Krisis Di Dunia Pendidikan Islam Dewasa Ini (Sri Susmiyati)

Preview:

DESCRIPTION

Makalah

Citation preview

Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan kunci utama bagi bangsa yang ingin maju dan unggul dalam

persaingan global. Pendidikan adalah tugas negara yang paling penting dan sangat strategis.

Sumber manusia yang berkualitas merupakan prasyarat dasar bagi terbentuknya peradaban

yang lebih baik dan sebaliknya, sumber manusia yang buruk akan menghasilkan peradaban

yang buruk. Melihat realitas pendidikan pendidikan di negeri ini masih banyak masalah dan

jauh dari harapan. Bahkan jauh tertinggal dari Negara-negara lain. Menjadi bangsa yang maju

tentu merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh setiap negara di dunia. Salah satu faktor

yang mendukung bagi kemajuan adalah pendidikan. Begitu pentingnya pendidikan, sehingga

suatu bangsa dapat diukur apakah bangsa itu maju atau mundur, sebab pendidikan merupakan

proses mencetak generasi penerus bangsa. Apabila output dari proses pendidikan ini gagal

maka sulit dibayangkan bagaimana dapat mencapai kemajuan.

Peran pendidikan sangatlah penting dan fundamental dalam tatanan kehidupan manusia,

bahkan tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan proses kehidupan manusia. Dengan kata lain,

kebutuhan manusia terhadap pendidikan bersifat mutlak dalam kehidupan pribadi, keluarga

dan masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam pasal 3 Undang-Undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 menyebutkan1, “Pendidikan

nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang

bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Jika sistem  pendidikanya berfungsi secara optimal maka akan tercapai kemajuan yang

dicita-citakanya sebaliknya bila proses pendidikan yang dijalankan tidak berjalan secara baik

maka tidak dapat mencapai kemajuan yang dicita-citakan.

1 Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Bandung: PT. Imperial Bhakti Utama, Hlm 12

1

Betapapun terdapat banyak kritik yang dilancarkan oleh berbagai kalangan terhadap

pendidikan, atau tepatnya terhadap praktek pendidikan, namun hampir semua pihak sepakat

bahwa nasib suatu komunitas atau suatu bangsa di masa depan sangat bergantung pada

kontibusinya pendidikan. misalnya sangat yakin bahwa pendidikanlah yang dapat

memberikan kontribusi pada kebudayaan di hari esok. Pendapat yang sama juga bisa kita

baca dalam penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2003

tentang sistem pendidikan Nasional (UU No. 20/2003), yang antara lain menyatakan:

“Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar

manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran atau cara lain

yang dikenal dan diakui oleh masyarakat”.

Pendidikan Islam tentu juga masuk dalam tatanan Pendidikan Nasional disini,

Sebenarnya antara Pendidikan Islam dan umum tidak ada bedanya sepanjang pendidikan

dikembalikan atau diluruskan kembali kepada pakem pendidikan Indonesia yang digariskan

oleh Ki Hajar Dewantara2. Jadi pendidikan itu harus membentuk lahir dan batin manusia

menjadi kian beradab (tinggi sopan dan santunnya), kian terasah otaknya dalam

mengantisipasi tantangan zamannya, maupun berperilaku mulia karena dirinya terdidik atau

terbiasa menjalani budaya hidup serba taat dan tertib aturan.

Pendidikan Islam sendiri merupakan salah satu bidang studi Islam yang mendapat

banyak perhatian dari para Ilmuan. Hal ini karena di samping perannya yang amat strategis

dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia, juga karena didalam Pendidikan Islam

terdapat berbagai masalah yang kompleks dan memerlukan penanganan segera. Bagi mereka

yang akan terjun ke dalam bidang Pendidikan Islam harus mimiliki wawasan yang cukup

tentang Pendidikan Islam, tak cukup itu saja kemampuan untuk mengembangkannya sesuai

tuntutan zaman.

Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan

jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia

untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk

menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.

Sejalan dengan itu, pendidikan pada hakekatnya adalah suatu proses manusia atau

peserta didik secara sadar, manusiawi yang terus-menerus agar dapat hidup dan berkembang

2 Moh Yamin, Menggugat pendidikan Indonesia: belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara,

Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, Hlm 195

2

sebagai manusia yang sadar akan kemanusiannya. Demikian pula kesadaran serta

kemampuan melaksanakan tugas dan fungsi kehidupan yang diembannya dengan penuh

tanggung jawab.

Tujuan utama dalam Pendidikan Islam itu sejalan dengan aliran-aliran modern dalam

dunia pendidikan dewasa ini, dimana Islam telah menghargai ilmu dan ulama’, mengangkat

kedudukan ilmu sampai ke tingkat peribadatan, terutama pendidikan rohani, kemerdekaan

dan budi pekerti. Islam menyerukan adanya kemerdekaan, persamaaan dan kesempatan yang

sama antara sikaya dan si mikin dalam bidang pendidikan.

Tidaklah berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa prinsip-prinsip pendidikan modern

yang mulai didengungkan pada pertengahan abad ke-20, yang sampai sekarang Negara-

negara modern belum mampu untuk melaksanakan sepenuhnya. Namun, Islam telah

melaksanakannya dengan Pendidikan Islam-nya di Zaman keemasannya. Ratusan tahun

sebelum dicetuskannya system pendidikan tersebut. Diantara prinsip-prinsip yang ideal di

dalam Pendidikan Islam itu yakni Mengajarkan berfikir bebas dan berdiri sendiri dalam

belajar, kemerdekaan dan demokrasi dalam mengajar, sistem belajar, secara perseorangan,

perhatian terhadap perbedaan-perbedaan individu anak-anak dalam memberikan pelajaran

dan mengajar, perhatian terhadap bakat dan kesediaan fitrah dari anak didik, serta menguji

kecakapan mereka, berbicara pada mereka sesuai dengen akalnya, ditingkat yang lebih tinggi

prinsip-prinsip tersebut tercermin pada diskusi-diskusi ilmiah, debat, beretorika dengan

cakap, mengadakan penelitian dan mengajar sejak dari ayunan sampai ke liang lahat.3 Sudah

menjadi catatan sejarah bahwa Islam (di masa keemasannnya) dengan pendidikannya pernah

mendominasi dunia dengan kualitas keilmuan yang mencakup berbagai bidang. Begitu

meluas dan besarnya perhatian Islam terhadap Pendidikan pada masa itu. Pendidikan Islam

menjadi kiblat utama dalam berbagai referensi dan disiplin keilmuan.

Kini, berada dimanakah posisi dunia Pendidikan Islam? Banyak sekali jawaban

mengenai hal ini, baik secara langsung maupun tak langsung. Jawaban yang telontar pun

beragam, sesuai dari perspektif mana pertanyaan tersebut ditanyakan.

Dalam arena kehidupan masyarakat yang dipetakan oleh para ahli sebagai suatu

kesuraman dan kekusutan karena berbagai dampak iptek yang mengerosi nilai-nilai seluruh

bidang-bidang kehidupan, maka apa dan bagaimana lembaga-lembaga Pendidikan Islam pada

khususnya dan lembaga pendidikan pada umumnya harus berperan yang paling baik ? Inilah

3 M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan bintang, 1990, Hlm xiii3

pertanyaan yang layak diajukan kepada umat Islam yang kedudukannya sebagai umat  di

tengah-tengah masyarakat.

Pendidikan baru dari berbagai disiplin keilmuan yang dilakukan secara integralistik amat

diperlukan, untuk mendorong Pendidikan Islam yang mampu menghadapi masyarakat

teknologi masa depan yang makin teknologis.

Self kritik terhadap kondisi Pendidikan Islam masa kini antara lain di lontarkan oleh

Prof.Dr.Fadhil al-Djamaly yang menyatakan sebagai berikut 4:

“ Dunia Islam yang sedang dilanda kemunduran dan keterbelakangan, kemiskinan, serta ketinggalan iptek, tidak dapat diatasi dengan mengimpor system pendidikan barat yang tidak sesuai dengan aspirasi bangsa-bangsa Islam.Sistem dari luar itu hanya lebih mementingkan kulit daripada isi dan mutiara: juga hanya lebih mementingkan kualitas daripada kuantitas: tidak pula sesuai dengan makna dan cita-cita anak didik dalam proses pengembangan kemampuan pembawaanya.Oleh karena itu, system tersebut tidak dapat memecahkan permasalahan Negara yang sedang  membangun bahkan bahkan seringkali menimbulkan permasalahan-permasalahan baru bagi masyarakat yang menerapkan system itu.”

Selain kritik diatas, Syed Muhammad Al-Naquib Al Attas5 juga memaparkan bahwa : “Pendidikan Islam telah kehilangan “Spirit of inquiry” yaitu hilangnya semangat membaca dan meneliti yang dulu menjadi supremasi utama dunia Pendidikan Islam pada zaman klasik pertengahan”

Dari kritik tersebut pembahas dapat menangkap bahwa, kekinian dunia Pendidikan Islam

telah mengalami kemunduran, kemunduran-kemunduran yang membebal tersebut kemudian

menjadi krisis yang secara tak langsung terpupuk. Krisis tersebut tentu berimbas pada

perkembangan dan gerakan roda perjalanan Islam yang mau tak mau menghadapi masa kini

dan masa mendatang, tentunya. Meskipun tidak semua aspek yang ada dan menyangga

Pendidikan Islam mengalami krisis, namun rasanya kekurangan yang ada dalam Pendidikan

Islam yang ada sekarang perlu ada penanganan serius.

4 H.M. Arifin, Kapita selekta pendidikan (Islam dan Umum), Jakarta: Bumi Aksara, 2008, Hlm 36

5 Prof. DR. Syed Muhammad Al-Naquib al-Attas, yang selanjutnya akan disebut dengan Al-Attas, dilahirkan di Bogor. Jawa Barat, 5 September 1931, yang merupakan adik kandung dari Prof. DR. Syed Hussein Al-Attas, seorang ilmuan dan pakar sosiologi pada Universitas Malaya, Kuala Lupmur, Malaysia. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah Al-Attas yang berasal dari Saudi Arabia dengan silsilah dari keturunan ulama dan ahli tasawuf yang sangat terkenal dari kelompok sayyid, sedangkan ibunya bernama Syarifah Raguan Al-Idrus dari keturunan kaum ningrat, berdarah biru dari kerajaan Sunda Sukapurah Jawa Barat dengan semangat religius yang sangat kental dan mendalam.

