View
230
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PENELITIAN DAN PENULISAN SKRIPSI
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PEMBELIAN
TIKET KERETA API MELALUI MEDIA ON LINE
TUTUT SETIO MULAT LANGGENG FakultasHukum,UniversitasNarotamaSurabaya
Pembimbing : SOEMALI, SH; M.Hum.
e-mail : tuttyjj@yahoo.co.id
Abstrak
Dalam transaksi tiket kereta api melalui media on line, apabila P.T, Kereta Api
wanprestasi, terdapat kepastian hukum yang menjamin terhadap hak-hak konsumen yang
dirugikan. Upaya hukum yang dilakukan dapat dilakukan melalui gugatan melalui pengadilan
dan/atau di luar pengadilan, yang beban pembuktian dilakukan oleh pelaku usaha (P.T. Kereta
Api). Jaminan kepastian hukum dalam hal P.T. Kereta Api wanprestasi, wajib bertanggung
gugat mengganti biaya yang telah dibayar oleh konsumen yang telah membeli karcis dan/atau
menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau moda transportasi lain sampai stasiun tujuan,
Tanggung gugat wanprestasi P.T. Kereta Api apabila terjadi pembatalan keberangkatan
perjalanan kereta api dan apabila terjadi hambatan atau gangguan yang mengakibatkan kereta
api tidak dapat melanjutkan perjalanan sampai stasiun yang disepakati.
Kata kunci : Perlindungan konsumen, tiket kereta api, media online .
Permasalahan : Latar Belakang dan
Rumusannya
P.T. Kereta Api Indonesia (persero),
sebuah perusahaan yang bergerak di bidang
pelayanan jasa penumpang dan barang. PT.
Kereta Api Indonesia dari tahun ke tahun
selalu berusaha memberi pelayanan yang
prima, selalu berusaha memberi inovasi
baik dari dari segi operasional, prasarana,
,keamanan maupun pelayanan, khususnya di
bidang pelayanan sebagai perusahaan yang
mengelola bidang angkutan perkeretaapian
di Indonesia. P.T. Kereta Api Indonesia
(Persero) telah banyak mengoperasikan
kereta penumpangnya, baik kereta api
utama (komersil dan non komersil), maupun
kereta api lokal di Jawa dan Sumatera,
yang terdiri dari : kereta api eksekutif,
kereta api ekonomi ac, kereta api bisnis,
kereta api ekonomi, kereta api lokal dan
kereta api listrik. Di Stasiun Surabaya Gubeng ada 19 (Sembilan belas) kereta api yang akan mengantarkan penumpang ke beberapa tempat tujuan yaitu : Kelas eksekutif Argo Wilis, dari dan tujuan Bandung via Jombang-Madiun-Solo-Yogyakarta-Tasikmalaya, Bima, tujuan Jakarta via Jombang-Madiun-Solo-Yogyakarta-Purwokerto-Cirebon dan tujuan Malang,
Turangga, dari dan tujuan Bandung via Jombang-Madiun-Solo-Yogyakarta-TasikmalayaBangunkarta, dari dan tujuan Jakarta via Jombang-Madiun-Solo-Semarang-Cirebon. Kelas campuran : Sancaka, dari dan tujuan Yogyakarta via Jombang-Madiun-Solo (eksekutif-ekonomi AC plus), Mutiara Timur, dari dan tujuan Banyuwangi (eksekutif-bisnis; khusus untuk jadwal malam bisa bersambung dari dan ke Denpasar, Bali, menggunakan armada bus kerjasama antara Damri-PT KAI), Ranggajati, tujuan Cirebon via Jombang-Madiun-Solo-Yogyakarta-Purwokerto dan tujuan Jember (eksekutif-bisnis). Kelas bisnis : Mutiara Selatan, tujuan Bandung via Jombang-Madiun-Solo-Yogyakarta-Tasikmalaya dan tujuan Malang. Kelas ekonomi AC plus Jayabaya, tujuan Jakarta via Surabaya Pasarturi-Semarang-Cirebon dan tujuan Malang. Kelas ekonomi AC ; Gaya Baru Malam, dari dan tujuan Jakarta via Jombang-Madiun-Solo-Yogyakarta-Purwokerto Pasundan, dari dan tujuan Bandung via Madiun-Yogyakarta-Tasikmalaya Logawa, tujuan Purwokerto via Jombang-Madiun-Solo-Yogyakarta dan tujuan Jember, Sri Tanjung, tujuan Yogyakarta via Jombang-Madiun-Solo dan tujuan Banyuwangi, Probowangi, tujuan Surabaya Kota dan tujuan Banyuwangi, Dhoho, tujuan Surabaya Kota dan tujuan Kertosono via Jombang bersambung
Blitar via Kediri, Penataran, tujuan Surabaya Kota dan tujuan Blitar via Malang, Tumapel, tujuan Surabaya Kota dan tujuan Malang (lebih sering disebut sebagai KA Penataran juga), KRD Bojonegoro/Lokal Babat, tujuan Surabaya Pasarturi-Bojonegoro via Lamongan-Babat dan tujuan Sidoarjo, KRD Kertosono, tujuan Surabaya Kota dan tujuan Kertosono via Jombang, Komuter ekonomi Delta Ekspres (Komuter Surabaya-Sidoarjo/SuSi), tujuan Surabaya Kota dan tujuan Porong.
Kereta yang akan mengantar
penumpang ke berbagai tujuan dengan
berbagai harga tiket yang sangat variatif
menurut jenis kereta apinya, jenis hari
keberang-katannya dan jenis tempat duduk atau fasilitasnya. Di sini, bisa dilihat dari
harga tiket yang tertera. Dengan inovasi
baru sekarang ini, P.T.Kereta Api
memberikan kemudahan bagi pengguna
jasa, tiket bisa diperoleh 90 (sembilan
puluh) hari sebelum kebarangkatan dan
dapat juga di pesan atau dibeli di mana pun
kita berada dengan mudahnya tanpa harus
datang ke stasiun, tiket bisa kita peroleh
lewat agen agen yang memang sudah
bekerja sama dengan PT. Kereta Api
Indonesia (Persero). Dengan Inovasi yang
dilakukan PT. KAI (Persero) tidak banyak
menimbulkan kontroversial, banyak sekali
pihak-pihak yang dengan sengaja mencari
keuntungan dengan kemajuan teknologi
sekarang ini tanpa memikirkan pihak
konsumen yang sangat-sangat dirugikan,
pembelian tiket melalui media online
memang sangat mudah tetapi harus berhati-
hati. Di sisi lain, kondisi tersebut
menimbulkan fenomena bahwa konsumen
menjadi obyek akti-fitas bisnis untuk
meraup keuntungan yang sebesar–besarnya
oleh pelaku usaha melalui kiat promsi, cara
penjualan, serta penerapan perjanjian baku
yang merugikan konsumen. Hal ini
menyebabkan kedudukan antara pelaku
usaha dengan konsumen tidak seimbang.
Konsumen berada pada posisi atau
kedudukan yang lemah dalam memperoleh
hak-haknya masih rendah, akibat rendahnya
pendidikan konsumen di bidang teknologi
informatika akan menjadi makanan empuk
para pembisnis online.
Berdasarkan latar belakang uraian
tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa pokok permasalahan sebagai
berikut:
1. Apa prinsip-prinsip perjanjian dalam
transaksi tiket kereta api melalui media
Online ?
2. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan
konsumen akibat P.T. Kereta Api
Indonesia wanprestasi ?
Penjelasan Judul
Judul penelitian dan penulisan skrisip
ini tentang “Perlindungan Konsumen Da-
lam Transaksi Tiket Kereta Api Melalui
Media Online”. Guna memahami dan
membatasi terhadap judul yang diteliti, maka
perlu adanya penjelasan terhadap judul yang
dimaksud seperti dipaparkan di bawah ini.
Perlindungan berasal dari kata lindung,
dalam bahasa Belanda “beschut” atau”
beschermd”. Perlindungan adalah cara,
proses atau perbuatan melindungi”.1 Per-
lindungan dalam bahasa Belanda adalah
“beschermelingschap” atau “schuilhaventje”,
“hal ini terjadi bilamana seseorang dilindungi
oleh suatu negara, dan merupakan asas
perlindungan, di mana asas ini berlaku bagi
semua kejadian yang merugikan kepen-
tingan hukum seseorang”. 2
Konsumen secara harfiah adalah
“pemakai barang-barang hasil produksi”.3
Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dinyatakan : “Konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan”. Yang dimaksud konsumen
dalam undang-undang tersebut adalah
konsumen akhir. Perlin- dungan konsumen
menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1999 adalah “segala upaya
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indone-sia,
Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm 522
2 N.E. Algra et. al., Kamus Istilah Hukum,
Fockema Andrea, Belanda-Indonesia, Bina Cipta,
Jakarta, 1983, hlm. 48
3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Loc. Cit.
yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada
konsumen”.
Alasan Pemilihan Judul
Perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi digunakan sebagai sarana
perdagangan (electronic comers).
Perdagangan melalui sistem elektronik
tumbuh sangat cepat, misalnya perdagangan
barang dan jasa, perdagangan obat-obat
herbal, perdagangan elektronika,
perdagangan automotive dan lainnya.
Hampir setiap perda-gangan barang
dan/atau jasa sekarang ini melalui dunia
maya atau menggu-nakan elektronika,
termasuk dalam transaksi pembelian tiket
kereta api.
Pembelian tiket kereta api sekarang
ini dapat dilakukan secara on line, dengan
menggunakan media on line melalui
internet atau transaksi elektronika.
Pembelian tiket kereta api melalaui media
on line diharapkan membantu memudahkan
konsu-men dalam mendapatkan atau
membeli tiket kereta api sesuai jurusan yang
ditempuhnya. Pembelian tiket kereta apai
tidak harus datang pada stasiun untuk
membeli tiket/ karcis kereta api, tetapi
sekarang dapat membeli tiket melalui media
on line melalui biro jasa media on line yang
ditunjuk atau telah bekerja sama dengan
P.T. Kereta Api Indonesia (Persero).
Dalam kenyataan, kegiatan pembelian
tiket/karcis kereta api tidaklah mudah
seperti yang dibayangkan. Kerugian dapat
terjadi baik pada pelaku transaksi maupun
orang lain yang tidak pernah melakukan
transaksi. Di sisi lain, pembuktian meru-
pakan faktor yang sangat penting,
mengingat informasi elektronik bukan saja
belum terakomodasi dalam sistem hukum
acara Indonesia secara komprehensif,
melainkan juga ternyata sangat rentan untuk
diubah, dipalsukan dan dikirim kepada
siapapun. Dampak yang diakibatkan bisa
demikian komplek dan rumit. Namun,
kenyataan tran- saksi melalui media
elektronik berkembang terus dan tidak bisa
dibendung, meskipun bersifat virtual dapat
dikatagorikan sebagai tindakan atau
perbuatan hukum yang nyata. Transaksi
inipun dikembangkan oleh P.T. Kereta Api
Indonesia (Persero) dalam perdagangan atau
pembelian tiket melalui media on line.
