View
58
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
PERSPEKTIF DAN IMPLEMENTASI HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN ANAK MENURUT UNDANG UNDANG
NO. 23 TAHUN 2002 SERTA PERMASALAHAN HUKUMNYA
By Timur Abimanyu, SH.MH
Pendahuluan :
Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, tercantum bahwa setiap
warga negara berhak mendapat penghidupan, pendidikan, dan pekerjaan yang layak serta
status hukum yang sama dimata hukum. Penulis memilih judul Perlindungan Anak dalam
rangka memenuhi tugas Pengantar Ilmu Hukum1 dikarenakan menurut pandangan penulis
masih banyak sekali anak-anak di negeri ini yang tidak endapatkan hak- hak mereka
seperti yang saya sebutkan diatas. Padahal walaupun masih anak-anak mereka juga
merupakan warga negara bangsa ini yang seharusnya juga mendapat perlakuan yang
sama dari pemerintah dan Negara. Dimana anak juga merupakan salah satu aset terpinting
suatu negara, hal ini dikarenakan merekalah yang nantinya akan menjadi generasi
penerus bangsa ini. Mengingat tanggung jawab moral yang akan mereka pikul ketika
dewasa nanti, sudah seharusnya mereka mendapatkan sesuatu yang layak di kehidupan
mereka, terutama di bidang pendidikan dan perlindungan dari kekerasan.2
Dengan pemberlakuan Perlindungan anak yaitu UU No. 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak adalah amanat yang diberikan Allah kepada kedua orang tua
untuk dijaga, dididik dan dilindungi. Perlindungan terhadap anak tidak hanya diberikan
setelah ia lahir tapi bayi yang masih di dalam kandunganpun juga wajib dilindungi. Oleh
karena itu, orang tua sebagai orang terdekat dari anak maka wajib melindungi bayi
sampai ia dewasa nanti.3 Undang Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak, dalam Pasal I butir I UU No. 23/2002 berbunyi: “Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam 1. HLA. Hart, Th Consept of Law, (londn : Oxford University Pes, 1961), hal.32.2. Sarjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum. (Bandung : Penrit : PT.Citra Aditya Bakti,
1989), hal..23.3. Donal Black, The Behavior of Law, (New York : Academic Press, 1976), hal, 25.
kandungan”.Pengertian dan batasan tentang anak sebagaimana dirumuskan dalam pasal I
butir I UU No.23/2002 ini, tercakup 2 (dua) faktor penting yang menjadi unsur definisi 4anak, yakni:
” Pertama, seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Dengan demikian, setiap orang yang telah melewati batas usia 18 tahun, termasuk orang yang secara mental tidak cakap, dikualifikasi sebagai bukan anak, yakni orang dewasa. Dalam hal ini, tidak dipersoalkan apakah statusnya sudah kawin atau tidak. Kedua, anak yang masih dalam kandungan. Jadi, UU No.23/2002 ini bukan hanya melindungi anak yang sudah lahir tetapi diperluas, yakni termasuk anak dalam kandungan”.
Mengenai pengertian dan batasan usia anak dalam UU No. 23/2002, bukan
dimaksudkan untuk menentukan siapa yang telah dewasa, dan siapa yang masih anak-
anak. Sebaliknya, dengan pendekatan perlindungan, maka setiap orang (every human
being) yang berusia di bawah 18 tahun- selaku subyek hukum dari UU No. 23/2002 :
mempunyai hak atas perlindungan dari Negara yang diwujudkan dengan jaminan hukum
dalam UU No. 23/2002.
Pendapat pakar hukum Nur Hasyim yang dimaksud dengan anak5 adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk yang masih dalam kandungan ibunya,
yang merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, memiliki harkat, martabat
serta hak-hak sebagai manusia yang harus dihormati. Anak merupakan tunas, potensi
serta generasi penerus cita-cita bangsa. Anak yang merupakan potensi dan sumber daya
manusia bagi pembangunan nasional, memerlukan pembinaan dan perlindungan. Dimana
anak merupakan investasi unggul untuk melanjutkan kelestarian peradaban sebagai
penerus bangsa, maka haruslah diperhatikan pendidikan dan hak-haknya. Orang tua
memiliki tugas yang amat penting dalam menjaga dan memperhatikan hak-hak anak.
Kewajiban melindungi hak anak agar anak akan tumbuh dengan sempurna,
sehat jasmani dan rohani sehingga dapat menjadi generasi penerus bangsa. Seyogyanya
anak harus dipandang sebagai aset berharga suatu bangsa dan negara di masa mendatang
4. Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (bandung, Aumni, 1982), h, 310.5 R. Otje Salman, Sosiologi Hukum : Suatu Pengantar, (Bandung : Penerbi CV, Armico,
1992), hal.13.
yang harus dijaga dan dilindungi hak-haknya. Hal ini dikarenakan bagaimanapun juga di
tangan anak-anak lah kemajuan suatu bangsa tersebut akan ditentukan. Karena semakin
modern suatu negara, seharusnya semakin besar perhatiannya dalam menciptakan kondisi
yang kondusif bagi tumbuh kembang anak-anak dalam rangka perlindungan.
Perlindungan yang diberikan negara terhadap anak – anak meliputi berbagai aspek
kehidupan, yaitu aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, hankam maupun aspek hukum.6
Pendapat pakar hukum lainnya : Barda Nawawi Arief, dimana perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. (Barda Nawawi Arief,1998:155).
Perlindungan hukum bagi anak mempunyai spektrum yang cukup luas.
Dalam berbagai dokumen dan pertemuan internasional terlihat bahwa perlunya
perlindungan hukum bagi anak dapat meliputi berbagai aspek, yaitu: (a) perlindungan
terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak; (b)perlindungan anak dalam proses
peradilan7; (c) perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga, pendidikan
dan lingkungan sosial); (d) perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan
kemerdekaan;8 (e) perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan,
perdagangan anak, pelacuran, pornografi, perdagangan/penyalahgunaan obat-obatan,
memperalat anak dalam melakukan kejahatan dan sebagainya); (f) perlindungan terhadap
anak-anak jalanan; (g) perlindungan9 anak dari akibat-akibat peperangan/konflik
6 .Geert, Hartz, Cunningham, Turner, dan Levi Strauss, Struktur Sosial, Agama dan Upacara, dikutip dari www.yahoo.co. Tgl 23 Oktober 2004.
7. M. Qurash Shihab, Wawasan Al Qur’an, Cet.Ke IX, (Bandung : Mizan, 1999) h.253. 8. Muhammad –Hufy, Ahmad, Akhlak Nabi Muhammad SAW : Keluhuran dan Kemuliaan.
(jakarta : Bulan Bintang, 1987), h. 15. Bandingkan uraian, Ahmadamin, Etika (Ilmu Akhlak), ( Jakarta : Bulan Bintang, 1987), h.62.
9.Frans Magnis Suso, Etika Dasa Masalah-masalah Pokok Filsaat Moral, (Yogyakarta, 1985), h.18-20.
bersenjata; (h) perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan. (Barda Nawawi Arief,
1998:156).
Kesejahteraan10 anak merupakan orientasi utama dari perlindungan hukum.
Secara umum, kesejahteraan anak tersebut adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan
anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik
secara rohani, jasmani maupun sosial.(Paulus Hadisuprapto, 1996:7). Berdasarkan
prinsip non- diskriminasi,11 kesejahteraan merupakan hak setiap anak tanpa terkecuali.
