa adalah alat komunikasi. Misalnya kata bui, penjara, tutupan, diganti

dengan kata lembaga pemasyarakatan. Dan orang yang berada di dalamnya

disebut napi atau orang lembaga. Orang yang mendekam di lembaga

pemasyarakatan bukan saja ditahan, tetapi mereka sekaligus disadarkan agar

mereka dapat menjalankan fungsi kemanusiaan yang wajar di tengah-tengah

masyarakat. Dengan cara diberikan keterampilan, santapan rohani dan lain

sebagainya.22

Selain dari faktor-faktor yang menyebabkan perubahan makna di atas terdapat

perubahan makna yang diakibatkan oleh banyak hal. Karena bagaimanapun juga seperti

yang telah Penulis ungkapkan sebelumnya bahwa perubahan makna itu sangat erat

kaitannya dengan pemakai bahasa. Sedangkan pemakai bahasa selalu berinteraksi dengan

banyak hal yang berada di sekitarnya. Oleh sebab itulah banyak hal yang bisa

mengakibatkan makna sebuah kata itu menjadi berubah.

21 Jamiluddin Ali, Analisis Semantik Ayat-Ayat al-Qur’an Tentang Jilbab, h. 32 22 Jamiluddin Ali, Analisis Semantik Ayat-Ayat al-Qur’an Tentang Jilbab, h. 32

19

Page 30: 93202 Muhamad Hilman Fah

Hal penting yang harus diketahui berkaitan dengan perubahan makna yaitu

perubahan makna karena diakibatkan oleh perubahan lingkungan, contohnya seperti kata

cetak. Bagi mereka yang bergerak dalam bidang persuratkabaran, kata cetak selalu

dihubungkan dengan kata tinta, huruf, dan kertas. Tetapi bagi tukang bata, kata cetak

biasanya dihubungkan dengan kegiatan membuat bata, mencetak batu bata pada

cetakannya. Sedangkan bagi petani, kata cetak biasanya dikaitkan dengan usaha

membuka lahan baru untuk pertanian sehingga muncul urutan kata percetakan sawah

baru. Selanjutnya, bagi para dokter kata cetak biasanya dihubungkan dengan kegiatan

menghasilkan uang, dan bagi para pemain sepak bola kata cetak biasanya dihubungkan

dengan keberhasilan memasukkan bola ke gawang lawan23 sehingga muncul kalimat

“Ronaldo mencetak 1 gol dalam pertandingan Real Madrid vs Barcelona semalam”

B. Konsep Umum Penerjemahan al-Qur’an

1. Pengertian Terjemah Al-Qur’an

Secara harfiah, terjemah berarti menyalin atau memindahkan suatu pembicaraan dari satu

bahasa ke bahasa lain, atau singkatnya mengalihbahasakan. Sedangkan terjemahan,

berarti salinan bahasa, atau alih bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain.24 Secara

etimologis kata “همجرت” atau translation berarti menerangkan atau menjelaskan, seperti

dalam ungkapan tarjamatu kalam maksdunya bayyinahu wa wadihahu “menerangkan

suatu pembicaraan dan menjelaskan maksudnya.25 Maka, menafsirkan atau menjelaskan

al-Qur’an ke dalam berbagai bahasa selain bahasa Arab, termasuk menerjemahkan al-

23 Jamiluddin Ali, Analisis Semantik Ayat-Ayat al-Qur’an Tentang Jilbab, h. 32. 24 Tim PrimaPena, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Terbaru), (Jakarta: Gita Media Press),

h. 754 25 Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH. MA, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (1), (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2000) h. 129.

20

Page 31: 93202 Muhamad Hilman Fah

2. Macam-Macam Terjemah Al-Qur’an

Munculnya persoalan-persoalan baru seiring dengan dinamika masyarakat yang progresif

mendorong umat Islam untuk mencurahkan perhatian yang besar dalam menjawab

problematika kontemporer yang semakin kompleks dari masa kemasa. Untuk itu Penulis

akan menjelaskan beberapa model dalam penerjemahan al-Qur’an sebagai berikut:

A. Terjemahan secara harfiyah (lafziyah) yaitu menerjemahkan al-Qur’an ke dalam

bahasa sasaran di mana kalimat dan susunan kata disesuaikan dengan bahasa

aslinya. Contoh, kalimat bismillah diartikan dengan “dengan menyebut nama

Allah” yang secara harfiyah adalah dua kata yang diterjemahkan ke dalam bahasa

pemakai yang sudah beredar di masyarakat contohnya adalah terjemahan al-

Qur’an Depag RI dari tiap edisi.

Dalam terjemahan harfiyah selain beberapa pemahaman di atas ada dua hal yang harus

diikuti jika menerjemahkan al-Qur’an.

• Adanya kosakata-kosakata yang sempurna dalam bahasa terjemah sama

dengan kosakata-kosakata bahasa asli.

26 Drs. M. Ali Hasan & Drs. Rif’at Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1988), h. 170.

21

Page 32: 93202 Muhamad Hilman Fah

• Harus adanya penyesuaian kedua bahasa mengenai kata ganti dan kalimat

penghubung yang menghubungkan antara satu frasa dengan frasa yang lain

untuk menyusun kalimat.

B. Terjemahan tafsiriyah (ma’nawiyah) yaitu menerjemahkan dari ayat-ayat al-

Qur’an di mana si penerjemah memusatkan perhatiannya pada arti al-Qur’an yang

diterjemahkan dengan lafaz-lafaz yang tidak terikat oleh kata-kata dan susunan

kalimat dalam bahasa dalam bahasa asli. Model terjemahan tafsiriyah seperti ini

juga sudah banyak beredar di masyarakat.

2. Syarat-Syarat Terjemah Al-Qur’an

Penerjemahan al-Qur’an adalah mengalihkan pesan al-Qur’an, ke bahasa asing selain

bahasa Arab, dan terjemahan tersebut dicetak dengan tujuan agar dapat dikaji oleh

mereka yang tidak menguasai bahasa Arab sehingga dapat dimengerti maksud dari

firman Allah tersebut dengan bantuan terjemahan.

Seorang penerjemah al-Qur’an harus memenuhi syarat-syarat berikut:

• Penerjemah haruslah seorang muslim, sehingga tanggung jawab

keislamannya dapat dipercaya.

• Penerjemah haruslah seorang yang adil dan tsiqah. Karenanya, seorang

fasik tidak diperkenankan menerjemahkan al-Qur’an.

• Menguasai bahasa sasaran dengan teknik penyusunan kata. Ia harus

mampu menulis dalam bahasa sasaran dengan baik.

• Berpegang teguh pada prinsip-prinsip penafsiran al-Qur’an dan memenuhi

kriteria sebagai mufasir, karena penerjemah pada hakikatnya adalah

seorang mufasir.

22

Page 33: 93202 Muhamad Hilman Fah

Menurut T.M. Hasbi ash-Shiddieqy ada beberapa ilmu yang harus

dimengerti dan dikuasai oleh seorang mufassir sebagai berikut:

• Lughat Arabiyah: dengan ilmu ini seorang muafassir akan mengetahui

syarah kata tunggal.

• Undang-undang bahasa Arab: aturan-aturan yang terdapat dalam bahasa

Arab atau jelasnya mengerti ilmu sharaf dan nahwu.

• Ilmu Ma’ani, Bayan dan Badi’: dari ketiga ilmu ini seorang mufassir akan

mengerti susunan pembicaraan dan penjelasan dari setiap kalimat dan

memahami letak keindahan bahasa al-Qur’an.

• Mengetahui asababun nuzul dan nasakh serta mengerti antara mubham dan

mujmal.

• Mengetahui ijmal, tabyin, umum, khusus, itlaq, taqyid, petunjuk suruhan,

petunjuk larangan. Ini diambil dari ilmu ushul fiqh.

• Ilmu Kalam

• Ilmu Qira’at.27

Pada saat melakukan kerja penerjemahan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi

syarat-syarat berikut:

• Dalam menerjemahkan seorang penerjemah harus berpedoman pada syarat-

syarat penafsiran rasional (التفسيرالعقلي).

• Penerjemah harus memperhatikan ketepatan terjemah dengan melihat

tingkat penerjemah sebagai berikut: (1) terjemah kata per kata dengan

melihat padanannya; (2) terjemah makna dan penjelasannya dengan

27 T. M. Hasbi ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir, (Jakarta: Bulan

Bintang 1980), h. 207

23

Page 34: 93202 Muhamad Hilman Fah

menggambarkan makna tersebut dan memberi beberapa penjelas tambahan

atas makna kata; (3) menjelaskan kebenaran pemilihan makna terjemahan

dan berusaha menjelaskan dengan dalil.

• Dalam menerjemahkan haruslah terkonsentrasi pada redaksi (األلفاظ) dan

makna al-Qur’an, bukan pada bentuk susunan al-Qur’an, karena sistem

susunan tersebut merupakan mukjizat yang tak terjemahkan.

• Hendaknya menerjemahkan makna al-Qur’an dengan metode terjemah

yang benar dengan kriteria: (1) gaya penerjemahan dengan bahasa yang

mudah dicerna, dan sesuai dengan kemampuan umum pembaca; (2) hati-

hati dalam mencarikan padanan yang tepat dari kalimat-kalimat yang ada

dalam al-Qur’an; (3) menuliskan makna ayat dengan sempurna; (4)

memohon bantuan pada ahli Bsa untuk mendapatkan koreksi.

• Menjadikan tafsir sebagai rujukan dalam penerjemahan.

• Harus memberikan keterangan pendahuluan yang menyatakan bahwa

terjemah al-Qur’an tersebut bukanlah al-Qur’an, melainkan tafsir al-

Qur’an.

Selain strategi di atas, ada teknik umum yang harus pula diketahui seorang yang

hendak menerjemahkan al-Qur’an, seperti berikut:

• Penerjemahan ayat sebaiknya ditulis miring.

• Penerjemahan informasi ayat dituliskan sesuai dengan kelaziman yang

dipakai, seperti (QS Al-Baqarah [2]: 33). Namun demikian, penulisan ini

bisa disesuaikan dengan gaya selingkung yang berlaku.

• Penerjemahan ayat sebaiknya diapit oleh tanda petik ganda.

