View
552
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit miopia masih menjadi masalah kesehatan mata di dunia terutama
di negara-negara maju. Miopia adalah kelainan refraksi yang paling umum dan
dapat diatasi dengan mudah apabila penderita memakai kacamata. Walaupun
begitu, efek miopia terhadap kesehatan masyarakat secara umum tidak bisa
diremehkan karena miopia dapat menyebabkan kondisi kebutaan akibat
degenerasi makular neovaskular juga karena pengaruh terhadap kondisi ekonomi
akibat konsultasi ke dokter mata, pembelian kacamata, lensa kontak, dan bedah
refraktif (1).
Prevalensi miopia, terutama pada anak-anak akan berefek pada pendidikan
bahkan juga pada tingkat kecerdasan, sosial, dan ekonomi. Seiring dengan
perjalanan penyakit ini, semakin bertambah miopia, anak juga akan mengalami
peningkatan berbagai risiko komplikasi kebutaan, seperti glukoma dan ablasi
retina (2).
Usia sekolah dasar merupakan usia yang paling penting dalam
perkembangan miopia. Pada usia ini banyak dijumpai kasus miopia baru. Karena
itu deteksi dini pada usia sekolah sangat penting dalam penanganan masalah ini.
Pada suatu penelitian case control di Singapura yang dilakukan pada 8.082 anak
usia sepuluh tahun di 35 sekolah dikatakan bahwa kelainan refraksi terbesar
1
2
terdapat pada miopia dengan prevalensi 24,9%, sedangkan hipermetropia 3,3%
dan astigmatisme 2,2% (3).
Miopia dapat terjadi karena ukuran bola mata yang relatif panjang atau
karena indeks bias media yang tinggi. Penyebab utamanya adalah genetik, yaitu
faktor riwayat orangtua. Anak dengan orangtua miopia cenderung mengalami
miopia (p=0,001). Dalam suatu penelitian dikatakan bahwa miopia terjadi enam
kali lebih besar pada anak yang kedua orangtuanya mengalami miopia
dibandingkan hanya salah satu dari kedua orangtua. Hanya 6-15% dari anak-anak
yang menderita miopia berasal dari orang tua yang tidak menderita miopia (4,5,6).
Salah satu faktor yang berpengaruh dalam perkembangan miopia adalah
aktivitas melihat dekat atau nearwork. Adanya kemajuan teknologi dan
telekomunikasi, seperti televisi, komputer, video game dan lain-lain, secara tidak
langsung juga akan meningkatkan aktivitas melihat dekat (7,8).
Miopia banyak diderita oleh anak-anak di daerah perkotaan dibandingkan
dengan di pedesaan. Dari 300 anak-anak sekolah di perkotaan, 15% mengalami
kelainan refraksi, sedangkan di pedesaan hanya 11% (6).
Penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus (DM) yang tidak terkontrol,
katarak jenis tertentu, obat anti hipertensi serta obat-obatan tertentu dapat
mempengaruhi kekuatan refraksi dari lensa yang dapat menimbulkan miopi.
Faktor penyebab lainnya adalah usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status
sosial ekonomi tinggi, penurunan kegiatan di lingkungan luar, kelahiran bayi
prematur, penggunaan lampu tidur, dan pola sikardian pola terang dan gelap . Dan
kekurangan gizi dan vitamin dapat menyebabkan miopia (6,9,10).
3
Berdasarkan observasi pendahuluan, banyak siswa Sekolah Dasar (SD)
Muhammadiyah 08-10 Cempaka II Banjarmasin yang memakai kacamata minus.
