View
9
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
KEWENANGAN ABSOLUT PENGADILAN AGAMA DALAM
MEMUTUS PERKARA PERBUATAN MELAWAN HUKUM
(Analisis Putusan Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg, Putusan Nomor
097/Pdt.G/2017/PTA.Btn dan Putusan Nomor 689 K/Ag/2018)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
NOVIA YULIANTI
NIM: 11150440000097
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1441 H/2020 M
v
ABSTRAK
Novia Yulianti. NIM 11150440000097. Kewenangan Absolut Pengadilan Agama
Dalam Memutus Perkara Perbuatan Melawan Hukum (Analisis Putusan Nomor
1809/Pdt.G/2016/PA.Srg, Putusan Nomor 0097/Pdt.G/201/PTA.Btn dan Putusan
Nomor 689 K/Ag/2018). Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441H/2020 M. (xv halaman, 85 halaman).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pertimbangan hakim dalam
memutus perkara Perbuatan Melawan Hukum pada Putusan Nomor
1809/Pdt.G/2016/PA.Srg.Putusan Nomor 097/Pdt.G/2017/PTA.Btn dan Putusan
Nomor 689 K/Ag/2018 serta mengetahui sudut pandang hukum positif dan hukum
Islam mengenai hak istri pasca perceraian akibat cerai talak.
Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan judicial
case study, penelitian ini memakai pendekatan perundang-undangan dengan
teknik pengumpulan data menggunakan riset kepustakaan serta penelusuran
dokumen Putusan Pengadilan Agama Serang, Pengadilan Tinggi Agama Banten
dan Putusan Kasasi Mahkamah Agung.
Hasil penelitian pada putusan ini ditemukan fakta-fakta mantan suami
telah lalai dalam memberikan biaya penghidupan untuk mantan istri dan anak-
anaknya, maka pertimbangan majelis hakim tingkat pertama dan tingkat banding
telah mewujudkan keadilan yang substantif dengan menyatakan hasil pemotongan
sepertiga gaji Penggugat tidak patut dikembalikan, sebagai konpensasi nafkah
mut‟ah yang makruf. Mantan suami wajib memberikan nafkah pasca perceraian
akibat cerai talak berdasarkan ketentuan perundang- undangan yang berlaku yaitu,
Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan sebagai perubahan
atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 41 huruf b dan c,
kemudian diatur secara rinci oleh Kompilasi Hukum Islam Pasal 149. Dalam segi
kewenangan setelah terjadi perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama,
Pengadilan Agama dapat memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
perbuatan melawan hukum sebatas pada sengketa ekonomi syariah. Permasalahan
dalam kasus ini, beralas gugatan perbuatan melawan hukum terkait pemotongan
sepertiga gaji Penggugat, maka majelis hakim tingkat kasasi telah tepat
menyatakan perkara ini bukanlah kewenangan dari Pengadilan Agama, melainkan
kewenangan absolut Pengadilan Negeri serta gugatan Penggugat tidak dapat
diterima (N.O).
Kata Kunci : Nafkah, Perceraian, Perbuatan Melawan Hukum
Pembimbing : Dr. Nahrowi, S.H, M.H.
Daftar Pustaka : 1986 s/d 2019 M
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam
yang telah memberikan rahmat dan kasih sayangnya sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Kewenangan Pengadilan Agama Dalam
Memutus Perkara Perbuatan Melawan Hukum (Pada Putusan Nomor
1809/Pdt.G/2016/PA.Srg)”. Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya menuju jalan yang
lurus dan yang diridhoi oleh Allah SWT.
Dalam penyelesaian skripsi ini banyak rintangan dan hambatan yang datang
silih berganti. Namun, berkat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak maka
peneliti dapat melewati semuanya, tentunya dengan izin yang Maha Kuasa. Oleh
karena itu, peneliti merasa perlu mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc, M.A., Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berikut para Wakil
Dekan I, II dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Dr. Mesraini, M.Ag., dan Ahmad Chairul Hadi, M.A., Ketua Program Studi
Hukum Keluarga dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas
Syariah dan Hukum, yang selalu memberikan semangat dan arahan kepada
penulis.
4. Dr. Nahrowi,S.H,M.H., Dosen pembimbing yang dengan sabar membimbing,
mengarahkan serta memberikan masukan, kritik dan saran serta motivasi
kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.
5. Kedua orang tua, Bapakku tersayang Memed Maulana dan mamahku tercinta
Eti Herayati, yang selalu tiada hentinya mendo‟akan ku dan tiada hentinya
menyemangatiku agar terus berusaha tanpa mengeluh, kemudian teruntuk
jagoanku yaitu adik ku satu-satunya Ahmad Alfin yang selalu memberikan
vii
hiburan disaat penulis merasa jenuh. Sehingga penulis dapat menyelesaikan
skrispi ini dengan penuh semangat.
6. Teruntuk nenekku yang terus mendoakan ku supaya semua proses apapun itu
dalam hal menyelesaikan skripsi ini dilalui dan berjalan dengan baik.
7. Sahabat-sahabatku Novia Dwi Putri Utami, Dede Siti Nurhasanah, Ladina
Rosalinda, Imamah terimakasih telah membantu penulis menemukan solusi,
menemani dan menghibur penulis disaat penulis merasa terpuruk dan sampai
kepada titik kelulusan. Kemudian Iis Sholehah, Dina Rahayu, Asma Hana
Aushof, Devy Nurul Septiani, Halimatusa‟adah dan Desi Widayanti,
terimakasih telah mengukir kisah bersama penulis sejak awal perkuliahan
hingga bersama-sama menyusun skripsi ini.
8. Sahabat sahabat KKNku Tasya devy Rosaliana, Fatimatul Hasanah, Prastiwi
yang terus memberikan motivasi, dukungan, hiburan kepada penulis.
Sehingga penulis tidak merasa jenuh saat menyusun skripsi ini.
9. Sahabatku Afifah Nur Fadhillah terimakasih telah menjadi sahabat yang
senantiasa menemani serta memotivasi penulis untuk menemukan sumber
data penelitian, dengan menelusuri berbagai perpustakaan.
10. Muhamad Fahmi Nur Udiansyah, yang selalu menemani penulis, memberikan
semangat serta menghibur penulis dengan caranya yang manis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
11. Teh Nurul Komala, telah memberika doa serta motivasi penulis dan
membantu penulis menyelesaikan skripsi ini dikala kesulitan.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT membalas jasa-jasa
mereka, kebaikan mereka serta melindungi mereka baik di dunia maupun di
akhirat kelak. Semoga skripsi ini dapat membawa keberkahan dan manfaat bagi
para pembaca. Walaupun masih jauh dari kata sempurna, karena kesempurnaan
hanya milik Allah SWT.
Jakarta, 20 Januari 2020
Novia Yulianti
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama
bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah
Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara
Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak Dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
h} ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet س
ix
S Es س
Sy es dan ye ش
s} es dengan garis bawah ص
d} de dengan garis bawah ض
t} te dengan garis bawah ط
z} zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik diatas hadap „ ع
kanan
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Qo ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrop „ ء
Y Ya ي
x
b. Vokal Pendek dan Vokal Panjang
Vokal Pendek Vokal Panjang
_____ ______ = a ىا = a>
_____ ______ = i ىي = i>
_____ ______ = u ىو = u>
c. Diftong dan Kata Sandang
Diftong Kata Sandang
al = )ال( ai = __ أ ي
al-sh = )الش( aw = __ أ و
-wa al = )وال(
d. Tasydid (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah
kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: al-Syuf‟ah,
tidak ditulis asy-syuf‟ah
e. Ta Marbutah
Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1)
atau diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah
xi
tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan
menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
Kata Arab Alih Aksara
syarî „ah شزيعة
al- syarî „ah al-islâmiyyah الشزيعة اإلسال مية
Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذا هة
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama
tersebut berasal dari Bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis
Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
Istilah keislaman (serapan): istilah keislaman ditulis dengan
berpedoman kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:
No Transliterasi Asal Dalam KBBI
1 Al-Qur‟an Alquran
2 Al-Hadisth Hadis
3 Sunnah Sunah
4 Nas Nas
5 Tafsir Tafsir
xii
6 Fiqh Fikih
Dan lain-lain (lihat KBBI)
xiii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, Perumusan Masalah .......................................... 5
1. Identifikasi masalah ................................................................................... 5
2. Pembatasan Masalah ................................................................................ 5
3. Perumusan Masalah .................................................................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................... 6
1. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 6
2. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 6
D. Tinjauan Kajian Terdahulu .......................................................................... 7
E. Kerangka Teori Dan Konsepsi ................................................................... 10
F. Metode Penelitian ......................................................................................... 12
1. Pendekatan Penelitian .............................................................................. 12
2. Jenis Penelitian ......................................................................................... 13
3. Sumber Data ............................................................................................. 13
4. Teknik Pengumpulan Data .................................................................... 14
5. Analisis Data............................................................................................. 14
6. Teknik Penulisan ...................................................................................... 15
xiv
G. Sistematika Penulisan .................................................................................. 15
BAB II KEWENANGAN BADAN PERADILAN, PERKARA PERBUATAN
MELAWAN HUKUM DAN NAFKAH PASCA PERCERAIAN .................. 17
A. Kewenangan atau Kompetensi Peradilan Agama .................................... 17
1. Pengertian Kewenangan .......................................................................... 17
2. Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Agama .................................. 18
3. Gugatan – Gugatan Dalam Pengadilan Agama .................................... 21
B. Kewenangan atau Kompetensi Peradilan Umum ..................................... 25
1. Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Negeri ................................... 25
2. Gugatan – Gugatan Dalam Peradilan Negeri ....................................... 28
C. Perbuatan Melawan Hukum ........................................................................ 29
1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum ................................................ 29
2. Bentuk – Bentuk Perbuatan Melawan Hukum .................................... 31
3. Unsur-Unsur Pebuatan Melawan Hukum ............................................. 33
D. Hak Mantan Istri Pasca Perceraian Akibat Cerai Talak .......................... 36
1. Nafkah Pasca Perceraian ......................................................................... 36
2. Kadar Pemberian Nafkah Pasca Perceraian. ........................................ 38
E. Penerapan Tujuan Hukum Dalam Putusan Hakim ................................... 39
1. Asas Kepastian Hukum (Rechtmatigeheid) .......................................... 40
2. Asas Keadilan (Gerectigheit) ................................................................. 41
3. Asas Kemanfaatan (Zwechmatigheid) ................................................... 43
BAB III DESKRIPSI PERKARA PERBUATAN MELAWAN HUKUM
DALAM PENGADILAN AGAMA, PENGADILAN TINGGI AGAMA DAN
MAHKAMAH AGUNG ..................................................................................... 45
A. Putusan Pengadilan Agama Serang Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg 45
1. Kronologi Perkara .................................................................................... 45
2. Pertimbangan Hakim ............................................................................... 48
3. Amar Putusan ........................................................................................... 51
B. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Banten Nomor
0097/Pdt.G/2017/PTA.Btn ............................................................................... 52
xv
1. Kronologi Perkara .................................................................................... 52
2. Pertimbangan Hakim ............................................................................... 54
3. Amar Putusan ........................................................................................... 55
C. Putusan Kasasi Nomor 689 K/Ag/2018 .................................................... 55
1. Kronologi Perkara .................................................................................... 55
2. Pertimbangan Hakim ............................................................................... 56
3. Amar Putusan ........................................................................................... 56
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SERANG DALAM
PERKARA PERBUATAN MELAWAN HUKUM TERKAIT NAFKAH
PASCA PERCERAIAN ...................................................................................... 58
A. Pertimbangan hakim dalam memutus perkara perbuatan melawan
hukum pada Putusan Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg, Putusan Nomor
097/Pdt.G/2017/PTA.Btn dan Putusan Nomor 689 K/Ag/2018. ................ 58
B. Analisis hukum mengenai hak istri pasca perceraian pada Putusan
Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg Putusan Nomor 097/Pdt.G/2017/PTA.Btn
dan Putusan Nomor 689 K/Ag/2018. .............................................................. 71
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 83
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 86
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Percecokan yang terjadi antara suami dan istri dalam kehidupan
rumah tangga, sampai sulit bagi mereka untuk mempertahankan keutuhan
rumah tangganya, sehingga sampai kepada titik perceraian yang
mengakibatkan putusnya perkawinan diantara suami dan istri. Didasari
dengan alasan-alasan yang melatarbelakangi adanya perceraian baik suami
ataupun pihak istri dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama
berdasarkan prosedur undang-undang yang berlaku. Apabila permohonan
cerai talak yang telah diajukan, dikabulkan oleh pengadilan dan
diputuskannya perkawinan memiliki akibat hukum yang mengikat pihak
mantan suami dan mantan istri. Kewajiban mantan suami akibat cerai talak
dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 149, diantaranya memberikan nafkah
mut‟ah, memberikan nafkah „iddah, melunasi mahar yang masih terhutang
dan memberikan biaya hadhanah untuk anak yang belum mencapai 21
tahun. Kewajiban mantan istri setelah jatuh talak yaitu melaksanakan
„iddah menjaga dirinya dan tidak langsung menerima pinangan orang lain
selama waktu yang telah ditentukan.1
Terkait kewajiban tersebut, apabila dilaksanakan dengan baik dan
tepat waktu dalam memberikannya, maka tidak ada masalah dikemudian
hari. Penulis akan menjelaskan kronologi permasalahan pada Putusan
Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg, bermula pada tahun 2010 dalam gugatan
sebelumnya Sunardi Wagiyono selaku Penggugat, mengajukan perceraian
kepada Pengadilan Agama Serang terhadap Sri Purwati selaku Tergugat.
Dalam perceraian Nomor 788/Pdt.G/2009/PA.Srg Penggugat diwajibkan
untuk membayar nafkah „iddah sebesar Rp. 3.000.000 dan Nafkah Mut‟ah
sebesar Rp. 9.000.000 kepada Tergugat. Penggugat hanya melunasi nafkah
1 Moh Ali Wafa, Hukum Perkawinan Di Indonesia: Sebuah Kajian dalam Hukum Islam
dan Hukum Materil, (Tangerang: YASMI, 2018), h., 286-287.
2
„iddah dan baru membayar mut‟ah sebesar Rp. 5.000.000. nafkah mut‟ah
belum dilunasi sampai akhirnya tahun 2012 Penggugat menemukan bukti
pemotongan gaji Penggugat setiap bulannya yang dilakukan oleh Tergugat
dan Turut Tergugat, pemotongan tersebut berlandasan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1990 Pasal 8 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai
Negeri Sipil. Namun, ternyata PT. Krakatau Steel tidak memakai peraturan
pemerintah tersebut. Pemotongan tersebut berlangsung hingga tahun 2016,
mencapai total sebesar Rp. 97.768.911. Merasa tidak terima dan dirugikan
dengan pemotongan tersebut Penggugat mengajukan gugatan Perbuatan
Melawan Hukum (PMH) ke Pengadilan Agama Serang, supaya majelis
hakim menghentikan pemotongan gaji yang dilakukan oleh Tergugat dan
Turut Tergugat, serta mengembalikan sisa pemotongan gaji tersebut
karena hutang nafkah mut‟ah hanya sebesar Rp. 4.000.000.
Berdasarkan kronologi pada kasus di atas, melihat sistem
pembagian lingkungan peradilan dalam amandemen Pasal 24 ayat (2)
UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 14 tahun 1970
sebagaimana diubah dengan Undang - Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan
diganti dengan Pasal 2 jo Pasal 10 ayat (2) Undang - Undang Nomor 4
Tahun 2004 kekuasaan kehakiman (Judicial power) yang berada di bawah
Mahkamah Agung dilakukan serta dilaksanakan oleh beberapa lingkungan
peradilan diantaranya Peradilan Agama, Peradilan Umum, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.2
Peradilan Agama merupakan badan Peradilan di Indonesia yang
tepat untuk menaungi serta menangani perkara perdata tertentu bagi orang-
orang Islam. Dalam hal ini, kewenangan peradilan agama terdiri atas
kewenangan relatif dan kewenangan absolut. Kewenangan relatif peradilan
agama merujuk pada Pasal 118 HIR atau pasal 142 R.Bg jo Pasal 66 dan
2 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h., 180
3
Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.3
Ditegaskan dalam bentuk cerai talak pada prinsipnya ditentukan oleh
faktor kediaman Termohon.4 Sedangkan kewenangan absolut Peradilan
Agama merujuk kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang
membawa pengaruh besar terhadap keberadaan Peradilan Agama di
Indonesia yang kemudian terjadi perubahan mendasar dengan adanya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Perubahan yang terdapat dalam
undang-undang tersebut adalah mengenai kompetensi absolut Pengadilan
Agama yang terdiri atas 42 perubahan diantaranya, perluasan wewenang
Pengadilan Agama untuk menangani permasalahan zakat, infak serta
wewenang Pengadilan Agama menangani permasalahan dibidang ekonomi
syariah.5
Ruang lingkup peradilan agama berkuasa atas perkara-perkara
tertentu yang masuk dalam batas-batasan kewenangan absolut Peradilan
Agama itu sendiri, yang menyatakan bahwa : “Peradilan Agama
merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara-perkara tertentu
yang diatur dalam pasal 49 ayat (1) Undang - Undang Nomor 3 Tahun
2006, yaitu bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak,
sedekah, dan ekonomi syariah yang masing-masing kewenangan dari
perkara tersebut akan dibahas dalam pembahasan selanjutnya.”6
Kemudian Pengadilan Negeri kedudukannya masuk ke dalam
lingkungan Peradilan Umum, yang bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat
3 Sulaikun Lubis dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2005), h., 107. 4 Sulaikun Lubis dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2005), h., 109. 5 Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2017),h,.73. 6 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 yang telah diubah menjadi Undang-Undang
Nomor. 3 tahun 2006 Pasal 2.
4
pertama.7 Pengadilan Negeri hanya berada pada wilayah tertentu sebagai
kewenangan relatif, tepatnya berkedudukan di Kotamadya atau Ibukota
Kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kotamadya atau
Kabupaten yang bersangkutan. Hal tersebut merujuk kepada ketentuan
Pasal 118 HIR (Pasal 142 RBG).8 Berdasarkan kewenangan absolut
Pengadilan Negeri berwenang atas perkara pidana dan perkara perdata
yang terbatas pada perdata umum dan niaga.9
Majelis hakim tingkat pertama menerima gugatan Penggugat
sebagian, serta memutus bahwa Tergugat dan Turut Tergugat terbukti telah
melakukan perbuatan melawan hukum (PMH).10
Tidak cukup puas dengan
putusan tersebut, Penggugat mengajukan upaya hukum banding dengan
Nomor Putusan 0097/Pdt.G/2017/PTA.Btn, dengan amar putusan yang
menyatakan menguatkan putusan Pengadilan Agama Serang Nomor
1809/Pdt.G/2016/PA.Srg.11
Perkara tersebut naik dalam upaya hukum
biasa, Tergugat dan Turut Tergugat mengajukan kasasi dengan Nomor 689
K/Ag/2018, dengan amar putusan menyatakan membatalkan putusan
Pengadilan Tinggi Agama Banten salah menerapkan hukum dan
menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (N.O).12
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis melihat ada
permasalahan yang menarik untuk dikaji. Dalam hal ini, akan dijelasakan
mengenai kewenangan absolut Pengadilan Agama terkait kasus nafkah
pasca perceraian sehingga menimbulkan Perbuatan Melawan Hukum,
untuk itu penulis akan menganalisis dalam bentuk skripsi yang berjudul
“KEWENANGAN ABSOLUT PENGADILAN AGAMA DALAM
MEMUTUS PERKARA PERBUATAN MELAWAN HUKUM (Analisis
7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 49 Tahun 2009 Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, Pasal 50. 8 Sulaikun Lubis dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2005), h., 191-192. 9 Sulaikun Lubis dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h., 182.
10 Salinan Putusan Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg.
11 Salinan Putusan Nomor 0097/Pdt.G/2017/PTA.Btn.
12 Salinan Putusan Nomor 689 K/Ag/2018.
5
Putusan Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg, Putusan Nomor
097/Pdt.G/2017/PTA.Btn dan Putusan Nomor 689 K/Ag/2018)”
B. Identifikasi, Pembatasan, Perumusan Masalah
1. Identifikasi masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah terpaparkan di atas, maka
dapat diindentifikasi beberapa masalah dalam skripsi penelitian ini,
diantaranya:
1. Ketentuan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) berdasarkan undang-
undang.
