View
51
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
hubungan ISPA dan demam pada anak balita
Citation preview
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Febris atau yang biasa disebut dengan demam merupakan suatu keadaan suhu tubuh
diatas batas normal biasa, yang dapat disebabkan oleh kelainan dalam otak sendiri atau oleh
zat toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu, penyakit-penyakit bakteri, tumor otak
atau dehidrasi. Tidak hanya pada pasien anak-anak, tetapi pada pasien dewasa maupun lansia
febris juga dapat sering terjadi tergantung dari sistem imun. Febris pada anak tidak ada
perbedaan insidens dari segi ras atau jenis kelamin.
Pasien dengan gejala febris dapat mempunyai diagnosis definitif bermacam-macam
atau dengan kata lain febris merupakan gejala dari banyak jenis penyakit. Febris dapat
berhubungan dengan infeksi, penyakit kolagen, keganasan, penyakit metabolik maupun
penyakit lain.
UNICEF (2012) telah memainkan peranan yang besar dalam memperingatkan dunia
mengenai beban yang sangat berat akibat penyakit dan kematian yang dialami oleh
anak – anak di dunia. Bagaimanapun, dalam beberapa dekade penanganan masalah ini
diperkirakan bahwa di seluruh dunia 12 juta anak mati setiap tahunnya akibat penyakit
dan malnutrisi yang paling sering gejala awalnya demam.1
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Valerie D’Acremont dkk dari Department
of Ambulatory Care and Prevention, Harvard Medical School (2000), terdapat 19-30%
anak balita yang berkunjung ke dokter mengeluh demam. Sebagian besar demam
berhubungan dengan infeksi yang dapat berupa infeksi lokal atau sistemik.2
Menurut Riset Kesehatan Dasar Indonesia (2013), penyebab morbiditas tertinggi
pada anak balita seluruh Indonesia adalah infeksi saluran pernapasan akut yakni sebanyak
86 dari 100 balita yang diikuti oleh demam yang tidak diketahui sebabnya yakni sebesar
41 dari 100 balita kemudian diikuti dengan diare dan gastroenteritis sebesar 33 dari 100
balita.3
1
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mariati U, dkk dalam Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional (2011), penyebab kematian anak balita di Sumatera Barat adalah
demam sebesar 18,9%, kejang 13,5%, diare 10,8% dan gizi buruk 5,4%.4
Saat ini belum ada penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian demam pada anak balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2. Tingginya angka
kejadian demam pada anak balita yang datang untuk berobat di Puskesmas Jatipulo 2
jumlahnya lebih dari 30% dari total anak balita yang datang ke Puskesmas untuk berobat.
Oleh karena itu dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian demam pada anak balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo II Kecamatan Palmerah
Jakarta Barat.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 UNICEF (2012) telah memperkirakan dalam beberapa dekade terakhir, di seluruh
dunia 12 juta anak mati setiap tahunnya akibat penyakit dan malnutrisi, dimana
gejala awal yang paling sering adalah demam.
1.2.2 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Valerie D’Acremont, dkk dari Department
of Ambulatory Care and Prevention, Harvard Medical School (2000), terdapat 19-
30% anak balita yang berkunjung ke dokter mengeluh demam. Sebagian besar
demam berhubungan dengan infeksi yang dapat berupa infeksi lokal atau sistemik.
1.2.3 Menurut Riset Kesehatan Dasar Indonesia (2013), penyebab morbiditas tertinggi
pada anak balita seluruh Indonesia adalah infeksi saluran pernapasan akut yakni
sebanyak 86 dari 100 balita yang diikuti oleh demam yang tidak diketahui sebabnya
yakni sebesar 41 dari 100 balita kemudian diikuti dengan diare dan gastroenteritis
sebesar 33 dari 100 balita.
1.2.4 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mariati U, dkk dalam Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional (2011), penyebab kematian anak balita di Sumatera Barat adalah
demam sebesar 18,9%, kejang 13,5%, diare 10,8% dan gizi buruk 5,4%
1.2.5 Belum diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian demam pada
anak balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo II Kecamatan Palmerah Jakarta Barat.
2
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian demam pada anak balita
di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September
2015.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Diketahuinya sebaran Demam pada anak balita di Puskesmas Kelurahan
Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September 2015.
1.3.2.2 Diketahuinya sebaran Infeksi saluran pernapasan akut pada anak balita di
Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan
September 2015.
1.3.2.3 Diketahuinya sebaran Jenis kelamin, Usia dan Status Gizi pada anak balita di
Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan
September 2015.
1.3.2.4 Diketahuinya hubungan antara Jenis kelamin, Usia dan Status Gizi dengan
kejadian infeksi saluran pernapasan akut pada anak balita di Puskesmas
Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September
2015.
1.3.2.5 Diketahuinya hubungan antara Jenis kelamin, Usia dan Status gizi terhadap
kejadian demam pada anak balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2
Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September 2015.
1.3.2.6 Diketahuinya hubungan Jenis kelamin,usia, status gizi, dan Infeksi saluran
pernapasan akut dengan kejadian demam pada anak balita di Puskesmas
Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September
2015.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat bagi Peneliti
1.4.1.1. Menerapkan dan mengembangkan ilmu yang telah didapatkan saat kuliah
dan membandingkannya dengan keadaan sebenarnya dalam masyarakat.
3
1.4.1.2. Memperoleh pengalaman belajar dan pengetahuan dalam melakukan
penelitian.
1.4.1.3. Mengembangkan minat, daya nalar, dan kemampuan dalam bidang
penelitian.
1.4.1.4. Melatih kemampuan kerjasama dalam tim.
1.4.1.5. Memperoleh gambaran tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan
terjadinya demam pada anak balita pada Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2
Kecamatan Palmerah Jakarta Barat
1.4.2. Manfaat bagi Perguruan Tinggi
1.4.2.1. Mengamalkan Tridarma perguruan tinggi dalam melaksanakan fungsi atau
tugas perguruan tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan,
penelitian, dan pengabdian bagi masyarakat.
1.4.2.2. Mewujudkan UKRIDA sebagai masyarakat ilmiah dalam peran sertanya di
bidang kesehatan.
1.4.2.3. Meningkatkan saling pengertian dan kerjasama antara mahasiswa/i dan staf
pengajar.
1.4.3. Manfaat bagi Masyarakat
1.4.3.1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian demam pada anak balita.
1.4.3.2. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian demam pada anak balita.
1.5. Sasaran
Anak Balita yang datang berobat ke Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan
Palmerah Jakarta Barat bulan September 2015.