Hal ini menunjukkan bahwa siswa di SD ini banyak mengalami kelainan mata
berupa miopi. Sekolah ini merupakan SD yang memiliki siswa yang orangtuanya
memiliki tingkat sosial ekonomi menengah ke atas. Banyak siswa yang
bersekolah di SD ini memiliki alat-alat teknologi seperti komputer, telepon
genggam dan, video game yang merupakan faktor risiko terjadi miopia. Oleh
karena itu, ingin diketahui lebih jauh tentang kelainan refraksi ini dan
hubungannya dengan berbagai faktor risiko penyebab terjadinya miopia.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diajukan berdasarkan uraian di atas adalah apakah
ada hubungan antara faktor riwayat orangtua dan faktor kebiasaan dengan
terjadinya miopia pada siswa SD Muhammadiyah 08-10 Cempaka II Banjarmasin.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
faktor riwayat orangtua dan faktor kebiasaan dengan terjadinya miopia pada siswa
SD Muhammadiyah 08-10 Cempaka II Banjarmasin.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui:
a. Prevalensi faktor riwayat orangtua pada penderita miopia,
b. Prevalensi faktor kebiasaan pada penderita miopia,
4
c. Menganalisa hubungan antara faktor riwayat orangtua terhadap terjadinya
miopia pada siswa SD Muhammadiyah 08-10 Cempaka II Banjarmasin.
d. Menganalisa hubungan antara faktor kebiasaan terhadap terjadinya miopia pada
siswa SD Muhammadiyah 08-10 Cempaka II Banjarmasin.
D. Manfaat Penelitian
Dari uraian di atas maka manfaat penelitian yang
diharapkan adalah
1. Mengetahui faktor -faktor yang berpengaruh besar terhadap terjadinya miopia,
sehingga dapat dilakukan pencegahan agar tidak terjadi miopia atau tidak
memperburuk kondisi miopia yang sudah terjadi.
2. Peneliti dapat menerapkan pengetahuan tentang community research program,
sehingga dapat menambah kemampuan peneliti untuk melakukan penelitian.
3. Menjadi sumber pustaka bagi peneliti lain yang ingin meneliti hal yang sama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Miopia
Miopia berasal dari dua suku kata bahasa Yunani yaitu, “Myein” yang
artinya menutup dan “Ops” artinya mata. Penderita miopia berusaha mengubah
celah atau rima palpebra menjadi sempit, sehingga didapatkan kualitas bayangan
yang lebih baik (11).
Miopia adalah suatu kelainan refraksi di mana berkas cahaya yang sejajar
dengan garis pandang yang masuk ke dalam mata dalam keadaan tanpa akomodasi
akan dibiaskan di depan retina, karena antara segmen anterior dan posterior tidak
sepadan. Hal ini mungkin menghasilkan pembiasan sinar konvergen yang
berlebihan yang disebabkan kurvatura kornea yang tinggi, lensa yang abnormal,
atau peningkatan indek refraksi lensa. Mekanisme ini seperti yang terlihat pada
Gambar 2.1. Miopia dengan kekuatan optik mata terlalu tinggi, biasanya karena
bola mata yang panjang dengan tajam penglihatan selalu kurang dari 5/5
(11,12,13).
Gambar 2.1 Fokus pada mata miopia (14,15)
5
6
B. Etiologi Miopia
Etiologi miopia disebabkan dua faktor yaitu, faktor genetik dan faktor
lingkungan. Miopia patologis diturunkan secara autosomal resesif. Selama
perkembangan mata, kedua faktor itu mempengaruhi variabel refraksi yang dapat
menyebabkan miopia, misalnya penyakit yang terjadi akibat kehamilan tua
mungkin mengakibatkan peningkatan panjang sumbu bola mata yang abnormal
(11).
Setelah lahir terjadi pemanjangan dan peningkatan volume pada mata bayi.
Pada mata normal terjadi peningkatan perkembangan ukuran bola mata beberapa
kali. Karena, hubungan masing-masing variabel tetap ada, mata tetap emetrop.
Proses ini menunjukkan suatu feedback sistem pengaturan perkembangan
pertumbuhan mata (11).
Bentuk mata tampaknya dapat ditentukan oleh refraksinya. Pada orang
yang berusia muda, aktivitas pekerjaan yang berkaitan dengan benda-benda dekat,
misalnya belajar akan mempercepat timbulnya miopia (16).
Pada miopia, garis tengah anteroposterior bola mata terlalu panjang.
Miopia bersifat genetik. Namun, pada hewan percobaan kelainan ini dapat
ditimbulkan dengan mengubah refraksi selama perkembangan. Pada manusia, ada
korelasi positif antara tidur dalam ruangan bercahaya sebelum berumur 2 tahun
dan timbulnya miopia (16).