2. Kewenangan absolut Pengadilan Agama berdasarkan undang-undang
Peradilan Agama.
3. Kewenangan Pengadilan Negeri pada kasus Perbuatan Melawan
Hukum (PMH).
4. Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dapat diajukan ke Pengadilan
Agama.
5. Hak istri pasca perceraian menurut undang-undang dan hukum Islam
6. Pertimbangan hakim tingkat pertama dalam memutus perkara
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) pada Putusan Nomor
1809/Pdt.G/2016/PA.Srg.
7. Pertimbangan hakim tingkat banding dalam memutus perkara
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) pada Putusan Nomor
0097/Pdt.G/2017/PTA.Btn.
8. Pertimbangan hakim tingkat kasasi dalam memutus perkara Perbuatan
Melawan Hukum (PMH) pada Putusan Nomor 689 K/Ag/2018.
2. Pembatasan Masalah
Supaya penulis lebih terarah dan menghindari kemungkinan
menyimpang atau terlalu meluas, maka sesuai dengan identifikasi
masalah dengan berfokus pada kewenangan absolut Pengadilan Agama
Serang, dengan menganalisis Putusan Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg,
6
Putusan Nomor 097/Pdt.G/201/PTA.Btn dan Putusan Nomor 689
K/Ag/2018 terhadap kasus Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
3. Perumusan Masalah
Dalam paparan batasan masalah di atas, untuk lebih
mempermudah maka dapat dirinci beberapa rumusan masalah, sebagai
berikut:
1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara perbuatan
melawan hukum pada Putusan Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg
Putusan Nomor 097/Pdt.G/201/PTA.Btn dan Putusan Nomor 689
K/Ag/2018?
2. Bagaimana analisis hukum mengenai hak istri pasca perceraian pada
Putusan Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg Putusan Nomor
097/Pdt.G/2017/PTA.Btn dan Putusan Nomor 689 K/Ag/2018?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang ditetapkan adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis pertimbangan hakim dalam memutus perkara Perbuatan
Melawan Hukum pada putusan Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg.
Putusan Nomor 097/Pdt.G/2017/PTA.Btn dan Putusan Nomor 689
K/Ag/2018.
2. Mengetahui sudut pandang hukum positif dan hukum Islam mengenai
hak istri pasca perceraian akibat cerai talak.
2. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan serta sumber
bacaan bagi peneliti selanjutnya di masa yang akan datang mengenai
kewenangan absolut peradilan agama khususnya menangani perkara
7
Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Selain itu memperluas
pengetahuan mengenai hak nafkah istri pasca perceraian.
2. Secara Praktis
a. Bagi Fakultas Syariah dan Hukum khususnya Hukum Keluarga
(Akhwal As-Syakhshiyyah), penelitian ini sebagai wujud
kontribusi penulis dalam memberikan tambahan karya ilmiah.
b. Bagi institusi pengadilan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi
bahan pertimbangan dan masukan yang positif terutama kepada
para majelis hakim supaya lebih teliti dan semaksimal mungkin
memberikan putusan yang berkepastian hukum, adil serta
bermanfaat untuk para pihak.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu
Studi mengenai kewenangan absolut Pengadilan Agama dalam
perkara perbuatan melawan hukum terhadap pemotongan gaji pegawai
tidak banyak menemukan dalam penelitian sebelumnya, namun terdapat
beberapa penelitian yang hampir mendekati topik yang dibahas,
diantaranya:
Sarjono (2011). Melakukan studi putusan yang berfokus kepada
kewenangan absolut peradilan agama dalam memutuskan sertifikat hak
milik atas tanah tidak berkekuatan hukum tetap. Titik masalah dalam
perkara ini adalah tanah tersebut merupakan objek sengketa waris. Ahli
waris (Penggugat) mengajukan gugatan pembatalan sertifikat kepada
Pengadilan Agama Tebing Tinggi dikarenakan Kadir (Tergugat) tidak
berhak atas tanah tersebut, karena tanah tersebut merupakan harta waris
dari kedua orang tuanya. Sedangkan Tergugat bukanlah termasuk ahli
waris kedua orang tua mereka. Namun seharusnya badan peradilan yang
berwenang mengadili perkara dengan objek gugatan sertifikat hak atas
tanah adalah Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. 13
Karena
13
Catur Muhammad Sarjono, “Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama Yang
memutuskan Sertifikat Hak Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum (Studi Kasus Putusan
8
keputusan penerbitan sertifikat hak atas tanah berhak dikeluarkan oleh
Badan Pertanahan Nasional, dimana BPN merupakan jabatan tata usaha
negara, sehingga jika ada sengketa terhadap sertifikat hak atas tanah yang
berhak memeriksa dan mengadili adalah Peradilan Tata Usaha Negara.
Persamaan antara penelitian di atas dengan penulis, yaitu
menganalisis putusan hakim yang berkaitan dengan kewenangan absolut
Peradilan Agama. Perbedaan penelitian di atas dengan penelitian yang
akan penulis bahas adalah dalam studi putusan ini perkara mengenai
perbuatan melawan hukum akibat dari pemotongan sepertiga gaji pegawai
yang diajukan ke Pengadilan Agama Serang bahkan Pengadilan Agama
mengadili dan memutus perkara tersebut. Sebagaimana diketahui perkara
perbuatan melawan hukum dapat ditangani oleh Pengadilan Agama
sebatas perkara ekonomi syariah, perkara yang penulis analisis lebih tepat
diselesaikan dalam Peradilan Umum.
Afandi (2014). Melakukan studi putusan berfokus kepada gugatan
rekonpensi yang diajukan ke Pengadilan Agama Malang oleh mantan istri
terhadap mantan suaminya yang bekerja sebagai guru Pegawai Negeri
Sipil, supaya mantan suami melaksanakan kewajiban Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Pasal 8 ayat 1 dan 2 mengenai
penyerahan gaji untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya sebesar
sepertiga untuk istri dan sepertiga untuk suami. Namun, dalam putusan ini
majelis hakim merasa di Pengadilan Agama tidak merasa terikat dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Pasal 8 tentang izin
perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, sehingga ada
Pengadilan Agama Tebing Tinggi Nomor 52/Pdt.G/2008/PA.TTD jo Putusan Pengadilan Tinggi
Agama Sumatra Utara Nomor 145/Pdt.G/2008/PTA.MDN)”, Mahasiswa Fakultas Hukum,
Universitas Sumatra Utara, 2011.
9
penolakan hakim atas pembagian gaji Pegawai Negeri Sipil pasca
perceraian tersebut.14
Persamaan antara penelitian di atas dengan penulis, sama-sama
menyinggung nafkah pasca perceraian Negeri Sipil yang diajukan ke
Pengadilan Agama. Perbedaan penelitian di atas dengan penelitian yang
akan penulis bahas adalah dalam studi putusan yang penulis analisis ini
berkaitan dengan kelalaian nafkah yang dilakukan Penggugat, yang
berakibat terjadinya Perbuatan Melawan Hukum sebagai akibat dari
pemotongan sepertiga gaji pegawai yang dilakukan Tergugat, dimana
dalam putusan Penggugat selaku Pegawai Badan Usaha Milik Negara
tidak menerapkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 kemudian
diajukan perkara tersebut ke Pengadilan Agama Serang.
Malik (2016). Melakukan studi putusan yang berfokus kepada
perbuatan melawan hukum yang berakhir dengan perdamaian. Titik
masalah dalam kasus ini adalah Tergugat tidak mau mengembalikan
sertifikat tanah milik Penggugat yang telah membayar lunas hutangnya
kepada Tergugat. Putusan perdamaian PN. Boyolali perkara Nomor
34/Pdt.G/2014 isinya tidak bertentangan dengan hukum dan kedua belah
pihak juga sepakat mengakhiri perkara tersebut dengan perdamaian.15
Persamaan antara penelitian di atas dengan penulis, membahas
perkara perbuatan melawan hukum. Perbedaan penelitian di atas dengan
penelitian yang akan penulis bahas adalah dalam segi nafkah pasca
perceraian akibat cerai talak dan kewenangan absolut Peradilan Agama,
dalam menangani perkara Perbuatan Melawan Hukum dalam pemotongan
sepertiga gaji pegawai yang diajukan ke Pengadilan Agama Serang.
14
Ahmad Rizal Afandi, “Analisis Yuridis Terhadap Penolakan Hakim atas Gaji Pegawai
Negeri Sipil Pasca Perceraian”, Mahasiswa Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2014. 15
Muh Reyhan Malik, “Kajian Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor 34/Pdt.G/2014
Tentang Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Yang Berakhir Dengan Perdamaian”, Mahasiswa
Fakultas Hukum, Universitas Slamet Riyadi Surkarta, 2016.
10
Sebagaimana yang diketahui perkara Perbuatan Melawan Hukum dapat
menjadi kewenangan Peradilan Agama sebatas perkara ekonomi syariah.
Ardiansyah (2017). Melakukan studi putusan yang berfokus kepada
sengketa tanah akibat perbuatan melawan hukum. Titik permasalahan
dalam kasus ini adalah penggugat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Agama Negeri terhadap Tergugat I dan Tergugat II. Penggugat berdalil
bahwa Tergugat I dan Tergugat II telah menguasai tanah secara melawan
hukum dan membangun rumah diatas tanah yang bukan hak miliknya.16
Persamaan antara penelitian di atas dengan penulis, membahas
perkara Perbuatan Melawan Hukum. Perbedaan penelitian di atas dengan
penelitian yang akan penulis bahas adalah dalam segi kewenangan absolut
Peradilan Agama, yang mengadili serta memutus perkara perbuatan
Melawan Hukum tentang pemotongan sepertiga gaji pegawai yang
dilakukan Tergugat, dimana dalam perusahaan Penggugat tidak
menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983. Serta
menyinggung pula permasalahan nafkah pasca perceraian akibat cerai
talak.
E. Kerangka Teori Dan Konsepsi
Kerangka teori adalah suatu kumpulan teori dan model dari
literatur yang menjelaskan hubungan dalam masalah tertentu. Membangun
suatu kerangka teoritis dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk
menggambarkan dan menjelaskan satu fenomena atau kejadian ataupun
perilaku17
. Kemudian membangun kerangka teoritis dan melakukan telaah
pustaka merupakan satu tahap dalam proses penelitian dan menjadi elemen
penting dalam format rencana penelitian yang dibuat.
16
Sadad Ardiansyah, “Sengketa Tanah Akibat Perbuatan Melawan Hukum Pasal 1365 KUH
Perdata (Studi putusan Nomor 45/1999/Pdt.G/PN.Dmk)”, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Sultan Agung Semarang, 2017. 17
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Unpar Press, 2006), h., 84.
11
Guna memberi kejelasan pada penelitian ini, penulis menggunakan
teori tujuan hukum, hakim dalam proses peradilan memiliki tanggung
jawab yang besar terhadap masyarakat dengan melahirkan putusan putusan
berlandaskan tujuan hukum. Menurut Gustav Radbruch, tujuan hukum
harus mengandung tiga nilai identitas:
a. Asas Keadilan Hukum (Gerectigheit) yang meninjau sudut pandang
filosofis.
b. Asas Kemanfaatan Hukum (Zwechmatigheid) yang meninjau dari sudut
pandang sosiologis.
c. Asas Kepastian Hukum (Rechtmatigheid) yang meninjau dari sudut
pandang yuridis.18
Kepastian hukum, menyediakan aturan-aturan hukum yang jelas
dan konsisten yang dibuat oleh kekuasaan negara, maka para instansi
penguasa diharuskan untuk patuh dan tunduk dalam aturan tersebut.
Dalam sudut pandang kepastian hukum ini, menilai hakim harus mencari
dan menyesuaikan undang-undang yang berkaitan dengan perkara yang
sedang dihadapi, sehingga menjamin hukum tersebut dijalankan.
Keadilan, putusan pengadilan tentunya harus sesuai dengan hukum
karena hakim harus mengadili berdasarkan hukum namun putusan juga
harus mengandung keadilan, objektif dan tidak memihak.19
Keadilan yang
dimaksud sedapat mungkin keadilan substansial, bukan keadilan formal,
dimaknai dengan keadilan yang riil diterima dan dirasakan para pihak.20
Kemanfaatan, berkaitan dengan manfaat yang diperoleh dari
putusan atau tindakan yang dibuat pemerintah. Dapat diartikan pula
sebagai optimalisasi dari tujuan sosial dari hukum, setiap hukum di
18
Hardi Munte, Model Penyelesaiian Sengketa Administrasi Pilkada, (Jakarta: Puspantara,
2017), h., 27. 19
Herri Swantoro, Harmonisasi Keadilan dan Kepastian Dalam Peninjauan Kembali,
(Depok: Prenadamedia Group, 2017), h., 21. 20
Margono, Asas Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum Dalam Putusan Hakim,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2019), h.,110
12
samping untuk mewujudkan ketertiban sebagai tujuan akhir, juga
mempunyai tujuan sosial tertentu, yaitu kepentingan yang keinginan untuk
diwujudkan oleh hukum, baik berasal dari perorangan, masyarakat
maupun negara.21
Di samping itu, konsepsi yang digunakan diantaranya, Pertama,
ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, mengenai perbuatan melawan hukum
yang dapat dituntut penggantian kerugian apabila telah memenuhi unsur –
unsur diantaranya :
a. Perbuatan itu melawan hukum
b. Perbuatan itu menimbulkan kerugian
c. Terdapat unsur kesalahan
d. Perbuatan itu terdapat hubungan kausal (sebab-akibat)22
Kedua, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 49 ayat (1)
tentang Kewenangan Peradilan Agama. Ketiga, Undang-Undang Nomor
49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum. Keempat, Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 atas perubahan dari Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kelima, Kompilasi Hukum Islam (KHI).
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini memakai pendekatan perundang-undangan (Statute
Approach). Melalui pendekatan ini, penulis dapat mengkaji serta
menganalisis putusan Pengadilan Agama Serang dengan Nomor putusan
1809/Pdt.G/2016/PA/Srg, Putusan Nomor 0097/Pdt.G/2017/PTA.Btn dan
Putusan Nomor 689 K/Ag/2018) di telaah dengan hukum tertulis yang
terkait dengan Peraturan Perundang-undangan tentang Kewenangan
Peradilan Agama yaitu Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006,
21
Margono, Asas Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum Dalam Putusan Hakim, h.,
111 22
P.N.H Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2015), h., 304-305.
13
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yaitu Pasal 1365 KUH Perdata,
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum,
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 atas perubahan dari Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Pasal 149.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan
Judicial case study. Studi pada putusan Pengadilan Agama Serang yang
berhubungan dengan kewenangan absolut Pengadilan Agama Nomor
1809/Pdt.G/2016/PA.Srg, Putusan Nomor 0097/Pdt.G/2017/PTA.Btn dan
Putusan Nomor 689 K/Ag/2018, terkait perkara Perbuatan Melawan
Hukum, Peraturan Perundang-undangan tentang Kewenangan Peradilan
Agama yaitu Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Undang-
Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Perbuatan
Melawan Hukum (PMH) yaitu Pasal 1365 KUH Perdata Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 atas perubahan dari Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
3. Sumber Data
Data sekunder yang dijadikan rujukan penulis dalam menyusun
skripsi ini adalah :
a) Bahan hukum primer, merupakan data orisinil atau bahan-bahan
hukum yang mengikat topik yang diteliti, yaitu terdiri dari undang-
undang23
diantaranya :
1) Putusan Pengadilan Agama Serang Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA
/Srg.
2) Putusan Pengadilan Tinggi Agama Banten Nomor
0097/Pdt.G/2017/PTA.Btn.
3) Putusan Kasasi Nomor 689 K/Ag/2018
23
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta :
PT.Raja Grafindo Persada,2013), h.,13.
14
4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang sudah diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Pasal 49 tentang
Kewenangan Peradilan Agama
5) Pasal 1365 KUH Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum.
6) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.
7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
8) Kompilasi Hukum Islam Pasal 149.
b) Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, dapat dikatakan pula sebagai bahan pendamping
yang berhubungan dengan pembahasan dalam penelitian ini di mana
data yang diperoleh atau dikumpulkan dari buku-buku hukum, jurnal
hukum, skripsi tentang hukum, artikel hukum.
4. Teknik Pengumpulan Data
1. Mengumpulkan data penelitian ini dengan riset kepustakaan.
Perpustakaan yang telah penulis telusuri yaitu Perpustakaan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional (PERPUSNAS),
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta dan
Perpustakaan Universitas Indonesia.
2. Penelusuran dokumentasi putusan, meliputi, Putusan Pengadilan
Agama Serang Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg, Putusan Pengadilan
Tinggi Agama Banten Nomor 0097/Pdt.G/2017/PTA.Btn dan Putusan
Kasasi Mahkamah Agung Nomor 689 K/Ag/2018 .
5. Analisis Data
Bahan-bahan hukum yang sudah dikumpulkan tersebut dianalisis
dengan berpedoman pada metode kualitatif, secara deskriptif analitis.
Analisis dilakukan terhadap Putusan Pengadilan Agama Nomor
1809/Pdt.G/2016/PA.Srg sampai dengan Putusan Kasasi Nomor 689
K/Ag/2018, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Kewenangan
Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang
15
Peradilan Umum, Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yaitu Pasal 1365
KUH Perdata Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 atas perubahan
dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Lalu dikelompokan dan digunakan
sesuai dengan penelitian untuk diambil kesimpulannya.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan penelitian merujuk kepada pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
G. Sistematika Penulisan
Karya ilmiah ini terdiri dari 5 (lima) BAB, pembagiannya dimulai
dari:
Pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, identifikasi,
pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian, kerangka teori dan
sistematika penulisan.
Pembahasan yang terdiri dari kewenangan absolut Peradilan
Agama meliputi pengertian, ruang lingkup dan gugatan-gugatan dalam
Pengadilan Agama. Kewenangan peradilan umum, gugatan-gugatan dalam
Pengadilan Negeri. Perbuatan Melawan Hukum (PMH) meliputi
pengertian, bentuk – bentuk , unsur-unsurnya. Kemudian hak mantan istri
pasca perceraian akibat cerai talak meliputi nafkah pasca perceraian dan
kadar pemberian nafkah pasca perceraian. Dan penerapan tujuan hukum
dalam putusan hakim, meliputi asas kepastian hukum, asas keadilan dan
kemanfaatan.
Deskripsi Perkara Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pengadilan
Agama, Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung. Dalam Putusan
Pengadilan Agama Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg meliputi duduk
perkara, pertimbangan hakim dan amar putusan. Dalam putusan
16
Pengadilan Tinggi Agama Nomor 0097/Pdt.G/2017/PTA.Btn meliputi
duduk perkara, pertimbangan hakim dan amar putusan. Dalam putusan
kasasi Nomor 689K/AG/2018 meliputi duduk perkara, pertimbangan
hakim dan amar putusan.
Analisis putusan Pengadilan Agama Serang dalam perkara
Perbuatan Melawan Hukum terkait nafkah pasca perceraian, meliputi
jawaban atas rumusan masalah diantaranya analisis pertimbangan hakim
dalam memutus perkara perbuatan melawan hukum pada Putusan Nomor
1809/Pdt.G/2016/PA.Srg Putusan Nomor 097/Pdt.G/201/PTA.Btn dan
Putusan Nomor 689 K/Ag/2018 dan analisis hukum mengenai hak istri
pasca perceraian pada Putusan Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg Putusan
Nomor 097/Pdt.G/2017/PTA.Btn dan Putusan Nomor 689 K/Ag/2018.
Bagian penutup, meliputi kesimpulan dan saran untuk
pengembangan ilmu terkait permasalahan kewenangan absolut pengadilan
khususnya perbuatan melawan hukum serta mengenai hak istri pasca
perceraian akibat cerai talak pada Putusan Nomor
1809/Pdt.G/2016/PA.Srg, Putusan Nomor 097/Pdt.G/2017/PTA.Btn dan
Putusan Nomor 689 K/Ag/2018.
