View
290
Download
4
Category
Preview:
Citation preview
Penyakit Vaskular Perifer Diabetik
Harsinen Sanusi
Subbagian Endokrin Metabolik
Bagian Penyakit Dalam FK UNHAS dan PUSDILIP RS Dr Wahidin Sudirohusodo
Makassar
Abstrak. Penyakit vaskular perifer (PVP) banyak ditemukan dalam klinik sebagai
komplikasi kronik diabetes melitus. Meskipun tidak menyebabkan kematian secara langsung,
namun bukti klinis menunjukkan apabila terjadi PVP dapat menyebabkan terjadinya
komplikasi makroangiopati di tempat lain, seperti jantung dan otak yang dapat menyebabkan
kematian. Patogenesis penyakit ini didasarkan adanya aterosklerosis yang diawali kerusakan
pada dinding endotel kapiler. Gejala penyakit vaskular perifer bervariasi tergantung dari
lokasi iskemia dan besarnya penyempitan. Gejala awal yang paling sering ditemuukan adalah
klaudikasi intermiten. Diagnosis PVP dapat ditegakkan selain dengan pemeriksaan fisik,
pemeriksaan non invasif seperti pletismograf dan pada keadaan khusus pemeriksaan dengan
angiografi. Pengobatan PVP diabetik meliputi 3 kategori yaitu pengobatan bertujuan
mencegah gangguan kardiovaskular seperti infark miokard dan stroke, pengobatan
simtomatik dan pengobatan kuratif. Pemberian obat-obatan seperti naftidrofuril,
pentoxifylline dan cilostazol. Pada umumnya obat-obat ini bertujuan untuk mencegah
agregasi trombosit dan vasodilatasi pembuluh darah perifer. Keberhasilan pengobatan dilihat
dari kemampuan berjalan maksimal dan kemampuan berjalan tanpa nyeri yang dipantau
dengan treadmill. Tindakan bedah angioplasti maupun revaskularisasi pada PVP diabetik
kurang berhasil karena gangguan pembuluh darah perifer biasanya multi segmen dan
mengenai pembuluh darah kecil.
Kata kunci: Penyakit vaskular perifer (PVP), Aterosklerosis, Klaudikasi intermiten,
Pletismograf,
Angioplasti
Pendahuluan
Hubungan antara diabetes melitus (DM) dan penyakit vaskular perifer (PVP) telah diketahui
sejak dahulu kala. Penelitian Brandman dan Redisch pada 1953 melaporkan 50% pasien DM
terbukti menderita PVP setelah 10-15 tahun mengidap DM, selanjutnya dilaporkan oleh
Kingsbury (1966) adanya hubungan PVP dengan gangguan toleransi glukosa yang dibuktikan
dengan pemeriksaan radiologis.1 Pasien DM mempunyai risiko 2-4 kali lebih besar
1
mengalami tindakan amputasi dibanding dengan nondiabetes. 1 Tercatat pula 2/3 pasien
nontraumatik yang diamputasi disebabkan oleh DM.2 Komplikasi kronik DM dapat berupa
komplikasi mikroangiopati diabetik (nefropati dan retinopati diabetik), dapat pula mengenai
pembuluh darah besar (makroangiopati) yang mengenai tiga tempat utama yaitu sistem
kardiovaskular arteri koroner (penyakit jantung koroner), arteri di otak (stroke) dan arteri di
perifer (PVP).3 Komplikasi makroangiopati adalah komplikasi yang sering menyebabkan
kematian khususnya komplikasi penyakit jantung koroner dan stroke. walaupun PVP tidak
secara langsung merupakan penyebab kematian akan tetapi PVP memberi keluhan yang
berkepanjangan dan merupakan petanda kemungkinan pasien sudah mengidap penyakit
jantung koroner (PJK) atau gangguan pembuluh darah otak yang sewaktu-waktu
menyebabkan kematian. Dengan kata lain PVP dapat dianggap sebagai indikator adanya PJK
penyakit serebrovaskular. Pada pasien DM problem ekstremitas bawah sering dijumpai dan
mengenai satu dari setiap 4 pasien DM.2 Hal ini akan memberikan dampak sosial pada pasien
berupa hilangnya kesempatan kerja, berkurangnya upah kerja dan tidak jarang pemutusan
hubungan kerja bagi mereka yang mengalami amputasi.2 Penyebab meningkatnya risiko PVP