Maksudnya adalah bahwa setiap anak baik itu anak dalam keadaan normal maupun anak
yang sedang bermasalah tetap mendapatkan prioritas yang sama dari pemerintah dan
masyarakat dalam memperoleh kesejahteraan tersebut. Kondisi anak dewasa ini yang
sangat mengkhawatirkan seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah dan
masyarakat.12 Realita menunjukkan bahwa kesejahteraan anak untuk saat ini, nampaknya
masih jauh dari harapan. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa tidak sedikit anak
yang menjadi korban kejahatan dan dieksploitasi dari orang dewasa, dan tidak sedikit
pula anak-anak yang melakukan perbuatan menyimpang,13 yaitu kenakalan hingga
mengarah pada bentuk tindakan kriminal, seperti narkoba, minuman keras, perkelahian,
pengrusakan, pencurian bahkan bisa sampai pada melakukan tindakan pembunuhan.
Perilaku menyimpang yang dilakukan anak ini disebabkan oleh beberapa
faktor internal maupun eksternal dari si anak, di antaranya adalah perkembangan fisik dan
jiwanya (emosinya) yang belum stabil, mudah tersinggung dan peka terhadap kritikan,
serta karena disebabkan pengaruh lingkungan sosial di mana anak itu berada.(Gatot
10.Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, (Bandung, Remadja Karya, 198), hal.53.
11.Roscoe Pound, Interpretation of Legal History, USA : Holmes Heach, Plorida, 1986, hal.164.
12 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu Kajian Filosofi dan Sosiologis, Gunung Agung, Jakata, 2002, hal. 88.
13 . Engineering Interpretation diambil dari Bab VII buku Rocoe Pound yang berjudul : Interpretation of Legal History. (USA : Holmes Heach, Plorida, 1986), Hal.141-165.
Supramono, 2000:4). Perilaku menyimpang anak-anak tersebut (atau yang disebut juga
dengan deliquency) tidak dapat dipandang mutlak sama dengan perbuatan menyimpang
yang dilakukan orang dewasa. Meskipun pada prinsipnya jenis perbuatannya sama,
namun tingkat kematangan fisik dan emosi anak masih rendah, dan masa depan anak
seharusnya dapat menjadi pertimbangan dalam hal menentukan perlakuan yang tepat
terhadap mereka. Terhadap anak yang melakukan perbuatan yang menyimpang, sikap
yang ditunjukkan masyarakat dan pemerintah seringkali kurang arif. Anggapan atau
stigma sebagai anak nakal atau penjahat seringkali diberikan kepada mereka, bahkan
dalam proses peradilan, mereka kerapkali diperlakukan tidak adil. Sehingga yang terjadi
adalah anak-anak pelaku kejahatan tersebut menjadi korban struktural dari para penegak
hukum.
Beberapa produk perundang-undangan sebenarnya telah dibuat guna
menjamin terlaksananya perlindungan hukum bagi anak. misalnya, Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan anak dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan anak. Mengingat anak dipandang sebagai subjek khusus dalam hukum, maka
peraturan perundang-undangan tersebut memuat berbagai kekhususan tentang anak, yaitu
kekhususan perlakuan hukum terhadap anak baik sebagai korban maupun anak sebagai
pelaku, baik dalam proses pengadilannya hingga pada penjatuhan sanksi yang dikenakan
dan lembaga pemasyarakatannya.
Kekhususan-kekhususan tertentu mengenai cara memperlakukan anak-anak
pelaku kejahatan dalam berbagai undang-undang, pada kenyataannya tidak menjamin
tindakan para penegak hukum dalam memperlakukan anak pelaku kejahatan secara arif
dan bijaksana dengan memperhatikan kondisi internal anak-anak dan pengaruh jangka
panjang bagi masa depannya. Pada masalah ini dikarenakan, masih banyak penegak
hukum yang kurang memperhatikan hak-hak anak pelaku tindak pidana. Mereka
kerapkali memperlakukan mereka sama dengan pelaku yang sudah dewasa, semisal
mereka diletakkan di Lembaga Pemasyarakatan yang sama dengan pelaku dewasa
umumnya tanpa mempertimbangkan ekses-ekses negatif yang timbul dari tindakan
tersebut.
Lingkup perlindungan anak :
Perlindungan anak sebagai pelaku tindak pidana sama pentingnya dengan
perlindungan anak sebagai korban. Bertolak dari pemikiran tersebut, maka penulis dalam
makalah ini menfokuskan pada kajian terhadap perlindungan anak dilihat dari 2 (dua)
sudut pandang yakni anak sebagai pelaku dan anak sebagai korban ditinjau dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan Beijing Rules. Bahasan pertama
mengenai kedudukan anak di mata hukum, kemudian bahasan yang kedua adalah
mengenai perlindungan yang diberikan hukum kepada anak sebagai pelaku tindak pidana
yang dikaitkan hukum pidana positif yang berlaku dan Beijing Rules.
Permaalahan hukum :
Berdasarkan uraian tersebut diatas, adanya permasalahan hukum pada
Perlindungan anak yang menjadi perhatian penulisan yaitu :
1. Apa yang menjadi landasan hukum apa yang melindungi anak - anak Indonesia?2. Sampai sejauhmanakah implementasi UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan
anak dijalankan ?2. Apa tugas, alasan, dan landasan hukum dibentuknya lembaga nasional Komisi
Perlindungan Anak (KPA)?3. Apa saja hal - hal yang dianggap melanggar UU perlindungan anak?
Dasar Hukum :
Sumber-sumber hukum meliputi yang terdapat pada :1. Undang-undang Dasar 1945 pasal 28B ayat 2.2. Undang Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.3. Kitab undang-undang hukum pidana.4. UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.5. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.6. UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.7. UU No. 22 tahun 1997 tentang narkotika.8. UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.9. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
10.UU NO. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.11.UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.12.UU No.12 Tahun 2005 tentang kewarganegaraan.13.UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.14.UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Korban.15.UU No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO : setiap orang yang melakukan tindak pidana
perdagangan orang dan korbannya adalah anak, maka ancaman pidananya ditambah sepertiga.
16.RPJMN 2004-2009 (Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005),Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak merupakan salah satu dari agenda menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis.
17.RKP 2006 dan RKP 2007 : Pengarusutamaan anak merupakan salah satu program pembangunan, dan harus dilakukan untuk memastikan kebijakan/ program/ kegiatan pembangunan peduli/ ramah anak.
Pengertian Perlindungan anak : 14
Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang dimiliki orang
dewasa, hak asasi manusia (HAM).15 Pemberitaan yang menyangkut hak anak tidak
segencar sebagaimana hak-hak orang dewasa (HAM) atau isu gender, yang menyangkut
hak perempuan. Perlindungan hak anak16 tidak banyak pihak yang turut memikirkan dan
melakukan langkah-langkah kongkrit. Demikian juga upaya untuk melindungi hak-hak
anak yang dilanggar yang dilakukan negara, orang dewasa atau bahkan orang tuanya
sendiri, tidak begitu menaruh perhatian akan kepentingan masa depan anak. Dimana anak
merupakan belahan jiwa, gambaran dan cermin masa depan, aset keluarga, agama, bangsa
dan negara.17 Di berbagai negara dan berbagai tempat di negeri ini, anak-anak justru
mengalami perlakuan yang tidak semestinya, seperti eksploitasi anak, kekerasan terhadap
14 Zainuddin Ali, Ilmu Hukum dalam Masyarakat Indonesia, (Palu, YMIB, 2001), hal 219.15 15. W ignjodipoero, Soerojo.Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta : CV.Haji
Masagung, 1983), hal.76-77.16 . Soerjono Soekanto dan Mustapa Abdullah, Hukum Adat Indonesia. (Jakarta : Rajawali
Press, 1983), hal.19317 .AM. Saefuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Presfektif Islam, (jakarta : Rajawali,
1987), hal..113.
anak, dijadikan alat pemuas seks, pekerjaanak, diterlantarkan, menjadi anak jalanan dan
korban perang/ konflik bersenjata.
