View
231
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 1
LAPORAN KEGIATAN
PENANGGULANGAN PENYAKIT GANGGUAN
REPRODUKSI PADA SAPI POTONG
TAHUN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Pemerintah Indonesia telah mencanangkan Program Swasembada Daging
Sapi/Kerbau (PSDSK) pada tahun 2014. Berbagai usaha telah dilakukan untuk
menyukseskan program ini. Hasil sensus ternak di tahun 2011 menunjukkan
bahwa populasi ternak sapi potong tercatat sebanyak 14,8 juta ekor, sapi perah
sebanyak 597,1 ribu ekor, dan kerbau sebanyak 1,3 juta ekor. Kondisi ini
melebihi estimasi selama ini yang mematok angka 14,2 juta ekor ternak potong di
Indonesia pada tahun 2014. Namun angka yang diperoleh pada sensus tahun 2013,
ternyata terjadi penururnan populasi dibanding hasil sensus tahun 2011. Populasi sapi
dan kerbau tahun 2013 sebanyak 14,2 juta ekor. Angka ini sesuai dengan angka yang
dipetok untul dicapai pada tahun 2014. Namun ada pertanyaan yang belum terjawab
seputar tidak adanya pertumbuhan dan perkembangan dari angka yang diperoleh pada
tahun 2011. Bahkan yang terjadi justru penurunan jumlah populasi.
Upaya menjaga ketersediaan hewan potong secara berkelanjutan salah
satunya yang akan dilakukan oleh pemerintah adalah dengan meningkatkan
keberhasilan program IB. Permasalahan di lapangan terkait dengan program ini
adalah seringnya ditemui kasus-kasus gangguan reproduksi pada ternak, seperti :
tingginya angka servis per konsepsi (jumlah IB untuk menghasilkan kebuntingan),
kemajiran, dan penyakit reproduksi laninya. Untuk mengatasi permasalahan ini
diperlukan kontribusi semua stake holder dalam menyelesaikan permasalahan
gangguan reproduksi tersebut, agar populasi ternak nasional tetap terjaga untuk
memenuhi PSDSK. Peningkatan dan keberlanjutan populasi ternak nasional juga
harus didukung dengan keberpihakan pemerintah untuk membantu peternak
dengan memberikan jaminan pasar sekaligus jaminan harga, sehingga siklus usaha
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 2
yang dilakukan peternak dapat tetap berlangsung dan memberikan peningkatan
kesejahteraan bagi peternak.
Salah satu pondasi keberhasilan pengembangan populasi ternak sapi rakyat
di Indonesia terletak pada bidang reproduksi pada hewan betinanya. Hal ini dapat
dilihat dari penampilan reproduksi (reproduction performance) yang meliputi
beberapa aspek, yaitu : service per conception, conception rate, pregnancy rate,
calving rate, estrous post partum dan calving interval. Selain itu, setidaknya ada
tiga faktor yang secara umum berpengaruh terhadap penapilan reproduksi, yaitu :
faktor peternak, ternak dan faktor petugas.
Dengan melihat fakta di lapangan, faktor nutrisi merupakan faktor yang
kritis, yang memiliki pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap
fenomena reproduksi dibanding faktor lainnya. Sebab, nutrisi yang cukup dapat
mendorong proses biologis untuk mencapai potensi genetiknya, mengurangi
pengaruh negatif dari lingkungan yang tidak nyaman dan meminimalkan
pengaruh-pengaruh dari teknik manajemen yang kurang baik. Nutrisi yang kurang
baik tidak hanya akan mengurangi performans dibawah potensi genetiknya, tetapi
juga memperbesar pengaruh negatif dari lingkungan.
Kondisi kurangnya pakan baik kualitas maupun kuantitasnya, merupakan
salah satu penyebab menurunnya efisiensi reproduksi. Jika ini dibiarkan akan
menyebabkan timbulnya gangguan reproduksi hingga kemajiran pada ternak
betina. Fenomena yang jelas teramati adalah, makin meningkatnya umur pubertas
sapi betina milik masyarakat –akibat kurangnya asupan nutrisi sehingga organ
reproduksi tidak berkembang dengan baik atau bahkan tidak berkembang sama
sekali. Apabila didapati sapi umur 13 bulan tidak memperlihatkan tanda-tanda
birahi untuk pertama kalinya, seharusnya dilakukan pemeriksaan oleh dokter
hewan, untuk mengetahui kondisi ovariumnya dan dilakukan penanganan untuk
memperbaiki fertilitasnya (baca : kondisi kesuburannya) sebelum terlambat –
sehingga menjadi majir atau infertil.
Sebagai salah satu elemen di bawah Dirjen Peternakan dan Kesehatan
Hewan, Balai Veteriner Bukittinggi diharapkan juga memberikan andil dalam
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 3
penyidikan, pengujian ataupun pemetaan penyakit yang berkaitan dengan
gangguan reproduksi. Sehingga akan terlaksana optimalisasi kerja berbagai
elemen dalam mendukung keberhasilan Program Swasembada Daging Sapi dan
Kerbau. Pelajaran telah dapat dipetik dari kegagalan-kegagalan pencapaian target
waktu Swasembada Daging Sapi dan Kerbau sebelumnya. Beberapa hal yang
setelah dikritisi ternyata menyangkut beberapa aspek yang perlu dimonitor dan
dievaluasi, yaitu: (1) pedoman umum dan teknis implementasi kebijakan utama,
(2) Ketepatan waktu, jumlah, mutu dan sasaran implementasi kebijakan utama, (3)
Ketersediaan fasilitas pendukung di daerah pengembangan (pakan, pelayanan
perkawinan, pelayanan kesehatan), (4) Kesehatan dan produktivitas ternak
(pertumbuhan dan gangguan penyakit reproduksi); (5) Perkembangan populasi
(mencakup jumlah dan jarak kelahiran).
Dengan memperhatikan hal itu, maka kegiatan yang mendukung evaluasi
dan monitoring Penyakit Gangguan Reproduksi perlu terus dilakukan, disamping
kegiatan kegiatan pendukung lainnya seperti kebijakan tunda potong betina
produktif, dan sebagainya.
Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi
sapi potong dan kerbau. Namun, hingga saat ini masih sering dijumpai adanya
kasus gangguan reproduksi yang ditandai dengan rendahnya fertilitas induk,
akibatnya berupa penurunan angka kebuntingan dan jumlah kelahiran pedet,
sehingga mempengaruhi penurunan populasi sapi dan pasokan penyediaan daging
secara nasional.
Gangguan reproduksi pada sapi potong dan kerbau secara garis besar
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
A. Cacat Anatomi Saluran Reproduksi
B. Gangguan Fungsional
C. Infeksi Organ Reproduksi
D. Kesalahan Manajemen
A. Cacat Anatomi Saluran Reproduksi
Abnormalitas yang berupa cacat anatomi saluran reproduksi ini dibedakan
menjadi dua yaitu cacat kongenital (bawaan) dan cacat perolehan. Cacat
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 4
kongenital pada ovarium meliputi Hipoplasia ovaria (indung telur mengecil) dan
Agenesis ovaria (indung telur tidak terbentuk). Hal ini bisa terjadi baik secara
unilateral maupun bilatera. Sedangkan cacat kongenital yang terjadi pada saluran
reproduksinya antara lain Freemartin (abnormalitas kembar jantan dan betina)
dan atresia vulva (pengecilan vulva).
Cacat perolehan yang sering terjadi pada ovarium antara lain Ovarian
Hemorragie (perdarahan pada indung telur) dan Oophoritis (radang pada indung
telur). Perdarahan pada indung telur biasanya terjadi karena efek sekunder dari
manipulasi traumatik pada indung telur. Bekuan darah yang terjadi dapat
menimbulkan adhesi (perlekatan) antara indung telur dan bursa ovaria (Ovaro
Bursal Adhesions/OBA). Sedangkan Oophoritis merupakan keradangan pada
indung telur yang disebabkan oleh manipulasi yang traumatik/pengaruh infeksi
dari tempat yang lain misalnya infeksi pada oviduk (saluran telur) atau infeksi
uterus (rahim). Cacat perolehan pada saluran reproduksi, diantaranya:
Salphingitis, disebabkan trauma akibat kelahiran dan tumor. Salphingitis
merupakan radang pada oviduk. Peradangan ini biasanya merupakan proses ikutan
dari peradangan pada uterus dan indung telur.
B. Gangguan Fungsional
Salah satu penyebab gangguan reproduksi adalah adanya gangguan
fungsional (organ reproduksi tidak berfungsi dengan baik). Infertilitas bentuk
fungsional ini disebabkan oleh adanya abnormalitas hormonal. Berikut adalah
contoh kasus gangguan funsional, diantaranya: Sista ovarium, Subestrus dan
birahi tenang, Anestrus, dan Ovulasi tertunda.
C. Infeksi Organ Reproduksi
Penyakit Reproduksi yang disebabkan oleh infeksi ini menjadi perhatian
utama dalam Surveylans dan Pengujian yang dilakukan Balai Veteriner
Bukittinggi. Hal ini mengingat sampai saat ini Balai Veteriner lebih memperkuat
dalam pendiagnosaan penyakit yang disebabkan agen infeksius. Lebih khusus lagi
penyakit infeksi yang spesifik, yaitu yang disebabkan virus, bakteri, protozoa dan
jamur. Meski tidak dipungkiri penyakit gangguan reproduksi yang disebabkan
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 5
oleh gangguan hormonal ada di lapangan, namun Balai Veteriner Bukittinggi
belum memperlengkapi diri untuk pengujian gangguan tersebut.