17
BAB II
KEWENANGAN BADAN PERADILAN, PERKARA PERBUATAN
MELAWAN HUKUM DAN NAFKAH PASCA PERCERAIAN
A. Kewenangan atau Kompetensi Peradilan Agama
1. Pengertian Kewenangan
Berasal dari bahasa Belanda, yaitu kata competentie, apabila
diterjemahkan adalah kewenangan atau kekuasaan untuk menentukan
atau memutus sesuatu.1 Timbulnya sengketa-sengketa baik itu perdata
ataupun pidana memunculkan keinginan masyarakat dalam meminta
penyelesaiannya kepada pengadilan, yang menimbulkan permasalahan
kekuasaan untuk mengadili (Jurisdiction). Permasalahan kekuasaan atau
yurisdiksi mengadili timbul disebabkan berbagai faktor, seperti faktor
instansi peradilan yang membedakan eksistensi antara peradilan banding
dan kasasi sebagai peradilan yang lebih tinggi berhadapan dengan
peradilan tingkat pertama. Bahkan masalah kewenangan ini juga dapat
timbul akibat faktor wilayah (locality) yang membatasi kewenangan
masing-masing pengadilan.2
Kewenangan mengadili dalam tiap-tiap lingkungan peradilan
terdiri atas kekuasaan relatif (Relative Competentie) dan kekuasaan
mutlak (Absolute Competentie). Kekuasaan relatif diartikan sebagai
kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan yang
membedakannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan
sama tingkatannya.3 Seperti Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan
Pengadilan Agama Serang, Pengadilan Negeri Bogor dengan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan. Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Serang
sama-sama lingkungan peradilan agama dan sama-sama pengadilan
1 Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia,
(Jakarta: CV Pustaka setia, 2017), h. 115. 2 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), h. 179-180.
3Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia,
(Jakarta: CV Pustaka setia, 2017), h., 120.
18
tingkat pertama. Kemudian Pengadilan Negeri Bogor dengan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan sama-sama lingkungan peradilan umum dan
sama-sama pengadilan tingkat pertama. Sedangkan kekuasaan absolute
menurut Soedikno Mertokusumo, kompetensi absolute atau kewenangan
mutlak adalah wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis
perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan
pengadilan lain. Kompetensi absolut ini disebut juga atribusi kekuasaan
kehakiman.4
2. Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Agama
Dasar hukum untuk menentukan kompetensi relatif dari setiap
pengadilan agama merujuk kepada ketentuan Pasal 118 HIR atau Pasal
142 R.Bg. jo Pasal 66 dan Pasal 73 Undang - Undamg Nomor 7 Tahun
1989.5 Berdasarkan faktor wilayah, kewenangan pengadilan agama untuk
menerima suatu perkara gugatan, yaitu sebagai berikut:
a. Berdasarkan asas Actor Sequitor Forum Rei, yaitu gugatan diajukan di
Pengadilan Agama tempat tinggal tergugat6
b. Asas Actor Sequitor Forum Sitei, yaitu gugatan diajukan di pengadilan
agama tempat barang (tidak bergerak) yang menjadi objek sengketa.7
c. Pengecualian terhadap Asas Actor Sequitor Forum Sitei, antara lain:
Apabila tempat tinggal Tergugat tidak diketahui, kemudian Tergugat
lebih dari satu, dan tempat tinggalnya berlainan, gugatan diajukan
ditempat tinggal salah seorang Tergugat. Apabila Tergugat terdiri atas
yang berutang (debitur utama) dan penanggung atau penjamin,
gugatan diajukan di pengadilan tempat debitur utama. Apabila tempat
tinggal Tergugat tidak diketahui dan objeknya menyangkut barang
tetap, di pengadilan tempat barang tetap berada. Apabila ada
4Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, h.,
118. 5Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, h.,
120. 6 Pasal 118 (1) HIR / Pasal 142 (5) RBG.
7 Pasal 118 (3) HIR / Pasal 142 (5) RBG.
19
pemilihan domisili, di pengadilan yang dipilih Pasal 118 HIR/142
RBG. Terhadap perkara yang diajukan kepada pengadilan yang secara
relatif tidak berwenang, hakim dapat menyatakan dirinya tidak
berwenang, apabila ada eksepsi dari Tergugat.
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 ayat
(1) disebutkan bahwa pengadilan agama berkedudukan di Kotamadya
atau ibu kota Kabupaten.8 Kemudian, adapula kompetensi relatif yang
khusus berlaku di pengadilan agama, diantaranya.9
1) Permohonan izin kawin di pengadilan agama tempat pemohon.10
2) Dispensasi perkawinan di pengadlan agama tempat pemohon
menikah.11
3) Poligami diajukan di pengadilan tempat pemohon.12
4) Pencegahan perkawinan diajukan ke pengadilan agama tempat
KUA pekawinan dimana perkawinan akan dilaksanakan.13
5) Penolakan perkawinan diajukan di pengadilan agama tempat KUA
pekawinan dimana perkawinan akan dilaksanakan.14
6) Pembatalan perkawinan diajukan di pengadilan agama tempat
suami, perkawinan istri, atau dimana tempat perkawinan itu
dilaksanakan.
7) Cerai talak diajukan ke pengadilan agama tempat termohon,
terkecuali apabila:
a) Istri meninggalkan kediaman tempat tinggal bersama.
8Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia,),
(Jakarta: CV Pustaka setia, 2017), h., 124-125. 9Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, h.,
126. 10
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 6 ayat (5). 11
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 7 ayat (2). 12
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 7 ayat (2). 13
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 14, 15, 16. 14
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 21.
20
b) Istri di luar negeri
c) Istri tidak diketahui tempat tinggalnya
d) Jika suami atau istri bertempat tinggal di luar negeri, maka
permohonan dapat diajukan ke pengadilan agama tempat
perkawinan dilaksanakan.
e) Harta bersama diajukan ke pengadilan agama tempat tergugat
kecuali dikumulasikan dengan perceraian maka diajukan di
tempat termohon atau tempat penggugat.15
Kompetensi relatif mengenai perkara cerai talak dan cerai
gugat, dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
ditegaskan bahwa kompetensi relatif dalam bentuk cerai talak, pada
prinsipnya ditentukan oleh faktor kediaman termohon. Sebaliknya
untuk cerai gugat, kompetensi relatif ditentukan oleh faktor kediaman
penggugat.Ketentuan ini berdasarkan Pasal 73 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989, kecuali apabila penggugat sengaja
meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat,
kompetensi relatif jatuh pada kediaman tergugat (suami).16
Mengenai kompetensi absolute atau kewenangan mutlak
Pengadilan Agama, menurut Busthanul Arifin, peradilan agama dapat
dikatakan sebagai peradilan keluarga bagi orang-orang yang beragama
islam.17
Sehingga, peradilan agama tidak termasuk sebagai peradilan
biasa, peradilan agama berkuasa untuk memeriksa dan mengadili
perkara dalam tingkat pertama bagi rakyat yang beragama islam.
Berdasarkan asas personalitas keislaman, merupakan salah satu asas
umum yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
yang patut tunduk atau yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan
15
HIR Pasal 118, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 , tentang Peradilan Agama. 16
Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia,
(Jakarta: CV Pustaka setia, 2017), h., 127. 17
Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, h.,
118.
21
lingkungan peradilan agama hanya mereka yang beragama islam.
Oleh Karena itu, ketundukkan personalitas muslim, tidak merupakan
ketundukkan yang bersifat umum, namun ada penegasan dalam asas
ini, diantaranya:
1) Pihak – pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama islam.
sehingga dengan kata lain, seorang dengan penganut agama non-
islam, tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan tunduk kepada
pengadilan agama.
2) Perkara perdata yang disengketakan harus mengenai perkara-
perkara yang termasuk kedalam bidang perkawinan, kewarisan,
wasiat, hibah, wakaf, sedekah, dan ekonomi syariah. Tertuang
dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus
dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-
orang yang beragama islam di bidang : perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah dan ekonomi syariah.
3) Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut
berdasarkan hukum islam.18
3. Gugatan – Gugatan Dalam Pengadilan Agama
Berdasarkan penjelasan dalam kewenangan absolute pengadilan
agama, gugatan yang dapat ditangani oleh pengadilan agama berdasarkan
bidang perkawinan, diantaranya:
a. Beristri lebih dari seorang (poligami).
b. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21
tahun, dalam hal orang tua, wali atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat.
c. Dispensasi perkawinan.
18
Sulaikin Lubis, Wismar „Ain Marzuki dan Gema Dewi, Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama Di Indonesia,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h., 66.
22
d. Pencegahan perkawinan.
e. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
f. Pembatalan perkawinan.
g. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri.
h. Perceraian karena talak.
i. Gugatan perceraian.
j. Penyelesaian harta bersama.
k. Mengenai penguasaan anak (Hadhanah).
l. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya.
m. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada
bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri.
n. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak.
o. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua.
p. Pencabutan kekuasan wali.
q. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut.
r. Menunjuk seorang wali dalam hal anak yang belum cukup umur 18
rahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada
penunjukkan wali oleh orang tuanya.
s. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah
kekuasaannya.
t. Penetapan asal-usul seorang anak.
u. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campuran.
v. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan
menurut peraturan yang lain.19
19
M. Yahya Harahap, Kedudukan, kewenangan dan acara peradilan agama; Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), h. 139.
23
w. Wali adhal.20
Gugatan yang dapat ditangani oleh pengadilan agama
berdasarkan bidang kewarisan, wasiat dan hibah, diantaranya:
a. Penentuan siapa saja yang menjadi ahli waris meliputi penentuan
kelompok ahli waris, siapa yang berhak mewarisi, siapa yang
berhalangan menjadi ahli waris dan penentuan hak dan kewajiban ahli
waris.
b. Penentuan harta peninggalan meliputi penentuan tirkah yang dapat
diwarisi dan penentuan besarnya harta warisan.
c. Penentuan bagian masing-masing harta waris.
d. Pelaksanaan pembagian harta peninggalan
e. Penentuan kewajiban ahli waris terhadap pewaris
f. Pengangkatan wali bagi ahli waris yang tidak cakap bertindak.21
Mengenai wasiat harta, bahwa wasiat dibuat pada saat pembuat
wasiat masih hidup, tetapi berlakunya setelah pembuat wasiat wafat.
Jumlah pemberian wasiat di batasi maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta
peninggalan pewasiat. Adapun untuk hibah, tidak ada kaitannya dengan
wafat seseorang , sebab hibah dibuat ketika si pemberi hibah masih hidup
dan penyerahannya kepada penerima hibahpun telah dilakukan sewaktu
pemberi hibah masih hidup. Dengan demikian orang islam harus tunduk
pada aturan hukum dalam penyelesaian perkara kewarisan, wasiat dan
hibah di pengadilan agama.22
Gugatan yang dapat ditangani oleh Pengadilan Agama
berdasarkan bidang zakat, infaq dan sedekah, meliputi pengelolaan zakat,
infak, sedekah bertentangan dengan asas tujuan zakat, organisasi
20
Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia,
(Jakarta: CV Pustaka setia, 2017), h., 130. 21
M. Yahya Harahap, Kedudukan, kewenangan dan acara peradilan agama; Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989, h., 150-151. 22
Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia,
(Jakarta: CV Pustaka setia, 2017), h., 132-133.
24
pengelolaan zakat, pengumpulan zakat dan pemberdaya gunaan zakat
bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan, yaitu Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.
Adapun yang menjadi kewenangan pengadilan agama dalam
penyelesaian mengenai wakaf, diantaranya:
a. Pengelolaan harta wakaf bertentangan dengan tujuan dan fungsi
wakaf.
b. Sengketa harta benda wakaf.
c. Sah atau tidaknya wakaf atau sertifikat harta wakaf.
d. Pengalihan fungsi harta wakaf atau perubahan status harta benda
wakaf.
e. Ketentuan-ketentuan lain yang telah diatur dalam buku III Kompilasi
Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
wakaf.23
Berdasarkan kewenangan relatif, dalam mengadili, memeriksa dan
memutus sengketa wakaf adalah Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat kediaman tergugat24
, tempat kediaman salah satu tergugat, bila
tergugat lebih dari seorang25
dan tempat terletak barang wakaf 26
Gugatan yang dapat ditangani oleh Pengadilan Agama
berdasarkan bidang ekonomi syariah, berupa kegiatan ekonomi syariah
meliputi beberapa hal, sebagai berikut:
a. Bank syariah
b. Asuransi syariah
c. Reasuransi syariah
d. Reksa dana syariah
23
Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, h.,
139. 24
Pasal 118 ayat (1) HIR 25
Pasal 118 ayat (2) HIR 26
Pasal 118 ayat (3) HIR
25
e. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah
f. Sekuritas syariah
g. Pembiayaan syariah
h. Pegadaian syariah
i. Dana pensiun lembaga keuangan syariah
j. Lembaga keuangan mikro syariah, dan lain-lain.
Dengan demikian, kewenangan peradilan agama semakin luas
dengan adaanya ekonomi islam yang berkembang di Indonesia, yaitu
wewenang untuk menerima, memeriksa, mengadili dan memutus
sengketa mengenai ekonomi islam atau asuransi islam di Indonesia.27
B. Kewenangan atau Kompetensi Peradilan Umum
1. Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Negeri
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum
dilaksanakan oleh Peradilan Negeri dan Peradilan Tinggi28
Pengadilan
negeri berperan sebagai pengadilan tingkat pertama atau pengadilan
sehari-hari untuk seluruh warga Republik Indonesia, Kedudukan daerah
hukum setiap pengadilan negeri hanya berada dalam wilayah tertentu.,
“Pengadilan Negeri berkedudukan di Kotamadya atau ibukota Kabupaten
dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten yang
bersangkutan”.29
Landasan menentukan kewenangan mengadili
dihubungkan dengan batas wilayah hukum pengadilan negeri, yang
merujuk pada pasal 118 HIR dan Pasal 142 RBG, ditambah berorientasi
pula dengan Pasal 99 RV, untuk memperjelas pembahasannya.30
Maka
supaya pengajuan gugatan tidak keliru harus diperhatikan patokan yang
ditentukan undang-undang sebagai berikut:
27
Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, h.,
140-141. 28
Achmad Fauzan, Perundang-Undangan Lengkap tentang Peradilan Umum, Peradilan
Khusus dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Kencana, 2005), h., 33. 29
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Perubahan kedua Atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986, Pasal 4 ayat (1) Tentang Peradilan Umum. 30
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika,2018), h., 191.
26
a. Actor Sequitur Forum Rei (forum domisili)
Mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam wilayah
tempat tinggal tergugat.Tidak dibenarkan apabila mengajukannya
berada di tempat tinggal penggugat, karena dapat menimbulkan
kesengsaraan dan kesulitan terhadap tergugat.Oleh karena itu,
ditegaskan dalam Pasal 118 ayat (1) HIR, agar gugatan penggugat
tidak melanggar batasan kompetensi relatif, gugatan harus diajukan
dan dimasukan kepada pengadilan negeri yang berkedudukan
diwilayah atau daerah hukum tempat tinggal tergugat. Adapun
ketentuan mengenai kebolehan menerapkan kompetemsi relatif
berdasarkan tempat tinggal penggugat Pasal 118 ayat (3), dengan
syarat apabila tempat tinggal atau kediaman tergugat tidak diketahui
dan ketentuan penerapan ini tidak boleh dimanipulasi oleh penggugat.
Perlu diikuti surat keterangan dari pejabat yang berwenang, yang
menyatakan tempat tinggal tergugat tidak diketahui.31
b. Actor Sequitur Forum Rei dengan Hak Opsi
Ketentuan asas ini memberi hak opsi kepada penggugat
memilih salah satu pengadilan negeri, diatur dalam Pasal 118 ayat (2)
HIR, yang menegaskan “Jika tergugat lebih dari seorang, sedangkan
mereka tidak tinggal dalam itu, diajukan kepada ketua pengadilan
negeri di tempat salah seorang tergugat itu, yang dipilih oleh
penggugat”. Serasi dengan Pasal 99 ayat (6) RV yang berbunyi,
“Dalam hal ada beberapa tergugat, dihadapan hakim di tempat tinggal
salah satu tergugat atas pilihan penggugat.” Sehingga melahirkan
beberapa acuan kepada penggugat yang diberikan hak opsi,
diantaranya:
1) Tergugat yang ditarik sebagai pihak, terdiri dari beberapa orang.
2) Masing-masing tergugat bertempat tinggal di daerah hukum
Pengadilan negeri yang berbeda.
31
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h.,197.
27
3) Dalam kasus ini, undang-undang memberikan hak opsi kepada
penggugat untuk memilih salah satu pengadilan negeri yang
dianggap paling menguntungkan.32
c. Actor Sequitur Forum Rei Tanpa Hak Opsi, tetapi berdasarkan
Tempat Tinggal Debitur Principal.
Penerapan asas ini berbanding tebalik dengan Actor Sequitur
Forum Rei Hak Opsi. Dimana undang-undang tidak memberikan hak
opsi kepada penggugat, meskipun pihak tergugat terdiri dari beberapa
orang. Para pihak yang bersangkutan berkedudukan sebagai debitur
pokok atau debitur principal sedangkan yang lainnya, berkedudukan
sebagai penjamin. Maka, dalam kasus ini, kompetensi relatif
pengadilan negeri yang berwenang adalah pengadilan negeri yang
daerah hukumnya meliputi tempat tinggal debitur pokok dan
penggugat tidak diberikan hak menggunakan hak opsi untuk memilih
pengadilan negeri berdasarkan daerah hukum tempat tinggal
penjamin.33
d. Forum Rei Sitei (Tempat Barang Sengketa)
Mengenai gugatan hak atas benda tetap, gugatan diajukan
kepada Pengadilan Negeri tempat terletak benda tidak bergerak yang
menjadi objek sengketa. Dalam pasal 118 ayat (3) HIR kalimat
terakhir, menyatakan “atau kalau tuntutan itu tentang barang tetap
(tidak bergerak), maka tuntutan itu diajukan kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang dalam daerah hukumnya terletak barang itu.” Ketentuan
pasal tersebut sama dengan Pasal 142 ayat (5) RBG yang menjelaskan
“dalam gugatannya mengenai barang tetap, maka gugatan diajukan
kepada ketua pengadilan negeri di wilayah letak barang tetap tersebut,
jika barang tetap itu terletak di dalam wilayah beberapa Pengadilan
32
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata , h.,195. 33
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h.,196.
28
Negeri, gugatan diajukan kepada salah satu Ketua Pengadilan Negeri
tersebut atas pilihan Penggugat”.34
Kewenangan absolut pengadilan negeri, yaitu dalam
memeriksa perkara pidana dan perkara perdata yang terbatas pada
perdata umum dan niaga.35
Dalam perkara pidana, pemeriksaan tindak
pidana ringan, menurut pasal 205 sampai dengan Pasal 210 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur tentang acara
pemeriksaan tindakan pidana ringan adalah perkara yang diancam
dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan
denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan
penghinaan ringan, perkara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
(1), kemudian perkara pelanggaran lalu lintas jalan.36
Kemudian
kewenangan pengadilan negeri di luar perkara pidana, tidak semata-
mata hanya terbatas dalam perkara warisan melainkan meliputi semua
jenis perkara yang ada di dalam Peradilan Agama.
2. Gugatan – Gugatan Dalam Peradilan Negeri
Mengenai bentuk-bentuk sengketa yang diselesaikan dalam
pengadilan umum meliputi hak kebendaan, bisa berupa sengketa hak
milik, hak gadai berdasar hukum adat, hak agunan, baik agunan biasa
atau hipotik, tukar menukar, jual beli dan sebagainya.37
Kemudian
perkara yang tercantum dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 ialah
perkara-perkara yang menjadi yurisdiksi absolute lingkungan Peradilan
Agama yang tersangkut sengketa hak milik, atau keperdataan lain, maka
sepanjang yang menyangkut sengketa milik menjadi kewenangan mutlak
pengadilan negeri untuk mengadilinya. Dalam hal terjadi sengketa
34
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h.,198. 35
Sulaikun Lubis, Wismar „Ain Marzuki dan Gamala Dewi, Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h., 182. 36
Sudarsono, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung dan Peradilan
Tata Usaha Negera, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h., 29-31. 37
M. Yahya Harahap, Kedudukan, kewenangan dan acara peradilan agama; Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), h.,154.
29
mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai
objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.38
Ketentuan ini dirubah
melalui Undang - Undang Nomor 3 tahun 2006 ke dalam pasal 50 ayat
(1), yaitu:
Pasal 50
(1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa
tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum.
Gugatan perdata dengan alas gugat adanya perbuatan melawan
hukum dapat diajukan ke pengadilan. Umumnya diakui bahwa perkara
perdata dengan alas gugat adanya Perbuatan Melawan Hukum
merupakan kewenangan absolut pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum. Pasca diundangkannya Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2006
terjadi perluasan dan perubahan kewenangan Peradilan Agama.