diabetik adalah multifaktorial. Kurangnya perhatian dalam menegakkan diagnosis dan
pengobatan PVP mengakibatkan amputasi sering terpaksa dilakukan yang seharusnya tidak
perlu.2,3 Berbagai kepekaan pembuluh darah besar pada DM didasarkan atas faktor genetik
dan berbagai gangguan metabolik pada DM seperti kontrol glukosa darah yang buruk dan
banyak faktor risiko lainnya seperti dislipidemia, glikosilasi dan agregasi trombosit.3 Faktor
lainnya yang dapat merupakan faktor predisposisi adalah hipertensi, obesitas, perokok,
hiperhomosisteinemia semuanya merupakan bagian dari sindroma metabolik.3 Pendekatan
dalam pengobatan PVP diabetik didasarkan pada pengobatan atau kontrol terhadap
diabetesnya, ditambah dengan pendekatan hemoreologik, obat vasoaktif dan pada kasus-
kasus tertentu pengobatan bedah.4
Patogenesis dan Patofisiologi
Patofisiologi dan proses yang mendasari timbulnya PVP diabetik adalah sangat kompleks dan
multifaktorial, namun yang mendasari adalah proses aterosklerosis.5 Pada DM diduga
mempunyai resistensi perifer yang tinggi pada tungkai bawah, namun dibantah oleh peneliti
lainnya dimana tidak ditemukan perbedaan resistensi vaskular pada diabetes dan non-
diabetes.5 Pada pasien DM proses timbulnya aterosklerosis lebih dini dan lebih ekstensif
dibanding populasi umum.6 Penyebabnya belum diketahui secara pasti, walaupun demikian
telah dipertimbangkan peranan dari lipoprotein glikasi yang nonenzimatik.6 Lesi
2
aterosklerosis pada DM dimulai dengan oksidasi kol-esterol LDL yang meningkat dengan
kol-esterol HDL yang rendah. Sebagai akibat rasio LDL per HDL yang meningkat cenderung
terjadi aterosklerosis.6 Faktor lain yang mempercepat aterosklerosis pada DM adalah
peningkatan agregasi trombosit akibat kenaikan sintesis tromboxan A2 dan menurunnya
sintesis prostasiklin. Hiperglikemia sendiri secara tidak langsung menyebabkan kenaikan
sekresi endotelin-1 pada in vitro sedang produksi nitritoksida menurun. Endotelin adalah
vasokonstriktor kuat dan mitogenik terhadap vaskular otot polos, sedang nitrikoksid
merupakan vasodilator yang bersifat antimitogenik dan menekan agregasi trombosit.6
Dengan demikian terjadinya PVP didasari oleh gangguan sel endotel, interaksi antara
trombosit, lipid dan metabolisme lipoprotein.7 Kenaikan glukosa darah dan meningkatnya
kolesterol LDL dan kolesterol “very-low density lipoprotein” (VLDL) dapat memberi efek
pada endotelium vaskular.5 Kerusakan sel endotel menyebabkan agregasi makrofag dan
trombosit yang menyebabkan pengeluaran “growth factor” yang merangsang proliferasi sel
otot polos dan deposisi “foam cells”.7 Ditemukan 7 efek metabolik yang toksik untuk
jaringan endotel yaitu efek langsung, imunologi, reologi, sitokin, glikasi, oksidan dan
sorbitol.8 Selanjutnya terjadi agregasi dan adhesi trombosit yang melibatkan terutama faktor
von Willebrand dan dengan adanya fibrinogen yang meningkat pada DM tidak terawat akan
memudahkan terjadinya mikrotrombus.8 Peranan sindroma metabolik yang dikemukakan
oleh Reaven pada tahun 1988 yang merupakan faktor risiko independen dalam terjadinya
gangguan pembuluh darah besar terutama tampak pada DM tipe-2 dimana juga ditemukan
faktor independen lainnya seperti hipertensi, dislipidemia, dan obesitas.7 Hiperinsulinemia
secara langsung menyebabkan kenaikan prevalensi hipertensi pada DM tipe-2 yang dapat
berhubungan dengan kenaikan rangsangan terhadap sistem saraf simpatis, meningkatkan dan
merangsang reabsorpsi natrium dari tubuli proksimal.7 Hipertensi dijumpai 2 kali lebih sering
pada DM dibanding dengan non-diabetes dan merupakan faktor risiko utama untuk PVP.