Infeksi nonspesifik yang kerap terjadi antaralain Endometritis, Piometra dan
Vaginitis. Endometritis biasanya disebabkan terkontaminasinya endometrium
(dinding rahim) dengan berbagai mikroorganisme selama masa puerpurium (masa
nifas). Piometra merupakan pengumpulan sejumlah eksudat purulen dalam lumen
uterus (rongga rahim) biasanya juga dijumpai adanya Corpus luteum persisten
pada salah satu ovariumnya. Sedangkanan Vaginitis merupakan peradangan pada
vagina, biasanya sebagai penjalaran dari metritis dan pneumovagina atau dapat
disebabkan oleh tindakan penanganan masalah reproduksi yang tidak tepat.
Penyakit gangguan reproduksi yang disebabkan oleh infeksi spesifik menjadi
perhatian utama Balai Veteriner Bukittinggi. Hal ini memang sudah menjadi tugas
laboratorium untuk mengetahui penyebab penyakit secara spesifik. Penyakit
gangguan reproduksi yang disebabkan oleh agen infeksi spesifik dibagi menjadi
beberapa kategori, yaitu yang disebabkan oelh bakteri, virus, protozoa (parasit),
dan jamur. Selanjutnya akan diuraikan berbagai penyakit yang menyebabkan
penyakit gangguan reproduksi berdasarkan kategorinya:
a. Bakterial
1. Brucellosis
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Brucella abortus ini seringkali
menyebabkan kejadian keguguran pada ternak yang bunting. Biasanya keguguran
terjadi pada umur kebuntingan 7 bulan. Angka kematian induk sangat kecil atau
tidak terjadi, namun kerugian ekonomi yang ditimbulkan sangat besar berupa
keluron anak, anak lahir lemah dan kemudian mati, dan gangguan alat reproduksi
yang menyebabkan kemajiran, dan pada sapi perah sering terjadi penurunan
produksi susu.
Spesies bakteri Brucella yang sering menjadi masalah adalah; Brucella
melitensis menyerang kambing, Brucella abortus menyerang sapi, dan Brucella
suis menyerang babi. Brucellosis ini bisa juga menyerang manusia. Penularan
kepada manusia terjadi karena minum susu yang tidak dimasak sempurna, karena
menolong kelahiran sapi atau mengambil plasenta yang tertinggal.
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 6
Penularan Brucellosis biasanya terjadi secara oral, melalui hidung atau mata.
Selain itu penularan dapat juga terjadi secara congenital dimana anak yang
dilahirkan dari induk penderita, cenderung menjadi latent carier dan akan
mengalami abortus pada saat terjadi kebuntingan yang pertama. Pada saat
keguguran, fetus dan membrannya mengandung banyak kuman dan menjadi
sumber penularan. Penyebaran Brucellosis di Indonesia diketahui dibeberapa
pulau seperti Pulau Jawa, Sulawesi dan Sumatera.
2. Leptospirosis
Penyebabnya yaitu Leptospira pomona, Leptospira gripothyposa,
Leptospira conicola, Leptospira hardjo. Cara penularannya melalui kulit
terbuka/selaput lendir (mulut, pharynx, hidung, mata) karena kontak dengan
makanan dan minuman yang tercemar. Gejala yang nampak diantaranya:
anoreksia (tidak mau makan), produksi susu turun, abortus pada pertengahan
kebuntingan dan biasanya terjadi retensi placenta, metritis dan infertilitas.
Pengendalian kejadian penyakit Leptospirosis meliputi sanitasi yang baik,
isolasi hewan yang sakit serta hindari pakan dan minuman dari pencemaran,
vaksinasi dengan serotipe (jenis) Leptospira yang ada di daerah tersebut.
Pengobatan dengan antibiotik dosis tinggi, 3 juta IU Penicillin dan 5 gram
Streptomycin (2xsehari).
3. Vibriosis
Penyebabnya adalah Vibrio fetus veneralis atau Campylobacter foetus
veneralis. Dapat menular melaui perkawinan dengan pejantan tercemar. Gejala
yang timbul diantaranya: endometritis dan kadang-kadang salpingitis denga
leleran mukopurulen, siklus estrus diperpanjang + 32 hari, kematian embrio,
abortus pada trisemester 2 kebuntingan dan terjadinya infertilitas karena kematian
embrio dini.
Pengendaliannya yaitu dengan cara IB dengan semen sehat, istirahat
kelamin selama 3 bulan pada hewan yang terinfeksi, vaksinasi dengan bakterin
30-90 hari sebelum dikawinkan atau setiap tahun. Pengobatan dengan infusi
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 7
(pemasukan) antibiotika spektrum luas secara intra uterin, injeksi pejantan dengan
dihydrostreptomisin dosis 22 mg/kg BB secara subcutan .
4.Tuberkulosis
Penyebabnya adalah Mycobakterium bovis. Dapat menular melalui ekskresi,
sputum (riak), feses, susu, urin, semen, traktus genitalis (saluran kelamin),
pernafasan, ingesti dan perkawinan dengan hewan yang sakit. Gejala yang
nampak diantaranya: abortus, retensi plasenta, lesi uterus bilateral, salpingitis dan
adhesi (perlekatan) antara uterus. Penanganan dan pencegahan diantaranya
dengan sanitasi kandang dan lingkungan, pengobatan dengan antibiotika, isolasi
hewan yang terinfeksi dan vaksinasi.
b. Viral
1. IBR-IPV
Merupakan penyakit infeksius yang sangat menular yang disebabkan ileh
Bovine Herpesvirus- 1 (BHV-1). Sealin menyebabkan penyakit pernafasan, virus
ini dapat menyebabkan conjunctivitis, aborsi, encephalitis, dan infeksi sistemik
secara umum. IBR pertama kali ditemukan pada tahun 1950 pada peternakan
penggemukan di Amerika barat. Virus IBR dapat bertahan pada hewan yang telah
sembuh selama bertahun tahun. Virus yang tersisa dalam kondisi inaktif sampai
hewan berada dalam keadaan stress. Virus dikeluarkan dalam sekresi dari mata,
hidung, dan organ reproduksi. Gejala klinis yang disebakan oleh virus ini dapat
dikelompokan menjadi : 1) infeksi saluran pernafasan. 2)infeksi mata 3)aborsi
4)infeksi kelamin 5)infeksi otak 6)infeksi umum pada anak sapi yang baru lahir.
Penularan dapat melalui air, pakan, kontak langsung maupun tidak
langsung. Gejala yang nampak dalam berbagai bentuk, yaitu:
- Respiratorik bagian atas (demam, anorexia, depresi, leleran hidung,
nodula/bungkul-bungkul pada hidung, pharynx, trachea, batuk, penurunan
produksi susu).
- Konjungtival (hyperlakrimasi dengan eksudat mukopurulen, konjungtiva
merah dan bengkak, adanya pustula pada konjungtiva dan ulcer nekrotik.
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 8
- Digestif neonatal (septikemia, lesi pada mulut, larynx dan pharynx).
- Meningoencephalitis (kelesuan, inkoordinasi, tremor, mati dalam 3-4 hari).
- Vulvovagina (septikemia, pustula dan ulcer pada vagina dan vulva disertai
leleran purulen).
- Preputial (pustula dan ulcer pada penis dan preputium).
- Abortus dan prenatal (abortus pada trimester kebuntingan).
- Intrauterina (endometritis nekrotik, uterus tegang dan edematus)
2. BVD-MD
Virus BVD-MD menyerang sapi dengan gejala: demam tinggi, depresi,
anorexia, diare, lesi pada mukosa mulut dan sistem pencernaan, abortus pada 2-9
bulan kebuntingan serta terjadinya kawin berulang.
3. EBA (Epizootik Bovine Abortion)
Penyebab Chlamidia atau Megawanella. Gejala yang nampak: abortus
pada 4-9 bulan kebuntingan, stillbirth (lahir kemudian mati), jika fetus lahir maka
lemah, retensi plasenta.
c. Protozoa
1. Toxoplasmosis
Menurut Dubey dab Beattie hospes definitif dari Toxoplasma adalah
bangsa kucing. Sementara manusia berlaku sebagai hospes intermediate.
Organisme ini telah tersebar di seluruh dunia dan menyebabkan banyak kasus
infertilitas, stillbirth, dan aborsi pada hewan dan manusia. Parasit ini bisa
menyebakan masalah pada wanita hamil dan immunodeffisiensi individual.
Infeksi pada ruminan kecil tidak hanya menyebabkan masalah reproduksi
hewan tersebut tetapi juga menyebabkan implikasi terhadap kesehatan
masyarakat. Sebab mengkonsumsi daging yang terinfeksi dapat menyebabkan
menularnya penyakit tersebut ke manusia.
Penyebabnya Toxoplasma gondii, bersifat zoonosis sehingga dapat
menyerang manusia. Gejala yang nampak diantaranya: demam, gangguan nafas
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 9
dan syaraf, abortus, prematur maupun lahir lemah. Penularan melalui
pakan/minum yang tercemar dengan ookista.
2. Neosporosis
Neosporosis adalah suatu penyakit infeksius terutama pada sapi dan
anjing, yang disebabkan oleh parasit intracellular yang disebut Neospora
caninum. Neosporosis merupakan salah satu penyebab utama aborsi pada sapi.
Penyakit ini telah menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar pada industri
peternakan sapi perah dan industri pabrik susu di seluruh dunia.
