View
645
Download
9
Category
Preview:
Citation preview
MAKALAH
TESIS DAN SEMINAR
(TL-6099)
ANALISIS RISIKO PAJANAN DEBU
TERHADAP KESEHATAN PARU-PARU PEKERJA
DI INDUSTRI SEMEN
PT. X (Pabrik Citeureup Bogor)
OLEH
NAMA : YANITA RIRI KUMALASARI
NIM : 25309051
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses pembuatan semen menghasilkan debu silika bebas yang apabila terhirup akan
mengendap di paru-paru, kemudian silika ini akan mengoksidasi dinding alveoli yang
menyebabkan terjadinya fibrosis. Semakin banyak debu silika yang mengendap di paru-paru,
maka fibrosis yang terjadi di alveoli semakin parah yang akan menimbulkan penyakit yang
dikenal dengan pneumoconiosis silicosis. Dari semua pneumoconiosis, silikosis merupakan
penyakit yang terparah karena sifatnya yang progresif, artinya bila pajanan dihentikan maka
pneumoconiosis tetap akan berlanjut (Yunus, 1997).
Sehingga pekerja pada industri semen PT. X. merupakan orang yang potensial mengidap
pneumoconiosis silicosis karena seringnya terpajan oleh debu silika tersebut, khususnya pada
unit yang berhubungan langsung dengan proses yang menghasilkan debu. Unit-unit produksi
semen yang menghasilkan debu silika dimulai dari proses penggilingan, pencampuran,
pembakaran hingga pengepakan.
Selain itu kondisi keselamatan kerja yang belum disiplin pada PT. X memperparah paparan
yang terjadi pada pekerja, seperti kurangnya konsistensi pekerja dalam penggunaan APD,
kebiasaan menjaga kebersihan tubuh dan disiplin dalam bekerja. Faktor-faktor keselamatan
kerja tersebut akan menyebabkan konsentrasi debu silika yang diterima pekerja semakin
meningkat.
Dalam sebuah industri pekerja merupakan asset perusahaan yang harus dilindungi
kesehatannya, karena bila produktifitas pekerja menurun maka akan menyebabkan kerugian
untuk perusahaan. Sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan risiko terjadinya
pneumoconiosis silicosis pada para pekerja dengan membatasi konsentrasi debu yang
diterima pekerja. OSHA telah menetapkan nilai batasan pajanan yang masih diperbolehkan
(PEL) untuk debu semen yang terinhalasi adalah 15 mg/m3 bagi total debu dan 5 mg/m3 bagi
debu yang respirable (Eckhardt, 2008).
Untuk mengurangi risiko kesehatan pekerja terhadap debu diperlukan satu upaya untuk
mengenali dengan cepat nilai risiko pajanan debu terhadap kesehatan pekerja, sehingga dapat
dilakukan upaya pencegahan sedini mungkin. Salah satu pendekatan ilmiah yang dapat
digunakan untuk menentukan berbagai masalah lingkungan dan kesehatan di tempat kerja
yang berhubungan dengan aktivitas yang berbahaya serta membandingkan berbagai teknologi
dan efektivitasnya untuk mengurangi risiko adalah analisis risiko kesehatan.
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud penelitian ini untuk menganalisis risiko terjadinya pneumoconiosis silicosis pada
pekerja industri semen, khususnya pada PT. X. dengan mempertimbangkan faktor-faktor
kesehatan dan keselamatan yang mempengaruhi paparan silika pada pekerja, sehingga dapat
menjadi pertimbangan untuk industri tersebut atau industri lainnya dalam melakukan
perbaikan pengelolaan lingkungan kerja.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh:
• Besarnya pengaruh konsentrasi debu semen yang terhirup oleh pekerja pada PT. X
dengan nilai FEV 1,0 pekerja.
• Karakterisasi risiko pajanan debu semen yang diterima pekerja pada PT. X.
• Saran tindakan pengendalian risiko debu semen terhadap kesehatan paru-paru pekerja
untuk mengurangi nilai risiko.
1.3 Rumusan Masalah
Pada produksi semen di PT. X terdapat beberapa unit yang menghasilkan debu di lingkungan
kerja, yang dapat menimbulkan pajanan terhadap pekerja sehingga dapat menimbulkan risiko
terhadap kesehatan paru-paru pekerja. Penelitian ini diperlukan untuk mengetahui sampai
sejauh mana risiko yang disandang para pekerja PT. X dengan besarnya konsentrasi debu
silika yang diterima dan minimnya upaya pencegahan yang dilakukan.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis risiko kesehatan pajanan debu terhadap pekerja
di Industri semen PT. X yang terlibat langsung dalam unit produksi yang berdebu. Sebagai
pembanding dilakukan juga pengukuran parameter pekerja di PT. X yang tidak terlibat dalam
unit produksi berdebu. Pekerja yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah pekerja yang
memiliki karakteristik serupa satu sama lainnya dan dipilih berdasarkan atribut pekerja.
1.5 Hipotesis
Konsentrasi debu terespirasi yang diterima pekerja industri semen PT.X akan menurunkan
nilai FEV 1,0 pekerja.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Debu Semen
Pengertian debu menurut Pudjiastuti, 2002, adalah salah satu bahan yang sering disebut
sebagai partikel yang melayang di udara (suspended particulate matter/SPM) dengan ukuran
1 mikron sampai dengan 500 mikron.