Sedang dislipidemia juga dijumpai lebih sering pada DM tipe- 2 dan semua faktor ini dapat
bersama-sama mempercepat aterosklerosis.7 Sekitar 80-90% lesi pada kaki pada DM disertai
oleh iskemia yang signifikan.2 Adanya iskemia menyebabkan katabolisme terganggu, kadar
serotonin (5 hidroksi triptamin = 5HT) meningkat dan pembuluh darah serta trombosit
cenderung supersensitif terhadap serotonin yang akan memberi efek biologik berupa
konstriksi pada arteri dan vena, yang disebut sebagai vasospasme komplit.9 Selain itu
serotonin memudahkan trombosit di sekitarnya untuk ikut dalam proses terbentuknya
trombus dimana memperbesar efek agonis lainnya seperti ADP, trombin, dan kolagen.9
3
Serotonin juga meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga terjadi proliferasi sel pada
dinding vaskular.9 Semua efek serotonin dimediasi oleh reseptor subtipe untuk serotonin
yang dikenal sebagai reseptor 5HT2 dimana konsentrasinya meningkat pada dinding
pembuluh darah dan trombosit.9 Hal ini dapat dilihat pada berbagai penyakit akut maupun
kronik seperti, klaudikasi intermiten, hipertensi, dislipidemia, stroke, infark miokard,
penyakit Raynaud dan penentuan.9 Serotonin merupakan salah satu mediator fisiologi
vaskular dimana ditemukan lokasi reseptor serotonin pada trombosit dan sel otot polos
(reseptor S2) dan juga pada vaskular (reseptor S1).9
Keluhan dan gejala
Keluhan dan gejala PVP bervariasi tergantung lokasi aterosklerosis.6 Khusus pada daerah
vaskular perifer dapat menyebabkan keluhan klaudikasi intermiten sampai dengan gangren
tergantung lokasi iskemia.6,10 Lokasi yang iskemia sering dijumpai pada PVP diabetik
adalah pada arteri tibialis, peroneous, dorsalis pedis. Sebaliknya PVP non-diabetik lokasi
gangguan pada daerah arteri iliaka dan arteri femoralis. Keluhan dan tanda-tanda PVP pada
ekstremitas bawah antara lain:10,12
Klaudikasi intermiten
Kaki dingin
Nyeri nokturnal
Nyeri waktu istirahat
Nyeri waktu istirahat dan nokturnal
Denyut nadi hilang
Pucat waktu tungkai bawah dinaikkan
Pengisian vena terlambat waktu tungkai bawah diangkat
Kemerahan akibat peradangan
Atrofi jaringan lemak subkutan
Kulit menipis
Bulu kaki di daerah kaki dan jari-jari kaki menghilang
Penebalan kuku, biasanya disertai infeksi jamur
Gangren
Dan lain-lain seperti sindroma jari biru, oklusi vaskular akut.
4
Sarjana Fontaine membagi PVP berdasarkan beratnya gejala klinis atas 4 tingkatan yaitu:13
Tingkat 1 : tidak ditemukan keluhan
Tingkat 2 : klaudikasi intermiten
Tingkat 3 : nyeri iskemik waktu istirahat
Tingkat 4 : lesi pada kulit atau gangren
Selanjutnya klasifikasi Fontaine dimodifikasi oleh Komisi Ad Hoc sebagai berikut:13
Tingkat 0 : Tidak ada keluhan
Tingkat 1 : Klaudikasi intermiten terdiri: derajat ringan, sedang dan berat.