Menurut penelitian Raviola dan Wiesel penyebab miopia adalah akibat
kurangnya rangsangan cahaya pada retina untuk pembentukan bayangan. Hal ini
7
disebabkan kurangnya rangsangan cahaya pada retina untuk pembentukan
bayangan sehingga merangsang peningkatan vasoactive intestinal polypeptide
(VIP), yang lokasinya pada sel amakrin dari lapisan nuklear dalam, yang akan
menyebabkan pertumbuhan panjang bola mata. Hal ini didukung oleh Hoyt et al
yang melaporkan bahwa terjadi miopia asimetris dari neonatus yang kelopak
matanya menutup dari berbagai penyebab (11).
C. Epidemiologi Miopia
Penelitian lain menyebutkan prevelansi miopia bervariasi antar negara,
angka tertinggi pada orang Asia dan paling sedikit orang kulit hitam. Di Amerika
dari 25% penderita miopia, 12,6% di antaranya orang kulit hitam, sedangkan
penelitian pada 120.000 orang Cina ditemukan 70% penderita miopia. Survei
statistik internasional menunjukkan angka miopia patologi di Mesir 0,2%,
Cekoslovakia 1%, Spanyol 9,6%, dan Jepang 8,4%. Miopia yang lebih dari –6D
terdapat sebesar 27%-32% dari seluruh populasi miopia, sedangkan miopia yang
lebih dari –8D terdapat 6%-18% (5).
Disebutkan dalam penelitiannya juga bahwa jumlah penderita miopia
wanita lebih banyak dari pada laki-laki. Ditinjau dari sosial ekonomi dan latar
belakang pendidikan, penderita miopia banyak ditemukan tingkat sosial yang
tinggi dan dengan latar belakang pendidikan yang tinggi. Orang yang melakukan
pekerjaan dekat (nearwork) secara intens tetapi tidak mengalami miopia mungkin
tidak mempunyai gen tersebut, tetapi pada anak dengan orang tua yang miopia
cenderung mengalami miopia (p = 0,001). Hal ini cenderung mengikuti pola dose
dependent pattern. Prevalensi miopia pada anak dengan kedua orang tua miopia
8
adalah 32,9%, namun jika anak dengan salah satu orang tua yang miopia
berkurang menjadi 18,2%, dan kurang dari 6,3% pada anak dengan orang tua
tanpa miopia. Penelitian pada anak usia sepuluh tahun mengatakan bahwa, posisi
berbaring atau tengkurap (p<0,001) yang dilakukan pada anak yang miopia lebih
banyak dibandingkan pada anak emetropia. Jarak menonton televisi juga
berpengaruh terhadap kejadian miopia. Menurut penelitian, terdapat tiga kategori
jarak menonton televisi yaitu kurang dari satu meter, satu sampai dua meter, dan
tiga meter atau lebih. Anak dengan jarak menonton televisi kurang dari tiga meter
lebih banyak pada anak yang mengalami miopia. Angka kejadian anak yang
mengalami miopia lebih besar terjadi pada anak yang jarang bermain di luar
rumah dibandingkan anak yang sering bermain di luar rumah, dan bertambah
besar yang terjadi pada anak yang orangtuanya mengalami miopia (5,17).
Selain faktor genetik dan lamanya bekerja dalam jarak dekat, faktor sosial
ekonomi juga mempengaruhi kejadian miopia pada seseorang. Penelitian lain di
Malaysia menunjukan prevalensi yang lebih tinggi pada anak di lingkungan
urban, dan sosioekonomi tinggi . Hal yang sama juga ditemukan di Australia.
Prevalensi miopia lebih rendah pada regio sub urban dan paling tinggi pada regio
pusat kota, sedangkan anak yang tinggal di apartemen memiliki prevalensi miopia
lebih tinggi dari pada yang tinggal di rumah biasa (5).