Neospora caninum adalah parasit jenis protozoa yang sangat menyerupai
Toxoplasma gondii. N. caninum adalah parasit pada bangsa anjing yang telah
ditemukan diseluruh belahan dunia dan telah menyebabkan aborsi secara umum
pada banyak area. Organisme ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 1988
sebagai penyebab aborsi pada anjing, dan tak lama sesudah itu ditemukan
organisme seperti N. caninum menyebabkan aborsi pada sapi perah. Sekarang
diketahui bahwa penyebabnya memang spesies yang sama pada anjing tapi beda
strain. Ternak sapi merupakan hospes intermediat alami dan juga merupakan
sumber penularan.
3. Trikomoniasis
Penyebabnya Trichomonas fetus, merupakan penyakit kelamin menular
pada sapi yang ditandai dengan penurunan kesuburan (S/C tinggi), abortus dini (4
bulan kebuntingan/trisemester pertama kebuntingan). Penularan dengan kawin
alam maupun dengan IB. Pengendaliannya dengan;
- IB dengan pejantan sehat
- Istirahat kelamin
- Pemberian antibiotik intra uterin pada betina terinfeksi.
- Pemberian estrogen/PGF2α
- Pejantan kronis diberi bovoflavin/metronidazole atau dieliminasi.
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 10
d. Jamur
Jamur penyebab utama abortus adalah Aspergillus fumigatus. Selain itu juga
bisa disebabkan oleh Mucorales. Aspergillus fumigatus adalah jenis saprophyt
yang terbentuk dalam tanah dengan kandungan organik. A. fumigatus sangat
mudah bersporulasi dengan memproduksi conidiophor pada tiap-tiap conidio nya.
Organisme ini bisa menyebabkan penyakit baik pada manusia maupun hewan.
(Einsele H. and J. Loeffler, 2011).
Terdapat dua jalur utama penularan; 1) melalui inhalasi, masuk paru dan
mengikuti aliran darah sampai ke plasenta dan menyebabkan abortus. 2)Melalui
ingesti, menyebabkan radang pada rumen, mengikuti aliran darah menuju plasenta
dan menimbulkan keradangan sehingga terjadila abortus. Gejala yang nampak
diantaranya: abortus pada 5-7 bulan kebuntingan, fetus mengalami autolisis, lahir
lemah, membran fetus (bengkak, nekrotik, lesi plasentoma, kotiledon dan
karuncula bengkak, oedem dan nekrotik).
Penanganan yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan preparat anti
jamur dan perbaikan manajemen secara keseluruhan meliputi perbaikan pakan dan
manajemen kesehatan yang baik meliputi sapi, kandang dan lingkungannya.
Selain gangguan reproduksi yang disebabkan oleh keempat faktor tersebut,
berikut kondisi patologis yang berhubungan dengan masalah reproduksi, yaitu:
Prolaps Vagina Cervix, Distokia, Retensi Plasenta, Torsi Uterus, Maserasi Fetus,
Mummifikasi Fetus dan Hernia Uterina.
D. Kesalahan Manajemen
Faktor manajemen sangat erat hubungannya dengan faktor pakan/nutrisi.
Jika tubuh kekurangan nutrisi terutama untuk jangka waktu yang lama maka akan
mempengaruhi fungsi reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi rendah dan
akhirnya produktifitasnya rendah. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi
hypofisis anterior sehingga produksi dan sekresi hormon FSH dan LH rendah
(karena tidak cukupnya ATP), akibatnya ovarium tidak berkembang (hipofungsi).
Pengaruh lainnya pada saat ovulasi, transport sperma, fertilisasi, pembelahan sel,
perkembangan embrio dan fetus. Kekurangan nutrisi yang terjadi pada masa
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 11
pubertas sampai beranak pertama maka kemungkinannya adalah birahi tenang,
defek ovulatory (kelainan ovulasi) gagal konsepsi, kematian embrio/fetus. Nutrisi
yang sangat menunjang untuk saluran reproduksi diantaranya: protein, vitamin A,
mineral atau vitamin. Selain nutrisi tersebut di atas, yang perlu diperhatikan
adalah adanya ransum yang harus dihindari selama masa kebuntingan karena
dapat menyebabkan abortus, diantaranya: racun daun cemara, nitrat, ergotamin,
naphtalen, khlor, dan arsenik.
Kalau pakan yang kurang atau kondisi lingkungan yang buruk berjalan
lama, maka hipofungsi ovarium selanjutnya akan berubah menjadi atropi
ovarium. Atropi avarium adalah ovarium yang ukuran lebih kecil dari normal,
permukaan licin, karena tidak ada pertumbuhan folikel sehingga proses reproduksi
sama sekali tidak berjalan. Kondisi fisik tubuh ternak ini buruk, gejala gejala
klinisnya juga anestrus yang berkepanjangan. Keadaan atropi ovarium harus
dibedakan dengan hypoplasia ovarium yang disebabkan oleh faktor genetis.
Kondisi ovariumnya sama yaitu lebih kecil dari ukuran normal, tetapi penderita
hipoplasia ovarium memiliki keadaan fisik tubuh yang jauh lebih baik.
Pakan sebagai faktor yang menyebabkan gangguan reproduksi dan
kemajiran sering bersifat mejemuk, artinya kekurangan suatu zat dalam ransum
pakan diikuti oleh kekurangan zat pakan lainnya. Sebagai contoh sapi perah,
kekurangan protein dalam ransum sering diikuti oleh kurangnya mineral dan
vitamin.
Kelebihan pakan dalam ransum yang berlangsung dalam waktu lama dan
menyebabkan kegemukan (obesitas) dapat juga menyebabkan gangguan
reproduksi. Pemberian ransum sebanyak 40% diatas kebutuhan baku, pada awal
proses reproduksi mungkin belum terlihat pengaruh terhadap kesuburan ternak,
tetapi bila diperhatikan pada periode reproduksi berikutnya, pengaruh itu mudah
terlihat dengan munculnya gangguan reproduksi pada induk ternak tersebut.
Pada sapi yang menderita obesitas ada timbunan lemak di berbagai organ
tubuh, antara lain terjadi penimbunan lemak disekitar ovarium dan bursa ovari.
Timbunan lemak ini menyebabkan sel telur yang diovulasikan terhalang masuk
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 12
tuba falopii dan tetap tertahan pada bursa ovarium, sehingga tidak terjadi proses
pembuahan.
Beberapa mineral termasuk mineral jarang (trace element) mempunyai
peranan penting dalam proses reproduksi yang normal pada ternak. Beberapa
mineral yang umumnya mempunyai peranan dalam proses reproduksi baik pada
hewan betina maupun jantan adalah ; Posfor (P), Kalsium (Ca), dan unsur jarang
seperti iodium (J), Selenium (Se), Ferrum (Fe), Kuprum (Cu), Kobalt (Co),
Mangan (Mn), dan Magnesium (Mg). Semua bahan mineral ini bila kekurangan
dalam tubuh hewan akan diikuti timbulnya gangguan reproduksi khususnya pada
betina, diakhiri dengan kemajiran.
Kekurangan pospor dapat terjadi misalnya karena dalam ransum terjadi
kekurangan protein, atau pakan hanya terdiri dari rumput kering atau rumput yang
berasal dari tanah yang kekurangan pospor. Gejala yang ditimbulkan pada hewan
betina adalah bulu yang tidak mengkilat, kekurusan, tidak ada nafsu makan. Pada
hewan muda lambat mencapai dewasa kelamin, pada hewan dewasa ditandai
anestrus, birahi tidak teratur, dan sulit menjadi bunting. Pada induk yang sedang
bunting dapat menyebabkan kematian embrio dini.
Kekurangan Ca dalam ransum dapat menurunkan kesuburan ternak. Yang
tidak kalah pentingnya adalah perbandingan antara kalsium dan posfor dalam
pakan harus seimbang. Proses reproduksi akan terganggu bila dalam ransum
pakan, kadar Ca lebih kecil dari kadar P.
Mineral jarang mempunyai peranan dalam dalam mengatur kesuburan
ternak adalah Y (Yodium), Se (Selenium), Fe (Ferrum), Cu (Cuprum), Co
(Cobalt), Mn (Mangan), dan Mg (Magnesium). Kekurangan Yodium pada hewan
betina mengakibatkan munculnya birahi yang tidak teratur, pertumbuhan fetus
yang terganggu, abortus dan retensi sekundinarum. Kekurangan Se pada hewan
bunting tua sering menyebabkan terjadinya retensio secundinarum setelah
melahirkan. Fe, Cu, dan Co menyebabkan anemia sehingga secara tidak langsung
juga mempengaruhi proses reproduksi. Kekurangan Mangan (Mn) dalam pakan
dapat menurunkan libido dan degenerasi testis pada hewan jantan, sedangkan
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 13
kekurangan Magnesium (Mg) dapat diikuti kematian pedet setelah lahir
disebabkan kadar magnesium dalam darah rendah.
Kegagalan reproduksi pada ternak pada umumnya bersumber pada 3
faktor utama (Toelihere, 1985), yaitu faktor manusia yang mempertemukan kedua
jenis kelamin atau gamet. Faktor hewan jantan dan faktor hewan betina. Dalam
banyak hal manusia telah berhasil mempertinggi daya reproduksi ternak. Tetapi di
lain pihak campur tangan manusia dalam persoalan perkembangbiakan ternak
dengan sendirinya menambah variabel baru dalam faktor-faktor kegagalan
reproduksi, yaitu faktor manusianya sendiri, baik sebagai pemilik atau penunggu
ternak, baik pelaksana IB, maupun sebagai sarjana peternakan atau dokter hewan
yang melayani peternakan tersebut.