24

Page 35: 93202 Muhamad Hilman Fah

25

• Penerjemahan harus mengacu pada penerjemahan lain yang telah

disepakati keakuratannya oleh banyak kalangan, meskipun tetap

dibenarkan melakukan penyuntingan bahasa, bukan isi terjemahan.

• Penerjemahan al-Qur’an di dalam teks lain, biasanya didahului dengan

klausa Allah Swt. berfirman. Ini bukan merupakan keharusan. Penerjemah

bisa memodifikasinya.28

Dari teori-teori tentang konsep umum semantik dan konsep umum penerjemahan al-

Qur’an yang telah Penulis jabarkan di atas, maka akan di jadikan sebagai landasan

analisis pada bab empat.

28 www.kampusislam.com, ditulis oleh: Moch. Syarif Hidyatullah. Diakses pada tanggal 19

februari 2010

Page 36: 93202 Muhamad Hilman Fah

BAB III

BIOGRAFI KEDUA PENERJEMAH

A. Biografi Prof. Dr. Mahmud Yunus

Mahmud Yunus lahir pada tanggal 30 Ramadhan 1316 H atau bertepatan dengan

10 Februari 1899 di Batu Sangkar Barat. Belum genap berumur tujuh tahun beliau

sudah memulai mengaji pada kakeknya, M . Tahir bin M. Ali. Mahmud Yunus

masuk ke sekolah dasar namun hanya sampai kelas tiga. Selepas itu, beliau

memasuki madrasah yang dipimpin oleh Syekh H. M. Thalib Umar sampai tahun

1916. Pada tahun 1917 Mahmud Yunus sudah dipercaya untuk mengajar

menggantikan gurunya yang berhalangan karena sakit.

Ketika berusia 25 tahun beliau melanjutkan studinya ke Universitas Kairo

dan berhasil memperoleh Syahadah Alamiyah. Kemudian pada tahun 1926-1930

belajar di Madrasah Darul Ulum Ulya. Sebagai orang Indonesia yang pertama kali

memasuki Madrasah ini beliau harus bersusah payah untuk dapat bersekolah di

Madrasah ini. Beliau mengambil takhashsush (spesialis) tadris sampai

memperoleh Ijasah Tadris.29

Profesinya sebagai guru sudah dimulai sejak masih belajar di Batu

Sangkar, yaitu sebagai guru bantu di pesantren. Selanjutnya pada tahun 1931

sebagai direktur/guru al-Jamiah di Batu Sangkar dilanjutkan dengan sebagai guru

Normal Islam (Madrasah Mu’alimin Islamiyah), kemudian menjadi dosen agama

pada Akademi Pamong Praja di Bukit Tinggi, menjadi dekan pada Akademi Dinas

29 Diploma guru atau pada masa sekarang dikenal dengan istilah akta 4

26

Page 37: 93202 Muhamad Hilman Fah

Ilmu Agama (AIDA) di Jakarta, pada tahun 1960-1963 beliau dipercaya sebagai

dekan sekaligus guru besar pada fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah

Jakarta dan pada tahun 1966-1971 beliau menjabat sebagai rektor IAIN Imam

Bonjol Padang.

Beliau juga dikenal sebagai pendiri perkumpulan Sumatra Thawalib dan

penerbit Islam al-Basyir. Pada tahun 1920 turut mendirikan persatuan anggota Cu

Sang Kai. Pada tahun 1945-1946 dimana beliau berhasil memasukkan pendidikan

agama Islam di sekolah-sekolah pemerintah. Beliau turut serta dalam mendirikan

Majlis Tinggi Minangkabau yang kemudian menjadi MIT Sumatra.

Beliau mulai terlibat gerakan pembaruan setelah mewakili gurunya untuk

hadir dalam rapat besar ulama Minangkabau tahun 1919 di Padang Panjang,

Sumatra Barat. Abad ke-20 ditandai dengan kemajuan di berbagai bidang,

terutama ilmu pengetahuan dan teknologi. Negara-negara yang bisa menguasai

kedua hal tersebut akan bisa mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakatnya.

Tentu bangsa Indonesia yang mayoritas muslim mau tak mau harus mengikuti

perkembangan itu.

Selama ini ada anggapan bahwa pendidikan Islam hanya terpusat untuk

mempelajari ilmu-ilmu agama. Tapi beberapa kalangan telah melakukan

penyesuaian dengan memasukkan ilmu umum dalam kurikulum pendidikan Islam.

Salah satu tokoh pembaru itu adalah Prof. Mahmud Yunus. Disebutkan dalam

buku Tokoh dan Pemimpin Agama: Biografi Sosial-Intelektual, Mahmud Yunus

lahir lahir di desa Sungayang, Batusangkar, Sumatra Barat, hari Sabtu 10 Februari

1899. Keluarganya adalah tokoh agama yang cukup terkemuka. Ayahnya yang

27

Page 38: 93202 Muhamad Hilman Fah

bernama Yunus bin Incek menjadi pengajar surau yang dikelolanya sendiri.

Ibundanya yang bernama Hafsah binti Imam Samiun merupakan anak Engku

Gadang M. Tahur bin Ali, pendiri serta pengasuh surau di wilayah itu.

Sejak kecil, Mahmud Yunus dididik dalam lingkungan agama. Dia tidak

pernah masuk sekolah umum. Ketika menginjak usia tujuh tahun, Mahmud mulai

belajar al-Qur’an serta ibadah lainnya. Gurunya adalah kakeknya sendiri.

Mahmud sempat menimba ilmu di sekolah desa, tahun 1908. Namun, saat duduk

di kelas empat, dia merasa tidak betah lantaran seringnya pelajaran kelas

sebelumnya diulangi. Mahmud kecilpun memutuskan pindah ke madrasah yang

berada di surau Tanjung Pauh bernama Madras School, asuhan H. M. Umar

Thaib, seorang tokoh pembaru Islam di Minangkabau.

Sejarah mencatat, H.M. Umar Thaib amat berpengaruh terhadap

pembentukan keilmuan Mahmud Yunus. Melalui karya-karya gurunya itu,

Mahmud dapat menyerap semangat pembaruan yang dibawanya. Misalnya dalam

karya al-Munir ditekankan penguasaan pengetahuan umum serta bahasa Eropa.

Karenanya para santri di surau/pesantren H. M. Umar Thaib diwajibkan

mempelajai ilmu agama, bahasa Eropa, maupun ilmu pengetahuan umum.

Maksudnya agar para santri dapat juga memanfaatkan ilmu-ilmu tersebut bagi

peningkatan kesejahteraan umat dan perkembangan Islam.

Saat Mahmud belajar di Madras School antara tahun 1917-1923, di

Minangkabau tengah tumbuh gerakan pembaruan Islam yang dibawa oleh para

alumni Timur Tengah. Umumnya pembaruan Islam terwujud dalam dua bentuk:

28

Page 39: 93202 Muhamad Hilman Fah

purfikasi30 dan modernisasi. Yang dilakukan oleh para alumni itu adalah gerakan

purifikasi untuk mengembalikan Islam ke zaman awal Islam dan menyingkirkan

segala tambahan yang datang dari zaman setelahnya.

Mahmud Yunus mulai terlibat digerakan pembaruan saat berlangsung

rapat besar ulama Minangkabau tahun 1919 di Padang Panjang. Dia diminta untuk

mewakili gurunya. Pertemuan itu secara langsung maupun tidak langsung

mempengaruhi pola pemikiran pembaruan Mahmud Yunus, terutama berkat

pandangan-pandangan yang dikemukakan sejumlah tokoh pembaruan seperti

Abdullah Ahmad serta Abdul Karim Amrullah.

Bersama staf pengajar lainnya yang bergiat digerakan pembaruan, tahun

1920 Mahmud membentuk perkumpulan pelajar Islam di Sungayang bernama

Sumatera Thawalib. Salah satu kegiatan kelompok ini adalah menerbitkan

majalah al-Basyir dengan Mahmud Yunus sebagai pemimpin redaksinya.

Interaksi yang kian intens dengan gerakan pembaru mendorongnya untuk

menimba ilmu pengetahuan lebih jauh di Mesir. Tidak mudah untuk mewujudkan

hasratnya itu. Berbagai kendala dihadapi. Namun pada akhirnya kegigihan

Mahmud Yunus dapat mengantarkannya ke al-Azhar, Kairo, tahun 1924.

Di sana ia mempelajari ilmu ushul fiqh, tafsir, fikih Hanafi dan

sebagainya. Mahmud Yunus seorang murid yang cerdas. Hanya dalam tempo

setahun dia berhasil mendapatkan Syahadah Alimiyah dari al-Azhar dan menjadi

orang Indonesia kedua yang memperoleh predikat tersebut. Tetapi dia merasa

belum cukup dengan apa yang telah diperoleh lantaran peningkatan pengetahuan

30 Gerakan pembersihan atau penyucian kembali atas apa yang dianggap bid’ah.

29

Page 40: 93202 Muhamad Hilman Fah

umumnya belum terpenuhi. Dia pun berkeinginan melanjutkan studinya ke

Madrasah Dar al-Ulum yang memang mengajarkan pengetahuan umum. Mahmud

Yunus kemudian meneguhkan diri untuk mengikuti seluruh persyaratan yang

diminta dan terbukti mampu memenuhi. Dia dimasukkan sebagai mahasiswa di

kelas bagian malam (qiyam lail). Semua mahasiswanya berkebangsaan Mesir,

kecuali Mahmud Yunus. Tercatat dia menjadi orang Indonesia pertama yang

masuk Dar al-Ulum.

Kuliah Mahmud Yunus berakhir dengan lancar. Tahun 1929, dia mendapat

ijazah diploma guru dengan spesialisasi bidang ilmu kependidikan. Setelah itu, dia

kembali ke kampung halamannya di Sungayang, Batu Sangkar. Gerakan

pembaruan di Minangkabau saat itu makin berkembang. Ini amat mengembirakan

Mahmud Yunus yang lantas mendirikan dua lembaga pendidikan Islam, yakni

pada tahun 1931 al-Jamiah di Sungayang dan Normal Islam di Padang. Di kedua

lembaga inilah dia menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang didapatkannya

di Dar al-Ulum, Kairo.