Perluasan kewenangan tersebut antara lain penambahan kewenangan
menyelesaikan perkara ekonomi syariah, sementara perubahan
kewenangan Peradilan Agama meliputi: Penghapusan Hak Opsi pada
perkara waris dan Penambahan aturan specialis pada Pasal 50 ayat (2)
terkait penyelesaian sengketa milik atau sengketa lain.39
C. Perbuatan Melawan Hukum
1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum
Secara terminologi ada beberapa sarjana hukum yang berbeda
menggunakan istilah perbuatan manusia yang melanggar hukum, seperti
38
Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 50 39
Fakultas hukum Universitas Gajah Mada, https://law.ugm.ac.id/peradilan-umum-vs-
peradilan-agama-perbuatan-melawan-hukum/berita/2016/04/4.
30
Wirjono Projodikoro Secara terminologi ada beberapa sarjana hukum
yang berbeda menggunakan istilah perbuatan manusia yang melanggar
hukum, seperti Wirjono Projodikoro menggunakan istilah “Melanggar”,
dengan mengatakan arti sempit dalam pasal 1365 KUH Perdata adalah
perbuatan melanggar hukum yang ditujukan kepada hukum yang pada
umumnya berlaku di Indonesia dan yang sebagian terbesarnya
merupakan hukum adat. Subekti pun menggunakan istilah yang sama
“Perbuatan Melanggar Hukum”. Kemudian Mariam Darus Badrulzaman
dan M.A Moegni Djojodirdjo menggunakan istilah “Melawan”
menegaskan Pasal 1365 KUH Perdata, “tiap perbuatan melawan hukum,
yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian
tersebut.” Dengan demikian, kata “melawan” melekat sifat positif dan
negatif, dan sependapat dengan Mariam Darus Badrulzaman, M.A
Moegni Djojodirdjo berpendapat dengan kata “melawan” melekat sifat
aktif dan pasif, serta substansi nya menjadi luas dalam pertanggung
jawaban tidak saja untuk kegiatan yang disebabkan perbuatannya, tetapi
juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-
hatinya.40
Dalam arti sempit menurut bahasa Belanda yang disebut dengan
onrechtmatige daad diterjemahkan sebagai perbuatan melawan hukum.
Istilah tersebut bukan satu-satunya yang dapat diambil sebagai
terjemahan dari onrechtmatige daad, akan tetapi ada istilah lainnya,
diantaranya:
a. Perbuatan yang bertentangan dengan hukum
b. Perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas hukum
c. Perbuatan yang melanggar hukum
d. Tindakan melawan hukum
40
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2003), h,.
9-10.
31
e. Penyelewengan perdata41
Tahun 1910 Hoge Raad di Belanda memandang perbuatan
melawan hukum secara legalistis. Pandangan legistis tersebut berubah
pada tahun 1919, istilah melawan hukum menjadi lebih luas, yaitu tidak
hanya perbuatan yang melanggar hukum tertulis berupa hak subjektif
orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si
pembuat sendiri.42
Melainkan juga perbuatan yang melanggar kaidah
yang tidak tertulis, seperti kaidah yang mengatur tata susila, ketelitian
dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan
hidup dalam masyarakat atau terhadap harta benda warga masyarakat.43
2. Bentuk – Bentuk Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum di Indonesia dijumpai baik dalam
hukum perdata dan pidana.yang berasal dari Eropa Kontinental diatur
dalam Pasal 1365 KUH Perdata sampai 1380 KUH Perdata, diperjelas
sebagai berikut:
Pertama, perbuatan melawan hukum yang dilakukan diri sendiri dan
berkenaan dengan perbuatan melawan hukum orang lain dan barang-
barang dibawah pengawasannya. Pada Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata
menyatakan, “Seseorang tidak hanya bertanggung jawab untuk kerugian
yang disebabkan karena perbuatannya sendiri tetapi juga disebabkan
karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau
disebabkan oleh barang-barang yang berada dalam pengawasannya.”
Kedua, perbuatan melawan hukum terhadap tubuh dan jiwa manusia.
Pada Pasal 1370 KUH Perdata menyatakan bahwa “dalam hal tejadi
pembunuhan dengan sengaja atau kelalaiannya, maka suami atau isteri,
41
Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2015), h,. 303. 42
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Kencana Prenadmedia Group, 2008), h., 242. 43
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2003), h.,
8
32
anak, orang tua korban yang laimnnya mendapatkan nafkah dari
pekerjaan korban, berhak untuk menuntut ganti rugi yang harus dinilai
menurut keadaan dan kekayaan kedua belah pihak.”
Ketiga, perbuatan melawan hukum terhadap nama baik. Masalah
penghinaan diatur dalam pasal 1372 sampai dengan 1380 KUH Perdata.44
Kemudian, diperinci dengan model-model perbuatan melawan
hukum yang mengandung unsur kesengajaan, diantaranya:
a. Perbuatan melawan hukum berupa ancaman untuk penyerangan dan
pemukulan terhadap manusia.
b. Perbuatan melawan hukum berupa pemukulan dan melukai orang lain.
c. Perbuatan melawan hukum berupa penyenderaan illegal.
d. Perbuatan melawna hukum berupa penyerobotan tanah milik orang
lain.
e. Perbuatan melawan hukum berupa penguasaan benda bergerak milik
orang lain secara tidak sah.
f. Perbuatan melawan hukum berupa pemilikan secara tidak sah benda
milik orang lain.
g. Perbuatan melawan hukum berupa perbuatan yang menyebabkan
tekanan jiwa orang lain.
h. Perbuatan melawan hukum karena kebisingan.
i. Perbuatan melawan hukum berupa perbuatan persaingan tidak sehat
dalam berbisnis.
j. Perbuatan melawan hukum berupa kebohongan yang merugikan orang
lain.
k. Perbuatan melawan hukum berupa intervensi terhadap hubungan
kontrak.
l. Perbuatan melawan hukum berupa intervensi terhadap keuntungan
yang prospektif. 45
44
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, h., 15-16.
33
Model-model perbuatan melawan hukum yang mengandung
unsur kelalaian, haruslah memenuhi unsur pokok, yang sejalan dengan
persyaratan yang diberikan oleh Pasal 1365 KUH Perdata, sebagai
berikut:
a. Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang mestinya
dilakukan.
b. Adanya suatu kewajiban kehati-hatian
c. Tidak dijalankan kewajiban kehati-hatian tersebut
d. Adanya kerugian bagi orang lain
e. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan
perbuatan dengan kerugian tersebut.46
3. Unsur-Unsur Pebuatan Melawan Hukum
a. Perbuatan itu harus melawan hukum, dengan syarat apabila
berlawanan dengan :
1) Hak orang lain
2) Kewajiban hukumnya sendiri
3) Kesusilaan yang baik
4) Keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup
masyarakat mengenai orang lain atau benda.
5) Undang-undang yang berlaku.47
b. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian, diantaranya :
1) Kerugian materiel, kerugian yang ditujukan kepada kekayaan harta
benda. Misalnya pengerusakan barang
2) Kerugian immaterial, seperti kerugian yang ditujukan ditujukan
pada tubuh, jiwa, dan kehormatan manusia.
c. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan (schuld).
45
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2013), h., 51-69. 46
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer,h., 73. 47
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2013), h., 11.
34
Seseorang dalam melakukan kesalahan (schuld) dalam arti
sempit hanya sebatas kesengajaan, sementara dalam arti luas, bila
terdapat kealpaan dan kesengajaan.sebagaimana dalam Pasal 1366
KUH Perdata menegaskan bahwa, “setiap orang bertanggung jawab,
bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan,
melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaiannya.”.
Kesalahan menurut pembuat undang-undang mengandung
beberapa arti:
1) Pertanggung jawaban si pelaku atas perbuatan dan atas kerugian,
yang ditimbulkan karena perbuatan tersebut.
2) Kealpaan sebagai lawan kesengajaan
3) Sifat melawan hukum48
d. Perbuatan itu harus ada hubungan kausal (sebab-akibat)
Sebab akibat yang terjadi merupakan hubungan antara
perbuatan melawan hukum dengan kerugian.Disimpulkan dalam Pasal
1365 KUH Perdata, dimana kerugian itu harus timbul sebagai akibat
dari perbuatan seseorang.Jika tidak ada perbuatan (sebab), maka tidak
ada kerugian (akibat).49
Dalam Pasal 1365 KUH Perdata mewajibkan
pelaku perbuatan melawan hukum untuk membayar ganti rugi, namun
tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai berapa besaran kerugian
yang harus dikeluarkan. Mengenai kerugian ini, dalam beberapa
bahasa dikenal dengan istilah “Damages” (Bahasa Inggris), “Nadeel”
(Bahasa Belanda), “Schanden” (Bahasa Jerman), “Dommage” (Bahasa
Prancis), “Dano” (Bahasa Spanyol)50
. Pada pasal selanjutnya 1371
KUH Perdata sedikit memberikan keterangan mengenai kerugian yang
dikeluarkan, menyebutkan “Juga pergantian kerugian ini dinilai
menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut
keadaan”.
48
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, h., 64-66. 49
Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2015), h., 304-305. 50
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2013), h., 133.
35
Menurut Moegni Djojodirdjo, penentuan besaran ganti rugi
dapat diterapkan ketentuan-ketentuan yang sama tentang ganti
kerugian katena wanprestasi. Sedangkan menurut Pitlo, biasanya
dalam menentukan besarnya kerugian karena perbuatan melawan
hukum mengikuti ketentuan dalam Pasal 1243 secara analogis51
,
disamping itu pemulihan kembali keadaan semula.
Katagori bentuk dari ganti rugi perberbuatan melawan hukum, sebagai
berikut:
a. Ganti rugi nominal, korban diberikan sejumlah uang tertentu,
sesuai dengan rasa keadilan tanpa menghitung berapa sebenarnya
kerugian tersebut.
b. Ganti rugi kompensasi, merupakan pembayaran kepada korban
atas dan sebesar kerugian yang benar-benar telah dialami oleh
pihak korban dari suatu perbuatan melawna hukum.
c. Ganti rugi penghukuman, merupakan suatu ganti rugi dalam
jumlah besar yang melebihi dari jumlah kerugian yang
sebenarnya.52
Semata-mata bertujuan untuk memberikan
hukuman kepadanya. Ganti rugi seperti ini tidak dapat diterapkan
untuk kesalahan ringan.
Adapun gugatan pengganti kerugian karena perbuatan
melawan hukum dapat berupa uang, pemulihan pada keadaan semula,
larangan untuk mengulangi perbuatan itu lagi dan dapat meminta
putusan hakim bahwa perbuatannya adalah bersifat melawan hukum.53
51
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, h., 71-71. 52
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, h., 135. 53
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, h., 85.
36
D. Hak Mantan Istri Pasca Perceraian Akibat Cerai Talak
1. Nafkah Pasca Perceraian
Nafkah merupakan kewajiban yang bersifat materi54
. Secara
Terminologi nafkah merupakan pemberian suami kepada istri berupa
pemenuhan kebutuhan makan, tempat tinggal dan pakaian.55
Sebagaimana disebutkan dalam QS.al-Baqarah 233:
ل تكلف ن فس إل وسعها وعلى المولود له رزق هن وكسوت هن بالمعروف
Artinya:”Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma‟ruf, Seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya.” (QS.al-Baqarah 233)
Dalam keadaan putusnya perkawinan akibat perceraian menimbulkan
akibat hukum atau konsekuensi hukum tersendiri. Adanya nafkah pasca
perceraian akibat cerai talak dapat dikatakan untuk meringankan beban
ekonomi perempuan yang telah diceraikan, karena memungkinkan
seorang janda yang tidak segera menikah lagi mendapati dirinya
mengalami kesulitan keuangan.56
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 41 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 tentang Perkawinan diatur secara global, mengenai kewajiban
mantan suami kepada mantan istri, yang menyatakan :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya. Semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak.
Bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak
pengadilan memberi keputusannya.
54
Moh Ali Wafa, Hukum Perkawinan Di Indonesia; Sebuah Kajian dalam Hukum Islam
dan Hukum Materil, (Tangerang: YASMI, 2018), h., 86. 55
Muslih Abdul Karim, Keistimewaan Nafkah Suami dan Kewajiban Istri, (Jakarta:
Qultum Media, 2007), h., 54. 56
Muhamad Isna Wahyudi, Fiqh „Iddah, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009), h., 129.
37
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu. Bilamana bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi
biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas
istrinya. 57
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam menekankan lebih rinci,
bilamana perkawinan putus akibat talak, maka bekas suami harus
memberikan:
a. Mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa benda atau
uang.
b. Memberikan nafkah, maskan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian)
kepada bekas istri selama dalam masa „iddah.
c. Melunasi mahar yang masih terhutang.
d. Memberikan biaya hadhanah.58
Tentang hukuman atas suami untuk menanggung nafkah istri
selama „iddah sangat bergantung kepada nusyuz atau tidaknya istri.
Dalam praktik peradilan agama, masa „iddah berlaku bagi istri yang di
talak raj‟i maupun atas dasar putuan hakim (talak ba‟in sughra), namun,
pada umumnya nafkah „iddah berlaku bagi istri yang talak raj‟i,
meskipun ada beberapa ijtihad hukum yang dilakukan hakim di Indonesia
yang memutus talak ba‟in shughra. Kemudian pemberian mut‟ah ,
majelis hakim karena jabatannya secara ex officio mengikuti ketentuan
Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah
diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang
Perkawinan jo Pasal 149 huruf a dan pasal 158 huruf b Kompilasi
57
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2013),
h., 223. 58
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 149.
38
Hukum Islam. Sebagaimana Al-Quran telah menetapkan dalam Surah Al-
Baqarah ayat 241.
ا على المتقي وللمطلقات متاع بالمعروف حق
Artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah
diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu
kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa”. Berdasarkan ayat di atas, terdapat suatu pemikiran baru yang
dikemukakan oleh Hazairin, mengenai kemungkinan pembiayaan mantan
istri yang sudah habis masa „iddah nya, tetapi belum dan atau tidak kawin
lagi dengan laki-laki lain tetap mendapat jaminan hidup dari mantan
suaminya. Hal ini terjadi apabila dalam pembagian harta karena
perceraian mantan istri tidak mencukupi pembiayaan hidupnya atas
kekayaannya sendiri.59
Mengenai hak anak, kewajiban menafkahi, memberikan biaya
pemeliharaan dan pendidikan akan terus berlangsung terus-menerus
meskipun terjadi perceraian diantara kedua orang tuanya, sampai anak
dapat membiayai kehidupannya sendiri atau kawin. Mantan suami
bertanggung jawab atas biaya tersebut berdasarkan Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang telah diubah menjadi Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan Pasal 41 huruf b.60
2. Kadar Pemberian Nafkah Pasca Perceraian.
Mengenai besar kecilnya nafkah yang diberikan mantan suami
terhadap mantan istri sebagai biaya penghidupan pasca perceraian, baik
nafkah „iddah dan nafkah mut‟ah, pengadilan dapat mewajibkan dan atau
menentukan besar biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban
59
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986),
h., 131. 60
Amany Lubis, Dkk, Ketahanan Keluarga dalam Perspektif Hukum Islam, (Ciputat:
Pustaka Cendikiawan Muda, 2018), h., 66
39
mantan suami tersebut ialah disesuaikan dengan kepatutan dan
kemampuan bekas suami sesuai ketetentuan pasal 160 KHI.61
apabila
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak. Maka pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.62
E. Penerapan Tujuan Hukum Dalam Putusan Hakim
Hakim dalam proses beracara di Pengadilan menerapkan dua macam
aturan, diantaranya sebagai hukum formal yaitu, hakim terikat dengan
hukum acara yang mengatur sejak memeriksa dan memutuskan perkara.
Dalam hukum perdata, hakim memenuhi ketentuan hukum acara perdata
yang ada dalam HIR/R.Bg atau ketentuan hukum lainnya demi mewujudkan
keadilan prosedural dan menjaga kepastian hukum. Kemudian hukum
materiel, yaitu hukum yang mengatur akibat hukum dari suatu hubungan
hukum atau suatu peristiwa hukum, dalam hal ini untuk mewujudkan
keadilan substansial.63
Hasil dari pemeriksaan nantinya akan menjadi bahan pertimbangan
untuk mengambil putusan. Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan
merupakan bahan utama untuk menjadikan pertimbangan dalam suatu
putusan, sehingga ketelitian, kejelian dan kecerdasan dalam mengemukakan
atau menemukan fakta suatu kasus merupakan faktor yang penting dan
menentukan terhadap hasil putusan.64
Maka penulis menguraikan dalam
menjatuhkan putusan hakim dalam memutus suatu perkara mengandung
beberapa aspek, diantaranya:
61
Erfani Aljan Abdullah, Hukum Perceraian Islam Kontemporer, (Yogyakarta: CV Budi
Utama, 2016), h., 107-111. 62
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan perubahan atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 41 huruf b. 63
Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), h., 136. 64
Amran Suadi, Sosiologi Hukum Penegakkan, realitas dan Nilai Moralitas Hukum,
(Jakarta: Kencana, 2018), h., 240.
40
1. Asas Kepastian Hukum (Rechtmatigeheid)
Dalam pandangan seorang Filsuf Jerman bernama Gustav
Radbruch, secara umum kepastian hukum diartikan sebagai; pertama,
hukum itu positif, yang berarti hukum itu perundang-undangan. Kedua,
bahwa hukum itu didasarkan kepada fakta atau kenyataan. Ketiga, fakta
haruslah dirumuskan dengan cara yang jelas untuk menghindari
kekeliruan dalam pemaknaan. Kemudian yang keempat, hukum positif
tidak boleh mudah diubah65
.
Menurut Soedikno Mertokususmo, kepastian hukum adalah
pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga masyarakat dapat
memastikan bahwa hukum dilaksanakan.66
Pendapat lain mengenai
kepastian hukum, dikemukakan oleh Jan M. Otto yang dikutip oleh
Sidharta, bahwa kepastian hukum mensyaratkan beberapa hal,
diantaranya:
1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten yang diterbitkan
oleh kekuasaan negara.
2. Bahwa instansi-instansi penguasa menerapkan aturan-aturan hukum
tersebut secara konsisten, serta patuh dan tunduk kepada aturan-aturan
hukum tersebut.
3. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi
peraturan hukum tersebut, karena itu, menyesuaikan perilaku mereka
terhadap aturan-aturan tersebut.
4. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak
menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dalam
menyelesaikan sengketa hukum.
5. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.
65
M. Sulaeman Jajuli, Kepastian Hukum Gadai Tanah Dalam Islam, (Yogyakarta:
Deepublish, 2015), h., 51. 66
Margono, Asas Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum Dalam Putusan Hakim,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2019), h., 115.
41
Kepastian hukum harus ditegakkan agar tidak timbul keresahan.
Seperti inilah yang dapat disebut dengan kepastian hukum yang
sebenarnya. Dapat digambarkan seperti pada kepastian tentang
bagaimana para warga masyarakat menyelesaikan persoalan-persoalan
hukum, bagaimana mereka menyelesaikan pertikaian atau perselisihan
yang terjadi, peranan-peranan dan lembaga-lembaga sosial mana yang
dapat memberikan bantuan kepada masyarakat 67
Dalam uraian kepastian hukum di atas, dapat dikatakan bahwa
kepastian hukum mengandung beberapa pengertian, yaitu adanya
kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiksi
dan dapat dilaksanakan.68
2. Asas Keadilan (Gerectigheit)
Keadilan berasal dari kata adil, menurut Kamus Bahasa
Indonesia, adil adalah tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak
berat sebelah. Bahkan adil dapat mengandung arti bahwa suatu keputusan
dan tindakan didasarkan atas norma-norma yang objektif, jadi tidak
subjektif apalagi sewenang-wenang. Sebagian orang menyebut adil
dengan Legal Justice atau keadilan hukum yang merujuk pada
pelaksanaan hukum menurut prinsip-prinsip yang ditentukan dalam
negara. Adapula Social Justice atau keadilan sosial keadilan yang berlaku
dalam masyarakat disegala bidang kehidupan baik materil maupun
spiritual, serta mencakup pula adil dan makmur yang merupakan tujuan
dari negara Indonesia.69
Hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan berkodrat
harus berkodrat adil, adil dalam hubungannya dengan diri sendiri,
67
Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 1989), h., 49. 68
M. Sulaeman Jajuli, Kepastian Hukum Gadai Tanah Dalam Islam, (Yogyakarta:
Deepublish, 2015), h., 52-53. 69
Agus Santoso, Hukum, Moral, Keadilan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012), h., 85-86.