4
Bab II
Tinjauan Pustaka
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Definisi Anak Balita
Usia kronologis adalah perhitungan usia yang dimulai dari saat kelahiran seseorang
sampai dengan waktu penghitungan usia. Menurut Departemen Kesehatan (Depkes) tahun
2009, balita adalah usia 0 - 5 tahun, sedangkan anak balita adalah usia 1 - 5 tahun. Menurut
karakteristik, anak balita terbagi dalam dua kategori yaitu batita (usia 1 – 3 tahun) dan anak
usia prasekolah (>3 – 5 tahun).5
2.1.2 Demam
2.1.2.1 Definisi Demam
Menurut kamus kedokteran Stedman’s edisi ke-26, demam adalah peningkatan suhu
tubuh diatas normal (98,6o F/ 370 C). Demam merupakan respon fisiologis tubuh terhadap
penyakit yang di perantarai oleh sitokin dan ditandai dengan peningkatan suhu pusat tubuh
dan aktivitas kompleks imun. Dalam protokol Kaiser Permanente Appointment and Advice
Call Center definisi demam untuk semua umur, demam didefinisikan temperatur rektal diatas
380 C, aksilar diatas 37,50 C dan diatas 38,2o C dengan pengukuran membran timpani,
sedangkan demam tinggi bila suhu tubuh diatas 39,50 C dan hiperpireksia bila suhu diatas
41,10C.6
2.1.2.2 Epidemiologi Demam
American Academy of Pediatrics dalam Clinical Report—Fever and Antipyretic Use
in Children pada tahun 2011 menyatakan bahwa dari seluruh kunjungan anak ke tempat
pelayanan kesehatan, satu pertiga daripadanya mengeluh demam.7 Selain itu, penelitian yang
dilakukan oleh Valerie D’Acremont, dkk dari Department of Ambulatory Care and
Prevention, Harvard Medical School (2000) menemukan terdapat 19-30% anak balita yang
berkunjung ke dokter mengeluh demam.2 Penelitian ini menemukan bahwa anak-anak
berusia kurang dari 2 tahun mengalami 4 sampai 6 kali serangan sakit yang memiliki gejala
5
demam. Selain itu, demam pada anak-anak berusia kurang dari 2 tahun seringkali merupakan
manifestasi dari penyakit yang serius.
2.1.2.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Demam
Demam merupakan akibat kenaikan set point atau oleh adanya ketidakseimbangan
antara produksi panas dan pengeluarannya. Demam terjadi apabila terbentuknya pirogen
eksogen tertentu (seperti bakteri) atau pirogen endogen (Interleukin-1, Interleukin-6, tumor
necrosis factor). Zat ini bekerja pada hipotalamus dengan bantuan enzim siklooksigenase
membentuk prostaglandin. Prostaglandin ini akan melintasi sawar darah-otak dan mencapai
pusat pengaturan suhu di hipotalamus, yang kemudiannya memberikan respon dengan cara
meningkatkan suhu. Dengan set point yang telah ditentukan, hipotalamus akan mengirimkan
sinyal simpatis ke pembuluh darah perifer. Pembuluh darah akan berespon dengan cara
vasokonstriksi dan mengurangi heat loss dari kulit.6,8
Kemampuan anak untuk bereaksi terhadap infeksi dengan timbulnya manifestasi
klinis demam sangat tergantung pada umur. Semakin muda usia anak, semakin kecil
kemampuan untuk merubah set point dan memproduksi panas. Bayi kecil sering terkena
infeksi berat tanpa disertai dengan gejala demam.
Secara teoritis kenaikan suhu pada infeksi dinilai menguntungkan, oleh karena aliran
darah makin cepat sehingga oksigenasi semakin lancar. Heat shock protein (HSP) merupakan
sejenis protein yang diproduksi selama keadaan demam dan penting untuk kelangsungan
hidup sel selama stres. Protein ini memiliki efek anti-inflamasi dengan cara menurunkan
kadar sitokin pro inflamasi. Demam juga memicu aktivitas fagosit, meningkatkan efek
bakterisid neutrofil serta meningkatkan efek sitotoksik limfosit. Bakteri akan menjadi lebih
lemah dan tumbuh lebih lambat pada suhu tubuh yang lebih tinggi.8
Namun begitu, demam yang terlalu tinggi akan memacu metabolisme yang sangat
cepat, jantung dipompa lebih kuat dan cepat, dan frekuensi nafas menjadi lebih cepat.
Dehidrasi dapat terjadi akibat penguapan kulit disertai dengan ketidakseimbangan elektrolit,
yang mendorong suhu makin tinggi. Kerusakan jaringan akan terjadi bila suhu tubuh lebih
tinggi dari 410 C, terutama pada jaringan otak dan otot yang bersifat permanen. Kerusakan
tersebut dapat menyebabkan kerusakan batang otak, terjadinya kejang, koma sampai
kelumpuhan.9
Penyebab terbanyak dari demam pada anak terutama demam yang berlangsung
kurang dari tujuh hari adalah infeksi (>50%). Sedangkan demam yang bersifat non-infeksius
6
memerlukan pemeriksaan khusus, dan dipikirkan setelah kemungkinan infeksi disingkirkan.
Sebagian besar penyebab demam infeksius adalah virus (>80%), dan selebihnya disebabkan
oleh bakteri.9
Menurut World Health Organization (WHO) (2010) dalam Integrated Management of
Childhood Illness (IMCI), penyebab tersering demam pada anak adalah malaria, ISPA,
infeksi telinga, dan diare.10
Sedangkan menurut Riset Kesehatan Dasar Indonesia (2013), penyebab morbiditas
tertinggi pada anak balita seluruh Indonesia adalah infeksi, dimana penyebab utamanya
adalah infeksi saluran pernafasan akut yakni sebanyak 86 dari 100 balita, diikuti oleh demam
yang tidak diketahui sebabnya yakni sebesar 41 dari 100 balita, kemudian diikuti dengan
diare sebesar 33 dari 100 balita.2
2.1.2.3.1 Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Istilah ISPA diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections
(ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut. Infeksi
adalah masuk dan berkembang biaknya agen infeksi pada jaringan tubuh manusia yang
berakibat terjadinya kerusakan sel atau jaringan yang patologis. Saluran pernafasan adalah
organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga
telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14
hari. Dengan demikian ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang dapat berlangsung
sampai 14 hari, dimana secara klinis tanda dan gejala akut akibat infeksi terjadi di setiap
bagian saluran pernafasan tidak lebih dari 14 hari.11 ISPA bagian atas adalah infeksi yang
menyerang hidung sampai bagian faring, sedangkan ISPA bagian bawah adalah infeksi yang
menyerang mulai dari bagian epiglotis sampai ke alveolus.
Faktor yang meningkatkan morbiditas adalah anak usia di bawah 2 bulan, gizi kurang,
berat badan lahir rendah (BBLR), pemberian air susu ibu (ASI) tidak memadai, polusi udara,
kepadatan dalam rumah, dan imunisasi tidak lengkap.12
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh.
Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada
permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu
tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan
epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan. Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut
7
menyebabkan timbulnya batuk kering. Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan
menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran
nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi noramal. Rangsangan
cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal gejala
ISPA yang paling menonjol adalah batuk.13
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri.
Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan
mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga
memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti
streptococcus pneumonia, haemophilus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa
yang rusak tersebut. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah
banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga
menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya faktor-
faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat
menyebar ke tempat-tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang,
demam, dan juga bisa menyebar ke saluran nafas bawah. Dampak infeksi sekunder bakteri
bisa menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya
ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi
paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri.13
WHO (2010) memperkirakan insidens ISPA di negara berkembang adalah 15 - 20%
pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO, 13 juta anak balita di dunia meninggal
setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di negara berkembang, dimana
pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh 4 juta anak
balita setiap tahun.14 Di Indonesia, ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab
kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10
penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun
2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia
dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita.12
Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Van Gageldonk-Lafeber dkk dari
Department of Infectious Diseases Epidemiology di Belanda (2000-2003), insidens ISPA
tertinggi adalah pada kelompok umur 1- 4 tahun, dan dari keseluruhan diagnosis ISPA
8
tersebut, sebesar 87% datang dengan keluhan demam.15 Penelitian lain yang dilakukan oleh
Valerie D, dkk dari Geneva Medical School (2008) terhadap 1005 orang balita di Afrika
menemukan sebesar 62,2% dari jumlah balita yang demam didiagnosis dengan ISPA. Dari
jumlah balita yang menderita ISPA tersebut, jumlah anak balita yang menderita ISPA tanpa
komplikasi lebih banyak yakni sebanyak 78% dibandingkan dengan anak balita yang
menderita ISPA dengan komplikasi yakni sebanyak 22%.16 Penelitian lain yang dilakukan
oleh Bryndis B (2009) dari University of Iceland menyatakan bahwa dari 454 anak balita
yang menderita ISPA, anak laki-laki lebih banyak yakni sebanyak 251 anak balita
dibandingkan dengan anak balita perempuan yakni sebanyak 203 anak balita.17
2.1.2.3.2 Diare
Diare adalah buang air besar lembek atau cair dengan frekuensinya tiga kali atau lebih
dalam sehari dapat/tanpa disertai lendir dan darah. Diare akut berlangsung kurang dari 14
hari. Diare disebabkan oleh faktor infeksi, malabsorpsi (gangguan penyerapan zat gizi),
makanan dan faktor psikologis.18
a. Faktor infeksi
Infeksi pada saluran pencernaan merupakan penyebab utama diare pada anak. Jenis-
jenis infeksi yang umumnya menyerang antara lain:18
1) Infeksi oleh bakteri : Escherichia coli, Salmonella thyposa, Vibrio cholerae (kolera),
dan serangan bakteri lain yang jumlahnya berlebihan dan patogenik seperti
pseudomonas.
2) Infeksi basil (disentri),
3) Infeksi virus rotavirus,
4) Infeksi parasit oleh cacing,
5) Infeksi jamur,
6) Infeksi akibat organ lain, seperti radang tonsil, bronchitis, dan radang tenggorokan,
7) Keracunan makanan.
b. Faktor malabsorpsi
9
Faktor malabsorpsi dibagi menjadi dua yaitu malabsorpsi karbohidrat dan lemak.
Malabsorpsi karbohidrat, pada bayi kepekaan terhadap lactoglobulis dalam susu formula
dapat menyebabkan diare. Gejalanya berupa diare berat, tinja berbau sangat asam, dan sakit
di daerah perut. Sedangkan malabsorpsi lemak, terjadi bila dalam makanan terdapat lemak
yang disebut trigliserida. Trigliserida, dengan bantuan kelenjar lipase, akan memecah lemak
sehingga siap diabsorpsi usus. Jika tidak ada lipase dan terjadi kerusakan mukosa usus, diare
dapat muncul karena lemak tidak terserap dengan baik.
c. Faktor makanan
Makanan yang mengakibatkan diare adalah makanan yang tercemar, basi, beracun,
terlalu banyak lemak, mentah (sayuran) dan kurang matang. Makanan yang terkontaminasi
jauh lebih mudah mengakibatkan diare pada anak-anak balita.
d. Faktor psikologis
Rasa takut, cemas, dan tegang, jika terjadi pada anak dapat menyebabkan diare kronis.
Tetapi jarang terjadi pada anak balita, umumnya terjadi pada anak yang lebih besar.
Gejala klinis diare adalah sebagai berikut :18
a. Tinja encer, dapat/tanpa disertai lendir atau darah
b. Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah
c. Demam
d. Lecet pada anus
e. Penurunan berat badan akibat intake (asupan) makanan berkurang
f. Muntah
g. Tanda dehidrasi (seperti ubun-ubun besar cekung, mata cekung, turgor kulit kembali
lambat).
Angka kesakitan diare di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Angka
kesakitan diare pada tahun 2006 yaitu 423 per 1000 penduduk, dengan jumlah kasus 10.980
penderita dengan jumlah kematian 277 (CFR 2,52%). Di Indonesia dilaporkan terdapat 1,6
sampai 2 kejadian diare per tahun pada balita, sehingga secara keseluruhan diperkirakan 10
kejadian diare pada balita berkisar antara 40 juta setahun dengan kematian sebanyak 200.000-
400.000 balita.19
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Valerie D, dkk dari Geneva Medical School
(2008) terhadap 1005 anak balita yang demam di Afrika menemukan sebesar 10,3% dari
jumlah tersebut didiagnosis dengan diare.16 Penelitian lain yang dilakukan oleh Titis
Widowati, dkk dari Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada/RS Drs Sardjito Yogyakarta (2012) menunjukkan bahwa dari 353 balita yang
didiagnosis dengan diare, sebanyak 35,7% mengalami demam.20
2.1.2.3.3 Otitis Media Akut (OMA)
Otitis media adalah radang telinga tengah, suatu penyakit yang paling banyak
ditemukan pada masa anak-anak, setelah mengalami infeksi saluran pernapasan. Otitis media
dapat terjadi karena :21
a. Sumbatan tuba Eustachius
Obstruksi tuba Eustachius merupakan suatu faktor penyebab dasar pada otitis media
akut. Oleh sebab itu, hilanglah sawar utama terhadap invasi bakteri karena pertahanan tubuh
pada silia mukosa tuba terganggu.
b. Perubahan tekanan udara secara tiba-tiba
c. Alergi
d. Infeksi
Kuman penyebab utama pada otitis media akut adalah bakteri piogenik seperti
Streptococcus sp., Staphilococcus aureus, Pneumococcus. Selain itu kadang-kadang
ditemukan juga Haemophillus influenza, Escherichia coli, Streptococcus anhemolitikus,
Proteus Vulgaris, dan Pseudomonas aeruginosa. Haemophillus influenza sering ditemukan
pada anak yang berusia di bawah 5 tahun.
e. Sumbatan
Sumbatan dapat berupa sekret, tampon, dan tumor.
11
Dalam prakteknya, gejala klinis OMA sesungguhnya tidak terlalu khas, namun antara lain
bisa didapati gejala seperti:22
a. Pada perjalanan yang biasa, anak yang menderita infeksi saluran pernapasan
atas beberapa hari secara mendadak menderita otalgia, demam, tidak enak
secara menyeluruh.
b. Pada bayi, gejala tersebut kurang terlokalisasi dan meliputi iritabilitas, diare,
muntah, anak gelisah dan sukar tidur, kejang-kejang, dan kadang memegang
telinga yang sakit, dan malaise serta suhu tubuh tinggi dapat sampai 38,5oC.
c. Terdapat riwayat batuk pilek.
d. Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri terdapat
pula gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang
dengar.
e. Apabila terjadi ruptur membran timpani, sekret mengalir ke liang telinga, suhu
turun, dan anak sudah lebih tenang.
