View
231
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
JURNAL ILMIAH EKONOMI MANAJEMEN DAN AKUNTANSI
OPTIMALISASI PENGGUNAAN FAKTOR PRODUKSI USAHA TEMPE
DI KABUPATEN WONOSOBO
(Studi Kasus di Desa Bumiroso Watumalang Wonosobo)
Awaludin Ahmad
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan tenaga kerja dapat
mengoptimalisasikan produksi, membuktikan bahan baku mengoptimalisasikan
produksi, membuktikan mesin dapat mengoptimalisasikan produksi, dan untuk
membuktikan modal dapat mengoptimalisasikan produksi. Dalam penelitian ini
populasinya adalah pelaku usaha tempe di Desa Bumiroso yang berjumlah 73
UMKM. Metode pengambilan sampel dengan cara sensus sampling, yaitu
pengambilan sampel dengan mengikutkan semua anggota populasi menjadi
sampel. Jadi jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 73 UMKM tempe.
Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis regresi berganda
dalam bentuk logaritma dengan fungsi produksi cobb douglass. Hasil penelitian ini
menunjukkan tenaga kerja yang digunakan belum dapat mengoptimalisasikan
produksi, bahan baku yang digunakan belum dapat mengoptimalisasikanproduksi,
jumlah mesin yang digunakan dapat mengoptimalisasikan produksi, dan modal
belum dapat mengoptimalisasikan produksi.
Kata kunci : Tenaga kerja, bahan baku, mesin, modal, produksi.
A. Latar Belakang Masalah
Pengolahan hasil pertanian merupakan komponen yang penting dalam
kegiatan agrobisnis setelah komponen produksi pertanian. Banyak pula
dijumpai petani yang tidak melaksanakan pengolahan hasil yang disebabkan
oleh berbagai sebab, padahal disadari bahwa kegiatan pengolahan ini dianggap
penting karena dianggap dapat meningkatkan nilai tambah (Soekartawi 1991).
Pembuatan tempe kedelai merupakan salah satu usaha dalam peningkatan nilai
tambah produk kedelai menjadi tempe kedelai. Tempe kedelai merupakan
makanan tradisional yang telah lama dikenal di Indonesia. Tempe dibuat
dengan cara fermentasi atau peragian. Dalam proses fermentasi terlibat tiga
faktor pendukung, yaitu bahan baku yang diurai (kedelai), mikroorganisme
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
JURNAL ILMIAH EKONOMI MANAJEMEN DAN AKUNTANSI
(kapang tempe), dan lingkungan tumbuh (suhu, pH, kelembaban).
Pembuatannya merupakan industri rakyat sehingga hampir setiap
orang dapat dikatakan mampu membuat tempe sendiri ( Hermana 1998 ).
Bahan baku pembuatan tempe biasanya menggunakan kedelai. Kedelai
merupakan bahan makanan penting sebagai sumber protein nabati.
Penggunaan kedelai umumnya dimanfaatkan untuk konsumsi masyarakat dan
masukan dalam usaha tani tanaman kedelai. Kedelai yang dikonsumsi
masyarakat sebagian besar dalam bentuk olahan dan hanya sebagian kecil
yang dikonsumsi langsung (Kasryno et all 1998). Sejalan dengan pertambahan
jumlah penduduk maka permintaan akan kedelai semakin meningkat. Pada
tahun 1998 konsumsi kedelai per kapita baru 9 kg/tahun, kini naik menjadi 10
kg/th. Dengan konsumsi perkapita rata-rata 10 kg/tahun maka dengan jumlah
penduduk 250 juta dibutuhkan 2 juta ton lebih per tahun. Untuk itu diperlukan
program khusus peningkatan produksi kedelai dalam negeri. Produksi kedelai
pernah mencapai 1,86 juta ton pada tahun 1992 (tertinggi) kemudian turun
terus hingga kini 2007, hanya 0,6 juta ton. Sedangkan produktivitas rata-rata
kedelai nasional masih rendah, tahun 2013 mencapai 13,07 kw/ha atau 1,3
ton/ha. (Departemen Pertanian 2014).
Tempe merupakan salah satu bahan pangan olahan kedelai yang sangat
populer di Wonosobo, masyarakat luas menjadikan tempe sebagai sumber
protein nabati. Selain itu harga jualnya juga murah, tahu dan tempe merupakan
produk fermentasi yang tidak bertahan lama. Setelah 2 atau 3 hari akan
mengalami pembusukan sehingga tidak dapat dikonsumsi oleh manusia,
sehingga teori lokasi juga mempengaruhi industri tersebut. Secara umum,
pemilihan lokasi oleh suatu unit aktivitas ditentukan oleh beberapa faktor
seperti: bahan baku lokal (local input), permintaan lokal (local demand),
bahan baku yang dapat dipindahkan (transferred input), dan permintaan luar
(outside demand).
Kabupaten Wonosobo sendiri sudah banyak industri tahu dan tempe,
tetapi masalah yang dihadapi selama ini pada industri tahu dan tempe yaitu
ketersediaan bahan baku yang mempunyai peranan penting dalam produksi
masih susah atau sulit untuk dipenuhi oleh industri dalam negeri sehingga
masih tergantung dengan kedelai impor, walaupun indonesia terkenal dengan
hasil pertaniannya tetapi itu belum cukup memenuhi kapasitas industri yang
berbahan baku kedelai yang ada. (Hoover dan Giarratani 2007)
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
JURNAL ILMIAH EKONOMI MANAJEMEN DAN AKUNTANSI
Saat ini para pengusaha tempe di Kabupaten Wonosobo mengalami
penurunan produksi. Hal ini karena adanya peningkatan harga bahan baku
tempe yaitu kedelai. Naiknya harga kedelai secara otomatis akan
meningkatkan biaya produksi. Meningkatnya biaya produksi tempe di Desa
Bumiroso membuat pengusaha tempe untuk mengelola dan merencanakan
produksi tempe. Observasi awal menunjukkan bahwa selama ini pengusaha
tempe tidak mengkoordinir faktor-faktor produksinya seperti tenaga kerja,
bahan baku, modal dan mesin yang digunakan dalam produksi (Perindag Kab.
Wonosobo 2014).
Setiap perusahaan dalam melaksanakan produksi tidak dapat
mengandalkan pemanfaatan fasilitas dengan teknologi modern, karena
produksi membutuhkan jasa tenaga kerja untuk memperlancar proses produksi
yang akan bermanfaat bagi masyarakat, tenaga kerja merupakan salah satu
faktor terpenting untuk menghasilkan barang maupun jasa (Rosyidi 2005).
Hasil penelitian Sudarmi (2010) dan Setiawati (2013) yang memperoleh hasil
bahwa faktor tenaga kerja tidak mempengaruhi hasil produksi. Hasil penelitian
berbeda ditunjukkan oleh Duri (2013) menunjukkan bahwa variabel tenaga
kerja berpengaruh signifikan terhadap produksi.
Bahan baku juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
produksi. Menurut Sriyadi (2000) bahan baku adalah bahan yang membentuk
bagian integral produk jadi. Bahan baku sangat mendukung dalam segala
aspek. Dalam industri baik itu industri kimia, industri tekstil, industri makanan
dan minuman dan sebagainya, bahan baku merupakan faktor penting dalam
proses produksinya. Bahan baku penting dalam artian mempertinggi efisiensi
pertumbuhan ekonomi.