Tingkat 2 : Nyeri iskemik waktu istirahat
Tingkat 3 : Lesi pada kulit dan jaringan dibagi tingkat kehilangan jaringan minor dan mayor.
Namun demikian banyak pasien PVP tidak memberi kelainan fisik atau keluhan maka perlu
pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan khusus untuk menetapkan diagnosis PVP.11,12
Telah diteliti sekitar 21% pasien yang pada anamnesis dan pemeriksaan fisis tidak ditemukan
PVP namun dengan pemeriksaan khusus seperti pemeriksaan Doppler, pencatatan volume
denyut nadi (pletismografi) dan treadmill ternyata ditemukan PVP.13 Gejala dan keluhan
biasanya berlangsung secara bertahap dan perlahan-lahan biasanya 6 bulan sampai 2-3 tahun.
Klaudikasi intermiten adalah perasaan nyeri waktu berjalan kurang 100 meter yang dialami
umumnya di daerah betis dan nyeri akan berkurang bila berhenti berjalan atau istirahat
kurang lebih 10 menit meskipun tidak duduk. Klaudikasi intermiten tidak disertai kesemutan
dan seandainya ada tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Berbeda dengan kaludikasi
intermiten , nyeri pada neuropati diabetik timbul saat mulai berjalan dan tidak dapat
diperbaiki dengan berhenti berjalan akan tetapi harus duduk atau membungkuk. Neuropati
baik neuropati otonom, maupun sensorik dan motorik dapat menyebabkan deformitas umum
misalnya jari-jari kaki dan perubahan pada titik tekanan pada daerah metatarsal. Bila disertai
dengan gangguan sensorik maka perubahan tekanan tidak diketahui oleh pasien dan bila
disertai neuropati otonom maka aktivitas kelenjar minyak dan keringat menurun atau hilang
sehingga kulit kering dan mudah pecah dan timbul fissura.5 Nyeri iskemik waktu istirahat
adalah nyeri tingkat 3 berdasarkan kriteria Fontaine, nyeri yang timbul walaupun dalam
keadaan istirahat dan rasa nyeri dirasakan lebih berat pada malam hari serta pada perabaan
terasa dingin. Bila pasien PVP berbaring maka nyeri terasa lebih berat dan akan berkurang
bila posisi duduk atau posisi kaki lebih rendah dari badan. Sebagian besar pasien memerlukan
obat analgetik untuk mengatasi nyerinya.12 Pada stadium lanjut terjadi lesi pada kulit seperti
5
ulkus atau gangren. Ulkus timbul oleh karena luka akibat berjalan atau penekanan sepatu atau
kuku dipotong terlalu dalam. Biasanya ulkus dan gangren tidak disertai nyeri karena iskemia
saat istirahat tidak begitu berat.12
Pemeriksaan dan Diagnosis PVP
Untuk memastikan adanya PVP diperlukan pemeriksaan noninvasif dan invasif. Pemeriksaan
noninvasif meliputi 2 parameter yang sering dipakai adalah:
1. Ankle Blood Flow yaitu dengan mengukur aliran darah pada pergelangan kaki dengan alat
pletismograf. Besarnya aliran darah pada pergelangan kaki diukur dengan manset 30-50
mmHg setelah terjadi hiperemia reaktif.14
2. Ankle Pressure Index (API) adalah pemeriksaan mengukur tekanan darah sistolik pada
pergelangan kaki yang diukur dengan Doppler Ultrasonic Flowmeter dibagi dengan tekanan
darah sistolik pada lengan.13 Dalam keadaan normal tekanan darah sistolik pergelangan kaki
lebih tinggi atau sama dengan tekanan darah sistolik di lengan atau API > 1. Bila API = 0,6-
0,9 maka sudah terjadi stenosis moderat atau klaudikasi, sedang API < 0,6 menunjukkan
sudah ada stenosis berat atau nyeri waktu istirahat. Pemeriksaan treadmill dengan sudut 10
derajat dan kecepatan 3,5 km per jam merupakan pemeriksaan yang obyektif dapat
memastikan adanya klaudikasi, namun pemeriksaan ini hanya terbatas pada pasien tertentu
saja.15 Kriteria yang dipakai adalah kemampuan berjalan maksimal (maximum walking
distance), penurunan tekanan arteri distal 1 menit setelah latihan berakhir melebihi 66% dan
recovery time lebih 15 menit. Tes treadmill dapat dilakukan pada semua derajat klaudikasi
