View
875
Download
6
Category
Preview:
Citation preview
KONSEP AKHLAK Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok pada
mata kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen : Drs.H. Dadan Nurullhaq, M,Ag.
Disusun oleh:
Aan Amilah (1211206002)
IV/A
JURUSAN PEND. MIPA PRODI PEND. BIOLOGI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmaanirrohiim.....
Alhamdulillah, segala puji bagi Tuhan semesta alam Allah SWT. Berkat
izinnya akhirnya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Solawat
serta salam juga tetap terlimpah pada sang revolusi Islam Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan sahabatnya.
Kami selaku penyusun menghaturkan terimakasih kepada rekan-rekan
yang telah membantu dalam memberikan saran dalam penyusunan makalah ini
dan membantu dalam mencari berbagai referensi sehingga akhirnya makalah ini
dapat tersusun dengan baik.
Makalah yang berjudul KONSEP AKHLAK ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang sedang mengembangkan ilmu
pengetahuannya khususnya yang berkaitan dengan judul materi ini dan besar
harapan kami dengan tersusunnya makalah ini dapat membantu para kaum muda
khususnya untuk lebih mengenal pentingnya akhlak untuk memperbaiki
kehidupan kita baik di dunia mau pun bekal kita di akhirat.
Bandung, Pebruari 2013
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................ i
Daftar Isi ....................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................... 2
C. Tujuan Pembahasan ......................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Akhlak .............................................................. 3
B. Objek Persoalan Akhlak .................................................. 6
C. Proses Terbentuknya Akhlak ........................................... 6
D. Akhlak Sebagai Kewajiban Fitriah .................................. 8
E. Tujuan Mempelajari Ilmu Akhlak .................................... 10
F. Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak ................................. 11
G. Kriteria Kemuliaan Akhlak ............................................. 15
BAB III SIMPULAN ...................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Akhlak merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar ajaran Islam yang
juga memiliki kedudukan yang sangat penting. Akhlak merupakan buah yang
dihasilkan dari proses menerapkan aqidah dan syariah. Ibarat bangunan, akhlak
merupakan kesempurnaan dari bangunan tersebut setelah fondasi dan
bangunannya kuat. Jadi, tidak mungkin akhlak ini akan terwujud pada diri
seseorang jika dia tidak memiliki aqidah dan syariah yang baik. Akhir-akhir ini
istilah akhlak lebih didominasi istilah karakter yang sebenarnya memiliki esensi
yang sama, yakni sikap dan perilaku seseorang. Nabi Muhammad SAW dalam
salah satu sabdanya mengisyaratkan bahwa kehadirannya di muka bumi ini
membawa misi pokok untuk menyempurnakan akhlak mulia di tengah-tengah
masyarakat. Misi Nabi ini bukan misi yang sederhana, tetapi misi yang agung
yang ternyata untuk merealisasikannya membutuhkan waktu yang cukup lama,
yakni lebih dari 22 tahun. Nabi melakukannya mulai dengan pembenahan aqidah
masyarakat Arab, kurang lebih 13 tahun, lalu Nabi mengajak untuk menerapkan
syariah setelah aqidahnya mantap. Dengan kedua sarana inilah (aqidah dan
syariah), Nabi dapat merealisasikan akhlak yang mulia di kalangan umat Islam
pada waktu itu.
Berbeda dengan keadaan di era sekarang, untuk menemukan manusia yang
berakhlak mulia itu sangat sulit karena sangat jarang dengan dan sesuai denngan
akhlak yang pernah Nabi ajarkan pada masyarakatt Arab dahulu. Jangankan
oranng dewasa yang tidak memiliki akhlak, anak muda pun sama halnya dengan
orang dewasa terkadanng akhlaknya kurang baik. Tidak menjadi hal yang aneh
lagi jika anak memiliki kebiasaan yang sama dengan orang tuanya karena mereka
dididik olehnya dan tidak mengetahui seberapa pentingnya berakhlakul karimah.
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dirpaparkan diatas, maka kami
merumuskan masalah itu menjadi beberapa pertanyaan, diantaranya adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan akhlak?
2. Apa yang menjadi objek persoalan akhlak?
3. Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi terbentuknya akhlak?
4. Kenapa akhlak dijadikan kewajiban fitriah?
5. Apa tujuan mempelajari ilmu akhlak?
6. Apa manfaat mempelajari ilmu akhlak?
7. Apa saja yang menjadi kriteria kemuliaan akhlak?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui apa itu akhlak.
2. Mengetahui objek persoalan akhlak.
3. Mengetaui faktor terentuknya akhlak.
4. Mengetahui mengapa akhlak dijadikan sebagai kewajiban fitriah.
5. Mengetahui tujuan mempelajari ilmu akhlak.
6. Mengetahui manfaat mempelajari ilmu akhlak.
7. Mengetahui kriteria kemuliaan akhlak.
3
BAB II
PENDAHULUAN
A. DEFINISI AKHLAK
Secara bahasa yaitu, Khuluq (perbuatan batin, budi) Khalqu (perbuatan
lahir, pekerti). Jadi Akhlak itu merupakan perbuatan batin yang memunculkan
perbuatan-perbuatan lahir, budu yang memunculkan pekerti dan berikutnya
munculah istilah yang sudah populer yaitu budi pekerti.
