View
219
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
1
2
Kurikulum 2013 dan Pembelajaran Bahasa yang Berkarakter di PIPS1
Oleh Moh. Yamin2
Abstrak: pembelajaran bahasa dalam PIPS bertujuan untuk mengenalkan
bagaimana peserta didik kemudian mampu berkomunikasi dan
berinteraksi dengan bahasa yang baik dan mampu diterima oleh yang lain
sebagai sesuatu yang santun. Kurikulum 2013 dalam konteks ini
mendukung tujuan pembelajaran tersebut. Pentingnya merumuskan
sebuah pola pembelajaran bahasa yang berkarakter dalam PIPS adalah
sebuah hal niscaya. Tentu, tulisan ini menawarkan sebuah cara pandang
baru tentang pembelajaran bahasa yang menanamkan cara pandang dan
hidup yang berkarakter bagi peserta didik. Luarannya adalah memberikan
pijakan tegas bagaimana sebuah pembelajaran bahasa dikemas dalam
konteks yang mengadabkan dan memberadabkan.
Kata Kunci: Kurikulum 2013, Pembelajaran, Bahasa Berkarakter dan PIPS
Pengantar
Tuntutan ke depan dalam rangka melahirkan penyelenggaraan PIPS yang
berkarakter sesuai dengan harapan kurikulum 2013 adalah dengan mencoba
memasukkan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa dalam konteks ini
berperan penting untuk menghaluskan komunikasi dan pesan yang diharapkan
dalam PIPS. Oleh sebab itu, adalah penting untuk menajamkan bahasa sebagai
bagian penting dalam pembelajaran PIPS dalam bentuk pembelajaran bahasa di
kelas PIPS. Diakui maupun tidak, kuatnya peran bahasa dalam pembelajaran
adalah sebuah hal niscaya dan tidak bisa dibantah lagi. Artikel ini tentunya
menawarkan sebuah pandangan baru bagaimana sebuah pembelajaran bahasa di
PIPS perlu diformat dengan wajah yang humanis serta berkarakter agar out put
dari para peserta didiknya menjadi manusia-manusia yang berkarakter akibat
pembelajaran bahasa yang berkarakter.
Pembahasan
1 Makalah ini disampaikan pada acara Seminar Nasional Implementasi Kurikulum 2013 dan
Aktualisasi Pendidikan IPS dalam Upaya Memantapkan Insan Berkarakter, 4 Mei 2013 di Unlam
Banjarmasin. 2 Dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unlam Banjarmasin.
3
Dalam pendidikan ilmu pengetahuan sosial (PIPS), tantangan mendesak
dan mendasar yang harus dikembangkan dalam rangka menyelenggarakan
pembelajaran yang konstruktif bagi peserta didik adalah mengonstruksi pola
pembelajaran yang membuka kepekaan peserta didik dalam kehidupan. Kepekaan
peserta didik dalam kehidupan pendidikan pun akan bisa diciptakan ketika bahasa
yang digunakan kemudian memberikan ruang berwicara yang terbuka. Tentunya,
kepekaan sedemikian juga akan semakin bisa digali dengan sedemikian rupa
ketika kurikulum sangat mendukung tujuan pembelajaran tersebut. Oleh
karenanya, berbicara tentang kurikulum, ini kemudian mengingatkan kita terhadap
kurikulum 2013 yang direncanakan akan ditunaikan tahun ini. Pertanyaan awal
saat berbicara tentang kurikulum adalah apakah kurikulum itu sendiri? Hilda Taba
dalam bukunya “Curriculum Development, Theory and Practice” sebagaimana
yang dikutip Hamzah (2007) mendefinisikannya sebagai “a plan for learning”,
yakni sesuatu yang direncanakan untuk pelajaran anak. Ada sejumlah pakar lain
yang berbeda mendefinisikan kurikulum:
1. J. Galen dan William M. Alexander dalam bukunya “Curriculum Planning
for Better Teaching and Learning (1956) memberikan definisi kurikulum
sebagai the sum total of school’s efforts to influence learning, whether in
the classroom, on the playground or out of school. Oleh karenanya, segala
usaha sekolah guna memengaruhi anak belajar, apakah dalam ruangan
kelas, di halaman sekolah atau di luar sekolah disebut kurikulum. Ia pun
juga meliputi apa pun yang disebut kegiatan ekstrakurikuler;
2. Harold B. Albertys dalam bukunya Reorganizing the High-School
Curriculum (1965) mencermati kurikulum sebagai all of the activities that
are provided for students by the school. Ringkasnya, segala kegiatan yang
difasilitasi oleh sekolah demi kepentingan siswa;
3. B. Othanel Smith, W.O. Stanley dan J. Harlan Shore mamandang
kurikulum sebagai a sequence of potential experiences set up in the school
for the purpose of disciplining children and youth in group ways of
thinking and acting (sebuah rangkaian pengalaman potensial yang dapat
diberikan kepada anak supaya mereka dapar berpikir dan berbuat sesuatu
dengan masyarakatnya);
4
4. William B. Ragan dalam bukunya Modern Elementary Curriculum (1966)
menjelaskan arti kurikulum sebagai including “all the experiences of
children for which the school accepts responsibility. It denotes the results
of efforts on the part of the adults of the community and the nation to bring
to the children the finest, most whole some influences that exists in the
culture”. Ragan menggunakan kurikulum dalam arti yang luas, yang
mencakup semua program dan kehidupan dalam sekolah, yaitu segala
pengalaman anak di bawah tanggung jawab sekolah. Kurikulum tidak
hanya mencakup bahan pelajaran, namun seluruh kehidupan dalam kelas.