Dalam pelaksanaan jual beli tiket
kereta api melalui media online terdiri dari
empat proses, yaitu, penawaran, penerimaan,
pembayaran, dan pengiriman. Pasal 1320
KUH Perdata menyebutkan bahwa syarat
sahnya suatu perjanjian yaitu kesepakatan
para pihak, kecakapan untuk membuat
perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab
yang halal dapat diterapkan untuk
menentukan keabsahan perjanjian jual beli
tiket kereta api melalui melalui media on
line. Tetapi dalam praktek pembelian tiket
kereta api melalui media on line syarat
tersebut tidak dipenuhi secara utuh, pihak
media online sering kali ingkar janji atau
tidak menyepakati perjanjian yang telah
dibuat, setelah melakukan pembayaran
harusnya konsumen mendapatkan code
booking, tetapi pada kenyataannya pihak
media on line melakukan pembatalan
pembelian secara sepihak tanpa
sepengetahuan konsemen, di sini konsumen
terdiri dari banyak orang yang berbeda latar
belakang usia, pendidikan, pengetahuan dan
pengalaman, ada beberapa konsumen yang
memang tidak jeli setelah melakukan
pembayaran tetapi alangkah baiknya jika kita
melakukan pekerjaan yang halal tanpa harus
merugikan banyak pihak, tidak
mengecewakan konsumen, dan juga
membuat citra buruk untuk P.T. Kereta Api.
Di sini PT. Kereta Api berharap hendaknya
para pelaku bisnis benar-benar
memperhatikan aturan main yang berlaku,
bekerja secara propesional memperhatikan
benar-benar isi dari Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11
tahun 2008 tentang informasi dan transaksi
elektronik, sehingga berlakunya Undang-
undang tersebut dapat berfungsi dengan baik.
PT. Kereta Api juga berharap media on line
yang berlaku curang bisa di telusuri dengan
cepat keberadaannya dan menidak tegas
menghukum pihak-pihak yang berlaku
curang, sehingga memberi efek jera pada
pelakunya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan untuk mewujudkan
keseimbangan perlin-dungan kepentingan
konsumen dan pelaku usaha sehingga
tercipta system perekono-mian yang sehat.
Dalam kenyataan praktik di
lapangan, dari pengalaman pribadi sewaktu
berdinas di Stasiun Surabaya Gubeng dan
bertemu dengan lima orang penumpang
yang kala itu akan berangkat menggunakan
Kereta Api Jaya Baya tujuan Pasar Senin,
Lima calon penumpang yang sudah tua
tersebut membawa bukti transaksi
pembelian tiket melalui media on-line yang
akan di cetak (Chek in Mandiri) di tukar
menjadi tiket, tapi pada kenyataannya tiket
tersebut tidak dapat di cetak karna tidak ada
code bookingnya dan sudah dibatalkan oleh
petugas media online,dari sini jelas terjadi
kecurangan yang dilakukan pihak media on
line. Konsumen tentunya hak-haknya di-
rugikan, karena adanya kecurangan petugas
media on line.
Tujuan Penelitian
1. Untuk memahami dan menganalisis
prinsip-prinsip perjanjian dalam
transaksi tiket kereta api melalui
media online, baik yang menyangkut
mengenai prinsip-prinsip perjanjian
dalam kontrak elektronika yang
dibuat melalui sistem elektronika,
dan prinsip-prinsip transaksi tiket
kereta api melalui media online.
2. Untuk memahami dan menganalisis
terhadap upaya hukum yang dapat
dila-kukan konsumen akibat P.T.
Kereta Api Indonesia wanprestasi,
baik menyangkut perlindungan
konsumen dalam transaksi tiket
kereta api melalui
online dan tanggut gugat P.T. Kereta
Api akibat wanprestasi dalam
transaksi tiket kereta api melalui
media online.
Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis ;
Diharapkan dari tulisan ini dapat
dijadikan sebagai sumber
masukkan bagi para calon
pengusaha baru mediaon line
agar memperhatikan etikaagar
tidak merugikan konsumen
sepertiyang tertuang pada
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen
dan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik.
2. Secara Praktis ;
Diharapkan bagi masyarakat agar
mampu memanfaatkan kegunaan
internet denganmaksimal untuk
hal yang lebih penting, dalam hal
ini melakukan transaksi
pembelian tiket on line dengan
sangat berhati-hati, memilih
media on line yang benar-benar
bisa dipercaya, ataupun agen-
agen resmi yang memang bekerja
samadengan PT. Kereta Api
Indonesia(Persero).
Metode Penelitian
Pendekatan Masalah
Penelitian ini tergolong penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif
merupakan “penelitian hukum doktriner, juga
disebut penelitian perpustakaan atau studi
dokumen”.4 Pendekatan masalah yang
digunakan adalah pendekatan yuridis
normative (statute approach) , karena
“penelitian ini dilakukan atau ditujukan
hanya pada peraturan- peraturan yang
tertulis”.5 Di sisi lain, penelitian ini
menggunakan pendekatan konseptual
(conceptual approach), karena menggunakan
bahan-bahan hukum lain selain peraturan
perundang-undangan.
Sumber Bahan Hukum
Penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan atau studi dokumen disebab-
kan penelitian ini lebih banyak dilakukan
terhadap data yang bersifat sekunder yang
ada di perpustakaan. Data sekunder dari
perpustakaan berupa bahan hukum primer,
4 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum
Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm. 13
5 Ibid., hlm 13
bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier. Bahan hukum primer berupa
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2007 tentang
Perkeretaapian dimuat dalam Lembaran
Negara Repu- blik Indonesia Tahun 2007
Nomor 65 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4722; Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronika dimuat
dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 58 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4843; Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dimuat dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42
dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3821.
Bahan hukum sekunder berupa
literature, karya-karya ilmiah, pendapat ahli
baik yang berasal dari media cetak maupun
media elektronik. Di sisi lain, juga meng-
gunakan bahan hukum tersier berupa kamus
hukum dan kamus bahasa.
Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan
Bahan Hukum
Bahan hukum berasal dari studi
kepustakaan dikumpulkan dengan cara pen-
catatan, foto kopi, pengadaan literature dan
unduhan melalui internet. Bahan dari hasil
studi perpustakaan diinvetarisasi.
diklarifikasi dan dipilah-pilahkan setelah
dila-kukan editing sesuai dengan rumusan
masalah yang ada dan sesuai dengan bab
dan sub bab yang ada.
Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang telah
dikumpulkan dan dkelola sesuai rumusan
masa- lah, kemudian dilakukan analisis
secara kualitatif dan dideskripsikan dengan
meng- gunakan pola pikir yang runtun dan
runtut. Hasil dari analisa terbut guna
memperoleh jawaban terhadap rumusan
masalah yang ada dalam penelitian hukum
berupa skripsi ini.
Pertanggungjawaban Sistematika
Sistematika merupakan perangkat
unsure yang secara teratur saling berkaitan,
sehingga membentuk suatu totalitas. Dalam
sistematika hasil penelitian hukum ini
diklasifikasikan atau digelongkan terdiri dari
bab II dan bab III merupakan bab isi hasil
dari pembahasan penelitian ini. Bab IV
merupakan bab hasil kesimpulan dari inti sari
bab isi yang terdapat dalam bab II dan bab
III.
Bab I merupakan pendahuluan yang
memaparkan mengenai situasi-situasi yang
latar belakang permasalah yang hasilnya
berupa rumusan masalah. Dalam bab ini juga
dipaparkan mengenai penjelasan judul,
alasan pemilihan judul, tujuan dan manfaat
penelitian dan metode penelitian. Dalam
metode penelitian akan dipaparkan mengenai
pendekatan masalah, sumber bahan hukum,
prosedur pengumpulan dan pengelolaan
bahan hukum dan analisis bahan hukum. Bab
ini diakhiri dengan paparan mengenai
pertanggungjawaban sistematika yang
memaparkan mengenai pertang-
gungjawaban dalam meletakan tata urutan
atau sitematika penulisan hasil penelitian
hukum berupa skripsi ini.
Bab II memaparkan mengenai
prinsip-prinsip perjanjian jual beli tiket
kereta api melalui media on lin, baik yang
menyangkut mengenai prinsip-prinsip
perjanjian dalam kontrak elektronika yang
dibuat melalui sistem elektronika, dan
prinsip-prinsip transaksi tiket kereta api
melalui media online. Hasil dari paparan ini
merupakan jawaban terhadap rumusan
masalahan yang terdapat dalam rumusan
masalah pertama penelitian ini.
Bab III memaparkan mengenai upaya
hukum yang dapat dila-kukan konsumen
akibat P.T. Kereta Api Indonesia
wanprestasi, baik menyangkut perlindungan
konsumen dalam transaksi tiket kereta api
melalui online dan tanggut gugat P.T. Kereta
Api akibat wanprestasi dalam transaksi tiket
kereta api melalui media online. Hasil dari
paparan ini merupakan jawaban terhadap
rumusan masalah yang terdapat dalam
rumusan kedua penelitian ini.
Bab IV memaparkan mengenai
penutup berisi kesimpulan dan saran.
Kesimpulan pertama berasal dari inti sari
hasil pembahasan rumusan masalah
pertama, dan kesimpulan kedua berasal
dari inti sari hasil pembahasan rumusan
masalah kedua dalam penelitian ini. Hasil
kesimpulan pertama kemudian diberikan
rekomendasi berupa saran pertama, dan
hasil kesimpulan kedua kemudian diberikan
rekomendasi berupa saran kedua, yang
semuanya merupakan satu kesatuan dalam
penelitian dan penulisan hukum berupa
skripsi ini.
PRINSIP-PRINSIP
PERJANJIANDALAM TRANSAKSI
TIKET KERETA API MELALUI
MEDIA ON LINE
Prinsip-prinsip Perjanjian Dalam
Kontrak Elektronika
Perjanjian merupakan “suatu
hubungan hukum kekayaan/harta benda
antara dua orang atau lebih yang memberi
kekuatan hak pada satu pihak untuk
memperoleh prestasi dan sekaligus pada
pihak lain untuk menunaikan prestasi”.6
Dari pengertian ini, unsure-unsur perjanjian
adalah hubungan hukum, yang menyangkut
hukum harta kekayaan, antara dua orang
atau lebih, yang memberi hak pada satu
pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang
suatu prestasi. Dengan demikian, dalam
perjanjian, merupakan perbuatan hukum
yang menimbulkan hubungan hukum
terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak
lain untuk memperoleh prestasi, sedangkan
pihak yang lainnya menyediakan diri
dibebani dengan kewajiban untuk
menunaikan prestasi. Jadi, satu pihak
memperoleh hak dan pihak lainnya
memikul kewajiban menyerahkan atau
memenuhi prestasi.
Perjanjian diatur dalam Buku III
KUH Perdata , berjudul “Perihal Perikatan”.
Buku III tersebut, menganut prinsip
“kebebasan” dalam hal membuat perjanjian.
Prinsip ini dapat disimpulkan dari Pasal
6 M. Yahya Harahap, Segi-segi HUkum
Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 6
1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan
“semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”. Dari pasal tersebut,
dapat dimaknai bahwa tiap perjanjian yang
dibuat mengikat bagi ke dua belah pihak.
Begitu juga dari ketentuan pasal tersebut
dapat disimpulkan bahwa orang leluasa untuk
membuat perjanjian apa saja, asal tidak
melanggar undang-undang, ketertiban umum,
kesusilaan dan kepatutan. Prinsip-prinsip
kebebasan, kekuatan mengikat, kesepakatan
para pihak, keseimbangan, terdapat dalam
pelaksanaan perjanjian.
