View
49
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
Chronic kidney disease, penjelasan terstruktur tentang CKD
Citation preview
Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkah dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan Kunjungan Lapangan
pada bangsal Interna di Rumah Sakit Umum Provinsi Mataram (RSUP Mataram) ini tepat
pada waktunya.
Laporan ini kami susun setelah melakukan kunjungan lapangan ke Rumah Sakit
Umum Provinsi NTB tepatnya pada bangsal Interna pada tanggal 21 September 2013.
Laporan ini berisi mengenai hal-hal yang kami dapat saat melakukan kunjungan lapangan ke
bangsal tersebut dimana pada saat itu kami dibimbing oleh dr. M. Ghalvan Sahidu dan dr. Ni
Made Reditya Noviyani, serta kakak-kakak koas yang berada di stase interna. Saat kunjungan
lapangan kami dipandu ketika mengunjungi pasien dan diberikan penjelasan mengenai
kondisi pasien. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada dr. M. Ghalvan
Sahidu dan dr. Ni Made Reditya Noviyani, serta kakak-kakak koas yang berada di stase
interna atas bimbingannya.
Kami menyadari bahwa laporan ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun yang harus kami
lakukan untuk dapat menyusun laporan yang lebih baik lagi di kemudian hari. Kami
berharap laporan ini dapat berguna bagi para pembaca.
Mataram, 23 September 2013
Penyusun
1
Daftar Isi
Kata Pengantar…………………………………………………………………..…...……......1
Daftar Isi………………………………………………………………………..…...................2
BAB I (Pendahuluan)
A. Pendahuluan ............................................................................................................3
B. Tujuan ......................................................................................................................3
C. Waktu dan Tempat...................................................................................................3
BAB II (Landasan Teori)
Landasan Teori………………………………………………………...……...............4
BAB III (Hasil dan pembahasan)
A. Hasil…...........………………………………………......……..............................20
B. Pembahasan…………………………………………......……..............................23
BAB IV (Penutup)
A. Kesimpulan…………..…………………………………………..…...…..……..34
Daftar Pustaka...................................................................................................................36
2
BAB I
PENDAHULUAN
A.PendahuluanSebagai mahasiswa fakultas kedokteran, selain mempelajari mengenai teori
suatu penyakit, diperlukan pula pengenalan dan pemahaman lebih mengenai kasus-
kasus yang berhubungan dengan sistem urogenital. Oleh karena itu, pada Sabtu 21
September yang lalu kelompok kunjungan lapangan B1 diberi kesempatan untuk
menganalisis suatu kasus yakni CKD (Chronic Kidney Disease / penyakit ginjal
kronik).
Penyakit ginjal kronik adalah gangguan ginjal berupa gangguan struktural
yang dapat diketahui dengan pemeriksaan pencitraan ataupun kelainan laboratorik
berupa peningkatan ekskresi albumin urin (mikroalbuminuria/proteinuria), atau
adanya eritrosit dalam jumlah yang abnormal di urin (hematuria). Keadaan ini
merupakan suatu keadaan patologis dengan penyebab yang beragam dan
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan kemudian berakhir pada
gagal ginjal tahap akhir. Penyakit ginjal tahap akhir adalah suatu keadaan klinis yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal kronik ireversibel yang sudah mencapai
tahapan dimana penderita memerlukan terapi pengganti ginjal , berupa dialisis atau
transplantasi ginjal.
Dalam menegakan diagnosis ini, sebelumnya terdapat beberapa diagnosis
banding yang diangkat yakni setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
menganalisa hasil dari pemeriksaan penunjang.
B.Tujuan Mengamati pasien dengan kelainan sistem urogenitalia
Menganalisis kasus yang berhubungan dengan sistem urogenitalia dengan data
yang didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
C.Waktu dan TempatWaktu : Sabtu, 21 September 2013
Tempat : Bangsal Penyakit Dalam RSUP NTB
3
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada kunjungan lapangan yang penulis lakukan pada tanggal 21 September 2013 di
bangsal Interna RSUP NTB, penulis mengamati satu kasus kelainan urogenital. Dalam
laporan ini, penulis akan membahas mengenai satu kasus tersebut yaitu gagal ginjal baik yang
akut maupun kronis.
GAGAL GINJAL AKUT
Gagal ginjal akut (GGA) merupakan penurunan fungsi ginjal secara mendadak
sehingga ginjal tidak mampu menjalani fungsinya untuk mengekskresikan hasil metabolisme
tubuh (kelebihan nitrogen dan air) dan mempertahankan keseimbangan asam dan basa
(Mueller,2005). GGA adalah penurunan tiba-tiba faal ginjal pada individu dengan ginjal
sehat sebelumnya, dengan atau tanpa oliguria. GGA dapat berakibat azotemia progesif
disertai kenaikkan ureum dan kreatinin darah.
Penurunan fungsi ginjal yang terjadi dalam waktu singkat menyebabkan penderita
GGA hanya mengalami sedikit gejala. Diagnosis yang dapat diterima meliputi terjadinya
peningkatan 50% dari batas atas nilai normal serum kreatinin, atau sekitar 0,5 mg/dl atau
terjadi penurunan sebesar 50% dari normal laju filtrasi glomerulus (Needham. 2005). Anuria
didefinisikan bila volume urin kurang dari 50ml per hari. Oliguria terjadi jika volume urin
dalam satu hari sekitar 50-450ml, sedangkan kondisi non oliguria terjadi jika volume urin
lebih dari 450ml per hari.
Jika GGA bersifat sedang, efek fisiologis utamanya adalah retensi darah dan cairan
ekstraseluler dari cairan tubuh, produk buangan dari metabolisme dan elektrolit. Hal ini dapat
menyebabkan penumpukkan air dan garam yang berlebihan yang kemudian dapat
mengakibatkan edema dan hipertensi. Namun retensi kalium yang berlebihan sering
menyebabkan ancaman yang lebih serius terhadap pasien gagal ginjal akut karena
peningkatan konsentrasi kalium plasma (hiperkalemia) kira-kira lebih dari 8 mEq/liter (hanya
2 kali normal) dapat menjadi fatal, karena ginjal juga tidak dapat mengekskresikan cukup ion
hidrogen. Pasien dengan GGA mengalami asidosis metabolik yang dapat menyebabkan
kematian atau dapat memperburuk hiperkalemia itu sendiri.
4
Epidemiologi
Gagal ginjal akut merupakan sindrom klinis yang sangat lazim terjadi pada sekitar 5%
pasien rawat inap dan sebanyak 30% pasien yang dirawat di unit perawatan intensif. Sebagian
besar pasien GGA biasanya memiliki fungsi ginjal yang sebelumnya normal, dan keadaan ini
umumnya dapat pulih kembali. Selain kenyataan ini, mortalitas akibat GGA sangat tinggi
sekitar 50%, bahkan dengan ketersediaan pengobatan dialisis, mungkin menunjukkan
penyakit kritis yang menyertainya.
Menurut Dr. Suhardjono kasus gagal ginjal di dunia meningkat lebih dari 50%,
sedangkan di Indonesia sudah mencapai 20%. Mortalitas penderita GGA masih cukup tinggi,
40–50% pada GGA oliguri dan 15–20 % pada gagal ginjal akut non-oliguri. Insiden GGA di
populasi umum kurang dari 1 %, 5–7 % pada penderita yang dirawat di rumah sakit dan 20–
25 % dari penderita di ruang perawatan intensif.