Makna akhlak dalam bahasa Al-Quran tercantum dalam:
QS. 26:137 “Ini hanyalah khuluq orang-orang terdahulu”.
QS. 33:21 “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu Uswatun
Hasanah bagimu. Yaitu orang yang mengharap Allah dan dari akhir, dan
dia banyak dzikrullah.
QS. 68:4 “Sesungguhnya engkau memiliki khuluq yang agung”.
QS. 4:148 “Allah tidak menyukai ucapan yang buruk yang diucapkan
dengan terus terang, kecuali oleh orang yang teraniaya”.
QS. 7:199 “Jadilah pemaaf, dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf
serta berpalinglah dari orang-orang jahil”.
Makna akhlak dalam bahasa hadits tercantum dalam:
Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia
(H.R Ahmad)
Yang paling sempurna iman seorang mukmin adalah yang paling baik
akhlaknya (H.R Turmudzi )
Umatku tidak dihitung dosanya apabila tersalah, lupa atau dipaksa (H.R
Thabrani)
Diangkat kalam dari tiga perkara, dari tidur sehingga bangun, dari yang
tidak sadar menjadi sadar dan dari anak kecil hingga dewasa (H.R Ahmad
dan Nasa’i )
4
Agama itu sangat melibatkan penggunaan akal, tidak ada agama bagi
orang yang tidak berakal (Al-Hadits)
Sesungguhnya yang dipandang baik oleh tradisi muslim, maka hal itu baik
pula dalam pandangan Allah (Al-Hadits)
Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara
keduanya ada hal-hal yang subhat, yang tidak diketahui oleh kebanyakan
manusia (Al-Hadits)
Akhlak secara istilah yaitu:
Kehendak yang dibiasakan (Menurut Ahmad Amin)
Sifat manusia yang terdidik (Abdul Hamid Yunus)
Sifat yang tertanam dalam jiwa, daripada memunculkan perbuatan-
perbuatan dengan mudah, tanpa perlu pertimbangan pikiran (Menurut A-
Ghazali)
Keadaan jiwa , yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan,
tanpa dipikirkan, tidak dipertimbangkan, (Menurut Ibnu Maskawih.
Akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan
kehendak mana berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan
pihak yang benar (dalam hal akhlak yang baik) atau pihak yang jahat
(dalam hal akhlak yang jahat).
(Menurut Dr. M Abdullah Dirroz).
Adapula istilah lain yang lazim dipergunakan dismping kata akhlak ialah
apa yang disebut Etika. Perkataan itu berasal dari bahasa Yunani “ Ethos” yang
berarti adat kebiasaan. Dalam perjalanan filsafat, etika adalah merupakan bagian
dari padanya, dimana para ahli memberikan takrif dalam redaksi yang berbeda-
beda, antara lain yang berbunyi:
a. Etika ialah ilmu tentang tingkah laku manusia prinsip-prinsip yang
disistimatisir tentang tindakan moral yang betul (Webster’s Sirct)
b. Bagian filsafat yang memperkembangkan teori tentang tindakan: hujjah-
hujjanya dan tujuan yang diarahkan kepada makna tindakkan (Ensiklopedi
Winkler prins).
5
c. Ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta tetapi tentang nilai-nilai,
tidak mengenai sifat tindakan manusia, tetapi tentang idenya, karena itu
bukan ilmu yang positif tetapi ilmu yang formatif (New American Ency).
d. Ilmu tentang moral/prinsip kaidah-kaidh moral tentang tindakan dan
kelakuan (A.S Hornby Dict).
Sesuai dengan hal-hal tersebut diatas, maka pengertian etika menurut filsafat
adalah sebagai berikut:
“Etika ialah Ilmu yang menyelidiki, mana yang baik mana yang buruk dengan
memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal
pikiran”.
Tujuan etika dalam pandangan filsafah manusia ialah mendapat ideal yang
sama bagi seluruh manusia disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku
yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal dan pikiran manusia,
akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena
pandangan masing-masing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk
mempunyai ukuran yang berlainan dan sifatnya relatif. Setiap golongan memiliki
konsepsi sendiri-sendiri.
Dalam khazanah perbendaharaan bahasa Indonesia kata yang setara
maknanya dengan akhlak selain daripada Etika ada juga yang lain yaitu moral,
nilai, dan karakter.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat lah dimengerti bahwa akhlak
adalah tabiat atau sifat seseorang, yakni keadaan jiwa yang telah terlatih, sehingga
dalam jiwa tersebut benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan
perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan dan diangan-
angankan lagi.
Maksud perbuatan yang dilahirkan dengan mudah tanpa dipikirkan lagi
disini bukan berarti bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja atau tidak
dikehendaki. Jadi perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu benar-benar sudah
merupakan “ azimah”, yakni kemauan yang kuat tentang sesuatu perbuatan, oleh
karenanya jelas perbuatan itu memang sengaja dikehendaki secara kontinyu,
6
sehingga sudah menjadi adat/kebiasaan untuk melakukannya, dan karenanya
timbul lah perbuatan itu dengan mudah tanpa dipikir lagi.