Beberapa kegagalan reproduksi berupa kesalahan tatalaksana yang
bersumber dari faktor manusia antara lain :
1. Kegagalan mendeteksi birahi, kegagalan melaporkan dan
mengawinkan sapi betina pada saat yang tepat.
2. Telampau cepat mengawinkan kembali setelah partus.
3. Kegagalan memeriksa kebuntingan sebelum sapi diafkir karena majir.
Kira-kira 40 sampai 60 prosen sapi yang dipotong dirumah potong
karena majir ternyata mengandung foetus di dalam uterusnya.
4. Kealpaan melaporkan kepada atau memanggil dokter hewan apabila
ada tanda-tanda ketidakberesan reproduksi.
5. Sering mengganti pejantan jika seekor sapi betina tidak langsung
menjadi bunting pada perkawinan pertama atau kedua.
1.2.MAKSUD DAN TUJUAN
Secara umum maksud/tujuan dilakukannya Surveilans penyakit gangguan
reproduksi adalah:
1. Mengetahui keberadaan penyakit maupun defisiensi yang bisa
berakibat pada adanya gangguan reproduksi pada sapi dan kerbau.
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 14
2. Memberikan informasi hasil laboratorium tentang adanya agen agen
atau penyakit-penyakit yang berkaitan dengan gangguan reproduksi
pada sapi.
Maksud dan tujuan tersebut dicapai dengan melakukan berbagai kegiatan, yaitu:
Gangguan Reproduksi
Melakukan pengamatan tentang adanya penyakit gangguan reproduksi di
lapangan, baik yang disebabkan oleh kecacatan maupun gangguan fungsional.
Dengan demikian akan diketahui jenis-jenis gangguan reproduksi yang
disebabkannya dan intensitas kejadiannya di wilayah Regional II.
Penyakit Gangguan Reproduksi Infeksius
Beberapa penyakit yang disebabkan oleh bakteri maupun virus dapat
menyebabkan gangguan reproduksi. Disamping itu penyakit yang disebabkan oleh
agen infeksius ini harus diwaspadai kemungkinan bisa menular, baik ke hewan
lain maupun ke manusia. Untuk mengetahui dan terus memantau perkembangan
penyakit tersebut maka Balai Veteriner Bukittinggi kontinyu mengadakan
surveylan maupun monitoring penyakit Brucellosis, IBR, dan BVD.
Dengan diketahuinya keberadaan atau tingkat prevalensi penyakit-
penyakit ini, maka dapat menjadi acuan dalam pencegahan, pengendalian dan
pemberantasan penyakit tersebut.
Penyakit Parasiter
Penyakit parasiter yang berkaitan dengan gangguan reproduksi adalah
Toxoplasmosis, Neosporosis, dan Trichomoniasis. Untuk itu pemeriksaan
terhadap adanya penyakit ini dilakukan di Regional II. Pemeriksaan ini berguna
untuk memberikan informasi tentang penyebaran penyakit-penyakit ini. Dan hal
ini menjadi semakin penting mengingat diantara ketiga penyakit tersebut ada yang
merupakan penyakit zoonosis (penyakit yang bisa menular ke manusia).
Pemeriksaan Semen
Kualitas semen yang dipergunakan pada saat IB dapat dilihat dengan
pergerakan sperma dan prosentase semen yang hidup. Ada banyak faktor
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 15
mengapa semen kurang memenuhi syarat kualitas untuk pelaksanaan Inseminasi
Buatan
Kegiatan pemantauan atau pengecekan semen beku yang beredar
dilapangan perlu dilakukan. Kegiatan berupa pengumpulan informasi mulai dari
produsen semen beku, distributor, dan Pos IB dan terakhir semen sampai ke
saluran reproduksi betina. Sedangkan kegiatan lainnya antara lain pengambilan
sampel straw (semen beku) pada tiap-tiap komponen distribusi. Dengan diketahui
dimana kelemahan/ permasalahan yang ditemui, maka hal tersebut bisa menjadi
perhatian untuk diperbaiki.
Pemeriksaan Jamur pada Pakan Ternak
Pemeriksaan ini ditujukan untuk mengetahui kemungkinan adanya jamur
Aspergillus fumigatus dan Mucorales yang dapat menyebabkan gangguan
reproduksi pada sapi.
Pemeriksaan Kandungan Mineral dan Protein Darah
Kekurangan protein dan mineral akan berdampak sistemik terhadap tubuh
yang bisa berimplikasi munculnya gangguan reproduksi. Untuk itu perlu diketahui
gambaran kandungan protein dan mineral darah untuk dapat menjadi pedoman
dalam penyusunan ransum pakan ternak. Hasil uji ini juga bisa memberi informasi
tentang masalah kandungan mineral tanah pada suatu daerah. Sehingga terhadap
ternak perlu diberi tambahan mineral tertentu.
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 16
BAB II
MATERI DAN METODE
2.1. MATERI
Bahan yang digunakan dalam penulisan laporan kegiatan ini adalah hasil
pemeriksaan Laboratorium Virologi (Elisa IBR dan BVD), Laboartorium
Parasitologi (Neosporosis, Trichomoniasis, Kualitas Semen), Laboratorium
Pathologi (Mineral Darah dan Protein Darah) dan Laboartorium Bakteri/Mycologi
(Aspergillus dan Mucorales). Laboratorium Biotek (PCR IBR, PCR BVD).
Semua pemeriksaan dilakukan di Laboratorium Balai Veteriner Bukittinggi.
2.2. METODE
Sampel kegiatan lapangan diperoleh dengan mendatangi Pos IB dan
peternakan di beberapa daerah. Pemeriksaan straw dilakukan dengan
pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan Eosin. Serum diperiksa secara
serologi kompleks (Elisa) Swab dan buffycoat untuk diperiksa dengan metode
PCR, basuhan vagina dan preputium untuk pemeriksaan Trichomonas dengan
metode Natif. Pemeriksaan mineral dengan metode kuantitatif. Dan sampel pakan
dilakukan kultur jamur. Data yang diperoleh dilakukan analisa sederhana.
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 17
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 HASIL
Pengamatan Lapangan
Secara lisan dilaporkan oleh petugas beberapa kali adanya keguguran
atau adanya gangguan reproduksi lainnya. Kejadian adanya gangguan reproduksi
yang diamati secara langsung dilapangan belum pernah terjadi. Namun beberapa
petugas maupun peternak bisa menunjukkan sapi-sapi yang pernah mengalami
gangguan reproduksi maupun kematian neonatal pedet. Beberapa kali juga
ditemukan hasil seropositif Brucellosis yang kemudian kembali dikonfirmasi
dengan pengambilan sampel ke lapangan.
Adapun kegiatan yang berkaitan dengan inseminasi buatan, dari hasil
pengamatan di beberapa lokasi berlangsung cukup baik. Kebutuhan akan
peralatan dan bahan untuk IB tersedia dengan baik. Straw didistribusikan propinsi
setiap tiga bulan, dengan pendistribusian N2 cair setiap 2 minggu atau 1 bulan
sekali, atau saat dibutuhkan akan dipenuhi. Namun dibeberapa lokasi kegiatan IB
belum berjalan dengan baik. Hal ini terutama karena kesulitan dalam penyedian
alat dan bahan untuk IB karena letak daerah yang terisolir, atau kesdaran peternak
tentang pentingnya IB belum tumbuh.
Beberapa gangguan reproduksi yang diinformasikan petugas lapangan
adalah: Endometritis,Hypofungsi,Cistic Ovari,Repid Breeder,Nimpomania,
pendarahan hari 2 – 3 pasca IB.
Pemeriksaan Laboratorium.