D. Klasifikasi Miopia
Berdasarkan besar derajat miopia dibagi dalam:
1. Miopia ringan adalah miopia antara 0–3 D,
2. Miopia sedang adalah miopia antara 3–6 D, dan
9
3. Miopia tinggi adalah miopia di atas 6 D (19).
Menurut perjalanan penyakitnya, miopia dibagi menjadi:
1. Miopia stasioner yaitu miopia yang menetap setelah dewasa,
2. Miopia progresif yaitu miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat
bertambah panjangnya bola mata,
3. Miopia maligna yaitu miopia yang berjalan progresif, serta dapat
mengakibatkan ablasi retina dan kebutaaan istilah lainnya adalah miopia
pernisiosa atau miopia degenerative (19).
Pada miopia, panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau
kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat. Dikenal beberapa bentuk miopia
yaitu
1. Miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi
pada katarak intumesen di mana lensa menjadi lebih cembung sehingga
pembiasan menjadi lebih kuat. Sama dengan miopia bias atau miopia indeks,
miopia yang terjadi akibat pembiasan media penglihatan kornea dan lensa
yang terlalu kuat.
2. Miopia aksial, miopia akibat panjangnya sumbu bola mata, dengan
kelengkungan kornea dan lensa yang normal (18).
E. Patofisiologi Miopia
Terjadinya pemanjangan sumbu anteroposterior bola mata yang berlebihan
pada miopia patologis masih belum diketahui. Sama halnya terhadap hubungan
antara elongasi dan komplikasi penyakit ini, seperti degenerasi chorioretina,
ablasio retina dan glaukoma. Columbre et al, berpendapat tentang penilaian
10
perkembangan mata anak ayam yang di dalam pertumbuhan normalnya, tekanan
intraokular meluas ke rongga mata di mana sklera berfungsi sebagai penahannya
(19).
1. Menurut Tahanan Sklera.
a.Mesadermal
Abnormalitas mesodermal sklera secara kualitas maupun kuantitas dapat
mengakibatkan elongasi sumbu mata. Percobaan Columbre et al dapat
membuktikan hal ini, di mana pembuangan sebagian masenkim sklera dari
perkembangan ayam menyebabkan ektasia daerah ini, karena perubahan tekanan
dinding okular. Dalam keadaan normal sklera posterior merupakan jaringan
terakhir yang berkembang. Keterlambatan pertumbuhan strategis ini
menyebabkan kongenital ektasia pada area ini. Sklera normal terdiri dari pita luas
padat dari bundle serat kolagen. Hal ini terintegrasi baik, terjalin bebas, ukuran
bervariasi tergantung pada lokasinya. Bundle serat terkecil terlihat menuju sklera
bagian dalam dan pada zona ora equatorial. Bidang sklera anterior merupakan
area crosectional yang kurang dapat diperluas per unitnya dari pada bidang lain
(19).
b.Ektodermal - Mesodermal
Vogt awalnya memperluas konsep bahwa miopia adalah hasil ketidak
harmonisan pertumbuhan jaringan mata di mana pertumbuhan retina yang
berlebihan bersamaan dengan tingginya perkembangan baik koroid maupun sklera
menghasilkan peregangan pasif jaringan. Meski alasan Vogt pada umumnya tidak
11
dapat diterima, telah diteliti ulang dalam hubungannya dengan miopia bahwa
pertumbuhan koroid dan pembentukan sklera di bawah pengaruh epitel pigmen
retina. Pandangan baru ini menyatakan bahwa epitel pigmen abnormal
menginduksi pembentukan koroid dan sklera subnormal. Hal ini yang mungkin
menimbulkan defek ektodermal–mesodermal umum pada segmen posterior
terutama zona oraequatorial atau satu yang terlokalisir pada daerah tertentu dari
pole posterior mata, di mana dapat dilihat pada myopia patologik (tipe stafiloma
posterior) (19).
2. Meningkatnya Suatu Kekuatan yang Luas
a. Tekanan Intraokular Basal
Contoh klasik miopia sekunder terhadap peningkatan tekanan basal terlihat
pada glaukoma juvenil di mana bahwa peningkatan tekanan berperan besar pada
peningkatan pemanjangan sumbu bola mata (19).
b. Susunan Peningkatan Tekanan
Secara anatomis dan fisiologis sklera memberikan berbagai respon
terhadap induksi deformasi. Secara konstan sklera mengalami perubahan pada
stres. Kedipan kelopak mata yang sederhana dapat meningkatkan tekanan
intraokular 10 mmHg, sama juga seperti konvergensi kuat dan pandangan ke
lateral. Pada valsava manuver dapat meningkatkan tekanan intraokular 60 mmHg.