Menurut Yunus (1997), dalam dosis besar semua debu bersifat merangsang dan dapat
menimbulkan reaksi tubuh walaupun ringan, salah satu reaksi terhadap masuknya debu dalam
dosis besar adalah kerusakan pada paru-paru akibat menghirup udara yang mengandung
partikulat terespirasi yang dapat menyebabkan penyakit pneumoconiosis, yaitu kerusakan
pada sel-sel alveoli dan bronkus yang kemudian diikuti oleh pembentukan jaringan ikat
(fibrosis).
Debu semen merupakan partikulat yang dilepaskan ke lingkungan pada saat pembuatan
semen, mulai dari pengumpulan bahan baku sampai semen tersebut didistribusikan.
Karakteristik debu semen sangat bergantung dengan jenis semen yang diproduksi, namun
umumnya semen mengandung kalsium, fosfor, magnesium oksida, besi oksida, alkali, kapur
bebas, sulfur trioksida, alumunium oksida, dan mayoritas adalah silika oksida.
2.1.1 Silika
Silika adalah salah satu komponen alamiah penyusun batuan di bumi serta merupakan
komponen utama pasir dan granit. Silika merupakan senyawa kimia silikon dioksida (SiO2)
yang dapat ditemukan dalam bentuk kristalin atau non kristalin (amorph). Kristalin silika
terdiri atas banyak bentuk, namun bentuk yang utama adalah quartz, cristobalite, tridymite,
sedangkan struktur amorph ditemukan dalam bentuk opal, flint, kaca silika, diatomaceous
earth dan vitreous silica (NIOSH, 2002).
Quartz dapat ditemukan dalam 2 sub-polymorph yaitu α-quartz dan β-quartz atau low quartz
dan high quartz. Berdasarkan kedua bentuk tersebut α-quartz yang paling sering ditemukan,
sedangkan β-quartz hanya ditemukan stabil pada temperatur 750°C. jika terjadi pendinginan
β-quartz akan berubah menjadi α-quartz. Pajanan quartz yang paling ekstrim dalam bentuk
debu terespirasi dihasilkan dari proses penghalusan, sandblasting, dan proses pencampuran.
Kandungan quartz sangat bervariasi tergantung dari tipe batuan, sebagai contoh granite dapat
mengandung 10-40% quartz dan sand stones mengandung kurang lebih 70% quartz.
Cristobalite dan tridymiteditemukan dalam batuan dan tanah yang dihasilkan dari proses
alam dan industri yang melakukan pemanasan terhadap silika amorph dengan temperatur
1000°C (NIOSH, 2002).
Nilai Ambang Batas (NAB) Silika di udara tempat kerja diatur dalam SNI 19-00232-2005
mengenai Nilai Ambang Batas (NAB) zat kimia di udara tempat kerja. Dalam SNI tersebut
Silika-kristal dibatasi sebagai berikut:
Tabel 2. 1 Nilai Baku Mutu Silika di Udara Tempat Kerja
No Silka-kristal NAB untuk partikulat terhirup (mg/m3)
1 Kristobalt O,05
2 Kwarsa 0,1
3 Tridimit 0,05
4 Tripoli 0,1
Sumber: SNI, 2005
2.2 Sistem Pernapasan
Pernafasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen ke dalam
tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO2 sebagai sisa oksidasi ke
luar tubuh. Secara garis besar sistem pernafasan terdiri dari paru-paru dan susunan saluran
yang menghubungkan paru-paru dengan yang lainnya, yaitu hidung, faring, laring, trakea dan
bronkus (Gambar 2.1)
Gambar 2. 1 Sistem Pernafasan Manusia
2.2.1 Alat Pernapasan
Macam-macam alat pernafasan antara lain:
a. Hidung
Hidung merupakan saluran udara yang pertama yang mempunyai dua lubang dipisahkan oleh
septum nasal. Di dalamnya terdapat rambut-rambut untuk menyaring udara, debu, dan
kotoran. Selain itu terdapat juga konka nasalis inferior, konka nasalis posterior dan konka
nasalis media yang berfungsi untuk menghangatkan udara.
b. Faring
Faring merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Faring
terletak di belakang rongga hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Di bawah
selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga di beberapa tempat terdapat folikel getah bening.
c. Laring
Laring merupakan saluran yang terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebrae
servikalis dan masuk ke dalam trakea di bawahnya. Laring dilapisi oleh selaput lendir,
kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi oleh sel epitelium berlapis.
d. Trakea
Trakea merupakan saluran lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 – 20 cincin yang terdiri
dari tulang rawan yang berbentuk seperti tapal kuda yang berfungsi untuk mempertahankan
jalan napas agar tetap terbuka. Sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar
yang disebut sel bersilia, yang berfungsi untuk mengeluarkan benda asing yang masuk
bersama-sama dengan udara pernafasan.
e. Bronkus
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah yang terdapat pada ketinggian vertebrata
torakalis IV dan V. bronkus mempunyai struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis
sel yang sama. Bronkus kanan lebih besar dan lebih pendek daripada bronkus kiri, terdiri dari
6 – 8 cincin dan mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri terdiri dari 9 – 12 cincin dan mempunyai
2 cabang. Cabang bronkus yang lebih kecil dinamakan bronkiolus sedangkan pada ujung
bronkiolus terdapat gelembung paru yang disebut alveoli.
f. Paru-paru
Paru-paru merupakan alat-tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-gelembung
alveoli. Pada bagian ini terjadi pertukaran gas antara O2 dan CO2.