Hampir 85% anak mempunyai paling sedikit episode otitis media akut pada umur 3
tahun dan 50 % anak akan mempunyai dua episode atau lebih serangan otitis media. Bayi dan
anak kecil beresiko paling tinggi untuk otitis media. Frekuensi insidennya adalah 15-20%
pada puncak usia bayi sekitar 6-36 bulan dan puncak usia anak sekitar 4-6 tahun. Anak yang
menderita otitis media pada tahun pertama mempunyai resiko rekurens atau kronis.22
Penelitian oleh Utami TF, dkk dari Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok,
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada menemukan 82% pasien mengeluh demam
sebelum muncul gejala telinga.23 Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Palandeng W,dkk
di RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, didapatkan penderita terbanyak OMA adalah anak
berusia di bawah 5 tahun, namun hanya 2% daripadanya mengeluh demam.24 Penelitian lain
yang dilakukan oleh Bakry BA,dkk dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia RS Dr. Cipto Mangunkusumo menemukan bahwa dari 100
pasien anak yang dirawat dengan demam berkepanjangan, sebesar 6% didiagnosis dengan
OMA, dimana 5% daripadanya adalah balita.25
2.1.2.3.6 Infeksi Saluran Kemih
12
Infeksi saluran kemih (urinary tract infection, UTI) adalah bertumbuh dan
berkembang biaknya kuman atau mikroba dalam saluran kemih dalam jumlah bermakna. ISK
merupakan penyakit yang relatif sering pada anak. Kejadian ISK tergantung pada umur dan
jenis kelamin.11
Demam merupakan gejala dan tanda klinik yang sering dan kadang-kadang
merupakan satu-satunya gejala ISK pada anak. Pemeriksaan tanda vital termasuk tekanan
darah, pengukuran antropometrik, pemeriksaan massa dalam abdomen, kandung kemih,
muara uretra, pemeriksaan neurologik ekstremitas bawah, tulang belakang untuk melihat ada
tidaknya spina bifida, perlu dilakukan pada pasien ISK. Genitalia eksterna diperiksa untuk
melihat kelainan fimosis, hipospadia, epispadia pada laki-laki atau sinekie vagina pada
perempuan. Pemeriksaan urinalisis dan biakan urin adalah prosedur yang terpenting.11 Oleh
sebab itu kualitas pemeriksaan urin memegang peran utama untuk menegakkan diagnosis.
American Academy of Pediatrics (AAP) membuat rekomendasi bahwa pada anak umur 2
bulan sampai 2 tahun dengan demam yang tidak diketahui penyebabnya, kemungkinan ISK
harus dipikirkan dan perlu dilakukan biakan urin.
Risiko ISK pada anak sebelum pubertas 3-5% pada anak perempuan dan 1-2% pada
anak laki. Pada anak dengan demam berumur kurang dari 2 tahun, prevalensi ISK 3-5%. Data
studi kolaboratif pada 7 rumah sakit institusi pendidikan dokter spesialis anak di Indonesia
dalam kurun waktu 5 tahun (2004-2009) memperlihatkan insidens ISK pada anak berkisar
antara 0,1%-1,9% dari seluruh kasus pediatri yang dirawat.35 Di ruang anak RSCM Jakarta,
dalam periode 3 tahun (2003-2005) didapatkan 212 kasus ISK, rata-rata 70 kasus baru setiap
tahunnya.26
Penelitian yang dilakukan oleh Valerie D, dkk terhadap 1005 orang balita yang
demam di Afrika pada tahun 2008 oleh Geneva Medical School menemukan sebesar 5,9%
daripadanya didiagnosis dengan infeksi saluran kemih.16 Penelitian lain yang dilakukan oleh
Bakry BA,dkk dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia RS Dr. Cipto Mangunkusumo tahun 2008 menemukan bahwa dari 100 pasien anak
yang dirawat dengan demam berkepanjangan, 23% daripadanya didiagnosis dengan infeksi
saluran kemih.25
2.1.2.3.7 Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
13
Pada tahun 1997, WHO Expanded Program on Imunization (EPI) merekomendasikan
vaksinasi hepatitis B pada bayi-bayi di seluruh dunia. Sejalan dengan EPI, di Indonesia
vaksin hepatitis B termasuk dalam Program Pengembangan Imunisasi (PPI) pada tahun 1997.
Vaksinasi difteri, tetanus dan pertusis (DPT) mulai dikenal di dunia pada tahun 1941. Vaksin
ini mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1976 dan merupakan vaksin PPI sejak tahun
1977. Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) kedua vaksin ini wajib diperhitungkan, apakah
reaksi akibat vaksin ini terhadap balita. KIPI pada DPwT diketahui berhubungan dengan
komponen vaksin pertusis, sedangkan KIPI pada hepatitis B minimal.27
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jong DM,dkk di RS Dr. Cipto Mangunkusumo
pada tahun 2001 menunjukkan bahwa KIPI tersering adalah demam (59,2%), diikuti dengan
rewel (31,5%) dan demam tinggi (16,1%). Gejala demam timbul pada 1-4 jam pertama
(56,7%) setelah diberi imunisasi. Lama gejala demam umumnya 1-4 jam (35,9%). Sekitar
50% dari kejadian demam tinggi (suhu > 38.0oC) timbul pada 5-12 jam setelah pemberian
vaksin kombinasi ini. Lama timbul demam tinggi 1-4 jam (36,1%).28
2.1.2.3.8 Status Gizi
Status gizi tidak berhubungan secara langsung dengan angka kejadian demam pada
balita, namun dapat berhubungan dengan kejadian penyakit infeksi. Pembentukan antibodi
dalam tubuh memerlukan protein, kalori, vitamin dan mineral. Apabila asupan gizi ini kurang
pada anak, status gizi anak menurun, sedangkan untuk melawan serangan infeksi, tubuh harus
mempunyai persediaan dan cadangan zat gizi yang cukup.11 Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Kholisah N,dkk (2008) dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS Cipto
Mangunkusumo terhadap 103 orang balita menemukan bahwa 56,3% dari balita yang
didiagnosis ISPA adalah balita dengan status gizi kurang.14
Namun hasil yang berbeda didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Sinaga
P,dkk di kecamatan Balige kabupaten Toba Samosir tahun 2014 terhadap 61 orang balita,
dimana hasil menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan
kejadian ISPA pada balita.29
2.1.2.3.9 Usia
14
Secara teoritis, kemampuan anak untuk bereaksi terhadap infeksi dengan timbulnya
manifestasi klinis demam sangat tergantung pada usia. Semakin muda usia anak, semakin
kecil kemampuan untuk merubah set point dan memproduksi panas. Terdapat beberapa
penelitian yang telah mengkaji hubungan antara usia dengan angka kejadian penyakit.
Namun, belum ada penelitian yang mengkaji hubungan langsung antara usia dengan kejadian
demam pada anak balita. Satu penelitian yang dilakukan Valerie D,dkk (2008) di Tanzania
menemukan bahwa kejadian ISPA lebih tinggi (64%) pada kelompok umur 1 sampai 3 tahun
berbanding 56% pada anak di atas usia 3 tahun. Begitu juga dengan kejadian diare, dimana
sebesar 15% anak usia 1-3 tahun menderita diare berbanding 6% anak usia di atas 3 tahun.
Untuk kejadian infeksi saluran kemih, sebesar 6% terdiri dari anak usia 1-3 tahun sedangkan
hanya 2% anak usia di atas 3 tahun. Namun hal yang sebaliknya terjadi pada kejadian demam
tifoid dimana sebesar 22% anak berusia lebih dari 3 tahun sedangkan hanya 10% anak usia 1-
3 tahun menderita demam tifoid.16
2.1.2.3.10 Jenis Kelamin
Menurut teori imunologi, terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian
demam, dimana beberapa sitokin dan hormon gonad berpengaruh terhadap pengaturan suhu
tubuh. Studi yang dilakukan menunjukkan bahwa pada jenis kelamin perempuan, kejadian
demam yang diinduksi oleh interleukin-1B adalah lebih tinggi berbanding laki-laki. Studi ini
juga menemukan bahwa hormon estradiol dan progesteron meningkatkan kejadian demam
pada perempuan.8 Namun teori ini hanya menggambarkan kejadian demam pada perempuan
setelah usia pubertas. Pada golongan anak sebelum pubertas, tidak ada perbedaan kejadian
demam dengan jenis kelamin, karena tidak dipengaruhi oleh hormon gonad.