Juga pada penutupan paksa kelopak mata, tekanan initraokular meningkat sampai
70-110 mmHg. Gosokan paksa pada mata merupakan kebiasaan jelek yang sangat
12
sering di antara mata miopia, sehingga dapat meningkatkan tekanan intraokular
(19).
F. Manifestasi Klinis Miopia
Pasien dengan miopia akan melihat jelas bila dalam jarak pandang dekat
dan melihat kabur jika pada pandangan jauh. Penderita miopia akan mengeluh
sakit kepala, sering disertai dengan juling dan celah kelopak yang sempit. Selain
itu, seseorang penderita miopia mempunyai kebiasaan mengernyitkan matanya
untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang
kecil). Pasien miopia mempunyai pungtum remortum (titik terjauh yang masih
dilihat jelas) yang dekat sehingga mata selalu dalam keadaan konvergensi. Hal ini
yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini
menetap, maka penderita akan terlihat juling ke dalam atau esoptropia (18).
G. Pemeriksaan Miopia
Pemeriksaan pasien dengan miopia dibagi menjadi dua yaitu:1. Pemeriksaan subjektif: ketajaman penglihatan jarak jauh (Snellen) & jarak
dekat (Jaeger), pemeriksaan koreksi kacamata trial & error (coba-coba),
2. Pemeriksaan objektif: retinoskopi, funduskopi, refraktometer (18).
Kelainan refraksi merupakan kelainan terbanyak ditemukan pada mata.
Pengukuran besarnya kelainan yang tepat diperlukan untuk mencapai hasil
penatalaksanaan yang memuaskan. Idealnya pengukuran besarnya kelainan
refraksi dilakukan dalam keadaan tanpa akomodasi (20).
13
Anak usia prasekolah, untuk yang sudah dapat mengenal huruf dapat
memakai kartu huruf Snellen, sedangkan untuk anak-anak yang belum mengenal
huruf dapat memakai kartu gambar dengan mengenal bentuk, misalnya dengan
Teller acuity card, kartu E atau kartu HOTV. Kartu-kartu ini dipakai dengan
metode mencocokkan dengan kartu kunci. Selain itu penelitian lain menyebutkan,
pemeriksaan dengan autorefraktor sudah banyak digunakan, tetapi anak
mempunyai kesulitan untuk mempertahankan fiksasi sentral ke dalam alat-alat
tersebut sehingga hasil pemeriksaan bervariasi. Retinoskopi merupakan teknik
standar untuk refraksi objektif pada anak (21,22).
H. Penatalaksanaan Miopia
Orang yang mengalami miopia diberi kacamata lensa sferis untuk
membantu penglihatannya. Penatalaksanaan kelainan refraksi miopia yang dapat
dikerjakan adalah sebagai berikut
1. Lensa kacamata
Kacamata masih merupakan metode paling aman untuk memperbaiki
refraksi, dengan menggunakan lensa bikonkaf. Koreksi dengan lensa ini dapat
dilihat seperti pada Gambar 2.2
Gambar 2.2 Koreksi miopia dengan lensa bikonkaf (23).
14
Keuntungan kacamata pada orang miopia adalah kemampuannya untuk
membaca huruf-huruf cetak yang paling kecil tanpa memakai kacamata
walaupun usianya lebih lanjut. Kerugian memakai kacamata pada mata dengan
miopia(24):
a.Walaupun kacamata memberikan perbaikan penglihatan ia akan bertambah berat
bila ukuran bertambah, selain mengganggu penampilan atau kosmetik.
b.Ukuran benda yang dilihat akan lebih kecil dari sesungguhnya, setiap -1.00 D
akan memberi kesan pengecilan benda 2%.
c.Bila memakai kacamata dengan kekuatan -10.00 D maka akan terjadi pengecilan
sebesar 20%.
d.Tepi gagang dan tebalnya lensa akan mengurangi lapang pandangan tepi (24).