2.2.2 Volume Paru-paru
Pertukaran gas akan berbeda pada keadaan atau kondisi kerja fisik yang berbeda, maka
pengembangan volume alveoli berbeda dikenal sebagai volume paru-paru. Pengetahuan
tentang berbagai volume paru-paru digunakan untuk evaluasi fungsi paru-paru pada berbagai
kondisi kesehatan (Setiadji et al, 1981). Volume paru-paru dibagi menjadi beberapa macam
antara lain (Gambar 2.2):
• Tidal Volume (TV) adalah volume udara yang masuk dan keluar selama pernafasan
normal. Volume tidal kurang lebih 500 ml.
• Expiratory Reserve Volume (ERV) adalah volume cadangan udara yang dikeluarkan
setelah tidal volume. Volume ERV kurang lebih 1000 ml.
• Inspiratory Reserve Volume (IRV) adalah volume udara yang dapat diinspirasi secara
penih setelah tidal volume. Volume IRV kurang lebih 3000 ml.
• Residual Volume (RV) adalah volume udara yang tersisa di paru-paru setelah
ekspirasi maksimal. Udara di dalam paru-paru jumlahnya tidak pernah kosong.
Volume RV kurang lebih 1500 ml.
• Vital Capacity (VC) adalah volume udara yang dapat dikeluarkan oleh seseorang
setelag menghirup udara secara maksimal. Volumenya sekitar 4500 ml atau sama
dengan penjumlahan antara ERV + TV + IRV.
• Total Lung Capacity (TLC) adalah volume total ydara yang dapat tertahan di paru-
paru. Nilainya kurang lebih 6000 ml atau setara dengan penjumlahan RV + VC.
Gambar 2. 2 Volume Udara Paru-paru
2.2.3 Uji Fungsi Paru-paru
Uji fungsi paru-paru atau dikenall sebagai pulmonary function tests (PFT’s) digunakan untuk
mengevaluasi kinerja paru-paru. Uji ini digunakan untuk mengetahui volume udara yang
dapat tertahan di paru-paru, kecepatan udara pada saat respirasi, serta mengukur kinerja paru-
paru dalam menyerap O2 dan mengeluarkan CO2 dalam darah. Uji ini dapat digunakan untuk
mengetahui kelainan paru-paru, mengukur tingkat keparahan penyakit paru-paru serta
mengukur efektivitas perawatan terhadap paru-paru yang rusak (Spirexpert, 2007).
Spirometri adalah salah satu teknik uji paru-paru. Teknik ini dapat mengukur kecepatan dan
volume udara pada saat respirasi dengan cara bernapas melalui corong (mouthpiece) yang
dihubungkan dengan alat yang disebut spirometer. Spirometer merupakan sebuah alat yang
digunakan untuk mengukur volume udara yang masuk dan keluar paru-paru sehingga dapat
digunakan untuk menilai fungsi paru-paru. Informasi yang diperoleh dari spirometer dapat
berupa grafik yang disebut spirogram. Beberapa nilai fungsi paru-paru yang dapat diukur
dengan spirometer dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2. 2 Tabel Nilai Fungsi Paru-paru yang Dapat Diukur dengan Spirometer
Singkatan Nama Deskripsi
FVC Forced Vital Capacity FVC adalah jumlah udara yang dapat dihembuskan setelah inspirasi penuh, dinyatakan dalam liter.
FEV1,0 Forced Expiratory Volume
in 1 second
FEV1,0 adalah jumlah udara yang dihembuskan selama 1 detik pertama, dinyatakan dalam liter. FEV1,0 merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan fungsi paru-paru.
FEV1,0 / FVC FEV1% FEV1,0 / FVC merupakan perbandingan antara FEV1,0 dengan FVC. Pada orang dewasa sehat nilai ini berkisar antara 75 – 80 %.
PEF Peak Expiratory Flow PEF merupakan kecepatan aliran udara paru-paru pada saat mulai ekspirasi, dinyatakan dalam liter per detik.
FEF 25-75% atau 25-50%
Forced Expiratory Flow 25-75% atau 25-50%
FEF 25-75% atau 25-50% merupakan nilai rata-rata kecepatan aliran udara yang keluar dari paru-paru selama pertengahan ekspirasi (kadang-kadang disebut sebagai MMEF, atau maximal mid-expiratory flow).
FIF 25-75% atau 25-
50%
Forced Inspiratory Flow 25%-75% atau
25%-50%
FIF 25-75% atau 25-50% memiliki arti sama dengan FEF 25-75% atau 25-50% namun pengukuran dilakukan selama inspirasi.
FET Forced
Expiratory Time FET mengukur lamanya ekspirasi dalam satuan detik.
TV Tidal Volume TV menyatakan volume udara yang diinspirasi dan diekspirasikan pada saat respirasi secara normal.
MVV Maximum Voluntary Ventilation
MVV merupakan jumlah udara maksimal yang dapat diinspirasi dan di ekspirasi dalam 1 menit, dinyatakan dalam liter / menit.
Sumber: Dirgawati, 2007
2.2.3.1 Pengukuran FEV 1,0 dengan Spirometer
Hasil spirometri dinyatakan sebagai volume udara (FEV1.0) pada suhu dan tekanan udara di
ruang pemeriksaan atau pada keadaan Ambient Temperature, Pressure, Saturated (ATPS).
Nilai tersebut perlu dikonversi ke Body Temperature, Pressured, Saturated (BTPS) karena
ingin diketahui volume udara pada temperatur (T) dan tekanan udara (P) dalam tubuh.