Etiologi
Penyebab gagal ginjal akut secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian, yaitu pre-
renal (gagal ginjal sirkulatorik), renal (gagal ginjal intrinsik), dan post-renal (uropati
obstruksi akut).
Penyebab gagal ginjal pre-renal adalah hipoperfusi ginjal, ini disebabkan oleh :
hipovolemia, penyebab hipovolemi ini bisa dari perdarahan, luka bakar, diare, asupan
yang memburuk, pemakaian diuretic yang berlebihan,
penurunan curah jantung pada gagal jantung kongestif, infark miokardium,
tamponade jantung, emboli paru,
vasodilatasi perifer terjadi pada syok septic, anafilaksis dan cedera remuk,
antihipertensi,
peningkatan resistensi pembuluh darah ginjal, terjadi pada proses pembedahan,
penggunaan anastesia, penghambat prostaglandin, sindrom hepato-renal, obstruksi
pembuluh darah ginjal, disebabkan karena adanya stenosis arteri ginjal, embolisme,
trombosis, vaskulitis.
Penyebab gagal ginjal renal (gagal ginjal intrinsik) dibagi antara lain :
kelainan pembuluh darah ginjal, ini terjadi pada hipertensi maligna, emboli kolesterol,
vaskulitis, purpura, trombositopenia trombotik, sindrom uremia hemolitik, krisis,
ginjal pada scleroderma, toksemia kehamilan,
5
penyakit glomerolus, terjadi pada pascainfeksi akut, glomerulonefritis, proliferatif
difus dan progresif, lupus eritematosus sistemik, endokarditis infektif, sindrom
Goodpasture, vaskulitis,
nekrosis tubulus akut yang terjadi pada iskemia, zat nefrotksik (aminoglikosida,
sefalosporin, siklosporin, amfoterisin B, aziklovir, pentamidin, obat kemoterapi, zat
warna kontras radiografik, logam berat, hidrokarbon, anaestetik) rabdomiolisis
dengan mioglobulinuria, hemolisis dengan hemoglobulinuria, hiperkalsemia, protein
mieloma, nefropati rantai ringan,
penyakit interstisial pada nefritis interstisial alergi (antibiotika, diuretic, allopurinol,
rifampin, fenitoin, simetidin, NSAID), infeksi (stafilokokus, bakteri gram negatif,
leptospirosis, bruselosis, virus, jamur, basil tahan asam), penyakit infiltratif
(leukemia, limfoma, sarkoidosis).
Penyebab gagal ginjal post-renal dibagi menjadi dua yaitu terjadinya :
sumbatan ureter yang terjadi pada, fibrosis atau tumor retroperitoneal, striktura
bilateral pascaoperasi atau radiasi, batu ureter bilateral, nekrosis papiler lateral, bola
jamur bilateral,
sumbatan uretra, hipertrofi prostate benigna, kanker prostat, striktura ureter, kanker
kandung kemih, kanker serviks, kandung kemih “neurogenik”.
Patofisiologi
a) Perubahan filtrasi glomerulus
Filtrasi glomerulus bergantung pada penjumlahan gaya-gaya
yang mendorong filtrasi plasma menembus glomerulus dan gaya-
gaya yang mendorong reabsorpsi filtrat kembali ke dalam
glomerulus. Gaya-gaya yang mendorong filtrasi adalah tekanan
kapiler dan tekanan osmotik koloid cairan interstisium.
Tekanan kapiler bergantung pada tekanan arteri rerata.
Peningkatan tekanan arteri rerata meningkatkan tekanan kapiler
sehingga cenderung terjadi peningkatan filtrasi glomerulus.
Penurunan tekanan arteri rerata menurunkan tekanan tekanan
kapiler dan cenderung mengurangi filtrasi glomerulus. Tekanan
osmotik koloid cairan intertisium rendah karena hanya sedikit
protein plasma atau sel darah merah dapat menembus glomerulus.
6
Pada cedera glomerulus atau kapiler peritubulus, tekanan osmotik
koloid cairan intertisium dapat meningkat. Apabila meningkat, maka
cairan akan tertarik keluar glomerulus dan kapiler peritubulus
sehingga terjadi pembengkakan dan edema di ruang Bowman dan
intertisium yang mengelilingi tubulus. Pembengkakan tersebut
dapat mengganggu filtrasi glomerulus dan reabsorpsi tubulus lebih
lanjut dengan meningkatkan tekanan cairan interstisium.
b) Obstruksi tubulus
Peningkatan tekanan cairan interstisium sering disebabkan
oleh obstruksi tubulus. Obstruksi menyebabkan penimbunan cairan
di nefron yang mengalir kembali ke kapsula dan ruang Bowman.
Obstruksi tubulus yang tidak diatasi dapat menyebabkan kolapsnya
nefron dan kapiler sehingga terjadi kerusakan ginjal yang ireversibel
terutama di papila yang merupakan tempat akhir pemekatan urin.
Penyebab obstruksi antara lain adalah batu ginjal dan
pembentukkan jaringan parut akibat infeksi ginjal.
c) Iskemia korteks ginjal
Iskemia terjadi karena kerusakan tubulus sel endotel dan
adanya sumbatan intrarenal sehingga laju filtrasi glomerulus
menurun. Iskemia umumnya merupakan kejadian awal yang dapat
merusak tubulus atau glomerulus sehingga dapat menurunkan
aliran darah. Nekrosis tubular akut mengakibatkan deskuamasi sel
tubulus nekrotik dan bahan protein lainnya, yang kemudian
membentuk silinder-silinder dan menyumbat lumen tubulus.
Pembengkakan seluler akibat iskemia awal, juga ikut menyokong
terjadinya obstruksi dan memperberat iskemia.
Tanda dan gejala
Tanda-tanda dan gejala klinis GGA sering tersamar dan tidak
spesifik walaupun hasil pemeriksaan biokimiawi serum selalu
menunjukkan ketidaknormalan. Gambaran klinis dapat meliputi:
Perubahan volume urin (oliguria, poliuria)
Kelainan neurologis (lemah, letih. gangguan mental)
7
Gangguan pada kulit (gatal-gatal, pigmentasi, pallor)
Tanda pada kardiopulmoner (sesak, pericarditis) dan gejala pada
saluran cerna (mual, nafsu makan menurun, muntah).
Oliguria (penurunan pengeluaran urin), terutama apabila kegagalan
disebabkan oleh iskemia atau obstruksi. Oliguria dapat terjadi karena
penurunan laju filtrasi glomerulus. Azotemia (peningkatan senyawa-
senyawa bernitrogen dalam darah), hiperkalemia (peningkatan kalium
dalam darah) dan asidosis. Perubahan elektrolit dan pH yang dapat
menyebabkan ensefalopati uremik.