Hubungan sosial antara guru dan murid, metode mengajar, cara
mengevaluasi pun juga termasuk dalam kurikulum;
5. J. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller dalam bukunya Secondary School
Improvement (1973) berpendapat bahwa kurikulum itu mencakup metode
mengajar dan belajar, cara mengevaluasi murid dan semua program,
perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervisi dan
administrasi dan hal-hal struktural mengenai waktu, jumlah ruangan serta
kemungkinan memilih mata pelajaran;
6. Alice Miel menyatakan dalam bukunya Changing the Curriculum bahwa
kurikulum meliputi keadaan gedung, suasana sekolah, keinginan,
keyakinan, pengetahuan dan sikap orang-orang yang melayani dan
dilayani sekolah, yakni anak didik, masyarakat, para pendidik dan
personalia (termasuk penjaga sekolah, pegawai administrasi dan orang lain
yang memiliki hubungan dengan murid). Oleh karenanya, kurikulum itu
membincang segala pengalaman dan pengaruh yang bercorak pendidikan
yang didapat anak di sekolah. Bahkan, definisi Miel tersebut sangat luas,
tidak hanya pengetahuan, kecakapan, kebiasaan, sikap, apresiasi, cita-cita
dan norma, namun juga pribadi guru, kepala sekolah, dan seluruh pegawai
sekolah;
7. Edward A. Krug dalam The Secondary School Curriculum (1960)
menyatakan bahwa curriculum consists of the means used to achieve or
carry out given purposes of schooling. Kurikulum dipandangnya sebagai
cara dan upaya guna mencapai tujuan persekolahan. Ia kemudian
5
membedakan tugas mengenai perkembangan anak dan tanggung jawab
lembaga pendidikan lainnya seperti rumah tangga, lembaga agama,
masyarakat dan lain seterusnya. Secara sengaja, ia menggunakan istilah
“schooling” guna menjelaskan apa sebenarnya tugas sekolah. Sehingga
memborong segala tanggung jawab atas pendidikan anak merupakan
beban yang terlampau berat. Ini kemudian berimbas pada pengelolaan
pendidikan yang buruk. Oleh karenanya, Krug kemudian membatasi
kurikulum pada 1. organized classroom instruction, pengajaran dalam
kelas, 2. kegiatan tertentu di luar pengajaran, seperti bimbingan dan
penyuluhan, kegiatan pengabdian masyarakat, pengalaman kerja yang
berkelindan erat dengan pelajaran dan perkemahan. Lebih jauh, ia
mengatakan bahwa kurikulum adalah sesuatu yang direncanakan sebagai
pegangan guna mencapai tujuan pendidikan. Apa yang direncanakan
biasanya bersifat idea, suatu cita-cita tentang manusia atau warga negara
yang akan dibentuk. Kurikulum ini lazim mengandung harapan-harapan
yang sering berbunyi muluk.