42
terhadap manusia lain, terhadap masyarakat bangsa dan negara, terhadap
lingkungannya bahkan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai
keadilan dapat dikatagorikan meliputi: Keadilan Distributif, yaitu suatu
hubungan keadilan antara negara dengan terhadap warganya. Keadilan
Legal, yaitu hubungan keadilan antara warga negara terhadap negara.
Dan Keadilan Komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga
satu dengan lainnya secara timbal balik.70
Menurut Gustav Radbruch, tidak hanya kepastian hukum dalam
menciptakan putusan yang adil. Secara awalnya, menurut Gustav
Radbruch keadilan adalah tujuan hukum yang pertama dan utama.
Hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil.
Maka menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung tiga nilai
identitas:
a. Asas Keadilan Hukum (Gerectigheit) yang meninjau sudut pandang
filosofis.
b. Asas Kemanfaatan Hukum (Zwechmatigheid) yang meninjau dari
sudut pandang sosiologis.
c. Asas Kepastian Hukum (Rechtmatigheid) yang meninjau dari sudut
pandang yuridis.71
Hal ini, dianggap sebagai Putusan yang ideal mengandung unsur
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai ide dasar hukum.
Putusan pengadilan tentunya harus sesuai dengan hukum karena hakim
harus mengadili berdasarkan hukum namun putusan juga harus
70
Agus Santoso, Hukum, Moral, Keadilan, h., 92-93. 71
Hardi Munte, Model Penyelesaiian Sengketa Administrasi Pilkada, (Jakarta:
Puspantara, 2017), h., 27.
43
mengandung keadilan, objektif dan tidak memihak.72
Karena hukum
tidak memiliki arti apa-apa tanpa keadilan.73
Asas keadilan telah disinggung pula dalam pasal 5 ayat (1)
Kekuasaan kehakiman yang menegaskan “Hakim dan hakim konstitusi
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.”74
Terhadap pertentangan yang
terjadi, dalam setiap menanggapi putusan hakim terhadap suatu perkara,
dengan apa yang diinginkan masyarakat, biasanya berkisar antara sejauh
mana pertimbangan unsur yuridis (Kepastian Hukum) dengan unsur
filosofis (Keadilan) ditampung di dalamnya.75
3. Asas Kemanfaatan (Zwechmatigheid)
Asas ini berkaitan dengan manfaat yang diperoleh dari putusan
atau tindakan yang dibuat pemerintah. Menurut Bentham, hukum adalah
alat untuk mencetus kebahagiaan dengan memberikan kemanfaatan.76
Dalam praktiknya, sering tujuan yang satu dengan yang lainnya terjadi
benturan, ketika hakim menginginkan putusan yang adil, menurut
presepsinya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi
masyarakat luas, begitupun sebaliknya.
Jadi diibaratkan dalam sebuah garis titik kemanfaatan berada di
antara titik keadilan dan titik kepastian hukum. John Rawls pun
menyatakan bahwa hukum itu haruslah menciptakan suatu masyarakat
yang ideal, yaitu masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagiaan
72
Herri Swantoro, Harmonisasi Keadilan dan Kepastian Dalam Peninjauan Kembali,
(Depok: Prenadamedia Group, 2017), h., 21. 73
Margono, Asas Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum Dalam Putusan Hakim,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2019), h., 108. 74
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 5 (1) Tentang Kekuasaan Kehakiman. 75
Amran Suadi, Sosiologi Hukum Penegakkan, realitas dan Nilai Moralitas Hukum,
(Jakarta: Kencana, 2018), h., 239-240. 76
Amran Suadi, Sosiologi Hukum Penegakkan, realitas dan Nilai Moralitas Hukum,h.,
100.
44
dan memperkecil ketidakbahagiaan.77
Maka, baik buruknya hukum
tergantung sampai sejauh mana hukum itu memberikan kebahagiaan bagi
manusia.
77
Margono, Asas Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum Dalam Putusan Hakim,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2019), h., 111.
45
BAB III
DESKRIPSI PERKARA PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM
PENGADILAN AGAMA, PENGADILAN TINGGI AGAMA DAN
MAHKAMAH AGUNG
A. Putusan Pengadilan Agama Serang Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg
1. Kronologi Perkara
Sunardi Wagiyono, berusia 50 Tahun bekerja sebagai karyawan
BUMN PT Krakatau Steel Cilegon, dan R. Sri Purwati, berusia 48
Tahun, sebagai ibu rumah tangga, dahulunya mereka adalah sepasang
suami istri. Selama masa perkawinan mereka dikaruniai tiga orang anak
kandung bernama Utfanur Wulandari, Mianur Fitriani dan Muhammad
Satrio Wicaksono. Pada tahun 2010 tepatnya tanggal 12 Mei 2010
Sunardi Wagiyono dan R. Sri Purwati resmi bercerai berdasarkan
putusan Pengadilan Agama Serang No. 788/Pdt.G/2009/PA.Srg, dengan
amar putusan, majelis hakim memberi izin dan mengabulkan talak satu
raj‟i Sunardi Wagiyono terhadap R. Sri Purwati di depan sidang
Pengadilan Agama Serang.
Menghukum Sunardi Wagiyono untuk membayar nafkah iddah,
yaitu nafkah baik berupa makan, kiswah kepada bekas istri selama iddah
berlangsung1. Dalam masa iddah ini, istri wajib menjaga dirinya dan
tidak menerima pinangan serta menikah dengan orang lain2 dan
membayar mut‟ah.3 Berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat Sunardi
Wagiyono berjanji akan memberikan uang nafkah selama „iddah sebesar
Rp. 3.000.000 serta uang mut‟ah sejumlah Rp. 9.000.000. Namun pada
kenyataannya, Sunardi Wagiyono baru melunasi:
1 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 149 hurup b.
2 Moh. Ali Wafa, Hukum Perkawinan Di Indonesia; sebuah kajian dalam hukum islam
dan hukum positif, (Jakarta: YASMI, 2018), h,. 287. 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 149 hurup a.
46
1. Uang iddah sejumlah Rp. 3.000.000
2. Uang Mut‟ah sejumlah Rp. 5.000.000
3. Sisa uang mut‟ah yang belum di bayar sejumlah Rp. 4.000.000
Bahwa di tengah, berjalannya kesepakatan kewajiban Sunardi
Wagiyono untuk memberikan nafkah pasca perceraian tersebut, ternyata
di tahun 2012 hingga Oktober 2016 R. Sri Purwati telah melakukan
pemotongan sepertiga gaji Sunardi Wagiyono yang mengakibatkan
kerugian dengan total sudah mencapai Rp. 97.768.911, sedangkan sisa
mut‟ah yang belum di bayar oleh Sunardi Wagiyono hanya sebesar Rp.
4.000.000. Atas dasar tersebut Sunardi Wagiyono mendaftarkan
gugatannya ke Pengadilan Agama Serang pada tanggal 8 November 2016
dengan register perkara Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg.
Adapun alasan-alasanSunardi Wagiyono mengajukan gugatannya
kepada Pengadilan Agama Serang adalah sebagai berikut:
1. R. Sri Purwati (Tergugat) telah melakukan pemotongan sepertiga gaji
Sunardi Wagiyono (Penggugat) dari bulan Juni 2012 sampai dengan
Oktober 2016, mencapai total Rp. 97.768.911. Tidak ada dasar
Tergugat untuk melakukan pemotongan gaji Penggugat
2. Suhaedi (Turut Tergugat), tidak ada dasar turut tergugat untuk
melakukan pemotongan sepertiga gaji Penggugat dengan jalan
membuat surat kepada kasir atau keuangan PT. Krakatau Steel untuk
memotong sepertiga gaji tersebut.
3. Tidak ada putusan Pengadilan Agama Serang untuk memotong
sepertiga gaji dari Penggugat.
Maka untuk itu, Sunardi Wagiyono memohon kepada Pengadilan
Agama Serang untuk menyatakan bahwa Tergugat dan Turut Tergugat
melakukan perbuatan melawan hukum, menghukum Tergugat dan Turut
Tergugat supaya menghentikan pemotongan gaji Penggugat, serta
menghukum Tergugat untuk mengembalikan uang hasil pemotongannya
47
sejumlah Rp. 93.768.911 kepada Penggugat secara tunai. Atas dasar
gugatan Penggugat tersebut, Penggugat mengajukan replik dan Tergugat
mengajukan duplik secara tertulis yang menyatakan bahwa R. Sri
Purwati selaku Tergugat menolak mengembalikan sejumlah uang
tersebut, karena sebagai biaya penghidupan Tergugat dari perusahaan
dimana Penggugat bekerja, yang sudah diatur berdasarkan peraturan
pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta memohon kepada
majelis hakim memerintahkan Penggugat untuk tetap membayar lunas
uang sisa mut‟ah tersebut.
Demi menangguhkan dalil gugatan nya Penggugat telah
mengajukan alat bukti berupa fotokopi salinan Putusan Pengadilan
Agama Serang Nomor 788/Pdt.G/2009/PA.Srg (Bukti P.1), fotokopi
salinan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Banten Nomor
38/Pdt.G/2010/PTA.Btn (Bukti P.2), fotokopi bukti pemotongan gaji
Pengugat oleh PT. Krakatau Steel sejak bulan Juni 2012 sampai dengan
bulan Oktober 2016 sejumlah Rp. 97.760.912 (Bukti P.3), fotokopi bukti
pemotongan gaji Pengugat oleh PT. Krakatau Steel Cilegon sejak bulan
November 2016 sampai dengan Maret 2017 (Bukti P.4), fotokopi akta
cerai atas nama Sunardi Wagiyono bin S. Kasmowihardjo Nomor
615/AC/2010/PA.Srg (Bukti P.5). Kemudian Penggugat mengajukan
seorang saksi di muka persidangan yaitu A. Hidayat bin H.M Syamin,
teman satu perusahaan dengan Penggugat tetapi sekarang telah pensiun.
Tergugat untuk memperkuat dalil bantahannya dan memperkuat
alasan-alasan tuntutannya, mengajukan alat bukti berupa asli surat
pernyataan dari kakak kandung Penggugat yang bernama Sukanti tentang
perkembangan, pertumbuhan dan pendidikan anak-anak Penggugat dan
Tergugat (Bukti T.1), fotokopi akta cerai atas nama Sunardi Wagiyono
bin S. Kasmowihardjo Nomor 615/AC/2010/PA.Srg (Bukti T.2),
fotokopi surat permohonan Tergugat kepada Manager HCI dan A. PT.
Krakatau Steel (Persero) Tbk Cilegon (Bukti T.3), fotokopi dari fotokopi
48
surat perjanjian kerja sama tahun 2016-2018 PT. Krakatau Steel (Bukti
T.4), fotokopi dari fotokopi PP Nomor 10 Tahun 1983 jo PP Nomor 45
Tahun 1990 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS (Bukti
T.5), fotokopi bukti laporan transaksi (rekening koran) atas nama
Muhammad Satrio Wicaksono dikeluarkan oleh Bank BRI (Bukti T.6).
Selain alat bukti tersebut, Tergugat mengajukan keterangan saksi, dengan
mendatangkan Saukanti binti Kasmohihardjo, yaitu kakak kandung
Penggugat dan Suwedi bin Surapto, yaitu kakak kandung Tergugat.
Setelah semua tahapan beracara di pengadilan telah terlewati,
majelis hakim Pengadilan Agama Serang akhirnya memutuskan
menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat sebagian. Menyatakan
Tergugat dan Turut Tergugat memenuhi unsur perbuatan melawan
hukum didasari atas Pasal 1365 KUH Perdata, dan berdasarkan
pertimbangan majelis hakim Tergugat tidak patut dihukum untuk
mengembalikan uang pemotongan sepertiga gaji Penggugat, atas dasar
sebagai konpensasi pemeberian mut‟ah.4
2. Pertimbangan Hakim
Dalam putusan Pengadilan Agama Serang Nomor
1809/Pdt.G/2016/PA.Srg mengenai perkara perbuatan melawan hukum,
dari hasil pemeriksaan yang telah dilalui menjadi bahan pertimbangan
untuk mengambil putusan. Fakta-fakta yang terungkap dalam
persidangan merupakan bahan utama untuk menjadikan pertimbangan
dalam suatu putusan. Penulis menguraikan pertimbangan hakim dalam
putusan tersebut, antaranya:
Dalam pokok perkara, Penggugat mengajukan gugatan terhadap
Tergugat dan Turut tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum
dengan melakukan pemotongan sepertiga gaji Penggugat melalui
bendahara perusahaan tempat Penggugat bekerja.Tidak ada dasar berupa
4 Putusan Pengadilan Agama Serang Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg
49
putusan pengadilan maupun persetujuan penggugat. Melihat dari jawab
menjawab antara Penggugat dan Tergugat, Tergugat mengakui sebagai
pengakuan berklausula telah memotong gaji Penggugat setiap bulan sejak
bulan Juni 2012 hingga sekarang ini, dengan berlandaskan aturan
perundangan-undangan yang berlaku mengikat bagi PNS yaitu PP
Nomor 10 Tahun 1983 jo PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
Majelis hakim menimbang berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata
tentang perbuatan melawan hukum , bahwa Tergugat dan Turut Tergugat
sudah memenuhi 5 (lima) unsur seseorang dikatakan melawan hukum
diantaranya:
a. Adanya suatu perbuatan , Tergugat dan turut tergugat melakukan
suatu perbuatan yaitu memotong sepertiga gaji penggugat,
b. Perbuatan tersebut melawan hukum, Tergugat dan turut tergugat
melakukan memotong sepertiga gaji penggugat tidak didasari
persetujuan Penggugat dan tanpa adanya putusan pengadilan yang
berarti melawan hukum.
c. Adanya kesalahan dari pihak pelaku, Tergugat selaku pelaku
mengakui perbuatannya tanpa adanya persetujuan Penggugat dan
tanpa adanya putusan pengadilan.
d. Adanya kerugian bagi korban, dari perbuatan Tergugat dan turut
tergugat menimbulkan kerugian bagi Penggugat karena gajinya
berkurang setiap bulan.
e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.
Kemudian tergugat mendalilkan perbuatannya berlandaskan Pasal
8 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa “(1) apabila perceraian
terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil (PNS) pria, maka ia wajib
menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-
50
anaknya, (2) Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah
sepertiga untuk PNS Pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas
istrinya dan sepertiga untuk anak-anaknya” dalam hal ini, majelis hakim
berpendapat setelah Tahun 2005 yaitu semenjak berlakukan Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan,
Pengawasan dan Pembubaran BUMN, dalam Pasal 95 dinyatakan bahwa
“bagi pegawai BUMN tidak berlaku ketentuan kepegawaian yang
diterapkan PNS.” Jika ingin diterapkan aturan tersebut, maka harus ada
persetujuan dari pegawai BUMN yang bersangkutan atau adanya putusan
dari pengadilan yang memutus adanya kewajiban pemotongan sepertiga
gajinya untuk bekas istrinya. Maka perbuatan Tergugat dan Turut
Tergugat dinyatakan termasuk perbuatan melawan hukum patut
dikabulkan.
Majelis hakim mempertimbangkan atas gugatan Penggugat agar
Tergugat mengembalikan seluruh pemotongan sepertiga gaji Penggugat,
dipandang tidak terbukti beralasan hukum karena uang tersebut
digunakan bukan untuk kepentingan pribadinya sendiri melainkan
digunakan juga untuk biaya hidup atau pendidikan anak-anak Penggugat
dan Tergugat. Sebagaimana diatur dalam Pasal 149 huruf (a) dan Pasal
156 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam. Maka yang telah diterima oleh
Tergugat setiap bulan sepertiga gaji Penggugat yang totalnya mencapai
lebih dari 97 juta, sebagai konpensasi pemberian mut‟ah yang sangat
sedikit, seharusnya mut‟ah yang diberikan semestinya selaku Pegawai
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dapat memberikan lebih dari
jumlah yang ditentukan yaitu Rp. 9.000.000.
Majelis hakim mempertimbangkan bahwa jika Tergugat
mengembalikan uang sepertiga gaji tersebut terlalu memberatkan
Tergugat, yang sejak diceraikan oleh Penggugat hidupnya serba susah
dan memprihatinkan dengan mengontrak serta dibantu oleh keluarganya.
Oleh karena itu dalam hal ini patut dinyatakan ditolak.Mengenai
51
kekuarangan mut‟ah yang telah dilalaikan oleh Penggugat sebesar Rp.
4.000.000, Penggugat tidak patut lagi dihukum untuk memberikan
kekurangan biaya mut‟ah sejumlah Rp. 4.000.000, karena gajinya telah
dipotong setiap bulannya.
Majelis hakim mempertimbangkan atas gugatan Penggugat agar
Tergugat dan Turut Tergugat dihukum menghentikan pemotongan gaji
sepertiga gaji penggugat, patut dikabulkan berlandaskan aturan Pasal
1365 KUH Perdata, Pasal 95 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
2005 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Pasal 149 huruf (b)
Kompilasi Hukum Islam. Kemudian Tergugat dan Turut Tergugat beserta
manajemen keuangan (Bendahara) Perusahaan PT. Krakatau Steel
Cilegon harus dihentikan dengan menghukum Tergugat untuk tidak lagi
menerima pemotongan sepertiga gaji Penggugat tersebut dan Turut
tergugat dihukum untuk taat pada keputusan ini dengan menarik
persetujuannya atas pemotongan sepertiga gaji Penggugat dari bagian
keuangan (Bendahara) Perusahaan PT. Krakatau Steel Cilegon.
Bahwa perkara ini mengenai sengketa nafkah termasuk bidang
perkawinan, sesuai pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana telah diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, biaya perkara ini
dibebankan kepada Penggugat.5
3. Amar Putusan
Hasil putusan Pengadilan Agama Serang Nomor
1809/Pdt.G/2016/PA.Srg ialah sebagai berikut:
1) Mengabulkan Gugatan Penggugat Sebagian
2) Menyatakan bahwa Tergugat dan Turut Tergugat terbukti telah
melakukan perbuatan melawan hukum
5 Putusan Pengadilan Agama Serang Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg.
52
3) Menghukum tergugat dan turut tergugat untuk menghentikan
pemotongan gaji Penggugat pada bagian keuangan atau Bnedahara
Perusahaan PT Krakatau Steel Cilegon
4) Menghukum Turut Tergugat untuk mencabut kesaksian dan
persetujuannya atas pemotongan gaji Penggugat tersebut
5) Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya
6) Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang hingga
kini dihitung sejumlah Rp. 875.000,- (Delapan Ratus Tujuh Puluh
Lima Ribu Rupiah)
B. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Banten Nomor
0097/Pdt.G/2017/PTA.Btn
1. Kronologi Perkara
Setelah adanya putusan dari pengadilan tingkat pertama, Senin
tanggal 17 Juli 2017 Penggugat (untuk selanjutnya disebut
Pembanding) mengajukan banding atas ketidakpuasan dari hasil
putusan Pengadilan Agama Serang Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg.
Banding salah satu bentuk upaya hukum biasa yang dapat ditempuh
oleh para pihak yang berperkara karena dikhawatirkan bahwa hakim
yang merupakan manusia biasa melakukan kesalahan dalam
menjatuhkan suatu keputusan.Oleh karena itu, dibuka kemungkinan
bagi orang yang kalah serta merasa tidak puas atas hasil putusan
sebelumnya dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan
Tinggi Agama.6
Telah membaca dan memperhatikan berkas perkara dan surat-
surat yang berkaitan dengan perkara yang dimohonkan banding,
membaca akta permohonan banding yang dibuat oleh Panitera
Pengadilan Agama Serang, kemudian membaca memori banding
Pembanding yang pada pokoknya keberatan atas pertimbangan dan
6 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2009),h., 147.
53
putusan 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg tentang dinyatakannya Terbanding
dan Turut Terbanding terbukti telah melawan hukum, akan tetapi
menolak gugatan Penggugat tentang pengembalian gaji Pembanding
yang telah dipotong pihak Terbanding dan Turut Terbanding sejak
bulan Juni 2012 sampai bulan Maret 2017. Sedangkan pada putusan
cerai talak Nomor 788/Pdt.G/2009/PA.Srg tidak ada perintah
pemotongan sepertiga gaji Pembanding.