Pemeriksaan klinis dan Diagnosis
Uji fungsi ginjal hanya menggambarkan penyakit ginjal secara garis
besar saja, dan lebih dari setengah bagian ginjal harus mengalami
kerusakan sebelum terlihat nyata adanya gangguan pada ginjal. Ada
beberapa metode yang dapat digunakan untuk memperkirakan fungsi
ginjal.
a. Anamnesis
Riwayat penyakit amat penting untuk mendapatkan faktor
penyebab atau yang memperberat gagal ginjal. Pada GGA perlu
diperhatikan betul banyaknya asupan cairan, kehilangan cairan
melalui urin, muntah, diare, keringat yang berlebihan dan lain-lain
serta pencatatan berat badan pasien.
b. Pemeriksaan fisis
Ada tiga hal penting yang harus didapatkan pada
pemeriksaan fisis pasien dengan GGA : Penentuan status volume
sirkulasi, apakah ada tanda-tanda obstruksi saluran kemih, yang
terakhir adakah tanda-tanda penyakit sisitemik yang mungkin
menyebabkan GGA.
c. Analisis urin
Meliputi berat jenis urin, glukosa pada urin, protein pada urin,
sedimen eritrosis, silinder leukosit, eosinofil dalam urin, kristal urat
dan kristal oksalat (Suhardjono et al., 2001). Osmolalitas (berat jenis
8
spesifik) urin dapat diukur dan harus berada di antara 1.015 dan
1.025. Dehidrasi menyebabkan peningkatan osmolalitas urin karena
banyak air yang direabsorpsi kembali masuk ke kapiler peritubulus.
Hidrasi berlebihan menyebabkan penurunan osmolalitas urin.
d. Penentuan indikator urin
Pemeriksaan beberapa indikator urin seperti albumin, natrium,
ureum dan kreatinin dapat dipakai untuk mengetahui proses yang
terjadi dalam ginjal. Pemeriksaan laju filtrasi glomerulus dapat
menggunakan konsentrasi kreatinin serum dan Blood Urea Nitrogen
(BUN).
Blood Urea Nitrogen (BUN)
Urea adalah produk akhir metabolisme protein yang
mengandung nitrogen. Pada penurunan fungsi ginjal, kadar urea
darah meningkat. BUN dapat dipengaruhi keadaan-keadaan yang
tidak berkaitan dengan ginjal, misalnya peningkatan atau
penurunan asupan protein dalam makanan atau setiap peningkatan
penguraian protein yang tidak lazim seperti cedera otot. Maka BUN
merupakan suatu indikator yang kurang tepat. Urea merupakan
produk nitrogen terbesar yang dikeluarkan melalui ginjal. Nilai
normal konsentrasi ureum plasma ≤ 80 mg/dl. Konsentrasi urea
plasma kurang tepat bila digunakan untuk menentukan laju filtrasi
glomerulus karena kosentrasi urea dipengaruhi oleh diet dan
reabsorbsi tubulus.
Kreatinin Serum
Kreatinin serum merupakan produk sampingan dari metabolisme
otot rangka normal. Laju produksinya bersifat tetap dan sebanding
dengan jumlah massa otot tubuh. Kreatinin diekskresi terutama oleh
filtrasi glomeruler dengan sejumlah kecil yang diekskresi atau
reabsorpsi oleh tubulus. Bila massa otot tetap, maka adanya
perubahan pada kreatinin mencerminkan perubahan pada
klirensnya melalui filtrasi, sehingga dapat dijadikan indikator fungsi
ginjal. Kreatinin serum meningkat pada gagal ginjal. Namun ada
beberapa yang mempengaruhi kadar kretinin serum antara lain :
9
diet, saat pengukuran, usia penderita, jenis kelamin, berat badan,
latihan fisik, keadaan pasien, dan obat.
e. Pemeriksaan penunjang untuk melihat anatomi ginjal. Pada gagal
ginjal pemeriksaan ultrasonography menjadi pilihan utama untuk
memperlihatkan anatomi ginjal.
f. Pemeriksaan biopsi ginjal dan serologi
Indikasi yang memerlukan biopsi adalah apabila penyebab
GGA tak jelas atau berlangsung lama, atau terdapat tanda
glomerulonefrosis atau nefritis intertisial. Pemeriksaan ini perlu
ditunjang oleh pemeriksaan serologi imunologi ginjal Biopsi ginjal
merupakan salah satu teknik diagnostik terpenting yang telah
berkembang selama beberapa abad terakhir dan telah
menghasilkan kemajuan yang sangatpesat dalam pengetahuan
riwayat penyakit ginjal. Tindakan ini berbahaya, terutama pada
pasien yang tidak bersedia bekerja sama atau yang menderita
gangguan proses pembekuan atau hanya memiliki sebuah ginjal.
Komplikasi yang paling sering ditemui adalah pendarahan intrarenal
dan perirenal.
Penatalaksanaan GGA
Ada tiga sasaran dalam penatalaksanaan GGA, yaitu mencegah
perluasan kerusakan ginjal, mengatasi perluasan kerusakan ginjal, dan
mempercepat pemulihan ginjal. Terapi non farmakologi yang dapat
diberikan pada pasien GGA yaitu terapi suportif berupa pengelolaan
cairan. Curah jantung dan tekanan darah harus dijaga agar tetap
memberikan perfusi jaringan yang adekuat. Cairan harus dihindarkan
pada keadaan anuria dan oliguria sampai pasien mengalami hipervolemia
(edema paru). Apabila pemberian cairan tidak dibatasi, edema seringkali
terjadi terutama pada pasien dengan hipoalbumenia. Sebaliknya
vasopresor seperti dopamin dengan dosis >2μg/kg/menit atau
norefrineprin digunakan untuk memelihara perfusi jaringan, tetapi juga
bisa menginduksi hipoksia ginjal melalui pengurangan aliran darah ginjal.
10
Hiperkalemia dan hiperfosfatemia merupakan gangguan elektrolit yang
umum pada pasien GGA.
Pemberian terapi obat pada pasien GGA kadang masih
kontroversial. Diuretik digunakan pada pasien overload cairan dan non
oliguria. Obat yang paling efektif menyebabkan diuresis pada GGA adalah
manitol dan diuretik kuat. Manitol hanya bisa diberikan melalui jalur
parenteral. Dosis awal biasanya 2,5-25 gram lewat infus intravena selama
3-5 menit. Klirens non renal manitol sangat kecil sehingga bila diberikan
pada pasien anuria atau oliguria bisa menimbulkan keadaan
hiperosmolar. Manitol juga bisa menyebabkan GGA sehingga penggunaan
pada GGA harus dimonitor dengan hati-hati dengan melihat output urin,
osmolalitas serum, dan elektrolit.
Furosemid, bumetamid, torsemid dan asam etakrinat merupakan
jenis diuretik kuat yang digunakan pada pasien GGA. Furosemid
merupakan diuretik kuat yang paling sering digunakan karena harganya
murah, aman dan juga bisa digunakan secara oral atau parenteral. Asam
etakrinat digunakan pada pasien yang alergi terhadap komponen sulfa.
Torsemid dam bumetamid memiliki bioavailabilitas oral yang lebih baik
dibandingkan furosemid.
Penatalaksanaan GGA antara lain sebagai berikut :
a. Individu yang mengalami syok (penurunan tekanan darah) cepat
diterapi dengan penggantian cairan untuk memulihkan tekanan
darah
b. Memperbaiki keseimbangan elektrolit
c. Tindakan pencegahan fase oligurik untuk menghasilkan prognosis
yang baik, antara lain :
- Ekspansi volume plasma secara agresif
- Pemberian diuretik untuk meningkatkan pembentukan urin.
- Vasodilator, terutama dopamin, yang bekerja secara spesifik
sebagai vasodilator ginjal untuk meningkatkan aliran darah
ginjal.