2. Lensa Kontak
Lensa kontak keras, yang terbuat dari polimetilmetakrilat merupakan
lensa kontak pertama yang benar-benar berhasil dan memperoleh penerimaan
yang luas sebagai pengganti kacamata. Pengembangan selanjutnya antara lain
adalah lensa kaku yang permeabel udara, yang terbuat dari asetat bultirat selulosa,
silikon, atau berbagai polimer plastik dan silikon; dan lensa kontak lunak, yang
terbuat dari bermacam-macam plastik hidrogel, yang semuanya menghasilkan
kenyamanan yang lebih baik tetapi resiko penyulit serius leih besar (24).
Lensa kontak lunak, terutama bentuk-bentuk yang lebih lentur,
mengadopsi bentuk kornea pasien. Dengan demikian, daya refraksinya terdapat
hanya pada perbedaan antara kelengkungan depan dan belakang, dan lensa ini
15
hanya sedikit mengoreksi astigmatisma kornea kecuali apabila disertakan koreksi
silindris (24).
Lensa kontak mengurangi masalah penampilan atau kosmetik akan tetapi
perlu diperhatikan kebersihan dan ketelitian pemakaiannya. Selain masalah
pemakaiannya, perlu diperhatikan masalah lama pemakaian, infeksi, dan alergi
terhadap bahan yang dipakai (24).
3. Bedah Keratoretraktif
Bedah keratorefraktif mencakup serangkaian metode untuk mengubah
kelengkungan permukaan anterior mata karena tidak mungkin untuk
memendekkan bola mata pada miopia. Pada keadaan tertentu miopia dapat diatasi
dengan pembedahan pada kornea (24).
Pada saat ini terdapat berbagai cara pembedahan pada miopia seperti:a. Keratotomi radial, radial keratotomy (RK)
b. Keratotomi fotorefraktif, Photorefractive Keratotomy (PRK)
c. Laser Assisted in Situ Interlameral Keratomilieusis (LASIK) (24).
H. Pencegahan Miopia
Sejauh ini hal yang dilakukan adalah mencegah kelainan anak atau
mencegah jangan sampai menjadi parah. Biasanya dokter melakukan beberapa
tindakan seperti pengobatan laser, obat tetes tertentu untuk membantu
penglihatan, operasi, penggunaan lensa kontak dan penggunaan kacamata (24).
Pencegahan lainnya adalah dengan menggunakan visual hygene berikut ini
1. Mencegah terjadinya kebiasaan buruk;
16
a. Anak dibiasakan duduk dengan posisi tegak sejak kecil,
b. Memegang alat tulis dengan benar,
c. Lakukan istirahat setiap 30 menit setelah melakukan membaca atau
menonton televisi,
d. Batasi jam membaca,
e. Aturlah jarak baca yang tepat yaitu 30 sentimeter, dan gunakanlah
penerangan yang cukup,
f. Kalau memungkinkan untuk anak-anak diberikan kursi yang bisa diatur
tingginya sehingga jarak bacanya selalu 30 cm.