Karena kekurangan tenaga pengajar, al-Jamiah Islamiyah terpaksa ditutup

tahun 1933. Sedangkan Normal Islam hanya menerima tamatan madrasah 7 tahun

dan dimaksudkan untuk mendidik calon guru. Ilmu yang diajarkan berupa ilmu

agama, bahasa Arab, pengetahuan umum, ilmu mengajar, ilmu jiwa dan ilmu

kesehatan.

Dua penekanan dalam pembaruan Mahmud Yunus di lembaga

pendidikannya yakni pengenalan pengetahuan umum dan pengajaran bahasa Arab.

Pengajaran pengetahuan umum di sekolahnya sebenarnya tidaklah baru. Tahun

30

Page 41: 93202 Muhamad Hilman Fah

1909, Abdullah Ahmad sudah mengajarkan berhitung dan bahasa Eropa di

Adabiyah School. Sementara Mahmud Yunus menambahkan beberapa pelajaran

umum semisal, ilmu alam, hitung dagang dan tata buku.

Awal tahun 1970 kesehatan Mahmud Yunus menurun dan bolak-balik

masuk rumah sakit. Tahun 1982, memperoleh gelar doctor honoris causa di

bidang ilmu tarbiyah dari IAIN Jakarta atas karya-karyanya dan jasanya dalam

pengembangan ilmu pendidikan Islam di Indonesia. Sepanjang hidupnya,

Mahmud menulis tak kurang dari 43 buku. Pada tahun 1982, Mahmud Yunus

meninggal dunia.31

Selain sebagai mufasir, Mahmud Yunus juga banyak menulis buku, terutama

buku pelajaran agama Islam untuk anak-anak, temasuk pula tafsir dan terjemahan

al-Qur’an, di antaranya:

a. Tafsir al-Qur’an tamat 30 Juz, tahun 1938.

b. Terjemahan al-Qur’an tanpa tafsir, untuk memudahkan membaca al-

Qur’an.

c. Marilah Sembahyang, pelajaran shalat, untuk anak-anak SD, 4 jilid

d. Puasa dan Zakat, untuk anak-anak SD.

e. Haji ke Mekkah ,cara mengerjakan haji, untuk anak SD.

f. Keimanan dan Akhlak, untuk anak-anak SD, 4 jilid.

g. Beberapa Kisah Pendek, untuk anak-anak SD.

h. Riwayat Rasul Dua Puluh Lima, bersama Rasyidin dan Zubair Utsman.

31 Siti Kurrotulaini, Analisis Semantik Terhadap Terjemahan al-Qur’an Juz 30 (Surat al-

Qadr, al-Alaq dan al-Ikhlash) Studi Komparatif antara Terjemahan Hamka dengan Terjemahan Mahmud Yunus, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Jakarta, 2008), hal. 41

31

Page 42: 93202 Muhamad Hilman Fah

i. Lagu/lagu baru/not angka-angka, bersama Kasim St. M. Syah.

j. Bermain dan Berbudi Pekerti, untuk anak SD.

k. Hukum Warisan dalam Islam, untuk tingkat Aliyah.

l. Pemimpin Pelajaran Agama, 3 jilid, untuk murid–murid SMP.

m. Perbandingan Agama, untuk tingkat Aliyah.

n. Kumpulan Do’a, untuk tingkat Aliyah.

o. Do’a-do’a Rasulullah, untuk tingkat Aliyah.

p. Marilah ke Al-Qur’an, untuk tingkat Tsanawiyah/PGA, bersama H. Ilyas

M. Ali.

q. Moral Pembaruan dalam Islam, untuk tingkat Aliyah.

r. Akhlak (bahasa Indonesia), untuk tingkat Aliyah.

s. Pelajaran Sembahyang (shalat), untuk Aliyah,

t. Hukum Perkawinan dalam Islam, 4 Mazhab.

u. Soal Jawab dalam Hukum Islam, 4 Mazhab.

v. Ilmu Musthalah Hadits, bersama H. Mahmud Aziz.

w. Sejarah Islam di Minangkabau.

x. Kesimpulan Isi Al-Qur’an, untuk mubaligh dan umum

y. Allah dan MakhlukNya, Ilmu tauhid, menurut al-Qur’an.

z. Pengetahuan Umum Ilmu Medidik, bersama St. M. Said.

aa. Pokok-pokok Pendidikan/Pengajaran, Fakultas Tarbiyah/PGAA.

bb. Metodik Khusus Pendidikan Agama, Fakultas Tarbiyah/PGAA.

cc. Metodik Khusus Bahasa Arab (bahasa al-Qur’an), Fakultas

Tarbiyah/PGAA.

32

Page 43: 93202 Muhamad Hilman Fah

dd. Sejarah Pendidikan Islam Indonesia.

ee. Sejarah Pendidikan Islam (umum).

ff. Pendidikan Modern di Negara-negara Islam/Pendidikan Barat.

gg. Ilmu Jiwa Kanak-kanak , kuliah untuk kursus-kursus.

hh. Pedoman Dakwah Islamiyah, kuliah untuk dakwah.

ii. Dasar-dasar Negara Islam.

jj. Juz ‘Amma dan Terjemahannya.

kk. Pokok-pokok Pemikiran dan Pengajaran.

ll. Pelajaran Bahasa Arab (Durus al-Lughatil ‘Arabiyah)

mm. Tafsir ayati al-Akhlaq.

nn. Metodik Khusus Pendidikan Metode Pengajaran Pendidikan Agama SD.

oo. Kitab Pemimpin.

pp. Perbandingan Pendidikan Modern di Negara Islam dan Intisari

Pendidikan Barat.

Dan 27 judul buku lainnya dalam bahasa Arab di antaranya;

1. Kitabu al-Tarbiyah wa Ta’lim.

2. Fiqhu al-Wadih dan lain sebagainya.32

B. Biografi Prof. Dr. T. M. Hasbi ash Shiddieqy

T. M Hasbi ash Shiddieqy merupakan seorang ulama Indonesia yang terkenal.

Beliau memiliki kepakaran dalam bidang ilmu fiqh dan usul fiqh, tafsir, hadits,

dan ilmu kalam. T. M. Hasbi ash Shiddieqy telah dianugerahkan dua gelar Doctor

32 Mahmud Yunus, Tafsir al-Qur’an Karim, (Jakarta: Hidakarya Agung, Cet. Ke 72), h.

1-8

33

Page 44: 93202 Muhamad Hilman Fah

Honoris Cause sebagai penghargaan atas jasa-jasanya terhadap perkembangan

Perguruan Tinggi Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman

Indonesia. Anugerah tersebut diperolehnya dari Universitas Islam Bandung dan

(UNISBA) pada 22 Maret 1975, dan dari IAIN Sunan Kalijaga Jogyakarta pada

tanggal 29 Oktober 1975.

Profesor Doktor Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dilahirkan di

Lhokseumawe pada 10 Maret 1904. Ayahnya Teungku Qadhi Chik Maharaja

Mangkubumi Husien ibn Muhammad Su’ud, adalah seorang ulama terkenal di

kampungnya dan mempunyai sebuah pondok. Ibunya Teungku Amrah binti

Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz , merupakan anak seorang

Qadi Kesultanan Aceh ketika itu. Menurut silsilah, Hasbi ash Shiddieqy adalah

keturunan Abu Bakar ash Shiddiq (573-13/634M) yaitu khalifah yang pertama.

Beliau merupakan generasi ke 37 dari Abu Bakar ash Shiddieq.

Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy mendapat pendidikan

awalnya di pondok pengajian milik bapaknya. Beliau menuntut ilmu di pelbagai

pondok pengajian dari satu kota ke kota yang lain selama 20 tahun. Beliau

mempelajari bahasa Arab dari gurunya yang bernama Syekh Muhammad ibn

Salim al-Kalali, seorang ulama berbangsa Arab. Pada tahun 1926 T. M. Hasbi ash

Shiddieqy berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pelajarannya di Madrasah al-

Irsyad yaitu sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syeikh Ahmad

Soorkati (1874-1943), seorang ulama yang berasal dari Sudan. Di Madrasah al-

Irsyad Hasbi ash Shiddieqy mengambil takhassus (profesi) dalam bidang

pendidikan selama 2 tahun. Pengajiannya di al-Irsyad dan gurunya Ahmad

34

Page 45: 93202 Muhamad Hilman Fah

Soorkati banyak memberi pendidikan ke arah pembentukan pemikiran modern

sehingga, setelah kembali ke Aceh beliau langsung bergabung dalam keanggotaan

organisasi Muhammadiyah.

Pada zaman demokrasi liberal ia terlibat secara aktif mewakili Partai

Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dalam perdebatan ideology di

konstituante. Pada tahun 1951 ia menetap di Yogyakarta dan mengkonsentrasikan

diri dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan

Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jabatan ini dipegangnya

hingga tahun 1972.33

Sebagai seorang ulama yang menguasai bidang hukum Islam, dalam

pemikirannya seorang Hasbi ash Shiddieqy berpendirian bahwa syariat Islam

bersifat dinamis dan elastis, sesuai dengan perkembangan masa dan tempat.

Ruang lingkupnya mencakup segala aspek keidupan manusia, baik dalam

bersumber dari wahyu Allah swt yang kemudian dipahami oleh umat Islam

melalui metode ijtihad untuk dapat mengantisipasi setiap perkembangan yang

timbul dalam masyarakat. Ijtihad inilah yang kemudian melahirkan fiqh. Banyak

kitab fiqh yang ditulis oleh ulama mujtahid. Di antara mereka yang terkenal

adalah imam-imam mujtahid pendiri mazhab yang empat: Abu Hanifah, Malik,

Asy Syafi’i dan Ahmad Hambali.

Akan tetapi menurut Hasbi ash Shiddieqy, banyak umat Islam, khususnya

di Indonesia, yang tidak membedakan antara syariat yang langsung berasal dari

Allah swt dan fiqh yang merupakan pemahaman ulama mujtahid terhadap syariat

33 T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Al Bayan Tafsir Penjelas Al-Qur’anul Karim, (Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 2002) Edisi ke-2, h. 1660.