11
d. Pembatasan asupan protein dan kalium. Selain itu, asupan
karbohidrat tinggi akan mencegah metabolisme protein dan
mengurangi pembentukan zat-zat sisa bernitrogen.
e. Terapi antibiotik untuk mencegah atau mengobati infeksi karena
tingginya angka sepsis pada GGA dengan obat non nefrotoksik
f. Memperbaiki keseimbangan asam basa dengan Na-HCO3 po/iv.
g. Dialisis selama stadium oliguria GGA, untuk memberi waktu pada
ginjal untuk memulihkan diri. Dialisis juga mencegah penimbunan
zat-zat bernitrogen, dapat menstabilkan elektrolit, dan mengurangi
beban cairan.
Indikasi yang mutlak untuk dialisis adalah terdapatnya sindroma
uremia dan terdapatnya kegawatan yang mengancam jiwa yaitu
hipervolemia (edema paru), hiperkalemia, atau asidosis berat yang
resisten terhadap pengobatan konservatif. Dialisis ginjal mengacu kepada
proses penyesuaian kadar elektrolit dan dalam darah. Hal ini dilaksanakan
dengan dengan melewatkan darah melalui suatu medium artifisial yang
mengandung air dan elektrolit dengan konsentrasi yang telah ditentukan
sebelumnya. Medium artifisial adalah cairan dialisis.
a. Hemodialisis adalah dialisis yang dilakukan di luar tubuh. Pada
hemodialisis, darah dikeluarkan dari tubuh, melalui sebuah kateter,
masuk ke dalam sebuah alat besar. Hemodialisis tampaknya ikut
berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah
rusak dalam proses tersebut. Infeksi juga merupakan faktor resiko.
b. Dialisis peritoneum adalah berlangsung di dalam tubuh. Membran
peritoneum digunakan sebagai sawar permeabel alami. Masalah-
masalah yang terjadi pada dialisis peritoneum adalah infeksi dari
kateter atau malfungsi kateter.
c. Hemofiltrasi adalah bentuk terapi primer luar tubuh yang terus
menerus yang digunakan untuk pengobatan GGA dan cara ini
berdasarkan pada prinsip konveksi; darah dapat melalui jalan arteri
dan kembali ke vena. (CAVH) atau melalui jalan vena dan kembali
ke vena yang lain (CVVH).
12
d. Hemodiafiltrasi , juga terutama digunakan untuk mengobati GGA.
Cara ini berdasarkan pada prinsip konveksi dan difusi.
GAGAL GINJAL KRONIS
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama
lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda
kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal,
diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², seperti pada tabel 2.1
berikut:
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium
ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih
tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah.
Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium.
Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih
normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang
ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi
ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal,
dan stadium 5 adalah gagal ginjal.
13
Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian
Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi
terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus
(23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit
ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum
memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus.
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis
dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila
penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan
glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat
penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus
sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis. Gambaran klinik
glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara
kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau
keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti
ginjal seperti dialisis.
b. Diabetes melitus
14
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator,
karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan
menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat
bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan
sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti
minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering
ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat
berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang
tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya.
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat
antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya,
hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial
atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi
renal.
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi
cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista.
Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di
kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena
kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan
atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang
paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai
adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney
disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia
di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus,
bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat
dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.
Faktor risiko
15
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50
tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi,
dan penyakit ginjal dalam keluarga.
Patofisiologi
Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus
meskipun penyakit primernya telah diatasi atau telah terkontrol. Hal ini
menunjukkan adanya mekanisme adaptasi sekunder yang sangat
berperan pada kerusakan yang sedang berlangsung pada penyakit ginjal
kronik. Bukti lain yang menguatkan adanya mekanisme tersebut adalah
adanya gambaran histologik ginjal yang sama pada penyakit ginjal kronik
yang disebabkan oleh penyakit primer apapun. Perubahan dan adaptasi
nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal akan
menyebabkan pembentukan jaringan ikat dan kerusakan nefron yang
lebih lanjut. Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut menyerupai suatu
siklus yang berakhir dengan gagal ginjal terminal
Gambaran klinik
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia
sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti:
kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan
neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular
a. Kelainan hemopoeisis: Anemia normokrom normositer dan
normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal
ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum
darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml
per menit.
b. Kelainan saluran cerna: Mual dan muntah sering merupakan
keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama
pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah masih belum
jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora
16
usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan
iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-
keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah
pembatasan diet protein dan antibiotika.
c. Kelainan mata: Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai
pada sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus
cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal
ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf
mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris.
Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun
anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik.
Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva
menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa
pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme
sekunder atau tersier.
d. Kelainan kulit: Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya
masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan
hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang
setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit
muka dan dinamakan urea frost
e. Kelainan selaput serosa: Kelainan selaput serosa seperti pleuritis
dan perikarditis sering dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama
pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah
satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
f. Kelainan neuropsikiatri: Beberapa kelainan mental ringan seperti
emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi sering dijumpai pada
pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi,
dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai
pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering
dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan
tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).
17
g. Kelainan kardiovaskular: Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK)
pada gagal ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti
anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering
dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium
terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.
Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran
berikut:
Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible
factors)
Menentukan strategi terapi rasional
Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin
dan khusus.
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua
keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin
azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor
yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik
(keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium)
mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
b. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan
menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi
dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor
pemburuk faal ginjal.
18
Pemeriksaan faal ginjal (LFG): Pemeriksaan ureum, kreatinin
serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji
saring untuk faal ginjal (LFG).
Etiologi gagal ginjal kronik (GGK): Analisis urin rutin, mikrobiologi
urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis.
Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit :
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit,
endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama
faktor pemburuk faal ginjal (LFG).
c. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan
tujuannya, yaitu:
Diagnosis etiologi GGK: Beberapa pemeriksaan penunjang
diagnosis, yaitu foto polos perut, ultrasonografi (USG),
nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade dan
Micturating Cysto Urography (MCU).
Diagnosis pemburuk faal ginjal: Pemeriksaan radiologi dan
radionuklida (renogram) dan pemeriksaan ultrasonografi (USG).
Penatalaksanaan
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah
memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-
keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit.
Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah
atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat
merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
Kebutuhan jumlah kalori
19
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat
supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual
tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal
disease).
b. Terapi simtomatik
Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis
metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium
bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau
serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah
satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian
transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan
kematian mendadak.
Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang
sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan
keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal
yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus.
Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat
dan obat-obatan simtomatik.
Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan
kulit.
20
Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi
hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi
subtotal paratiroidektomi.
Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular
yang diderita.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut
dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi
ginjal
Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah
gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak
boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan
memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis,
yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk
dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati
azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten,
dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10
mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m²,
mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.
Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia.
Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur
lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit
21
sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal
ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi
untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari
pusat ginjal.
Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan
faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
- Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih
seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya
mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
- Kualitas hidup normal kembali
- Masa hidup (survival rate) lebih lama
- Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama
berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah
reaksi penolakan
- Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
22
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
I. Identitas Pasien
a. Nama : Ibu Saimah
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Usia : 29 tahun
d. Status : Menikah
e. Alamat : Kekeri, Gunung Sari
f. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
g. Tanggal Masuk : 11/09/2013
II. Anamnesis
a. Keluhan utama : Sesak napas dan nyeri pinggang belakang
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien merupakan rujukan dari PKM Penimbung. Pasien mengeluh sesak napas
terus-menerus ± 2 hari sebelumnya. Sesak napas yang dirasakan menjalar hingga
ke punggung disertai dengan adanya nyeri pinggang. Pasien mengeluhkan batuk
berdahak disertai darah dari sebelum masuk RS. Riwayat muntah darah disangkal
dan pasien tampak pucat dan kuning. Pasien mengeluhkan adanya bengkak di
perut sebelah kanan dan bengkak pada kaki. Berdasarkan pemeriksaan tanda vital
di UGD didapatkan hasil yaitu :
KU : sedang
Kesadaran : Composmentis
TD : 200/100 mmHg
Nadi : 92x/menit
RR : 30x/menit
T : 36,7C
Riwayat gatal pada kulit (-)
mual (+)
muntah (+)
23
lemas (+)
nafsu makan menurun
BAK (+) lancar frekuensi tidak diketahui, warna urine putih, Riwayat nyeri saat
kencing disangkal.
Riwayat minum alcohol (-), jamu-jamuan (-), kopi (-)
c. Riwayat penyakit dahulu :
Keluhan sesak napas dan nyeri pinggang pernah dirasakan sebulan yang lalu, dan
pasien juga pernah dirawat di rumah sakit dengan keluhan yang sama.
Riwayat Hipertensi (+), DM (-), Asma (-), batuk lama (+), keganasan (-), sakit
kuning (-)
Riwayat alergi makanan (-), alergi obat (-)
d. Riwayat keluarga :
Riwayat keluarga dengan keluhan serupa (-)
Riwayat Hipertensi (-), DM (-), Asma (-), batuk lama (-)
e. Riwayat sosial : Pasien merupakan ibu rumah tangga
III. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan fisik umum : (21/9/2013)
KU : sedang
Kesadaran : Composmentis
TD : 170/120 mmHg
RR : 108x/menit
N : 30x/menit
T : 36,5C
b. Pemeriksaan fisik khusus :
Kepala + Leher : Normochephali, anemia +/+, ikterus +/+, pembesaran KGB
(-),
Thorax
Cor : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : VCS +/+, rhonki +/+, wheezing -/-
Abdomen
Inpeksi : distensi (+), scar (-), massa (-)
Auskultasi : Bising Usus (-)
24
Perkusi : Hepatomegali (+) batas atas di costa V
Palpasi : Nyeri tekan di perut (+)
Ektremitas : akral hangat (+), edema tungkai (+)
IV. Assessment
Pemeriksaan Darah
Parameter 11/09/2013 14/09/2013 18/09/2013
Hb 7,7 g/dL 6,7 g/dL 6,1 g/dL
Hct 24,7 % 19,7 % 18 %
MCV 89,3 fL 82,8 fL 85,9 fL
MCH 27,8 pg 28,2 pg 27,7 pg
MCHC 31,2 g/dL 34 g/dL 32,3 g/dL
RBC 2,77 x 106 /uL 2,38 x 106 /uL 2,2 x 106 /uL
WBC 15,8 x 103 /uL 13,07 x 103 /uL 14,05 x 103 /uL
PLT 291 x 103 /uL 230 x 103 /uL 23 3x 103 /uL
Kreatinin 10,2 mg/dL 9,2 mg% 14,8 mg%
Ureum 213 mg/dL 154 mg% 137 mg%
GDS 153 mg/dL
Na serum 129 mmol/L
K serum 3,8 mmol/L
Ca serum 97 mmol/L
Foto rotgen thorax (15/8/2013)
Dari hasil foto rotgen thorax terdahulu didapatkan hasil :
o Cardiomegali dengan CTR 60%
o Bronchiolitis
o Efusi pleuran kanan minimal
B. PEMBAHASAN
25
Planning Diagnostik : Pemeriksaan Penunjang untuk diagnosis pasti
1. Pemeriksaan Fungsi Ginjal
Pemeriksaan fungsi ginjal bertujuan untuk mengetahui fungsi dan progresi penyakit
pada ginjal. Pada penilaian fungsi ginjal diperiksa laju filtrasi glomerulus dan
kemampuan ekskresi pasien.
a. Fungsi Filtrasi Glomerulus dan Konsep Klirens ginjal
Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) merupakan pengukuran terhadap banyaknya
filtrate yang dapat dihasilkan oleh glomerulus. Pengukuran LFG merupakan
pemeriksaan yang paling baik dalam menilai fungsi ekskresi. Untuk setiap
nefron, filtrasi dipengaruhi oleh aliran plasma, perbedaan tekanan, luas
permukaan kapiler dan permeabilitas kapiler. Jadi, LFG merupakan jumlah
dari hasil semua nefron. Namun, LFG dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni
usia, kelamin, dan luas permukaan badan. Nilai LFG pada usia 80 tahun
adalah kurang lebih 50% dari LFG dewasa muda. LFG pada kehamilan
meningkat 50% pada trimester pertama dan kembali normal setelah
melahirkan.
b. Pemeriksaan Laju Filtrasi Glomerulus, Kreatinin Plasma, dan Bersihan
Kreatinin
Manfaat klinis dari pemeriksaan LFG adalah:
Deteksi dini kerusakan ginjal
Pemantuan progesifitas penyakit
Pemantauan kecukupan terapi ginjal pengganti
Membantu mengoptimalkan terapi dengan obat tertentu
Penetapan LFG menggunakan petanda eksogen (inulin, iotalamat, iosotalamat,
atau marker endogen β2 mikroglobulin, α1 mikroglobulin, retinol). Zat
eksogen untuk tes ini harus memiliki syarat:
Bebas difiltrasi di glomerulus
Tidak diabsorpsi oleh tubulus
Tidak disekresi oleh tubulus
Mempunyai kadar stabil dalam darah tanpa ekskresi di luar ginjal,
mudah, akurat dalam pengukuran, dan tidak toksik
26
Zat yang terutama berasal dari metabolism organ ini hanya mengalami proses
filtrasi glomerulus, sedangkan sekresi tubulus sangat minimal sehingga dapat
diabaikan. Oleh karena itu kreatinin sangat beguna untuk menilai fungsi
glomerulus. Kenaikan plasma kreatinin 1-2 mg/dL dari normal menandakan
penurunan LFG kurang lebih 50%.
Namun terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi plasma kreatinin;
Meningkat: diet tinggi kreatinin (daging atau suplemen kaya kreatinin)
dan menurunnya sekresi kreatinin akibat kompetisi dengan asam keton
atau obat (simetidin, sulfa)
Menurun: asupan kreatinin atau berkurangnya massa otot karena kurus,
tua, atau diet rendah protein
c. Pemeriksaan Konsentrasi Ureum Plasma
Ureum merupakan produk nitrogen terbesar yang dikeluarkan melalui ginjal
yang berasal dari diet dan protein endogen yang telah difiltrasi glomerulus dan
sebagian di reabsorbsi olehtubulus. Nilai normal konsentrasi ureum plasma
20-40 mg%. Ureum akan lebih banyak lagi di reabsorbsi pada keadaan
dehidrasi. Pada pasien gagal ginjal, kadar ureum lebih memberikan gambaran
gejala-gejala yang terjadi dibandingkan kreatinin.
d. Metode Sistatin C serum
Beberapa laporan menunjukkan bahwa sistatin C dalam serum merupakan
petanda LFG yang akurat, lebih baik daripada kreatinin. Sistatin C diproduksi
oleh seluruh sel berinti secara konstan dan tidak dipengaruhi inflamasi,
keganasan, perubahan masa tubuh, nutrisi, demam atau jenis kelamin.