Membaca tanda terima memori banding oleh Panitera
Pengadilan Agama Serang pada tanggal 20 Juli 2017 dan telah
disampaikan relaas pemberitahuan dan penyerahan memori banding
kepada pihak turut terbanding pada Senin tanggal 07 Agustus 2017,
kemudian membaca surat keterangan Panitera Pengadilan Agama
Serang tertanggal 11 September 2017 yang menyatakan sampai batas
waktu yang telah ditentukan, baik Pembanding maupun Terbanding
tidak melaksanakan pemeriksaan terhadap berkas perkara banding
(inzage).
Setelah mempelajari segala uraian dalam pertimbangan
Pengadilan Agama Serang, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banten
sependapat dengan pertimbangan Pengadilan Agama Serang tersebut,
namun perlu disempurnakan bahwa perkara ini sengketa nafkah,
termasuk dalam bidang perkawinan. Dan karena Terbanding dan Turut
Terbanding dinyatakan telah turut melakukan perbuatan melawan
hukum, agar tidak terulang ataupun dilanjutkan maka Pengadilan perlu
memerintahkan kepada Terbanding dan Turut Terbanding untuk
menghentikan pemotongan gaji Pembanding. Kemudian sebagaimana
pertimbangan hakim tingkat pertama, berdasarkan saksi-saksi dan
bukti-bukti yang ada Terbanding tidak patut untuk mengembalikan
uang pemotongan sepertiga gaji tersebut.7
7Putusan Pengadilan Tinggi Agama Banten Nomor 0097/Pdt.G/2017/PTA.Btn.
54
2. Pertimbangan Hakim
Dalam upaya hukum banding, majelis hakim telah mempelajari
segala uraian dalam pertimbangan sebagaimana putusan Pengadilan
Agama Serang berdasarkan Keterangan Saksi-saksi dan bukti-bukti
lain, Penulis menguraikan pertimbangan hakim dalam putusan tersebut,
antaranya:
Terbukti bahwa Terbanding dan Turut Terbanding melakukan
perbuatan melawan hukum dengan telah memotong sepertiga gaji
Pembanding tanpa persetujuan dan seizin Pembanding, oleh karena itu
Terbanding dan Turut Terbanding harus dinyatakan telah melakukan
perbuatan melawan hukum. Majelis hakim menimbang, agar perbuatan
tersebut tidak dilanjutkan ataupun terulang, maka Pengadilan
memerintahkan kepada Terbanding dan Turut Terbanding untuk
menghentikan pemotongan sepertiga gaji Pembanding pada bagian
keuangan atau Bendahara Perusahaan PT. Krakatau Steel Cilegon.
Majelis hakim dengan didasarkan bukti-bukti dan saksi-saksi
yang ada, Terbanding tidak patut untuk dihukum mengembalikan uang
pemotongan gaji tersebut karena uang tersebut digunakan bukan untuk
kepentingan pribadi melainkan untuk biaya penghidupan dan
pendidikan anak-anaknya.Dengan fakta yang membuktikan Terbanding
sejak bercerai dengan Pembanding hingga saat ini hidupnya sangat
memprihatinkan dan sering dibantu oleh keluarganya untuk memenuhi
kebutuhan kehidupan Terbanding dengan anak-anaknya.Maka
keberatan Pembanding dalam memori bandingnya harus ditolak.
Bahwa perkara ini mengenai sengketa nafkah termasuk bidang
perkawinan, sesuai pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana telah diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, biaya perkara pada
55
tingkat pertama dibebankan kepada Pemohon dan biaya perkara pada
tingkat banding dibebankan kepada Pembanding.8
3. Amar Putusan
Hasil putusan Pengadilan Tinggi Agama Banten Nomor
0097/Pdt.G/2017/PTA.Btn ialah sebagai berikut:
I. Menyatakan permohonan banding pembanding dapat diterima
II. Menguatkan Putusan Pengadilan Agama Serang Nomor
1809/Pdt.G/2016/PA.Srg
III. Membebankan kepada pembanding untuk membayar biaya perkara
pada tingkat banding sebesar Rp. 150.000,- (Seratus Lima Puluh Ribu
Rupiah)
C. Putusan Kasasi Nomor 689 K/Ag/2018
1. Kronologi Perkara
Setelah adanya putusan dari Pengadilan Tinggi Agama Banten,
Tergugat (selanjutnya sebagai Pemohon Kasasi) mengajukan upaya
hukum kasasi pada tanggal 24 Januari 2018. Perihal kasasi merupakan
tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi dalam
memeriksa dan memutus permohonan kasasi terhadap putusan tingkat
banding dari semua lingkungan peradilan yang telah diatur dalam Pasal
10 ayat (3) Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun
1970.9Sebagaimana dari akta permohonan kasasi diikuti dengan memori
kasasi yang memuat alasan-alasan telah diberitahukan kepada pihak
lawan. Dalam pokok perkara Pemohon Kasasi meminta agar:
1. Menerima seluruh permohonan dan memori kasasi perkara ini
2. Memerintahkan untuk menghukum melanjutkan pemotongan gaji
Termohon Kasasi pada bagian keuangan atau bendahara Perusahaan
PT. Krakatau Steel (PERSERO) Tbk. Cilegon.
8Putusan Pengadilan Tinggi Agama Banten Nomor 0097/Pdt.G/2017/PTA.Btn.
9Sunarto, Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata, (Jakarta: Kencana, 2014),h., 214
56
3. Menghukum Termohon Kasasi untuk membayar biaya perkara
4. Dan atau putusan lain yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)
Termohon Kasasi dalam hal ini tidak mengajukan kontra memori kasasi
sesuai dengan surat keterangan tidak mengajukan kontra memori kasasi
yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Serang.10
2. Pertimbangan Hakim
Dalam upaya hukum kasasi, majelis hakim telah meneliti
dengan seksama memori kasasi dihubungkan dengan pertimbangan Judex
Facti Pengadilan Tinggi Agama Banten, Mahkamah Agung
mempertimbangkan sebagai berikut:
Ketentuan pemotongan sepertiga gaji Penggugat yang dilakukan
oleh Pejabat Bendaharawan PT. Krakatau Steel, merupakan tindakan
administrasi kepegawaian yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.
10 Tahun 1983 Pasal (8).Dengan demikian, Majelis hakim tingkat kasasi,
pertimbangannya atas pokok perkara dalam perkara ini adalah mengenai
perbuatan melawan hukum yang berhubungan dengan pemotongan gaji
Penggugat, hal ini merupakan tindakan administrasi dan termasuk hukum
administrasi negara.Maka, Pengadilan Agama tidak berwewenang
mengadilinya sehingga pokok perkara harus dinyatakan tidak dapat
diterima.
Putusan Judex Facti atau Pengadilan Tinggi Agama Banten
yang menguatkan Putusan Pengadilan Agama Serang harus
dibatalkan.Karena salah dalam menerapkan hukum.
3. Amar Putusan
Hasil Putusan Kasasi Nomor 689 K/Ag/2018 ialah sebagai berikut:
1) Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi
10
Putusan Kasasi Nomor 689 K/Ag/2018
57
2) Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Banten Nomor
0097/Pdt.G/2017/PTA.Btn yang menguatkan Putusan Pengadilan
Agama Serang Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg.
Mengadili Sendiri
I. Menyatakan Pengadilan Agama Serang tidak berwewenang
mengadili perkara ini
II. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima.
III. Membebankan kepada Termohon Kasasi untuk membayar biaya
perkara dalam semua tingkat peradilan dan pada tingkat kasasi ini
sejumlah Rp. 500.000,- (Lima Ratus Ribu Rupiah)
58
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SERANG DALAM
PERKARA PERBUATAN MELAWAN HUKUM TERKAIT NAFKAH
PASCA PERCERAIAN
A. Pertimbangan hakim dalam memutus perkara perbuatan melawan
hukum pada Putusan Nomor 1809/Pdt.G/2016PA.Srg, Putusan Nomor
097/Pdt.G/2017/PTA.Btn dan Putusan Nomor 689 K/Ag/2018.
Mengambil dan menjatuhkan putusan bukanlah sekedar
menerapkan hukum, tetapi majelis hakim harus merenungkan,
mempertimbangkan banyak hal secara cermat, memiliki pengalaman dan
kemampuan penguasaan hukum. Hakim sebagai aplikator undang-undang
diwajibkan pula untuk mencari undang-undang yang tepat yang berkitan
sesuai dengan perkara yang sedang dihadapi. Melihat perkara dalam
putusan Pengadilan Agama Serabf Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg,
bermula pada tahun 2009 Penggugat mengajukan cerai gugat kepada
Tergugat. Perceraian tersebut dikabulkan majelis hakim dan dikatakan
telah resmi bercerai dengan dikeluarkannya putusan Pengadilan Agama
Serang dengan Nomor 788/Pdt.G/2009/PA.Srg. Di luar dugaan Penggugat,
pada tanggal 21 Mei 2010 Tergugat mengajukan banding dengan
menghasilkan amar sebagai berikut; membatalkan putusan Pengadilan
Agama Serang dan mengadili sendiri dengan amar putusan sebagai
berikut:
Dalam Konvensi:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon.
2. Menetapkan pemberian izin kepada Penggugat untuk menjatuhi talak
satu raj‟I terhadap Tergugat.
3. Menghukum Pemohon untuk membayar kepada Tergugat setelah
menjatuhi talaknya, berupa:
59
a. Nafkah „Iddah1 sejumlah Rp. 3.000.000
b. Nafkah Mut‟ah2 sejumlah Rp. 9.000.000
Dalam Rekonvensi:
Menyatakan gugatan rekonpensi yang diajukan Penggugat Rekonpensi
atau Tergugat tidak dapat diterima (N.O)
Di tengah perjalanan antara kesepakatan bersama yang dilakukan
Penggugat dan Tergugat, dua tahun setelah sidang perceraian, Tergugat
melakukan pemotongan sepertiga gaji Penggugat sejak tahun 2012 hingga
2016. Di samping terdapat pemotongan tersebut, Penggugat disatu sisi
belum melunasi nafkah mut‟ah yang tersisa sebesar Rp. 4.000.000. Dalam
hal pemotongan sepertiga gaji Penggugat, Tergugat merasa perbuatan
tersebut adalah hak untuk dirinya serta anak-anaknya sebagai biaya
penghidupan pasca perceraian. Dalil Tergugat mengacu kepada Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri
Sipil. Sehingga Tergugat melakukan permohonan pembagian gaji kepada
Manager HCI PT. K S dan Turut Tergugat beserta Manajemen keuangan
menyetujui pemotongan itu. Namun, pada kenyataannya Penggugat adalah
Pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Krakatau Steel Cilegon
yang pada saat itu Perusahaan PT. KS tidak memiliki kebijakan untuk
memotong gaji pegawainya.
Pemotongan tersebut dilakukan Tergugat dan Turut Tergugat, tidak
didasarkan atas izin dari Pegawai yang bersangkutan (Penggugat) ataupun
atas dasar putusan dari Pengadilan Agama Serang di saat perceraian.
1 Yang dimaksud dengan kata “Nafkah „Iddah” adalah mantan suami memberikan nafkah
makan, kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada mantan istri selama waktu yang telah
ditentukan sesuai dengan kondisi istri yang diceraikan. (Moh. Ali Wafa, Hukum Perkawinan Di
Indonesia, (Tangerang: YASMI, 2018), h., 286). 2 Yang dimaksud dengan kata “Nafkah Mut‟ah” adalah mantan suami memberikan
sesuatu yang layak kepada mantan istri sebagai hiburan, baik berupa uang atau benda. (Moh. Ali
Wafa, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Tangerang: YASMI, 2018), h., 286).
60
Diperkuat dalam keterangan saksi Penggugat selaku teman satu
perusahaan menyatakan dalam kesaksiannya, bahwa PT. KS saat ini tidak
memiliki kebijakan untuk memotong gaji pegawaiannya. Perusahaan akan
menerapkan ketentuan tentang hak dan kewajiban pasca perceraian
khususnya bagi pegawai (mantan suami) terkait pembagian sepertiga gaji
untuk mantan istri dan anak atau anak-anaknya atas dasar kesepakatan
para pihak dan atau persetujuan dari pihak pegawai untuk dipotong gajinya
tersebut.
Majelis hakim tingkat pertama memberikan pertimbangan hukum
berlandaskan pada penjelasan Perbuatan Melawan Hukum pada Pasal
1365 BW yang menyatakan bahwa “setiap perbuatan melawan hukum
yang oleh karenanya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”.
Dengan mengacu kepada Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dari Pasal
1365 BW, majelis hakim mengaitkan peristiwa dengan 5 (lima) unsur-
unsur Perbuatan Melawan Hukum, yaitu:
Pertama, adanya suatu perbuatan. Majelis hakim dalam pertimbangannya
menyatakan pelaku Tergugat dan Turut Tergugat melakukan perbuatan
yaitu memotong sepertiga gaji Penggugat.
Kedua, perbuatan tersebut melawan hukum. Perbuatan tersebut tidak
didasari persetujuan pegawai (Penggugat) ataupun putusan Pengadilan
Agama, maka perbuatan tersebut telah melawan hukum.
Ketiga, adanya kesalahan dari pihak pelaku. Tergugat dan Turut Tergugat
selaku pelaku mengakui perbuatannya tanpa adanya persetujuan
Penggugat dan tanpa adanya putusan Pengadilan Agama, hal tersebut
menandakan adanya kesalahan dari Tergugat dan Turut Tergugat.
Keempat, adanya kerugian bagi korban. Akibat perbuatan Tergugat dan
Turut Tergugat menimbulkan kerugian bagi Penggugat sebesar Rp. 97
Juta.
61
Kelima, adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.3
Sebab Tergugat dan Turut Tergugat melakukan pemotongan gaji pegawai
tanpa izin dari Penggugat dan tidak ada putusan dari Pengadilan Agama
Serang saat bercerai, sehingga dinyatakan sebagai Perbuatan Melawan
Hukum, sebagai wujud kesalahannya mengakibatkan kerugian yang harus
dibayar atau dikembalikan kepada Penggugat. Dengan demikian majelis
hakim menyatakan Tergugat dan Turut Tergugat memenuhi kelima unsur-
unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
Selanjutnya majelis hakim tingkat pertama menimbang pemberian
nafkah mut‟ah yang diberikan Penggugat selaku Pegawai Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) terlalu sedikit. Semestinya dapat memberikan lebih
besar dari pada yang telah ditentukan. Diakui pula oleh Penggugat bahwa
Rp. 9.000.000 yang diwajibkan untuk dibayar, baru Penggugat serahkan
sebesar Rp. 5.000.000. Oleh karena itu, akibat adanya kelalaian yang
dilakukan oleh Penggugat, majelis hakim tingkat pertama berpendapat
bahwa apa yang telah doterima oleh Tergugat setiap bulan dari sepertiga
gaji Penggugat yang totalnya mencapai Rp. 97 Juta, sebagai konpensasi
pemberian nafkah mut‟ah Tergugat sehingga tidak perlu dikembalikan.
Berdasarkan saksi-saksi menyatakan kehidupan Tergugat setelah
diceraikan oleh Penggugat sungguh memperihatinkan, serba kesulitan dan
uang tersebut tidak digunakan untuk dirinya sendiri melainkan digunakan
untuk biaya hidup dan pendidikan anak-anaknya. Berdasarkan
perbuatannya, Tergugat dan Turut Tergugat melakukan perbuatan
melawan hukum maka patut dihukum untuk menghentikan pemotongan
sepertiga gaji Penggugat.4
3 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2013), h., 10. 4 Putusan Pengadilan Agama Serang Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg.
62
Selanjutnya, dalam Pengadilan Tinggi Agama Banten, yang
merupakan Judex Facti5 sehingga hakim tingkat banding wajib
memeriksa, mempertimbangkan dan memutus ulang pokok perkara yang
telah diperiksa, dipertimbangkan dan diputus oleh hakim tingkat pertama.
Majelis hakim tingkat banding bertugas memperbaiki kesalahan dan
menyempurnakan kekurangan hakim tingkat pertama, agar tidak
merugikan para pencari keadilan.6 Pada perkara ini, majelis hakim tingkat
banding telah memeriksa ulang tentang apa yang telah diperiksa dan
dipertimbangkan oleh Pengadilan Agama Serang. Majelis hakim tingkat
banding dalam pertimbangannya, satu pendapat dengan pertimbangan
Pengadilan Agama Serang, namun perlu disempurnakan dengan adanya
pertimbangan sendiri. Bahwa karena Terbanding dan Turut Terbanding
dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, maka supaya
perbuatan tersebut tidak terulang kembali, maka pengadilan
memerintahkan kepada Terbanding dan Turut Terbanding untuk
menghentikan pemotongan gaji Pembanding pada bagian keuangan PT.
KS dengan adanya bukti telah melakukan perbuatan melawan hukum
tersebut. Majelis hakim tingkat banding berpendapat yang sama halnya
dengan pertimbangan majelis hakim tingkat pertama, bahwa berdsarkan
saksi-saksi dari pihak Terbanding dan bukti-bukti lainnya, Terbanding
tidak perlu untuk mengembalikan uang hasil pemotongan sepertiga gaji
Pembanding.7
Memulihkan kesalahan pada penerapan hukum adalah keharusan
bagi pencari keadilan dengan jalan menempuh upaya hukum, baik upaya
5 Yang dimaksud dengan kata “Judex Facti” adalah hakim bertugas memetakan
bagaimana kasus posisi yang sebenarnya sehingga ditemukan fakta hukum yang sah secara yuridis
berdasarkan hukum pembuktian dan benar secara logis berdasarkan penalaran yang rasional yang
kemudian ditemukan pula bagaimana hukumnya atas kasus yang telah terbukti tersebut. (Mukti
Arto, Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018),
Cetakan ke-2, h., 155) 6 Mukti Arto, Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan; Penerapan
Penemuan hukum, Ultra Petita dan Ex Officio Hakim Secara Proporsional, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2018), h., 156. 7 Putusan Pengadilan Tinggi Agama Banten Nomor 097/Pdt.G/2017/PTA.Btn.
63
hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Tetapi, tidak selalu karena
kesalahan pada penerapan hukum, dapat juga disebabkan karena
perbedaan pendapat. Pada pertimbangan majelis hakim tingkat kasasi,
yang merupakan Judex Jurist8, setelah meneliti secara seksama memori
kasasi dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti Pengadilan Agama
Banten, majelis hakim tingkat kasasi menyatakan Pengadilan Tinggi
Agama Banten salah dalam menerapkan hukum. Dengan demikian,
putusan Pengadilan Tinggi Agama Banten yang menguatkan putusan
Pengadilan Agama Serang harus dibatalkan. Berdasarkan pertimbangan
bahwa ketentuan pemotongan sepertiga gaji Penggugat yang dilakukan
oleh Pejabat Bendaharawan PT. KS, merupakan tindakan administrasi
kepegawaian. Melihat pokok gugatan dalam perkara ini mengenai
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang berhubungan dengan
pemotongan gaji Penggugat hal ini merupakan tindakan administrasi
negara. Oleh karena itu, Pengadilan Agama tidak berwenang
mengadilinya, sehingga dalam pokok perkara harus dinyatakan tidak dapat
diterima (N.O).9
Berdasarkan pertimbangan yang telah dipaparkan baik pada tingkat
pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi berdasarkan kacamata penulis
Pengadilan Agama Serang dan Pengadilan Tinggi Agama Banten telah
keliru dalam menangani perkara ini. Dalam perkara ini setelah dikaji
secara mendalam terdapat unsur kelalaian yang dilakukan oleh Penggugat
dalam melaksanakan pembayaran uang nafkah, sehingga Tergugat
melakukan pemotongan gaji Penggugat dengan mengacu kepada Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri
8 Yang dimaksud dengan kata “Judex Jurist” adalah hakim yang berwenang dan
bertanggung jawab untuk mengoreksi cara kerja dan hasil kerja Judex Facti untuk kemudian jika
ditemukan kesalahan, maka harus dibetulkan kembali sebagaimana semestinya. (Mukti Arto,
Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018),
Cetakan ke-2, h., 156). 9 Putusan Kasasi Nomor 689 K/Ag/2018.