4

Pembahas akan mencoba menelusuri Krisis apa yang sedang terjadi dalam dunia

Pendidikan Islam, Melalui pendekatan, historis-filosofis, Pembahasan ini mencoba menguak

historisitas epistemologis pendidikan Islam pada masa keemasan dalam rangka

mengeksposisi perubahan, pergeseran, dan kristalisasi  struktur tipologisnya, serta konteks

historisnya. Serta mencoba merumuskan solusi dari krisis tersebut dengan perspektif yang di

nukil dari teori Al-Ghazali. Adapun judul dari pembahasan ini adalah “Krisis di dunia

Pendidikan Islam dewasa ini, Reaktualisasi Konsep Pemikiran Pendidikan Islam al-

Ghazali”

B. Rumusan Masalah

Dari sedikit pemaparan diatas, pembahas memetakan rumusan masalah pada point-point

berikut :

1. Krisis apa yang dialami dunia Pendidikan Islam pada dewasa ini?

2. Bagaimana menanggulangi Krisis yang terjadi di dunia Pendidikan Islam menurut

konsep pemikiran al-Ghazali?

C. Definisi Operasional

Adapun judul pembahasan kali ini “Krisis di dunia Pendidikan Islam dewasa ini, ,

Reaktualisasi Konsep Pemikiran Pendidikan Islam al-Ghazali”. Untuk menghindari adanya

“keluarnya pembahasan” yang dapat ditimbulkan dari pembahasan dan judul pembahasan

yang pembahas buat, maka ada beberapa kata dan istilah yang perlu ditegaskan, yakni

sebagai berikut:

Krisis : Keadaan yang menderita, berbahaya

Pendidikan Islam : Proses pengubahan sikap dan tata laku melalui upaya

pengajaran dan pelatihan

Dewasa ini : Kekinian

Reaktualisasi : Mengaktualkan kembali

Konsep : Rancangan, ide, Pengertian yang diabstakkan dari peristiwa

Pemikiran : Proses, buah pikir

D. Signifikansi Pembahasan

Adapun tujuan dan kegunaan yang diharapkan dari adanya pembahasan kali ini adalah : 5

1. Tujuan Pembahasan

1.1 Mengetahui Krisis apa yang sedang dialami dunia Pendidikan Islam

Dewasa ini

1.2 Menemukan formula atau solusi untuk menanggulangi Krisis yang terjadi

di dunia Pendidikan Islam melalui konsep pemikiran al-Ghazali.

2. Kegunaan Pembahasan

Secara teoritis Hasil pembahasn ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

bagi:

2.1 Pembahasan ini dapat dijadikan sebagai karya ilmiah dalam upaya

mengembangkan kompetensi pembahas (penulis) serta untuk memenuhi

salah satu syarat dalam Mata Kuliah Filsafat Ilmu, Program Pascasarjana

STAIN Samarinda

2.2 Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau

sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah

khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dunia Pendidikan Islam.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam pengumpulan

data atau informasi guna memecahkan permasalahan dalam pembahasan kali ini.

1. Jenis Data

Data pada pembahasan kali ini adalah data-data yang diperoleh dari literature-literatur

yang berhubungan dengan judul pembahasan

2. Teknik Pengumpulan data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang akan dilakukan adalah: Teknik

kepustakaan (Library Research) yaitu dengan mengumpulkan data dari buku atau

bahan tulisan yang ada relevansinya dengan pembahasan.

3. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, data dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif, yaitu

metode di mana data dikumpulkan dari data historis-filosofis, disusun,

6

diinterpretasikan, dan dianalisa, serta mencoba menrekonstruksinya dengan teori yang

telah terlampir, sehingga memberikan keterangan yang lengkap bagi permasalahan

yang dibahas.

4. Pendekatan

Adapun Metode pendekatan dalam pembahasan kali ini ini adalah metode pendekatan

kependidikan, teologis, sosiologis, antropologis, politikologis, filosofis dan historis

sesuai dengan kajian pembahasan ini.

Pendekatan interdisipliner atau multidisipliner ini dimaksudkan untuk lebih

memahami masalah yang telah dirumuskan, terutama yang berkenaan dengan kaitan

antara Krisi yang dialami Dunia Pendidikan Islam dengan Keadaan Dewasa ini.

F. Sistematika Penelitian

Adapun sistematika Penilitian dalam pembahasan kali ini adalah :

Bab I : Pada Bab I (Pendahuluan) Pembahas menuliskan mengenai Latar

Belakang Masalah, Rumusan masalah dan Definisi operasional

yang meliputi Signifikansi pembahasan, Metode Pembahasan

dan Sistematika Penelitian

Bab II : Berisi Kajian Pustaka dan Landasan Teori, Kajian Pustaka yang

meliputi : Posmodernisme, Kualitas Pendidikan, Relevansi

Pendidikan, Elitisme, Pengelolalan Profesionalisme dalam

Sumber Daya Manusia, Modernisme dan Landasan Teori yang

berisi konsep pemikiran al-Ghazali dalam bidang Pendidikan

Bab II : Berisi Pembahasan

Bab IV : Kesimpulan

7

Bab II

Kajian Pustaka & Landasan Teori

A. Kajian Pustaka

1. Postmodernisme

Dalam berbagai kajian dan referensi postmodernisme mengisyaratkan pada dua hal

yaitu6 :

1. Postmodernisme dipandang sebagai keadaan sejarah pasca zaman modern. Dalam

hal ini modernisme dipandang telah mengalami proses akhir yang akan digantikan

dengan zaman berikutnya, yaitu postmodern.

2. Postmodern dianggap sebagai gerakan intelektual (intellectual movement) yang

mencoba menggugat, bahkan  mendekonstruksi pemikiran sebelumnya yang

berkembang dalam bingkai paradigma pemikiran modern dengan pilar utamanya

kekuatan rasionalitas manusia, hal ini ingin digugat karena telah menjebak manusia

kepada absolutisme dan cenderung represif

Adapun inti pokok alur pemikiran Postmodernisme adalah menentang segala hal yang

berbau kemutlakan, baku, menolak dan menghindari suatu sistematika uraian atau pemecahan

persoalan yang sederhana dan skematis, serta memanfaatkan nilai-nilai yang berasal dari

berbagai aneka ragam sumber7. Dalam upaya pemetaan wilayah postmodernisme, menurut

Amin Abdullah ada tiga fenomena dasar yang menjadi tulang pungung arus

pemikiran postmodernisme8 yang ia istilahkan dengan ciri-ciri strukur fundamental pemikiran

postmodernisme, yaitu:

1.      Dekonstruktifisme

Hampir seluruh tatanan, bangunan atau konstruksi dasar keilmuan yang telah mapan

dalam era sebelumnya (modern), baik dalam bidang sosiologi, psikologi, antropologi, sejarah,

6 Suyoto dkk, Postmodernisme dan Masa depan Peradaban, Jakarta: Aditya media, 1994, Hlm 1357 Fritjof Capra, misalnya, salah seorang tokoh postmodernisme yang menolak pemikiran tentang bentuk semesta yang linier yang menjadi kekhasan modernism, dan lebih meyakini tentang karakter alam yang bersifat siklis. Lihat, Fritjof Capra, The Web of Life, London: Flamingo, 1997

8 M. Amin Abdullah, Falsafah kalam di era postmodernisme, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1995, Hlm 59

8

bahkan juga dalam ilmu-ilmu kealaman yang selama ini dianggap baku – yang biasa disebut

dengan grand theory – ternyata dipertanyakan ulang oleh alur pemikiran Postmodernisme.

Hal itu terjadi karena grand theory tersebut dianggap terlalu skematis dan terlalu

menyederhanakan persoalan yang sesungguhnya serta dianggap menutup munculnya teori-

teori lain yang barangkali jauh lebih dapat membantu memahami realitas dan pemecahan

masalah.  Jadi klaim adanya teori-teory yang baku, standar, yang tidak dapat diganggu gugat,

itulah yang ditentang oleh para pemikir postmodernisme.

Para protagonis pemikiran postmodernisme tidak meyakini validitas “konstruksi”

bangunan keilmuan yang “baku”, yang “standar” yang telah disusun oleh genarasi modernis.

Standar itu dilihatnya terlalu kaku  dan terlalu skematis sehingga tidak cocok untuk melihat

realitas yang jauh lebih rumit.  Dalam teori sosiologi modern, para ilmuan cenderung untuk

melihat gejala keagamaan sebagai wilayah pengalaman yang amat sangat bersifat individu.

Pengalaman keagamaan itu tidak terkait dan harus dipisahkan dari kenyataan yang hidup

dalam realitas social yang ada.

Era postmodernisme ingin melihat suatu fenomena social, fenomena keberagamaan,

realitas fisika apa adanya, tanpa harus terkurung oleh anggapan dasar atau teori baku dan

standar yang diciptakan pada masa modernisme. Maka konstruksi bangunan atau bangunan

keilmuan yang telah dibangun susah payah oleh generasi modernisme ingin diubah,

diperbaiki, dan disempurnakan oleh para pemikir postmodernis. dalam istilah Amin Abdullah

dikenal dengan “deconstructionism” yakni upaya mempertanyakan ulang teori-teori yang

sudah mapan yang telah dibangun oleh pola pikir modernisme, untuk kemudian dicari dan

disusun teori yang lebih relevan dalam memahami kenyataan masyarakat, realitas

keberagamaan, dan realitas alam yang berkembang saat ini.

2.      Relativisme

Thomas S. Kuhn adalah salah seorang pemikir yang mendobrak keyakinan para ilmuan 

yang bersifat positivistik9. Pemikiran positivisme memang lebih menggarisbawahi validitas

hukum-hukum alam dan sosial yang bersifat universal yang dibangun oleh rasio.

Manifestasi pemikiran postmodernisme dalam hal realitas budaya (nilai-nilai,

kepercayaan agama, tradisi, budaya dan lainnya tergambar dalam teori-teori yang

dikembangkan oleh disiplin antropologi. Dalam pandangan antropolog, tidak ada budaya

yang sama dan sebangun antara satu dengan yang lain. Seperti budaya Amerika jelas berbeda

dengan budaya Indonesia. Maka nilai-nilai budaya jelas sangat beraneka ragam sesuai dengan

9 Reza AA Watimena, Filsafat dan Sains (Sebuah Pengantar), Jakarta: Grasindo,tt, Hlm 1049

latarbelakang sejarah, geografis, demografis dan lain sebagainya. Dari sinilah nampak, bahwa

nilai-nilai budaya bersifat relatif, dalam arti antara satu budaya dengan budaya yang lain tidak

dapat disamakan seperti hitungan matematis. Dan hal ini sesuai dengan alur pemikiran

postmdernisme yaitu bahwa wilayah budaya, bahasa, cara berpikir dan agama sangat

ditentukan oleh tata nilai dan adat kebiasaan masing-masing10.

Dari sinilah nampak jelas, bahwa para pemikir Postmodernisme menganggap bahwa

segala sesuatu itu sifatnya relative dan tidak boleh absolut, karna harus mempertimbangkan

situasi dan kondisi yang ada.