2. Pemeriksaan Radiologi Ginjal
a. Ultrasonografi (USG)
USG dibagi menjadi dua, yakni: klasik dan kontras USG.
Resolusi USG berkisar 1-2 cm dapat dipergunakan untuk memeriksa korteks,
medulla, piramid ginjal dan pelebaran sistem kolekting ureter. Ukuran ginjal
berbeda 1,5 cm antara kedua ginjal menandakan adanya kelainan pada ginjal
tersebut. Bila panjang < 9cm, ginjal dianggap mengecil.
Indikasi pemeriksaan USG ginjal:
i. Mengukur ginjal (panjang dan lebar)
ii. Skrining hidronefrosis
27
iii. Memastikan massa di ginjal
iv. Abses atau hematoma
v. Skrining kista ginjal
vi. Melihat lokasi ginjal untuk tindakan invasive
vii. Mengukur volume/sisa urine kandung kemih
viii. Menilai thrombosis vena renalis
ix. Menilai aliran darah ginjal
USG klasik (tanpa kontras) realtif murah, tak tergantung fungsi ginjal, dan
sangat mudah dilakukan dan dapat menentukan lokasi, bentuk dan ukuran.
Masa kistik atau solid, obstruksi atau regresi hidronefrosis dapat diketahui.
b. Foto Polos Abdomen
Pemeriksaan foto polos ginjal, ureter dan kandung kemih merupakan
pemeriksaan yang sangat penting. Pasien diletakkan pada posisi telentang
dengan sinar x terarah ke tubuh pasien terutama ginjal dan kandung kemih.
Pada pemeriksaan bentuk ginjal dapat diketahui ukuran ginjal. Ukuran ginjal
bervariasi tergantung tinggi badan, berat badan dan jenis kelamin pasien. Pada
keadaan terjadi pembesaran ginjal dapat ditandai dengan pergeseran lemak
perinefrik.
Perhatikan juga gambaran kandung kemih. Ukuran panjang kandung
kemih di atas simfisis pubis sangat berkaitan erat dengan volume kandung
kemih. Oleh karena itu pemeriksaan ini dilakukan setelah pasien miksi untuk
mengosongkan kandung kemih. Selain itu, dari foto polos abdomen dapat
dinilai gambaran kalsifikasi. Kemungkinan kalsifikasi diperhatikan pada
daerah ginjal, ureter dan kandung kemih.
c. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI sangat jarang menjadi pemeriksaan pertama untuk evaluasi ginjal, namun
MRI dapat menjadi pemeriksaan pelengkap. Untuk menilai staging lesi pada
renal, penggunaan MRI lebih akurat. Selain itu MRI dapat mendeteksi
thrombus tumor pada pembuluh darah besar.
3. Biopsi Ginjal
28
Biopsi ginjal dapat memberikan gambaran dasar klasifikasi dan pengertian penyakit
ginjal primer maupun sekunder. Tindakan ini cukup aman bila dilakukan secara tepat
apalagi memakai panduan agar lebih terarah (mis: dengan USG dan CT).
Manfaat biopsy ginjal yakni;
Menegakkan diagnosis baik kelainan primer atau sistemik
Menentukan prognosis
Menentukan opsi pengobatan
Mengetahui patofisiologi penyakit ginjal
Walaupun biopsi ginjal sangat bermanfaat, namun biopsi ginjal memiliki beberapa
kontraindikasi, yakni;
Gangguan koagulasi dan trombositopenia
Disfungsi trombosit (dapat diatasi dengan dialysis atau demopresin yang akan
merangsang koagulasi thrombosis
Hipertensi
Pielonefritis
Persiapan untuk biopsi:
USG Ginjal: keduanya normal, tanpa sikatrik dan tanpa tanda obstruksi
Tekanan diastolic < 95mmHg
Kultur urine: steril
Status hematologi:
o Aspirin/NSAID dihentikan 5 hari sebelum biopsi
o Hitung trombosit > 100.000
o Waktu perdarahan: < 10 mnt
o PT <1,2 x kontrol
o APPT <1,2 x kontrol
29
Tatalaksana & Follow-up
A. Terapi Konservatif
Manajemen yang dilakukan untuk CKD merupakan terapi konservatif, hingga pasien
tersebut tidak dapat lagi melanjutkan aktivitas mereka. Yang termasuk terapi konservatif
antara lain:
1. Pengobatan penyakit dasar
Pengobatan terhadap penyakit dasar yang masih dapat dikoreksi mutlak harus
dilakukan. Termasuk disini adalah pengendalian tekanan darah, regulasi gula darah
pada pasien DM, koreksi jika ada obstruksi saluran kencing, serta pengobatan infeksi
saluran kemih (ISK).
2. Pengendalian keseimbangan air dan garam
Pemberian cairan disesuaikan dengan produksi urine, yaitu produksi urine 24 jam
ditambah 500 ml. Asupan garam tergantung evaluasi elektrolit, umumnya dibatasi 40-
120 mEq (920-2760 mg). diet normal mengandung rata-rata 150 mEq. Furosemide
dosis tinggi masih dapat dipakai pada awal PGK, akan tetapi pada fase lanjut tidak
lagi bermanfaat dan pada obstruksi merupakan kontra indikasi. Penimbangan berat
badan, pemantauan produksi urine, serta pencatatan keseimbangan cairan akan
membantu pengelolaan keseimbangan cairan dan garam.
3. Diet rendah protein dan tinggi kalori
Asupan protein dibatasi 0.6-0,8 g/kgBB/hari. Rata-rata kebutuhan protein sehari pada
penderita CKD adalah 20-40 gram. Kebutuhan kalori minimal 35 kkal/kgBB/hari.
Diet rendah protein tinggi kalori akan memperbaiki keluhan mual, menurunkan BUN,
dan akan memperbaiki gejala. Selain itu diet rendah protein akan menghambat
progresivitas penurunan faal ginjal.
4. Pengendalian gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa
Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada PGK adalah hyperkalemia dan
asidosis. Hyperkalemia dapat tetap asimtomatis walaupun telah mengancam jiwa.
Perubahan gambaran EKG kadang baru terlihat setelah hyperkalemia membahayakan
jiwa. Pencegahan meliputi diet rendah kalium (hindari buah seperti pisang, jeruk, dan
tomat serta sayuran berlebih) dan menghindari pemakaian diuretika K-sparring.
Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air-hunger, dan drowsiness. Pengobatan
intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan pada keadaan asidosis berat, sedangkan
jika tidak gawat dapat diberikan secara per-oral.
30
5. Pengendalian tekanan darah
Berbeda dengan pengendalian hipertensi pada umumnya, Pada PGK masalah
pembatasan cairan mutlak dilakukan. Target tekanan darah 125/75 diperlukan untuk
menghambat laju progresivitas penurunan faal ginjal. Penghambat ACE dan ARB
diharapkan akan menghambat progresivitas PGK. Pemantauan faal ginjal secara serial
perlu dilakukan pada awal pengobatan hipertensi jika digunakan penghambat ACE
dan ARB. Apabila dicurigai adanya stenosis arteria renal, penghambat ACE
merupakan kontra indikasi.
6. Pencegahan dan pengobatan osteodistrofi renal
Termasuk dari tindakan ini adalah:
- Pengendalian hiperfosfatemia
Kadar P sserum harus diperhatikan kurang dari 6 mg/dl. Dengan cara diet rendah
fosfor saja kadang tidak cukup, sehingga perlu diberikan obat pengikat fosfat.