Kerangka Teori
15
Kerangka Konsep
16
ISPA
Jenis kelamin Usia Status gizi
DEMAM
Non Infeksi:Kejadian ikutan pasca
imunisasi
Struktur anatomi berbeda
Infeksi saluran kemih
Kemampuan merubah set point dan
memproduksi panas
Pertahanan tubuh
Diare
OMA
Malabsorpsi, keracunan makanan, stress
Bab III
17
Demam:
Subfebris Febris
ISPA: Tanpa
komplikasi Dengan
komplikasi
Jenis Kelamin
Usia
Status gizi
Metodologi Penelitian
3.1. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif dengan pendekatan cross-
sectional terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian demam pada anak balita
di Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II, Jakarta Barat, bulan September 2015.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II, Kecamatan
Palmerah, Jakarta Barat tanggal 05 Oktober 2015.
3.3. Sumber Data dan Instrumen Penelitian
Sumber data merupakan data sekunder yang diambil dari Rekam Medis anak balita
yang berobat ke Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II, Kecamatan Palmerah, bulan September
2015.
3.4. Populasi
3.4.1. Populasi Target
Semua anak balita di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II, Kecamatan
Palmerah, Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta.
3.4.2. Populasi Terjangkau
Anak balita yang datang berobat ke Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II, Kecamatan
Palmerah, Jakarta Barat bulan September 2015, dengan jumlah 130 anak.
3.5. Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi
3.5.1. Kriteria Inklusi:
Data rekam medis Anak Balita yang didiagnosis Infeksi Saluran Pernapasan Akut
yang berobat ke Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II bulan September 2015.
3.5.2. Kriteria Eksklusi:
18
Data rekam medis anak balita yang berobat ke Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II
bulan September 2015 yang tidak lengkap datanya dari segi diagnosis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang (bila dibutuhkan).
Data rekam medis anak balita yang telah dihitung kunjungan pertamanya ke
Puskesmas Kelurahan Jatipulo II pada bulan September 2015.
3.6. Sampel
3.6.1. Perhitungan Besar Sampel
Besar sampel minimal diambil dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
n1 = (Zα)2 x p x q
L2
Keterangan :
n1 = Besar sampel minimal
Zα = Standar variasi, ditentukan oleh tingkat kepercayaan pada α = 0,05; Zα =1,96
p = Proporsi variabel yang diteliti
q = 1 – p
L = Derajat ketepatan yang diinginkan, dalam hal ini diambil 10 %.
Proporsi yang diambil adalah dari data WHO (2010) mengenai insidensi ISPA setiap tahun
sebanyak 20%.
Berdasarkan rumus didapatkan angka :
n1 = Zα 2 . p. q = (1.96 ) 2 . 0.2 . 0.8
L2 0.01
n1 = 0.6147
0.01
n1 = 61.47
Untuk menjaga kemungkinan adanya subyek penelitian yang drop out maka dihitung
n2 = n1 + (10% . n1)
n2 = 61.47 + (10% . 61.47)
n2 = 67.617 (Dibulatkan menjadi 68 subyek penelitian)
3.6.2. Teknik Pengambilan Sampel
19
Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik
Purposive Sampling
3.7. Cara Kerja
a. Peneliti mengumpulkan bahan ilmiah dan merencanakan desain penelitian.
b. Peneliti melapor, meminta ijin dan persetujuan dari Kepala Puskesmas Jati Pulo
II, Jakarta Barat untuk melakukan penelitian terhadap Anak Balita yang datang
berobat ke Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II, Kecamatan Palmerah, Jakarta
Barat.
c. Peneliti menghubungi Dokter Pembimbing Puskesmas, di Kelurahan Jati Pulo II
yang menjadi lokasi penelitian untuk melaporkan tujuan diadakannya penelitian
di daerah tersebut.
d. Peneliti menghubungi staf administrasi Puskesmas agar dapat membantu kegiatan
penelitian.
e. Peneliti melakukan pengumpulan data-data dengan menggunakan rekam medis
anak balita yang berobat ke Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II, Kecamatan
Palmerah, bulan September 2015. Pemilihan sampel menggunakan metode
purposive sampling sehingga jumlah sampel memenuhi jumlah sampel minimal
yang diperlukan yaitu 76 anak balita.
f. Peneliti melakukan pengolahan, analisis, dan interpretasi data.
g. Penulisan laporan penelitian.
h. Pelaporan penelitian.
3.8. Identifikasi Variabel
Dalam penelitian ini digunakan variabel tergantung (dependen) dan variabel bebas
(independen). Variabel tergantung berupa angka kejadian demam pada anak balita. Variabel
bebas berupa Jenis kelamin, Usia, Status gizi, ISPA.
3.9. Definisi Operasional
3.9.1. Subjek Penelitian
Subjek adalah anak balita yang datang berobat ke Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II,
Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat, bulan September 2015.
3.9.2. Jenis Kelamin20
Definisi : suatu karakteristik pada individu dimana terdapat perbedaan pada struktur
biologis dan peran reproduktif
Alat ukur : Rekam Medis
Skala : Nominal
Hasil ukur : Laki-laki, Perempuan
Kode 0 : perempuan
Kode 1 : laki-laki
3.9.2. Usia
Definisi :Lamanya hidup seseorang sejak dilahirkan sampai saat penelitian
dilakukan, yang dihitung dari tanggal, bulan dan tahun penelitian
dikurangi tanggal, bulan dan tahun lahir yang tertera di rekam medis.
Bila terdapat kelebihan usia kurang dari 15 hari dibulatkan kebawah,
dan bila terdapat kelebihan usia lebih atau sama dengan 15 hari
dibulatkan keatas.
Alat Ukur : Rekam medis
Skala : Ordinal
Hasil Ukur : Kategori usia anak balita dalam satuan bulan.
Kode 0 : usia 12 – 36 bulan
Kode 1 : usia 37 – 60 bulan
3.9.3. Status Gizi
Definisi : Keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan
zat – zat gizi
Alat ukur : Kartu Menuju Sehat (KMS)
Skala : Nominal
Kode 0 : Gizi cukup
Kode 1 : Gizi kurang
3.9.4. Demam
Definisi : Peningkatan suhu tubuh dengan temperatur rektal diatas 380 C, aksilar
diatas 37,50 C dan diatas 38,20C dengan pengukuran membran timpani.
Tingkat demam diklasifikasikan menjadi subfebris dan febris. Subferis
21
jika suhu tubuh berkisar 37,5 0C-37,90C dan febris jika suhu tubuh ≥
380C .
Alat Ukur : Rekam medis
Skala : Nominal
Hasil Ukur : Kategori suhu anak balita dalam satuan derajat Celcius
Kode 0 : Tidak demam
Kode 1 : Subfebris
Kode 2 : Febris
3.9.5. ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut)
Definisi: : Infeksi saluran pernafasan yang dapat berlangsung sampai 14 hari,
dimana secara klinis tanda dan gejala akut akibat infeksi terjadi di
setiap bagian saluran pernafasan tidak lebih dari 14 hari.
Alat Ukur : Rekam medis
Skala : Nominal
Kode 0 : Tanpa komplikasi
Kode 1 : Dengan komplikasi
3.10. Manajemen Data dan Analisis Data
3.10.1. Pengumpulan Data
Data sekunder yang diambil dari Rekam Medis anak balita yang berobat ke
Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II, Kecamatan Palmerah, bulan September 2015.
3.10.2. Pengolahan Data
Data-data yang telah dikumpulkan diolah melalui proses editing, verifikasi dan
coding, kemudian data diolah dengan menggunakan program komputer yaitu program SPSS.