Hubungan antara faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
V = nRT / P
dimana:
n = Jumlah molekul
R = Konstanta gas ideal
T = Suhu (oKelvin)
P = Tekanan (mmHg)
V = Volume (liter)
Udara ekspirasi terdiri atas gas CO2 dan uap air. Campuran uap air dan gas pada keadaan
jenuh akan bervariasi sesuai dengan temperatur dan tekanan (Spirexpert, 2007), maka pada
spirometri, volume gas yang didapat adalah volume pada T dan P ruangan, perlu dicatat juga
temperatur tubuh, dan tekanan barometrik pada saat pengukuran. Hal ini sesuai dengan
persamaan yang digunakan untuk mengkonversi nilai ATPS ke dalam BTPS (Dirgawati,
2007), yaitu:
����
���
����
��
dimana,
(1) Kondisi ATPS
P1 = Tekanan barometrik - Tekanan uap air pada temperatur ambien (mmHg)
(Tekanan barometrik) - (Tekanan uap air pada Tabel)
V1 = Volume gas yang tercatat pada spirometer (L)
T1 = Temperatur ruangan saat pengukuran (oK)
(2) Kondisi BTPS
P2 = Tekanan barometrik - Tekanan uap air pada temperatur tubuh (mmHg)
(Tekanan barometrik) - (Tekanan uap air pada Tabel 2.3)
V2 = Volume gas pada kondisi BTPS (L)
T2 = Temperatur tubuh (oK)
Tabel 2. 3 Tekanan Uap Air pada Berbagai Temperatur
2.3 Mekanisme Toksin Debu Silika terhadap Paru-paru
Debu silika yang masuk ke dalam paru-paru akan mengalami masa inkubasi sekitar 2 sampai
4 tahun. Masa inkubasi ini akan lebih pendek apabila konsentrasi silika di udara cukup tinggi
dan terhisap ke paru-paru dalam jumlah banyak sehingga gejala penyakit silicosis akan segera
tampak.
Diameter partikel debu yang efektif antara 2-3 µm, sebagian dari partikel tersebut akan
terendapkan di bagian bawah ujung sistem mucociliary yang menuju bronkioli dan alveoli.
Partikel yang mengendap di bagian ini akan merangsang produksi surfaktan dengan sel tipe II
dan timbul aktifitas fagositosis makrofag alveoli.
Gambar 2. 3 Mekanisme Respirasi Paru-paru Normal
Makrofag akan menelan debu dan baik secara langsung atau tidak akan membawanya masuk
ke dalam saluran pernafasan atau dapat melalui limfatik di ruang jaringan ikat di sekitar
terminal saluran udara dan masuk ke jalan napas proksimal lumina. Beban makrofag tersebut
(sel debu) akan keluar kembali melalui batuk atau tertelan. Apabila sistem kelebihan beban
atau jika debu merusak makrofag yang terbentuk, maka mereka mungkin hanya dapat
menjangkau jaringan ikat peribronchiolar. Sebagian mungkin masih tersisa atau pindah ke
hilar kelenjar getah bening. Dan beberapa makrofag mungkin akan mati dan meninggalkan
beban mereka untuk makrofag lainnya yang juga mati.
Kerusakan sel seperti ini terjadi berulang, karena sifatnya yang kontinyu merusak sistem
dengan tingkat paparan tinggi atau terutama karena debu sitotoksik, menyebabkan reaksi
inflamasi dan fibrosis dalam pusat lobules paru-paru.
Debu pecahan kuarsa dengan diameter berukuran 2-5 µm memiliki sifat sitotoksik dan
menyebabkan fagositosis pada sel. Apabila level eksposurnya tinggi maka baik makrofag
pada alveoli dan juga produksi surfaktan pada tipe dua akan menyebabkan kerusakan dengan
sangat cepat pada lumen alveoli, yang menuju pada alveolitis akut dan fibrosis progresif yang
sangat cepat. Eksposur seperti ini jarang sekali terjadi karena gejala akan muncul dalam
beberapa bulan sejak eksposur pertama, walaupun eksposur yang terjadi hanya sebentar, dan
kematian akan terjadi dalam 5 tahun.
Pada eksposur dengan level yang lebih rendah, tidak ditemukan makrofag pada alveoli
namun makrofag akan mati pada peribrokioli interstitium atau di kelenjar getah bening.
Makrofag secara berkala menelan partikel yang masuk kemudian mati dan menyebabkan
reaksi inflamasi. Lesi parenkim akan tetap ada dalam paru-paru namun tidak mengganggu
fungsinya sampai lesi mencapai kelenjar getah bening yang menyebabkan gangguan
penyaluran cairan limfa. Proses ini, fibrosis progresif yang parah, awalnya terjadi pada
bagian atas dan zona tengah paru-paru, walaupun terkadang lesi yang diskrit dapat
terdistribusi.
Gambar 2.4 Mekanisme Toksin Debu Silika pada Alveolus Paru-paru
2.4 Analisis Risiko Kesehatan
Analisis risiko adalah suatu metode untuk menilai dan melakukan prediksi apa yang akan
terjadi akibat adanya pajanan atau pencemaran, terhadap zat berbahaya di masa yang akan
datang. Metode ini digunakan untuk menilai faktor bahaya yang paling berpengaruh buruk
terhadap kesehatan sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan terhadap menurunnya
tingkat kesehatan seseorang akibat faktor bahaya tersebut. Analisis risiko kesehatan terdiri
atas beberapa tahap, yaitu: Identifikasi Bahaya, Evaluasi Pajanan, Evaluasi Dosis-Respon dan
Karakterisasi Risiko.