Mencermati sejumlah definisi kurikulum tersebut, maka ada satu benang
merah yang bisa dipertegas bersama bahwa sesungguhnya kurikulum berjalin
kelindan dengan bagaimana pembelajaran, termasuk PIPS kemudian dijalankan
dengan sedemikian rupa. Ketika benang merah tersebut kemudian dibenturkan
dengan kurikulum 2013, maka kurikulum yang akan dijalankan ini memiliki
tujuan dalam rangka mempersiapkan insan Indonesia untuk memiliki kemampuan
hidup sebagai pribadi dan warga negara yang produktif, kreatif, inovatif, dan
afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, dan peradaban (Hasan, 2013). Tentunya, terkait dengan bahasa yang
perlu dibelajarkan dalam PIPS, kurikulum pun perlu mewadahi itu agar
pembelajarannya bisa dilangsungkan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang
ingin dicapai. Apakah bahasa itu sendiri? Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan
yang arbitrari yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk
berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berlandaskan pada budaya yang
mereka miliki secara bersama (Dardjowidjojo, 2007: 14). Wittgenstein kemudian
6
mengatakan bahwa bahasa adalah cerminan nilai-nilai masyarakat yang terpantul
pada pelbagai tata permainan bahasa yang mereka gunakan (Riko, 2011: xiv).
Selanjutnya adalah bagaimana bahasa yang dibelajarkan dalam PIPS bisa
dilaksanakan secara terarah dan sesuai tujuan? Pasalnya dalam pembelajaran
bahasa saat ini, menjadi penting untuk memasukkan nilai-nilai karakter bagi
kehidupan peserta didik. Rushworth sebagaimana yang dikutip oleh Yudi Latif
memerikan tujuh kualitas yang diperlukan untuk suatu program pendidikan
karakter yang berhasil dalam pembelajaran bahasa, yang ia sebut sebagai “seven
E‟s”:
1. Empowered (pemberdayaan). Para guru harus diberdayakan untuk
mengajarkan pendidikan karakter;
2. Effective (efektif). Kidder mengatakan, kita memiliki segala bukti bahwa
kita melakukan intervensi dalam proses pendidikan karakter sehingga
siswa menjadi mengerti tentang banyak hal yang sebelumnya mereka
tidak pahami sebelumnya. Pendidikan karakter sangat efektif untuk
dilakukan di sekolah;
3. Extended to community (diperluas ke komunitas). Komunitas harus
menolong sekolah dalam menyemai pendidikan karakter;
4. Embedded (melekat). Memberikan pendidikan karakter yang melekat
kepada setiap pelajaran merupakan sebuah hal niscaya sebab setiap guru
tidak memiliki waktu yang banyak untuk mengajar pendidikan karakter
di luar jam sekolah;
5. Engaged (terlibat). Buatlah komunitas terlibat dengan menyodorkan
topik-topik yang mereka sangat penting untuk mendukung terbentuknya
pendidikan karakter;
6. Epistemological (epistemologis). Kembangkan konsep yang jelas
konkret dan terukur dalam membincangkan etika namun lebih penting
dari itu adalah ajaklah setiap anak didik untuk terlibat langsung dalam
kegiatan-kegiatan yang bermuara pada pendidikan karakter;
7. Evaluative (evaluatif). Buatlah beberapa struktur, seperti pre-test dan
post-test untuk mengukur capaian pendidikan karakter yang sudah
didapat siswa dalam pembelajaran bahasa.
7
Dengan demikian, Thomas Lickona dalam buku terkenalnya, Educating
for Character (1991) menyimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan usaha
sengaja untuk menolong orang agar memahami, peduli akan dan bertindak atas
dasar-dasar nilai etis. Ia menegaskan bahwa tatkala kita berpikir tentang bentuk
karakter yang ingin ditunjukkan oleh anak-anak, teramat jelas bahwa kita
menghendaki mereka mampu menilai yang benar, peduli terhadap yang benar
serta melakukan apa yang diyakinya benar, bahkan ketika harus menghadapi
tekanan dari luar dan godaan dari dalam. Hal pokok yang perlu ditekankan dalam
pendidikan karakter adalah pentingnya pertautan moral (moral judgement) dengan
perilaku aktual (actual conduct) dalam situasi konkret (moral situation). Adalah
benar bahwa pengetahuan dan pemahaman moral adalah prasyarat bagi tindakan
moral. Tidak seorang pun yang dapat bertindak atas dasar prinsip moral atau tanpa
aturan terlebih dahulu memiliki kesadaran tentang hal itu. Masalahnya, keputusan
moral sebagai tindakan aktual ditentukan dalam situasi yang konkret. Situasi
moral yang berbeda akan memengaruhi keputusan tindakan moral yang berbeda.