Menurut data yang dikeluarkan UNICEF 18tahun 1995, diketahui bahwa
dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, hampir 2 juta anak-anak tewas, dan 4-5 juta
anak-anak cacat hidup akibat perang. Di beberapa negara, seperti Uganda, Myanmar,
Ethiopia, Afghanistan dan Guatemala, anak-anak dijadikan peserta
tempur (combatan) dengan dikenakan wajib militer. Semua terjadi akibat kedahsyatan
mesin perang yang diproduksi negara-negara industri, yang pada akhirnya membawa
penderitaan bukan hanya dalam jangka pendek, tetapi juga berakibat pada jangka panjang
yang menyangkut masa depan pembangunan bangsa dan negara. Demikian juga di
negara-negara yang dalam keadaan aman,yang tidak mengalami konflik bersenjata, telah
terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak akibat pembangunan ekonomi yang dilakukan,
seperti pekerja anak (child labor), anak jalanan (street children), pekerja seks anak (child
prostitution), penculikan dan perdagangan anak (child trafficking), kekerasan
anak (violation) dan penyiksaan (turtore) terhadap anak.
Pada Negara Indonesia pelanggaran hak-hak anak baik yang tampak mata
maupun tidak tampak mata, menjadi pemandangan yang lazim dan biasa diberitakan di
media masa, seperti mempekerjakan anak baik di sektor formal, maupun informal,
eksploitasi hak-hak anak. Upaya mendorong prestasi yang terlampau memaksakan
kehendak pada anak secara berlebihan, atau untuk mengikuti berbagai kegiatan belajar
dengan porsi yang melampaui batas kewajaran agar mencapai prestasi seperti yang
diinginkan orang tua. Termasuk juga meminta anak menuruti kehendak pihak tertentu
(produser) untuk menjadi penyayi atau bintang cilik, dengan kegiatan dan jadwal yang
padat, sehingga anak kehilangan dunia anak-anaknya. Pada sisi lain sering dijumpai
perilaku anak yang diketegorikan sebagai anak nakal atau melakukan pelanggaran
hukum, tapi tidakmendapat perlindungan hukum sebagaimana mestinya dalam proses
hukum. Hak-hak yang mereka miliki diabaikan begitu saja dengan perlakukan yang tidak
manusiawi oleh pihak tertentu, dan kadang kala dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk
18 . Soejono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhdap Masalah-Masalah Sosial, Penerbit umni, Bandung, 1981, hal. 188.
mencari keuntungan diri sendiri, tanpa peduli bahwa perbuatannya telah melanggar hak-
hak anak.
Pengertian Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002 :19
Anak adalah amanat yang diberikan Allah kepada kedua orang tua untuk
dijaga, dididik dan dilindungi. Perlindungan terhadap anak tidak hanya diberikan setelah
ia lahir tapi bayi yang masih di dalam kandunganpun juga wajib dilindungi. Oleh karena
itu, orang tua sebagai orang terdekat dari anak maka wajib melindungi bayi sampai ia
dewasa nanti. Pengertian anak menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak tercantum dalam Pasal I butir I UU No. 23/2002 berbunyi: “Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas tahun),20 termasuk anak yang masih dalam
kandungan”.Dalam pengertian dan batasan tentang anak sebagaimana dirumuskan dalam
pasal I butir I UU No.23/2002 ini tercakup 2 (dua) isu penting yang menjadi unsur
definisi anak, yakni: Pertama, seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
Dengan demikian, setiap orang yang telah melewati batas usia 18 tahun, termasuk orang
yang secara mental tidak cakap, dikualifikasi21 sebagai bukan anak, yakni orang dewasa.
Dalam hal ini, tidak dipersoalkan apakah statusnya sudah kawin atau tidak.
Kedua, anak yang masih dalam kandungan. Jadi, UU No.23/2002 ini bukan hanya
melindungi anak yang sudah lahir tetapi diperluas, yakni termasuk anak dalam
kandungan. Pengertian dan batasan usia anak dalam UU No. 23/2002, bukan
dimaksudkan untuk menentukan siapa yang telah dewasa, dan siapa yang masih anak-
anak. Sebaliknya, dengan pendekatan perlindungan, maka setiap orang (every human
being) yang berusia di bawah 18 tahun – selaku subyek hukum dari UU No. 23/2002 –
mempunyai hak atas perlindungan dari Negara yang diwujudkan dengan jaminan hukum
dalam UU No. 23/2002.19.Abdul Ghofur Anshori, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia,
Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Editor : Khotibul Umam dan Muhammad Rifqi, Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008, hal. 215.
20. Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 289.
21..Sayyid Sabiq.” Fiqih Sunjnah”, Penerjemah : Nor Hasanuddin, Penyunting : Dendi Irfan, Arif Anggoro, Dedi M. Han Basri, Cet.2, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2007.
Perlindungan Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002.22
Perlindungan anak adalah segala kegiatan yang menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berprestasi secara
optimal sesuai dengan harkat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Suatu Undang-Undang pasti mempunyai prinsip yaitu
sesuatu yang dijadikan acuan, begitu juga dengan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. Prinsip perlindungan anak menurut UU No.23/2002 tercantum dalam
pasal 2 UU No. 23/2002 yang berbunyi: Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan
Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar
Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:23
1. Nondiskriminasi.
2. Kepentingan yang terbaik bagi anak. 3. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan.
3. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Dengan demikan prinsip-prinsip perlindungan anak dalam UU No. 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak mengadopsi prinsip-prinsip dasar dari KHA (Konvensi
Hak-Hak Anak) dan berasaskan Pancasila dan UUD 1945. Kemudian tercantum dalam
pasal 2 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Telah disebutkan dalam
undang-undang tersebut bahwa terdapat 4 prinsip perlindungan anak yaitu:24
1. Non diskriminasi Alinea pertama Pasal 2 KHA menciptakan kewajiban fundamental
Negara paserta (fundamental obligation of state parties) yang mengikatkan diri dengan
Konvensi Hak Anak, untuk menghormati dan menjamin (to respect and ensure)
seluruh hak-hak anak dalam konvensi ini kepada semua anak dalam semua jurisdiksi
nasional dengan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Prinsip non diskriminasi ini 22.Rasjidin oesman, ”Filsafat Hukum”, Universitas Islam Jakarta Program Magister Ilmu Hukum,
jakarta, 2005,hal.1.23.Feener R.Michael, Islamic Law In Contemporary Indonesia : Ideas and Institutions, Editor
By R.Michael Feener, Mark.E.Cammack, Cambridge : Harvard Law School, hal 195.24.Fadjar, ”beraneka ragam itu semua berasal dari materi atau benda yaitu sesuatu yang
berbentuk dan menempati ruang serta kedudukan nilai benda/badan/materi adalah lebih tinggi daripada roh/sukma/jiwa/spirit”, 2007: 1-2.
diartikulasikan pada umumnya konvensi dan atau instrument internasional HAM,
seperti Universal Declaration of Human Right, International Convenant on Civil and
Political Right, and Convenant on Economic, Social and Cultural Right, Convention
on Elimination of All Form Discrimination Againt Women (CEDAW).
Beberapa konvensi HAM mengartikan diskriminasi sebagai adanya pembedaan
(distinction), pengucilan (exclusion), pembatasan (restriction) atau
pilihan/pertimbangan (preference), yang berdasarkan atas ras (race), warna kulit
(colour), kelamin (sex), bahasa (language), agama (religion), politik (political) atau
pendapat lain (other opinion), asal-usul social atau nasionalitas, kemiskinan (poverty),
kelahiran atau status lain. Dalam hukum nasional, pengertian diskriminasi dapat dilihat
dalam pasal I butir 3 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi
sebagai berikut:
“Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung
ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku,
ras, etnik, kelompok, golongan status social, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan,
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi,
hukum, social, budaya dan aspek kehidupan lainnya”.