2.4.1 Identifikasi Bahaya
Identifikasi bahaya adalah proses untuk memperoleh data mengenai masalah kesehatan yang
dapat terjadi akibat adanya suatu bahan dengan cara mempelajari efeknya terhadap manusia
ataupun hewan percobaan. Salah satu langkah penting dalam identifikasi bahaya adalah
memilih metode yang tepat sehingga mendapatkan data akurat mengenai faktor bahaya yang
dapat mempengaruhi kesehatan manusia (CEPA, 2001). Data penelitian terhadap manusia
merupakan data yang sangat baik dalam mengevaluasi risiko kesehatan manusia yang
dikaitkan dengan pajanan terhadap suatu zat.
2.4.2 Evaluasi Pajanan
Evaluasi pajanan adalah proses untuk memperoleh frekuensi, durasi dan pola pajanan suatu
zat terhadap manusia. Dalam menganalisis risiko kesehatan, diperlukan asumsi untuk
memperkirakan pajanan suatu bahan kimia terhadap tubuh.
2.4.3 Evaluasi Dosis-Respon
Evaluasi dosis-respon dilakukan untuk mengevaluasi informasi yang diperoleh selama
identifikasi bahaya sehingga dapat diperkirakan jumlah zat yang masuk ke dalam tubuh dan
mempengaruhi kesehatan seseorang. Evaluasi dosis-respon dilakukan untuk melihat
hubungan yang konsisten antara jumlah zat yang masuk (dosis) dengan respon berupa efek
kesehatan.
2.4.4 Karakterisasi Risiko
Karakterisasi risiko dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi dari ketiga langkah
sebelumnya yaitu identifikasi bahaya, penilaian pajanan, dan penilaian dosis-respon sehingga
dapat diperkirakan efek suatu zat terhadap kondisi kesehatan. Dalam mengkarakterisasi
risiko, diperlukan analisis dengan cara mengembangkan informasi yang didapat selama
pajanan dan penilaian dosis respon sehingga diperoleh hasil risiko kesehatan yang diharapkan
terjadi pada populasi terpajan (CEPA, 2001).
Nilai Risiko yang akan diperoleh adalah RR atau Risiko relatif yang menghitung risiko
menderita (tidak normal) bagi mereka yang terpajan agen dibandingkan dengan kelompok
yang tidak terpajan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan menggunakan desain cross sectional dengan pengambilan sampel
secara purposive sampling yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2010- januari 2011.
Dengan studi cross sectional diperoleh prevalens suatu penyakit dalam populasi pada suatu
saat, dengan mencari hubungan antara faktor risiko (variabel bebas) dengan efek yang terjadi
(variabel terikat) melalui pengukuran sesaat (Sayogo, 2009).
Analisis risiko kesehatan yang dilakukan pada pekerja industri semen PT. X meliputi
beberapa tahapan seperti pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Tahapan Analisis Risiko Kesehatan
3.1 Identifikasi Bahaya
Identifikasi bahaya dilakukan untuk mengetahui sejauh mana sumber bahaya dapat
membahayakan kesehatan pekerja, sehingga perlu dilakukan studi pendahuluan berupa survei
tempat penelitian, proses produksi yang terjadi, keadaan pekerja, kondisi lingkungan kerja
dan lainnya yang mempengaruhi besarnya pajanan yang diterima pekerja.
Proses identifikasi bahaya dalam penelitian ini dibagi beberapa tahap, yaitu:
• Analisis bahaya debu semen terhadap kesehatan paru-paru
• Menghitung kesepadanan antara kedua kelompok terpajan dan tidak terpajan debu.
• Menentukan nilai indeks bahaya.
3.1.1 Analisis Bahaya Debu Semen terhadap Kesehatan Paru-paru.
Telah banyak penelitian yang menemukan bahwa kristalin silika sangat berbahaya terhadap
kesehatan paru-paru apabila masuk ke dalam saluran pernapasan manusia. Hasil-hasil
penelitian tersebut kemudian dibandingkan dengan data-data yang diperoleh pada penelitian
ini.
3.1.2 Menghitung Kesepadanan Antara Kedua Kelompok
Data kesepadanan antara kedua kelompok, kelompok terpajan dan tidak terpajan debu,
diperoleh melalui kuesioner yang dibagikan kepada 120 pekerja laki-laki. Penghitungan nilai
kesepadanan dilakukan dengan cara membandingkan atribut kedua kelompok meliputi
kebiasaan merokok, riwayat kerja, riwayat kesehatan, tinggi badan, berat badan, lamanya
pajanan, usia dan keterangan lainnya dengan menggunakan Analysis of Variance.