35

Page 46: 93202 Muhamad Hilman Fah

tersebut. Selama ini terdapat kesan bahwa umat Islam Indonesia cenderung

menganggap fiqh sebagai syariat yang berlaku absolut. Akibatnya, kitab-kitab

fiqh yang ditulis imam-imam mazhab sebagai sumber syariat, walaupun terkadang

relevansi pendapat imam mazhab tersebut ada yang perlu diteliti dan dikaji ulang

dengan konteks kekinian, karena hasil ijtihad mereka tidak lepas dari situasi dan

kondisi sosial budaya serta lingkungan geografis mereka. Tentu saja hal ini

berbeda dengan kondisi masyarkat kita sekarang. Itulah sedikit gambaran Penulis

tentang pemikiran T. M. Hasbi ash Shiddieqy terhadap syariat hukum Islam.

Selain menafsirkan al-Qur’an T.M. Hasbi ash Shiddieqy juga dikenal sebagai

penulis buku-buku. Adapun karya-karya beliau yang Penulis dapat dari penerbit

Bulan Bintang, sebagai berikut:

a. al-Islam jilid I dan II

b. Kriteria antara Sunnah dan Bid’ah

c. Dasar-dasar Kehakiman dalam Pemerintahan Islam (Sejarah Peradilan

Islam)

d. Fiqhul Mawaris (Hukum-hukum warisan dalam Syariah Islam)

e. Hukum Antar Golongan dalam Fiqih Islam

f. Hukum Fiqih Islam

g. Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih islam

h. Ikhtisar Tuntunan Zakat dan Fitah (Pedoman Zakat)

i. Ilmu Pertahanan Negara dan Kemiliteran dalam Islam

j. Kumpulan (Pembendeharaan) Dzikir dan do’a (Pedoman Dzikir dan

Do’a)

36

Page 47: 93202 Muhamad Hilman Fah

k. Kumpulan Soal Jawab dalam Post Graduate Course Jurusan ilmu Fiqih

Dosen-dosen IAIN.

l. Kuliah Ibadah.

m. Mukjizat al-Qur’an.

n. Pedoman Puasa.

o. 2002 Mutiara Hadits, jilid-jilid: I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII.

p. Pedoman Shalat.

q. Pemindahan Darah dipandang dari Sudut Hukum Islam.

r. Pengantar Hukum Islam.

s. Pokok-pokok Dirayah Hadits.

t. Pokok-pokok Pegangan Imam-imam Mazhab dalam Membina Hukum

Islam, Jilid I dan II

u. Pedoman Haji.

v. Problematika Hadits.

w. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.

x. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir.

y. Sejarah dan Perkembangan Hadits.

z. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam.

aa. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam.

bb. Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman.

cc. Tafsir al-Qur’an an-Nur, Juz-juz: 1 s/d xxx.

dd. Tuntutan Qurban

ee. Ilmu-ilmu al-Qur’an (Media-media Pokok Dalam Menafsirkan al-Qur’an).

37

Page 48: 93202 Muhamad Hilman Fah

38

ff. Pengantar Ilmu Fiqih.

gg. Pengantar Fiqih Muamalah.

hh. Pengantar Ilmu Perbandingan Mazhab.

ii. Falsafah Hukum Islam.

jj. Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas.34

34 T. M. Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, (Jakarta: Bulan

Bintang, Cet. Ke-8)

Page 49: 93202 Muhamad Hilman Fah

BAB IV

Analisis Semantik Terhadap Terjemahan Al-Qur’an

Surat Adh Dhuha (الضحى) adalah surah ke-93 dalam al-Qur'an dan terdiri atas 11

ayat. Surat ini termasuk golongan surah Makkiyah dan diturunkan sesudah surat

Al-Fajr dan sebelum surat al-Insyirah. Nama Adh Dhuha diambil dari kata yang

terdapat pada ayat pertama. Surat Adh Dhuha, menerangkan tentang bimbingan

pemeliharaan Allah swt terhadap Nabi Muhammad saw dengan cara yang tak

putus-putusnya dan mengandung pula perintah kepada Nabi supaya mensyukuri

segala nikmatnya.

Tentang asababun nuzul surat adh Dhuha, sebagian riwayat menuturkan,

bahwa pada saat itu Rasulullah saw “cemas” lantaran musuh-musuh islam telah

semakin ofensif menyerang kaum muslimin dengan menyebarkan isu-isu

menyesatkan, sehingga beliau menunggu datangnya wahyu guna memberikan

pertolongan. Turunnya ayat-ayat Surah adh-Dhuha ini menggembirakan beliau

laksana bilasan air hujan yang turun menyegarkan tetumbuhan. Cahaya ayat-ayat

adh-Dhuha benar-benar memberikan kekuatan baru guna menghentikan hinaan

musuh-musuh islam. Kita semua tahu dan meyakini bahwa pribadi Rasul saw

adalah pribadi yang kuat. Sebab itulah, kita hanya dapat menerima riwayat yang

menerangkan bahwa Rasul hanya merasa gelisah dan jiwanya tidak tentram

lantaran terhentinya wahyu.

Surat al Insyirah diturunkan setelah surah adh-Dhuha. Memang jika kita

melihat kandungan surah ini memang benar adanya, karena dalam surah ini

ditunjukkan sejumlah karunia Ilahi untuk Rasulullah saw. Ada tiga nikmat penting

yang telah disebutkan dalam surah sebelumnya (adh-Dhuha), dan dalam Surah al-

39

Page 50: 93202 Muhamad Hilman Fah

Insyirah ini juga dikemukakan tiga nikmat agung. Surah adh-Dhuha berisi uraian

tentang nikmat-nikmat material dan spiritual, sementara dalam Surah al-Insyirah

ini semuanya menjelaskan tentang nikmat spiritual. Sedangkan tema yang diurai

dalam surah ini berkisar pada tiga subjek yang berbeda. Pertama, ungkapan dari

tiga nikmat yang dimaksud; kedua, berita gembira untuk Nabi saw yang

mewartakan, bahwa beban dan kesulitan dari misi kenabiannya akan segera

diangkat; dan ketiga, bahwa perhatian semestinya hanya ditujukan kepada Allah,

berharap dan bersiteguh dalam ibadah hanya kepadaNya. Berikut adalah surat

adh-dhuha dan surat al-Insyirah:

Surat ad Dhuha:

⌧ ☺

⌧ ⌧

⌧ ⌧

Surat al Insyirah:

⌧ ⌧

⌧ ⌧

40

Page 51: 93202 Muhamad Hilman Fah

A. Terjemah surat adh-Dhuha dan al-Isnyirah Versi Mahmud Yunus

Surat adh-Dhuha:35

1. Demi waktu pagi

2. Demi malam, apabila telah sunyi

3. Tuhanmu tidaklah meninggalkan engkau (ya Muhammad), dan tiada pula

membenci (engkau)

4. Sesungguhnya akhirat lebih baik bagi engkau dari pada dunia

5. Nanti Tuhanmu akan memberi engkau, lalu engkau menjadi suka

6. Bukankah engkau didapatiNya seorang anak yatim, lalu dilindungiNya?

7. Dan engkau didapatiNya dalam kesesatan (belum medapat petunjuk), lalu

ditunjukiNya

8. Dan engkau didapatiNya seorang miskin, lalu diberinya kekayaan.

9. Adapaun anak yatim jangan engkau paksa

10. Dan orang yang meminta (bertanya) janganlah engkau hardik

11. Adapun nikmat Tuhanmu hendaklah engkau beritakan (jangan

disembunyikan)

Surat al-Insyirah:36

35 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim. (Jakarta: Hidakarya Agung, 2004) Cet. Ke 73, h

. 907. 36 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim. h. 908-909.

41

Page 52: 93202 Muhamad Hilman Fah

1. Bukankah Kami (Allah) telah melapangkan dadamu (ya Muhammad)

2. Dan telah Kami ringankan bebanmu yang berat.

3. Yang memberati punggungmu

4. Dan kami tinggikan (muliakan) namamu?

5. Sesungguhnya disamping kesukaran ada kemudahan

6. Sesungguhnya disamping kesukaran ada kemudahan

7. Apabila engkau telah selesai, (mengerjekan suatu pekerjaan), maka

bersusah payahlah (mengerjakan yang lain)

8. Dan kepada Tuhanmu, berharaplah.

B. Terjemah Surat adh-Dhuha dan al-Insyirah Versi T. M. Hasbi ash

Shiddieqy

Surat adh-Dhuha:37

1. Demi ketika matahari naik

2. Demi malam apa bila telah sangat gelapnya

3. Tuhan engkau tidak meninggalkan engkau dan tidak pula Dia membenci

engkau

4. Dan demi Allah sesungguhnya negeri akhirat lebih baik untuk engkau

daripada dunia ini

5. Dan demi Allah kelak Tuhan engkau akan memberikan kepada engkau

bermacam nikmat di akhirat lalu engkau bersenang hati

6. Bukankah Allah mendapati engkau seorang yatim, lalu diberikan kepada

engkau tempat menetap yang menjadi perlindungan -bagi engkau-?

37 T. M. Hasbi ash Shiddieqy. Al Bayan Tafsir Penjelas Al-Qur’anul Karim, (Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 2002) Edisi ke-2. h. 1559.

42

Page 53: 93202 Muhamad Hilman Fah

7. Allah mendapati engkau seorang yang sesat, lalu Allah menunjukkan jalan

kepada engkau

8. Dan Allah mendapati engkau seorang yang fakir lalu dia memberikan

kecukupan -kepada engkau-

9. Adapun anak yatim, maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang

10. Adapun para peminta-minta, maka janganlah engkau menghardikannya

11. Adapun nikmat Tuhan engkau, maka hendaklah engkau

mengungkapkannya-terhadap diri engkau-

Surat al-Insyirah:38

1. Bukankah dada engkau telah Kami lapangkan

2. Dan Kami buang dari engkau –beban yang memberatkan pundak- engkau

3. Yang memberatkan punggung engkau

4. Dan Kami tinggikan nama engkau

5. Maka sesungguhnya bersama segala kesukaran ada kemudahan yang besar

6. Sesungguhnya bersama segala kesukaraan itu ada kemudahaannya -yang

lain lagi-.