Sistem pengolahan data secara
elektronik (electronic data processing
systems) berkembang sejak tahun 1996, yang
diatur dalam UNCITRAL Model Law On
Electronic Commerce. Dari perkembangan
ini, dapatlah terlihat bahwa pengolahan data
yang semula hanya dilakukan dengan tangan,
dengan cara menulis, dan yang disajikan
dalam bentuk tulisan tangan, dalam
perkembangannya terakhir dapat diperoleh
secara systems, yaitu, dalam terminal
computer, baik dalam bentuk print out atau
visual display dan voice output. Semakin
berkembangnya computer, maka dicari
definisi mengenai computer dan electronic
data processing systems.
J.M. van Oorschof memberikan
pengertian “computer adalah sekelompok
mesin yang dalam suatu kerja sama dan
koordinasi ada di bawah control program
yang dimasukkan ke dalam memorinya”.7Di
sisi lain, Richard W. Lort memberikan
definisi “computer sebagai peralatan
elektronik, yang dapat menerima data,
melakukan jenis perhitungan dan keputusan
di dalamnya, dan menghasilkan jawaban.
Semua fungsi ini dilakukan di bawah control
suatu program yang dimasukkan”.8
Komputer sebagai elektronik, dalam
perkembangannya begitu pesat, digunakan
sebagai sarana kontrak elektronik, karena
adanya manfaat kontrak dagang elektronik
7 Heru Supraptomo, Hukum dan Komputer,
Alumni, Bandung, 1996, hlm. 24.
8 Ibid.,
(e-commerce). Dengan kontrak dagang
elektronik tersebut, “diharapkan dapat
menekan biaya barang dan/atau jasa, juga
meningkatkan kepuasan konsumen
sepanjang yang menyangkut kecepatan
untuk segera mendapatkan barang dan/atau
jasa yang dibutuhkan dengan kualitas yang
terbaik sesuai harganya”.9
Komponen dari kontrak dagang
elektronika tersebut, menurut Mariam
Dairus Badrulzaman, yaitu a. ada kontrak
dagang; b. kontrak itu dilaksanakan dengan
media elektronik (digital); c. kehadiran fisik
dan para pihak tidak diperlukan; d. kontrak
itu terjadi dalam jaringan publik; e.
sistemnya terbuka, yaitu, dengan internet
atau www; dan f. kontrak itu terlepas dari
batas yurisdiksi nasional”.10 Kontrak
dagang elektronik, dalam perkembangannya
dikenal dengan e-contract (electronic
contrak), atau kontrak elektronik, atau
kontrak online.
Menurut Mariam Darus
Badrulzaman, secara umum telah dapat
diterima yang dimaksud dengan “kontrak
adalah perjanjian tertulis. Bentuk suatu
perjanjian adalah bebas (vormvrij) dapat
lisan atau tertulis. Dengan asas (prinsip)
yang bebas ini, maka dapat diterima oleh
hukum perjanjian kita, bentuk elektronik,
internet, e-mail, fax, dan lain-lain”.11
Kontrak dagang elektronika terletak dalam
bidang hukum perdata. Kontrak dagang
elektronika sebagai subsistem dari hukum
perjanjian, menurut Mariam Darus
Badrulzaman, maka “kontrak dagang
elektronika memiliki asas-asas (prinsip-
prinsip) yang sama dengan hukum
perjanjian …”.12
Kontrak elektronika merupakan
perhubungan hukum, di mana para pihak
yang melakukan hubungan dijamin oleh
9 Mariam Darus Badrulzaman, Kontrak
Dagang Elektronika, Tinjauan Dari Aspek Hukum
Perdata, dalam Kompilasi Hukum Perikatan, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 269
10 Ibid., hlm. 264.
11 Ibid.,
12 Ibid., hlm. 262
hukum atau undang-undang. Hubungan
hukum ialah hubungan yang terhadapnya,
hukum menekankan hak pada satu pihak dan
menekankan kewajiban pada pihak lainnya.
Apabila satu pihak tidak mengindahkan
ataupun melanggar hubungan tadi, lalu
hukum memaksakan supaya hubungan
tersebut dipenuhi ataupun dipulihkan
kembali. Apabila salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya, maka hukum
memaksakan agar kewajiban tadi dipenuhi.
Perhubungan hukum para pihak melahirkan
suatu perikatan.
Menurut R. Subekti yang dinamakan
perikatan adalah “suatu perhubungan hukum
antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan
mana pihak yang satu berhak menuntut
sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak
yang lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu”.13 Dengan demikian, terdapat 3
(tiga) istilah, yaitu, kontrak, perjanjian dan
perikatan. Perikatan atau kontrak adalah
“istilah untuk hubungan hukum antara para
pihak, sedangkan perjanjian adalah istilah
untuk peristiwa hukum yang melahirkan
kontrak tersebut”.14
Perikatan dapat terjadi karena
perjanjian dan arena undang-undang. Ajaran
umum tentang perikatan yang bersumber
pada persetujuan diatur dalam Pasal 1313
KUH Perdata dan seterusnya, sedangkan
perikatan yang bersumberkan pada undang-
undang diatur dalam Pasal 1352 KUH
Perdata dan seterusnya. Pembagian tersebut
belumlah selesai, karena perikatan yang
bersumber pada undang-undang dibedakan
lagi dalam perikatan bersumber dari undang-
undang saja dan bersumber dari undang-
undang karena perbuatan manusia.
Selanjutnya, perikatan yang bersumber dari
undang-undang, karena perbuatan manusia
itu masih dibagi lagi dalam perbuatan yang
rechmatig dan perbuatan yang onrechtmatig
sebagaimana diatur dalam Pasal 1353 KUH
13 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa,
Jakarta, 2001, hlm. 1
20 R. Subekti,Op,Op-cit hlm3
14 E dmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 215
Perdata. Diephuis, Asser dan Suyling
mengatakan bahwa:
“pada hakekatnya tidak ada perbedaan
antara perikatan yang bersumber pada
persetujuan dengan perikatan yang
bersumber pada undang-undang, sebab
semua perikatan, meskipun bersumber
pada persetujuan pada hakekatnya baru
mempunyai kekuatan sebagai perikatan
karena diakui oleh undang-undang dan
karena mendapat sanctionering dari
undang-undang”.
Kontrak dalam bahasa Belanda
“contract”, berarti perejanjian; dalam kata
sehari-hari yang bukan arti menurut hukum
hukum juga aktanya sendiri”.15 Perjanjian
berasal dari kata janji, dalam istilah
Belanda, yaitu, “belofte, overeenskomst,
afspraak”:, dan dari kata tersebut, istilah
yang paling sering digunakan adalah
“overenskomst”. Arti dari “overeenskomst”,
adalah persetujuan, persetujuan kehen-dak
antara dua pihak atau lebih (KUH Perdata,
Pasal 1313). Biasanya digunakan untuk
menunjukkan apa yang dinamakan
obligatoire of verbintenis-scheppende
overeenskomst, yaitu, persetujuan yang
bertujuan menimbulkan atau mengubah
perikatan (verbintenis)”.16 Perikatan berasal
dari bahasa Belanda “verbintenis”, berarti
perikatan, menurut hukum, khusus
kewajiban dalam bidang harta kekayaan dan
kekeluargaan terhadap seseorang atau lebih,
di mana pihak mereka berhak menuntut
pemenuhannya”.17
Kontrak elektronik merupakan
perjanjian, yang melahirkan perikatan,
karena perikatan dapat lahir karena
perjanjian dan berdasarkan undang-undang.
Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 1233 KUH Perdata bahwa “Tiap-tiap
perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan, baik karena undang-undang”.
Dalam istilah per- setujuan, dalam banyak
literasi yang menggunakan istilah
15 N.E.Algra, Kamus Istilah Hukum, Fockema
Andreae, Belanda-Indonesia, Bina Cipta, Jakarta,
1983, hlm. 81.
16 Ibid., hlm. 378
17 Ibid., hlm. 609
perjanjian. Perjanjian me- nurut R. Subekti
adalah “suatu peristiwa di mana seseorang
berjanji kepada seorang lain atau di mana dua
orang itu saling berjanji untu melaksanakan
sesuatu hal”.18 Dari peristiwa itu, menurut R.
Subekti, “timbullah suatu hubungan antara
dua orang tersebut yang dinamakan
perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu
perikatan antara dua orang yang
membuatnya”.19 Kontrak elektronik adalah
suatu perjanjian, dalam bentuknya, perjanjian
itu berupa suatu rangkaian perkataan yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan
yang ditulis.
Kontrak elektronik merupakan
perjanjian, yang menerbitkan perikatan.
Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan,
karena dua pihak itu setuju untuk melakukan
sesuatu. Dapat dikatakan bahwa “dua
perikatan (perjanjian dan persetujuan) itu
adalah sama artinya. Perkataan kontrak
adalah lebih sempit karena ditujukan kepada
perjanjian atau persetujuan yang tertulis”.20
Dalam Pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan
“suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih”. Perjanjian yang di- maksud
dalam pasal tersebut merupakan obligatoir
atau perjanjian timbal balik di mana satu
pihak harus melakukan kewajiban dan pihak
lain memperoleh hak. Selain itu, pada
praktiknya masyarakat akan mengatakan
bahwa suatu perjanjian harus tertulis dan
bertanda tangan di atas materai atau kertas
segel serta harus asli.
Perjanjian akan menimbulkan suatu
perikatan yang dalam kehidupan sehari-hari
diwujudkan dalam janji atau kesanggupan
yang diucapkan atau ditulis. Hubungan
hukum yang lahir dalam perjanjian bukanlah
hubungan hukum yang lahir dengan
sendirinya, tetapi hubungan itu tercipta
karena adanya tindakan hukum yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang
berkeinginan untuk menimbulkan hubungan
hukum tersebut. Menurut Wirjono
Prodjodikoro, menyatakan bahwa “hukum
18 Ibid.,
19 Ibid.,
20 Ibid.,
B.W., tetap memandang suatu perjanjian
sebagai perhubungan hukum, di mana
seorang tertentu, berdasar suatu janji,
berwajib untuk melakukan sesuatu hal, dan
orang lain tertentu berhak menuntut
pelaksanaan kewajiban itu”.21
Kontrak elektronik adalah perjanjian,
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1
angka 17 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronika bahwa “kontrak elektronika
adalah perjanjian para pihak yang dibuat
melalui sistem elektronika”. Sistem
elektronika dalam Pasal 1 angka 5
dinyatakan bahwa “sistem elektronika
adalah serangkaian perangkat dan prosedur
elektronika yang berfungsi menyiapkan,
mengumpulkan, mengolah, menganalisa,
menyimpan, menampilkan, mengumumkan,
mengirimkan dan/atau menyebarkan
informasi elektronika”. Kontrak elektronik
merupakan perbuatan hukum yang
dilakukan dengan menggunakan computer,
jaringan computer, dan/atau media
elektronik lainnya. Kontrak elektronik
dilakukan dengan menggunan sistem
elektronika, berupa informasi elektronika.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 dinyatakan bahwa :
“Informasi elektronika adalah satu atau
sekumpulan data elektronik, termasuk
tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto,
electronic data interchange (EDI), surat
eletronik (electronic mail), telegram,
teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf,
tanda, angka, kode akses, simbol atau
perforasi yang telah diolah yang
memiliki arti atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu memahaminya”.