3.1.3 Menentukan Nilai Indeks Bahaya
Nilai indeks bahaya diperoleh dari besarnya paparan debu silika yang diperoleh pekerja
dengen pengukuran menggunakan personal sampler pump. Kemudian untuk memperoleh
persen debu silika dari debu semen yang terkumpul, perlu dilakukan analisis menggunakan
XRD (X-Ray Diffraction). Nilai ADD (Average Daily Doses) debu silika diperoleh dengan
menggunakan persamaan:
��� � � � � �� � �� � ��
�� � � (3.2)
Dimana: CA : Konsentrasi Debu Silika yang terhirup (mg/m3)
IR : Kecepatan rata-rata inhalasi (m3/jam)
ET : Waktu Pajanan (jam/hari)
EF : Frekuensi Pajanan (hari/tahun)
ED : Durasi Pajanan (tahun)
BW : Berat badan (kg)
AT : Waktu rata-rata (ED x 365hari/ tahun)
Penentuan indeks bahaya dilakukan dengan mencari nilai HQ (Hazard quotioet ) terlebih
dahulu dengan menggunakan persamaan:
�� � ��
��� (3.1)
Dimana:
HQ : Hazard Quotient
ADD : Dosis rata-rata per hari
Rfd : Nilai Ambang Batas (NAB)
Indeks bahaya ini untuk mendapatkan informasi apakah debu di industri semen PT X dapat
membahayakan kesehatan pekerja. Suatu kontaminan dinyatakan berbahaya terhadap
kesehatan seseorang apabila memiliki nilai Hazard Index (HI)> 1 (Gratt, 1996). Sehingga bila
nilai HI > 1, maka perlu dilakukan evaluasi pajanan dan evaluasi dosis respon.
3.2 Evaluasi Pajanan
Evaluasi pajanan dilakukan secara deskriptif dengan menganalisis proses kerja yang dianggap
berbahaya, berdasarkan nilai indeks bahaya (HI>1). Data yang dikumpulkan diambil dari dua
kelompok pekerja, yaitu kelompok yang terpapar debu dengan intensitas yang tinggi secara
kontinyu dan kelompok yang tidak terpapar debu. Sampel yang dimasukkan dalam penelitian
adalah laki-laki berusia 30-55 tahun, telah bekerja minimal 5 tahun pada perusahaan tersebut,
tidak memiliki kelainan paru-paru sebelum bekerja di PT. X, tidak pernah bekerja di tempat
yang mengandung bahaya debu silika, dan mampu melakukan uji paru-paru.
Data primer lainnya yang dibutuhkan adalah konsentrasi respirable dust, yang diperoleh
dengan pengukuran menggunakan personal sampling pump, karena pengukuran yang
dilakukan merupakan skala lapangan sehingga untuk memperoleh konsentrasi respirable dust
aktual harus disesuaikan dengan kondisi udara di lapangan.
Data sekunder juga diperlukan untuk sebagai pendukung data primer, seperti profil
perusahaan, lay-out area, bahan baku yang digunakan, dan baku mutu udara di lingkungan
kerja. Data sekunder diperoleh dari data perusahaan dan literatur-iteratur yang berkaitan
dengan studi penelitian. Dalam mengevaluasi pajanan diperhatikan faktor-faktor yang
mempengaruhi besarnya pajanan, seperti penggunaan APD, fungsi ventilasi lokal,
kemungkinan angin menimbulkan debu.
3.3 Evaluasi Dosis Respon
Tahap ini dilakukan dengan pembuatan kurva dosis respon. Kurva ini fungsinya untuk
melihat hubungan yang konsisten antara dosis debu yang terhirup dengan respon pekerja
yang terpajan berupa nilai FEV1,0. Dari kurva ini maka akan terlihat gambaran bagaimana
respon yang timbul akibat oleh konsentrasi debu. Pada tahap ini dibutuhkan nilai FEV1,0
pekerja sama dengan pekerja yang dijadikan sampel dan kontrol pengukuran debu terpajan.
3.4 Karakterisasi Risiko
Karakterisasi risiko dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi berdasarkan identifikasi
bahaya, evaluasi pajanan, dan evaluasi dosis respon secara deskriptif. Risiko dinyatakan
dengan angka Resiko Relatif (RR) dengan cara membandingkan kelompok pekerja yang
terpajan debu dengan pekerja yang tidak terpajan.
Dalam penelitian ini terdapat 2 kelompok pekerja yang dibandingkan, sehingga pada
akhirnya terdapat data yang berupa matriks (2 x 2). Kelompok yang diperbandingkan adalah
kelompok terpajan terhadap kelompok tidak terpajan.
Tabel 3.1 Matriks 2 x 2 kelompok Pekerja terhadap HQ
Terpajan Tidak Terpajan
HQ > 1 a B
HQ < 1 c D
Sehingga diperoleh nilai Risiko Relatif dengan Persamaan berikut:
�� � �/�����
/� ��� (3.3)
Selain mencari nilai risiko relatifnya, untuk menghitung asosiasi juga diperlukan nilai Odd
Ratio (OR), seperti pada persamaan berikut:
!� � �/�
/� (3.4)
Lalu untuk pengujian Signifikansi pada matriks 2 x 2 dihitung dengan menggunakan χ2
dengan derajat kebebasan adalah 1 dan α = 5%. Tes χ2 adalah metode analisis untuk menguji
independensi dimana suatu variabel ada atau tidak ada hubungannya dengan variabel lain.
Tabel 3.2 Matriks 2 x 2 untuk menghitung χ2
Terpajan Tidak Terpajan
HQ > 1 n11 n12 n1.
HQ < 1 n21 n22 n2.
n.1 n.2 N
Dengan persamaan χ2 nya sebagai berikut:
"� �#$|#�� #��&#�� #��|&�
�' #(
#�.#�.#.� #.� (3.5)
Mengingat bahwa RR dapat memberikan hasil atau angka sama, dengan arti atau implikasi
berbeda, maka ada angka risiko lain yang dapat dihitung, yakni perhitungan risiko atribut
yang menyatakan perbedaan antara kedua risiko tadi.