Dalam hal peradilan anak, United Nations Standard Minimum Rules for
the Administration of juvenile justice yang dikenal dengan “Beijing Rules” juga
memuat prinsip non diskriminasi dalam peradilan anak. Berdasarkan Peraturan
Nomor 2 ayat I Beijing Rules disebutkan bahwa standar peraturan minimum
diterapkan pada anak-anak pelanggar hukum (juvenile offenders) secara tidak
memihak (impartially), tidak dengan pembedaan dalam segala bentuknya, misalnya
ras, warna kulit, kelamin, bahasa, agama, politik, dan pendapat lain, asal kebangsaan,
atau kewarganegaraan, harta benda kekayaan (property), kelahiran, atau status
lainnya. Dalam Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28 B ayat 2, dirumuskan secara
eksplisit hak anak dari diskriminasi, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dengan adanya prinsip ini,
seorang anak akan terhindar dari perlakuan yang tidak adil dari orang lain karena
dalam Undang-Undang tersebut setiap anak mempunyai hak sama.
2. Kepentingan yang terbaik bagi anak, yang dimaksud dengan prinsip kepentingan
yang terbaik bagi anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak
yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif,
maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Jadi,
segala sesuatu yang menyangkut kepentingan bagi anak diusahakan harus sesuatu
yang baik untuk kelangsungan hidup anak.
Prinsip kepentingan terbaik bagi anak (The Best Interest of The Child) diadopsi dari
Pasal 3 ayat I KHA, yang meminta negara dan pemerintah, serta badan-badan publik
dan privat memastikan dampak terhadap anak-anak atas semua tindakan mereka.
Tentunya menjamin bahwa prinsip The Best Interest of The Child menjadi
pertimbangan utama, memberikan prioritas yang lebih baik bagi anak-anak dan
membangun masyarakat yang ramah anak (child friendly-society). Upaya untuk
menjamin prinsip The Best Interest of The Child ini, dalam rumusan Pasal 3 ayat 2
KHA ditegaskan bahwa Negara peserta menjamin perlindungan anak dan
memberikan kepedulian pada anak dalam wilayah yurisdiksinya. Negara mengambil
peran untuk memungkinkan orang tua bertanggungjawab terhadap anaknya,
demikian pula lembaga-lembaga hukum lainnya. Pasal 3 ayat 3 KHA menyebutkan
negara mesti menjamin institusi-institusi, pelayanan, dan fasilitas yang diberikan
tanggung jawab untuk kepedulian pada anak atau perlindungan anak yang sesuai
dengan standar yang dibangun oleh lembaga yang berkompeten. Negara mesti
membuat standar pelayanan sosial anak, dan memastikan bahwa semua intitusi yang
bertanggung jawab mematuhi standar dimaksud dengan mengadakan monitoring atas
pelaksanaannya. Berkaitan dengan Pasal 3 ayat I KHA tersebut, dalam Beijing Rules
juga dikandung prinsip The Best Interest of The Child. Menurut Beijing Rules,
negara anggota (state member) berusaha mendorong kesejahteraan anak beserta
keluarganya (vide Peraturan I ayat I), dan menentukan bahwa sistem peradilan anak
harus menekankan kesejahteraan anak (vide Peraturan 5 ayat I), dan prosedur
peradilan yang kondusif terhadap kepentingan terbaik anak (the best interest of the
juvenile) (vide Peraturan 14 ayat 2), serta kesejahteraan anak harus menjadi faktor
penentu arah dalam memberikan pertimbangan dalam kasus anak (vide Peraturan 17
ayat I, d).
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan.
Yang dimaksud dengan prinsip untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan
adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh Negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.
Prinsip ini merupakan implementasi dari pasal 6 KHA, 25yang kemudian secara
eksplisit dianut sebagai prinsip-prinsip dasar dalam UU No. 23/2002. Selanjutnya,
prinsip ini dituangkan dalam norma hukum Pasal 4 UU No. 23/2002. Jika
dibandingkan, norma hukum Pasal 4 UU No. 23/2002 mengacu dan bersumber
kepada Pasal 28 B ayat I dan ayat 2 UUD 1945.
Sementara itu, ketentuan perundang-undangan lainnya seperti UU No. 39/1999 juga
mengatur hak hidup ini yang merupakan asas-asas dasar dalam Pasal 4 dan 9 UU No.
39/1999. Hak hidup ini, dalam wacana instrument/konvensi internasional merupakan
hak asasi yang paling universal, dan dikenali sebagai hak yang utama (supreme
right). Sebelum disahkannya KHA, beberapa instrument/konvensi internasional juga
sudah menjamin hak hidup sebagai hak dasar seperti Universal Declaration of
Human Right (pasal 2), International Covenant on Civil and Political Right- ICCPR
(pasal 6).
4. Penghargaan terhadap pendapat anak, yang dimaksud dengan prinsip penghargaan
terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi
dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika
25.Rasyid, ”yang meliputi peraturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif, melainkan sebatas hukum Islam yang menyangkut aspek keperdataan tertentu saja. Itulah yang menjadi hukum yang hidup (living law) dan selebihnya seperti aturan-aturan yang menyangkut aspek peribadatan dan lain sebagainya masih belum menjadi hukum yang hidup dimasyarakat”, 1991 : 6.
menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya. Prinsip ini merupakan
wujud dari hak partisipasi anak yang diserap dari Pasal 12 KHA. Mengacu kepada
Pasal 12 ayat I KHA,26 diakui bahwa anak dapat dan mampu membentuk atau
mengemukakan pendapatnya dalam pandangannya sendiri yang merupakan hak
berekspresi secara bebas (capable of forming his or her own views the rights to
express those views freely).27 Jaminan perlindungan atas hak mengemukakan
pendapat terhadap semua hal tersebut, mesti dipertimbangkan sesuai usia dan
kematangan anak.
Sejalan dengan itu, Negara peserta wajib menjamin bahwa anak diberikan
kesempatan untuk menyatakan pendapatnya pada setiap proses peradilan ataupun
administrasi yang mempengaruhi hak anak, baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Jadi, setiap anak berhak mengemukakan pendapatnya jika hak-haknya
tidak terpenuhi baik secara lisan maupun tulisan.
Hak Dan Kewajiban Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002 sebagai berikut :
1. Hak Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002 : hak anak adalah bagian dari hak asasi
manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan Negara. Hak-hak anak yang tercantum dalam UU No. 23
Tahun 2002 di antaranya adalah:
Tertuang dalam pasal 4 : dimana setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.Pasal 5,
setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan.Pasal 6 : setiap anak berhak untuk bribadah menurut agamanya,
berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam
bimbingan orang tua, Pasal 7 : (1) setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya,
26.Masruri dan Rosidy dalam Fadjar, ”Epistemologi adalah yang terkait dengan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuan”, 2007: 4.
27. Imam Syarkani. ”Epistemologi Islam Indonesia : Dan Relevansinya Bagi Pembangunan Hukum Nasional”, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006, hal 176.
dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.(2) Dalam hal karena suatu sebab
orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau dalam keadaan
terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak
angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, Pasal 8 : setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan
sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial, Pasal 9 :(1) setiap
anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya, (2) Selain
hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang
cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang
memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.Pasal 10: Setiap
anak berhak menyatakan dan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan
memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan. Pasal 11 :
setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan
anak sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan
tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. Pasal 12 : setiap anak yang
menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan
taraf kesejahteraan sosial. Pasal 13: (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang
tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan:1. Diskriminasi,2. eksploitasi, baik ekonomi
maupun seksual, 3. Penelantaran, 4.kekejaman, kekerasan, peng-aniaya-an,
5.ketidakadilan.6.perlakuan salah lainnya, (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh
anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
pelaku dikenakan pemberatan hukuman. Pasal 14 : setiap anak berhak untuk diasuh
oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan /atau aturan hukum yang sah
menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan
merupakan pertimbangan terakhir. Pasal 15 : Setiap anak berhak untuk memperoleh
perlindungan dari: 1.penyalahgunaan dalam kegiatan politik. 2. pelibatan dalam
sengketa bersenjata. 3. pelibatan dalam kerusuhan sosial. 4. pelibatan dalam peristiwa
yang mengandung unsur kekerasan. 5. pelibatan dalam peperangan. Pasal 16 : (1)
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan,
atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (2) Setiap anak berhak untuk
memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. (3) Penangkapan, penahanan, atau
tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai hukum yang berlaku dan
hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Pasal 17 : (1) Setiap anak yang
dirampas kebebasannya berhak untuk: a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi
dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa. b. Memperoleh bantuan hukum
atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. c.
Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan
tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. (2) Setiap anak yang menjadi
korban atau pelaku kekerassan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak
dirahasiakan. Pasal 18 : Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana
berhak mendapatkan bantuan hukum atau bantuan lainnya.
2. Kewajiban Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002 :28
Kewajiban berasal dari kata dasar “wajib” yang artinya harus melakukan; tidak boleh
tidak dilaksanakan (ditinggalkan). Mendapat awalan ke- dan akhiran -an, menjadi
kewajiban yang artinya sesuatu yang harus dilaksanakan. Jadi, kewajiban anak adalah
sesuatu yang harus dilaksanakan oleh seorang anak.
Di antara kewajiban yang harus dilakukan oleh anak menurut UU No. 23 Tahun 2002
adalah:
Pasal 19 : setiap anak berkewajiban untuk:29
a. menghormati orang tua, wali, dan guru.
b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman.
c. mencintai tanah air, bangsa, dan Negara.
28.Mertokusumo, ”Dengan demikian sillogisme atau dialektika hanyalah memberi bentuk untuk membenarkan putusan, sedangkan untuk menemukan putusannya diperlukan analogi dan acontrario ”, 1999: 167.
29.Sumardjono, ”siklus ilmu pengetahuan sebagaimana digambarkan oleh L. Wallace di dalam bukunya The Logic of Science in Sociology”, 1989: 3
d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya.
e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Kewajiban Orang Tua Menurut UU No. 23 Tahun 2002 :
Orangtua sebagai orang terdekat anak berkewajiban melaksanakan kewajibannya.
Orangtua tidak boleh hanya menuntut hak terhadap anak saja tetapi juga memiliki
kewajiban yang harus ia laksanakan. Dalam UU No. 23 Tahun 2002 terdapat kewajiban
orangtua yaitu tercantum dalam pasal 26 yang berbunyi:
1. Orang tua berkewajiban dan berytanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
2. Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu
sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban
dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada
keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pengertian Anak dalam Perspektif Dokumen Internasional dan Hukum Pidana Positif Indonesia :Terdapat banyak sekali definisi yang menjabarkan atau memberikan batasan mengenai
siapakah yang disebut dengan ”anak” ini. Masing-masing definisi ini memberikan
batasan yang berbeda disesuaikan dengan sudut pandangnya masing-masing. Pasal
1 Children Rights Convention (CRC) atau Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi
Indonesia pada tahun 1990, mendefinisikan bahwa anak adalah:
“………..Setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan undang-
undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.
(C.De Rover, 2000:369)
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak merumuskan
dalam pasal 1 nomor 1 bahwa :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak dalam
kandungan”
Di antara undang-undang yang lain, Undang-undang perlindungan anak ini lebih rigid
dan limitatif dalam membatasi pengertian anak dengan memasukkan anak yang dalam
kandungan sebagai kategori anak juga. Dalam Pasal 1 nomor 2 Undang-undang Nomor 4
Tahun 1979, tentang Kesejahteraan anak disebutkan bahwa “anak adalah seseorang yang
belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”.
Dan, yang terakhir Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan dalam
pasal 1 nomor 1 bahwa:
“Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur delapan tahun,
tetapi belum mencapai umur 18 tahun danbelum pernah kawin”.
Dari beberapa perundang-undangan pidana Indonesia, penulis dapat menggarisbawahi
tiga hal yang signifikan, yaitu: (1) Batasan yang digunakan oleh masing-masing undang-
undang yang telah disebutkan di atas untuk memaknai siapakah yang disebut anak
tersebut, umumnya berdasarkan batasan umur; (2) KUHP sebagai peraturan induk dari
keseluruhan peraturan hukum pidana di Indonesia, sama sekali tidak memberikan batasan
yuridis mengenai anak. Pasal 45 KUHP yang selama ini dianggap sebagai batasan anak
yang dalam KUHP, sesungguhnya bukan merupakan definisi anak, melainkan batasan
kewenangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang melakukan
perbuatan sebelum berumur 16 (enam belas) tahun; (3) Dari perundang-undangan pidana
seperti yang telah disebut di atas, nampak adanya ketidakseragaman definisi antara
undang-undang yang satu dengan yang lainnya dalam hal memaknai siapakah yang
disebut anak tersebut. Ketidak seragaman tersebut dilatarbelakangi dengan adanya
perbedaan tujuan dan sasaran dari masing-masing undang-undang tersebut. Meskipun
tidak dipungkiri, adanya perbedaan definisi ini akan menyulitkan para penegak hukum
dalam memberlakukan hukum yang sesuai terhadap anak.
1. Signifikansi Kedudukan Khusus Anak Di Mata Hukum :
Sama halnya dengan orang dewasa, anak dengan segala keterbatasan biologis
dan psikisnya mempunyai hak yang sama dalam setiap aspek kehidupan, baik itu
aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, hankam, dan hukum. Prinsip
kesamaan hak antara anak dan orang dewasa dilatar belakangi oleh unsur internal dan
ekternal yang melekat pada diri anak tersebut, yaitu: Unsur internal pada diri anak,
meliputi: (a) bahwa anak tersebut merupakan subjek hukum sama seperti orang
dewasa, artinya sebagai seorang manusia, anak juga digolongkan sebagai human
rights yang terikat dengan ketentuan perundang-undangan; (b) Persamaan hak dan
kewajiban anak. Maksudnya adalah seorang anak juga mempunyai hak dan kewajiban
yang sama dengan orang dewasa yang diberikan oleh ketentuan perundang-undangan
dalam melakukan perbuatan hukumnya. Hukum meletakkan anak dalam reposisi
sebagai perantara hukum untuk dapat memperoleh hak atau melakukan kewajiban-
kewajiban; dan atau untuk dapat disejajarkan dengan kedudukan orang dewasa; atau
disebut sebagai subjek hukum yang normal. Sedangkan, Unsur eksternal pada diri
anak, meliputi: (a) Prinsip persamaan kedudukan dalam hukum (equaliy before the
law), memberikan legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu
untk berbuat peristiwa hukum; yang ditentukan oleh ketentuan peraturan hukum
sendiri. Atau ketentuan hukum yang memuat perincian tentang klasifikasi kemampuan
dan kewenangan berbuat peristiwa hukum dari anak yang bersangkutan; (b) Hak-hak
privilege yang diberikan negara atau pemerintah yang timbul dari UUD 1945 dan
perundang-undangan lainnya. (Maulana Hassan Waddong, 2000:4&5). Meskipun pada
prinsipnya kedudukan anak dan orang dewasa sebagai manusia adalah sama di mata
hukum, namun hukum juga meletakkan anak pada posisi yang istimewa (khusus).
Artinya, ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku pada anak dibedakan dengan
ketentuan hukum yang diberlakukan kepada orang dewasa, setidaknya terdapat
jaminan-jaminan khusus bagi anak dalam proses acara di pengadilan.