Kabupaten Wonosobo merupakan kabupaten penghasil tempe, salah
satunya adalah Desa Bumiroso. Usaha pembuatan tempe kedelai Desa
Bumiroso merupakan industri skala rumah tangga yang pada awal
pendiriannya terdorong motivasi untuk berusaha sendiri . Sebagian besar
tenaga kerja dalam usaha ini berasal dari dalam keluarga. Walaupun skalanya
masih kecil, tetapi usaha pembuatan tempe dapat dijadikan sumber pendapatan
bagi masyarakat di Desa Bumiroso. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya
unit usaha pembuatan tempe kedelai sebesar 73 unit usaha.
Sementara ini pemasaran tempe yang dilakukan oleh para pelaku usaha
tempe di Bumiroso adalah dengan menjual ke pasar-pasar tradisional yang ada
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
JURNAL ILMIAH EKONOMI MANAJEMEN DAN AKUNTANSI
di Kabupaten Wonosobo dan ada pula yang diambil langsung oleh para
pedagang untuk didistribusikan ke konsumen. Banyaknya unit usaha
pembuatan tempe kedelai di Desa Bumiroso menunjukkan bahwa usaha
pembuatan tempe kedelai skala rumah tangga yang sudah diusahakan selama
lebih dari lima puluh tahun dapat memberikan keuntungan karena mampu
menyerap tenaga kerja dan bertahan di tengah persaingan dengan industri
pengolahan tempe kedelai yang lebih besar serta gejolak kenaikan harga
kedelai.
Penelitian ini merupakan replikasi dari Sudarmi (2010) yang meneliti
tentang tingkat optimalisasi faktor produksi usaha tempe. Perbedaan penelitian
ini dengan penelitian Sudarmi (2010) adalah penelitian ini menambahkan
variabel modal dan mesin. Penambahan variabel modal dan mesin didasarkan
pada asumsi bahwa besarnya ketergantungan produksi terhadap modal dan
mesin. Penelitian ini juga mengkaji ulang pengaruh tenaga kerja terhadap
produksi seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Sudarmi (2010) dimana
hasil penelitian Sudarmi (2012) menunjukkan bahwa tenaga kerja tidak
mempengaruhi produksi. Hal ini berseberangan dengan teori fungsi produksi
cobb douglas yang menyatakan bahwa tenaga kerja merupakan faktor input
dalam produksi. Penelitian ini dilakukan di Desa Bumiroso Kecamatan
Watumalang Wonosobo karena berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas
Koperasi dan UMKM Kabupaten Wonosobo, banyak pengusaha tempe yang
menghentikan sementara produksinya karena adanya kendala mahalnya bahan
baku.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan di
atas, maka rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut :
1. Apakah tenaga kerja dapat mengoptimalisasikan produksi?
2. Apakah bahan baku dapat mengoptimalisasikan produksi?
3. Apakah mesin dapat mengoptimalisasikan produksi?
4. Apakah modal dapat mengoptimalisasikan produksi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk membuktikan tenaga kerja dapat mengoptimalisasikan produksi.
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
JURNAL ILMIAH EKONOMI MANAJEMEN DAN AKUNTANSI
2. Untuk membuktikan bahan baku dapat mengoptimalisasikan produksi.
3. Untuk membuktikan mesin dapat mengoptimalisasikan produksi.
4. Untuk membuktikan modal dapat mengoptimalisasikan produksi.
D. Landasan Teori
1. Optimalisasi Produksi
Nicholson (1992) menyatakan optimalisasi atau optimasi merupakan
alat yang penting untuk mengembangkan model-model yang mengasumsikan
bahwa para pelaku ekonomi secara rasional mengejar sasaran tertentu seperti
memaksimumkan keuntungan atau meminimumkan biaya. Memaksimumkan
keuntungan dilakukan dengan menggunakan atau mengalokasikan masukan
(biaya) tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum.
Sedangkan meminimumkan biaya dilakukan dengan cara menggunakan
masukan (biaya) yang paling minimum untuk menghasilkan tingkat output
tertentu.
2. Teori dan Fungsi Produksi
Produksi adalah perubahan dari dua atau lebih input (sumber daya)
menjadi satu atau lebih output (produk). Dalam kaitannya dengan
industri, produksi merupakan esensi dari suatu perekonomian. Untuk
berproduksi diperlukan sejumlah input yaitu adanya kapital, tenaga kerja
dan teknologi. Sehingga terdapat hubungan antara produksi dengan
input berupa output maksimal yang dihasilkan dengan input tertentu
atau disebut fungsi produksi (Pindyck dan Rubinfeld 1995).
Salvatore (1997) mendefinisikan produksi sebagai hasil akhir
dari proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa
masukan atau input atau dengan kata lain mengkombinasikan berbagai
input atau masukan untuk menghasilkan output. Sedangkan definisi fungsi
produksi yaitu menunjukkan jumlah maksimum komoditi yang dapat
diproduksi per unit waktu setiap kombinasi input alternatif, bila
menggunakan teknik produksi terbaik yang tersedia.
3. Faktor produksi
tenaga kerja
Tenaga kerja adalah suatu alat kekuatan otak dan fisik manusia
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
JURNAL ILMIAH EKONOMI MANAJEMEN DAN AKUNTANSI
(Daniel 2004). Dalam analisa ketenagakerjaan diperlukan standarisasi
satuan tenaga kerja. Analisa ketenagakerjaan juga sering dikaitkan
dengan tahapan pekerjaan dalam usaha pertanian (Soekartawi 1989).
Bahan baku
Bahan baku menurut Shousen (2001) adalah barang-barang yang
dibeli untuk digunakan dalam proses produksi. Untuk memproduksi tempe
di gunakan bahan baku pokok yaitu kedele. Jenis kedele terdiri atas 4
macam, kedele kuning, kedele hitam, kedele coklat dan kedele hijau. Para
pengrajin tempe biasanya memakai kedele kuning sebagai bahan baku
utama, akan tetapi juga menggunakan kedele jenis lain terutama kedele
hitam. Kedele berbiji besar bila bobot 100 bijinya lebih dari 13 gram,
kedele berbiji sedang bila bobot 100 bijinya antara 11 - 13 gram dan
kedele berbiji kecil bila bobot 100 bijinya antara 7 -11 gram. Biji kedele
yang dipakai oleh para pengrajin untuk membuat tempe harus di kupas
lebih dahulu dan biji kedele tahu digiling sesudah biji kedele di rendam
sekitar 7 jam lebih dahulu.
Modal
Modal adalah salah satu faktor produksi yang digunakan dalam
melakukan proses produksi. Produksi dapat ditingkatkan dengan
menggunakan alat-alat atau mesin produksi yang efisien. Dalam proses
produksi tidak ada perbedaan antara modal sendiri dengan modal pinjaman,
yang masing-masing berperan langsung dalam proses produksi.