64
Sipil melakukan pemotongan sepertiga gaji Penggugat. Sehingga
Penggugat merasa dirugikan dan menggugat Tergugat selaku mantan
istrinya atas dasar perbuatan melawan hukum. Mengenai hal ini, majelis
hakim tingkat pertama menyatakan Tergugat tidak bertentangan dengan
hukum. Hanya saja sejak tahun 2005, lahirnya Peraturan Pemerintah
tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan
Usaha Milik Negara, sehingga sudah tidak berlaku lagi bagi Badan Usaha
Milik Negara terhadap ketentuan kepegawaian yang diterapkan untuk
Pegawai Negeri Sipil. Penggugat selaku karyawan Badan Usaha Milik
Negara PT. KS, tidak menganut kebijakan Pegawai Negeri Sipil dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1990 di dalam perusahaannya.
Penulis paparkan mengenai nafkah pasca perceraian, sebelum
adanya ketentuan pemisahan antara Pegawai Badan Usaha Milik Negara
dengan Pegawai Negeri Sipil di tahun 2005, Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 yang
menjadi acuan. Pegawai Badan Usaha Milik Negara secara tegas
dipersamakan dengan Pegawai Negeri Sipil, sesuai dengan Pasal 1 yang
menyatakan Pegawai Negeri Sipil adalah:
1) Pegawai bulanan di samping pensiun
2) Pegawai bank milik negara
3) Pegawai badan usaha milik negara
4) Pegawai bank milik daerah
5) Pegawai badan usaha milik daerah
6) Kepala desa, perangkat desa dan petugas yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan daerah.
Sehingga dalam peraturan pemerintah tersebut Pasal 7 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983, ketentuan perceraian bagi Pegawai
Negeri Sipil pria ataupun wanita adanya keharusan mengajukan
65
permintaan izin dalam hal akan ada perceraian, kemudian perceraian
tersebut didasarkan pada alasan-alasan yang ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan dan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1983 ini.10
Diantaranya:
1) Apabila Salah satu pihak berbuat zina
2) Salah satu pihak menjadi pemabuk
3) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah.
4) Salah satu pihak mendapat hukuman 5 (lima) tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat secara terus menerus setelah perkawinan
berlangsung, yang dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
5) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat.
6) Antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran sehingga
tidak ada harapan untuk hidup rukun kembali dalam rumah tangga.11
Kemudian hadirnya pembaruan yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1990 yang merupakan perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 memberikan penyempurnaan dan
kejelasan atas beberapa hal mengenai Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi
Pegawai Negeri Sipil, diantaranya:
1) Kejelasan tentang keharusan mengajukan permintaan izin dalam hal
akan ada perceraian.
2) Larangan bagi pegawai negeri sipil wanita untuk menjadi istri kedua
atau ketiga atau keempat.
3) Pembagian gaji sebagai akibat terjadinya perceraian yang diharapkan
dapat lebih terjamin keadilan bagi kedua belah pihak.
4) Pengertian hidup bersama12
10
Muhammad Syarifuddin, dkk, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.,
450. 11
Petunjuk pelaksanaan PPRI Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Izin
Perkwinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Beringin Mulya, 1991), h., 82-84.
66
Ketentuan pembagian gaji Pegawai Negeri Sipil akibat terjadinya
perceraian, Didasari oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1990 Pasal 8,
dimana apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria,
maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan mantan
istri dan anak-anaknya, ialah sepertiga untuk Pegawai Sipil pria yang
bersangkutan, sepertiga untuk bekas istri dan sepertiga untuk anak atau
anak-anaknya.13
Perubahan mulai terjadi ketika pemerintah menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 sebagai peraturan untuk melaksanakan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara, yang pada Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005
menjelaskan bahwa bagi pegawai Badan Usaha Milik Negara tidak berlaku
segala ketentuan kepegawaian dan eselonisasi jabatan yang berlaku bagi
Pegawai Negeri Sipil.14
Perihal ketentuan perceraian maupun nafkah
perceraian untuk pegawai Badan Usaha Milik Negara belum ada aturan
secara khusus yang mengatur kepegawaian karyawan Badan Usaha Milik
Negara.15
Dengan demikian, keinginan untuk mengajukan permohonan
untuk memotong sepertiga gaji pegawai haruslah dengan kebijakan dari
perusahaan, persetujuan dari pegawai yang bersangkutan serta adanya
putusan pengadilan agama.
Berdasarkan kewenangan absolut Pengadilan Agama, dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pengadilan Agama hanya
berwenang dalam menyelesaikan perkara perdata tertentu meliputi
12
Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2017), h., 69. 13
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, Pasal 8 ayat (1) dan (2). 14
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang tentang Pendirian, Pengurusan
Pengawasan dan Pembubaran BUMN , Pasal 95 Ayat (2). 15
Https://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt58dfeffda4621/kedudukan-hukum-
karyawan-bumn/
67
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak dan sedekah.16
Setelah terjadi perubahan yang mendasar dengan disahkannya Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006, perubahan tersebut terdiri atas 42
perubahan diantaranya, perluasaan wewenang Pengadilan Agama untuk
menangani permasalahan zakat, infak serta wewenang Pengadilan Agama
menangani permasalahan dibidang ekonomi syariah.17
Sebagaimana
ditegaskan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai
„perkara tertentu‟, kata tersebut merupakan hasil perubahan terhadap kata
„perkara perdata tertentu‟ dari undang-undang sebelumnya yaitu Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989. Penghapusan kata „perdata‟ dimaksudkan
agar memperluas perkara yang masuk dalam lingkungan Pengadilan
Agama.
Tertuang dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, dapat secara tegas
dinyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara
orang-orang yang beragama islam dibidang perkawinan, meliputi
poligami, izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia
21 tahun, dalam hal orang tua, wali atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat, dispensasi perkawinan, pencegahan perkawinan,
penolakan perkawinan, pembatalan perkawinan, gugatan kelalaian atas
kewajiban suami atau istri, perceraian karena talak, gugatan perceraiaan,
penyelesaian harta bersama, penguasaan anak, ibu dapat memikul biaya
pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya
bertanggung jawab tidak memenuhinya, penentuan kewajiban memberi
biaya penghidupan oleh mantan suami kepada mantan istri atau penentuan
suatu kewajiban bagi mantan istri, perwalian, pernyataan tentang sahnya
16
Zulkarnaen dan Dwi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2017), h., 365. 17
Zulkarnaen dan Dwi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, h.,
73
68
perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan dan dijalankan dengan peraturan yang lain18
, wali
adhal19
dan lain-lainnya. Bidang kewarisan, wasiat dan hibah meliputi
penentuan siapa saja yang menjadi ahli waris, penentuan harta
peninggalan, penentuan bagian masing-masing harta waris terhadap
Pewaris, pengangkatan wali bagi ahli waris yang tidak cakap bertindak.20
Pada bidang zakat, infak dan sedekah mengenai perkara pengelolaan zakat,
infak sedekah bertentangan dengan asa tujuan zakat. Bidang wakaf dapat
meliputi perkara mengenai pengelolaan harta wakaf bertentangan dengan
tujuan dan fungsi wakaf, sengketa harta benda wakaf, sah atau tidaknya
wakaf atau sertifikat harta wakaf, pengalihan fungsi atau perubahan status
harta benda wakaf.21
Pada bidang ekonomi syariah, meliputi beberapa hal sebagai
berikut:
a. Bank syariah
b. Asuransi syariah
c. Reasuransi syariah
d. Reksa dana syariah
e. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah
f. Sekuritas syariah
g. Pembiayaan syariah
h. Pegadaian syariah
i. Dana pensiun lembaga keuangan syariah
j. Lembaga keuangan mikro syariah, dan lain-lain.
18
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama; Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), h., 139. 19
Zulkarnaen dan Dwi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2017), h., 130. 20
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama; Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), h., 150-151. 21
Zulkarnaen dan Dwi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, h.,
139.
69
Sehingga tidak hanya perkara perdata yang menjadi kompetensi
Pengadilan Agama, jenis perkara Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
dapat diselesaikan dalam Pengadilan Agama, namun sebatas pada bidang
ekonomi syariah.
Dengan demikian, atas dasar itulah Penulis berargumen yang sama
dengan pertimbangan majelis hakim tingkat kasasi, bahwa perkara ini
dengan alas gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terkait
pemotongan gaji bukanlah kewenangan dari Pengadilan Agama. Pada
umumnya diakui bahwa perkara perdata dengan alas gugatan adanya
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) merupakan kewenangan absolut
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Oleh karena itu, kasus ini
dapat diselesaikan pada Pengadilan Negeri karena kewenangan absolut
Pengadilan Negeri yaitu dalam memeriksa perkara pidana dan perkara
perdata yang terbatas pada perdata umum dan niaga.22
Bentuk-bentuk
sengketa yang diselesaikan dalam Peradilan Umum meliputi hak
kebendaan dapat berupa sengketa hak milik, hak gadai, hak agunan, baik
agunan biasa maupun hipotik, tukar menukar, jual beli dan sebagainya.23
Maka, dapat Penulis katakan tidak sepatutnya perkara Perbuatan Melawan
Hukum yang berhubungan dengan pemotongan gaji pegawai diputus oleh
Pengadilan Agama Serang. Penulis mengetahui bahwa pengadilan dilarang
untuk memeriksa dan mengadilinya. Meskipun tanpa adanya eksepsi
tentang kompetensi absolut dari salah satu pihak, hakim secara ex officio24
22
Sulaikun Lubis, Wismar „Ain Marzuki dan Gamala Dewi, Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h., 182. 23
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama; Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), h. 154. 24
Yang dimaksud dengan kata “ex officio” adalah kewenangan dan tanggungjawab
hakim yang diberikan oleh undang-undang kepada hakim pemeriksa perkara karena jabatannya
untuk melakukan tindakan hukum secara konkret di persidangan guna memberikan perlindungan
hukum dan keadilan kepada pencari keadilan maupun pihak ketiga dalam perkara yang menurut
hukum harus dilindungi demi terwujudnya keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
secara nyata. (Mukti Arto, Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2018), Cetakan ke-2, h., 216).
70
wajib mempertimbangkan kompetensi absolut tersebut.25
Secara ex officio
hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang sesuai Pasal 132 RV,
apabila perkara yang diajukan di luar yuridiksinya. Dengan demikian,
dalam perkara ini Pengadilan Agama tidak berwenang mengadilinya dan
pokok perkara Penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima (N.O).
Secara keseluruhan dalam perkara ini, baik hasil dari putusan
Pengadilan Agama Serang, Pengadilan Tinggi Agama Banten tidak
mencerminkan kepastian hukum, akibat kekeliruan majelis hakim dalam
menerima, memutus dan menyelesaikan perkara di luar yuridiksinya
sehingga kewenangan absolut Pengadilan Agama tidak sesuai dengan
ketentuan dalam perundang-undangan. Sebagaimana telah diketahui,
keputusan pengadilan tidak hanya dipandang sebagai resolusi bagi sebuah
konflik, tetapi juga sebagai sebuah penegasan terhadap tatanan normative.
Kejelasan kewenangan ini sangat penting karena menyangkut sah atau
tidaknya serta mengikat atau tidaknya peraturan perundang-undangan
yang telah dibuat.26
Hingga gugatan ini harus dinyatakan tidak dapat
diterima (N.O) oleh pengadilan kasasi, majelis hakim pada tingkat kasasi
berdasarkan pertimbangannya menilai Judex Facti Pengadilan Tinggi
Agama Banten salah dalam menerapkan hukum, serta Pengadilan Agama
Serang tidak berwenang mengadili perkara Perbuatan Melawan Hukum
(PMH) yang berhubungan dengan pemotongan gaji.
Dengan demikian hal ini tidak mencerminkan asas kemanfaatan
yaitu harus memberikan dan mencetus kebahagiaan bagi para pihak.27
Putusan hakim dalam mewujudkan kepastian dan keadilan bukanlah
jaminan untuk memberikan kepuasan bagi para pihak. Dengan kata lain,
jika adil dan kepastian hukum terpenuhi dalam putusan hakim, namun
25
Sunarto, Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2014), h., 151. 26
Margono, Asas Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum dalam Putusan Hakim,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2019), h., 117. 27
Amran Suadi, Sosiologi Hukum Penegakkan, Realitas dan Nilai Moralitas Hukum,
(Jakarta: Kencana, 2018), h., 100.
71
kemanfaatan tidak ada, itupun sia-sia. Mewujudkan ketiga tujuan hukum
dalam putusan hakim dengan dapat terlaksananya kepastian hukum,
keadilan dan kemanfaatan adalah suatu keharusan bagi para hakim tetapi
sangatlah sulit diwujudkan karena berbagai tujuan hukum tersebut tidak
selalu berjalan beriringan.28
B. Analisis hukum mengenai hak istri pasca perceraian pada Putusan
Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg Putusan Nomor
097/Pdt.G/2017/PTA.Btn dan Putusan Nomor 689 K/Ag/2018.
Pada perkara ini, Penulis juga menyoroti permasalahan yang
berkaitan dengan hak istri pasca perceraian yang menjadi sebab terjadinya
Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Tergugat pada Putusan
Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg, perbuatan tersebut didukung oleh adanya
kesalahan berupa kelalaian yang dilakukan oleh Penggugat dalam
memberikan nafkah mut‟ah dan nafkah biaya penghidupan untuk anak-
anaknya. Majelis hakim menimbang selain berdasarkan alat bukti surat-
surat kemudian berdasarkan kesaksian saksi-saksi yang dihadirkan oeh
Tergugat beserta tambahan kesaksian anak ketiga dari Penggugat dan
Tergugat untuk menyempurnakan dan memperkuat dalil-dalil Tergugat.
Berdasarkan keterangan saksi pertama yaitu kakak kandung dari
Penggugat, mengetahui Penggugat dan Tergugat telah bercerai pada tahun
2010, saat terjadi perceraian itu anak ketiga Penggugat dan Tergugat
pernah tinggal bersama saksi sendiri dan kemudian pindah ke rumah
neneknya di Bandung. Sedangkan dua anak perempuan Penggugat dan
Tergugat ikut tinggal bersama dengan Tergugat. Pada saat anak ketiga
Penggugat dan Tergugat tinggal bersama saksi di Bandung, Penggugat
yang mengirim biaya untuk makan dan ongkos setiap bulannya sebesar
Rp. 400.000 perbulan. Namun, empat bulan setelah itu, ketika anak
tersebut tinggal di rumah neneknya kiriman uang dari Penggugat tersebut
28
Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), h., 143.
72
sering terlambat. Saksi menanyakan alasan mengapa Penggugat sering
telat memberikan biaya untuk anaknya dan Penggugat telah mengakui
dengan alasan karena sibuk dan memiliki banyak kebutuhan untuk yang
lainnya. Selanjutnya, keterangan dari saksi kedua selaku kakak kandung
Tergugat, saksi kedua sering membantu untuk memenuhi kebutuhan
pendidikan anak Penggugat dan Tergugat pada bulan Januari 2017, karena
terancam Drop Out dari kampus, saksi membantu membayarkan
tunggakan SPP sejumlah Rp. 8.500.000 (delapan juta lima ratus ribu
rupiah) serta menurut keterangan saksi-saksi yang hadir di muka
persidangan, pasca perceraian dengan Penggugat Tergugat tinggal di
rumah kontrakan dan tidak memiliki apapun.29
Kelalaian berikutnya Penggugat mengakui masih memiliki
kekurangan dalam membayar uang mut‟ah sebesar Rp. 4.000.000 (empat
juta rupiah). Dengan demikian, ini menjadi latar belakang timbulnya
pemotongan sepertiga gaji Penggugat tiap bulannya. Didasari pula dengan
keterangan dari anak ketiga Penggugat dan Tergugat dalam persidangan,
saksi mengakui bahwa ide pemotongan untuk memotong sepertiga gaji
Penggugat adalah ide saksi dan di tahun 2012 hal tersebut sudah
dikabulkan oleh perusahaan tempat Penggugat bekerja. Majelis hakim
tingkat pertama menilai bahwa faktanya kehidupan Tergugat setelah
bercerai dengan Penggugat memperihatinkan dengan hidup mengontrak
bersama anak-anaknya. Keadaan kehidupan Tergugat yang
memperihatinkan ini jika tidak dibiayai dari sepertiga gaji Penggugat dan
dibantu oleh keluarga Penggugat ataupun Tergugat, maka Tergugat dan
anak-anaknya akan terlantar dan anak-anaknya dapat mengalami putus
sekolah. Sehingga majelis hakim menimbang apa yang telah diterima oleh
Tergugat dari hasil pemotongan sepertiga gaji Penggugat tiap bulannya
yang sudah mencapai Rp. 97 Juta tersebut dijadikan sebagai konpensasi
pemberian nafkah mut‟ah bagi Tergugat sehingga tidak perlu
29
Putusan Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg.
73
dikembalikan. Pengembalian uang tersebut dianggap terlalu memberatkan
Tergugat yang sejak diceraikan oleh Penggugat hidupnya serba kesulitan,
uang tersebut tidak digunakan untuk diri Tergugat sendiri melainkan untuk
biaya pendidikan anak-anaknya.
Majelis hakim tingkat banding berpendapat yang sama
sebagaimana halnya pertimbangan majelis hakim pengadilan tingkat
pertama bersadarkan fakta-fakta, sekalipun telah terbukti Terbanding dan
Turut Terbanding telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum, dengan
pertimbangan dan alasan yang sama Terbanding tidak patut untuk
dihukum mengembalikan uang hasil pemotongan gaji Pembanding karena
pemotongan gaji tersebut bukan semata-mata untuk keperluan pribadi
Terbanding, akan tetapi untuk kepentingan keluarga dalam hal ini biaya
penghidupan dan pendidikan anak-anaknya.30
Berdasarkan fakta-fakta kelalaian Penggugat dalam memberikan
biaya penghidupan pasca perceraian untuk Tergugat telah Penulis uraikan
di atas, melatar belakangi Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh
Tergugat, sehingga Tergugat melakukan penyalahgunaan hukum dalam hal
pemotongan sepertiga gaji Penggugat, dimana Majelis Hakim Pengadilan
Agama Serang telah meluruskan bahwa sejak pemerintah menerbitkan
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian,
Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara,
ketentuan nafkah pasca perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil dengan
Pegawai Badan Usaha Milik Negara sudah terpisah. Bagi pegawai Badan
Usaha Milik Negara tidak berlaku segala ketentuan kepegawaian dan
eselonisasi jabatan yang berlaku bagi bagi Pegawai Negeri Sipil dan
perbuatan pemotongan sepertiga gaji Penggugat tersebut terus dilakukan
Tergugat dan Turut tergugat tiap bulannya hingga tahun 2016.
30
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Banten Nomor 097/Pdt.G/2017/PTA.Btn
74
Pada dasarnya biaya penghidupan untuk mantan istri pasca
perceraian, sudah diatur sedemikian rupa baik dalam hukum positif
maupun hukum Islam. Menurut hukum positif, tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 sebagai perubahan atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 41, yaitu:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya. Semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak.
Bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan
memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu. Bilamana bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi
biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas
istrinya. 31
Menekankan lebih rinci, bilamana perkawinan putus akibat cerai talak,
maka mantan suami harus memberikan nafkah mut‟ah yang layak kepada
mantan istri, baik berupa benda atau uang, kemudian memberikan nafkah,
maskan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada mantan istri
selama dalam masa „iddah, melunasi mahar yang masih terhutang,
memberikan biaya hadhanah.32
Melihat dari ketentuan yang sudah dipaparkan, meskipun Penggugat
dengan nyata telah memenuhi kewajibannya untuk membayar nafkah
„iddah, namun dalam hal ini Tergugat masih belum menikah lagi setelah
bercerai dengan Penggugat dan setelah perceraian Tergugat tidak
mencukupi pembiayaan kehidupan sehari-hari bersama anak-anaknya,
31
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2013),
h., 223. 32
Kompilasi Hukum Islam Pasal 149
75
maka tetap mendapat jaminan hidup dari mantan suaminya.33
Menurut
Penulis apabila Penggugat dapat melakukan hal tersebut, dapat
mengurangi beban ekonomi perempuan yang telah diceraikan karena
memungkinkan seorang janda yang tidak segera menikah lagi mendapati
dirinya mengalami kesulitan keuangan. Kadar nafkah yang dikeluarkan
pada dasarnya disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan mantan
suami. Melihat dari pekerjaan Penggugat selaku Pegawai Badan Usaha
Milik Negara seharusnya dapat memberikan nafkah yang makruf untuk
Tergugat dan anak-anaknya, bahkan melebihi jumlah yang telah
Penggugat tentukan sebelumnya pada sidang perceraian. Sesuai dengan
Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 241
ا على المتقي وللمطلقات متاع بالمعروف حق
Artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah
diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu
kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa”. Apabila mantan suami tidak sanggup bertanggung jawab atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, maka pengadilan
dapat menentukan ibu ikut memikul biaya tersebut.34
Ketika pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding menyatakan
hasil pemotongan sepertiga gaji Penggugat tidak patut dikembalikan,
sebagai konpensasi nafkah mut‟ah yang makruf, Penulis berargumen
keputusan tersebut sudah tepat melihat dari faktor ekonomi yang serba
kekurangan serta kelalaian yang dilakukan Penggugat dapat dikatakan pula
majelis hakim tingkat pertama dan tingkat banding mewujudkan asas
keadilan. Hakim bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan,
sesungguhnya konsep suatu putusan yang mengandung keadilan sulit
33
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986),
Cetakan ke-5, h., 131. 34
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Pasal 41 huruf b tentang Perkawinan.