untuk memastikan dan menentukan beratnya klaudikasi. Tes treadmill dikerjakan sebelum
diputuskan perlu tidaknya tindakan arteriografi atau revaskularisasi. Pemeriksaan scanning
ultrasound dupleks yang dikombinasikan dengan B-mode ultrasonography dan pulsed
doppler ultrasonography dikerjakan untuk memastikan secara anatomis letak gangguan PVP
pada tungkai. Dengan cara ini dapat ditentukan area penebalan tunika intima, pembentukan
plaque dan kalsifikasi. Color Doppler imaging mendeteksi abnormalitas blood-flow karena
stenosis arteri.15 Pemeriksaan angiografi adalah pemeriksaan invasif yang hanya dikerjakan
apabila pasien dipersiapkan untuk operasi revaskularisasi atau angioplasti mengingat
arteriografi selain invasif juga biayanya mahal.15
Pengobatan
Pengobatan PVP diabetik meliputi 3 kategori yaitu:
1. Tindakan pencegahan untuk mencegah komplikasi kardiovaskular seperti stroke dan infark
miokard akut atau mati mendadak. Penelitian menunjukkan insiden serangan kardiovaskular
6
pada PVP khususnya pasien dengan klaudikasi intermiten adalah 3-5% tergantung populasi
yang diteliti sehingga tindakan pencegahan merupakan sasaran utama dalam pengobatan PVP
diabetik.12
2. Pengobatan simtomatik adalah merupakan sasaran kedua pengobatan PVP diabetik
sesudah tindakan pencegahan khususnya menghilangkan keluhan klaudikasi intermiten yang
sangat mengganggu kualitas hidup. Di sini diperlukan rehabilitasi dan pemberian obat
vasoaktif.12
3. Selanjutnya sebagai sasaran ketiga pengobatan adalah pengobatan kuratif untuk
memperbaiki lesi yang menyebabkan PVP. Di sini diperlukan tindakan bedah atau angioplasti
untuk mengatasi iskemia tungkai.
Sebagai langkah pertama pengobatan dan pengelolaan PVP diabetik adalah pengendalian
kadar glukosa puasa < 110 mg% dan kadar glukosa darah 2 jam setelah makan 120-160 mg%
serta kadar HbA1c dibawah nilai 7% sangat penting dan senantiasa dalam pengawasan ketat.
Beberapa faktor risiko aterosklerosis lainnya seperti hipertensi harus diturunkan di bawah
nilai 130 mmHg sistolik dan diastolik < 90 mmHg, kadar kolesterol LDL di bawah 100 mg%,
kolesterol HDL > 45 mg%, kolesterol total dan trigliserida < 200 mg% untuk mencegah
komplikasi kardiovaskular. Berat badan diturunkan bagi pasien DM gemuk. Rokok mutlak
dihentikan. Pemberian obat antihipertensi seperti betabloker merupakan kontraindikasi relatif
oleh karena menyebabkan refleks vasokonstriksi kutaneus di perifer.15 Pengobatan PVP
tidak memperbaiki keluhan klaudikasi, namun demikian harus diatasi dan diobati untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular. Olahraga yang teratur dan
terprogram dengan rehabilitasi jalan sangat dianjurkan untuk meningkatkan kemampuan
berjalan maksimal. Pada pasien klaudikasi intermiten yang hanya mampu berjalan 30-60
menit per hari maka latihan jalan sampai terasa sakit dan dihentikan sementara sampai nyeri
hilang selanjutnya berjalan lagi dan ini dilakukan berulang-ulang. Diharapkan dengan cara ini
terjadi sirkulasi kolateral sehingga kemampuan jalan pasien bertambah. Bila diperlukan dapat
dilakukan pemeriksaan EKG sebelum rehabilitasi jalan. Pada pasien dengan nyeri waktu
istirahat waktu malam hari, meninggikan tempat tidur di bagian kepala akan meningkatkan
dan memperbaiki perfusi selama pasien tidur karena efek gravitasi dari blood flow.12 Edukasi
pasien merupakan faktor utama mencegah dan mengatasi PVP diabetik khususnya edukasi
dalam perawatan kaki dapat menurunkan tindakan bedah amputasi kaki berupa inspeksi kaki
regular setiap hari, memakai sepatu yang tidak terlalu sempit, cara memotong kuku dan
kallus dan pemeriksaan secara teratur oleh podiatrist. Bila ditemukan tanda-tanda infeksi atau
7
lesi lainnya di kaki maka pasien harus segera masuk rumah sakit dan diberikan antibiotik.