B. OBJEK PERSOALAN AKHLAK
Yang menjadi objek persoalan akhlak itu adalah qalbu manusia. Kalbu ini
memunculkan sifat-sifat kehendak-kehendak, kecenderungan untuk melakukan
suatu perbuatan dan menjadi pusat yang mengendalikan gerak seluruh anggota
badan. Sifat itu memunculkan pesan-pesan yang tidak tunggal. Sabda Nabi:
Ketahuilah dalam jasad itu ada segumpal dagingnya. Jika ia baik maka baiklah
seluruh tubuh dan jika ia buruk maka buruklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itulah
qalbu.
C. PROSES TERBENTUKNYA AKHLAK
1. Stimulus terbentuknya akhlak diawali dengan adanya stimulus-stimulus.
Stimulus berarti rangsangan, dorongan energi, yang bersifat internal atau
eksternal, yang memunculkan keinginan-keinginan. Berdasarkan referensi
yang dimiliki, suatu stimulus bisa muncul setiap saat. Kertika masuk dalam
suasana baru sebagai mahasiswa baru di hari ini pertama masuk kuliah,
disaat bubaran kuliah, saat seorang mahasiswa melangkahkan kakinya keluar
dari ruangan kelas, dengan serta merta temannya mengajak makan bakso,
katanya ada bakso enak di sudut kampus. Teman yang lainnya mengajak
keperpustakaan, bilangnya di perpustakaan banyak buku bagus yang sangat
penting untuk di baca. Teman yang lainnya mengjak ke Pasar Ujung Berung
dan teman yang lainnya mengajak ke LPTQ, atau pusat kegiatan mahasiswa
lainnya di kampus, dan yang lainnya lagi mengjak pulang langsung ke kos
untuk istirahat. Bagi mahasiswa yang dapat ajakan tadi, kesemua ajakan tadi
ternyata disukainya, sehinngga semuanya ingin dilakukan. Semua dorongan
yang tadi di sebut stimulus. Stimulus memunculkan keinginan-keinginan.
2. keinginan-keinginan. Setelah adanya stimulus tadi maka munculah
keinginan-keinginan dalam hatinya untuk melakukan kesemua itu. Semua
yang di tawarkan disukai, tapi meskipun disukai tidak mungkin semuanya
7
bisa di lakukan. Bahkan dari kesemuanya itu harus di pilih salah satu, untuk
memastiakn pilihan yang mana, maka timbulah rasa bimbang dalam dirinya.
3. Bimbang. Rasa bimbang itu muncul karena ada tuntutan untuk melakukan
satu alternatif dari banyak pilihan itu. Untuk menentukan pilihan ini
munculah kriteia dalam bentuk skala prioritas. Kekuatan menimbang-
nimbang untuk menentukan satu pilihan ini berada dalam pikiran. Pikiran
memiliki kekuatan untuk melihat, menimbang-nimbang, resiko terbaik dan
resiko terburuk dari pilihan-pilihan itu. Dengan kekuatan pikirannya maka di
ambilah satu keputusan yaitu menentukan satu alternatif pilihan.
4. Keputusan, yaitu keputusan untuk berbuat, yang disebut juga kehendak.
Menghendaki berbuat sesuatu. Kehendak disini berarti menangnya satu
keinginan diantara beberapa keinginan setelah bimbang. Mulanya bimbang
harus memilih yang mana, dan sekarang tidak lagi karena sudah ada
keputusan. Misalanya keputusan untuk menerima ajakan teman yang mau ke
perpustakaan itu. Keinginan untuk pergi ke perpustakaan itu mengalahkan
keinginan-keinginan lainnya yang muncuul bersamaan saat itu.
5. Berbuat. Setelah keputusan itu diambil, munculah kehendak, dan mulailah
berbuat. Keinginan itu menjadi kehendak, dan mewujud dalam bentuk
kecendrungan untuk berbuat. Pada titik ini, saat melangkahkan kaki
bersama-sama teman yang mau ke perpustakaan itu.
6. Sifat. Sifat itu merupakan suatu tabiat yang mewarnai diri seseorang, suatu
perbuatan yang dilakukan, kemudian dilakukan lagi, lalu semakin sering
dilakukan, sehingga menjadi biasa melakukannya, maka perbuatan itu
sekarang menjadi tabiat yang mewarnai diri yang bersangkutan. Ini disebut
juga dengan sifat, setelah berkali-kali pergi ke perpustakaan itu, pada
akhirnya menjadi kegiatan yang rutin untuk pergi ke perpustakaan. Pada titik
ini untuk pergi ke perpustakaan sudah terjadawal waktunya, dan bukan
merupakan suatu hal yang perlu di pertimbangkan lagi. Mulanya orang
berbuat ramah, dikarenakan seringnya berbuat ini, maka ia menjadi peramah.
Mulanya orang berbuat menggunjing, dan karena sering berbuatnya itu,
maka ia menjadi penggunjing. Jika seseorang itu dipengaruhi sifat-sifat
8
terpuji maka ia bisa di pandang memiliki akhlak terpuji, dan sebaliknya, jika
dirinya di pengaruhi oleh sifat-sifat tercela maka ia bisa di pandang memiki
akhlak tercela.