2. Beberapa penelitian melaporkan bahwa usaha untuk melatih jauh atau melihat
jauh dan dekat secara bergantian dapat mencegah miopia,
3. Jika ada kelainan pada mata, kenali dan perbaiki sejak awal. Jangan menunggu
sampai ada gangguan pada mata. Jika tidak diperbaiki sejak awal, maka
kelainan yang ada bisa menjadi permanen, misalnya bayi prematur harus terus
dipantau selama 4-6 minggu pertama di ruang inkubator untuk melihat apakah
ada tanda-tanda retinopati,
4. Untuk anak dengan tingkat miopia kanan dan kiri tinggi, segera lakukan
konsultasi dengan dokter spesialis mata anak supaya tidak terjadi juling. Patuhi
setiap perintah dokter dalam program rehabilitasi tersebut,
5. Walaupun sekarang ini sudah jarang terjadi defisiensi vitamin A, ibu hamil
tetap perlu memperhatikan nutrisi, termasuk pasokan vitamin A selama hamil,
6. Periksalah mata anak sedini mungkin jika dalam keluarga ada yang memakai
kacamata. Untuk itu, pahami perkembangan kemampuan melihat bayi,
17
7. Dengan mengenali keanehan, misalnya kemampuan melihat yang kurang,
segeralah melakukan pemeriksaan,
8. Di sekolah sebaiknya dilakukan skrining pada anak-anak (5).
18
BAB III
LANDASAN TEORI
A. Landasan Teori
Miopia adalah suatu kelainan refraksi di mana berkas cahaya yang sejajar
dengan garis pandang yang masuk ke dalam mata dalam keadaan tanpa akomodasi
akan dibiaskan di depan retina. Oleh karena antara segmen anterior dan posterior
tidak sepadan. Hal ini mungkin menghasilkan bias sinar konvergen yang
berlebihan yang disebabkan kurvatura kornea yang tinggi, lensa yang abnormal,
atau peningkatan indek refraksi lensa. Miopia dideskripsikan sebagai gangguan
untuk melihat jauh dengan visus di bawah 6/6 (5,11).
Penelitian cross sectional yang dilakukan pada anak sekolah dengan usia
8-15 tahun di Rahim yar Khan India dengan jumlah siswa 57 orang. Penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat 91% siswa yang mengalami miopia (p<0,001) (25).
Bila anak sekolah dasar mempunyai salah satu atau kedua orang tua yang
menderita miopia, maka dikatakan bahwa anak tersebut memiliki faktor genetik,
yaitu garis tengah anteroposterior bola mata terlalu panjang. Prevalensi miopia
pada anak dengan kedua orangtuanya mengalami miopia yaitu 43,6%, jika hanya
salah satu orangtua 14,9% dan tidak pada keduanya hanya 7,6% yang dikatakan
pada suatu penelitian di Australia pada anak sekolah usia 12 tahun (26).
Bentuk mata tampaknya dapat ditentukan oleh refraksinya. Pada orang
yang berusia muda, aktivitas pekerjaan yang berkaitan dengan benda-benda dekat,
misalnya belajar akan mempercepat timbulnya miopia. Ada korelasi positif antara
19
tidur dalam ruangan bercahaya sebelum berumur 2 tahun dan timbulnya miopia
(5,16).
Faktor kebiasaan yang mempengaruhi miopia pada anak sekolah dasar
seringnya terdiri dari hal:
1.Membaca atau belajar pelajaran di sekolah dan membaca untuk kesenangan
(hobi).
2. Menonton televisi. Aktivitas di luar rumah. Bermain video game, bekerja
dengan komputer di rumah menggunakan internet.
Kerangka teori ini secara skematis dapat dilihat pada Gambar 3.1
Gambar 3.1 Kerangka konsep
B. Hipotesis
1. Terdapat pengaruh antara faktor riwayat orangtua terhadap terjadinya miopia
pada siswa SD Muhammadiyah 08-10 Cempaka II Banjarmasin.
2. Terdapat pengaruh antara faktor kebiasaan terhadap terjadinya miopia pada
siswa SD Muhammadiyah 08-10 Cempaka II Banjarmasin.
Miopia
Faktor riwayat orangtua
Faktor kebiasaan :
1. Posisi dan jarak membaca2. Jarak menonton televisi3. Aktivitas di luar rumah4. Penggunaan video game
dan komputer.
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan
retrospective study yang dimaksudkan untuk mengetahui faktor risiko dengan
kejadian miopia pada siswa sekolah dasar kelas empat, lima, dan enam SD
Muhammadiyah 08-10 Cempaka II Banjarmasin.
B. Populasi dan Sampel
Populasi yang diambil adalah siswa Sekolah Dasar Muhammadiyah 08-10
Banjarmasin. Sampelnya adalah siswa sekolah dasar kelas empat, lima, dan enam
yang menderita miopia atau memakai kacamata minus, dengan jumlah sampel
minimal 30 siswa. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental
sampling.
Kriteria inklusi kasus pada penelitian ini:
1. Seluruh siswa kelas empat, lima, dan enam SD Muhammadiyah 08-10
Cempaka II Banjarmasin.
2. Siswa yang menderita miopia dengan menggunakan kacamata minus.
Kriteria inklusi kontrol pada penelitian ini:
1. Seluruh siswa kelas empat, lima, dan enam SD Muhammadiyah 08-10
Cempaka II Banjarmasin.