3.      Pluralisme

Pusat dari ciri pemikiran postmodernisme yaitu pluralisme11. Era pluralisme sebenarnya

sudah diketahui oleh banyak bangsa sejak dahulu kala, namun gambaran era pluralisme saat

itu belum dipahami sepeti era sekarang, Hasil teknologi modern dalam bidang transportasi

dan komunikasi menjadikan era pluralisme budaya dan agam telah semakin dihayati  dan

dipahami oleh banyak orang dimanapun mereka berada.

Adanya pluralitas budaya, agama, keluarga, ras, ekonomi, sosial, suku, pendidikan,

ilmu pengetahuan, militer, bangsa, negara, dan politik merupakan sebuah realitas. Dan

berkaitan dengan paradigma tunggal seperti yang dikedepankan oleh pendekatan kebudayaan

barat modernis, develop, mentalis, baik dalam segi keilmuan, maupun lainnya telah

dipertanyakan keabsahannya oleh pemangku budaya-budaya di luar budaya modern. Maka

dalam konteks keindonesiaan khususnya, dari ketiga ciri pemikiran postmodernisme,

nampaknya fenomena pluralisme lebih dapat diresapi oleh sebagian besar masyarakat.

Berbagai tanggapan diberikan masyarakat muslim terhadap posmodernisme ini. Jika

Postmodernisme dipandang semata-mata sebagai bentuk tanggapan dan jawaban terhadap

kekurangan-kekurangan dan kelemahan modernisme, maka kita dapat melihat kembali

bentuk-bentuk respon masyarakat muslim terhadap modernisme. Karena baik disadari atau

tidak, respon masyarakat terhadap modernisme sebenarnya merupakan refleksi, apresiasi dan

respon masyarakat muslim terhadap munculnya posmodernisme12. Di antara respon

masyarakat muslim tersebut adalah:

a. Ada yang mengingkari seluruh nilai-nilai modernitas dan melihatnya sebagai akar

penyebab munculnya problem modern

10 PIP Jones, Pengantar Teori-teori Sosial dari Fungsionalisme Hingga Post-modernisme,Jakarta: Yayasan Obor, 2009, Hlm 22411 Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan…Hlm.7912 Ghazali Darussalam, Dakwah Islam dan Ideologi Barat, Bandung: Utusan Pubs. 1998, Hlm.4

10

b. Ada yang melihatnya sebagai sebuah berkah

c. Ada yang melakukan kritik dan memodifikasi modernisme

Sikap-sikap seperti ini ada pada masyarakat muslim pascamodern atau postmodern.

Maka logika dialektikanya, bahwa respon masyarakat muslim terhadap postmodernisme

adalah:

a. Ada yang menerima secara utuh posmodernisme dalam Islam sebagai jawaban

terhadap problem-problem modern.

b. Ada yang masih terkagum-kagum terhadap modernisme sehingga tidak peduli

dengan wacana posmodernisme.

c. Mayoritas di antara umat muslim tetap dalam bentuknya yang tradisional

d. Yang paling banyak di antara mereka adalah tidak tahu wacana postmodernisme

sama sekali sehingga tidak memberikan respon apa-apa, kendatipun kadang-kadang

tanpa disadari pola pemikira maupun tindakan mereka mengarah pada pola

posmodernisme.

Beberapa Aspek-aspek Postmodernisme yang ada dalam Islam diantaranya :

Bidang Pendidikan

Ditandai dengan adanya pergeseran paradigma dalam memandang ilmu pengetahuan,

dari pemisahan keilmuan agama dengan keilmuan umum kepada paradigma integralistik,

yaitu penyatuan antara dua kelompok besar ilmu tersebut. Hal ini karena dinilai bahwa

pemisahan antar keduanya telah menyebabkan pada kehidupan yang tidak seimbang.

Pergeseran nilai juga terjadi akibat berkembang pesatnya ilmu dan tehnologi yang tidak

berwawasan manusiawi. Pemaknaan hiduppun menjadi tidak lagi pengabdian suci untuk

menata kehidupan berkebudayaan secara harmonis, melainkan sudah mengukuhkan suatu

tatanan hukum rimba. Nilai-nilai cinta kasih telah bergeser pada individualistik.

Oleh karenanya, dalam transformasi nilai yang amat krusial itu, orientasi pendidikan

memegang peranan penting sebagai suatu harapan untuk meluruskan penyimpangan-

penyimpangan yang terjadi dalam pranata sosial sehingga diperlukan konsep pendidikn yang

memberika gambaran dalam upaya memanusiakan manusia dengan menekankan harmonisasi

hubungan, baik dengan sesama maupun dengan lingkungan alam yang ditopang oleh nilai-

nilai normatif ilahiyah.

Bidang Teknologi Informasi

11

Sebagaimana dinyatakan Akbar S. Ahmad, bahwa ciri sosiologis peradaban

posmodernisme adalah dengan mendominasinya media massa. Dalam realitas kehidupan, hal

ini bisa dilihat dengan sangat nyata. Dalam kehidupan muslim, hal ini dapat dilihat seperti

semakin luasnya media dakwah. Dakwah tidak lagi hanya dengan pengajian-pengajian akan

tetapi melalui telavisi, radio, internet, telephone celluler, majalah, buku, dan berbagai media

baik elektronik maupun cetak yang lain. Bagaimana pentingnya media massa ini juga telah

turut mengilhami umat Muslim untuk mendirika stasiun televisi maupun radio, memiliki

penerbitan dan percetakan. Hal ini terlihat dengan mulai munculnya stasiun televisi maupun

radio yang Islam oriented. Pada umumnya ini didirikan oleh lembaga-lembaga pendidikan.

Demikianlah karakteristik masyarakat posmodern, sebagaimana dinyatakan Jalaluddin

Rahmat bahwa masyarakan yang akan datang adalah masyarakat yang ditandai dengan

dominasi teknologi komunikasi. Sebagaimana alam pada zaman pertanian, modal pada zaman

industri, maka informasi adalah kekayaan dan kekuasaan pada zaman pascamoderndalam

masyarakat.

Bidang Arsitektur

Kecenderungan arsitektur posmodernisme adalah bersifat naratif, simbolisme dan

fantasi. Masa lalu bisa ditulis kembali sebagai fiksi. Ide regionalisme berkembang pada

zaman posmodernisme, terlebih di dunia ketiga seperti Indonesia. Konsep ini sering

diromantisir dan dipolitisir dalam semangat nasionalisme. Bahkan bisa dipadukan dalam

kerangka “eksotisme atau orientalisme”. Pandangan ide ini adalah bahwa arsitektur

tradisional, baik yang adiluhung maupun yang merakyat dipercaya mampu merepresentasikan

sosok arsitektur yang sudah terbukti ideal: sebuah harmoni yang lengkap dari “bentuk jadi,

budaya, tempat dan iklim”. Oleh karenanya, misi gerakan ini adalah mengembalikan

kelangsungan rangkaian arsitektur masa kini dengan kekhasan arsitektur masa lampau yang

ada pada suatu wilayah budaya tertentu dengan mencoba mengimbangi perusakan budaya

setempat oleh kombinasi kekuatan sistem produksi baik rasionalisasi, birokrasi,

pengembangan skala besar maupun oleh gaya internasional.

Beberapa bangunan di Indonesia dinilai memiliki mazhab sendiri –bercitra arsitektur

tropis tradisional yang non purisme, adanya dialog antara elitisme dan populisme dan

berwawasan ekologis. Dari segi perancangan bersifat hibrid, eklektik dan liberal, seni

ornamentasi dan simbolisme.

Bidang Seni Islam

12

Tradisi yang secara sadar mengikat spritualitas dengan seni terus berjalan di kalangan

muslim. Seni bertindak sebagai jembatan yang membawa inspirasi, trend, gaya dan ide-ide di

antara kultur Islam. Selama beberapa periode di negara-negara muslim seni dihambat dan

sulit mencari pelindung. Karena itu, ekspresi seni di  negara Muslm diaprisiasi secara steril.

Bakat-bakat seni muslim kontemporer telah menemukan ekspresinya. Salah satu buktinya

bayaknya seni film yang disutradari oleh seniman muslim, antara lain kontribusi muslim

dalam sinema India yang memiliki industri perfilman terbesar di dunia.

2. Kualitas Pendidikan (Islam)

Arti dasar dari kata kualitas menurut Dahlan Al-Barry dalam Kamus Modern Bahasa

Indonesia13 adalah “kualitet”: “mutu, baik buruknya barang”. Seperti halnya yang dikutip

oleh Quraish Shihab yang mengartikan kualitas sebagai tingkat baik buruk sesuatu atau mutu

sesuatu14.

Sedangkan secara etimologi, mutu atau kualitas diartikan dengan kenaikan tingkatan

menuju suatu perbaikan atau kemapanan. Sebab kualitas mengandung makna bobot atau

tinggi rendahnya sesuatu. Jadi dalam hal ini kualitas pendidikan adalah pelaksanaan

pendidikan disuatu lembaga, sampai dimana pendidikan di lembaga tersebut telah mencapai

suatu keberhasilan15. Menurut Supranta kualitas adalah sebuah kata yang bagi penyedia jasa

merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan baik16. Sebagaimana yang telah dipaparkan

oleh Guets dan Davis dalam bukunya Tjiptono menyatakan kualitas merupakan suatu kondisi

dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang

memenuhi atau melebihi harapan17. Kualitas pendidikan menurut Ace Suryadi dan H.A.R

Tilaar merupakan kemampuan lembaga pendidikan dalam mendayagunakan sumber-sumber

pendidikan untuk meningkatkan kemampuan belajar seoptimal mungkin18.

Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP.) No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan. Standar nasional pendidikan diatas, ada delapan (8) hal yang harus diperhatikan

untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, yaitu : standar isi, standar proses, standar

13 M. Dahlan Al Barry, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Yogyakarta: Arloka, 2001, Hlm.32914 Quraish. Shihab, Membumikan Al-Quran, Mizan: Bandung, 1999, Hlm.28015 Jurnal Ilmu Pendidikan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar Di Daerah Diseminasi oleh A. Supriyanto, November 1997, Jilid 4, IKIP, 1997, Hlm 22516 Supranta. J, Metode Riset, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997, Hlm28817 Fandy Tjiptono, Manajemen Jasa, Edisi I Cet II, Yogyakarta: Andi Offcet,1995, Hlm. 5118 Ace Suryadi dan H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan, Suatu Pengantar, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1993, Hlm.159

13

pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar

pembiayaan, standar penilaian pendidikan.

a. Standar isi, adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam

kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata

pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang

dan jenis pendidikan tertentu.

b. Standar proses, adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan

pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.

c. Standar pendidik dan tenaga kependidikan, adalah kriteria pendidikan prajabatan dan

kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan.

d. Standar sarana dan prasarana, adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan

kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah,

perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan

berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses

pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.

e. Standar pengelolaan, adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan

perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan

pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional, agar tercapai efisiensi dan

efektivitas penyelenggaraan pendidikan.

f. Standar pembiayaan, adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya

operasi satuan pendidikan yang berlaku selam satu tahun.

g. Standar penilaian pendidikan, adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan

mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.