7. Maka karena itu, apabila engkau telah selesai dari sesuatu pekerjaan,

bekerjalah lebih keras lagi

8. Dan kepada Tuhan engkau sendiri –dalam melaksanakan tugas dakwah-

engkau berharap.

C. Unsur Persamaan Kedua Terjemahan

38 Hasbi, Al Bayan Tafsir Penejelas Al-Qur’anul Karim. h. 1563-1564.

43

Page 54: 93202 Muhamad Hilman Fah

1. Unsur Persamaan Surat adh-Dhuha

Di ayat pertama Allah swt memulainya dengan harf qasam (sumpah) dengan

huruf wâw (و) dan dhuhâ (ضحى) sebagai muqsamu bih-nya (مقسم به, obyek yang

digunakan untuk bersumpah). Pendapat yang berlaku di kalangan ulama terdahulu

mengatakan bahwa sumpah al-Qur’an dengan wâw mengandung makna

pengagungan terhadap muqsamu bih ( همقسم ب ). Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

mengatakan bahwa sumpah Allah dengan sebagian makhluk-Nya menunjukkan

bahwa ia termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya yang besar. Kedua penafsir baik

Mahmud Yunus maupun Hasbi ash Shidieqy menafsirkan kata )الضحى( dengan

kata matahari atau lebih tepatnya ketika matahari pagi yang terbit. Artinya bahwa

kedua penafsir tidak menggunakan secara terjemahan harfiah, padahal kita tahu

bahwa kata adh Dhuha dikalangan umat muslim Indonesia sudah begitu populer

digunakan untuk melaksanakan waktu shalat sunah dhuha yang sekurangnya 2

rakaat, atau 4 rakaat, atau sampai 8 rakaat pada sekitar pukul enam sampai

sepuluh pagi.

Kata )الضحى( adh Dhuha secara umum digunakan dalam arti sesuatu yang

nampak dengan jelas. Dalam tafsirnya Quraish Shihab menggambarkan kata adh

Dhuha adalah ketika matahari naik sepenggalahan, cahayanya ketika itu

memancar dengan menerangi seluruh penjuru, pada saat yang sama ia tidak terlalu

terik, sehingga tidak mengakibatkan gangguan sedikitpun, bahkan panasnya

memberikan kesegaran, kenyamanan dan kesehatan.39

39 M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah: Pesan dan Keserasian al-Qur’an (Vol 15),

(Jakarta: Lentera Hati, 2002). h. 327.

44

Page 55: 93202 Muhamad Hilman Fah

Pada ayat ketiga, kedua penafsir memaknai keseluruhan ayat tersebut

dengan tidak meninggalkan dan membenci. )ودعك( dengan tasydid ada juga yang

membacanya (ودعك) tanpa tasydid, keduanya diambil dari kata (ودع) yang makna

dasarnya berarti meninggalkan. Menarik juga melihat pendapat ar Arghib al-

Ashfahani yang berpendapat bahwa kata: (ودع) berasal dari kata ( عةالد ) ad-da’ah

dan mengartikannya dengan “doa untuk seorang musafir semoga Tuhan

meringankan baginya kesulitan-kesulitan perjalanan”. Dari sini kemudian

wadda’a kemudian diartikan sebagai ucapan selamat kepada orang yang

meninggalkan suatu tempat. Kemudian kata (قلى) qala dalam kamus al ashri kata

qala berarti benci40. Sejurus dengan itu Quraish Shihab berpendapat benci disini

bukan hanya benci biasa namun benci yang diartikan sebagai kebencian yang

sangat. Terhadap terjemahan Mahmud dan Hasbi Penulis tidak melihat adanya

perbedaan, keduanya memakai penerjemahan secara semantik leksikal. Implikasi

dari pemilihan kata makna semantik leksikal terhadap ayat-ayat tersebut,

penerjemahan akan terasa lebih efektif dan ringan untuk dibaca. Serta berusaha

untuk menghindari penalaran rasio yang berlebihan (ra’yu) yang dikhawatirkan

akan menjauhkan penerjemahan dari arti kata dasarnya.

Pada ayat ke empat, baik Mahmud dan Hasbi menerjemahkan al akhirah

dan al uula dengan akhirat dan dunia. Secara leksikal dapat dipahamai bahwa

kata al akhirah berarti yang akhir atau sesudah dan tidak selalu diartikan sebagai

akhirat. Dalam tafsirnya Hasbi ash Shiddieqy memberikan catatan opsi

terjemahan “sesungguhnya penghabisan urusan engkau adalah lebih baik dari

40 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia: al -Ashri,

(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, Cet. kelima), 1998. h. 1469

45

Page 56: 93202 Muhamad Hilman Fah

permulaan.”41 Umumnya kata al akhirah dimaknai akhirat apabila kata tersebut

bergandengan dengan kata dar atau kita sering dengar dengan dar al akhirah yang

artinya tempat akhirat. Dan kata al uula berarti sesuatu yang pertama atau berada

diawal. Namun kedua penerjemah lebih memilih menerjemahkannya dengan kata

akhirat dan dunia artinya tanpa kita sadari corak penerjemahan pada saat itu

sangat berpengaruh pada pola pikir umat islam Indonesia yang lebih

mementingkan negri akhirat daripada hidupnya di dunia.

Seragam dengan tahun-tahun itu banyak buku-buku terjemahan yang

beredar di Indonseia dengan tema-tema sufistik. Berbeda dengan apa yang Penulis

temukan pada terjemahan Quraish Shihab. Kata akhirat dan uula diartikan sebagai

masa datang dalam kehidupan dunia, Shihab beranggapan bahwa konteks ayat ini

berbicara tentang kehidupan yang berkaitan dengan ketidakhadiran wahyu saat

itu.42 Artinya bahwa pemaknaan yang dilakukan oleh Mahmud Yunus lebih

kepada teks bukan konteksnya yang saat itu berkaitan dengan kegelisahan Rasul

karena lamanya wahyu yang tak kunjung ia terima dari Allah swt begitupun

dengan Habis ash Shiddieqy, namun saja Hasbi di sini memberikan catatan opsi

terjemahan yang Penulis lihat sebagai terjemahan dengan pendekatan kontekstual.

Kemudian kata (فترضى) fatardha, keduanya menerjemahkan denga kata

suka, dalam kamus al-ashri kata radha berarti senang, puas dan rela. Walaupun

kata ridho sendiri sudah cukup populer dengan bahasa Indonesia yang memang

banyak mengadopsi kata asing khususnya Arab dan Inggris ini tidak mereka

pakai. Artinya bahwa penerjemahan dengan kata suka merupakan penerjemahan

41 Hasbi, Al Bayan Tafsir Penejelas Al-Qur’anul Karim. h. 1559. 42 Shihab, Tafsir al Misbah: Pesan dan Keserasian al-Qur’an (Vol 15), h. 332

46

Page 57: 93202 Muhamad Hilman Fah

dengan gaya terjemahan semantik leksikal Penulis lihat sebagai terjemahan

keduanya menggunakan pendekatan kontekstual.

Kata (ضالا) dhallan yang ada pada ayat ketujuh surat ad Dhuha baik Yunus

maupun Hasbi memadankannya dengan kata sesat. Kata ( يضل-ضل ) dhalla-

yadhillu yakni kehilangan jalan atau bingung tidak mengetahui arah. Makna ini

berkembang hingga bermakna binasa, terkubur dan dalam pengertian immaterial

yakni sesat dari jalan kebajikan atau antonim dari makna hidayah. Pengertian

umum terakhir ini yang lebih populer dikuping bahwa padanan kata dhallan

adalah sesat. Pengertian tersebut dibantah oleh Fakhruddin ar Razi dengan

berpendapat bahwa dua puluh kata dhallan yang terdapat dalam al Qur’an tidak

logis atau terlalu remeh untuk diabadikan dalam ayat apalagi menjadi bukti betapa

besar anugerah Allah kepada Rasul-Nya.

Istilah dhâlalan (kesesatan) di sini tidak berarti “tidak adanya iman,

tauhid, kesalehan, dan kebajikan”. Namun, dengan merujuk pada ayat-ayat di atas

dan pendapat banyak mufasir, istilah ini bermakna “tidak memahami rahasia-

rahasia kenabian, hukum-hukum tertentu dalam Islam dan fakta-fakta tersembunyi

lainnya”. Akan tetapi setelah ditunjuk sebagai Nabi, Muhammad saw pun

menguasai semua itu dengan bantuan dan bimbingan Allah. Dapat disimpulkan

kata dhallan yang dalam berbagai bentuknya berarti segala sesuatu yang tidak

atau belum mengantar pada kebenaran. Setiap tindakan atau ucapan yang tidak

menyentuh keberan adalah dhallan.

Persamaan makna pada kedua penerjemah berikutnya adalah pada ayat

kesepuluh kemudian pada ayat kesebelas tidak terlihatnya perbedaan. Keduanya

47

Page 58: 93202 Muhamad Hilman Fah

menerjemahkan dengan gaya terjemahan semantik leksikal. Implikasi dari

pemilihan kata makna semantik leksikal terhadap ayat-ayat tersebut,

penerjemahan akan terasa lebih efektif dan ringan untuk dibaca. Serta berusaha

untuk menghindari penalaran rasio (ra’yu) berlebihan yang dikhawatirkan akan

menjauhkan penerjemahan dari kata dasarnya.

2. Unsur Persamaan Surat al-Insyirah

Ayat-ayat al-Insyirah diutarakan dalam suatu nada kecintaan dan kasih

sayang yang mesra yang memperlihatkan perhatian besar Allah, Sang Pemelihara

Yang Maha Agung kepada Nabi saw. Ayat pertama menunjuk pada karunia

terbesar Allah, kata (نشرح) nasyarah diambil dari kata (شرح) syaraha yang antara

lain berarti memperluas, melapangkan baik secara material maupun immaterial.