3.10.3. Penyajian Data
Data yang didapat disajikan secara tekstular dan tabular.
3.10.4. Interpretasi Data
Data diinterpretasi secara deskriptif antara variabel-variabel yang telah ditentukan.
3.10.5. Pelaporan Data22
Data disusun dalam bentuk pelaporan penelitian yang selanjutnya akan
dipresentasikan di hadapan staf pengajar Program Pendidikan Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana pada bulan Oktober 2015 dalam
Forum Pendidikan Ilmu Kesehatan Komunitas FK UKRIDA.
3.10.6. Etika Penelitian
Pada penelitian ini, hasil data rekam medis yang diambil dijamin kerahasiannya.
3.11. Sarana Penelitian
3.11.1. Tenaga
Penelitian dilakukan oleh 3 orang mahasiswa kepaniteraan ilmu kedokteran
masyarakat, dengan dibantu oleh satu orang pembimbing yaitu dosen IKM.
3.11.2. Fasilitas
Fasilitas yang tersedia berupa ruang perpustakaan, ruang diskusi, komputer, printer,
internet, dan alat tulis.
BAB IV
23
Hasil Penelitian
Proses pengumpulan data yang dilakukan pada tanggal 05 Oktober 2015, didapatkan sampel sebanyak 76 anak Balita di Kelurahan Duri Kepa Kecamatan Kebon Jeruk Jakarta Barat, bulan September 2015. Berikut adalah hasil penelitian yang disajikan dalam tabel.
Demam Frekuensi (anak) Persentase (%)
tidak demam 25 32.9%
subfebris 32 42.1%
febris 19 25.0%
Tabel 4.1. Distribusi Kejadian Demam pada Anak Balita yang Datang Berobat di
Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II Kecamatan Palmerah Jakarta Barat, Bulan
September 2015
Tabel 4.2. Distribusi Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Anak Balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September 2015.
ISPA Frekuensi (anak) Persentase (%)
Tanpa Komplikasi 40 52.6
Dengan Komplikasi 36 47.4
Tabel 4.3. Distribusi Jenis kelamin, Usia dan Status Gizi pada Anak Balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September 2015.
24
Variabel Frekuensi (anak) Persentase (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 39 51.3
Perempuan 37 48.7
Usia12-36 bulan 42 55.3
37-60 bulan 34 44.7
Status Gizi
gizi cukup 73 96.1
gizi kurang 3 3.9
Tabel 4.4. Distribusi Jenis kelamin, Usia dan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Anak Balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September 2015.
Jenis Kelamin Usia Status Gizi Ispa Tanpa Ispa Dengan
25
Komplikasi (anak) Komplikasi (anak)
Laki-laki 12-36 bulan Gizi cukup 9 11
Gizi kurang 1 0
37-60 bulan Gizi cukup 12 5
Gizi kurang 1 0
Perempuan 12-36 bulan Gizi cukup 10 10
Gizi kurang 1 0
37-60 bulan Gizi cukup 6 10
Gizi kurang 0 0
Tabel 4.5. Distribusi Jenis kelamin, Usia dan Status Gizi dengan Kejadian Demam pada Anak Balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September 2015.
Jenis Kelamin Usia Status Gizi
Tidak Demam
(anak) Subfebris (anak)
Febris
(anak)
Laki-laki 12-36 bulan Gizi cukup 6 10 4
Gizi kurang 0 0 1
37-60 bulan gizi cukup 5 8 4
gizi kurang 0 0 1
Perempuan 12-36 bulan gizi cukup 8 7 5
gizi kurang 0 0 1
37-60 bulan gizi cukup 6 7 3
gizi kurang 0 0 0
Tabel 4.6. Distribusi Jenis kelamin, Usia dan Status Gizi, Infeksi Saluran Pernapasan Akut dengan Kejadian Demam pada Anak Balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September 2015.
Jenis Kelamin Usia Status Gizi ISPA TIDAK SUBFEBRIS FEBRIS
26
DEMAM (anak) (anak) (anak)
Laki-laki
12 - 36 Bln
GCITK 3 5 1IDK 3 5 3
GKITK 0 0 1IDK 0 0 0
37 – 60 Bln
GCITK 4 6 2IDK 1 2 2
GKITK 0 0 1IDK 0 0 0
Perempuan
12 – 36 Bln
GCITK 6 3 1IDK 2 4 4
GKITK 0 0 1IDK 0 0 0
37 – 60 Bln
GCITK 5 1 0IDK 1 6 3
GKITK 0 0 0IDK 0 0 0
*Keterangan:GC= Gizi cukup
Gk= Gizi Kurang
ITK= Ispa Tanpa Komplikasi
IDK= Ispa Dengan Komplikasi
BAB V
Pembahasan
27
5.1 Distribusi Kejadian Demam pada Anak Balita yang Datang Berobat di Puskesmas
Jati Pulo II, Kecamatan Palmerah Jakarta Barat, Bulan September 2015.
Berdasarkan tabel penelitian 4.1, dari total jumlah anak balita sebanyak 76 anak,
didapatkan sebanyak 51 anak balita dengan persentase 67.1% datang dengan keluhan demam,
dan sebanyak 25 anak balita dengan persentase 32.9% tidak demam. Dari 51 anak balita yang
demam tersebut, sebanyak 19 anak balita dengan persentase 25% memiliki suhu tubuh febris
(>38oC) dan sebanyak 32 anak balita dengan persentase 42.1% memiliki suhu tubuh
subfebris (37.5oC- 37.9oC). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Valerie
D’Acremont, dkk dari Department of Ambulatory Care and Prevention, Harvard Medical
School (2000), terdapat 19-30% anak balita yang berkunjung ke dokter mengeluh demam.
Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Van Gageldonk-Lafeber dkk dari
Department of Infectious Diseases Epidemiology di Belanda (2000-2003), dimana dari
keseluruhan diagnosis ISPA, sebesar 87% datang dengan keluhan demam.
5.2 Distribusi Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Anak Balita di Puskesmas
Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September 2015.
Berdasarkan tabel penelitian 4.2, dari total jumlah anak balita sebanyak 76 anak,
didapatkan sebanyak 40 anak dengan persentase 52.6% menderita ISPA tanpa komplikasi
sedangkan sebanyak 36 anak balita dengan persentase 47.4% menderita ISPA dengan
komplikasi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Valerie D, dkk dari Geneva
Medical School (2008) terhadap 1005 orang balita di Afrika menemukan sebesar 62,2% dari
jumlah balita yang demam didiagnosis dengan ISPA. Dari jumlah balita yang menderita
ISPA tersebut, jumlah anak balita yang menderita ISPA tanpa komplikasi lebih banyak yakni
sebanyak 78% dibandingkan dengan anak balita yang menderita ISPA dengan komplikasi
yakni sebanyak 22%.
5.3 Distribusi Jenis kelamin, Usia dan Status Gizi pada anak balita di Puskesmas
Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September 2015.
Berdasarkan tabel penelitian 4.3, didapatkan 39 anak balita dengan persentase 51.3%
adalah laki-laki dan sebanyak 37 dengan persentase 48.7% adalah perempuan. Hal ini sesuai
dengan penelitian Bryndis B (2009) dari University of Iceland bahwa dari 454 anak balita
28
yang menderita ISPA, anak laki-laki lebih banyak yakni sebanyak 251 anak balita
dibandingkan dengan anak balita perempuan yakni sebanyak 203 anak balita.