Akumulasi modal terjadi apabila sebagian dari pendapatan
ditabung dan diinvestasikan kembali dengan tujuan memperbesar
produktivitas dan pendapatan. Riyanto (1997) Modal terbagi dua yaitu
modal aktif dan modal pasif. Modal aktif menurut fungsi kerjanya dapat
dibedakan menjadi modal kerja dan modal tetap. Sedangkan modal pasif
dapat dibedakan antara modal sendiri dan modal asing atau modal badan
usaha dan modal kreditur/uang. Brigham dan Houston (2001) modal kerja
merupakan investasi perusahaan dalam jangka waktu pendek meliputi kas,
piutang, persediaan barang. Jumlah modal kerja dapat lebih mudah
diperbesar atau diperkecil, disesuaikan dengan kebutuhannya, juga elemen-
elemen modal kerja akan berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan.
Mesin
Mesin merupakan alat bantu untuk melakukan proses
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
JURNAL ILMIAH EKONOMI MANAJEMEN DAN AKUNTANSI
transformasi atau proses pengolahan dari masukan (input) menjadi keluaran
(output) (Daryanto 1996). Mesin sangat memegang peranan penting
dalam proses pengolahan, karena tanpa adanya mesin proses produksi
tidak akan efisien, juga hasil yang didapat tidak optimal. Kapasitas mesin
terdiri dari kapasitas terpasang dan kapasitas terpakai. Kapasitas terpasang
merupakan jumlah maksimum dari bahan baku yang dapat diolah oleh
mesin tersebut. Sedangkan kapasitas terpakai merupakan jumlah minimum
dari bahan baku yang dapat diolah oleh mesin.
4. Fungsi Produksi Cobb douglas
Fungsi produksi Cobb douglas diperkenalkan oleh Cobb, C.W dan
Douglas,P.H. melalui artikelnya yang berjudul A Theory of Production
Tahun 1928 (Soekartawi 1990). Nicholson (1999) menyatakan fungsi
produksi Cobb douglas sebagai fungsi produksi dimana elastisitas
substitusi sama dengan satu (d = 1). Bentuk ini merupakan bentuk
tengah antara dua kasus ekstrim (d = ~ dan d = 0). Kurva produksi Cobb
douglas berbentuk cekung yang normal. Penyelesaian fungsi produksi
Cobb douglas selalu dilogaritmakan dan diubah fungsinya menjadi
fungsi linier sehingga ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi
sebelum menggunakan fungsi tersebut (Soekartawi 1990), antara lain :
a. Tidak ada pengamatan variabel penjelas (X) yang sama dengan
nol, sebab logaritama dari nol adalah bilangan yang besarnya tidak
diketahui.
b. Dalam fungsi produksi diasumsikan tidak ada perbedaan teknologi
pada setiap pengamatan (non-neutral difference in the respective
technologies).
c. Tiap variabel X adalah perfect competition
d. Perbedaan lokasi pada fungsi produksi sudah tercakup pada faktor
kesalahan, u.
Fungsi Produksi Cobb douglas adalah fungsi atau persamaan yang
melibatkan dua atau lebih variabel, di mana variabel yang satu disebut
variabel dependen, yang dijelaskan (Y) dan yang lain disebut dengan
variabel independen, yang menjelaskan (X) (Soekartawi 2003). Secara
sistematik fungsi Cobb douglas dapat dituliskan sebagai berikut :
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
JURNAL ILMIAH EKONOMI MANAJEMEN DAN AKUNTANSI
3
3
Y adalah produk atau variabel yang dipengaruhi oleh X, dan X
adalah faktor produksi yang mempengaruhi Y. Fungsi produksi
menunjukkan berapa banyak jumlah maksimum output yang dapat
diproduksi apabila sejumlah input tertentu dipergunakan di dalam proses
produksi, bi adalah besaran parameter (elastisitas masing- masing faktor
produksi) dan b0 adalah Konstanta, intersep, besaran parameter. Fungsi
Cobb douglas merupakan fungsi non-linier, sehingga untuk membuat
fungsi tersebut menjadi linier maka fungsi Cobb douglas dapat
dinyatakan pada persamaan :
ac = b
a log b = c
a log b
n = c
n a log b = c
a log b.c =
a log b +
a log c
Maka :
Y = b0 X1b1
. X2b2
. X b3
. X4b4
log Y = log (b0X1 b1
X2 b2
X3 b3
X4 b4
)
logY = log b0 + logX1b1
+ log X2b2
+ log X b3
+ log X4b4
Ln Y = b0 + b1LnX1 + b2LnX2 + b3LnX3 + b4LnX4
Cara membuat Ln (logaritma normal) adalah dengan program SPSS
melalui transform kemudian memasukkan kedalam compute variabel
dan memilih Ln pada function and special variable. Setelah di transform
ke Ln kemudian di regresikan. Pada persamaan diatas nilai b1, b2,
b3,…bn adalah tetap walaupun variabel yang terlibat telah
dilogaritmakan. Hal ini karena b1, b2, b3,…bn pada fungsi Cobb
douglass menunjukkan elastisitas X terhadap Y, dan jumlah elastisitas
adalah merupakan return to scale. Terdapat beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi antara lain:
1. Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol, sebab logaritma dari
nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui (infinite).
2. Dalam fungsi produksi, perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan
teknologi pada setiap pengamatan (non-neutral difference in the
respective technologies). Apabila fungsi Cobb douglas yang dipakai
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
JURNAL ILMIAH EKONOMI MANAJEMEN DAN AKUNTANSI
sebagai model dalam suatu pengamatan dan bila diperlukan analisis
yang memerlukan lebih dari satu model, maka perbedaan model
tersebut terletak pada intercept dan bukan pada kemiringan garis
(slope) model tersebut.
3. Tiap variabel X adalah perfect competition.
4. Perbedaan lokasi (pada fungsi produksi) seperti iklim adalah sudah
tercakup pada faktor kesalahan.
Fungsi Cobb douglas lebih banyak dipakai para peneliti
dikarenakan :
1. Fungsi tersebut relevan untuk sektor pertanian yang telah dibuktikan
secara empiris, khususnya untuk penelitian dengan menggunakan
data cross section.
2. Penyelesaian fungsi Cobb douglas relatif lebih mudah dibandingkan
dengan fungsi yang lain, hal ini dikarenakan fungsi dapat dengan
mudah ditransfer ke bentuk linier, yaitu dengan jalan
melogaritmakan variabel yang dibangun dalam model, baik dengan
logaritma biasa atau dengan logaritma natural.
3. Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb douglas akan
menghasilkan koefisien regresi sekaligus menunjukkan besaran
elastisitas, dimana elastisitas dari produksi akan mengukur
kemampuan reaksi dari input terhadap output.
4. Data input dan data output siap digunakan, tanpa pengumpulan
(seperti fungsi di CES) untuk memperkirakan parameter dari model.
(Rita Yunus 2009).
Hipotesis dan Model Penelitian
1. Tenaga kerja Untuk Optimalisasi Produksi
Posisi faktor tenaga kerja sangat dominan jika dibandingkan dengan
faktor produksi lainnya dalam suatu proses produksi. Suprihanto (1988)
menyatakan bahwa tenaga kerja adalah sebagian dari keseluruhan
penduduk yang secara potensial dapat menghasilkan barang dan jasa. Dari
pernyataan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tenaga kerja
adalah sebagian penduduk yang dapat menghasilkan barang dan jasa, bila ada
permintaan terhadap barang dan jasa. Faktor tenaga kerja sangat dibutuhkan
dalam proses kegiatan produksi. Kegiatan produksi akan berhenti jika tenaga
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
JURNAL ILMIAH EKONOMI MANAJEMEN DAN AKUNTANSI
kerja yang diperlukan mengalami gangguan, sehingga berdampak pada
penjualan yang akan diterima perusahaan. Dengan demikian faktor tenaga
kerja akan berpengaruh terhadap produksi/output.