Standar nasional pendidikan ini berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan,

dan pengawasan, pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.

Pembahas melihat, Jika mengacu pada standart diatas Kualitas pendidikan Islam tidaklah

berada pada posisi dibawah standar dalam kualitasnya. Segala element yang menjadi standart

pendidikan berkualiatas ada dalam pendidikan Islam. Baik dalam Sekolah, Pesantren atau

Universitas.

Lembaga-lembaga yang ada pada pendidikan Islam telah mendayagunakan berbagai

macam media, elemen dan pendukung yang menyangganya. Jika dalam realitasnya ini masih

disebut dibawah standar, pembahas menilai bahwa perbedaan penilaian tersebut mungkin

14

terletak pada perspective penilaian. Mengingat tak meratanya lembaga-lembaga yang

memenuhi standarisasi yang telah tersebut.

3. Relevansi Pendidikan

Relevansi pendidikan dapat dilihat dengan mengikuti alur input-proses-output. Masukan

(input) dalam komposisi tertentu yang diproses dengan metode tertentu akan membuahkan

dua macam hasil, yaitu hasil jangka pendek (output) dan hasil jangka panjang (outcome).

Input pendidikan terdiri atas kurikulum, siswa/peserta didik, guru/tenaga pendidik, sarana-

prasarana, dana, dan masukan lain. Proses pendidikan meliputi seluruh proses pembelajaran

yang terjadi sebagai bentuk interaksi dari berbagai input pendidikan. Hasil pendidikan

(output) mencakup antara lain kemampuan peserta didik, yang dapat diukur melalui prestasi

belajar siswa. Outcome pendidikan antara lain peningkatan mutu lulusan, yang dapat dilihat

antara lain melalui jumlah lulusan yang melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya dan

jumlah lulusan yang dapat bekerja. Dengan demikian, mutu input dan mutu proses

merupakan faktor penentu mutu hasil, baik yang berupa hasil jangka pendek maupun hasil

jangka panjang.

Beberapa faktor yang berkenaan dengan input pendidikan dapat dikelompokkan kedalam

faktor rumah atau keluarga, faktor sekolah, dan faktor siswa. Diantara ketiganya, sekolah

merupakan komponen input yang paling erat hubungannya dengan kebijakan pendidikan.

Berbagai hasil penelitian menemukan bahwa faktor sekolah yang paling dominan pada

pendidikan dasar adalah guru/tenaga pendidik dan buku. Pada jenjang pendidikan yang lebih

rendah, kemampuan guru/tenaga pendidik dalam mengajar dan menuntun siswa belajar,

sangat menentukan keberhasilan pencapaian materi yang diajarkan. Semakin tinggi jenjang

pendidikan semakin rendah dominasi peran guru/tenaga pendidik, karena siswa semakin

mampu memahami materi yang tertulis dalam buku.

Pembahas melihat relevansi pendidikan belum menyentuh pada tujuannya. Jika dilihat dari

outcome produk pendidikan. Mengingat real dan fenomena yang ada, masih banyak

ketimpangan yang disebabkan outcome yang buruk dari Pendidikan. Banyaknya manusia

yang belum memanusia (kurangnya pendidikan berbudaya), angka pengangguran yang

membengkak, kriminalitas yang bisa dibilang masih tinggi dsb.

15

Banyak yang menjadi penyebab kurangnya relavansi ini, sistem, pelaku, lingkungan dan

berbagai aspek lain yang bersentuhan dengan pendidikan baik secara langsung maupun tak

langsung bisa berimbas pada menurunnya kualitas dan relavannya pendidikan yang

sesungguhnya.

4. Elitisme

Di awal kemunculannya, lembaga-lembaga pendidikan “terpadu” menjadi alternatif orang

dalam menyekolahkan anaknya di tengah kegelisahan model pendidikan yang kurang islami.

Baik karena muatan kurikulum yang kurang di sekolah-sekolah umum yang minim agama

atau karena model kurikulumnya sendiri yang memisahkan antara ilmu agama dan ilmu

pengetahuan umum.

Kini pendikan-pendidikan terpadu ini merebak di masyarakat kita. Sayangnya, meski tidak

semua, orientasi dan pola manajemennya justru terkesan elitis dan lebih bernuansa bisnis.

Sebagai orang tua murid sekaligus pemerhati, kita tentu lebih menginginkan situasi lebih

idealistis tanpa mengesampingkan realita. Dalam arti, karena lembaga-lembaga pendidikan

mengklaim sebagai pendidikan “islami” dengan lingkungan “islami” tentu tuntutan orang tua

tidak berlebihan.

Ketika membawa-bawa nama Islam sebagai lebel; Sekolah Dasar Islam Terpadu,

misalnya, maka tanggungjawab moral, orientasi, kurikulum, lingkungan, pola pendidikan dan

segala tetek bengeknya juga bernafaskan Islam. Bukan hanya muatan kurikulum semata, dan

mengesampingkan sisi lainya baik terkait pola hubungan antara sekolah dan orang tua atau

manajemen sekolah dengan guru terkait penggajian.

Dalam realitas social, Sudah menjadi fenomena umum bahwa untuk masuk ke sekolah-

sekolah “Islam” itu mereka harus berkantong tebal. Mereka yang pegawai rendahan bergaji

standar UMR yang menginginkan anaknya dididik dengan islami tentu akan kesulitan masuk.

Sebab untuk uang masuk dengan berbagai rinciannya dia harus menyediakan dana minimal 5

hingga 10 juta. Sudah bisa dibayangkan berapa SPP bulannya dan daftar ulangnya. Akhirnya

yang bisa masuk ke sana hanya orang-orang elit19.

Kita tidak menafikan bahwa pihak sekolah memiliki banyak problema. Mulai dari masalah

gedung, pajak, gaji guru, peningkatan SDM pengajar  dan lain-lain. Namun seharusnya itu

tidak selalu menjadi senjata utama untuk menaikkan iuran pendidikan setiap tahunnya.

19 KPTAIS, PTAIS DIY, Jurnal Studi Islam dan Informasi PTAIS., volume 3, issue 3 - volume 4, issue 6, Yogyakarta: Kopertais Wilayah III dan PTAIS DIY, Hlm 74

16

Sehingga “pendidikan islami” tetap bisa dirasakan oleh “seluruh lapisan masyarakat”,

terutama mereka yang kurang mampu namun berprestasi.

Ironinya, pada saat iuran murid merangkak naik terus menerus, jika melihat gaji guru di

sekolah-sekolah Islam justru tidak sebanding dengan peran mereka sebagai ujung tombak

sebuah proses pendidikan. Masih ada sebagian guru digaji jauh di bawah UMR. Sekali lagi,

ini bukan generalisasi.

Ketika bicara tentang pendidikan, kita bicara tentang amal sosial, meski tidak

menghilangkan unsur “jual beli” jasa. Artinya, pendidikan itu lebih kepada tanggungjawab

sosial. Harus lebih kental nuansa perjuangan sebagai bagian dari dakwah, bukan saja dari

para guru tapi yang terpenting adalah pihak yayasan sebagai pihak paling bertanggungjawab.

Kedua unsur itu harus berjalan proposional dengan menerapkan nilai “keadilan” sebagai

ajaran utama Islam itu sendiri. Dalam urusan bisnis murni saja, Islam ini mengajurkan

umatnya untuk saling toleran dan memberikan kemudahan. Apalagi dalam urusan yang

terkait sosial.

Rasulullah saw bersabda,

البخاري . رواه �َض�ى اْق�َت �َذ�ا و�ِإ ى �َر� َت اْش� �َذ�ا و�ِإ �اَع� َب �َذ�ا ِإ ا ْم�ًح� َس� ُج�اًل� ر� �الَّل ُه ِح�َم� ر�

“Allah merahmati seseorang yang toleran, jika dia menjual, jika membeli dan jika terlibat dalam kasus hukum.” (HR. Bukhari)

Pembahas yakin, tidak semua pendidikan yang mahal itu berkualitas, juga tidak semua

pendidikan “terjangkau” itu tidak bermutu. Jika kondisi elitis dipertahankan, apakah

pendidikan-pendidikan Islam terpadu masih menjadi alternatif bagi umat?

5. Pengelolaan Profesionalisme dalam Sumber Daya Manusia

Samsudin mengemukakan hal-hal yang berkenaan dengan MSDM adalah20:

1. Penekanan yang lebih dari biasanya terhadap pengintegrasian berbagai kebijakan

SDM dengan perencanaan.

2. Tanggung jawab pengelolaan SDM tidak lagi menjadi tanggung jawab manajer

khusus, tetapi manajemen secara keseluruhan.

3. Adanya perubahan dari hubungan serikat pekerja manajemen menjadi hubungan

manajemen karyawan

20 Samsudin, S, Manajemen SDM. Bandung: Pustaka Setia. . 2006. Hlm 1717

4. Terdapat aksentuasi pada komitmen untuk melatih para manajer agar dapat berperan

optimal sebagai penggerak dan fasilitator.

Tujuan MSDM adalah memperbaiki kontribusi produktif pegawai terhadap organisasi

dengan cara yang bertanggung jawab secara strategis, etis, dan sosial. Tujuan MSDM

mencerminkan strategi manajer dan menyeimbangkan tantangan organisasi, fungsi SDM, dan

orang-orang yang terpengaruh. Secara umum tujuan MSDM mencakup empat aspek yaitu

tujuan sosial, tujuan organisasional, tujuan fungsional, dan tujuan individual.

Guru yang bermutu adalah mereka yang mampu mem-belajarkan murid secara efektif,

sesuai dengan kendala, sumber daya, dan lingkungannya. Di lain pihak, upaya menghasilkan

guru yang bermutu juga merupakan tugas yang tidak mudah. Mutu guru juga berarti tenaga

pengajar yang mampu melahirkan lulusan yang bermutu, sesuai dengan kebutuhan

penyelenggaraan berbagai jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Di lain pihak, mutu guru

sangat berkaitan dengan pengakuan masyarakat akan status guru sebagai jabatan profesional.

Dalam hubungannya dengan hal tersebut, D. Sudjana S. menyatakan bahwa profesi guru

harus memiliki tiga kompetensi, yaitu kompetensi pribadi, kompetensi profesional, dan

kompetensi sosial.