2. Siswa yang tidak mengalami miopia dengan tidak menggunakan kacamata.
20
21
C. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian berupa pemeriksaan dengan lembar pertanyaan.
D. Variabel Penelitian
Variabel bebas pada penelitian ini adalah
1. Faktor riwayat orangtua
2. Faktor kebiasaan yang terdiri dari: jarak dan posisi membaca, jarak
menonton televisi, aktivitas di luar rumah, penggunaan video game dan
komputer.
Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian miopia pada siswa
kelas empat, lima, dan enam SD Muhammadiyah 08-10 Cempaka II Banjarmasin.
E. Definisi Operasional
1. Miopia adalah siswa yang memakai kacamata minus dan memiliki gangguan
untuk melihat jauh. Pada penelitian ini, kondisi miopia ditentukan dari siswa
menggunakan kacamata minus.
2. Faktor riwayat orangtua adalah yang berasal dari orangtua siswa yang juga
mengalami miopia, memakai kacamata minus.
3. Faktor kebiasaan adalah aktivitas kebiasaan anak membaca atau belajar
dengan jarak yang dekat dalam waktu yang lama, yang meliputi membaca
atau bekerja secara dekat yaitu kurang dari 33 cm, posisi membaca dengan
duduk, berbaring atau tengkurap, jarak menonton televisi yang kurang dari
tiga meter, dan seringnya anak bermain video game, game online, dan
22
komputer. Faktor kebiasaan dinyatakan menjadi kebiasaan baik dan buruk.
Disebut kebiasaan baik apabila sampel memperoleh nilai 9,6-12 dari
kuisioner, sedangkan disebut kebiasaan buruk apabila sampel memperoleh
nilai 6-9,5.
F. Prosedur Penelitian
Penelitian dilakukan dengan tiga tahap, yaitu persiapan dan pelaksanaan.
1. Persiapan
Sebelum melakukan penelitian dilakukan survei pendahuluan untuk
melihat jadwal dan izin dari pihak sekolah dasar yang akan diteliti.
2. Pelaksanaan
Pada hari yang telah ditentukan, peneliti akan memilih beberapa anak yang
memakai kacamata minus untuk mendapatkan beberapa anak yang menderita
miopia. Kemudian membagikan kuesioner yang berisi beberapa pertanyaan.
Sebelumnya, peneliti akan menjelaskan cara pengisian kuesioner tersebut.
Pertanyaan kuesioner akan dibawa pulang untuk diisi di rumah beserta lembar
informed consent dan akan dikumpulkan kembali sehari setelahnya.
G. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer yang
didapat dengan menggunakan kuesioner. Pertanyaan yang terdapat dalam
kuesioner atau daftar pertanyaan tersebut cukup terperinci dan jelas. Pengolahan
data dilakukan setelah semua pengumpulan data dilakukan.
H. Cara Analisis Data
23
Dari hasil kuesioner akan didapatkan hasil jumlah dari setiap faktor risiko.
a. Analisa Univariat
Analisis univariat untuk menggambarkan variabel bebas dengan variabel
terikat yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
b. Analisa Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mencari hubungan antara faktor genetik
dan faktor lingkungan dengan terjadinya miopia menggunakan uji korelasi
Lambda dengan tingkat kepercayaan 95%.
I. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SD Muhammadiyah 08-10 Banjarmasin
2. Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan alokasi waktu seperti yang tertera pada
pada Tabel 4.2 berikut:
24
Tabel 4.2 Jadwal Kegiatan Pelaksanaan Penelitian
KegiatanBulan ke-
2010 201111 12 4 9 10 12
Pengumpulan referensi
Konsultasi
Penyusunan proposal penelitian
Seminar KTI I
Perbaikan dan Penggandaan KTI I
Penelitian
Pengolahan & Analisis Data
Konsultasi KTI II
Seminar KTI II
J. Biaya Penelitian
Penelitian ini memerlukan biaya sebesar Rp 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah),
dengan perincian sebagai berikut
Pengumpulan referensi = Rp. 150.000,-
Penggandaan kuesioner = Rp. 100.000,-
Penggandaan dan penjilidan proposal = Rp. 50.000,-
Total = Rp. 300.000,-
Recommended