Hasil penelitian Sudarmi (2010) dan Setiawati (2013) yang memperoleh
hasil bahwa faktor tenaga kerja tidak mempengaruhi hasil produksi. Hasil
penelitian berbeda ditunjukkan oleh Duri (2013) menunjukkan bahwa variabel
tenaga kerja berpengaruh signifikan terhadap produksi. Berdasarkan uraian
diatas maka dapat dihipotesiskan sebagai berikut :
H1 : Tenaga kerja mengoptimalisasi produksi .
2. Bahan Baku Untuk Optimalisasi Produksi .
Bahan baku merupakan indikator dasar dan utama dalam membuat
sebuah produk. Kualitas bahan baku sangat menentukan kualitas produk yang
dihasilkan. Kegiatan produksi akan berhenti jika bahan baku tidak tersedia
ataupun harga bahan baku mengalami kenaikan, sehingga berdampak pada
penjualan yang akan diterima perusahaan. Dengan demikian faktor input bahan
baku akan berpengaruh terhadap produksi tempe.
Hasil penelitian Sudarmi (2010) menunjukkan bahwa variabel bahan
baku berpengaruh signifikan terhadap produksi. Begitu juga dengan penelitian
yang dilakukan oleh Setiawati (2013) yang memperoleh hasil bahwa faktor
bahan baku mempengaruhi hasil produksi. Berdasarkan uraian diatas maka
dapat dihipotesiskan sebagai berikut :
H2 : Bahan baku mengoptimalisasi produksi .
3. Mesin Untuk optimalisasi produksi.
Mesin merupakan alat yang digunakan dalam proses produksi.
Perkembangan teknologi memungkinkan perusahaan untuk menggunakan
mesin yang tepat guna agar biaya yang dikeluarkan lebih efisien dan waktu
berproduksi lebih efektif. Kesalahan dalam pemilihan mesin akan berakibat
fatal pada hasil produksi, karena mesin yang akan memproses bahan baku
menjadi output. Sering terjadi, perusahaan harus mengeluarkan
investasi yang tinggi untuk membeli sebuah mesin. Perusahaan akan
berinvestasi untuk mendapatkan mesin yang baik agar diperoleh manfaat
jangka panjang yaitu hasil produksi yang lebih berkualitas.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Desky (2010) yang meneliti
tentang faktor yang mempengaruhi produksi menunjukkan bahwa mesin
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
JURNAL ILMIAH EKONOMI MANAJEMEN DAN AKUNTANSI
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap produksi padi. Peneliti selanjutnya
yaitu Pasaribu (2011) yang menunjukkan bahwa mesin berpengaruh terhadap
produksi. Berdasarkan uraian diatas maka dapat dihipotesiskan sebagai berikut :
H3 : Mesin mengoptimalisasi produksi
4. Modal Untuk optimalisasi produksi
Modal atau real capital goods meliputi semua jenis barang yang dibuat
untuk menunjang kegiatan produksi barang dan jasa. Misalnya mesin, pabrik,
jalan raya, gudang serta semua peralatannya. Pengertian modal
semacam itu sebenarnya hanyalah merupakan salah satu saja dari pengertian
modal seluruhnya, sebagaimana yang sering dipergunakan oleh para ahli
ekonomi. Sebab modal juga mencakup arti uang yang tersedia di dalam
perusahaan untuk membeli mesin-mesin atau faktor produksi lainnya..
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Duri (2013) menunjukkan bahwa
modal mempengaruhi hasil produksi. Hasil berbeda ditunjukkan oleh Setiawati
(2013) yang menunjukkan bahwa tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil
produksi pada industri tempe. Berdasarkan uraian diatas maka dapat
dihipotesiskan sebagai berikut :
H4 : Modal mengoptimalisasi produksi .
G. Model Penelitian
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Data Penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan membagikan kuesioner
kepada pelaku usaha industri tempe di Desa Bumiroso Kecamatan
Watumalang Wonosobo dengan tujuan untuk memperoleh data
sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini. Metode
pengambilan sampel dengan cara sensus sampling adalah
pengambilan sampel dengan mengikutkan semua anggota populasi
menjadi sampel. Jadi jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
JURNAL ILMIAH EKONOMI MANAJEMEN DAN AKUNTANSI
73 UMKM tempe. Adapun batas waktu penyebaran kuesioner
adalah 2 minggu dan kuesioner yang dibagikan berjumlah 73.
Tabel 4.1
Jumlah Sampel Dan Tingkat Pengembaliannya Kuesioner
Responden Disebar Kembali Gugur Dipakai
Pelaku Usaha
Industri Tempe 73 73 0 73
Jumlah 73 73 0 73
Sumber : Data Primer diolah, 2015
Dari seluruh kuesioner yang dibagikan kepada responden
sebanyak 73 orang. Sebanyak 73 kuesioner yang kembali (100%).
Dari 73 kuesioner yang kembali tidak ada yang cacat, sehingga yang
digunakan dalam penelitian ini sebesar 100%.
4.1.2. Karakteristik Responden
1. Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin disajikan
dalam Tabel 4.2 berikut ini :
Berdasarkan Tabel 4.2 diketahui bahwa responden yang
terbanyak adalah yang berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak
50 (70,3%) responden. Sedangkan responden yang berjenis
kelamin perempuan adalah sebanyak 23 (29,7%).
2. Responden Berdasarkan Umur
Karakteristik responden berdasarkan umur dibedakan
menjadi 5 kelompok yaitu <30 tahun, 30-35 tahun, 36-40 tahun,
41-45 tahun dan >45 tahun. Berdasarkan umur responden
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
disajikan dalam Tabel 4.3 berikut ini :
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
Valid <30 Tahun 2 5.5 5.5 5.5
30-35 Tahun 13 14.3 14.3 19.8
36-40 Tahun 18 19.8 19.8 39.6
41-45 Tahun 22 24.2 24.2 63.7
>45 Tahun 18 36.3 36.3 100.0
Total 73 100.0 100.0
Tabel 4.3
Umur Responden
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Sumber : Data Primer diolah, 2015
Berdasarkan Tabel 4.3 diketahui bahwa responden
terbanyak adalah yang berumur 41-45 tahun sebanyak 22
(24,2%) responden, yang berumur >45 tahun sebanyak 18
(36,3%), yang berumur 36-40 tahun sebanyak 18 (19,8%), yang
berumur 30-35 tahun sebanyak 13 (14,3%) dan yang berumur
<30 tahun sebanyak 2 (5,5%) responden.
3. Responden Berdasarkan Pendidikan
Karakteristik responden berdasarkan pendidikan dibedakan
menjadi 5 kelompok yaitu SD, SMP, SMA, Diploma dan
Sarjana. Berdasarkan umur responden disajikan dalam Tabel 4.4
berikut ini :
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
Berdasarkan Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa responden
yang terbanyak adalah SMA sebanyak 32 (54,9%) responden,
responden yang berpendidikan SMP sebanyak 25 (27,5%)
responden, responden yang berpendidikan Sarjana sebanyak 3
(8,8%) responden, responden yang berpendidikan SD sebanyak
10 (5,5%) dan responden yang berpendidikan diploma sebanyak
3 (3,3%) responden.