Kompetensi pribadi, mencakup kedewasaan psikis, dedikasi, idealisme, itikad untuk

membantu orang lain, menghargai orang lain, keteladanan, kejujuran, ikhlas, terbuka, dan

tidak kaku. Kompetensi Profesional, mencakup kemampuan dan kewenangan khusus dalam

materi dan proses pembelajaran; memiliki wawasan yang luas dengan memahami berbagai

materi dan proses pembelajaran yang berkaitan dengan kemampuan dan kewenangan khusus

yang dimiliki; mengembangkan diri untuk menjadi spesialis dalam materi dan proses

pembelajaran; memperoleh pengakuan dari masyarakat yang menjadi layanannya; dan

mempunyai jaringan profesional dari pihak lain. Kompetensi sosial, … memiliki sikap

pengabdian kepada masyarakat; memahami prinsif-prinsif sebagai pembantu, peneliti dan

pengembang masyarakat; dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial atau pembangunan

masyarakat.

Sikap keragu-raguan terhadap mutu profesi guru dewasa ini sering terlontar dikalangan

masyarakat, merupakan akibat dari persiapan tenaga guru yang belum memadai. Banyak

pihak yang mengungkapkan bahwa mutu profesi guru cenderung belum didasarkan pada

konsep yang jelas dan konsisten agar memperoleh pengakuan khusus dari masyarakat. Untuk

menjawab tantangan ini, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dalam kongresnya yang

18

ke XIII di Jakarta telah menghasilkan keputusan penting bagi peningkatan citra dan mutu

guru, yaitu “Kode Etik Guru”.

Kode Etik Guru merupakan pedoman dasar bagi guru dalam melaksanakan tugas

profesinya21. Uraian Kode Etik Guru sebagai berikut : (1). Guru berbakti membimbing

peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. (2).

Guru memiliki dan melaksanakan kejujuruan profesional. (3). Guru berusaha memperoleh

informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan. (4).

Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses

belajar-mengajar. (5). Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid masyarakat

disekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap

pendidikan. (6). Guru secara pribadi dan bersama-sama, mengembangkan dan meningkatkan

mutu martabat profesinya. (7). Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat

kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial. (8). Guru secara bersama-sama memelihara dan

meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian. (9). Guru

melaksanakan segala kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang pendidikan.

Dari pengalaman selama ini dalam meningkatkan kemampuan guru diperoleh kesimpulan

bahwa guru yang bermutu ialah mereka yang memiliki kemampuan profesional dengan

berbagai kapasitasnya sebagai pendidik. Dalam studi tersebut ditemukan bahwa guru yang

bermutu diukur dengan empat faktor utama yaitu : (1) kemampuan profesional; (2) upaya

profesional; (3) waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional; dan (4) kesesuaian antara

keahlian dan pekerjaannya.

Keempat faktor utama sebagai ukuran mutu guru, Wardiman Djoyonegoro menguraikan

sebagai berikut :

Kemampuan profesional guru terdiri dari kemampuan intelegensi, sikap, dan prestasinya

dalam bekerja. Dalam berbagai penelitian, kemampuan profesional guru ditunjukkan dengan

tinggi-rendahnya nilai tes yang mengukur kemampuan menguasai materi pelajaran yang

diajarkan. Secara sederhana, kemampuan profesional ini bisa ditunjukan dengan kemampuan

guru dalam menguasai pengetahuan tentang materi pelajaran yang diajarkan termasuk upaya

untuk selalu memperkaya dan meremajakan pengetahuan tersebut. Upaya profesional guru

adalah upaya seorang guru untuk mentransformasikan kemampuan profesionalis yang

21 PGRI, Suara guru, Volume 24, Issues 33-51, Harapan Masa, tt, Hlm.13

19

dimilikinya ke dalam proses belajar-mengajar. Dalam beberapa penelitian, upaya profesional

guru tersebut ditunjukkan oleh penguasaan keahlian mengajar baik keahlian dalam menguasai

materi pelajaran, penggunaan bahan pengajaran, pengelolaan kegiatan belajar murid, maupun

upaya untuk selalu memperkaya serta meremajakan kemampuannya dalam mengembangkan

program pengajaran.

Waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional (Teacher’s Time) menunjukkan

intensitas waktu yang dipergunakan oleh seorang guru untuk tugas-tugas profesionalnya.

Teacher’s time ini merupakan salah satu indikator penting dari mutu guru, seperti

ditunjukkan oleh konsep waktu belajar (Time on Task) yang diukur dari intensitas belajar

siswa secara perorangan. Time on Task ini telah ditemukan oleh berbagai penelitian secara

konsisten sebagai prediktor terbaik dari mutu hasil belajar peserta didik.

Kesesuaian keahlian dengan pekerjaan profesional merupakan faktor yang mempengaruhi

kemampuan profesional seorang guru. Faktor ini penting sesuai dengan prinsip keterkaitan

dan kesepadanan yang harus menjadi tantangan bagi LPTK untuk selalu mengaitkan

pendidikannya dengan kebutuhan guru, baik dari segi jumlah maupun mutunya.

Dalam hubungannya dengan permasalahan yang diangkat sebagai bahan penelitian, yaitu

permasalahan yang berhubungan dengan unsur personil sekolah, yaitu guru. Guru sebagai

tenaga kependidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti,

mengembangkan, mengelola, dan atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang

pendidikan. Guru harus secara efektif memberikan dorongan dan bantuan pencarian

informasi pendukung tesis moralitas global. Belajar informasi oleh guru, dimaksudkan bukan

sebatas penyediaan bahan pengajaran bagi pemenuhan kebutuhan emosi dan kesadaran siswa,

tetapi juga membentuk sikap mandiri dan mempengaruhi perilaku kehidupan serta disiplin

sekolah mereka.

Guru merupakan unsur penting dan berpengaruh dalam proses pendidikan dan

pengajaran. Tenaga guru merupakan tenaga yang penting yang tidak boleh, tidak ada.

Bagaiamanapun baiknya unsur lain, tetapi bila tidak didukung oleh unsur guru yang

profesional maka pelaksanaan program pendidikan tidak akan berjalan sebagaimana

mestinya. Kunci keberhasilan pelaksanaan program pendidikan dan pengajaran sangat

ditentukan oleh guru yang melaksanakan proses pembelajaran secara profesional.

Guru yang memiliki profesionalisme tinggi akan tercermin dalam sikap mental sarta

komitmennya terhadap perwujudan dan peningkatan kualitas profesional melalui berbagai

20

cara dan strategi. Guru akan selalu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan

perkembangan zaman sehingga keberadaannya senantiasa memberikan makna profesional.

6. Modernisme dan Pendidikan Islam

Peran lembaga pendidikan Islam, tidak saja dituntut untuk mengkristalisasikan semangat

Ketuhanan sebagai pandangan hidup universal, lebih dari itu institusi ini harus lebur dalam

wacana dinamika modern. Pendidikan Islam sebagai lembaga alternatif diharapkan mampu

menyiapkan kualitas masyarakat yang bercirikan semangat keterbukaan, egaliter, kosmopolit,

demokratis, dan berwawasan luas, baik menyangkut aspek spiritual maupun “ilmu-ilmu

modern”.

Modernisasi pendidikan Islam dimaksudkan untuk menemukan format pendidikan ideal

sebagai sistem pendidikan alternatif bangsa Indonesia masa depan. Kelebihan dan

keunggulan lembaga pendidikan masa lampau dijadikan sebagai kerangka acuan untuk

merekonstruksi konsep pendidikan yang dimaksud. Sedangkan berbagai bentuk pendidikan

lama yang tidak relevan lagi akan ditinggalkan.

Modernisasi pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 merujuk pada pertumbuhan

rasionalisme dan sekulerisme di Barat. Sikap rasional ini seiring dengan mengendornya

cengkraman rezim tirani dan ketakhyulan. Sekarang di abad ke-21 ini secara universal

modernisasi merujuk pada proses pembangunan. Modernisasi yang mantap dicirikan oleh

terpenuhinya unsur-unsur modernitas secara kolektif dalam sebuah pranata sosial yang

menjadi sikap sekaligus keyakinan semua unsur masyarakat, baik personal maupun

institusional. Termasuk di dalamnya pendidikan Islam.

Pendidikan dimaknai sebagai upaya penanaman nilai-nilai dalam keseluruhan proses

pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu22. Bila nilai-nilai tersebut diambil dari sumber

dan dasar ajaran agama Islam sebagaimana termuat dalam al-Qur’an dan Hadits, maka proses

pendidikan tersebut disebut pendidikan Islam.

22 Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: pokok-pokok pikiran tentang paradigma dan sistem Islam, Gema

Insani, 2004, Hlm 180

21

Usaha-usaha menuju modernisasi pendidikan Islam terjadi pada awal abad ke-20

walaupun masih bersifat terbatas. Usaha pembaharuan dalam dunia pendidikan ini terilhami

oleh wacana modernisasi yang terjadi di berbagai belahan dunia Islam lainnya.

Di Indonesia telah tampil Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan mendirikan organisasi

Muhammadiyah. Kehadiran Muhammadiyah jika dilihat dari sisi yang lebih sempit, berupaya

menghilangkan kekuatan sistem pendidikan pesantren yang populer pada saat itu. Pendidikan

dalam dunia pesantren dipandang terlalu tradisional dan dianggap tidak memenuhi

perkembangan zaman terutama dalam penguasaan ilmu pengetahuan “baru”. Muhammadiyah

memperkenalkan sekolah-sekolah yang diselenggarakan dengan mengacu pada sistem ala

“barat”, yang dimaksud Modernisasi pendidikan adalah keterpaduan antara sistem klasik dan

sistem modern dengan mengambil perangkat sistem positif dari keduanya. Pendidikan Islam

menjadi salah satu perhatian Soekarno karena menurutnya dapat dipakai sebagai sarana

transformasi masyarakat Muslim Indonesia.Bagi Soekarno, pendidikan modern adalah

pendidikan yang arena untuk mengasah akal dan mengembangkan intelektualitas. Hal

tersebut yang membuat penulis tertarik untuk meneliti bagaimana konsep modernisasi

pendidikan Islam dalam perspektif Soekarno, dan apakah konsep tersebut masih relevan

untuk diterapkan saat ini.

Konsep Soekarno tentang modernisasi pendidikan selalu berorientasi pada kemajuan.

Islam is Progress23 adalah kata kunci yang menjadi latar belakang sekaligus kekuatan dari

pemikiran yang ditampilkan Soekarno. Jika saat ini unsur dinamisasi menjadi faktor dominan

tingkat modernitas suatu pranata sosial, termasuk di dalamnya pendidikan Islam, maka dapat

disimpulkan bahwa gagasan yang dikemukakan Soekarno sangat relevan dengan konteks

modernisasi pendidikan dewasa ini

Perpaduan antara dua bentuk institusi pendidikan tersebut akan melahirkan sistem

pendidikan Islam yang komprehensif, tidak saja hanya menekankan penguasaan terhadap

khazanah keilmuan Islam klasik tetapi juga mempunyai integritas keilmuan modern.