Jelasnya menurut penulis, bahwa kedudukan istimewa (khusus) anak dalam
hukum itu dilandasi dengan pertimbangan bahwa anak adalah manusia dengan segala
keterbatasan biologis dan psikisnya belum mampu memperjuangkan segala sesuatu
yang menjadi hak-haknya. Selain itu, juga disebabkan karena masa depan bangsa
tergantung dari masa depan dari anak-anak sebagai generasi penerus. Oleh karena itu,
anak sebagai subjek dari hukum negara harus dilindungi, dipelihara dan dibina demi
kesejahteraan anak itu sendiri.
Yang pada prinsipnya dilihat pada : Prinsip anak tidak dapat berjuang
sendiri, Anak dengan segala keterbatasan yang melekat pada dirinya belum mampu
melindungi hak-haknya sendiri. Oleh karena itu, orang tua, masyarakat dan negara
harus berperan serta dalam melindungi hak-hak tersebut; Prinsip kepentingan terbaik
anak, bahwa kepentinganterbaik anak harus dipandang sebagai ‘paramount
importance’ atau prioritas utama; Prinsip Ancangan Daur Kehidupan (life circle
approach, harus terbentuk pemahaman bahwa perlindungan terhadap anak harus
dimulai sejak dini dan berkelanjutan; Lintas Sektora, bahwa nasib anak sangat
bergantung pada berbagai faktor makro dan mikro, baik langsung maupun tidak
langsung. (Muhammad Joni, 1999:106).
2. Perlindungan Anak Secara Umum :
Mendapatkan perlindungan merupakan hak dari setiap anak, dan
diwujudkannya perlindungan bagi anak berarti terwujudnya keadilan dalam suatu
masyarakat. Asumsi ini diperkuat dengan pendapat Age, yang telah mengemukakan
dengan tepat bahwa “melindungi anak pada hakekatnya melindungi keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara di masa depan”. (Arief Gosita, 1996:1). Dari
ungkapan tersebut nampak betapa pentingnya upaya perlindungan anak demi
kelangsungan masa depan sebuah komunitas, baik komunitas yang terkecil yaitu
keluarga, maupun komunitas yang terbesar yaitu negara. Artinya, dengan
mengupayakan perlindungan bagi anak komunitas-komunitas tersebut tidak hanya
telah menegakkan hak-hak anak, tapi juga sekaligus menanam investasi untuk
kehidupan mereka di masa yang akan datang. Di sini, dapat dikatakan telah terjadi
simbiosis mutualisme antara keduanya. Perlindungan anak adalah suatu usaha yang
mengadakan situasi dan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban
anak secara manusiawi positif. Ini berarti dilindunginya anak untuk memperoleh dan
mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh
kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau
bersama para pelindungnya. (Arief Gosita, 1996:14).
Menurut pasal 1 nomor 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak disebutkan bahwa:
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Pada umumnya, upaya perlindungan anak dapat dibagi
menjadi perlindungan langsung dan tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan
non-yuridis. Upaya-upaya perlindungan secara langsung di antaranya meliputi:
pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan dari sesuatu yang
membahayakannya, pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan atau
mengorbankan anak, pengawasan, penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya
atau dari luar dirinya, pembinaan (mental, fisik, sosial), pemasyarakatan pendidikan
formal dan informal, pengasuhan (asah, asih, asuh), pengganjaran (reward),
pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.(Arief Gosita, 1996:6). Sedangkan,
upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi: pencegahan orang lain
merugikan, mengorbankan kepentingan anak melalui suatu peraturan perundang-
undangan, peningkatan pengertian yang tepat mengenai manusia anak serta hak dan
kewajiban, penyuluhan mengenai pembinaan anak dan keluarga, pengadaaan sesuatu
yang menguntungkan anak, pembinaan (mental, fisik dan sosial) para partisipan selain
anak yang bersangkutan dalam pelaksanaan perlindungan anak, penindakan mereka
yang menghalangi usaha perlindungan anak.(Arief Gosita, 1996:7)
Kedua upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam hal bentuk
upaya perlindungannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek dari
perlindungan itu sendiri. Objek dalam upaya perlindungan langsung tentunya adalah
anak secara langsung. Sedangkan upaya perlindungan tidak langsung, lebih pada para
partisipan yang berkaitan dan berkepentingan terhadap perlindungan anak, yaitu orang
tua, petugas dan pembina. Demi menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya upaya
perlindungan ini ditempuh dari dua jalur, yaitu dari jalur pembinaan para partisipan
yang berkepentingan dalam perlindungan anak, kemudian selanjutnya pembinaan anak
secara langsung oleh para partisipan tersebut. Upaya-upaya ini lebih merupakan upaya
yang integral, karena bagaimana mungkin pelaksanaan perlindungan terhadap anak
dapat berhasil, apabila para partisipan yang terkait seperti orang tua, para petugas dan
pembina, tidak terlebih dahulu dibina dan dibimbing serta diberikan pemahaman
mengenai cara melindungi anak dengan baik. Ditinjau dari sifat perlindungannya,
perlindungan anak juga dapat dibedakan dari menjadi: perlindungan yang bersifat
yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang hukum perdata dan dalam hukum pidana;
perlindungan yang bersifat non-yuridis, meliputi perlindungan di bidang sosial, bidang
kesehatan dan bidang pendidikan. (Maulana Hassan Waddong, 2000:40)
Perlindungan yang bersifat yuridis atau yang lebih dikenal dengan
perlindungan hukum. Menurut Barda Nawawi Arief adalah upaya perlindungan
hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and
freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan
kesejahteraan anak.(Barda Nawawi Arief, 1998:156)
Perlindungan hukum dalam bidang keperdataan, terakomodir dalam
ketentuan dalam hukum perdata yang mengatur mengenai anak seperti, (1) Kedudukan
anak sah dan hukum waris; (2) pengakuan dan pengesahan anak di luar kawin; (3)
kewajiban orang tua terhadap anak; (4)kebelumdewasaan anak dan perwaliaan.
(Retnowulan, 1996:3)
Dalam hukum pidana, perlindungan anak selain diatur dalam pasal 45, 46,
dan 47 KUHP (telah dicabut dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Peradilan Anak). Kemudian, terdapat juga beberapa pasal yang secara
langsung atau tidak langsung berkaitan dengan perlindungan anak, yaitu antara lain
pasal 278, pasal 283, pasal 287, pasal 290, pasal 297, pasal 301, pasal 305, pasal 308,
pasal 341 dan pasal 356 KUHP.
Selanjutnya, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak yang pada prinsipnya mengatur mengenai perlindungan hak-hak
anak. Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, pada
prinsipnya diatur mengenai upaya-upaya untuk mencapai kesejahteraan anak. Dan,
yang terakhir Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, yang
pada prinspnya mengatur mengenai perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak
pidana dalam konteks peradilan anak. Perlindungan anak yang bersifat non-yuridis
dapat berupa, pengadaan kondisi sosial dan lingkungan yang kondusif bagi
pertumbuhan anak, kemudian upaya peningkatan kesehatan dan gizi anak-anak, serta
peningkatan kualitas pendidikan melalui berbagai program bea siswa dan pengadaan
fasilitas pendidikan yang lebih lengkap dan canggih. Sebagaimana yang telah
dikemukakan sebelumnya, berbagai upaya perlindungan anak tersebut tidak lain
diorientasikan sebagai upaya untuk menciptakan kesejahteraan anak. Guna mencapai
tujuan tersebut, maka pelaksanaan perlindungan tersebut tidak boleh dipisahkan dari
prinsip-prinsip dasar perlindungan anak dalam Konvensi Hak Anak, yaitu: (1) Prinsip-
prinsip non-diskriminasi (non-discrimination); (2) Prinsip Kepentingan terbaik untuk
anak (the best interest of the child;(3) Prinsip hak-hak anak untuk hidup, bertahan
hidup dan pengembangan (the right to life, survival and development);(4) Prinsip
menghormati pandangan anak (respect to the views of the child).