4.2. Analisis Data
4.2.1. Penggunaan Faktor-Faktor Produksi pada Usaha Tempe
Hasil produksi merupakan barang yang diperoleh dari suatu
proses produksi. Kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan
tergantung pada kualitas dan kuantitas faktor-faktor produksi serta
teknologi yang digunakan. Rata-rata penggunaan faktor-faktor
produksi pada Usaha tempe di Desa Bumiroso yang meliputi tenaga
kerja, bahan baku, jumlah mesin dan m odal dapat dilihat pada Tabel
4.5 berikut :
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa rata-rata penggunaan bahan
baku sebesar 161,58 kg, ini berarti bahwa sebagian besar pelaku
usaha tempe di Bumiroso menggunakan bahan baku sebesar 161,58
kg sehingga bisa dikategorikan sebagai usaha mikro.
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
Jumlah Penggunaan tenaga kerja dalam satu periode produksi
adalah rata-rata sebesar 2 orang, sedangkan penggunaan modal
sebesar Rp. 1.252.975. produksi rata-rata tempe di Desa Bumiroso
dalam tiap periode produksi adalah 1129 unit.
f. Analisis Pendapatan Usaha Tempe
1. Biaya Usaha Tempe
Biaya produksi tempe yang dimaksudkan dalam penelitian
ini adalah biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh pengusaha
yang meliputi biaya pemakaian tenaga kerja, bahan baku,
jumlah mesin, modal yang terdiri dari biaya tenaga kerja, biaya
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
bahan penolong, listrik dan air. Rata-rata biaya produksi tempe
yang dikeluarkan pengusaha sampel pada usaha tempe dapat
dilihat pada Tabel 4.6
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa rata-rata biaya produksi
tempe yang dikeluarkan pengusaha sampel dalam
mengusahakan tempe sebesar Rp 775474,565 per kwintal. Biaya
produksi tempe ini terdiri dari tenaga kerja, bahan baku, jumlah
mesin, modal. Biaya terbesar yang dikeluarkan oleh pengusaha
tempe adalah biaya untuk bahan baku sebesar Rp 721059,771
per kwintal. Hal ini dikarenakan dalam usaha tempe dibutuhkan
bahan baku yang berkualitas. Bahan baku yang digunakan
adalah merupakan kedelai impor. Jarang sekali pengusaha tempe
menggunakan bahan baku lokal, karena bahan baku lokal
kualitasnya lebih rendah dari bahan baku impor. Pemakaian bahan
baku lokal prosentasenya sangat kecil sekali dan hanya sebagai
campuran saja. Biaya terendah yang dikeluarkan untuk produksi
tempe adalah biaya bahan penolong yaitu ragi, akan tetapi bahan
baku ragi masuk kategori bahan penolong utama.
Tanpa ragi, pembuatan tempe tidak akan jadi. Pengeluaran biaya
tenaga kerja masih tergolong tinggi. Walaupun biaya yang
dikeluarkan untuk tenaga kerja tergolong tinggi namun mencari
tenaga kerja yang ahli sulit didapatkan.
2. Produksi dan Pendapatan Usaha Tempe
Produksi merupakan jumlah tempe dalam bentuk batang
atau lonjor yang dihasilkan selama produksi yang dinyatakan
dalam satuan unit. Penerimaan usaha tempe merupakan
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
perkalian antara produksi tempe dengan harga jual dan
dinyatakan dalam rupiah. Produksi rata- rata pengusaha sampel
sebesar 1129 unit dengan harga Rp. 2000 rupiah/Kg sehingga
diperoleh penerimaan sebesar Rp. 2.258.000 rupiah setiap
kwintal. Pendapatan produksi tempe merupakan selisih dari
penerimaan tempe dan biaya usaha tempe dalam satu kali
produksi. Rata-rata pendapatan dari usaha tempe di Desa
Bumiroso pada produksi dapat dilihat pada Tabel 4.7 berikut :
Tabel 4.7
Rata-rata Pendapatan Usaha Tempe di Desa
Bumiroso
No Uraian Per kwintal
1 Penerimaan 2.258.0000
2 Biaya 775474,565
3 Pendapatan 1482525,435
4 R/C ratio 2,9117
Sumber Data : Analisis Data Primer
Tabel 4.7 menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan dari
Usaha tempe oleh pengusaha sampel adalah sebesar Rp.
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
1.485.525,435 per kwintal. Apabila dilihat dari biaya yang
dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh, dapat diketahui
bahwa produksi tempe ini menguntungkan karena
penerimaaannya lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan
dengan nilai R/C ratio 2,91.
4.2.3. Analisis Regresi Fungsi Produksi Cobb -Douglass
Macam faktor-faktor produksi perlu diketahui oleh
pengusaha untuk menghasilkan suatu produk, maka dibutuhkan
pengetahuan hubungan antara faktor-faktor produksi dan hasil
produksi. Hubungan fisik antara penggunaan faktor-faktor produksi
dengan produksi ini sering disebut dengan fungsi produksi . Fungsi
produksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah fungsi produksi
Cobb-Douglass. Dalam perhitungan, fungsi produksi Cobb-Douglass
dapat diubah dalam bentuk regresi linier berganda dengan cara
ditransformasikan dalam bentuk logaritma. Analisis dengan program
SPSS 17.0 menunjukkan hasil sebagai berikut :
Y = 0,842 X1 0,043
X2 0,926
X3 0,050
X4 0,100
Ditransformasikan dalam bentuk logaritma menjadi :
Log Y = log 0,842 + 0,043 logX1 + 0,926 logX2 + 0,050 logX3 +
0,100logX4
Berdasarkan hasil estimasi fungsi produksi tempe di Desa
Bumiroso dengan pendekatan produksi cobb douglass awal yang
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
digunakan telah ditransformasikan ke dalam bentuk log natural (Ln),
maka satuan yang dituliskan menjadi persen dan diketahui koefisien
elastisitas masing-masing input dalam produksi tempe adalah :
a. Koefisien elastisitas untuk input tenaga kerja adalah sebesar
0,043. Hal ini berarti bahwa jika ada penambahan tenaga kerja
sebanyak 1 tenaga kerja, maka akan diperoleh peningkatan
produksi sebesar 0,043 satuan.
b. Koefisien elastisitas untuk input bahan baku adalah sebesar 926.
Hal ini berarti bahwa jika ada kenaikan bahan baku sebesar 1
kg, maka akan diperoleh peningkatan sebesar 0,926 satuan.
c. Koefisien elastisitas untuk input jumlah mesin adalah sebesar
0,050. Hal ini berarti bahwa jika ada kenaikan jumlah mesin
sebesar 1 unit, maka akan diperoleh penurunan produksi sebesar
0,050 satuan.
d. Koefisien elastisitas untuk input modal adalah sebesar 0,100.
Hal ini berarti bahwa jika ada kenaikan penggunaan modal
sebesar 1 rupiah, maka akan diperoleh peningkatan sebesar
0,100 satuan.
Uji koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui
seberapa besar proporsi dari faktor-faktor produksi berpengaruh
terhadap hasil produksi. Hasil analisis menunjukkan nilai koefisien
determinasi sebesar 0,976. Hal ini berarti bahwa ,97,6 % variasi hasil
produksi tempe dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi yang
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
dimasukkan dalam model, sedangkan sisanya yang 2,6% dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model.