23 Syamsul Kurniawan, Pendidikan di Mata Soekarno: Modernisasi Pendidikan Islam dalam Pemikiran Soekarno,Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, Hlm 143

22

B. Landasan Teori

Teori yang digunakan pembahas dalam “Krisis di dunia pendidikan Islam dewasa ini”

adalaha teori dari Al-Ghazali, seorang tokoh muslim yang amat masyhur dan menaruh

perhatian besar dalam dunia pendidikan. Banyak sekali teori-teori pendidikan yang di

wariskan Al-Ghazali dalam pendidikan, khususnya dunia pendidikan Islam. Selain itu ada

beberapa teori dari pemikir Islam kontemporer.

Al-Ghazali memetakan dan men-konstruk pendidikan dengan berbagai elemen seperti :

Peranan pendidikan, Tujuan Pendidikan Kurikulum, Pendidik, Murid24. Tak jauh beda dengan

beberapa keterangan yang telah pembahas lampirkan pada Kajian Pustaka.

Jika diamati dengan seksama, Nampak al-Ghazali menggunakan dua pendekatan dalam

membagi Ilmu pengetahuan. Pertama pendekatan fiqih yang melahirkan pembagian ilmu

pada yang wajib dan fardhu kifayah. Kedua, pendekatan Tasawuf (Akhlaq)yang melahirkan

ilmu pada yang terpuji dan tercela.

Dalam pengamatan Ahmad Fuad Al-Ahwani, bahwa dalam perpsektif al-Ghazali

pendidikan yang kompeten akan menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan

pemikirannya25. Jika pengamatan tersebut kita tarik pada pembahasan ini, maka ada yang “tak

beres” pada pendidikan (bangsa) Islam. Krisis yang dialami dalam pendidikan Islam

setidaknya tercermin ketika Islam menanggapi “benturan” dari luar. Kekinian Islam lebih

mengedepankan amarah tak terkendali. Tak ada terobosan fresh yang coba ditawarkan dalam

menanggapi benturan tersebut. Misalnya menggunakan jalur lain untuk menggulingkan dunia

luar. Seperti jepang misalnya, semenjak datar bumi Nagasaki dan Hiroshima dibumi

hanguskan, Jepang merancang dan mempersiapkan strategi lain menyerang balik, dengan

pengetahuan. Jepang membangun pabrik otomotif dan mengirim produknya ke Negara-

negara yang telah menyerangnya, Negara tersebut tunduk secara keilmuan.

24 Lebih lengkap Lihat Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Ciputat: Logos,cet IV, 2001, Hlm 165-16825 Ibid, 161

23

Imam al-Ghazali merupakan ilmuan Muslim pertama yang mengkonsep ilmu secara

sistematis menjadi dua; yaitu ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.  Konsep ini ditulis dalam

salah satu magnum opusnya, Ihya’ Ulumuddin jilid pertama. Hebatnya, kitab itu mampu

menyadarkan dan menghidupkan tradisi keilmuan umat Islam pada masa itu. Poin penting

yang menjadi kritikan Imam al-Ghazali adalah pengajaran ilmu-ilmu agama yang

materialistik dan mudahnya konsep-konsep asing masuk dalam pemikiran umat Islam.

Imam al-Ghazali berjasa dalam mengajari umat bagaimana ‘membaca’ pemikiran asing

dengan konsep Islam. Beliau termasuk ulama’ yang ensiklopedis. Pada usianya yang masih

33 tahun al- Ghazali telah mencapai gelar professor (al-Shaykh) di perguruan Nizamiyah,

Baghdad.

Dalam kitabnya Tahafut Falasifah, ia menyajikan kritik terhadap pemikiran paripatetik

(filsafat Yunani) mengenai konsep Tuhan, kejadian alam, dan konsep manusia. Ia

membersihkan konsep-konsep yang Aristotelian26, untuk dikembalikan kepada Islam.

Bersama dengan karya-karya lainnya -- misalnya  al-Munkidz min al-Dhalal, Bidayatul

Hidayah, dan lain-lain --  kitab ini sepertinya sengaja ditulis dalam rangka mencangankan

sistem pendidikan Islam “berkarakter”. Imam al-Ghazali menilai, bahwa sistem pendidikan

yang berkembang pada masa itu masih menyimpang jika ditinjau dari segi tujuan dan

targetnya.

Dalam kritiknya, Imam al-Ghazali menilai, pendidikan saat itu lebih memproduksi

‘tukang’ dari pada menjadi ilmuan. Memproduksi ulama’ dunia daripada ulama’ akhirat.

Dalam pandangannya, sistem ini menjadi titik lemat umat Islam saat itu, baik dari segi

keilmuan, politik dan peradaban.

Fenomena itu tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang terjadi dalam pendidikan kita

saat ini. Tidak sedikit pelajar-pelajar yang prestasi di bidang sains dan teknologi. Namun

belum banyak yang mampu mensinergikan dengan pengetahuan agama. Banyak ditemui

seorang insinyur atau peneliti sains, akan tetapi malas beribadah. Dan yang paling banyak

adalah, mereka memilih profesi tersebut dan menekuni ilmu itu hanya untuk menambah

kekayaan. Mereka memilig fakultas kedokteran agar kelak menjadi kaya.

Akibatnya, kuliah bukan karena mencintai ilmu atau menunaikan kewajiban fardhu

kifayah, tapi sekedar berburu uang. Cara pandang demikian dapat dinilai kurang beradab.

26 Imam Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Kerancuan para filosof (Diterjemahkan dari kitab Tahfut al

Falasifah Oleh : Ahmad Maimun), Penerbir MARJA, Bandung: 2010, Hlm 14

24

Sebab melepaskan dimensi ketuhanan dalam aktifitas keilmuan. Cara pandang ini sangat

rawan menjadikan ilmuan yang ‘menghalalkan’ segala cara dalam aktifitasnya.

Pandangan yang tidak berkarakter tersebut disebabkan oleh sistem pendidikan yang 

meninggalkan ilmu fardhu ‘ain. Sedangkan ilmu fardhu kifayah -- yang mereka tekuni --

tidak dilandasi oleh ilmu fardhu ‘ain. Padahal, kedua macam ilmu itu semestinya berjalan

sinergis. Fardhu ‘ain sebagai falsafah dasar dari ilmu fardhu kifayah. Ilmu fardhu kifayah

ditopang oleh ilmu fardhu ‘ain.

Persoalan krusial lainnya, baik guru maupun pelajar Muslim belum mengetahui ilmu-

ilmu yang masuk kategori fardh ‘ain dan mana ilmu yang masuk kelompok fardhu kifayah.

Ilmu fardhu ‘ain adalah ilmu yang wajib bagi tiap-tiap individu Muslim mengetahuinya.

Mencakup ilmu yang berkenaan dengan i’tiqad (keyakinan). Ilmu-ilmu yang menyelamatkan

dari keraguan (syakk) iman.

Tujuan ilmu ini untuk menghilangkan kekeliruan iman, dan bisa membedakan antara

yang haq dan bathil. Dimensi lain – dari ilmu fardhu ‘ain – adalah ilmu-ilmu yang berkenaan

dengan perbuatan yang wajib akan dilaksanakan. Misalnya, orang yang akan berniaga wajib

mengetahui hukum-hukum fiqih perniagaan, bagi yang akan menunaikan haji wajib baginya

memahami hukum-hukum haji. Dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan persoalan-persoalan

yang harus ditinggalkan seperti sifat-sifat tidak terpuji dan lain-lain.

Sedang ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian masyarakat

Islam, bukan seluruhnya. Dalam fardhu kifayah, kesatuan masyarakat Islam secara bersama

memikul tanggung jawab kefardhuan untuk.

Dinamisasi konsep fardhu ‘ain dan fardlu kifayah sangat signifikan menunjang

pembaharuan pendidikan yang lebih beradab. Dalam perspektif Imam al-Ghazali, pengajaran

yang baik itu bukan bersifat juz’i (parsial) tapi kulli (komprehensif). Kulli maksudnya,

kurikulum yang membentuk kerangka utuh yang menggabungkan seluruh ilmu agama seperti

tauhid, tasawuf, dan fikih. Menggabungkan antara ilmu agama dengan keterampilan duniawi.

Tujuan kurikulum ini adalah membentuk mental ilmuan yang holisitik – pakar di bidang ilmu

aqli sekaligus tidak buta ilmu syar’i.

Berkenaan dengan konsep tersebut di atas, pembaharuan kurikulum – dengan mengacu

pada konsep al-Ghazali -- tampaknya menjadi kebutuhan pendidikan Islam Indonesia.

Sangat langka ditemui seorang ilmuan sekaligus agamawan, ulama sekaligus

cendekiawan. Padahal, dalam konteks kontemporer sekarang, profil ulama sekaligus

cendekiawan atau ilmuan sekaligus agamawan merupakan kebutuhan. Banyak fisikawan

25

yang cerdas, namun belum banyak memahami ilmu syar’i, atau sebaliknya ulama tapi minim

wawasan ilmu-ilmu fardhu kifayah, seperti ilmu peradaban dan filsafat Barat, astronomi,

sains dan lain-lain. Dalam konteks sekarang – apalagi – ilmu-ilmu peradaban asing perlu

diketahui ulama’, agar teliti dan kritis jika ada konsep-konsep ‘asing’ yang masuk ke dalam

pemikiran umat.

Konsep kurikulum al-Ghazali lantas diperjelas oleh Syed Naquib al-Attas dalam

bukunya Risalah untuk Kaum Muslimin. Menurut al-Attas, kekacauan ilmu terjadi ketika

seorang pelajar mendapat pengajaran yang tidak tepat mengenai konsep fardhu ‘ain dan

fardhu kifayah. Kesalahan itu terletak pada strategi pembelajaran. Yakni cara mengajarkan

ilmu fardhu kifayah yang melepaskan secara total dengan konsepsi ilmu fardhu ‘ain. Apalagi

pengajar-pengajar ilmu fardhu ‘ain mengkelirukan. Yang terjadi adalah pelajar Muslim

mudah digoncangkan adab dan keimanannya (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah

untuk Kaum Muslimin).

Dalam penjelasan al-Attas, kegoncangan adab terjadi ketika terjadi ketimpangan praktik

konsep fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Yakni mendahulukan ilmu fardhu kifayah sebelum

melandasinya dengan ilmu fardhu ‘ain. Semua ilmu pengetahuan (ilmu fardhu kifayah) harus

diajarkan berdasar kepada dan sesuai dengan cara serta tujuan dari ilmu fardhu ‘ain.