Kedua penerjemah memadankan kata tersebut dengan kata melapangkan

dan tidak ada perbedaan yang terlihat pada ayat pertama. Menurut Quraish Shihab

jika kata nasyarah dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat material, maka kata

tersebut juga berarti memotong atau membedah sedangkan bila dikaitkan dengan

sesuatu yang bersifat immaterial, maka ia mengandung makna membuka, memberi

pemahaman, menganugerahkan ketenangan dan semaknanya.43 Senada dengan

itu dalam tafsirnya Hasbi ash Shiddieqy memberi footnote dalam terjemahan kata

tersebut yakni: dengan jalan mendantangnkan kesenangan dan menampakkan

aneka rupa hikmah dan hukum yang tadinya tersembunyi.44

Pada ayat kedua, baik Mahmud Yunus dan Hasbi ash Shiddieqy

mengartikan kata (وزر) wizra dengan kata beban. Kata wizr dalam kamus berarti

43 Shihab, Tafsir al Misbah: Pesan dan Keserasian al-Qur’an (Vol 15). h. 354 44 Hasbi, Al Bayan: Tafsir Penjelas Al-Qur-anul Karim. h. 1563.

48

Page 59: 93202 Muhamad Hilman Fah

Pada ayat ketiga dan keempat kedua penerjemah menerjemahkan dengan

sangat singkat dan jelas dengan menunjukkan kata memilih kata yang mudah

dicerna dan diartikan secara semantik leksikal dan juga tidak menyalahi maksud al

Qur’an. Secara leksikal kata (رفع) rafa’a berarti mengangkat atau meninggikan,

baik yang berobjek material (gunung atau bukit) seperti dalam surat al Baqarah/2:

63 berikut:

“dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami

angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada didalamnya, agar kamu bertakwa". Maupun immaterial seperti derajat dan kedudukan yang terdapat dalam surat az

Zhukruf/43: 32 berikut:

☺ ☺

45 Shihab, Tafsir al Misbah: : Pesan dan Keserasian al-Qur’an (Vol 15). h. 357.

49

Page 60: 93202 Muhamad Hilman Fah

⌧ ⌫

☺ ☺

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”

Kedua penerjemah baik Mahmud dan Hasbi memadankan kata rafa’a

dengan kata meninggikan atau memuliakan seperti kata rafa’a berarti makna

immaterial seperti yang terdapat dalam surat az Zhukruf ayat 32 di atas.Pada ayat

keempat pula Penulis lihat adanya pernerjemahan yang sama pada kata (ذآر) dzikr,

kedua penerjemah menggunakan kata nama untuk memandankan kata dzikr.

Menurut pengertian secara bahasa kata dzikr adalah menghadirkan sesuatu di

dalam benak, baik diucapkan dengan lisan maupun tidak, dan baik ia bertujuan

untuk mengingat kembali apa yang telah diluapkan maupun untuk lebih

memantapkan sesuatu yang tetap dalam ingatan. Seperti kata Dzikrullah adalah

menghadirkan kemaujudan Allah, kebesaran dan keagungan-Nya, baik dengan

maupun tanpa diucapkan dengan lisan. Lebih jauh kata dzikr berkembang

maknanya sehingga diartikan juga dengan nama atau sebutan. Gejala seperti ini

tidak sampai mencakup pada gejala perubahan makna seperti yang telah

dijelaskan Penulis pada bab ke II.

Persamaan penerjemahan kedua penerjemah baik Mahumd Yunus dan

Hasbi ash Shiddieqy berikutnya terdapat pada ayat kelima, keenam dan delapan.

Pada ayat kelima dan keenam:

50

Page 61: 93202 Muhamad Hilman Fah

fa inna ma'a al-'usri yusran, inna ma'a al-'usri yusran. Kalimat normalnya inna yusran ma'a al-'usri, tapi ditekankan ke ma'a al-

'usri nya sehingga jadi seperti kalimat di atas. al-'usru dibaca al-'usri karena

ketemu ma'a sebelumnya, sedang yusrun dibaca yusran karena ketemu inna kata

'usrun diberi alif lam (al) menjadi al-'usru.

Dalam bahasa Arab berubah dari nakirah ke ma'rifat yang boleh diartikan

‘usrun/ kesulitan/ difficulty, al ‘usru/ kesulitan itu/ the difficulty. Maka yusrun/

kemudahan/ relief dan al-yusru/ kemudahan itu / the relief

sehingga makna ayat tersebut fa inna ma'a al-'usri yusran/ sebab sesungguhnya

bersama kesulitan ITU ada kemudahan/ because verily with THE difficulty there is

relief. Inna ma'a al-'usri yusran/ sesungguhnya bersama kesulitan ITU ada

kemudahan/ verily with THE difficulty there is relief. Kata al-'usri disebut dua kali

dan yusran juga disebut dua kali, orang Arab apabila mengulang kata ma'rifat

(tertentu) yakni al-'usri dalam dua kalimat yang sama berarti kata ma'rifat itu

adalah benda yang sama, sedang kata yusran yang diulang dua kali berupa

nakirah yang menunjukkan benda yang berbeda. Sehingga kata al-'usri disebut

dua kali tapi bendanya satu karena ma'rifat sedangkan kata yusran disebut dua

kali bendanya dua karena nakirah maka disimpulkan bersama satu kesulitan ada

dua kemudahan. Penguraian pada ayat ini mengungkap makna tersirat dari

sekedar apa yang tersurat, namun kedua penerjemah baik Mahmud dan Hasbi

sama-sama menerjemahkannya dengan gaya bahasa yang ringkas dan terlihat

penerjemahan yang lebih dekat dengan teks bahasa sumber.

51

Page 62: 93202 Muhamad Hilman Fah

Disamping persamaan penerjemahan secara semantik leksikal terhadap

kata dalam ayat-ayat surat tersebut, persamaan lainnya bisa dilihat dalam kedua

kata tafsir ini, keduanya sama-sama menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan gaya

menakjubkan dan mengesankan. Mengungkap makna ayat dengan mudah dan

lugas juga mengikutsertakan banyak problematika sosial-budaya dan

menuntaskannya dengan prespektif al-Qur’an. Keduanya merupakan kitab tafsir

yang banyak bicara soal kemasyarakatan. Suatu corak penafsiran yang menitik

beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksinya. Dengan

penekanan pada tujuan utama turunnya al-Qur’an, yakni memberikan petunjuk

bagi kehidupan manusia, dan merangkaikan pengertian ayat tersebut. Dengan

hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan kemajuan perdaban manusia.

Dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, keduanya sama-sama menggunakan

metode munasabah atau keserasian, pendekatan secara munasabah atau keserasian

dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an adalah dengan menggunakan pendekatan

struktural semantik yang ada di dalam al-Qur’an. Tafsir munasabah juga

merupakan analisis tentang suatu metode yang menjelaskan kandungan ayat-ayat

al-Qur’an dari seluruh aspeknya.

Memahami al-Qur’an secara sepenggal-sepenggal akan menyebabkan

pemahaman yang dangkal tentang suatu fenomena, lalu menimbulkan sikap yang

simplistik dengan kesimpulan yang salah. Al-Qur’an harus ditanggapi sebagai

kitab hidayah dari Allah swt untuk memandu manusia kepada kebenaran dan

sesuai untuk semua zaman. Kedua penafsir mengikuti ketertiban ayat

sebagaimana yang tersusun dalam al-Qur’an. Misalnya dalam menafsirkan juz

52

Page 63: 93202 Muhamad Hilman Fah

amma, kedua penafsir membahas ayat-ayat mengikuti susunan, kemudian

mengemukakan makna secara global seperti yang dimaksudkan dalam ayat

tersebut..

D. Unsur Perbedaan Surat Kedua Terjemahan 1. Unsur Perbedaan Surat adh Dhuha

Ada persamaan metode dalam pemilihan makna secara leksikal antara

Mahmud Yunus dalam menafsirkan al Qur’an dengan metode penafsiran Hasbi

ash Shiddieqy, juga terdapat perbedaan-perbedaan penafsiran antara keduanya.

Perbedaan-perbedaan hal itu adalah sebagai berikut:

Kata (سجى) sajaa pada ayat kedua Yunus menggunakan kata sunyi sebagai

padanan Indonesianya dari kata sajaa sedangkan Hasbi memadankannya dengan

kata gelap. Dalam kamus al ashri kata سجى sama dengan kata سكن dan هدأ yang

kesemua artinya tenang atau diam.46 Secara leksikal mungkin padanan kata yang

dipilih Yunus lebih tepat. Ada sementara ulama yang menafsirkannya dengan

datang ada juga yang mengartikannya dengan pergi. Menurut Penulis kedua arti

tersebut kurang tepat, Penulis lebih cenderung memahaminya dalam pengertian

bahasa yang diterjemakan Yunus. Ketenangan malam dan kesunyianya terjadi

pada saat kegelapan telah menyelubungi seluruh penjuru.

Pada ayat kelima, Mahmud Yunus menerjemahkan ayat tersebut dengan

sangat singkat kata yu’thi yang terdapat pada ayat kelima diartikan sebagai

memberi tanpa di arahkan kepada suatu objek yang diberi Allah swt kepada

46 Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia: al -Ashri,

h. 1047.

53

Page 64: 93202 Muhamad Hilman Fah

Rasulnya. Sedangkan Hasbi menerjemahkannya dengan memberi nikmat di

akhirat. Dalam konteks ini Ibnu Katsir berpendapat bahwa pemberian Allah swt

itu berupa akhirat yang dipastikan indah untuk Rasul.47 Tentunya apa yang dapat

memuaskan Rasul saw hanya Allah swt yang tahu.

Pada ayat tujuh, Mahmud Yunus memulai terjemahan ayat tersebut dengan

kata dan. Kata ) و( waw’ yang diterjemahkan disini adalah waw atthaf yang

sebetulnya bila diterjemakan kedalam bahasa Indonesia cukup diganti dengan

lambang koma (,). Sedagankan Hasbi menerjemahkannya tanpa menggunakan

kata dan. Penulis melihat adanya perbedaan yang mendasar pada penerapan kata

dan yang dipakai Yunus. Penerjemahan yang dilakukan Yunus bersifat harfiah

secara mutlak atau menerapkan apapun yang terdapat pada teks al-Qur’an tanpa

memperhatikan kaidah bahasa Indonesia yang tepat dan mungkin faktor salah

kaprahlah yang menyebabkan penggunaan kata dan dalam terjemahan Mahmud

Yunus. Penulis berpendapat bahwa ayat ini merupakan penjelasan dari ayat-ayat

sebelumnya seperti yang dijelaskan oleh Quraish Shihab, bahwa ayat keenam

adalah penguraian sedikit anugerah Allah yang diberikan kepada Nabi untuk

meyakinkan semua pihak tentang kebenaran janji Allah yang telah disebut pada

ayat-ayat sebelumnya.48

Pada ayat kedelapan, kata (عائال) diambil dari kata (عائلة) ‘ilah yang berarti

kemiskinan. Dan kata (أغنى) aghna’ diambil dari kata (غنى) ghina yang biasa

diterjemahkan dengan kekayaan. Mahumd Yunus menerjemahkannya dengan kata

47 Muhammad Nasib ar-Rifai, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Jilid

4),(Gema Insani, Jakarta: 2008). h. 1001 (terj: Drs. Syihabuddin, M.A.) 48 Shihab, Tafsir al Misbah: : Pesan dan Keserasian al-Qur’an (Vol 15). h. 357.