Kontrak elektronik adalah perjanjian,
secara umum tunduk pada Buku III tentang
Perikatan. Perjanjian merupakan salah satu
penyebab lahirnya perikatan, di samping
undang-undang. Dalam perjanjian terdapat
sistem terbuka, karena mengandung prinsip
kebebasan berkontrak (freedom of contract).
Sistem terbuka dan prinsip kebebasan
21 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum
Perjanjian, Sumur, Bandung, 1981, hlm. 12
berkontrak tersebut mengandung suatu asas
kebebasan dalam membuat perjanjian. Dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata dinyatakan
bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”. Di dalam istilah
kata semua, terkandung suatu prinsip yang
dikenal dengan partij autonomie. Partij
autonomie merupakan wewenang para pihak
untuk mengatur kepentingannya sebagai yang
dikehendaki. Wewenang para pihak untuk
mengatur kepentingannya sebagai yang
dikehendaki merupakan prinsip kebebsan
berkontrak. Prinsip tersebut dilaksanakan
berdasarkan kesepakatan para pihak, yang
merupakan prinsip konsensualisme (prinsip
kesepakatan atau consensus).
Menurut R. Subekti, dengan
menekankan pada perkataan semua, maka
“pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu
pernyataan kepada masyarakat bahwa kita
diperbolehkan membuat perjanjian yang
berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa
saja) dan perjanjian itu akan mengikat
mereka yang membuatnya seperti suatu
undang-undang”.22 Kekuatan mengikat
tersebut timbul setelah perjanjian tersebut sah
menurut hukum. Perjanjian yang dibuat
secara sah menurut hukum mempunyai
kekuatan mengikat, yang dalam perjanjian
merupakan prinsip kekuatan mengikat.
Mariam Darus Badrulzaman
mengatakan bahwa “kata semua
menunjukkan bahwa setiap orang diberi
kesemua menunjukkan bahwa setiap orang
diberi kesempatan untuk menyatakan
keinginannya (will), yang dirasanya baik
untuk menciptakan perjanjian”.23 Prinsip ini
sangat erat hubungannya dengan prinsip atau
asas kebebasan mengadakan perjanjian.
Dengan mendasarkan pada pasal dan
pendapat tersebut, maka dalam perjanjian
mengandung prinsip kebebasan berkontrak,
prinsip kekuatan mengikat, dan adanya
prinsip kepastian hukum. Prinsip kekuatan
mengikat dan kepastian hukum terdapat
bahwa perjanjian yang dibuat harus
22 Ibid., hlm 14
23 Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata
Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan,
Alumni, Bandung, 1996, hlm 113.
mengandung unsure sah dan berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak
yang membuatnya.
Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata mengandung bahwa semua
perjanjian harus dibuat secara sah. Untuk
sahnya suatu perjanjian harus memenuhi
unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1320
KUH Perdata, yang menyatakan bahwa
“untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat : 1. Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk
membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal
tertentu; 4. Suatu sebab yang halal”. Dalam
ketentuan pasal tersebut bahwa perjanjian
mengandung prinsip konsensualisme,
karena harus adanya sepakat bagi para pihak
yang mengadakan perjanjian, berarti dua
pihak sudah sah apabila sudah sepakat atau
setuju mengenai sesuatu hal. Kesepakatan
tersebut terjadi karena adanya konsesus para
pihak yang membuat perjanjian, sehingga
dalam perjanjian tersebut mengandung
prinsip konsensualisme.
Prinsip-prinsip Transaksi Tiket Kereta
Api Melalui Media Elektronika
Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang
Perkeretaapian dinyatakan bahwa “kereta
api adalah sarana perkeretaapian dengan
tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun
dirangkaikan dengan sarana perekeretaapian
lainnya yang akan atau sedang bergerak di
jalan rel yang terkait dengan perjalanan
kereta api”. Perkeretaapian dalam ayat (1)
adalah “satu kesatuan sistem yang terdiri
atas prasarana, sarana, dan sumber daya
manusia, serta norma, kreteria, persyaratan,
dan prosedur untuk penyelenggaraan
transportasi kereta api”.Tujuan
perkeretaapian sebagaimana terdapat dalam
Pasal 3 dinyatakan bahwa :“Perkeretaapian
diselenggarakan dengan tujuan untuk
memperlancar perpindahan orang dan/atau
barang secara massal dengan selamat, aman,
nyaman, cepat dan lancar, tepat, tertib dan
teratur, efisien, serta menunjang
pemerataan, pertumbuhan, stabilitas,
pendorong, dan penggerak pembangunan
nasional”. Berdasarkan pengertian ketentuan
tersebut, jelas bahwa kereta api sebagai
sarana pengangkutan untuk pemindahan
orang dan/atau barang dari satu tempat ke
tempat lain dengan menggunakan kereta api.
H.M.N. Purwosutjipto, memberikan
pengertian tentang pengangkutan
menyatakan “pengangkutan adalah perjanjian
timbal balik antara pengangkut dengan
pengirim, di mana pengangkut mengikatkan
diri untuk menyelenggarakan pengangkutan
barang dan/atau orang dari suatu tempat ke
tempat tujuan tertentu dengan selamat,
sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk
membayar uang angkutan”.24 Pengangkutan
merupakan perjanjian timbal balik, pada
mana pihak pengangkut mengikat diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang
dan/atau orang ke tempat tujuan tertentu. Inti
dari pengangkutan orang, yang terdapat
dalam inti perjanjian adalah pengangkut
berkewajiban untuk mengangkut
orang/penumpang dengan cara aman atau
selamat sampai ke tempat tujuan. Kewajiban
pengirim atau penumpang adalah membayar
uang angkutan sebagai kontra prestasi dari
penyelenggaraan pengangkutan yang
dilakukan oleh pengangkut. Dengan
membayar uang angkutan tersebut, pengirim
atau penumpang diberi alat bukti berupa
karcir atau tiket.
Menurut sistem hukum Indonesia,
“pembuatan perjanjian pengangkutan tidak
disyaratkan harus tertulis, cukup dengan
lisan, asal ada persetujuan kehendak
(consensus}”.25 Ini merupakan prinsip yang
bersifat keperdataan dalam pengangkutan
dengan kereta api adalah prinsip
konsensualisme, kesepakatan kehendak, dan
terjadi karena kebebasan berkontrak, serta
prinsip keseimbangan atau proporsional para
pihak dalam perjanjian pengangkutan dengan
kereta api, Pengangkutan merupakan
perjanjian timbal balik, menyangkut
kewajiban dan hak para pihak, yang
dilakukan dengan prinsip proporsional
(prinsip keseimbangan), merupakan prinsip
24 H. M. N. Purwosutjipto, Pengertian
Pokok Hukum Dagang Indonesia, Hukum Pengang-
kutan, Jilid 3, Djambatan, Jakarta, 1995, hlm 2
25 Ibid., hlm. 10
bahwa harus ada keseimbangan tertentu
antara penimbulan kerugian dari tata hukum
dan pembela- annya terhadap itu oleh tata
hukum itu.
Dalam penyelenggaraan angkutan
kereta api, sebagaimana diatur dalam Pasal
132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2007 bahwa “penyelenggara sarana
perkeretaapian wajib mengangkut orang
yang telah memiliki karcis”. Karcis sesuai
ayat (3) merupakan tanda bukti terjadinya
perjanjian angkutan orang”. Dalam
penjelasan ayat (3) tersebut dinyatakan
bahwa ‘yang dimaksud dengan “karcis”
adalah tanda bukti pembayaran pengguna
jasa yang berbentuk lembaran kertas,
karton, atau tiket elektronik”. Dalam
penyelenggaraan pengangkutan orang
dengan kereta api, penyelenggara sarana
perkeretaapian salah satunya wajib
mrngumumksn jadwal perjalanan kereta api
dan tariff angkutan kepada masyarakat.
Pengumuman jadwal dan tariff angkutan
kepada masyarakat dapat dilakukan di
stasiun atau media cetak atau elektronik
sebagaimana telah diatur dalam Pasal 133.
Transaksi pada umumnya berkaitan
dengan perjanjian jual beli antar para pihak
yang bersepakat untuk itu. Dalam kamus
Bahasa Indonesia, transaaksi diartikan
sebagai “persetujuan jual beli (dalam
perdagangan) antara dua pihak; pelunasan
(pemberesan) pembayaran (seperti dalam
bank)”.26Dalam istilah Belanda, kata
transaksi adalah “transactie”, berarti “pada
umunta adalah perjanjian (overeens-komst),
perbuatan (hukum) dalam perkara perdata
atau penyelesaian secara damai”.27Dalam
lingkup hukum, transaksi adalah
“keberadaan suatu perikatan ataupun
hubungan hukum yang terjadi antara para
pihak”.28 Dengan demikian, berkaitan
dengan transaksi, yang dibahas
berhubungan dengan aspek materiil
hubungan hukum yang disepakati oleh para
pihak yang berkaitan dengan perjanjian,
khususnya mengenai jual beli.
26 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Op. Cit., hlm 1070
27 N. Algra et. al., Op. Cit., hlm. 576
28 Edmon Makarim, Op. Cit., hlm. 202
Menurut R. Subekti menyatakan
bahwa “jual beli (menurut BW) adalah suatu
perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak
yang satu (si penjual) berjanji untuk
menyerahkan hak milik atas suatu barang,
sedang pihak yang lainnya (si pembeli)
berjanji untuk membayar harga yang terdiri
atas sejumlah uang sebagai imbalan dari
perolehan hak milik tersebut”.29 Dalam Pasal
1457 KUH Perdata dinyatakan bahwa “jual
beli adalah suatu perjanjian dengan mana
pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak
yang lain untuk membayar harga yang telah
diperjanjikan”. Dengan demikian, unsure
pokok dalam perjanjian jual beli adalah
barang dan harga, dan adanya penjual dan
pembeli.
Berdasarkan Pasal 1457 KUH Perdata
ini dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa
perjanjian jual-beli itu adalah perjanjian
timbal-balik, artinya masing-masing pihak
mempunyai hak dan kewajiban sebagai
akibat perjanjian yang diperbuat. Dengan
demikian, pihak penjual wajib menyerahkan
barang yang telah dijualnya dan sekaligus ia
berhak pula atas pembayaran yang diberikan
pihak pembeli. Sedangkan bagi pihak
pembeli wajib membayar harga barang yang
diserahkan oleh pihak penjual tadi. Perjanjian
jual-beli ini terjadi sejak ada kata sepakat
mengenai barang dan harga. Jadi, dengan
lahirnya kata sepakat maka lahirnya
perjanjian itu dan sekaligus pada saat itu
menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban.
Barang yang diperjanjikan belum pindah hak
miliknya sebelum dilakukan
penyerahan/lavering. Pembayaran harga
barang dalam jual-beli cara yang dilakukan
tidak ditentukan undang-undang. Sedangkan
dapat dibayar secara tunai ataupun secara
kredit dalam hal ini tergantung ketentuan
perjanjian yang dibuat oleh masing-masing
pihak.