5.4 Distribusi Jenis Kelamin, Usia, dan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada
Anak Balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat
bulan September 2015.
Berdasarkan tabel penelitian 4.4 didapatkan bahwa dari 39 anak balita berjenis
kelamin laki-laki, sebanyak 21 anak berusia 12-36 bulan dari jumlah tersebut 20 anak
memiliki status gizi cukup sedangkan 1 anak memiliki status gizi kurang. Dari anak dengan
status gizi cukup, 9 anak menderita ISPA tanpa komplikasi dan sebanyak 11 anak menderita
ISPA dengan komplikasi. Anak yang memiliki status gizi kurang tersebut menderita ISPA
tanpa komplikasi. Dari 18 anak balita laki-laki yang berusia 37-60 bulan, sebanyak 17 anak
memiliki status gizi cukup, sedangkan satu anak balita memiliki status gizi kurang. Dari
jumlah anak dengan status gizi cukup, 12 anak menderita ISPA tanpa komplikasi sedangkan
5 orang menderita ISPA dengan komplikasi. Anak yang memiliki status gizi kurang
menderita ISPA tanpa komplikasi.
Dari 37 anak balita berjenis kelamin perempuan, sebanyak 21 anak balita berusia 12-
36 bulan dan dari jumlah tersebut 20 anak memiliki status gizi cukup dan satu anak memiliki
status gizi kurang. Dari anak dengan status gizi cukup, 10 anak menderita ISPA tanpa
komplikasi dan 10 anak menderita ISPA dengan komplikasi. Anak dengan status gizi kurang,
menderita ISPA tanpa komplikasi. Dari 16 anak balita yang berusia 37-60 bulan semuanya
memiliki status gizi cukup. Dari 16 anak tersebut sebanyak anak menderita ISPA tanpa
komplikasi dan sebanyak 10 anak menderita ISPA dengan komplikasi.
Hasil ini menunjukkan bahwa pada anak balita berusia 12-36 bulan, tidak ada
perbedaan angka kejadian ISPA pada anak laki-laki maupun perempuan, sedangkan pada
anak balita yang berusia 37-60 bulan, terdapat perbedaan antara angka kejadian ISPA dimana
jumlah anak laki-laki yang terkena ISPA lebih banyak dibandingkan dengan anak perempuan.
Teradapat lebih banyka anak laki-laki yang memiliki status gizi kurang dibanding anak
perempuan tetapi semua anak ini menderita ISPA tanpa komplikasi.
29
5.5 Distribusi Jenis Kelamin, Usia, dan Status Gizi dengan Kejadian Demam
pada Anak Balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta
Barat bulan September 2015.
Berdasarkan tabel penelitian 4.5, didapatkan bahwa dari 20 anak laki-laki usia 12-36
bulan dengan status gizi cukup sebanyak 6 anak tidak demam, sebanyak 10 anak memiliki
suhu subfebris, sebanyak 4 anak memilik suhu febris dan sebanyak 1 anak dengan status gizi
kurang memiliki suhu febris. Dari 17 anak laki –laki berusia 37-60 bulan dengan status gizi
cukup, sebanyak 5 anak tidak demam, sebanyak 8 anak memiliki suhu subfebris dan
sebanyak 4 anak memiliki suhu febris dan sebanyak satu anak dengan gizi kurang memiiki
suhu febris.
Dari 20 anak perempuan berusia 12-36 bulan dengan status gizi cukup sebanyak 8
anak tidak demam, sebanyak 7 anak memiliki suhu subfebris, sebanyak 5 anak memiliki suhu
febris dan sebanyak satu anak dengan status gizi kurang memilik suhu febris. Dari 16 anak
balita perempuan usia 37-60 bulan dengan status gizi cukup sebanyak anak tidak demam,
sebanyak 7 anak memiliki suhu subfebris, dan sebanyak 3 anak memiliki suhu febris.
Hasil ini menunjukkan bahwa kejadian demam lebih banyak pada anak laki-laki
dibandingkan dengan anak perempuan baik pada usia 12-36 bulan maupun pada usia 37-60
bulan. Kejadian demam pada anak balita berusia 12-36 bulan lebih banyak dibandingkan
pada anak balita berusia 37-60 bulan baik pada laki-laki maupun perempuan. Hal ini tidak
sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa pada anak yang lebih kecil, kejadian demam
lebih rendah. Hal ini mungkin dapat terjadi karena dari seluruh anak balita yang berusia 12-
36 bulan, jumlah anak balita yang usianya diatas 30 bulan lebih banyak sehingga pangaturan
set point tubuh sudah lebih tinggi dan dapat mengekspresikan panas tubuh lebih baik.
5.6 Distribusi Jenis kelamin, Usia, Status Gizi, dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut
dengan Kejadian Demam pada Anak Balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2
Kecamatan Palmerah Jakarta Barat Bulan September 2015.
30
Berdasarkan tabel penelitian 4.6, dari 20 anak balita laki-laki berusia 12-36 bulan
dengan status gizi cukup, sebanyak 9 anak menderita ISPA tanpa komplikasi, dimana
sebanyak 3 anak tidak demam. 5 anak dengan suhu subfebris dan satu anak dengan suhu
febris, dari sebelas anak yang menderita ISPA dengan komplikasi sebanyak 3 anak tidak
demam, sebanyak anak dengan suhu subfebris dan sebanyak 3 anak dengan suhu febris.
Sebanyak satu anak laki-laki usia 12-36 bulan memiliki status gizi kurang menderita ISPA
tanpa komplikasi dan memiliki suhu febris. Dari 17 anak balita laki-laki berusia 37-60 bulan
dengan status gizi cukup sebanyak 12 anak menderita ISPA tanpa komplikasi dimana
sebanyak 4 orang anak tidak demam, sebanyak 6 anak dengan suhu subfebris dan sebanyak 2
anak dengan suhu febris, sebanyak 5 anak menderita ISPA dengan komplikasi dimana satu
anak tidak demam, sebanyak 2 anak dengan suhu subfebris dan 2 anak dengan suhu febris.
Satu anak laki-laki berusia 37-60 bulan dengan status gizi kurang yang menderita ISPA tanpa
komplikasi memiliki suhu febris.
Dari 20 anak balita perempuan berusia 12-36 bulan dengan status gizi cukup,
sebanyak 10 orang menderita ISPA tanpa komplikasi dimana sebanyak 6 orang tidak demam,
sebanyak 3 anak dengan suhu subfebris dan sebanyak 1 anak dengan suhu febris, dari 10 anak
yang menderita ISPA dengan komplikasi sebanyak 2 anak tidak demam, sebanyak 4 anak
dengan suhu subfebris dan sebanyak 4 anak dengan suhu febris. Satu anak balita perempuan
berusia 12-36 bulan dengan status gizi kurang menderita ISPA tanpa komplikasi dan
memiliki suhu febris Dari 16 anak balita perempuan berusia 37-60 bulan yang memiliki
status gizi cukup, sebanyak 6 anak menderita ISPA tanpa komplikasi dimana sebanyak 5
anak tidak demam dan sebanyak 1 anak dengan suhu subfebris. Dari 10 anak yang menderita
ISPA dengan komplikasi, sebanyak satu anak tidak demam, sebanyak 6 anak dengan suhu
subfebris dan sebanyak 3 anak dengan suhu febris.