(www.sekitarkita.com,2002).
Perlindungan Hukum Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Ditinjau dari Perspektif
KUHP, Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 dan The Beijing Rules.
Peradilan pidana (juvenile justice) merupakan salah satu bentuk perlindungan yang
diberikan hukum kepada anak yang telah melakukan tindak pidana. Orientasi dari
keseluruhan proses peradilan pidana anak ini harus ditujukan pada kesejahteraan anak
itu sendiri, dengan dilandasi prinsip kepentingan terbaik anak (the best interest for
children).
Tujuan utama dari sistem peradilan pidana ini telah ditegaskan dalam SMR-JJ (Beijing
Rules) dalam rule 5.1 bahwa:
“The juvenile justice system shall emphasize the well – being of the juvenileand shall
ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion to the
circumtances of both the offender and the offence”.(Rule 5.1. SMR JJ dalam Muladi,
1992:112).
Dari Aims of Juvenile Justice ini dapat disimpulkan adanya dua sasaran dibentuknya
peradilan anak, yaitu: (a) Memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well
being of the juvenile),Artinya, Prinsip kesejahteraan anak ini harus dipandang sebagi
fokus utama dalam sistem peradilan anak. Prinsip ini dapat dijadikan dasar untuk tidak
menerapkan penggunaan sanksi yang semata-mata bersifat pidana, atau yang bersifat
menghukum. (Muladi, 1992:113). Sedapat mungkin sanksi pidana, terutama pidana
penjara harus dipandang sebagai ‘the last resort’ dalam peradilan anak, seperti yang
telah ditegaskan dalam Resolusi PBB 45/113 tentang Un Rules For The Protection Of
Juveniles Deprived Of Thei Liberty. (Barda Nawawi Arief, 1996:13); (b)
Mengedepankan prinsip proporsionalitas (the principle of proporsionality). Prinsip
yang kedua ini merupakan sarana untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat
menghukum dalam arti memabalas. Paul H. Hann dalam hal ini mengemukakan
pendapatnya bahwa pengadilan anak janganlan semata-mata sebagai suatu peradilan
pidana bagi anak dan tidak pula harus berfungsi semata-mata sebagai suatu lembaga
sosial.(Muladi, 19992:114)
Sebagai subjek hukum yang dipandang khusus oleh hukum, maka proses
perlindungan hukum terhadap anak dalam peradilan anak memerlukan perlakuan dan
jaminan-jaminan khusus dari undang-undang. Jaminan-jaminan khusus ini tentunya
tidak mengesampingkan jaminan-jaminan umum yang berlaku bagi setiap orang.
Jaminan umum yang dimaksud tersebut adalah jaminan-jaminan yang bersifat
prosedural yang paling mendasar, antara lain: (a) Hak untuk diberitahukannya tuduhan
(the right to be notified of the charges); (b)Hak untuk tetap diam (the right to remain
silent) ; (c) Hak untuk memperoleh penasehat hukum (the right to councel); (d) Hak
untuk hadirnya orang tua/wali (the right to the presence of a parent of guardian);(e)
Hak untuk menghadapkan saksi dan pemeriksaan silang para saksi (the right to
confront and cross-examine witness); (f) Hak untuk banding ke tingkat yang lebih
tinggi (the right to appeal to a higher authority). (Muladi, 1992:117).
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa keseluruhan perlindungan
terhadap anak, dalam hal ini anak sebagai pelaku tindak pidana, seyogyanya dimulai
dari ketentuan-ketentuan hukum yang seoptimal mungkin menjamin hak-hak anak,
dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip dasar perlindungan anak yang berlaku
universal, yakni: (a) non-diskriminasi; (b) kepentingan terbaik bagi anak; (c) hak
untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan (d) penghargaan terhadap
pendapat anak.
Dalam lingkup nasional, jaminan hukum secara khusus yang diberikan kepada anak
sebagai pelaku tindak pidana diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Peradilan Anak. Sedangkan, secara Internasional diatur dalam The Beijing
Rules.
Sebagai peraturan yang secara khusus mengatur perlakuan dan jaminan-jaminan
khusus bagi anak yang melakukan tindak pidana, pada kenyataannya substansi
undang-undang peradilan anak tersebut belum cukup memberikan jaminan
perlindungan. Dalam hal ini, terdapat beberapa ketentuan yang inkonsistensi dengan
peraturan induknya (KUHP) dan Undang-undang 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak, dan mengabaikan prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best
interest for children).
Berikut ini adalah beberapa catatan terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Peradilan Anak: (1) Mengenai batasan minimum usia minimal
pertanggungjawaban pidana (the minimum age of criminal responsibility) bagi anak
yang terlampau rendah. Undang-undang Peradilan Anak menetapkan batasan usia
minimal anak untuk dapat dihadapkan ke pengadilan adalah 8 (delapan) tahun (Pasal 4
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997). Meskipun sanksi yang ditetapkan bagi anak
usia 8 – 12 tahun hanya berupa tindakan, namun dengan batasan usia minimal
pertanggunjawaban pidana yang terlampau rendah ini memungkinkan timbulnya
ekses-ekses negatif yang dirasakan anak, yakni pengalaman selama proses diajukan ke
persidangan akan menimbulkan stigma dan trauma yang akan dirasakan anak. Hal
ini jelas merupakan dampak yang tidak dapat dihindari anak yang diajukan ke
persidangan, mengingat anak masih terus tumbuh berkembang dalam masyarakat,
sedangkan stigma “jahat” dari masyarakat akan terus dirasakan anak selama tumbuh
kembangnya tersebut. Di sinilah menurut penulis letak pengabaian prinsip terbaik bagi
anak; (2) Adanya inkonsistensi dengan peraturan induknya, yakni KUHP. Dengan
lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, maka ketentuan Pasal 45, 46, 47
KUHP dinyatakan tidak berlaku (Pasal 67 UU No. 3 Tahun 1997). Ketentuan ini jelas
akan menimbulkan implikasi yuridis tersendiri, mengingat ketentuan yang terkait
dengan anak sebagai pelaku tindak pidana dalam KUHP tidak hanya terletak pada
Pasal 45, 46, 47 KUHP saja, melainkan terkait pula dengan pasal-pasal lain dalam
buku II dan III KUHP. Dengan tidak adanya penegasan dalam Undang-undang
Pengadilan anak tersebut maka dapat dikatakan bahwa ketentuan selain pasal 45, 46,
47 KUHP secara yuridis masih tetap berlaku untuk anak. (Disarikan dalam Barda
Nawawi Arief, 2005).
Di sini nampak adanya inkonsistensi dan ketidaksistematisan Undang-undang Nomor
3 Tahun 1997. Sebagai salah satu sub dari keseluruhan aturan/sistem pemidanaan
umum, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 harus tetap berpedoman pada aturan-
aturan atau prinsip-prinsip umum yang diatur dalam peraturan induknya (KUHP)
sepanjang tidak diatur tersendiri dalam undang-undang yang bersangkutan. Mengingat
beberapa ketentuan dalam buku I (khususnya Bab II dan Bab III) KUHP semisal
ketentuan mengenai pidana, percobaan, konkursus, recidive, dan ketentuan lainnya
tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, maka aturan dalam KUHP
tetap berlaku bagi anak karena merupakan bagian sistem yang tidak terpisahkan. Hal
ini sungguh merugikan anak, karena untuk beberapa ketentuan seperti yang disebutkan
di atas, terhadap anak tetap dikenakan ketentuan yang berlaku pula untuk orang
dewasa pada umumnya.