Jual beli terjadi setelah para pihak
sepakat tentang benda dan harganya,
meskipun kebendaan itu belum diserahkan,
maupun harganya belum dibayar. R. Subekti
menyatakan bahwa “perjanjian jual beli itu
29 R. Subekti, Op. Cit., hlm. 1
sudah dilahirkan pada detik tercapainya
“sepakat” mengenai barang dan harga.
Begitu kedua belah pihak sudah setuju
tentang barang dan harga, maka lahirlah
perjanjian jual beli yang sah”.30Dalam Pasal
1458 KUH Perdata dinyatakan bahwa “jual
beli itu dianggap telah terjadi antara kedua
belah pihak, seketika setelahnya orang-
orang ini mencapai sepakat tentang
kebendaan tersebut dan harganya, meskipun
kebendaan itu belum diserahkan, maupun
harganya belum dibayar”.
Mendasarkan pada pengertian dan
terjadinya perjanjian jual beli tersebut di
atas, maka dalam jual beli terdapat prinsip
konsensualisme. Jual beli terjadi karena
“adanya konsesnsus antara penjual dan
pembeli mengenai benda dan harganya..
Kesepakatan tercapai karena adanya
kesesuaian kehendak, artinya apa yang
dikehendaki oleh yang satu adalah pula
yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua
kehendak bertemu dalam sepakat
tersebut”.31 Artinya bahwa dalam jual beli
menganut asas (prinsip) konsensus
(sepakat). Dengan adanya atau terjadinya
konsensus, maka perjanjian jual beli sudah
jadi dan mengikat bagi para pihak. Asas
atau prinsip konsensualisme tersebut
sebagaimana terdapat dalam perjanjian
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1320
dan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.
Transaksi berkaitan dengan
perbuatan hukum dalam perjanjian,
sehingga ketentuan peraturan yang
berkaitan dengan perikatan, khususnya
perjanjian yang berkaitan baik dengan
semua media kertas (paper based) maupun
dengan media elektronika (electronic
based). Transaksi dengan menggunakan
media elektronika merupakan
perkembangan baru akibat era globalisasi
dalam perdagangan yang dikenal dengan
sebutan e-commerce (electronic commerce).
Electronis commerce (e-commerce)
keberadaannya baru tahun 1996, yang diatur
dalam UNCITRAL Model Law On
Electronic Commerce with Guide to
Enactment. Richard Hill dan Walden Lan
30 Ibid., hlm. 2
31 Ibid., hlm. 3
memberikan definisi electronic commerce on
be defined as commercial activities
conducted through on exchange of
information generated, stored, or
communicated by electronical, optical, or
analogues means, including EDI, E-mail, and
so forth”.32 Selain itu, Nabil R. Adam et. al.,
memberikan definisi “electronic commerce
my be defined as the entire of process that
support commercial activities on a network
and involve information analysis”.33EDI
merupakan singkatan dari Electronic Data
Interchange. Dalam Article 2 (b) UNCI-
TRAL dinyatakan “”electronic data
interchange (EDI) means the electronic
transfer from computer to computer of
information using an agreed standard to
structure the information”.
UNCITRAL singkatan dari United
Nations Commission on International Trade,
sebagai salah satu badan Perserikatan
Bangsa-bangsa yang bergerak dalam bidang
perdagangan internasional. UNCITRAL pada
tahun 1996 melakukan upaya merumuskan
model hukum dalam electronics commerce.
Model hukum yang diper- siapkan oleh
UNCITRAL untuk merespon dan
mengantisipasi terhadap teknik-teknik bisnis
modern dengan menggunakan komunikasi
elektronik yang berbasiskan internet. Di
Indonesia, transaksi elektronik baru diatur
dengan adanya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronika, yang disahkan pada tanggal 21
April 2008, dan diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 58 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4843.
Dengan demikian, jelas bahwa dalam
pengaturan mengenai transaksi melalui
elektronika, peraturan perundangan mengenai
hal tersebut ketinggalan selama 12 (dua
belas) tahun. Transaksi melalui elektronika
dalam jual beli barang dan jasa, baru kurang
32 Richard Hill and Walden Lan, The Deals
UNCITRAL, Model Law for Electronic Commerce,
Issue and Solutions (Teaching Materials), March,
1996, dalam Edmon Makarim,, Op. Cit., hlm. 224
33 Nabil R. Adam, et. al., Electronic
Commerce : Technical, Business, and Legal Issues,
New Jersey : Prentise-Hill Inc, 1, dalam Edmon
Makarim, Op. Cit., hlm 225
lebih 5 (tahun) marak atau ramai
dilaksanakan dalam praktek. Transaksi tiket
kereta api melalui media elektronika (media
online) baru berjalan kuranglebih dalam 1
(satu) tahun.
Transaksi melalui media elektronik
merupakan hubungan hukum antar para
pihak yang dilakukan dengan cara saling
bertukar informasi (electronic data
interchange) untuk mmelakukan
perdagangan. Transaksi perdagangan
melalui media elektronik penekanannya
pada informasi yang disampaikan antar para
pihak yang dijadikan dasar untuk terjadinya
transaksi baru dapat dikatakan mengikat,
apabila ia dijamin validitasnya melalui
saluran ataupun sistem komunikasi yang
aman. Prinsip validitas dan aman, ini
terletak pada jaminan komponen dalam
sistem informasi tersebut berjalan baik,
yang mencakup keberadaan sistem
hardware, software, brainware, procedures,
dan data. Transaksi melalui media
elektronik merupakan “sistem transaksi
bentuk keterpaduan antara sistem manuasia
dengan komputernya, di mana keberadaan
sistem informasi tersebut harus dijamin
sebagai “suatu sistem yang “black box”, di
mana bekerja dengan asas “Garbage In
Garbage Out”.34
Online contract merupakan perikatan
dan/atau perjanjian melalui electronika. On
line contract merupakan “hubungan hukum
para pihak yang dilakukan secara
elektronika dengan memadukan jaringan
(networking) dari sistem informasi
berbasiskan computer (computer based
information system) dengan sistem
komunikasi yang berdasarkan atas jaringan
dan jasa telekomunikasi (telecommu-
nication based)”.35 Hubungan hukum yang
demikian ini selanjutnya difasilitasi oleh
keberadaan jaringan computer global
internet (network of network). Oleh karena
itu, “syarat sahnya perjanjian juga akan
tergantung kepada esensi dari sistem
elektronik itu sendiri”.36 Sehingga, ia hanya
dapat dikatakan sah bila dapat dijamin
34 Edmon Makarim, Op. Cit., hlm 223
35 Ibid.,
36 Ibid.,
bahwa semua komponen dalam sistem
elektronik itu dapat dipercaya dan/atau
berjalan sebagaimana mestinya”.
Transaksi tiket kereta api melalui
media elektronik atau media online
merupakan suatu perjanjian jual beli, yang
sama dengan perjanjian jual beli
konvensional, sebagaimana diatur dalam
Buku III tentang Perikatan. Prinsip-prinsip
yang dalam transaksi tiket kereta api melalui
media elektronik atau media online adalah
hampir sama dengan prinsip-prinsip yang
terdapat dalam perjanjian, dan ditambah
adanya prinsip valid dan kepercayaan sistem
electronic yang digunakan agar dijamin
aman. Timbulnya prinsip tersebut, karena
media yang digunakan dalam transaksi
melalui on line atau media elektronik, yaitu,
internet, sehingga kesepakatan yang tercipta
atau perjanjian yang tercipta melalui on line.
Prinsip konsenualisme transaksi tiket
kereta api melalui media on line timbul
karena adanya penawaran dan penerimaan.
Penawaran dan penerimaan tersebut
merupakan awal adanya kesepakatan.
Penawaran tiket kereta api dilakukan oleh
P.T. Kereta Api Indonesia (Persero) yang
bekerja sama dengan badan usaha lainnya
(vendor) melakukan penjualan tiket kereta
api melalui media electronic (media online).
P.T. Kereta Api Indonesia (Persero)
merupakan merchant atau produsen/penjual
yang bekerja sama dengan badan usaha lain
(sebagai agent/distributor penjual tiket kereta
api) yang menjual tiketnya kepada konsumen
dengan menggunakan atau memanfaatkan
sarana website dalam menjual tiket.
Penawaran atau penjualan tiket tersebut
terbuka bagi semua orang (konsumen).
Semua orang (konsumen) yang
membutuhkan tiket kereta api dapat
melakukan window shopping di took toko
online, dan apabila terdapat konsumen yang
membutuhkan dan tertarik dapat melakukan
transaksi. Dari transaksi tersebut, prinsip
yang ada dalam transaksi tiket kereta api
melalui media elektronika adalah transparan,
kepercayaan, dan konsensualisme.
UPAYA HUKUM KONSUMEN
AKIBAT P.T. KERETA API
INDONESIA WANPRESTASI DALAM
TRANSAKSI TIKET KERETA API
MELALUI MEDIA ONLINE
Perlindungan Konsumen Dalam
Transaksi Tiket Kereta Api Melalui
Media OnLine
Hukum sebagai kumpulan peraturan
atau kaedah mempunyai isi yang bersifat
umum dan normative, umum karena berlaku
bagi setiap orang, dan normative karena
menentukan apa yang seyogyanya
dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan
atau harus dilakukan serta menentukan
bagaimana caranya melaksanakan
kepatuhan pada kaedah-kaedah. Hukum
bertugas “menciptakan kepastian hukum,
karena bertujuan ketertiban masyarakat.
Pelaksanaan dan penegakan hukum harus
memberi manfaat dan/atau kegunaan
masyarakat. Dalam pelaksanaan dan
penegakan hukum harus adil”.37 Soerjono
Soekanto, memberikan cirri-ciri hukum
bahwa “ hukum bertujuan untuk
menciptakan keseimbangan di antara
kepentingan- kepentingan yang terdapat
dalam masyarakat, hukum mengatur
perbuatan manusia secara lahiriah; dan
hukum dijalankan oleh badan-badan yang
diakui oleh masyarakat sebagai badan
pelaksana hukum “.38
Perlindungan hukum berkaitan
dengan perlindungan hak. Hak ini bertumpu
dan bersumber dari konsep pengakuan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Allen merumuskan “ hak itu sebagai suatu
kekuasaan berdasarkan hukum yang
dengannya seseorang dapat melaksanakan
kepentingannya “.39 Jhering memberikan
definisi hak itu adalah kepentingan yang
dilindungi oleh hukum. Holland melihat “
37 Sudikno Mertokusumo, Bab-bab tentang
Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993,
hlm.2
38 Soerjono Soekanto, Beberapa
Permasalahan Hukum Dalam Kerangka
Pembangunan Di Indonesia, Yayasan Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta, 1980, hal. 75.
39 Ibid.,
hak itu sebagai kemampuan seseorang untuk
mempengaruhi perbuatan atau tindakan
seseorang tanpa menggunakan wewenang
yang dimilikinya, tetapi didasarkan atas suatu
paksaan masyarakat yang terorganisasi “.40
Pengertian perlindungan hukum bagi
konsumen berkaitan dengan rumusan
terhadap perlindungan konsumen. Istilah
konsumen mengandung pengertian setiap
orang pengguna atau pemakai barang
dan/atau jasa. Pengertian konsumen secara
yuridis, diatur dalam Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya
disingkat Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999) dinyatakan bahwa “ konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan “. Secara spesifik, pengertian
konsumen dijelaskan dalam Penjelasan Pasal
1 angka 2 menyatakan :
“ Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal
konsumen akhir dan konsumen antara.