Aluminium hidroksida 300-1800 mg diberikan bersama makan. Cara ini sekarang
ditinggalkan karena efek samping terjadinya intoksikasi aluminium dan
konstipasi. Sebagai pilihan lain dapat diberikan kalsium karbonat 500-3000 mg
bersama makan dengan keuntungan menambah asupan kalsium dan mengoreksi
hipokalsemia. Makanan yang mengandung tinggi fosfor harus dihindari, misalnya
susu, keju, yoghurt, es krim, ikan, dan kacang-kacangan. Pengendalian
hiperfosfatemia juga dapat menghambat progresivitas penurunan faal ginjal.
- Suplemen vitamin D3 aktif
1,25 dihidroksi vitamin D3 (kalsitriol) hanya diberikan jika kadar P normal.
Batasan pemberian jika Ca x P < 65. Dosis yang diberikan adalah 0,25
mikrogram/hari.
- Paratiroidektomi
Dilakukan jika proses ODR terus berlanjut.
7. Pengobatan gejala uremi spesifik
Termasuk disini adalah pengobatan simtomatis dari pruritus, keluhan gastrointestinal,
dan penanganan anemia. Diet rendah protein, pengendalian P serta pemberian
difenhidramin dapat memperbaiki keluhan pruritus. Diet rendah protein juga
memperbaiki keluhan anoreksia dan mual-mual. Anemia yang terjadi pada PGK
terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoietin. Selain itu juga bias disebabkan oleh
defisiensi Fe, asam folat, atau vitamin B12. Pemberian eritropoietin rekombinan pada
penderita PGK yang menjalani HD akan memperbaiki kualitas hidup, dapat pula
31
diberikan pada penderita PGK pra-HD. Sebelum pemberian eritropoietin dan
suplemen Fe diperlukan evaluasi kadar SI, TIBC, dan Ferritin.
8. Deteksi dini dan pengobatan infeksi
Penderita PGK merupakan penderita dengan respon imun yang rendah, sehingga
kemungkinan infeksi harus selalu dipertimbangkan. Gejala febris terkadang tidak
muncul karena keadaan respon imun yang rendah ini.
9. Penyesuaian pemberian obat
Beberapa obat memerlukan penyesuaian dosis karena ekskresi metabolitnya melalui
ginjal. Penggunaan obat nefrotoksik misalnya aminoglikosida, co-trimoxazole,
amphotericin sebaiknya dihindari dan hanya diberikan pada keadaan khusus. OAINS
juga menurunkan fungsi ginjal. Tetrasiklin meningkatkan katabolisme protein.
Nitrofurantoin juga harus dihindari dan penggunaan diuretic hemat kalium harus pula
berhati-hati karena menyebabkan hyperkalemia.
B. Terapi Non-Konservatif
Terapi ini dilakukan pada pasien yang tidak dapat lagi melakukan aktivitasnya
sebagaimana mestinya. Terapi ini antara lain:
1. Deteksi dan pengobatan komplikasi
Dengan makin lanjutnya PGK, kemungkinan timbul komplikasi makin besar.
Beberapa komplikasi merupakan indikasi untuk segera dimulainya hemodialysis
(HD) meskipun penderita belum sampai pada tahap PGK stadium 5. Komplikasi
yang merupakan indikasi untuk tindakan HD antara lain:
a. Ensefalopati uremik
b. Pericarditis atau pleuritis
c. Neuropati perifer progresif
d. ODR progresif
e. Hyperkalemia yang tidak dapat dikendalikan dengan pengobatan
medikamentosa
f. Sindroma overload
g. Infeksi yang mengancam jiwa
h. Keadaan sosial
2. Persiapan dialysis dan transplantasi
32
Penderita PGK dan keluarganya sudah harus diberitahu sejak awal bahwa pada
suatu saat penderita akan memerlukan HD atau transplantasi ginjal. Pembuatan
akses vaskuler sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens kreatinin dibawah 15
ml/menit. Dianjurkan pembuatan akses vaskuler jika klirens kreatinin telah
dibawah 20 ml/menit. Perlu membatasi punksi pembuluh darah daerah ekstremitas
yang akan dipakai untuk akses vaskuler. Disamping persiapan dari segi medic
perlu pula persiapan non medic.
C. Terapi Berdasarkan Stadium
Menurut stadiumnya, terapi yang dapat diberikan untuk pasien dengan gagal ginjal
kronis (CKD) yaitu:
1. Memperlambat perkembangan penyakit
Tindakan-tindakan ini dimaksudkan untuk menstabilkan atau memperlambat
pengurangan fungsi ginjal. Tindakan-tindakan yang dilakukan antara lain:
a. Restriksi protein
Restriksi protein ditujukan untuk mengurangi gejala-gejala uremia dan
memperlambat laju penurunan fungsi ginjal pada stadium awal dari gagal ginjal.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa restriksi protein merupakan salah
33
satu tindakan efektif dalam memperlambat progresivitas CKD, khususnya
penyakit ginjal diabetic dan proteinuric. KDOQI menyarankan intake protein per
hari sebanyak 0,60-0,75 g/kg/hari, dan dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan
seperti penyakit-penyakit komorbid, ada/tidaknya proteinuria, dan status nutrisi
pasien. Jika pasien telah mencapai stadium 5 CKD, intake protein spontan akan
berkurang, dan pasien dapat memasuki fase malnutrisi protein-energi. Pada
keadaan ini, intake protein harian sebanyak 0,90 g/kg/hari dapat
direkomendasikan, khususnya protein dengan nilai biologis yang tinggi.
b. Mengurangi hipertensi glomerular dan proteinuria
Peningkatan tekanan filtrasi intraglomerular dan hipertrofi dari glomerular
terjadi sebagai respon dari berkurangnya jumlah nefron akibat beberapa penyakit
ginjal. Kejadian ini merupakan suatu proses maladaptive, yang akan
memperburuk fungsi ginjal. Control terhadap hipertensi sistemik maupun
glomerular sama pentingnya dengan restriksi protein pada CKD. Oleh karena itu,
dengan tujuan untuk mengurangi resiko penyakit jantung dan pembuluh darah,
pemberian terapi anti-hipertensi pada pasien dengan CKD juga ditujukan untuk
memperlambat progresivitas kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerular. Peningkatan tekanan darah meningkatkan proteinuria melalui
transmisi ke glomerulus.
ACE-I dan ARB menginhibisi vasokonstriksi yang disebabkan oleh efek
angiotensin pada arteriol eferen dari mikrosirkulasi glomerular. Inhibisi ini akan
menyebabkan pengurangan dari tekanan filtrasi intraglomerular serta proteinuria.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa obat-obat ini dapat mengurangi
progresivitas gagal ginjal secara efektif pada pasien dengan penyakit ginjal
diabetic maupun nondiabetik. Hal ini berkaitan erat dengan efek pengurangan
proteinuria yang dimilikinya.