Bila dengan cara rehabilitasi jalan tidak berhasil mengurangi atau menghilangkan keluhan
klaudikasi dalam 3-6 bulan, maka diperlukan obat-obat vasoaktif. Pemberian obat–obat untuk
meningkatkan blood flow sehingga daerah iskemia menjadi berkurang antara lain obatobat
vasodilator, antivasoaktif dan antitrombosit.12 Obat vasodilator cenderung menyebabkan
penurunan tekanan sistemik sehingga dapat mengakibatkan kesukaran terjadinya kolateral
vaskular atau “stealing effect”.12 Pengobatan dengan operasi seperti revaskularisasi atau
pemasangan stent baru dikerjakan bila pengobatan dengan obat-obat tidak memberi hasil
memuaskan.13 Pemilihan obat tergantung pada keluhan dalam hal ini perhatikan klasifikasi
Fontaine, beratnya lesi vaskular dan pilihan pasien sendiri.13 Diyakini dengan ketiga metoda
pengobatan yang diuraikan dapat memperbaiki tidak hanya pada kualitas hidup pasien akan
tetapi dapat pula memperbaiki prognosis.13 Pada saat ini obat antitrombotik seperti
pentoxifylline dan cilostazol telah diterima oleh FDA untuk pengobatan klaudikasi
intermiten.11 Hal ini dianggap logik karena pada DM didapatkan kenaikan agregasi
trombosit. Obat seperti dipyridamole dan aspirin ternyata tidak memberikan efek bermakna
pada vaskular.12 Chelation therapy tidak dianjurkan. Menurut cara kerjanya ada 6 golongan
obat antitrombotik yang telah dirangkum yaitu obat-obat yang meningkatkan cAMP,
menekan AA, menekan trombin, menekan pengikatan adrenalin, dan menekan ADP.8
Naftidrofuril merupakan antivasokonstriktor akibat efek antagonistik pada serotonin dan
menurunkan serotonin sehingga efek proliferasi pada sel-sel otot polos menurun serta
menurunkan vasospasme pada pembuluh darah yang aterosklerotik dan terakhir berguna pada
pasien yang mengalami rekonstruksi vaskular.10 Obat ini telah meluas dipakai di Eropa
dengan hasil yang cukup memuaskan. Kerja obat naftidrofuril secara in vitro dan in vivo
adalah merupakan inhibitor agregasi trombosit yang kuat yang diinduksi oleh substansi
agregator fisiologis seperti Adenosin DiPhosphat (ADP), kolagen, epinefrin, Platelets
Activating Factor (PAF), Thromboxane A2 (TxA2). Meskipun obat ini dilaporkan tidak
mempunyai efek vasodilatasi perifer tetapi obat tersebut dilaporkan mempunyai efek untuk
meningkatkan aliran darah dan keamanannya telah dibuktikan cukup tinggi dengan beberapa
penelitian farmakologi dan toksikologi secara umum. Selain itu naftidrofuril memperbaiki
tanda-tanda klinis oklusi arteri kronis, dapat pula mengurangi ukuran lesi karena iskemik
dan mengurangi rasa nyeri saat istirahat.14 Pada tingkat metabolik naftidrofuril memperbaiki
metabolisme glukosa aerobik dengan mengaktifkan enzim suksinat dehidrogenase dan siklus
Krebs.15,16 Dengan demikian daerah iskemia akan menjadi berkurang. Disamping itu
8
ditingkat vaskular naftidrofuril memperbaiki suplai darah serta kerusakan iskemik pada
dinding pembuluh darah dengan menghambat reseptor 5–HT2 secara spesifik.16 Sifat yang
terakhir ini memungkinkan inhibisi terhadap efek-efek merusak dari serotonin pada lokasi
cedera vaskular tanpa mempengaruhi sirkulasi umum. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa naftidrofuril dapat dianggap sebagai antivasokonstriktor akan tetapi bukan sebagai