Konsumen akhir adalah pengguna atau
pemanfaat akhir dari suatu produk,
sedangkan konsumen antara adalah
konsumen yang menggunakan suatu
produk sebagai bagian dari proses
pruduksi suatu produk lainnya.
Pengertian konsumen dalam undang-
undang ini adalah konsumen akhir “.
Norma-norma perlindungan terhadap
konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 dalam Pasal 1 angka 1 tentang
pengertian perlindungan konsumen, adalah
“segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen”.
Perlindungan konsumen berarti menjamin
adanya kepastian hukum, merupakan benteng
bagi konsumen untuk meniadakan tindakan
sewenang-wenang dari pengusaha/pelaku
usaha yang merugikan konsumen.
Perlindungan konsumen berkaitan dengan
norma-norma atau asas-asas yang bersifat
mengatur dan melindungi kepentingan
40 Ibid.,
konsumen.
Prinsip-prinsip dalam perlindungan
konsumen terdapat dalam ketentuan
Pasal 2 dinyatakan bahwa “perlindungan
berasaskan manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan, dan keselamatan
konsumen, serta kepastian hukum.
Penjelasan pasal tersebut menyatakan
bahwa perlindungan konsumen diseleng-
garakan sebagai usaha bersama berdasarkan
lima asas yang relevan dalam pembangunan
nasional, yaitu:
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk
mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam menyelenggarakan
perlindungan konsumen harus
memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara
menyeluruh.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar
partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal
sehingga konsumen dan pelaku
usaha dapat memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara
adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan
untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen,
pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti materiil dan spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan
konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan
dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian,
pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan
agar pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam
menyelenggarakan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.
Kelima asas yang disebutkan dalam
pasal tersebut bila diperhatikan isinya dapat
dibagi menjadi tiga asas yaitu:, asas
kemanfaatan yang di dalamnya meliputi
asas keamanan dan keselamatan konsumen.
Asas keadilan yang di dalamnya meliputi
asas keseimbangan dan asas kepastian
hukum41. Tujuan perlindungan konsumen
diatur dalam Pasal 3 untuk ::
a. Meningkatkan kesadaran,
kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat
konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan
konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-
haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan
konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan
informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku
usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggungjawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang
dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang
dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, dan keselamatan
konsumen.
Tujuan perlindungan konsumen yang
ada tersebut adalah sasaran akhir yang harus
dicapai dalam melaksanakan pembangunan
di bidang hukum perlindungan konsumen.
Perlindungan hukum berkaitan dengan hak.
Perlindungan hukum bagi konsumen berarti
perlindungan terhadap hak-hak konsumen.
Perlindungan terhadap hak-hak konsumen
berarti menyangkut upaya hukum bagi
konsumen apabila hak-hak konsumen
dilanggar, sehingga hal ini berkaitan dengan
masalah claim (tuntutan). Hak-hak konsumen
diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal
4 undang-undang ini mengatur dan merinci
hak-hak konsumen, yaitu :
41 Ahmadi dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hal.
26.
a. hak atas kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih dan mendapatkan
barang dan/atau jasa sesuai dengan
nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang dan/atau
yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan
pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan konpensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang
diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan
lainnya
Adanya suatu hak tentunya terdapat
juga kewajiban, begitu juga adanya hak
konsumen, tentunya terdapat kewajiban
konsumen. Kewajiban konsumen dirinci
dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1998 meliputi :a. membaca atau
mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang
dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan; b. beritikat baik dalam
melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan
nilai tukar yang disepakati; dan d.
mengikuti upaya penyelesaian hukum
sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
Hak dan kewajiban konsumen
tersebut berkaitan dengan konsumen
pengguna jasa angkutan kereta api. Hak dan
kewajiban berkaitan dengan kereta api
diatur secara khusus dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2007 tentang
Perkerataapian. Kedudukan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen sebagai peraturan yang umum,
yang dalam penjelasan umum dinyatakan
bahwa Undang-Undang tentang Perlindungan
Konsumen ini merupakan payung yang
mengintegrasikan dan memperkuat
penegakan hukum di bidang perlindungan
konsumen. Perlindungan konsumen
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka
1 undang-undang ini adalah “segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada
konsumen”.
Sebagaimana telah diuraikan di atas
bahwa transaksi tiket kereta api berkaitan
dengan perjanjian jual beli, di mana terdapat
perbuatan yang dinamakan menjual, dan
terdapat pihak yang dinamakan membeli.
Pihak yang menjual (penjual) adalah P.T.
Kereta Api Indonesia, sedangkan pihak yang
membeli (pembeli) adalah masyarakat atau
yang dinamakan konsumen. Objek yang
dijadikan transaksi adalah jasa pelayanan
angkutan melalui kereta api, yang
diselenggarakan oleh P.T. Kereta Api
Indonesia (selaku pelaku usaha), sedangkan
masyarakat selaku konsumen sebagai
pengguna jasa angkutan melalui kereta api,
sampai ke tempat tujuan tertentu, dengan
membayar sejumlah uang tertentu sesuai
yang disepakti dengan pelaku usaha (P.T.
Kereta Api). Dengan demikian, dalam hal
tersebut prinsip kesepakatan (konsen-
sualisme) dilaksanakan dalam transaksi tiket
kereta api antara pelaku usaha (P.T. Kereta
Api Indonesia) dengan masyarakat pengguna
kereta api (konsumen).
Prinsip konsensualisme itu terdapat
dalam transaksi tiket kereta api sebagai salah
satu bentuk perjanjian dalam jual beli.
Prinsip konsensualisme jual beli tiket kereta
api tersebut secara umum ditegaskan dalam
Pasal 1458 KUH Perdata yang berbunyi “jual
beli dianggap sudah terjadi antara kedua
belah pihak seketika setelah mereka
mencapai sepakat tentang barang dan harga,
meskipun barang itu belum diserahkan
maupun harganya belum dibayar”. Prinsip
konsensualisme tersebut merupakan syarat
sahnya suatu perjanjian yang secara umum
terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata
yang mengatur syarat sahnya perjanjian,
yang unsure-unsurnya terdiri dari 1) sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya; 2)
kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) suatu hal tertentu; dan 4) suatu sebab
yang halal. Pernyataan sepakat tersebut
“dinyatakan oleh ke dua belah pihak dengan
mengucapkan setuju atau dengan bersama-
sama nenaruh tanda tangan di bawah
pernyataan tertulis sebagai tanda bukti
bahwa kedua belah pihak telah menyetujui
segala apa yang tertera dalam tulisan
itu”,42Oleh karena itu, dalam transaksi tiket
kereta api bilamana sudah mencapai
kesepakatan, maka sahlah sudah transaksi
tiket kereta api antara P.T. Kereta Api
Indonesia dengan konsumen, dan mengikat
atau berlaku sebagai undang bagi mereka
yang membuatnya sebagaimana dinyatakan
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.
Dalam transaksi jual beli dengan
menggunakan komunikasi teknologi (media
on line) keberadaan transaksi dipahami
sebagai suatu perikatan atau perjanjian,
dan/atau sebagai hubungan hukum antar
pihak yang dilakukan dengan cara bertukar
informasi. Informasi yang disampaikan
dijadikan dasar untuk terjadinya transaksi,
seperti halnya dalam transaksi tiket kereta
api melalui media online. Terjadinya
kesepakatan dalam transaksi tiket kereta api
melalui on line diawali dengan adanya
penawaran oleh P.T. Kereta Api Indonesia,
kemudian dilanjutkan dengan adanya
tanggapan berupa penerimaan oleh pihak
lain, maka akan terjadi transaksi atau
kesepakatan. Kesepakatan dalam perjanjian
tersebut tidak diberikan secara langsung
(tatap muka), melainkan melalui media
elektronik (media online), dalam hal ini
adalah melalui internet.
Sahnya perjanjian dalam jual beli
atau transaksi tiket kereta api antara penjual
(P.T. Kereta Api Indonesia) dengan pembeli
(konsumen), menimbulkan atau melahirkan
hak dan kewajiban para pihak. Kewajiban
42 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni,
Bandung, 1982, hlm. 5
P.T. Kereta Api Indonesia adalah
menyelenggarakan pengangkutan barang
dan/atau orang sampai ke tempat tujuan
tertentu dengan selamat. Kewajiban P.T.
Kereta Api Indonesia berkewajiban
mengangkut barang dan/atau orang sesuai
dengan tujuan yang diberikan sesuai dengan
kesepakatan. P.T. Kereta Api Indonesia
berkewajiban mengangkut penumpang
dan/atau barang yang telah memenuhi syarat
umum angkutan. Kewajiban pokok P.T.
Kereta Api Indonesia mengangkut
penumpang dan/atau barang serta
menerbitkan dokumen angkutan sebagai
imbalan haknya memperoleh pembayaran
biaya angkutan.
Kewajiban P.T. Kereta Api Indonesia
sebagai penyelenggara sarana perkeretaapian
mengadakan pengangkutan orang dengan
kereta api dilakukan dengan menggunakan
kereta sebagaimana diatur dalam Pasal 130
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007
tentang Perkerataapian. Dalam keadaan
tertentu P.T. Kereta Api Indonesia sebagai
penyelenggara sarana perkeretaapian dapat
melakukan pengangkutan orang dengan
menggunakan gerbong atas persetujuan
pemerintah atau pemerintah daerah. Keadaan
tertentu dimaksud adalah dalam keadaan
darurat, bencana alam, atau jumlah orang
yang jauh di atas jumlah rata-rata orang yang
diangkut dan tidak tersedia kereta pada saat
itu sesuai ketentuan Pasal 130 ayat (2). P.T.
Kereta Api Indonesia wajib memperhatikan
keselamatan dan fasilitas minimal
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 130 ayat
(3). Fasilitas minimal pelayanan penumpang
antara lain tempat duduk, lampu penerangan,
kipas angin dan sekarang hampir semua
menggunakan AC, dan toilet, dan bahkan
sekarang bebas dari pedagang asongan.
Kewajiban P.T. Kereta Api Indonesia
sebagai penyelenggara sarana perkeretaapian
memberikan fasilitas khusus dan kemudahan
bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di
bawah lima tahun, orang sakit, dan orang
lanjut usia sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 131 ayat (1) Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2007. Fasilitas khusus tersebut
dapat berupa pembuatan jalan khusus di
stasiun dan sarana khusus untuk naik kereta
api atau penyediaan ruang yang disediakan
khusus bagi penempatan kursi roda atau
sarana bantu bagi orang sakit yang pengang-
kutannya mengharuskan dalam posisi tidur.
Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan
tersebut, tidak dipungut biaya tambahan.
Hak P.T. Kereta Api Indonesia
berkaitan dengan pengangkutan barang
dan/atau orang sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 90 ayat (1) huruf e Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2007 adalah
menerima pembayaran dari penggunaan
prasarana perkeretaapian. Dengan demikian,
P.T. Kereta Api Indonesia dalam
penyelenggaraan sarana perkeretaapian,
wajib mengangkut orang yang telah
memiliki karcis sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 132 ayat (1). Karcis adalah
tanda bukti pembayaran pengguna jasa yang
berbentuk lembaran kertas, karton, atau
tiket elektronik. Karci merupakan tanda
bukti terjadinya perjanjian angkutan orang
sebagaiman dinyatakan dalam Pasal 132
ayat (3).