Kondisi skala usaha pada penelitian ini dapat diketahui dari
besaran elastisitasnya (b1,b2, ..., bn) yaitu lebih besar dari satu, lebih
kecil dari satu, sama dengan satu, atau lebih besar dari satu. Ada tiga
kemungkinan alternatifnya, yaitu:
a. Decreasing return to scale, bila (b1 + b2+ … + bn) < 1. Berarti
bahwa proporsi penambahan faktor produksi melebihi proporsi
penambahan produksi.
b. Constant return to scale, bila (b1 + b2+ … + bn) = 1. Berarti
bahwa proporsi penambahan faktor produksi akan proporsional
dengan penambahan produksi yang diperoleh.
c. Increasing return to scale, bila (b1 + b2+ … + bn) > 1. Berarti
bahwa proporsi penambahan faktor produksi akan menghasilkan
tambahan produksi yang proporsinya lebih besar.
Hasil perhitungan elastisitas (koefisien regresi) dari masing-
masing faktor produksi dapat dilihat pada Tabel 4.9 berikut ini.
Tabel 4.9
Nilai Elastisitas Faktor-Faktor Produksi Usaha Tempe
Elastisitas /Koefisien
No Variabel Koefisien Regresi
1 Tenaga Kerja .043 2 Bahan Baku .926
3 Jumlah Mesin .050
4 Modal .100
Sumber : Analisis Data Primer
Hasil perhitungan pada Tabel 4.9 menunjukkan bahwa skala
usaha pada produksi tempe di Desa Bumiroso sebesar 1,119 (lebih
besar dari satu), ini berarti bahwa proporsi penambahan faktor
produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya
lebih besar atau sering disebut dengan ”Increasing return to scale” .
Hal ini berarti apabila semua faktor produksi ditambah satu persen
secara bersama-sama, menyebabkan kenaikan produksi tempe
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
sebesar 1,119, dengan demikian pengusaha masih dapat
memperbesar pendapatannya dengan menambah semua faktor
produksi. yang digunakan.
4.2.4. Analisis Efisiensi Ekonomi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi
Efisiensi harga atau efisiensi alokatif adalah suatu keadaan
efisiensi bila nilai dari produk marginal sama dengan harga faktor
produksi yang bersangkutan, atau suatu cara bagaimana pelaku usaha
mampu memaksimumkan keuntungannya. Dalam pembahasan
efisiensi harga (alokatif) ini akan menghasilkan tiga hasil
kemungkinan yaitu :
1. Jika nilai efisiensi lebih besar dari 1, hal ini berarti bahwa
efisiensi yang maksimal belum tercapai, sehingga penggunaan
faktor produksi perlu ditambah agar mencapai kondisi yang
efisien.
2. Jika nilai efisien lebih kecil dari 1, hal ini bahwa kegiatan
usaha yang dijalankan tidak efisien, sehingga untuk mencapai
tingkat efisien maka faktor produksi yang digunakan perlu
dikurangi.
3. Jika nilai efisiensi sama dengan 1, hal ini berarti bahwa
kegiatan usaha yang dijalankan sudah mencapai tingkat efisien
dan diperoleh keuntungan yang maksimum.
Dalam suatu usaha termasuk produksi tempe terdapat satu
hal penting yang harus mendapat perhatian dari pengusaha yaitu
masalah efisiensi. Penerapan efisiensi dalam penggunaan alokasi
input sangat penting guna menghasilkan output yang optimal. Dalam
penelitian ini untuk mengetahui efisiensi usaha tempe di Desa
Bumiroso digunakan pendekatan efisiensi harga. Produksi tempe
telah mencapai efisiensi ekonomi jika perbandingan antara nilai
p
r
o
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
duk marginal (NPMxi) dan harga faktor produksi (Px) yang
bersangkutan sama dengan 1. Hasil perhitungan rasio NPMxi dan Px
dapat dilihat pada Tabel 4.10
Hasil perhitungan rasio NPMxi dan Px pada masing-masing faktor
produksi di Tabel 4.10 di atas tidak ada yang sama dengan satu,
hal ini menunjukkan bahwa penggunaan faktor-faktor produksi pada
Usaha tempe di Desa Bumiroso belum mencapai efisiensi.
1. Dari hasil penghitungan diatas diperoleh efisiensi harga untuk
tenaga kerja produksi tempe sebesar 0,87. Hasil penghitungan
tersebut menunjukkan bahwa dalam penggunaan faktor produksi
tenaga kerja tidak efisien. Sebab hasil penghitungan yang diperoleh
menunjukkan hasil kurang dari 1. Oleh karena itu perlu dilakukan
pengurangan penggunaan faktor produksi agar tercapai efisiensi
secara harga. Akan tetapi, faktor produksi tenaga kerja itu sendiri
tidak mungkin dikurangi karena tenaga kerja merupakan faktor
produksi yang melakukan kegiatan operasional dalam proses
produksi. Dalam produksi tempe tenaga kerja manusia masih
sangat dibutuhkan karena dalam proses produksi tempe tidak
menggunakan otomatisasi mesin yang berarti bahwa
perlu dilakukan penambahan input agar tercapai efisiensi secara
harga. Penambahan input tenaga kerja tidak hanya dilakukan
dengan menambah tenaga kerja, tetapi dapat melalui penggunaan
tenaga kerja yang sesuai dengan kemampuannya dan
yang berpengetahuan lebih luas.
2. Dari hasil penghitungan diatas diperoleh efisiensi harga untuk
bahan baku produksi tempe sebesar 0,91. Hasil penghitungan
tersebut menunjukkan bahwa dalam penggunaan faktor produksi
bahan baku tidak efisien. Sebab hasil penghitungan yang diperoleh
menunjukkan hasil kurang dari 1. Oleh karena itu perlu dilakukan
pengurangan penggunaan faktor produksi agar tercapai efisiensi
secara harga.
3. Dari hasil penghitungan diatas diperoleh efisiensi harga untuk
jumlah mesin produksi tempe sebesar 0,09. Hasil penghitungan
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
tersebut menunjukkan bahwa dalam penggunaan faktor produksi
jumlah mesin tidak efisien. Sebab hasil penghitungan yang
diperoleh menunjukkan hasil kurang dari 1. Oleh karena itu perlu
dilakukan pengurangan penggunaan faktor produksi mesin agar
tercapai efisiensi secara harga.
4. Dari hasil penghitungan diatas diperoleh efisiensi harga untuk
modal produksi tempe sebesar 0,05. Hasil penghitungan tersebut
menunjukkan bahwa dalam penggunaan faktor produksi modal
tidak efisien. Sebab hasil penghitungan yang diperoleh
menunjukkan hasil kurang dari 1. Oleh karena itu perlu dilakukan
pengurangan penggunaan faktor produksi modal agar tercapai
efisiensi secara harga.
Setelah melakukan penghitungan NPM untuk masing-masing
faktor produksi, dimana efisiensi harga dihitung dari penambahan
NPM efisiensi harga untuk masing-masing faktor produksi. Maka
nilai dari efisiensi harganya adalah sebesar :
EH = 0,87+0,91+0,09+0,05
4
EH = 0,48
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
Nilai optimum setiap faktor produksi dapat dihitung. Hasil
perhitungan nilai optimumnya dapat dilihat pada Tabel 4.11 berikut
ini :
Efisiensi dapat tercapai saat pengusaha menggunakan faktor
produksi yang meliputi tenaga kerja sebesar 3,12 HOK, bahan baku
sebesar 121,58 kg, jumlah mesin sebesar 2,26 unit, dan modal
sebesar Rp.1002,20.