54

Page 65: 93202 Muhamad Hilman Fah

Pada ayat kesembilan ini, pesan yang pertama dan utama pada ayat ini,

yaitu bersikap baik dan menjaga perasaan yatim. Kata (تقهر) taqhar diambil dari

kata (قهر) qahara yang secara leksikal berarti memaksa. Yunus dalam

terjemahannya menggunakan langsung kata paksa yang menjadikan

terjemahannya terbaca sedikit rancu. Padahal kata taqhar dapat juga berarti

menundukkan orang lain untuk mencapai tujuan atau mencegah lawan, bila

ditelusuri lebih lanjut maka kata menundukkan orang lain untuk mencapai

tujuannya dan mencegah orang lain akan berarti berbuat sewenang-wenang. Kata

sewenang-wenang ini muncul pada kata yang dipilih oleh Hasbi untuk

memadankan kata taqhar yang diartikannya dengan tidak melakukan

ketidakadilan dan kesewenang-wenangan terhadap harta anak-anak yatim.

Maksud firman pada ayat kesembilan dari ayat adh Dhuuha ini adalah dengan

bersikap baik dan tidak melakukan tindakan kesewenang-wenangan terhadap anak

yatim. Menurut Penulis kata taqhar memang akan terbaca lebih jelas dan tidak

55

Page 66: 93202 Muhamad Hilman Fah

menimbulkan kerancuan bila diterjemahkan dengan kata tindakan kesewenang-

wenangan.

2. Unsur Perbedaan Surat al-Insyirah

Kata (وضعنا) wadha’na’ Pada ayat kedua merupakan kata kerja masa lampau atau

fi’il madhi. Bentuk seperti ini dimaksudkan sebagai penegasan tentang telah

dilapangkannya dada Rasul saw. Kata wadha’a sendiri mempunyai banyak arti,

antara lain: meletakkan, merendahkan dan meremehkan dan sebagainya.49 Yang

menarik bahwa penerjemahan keduanya berbeda. Mahmud Yunus menggunakan

kata ringankan sedangkan Hasbi memandakannya dengan buang.50 Perbedaan

pemadanan ini berakibat pada konotasi makna dari kata meringankan dan buang.

Adanya perbedaan pemilihan kata yang berkonotasi berbeda pada kedua

terjemahan tersebut, hingga akhirnya mengakibatkan kedua terjemahan

memberikan nuansa makna yang berbeda pula.

Perbedaan berikutnya pada ayat kelima dan keenam. Pada ayat kelima dan

keenam Yunus menerjemahkannya sesungguhnya disamping kesukaran ada

kemudahan sama persis dengan terjemahan pada ayat sebelumnya (ayat kelima).51

Sedangkan Hasbi menerjemahkan ayat kelima maka sesungguhnya bersama

segala kesukaran ada kemudahan yang besar dan ayat keenam dengan

sesungguhnya bersama segala kesukaran itu ada kemudahannya –yang lain lagi-

.52 Kata besar pada terjemahan Hasbi tidak memandankan kata apapun atau

49 A. Warson Munawwir, al–Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka

Progresif, Cet-25, 2002). h. 1564 50 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim. h. 909 & Hasbi, Al Bayan: Tafsir Penjelas Al-

Qur-anul Karim. h. 1563. 51 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim. h. 909 52 Hasbi, Al Bayan: Tafsir Penjelas Al-Qur-anul Karim. h. 1563.

56

Page 67: 93202 Muhamad Hilman Fah

jelasnya tidak ada kata kabir yang tertulis pada ayat kelima dan frasa tambahan -

yang lain lagi- pun tidak mempunyai padanan kata yang tepat pada ayat keenam.

Penulis mengira di sini Hasbi mencoba memberikan penekanan pada ayat kelima

dan keenam dengan tambahan kata besar dan frasa -yang lain lagi-, sebagai wujud

dari penekanan sikap optimis yang dimaksudkan di ayat ini.

Sejalur dengan itu Quraish Shihab berpendapat, bahwa Allah swt dalam

ayat kelima dan keenam ini bermaksud menjelaskan salah satu sunnah-Nya yang

bersifat umum dan konsisten yaitu “setiap kesulitan pasti disertai atau disusul oleh

kemudahan selama yang bersangkutan bertekad menanggulanginya”.53 Ini

dibuktikan-Nya antara lain dengan contoh konkret pada pribadi diri Rasul saw.

Beliau datang sendiri, ditantang dan dianiaya, sampai beliau dan keluarganya

diboikot oleh kaum musyrikin di Mekkah, tidak boleh berjual beli dan tidak pula

boleh berbicara dengan beliau dan keluarganya. Tetapi pada akhirnya tiba juga

kelapangan dan jalan keluar yang selama ini didambakan. Ayat-ayat di atas

seakan-akan menyatakan: kelapangan dada yang diperoleh Rasul, keringanan

beban yang selama ini dirasakan, keharuman nama yang disandang, itu semua

disebabkan karena sebelum ini Rasul telah mengalami puncak kesulitan. Namun

Rasul tetap tabah dan optimis sehingga berlakulah sunnah (ketetapan Allah) yaitu:

apabila krisis atau kesulitan telah mencapai puncaknya maka pasti akan sirna dan

disusul dengan kemudahan.

Pada ayat ketujuh ada sedikit perbedaan antara kedua penerjemah, kata

fa’ yang biasa diterjemahkan (فا) fa-nshab terdiri dari rangkaian huruf (فانصب)

53 Shihab, Tafsir al Misbah: Pesan dan Keserasian al-Qur’an (Vol 15). h. 361.

57

Page 68: 93202 Muhamad Hilman Fah

dengan kata maka dan (إنصب) inshab yang merupakan bentuk perintah atau fi’il

amri dari kata (نصب) nashaba yang berarti bekerja berat. Mahmud

menerjemahkannya dengan bersusah payahlah sedangkan Hasbi

menerjemahkannya dengan kata bekerja lebih keras lagi.54 Perbedaan pada kata

bersusah payah dengan bekerja lebih keras lagi menunjukkan bahwa kedua

penerjemah mencoba memberikan terjemahan komunikatif yang mudah dipahami

dan akan terasa lebih ringan bagi pembaca. Menurut Quraish Shihab kata nashaba

ini pada mulanya berarti menegakkan sesuatu sehingga mantap. Upaya

penegakkan ini biasanya dilakukan dengan sungguh-sungguh sehingga dapat

mengakibatkan keletihan dan dari sini kata itu digunakan juga dalam arti letih.55

Ayat ke tujuh surat ini memberi petunjuk bahwa seseorang harus memiliki

kesibukkan. Apabila terdapat waktu kosong maka melakukan pekerjaan lain.

Sehingga seorang muslim tidak akan pernah menyia-nyiakan waktu. Itulah

maksud dari ayat ketujuh ini.

Dari analisis di atas maka terlihat adanya perbedaan antara terjemahan

Mahmud Yunus dengan terjemahan karya Hasbi ash Shiddieqy. Perbedaan

tersebut karena kedua ulama baik Mahumud Yunus dan Hasbi ash Shiddieqy

berkecimpung dalam dunia yang berbeda. Mahmud Yunus sebagai ulama yang

banyak bergerak dalam dunia pendidikan sedangkan Hasbi ash Shiddieqy adalah

seorang ulama yang dikenal sebagai ulama dengan pemikiran-pemikiran fikihnya.

Selain pada bidang keilmuannya, perbedaanpun dapat terlihat pada teknik

penafsirannya. Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an Mahmud Yunus bersifat

54 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim h. 909 & Hasbi, Al Bayan: Tafsir Penjelas Al-Qur-anul Karim. h.1564

55 Shihab, Tafsir al Misbah: Pesan dan Keserasian al-Qur’an (Vol 15). h. 365.

58

Page 69: 93202 Muhamad Hilman Fah

ringkas dan sederhana. Hal ini terlihat dalam penyajian tafsirnya, penafsiran

dilakukan pertama kali dengan memberi arti dari ayat-ayat al-Qur'an, kemudian

langsung memberikan penafsiran global, tanpa mengawali dengan penjelasan arti

kata. Dengan tidak menambahkan banyak catatan-catatan dalam tafsirnya seolah-

olah Mahmud Yunus ingin mengajak pembaca untuk konsentrasi berdialog

langsung dengan Tuhan. Sedangkan Hasbi dalam tafsir al Bayan nya banyak

memberikan catatan kaki ataupun opsi terjemahan lain. Dengan adanya penjelasan

itu, Penulis mengira bahwa apa yang dilakukan Hasbi ash Shiddieqy semata-mata

untuk memperjelas dan mempermudah pembaca dalam memahami makna ayat-

ayat al-Qur’an.

Tafsir al-Qur’an Karim karya Mahmud Yunus adalah terjemahan al-

Qur’an yang dapat memudahkan orang untuk menangkap makna dari teks bahasa

Arab dalam al-Qur’an. Problem transmisi makna dari teks al-Qur’an ke dalam

bahasa lainnya menjadi starting point buku ini. Teks Arab al-Qur’an diyakini

mempunyai karakteristik unik, susunan kata, akar kata, sinonim, kelamin kata,

kosa kata dan sinonimnya. Seseorang yang melakukan transmisi makna

dihadapkan pada pilihan yang beragam.