Hernowo selanjutnya dengan menggunakan pendekatan Thomas Lickona
dalam menjalankan pendidikan karakter selanjutnya melibatkan tiga hal penting,
yakni knowing, loving dan acting the good. Ia berpandangan bahwa tidak
mungkin mendidik karakter seseorang jika hanya berdasarkan pada knowing the
good saja, yakni bagaimana pengetahuan tentang karakter yang baik cukup
dijejalkan dalam kelas. Knowing perlu dibarengi dengan loving, yaitu sebuah
upaya untuk mencintai karakter yang baik itu. Knowing dan loving pun tidak dan
belum cukup sebab diperlukan hal yang ketiga yang sangat menentukan
keberhasilan pendidikan karakter, yaitu bagaimana memunculkan seseorang yang
mau dan mampu memberikan contoh atau tauladan dalam menjalankan karakter
yang baik itu (acting the good). Bahasa selanjutnya perlu dibelajarkan sebagai
upaya pembelajaran berkomunikasi dan berinteraksi. Pembelajaran bahasa dalam
PIPS perlu dikerangkakan secara lebih komprehensif dan holistik agar tujuan
pembelajaran bahasa di PIPS kemudian bisa dicapai sesuai harapan bersama.
8
Oleh sebab itu, Foerster sebagaimana yang dikutip oleh Koesoema (2007)
meletakkan empat ciri dasar dalam pendidikan karakter yang selanjutnya bisa
digunakan dalam pembelajaran bahasa di PIPS:
1. Keteraturan interior dimana setiap tindakan diukur berdasar hirarki nilai.
Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Bahasa tentu sangat
menentukan bagaimana seseorang berucap dan bertindak agar apa yang
dilisankan seiring sejalan dengan apa yang diaksikan sehingga dari situlah
akan kelihatan tingkat nilainya untuk dijadikan pedoman hidup;
2. Koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada
prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut
resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu
sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Tentunya, dengan bahasa yang membangun keberanian pun perlu
dibelajarkan agar para peserta didik bisa memiliki prinsip teguh dalam
menjalani kehidupan. Dalam PIPS, itu bisa dijalankan;
3. Otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai
menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini kemudian dapat dilihat lewat penilaian
atas keputusan tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain. Bahasa tentunya
membentuk pribadi otonom seseorang;
4. Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupayakan daya tahan seseorang
guna mengingini sesuatu yang baik. Kesetiaan merupakan dasar bagi
penghormatan atas komitmen yang dipilih. Pilihan kata dalam berbahasa
pun juga mampu menginspirasi peserta didik untuk kokoh atas sebuah
pilihan. Sesungguhnya baik keteguhan dan kesetiaan atas sebuah pilihan
serta itu menjadi komitmen, maka bahasa berperan untuk membentuk
sifat-sifat sedemikian dalam pribadi dan kepribadian peserta didik.
Masih menurut Foerster, kematangan keempat karakter ini ketika dikemas
dalam pembelajaran bahasa berpotensi mendorong para peserta didik mampu
melewati tahap individualitas menuju personalitas. “orang-orang modern sering
mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan
rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang
9
menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya. Berkowitz (1998)
kemudian mengatakan, kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa
manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition) menghargai
pentingnya nilai karakter (valuing) karena mungkin saja perbuatannya itu
dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena begitu pentingnya
penghargaan terhadap nilai tersebut. Misalnya saja, ketika seseorang itu berbuat
jujur, hal itu dilakukannya karena ia takut dinilai orang lain, bukan karena
ketulusannya untuk menghargai kejujuran itu sendiri. Lewat bahasa, peserta didik
belajar menentukan sendiri bagaimana harus bersikap, berpikir, dan bertindak agar
sesuai dengan norma.
Lickona (1992) selanjutnya lebih mendalam mengatakan bahwa sangat
pentingnya menekankan dan memperjelas apa saja komponen yang harus
diketahui bersama dalam pendidikan karakter yang selanjutnya terangkum sebagai
berikut:
1. Moral Knowing. Ini mencakup moral awareness, knowing moral values,
perspective taking, moral reasoning, decision making serta self-
knowledge;
2. Moral feeling. Ini meliputi conscience, self-esteem, empathy, loving the
good, self-control dan humility;
3. Moral action. Perbuatan atau tindakan moral ini merupakan hasil dari dua
komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong
seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally), maka harus dilihat
dari tiga aspek lain, yakni kompetensi (competence), keinginan (will) dan
kebiasaan (habit).