4.2.5. Return To Scale
Return to scale merupakan suatu keadaan di mana output
meningkat sebagai respon adanya kenaikkan yang proposional dari
seluruh input (Nicholson, 2002). Seperti yang diketahui bahwa pada
fungsi Cobb-Douglas, koefisien tiap variabel independen merupakan
elastisitas terhadap variabel dependen. Berdasarkan Tabel 4.9, dapat
diketahui return to scale dari produksi tempe Desa Bumiroso melalui
penjumlahan setiap variabel independen.
Return to scale = ß1 + ß2 + ß3 + ß4
= 0,87+0,91+0,09+0,05 = 1,92
Nilai return to scale pada produksi tempe adalah 1,92. Return
to scale diperoleh dari penambahan koefisien elastisitas untuk
masing-masing variabel independen dalam penelitian. Hal ini
menunjukkan bahwa produksi tempe di Desa Bumiroso tersebut
berada pada Increasing return to scale karena nilai return to scale lebih
dari 1. Berarti bahwa proporsi penambahan faktor produksi akan
menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar.
Pembahasan
1. Optimalisasi Tenaga Kerja Terhadap Produksi Tempe
Jumlah tenaga kerja berpengaruh secara signifikan terhadap
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
produksi tempe. Tetapi hasil penelitian menunjukkan belum optimalnya
pemakaian tenaga kerja dalam produksi tempe karena pemakaian tenaga
kerja yang optimal adalah 3 orang, sedangkan rata-rata pemakaian tenaga
kerja adalah 2 orang. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian
Sudarmi (2010) dan Setiawati (2013) yang memperoleh hasil bahwa
tenaga kerja tidak mempengaruhi produksi. Hasil peneltian ini berbeda
dengan penelitian Duri (2013) menunjukan bahwa variabel tenaga kerja
berpengaruh signifikan terhadap produksi.
Keberadaan pengusaha kecil dalam kancah perekonomian nasional
peranannya cukup strategis, mengingat dari pengusaha golongan ini telah
banyak diserap tenaga kerja dan telah memberikan andil bagi pertumbuhan
ekonomi yang dicapai selama ini. (Maryono 1996). Posisi faktor tenaga
kerja sangat dominan jika dibandingkan dengan faktor produksi lainnya
dalam suatu proses produksi. Suprihanto (1988) menyatakan bahwa tenaga
kerja adalah sebagian dari keseluruhan penduduk yang secara potensial
dapat menghasilkan barang dan jasa. Dari pernyataan di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa tenaga kerja adalah sebagian penduduk yang dapat
menghasilkan barang dan jasa, bila ada permintaan terhadap barang dan
jasa.
2. Optimalisasi Bahan Baku Terhadap Produksi Tempe
Dengan menggunakan tingkat signifikansi 5% dapat dilihat bahwa
bahan baku berpengaruh secara signifikan dan bertanda positif terhadap
produksi tempe. Tanda positif menunjukkan bahwa apabila bahan baku
tersedia sebesar 1 kg, maka produksi tempe pun meningkat sebesar 0,926
kg. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sudarmi (2010) menunjukan bahwa variabel bahan baku berpengaruh
signifikan terhadap produksi. Penelitian ini juga konsisten dengan
penelitian yang dilakukan oleh Setiawati (2013) yang memperoleh hasil
bahwa faktor bahan baku mempengaruhi produksi.
3. Optimalisasi Jumlah Mesin Terhadap Produksi Tempe
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa mesin mempengaruhi
tingkat produksi tempe. Pemakaian jumlah mesin sudah optimal, hal ini
ditunjukkan dengan rata-rata pemakaian mesin sebanyak 2 dan nilai
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
optimum pemakaian mesin sebanyak 2 unit. Hasil penelitian ini tidak
konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Desky (2010) yang
meneliti tentang faktor yang mempengaruhi produksi menunjukkan
bahwa mesin berpengaruh negatif terhadap produksi. Hasil penelitian ini
konsisten dengan penelitian Pasaribu (2011) yang menunjukkan bahwa
mesin berpengaruh terhadap produksi.
4. Optimalisasi Modal Terhadap Produksi Tempe
Berdasarkan hasil pengolahan data, bahwa pengaruh faktor
modal terhadap hasil produksi adalah signifikan dengan koefisien positif.
Yang artinya setiap pertambahan modal 1% akan meningkatkan poduksi
sebesar 0,10%. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang
dilakukan oleh Duri (2013) menunjukkan bahwa modal memepengaruhi
hasil produksi. Hasil berbeda ditunjukkan oleh Setiawati (2013) yang
menunjukkan bahwa modal tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil
produksi.Hal ini menunjukkan bahwa produksi tempe ditentukan oleh
besarnya modal.
K. Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian tentang analisis pengaruh atribut
produk yang mempengaruhi daya saing adalah sebagai berikut :
1. Faktor produksi tenaga kerja berpengaruh positif terhadap produksi
tempe. Artinya penambahan tenaga kerja akan meningkatkan produksi
tempe.
2. Faktor produksi bahan baku berpengaruh positif terhadap produksi
tempe. Artinya penambahan bahan baku akan meningkatkan produksi
tempe.
3. Faktor produksi mesin berpengaruh positif terhadap produksi tempe.
Artinya penambahan mesin akan meningkatkan produksi tempe.
4. Faktor produksi modal berpengaruh positif terhadap produksi tempe.
Artinya penambahan modal akan meningkatkan produksi tempe.
5. Skala industri tempe di desa Bumiroso berada pada kondisi ”Increasing
Return to Scale” yang mengindikasikan bahwa proporsi penambahan
faktor produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya
lebih besar. Hal ini berarti apabila semua faktor produksi ditambah satu
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
persen secara bersama-sama, menyebabkan kenaikan produksi tempe
sebesar 1,119, dengan demikian pengusaha masih dapat memperbesar
pendapatannya dengan menambah semua faktor produksi. yang
digunakan.
6. Pengusaha tempe di desa Bumiroso dalam menggunakan faktor-faktor
produksi belum mencapai kombinasi yang memberikan efisiensi ekonomi
tertinggi. Optimasi penggunaan faktor produksi tenaga kerja sebesar 3,12
HOK, bahan baku sebesar 121,58 kg, mesin sebanyak 2,26 unit dan
modal sebesar Rp.1002,20 akan memberikan efisiensi ekonomis.
5.2. Saran
Ada beberapa saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini yaitu
antara lain:
1. Untuk meningkatkan produksi tempe produsen harus memperhatikan
banyaknya bahan baku yang dibuat dalam proses produksi.
2. Produsen tempe seharusnya memperhatikan bahan bakar yang digunakan
dalam proses pembuatan tempe.
3. Pemerintah harus mempertimbangkan dalam menaikkan harga bahan
bakar, karena selama ini sebagian besar produsen pembuatan tempe
menggunakan bahan bakar gas karena lebih praktis dan mudah
didapatkan daripada harus membeli kayu bakar dalam produksi tempe.