2. Memperlambat perkembangan penyakit ginjal diabetic
Nefropati diabetic merupakan salah satu penyebab tertinggi dari CKD yang
membutuhkan terapi penggantian ginjal, terutama pada negara berkembang. Oleh
karena itu, penting bagi kita untuk merumuskan suatu strategi untuk mencegah atau
memperlamat progresivitas nefropati diabetic pada pasien-pasien ini.
a. Kontrol glukosa darah
34
Control glikemi yang baik dapat mengurangi resiko penyakit ginjal dan
progresivitas dari diabetes tipe 1 maupun tipe 2. Direkomendasikan bahwa nilai
plasma untuk glukosa preprandial (sebelum makan) dijaga pada 5,0-7,2 mmol./L
(90-130 mg/dL) dan hemoglobin A1C sebanyak <7%.
b. Control tekanan darah dan proteinuria
Hipertensi banyak ditemukan pada pasien-pasien diabetes tipe 2. Penemuan ini
berkorelasi dengan adanya albuminuria dan merupakan suatu penentu kuat dari
penyakit kardiovaskular dan nefropati. Mikroalbuminuria menunjukkan penurunan
GFR dan komplikasi ginjal dan kardiovaskular. Terapi menggunakan anti-hipertensif
dapat mengurangi albuminuria dan memperlambat progresivitas pada pasien-pasien
diabetic normotensive.
3. Mengatasi komplikasi-komplikasi lain dari CKD
a. Penyesuaian dosis obat
Untuk penggunaan obat-obat yang diekskresi sebanyak 70% dengan jalur
nonrenal, seperti eliminasi hepatic, penyesuaian dosis tidak diperlukan. Beberapa
obat yang harus dihindari antara lain metformin, meperidine, dan hipoglikemik
yang dieliminasi oleh ginjal. Obat-obatan NSAID juga perlu dihindari karena
beresiko dapat memperburuk fungsi ginjal. Beberapa antibiotic, antihiperteni, dan
antiaritmia memerlukan penyesuaian dosis atau perubahan pada interval dosisnya.
b. Persiapan untuk terapi penggantian ginjal
Restriksi protein dapat mengurangi gejala-gejala uremia, seperti mual,
muntah, anoreksia, pruritus, dll. Namun, restriksi protein dapat beresiko malnutrisi
protein-energi, oleh karena itu manajemen jangka panjang perlu diperhatikan.
Dialysis dan terapi penggantian ginjal telah terbukti memperpanjang hidup
dari ratusan bahkan ribuan pasien dengan CKD di seluruh dunia. Indikasi untuk
persiapan terapi penggantian renal yaitu pericarditis, ensefalopati, kram otot,
anorkesia, bukti terjadi malnutrisi, serta abnormalitas cairan dan elektrolit.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan melakukan dialysis sebelum
onset dari gejala yang berat dan tanda-tanda uremia dapat memperpanjang umur
pasien.
c. Edukasi pasien
35
Persiapan social, psikologis, dan fisik serta pilihan pasien untuk transisi terapi
penggantian ginjal paling baik dilakukan dengan pendekatan perlahan. Sangat
penting bagi klinisi untuk mempersiapkan pasien dengan program edukasi intensif
yang akan menjelaskan mengenai kemungkinan dan timing dari inisiasi terapi
penggantian ginjal dan terapi-terapi lain yang tersedia. Semakin bertambahnya
pengetahuan pasien mengenai hemodialysis, peritoneal dialysis, dan transplantasi
ginjal, maka akan semakin mudah serta cocok pula keputusan mereka.
36
KESIMPULANDari anamnesis, diketahui pasien datang dengan keluhan nyeri pinggang bagian
belakang dan sesak. Dari pemeriksaan fisik, tampak edema pada tungkai bawah pasien. Jika
pasien datang dengan keluhan tersebut maka dapat dicurigai adanya gagal jantung ataupun
gagal ginjal. Pasien mengaku sesak memburuk jika ia tiduran dan membaik dengan
perubahan posisi yaitu dengan menegakkan badannya. Maka dipastikan adanya perpindahan
cairan yang menumpuk diluar vaskular (edema). Edema yang dialami pasien harus ditelusuri
asal usulnya. Setelah dilakukan pemeriksaan darah, didapatkan pasien mengalami anemia,
peningkatan nilai kreatinin, dan nilai ureum. Peningkatan kreatinin mengindikasikan adanya
penyakit ginjal, peningkatannya mengindikasikan penurunan fungsi ginjal. Penurunan fungsi
ginjal yang dialami pasien dicurigai telah terjadi sejak lama karena pasien mengaku telah
mengeluhkan sakit pinggangnya selama paling tidak 3 bulan. Hal ini dapat disebabkan oleh
destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus-menerus. Diketahui pasien memiliki riwayat
hipertensi, hipertensi diketahui sebagai salah satu etiologi dari gagal ginjal kronik. Apapun
sebabnya, terjadi perburukan fungsi ginjal secara progresif yang ditandai dengan penurunan
GFR yang progresif.
Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan, penanganan garam, dan penimbunan
produk sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi
ginjal turun kurang dari 25% fungsi normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronis mungkin
minimal karena nefron-nefron lain yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak.
Nefron yang tersisa meningkatkan laju filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya serta mengalami
hipertrofi pada proses tersebut. Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, nefron
yang tersisa menghadapi tugas yang semakin berat, sehingga nefron-nefron tersebut ikut
rusak dan akhirnya mati. Seiring dengan penyusutan progresif nefron, terjadi pembentukan
jaringan parut dan penurunan aliran darah ginjal. Pelepasan renin dapat meningkat, dan
bersama dengan kelebihan beban cairan, dapat menyebabkan hipertensi. Hipertensi
mempercepat gagal ginjal, mungkin dengan meningkatkan filtrasi protein plasma dan
menimbulkan stres oksidatif. Kelebihan beban cairan juga dapat meningkatkan curah jantung
yang jika terjadi progresif akan mengakibatkan hipertrofi miokardium. Pada kasus ini, dari
hasil pemeriksaan rontgen didapatkan CTR >60% yang menunjukkan adanya pembesaran
jantung, bahkan terdapat efusi pleura kanan minimal. Efusi pleura akibat peningkatan curah
jantung ini dapat menimbulkan batuk seperti yang dikeluhkan pasien.
37
Kegagalan ginjal membentuk eritropoetin dalam jumlah yang adekuat seringkali
menimbulkan anemia. Diketahui pada kasus ini, pasien mengalami anemia yang ditunjukkan
dengan konjungtiva anemis, kulit pucat, dan nilai Hb dan hematokrit dibawah normal.
Anemia yang dialami pasien menyebabkan penurunan oksigenasi jaringan ke seluruh tubuh
dan mengaktifkan reflek-reflek yang ditujukan untuk meningkatkan curah jantung guna
memperbaiki oksigenasi. Akhirnya perubahan tersebut merangsang individu yang menderita
gagal ginjal mengalami gagal jantung kongestif sehingga penyakit ginjal kronis menjadi satu
faktor risiko yang terkait dengan penyakit jantung.
38
DAFTAR PUSTAKA
Braunwald, et al. 2008. Harrison’s Principle of Internal Medicine. Edisi 17. The Mc-Graw
Hills Companies, Inc.: USA.
Corwin, J.E. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. EGC : Jakarta
McPhee, S.J., & Papadakis, M. A. 2009. Current Medical Diagnosis and Treatment. Edisi 48.
The Mc-Graw Hills Companies, Inc.: USA.
Tanagho, E. A., & McAnich, J.W. 2008. Smith’s General Urology. Edisi 17. The Mc-Graw
Hills Companies, Inc.: USA.
Tjokroprawiro, A., Setiawan, P. B., Santoso, D., & Soegiarto, G. 2007. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Airlangga University Press: Surabaya.
39
Recommended