D. AKHLAK SEBAGAI KEWAJIBAN FITRIAH
Di dalam al-Quran ditemukan banyak sekali pokok-pokok keutamaan
akhlak yang dapat digunakan untuk membedakan perilaku seorang Muslim,
seperti perintah berbuat kebajikan (al-birr), menepati janji (al-wafa), sabar, jujur,
takut kepada Allah SWT, bersedekah di jalan Allah, berbuat adil, dan pemaaf.
Untuk sifat-sifat mulia tersebut bisa dibaca QS. al-Baqarah (2):177; QS.
al- Mu’minun (23): 1–11; QS. al-Nur (24): 37; QS. al-Furqan (25): 35–37; QS. al-
Fath (48): 39; dan QS. Ali ‘Imran (3): 134. Ayat-ayat ini merupakan ketentuan
yang mewajibkan pada setiap orang Islam untuk melaksanakan nilai akhlak mulia
dalam berbagai aktivitas kehidupannya.
Keharusan menjunjung tinggi akhlak karimah lebih dipertegas lagi oleh
Nabi SAW. dengan pernyataan yang menghubungkan akhlak dengan kualitas
kemauan, bobot amal, dan jaminan masuk surga. Sabda Nabi SAW: “Sebaik-baik
kamu adalah yang paling baik akhlaknya”. (HR. al-Tirmidzi).
Dalam hadits yang lain Nabi SAW menegaskan:
“Sesungguhnya orang yang paling cinta kepadaku di antara kamu sekalian dan
paling dekat tempat duduknya denganku di hari kiamat adalah yang terbaik
akhlaknya di antara kamu sekalian ”. (HR. Al-Tirmidzi).
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa akhlak Islam bukan hanya hasil
pemikiran dan tidak berarti lepas dari realitas hidup, melainkan merupakan
persoalan yang terkait dengan akal, ruh, hati, jiwa, realitas, dan tujuan yang
digariskan oleh akhlak Quraniah (Ainain, 1980: 186). Dengan demikian, akhlak
mulia merupakan sistem perilaku yang diwajibkan dalam agama Islam melalui
nash al-Quran dan hadits. Namun demikian kewajiban yang dibebankan pada
manusia bukanlah kewajiban yang tanpa makna dan keluar dari dasar fungsi
9
penciptaan manusia. Al-Quran telah menjelaskan masalah kehidupan dengan
penjelasan yang realistis, luas, dan juga telah menetapkan pandangan yang luas
pada kebaikan manusia dan zat nya. Makna penjelasan itu adalah agar manusia
terpelihara kemanusiaannya dengan senantiasa di didik akhlaknya, diperlakukan
dengan pembinaan yang baik bagi hidupnya, dikembangkan perasaan
kemanusiaan dan sumber kehalusan budinya.
Dalam kenyataan hidup memang kita temui ada orang yang berakhlak
karimah dan juga sebaliknya. Ini sesuai dengan fitrah dan hakikat sifat manusia
yang bisa baik dan bisa buruk (khairun wa syarrun). Inilah yang ditegakkan al-
Quran dalam firman-Nya:
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya,” (QS. al-Syams [91]: 8).
Manusia telah diberi potensi untuk bertauhid (QS. al-Rum [30]: 30), maka
tabiat asalnya berarti baik, hanya saja manusia dapat jatuh pada keburukan karena
memang diberi kebebasan memilih (QS. al-Taubah [9]: 7–8 dan QS. al-Kahfi
[18]: 27). Dalam surat al-Kahfi Allah SWT. berfirman: “Dan katakanlah:
"Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir". (QS. al-Kahfi [18]: 29).
Baik atau buruk bukan sesuatu yang mutlak diciptakan, melainkan
manusia dapat memilih beberapa kemungkinan baik atau buruk. Namun walaupun
manusia sudah terjatuh dalam keburukan bisa bangkit pada kebaikan kembali dan
bisa bertaubat, dengan menghitung apa yang telah dipetik dari perbuatannya.
Kecenderungan manusia pada kebaikan terbukti dalam kesamaan konsep
pokok akhlak pada setiap peradaban dan zaman. Perbedaan perilaku pada bentuk
dan penerapan yang dibenarkan Islam sebagai hal yang ma’ruf (Shihab,
1996:255). Tidak ada peradaban yang menganggap baik seperti tindak
kebohongan, penindasan, keangkuhan, dan kekerasan. Sebaliknya tidak ada
peradaban yang menolak keharusan menghormati kedua orang-tua, keadilan,
kejujuran, pemaaf sebagai hal yang baik. Seorang sahabat Nabi SAW, Wabishah
10
bin Ma’bad, bertanya tentang albirr kepada Nabi SAW, lalu Nabi SAW bersabda:
“Engkau datang menanyakan kebaikan?” “Benar, Wahai Rasul”, jawab Wabishah.
Tanyailah hatimu! “Kebajikan adalah sesuatu yang tenang dalam jiwa, yang
tentram dalam hati sedang dosa yang mengacaukan hati dan dada, walaupun
setelah orang memberi fatwa.” (HR. Ahmad dan al-Darimi).
Syeikh Muhammad Abduh ketika menfsirkan QS. al-Baqarah (2): 286
menjelaskan bahwa kebaikan dikaitkan dengan kasaba, sedang keburukan
dikaitkan dengan iktasaba. Ini menandakan bahwa fitrah manusia pada dasarnya
adalah cenderung kepada kebaikan, sehingga manusia dapat melakukan kebaikan
dengan mudah. Berbeda dengan keburukan, yang akan dikerjakan dengan susah
payah, goncang, dan kacau. Dengan demikian, akhlak telah melekat dalam diri
manusia secara fitriah.