Sementara Sharron L. McElmeel (2002) menambahkan beberapa hal
penting yang harus diketahui dalam pendidikan karakter. Ini bersangkut paut
dengan poin-poin apa saja yang harus disemaikan dalam penyelenggaraan
pendidikan:
1. Caring: the act of concerned about or interested in another person or
situation. It is to appreciate, to like or be fond of. Feeling or acting with
compassion, concern, empathy (satu bentuk keterlibatan diri terhadap
10
situasi kehidupan orang lain dengan tujuan untuk memberikan apresiasi
dan lain sejenisnya serta merupakan bentuk empati terhadap yang lain);
2. Confidence: a faith or belief in oneself and one’s own abilities to succeed;
to be certain that one will act in a right, proper, or effective manner.
Positive self-esteem, self-assurance (suatu kepercayaan diri yang tinggi
dengan kemampuan yang dimilikinya untuk mencapai sebuah
kesuksesan);
3. Courage: a firmness of mind and will in the face of danger or extreme
difficulty; the ability to stand up to challenges and to support unpopular
causes. Resolve, tenacity, bravery, strength (keteguhan diri dalam
menghadapi resiko apa pun di depan mata, siap menantang tantangan);
4. Curiosity: a desire to learn, investigate, or know; an interest leading to
exploration or inquiry. Inquisitiveness (keinginan besar untuk belajar,
melakukan investigasi, dan ingin tahu);
5. Flexibility: the capacity to adapt or adjust to new, different, or changing
situation and their requirements. Adaptability (kemampuan diri untuk
selalu melakukan adaptasi diri dalam situasi apa pun);
6. Frienship: a state of being attached to another by affection, loyalty,
respect, or esteem; holding in high regard, being fond of. Amicability,
companionship (membangun hubungan persahabatan yang sangat kuat);
7. Goalsetting: the ability to determine what is wanted or needed and work
toward it; identifying desired outcomes or objectives and designing a
strategy or plan of action to achieve them. Planning (kemampuan
melakukan perencanaan dengan tujuan dan strategi dalam mencapai tujuan
merupakan hal penting untuk bisa dilakukan);
8. Humility: respect for the others and their position or condition; not
exerting one’s authority in an inappropriate or insensitive manner.
Modesty, unpretentiousness (kemampuan diri agar mampu saling
menghormati satu sama lain);
9. Humor: the quality to allow one to appreciate the comic or amusing
aspects of a situation or event. Cheerfulnes, wit (kebisaan diri untuk bisa
menciptakan situasi yang menyenangkan);
11
10. Initiative: the ability to take action independently without outside
influence or control; a willingness to make the first move or take the first
step; doing something without being prompted by anyone else; a sense of
enterprise. Ambition, gumption, and drive (kemampuan diri untuk
bertindak secara mandiri);
11. Integrity: adherence to a set of principles or a code of values, especially
moral; being just, impartial, fair, and honest; straightforwardness of
conduct; a refusal to act immorally-that is to lie, cheat, steal, or deceive in
any way. Honesty, loyalty, morality (kejujuran, loyalitas dan moralitas
yang tinggi menjadi hal terpenting dalam hidup);
12. Patience: the capacity to endure and to wait for one’s goals to be
achieved; to conduct oneself without undue haste or impulse. Calmness,
tolerance (kemampuan untuk selalu menjalani hidup dengan penuh
kesabaran);
13. Perseverance: the ability to keep working toward a goal, enterprise, or
undertaking in spite of difficulty, opposition, or discouragement; the
capacity to carry on, especially under adverse circumstance. Persistance
endurance (kemampuan terus berusaha dan bekerja untuk mencapai tujuan
walaupun berada dalam kondisi serba sulit dan lain sebagainya);
14. Positive attitude: a state of mind or way of thinking that views the most
desirable aspects of a situation and anticipates the best possible outcomes.