Jumlah sampel uji yang diambil dan hasil pemeriksaan laboratorium dapat
dilihat pada tabel-tabel berikut ini :
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 18
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan ELISA BVD di Regional II Tahun 2013 Propinsi
Sumatera Barat
(+) (-) SUSPECT
BVD (Ag) 24 1 23
BVD (Ab) 43 36 7 0
2 Kota Bukittinggi serum Sapi BVD (Ab) 15 0 15 0
3 Kab.Pesisir Selatan serum Sapi BVD (Ab) 26 1 25 0
BVD (Ag) 481 0 480 0
BVD (Ab) 19 0 19 0
BVD (Ab) 103 37 66 0
BVD (Ag) 505 1 503 0
608 38 569 0
HASIL PEMERIKSAANNO KAB./KOTA
JENIS
SAMPEL
JENIS
HEWAN
JENIS
ELISA
JUMLAH
JUMLAH TOTAL
1 Kab.Agam Serum Sapi
JML
Sapi4 Kab. 50 Kota serum
Propinsi Riau
(+) (-) SUSPECT
1 Kab.Pelalawan serum Sapi BVD Ag 39 0 39 0
2 Kota Dumai Serum Sapi BVD Ag 34 0 34 0
3 Kab.Bengkalis serum Sapi BVD Ag 25 0 24 0
4 Kab.Siak serum Sapi BVD Ag 36 0 36 0
5 Kab.Rohil serum Sapi BVD Ag 19 0 19 0
153 0 152 0
NO KAB./KOTAJENIS
SAMPEL
JENIS
HEWAN
JENIS
ELISAJML
HASIL PEMERIKSAAN
JUMLAH TOTAL
Propinsi Jambi
(+) (-) SUSPECT
1 Kab.Batang Hari Serum Sapi BVD Ag 15 0 15 0
2 Kab.Tebo Serum Sapi BVD (Ab) 35 18 15 2
4 Kab.Bungo serum Sapi BVD (Ab) 25 0 25 0
5 Kab.Sarolangon serum Sapi BVD (Ab) 35 0 35 0
6 Kab.Kerinci serum Sapi BVD (Ab) 8 0 8 0
BVD Ag 15 0 15 0
BVD (Ab) 103 18 83 2
18 98 2
JMLHASIL PEMERIKSAAN
NO KAB./KOTAJENIS
SAMPEL
JENIS
HEWAN
JENIS
ELISA
JUMLAH
JUMLAH TOTAL
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 19
Tabel Hasil Pemeriksaan ELISA IBR di Regional II Tahun 2013
Propinsi Sumatera Barat
(+) (-) SUSPECT
1 Kab.Agam serum Sapi 48 37 11 0
2 Kota Bukittinggi serum Sapi 21 4 13 4
3 Kab.Pesisir Selatan serum Sapi 52 33 19 0
4 Kab.50 Kota Serum Sapi 783 406 377 0
904 480 420 4JUMLAH
NO KAB/KOTAJENIS
SAMPEL
JENIS
HEWANJML
HASIL PEMERIKSAAN
Propinsi Riau
(+) (-) SUSPECT
1 Kab.Pelalawan serum Sapi 34 16 14 4
2 Kab.Kampar serum Sapi 33 8 25 0
3 Kab.Bengkalis Serum Sapi 25 15 10 0
4 Kab.Siak Serum Sapi 38 3 32 3
5 Kab.Rohil serum Sapi 19 12 7 0
6 Kab.Indragiri Hulu serum Sapi 8 2 6 0
7 Kab.Kep Meranti serum Sapi 15 8 7 0
172 64 101 7JUMLAH
JMLHASIL PEMERIKSAAN
NO KAB/KOTAJENIS
SAMPEL
JENIS
HEWAN
Propinsi Jambi
(+) (-) SUSPECT
1 Kab.Muaro Jambi serum Sapi 25 0 25
2 Kab.Tebo Serum Sapi 35 3 31 1
3 Kab.Bungo serum Sapi 15 7 8
4 Kab.Sarolangon serum Sapi 27 3 22 2
5 Kab.Kerinci serum Sapi 6 0 6
108 13 92 3JUMLAH
NO KAB/KOTAJENIS
SAMPEL
JENIS
HEWANJML
HASIL PEMERIKSAAN
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 20
Propinsi Kepulauan Riau
(+) (-) SUSPECT
1 Kota Batam serum Sapi 36 7 29
2 Kab.Lingga serum Sapi 28 1 27
64 8 56 0JUMLAH
JMLHASIL PEMERIKSAAN
NO KAB/KOTAJENIS
SAMPEL
JENIS
HEWAN
Tabel Hasil Pemeriksaan PCR IBR di Regional II Tahun 2013
Propinsi Sumatera Barat
JENIS JENIS
HEWAN SAMPEL Pos Neg
SUMBAR
1 Kab. Agam Sapi Swab 8 0 8
2 Kab. Padang Pj Sapi Swab 5 0 5
3 Kab. 50 Kota Sapi DA 4 0 4
Buffycoat 1 0 1
4 Kab. Solok Sapi Swab 8 0 8
5 Kota Bukittinggi Sapi Swab 15 0 15
Buffycoat 4 0 4
45 0 45JUMLAH
PCR IBR (Real Time)KAB/KOTA JUMLAHNO
Propinsi Riau
JENIS JENIS
HEWAN SAMPEL Pos Neg
RIAU
1 Kab. Rohil Sapi Swab 3 0 3
2 Kab. Bengkalis Sapi Swab 20 0 20
3 Kab. Pelalawan Sapi Swab 11 0 11
Semen 10 0 10
Buffycoat 2 0 2
4 Kab. Kampar Sapi Swab 12 0 12
5 Kab. Inhu Sapi Swab 4 0 4
6 Kab. Siak Sapi Swab 6 0 6
68 0 68
NO KAB/KOTA JUMLAHPCR IBR (Real Time)
JUMLAH
Propinsi Jambi
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 21
JENIS JENIS
HEWAN SAMPEL Pos Neg
JAMBI
1 Kab. Tebo Sapi Swab 1 0 1
2 Kab. Batanghari Sapi Swab 1 0 1
3 Kab. Sarolangun Sapi Swab 6 0 6
4 Kab. Bungo Sapi Swab 5 0 5
5 Kab. Tanjab Timur Sapi Swab 2 0 2
15 0 15
NO KAB/KOTA JUMLAHPCR IBR (Real Time)
JUMLAH
Hasil Pemeriksaan Uji Kualitas Semen
JENIS JUMLAH HASIL UJI
HEWAN SAMPEL KUALITAS SEMEN
1 Kab. Tebo Sapi 8 Baik 8
2 Kab. Pelalawan Sapi 18 Baik 17 Kurang baik 1
3 Kab.Bungo Sapi 7 Baik 7
33
NO KAB/KOTA
Hasil Pemeriksaan Uji Elisa Neospora caninum
JENIS JUMLAH
HEWAN SAMPEL SERO (+) SERO (-)
1 Kab. Agam Sapi 43 1 42
2 Kab. Padang Pjg Sapi 56 12 44
3 Kab. Tebo Sapi 23 0 23
4 Kab. Bengkalis Sapi 14 0 14
5 Kab. Lingga Sapi 16 0 16
6 Kota Bukittinggi Sapi 13 2 11
7 Kab. Bungo Sapi 17 1 16
JUMLAH 182 16 166
KAB/KOTANOELISA NEO SPO RA
Hasil Pemeriksaan Uji Natif Trikomonas
JENIS JUMLAH
HEWAN SAMPEL POSITIF NEGATIF
1 Kab. Pesisir Selatan Sapi 17 0 17
2 Kab. 50 Kota Sapi 16 0 16
JUMLAH 33 0 33
KAB/KOTANOUJI NATIF
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 22
Hasil Pemeriksaan Uji Kultur dan Identifikasi Jamur
JENIS JUMLAH
HEWAN SAMPEL
Asperg.
niger
Asperg.
Fum
Asperg.
flavusNegatif
1 Kab.Kampar Pakan 4 1 0 0 3
2 Kab. Solok Selatan Pakan 1 0 1 0 0
3 Kota Pekanbaru Pakan 1 0 1 0 0
JUMLAH 6 1 2 0 3
KAB/KOTANO
PEMERIKSAAN JAMUR
Hasil Pemeriksaan Uji Mineral Darah dan Protein Darah
Propinsi Sumatera Barat
JENIS JML
HEWAN SAMPEL
< N > < N > < N > < N >
Propinsi Sumbar Sapi/Kb 21 9 6 6
BV Bukittinggi Sapi 25 12 8 5 1 23 1 8 16 1
Disnak Sumbar Sapi 22 10 9 3 2 20 8 14 13 9
Sapi 378 148 120 100 9 58 300 1 214 28 92 150 125
Kerbau 2 2 1 1 2 1 1
Kab. Agam Sapi 61 20 16 25 28 9 18 4 51 6 10 34 17
Kab. Dharmasraya Sapi 30 27 1 3 15 15 11 19 12 14 4
Kab. Pdg. Pariaman Sapi 54 27 17 10 8 19 27 7 26 21 20 23 11
Kab. Pasaman barat Sapi 35 2 12 18 7 15 10 1 27 4 1 19 15
Kab. Pesisir Selatan Sapi 47 14 23 10 1 19 27 4 32 11 16 24 7
Kab. Sijunjung Sapi 30 3 8 19 1 13 16 18 12 25 5
Kerbau 1 1 1
Kab. Solok Sapi 28 11 9 8 1 2 25 22 6 12 13 3
Kab. Solok Selatan Sapi 10 1 5 4 10 4 6 4 5 1
Kab. Tanah datar Sapi 2 2 1 1 1
Kambing 12 12 1 11 7 5 6 6
Kota Bukittinggi Sapi 36 19 8 9 7 29 3 11 22 11 15 10
Kuda 1 1
Kota Solok Sapi 31 20 7 4 3 8 1 14 1 0 8 3
826 337 253 224 56 165 517 22 470 157 193 367 211
KAB/KOTA
HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Calsium Phosphor Magnesium Total Protein
Jumlah
Propinsi Kepulauan Riau
JENIS JML
HEWAN SAMPEL
< N > < N > < N > < N >
Kab. Bintan Sapi 20 5 5 10 6 14 11 9 7 13
Kab. Lingga Sapi 30 5 4 21 12 18 1 27 2 2 10 18
Kab. Natuna Sapi 30 12 13 5 8 22 5 25 6 20 4
Kota Batam Sapi 52 18 25 9 0 4 12 2 3 11 9 38 5
Kota Tanjung Pinang Sapi 25 23 2 5 20 14 11 9 14 2
157 63 49 45 0 35 86 8 80 33 33 95 29Jumlah
KAB/KOTA
HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Calsium Phosphor Magnesium Total Protein
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 23
Propinsi Jambi
JENIS JML
HEWAN SAMPEL
< N > < N > < N > < N >
Disnak Prop. Jambi Gajah 2 1 1 1 1 2 1 1
Harimau 1 1 1 1 1
Kab. Bungo Sapi 35 6 18 11 1 20 14 25 10 9 18 8
Kab. Batang Hari Sapi 40 11 16 13 1 17 22 2 33 5 9 24 7
Kab. Kerinci Sapi 6 4 2 2 4 6 4 2
Kab. Merangin Kerbau 6 4 2 4 2 3 3 3 3
Sapi 26 8 9 9 3 23 24 2 18 8
Kab. Muara Jambi Sapi 10 5 3 2 2 8 9 1 5 5
Babi 6 1 3 2 6 1 5 6
Kab. Sarolangun Sapi 20 6 9 5 6 13 1 2 16 2 5 6 9
Kab. Tanjab Barat Sapi 16 3 7 6 4 8 4 12 4 2 10 4
Kab. Tanjab Timur Sapi 21 6 7 8 8 13 11 10 4 6 11