Dengan kemampuan fitriah ini ternyata manusia mampu membedakan
batas kebaikan dan keburukan, dan mampu membedakan mana yang tidak
bermanfaat dan mana yang tidak berbahaya (al-Bahi, 1975: 347).
E. TUJUAN MEMPELAJARI ILMU AKHLAK
Ilmu akhlak itu dipelajari dengan tujuan agar bisa memahami pola-pola berakhlak
dan memiliki akhlak terpuji.
1. Memahami pola berakhlak, yaitu memahami konsep terpuji dan tercela:
a Memahami pola qalbu yang bersih, yang memunculkan sifat bersih, pola
perbuatan yang bersih.
b Memahami pola qalbu yang kotor, yang memunculkan sifat kotor pola
perbuatan yang kotor.
2. Memiliki sifat terpuji yaitu akhlaknya terpuji. Memiliki qalbu yang bersih, yang
memunculkan sifat bersih, dan perbuatan-perbuatan yang bersih.
a Berakhlak seperti akhlak dalam al-Quran (pesan-pesan moral di al-Quran)
b Berakhlak seperti akhlak Rasullaulah (uswah hasanah dari al-Quran)
c Berakhlak seperti akhlak Allah (asma al husna dalam al-Qurnan).
11
F. MANFAAT MEMPELAJARI ILMU AKHLAK
Orang yang berakhak karena bertakwa kepada Tuhan semata-mata, maka dapat
menghasilkan kebahagiaan, antara lain:
a. Mendapat tempat yang baik di dalam masyarakat
b. Akan disenangi orang dalam pergaulan
c. Akan dapat terpelihara dari hukuman yang sifatnya manusiawi dan sebagai
makhluk yang diciptakan oleh Tuhan
d. Orang yang bertakwa dan berakhlak akan mendapatkan pertolongan dan
kemudahan dalam memperoleh keluhuran, kecukupan dan sebutan yang baik.
e. Jasa manusia yang berakhlak mendapat perlindungan dari segala penderitaan
dan kesukaran.
Dr. Hamzah Ya’cub menyatakan bahwa hasil atau hikmah dan faedah dari
akhlak, adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan derajat manusia
Tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk meningkatkan kemajuan
manusia di bidang rohaniah dan bidang mental spiriual. Antara orang yang
berilmu pengetahuan tidaklah sama derajatnya dengan orang yang tidak
berilmu pengetahuan. Orang yang berilmu secara praktis derajatnya lebih
tinggi. Hal ini diterjemahkan dalam al-Quran surat (Az-Zumar: 9) yang
artinya “Katakanlah (hai Muhammad): adalah sama orang-orang yang
berilmu pengetahuan dengan orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan?
Sesungguhnya orang-orang yang berusahalah yang dapat menerima
pelajaran”.
Dengan demikian, tentulah orang-orang yang tidak mempunyai
pengetahuan dalam ilmu akhlak lebih utama daripada orang yang tidak tahu
ilmu akhlak.
b. Menuntun kepada kebaikan
Ilmu akhlak bukan sekedar memberitahukan mana yang baik dan
mana yang buruk, melainkan juga mempengaruhi dan mendorong kita supaya
membentuk hidup yang suci dengan memproduksi kebaikan dan kebajikan
yang mendatangkan manfaat bagi manusia.
12
Memanglah benar tidak semua manusia dapat dipengaruhi oleh ilmu
itu serempak dan seketika menjdi baik. Akan tetapi kehadairan ilmu akhlak
mutlak diperukan laksana kehadiran dokter yang berusaha menyembuhkan
penyakit. Dengan advis yang diberikan dokter, dapatlah orang sakit
menyadari cara-cara yang perlu ditempuh untuk memulihkan kesehatanya.
Demikian ilmu akhlak memberikan advis pada yang mau
menerimanya tentang jalan-jalan membentuk pribadi mulia yang dihiasi oleh
akhlakul karimah.
c. Manifestasi kesempurnaan iman
Iman yang sempurna akan melahirkan kesempurnaan akhlak. Dengan
kata lain bahwa keindahan akhlak adalah manifestasi daripada kesempurnaan
iman. Sebaliknya tidaklah dipandang orang itu beriman dengan sungguh-
sungguh dengan akhlaknya buruk.
Dengan hubungan ini Abu Hurairah meriwayatkan penegasan
Rasulaullah SAW. “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah
yang terbaik akhlaknya. Dan sebaik-baik diantara kamu ialah yang terbaik
kepada isterinya”. (H.R. At-Turmuzi).
Untuk menyempurnakan iman, haruslah menyempurnakan akhlak dengan
mempelajari ilmunya sebagai suluh.
Keutamaan di hari kiamat disebutkan dalam berbagai hadits bahwa
Rasulaullah SAW menerangkan orang-orang yang berakhlak luhur akan
menempati kedudukan yang terhormat di hari kiamat. Abu Umamah Al-
Bahili RA. Berkata: Rasulaullah SAW bersabda:
“Saya dapat menjamin satu rumah dikebun surga untuk orang yang
maeninggalkan perdebatan, meskipun ia benar. Dan menjamin satu rumah
dipertengahan surga bagi orang yang tidak berdusta meskipun bergurau.