Optimism, hopefulness (bersikap positif dalam menghadapi apa pun);
15. Problem solving: the process of identifying critical elements of a situation,
identifying sources of difficulty, using creative ideas to formulate new
answers, and plan steps to achieve the best possible outcomes. Ingenuity,
creativity (kemampuan diri dalam melakukan pemecahan masalah dengan
menggunakan gerakan-gerakan berpikir kritis serta kreatif);
16. Self-discipline: the ability to control, manage, or correct oneself for the
sake of improvement; the ability to forteit lesser objectives or short-term
gratification for more worthwhile causes or long-term goals. Self-control,
self-restraint (kemampuan diri dalam membentuk diri untuk disiplin);
12
17. Teamwork: the ability to work with others to reach a common goal; acting
together, to achieve a shared vision. Cooperation, collaboration
(membentuk kebiasaan diri dalam bekerjasama guna mencapai sebuah
tujuan bersama).
Brown dalam „Methodology in Language Teaching: An Anthology of
Current Practice‟ mengatakan (2002: 12-13) bahwa ada 12 prinsip penting yang
kemudian harus dipegang bersama, terutama dalam proses pembelajaran bahasa
agar para siswa merasa nyaman dan mereka mencintai bahasa sebagai alat
komunikasi:
1. Authomaticity
Mempelajari bahasa perlu melibatkan pergerakan pengawasan waktu
yang terkontrol agar pembelajaran yang dilakukan benar-benar bisa
dilakukan dengan sedemikian baik, namun kendatipun demikian berpikir
berlebihan tentang bentuk, melakukan analisa bahasa berlebihan, dan
terlalu berpangku kepada aturan bahasa akan menjadikan proses
pembelajaran bahasa menjadi stagnan. Itulah yang kemudian disebut
authomaticiy. Pada prinsipnya, pembelajaran bahasa dalam PIPS hanya
ditujukan untuk menjadikan peserta didik nyaman dalam pembangunan
interaksi dan komunikasi sebab fungsi bahasa adalah kenyamanan dalam
berdialog dengan sesama sehingga bisa saling mendengar dan mengerti;
2. Meaningful Learning
Pembelajaran yang bermakna memberikan ingatan berdampak jangka
panjang ketimbang belajar sendirian. Satu dari sekian contoh pembelajaran
bermakna selanjutnya dapat dijumpai dalam pendekatan-pendekatan
pembelajaran bahasa yang berbasis kepada isi. Dalam konteks ini, ketika
pembelajaran bahasa dalam PIPS, maka isinya adalah bagaimana peserta
didik mengerti tentang kebutuhan-kebutuhan dalam kehidupan sosial;
3. The Anticipation of Reward
Secara universal dan hakiki, setiap manusia dalam bertindak dan
bersikap umumnya didorong untuk memeroleh reward baik itu secara
material maupun immaterial. Keberhasilan dalam pembelajaran bahasa
13
pun juga demikian. Salah satu tugas pengajar pun adalah bagaimana
menciptakan banyak kesempatan kepada pembelajaran bahasa untuk
memeroleh reward untuk semakin meningkatkan prestasinya.
4. Intrinsic Motivation
Salah satu keberhasilan dalam pembelajaran bahasa selain motivasi
esktrinsik yang berbentuk penghargaan dari pengajar dan lainnya adalah
motivasi dari dalam diri sendiri. Motivasi semacam inilah yang akan
mendorong siswa untuk terus belajar. Apakah ada pengajar, orang tua, dan
lain sejenisnya, siswa sudah tidak memandang itu. Bagi siswa, belajar
bahasa sudah menjadi kebutuhan, keinginan, dan cita-cita dari dalam diri
sendiri. Bahkan, belajar bahasa adalah bagian dari kebutuhan untuk
semakin mudah dalam berinteraksi dengan yang lain sebagai bentuk
aktualisasi diri;
5. Strategic Investment
Penguasaan bahasa yang berhasil bagi para pembelajar menjadi
keuntungan sendiri untuk semakin melakukan pengembangan diri agar
menjadi lebih baik ke depannya;
6. Language Ego
Ketika manusia belajar bahasa, mereka sesungguhnya sedang
menciptakan bentuk berpikir, perasaan dan tindakan baru sebagai identitas
kedua. Dalam konteks inilah, sebenarnya language ego tersebut yang
dijalin dalam bahasa akan bertarung melawan hambatan, kerapuhan diri
dalam pembangunan kepribadian;
7. Self-Confidence
Keberhasilan dalam tugas tertentu yang diraih seorang pembelajar
bahasa sesungguhnya menjadi faktor keyakinannya bahwa ia mampu
melakukan tugasnya dengan baik. Kepercayaan diri melekat sangat kuat
dan erat dalam akar pencapaian diri yang terus menerus;
8. Risk Taking
Pembelajaran bahasa yang berhasil adalah ia harus rela menjadi
manusia penjudi dalam „permainan bahasa‟ untuk berusaha menghasilkan
dan menafsirkan bahasa di luar kemampuannya sendiri;
14
9. Language-Culture Connection
Ketika seorang pengajar mengajarkan bahasa, maka dia pun harus
mengajarkan dan melakukan diseminasi kebudayaan yang komplek dalam
bahasa, mulai dari nilai, cara berpikir, cara bersikap, dan cara bertindak;
10. The Native Language Effect
Bahasa induk pembelajar bahasa biasanya memberikan warna tersendiri
ketika ia belajar dan mempelajari bahasa target. Terlepas apakah akan
memberikan warna positif dan negatif dalam produksi dan pemahaman
bahasa kedua, warna tersebut akan menjadi dominan.