Kab. Tebo Sapi 30 20 4 6 1 10 19 16 14 3 26 1
Kota Jambi Sapi 30 7 11 12 9 13 8 3 17 10 8 7 15
249 78 94 77 22 102 125 7 176 66 68 117 64
HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Calsium Phosphor Magnesium Total ProteinKAB/KOTA
Jumlah
Propinsi Kepulauan Riau
JENIS JML
HEWAN SAMPEL
< N > < N > < N > < N >
Kab. Bengkalis Sapi 20 7 9 4 5 15 3 10 7 3 14 3
Babi 19 5 14 19 3 16 6 9 4
Kab. Indragiri Hilir Sapi 10 5 3 2
Kab. Indragiri Hulu Sapi 21 2 8 11 1 11 9
Kab. Kampar Sapi 33 18 6 9 1 14 18 5 25 3
Kab. Kuantan SingingiSapi 30 19 7 4 9 21 18 12 1 17 12
Kab. Pelalawan Sapi 30 2 17 11 7 18 5 18 12 9 17 4
Kab. Rokan Hilir Sapi 25 16 3 6 11 14 9 16 5 25
Kab. Siak Sapi 81 40 27 14 6 101 46 2 53 28 31 29 19
Kota Dumai Sapi 75 45 21 9 2 27 46 3 52 20 20 42 13
Kota Pekanbaru Sapi 25 16 7 2 13 12 5 7 13 9 12 4
Pekanbaru Sapi 5 3 1 1 5 4 1 1 3 1
374 173 114 87 35 198 182 13 174 125 91 204 72
HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Calsium Phosphor Magnesium Total ProteinKAB/KOTA
Jumlah
2. PEMBAHASAN
BVD (Bovine Virus Diarrhea) adalah penyakit infeksius pada sapi yang
disebabkan oleh virus dan secara klinis terlihat adanya stomatitis erosif akut,
gastroenteritis dan diarhea. Penyakit ini bisa berdampak terhadap masalah
reproduksi. Dan sapi merupakan spesies yang rentan terhadap penyakit ini. Akibat
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 24
yang ditimbulkan oleh penyakit ini yang paling menyolok adalah diare yang
profuse dan berair, berbau busuk berisi mukus darah. Sedangkan akibat yang
ditimbulkan yang berkaitan dengan masalah reproduksi adalah pada sapi bunting
dapat mengalami keguguran akibat infeksi, biasanya setelah fase akut lewat,
bahkan bisa sampai 3 bulan setelah kesembuhan. Penyakit ini lebih umum terjadi
pada sapi potong dibanding sapi perah. Jika terjadi wabah morbiditas mencapai
25% dan kematian dapat mencapai 90 – 100 % dari hewan yang sakit. Bila
penyakit ini memasuki suatu peternakan maka biasanya bersifat sporadik. Pada
peternakan penggemukan biasanya terjadi out break beberapa hari setelah sapi
datang. Cara penularan secara kontak langsung maupun tidak langsung. Yang
utama penyebaran melalui makanan yang tercemar feses, urine atau leleran
hidung. Dan manusia juga menjadi faktor penting sebagai penyebar antar
peternakan. Bila penyakit sudah masuk pada suatu peternakan, kasus baru yang
terjadi bersifat sporadik. Gejala klinis yang tampak bisa bersifat akut, sub akut
atau kronis. Penyakit BVD yang bersifat akut ini terjadi pada sapi umur kurang
dari 6 bulan atau sapi umur lebih dari 2 tahun. Pada kasus yang kronis terlihat
kadang-kadang diarhea, kekurusan yang berlangsung cepat, bulu terlihat kasar dan
kering, kembung kronis, kelainan teracak dan erosi kronis pada rongga mulut dan
pada kulit.
Penyakit BVD di wilayah kerja Balai Veteriner Bukittinggi merupakan
penyakit yang telah ada dan telah terdeteksi pada sapi terutama melalui uji
serologis. Pengujian BVD secara serologis telah dilakukan secara rutin di
Laboratorium Balai Veteriner Bukittinggi dengan metode Elisa BVD. Dari
pemeriksaan yang dilakukan pada tahun 2013 dapat dijelaskan bahwa penyakit
BVD ini secara serologis dijumpai di Propinsi Sumatera Barat. Dari 103 sampel
yang diperiksa dengan Elisa BVD (Ab) didapat 37 sampel seropositif (35.92%).
Namun pada pemeriksaan Elisa BVD (Ag) dari 505 sampel yang diperiksa hanya
ada 1 sampel yang positif (0.1%). Hasil yang diperoleh ini menunjukkan adanya
ketahanan yang memadai pada tubuh sapi-sapi di Propinsi Sumatera Barat
terhadap Penyakit BVD. Adanya seropositif antibodi terhadap BVD perlu
mengindikasikan adanya infeksi BVD pada sapi-sapi tersebut namun bisa
diproteksi oleh tubuh sapi-sapi tersebut. Bisa juga seropositif ini merupakan hasil
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 25
dari vaksinasi BVD yang mungkin dilakukan. Namun adanya hasil positif antigen
BVD memberi peringatan kepada kita bahwa kehadiran virus BVD di wilayah
Sumatera Barat memang sesuatu yang harus dihadapi dan dicegah kemungkinan
menimbulkan outbreak pada sapi-sapi yang dipelihara di wilayah ini.
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan sampel yang berasal dari Propinsi
Riau, semua sampel diuji dengan Elisa BVD (Antigen). Sebanyak 153 sampel
yang diperiksa semuanya memberikan hasil negatif antigen BVD. Hasil ini cukup
menggembirakan karena secara laboratorium virus BVD sama sekali tidak
ditemukan pada semua sampel dari propinsi Riau yang diperiksa. Dari hasil ini
bisa disimpulkan untuk sementara waktu wilayah di Propinsi Riau aman dari
kemungkinan outbreak BVD, dengan catatan pengawasan dan pencegahan
penularan dari sapi yang masuk dari luar daerah perlu diperketat. Dan untuk
melihat reaksi antibodi tubuh sapi terhadap BVD perlu juga dilakukan pengujian
Elisa BVD (antibodi).
Sampel yang berasal dari Propinsi Jambi sebanyak 15 sampel untuk
pemeriksaan Elisa Antigen BVD dan 103 sampel untuk pemeriksaan Elisa
antibodi BVD. Pada pemeriksaan Elisa antigen BVD sebanyak 15 sampel
semuanya negatif. Sedangkan pada pemeriksaan antibodi BVD dari 103 sampel
yang diperiksa sebanyak 83 sampel seropositif (80.53%) dan 2 sampel suspect
(1.9%). Hasil ini perlu ditelususri lebih lanjut tentang kemungkinan pelaksanaan
vaksinasi BVD pada sapi-sapi tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan hasil
seropositif tersebut memang berasal dari adanya paparan virus BVD secara alami.
Dan angka yang diperoleh sebanyak 80,53% merupakan angka yang menunjukkan
keberhasilan vaksinasi jika memang dilakukan vaksinasi BVD. Jika ternyata tidak
dilakukan vaksinasi BVD angka ini menggambarkan tingginya paparan virus
BVD di alam namun tubuh sapi mampu memproteksi dengan baik.
Ada beberapa metode untuk mendiagnosa BVD ini diantaranya Isolasi
Virus, yang kemudian virus diidentifikasi dengan FAT. Untuk kawanan ternak
dapat juga dilakukan dengan paired serum samples dan Complement Fixation
Test. Dan diagnosa yang lebih akurat dengan menggunakan metode PCR pernah
dilakukan di Laboratorium Balai Veteriner Bukittinggi. Namun pada tahun ini
metode PCR untuk BVD tidak dilakukan.
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 26
Dijumpainya penyakit BVD baik melalui uji Elisa antibodi maupun antigen
patut diperhatikan, mengingat bila penyakit ini sampai out break angka
kematiannya bisa mencapai 90-100%. Untuk itu perlu diambil langkah-langkah
menjaga kebersihan lingkungan dan alat-alat kandang. Kelompok sapi yang sakit
diisolasi dan dilarang dipindahkan ke sapi-sapi yang sehat. Waspadai juga
kemungkinan memasukkan sapi dari negara-negara yang belum bebas BVD.
Untuk daerah yang belum pernah ditemukan kasus BVD bila ada yang dinyatakan
positif BVD harus segera di-stamping out. Jika karena sesuatu hal penyakit
tersebut telah menjadi berkembang, tindakan pemberantasan terutama dilakukan
terhadap penderita klinis.