P.T. Kereta Api Indonesia sebagai
penyelenggara sarana kereta api, selain
mempunyai hak dan kewajiban, juga
mempunyai kewenangan. Kewenangan P.T.
Kereta Api Indonesia sebagai ditentukan
Pasal 136 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2007 meliputi : a. memeriksa karcis;
menindak pengguna jasa yang tidak
mempunyai karcis; c. menertibkan
pengguna jasa kereta api atau masyarakat
yang mengganggu perjalanan kereta api,
dan d. melaksanakan pengawasan dan
pembinaan terhadap masyarakat yang
berpotensi menimbulkan gangguan terhadap
perjalanan kereta api. P.T. Kereta Api
Indonesia berwenang melakukan
penindakan terhadap pengguna jasa yang
tidak memiliki karcis dengan melakukan
denda atau menurunkan penumpang di
stasiun terdekat. P.T. Kereta Api Indonesia
berwenang melakukan penertiban terhadap
pengguna jasa atau masyarakat dilakukan
bersama-sama dengan aparat keamanan.
Kewajiban konsumen sebagai
pengguna jasa kereta api adalah membayar
uang angkutan sesuai yang ditentukan
dalam kesepakatan. Kewajiban konsumen
membayar uang angkutan sebagai kontra
prestasi dari penyelenggaraan pengangkutan
yang dilakukan oleh P.T. Kereta Api
Indonesia. Kewajiban tersebut dibuktikan
dengan telah memiliki karcis, sebagai tanda
bukti terjadinya perjanjian angkutan orang.
Dengan melaksanakan kewajiban tersebut,
maka konsumen berhak memperoleh
pelayanan sesuai dengan tingkat pelayanan
yang dipilih sebagaimana dinyatakan oleh
Pasal 132 ayat (2) Undang- Undang Nomor
23 Tahun 2007.
Perlindungan hukum konsumen
berkaitan dengan transaksi tiket kereta api
melalui online diatur dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Transaksi tiket kereta
api melalui media online merupakan
perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan computer, jaringan computer
dan/atau media elektronik lainnya. Transaksi
tiket kereta api melalui media on line
merupakan perjanjian antara penumpang
(konsumen) dengan pengangkut (P.T. Kereta
Api) yang dibuat melalui sistem elektronik.
Informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik dan/atau tiket kereta api elektronik
dan/atau hasil cetaknya, sesuai ketentuan
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 merupakan alat bukti hukum
yang sah. Informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik dan/ atau hasil cetaknya
merupakan perluasan dari alat bukti yang sah
sesuai dengan hukum acara yang berlaku di
Indonesia sebagaimana dinyatak dalam Pasal
5 ayat (2).
Perlindungan konsumen transaksi tiket
kereta api melalui media online berkaitan
dengan kepastian dalam melakukan upaya
hukum apabila konsumen dirugikan.
Kepastian upaya hukum yang dilakukan oleh
konsumen dalam transaksi tiket kereta api
melalui media on line diatur dalam Pasal 38
ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 dinyatakan “setiap orang dapat
mengajukan gugatan terhadap pihak yang
menyelenggarakan sistem elektronik dan/atau
menggunakan teknologi informasi yang
menimbulkan kerugian”.
Perlindungan hukum konsumen
dalam transaksi tiket kereta api melalui
media online telah dijamin kepastian
hukumnya berdasatrkan ketentuan Pasal 38
ayat (1) Undang- Undang Nomor 11 Tahun
2008. Dalam ketentuan pasal tersebut,
diatur mengenai upaya hukum dengan
mengajukan gugatan. Berkaitan dengan
upaya hukum bagi konsumen dapat
menggunakan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Dalam Pasal 19 ayat (1)
dinyatakan bahwa “pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi
atas kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan”. Yang
dimaksud konsumen sebagaimana Pasal 1
ayat (2) adalah “setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan”. Dalam penjelasan pasal
tersebut, pengertian konsumen dalam
undang-undang ini adalah konsumen akhir.
Di sisi lain, dinyatakan “konsumen akhir
adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari
suatu produk sebagai bagian dari proses
produksi suatu produk lainnya”.
Gugatan ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada Pasal 19 ayat (1), dapat
berupa pengembalian uang atau penggantian
barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara
nilainya atau perawatan kesehatan dalam
pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan yang berlaku
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19
ayat (2). Pemberian ganti rugi dilaksanakan
dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi. Di samping itu,
pemberian ganti rugi, tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidan
berdasatrkan pembuktian lebih lanjut
mengenai adanya unsure kesalahan
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19
ayat (4).
Perlindungan konsumen berkaitan
dengan upaya hukum akibat kerugian
konsumen dalam transaksi tiket kereta api
melalui media on line, telah diatur dalam
Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor
2008 juncto Pasal 19 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 sebagaimana diurakan
di atas. Kepastian hukum dalam penyelesaian
sengketa akibat kerugian konsumen
ditentukan dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 tahun 1999 dinyatakan
“setiap konsumen yang dirugikan dapat
menggugat pelaku usaha melalui lembaga
yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungan
peradilan yang berada di lingkungan
peradilan umum. Lembaga penyelresaian
sengketa konsumen tersebut, sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 23 dinyatakan
bahwa pelaku usaha yang menolak dan/atau
tidak memberi tanggapan dan/atau tidak
memenuhi ganti rugi atau tuntutan
konsumen, dapat digugat melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen atau
mengajukan ke badan peradilan di tempat
kedudukan konsumen. Tugas dan wewenang
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
dalam menyelesaikan sengketa antara pelaku
usaha dengan konsumen adalah
melaksanakan penanganan dan penyelesaian
sengketa konsumen, dengan cara melalui
mediasi, konsiliasi, dan arbitrase
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 52
huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Perlindungan konsumen dalam upaya
hukum akibat kerugian yang diderita dalam
transaksi tiket kereta api melalui media
online tidak diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2007 tentang
Perkeretaapian. Dengan tidak diaturnya
upaya hukum tersebut, maka undang-undang
tersebut tidak menjamin adanya kepastian
hukum terhadap perlindungan konsumen.
Oleh karena itu, agar kepastian hukum yang
menjamin perlindungan hukum dalam upaya
hukum, walaupun tidak diatur dalam
Undang-Undang Nomr 23 Tahun 2007,
namun kepastian hukum dalam perlindungan
konsumen dalam upaya hukum dapat
menggunakan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999. Kedudukan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen merupakan payung yang
mengintegrasikan dan memperkuat
penegakan hukum di bidang perlindungan
konsumen.
Tanggung Gugat P.T. Kereta Api Akibat
Wanprestasi Dalam Transaksi Tiket
Kereta Api Melalui Media OnLine
Transaksi tiket kereta api melalui
media on line merupakan perkembangan
dari hukum perjanjian, khususnya dengan
pembuktian. Transaksi tiket melalui media
online, merupakan perjanjian jual beli
dengan menggunakan media elektronik.
Prinsip dalam perjanjian dalam transaksi
tiket kereta api melalui media online,
berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian,
yaitu, menepati perjanjian. Menurut M.
Yahya Harahap menepati /naming berarti
“memenuhi isi perjanjian, atau dalam arti
yang lebih tinggi melunasi (betaling)
pelaksanaan perjanjian”.43 Di sisi lain,
beliau mengatakan bahwa “maksud inilah
tujuan dari setiap perjanjian, yaitu,
memenuhi dengan sempurna segala isi,
tujuan dari ketentuan sesuai dengan
kehendak yang telah disetujui oleh para
pihak:”.44
Tiket kereta api (karcis) diperoleh
oleh konsumen dengan persetujuan dengan
P.T. Kereta Api. Tiket kereta api merupakan
dokumen perjanjian, baik berupa karcis atau
dokumen elektronik, yang dibeli melalui
media on line. Alat bukti yang demikian ini
merupakan “contract binding”. Ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata bahwa setiap persetujuan
mempunyai kekuatan undang-undang, bagi
kedua belah pihak dan tidak dapat dicabut
secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain.
Hal sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
1338 ayat (2) KUH Perdata bahwa “suatu
perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang oleh undang-
undang dinyatakan cukup untuk itu”.
Dalam transaksi tiket kereta api
melalui media on line, konsumen telah
melaksanakan kewajibannya dengan
43 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum
Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 51
44 Ibid.,
membayar sejumlah uang yang telah
disepakati sebagai ongkos angkutan melalui
kereta api. Di sisi lain, P.T. Kereta Api telah
menerima haknya dari konsumen
(penumpang), dan tinggal melaksanakan
kewajibannya mengangkut konsumen sampai
ke tempat tujuan dengan selamat. Artinya,
P.T, Kereta Api wajib melaksanakan atau
memenuhi perjanjian dengan baik sesuai
dengan prestasi yang telah disepakati.
Kewajiban P.T. Kereta Api wajib
dilaksanakan sebagaimana ketentuan Pasal
1234 KUH Perdata dinyatakan bahwa “tiap-
tiap perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk
tidak berbuat sesuatu”.
Konsumen tinggal menunggu haknya
saja setelah dalam transaksi tiket kereta api
melalui media on line, karena kewajibannya
telah dilaksanakan. Di sisi lain, P.T, Kereta
Api harus melaksanakan atau memenuhi
prestasi kepada konsumen, karena telah
menerima haknya dari konsumen berupa
uang atau ongkos angkutan dengan alat bukti
berupa tiket atau karcis kereta api. Kewajiban
P.T. Kereta Api, diatur secara tersendiri
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2007 tentang Perkeretaapian.
Kewajiban P.T. Kereta Api
sebagaimana diatur oleh Pasal 132 ayat (1)
Undang- Undang Nomr 23 Tahun 2007
adalah mengangkut orang (konsumen) yang
telah memiliki karcis. Karcis tersebut
merupakan tanda bukti pembayaran
pengguna jasa yang berbentuk lembaran
kertas, karton atau tiket elektronik. Informasi
elektronika dan/atau dokumen elektronika
dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti
hukum yang sah sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronika. Informasi elektronika
dan/atau dokumen elektronika dan/atau hasil
cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti
yang sah sesuai dengan hukum acara yang
berlaku di Indonesia sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 5 ayat (2). Informasi dan
dokumen elektronika tersebut merupakan
perluasan dari alat bukti surat sebagaimana
diatur dalam Pasal 164 HIR dan Pasal 1868
KUH Perdata, di mana alat-alat bukti dalam
hukum acara perdata terdiri dari bukti
tulisan, bukti dengan saksi-saksi,
persangkaan-persangkaan, pengakuan dan
sumpah.
Tanggung gugat P.T. Kereta Api
akibat wanprestasi, diatur secara tersendiri
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2007. Dalam Pasal 134 ayat (1) undang-
undang ini dinyatakan bahwa “apabila
terjadi pembatalan keberangkatan
perjalanan kereta api, penyelenggara sarana
perkeretaapian wajib mengganti biaya yang
telah dibayar oleh orang yang telah membeli
karcis”. Ganti rugi tersebut, dalam KUH
Perdata diatur Pasal 1243 menyatakan
bahwa :
‘Pergantian biaya, rugi dan bunga
karena tak dipenuhinya suatu perikatan,
barulah mulai diwajibkan, apabila si
berutang setelah dinyatakan lalai
memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya, atau jika sesuatu yang
harus diberikan atau dibuatnya, hanya
dapat diberikan atau dibuat dalam
tenggang waktu yang telah
dilampaukannya”.