11. Interlanguage
Pembelajar bahasa kedua cenderung melewati proses perkembangan
sistemasis dan kuasi agar mencapai kompetensi pun dalam bahasa target.
Perkembangan tersebut menjadi faktor yang menentukan dalam mengelola
umpan balik kepada yang lain. Oleh sebab itu, para pengajar perlu
memberikan ruang umpan balik sedemikian agar pembelajar bisa
mendapatkan ruang umpan baliknya di luar kelas.
12. Communicative Competence
Kompetensi komunikasi yang komunikatif menjadi tujuan utama dalam
berbahasa yang mencakup organisasi, pragmatik, strategi, dan
psikomotorik. Tujuan komunikasi kemudian akan bisa diperoleh dengan
baik ketika pembelajaran bahasa diarahkan kepada penggunaan bahasa
secara konkret, kelancaran dan ketepatan, konteks bahasa yang otentik,
dan kebutuhan siswa untuk mengimplimentasikan penguasahaan bahasa
keduanya di dunia nyata.
Penutup
Kata kunci penting untuk mengakhir artikel ini adalah bahwa segala
bentuk ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya PIPS membutuhkan peran
bahasa yang berkarakter agar apa yang disampaikan kepada peserta didik mudah
dipahami. Pengetahuan yang disampaikan dari seorang guru kepada anak didiknya
mudah terserap dan kemudian terinalisasi dalam kehidupan anak didiknya.
Tentunya, pembelajaran bahasa yang santun serta berkarakter diperlukan agar
15
para anak didik kemudian menjadi terbiasa dengan menggunakan bahasa yang
benar dan baik. Bahasa dalam konteks ini perlu dibelajarkan dengan metode serta
pendekatan yang benar.
REFERENSI
Berkowitz, M.W. 1998. The Education of Complete Moral Person.
Dardjowidjojo, Soejono. 2007. Psikolinguistik: Memahami asas Pemerolehan
Bahasa. Kuala Lumpur: PTS Professional Publishing.
Hernowo. 2009. Mengikat Makna: Membaca dan Menulis yang Memberdayakan.
Bandung: Kaifa.
Lickona. 1992. Educationg for Character.
Komaruddin Hidayat dan Putut Widjanarko (Ed). 2008. Reinventing Indonesia:
Menemukan Kembali Indonesia. Jakarta: MIZAN.
Koesoema A, Doni. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di
Zaman Global. Jakarta: PT Grasindo.
Riko. 2011. Permainan Bahasa Ludwigg Wittgenstein: Suatu Perkenalan melalui
Kontekstualisasi dan Manfaatnya bagi Studi Pemertahanan Bahasa.
Jakarta: Bidik-Phonesis Publishing.
Renandya, Willy A. 2002. Methodology in Language Teaching: An Anthology of
Current Practice. UK: Cambridge University Press.
Sharron L. McElmeel. 2002. Character Education: a Book Guide for Teachers,
Librarians, and Parents. US: Libraries Unlimited.
16
Uno, Hamzah B., Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar
yang Kreatif dan Eefektif, Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
http://suararepublika.co/nasional/pendidikan/said-hamid-hasan-kurikulum-2013-
untuk-menghadapi-tantangan-2020/, diakses tanggal 1 Mei 2013.
Recommended