Dan menjamin satu rumah di bagian yang tinggi dari surga bagi orang yang
baik budi pekertinya”. (H.R. Abu Dawud).
13
d. Kebutuhan pokok dalam keluarga
Sebagaimana makanan, minuman, pakaian dan perumahan merupakan
kebutuhan material yang primer dalam suatu keluarga, maka akhlak adalah
kebutuhan primer dari segi moral. Akhlak merupakan faktor mutlak dalam
menegakan keluarga sejahtera.
Keluarga yang tidak dibina dengan tonggak akhlak yang baik, tidak
akan dapat berbahagia, sekalipun kekayaan materinya melimpah ruah.
Sebaliknya terkadang suatu keluarga dengan serba kekurangan dalam
ekonomi rumah tangganya namun dapat berbahagia karena faktor akhlak
tetap dipertahankan sepeti apa yang tercermin dalam rumah tangga
Rasulaullah SAW. Akhlak yang luhur itulah yang mengharmonisasikan
rumah tangga, menjalin cinta dan kasih sayang semua pihak. Segala
tantangan dan badai rumah tangga yang sewaktu-waktu datang melanda,
dapat dihadapi dengan rumus-rumus akhlak.
Tegasnya, akan meranalah rumah tangga yang tidak dihiasi dengan
akhlakul karimah dan bahagialah rumah tangga yang dirangkum dengan
keindahan akhlak.
e. Membina kerukunan antar tetanngga
Dimulai dari lingkungan keluarga kita meningkat kepada lingkungan
yang lebih luas bahkan hubungan antar tetangga, mutlak diperlukan akhlak
yang baik. Pergaulan yang baik ini lah buah dari akhlakul karimah.
Membina tetangga sangat penting, sebab tetangga adalah sahabat yang
paling dekat. Bahkan dalam sabdanya Nabi SAW. menjelaskan: “Tidak henti-
hentinya Jibril menyuruhku untuk berbuat baik pada tetangga, hingga aku
merasa tetangga sudah seperti ahli waris”. (HR. al-Bukhari). Bertolak dari
hal ini Nabi SAW. memerinci hak tetangga sebagai berikut: “Mendapat
pinjaman jika perlu, mendapat pertolongan kalau minta, dikunjingi bila sakit,
dibantu jika ada keperluan, jika jatuh miskin hendaknya dibantu, mendapat
ucapan selamat jika mendapat kemenangan, dihibur jika susah, diantar
jenazahnya jika meninggal dan tidak dibenarkan membangun rumah lebih
tinggi tanpa seizinnya, jangan susahkan dengan bau masakannya, jika
14
membeli buah hendaknya memberi atau jangan diperlihatkan jika tidak
memberi”. (HR. Abu Syaikh).
Pentingnya akhlakul karimah disini cukup jelas, karena betapa
banyaknya lingkungan yang gaduh karena tidak mengindahkan kode etika.
Islam mengajarkan agar antar tetangga dibangun jembatan emas berupa
silaturahmi, mahabbah dan mawaddah. Nabi dengan telitinya memperhatikan
masalah ini sampai-sampai beliau anjurkan, jangan merasa malu
menghadiahkan kepada tetangga sekalipun hanya berupa kaki kambing atau
kuah gulai.
f. Untuk mensukseskan pembangunan bangsa dan negara
Akhlak adalah faktor mutlak bagi nation dan caracter building. Suatu
bangsa atau negara akan jaya, apabila warga negaranya/masyarakatnya
berakhlak mulia. Sebaliknya negara akan hacur jika warganya terdiri dari
orang-orang yang bejat akhlaknya.
g. Dunia betul-betul membtuhkan akhlakul karimah
Dari dulu sampai sekarang dunia selalu penuh dengan orang-orang
yang baik dan orang-orang yang jahat. Di mana-mana tempat di dunia ini
kedua kelompok tersebut selalu ada sekalipun jumlahnya berbeda-beda.
Jika dunia ditangani para Nabi dan Rasul serta ahli hikmah seolah-
olah dunia tersenyum gembira, dunia damai dan tenang. Karena mereka
selalu menggemakan pannggilan akhlakul karimah, menyeru umat manusia
memiliki panggilan pribadi yang baik lagi luhur.
Sebaliknya dunia ini selalu ada dalam kerusuhan, pertentangan dan
permusuhan sampai mengalirkan darah. Kita lihat dalam sejarah yang lalu
telah terjadi perang dunia sampa dua kali. Bahkan sekarang manusia cemas
dan diliputi kekhawatiran akan adanya peranng dunia ketiga. Kita lihat negara
super power berlomba-lomba membuat senjata yang sewaktu-waktu dapat
memusnahkan manusia.
Jika seandainya pemimin-pemimpin suatu negara terdiri dari orang-
orang yang tidak berakhlak yang baik, maka mereka kolonialisme yang tentu
akan merusak hidup sekitarnya, sebagaimana dilukiskan dalam al-Quran
15
riwayat tentang Ratu Bilqis ketika bertanya tentang keadaan Nabi Sulaiman
As. Yang artinya:
“ Dia berkata: Sesunngguhnya raja-raja itu apabila memasuki suatu negeri:
niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan pendududknya yang
mulia menjadi hina dan demikian mereka pulalah yang akan mereka
perbuat”. (Q.S. An-Naml: 34).