76
dicari tolak ukurnya bagi pihak-pihak yang bersengketa, karena adil bagi
satu pihak belum tentu dirasakan adil oleh pihak lain.35
Penulis
mengetahui pada dasarnya, hakim harus menerapkan hukum yang ada
dalam perundang-undangan sebagai wujud asas kepastian hukum. Bagi
perkara Perbuatan Melawan Hukum (PMH) jelas tertuang dalam Pasal
1365 BW, menegaskan adanya perbuatan melawan hukum maka akan
menimbulkan sebuah kerugian bagi korban. Kerugian yang timbul
haruslah dipertanggung jawabkan oleh orang-orang yang dibebankan oleh
hukum untuk mengganti kerugian tersebut, kerugian tersebut dapat berupa:
a. Kerugian materiel, kerugian yang ditujukan kepada kekayaan harta
benda.
b. Kerugian immaterial, seperti kerugian yang ditujukan ditujukan pada
tubuh, jiwa, dan kehormatan manusia.
Hukum yang mengatur ketentuan mengenai ganti rugi perdata ini
dari segi kacamata yuridis dijelaskan dalam KUH Perdata, dengan dua
pendekatan sebagai berikut:
a. Ganti rugi umum, berlaku untuk semua kasus. Baik dalam hal kasus-
kasus wanprestasi kontrak, maupun kasus-kasus perikatan lainnya
termasuk perbuatan melawan hukum. Dalam hal ini, ganti rugi dalam
KUH Perdata bagian keempat dari buku ketiga Pasal 1243 sampai 1252,
ganti rugi diistilahkan sebagai biaya, rugi dan bunga.
b. Ganti rugi khusus, ganti rugi yang timbul akibat perikatan-perikatan
tertentu. KUH Perdata menyebutkan pemberian ganti rugi khusus
terhadap hal-hal berikut:
1) Pasal 1365, Ganti rugi untuk semua perbuatan melawan hukum
2) Pasal 1366 dan Pasal 1367, Ganti rugi untuk perbuatan yang
dilakukan orang lain
35
Fence M. Wantu, Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam
Putusan Hakim Di Peradilan Perdata, Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 12 No. 3 September 2012,
Universitas Negeri Gorontalo, h., 484.
77
3) Pasal 1368, Ganti rugi untuk pemilik binatang
4) Pasal 1369, Ganti rugi untuk pemilik gedung yang ambruk36
Sedangkan melihat dari berapa besaran ganti rugi, KUH Perdata tidak
dengan tegas bahkan tidak mengatur secara rinci tentang kerugian itu,
maka hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan ganti rugi itu sesuai
dengan asas kepatutan, sejauh hal tersebut dimintakan oleh pihak
Penggugat.37
Dalam kasus ini, upaya pertimbangan hakim tingkat pertama dan
tingkat banding dalam menemukan dan menerapkan asas keadilan dapat
dikatakan telah mewujudkan asas keadilan, keadilan substantif.38
Selain
melihat dari bukti-bukti yang ada juga mengedepankan hati nurani dan
mengorbankan kepastian hukum yang bersifat universal. Hal ini
menunjukkan bahwa untuk mewujudkan sesuatu itu adil tidaklah mudah
untuk dibayangkan maupun dilakukan. Dengan demikian, dapat dikatakan
saat hakim menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah kepada keadilan,
maka secara otomatis hakim akan menjauh dari titik kepastian hukum.39
Selanjutnya, melihat dari segi kelalaian Penggugat dalam
memberikan nafkah pasca perceraian akibat cerai talak, Penulis
berargumentasi Pengadilan Agama Serang tidak memberikan waktu yang
tegas, ini menjadi suatu kelemahan Pengadilan Agama. Bagaimana jika
Penggugat tidak melaksanakan kewajiban tersebut, tidak menafkahi sesuai
putusan pengadilan, Penulis menganalisis lebih dalam terkait nafkah pasca
perceraian akibat cerai talak. Ketentuan adanya nafkah bagi mantan istri
pasca perceraian sudah diatur sedemikian rupa baik secara global dalam
36 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2013), h.,136-137.
37 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, h.,138.
38 Yang dimaksud dengan kata “Keadilan Substantif” adalah keadilan yang berikan sesuai
dengan aturan-aturan hukum substantif, tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak
berpengaruh pada hak-hak substantif Penggugat atau Pemohon. (Jonaedi Efendi dan Jhonny
Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif Empiris, (Depok: Prenadamedia Group, 2018)
Cetakan ke-2, h., 106). 39
Margono, Asas Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum dalam Putusan Hakim,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2019), h., 149.
78
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang- Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pekawinan maupun terperinci dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI), maka mantan suami wajib memberikan
atas apa yang telah ditentukan, dikarenakan di dalam ketentuan tersebut
terdapat hak anak yang harus dipenuhi. Kewajiban menafkahi,
memberikan biaya pemeliharaan dan pendidikan akan terus berlangsung
terus-menerus meskipun terjadi perceraian diantara kedua orang tuanya.
Sampai anak tersebut dapat membiayai kehidupannya sendiri atau kawin.
Mantan suami bertanggung jawab atas biaya tersebut berdasarkan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah mengalami perubahan menjadi
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Pasal 41 huruf b.40
Apabila seorang ayah menolak untuk menafkahi atau tetap
menafkahi tetapi tidak sesuai dengan ketentuan pengadilan, dapat
dikatakan Penggugat melakukan ketidakpatuhan hukum atas putusan
pengadilan. Undang-Undang Peradilan Agama tidak mengatur secara
khusus mengenai upaya hukum terhadap pihak yang tidak melaksanakan
putusan, maka hal ini berlaku Herzien Inlandsch Reglement (HIR) yang
berlaku untuk perceraian melalui Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan
Agama. Jika seseorang tidak mematuhi putusan pengadilan maka terkait
hal ini Pasal 196 HIR menyebutkan bahwa, jika pihak yang dikalahkan
tidak mau atau lalai untuk mematuhi isi keputusan itu dengan damai, maka
pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan maupun
dengan surat kepada Ketua Pengadilan Negeri yang disebut pada ayat
pertama Pasal 195, untuk menjalankan keputusan itu Ketua Pengadilan
meminta memanggil para pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan
supaya is memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh
ketua, yang selama-lamanya delapan hari.
40
Amany Lubis, Dkk, Ketahanan Keluarga dalam Perspektif Hukum Islam, (Ciputat:
Pustaka Cendikiawan Muda, 2018), Cetakan ke-2, h., 66.
79
Selanjutnya pasal 197 HIR alinea ke-1 menyatakan, jika sudah
lewat tempo yang ditentukan itu dan yang dikalahkan belum juga
memenuhi keputusan itu, atau ia jika dipanggil dengan patut tidak datang
menghadap, maka ketua oleh karena jabatannya memberi perintah dengan
surat supaya disita sekalian barang-barang yang tidak tetap dan jika tidak
ada atau ternyata tidak cukup sekian banyak barang tetap kepunyaan orang
yang dikalahkan itu sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang
disebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan semua biaya
untuk menjalankan keputusan itu. Dengan demikian, dapat disimpulkan
jika mantan suami setalah delapan hari sejak diperingatkan oleh Ketua
Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama atau jika dipanggil
dengan patut masih mengabaikan putusan perceraian yang mewajibkannya
membayar nafkah „iddah dan nafkah mut‟ah dengan nominal yang sudah
ditentukan, maka demi hukum Ketua Pengadilan dapat memberikan
perintah dengan surat agar menyita benda bergerak dan benda tidak
bergerak kepunyaan mantan suami sampai dirasa cukup sebagai pengganti
jumlah uang nafkah yang dimaksudkan, terhitung sejak mantan suami
tidak memberikan nafkah sesuai Putusan pengadilan Negeri atau
Pengadilan Agama.41
41
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5b9d465106c75/jika-mantan-
suami-tidak-nafkahi-anak-sesuai-putusan-hakim/09-02-2020, 23:45.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mengenai sengketa kewenangan pengadilan agama dalam memutus
perkara Perbuatan Melawan Hukum (PMH) pada putusan Nomor
1809/Pdt.G/2016/PA.Srg, Putusan Nomor 097/Pdt.G/2017/PTA.Btn dan
Putusan Nomor 689 K/Ag/2018. penulis menyimpulkan, sebagai berikut:
1. Pertimbangan majelis hakim tingkat pertama berlandaskan pada
penjelasan Perbuatan Melawan Hukum Pasal 1365 BW bahwa
Tergugat dan Turut Tergugat memenuhi kelima unsur-unsur Perbuatan
Melawan Hukum. Berdasarkan perbuatannya Tergugat dan Turut
Tergugat patut dihukum untuk menghentikan pemotongan sepertiga
gaji pegawai kemudian bahwa apa yang telah diterima oleh Tergugat
setiap bulan dari sepertiga gaji Penggugat terhitung sejak 2012 hingga
2016 yang totalnya mencapai Rp. 97 Juta, sebagai konpensasi
pemberian nafkah mut‟ah Tergugat sehingga tidak perlu dikembalikan.
Majelis hakim tingkat banding sependapat dengan pertimbangan
Majelis Hakim Pengadilan Agama Serang. Dalam pertimbangan
majelis hakim tingkat pertama dan tingkat banding telah mewujudkan
asas keadilan yang substantif. Namun dalam penyelesaian perkara
Pengadilan Agama Serang dan Pengadilan Tinggi Agama Banten telah
keliru untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dalam
kasus ini. Setelah terjadi perubahan terhadap Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama, sehingga memperluas perkara yang masuk dalam
lingkungan Pengadilan Agama dapat memeriksa memutus dan
menyelesaikan perkara Perbuatan Melawan Hukum sebatas pada
sengketa ekonomi syariah. Permasalahan dalam perkaraini, beralas
gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang dilatar belakangi oleh
81
kehidupan Tergugat setelah bercerai dengan Penggugat
perekonomiannya menjadi sulit serta kelalaian Penggugat dalam
memberikan nafkah pasca perceraian maka Tergugat melakukan
pemotongan sepertiga gaji Penggugat setiap bulannya tanpa izin
Penggugat maupun adanya putusan pengadilan. Argumentasi Penulis
selaras dengan pertimbangan majelis hakim tingkat kasasi bahwa
perkara ini bukanlah kewenangan dari Pengadilan Agama melainkan
kewenangan absolut Pengadilan Negeri. Maka telah tepat gugatan
Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima atau N.O. Hasil dari
putusan Pengadilan Agama Serang dan Pengadilan Tinggi Agama
Banten tidak mencerminkan kepastian hukum, akibat kekeliruan
majelis hakim dalam menerima, memutus dan menyelesaikan perkara
di luar yuridiksinya. Tidak pula mencerminkan asas kemanfaatanyang
harus memberikan dan mencetus kebahagiaan bagi para pihak, jelas
pokok perkara ini harus dinyatakan tidak dapat diterima atau N.O.
2. Secara hukum positif, ketentuan hak istri pasca perceraian akibat cerai
talak, diatur secara global dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Pekawinan Pasal 41 huruf b dan c, kemudian diatur secara rinci oleh
Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 149. Jelas dengan demikian,
mantan suami wajib memberikan nafkah pasca perceraian.
Disempurnakan dengan adanya hukum Islam dalam Al-Qur‟an Surah
Al-Baqarah ayat 241. Pada putusan Pengadilan Agama Serang dan
Pengadilan Tinggi Agama Banten berdasarkan alat bukti surat serta
kesaksian dari para saksi yang telah hadir di muka persidangan,
sekalipun telah terbukti Terbanding dan Turut Terbanding telah
melakukan Perbuatan Melawan Hukum dalam pertimbangan majelis
hakim tingkat pertama dan tingkat banding telah mewujudkan asas
keadilan yang substantif, dengan menyatakan hasil pemotongan
sepertiga gaji Penggugat tidak patut dikembalikan sebagai konpensasi
nafkah mut‟ah yang makruf melihat faktor ekonomi yang sulit setelah
82
bercerai dengan Penggugat serta kelalaian yang dilakukan Penggugat
dalam membayar uang mut‟ah maupun biaya pendidikan untuk anak-
anaknya.
B. Saran-Saran
1. Secara Teoritis
Dengan adanya peraturan perundang-undangan khususnya tentang
kewenangan peradilan agama Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
perkara dengan alas gugatan Perbuatan Melawan Hukum dapat
diselesaikan oleh Pengadilan Agama sebatas pada sengketa ekonomi
syariah. Perkara ini berada di luar yuridiksi lingkungan Peradilan
Agama, dikarenakan Perkara ini merupakan kewenangan peradilan
dalam lingkungan Peradilan umum
2. Secara Praktis
a. Bagi para majelis hakim semaksimal mungkin mengusahakan
putusan harus mencerminkan kepastian hukum, keadilan dan
kemanfaatan. sehingga putusan yang dikeluarkan tersebut, nantinya
tidak menimbulkan permasalahan baru.
b. Bagi instansi Pengadilan, diharapkan untuk lebih teliti menyangkut
persoalan kewenangan yuridiksi pada masing-masing pengadilan,
supaya tidak ada kekeliruan sehingga merugikan para pihak.
83
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdullah, Erfani Aljan. Hukum Perceraian Islam Kontemporer. Yogyakarta: CV
Budi Utama, 2016.
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia,
2003.
Arto, Mukti. Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan; Penerapan
Penemuan Hukum, Ultra Petita dan Ex Officio Hakim Secara Proporsional.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018.
Fauzan, Achmad. Perundang-Undangan Lengkap tentang Peradilan Umum,
Peradilan Khusus dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: KENCANA, 2005.
Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2013.
Harahap , M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika,2004.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta : Sinar Grafika, 2018
Harahap, M. Yahya. Kedudukan, kewenangan dan acara peradilan agama;
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Jakarta : Pustaka Kartini,1997.
Jajuli, M. Sulaeman. Kepastian Hukum Gadai Tanah Dalam Islam. Yogyakarta:
Deepublish, 2015.
Karim, Muslih Abdul. Keistimewaan Nafkah Suami dan Kewajiban Istri. Jakarta :
Qultum Media, 2007.
Lubis, Amany, Dkk. Ketahanan Keluarga Dalam Perspektif Hukum Islam.
Ciputat: Pustaka Cendikiawan Muda, 2018.
Lubis,Sulaikun, dkk. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2005.
Lubis,Sulaikun, dkk. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Mappiasse, Syarif. Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim. Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015.
Margono. Asas Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum Dalam Putusan
Hakim. Jakarta: Sinar Grafika, 2019.
Munte, Hardi. Model Penyelesaiian Sengketa Administrasi Pilkada. Jakarta:
Puspantara, 2017.
Petunjuk pelaksanaan PPRI Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Izin
Perkwinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Jakarta: Beringin
Mulya, 1991.
Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo,
2013.
Santoso, Agus. Hukum, Moral, Keadilan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012.
Silalahi, Ulber. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Unpar Press, 2006.
Simanjuntak, P.N.H. Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Kencana, 2015.
Simanjuntak. Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group, 2017.
Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada,2013.
84
Suadi, Amran. Sosiologi Hukum Penegakkan, realitas dan Nilai Moralitas
Hukum. Jakarta: Kencana, 2018.
Sudarsono. Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung dan
Peradilan Tata Usaha Negera. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994.
Sunarto. Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata. Jakarta: Kencana, 2014.
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata
Dalam Teori dan Praktek. Bandung : CV. Mandar Maju, 2009.
Swantoro, Herri. Harmonisasi Keadilan dan Kepastian Dalam Peninjauan
Kembali,. Depok: Prenadamedia Group, 2017.
Syarifuddin, Muhammad, dkk. Hukum Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia,
1986.
Tutik, Titik Triwulan. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta:
Kencana Prenadmedia Group, 2008.
Wafa, Moh Ali. Hukum Perkawinan di Indonesia: Sebuah Kajian Dalam Hukum
Islam Dan Hukum Materil. Tangerang: YASMI, 2018.
Wahyudi, Muhamad Isna. Fiqh „Iddah. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009.
Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih. Hukum Acara Peradilan Agama Di
Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia, 2017.
Jurnal dan Skripsi
Afandi, Ahmad Rizal. “Analisis Yuridis Terhadap Penolakan Hakim atas Gaji
Pegawai Negeri Sipil Pasca Perceraian,” Skripsi S1 Fakultas Syariah Dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2014.
Ardiansyah, Sadad. “Sengketa Tanah Akibat Perbuatan Melawan Hukum Pasal
1365 KUH Perdata (Studi putusan Nomor: 45/1999/Pdt.G/PN.Dmk).”
Skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas Sultan Agung Semarang, 2017.
Jhon F Sipayung, Dkk, “Tinjauan Yuridis Holdingisasi BUMN Dalam Rangka
Peningkatan Kinerja Menurut Perspektif Hukum Perusahaan”, Jurnal
Hukum Ekonomi, (Feb-Mei, 2013) Vol. 1 No. 1,h., 3-4.
Malik, Muh Reyhan. “Kajian Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor
34/Pdt.G/2014 Tentang Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Yang Berakhir
Dengan Perdamaian,” Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Slamet
Riyadi Surkarta, 2016.
Sarjono, Catur Muhammad. “Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama Yang
memutuskan Sertifikat Hak Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum (Studi
Kasus Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi Nomor :
52/Pdt.G/2008/PA.TTD jo Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatra
Utara Nomor 145/Pdt.G/2008/PTA.MDN).” Skripsi S1 Fakultas Hukum,
Universitas Sumatra Utara, 2011.
Wantu, Fence M. “Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan
Dalam Putusan Hakim Di Peradilan Perdata.” Jurnal Dinamika Hukum.
Universitas Negeri Gorontalo Vol. 12 No. 3 September 2012: 484.
Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 yang telah diubah menjadi Undang-Undang
Nomor. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Pasal 2.
85
Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 50
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 49 Tahun 2009 Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum,
Pasal 50.
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Perubahan kedua Atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986, Pasal 4 ayat (1) Tentang Peradilan Umum.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 6 ayat (5).
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 7 ayat (2).
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 14, 15, 16.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 21.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan perubahan atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 41 huruf b
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 5 (1) tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri
Sipil, Pasal 8 ayat (1) dan (2).
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan,
Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara , Pasal 95 Ayat
(2).
Pasal 118 ayat (1) HIR / Pasal 142 (5) RBG.
Pasal 118 ayat (2) HIR
Pasal 118 ayat (3) HIR / Pasal 142 (5) RBG.
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 149 huruf a
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 149 huruf b
Putusan Pengadilan
Salinan putusan Pengadilan Agama Serang Nomor 1809/Pdt.G/2016/PA.Srg.
Salinan putusan Pengadilan Tinggi Agama Nomor 0097/Pdt.G/2017/PTA.Btn.
Salinan putusan Mahkamah Agung Nomor 689 K/Ag/2018.
Situs Internet
Fakultas hukum Universitas Gajah Mada, https://law.ugm.ac.id/peradilan-umum-
vs-peradilan-agama-perbuatan-melawan-hukum/berita/2016/04/4.
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt56a9cc2d21ea9/seluk-beluk-
gugatan-sederhana
Https://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt58dfeffda4621/kedudukan-hukum-
karyawan-bumn/
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5b9d465106c75/jika-mantan-
suami-tidak-nafkahi-anak-sesuai-putusan-hakim/09-02-2020,23:45.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Recommended