Maka dalam konteks pendidikan sekarang, diperlukan segera desain kurikum pendidikan

Islam yang berasaskan dinamisasi konsep fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Dinamisasi

demikianlah yang akan membentuk karakter secara kuat terhadap pribadi anak didik. Berbeda

dengan karakter non-Muslim. Seorang ateis bisa saja memiliki karakter-karakter umum; jujur,

disiplin, bertanggung jawab, berani dan pemaaf. Namun sifat-sifat itu tidak atas dasar iman

kepada Allah.

Bagi Muslim, karakter tersebut pasti dan harus didasari atas perintah dan keimanan

kepada-Nya. Karenanya karakter orang beriman lebih kuat dan konsisten daripadan minus

iman. Inilah yang disebut adab. Seorang ulama terkenal, Syekh Abdul Qadir al-Jilani,

mengatakan agar seorang Muslim berakhlak dengan perilaku terpuji, maka akidahnya harus

terbebas dari penyimpangan. Konsep etika dalam Islam terbungkus dalam bingkai keyakinan

yang benar (al-Ghunyah li Thalibi Tariqil Haq). Karena akidah, mengontrol aktifitas

manusia. Jadi, adab itu terkait dengan tauhid. Karena, adab kepada Allah – sebagai tingkat

adab tertinggi – mewajibkan manusia tidak mensekutukan-Nya.  Oleh sebab itu, dengan adab,

karakter itu lebih terkontrol dan terdisiplin secara ruhani.

26

Dalam pengajaran, pendidikan berkarakter lebih tepat dipraktikkan dengan konsepsi

ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Sebab, jika ilmu fardhu kifayah berelemen dasar fardhu

‘ain, maka dalam pengajaran ilmu-ilmu yang disebut fardhu kifayah tidak melepaskan dari

dimensi ketuhanan. Yang berarti, karakter keilmuannya berdasarkan iman.

Tentu saja penerapan demikian tidak mudah. Namun secara mendasar dapat dimulai

dengan seperti ini; pertama-tama di dalam pendidikan dasar dan menengah, pengajaran ilmu

fardhu ‘ain diperkuat. Formatnya, materi-materi porsi dan praktik pengajarannya akidah

diperkuat.

Di antara empat bidang penting yang ditulis oleh Imam al-Ghazali sebagai bahan

pengajaran27, satu di antaranya tentang membangun akidah sebagai bidang teratas. Karena

bidang ini termasuk yang wajib bagi individu-individu Muslim mengetahuinya. Tiga bidang

lainnya berupa ilmu yang diajarkan setelah bidang pertama, adalah kitab tentang tarbiyah

ruhiyah, fiqih dan pola hubungan dengan masyarakat (sosiologi), terakhir  bidang hikmah

(mencakup ilmu-ilmu teknis, managemen dan pengetahuan-pengetahun yang dibutuhkan oleh

masyarakat). Bidang ini termasuk dalam lingkaran ilmu fardhu kifayah.

Keempat bidang tadi dapat diajaran secara sinergis. Bidang pertama menjadi falsafah

dasar bagi pengajaran ketiga bidang setelahnya. Di sekolah menengah misalnya, kurikulum

akidah akhlak, fikih, biologi, fisika dan lain-lain landasannya adalah pengetahuan tentang

i’tiqad Islam. Atau secara bersama disinergikan dengan bidang kedua -- yakni pendidikan

ruhiyah. Bidang kedua penting dalam memperkuat karakter ilmuan.

Tujuan bidang kedua adalah membebaskan pelajar/ilmuan dari belenggu nafsu --

misalnya takabbur, riya’, materialis, berbohong, dan lain-lain -- agar bertindak sesuai dengan

perintah Allah. Sangat mungkin mengajar biologi atau fisika dengan diramu materi-materi

tarbiyah ruhiyah plus akidah Islam. Pada level yang pendidikan tinggi, mahasiswa diberi

rangsangan untuk menggali konsep-konsep Islam yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.

Dengan desain seperti ini bukan tidak mungkin kelak akan lahir, dokter yang fakih, fisikawan

yang mufassir, atau ulama’ yang matematikawan. Profil ideal ini ada dalam sosok Fakhruddin

al-Razi, generasi ulama’ yang cendekiawan pasca Imam al-Ghazali. Di tangan al-Razi, ilmu

pengetahuan dalam dunia Islam menemukan fase gemilangnya28 -- setelah sekian lama

27 Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, Al Amin Press, Yogyakarta 1997 Hlm. 83

28 Tsuroya Kiswanti, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam, Surabaya: Erlangga, Hlm

22

27

membeku. Fase itu tidak mustahil terwujud di era modern, itu jika seluruh insan pendidikan

Islam menyadari pentingnya dinamisasi epistemologi Islam ini.

Bab III

Pembahasan

A. Realitas Krisis di dunia Pendidikan Islam dewasa ini

Jika menengok sejarah, tentu saja masalah yang sedang dihadapi pendidikan Islam

merupakan sebuah krisis. Dimana pada masa keemasannya Pendidikan Islam mampu

“mencengkram” dunia dengan tatanan edukasinya. Kini, Pendidikan Islam seperti menjadi

ekor, mengikuti arus yang tak tentu. Dalam artian output dari Lembaga Pendidikan Islam

kurang mampu memberi peran, khususnya dalam khazanah keilmuan Islam. Peng-artian

tersebut bukan berarti menggenalisir. Sebab tidak semua output tanpa peran yang menjiwa.

Kita tengok saja kurikulum yang ada pada lembaga-lembaga pendidikan Islam. Banyak

sekali kurikulum yang sifatnya “membatasi”. Dalam artian memagari siswa atau anak didik

pada suatu pengetahuan yang itu saja. Tanpa memberi pengertian akan adanya pengetahuan

lain yang sama-sama digunakan dalam satu bidang. Sehingga output yang dihasilkan

membawa fanatic yang akut, mengingat dalam proses penggodokannya hanya mengetahui

satu kebenaran saja. Sementara kebenaran lain yang masih satu bidang tak tersampaikan.

Kebenaran lain ini lantas dipandang sebagai kebenaran tandingan.

Sikap konserfativ inilah yang mengundang pemikir-pemikir muslim untuk

merekonstruksi pendidikan Islam. Beberapa pemikir Islam Kontemporer, sebut saja Fazlur

Rahman, Mohammad Arkoun, Hasan Hanafi, Muhammad Shahrur, Fatima mernisi menyoroti

secara tajam paradigma keilmuan Islamic studies. Mengenai kurang responsifnya umat islam

terhadap perkembangan zaman, sehingga berimplikasi pada pranata dan tatanan sosial dalam

masyarakat muslim, yang belum berani untuk membuka diri untuk bersentuhan dan berdialog

langsung dengan ilmu-ilmu baru29.

Tujuannya tentu agar Islam tidak terkungkung dalam dunia nya sendiri. Dan tentunya

menerobos perkembangan zaman bukan berarti meninggalkan ajaran yang telah ada.

29 Charlez Kurzman, Liberal Islam : A Source Book, New York, Oxford University Press, 1998, Hlm 928

Arus perkembangan zaman yang kini begitu pesat membawa tatanan seperti tanpa

pegangan. Contoh kecil saja, dimana-mana kita melihat para peserta didik kini lebih tersita

perhatiannya pada hal-hal tak penting, seperti jejaring social, penyalah gunaan internet dsb.

Balance antara perkembangan zaman dengan Pendidikan keagamaan selalu mengalami

ketimpangan. Dikala perkembangan zaman diikuti ternyata membawa manusianya pada arus

yang deras sehingga lupa pada agama, disisi lain konservatisme pada agama membuat Islam

jauh tertinggal.

Dunia Islam dinilai sebagai agama yang irasional ketika ia dihadapkan pada berbagai

hasil temuan dan teori sains modern, karena rumusan pemahaman Islam yang masih sangat

dipengaruhi oleh rumusan keilmuan abad tengah dirasakan amat tidak kondusif dan selaras

dengan laju perkembangan sains kontemporer, alih-alih, umat Islam malah memiliki

semacam sikap alergi terhadap sains yang ditunjukkan dengan adanya kecenderungan untuk

membatasi atau bahkan menjauhi pola pikir filosofis-ilmiah. Dimana, Umat Islam terdahulu

pernah mencapai kemajuan gemilang berdasarkan tradisi berfikir filosofis yang kental30.

Islam begitu mendominasi dalam peradaban dunia, dari berbagai Aspek dan kajian ilmu.

Filsafat, Sains, Ekspansi wilayah, Pioner Akademis dan berbagai hal lain yang masih tercatat

dalam sejarah dunia. Hal ini kerap dinilai sebagai kemunduran signifikan dalam dunia

pendidikan Islam.

Disamping berbagai fenomena yang sebenarnya merupakan sumbu utama yang

memunculkan berbagai pandangan negative terhadap Islam diatas, Umat Islam kini semakin

terpuruk oleh keadaan Internal yang sarat dengan klaim-klaim kebenaran dari berbagai

kelompok social-keagamaan Islam sendiri. Sehingga Umat Islam sangat dipengaruhi oleh

kultur yang tertutup dan tidak mampu melakukan kritikan-kritikan dari dalam untuk

membenahi diri, apalagi untuk membuka diri terhadap kemajuan zaman.

Muhammad Shahrur, pemikir Liberal asal Syiria, dengan keras dan tajam mengkritik

konservatisme ang masih menguasai pemikiran Islam dan berusaha mendekonstruksi

hegemoni pemikirian klasik yang masih tertanam kuat dalam pengetahuan dan kesadaran

umat Islam. Dengan lantang Shahrur menyeru segenap umat Islam untuk “membedah dan

menguliti” pemikiran keislaman yang selam ini masih dikuasai konservatisme sampai akar-

akar yang paling dalam. Berupa sistem epistemis yang dianut umat Islam hingga dewasa ini31.

30 Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001, Hlm 11131 Ibid

29

Senada dengan Muhammad Shahrur, Mumammed Arkoun juga melihat bahwa umat

Islam masih sangat terkungkung oleh logosentrisme produk abad tengahm di mana budaya

kritis epistemology tidak tumbuh secara wajar, hingga menyebabkan “taqdis al-afkar ad-

diniyyah” atau pensakralan buah pemikiran keagamaan32. Kerena itu, untuk melepaskan umat

Islam dari keterkungkungan logosentrisme dan ortodoksi abad tengah yang menjadikan

keilmuan Islam steril dan stagnan sekaligus sangat membatasi ruang dan gerak bagi

penafsiran-penafsiran baru, perlu dilakukan “kritik epistemologi” yang berlanjut dengan

upaya mendekati keilmuan klasik dengan meminjam berbagai metode keilmuan modern yang

ilmiah akademik.