G. KRITERIA KEMULIAAN AKHLAK
Kultur saat ini dan para humanis mengklaim bahwa setiap orang, karena ia
manusia, mempunyai nilai alami kemuliaan, sekalipun misalnya ia pernah
melakukan pembunuhan dan kejahatan. Berbeda dengan Islam yang memandang
ada dua jenis kemuliaan, yaitu: kemuliaan umum, yakni bahwa setiap manusia
tanpa peduli apa perilakunya memiliki kemuliaan. Kemuliaan jenis ini adalah
kemuliaan ciptaan yang memang Allah SWT telah menjadikan manusia sebagai
ahsani-taqwim (QS. al-Tin [95]: 4). Kemuliaan yang dimiliki manusia ini adalah
karena manusia diberi akal pikiran sedang makhluk yang lain tidak. Demikian
pula Allah dengan tegas sudah menyatakan kemuliaan bani Adam dengan firman-
Nya “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan
makhluk yang telah Kami ciptakan”. (QS. al-Isra’ [17]: 70). Jenis kemuliaan
yang kedua adalah kemuliaan yang dicapai dan dijangkau dengan kehendak dan
pilihan bebas manusia. Di sinilah manusia akan dinilai siapa yang paling baik dan
berlomba-lomba untuk beramal kebajikan. Dalam kemuliaan jenis ini manusia
tidak semuanya sama. Bahkan jika seseorang tidak berusaha dan mengerjakan
amal kebajikan bisa terjatuh derajatnya sedemikian rupa menjadi lebih rendah dari
binatang. Terkait dengan hal ini, Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya
Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia,
mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-
ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi)
16
tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang
lalai.” (QS. al-A’raf [7]: 179).
Kemuliaan seseorang dengan demikan akan sangat ditentukan oleh kerja
kerasnya untuk senantiasa melaksanakan kebajikan dan juga ditentukan oleh
kualitas amaliahnya. Dan dalam wilayah akhlak, kualitas tidak bisa hanya diukur
dari bentuk dan wujud perilaku lahiriahnya saja. Sebab prinsip akhlak memang
universal, tetapi dalam aplikasinya sangat fleksibel. Sebagai contoh sifat terus
terang adalah prinsip akhlak yang tidak dapat dipertengkarkan kebenaran dan
kebaikannya, namun dalam kasus tertentu (yang membahayakan jiwa, hak milik
dan posisi seseorang) dapat diabaikan. Pengabaian sifat terus terang dengan
perilaku lain yang menunjukan ketidakterusterangan tidak dapat langsung
dikatakan si pelakunya tidak menjunjung kemuliaan akhlak, asal dalam
perilakunya dalam menjalankannya ada alasan yang kuat bagi eksistensi
kemanusiaan (Muslim Nurdin dkk., 1995: 211).
Menurut Misbah (1996:146) ada tiga tolok ukur untuk menilai amal perbuatan
manusia.
Pertama, dapat dilihat dari efek yang terjadi pada perilaku berupa
kesempurnaan rohani dan pikiran manusia. Jika suatu perbuatan hanya dilihat
wujudnya dan tidak menyebabkan kesempurnaan kualitas rohaniahnya, maka itu
tidak bernilai bagi kebajikan manusia. Tubuh yang sehat bernilai bagi manusia
jika digunakan untuk kemajuan rohani dan inteleknya, dan dianggap tidak bernilai
jika disalahgunakan untuk menyakiti orang lain. Demikian pula sifat berani
seseorang baru disebut mulia jika digunakan dijalan kesempurnaan spiritual dan
intelektual manusia dan demi mendapatkan keridoan Allah. Dengan demikian
kemuliaan akhlak seseorang akan sangat ditentukan oleh efek spiritual bagi
pelakunya, artinya jika setelah orang itu menjalankan akhlak dan orang tersebut
menjalankannya didasari untuk mencari karidoan Allah SWT dan didorong untuk
meningkatkan kualitas spirituanya, maka akhlaknya telah memenuhi kriteria ini.
Dengan bahasa lain niat perilakunya harus benar-benar untuk mencari keridoan
Allah SWT.
17
Kedua, pada tolok ukur yang pertama kunci dasarnya pada kedekatan
(pencarian ridho Allah SWT), kedekatan dengan Allah SWT adalah dalam
pengertian penghormatan dan formalitas, yakni adanya kedekatan hubungan
antara pelaku akhlak dengan Allah SWT, sehingga setiap seseorang memohon
(berdoa), Allah SWT akan memperhatikan dan sebaliknya jika Allah SWT
memerintahkan ia pun memperhatikan dan melaksanakannya dengan senang hati.
Oleh karena itu, kesempurnaan akhlak manusia jika diamalkan dapat
mengarahkan pada pencapaian kedekatan dengan Allah SWT yang dicapai
dengan ikhtiar dan usaha.
Ketiga, kita ketahui bahwa Allah SWT bukanlah wujud fisik, sehingga
kebenaran kedekatan pada Allah SWT adalah pada kedekatan batin dan intuitif,
dan pencapaian hubungan eksistensial dengan-Nya. Dengan pertimbangan ini
maka yang berperan utama dalam pendekatan manusia dengan Allah SWT.