Mahmud Yunus dalam terjemahannya tidak mengulas tentang seni-seni

bahasa dan nahwu kecuali sedikit sekali. Beliau menjelaskan ayat-ayat dengan

gaya bahasanya yang apa adanya, menyingkap beberapa makna dengan ungkapan

yang mudah dan dapat diterima oleh kalangan awam, disertai penjelasan

mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang dirasa rumit.

59

Page 70: 93202 Muhamad Hilman Fah

60

Mahmud Yunus berpendapat bahwa al-Qur’an dengan keagungan serta

kemuliaan bentuknya begitu padat, sehingga tidak ada terjemahan dalam satu

bahasa apapun yang bisa menggantikannya. Metode penafsiran Tafsir Qur’an

Karim karya Mahmud Yunus dibuat sebagaimana umumnya kitab-kitab tafsir:

menyebutkan nama surat, mengaitkan dengan konteks turunnya ayat tersebut

(asbabun nuzul), baru menafsirkan ayat demi ayat.

Penafsiran yang dilakukan Mahmud Yunus dalam hal gramatika bahasa,

ma’ani dan bayan merujuk pada kitab-kitab tafsir lainnya, terutama dari karya

para penafsir Timur Tengah. Selain itu juga merujuk pada kitab at-Tafsir al-

Kabir karya ar-Razi dalam kaitannya dengan hikmah dan kalam, serta Jami’ at-

Tafsir karya ar-Raghib al-Ashfahani dalam kaitannya dengan pembentukan kata

dan makna intristik.

Tafsir al-Bayan sesuai dengan namanya merupakan sebuah terjemahan dan

tafsir ringkas untuk menjelaskan maksud ayat. Dalam penerjemahannya tafsir al-

Bayan yang ditulis oleh T. M. Hasbi ash Shiddieqy tidaklah menerjemahkannya

secara harfiah, namun diterjemahkan dengan menyisipkan penjelasan sesuai yang

dimaksudkan oleh ayat atau menerjemahkannya dengan apa yang tersirat dari ayat

tersebut. Dalam tafsir ini pun dilengkapi dengan penjelasan tambahan terhadap

kata atau ayat-ayat yang kurang jelas.

Dari hasil analisis pada bab ini maka dapat ditarik benang merah antara

tafsir Quran Karim karya Mahmud Yunus dengan tafisr al Bayan karya Hasbi ash

Shiddieqy yang akan Penulis paparkan dalam bab berikutnya.

Page 71: 93202 Muhamad Hilman Fah

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menerjemah bukanlah sesuatu kegiatan yang mudah, karena tidak semua orang

mampu menerjemah dengan baik dan tentunya menerjemahkan al-Qur’an

mempunyai tingkat kesulitan lebih tinggi dari sekedar menerjemahkan naskah-

naskah lainnya. Baik Mahmud Yunus atau Hasbi ash Shiddieqy telah

menerjemahkan al-Qur’an dengan sangat baik, hingga mudah dimengerti pembaca

dari segi makna. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama memadankan kata

secara semantik leksikal yang cocok dengan kondisi umat muslim sekarang dan

menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer dengan prespektif al-Qur’an

dengan bahasa yang lugas dan tidak berbelit-belit.

Keduanya menerjemahkan al-Qur’an dengan tidak mutlak

menerjemahkannya dengan model terjemahan harfiah melainkan dengan

terjemahan harfiah yang disesuaikan dengan gaya bahasa sasaran dalam hal ini

bahasa Indonesia. Artinya kedua penerjemah memiliki kemampuan menganalisis

bahasa al-Qur’an dengan sangat baik dan memadankan setiap kata dengan tepat

hingga bahasa terjemahan keduanya tidak keluar dari makna dan maksud ayat-

ayat al-Qur’an.

Mahmud Yunus sebagai ulama yang banyak menghabiskan waktunya

dalam bidang paedagogis atau pendidikan membuat terjemahannya terlihat sangat

ringkas dan mudah dipahami. Pola penafisranya pun lebih cendrung memahami

61

Page 72: 93202 Muhamad Hilman Fah

ayat-ayat melalui pendekatan bahasa, sehingga terlihat argumen-argumen yang

diajukannya berpijak pada pemadanan bahasa dan berangkat dari pengertian kosa

kata secara semantik. Lain dari itu Hasbi ash Shiddieqy sebagai ulama ahli fikih

dan menguasai banyak ilmu tafsir menerjemahkan al-Qur’an dengan bahasa lugas

serta terarah. Terjemahannya banyak menyisipkan penjelsan-penjelasan dari ayat

dan memberikan kesimpulan pada setiap akhir surat. Pendekatan terjemahan yang

dilakukan Hasbi ini bisa dibilang menggunakan pola penerjemahan yang

menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur'an yang berkaitan langsung

dengan kehidupan masyarakat, usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-

masalah berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk

tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti.

Pengalihan kata secara semantik leksikal tidak banyak memberikan

pengertian yang jelas pada pesan-pesan ayat karena selain faktor linguistik, faktor

ekstralinguistik pun berpengaruh dalam menentukan hasil terjemahan. Namun

kedua penerjemah baik Mahmud Yunus dan Hasbi ash Shiddieqy memberikan

pemadanan secara akurat, karena keduanya tidak mengalihkan langsung kata

perkata bahasa kamus secara tumpang tindih.

Aspek intension atau tujuan berpengaruh pada hasil terjemahan keduanya.

Klasifikasi terjemahan keduanya bertujuan untuk mendidik umat muslim untuk

memahami makna al-Qur’an dan mengikuti suri tauladan Rasul.

B. Saran

Melihat dari hasil kesimpulan di atas, agaknya akan menjadi tantangan

besar bagi penerjemah Indonesia untuk dapat menciptakan sebuah terjemahan al-

62

Page 73: 93202 Muhamad Hilman Fah

63

Qur’an dengan menyelaraskan budaya bangsa kita yang majemuk dan

problematika kekinian. Hal ini diperlukan karena konteks budaya kita yang

berbeda jauh dengan konteks budaya Timur Tengah di mana al-Qur’an diturunkan

dan dimensi waktu pada saat al-Qur’an diwahyukan. Sedangkan ayat-ayat al-

Qur’an berlaku secara universal, di semua tempat di seluruh dunia dan sepanjang

zaman. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat teknis dapat dimodifikasi sesuai

dengan kebutuhan dan kondisi zaman, selama tak menyimpang dari garis norma

dan kaidah ketatabahasaan yang berlaku. Sebagai langkah awal, Mahmud Yunus

dan Hasbi ash Shiddieqy telah memulainya dengan tafsir Quran Karim dan al-

Bayan, sekarang tinggal dilanjutkan dan disempurnakan kembali, sehingga warna

ke-Indonesia-annya menjadi lebih terasa dan jelas.

Page 74: 93202 Muhamad Hilman Fah

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Jamiluddin. “Analisis semantik ayat-ayat al-Qur’an tentang jilbab dalam buku ‘jilbab pakaian wanita muslimah pandangan ulama masa lalu dan cendikiwan kontemporer’ karya M. Quraish Shihab.” Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Jakarta, 2007.

Ash Shiddieqy, T. M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir.

Jakarta: Bulan Bintang, 1980. _______________, Al Bayan: Tafsir Penjelas Al-Qur’anul Karim. Semarang: Pt.

Pustaka Rizki Putra, 2002. Burdah, Ibnu. Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemah Teks

Arab. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004. Chaer, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, 2 th ed. Jakarta: Rineka

Cipta, 2002. Djajasudarma, T. Fatimah. Semantik 2 Pemahaman Makna. Bandung: Pt. Refika.,

1999. Hasan, M. Ali. & Nawawi, Rif’at Syauqi. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Bulan

Bintang, 1988. Hidayatullah, M. Syarif. Diktat Teori dan Permasalahn Penerjemahan Arab-

Indonesia. 2006. Kholis Setiawan, Phil M. Nur. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta:

eLSAQ Press, 2005. Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik. 5th ed. Jakarta: Gramedia, 2001. Kurrotulaini, Siti. “Analisis Semantik Terhadap Terjemahan al-Qur’an juz 30

(surat al-Qadr, al-Alaq dan al-Ikhlash) Studi Komparatif antara Terjemahan Hamka dengan Terjemahan Mahmud Yunus.” Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Jakarta, 2008.

Kushartanti, dkk. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta

Gramedia Pustaka Utama, 2005. Larson, Mildred L. Penerjemahan Berdasarkan Makna: Pedoman unutk

Pemadanan Antarbahasa. Jakarta: Arcan, 1989.

64

Page 75: 93202 Muhamad Hilman Fah

65

Lyons, John. Pengatar Teori Linguitk. Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 1995. Moentaha, Salihen. Bahasa dan Terjemahan. Jakarta: Kesaint Blanc, 2006. Muzakki, Ahmad. Kontribusi Semiotik dalam Memahami Bahasa Agama.

Malang: UIN Malang Press, 2007. Nasib ar-Rifai, Muhammad. Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu

Katsir, jlid 4. Gema Insani, Jakarta: 2008. Parera, Jhon D. Teori Semantik. 2nd ed. Jakarta: Erlangga, 2004. Sayogie, Frans. Penerjemah Bahasa Asing ke dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:

Lembaga Penelitian Universitas Islam Negri Jakarta, 2008. Shihab, M. Quraish. Lentera Hati: Kisah dan hikmah Kehidupan. Bandung:

Mizan, 1999. _______________, Membumikan Al-Qur’an. 2nd ed. Bandung: IKAPI, 1992. _______________, Tafsir al Misbah: Pesan dan Keserasian al-Qur’an (Vol 15),

Jakarta: Lentera Hati, 2002. Suma, Muhammad Amin. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (1). Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2000. Suyadilaga, M. Alfatih, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005. Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, new ed. Jakarta: Gita Media

Press. Verhaar, J.W.M. Pengantar Linguistik. Yogyakarta; UGM Press, 1989 Yunus, Mahmud. Tafsir Quran Karim, 73rd ed. Jakarta: Pt Hidakarya Agung

Jakarta, 2004. Yusa, Yustian. “Terjemahan Ayat-Ayat Tentang Eksklusivitas Islam: Analisis

Hermeneutik Terhadap Terjemahan Versi Departemen Agama dan The Holy Quran.” Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Jakarta, 2009.