�� � ��� * 1��� (3.6)
Dimana P2 adalah risiko bagi yang tidak terpapar. Kemudian setelah dilakukan perhitungan
asosiasi dan signifikansi ditelaah hubungan kausasi.
BAB IV
PEMBAHASAN
Subyek yang diteliti merupakan para pekerja yang bekerja di Plant 3 dan 4, setiap plant
terdiri dari berbagai proses, mulai dari penimbunan, raw mill, burning, finish mill, packing
dan bagian production. Penentuan sampel sebanyak 30 orang, dibagi sesuai dengan rasio
jumlah pekerja pada masing-masing bagian tersebut untuk mewakili keadaan sebenarnya.
Sampel yang dimasukkan dalam penelitian adalah laki-laki yang berusia 20-55 tahun dan
mampu melakukan uji fungsi paru-paru. Pekerja yang memiliki riwayat pekerjaan
mengandung bahaya debu silika di pekerjaan sebelumnya, tidak dimasukkan dalam penelitian
ini. Kemudian sebagai kontrol yang digunakan dalam penelitian ini adalah pekerja di PT.X
Citeureup dengan karakteristik yang serupa dengan sampel namun tidak bekerja di bagian
produksi, sehingga tidak terpajan oleh debu semen. Karakteristik responden yang terlibat
dalam penelitian didapatkan dari kuesioner seperti terlihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4. 1 Karakteristik Responden
Atribut Jawaban
Kelompok Pekerja
Terpajan Tidak Terpajan
Data Umum Responden
Jenis Kelamin Laki-laki 100,00% 100,00%
Umur <30 tahun 6,67% 3,33%
30-40 tahun 0,00% 20,00%
40-50 tahun 50,00% 46,67%
>50 tahun 33,33% 30,00%
Perilaku Responden
Kebiasaan Merokok Tidak Merokok 80,00% 83,33%
< 6 Batang 13,33% 3,33%
6-12 Batang 6,67% 10,00%
> 12 Batang 0,00% 3,33%
Kebiasaan Minum Susu Tidak 23,33% 33,33%
Ya 76,67% 66,67%
Kebiasaan Berolah Raga Tidak Berolah Raga 10,00% 23,33%
Ya 90,00% 76,67%
Kebiasaan Makan/ hari 1 kali 0,00% 3,33%
2 kali 16,67% 23,33%
3 kali 80,00% 66,67%
> 3 kali 3,33% 6,67%
Penggunaan Masker Selama Bekerja Tidak 0,00% 86,67%
Selalu 56,67% 0,00%
Saat-saat tertentu 43,33% 10,00%
Sesekali 0,00% 3,33%
Atribut Jawaban
Kelompok Pekerja
Terpajan Tidak Terpajan
Alasan Penggunaan Masker Menaati Peraturan 6,67% 0,00%
Menjaga Kesehatan 83,33% 13,33%
Kebiasaan 10,00% 0,00%
Lainnya 0,00% 0,00%
Jenis Maker yang digunakan Masker kertas 0,00% 0,00%
Masker Kain 6,67% 13,33%
Half Mask 70,00% 0,00%
Full face mask 23,33% 3,33%
Atribut Responden
Lama Bekerja di Perusahaan < 5 tahun 6,67% 3,33%
5-10 tahun 3,33% 3,33%
10-15 tahun 0,00% 0,00%
15-20 tahun 3,33% 3,33%
20-25 tahun 16,67% 16,67%
25-30 tahun 46,67% 46,67%
>30 tahun 23,33% 23,33%
Waktu Bekerja dalam Setahun Sepanjang tahun 73,33% 93,33%
Tidak 26,67% 6,67%
Pernah Bekerja di Perusahaan Lain Tidak 83,33% 66,67%
Konstruksi 0,00% 3,33%
Pertambangan 0,00% 0,00%
Lainnya 16,67% 30,00%
Jarak Antara Rumah dan Tempat Kerja < 5 km 40,00% 36,67%
5-10 km 33,33% 33,33%
> 10 km 26,67% 30,00%
Lama Perjalanan Rumah ke Tempat kerja < 30 menit 63,33% 50,00%
30-60 menit 33,33% 36,67%
> 60 menit 3,33% 13,33%
Cara Pergi Ke Tempat Kerja Jalan Kaki 13,33% 3,33%
Naik Angkutan Umum 10,00% 3,33%
Naik Sepeda 0,00% 3,33%
Naik Sepeda Motor 76,67% 63,33%
Naik Mobil 0,00% 26,67%
Keluhan Kesehatan Pernafasan Tidak 50,00% 76,67%
Sesak 10,00% 3,33%
Batuk 33,33% 20,00%
Lainnya 6,67% 0,00%
Berdasarkan Tabel 4.1 terlihat bahwa secara umum karakteristik pekerja kelompok terpajan
dan tidak terpajan debu semen memiliki kesamaan satu sama lain, dan memenuhi kriteria
yang ditetapkan sebelumnya. Pada kedua kelompok, baik yang terpajan maupun yang tidak
terpajan sampel diambil hanya yang berjenis kelamin laki-laki. Perbandingan usia, tinggi dan
berat badan untuk kedua kelompok pekerja dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4. 1 Perbandingan Atribut Pekerja yang Terpajan dan Tidak Terpajan
0
5
10
15
<30 30-40 40-50
Ditribusi Usia Pekerja
(Terpajan)
0
5
10
15
<60 60-70 70-80
Distribusi Berat Badan Pekerja
(Terpajan)
0
2
4
6
8
10
<160 160-165 165-170