Adalah kemampuan manusia untuk melihat dan menyaksikan dengan hatinya.
Hubungan sukarela yang ditegakkan antara hati manusia dengan Allah SWT
adalah dengan sarana perhatian kepada Allah SWT. Perhatian kepada Allah dalam
hal ini tidak lain adalah dzikrul qalbi. Bila perhatian dan mengingat Allah SWT.
Dijadikan sumber bagi perilaku, ini dinilai sebagai niat. Dengan demikian tolok
ukur ketiga ini menekankan bahwa akhlak itu akan menjadi amal mulia jika dalam
melaksanakannnya benar-benar mendorong orang tersebut lebih mengingat dan
berdzikir kepada Allah SWT. Dari dorongan dzikir inilah yang kemudian akan
tumbuh kekuatan rohani untuk menentukan arah tindakan perilaku dan memberi
bobot nilai kualitas akhlak.
Kriteria kemuliaan akhlak yang merupakan cerminan dari prinsip ihsan
juga dituntut untuk memenuhi konsep dasar yang tercermin dari makna ihsan.
Ihsan sebagaimana telah dijelaskan dalam bab kerangka dasar ajaran Islam,
mengandung dua ajaran/rukun yang menjadi pangkal kebaikan, yaitu muraqabah
dan muhasabah. Muraqabah berarti senantiasa merasa mendapatkan pengawasan
dari Allah SWT. Perasaaan ini muncul dari kedekatan dengan Allah SWT. Yang
dimanifestasikan dengan dzikir. Dengan kata lain seseorang akan dapat
meningkatkan kualitas amalnya dengan menghadirkan Allah SWT di dalam
18
hatinya. Muhasabah adalah upaya seseorang untuk menghitung amalnya, apakah
benar-benar telah memenuhi kriteria kemuliaan atau bahkan menyimpang dan sia-
sia. Apakah amalnya untuk hari ini lebih baik dari amalnya hari kemarin atau
bahkan lebih jelek sehingga rugi dan terjatuh dalam laknat Allah SWT. Dengan
prinsip muhasabah maka baik dan buruk perilaku seseorang ditentukan dengan
kesesuainnya dengan kriteria amal kebaikan yang harus dihitung dan ditimbang
secara terus menerus.
19
BAB III
SIMPULAN
Dari pembahasan materi konsep akhlak di atas, maka dapat disimpulkan
menjadi beberapa poin kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
1. Akhlak adalah tabiat atau sifat seseorang, yakni keadaan jiwa yang telah
terlatih, sehingga dalam jiwa tersebut benar-benar telah melekat sifat-sifat
yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa
dipikirkan dan diangan-angankan lagi.
2. Objek persoalan akhlak itu adalah qalbu manusia
3. Faktor yang mempengaruhi terbentuknya akhlak yaitu:
Stimulus
keinginan-keinginan
Bimbang
Keputusan
Berbuat
Sifat
4. Akhlak mulia merupakan sistem perilaku yang diwajibkan dalam agama
Islam melalui nash al-Quran dan hadits, fitrah manusia pada dasarnya adalah
cenderung kepada kebaikan, sehingga manusia dapat melakukan kebaikan dengan
mudah. Dengan kemampuan fitriah ini ternyata manusia mampu membedakan
batas kebaikan dan keburukan, dan mampu membedakan mana yang tidak
bermanfaat dan mana yang tidak berbahaya.
5. Ilmu akhlak itu dipelajari dengan tujuan agar bisa memahami pola-pola
berakhlak dan memiliki akhlak terpuji.
6. Manfaat mempelajari ilmu akhlak antra lain yaitu:
Mendapat tempat yang baik di dalam masyarakat
Akan disenangi orang dalam pergaulan
Akan dapat terpelihara dari hukuman yang sifatnya manusiawi dan sebagai
makhluk yang diciptakan oleh Tuhan
20
Orang yang bertakwa dan berakhlak akan mendapatkan pertolongan dan
kemudahan dalam memperoleh keluhuran, kecukupan dan sebutan yang
baik.
Jasa manusia yang berakhlak mendapat perlindungan dari segala
penderitaan dan kesukaran.
7. Kriteria kemuliaan akhlak dapat dilihat melalui kerja kerasnya untuk
senantiasa melaksanakan kebajikan dan juga ditentukan oleh kualitas
amaliahnya.
DAFTAR PUSTAKA
A.H. Mustofa. 1997. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia
Marzuki. 2012. Pendidikan Agama Islam. Yogyakata: GPL Gostscript 861 PDF
Dadan Nurulhaq. Wildan Baihaqi. 2010. Ilmu Akhlak/Tasawuf. Bandung: Kati Berkat Press.
http://infokito.net/index.php/Ensiklopedia-AKHLAK
http://mahdymaulanamarsahid.blogspot.com/2011/03/ciri-ciri-akhlak-islam.html
http://sites.google.com/site/khazalii/4udi2052akhlakdalamislam
http://hanifahara.blogspot.com/2011/03/ciri-ciri-akhlak-iaslamiyah.html
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2118206-tujuan-akhlak/#ixzz1ZmOhGHoE
Recommended