5.3. Agenda Penelitian Mendatang
Hasil-hasil dalam penelitian ini yang ditemukan agar dapat dijadikan
sumber ide dan masukan bagi pengembangan penelitian ini dimasa yang
akan datang, maka perluasan yang disarankan dari penelitian ini antara lain
adalah: memasukkan faktor lain yang mampu mengoptimalisasi hasil
produksi tempe.
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
DAFTAR PUSTAKA
Daniel, Mosher,A.T. 2004. Getting Agricultural Moving Frederick.A. Pracger, New
York.
Daryanto, Bangun. 1996. Teori Ekonomi Mikro. Bandung: Refika Aditama. Departemen
Pertanian Republik Indonesia. 2014. Pengembangan Usaha Kedelai. Desky, E. Meiners.
2010. Teori Mikroekonomi Intermediate, Penerjemah Haris
Munandar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Duri, Anis Arifiya. 2013. Modal dan Tenaga Kerja Pengaruhnya Terhadap Hasil Produksi
Sepatu (Stui Kasus di Koperasi Produsen Sepatu Margosuryo Kota Mojokerto).
Surabaya: Jurnal Fakultas Ekonomi Unesa Kampus Ketintang Surabaya.
Ferdinand, Augusty. 2006. Stuctural Equation Modeling Dalam Penelitian
Manajemen. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
a. Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS.
Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
b. Ghozali, Imam. 2006. Ekonometrika, Teori, Konsep dan Aplikasi SPSS 17.
Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
Godam. 2006. Faktor Pendukung dan Penghambat Industri Bisnis- Perkembangan dan
pembangunan Industri- Ilmu Sosial Ekonomi Pembangunan.
Hnadoko, T. Hani. 1999. Manajemen Edisi 2. Yogyakarta: BPFE.
Hermana, MT. 1998. Konsep Teori Dan Kebiijakan Makroekonomi. Jakarta: Erlangga.
Hoover, Colby dan Giarratani. 2007. Environmental Managemen In Development: The
Evolution Of Paradims. World Bank Discussion Papper Number 80. The
International Bank For Recontruction and Development/ The World Bank.
Washington DC. U.S.A.
Houston. 2001. Manajemen Keuangan. Jakarta: Erlangga.
Indriantoro dan Supomo, Bambang. 2002. Metodologi Penelitian. Edisi 1.
Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Kardiman. 2003. Ekonomi. Jakarta: Yudistira.
Kasryno, N.D. et. all. 1998. Economic Incentives And Comparative Advantage in Indonesian Food Crop Production. Recearch Report 93. Int. Food Polycy.
Resch. Inst. Washington. DC.
Mubyarto. 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES. Minto
Purnomo. 2000. Ekonomi. Jakarta: Yudhistira.
Mulyadi. 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia Dalam Perspektif Pembangunan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
a. Nicolson, Walter. 1992. Teori Ekonomi Mikro, Terjemahan Deliarnov, Edisi
pertama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
b. Nicolson, Walter. 1995. Teori Ekonomi Mikro, Terjemahan Deliarnov, Edisi kedua,
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
c. Nicolson, Walter. 1999. Teori Ekonomi Mikro, Terjemahan Deliarnov, Edisi ketiga,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nopirin, 2000. Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro Dan Makro, Edisi Pertama.
Yogyakarta: Balai Pustaka Fakultas Ekonomi.
Pasaribu. 2011. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Hasil Usaha Tani Padi
Swah Di Wilayah Perum Otorita Jatiluhur. Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol
3 (1), Juli.
Pindyck, Roberts dan Danil L. Rubinfield. 1995. Mikroeconomics, Prentice Hall
International, Inc.
Rita Yunus, dkk. 2009. Efisiensi Penggunaan Sarana Produksi Dalam Usaha Tani Sawah
Di Daerah Prduksi Utama Propinsi Jawa Tengah. Makalah Seminar,
Puslitbangtan.
a. Riyanto, Bambang. 1992. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan, Edisi IV.
Yogyakarta: BPFE.
b. Riyanto, Bambang. 1997. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan, Edisi VII.
Yogyakarta: BPFE.
Rosyidi H. 2005. Pengantar Teori Ekonomi Pendekatan kepada Teori Ekonomi
Mikro dan Makro, Edisi Baru. Jakarta: Rajawali Pers.
Sadono Sukirno. 2000. Mikro Ekonomi Modern: Perkembangan Pemikiran Dari Klasik
Sampai Keynisian Baru, Edisi I. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Safitri. 2010. Total Productivity and Fromtier Production, Agro Ekonomi.
Yogyakarta: BPFE UGM
Salvatore, Dominick. 1997. Managerial Economics, dalam Perekonomian Global, Edisi
keempat, Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Samuelson, Paul A. 2003. Ekonomi Mikro, Alih Bahasa Drs. Haris Munandar, Burhan
Wirasubrata,SE., Ir. Eko Widiyatmoko, Edisi 14. Jakarta: Erlangga.
Sarwono. 1994. Membuat Tempe Dan Oncom. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.
Shousen, Red. 2001. Akuntansi Keuangan, Jakarta. Salemba Empat.
Setiawati, Devia. 2013. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Produksi Tempe Pada Sentra Industri Tempe Dikecamatan Sukorejo Kabupaten Kendal. EDAJ 2
(1) Economics Development Analysis Journal.
a. Soekartawi, 1990. Teori Ekonomi Produksi Dengan Pokok Bahasan Analisis
Fungsi Cobb Douglass, Edisi Pertama. Jakarta: Rajawali.
b. Soekartawi, 1991. Teori Ekonomi Produksi Dengan Pokok Bahasan Analisis
Fungsi Cobb Douglass, Edisi Kedua. Jakarta: Rajawali.
c. Soekartawi, 2002. Agro Bisnis, Teori Dan Aplikasinya, Cetakan keenam.
Jakarta: Grafindo Persada.
Volume 10 No. 1, Januari 2015 ISSN: 1907–426X
d. Soekartawi, 2003. Teori Ekonomi Produksi Dengan Pokok Bahasan Analisis
Fungsi Cobb Douglass, Edisi kedelapan. Jakarta: Rajawali.
Sriyadi. 2000. Pengantar Ilmu Perusahaan Modern. Jakarta: Dirjen Dikti.
Sucipto, Adi. 2014. Cara Belajar. Cirebon: Gramedia.
Sudarman, Ari. 2004. Industri Kecil Dan Kerajinan Rumah Tangga: Salah Stu Alternatif Perluasana Kesempatan Kerja Non Pertanian. Semarang: Geman Stikubank.
Sudarmi.2010. Tingkat Optimasi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Usaha Tempe di
Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali. Jurnal Fakultas Pertanian,
Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo.
Sugiyono. 2002. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: CV Alfabeta.
Sudjana. 1992. Metode Statistik. Bandung: Tarsito.
Suprapti, L. 2003. Dasar-Dasar Teknologi Pangan. Yogyakarta: Kanisius.
Suprihanto. 1988. Fungsi Keuntungan Cobb Douglass Dalam Perdagangan
Efisiensi Ekonomi Relatif. Jurnal Ekonomi Pembangunan 5 (2): 149-
161.
Wirodikromo, Sartono. 2004. Matematika Untuk Kelas X. Jakarta: Erlangga.
Recommended