vasodilator sebagaimana diduga sebelumnya.16 Pada tingkat jaringan naftidrofuril
meningkatkan potensi energi sel sehingga berperan dalam mempertahankan metabolisme
glukosa secara aerobik; hal ini memungkinkan terpeliharanya fungsi sel dalam kondisi
iskemia lokal.16 Efek naftidrofuril pada penyakit vaskular perifer terutama dalam hal keluhan
dan simtom seperti nyeri pada istirahat telah terbukti efektif dibanding dengan obat analgesik
yang kuat dengan memberi perbaikan Harsinen S: Penyakit vaskular perifer diabetik keluhan
lokal dan keluhan umum selama jangka waktu yang ditentukan.17 Efek ini terlihat dari
penelitian multisenter di 40 rumah sakit.17 Efek naftidrofuril telah dikenal sebagai antagonis
S2 spesifik, namun efeknya pada metabolisme sel khususnya pada sel yang iskemik belum
diketahui dengan pasti.15 Efek naftidrofuril terhadap sel–sel endotel terlihat pada uji klinis
efektif dalam melindungi kelangsungan hidup sel endotelial dari keadaan kekurangan oksigen
maupun dari kematian akibat hipoksia dengan meningkatkan cadangan ATP dan menurunkan
kadar asam laktat.17 Penelitian Heyder terhadap 25 kasus oklusi kronik arteri pada
ekstremitas yang berumur 47-80 tahun diberikan naftidrofuril 3x200 mg per hari selama 4
minggu pengobatan, menunjukkan “Ankle Blood Flow” (ABF) meningkat secara bermakna
pada tungkai yang terkena dan keluhan menurun secara bermakna pada akhir penelitian.14
Dapat disimpulkan naftidrofuril memberi keuntungan bermakna pada efek hemodinamik
oklusi kronik arteri di ekstremitas.14 Penelitian sebelumnya oleh Adhoute dkk (1986),
melaporkan 186 selama 6 bulan penelitian pada pasien-pasien yang menderita klaudikasi
intermiten (Stadium II dari Fontaine) diberikan naftidrofuril 3x200 mg dan dibandingkan
dengan plasebo. Hasil akhir menunjukkan adanya perbaikan yang signifikan pada
kemampuan jalan maksimal pasien yang mendapat naftidrofuril (meningkat 94%) dibanding
dengan plasebo. Hasil ini menunjukkan bahwa naftidrofuril merupakan pengobatan
farmakolologi yang baik pada pasien-pasien dengan PVP (Fontaine II).19 Akhirnya Spengel
dkk. meneliti kualitas hidup pasien yang mendapat naftidrofuril dengan memakai kuesioner
CLAU-S menemukan adanya perbaikan kualitas hidup secara bermakna pada pasien
klaudikasi intermiten yang mendapat naftidrofuril dibanding dengan plasebo.20
Pentoxifylline adalah suatu metil xantin yang mempunyai efek sebagai obat vasoaktif yang
9
mempunyai efek terapeutik pada gangguan viskositas, deformabilitas eritrosit, agregasi
platelet dan gangguan kadar fibrinogen plasma. Kesemuanya ini akan berakibat pembentukan
trombus dan memperbaiki perfusi sirkulasi mikrovaskular. Berbagai uji klinis dengan
pentoxifylline telah memperlihatkan perbaikan baik pada keluhan klinis dan parameter
laboratorium pada PVP diabetik. Efek klinis pentoxifylline pada 90 pasien diantaranya 32
pasien DM dengan PVP dengan Fontaine stadium III dan IV yang sebelumnya tidak berespon
dengan obat-obat vasodilator dan antikoagulan sebelumnya. Efek klinis dilihat setelah 3-6
bulan terapi, hasilnya 63% mengalami perbaikan komplit pada nyeri istirahat, 16%
mengalami perbaikan dan 21% sisanya tidak mengalami perbaikan. Tidak ditemukan