Bab VI
Kesimpulan dan Saran
6.1. Kesimpulan
31
Dari hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
demam pada anak balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo II Kecamatan Palmerah Jakarta
Barat bulan September 2015, sebanyak 76 anak yang menderita ISPA. Hasil penelitian kami
menujukkan bahwa kejadian ISPA dengan komplikasi lebih banyak dibandingkan dengan
kejadian ISPA tanpa komplikasi dimana balita berusia 12-36 bulan cenderung memiliki ISPA
dengan komplikasi dibandingkan dengan balita berusia 37-60 bulan. Hasil ini juga
menunjukkan bahwa tidak semua anak yang menderita ISPA akan mengalami demam baik
pada usia 12-36 bulan maupun pada usia 37-60 bulan. Anak yang menderita ISPA dengan
komplikasi, cenderung demam baik dengan suhu subfebris ataupun febris dibandingkan anak
yang menderita ISPA tanpa komplikasi. Kejadian demam pada ISPA dengan komplikasi
lebih banyak terjadi pada anak usia 12 sampai 36 bulan dibandingkan dengan anak berusia
37-60 bulan pada jenis kelamin laki-laki, namun hal yang sebaliknya terjadi pada anak
dengan jenis kelamin perempuan, dimana kejadian febris pada ISPA dengan komplikasi lebih
banyak terjadi pada anak usia 37-60 bulan dibandingkan dengan anak usia 12-36 bulan. Hasil
ini juga menunjukkan bahwa anak dengan gizi kurang lebih cenderung memiliki suhu febris
dibanding dengan anak dengan status gizi cukup. Hal ini sesuai dengan teori yang
mengatakan bahwa pembentukan antibodi bergantung pada asupan gizi, sehingga pada anak
dengan status gizi kurang tubuh tidak memiliki zat gizi yang cukup untuk membentuk
antibodi yang berguna untuk melawan infeksi sehingga angka kejadian demam akibat infeksi
akan meningkat.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan diatas, kami menyarankan agar
Puskesmas Kelurahan Jatipulo II ataupun tenaga kesehatan dapat memberikan penyuluhan
ataupun informasi kepada masyarakat di wilayah kerjanya mengenai faktor- faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya ISPA khususnya penyuluhan mengenai gizi pada anak balita
agar masyarakat mendapat informasi yang cukup sehingga dapat mengurangi angka kejadian
ISPA yang nantinya akan mengurangi angka kejadian demam.
Daftar Pustaka
1) UNICEF. Report on the Summative External Evaluation of the Integrated Health
System Strengthening Programme. 2014. Diunduh dari:
32
http://www.unicef.org/evaldatabase/files/Multi _C ountry_CI_IHSS_Summative_Evalu
ation_Report_Final.pdf pada 15 Oktober 2015 .
2) Jonathan AF, Cindy L, Christiansen D, Richard P. Fever in pediatric primary care:
occurrence, management, and outcomes. Pediatrics 2000;105:260 –266.
3) Riset Kesehatan Dasar. Penyajian Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013.
Diunduh dari: www.litbang.depkes.go.id pada 8 Oktober 2015.
4) Mariati U, Agus Z, Sulin D, et al. Studi kematian ibu dan kematian bayi di provinsi
Sumatera Barat: faktor determinan dan masalahnya. Jurnal Kesehatan Masyarakat
2011; 5(6): 243-9.
5) Departemen Kesehatan Indonesia. Anak Balita. Diunduh dari: www.depkes.go.id
pada 8 Oktober 2015.
6) Kayman H. Management of Fever: making evidence-based decisions. Clin Pediatr.
Jun 2003;42:383.
7) Janice ES, Henry CF. Clinical report—fever and antipyretic use in children. Pediatrics
2011; 127(3):580-7.
8) Sinclair JC. The control of body temperature and the pathogenesis of fever:
developmental aspects. Dalam: Annales Nestle: Fever in children. Switzerland: Nestle
Nutrition SA; 2004.h.1-10.
9) Kliegman RM, Behrman RE. Fever. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson
WE, Vaughn VC, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 14. Philadelphia:
WB Saunders; 2002.h.647-56.
10) World Health Organization. Integrated management of childhood illness. 2010.h.1-10.
11) Garna H et al. Pedoman diagnosis dan tatalaksana pada anak. Edisi 4.
Bandung:Universitas Padjajaran Bandung;2010.h203-63.
12) Nana S, Tinah. Hubungan pendidikan ibu dan status ekonomi keluarga dengan
kejadian ISPA pada balita. Jurnal Kebidanan 2012; 4(1): 1-10.
13) Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak: Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi pertama. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;2002.h.176-208.
14) Kholisah N et al. Infeksi saluran napas akut pada balita di daerah urban Jakarta. Sari
Pediatri 2009;11(4):223-8.
33
15) Van Gageldonk-Lafeber et al. A case-control study of acute respiratory tract infection
in general practice patients in the Netherlands. Clinical Infectious Diseases 2005;
41:490–7.
16) Valerie D et al. Beyond malaria — causes of fever in outpatient Tanzanian children.
N Engl J Med 2014;370:809-17.
17) Bryndis B. Upper airway infections in preschool children. Scandinavian Journal of
Primary Health Care 2009;11(3):197-201.
18) Zubir, Juffrie, M, Wibowo, T. Faktor-faktor risiko kejadian diare akut pada anak 0-35
bulan (batita) di kabupaten Bantul. Sains Kesehatan 2006; 19(3):319-332.
19) Wibowo T, Soenarto S, Pramono D. Faktor-faktor risiko kejadian diare berdarah pada
balita di kabupaten Sleman. Jurnal Berita Kedokteran Masyarakat 2004; 20(1):41-48.
20) Titis W, Mulyani NS, Nirwati H, Soenarto Y. Diare rotavirus pada anak. Sari Pediatri
2012;13(5):340-5.
21) Haddad J. The ear. Dalam: Berhman RE, Kliegma RM, Arvin AM, penyunting.
Nelson Textbook of Pediatri. Ed.18. Philadelphia: Sauders Elsevier; 2007.h.2617-40.
22) William M. Pedoman klinis pediatri. Dalam:. Nyeri telinga. Jakarta: EGC;
2004.p.299.
23) Utami TF, Sudarman K, Rianto BUD, et al. Rinitis alergi sebagai faktor resiko otitis
media supuratif kronik. Cermin Dunia Kedokteran; 2010:425-9.
24) Palandeng W, Palealu O, Mengko S. Otitis media supuratif akut di poliklinik THT-
KL BLU RSU Prof. Dr. RD Kandou Manado periode Januari 2010- Desember 2012.
25) Bakry BA, Tumbelaka AR, Chair I. Etiologi dan karakteristik demam berkepanjangan
pada anak di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sari Pediatri 2008;10(2):83-88.
26) Pardede SO, Tambunan T, et-al. Konsensus infeksi saluran kemih pada anak. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.h.1-6.
27) Diana M, Adji S, Hartono G,et al. Kejadian ikutan pasca imunisasi vaksin kombinasi
DPwT (Sel Utuh) dan Hepatitis B. Sari Pediatri 2001;3(2).
28) Jong DM, Tumbelaka AR, Latief A. Adverse events following immunization of
combined diphtheria, whole-cell pertussis, tetanus, and hepatitis B (DPwT/HB)
vaccine. Paediatrica Indonesiana 2004;44:209-214.
29) Sinaga P, Lubis Z, Siregar MA. Hubungan status gizi dengan kejadian infeksi saluran
pernafasan akut pada balita di wilayah kerja puskesmas Soposurung kecamatan Balige
Kabupaten Toba Samosir tahun 2014.h.1-9.
34
35
Recommended