Tanggung gugat P.T. Kereta Api
dilaksanakan setelah dinyatakan lalai.
Kelalaian tersebut berkaitan dengan
pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat
pada waktunya atau dilakukan tidak
menurut selayaknya yang dinamakan
dengan “wanprestasi”. Pembatan
pemberangkatan kereta api merupakan
bentuk wanprestasi. P.T. Kereta api dalam
melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian
pengangkutan orang dengan kereta api,
telah lalai, sehingga dibatalkan, dari jadwal
waktu yang ditentukan atau dalam
melaksanakan prestasi tidak menurut
sepatutnya atau selayaknya.
PT. Kereta api yang wanprestasi,
tidak perlu ada teguran dari konsumen
(penumpang) akibat pembatalan
keberangkatan kereta api, tetapi justru P.T.
Kereta api yang mengumumkan kepada
konsumen (pengguna jasa kereta api).
Kewajiban tersebut sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 133 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 200t dinyatakan
“penyelenggara sarana perkeretaapian wajib
mengumumkan kepada pengguna jasa
apabila terjadi pembatalan dan penundaan
keberangkatan, keterlambatan kedatangan,
atau pengalihan pelayanan lintas kereta api
disertai dengan alasannya”. Tanggung gugat
P.T. Kereta api diatur juga dalam Pasal 134
ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2007 menyatakan bahwa apabila dalam
perjalanan kereta api terdapat hambatan atau
gangguan yang mengakibatkan kereta api
tidak dapat melanjutkan perjalanan sampai
stasiun tujuan yang disepakati,
penyelenggara sarana perkeretaapian wajib a.
menyediakan angkutan dengan kereta api lain
atau moda transportasi lain sampai ke stasiun
tujuan, atau b. memberikan ganti kerugian
senilai harga karcis.
P.T. Kereta api dapat membatalkan
perjalanan kereta api dalam keadaan tertentu,
apabila terdapat hal-hal yang dapat
membahayakan keselamatan, ketertibanm
dan kepentingan umum sebagaima seperti
diatur dalam Pasal 136 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2007. Hal-hal yang
membahayakan keselamatan, ketertiban dan
kepentingan umum bersumber pada sarana
perkeretaapian dan di luar sarana
perkeretaapian. Bersumber pada sarana
perkeretaapian misalnya kondisi kereta api
diragukan kelaikannya dioperasikan.
Bersumber di luar sarana perkeretapian
misalnya jalur longsor dan ancaman teror.
Berdasarkan ketentuan Pasal 163 HIR
tersebut, konsumen hanya membuktikan
mempunyai karcis atau tiket atau dokumen
tiket melalui media on line saja, yang akan
mendapatkan ganti kerugian dari P.T. Kereta
Api, apabila terjadi pembatalan
keberangkatan perjalanan kereta api. Begitu
juga sebaliknya, apabila konsumen atau
penumpang yang memiliki atau membeli
karcis membatalkan keberangkatan sebelum
batas waktu keberangkatan sebagaimana
dijadwalkan melapor kepada P.T. Kereta Api,
akan mendapat pengembalian sebesar 75 %
(tujuh puluh lima persen) dari harga karcis
sesuai ketentuan yang terdapat dalam Pasal
134 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2007. Batas waktu melapor
pembatalan adalah 30 (tiga puluh) menit
sebelum keberangkatan. Sebaliknya, apabila
konsumen atau penumpang yang telah
membeli karcis membatalkan
keberangkatan dan sampai dengan batas
waktu keberangkatan sebagaimana
dijadwalkan tidak melapor kepada P.T.
Kereta Api, maka konsumen atau
penumpang tersebut tidak mendapat
penggantian biaya karcis seperti ditentukan
dalam Pasal 134 ayat (2).
Tanggung gugat P.T. Kerta Api
lainnya apabila dalam perjalanan kereta api
terdapat hambatan atau gangguan yang
mengakibatkan kereta api tidak dapat
melanjutkan perjalanan sampai stasiun
tujuan yang disepakati, P.T. Kereta Api
wajib menyediakan angkutan dengan kereta
api lain atau moda transportasi lain sampai
stasiun tujuan, atau memberikan ganti
kerugian senilai harga karcis sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 134 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007.
Prinsip pembuktian yang terdapat dalam
ketentuan tersebut adalah strict liability
merupakan “prinsip tanggung jawab tanpa
keharusan untuk membuktikan adanya
kesalahan atau dengan perkataan lain, suatu
prinsip tanggung gugat yang memandang
kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan
untuk dipermasalahkan apakah pada
kenyataanya ada atau tidak”. Prinsip strict
liability merupakan prinsip pembuktian
terbalik, bukan konsumen atau penumpang
yang wajib membuktikan, tetapi P.T. Kereta
Api yang wajib membuktikan bahwa
perjalanan kereta api terdapat hambatan
atau gangguan yang mengakibatkan kereta
api tidak dapat melanjutkan perjalanan
sampai ke tempat tujuan yang disepakati.
Dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2007 tentang Perkertaapian tidak
diatur mengenai beban pembuktian yang
dikenal dengan prinsip strict liability, atau
beban pembuktian terbalik. Beban
pembuktian terbalik tersebut diatur dalam
Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen
menyatakan bahwa “pembuktian terhadap
ada tidaknya unsure kesalahan dalam ganti
rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29,
Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban
dan tanggung jawab pelaku usaha”. Hal
tersebut menimbulkan konsekuensi hukum
bahwa PT. Kereta Api sebagai pelaku usaha
yang dapat membuktikan kerugian bukan
merupakan kesalahannya terbebas dari
tanggung jawab ganti kerugian. OIeh karena
itu, ada tidaknya hambatan atau gangguan
yang mengakibatkan kereta api tidak dapat
melanjutkan perjalanan sampai stasiun tujuan
yang disepakti adalah P.T. Kereta Api, bukan
konsumen atau penumpang.
Dalam Pasal 136 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2007 dinyatakan
bahwa penyelenggara sarana perkeretaapian
dalam keadaan tertentu dapat membatalkan
perjalanan kereta api apabila terdapat hal-hal
yang dapat membahaya-kan keselamatan,
ketertiban, dan kepentingan manusia, baik
yang bersumber dari sarana perkeretaapian
atau di luar sarana perkeretaapian. Pasal ini
mengatur tentang keadaan memaksa (force
majour). Ketentuan ini sebenarnyya
melahirkan prinsip bahwa ada atau tidaknya
kesalahan dari P.T. Kereta Api, ia tetap
bertanggung jawab terhadap keselamatan,
ketertiban dan kepentingan manusia. Namun,
dalam ketentuan pasal tersebut tidak diatur
bahwa apabila terjadi pembatalan tersebut
kompensasi yang harus ditanggung oleh P.T.
Kereta Api kepada konsumen/ penumpang
dalam bentuk apa, hal tersebut tidak diatur.
Oleh karena itu, dalam penjelasan harus
ditegaskan apabila terjadi pembatalan
perjalanan kereta api yang dilakukan oleh
P.T. Kereta Api, maka sesuai ketentuan Pasal
134 ayat (1) Undang- Undang Nomor 23
Tahun 2007, wajib mengganti biaya yang
telah dibayar oleh orang yang telah membeli
karcis. Permasalahannya adalah apabila
konsumen atau penumpang yang telah
menunggu di ruang tunggu keberangkatan
kereta api, kemudian terjadi keterlambatan
pemberangkatan kereta selama dua sampai
dengan empat jam, tanggung jawab P.T.
Kereta Api mengenai hal tersebut tidak
diatur, misalnya diberi snak (makanan ringan
atau makan). Oleh karena itu, mengenai hal
tersebut perlu diatur dalam peraturan
pelaksanaan lainnya agar lebih melindungi
konsumen atau penumpang, dan
meningkatkan P.T. Kereta Api dalam
bertanggung jawab dan kehati- hatian dalam
penyelenggaraan perkeretaapian.
Kesimpulan
1. Prinsip kontrak dalam transasksi
tiket kereta api melalui on line,
tetap bertumpu dan berpijak pada
prinsip-prinsip dalam hukum
perjanjian yang tetrdapat dan diatur
dalam Bukum III tentang Perikatan
KUH Perdata, yan fundamental
dalam prinsip-prinsip kontrak tiket
kereta api melingkupi prinsip
kebebasan berkontrak, prinsip
konsensualisme, dan prinsip
kekuatan mengikat. Prinsip-prinsip
lain di luar dari prinsip-prinsip
tersebut seperti prinsip
transparansi, prinsip keseimbangan
(proporsionalitas), prinsip
kepastian hukum, prinsip
kepercayaan, dan prinsip itikad
baik (prinsip moral). Prinsip-
prinsip tersebut berlaku dalam
kontrak dalam transaksi tiket kereta
api melalui media on line, karena
kontrak tersebut dilakukan dengan
menggunakan elektronik, yang
dinamakan kontrak elektronik yang
merupakan perjanjian para pihak
yang dibuat melalui sistem
elektronik.
2. Dalam transaksi tiket kereta api
melalui media on line, apabila P.T,
Kereta Api wanprestasi, terdapat
kepastian hukum yang menjamin
terhadap hak-hak konsumen yang
dirugikan. Upaya hukum yang
dilakukan dapat dilakukan melalui
gugatan melalui pengadilan
dan/atau di luar pengadilan, yang
beban pembuktian dilakukan oleh
pelaku usaha (P.T. Kereta Api).
Jaminan kepastian hukum dalam
hal P.T. Kereta Api wanprestasi,
wajib bertanggung gugat
mengganti biaya yang telah dibayar
oleh konsumen yang telah membeli
karcis dan/atau menyediakan
angkutan dengan kereta api lain
atau moda transportasi lain sampai
stasiun tujuan, Tanggung gugat
wanprestasi P.T. Kereta Api apabila
terjadi pembatalan keberangkatan
perjalanan kereta api dan apabila
terjadi hambatan atau gangguan
yang mengakibatkan kereta api tidak
dapat melanjutkan perjalanan
sampai stasiun yang disepakati.
Saran
1. Dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
belum terdapat ketentuan yang
mengatur tentang penyelesaian
sengketa antara konsumen atau
penumpang atau pengirim barang,
sehingga perlu aturan tersendiri
berupa peraturan pelaksana undang-
undang tersebut, yang mengatur
mekanisme penyelesaian sengketa
antara konsumen atau penumpang
atau pengirim barang dengan P.T.
Kereta Api sebagai penyelenggara
sarana perkeretaapian.
2. Dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2007 tentang Perkeretaapin,
belum mengatur mekanisme
pergantian pemberian ganti rugi. Hal
tersebut diperlukan pengaturannya,
karena dalam transaksi tiket kereta
api media online, pelaksanaannya
ada yang dilakukan tidak secara
langsung dengan P.T. Kereta Api,
tetapi dapat melalui pelaku-pelaku
usaha yang ditunjuk atau kerja sama
dengan P.T. Kereta Api.
Recommended