perbedaan respon secara keseluruhan antara pasien DM dan non-DM dan tidak ada pengaruh
pada kontrol metabolik pada pasien DM.21 Dosis pentoxifylline yang direkomendasikan
adalah 3x400 mg peroral, efeknya mulai nampak setelah 2-4 minggu pengobatan dan
dilanjutkan sampai 8 minggu. Pemberian pentoxifylline secara intravena dengan dosis 200-
300 mg diberikan secara infus sampai dosis total 1.200 mg per hari. Efek samping umumnya
jarang dan dapat ditolerir pasien dan bila terjadi efek samping seperti gangguan
gastrointestinal dan gangguan sistem saraf sentral maka dosis dapat diturunkan sampai 400
mg 2 kali per hari dan apabila efek samping masih ada maka pemberian pentoxifylline
sebaiknya dihentikan.21 Pemberian pentoxifylline selamanya dipertimbangkan pada pasien
pasien yang sakit berat yang memerlukan amputasi tungkai, namun ada kontra indikasi
operasi. Dengan pentoxifylline kualitas hidup pasien diperbaiki dan menurunkan lamanya
rawat nginap di Rumah Sakit serta menurunkan angka prosedur operasi.21 Cilostazol adalah
suatu antitrombotik yang baru memiliki efek anti agregasi platelet serta efek vasodilatasi dan
sebagaimana dengan pentoxifylline telah diterima dan direkomendasi oleh FDA. Cilostazol
merupakan senyawa pospodiestrase III inhibitor yaitu derivat quinolnone yang menekan
pospodiestrase III(PDE-III). Selain itu cilostazol menurunkan proloferasi vaskular sel otot
polos pada in vitro, meningkatkan aliran darah di tungkai dengan meningkatnya API,
memperbaiki profil lipid dengan menurunkan trigliserid dan meningkatkan kolesterol HDL.
Dosis standar yang diberikan ialah 50-100 mg diberikan 2 kali perhari.22 Efek samping
cilostazol dapat berupa sakit kepala, palpitasi dan gangguan defakasi. Kesemuanya hanya
bersifat sementara dan dapat ditolerir pasien. Kontraindikasi cilostazol adalah pasien payah
jantung berat dan aritmia, hal ini disebabkan penghambatan PDE-III memberi efek takikardia
akan meningkatkan mortalitas penyakit jantung dan menurunkan survival pasien dengan
payah jantung kongestif kelas III- IV.22 Pengobatan dengan buflomedil pada PVP pada satu
10
uji klinis memperlihatkan adanya perbaikan bermakna pada kemampuan berjalan maksimal
dan kemampuan jalan tanpa nyeri setelah 3 bulan dengan dosis 600 mg perhari. Namun hasil-
hasil dari studi lain tidak memperlihatkan adanya perbaikan.24 Obat lainnya seperti
cimarizine, cyclondelate, inositol nicotinate, nicergoline, cetredil teribedil, ifenprodil dan
ginkgo biloba keefektifan pada PVP belum diketahui dengan pasti.24 Pengobatan hormonal
dan gen pada PVP masih dalam taraf penelitian yaitu memakai fibroblast growth factor untuk
merangsang timbulnya pembuluh darah baru.23 Pemberian folat, B6 dan B12 hanya
dirokemendasikan bagi pasien PVP disertai dengan hiperhomosisteinemia (> 100 umol/l) dan
hiperhomosisteinemia moderat.24 Aspirin dan penyekat Ca dapat digunakan akan tetapi
feknya masih diragukan pada PVP diabetik sedang terapi chelation tidak dianjurkan.
Tindakan bedah dan prosedur revaskularisasi pada PVP diabetik biasanya kurang memadai
karena pada PVP diabetik gangguan pembuluh darah biasanya multipel dan multisegmental
disamping mengenai juga pembuluh darah kecil.
11
Recommended