Pembahas mengamati Krisis yang dialami Pendidikan Islam bermuara pada sikap

romantisme lama terhadap pemikiran-pemikiran pada zaman keemasan Islam. Hal tersebut

masih dapat kita saksikan dalam berbagai kurikulum dalam lembaga-lembaga pendidikan

dalam Islam. Tak ada penyegaran dengan hal baru, yang berjalan lurus dengan perkembangan

zaman.

Dalam hal Sains dan ilmu pasti, Dunia Islam sangat tertinggal dan mengekor saja pada

perkembangan sains yang dikuasai Barat pada masa kini. Semenjak Islam dikerangkeng

dalam dogmatisme sempit, radikalisme, dan fundamentalisme maka dipastikan peradaban

Islam meredup, Sains mulai kurang mendapat tempat dan porsi yang seimbang dengan ilmu

agama dalam pembelajarannya33. Imbasnya, pada generasi Islam selanjutnya mengalami

kemerosotan “produk” dan cenderung dikuasai barat.

Kekinian, Nyaris tak ada “produk” baru yang disumbangakan Islam untuk dunia. Jika

dibanding dengan abad dimana Islam menguasai dunia, ini jelas menjadi sebuah Krisis.

Belum lagi konflik intern yang sering terjadi dalam dunia Islam, ini membuat dunia luar

sangat mudah mengombang-ambing stabilitas umat Islam. Fanatisme yang kuat dalam bangsa

Islam menjadi kekuatan termasuk boomerang ketika Islam di sentil hal-hal yang berbau dan

menggoyang Islam. Harusnya ini dapat disikapi dengan sesuatu yang “akademis”, dalam

artian bukan dengan kekerasan atau hal-hal lain yang sifatnya merusak. Ini yang kerap terjadi

di dunia Islam kekinian, dan tentu Pendidikan Islam menjadi salah satu factor yang

seharusnya mampu menata Umat kepada pranata yang berpendidikan.

32 Mohammed Arkoun, Tarikhiyyat al-Fikr al-‘Araby al-Islamy, terj. Hasyim Salih, Beirut, Markaz Al-Inma’ Al-Qawmiy, 1986, Hlm 51-6333 Murad W. Hofman, “Islam : The Alternative”, Terj, Rahmani Astuti, Menengok Kembali Islam Kita, Pustaka Hidayah, 2002, hal.75

30

B. Jihad Pendidikan Sebagai Benteng menghadapi Krisis dalam Dunia Pendidikan

Islam

Jika umat Islam mau bangkit, memperbaiki Kondisi pendidikan dan relevansinya pada

masa kini, maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah membebaskan mindset dan

perspektif kita tentang Islam dari belenggu-belenggu itu. Langkah-langkah apa yang harus

dilakukan oleh kaum Muslim dan jihad di bidang apa yang harus menjadi prioritas?

Lembaga-lembaga pendidikan Islam (di Indonesia khususnya) perlu mengembangkan

pendidikan kritis, yakni mengajak peserta didik untuk « memahami », bukan « mengetahui ».

Esensi pendidikan sebenarnya adalah mengajak siswa untuk berpikir bebas, substantif,

imajinasi, visioner, kreatif dan inovasif. Hal ini hanya bisa tercapai melalui metode

pendidikan yang membebaskan nalar tumbuh secara kritis dan terbuka. Selama ini,

pendidikan di sekolah-sekolah Islam (dan juga sekolah umum lainnya)  identik dengan

menghafal untuk sekedar bisa menjawab soal saat ujian dan mendapatkan nilai yang baik.

Misalnya, saat belajar matematika, siswa disuruh menghafal rumus, bukan memahami proses

pembentukan rumus. 2+1=3, bukan mengapa 2+1=3. Akibatnya, sekolah turut menciptakan

cara berpikir instan, dan memproduksi mentalitas yang gandrung pada sesuatu yang bersifat

lahiriah, simbolik, dan materialistik. “Emang gue pikirin, yang penting gue bisa lulus”. Jadi,

budaya-budaya buruk yang melekat pada bangsa kita secara keseluruhan, sejatinya, tanpa

disadari, sudah tersemaikan lewat dunia pendidikan (Islam) kita

Lembaga pendidikan Islam perlu mengenalkan filsafat dan seni. Filsafat, sebagai sebuah

metode berpikir, dapat mengarahkan peserta didik untuk bisa memahami ilmu pengetahuan

dan fenomena sosial dan alam di sekitarnya dengan baik. Filsafat sebagai cara berpikir, bukan

pelajaran Filsafat itu sendiri. Ini perlu dicatat. Di Perancis, sejak TK, anak-anak sudah

diarahkan untuk berpikir kritis, abstrak dan konseptual. Misalnya, anak TK disuruh untuk

mendefinisikan meja. Apa itu meja ? Mengapa meja berbentuk segi empat ? Apakah meja

selalu berbentuk segi empat ? Mereka, anak-anak TK itu dilatih berpikir secara konseptual

untuk memahami suatu benda atau fenomena. Baru di tingkat SMA, pelajaran Filsafat

dikenalkan. Peserta didik juga perlu diajarkan seni. Seni dapat memperhalus budi pekerti.

Seni juga dapat mengantarkan peserta didik pada sikap mencintai dan menghargai

31

kemanusiaan. Sekolah-sekolah berbasis Islam yang ada kini mementingkan kognisi (IQ),

sedang afeksinya (emosi) dimarjinalkan. Sekolah jenis ini seringkali malah mengebiri fase

perkembangan anak. Anak SD yang seharusnya akrab dengan dunia anak-anak, sudah dijejali

soal-soal kognitif yang tak sesuai dengen perkembangan jiwa dan emosi mereka. Banyak

jebolan sekolah unggulan yang di jenjang sekolah berikutnya gagal secara akademik dan

mental. Layu sebelum berkembang.

Pendidikan Islam harus terbuka dengan kemajuan Barat, tetapi kritis terhadap budaya

yang tak cocok. Pendidikan Islam harus tolak westoksisasi (pembaratan) dan menerima

westernisasi (menerima yang baik dan cocok dari peradaban Barat). Dan tentu belajar dari

peradaban Barat dengan kepala dingin dan tangan terbuka. Tetapi, harus secara gentle

membuang racun-racun Barat yang tidak sesuai dengan budaya Islam. Dulu, pelajar-pelajar

Barat (Eropa) pada Abad Pertengahan tanpa malu berguru pada ulama-ulama muslim, seperti

Ibn Rusyd, Ibn Sina, Ibn Bajjah dll. Mereka tetap memelihara identitas mereka, dan

kemudian mengembangkannya di negaranya sendiri. Maka, tidak heran, jika kebangkitan

Barat sebenarnya dipengaruhi oleh para ulama dan filosof-filsosof muslim. Islam kini terlalu

curiga dengan Barat. Semua yang datang dari Barat haram. Demokrasi haram. Pers bebas

tidak boleh. Pada saat yang sama, Islam terlalu ringkih untuk mengimitasi produk-prosuk

budaya Barat. Dua kutub ekstrim dalam menyikapi Barat inilah yang perlu dikoreksi. Sebab,

keduanya justru tidak menguntungkan. Sikap yang menurut pembahas tepat adalah, kita

ambil “api” Barat, dan kita buang “abunya“.

Menurut konsepsi al-Ghazali, Tujuan Pendidikan tak lain adalah untuk mendekatkan diri

pada Allah SWT. Bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan dan kegagahan atau

mendapatkan kedudukan demi uang (elitism). Sebab jika tujuan pendidikan dbelok arahkan

atau bukan untuk tujuan mendekatkan diri pa Allah, maka akan menimbulkan kedengkaian,

kebencian dan permusuhan34.

Kesadaran untuk Jihad dalam Pendidikan ini tentu harus menyeluruh dalam elemen-

elemen yang ada dalam dunia Pendidikan Islam. Seperti para Pendidik, Peserta didik,

Kurikulum, Lembaga pendidikan dsb.

Al-Ghazali telah merumuskan criteria yang bagaimana yang harus dilaku oleh elemen-

elemen dalam pendidikan, seperti pendidik, murid, kurikulum dsb. Kini, tinggal kita sebagai

pelaku dan praktisi Pendidikan Islam meng eksekusi rumus tersebut dalam rangka Jihad

34 Muhammad Athiyyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha, Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, cet.3, 1975, Hlm 237

32

pendidikan, Jihad mengembalikan Islam dalam kondisi stabil, bukan dalam ruang Krisis

seperti yang sedang dialami sekarang.

33

BAB IV

Kesimpulan

1. Krisis yang dialami Pendidikan Islam dewasa ini adalah krisis mental dan

kepercayaan diri. Rentetan sejarah panjang meredubnya kekuasaan Pendidikan Islam

pasca zaman keemasan turut menyurutkan semangat ngangsu kaweruh. Kini

Pendidikan Barat diakui lebih menjadi pioner dalam peradaban dunia. Mental kita

sebagai bagian dari pendidikan Islam diuji. Mampukah Islam mendominasi kembali?

Atau paling tidak mensejajarkan diri pada Pendidikan Barat. Semua dikembalikan

pada Pendidikan Islam, dengan segala tatanan yang ada sekarang mau tak mau

Pendidikan Islam harus merubah pola konservatif dan ortodoksi epistimologinya jika

ingin mengembalikan sejarah keemasan. Paling tidak menjadi pioneer dalam sebuah

bidang pendidikan, sehingga Banga Islam tak mudah diombang-ambing dan di

“sentil” oleh bangsa lain. Pendidikan berfungsi mengembangkan dan membentuk

watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa itu sendiri, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik

agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis

serta bertanggung jawab.

2. Salah satu jalan menghadapi krisis ini tentunya semangat Bangsa Islam untuk bangkit

dan percaya pada kemampuan yang kini dimiliki. Jihad pendidikan paling tidak

menjadi senjata ampuh untuk merubah pandangan bahwa Pendidikan Islam sedang

“sakit”. Merombak sistem dan pranata Pendidikan Islam lama dengan pemikiran yang

fresh dan tajam. Islam telah memiliki Konsep pemikiran perihal Pendidikan dari

tokoh zaman keemasan, seperti konsep Pendidikan yang ditawarkan al-Ghazali, serta

tak sedikit pula pemikir-pemikir Islam yang kini memiliki kapasitas dan kapabilitas

untuk mempersatukan dunia Pendidikan Islam ke arah yang lebih baik. Resiko dan

segala perjalanan yang akan ditempuh adalah proses untuk merubah pandangan yang

dewasa ini ada, Optimis dan bersatu Pendidikan Islam pasti mampu.

34

Recommended