Penyakit IBR (Infectious Bovine Rhinotracheitis) dapat menimbulkan
infeksi sekunder berupa broncho pneumonia, keguguran dan kematian pada anak
sapi. Mortalitas penyakit rendah dan morbiditas tinggi. Sapi yang sembuh dari
infeksi alami menjadi kebal dalam waktu yang lama. Kekebalan secara pasif yang
diperoleh pedet dari kolostrum dapat menimbulkan kekebalan kurang lebih empat
bulan. Penularannya bisa secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal dapat
melalui infeksi intra uterina, sedangkan horizontal dapat melalui inhalasi cairan
hidung yang mengandung virus dan melalui semen. Penyakit ini dapat
menimbulkan kerugian ekonomi cukup berarti. Kerugian terutama akibat adanya
infeksi sekunder yang dapat menyebabkan pneumonia, keguguran dan kematian
pada anak sapi.
Diagnosa laboratorium dapat dilakukan secara histopatologi dan virologi.
Pemeriksaan adanya virus dapat dilakukan secara isolasi dari usapan vagina atau
trachea. Bisa juga dari organ saluran pernafasan dan reproduksi yang diinokulasi
pada biakan sel/sel MDBK, kemudian dilihat adanya kerusakan sel/CPE
(Cytopatogenic Effect) identifikasi virus dilakukan secara FAT.
Pemeriksaan adanya zat kebal dilakukan terhadap serum secara neutralisasi
tes, dengan menggunakan biakan sel, AGDT (Agar Gell Diffusion Test), CFT
(Complement Fixation Test). Dapat pula menggunakan metode ELISA (Enzim
Lynked Immunosorbance Assay) dan yang lebih akurat lagi adalah dengan metode
PCR.
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 27
Meskipun bahan yang digunakan berupa kit Elisa cukup mahal, pengujian
dengan metode ini bisa lebih cepat dan mudah dilakukan dan bisa memberikan
gambaran adanya antibodi maupun antigen IBR pada sapi yang diambil
sampelnya. Banyaknya penyakit yang menunjukkan gejala klinis yang mirip
(differensial diagnosa) dengan penyakit IBR ini menjadi alasan perlunya
pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosa penyakit ini. Beberapa penyakit
yang merupakan diagnosa banding (differnsial diagnosa) dari penyakit IBR ini
antara lain: Pasteurollosis, Bovine Viral Diarrhea (BVD), Diphteria, Shipping
Fever, Rhinitis karena alergi, dan Malignan Catarrhal Fever (MCF). Untuk lebih
memberikan kecepatan dan ketepatan diagnosa IBR, Balai Veteriner Bukittinggi
juga melakukan pendiagnosaan IBR dengan metode PCR.
Pada tahun 2013 telah dilakukan pengambilan sampel untuk pemeriksaan
serum dengan metode ELISA IBR dan pemeriksaan secara PCR. Untuk wilayah
propinsi Sumatera Barat serum yang diperiksa sebanyak 904 sampel dan sebanyak
480 sampel seropositif (53,10%). Untuk Propinsi Riau sebanyak 64 dari 172
sampel serum yang diperiksa seropositif (37.21%). Sedangkan Propinsi Jambi 13
sampel dari 108 sampel serum yang diperiksa seropositif (12,04%). Dan di
Propinsi Kepulauan Riau 8 sampel dari 64 sampel yang diperiksa seropositif
(12,5%). Dari hasil ini diketahui bahwa seropositif IBR yang tertinggi
prosentasenya adalah Propinsi Sumatera Barat. Dan secara keseluruhan letak
lokasi semakin jauh dari Propinsi Sumatera Barat, prosentase seropositifnya
semakin rendah. Propinsi Sumatera Barat merupakan propinsi dengan seropositif
IBR tertinggi mengingat kasus awal terdeteksinya IBR pada sapi pertama kali
pada BPTU Padang Mangatas, Sumatera Barat yang merupakan balai penghasil
bibit sapi yang disebar terutama di wilayah terdekat dengan lokasi pembibitannya.
Adanya program penyebaran bibit sapi ke masyarakat dari sapi yang berasal dari
BPTU Padang Mangatas bisa sangat menjelaskan tingginya hasil seropositif IBR
di propinsi Sumatera Barat. Cara penularan secara vertikal yaitu melalui intra
uterine menjadi dasar dari penyebaran penyakit ini terutama di propinsi Sumatera
Barat. Pedet-pedet hasil dari program penyebaran sapi kepada masyarakat di
sekitar lokasi pembibitan menjadi pembawa tersebarnya virus IBR. Ditambah lagi
penyebaran horizontal melalui inhalasi cairan hidung yang mengandung virus dan
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 28
melalui semen memungkinkan penyebaran terutama di daerah yang terdekat dari
lokasi sumber pertama kali penyakit ini ditemukan. Dari penjelasan ini maka hasil
pengujian cukup menjelaskan fenomena penyebaran ini.
Untuk menangkap virus IBR pada lokasi di keempat propinsi tersebut,
dilakukan pengujian terhadap swab hidung, darah antikoagulan dan buffycoat
dengan metode PCR. Sebanyak 128 sampel telah berhasil dikumpulkan dan
dilakukan pengujian dengan metode PCR IBR. Dan hasilnya pada masing-masing
propinsi adalah Propinsi Sumatera Barat sebanyak 45 sampel semuanya negatif,
Propinsi Riau sebanyak 68 sampel semuanya negatif, dan Propinsi Jambi
sebanyak 15 sampel semuanya negatif. Total telah dilakukan pengujian PCR IBR
terhadap sampel-sampel yang diambil dari keempat propinsi di wilayah kerja
Balai Veteriner Bukittinggi sebanyak 128 sampel semuanya negatif. Hasil ini
mengindikasikan bahwa di keempat propinsi tersebut tidak ditemukan adanya
virus IBR.
Hasil pemeriksaan PCR IBR pada tahun 2013 ini tidak ada yang
menunjukkan hasil positif IBR. Dari 128 sampel yang terdiri dari swab, darah
antikoagulan, buffycoat dan sperma yang diuji semuanya Negatif IBR. Hasil ini
menunjukkan tingkat protektifitas dan efektyifitas antibodi sapi dalam menangkap
virus IBR. Dengan tertangkapnya virus IBR oleh antibodi maka sulit menangkap
antigen IBR secara bebas.
Hasil pemeriksaan Neosporosis dengan metode Elisa yang dilakukan pada
sampel serum darah yang diperoleh pada tahun 2013 menunjukkan adanya
seropositif Neospora. Secara umum untuk sampel yang diperoleh dari propinis
Sumatera Barat, sampel diambil dari Kabupaten Agam, Kab. Padang Panjang dan
Kota Bukittinggi masing-masing 37 sampel, 56 sampel dan 13 sampel. Jumlah
totalnya sebanyak 106 sampel, dan dari jumlah tersebut sebanyak 15 sampel
seropositif Neospora caninum (14.15%). Angka ini cukup tinggi untuk
menggambarkan adanya paparan Neopsora caninum di propinsi Sumatera Barat.
Dari seluruh propinsi yang diambil sampelnya untuk pemeriksaan Neospora ini,
propinsi Sumatera Barat merupakan proponsi tertinggi prosentase seropositifnya.
Sedangkan dari Propinsi lainnya yang terdapat sampel seropositif adalah sampel
dari Kota Muaro Bungo yaitu terdapat 1 sampel seropositif dari 17 sampel yang
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 29
diuji (5.88%). Dalam propinsi Sumatera Barat ini dari beberapa kabupaten yang
diambil sampelnya, Kota Padang Panjang menempati urutan yang paling tinggi
seropositif Neospora-nya, yaitu 12 dari 44 sampel yang diperiksa (27,27%).
Sedangkan dari kota Bukittinggi sebanyak 2 dari 11 sampel yang diperiksa
(18.18%) dan Kab. Agam sebanyak 1 dari 37 sampel yang diperiksa (2,7%).
Pengambilan sampel untuk uji Neopsorosis pada propinsi Sumatera Barat ini
terutama dilakukan pada sapi perah ataupun jenis sapi Eropa. Seperti tahun-tahun
sebelumnya dari Kota Padang Panjang merupakan prosentase tertinggi seropositif
Neosporanya.
Pemeriksaan semen perlu untuk menentukan kualitas semen. Namun karena
pemeriksaan yang dilakukan bukan terhadap semen yang berasal langsung dari
ternak, maka pemeriksaan ini sebenarnya bukan merupakan pemeriksaan
kesuburan ternak. Meski demikian, hasil pemeriksaan ini bisa turut memberikan
kontribusi dalam menilai kesuburan ternak. Sebagai misal, apabila dari segi
pemeriksaan semen yang digunakan adalah dalam kualitas baik, ternyata ternak
betina tidak juga bunting, maka perlu adanya koreksi terhadap masalah kesuburan
betina tersebut.
Penilaian semen untuk mengetahui kualitas semen adalah dengan
pemeriksaan motilitas (pergerakan) dan pemeriksaan hidup-mati sperma. Dari
pemeriksaan yang pernah dilakukan di tahun 2013 diperoleh hasil: dari 33 sampel
straw yang diperiksa terdapat 32 straw yang pergerakannya bagus (96.97%). Dari
hasil ini menggambarkan bahwa semua straw yang diperiksa dalam keadaan baik.