Distribusi Tinggi Pekerja
(Terpajan)
Perbandingan Atribut Pekerja yang Terpajan dan Tidak Terpajan
50 >50
Ditribusi Usia Pekerja
0
10
20
<30 30-40 40
Ditribusi Usia Pekerja
(Tidak Terpajan)
>81
Distribusi Berat Badan Pekerja
0
5
10
15
<60 60-70
Distribusi Berat Badan Pekerja
(Tidak Terpajan)
170 170-175
Distribusi Tinggi Pekerja
(Terpajan)
0
2
4
6
8
10
<160 160-165 165
Distribusi Tinggi Pekerja
(Tidak Terpajan)
Perbandingan Atribut Pekerja yang Terpajan dan Tidak Terpajan
40-50 >50
Ditribusi Usia Pekerja
(Tidak Terpajan)
70-80 >81
Distribusi Berat Badan Pekerja
(Tidak Terpajan)
165-170 170-175
Distribusi Tinggi Pekerja
(Tidak Terpajan)
Kelompok pekerja yang terpajan memiliki perilaku yang sedikit
pekerja yang tidak terpajan, terutama pada kebiasaan penggunaan masker
Kelompok yang tidak terpajan bekerja di ruangan tertutup dengan pendingin ruangan,
sehingga tidak perlu menggunakan masker sedangkan kelompok pekerja yang terpajan debu
selalu menggunakan masker saat bekerja, karena lingkungan kerjanya memili
debu yang tinggi.
Gambar 4. 2 Perbandingan Perilaku Pekerja yang Terpajan dan Tidak Terpajan
0%
20%
40%
60%
80%
100%
me
roko
k
susu
ola
h r
ag
a
Perilaku Pekerja
(Terpajan)
Ya Tidak
Kelompok pekerja yang terpajan memiliki perilaku yang sedikit berbeda dengan kelompok
pekerja yang tidak terpajan, terutama pada kebiasaan penggunaan masker
terpajan bekerja di ruangan tertutup dengan pendingin ruangan,
sehingga tidak perlu menggunakan masker sedangkan kelompok pekerja yang terpajan debu
selalu menggunakan masker saat bekerja, karena lingkungan kerjanya memili
Perbandingan Perilaku Pekerja yang Terpajan dan Tidak Terpajan
ma
ske
r
ga
ng
gu
an
pe
rna
fasa
n
Perilaku Pekerja
(Terpajan)
Tidak
0%
20%
40%
60%
80%
100%
me
rok
ok
susu
ola
h r
ag
a
Perilaku Pekerja
(Tidak Terpajan)
Ya
berbeda dengan kelompok
pekerja yang tidak terpajan, terutama pada kebiasaan penggunaan masker (Gambar 4.2).
terpajan bekerja di ruangan tertutup dengan pendingin ruangan,
sehingga tidak perlu menggunakan masker sedangkan kelompok pekerja yang terpajan debu
selalu menggunakan masker saat bekerja, karena lingkungan kerjanya memiliki konsentrasi
Perbandingan Perilaku Pekerja yang Terpajan dan Tidak Terpajan
ola
h r
ag
a
ma
ske
r
ga
ng
gu
an
pe
rna
fasa
n
Perilaku Pekerja
(Tidak Terpajan)
Tidak
DAFTAR PUSTAKA
CEPA, 2001, A Guide to Health Risk Assesment, www.oehha.ca.gov, September,
2010.
Dirgawati, M., 2007, Hubungan dan Analisis Risiko Kualitas Udara Ambien
terhadap Mortalitas dan Morbiditas di Kawasan Pemukiman, Industri dan Padat Lalu Lintas
Kota Bandung. Bandung: ITB.
Eckhardt, Bob, 2008, Osha Cement Exposure Report, Proquest Journal 111:45.
Gratt, K. B., 1996, Air Toxic Risk Assesment and Management, Van nostrand
Renhold.
NIOSH, 2002, Helath Effects of Occupational Exposure to Respirable Crystalline
Silica, Cincinati : Department of Health and Human Services.
Pudjiastuti, Wiwi., 2002, Debu sebagai Bahan Pencemar yang Membahayakan
Kesehatan Kerja. Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan RI.
Sayogo, Savitri., 2009, Studi Cross-sectional/ Potong Lintang, Jakarta: Universitas
Indonesia.
Setiadji, S., B. Nur dan B. Gunawan., 1981, Uji Faal Paru, Cermin Dunia
Kedokteran, 4: 7-11.
SNI, 2005, Nilai Ambang Batas (NAB) zat kimia di udara tempat kerja, SNI 19-0232-
2005.
Spirecpert, 2007, Spirometer and Lung Function Testing, www.spirexpert.com,
September, 2010.
Whyte., 1980, Environmental Risk Assessment, Institute for Environmental Studies,
University of Toronto, John Wiley & Sons, Canada.
Wibawa, Kresna., 2008, Tesis Analisis Risiko Kesehatan Pajanan Debu terhadap
nilai FEV1,0 pekerja di lingkungan kerja PT X. Bandung: ITB.
Yunus, F., 1997, Dampak Debu Industri pada Paru-paru Pekerja dan
Pengendaliannya; Cermin Dunia Kedokteran, 155: 45-51.
Recommended