Pergerakan yang baik adalah pergerakan yang progresif, yaitu gerakan maju
ke depan. Gerakan progresif ini yang lebih menjamin sperma mencapai ovum
untuk dibuahi. Sedangkan gerakan-gerakan lainnya, seperti oscilatoris (gerakan
berayun berputar), vibratoris (berayun maju mundur), gerakan circuler
(melingkar), gerakan Reverse (mundur) dan N (tak ada gerakan), ini semua
merupakan gerakan sperma yang kurang baik. Jadi bila sperma mengandung
sedikit yang gerakannya progessif berarti sperma tersebut kualitasnya kurang
baik. Apalagi bila sperma yang hidup kurang dari (40%). Ini merupakan ciri
sperma yang kurang berkualitas. Pada pemeriksaan kualitas semen pada tahun
2013 ini hasil yang didapat hanya ada dua kategori, yaitu straw berisi sperma yang
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 30
hidup dan gerakannya bagus. Hasil ini bisa berkaitan dengan beberapa faktor,
antara lain kondisi kontainer, jarak tempuh antara lokasi pengambilan sampel
dengan tempat pengujian yang jauh dan kondisi jalannya tak bagus, atau handling
atau penanganan straw yang masih perlu ditingkatkan lagi saat pengambilan dari
pos IB, saat diperjalanan atau saat pengujian. Dengan diperolehnya hasi yang baik
ini maka faktor-faktor tersebut terpenuhi dengan baik.
Pengujian Trichomoniasis dilakukan terhadap sapi-sapi yang akan masuk ke
BPTU. Adanya program pembibitan sapi lokal di BPTU Padang Mangatas maka
dilakukan penyeleksian sapi-sapi lokal yang berasal dari daerah setempat. Sapi-
sapi yang diseleksi untuk bibit tersebut berasal dari Kabupaten Pesisir Selatan
sebanyak 17 sapi dan Kabupaten 50 Kota sebanyak 16 sapi. Terhadap sapi-sapi ini
dilakukan uji Natif Tricohomonas dari air basuhan vagina atau preputium. Dari
seluruh sampel yang diuji semuanya Negatif Trichomoiasis. Sampai saat ini
belum pernah ditemukan adanya Trichomoniasis di wilayah kerja Balai Veteriner
Bukittinggi. Untuk sementara wilayah ini masih aman dari penyakit penyebab
gangguan Reproduksi yaitu Trichomoniasis.
Untuk mengetahui kemungkinan penyakit gangguan reproduksi yang
disebabkan oleh jamur maka dilakukanlah pengambilan sampel pakan untuk
dilakukan pemeriksaan kultur terhadap Aspergillus fumigatus. Sampel pakan
diambil dari beberapa peternakan sapi di wilayah kerja Balai Veterinerr
Bukittinggi. Sampel yang dilakukan pemeriksaan berasal dari propinsi Sumatera
Barat dan Riau. Dari seluruhnya 6 sampel yang berhasil terkumpel dilakukan
pemeriksaan kultur dan hasilnya 2 sampel ditemukan adanya Aspergillus
fumigatus, dan 1 sampel ditemukan Aspergillus niger dan 3 sampel tidak tumbuh
jamur.. Dari hasil ini memberikan gambaran perlunya kewaspadaan kemungkinan
adanya gangguan reproduksi yang disebabkan oleh jamur. Aspergillosis, yang
disebabkan oleh Aspergillus fumigatus, merupakan salah satu penyebab terjadinya
gangguan reproduksi. Maka dari itu pemberian pakan yang sehat perlu lebih
diperhatikan lagi. Penanganan pakan selama penyimpanan juga harus menjadi
perhatian yang serius.
Hasil pemeriksaan laboratorium mineral darah ditemukan 652 sampel dari
1610 sampel yang diperiksa (40.50%) kadar Kalsium darahnya di bawah normal,
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 31
Kadar pospor dibawah normal sebanyak 1113 sampel (7,01%), kadar magnesium
dibawah normal sebanyak 50 sampel (3,1%). Kekurangan unsur mineral Ca, P dan
magnesium pada ternak sebagai mineral utama menyebabkan gangguan
reproduksi. Kekurangan pospor pada hewan muda menyebabkan keterlamabatan
dewasa kelamin, pada hewan dewasa menyebabkan anestrus, birahi tidak teratur
dan sulit mengalami kebuntingan. Perbandingan Ca dan P tidak normal akan
menurunkan kesuburan ternak. Rendahnya kadar Mg menyebakan kematian pedet
setelah dilahirkan.
Mineral jarang (trace element) mempunyai peranan penting dalam proses
reproduksi, baik pada hewan betina maupun jantan. Minera-mineral tersebut
adalah Phospor (P), Calcium (Ca), dan unsur unsur jarang seperti Yodium (Y),
Selenium (Se), Ferrum (Fe), Cuprum (Cu), Cobalt (Co), Mangan (Mn) dan
Magnesium (Mg). Semua bahan mineral ini bila kekurangan dalam tubuh hewan
akan diikuti timbulnya gangguan reproduksi, khususnya pada hewan betina, dan
sering diakhiri dengan kemajiran.
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 32
BAB IV.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. KESIMPULAN
Dari pengamatan lapangan dan hasil pemeriksaan laboratorium dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Propinsi Sumatera Barat, sebanyak 37 sampel serum darah sapi dari
103 sampel yang diperiksa diperoleh hasil seropositif BVD(Ab)
(35,92%). Sedangkan pada pemriksaan PCR BVD(Ag) 1 sampel dari 505
sampel yang diperiksa positif.
Propinsi Riau, sebanyak 163 sampel serum darah sapi yang diperiksa
dengan Elisa BVD (Ag) semuanya negatif.
Propinsi Jambi sebanyak 15 sampel untuk pemeriksaan Elisa BVD(Ag)
semuanya negatif dan 103 sampel untuk pemeriksaan Elisa BVD(Ab)
sebanyak 83 sampel seropositif (80.53%) dan 2 sampel suspect (1.9%).
2. Propinsi Sumatera Barat serum yang diperiksa Elisa IBR sebanyak 904
sampel dan sebanyak 480 sampel seropositif (53,10%).
Propinsi Riau sebanyak 64 dari 172 sampel serum yang diperiksa Elisa
IBR seropositif (37.21%).
Propinsi Jambi 13 sampel dari 108 sampel serum yang diperiksa Elisa
IBR seropositif (12,04%).
Propinsi Kepulauan Riau 8 sampel dari 64 sampel yang diperiksa Elisa
IBR seropositif (12,5%).
3. Dan pada pengujian PCR IBR tidak ditemukan positif IBR.
4. Jumlah totalnya sebanyak 106 sampel, dan dari jumlah tersebut sebanyak
15 sampel seropositif Neospora caninum (14.15%).
5. Propinsi Sumatera Barat sebanyak 15 sampel serum darah dari 106
serum darah sapi dan kerbau yang diperiksa seropositif Neospora
caninum (7,06%).
Propinsi Riau sebanyak4 sampel semuanya negatif (0 %)
Propinsi Jambi terdapat 1 sampel seropositif dari 17 sampel yang diuji
(5.88%)
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 33
6. Pemeriksaan straw lapangan ditemukan sebanyak 32 dari 33 straw yang
diperiksa kualiatsnya baik (96.97%).
7. Pemeriksaan Trichomonas sebanyak 33 sampel semua negatif (0%).
8. Pemeriksaan pakan sapi sebanyak 6 sampel, 4 sampel positif Aspergillus
niger 1 sampel, Aspergillus fumigatus 2 sampel dan Aspergillus flavus 0
sampel.
9. Mineral darah ditemukan 652 sampel dari 1610 sampel yang diperiksa
(40.50%) Hypocalcemial, sebanyak 1113 sampel (7,01%)
Hypophosporemia, dan sebanyak 50 sampel (3,1%) Hypomagnesemia.
4.2. SARAN
1. Awasi lalulintas ternak
2. Perlu pemeriksaan lebih lanjut terhadap penyakit-penyakit yang dapat
menyebabkan gangguan reproduksi.
3. Penerapan jalur dingin yang optimal pada penanganan straw untuk
mendapatkan angka konsepsi lebih tinggi
4. Perlunya menjaga kualitas pakan sapi pada saat penyimpanan maupun
pemberiannya.
5. Perlu mendapat perhatian pemberian pakan tambahan mineral dan
pengendalian parasit pada ternak secara rutin.
6. Untuk penanganan gangguan reproduksi pada hewan betina di
lapangan, dengan menyiapkan tenaga ahli reproduksi dan sarana yang
dibutuhkan.
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 34
DAFTAR PUSTAKA
Hazumi, T., dkk. 2001. Fisiologi dan Gangguan Reproduksi. Japan International
Cooperation Agency- Indonesia. Singosari.
Hazumi, T., dkk. 2002. Reproduksi Klinik. Japan International Cooperation
Agency- Indonesia. Singosari.
Hardjopranjoto, S, 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University
Press. Surabaya.
Ratnawati.d., dkk., 2007, Petunjuk Teknis Peanganan Gangguan Reproduksi pada
Sapi Potong, PUSLITBANGNAK, Pasuruan.
Ressang,A.A., 1988. Penyakit Viral Pada Hewan. Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press). Jakarta
Riady.m., 2006., Implementasi Program Menuju Swasembada Daging 2010
Strategi dan Kendala, Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner, PUSLITBANGNAK.
Schnurrenberger.P.R., et al., 1991, Ikhtisar Zoonosis, Penerbit ITB Bandung.
Subronto, 1993. Ilmu Penyakit Ternak I. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Toelihere. MR, 1985. Insiminasi Buatan Pada Ternak. Angkasa. Bandung
Laporan Kegiatan Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong Tahun 2013 35
Recommended