Mengenai pidana penjara, Jenis Pidana ini masih merupakan jenis pidana pokok yang
dikenakan juga kepada anak. Yang dipermasalahkan di sini bukan lah jenis ataupun
bobot pidana penjara itu sendiri, melainkan tidak adanya aturan yang menjadi
pedoman bagi hakim untuk melaksanakan sanksi pidana bagi anak.
Dalam undang-undang pengadilan anak tersebut juga tidak diatur mengenai
kewenangan hakim untuk tidak meneruskan atau menghentikan proses pemeriksaan
(seperti yang telah diatur dalamThe Beijing Rules, Rule 17.4)
Seperti yang diatur dalam The Beijing Rules, adapun prinsip-prinsip yang seharusnya
diatur sebagai pedoman bagi hakim dalam mengambil keputusan dalam perkara anak,
adalah sebagai berikut: Rule 17.1 : (a) reaksi yang diambil (termasuk sanksi pidana)
selalu harus diseimbangkan dengan keadaan-keadaan dan bobot keseriusan tindak
pidana; (b) pembatasan kebebasan/kemerdekaan pribadi anak hanya dikenakan setelah
pertimbangan yang hati-hati dan dibatasi seminimal mungkin; (c) perampasan
kemerdekaan pribadi jangan dikenakan kecuali anak melakukan perbuatan serius
(termasuk tindakan kekerasan terhadap orang lain) atau terus menerus melakukan
tindak pidana serius, dan kecuali tidak ada bentuk respons/sanksi lain yang lebih tepat;
(d) kesejahteraan anak harus menjadi faktor pedoman dalam mempertimbangkan
kasus anak. Rule 17. 4 : Adanya prinsip “diversi”, yakni hakim diberikan
kewenangan untuk menghentikan atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan, atau
dengan kata lain hakim dapat tidak menjatuhkan sanksi apapun terhadap anak.Rule
19.1: penempatan seorang anak dalam lembaga Pemasyarakatan (penjara. pen) harus
selalu ditetapkan sebagai upaya terakhir (the last resort) dan untuk jangka waktu
minimal yang diperlukan. (Barda Nawawi Arief, 1998:164-165). Undang-undang
Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak tidak mengatur prinsip-prinsip yang
diakui oleh The Beijing Rules di atas (terkhusus prinsip diversi), sehingga yang dapat
terjadi adalah hakim dapat sewenang-wenang dalam menerapkan pidana penjara
terhadap anak, tanpa memperdulikan kepentingan terbaik anak. Beberapa ketentuan
yang cenderung tidak memperdulikan bahkan merugikan anak, adalah ketentuan
mengenai:
3. Ketentuan mengenai Pidana bersyarat.
Berdasarkan prinsip “lex specialis derogat lege generalis” (aturan khusus akan
menyimpangi aturan umum). Ketentuan pidana bersyarat dalam pasal 29 Undang-
undang Nomor 3 tahun 1997 (sebagailex specialis) akan menyimpangi (berlaku)
ketentuan pidana bersyarat dalam Pasal 14 a hingga 14 f KUHP (sebagai lex
generalis). Padahal jika dicermati lebih lanjut, ketentuan pidana bersyarat dalam
KUHP lebih melindungi kepentingan anak sebagai pelaku daripada Pasal 29 Undang-
undang Peradilan Anak terkait dengan pidana bersyarat. Beberapa permasalahan
(kelemahan) yang terdapat dalam formulasi Pasal 29 tersebut adalah sebagai berikut:
sebagai bentuk non-custodial measures dan strafmodus, pidana bersyarat yang
diberlakukan bagi anak hanya untuk pidana penjara saja (tidak diperkenankan untuk
pidana lainnya, semisal kurungan, denda dan pidana tambahan lainnya). Hal ini
berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 14 a KUHP yang mensyaratkan pidana
bersyarat untuk pidana penjara maksimal 1 (satu) tahun atau pidana kurungan (Pasal
14 a ayat (1)), dan denda (Pasal 14 a ayat (2)). Dari 2 (dua) ketentuan tersebut dapat
disimpulkan bahwa kesempatan untuk memperoleh pidana bersyarat bagi orang
dewasa lebih besar daripada kesempatan bagi anak. Ini jelas sangat diskriminatif,
padahal prinsip yang seharusnya melandasi setiap ketentuan untuk anak adalah
“Prinsip Kepentingan Terbaik Anak”. Sungguh tidak realistis kiranya jika kesempatan
untuk mendapatkan pidana bersyarat bagi anak yang seharusnya lebih besar, menjadi
lebih kecil dibandingkan orang dewasa. Dengan tidak diaturnya ketentuan pidana
bersyarat untuk pidana kurungan, denda dan pidana tambahan, maka otomatis
ketentuan mengenai hal itu kembali lagi harus mengacu pada ketentuan pidana
bersyarat dalam KUHP (kecuali pidana bersyarat dalam hal pidana penjara), padahal
dalam hal ini KUHP tidak mengenal pembayaran ganti rugi sebagai pidana tambahan.
Sehingga tetap saja tidak ada pidana bersyarat untuk pidana tambahan “ Pembayaran
Ganti Rugi”.
4. Ketentuan mengenai Pelepasan bersyarat.
Permasalahan yang timbul dari ketentuan Pelepasan bersyarat dalam Pasal 62 Undang-
undang Nomor 3 tahun 1997 adalah sebagai berikut: (a) ketentuan mana yang akan
diberlakukan kepada anak, apakah Pasal 15 KUHP ataukah Pasal 62 Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997, hal ini dikarenakan Pasal 15 KUHP tidak dicabut oleh Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1997; (b) Pasal 62 ini tidak ditempatkan dalam Bab III UU
Nol. 3/1997 (tentang “Pidana dan Tindakan”), tetapi ditempatkan di dalam Bab VI
tentang “Lembaga Pemasyarakatan Anak”. Penempatan pasal pada bab yang tidak
semestinya ini, selain menyebabkan penafsiran yang berbeda mengenai peruntukkan
pasal tersebut, juga menyebabkan keberadaan pasal tersebut jarang diketahui oleh para
aparat penegak hukum, sehingga seringkali dianggap tidak pernah ada ketentuan
mengenai pelepasan bersyarat dalam undang-undang yang dimaksud; (c) Ketentuan
jangka waktu percobaan pelepasan bersyarat dalam Pasal 62 Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 sangat pendek jika dibandingkan dengan jangka waktu yang ditetapkan
KUHP. Masa percobaan pelepasan bersyarat dalam KUHP (Pasal 15) adalah sisa
waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah satu tahun. Sedangkan, masa
percobaan pelepasan bersyarat bagi adank dalam Pasal 62 Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 adalah sama dengan sisa pidana yang harus dijalankannya (tanpa
penambahan apapun). Ketentuan ini tentunya juga tidak masuk akal, berdasarkan
prinsip kepentingan terbaik anak, seharusnya kesempatan yang diberikan anak untuk
menjalani pelepasan bersyarat/pembebasan bersyarat lebih lama, dibandingkan
kesempatan yang diberikan kepada orang dewasa, bukan malah lebih dipersingkat
sehingga peluang anak untuk kembali menjalani pidana penjara lebih besar.
5. Ketentuan mengenai pidana Pengawasan :
Pidana pengawasan yang diatur dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
pada prinsipnya sama dengan konsep pidana bersyarat. Pidana Pengawasan ini
merupakan jenis sanksi baru yang diperkenalkan Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 untuk perkara-perkara pidana anak. Permasalahan yang muncul adalah
mengingat KUHP tidak mengenal pidana pengawasan, maka Undang-undang Nomor
3 Tahun 1997 seharusnya mengatur pula mengenai aturan pelaksanaannya
(strafmodus). Kenyataannya, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 sama sekali tidak
mengaturkan aturan pelaksanaan dari pidana pengawasan ini, sehingga ekses yang
muncul adalah kesulitan dalam menerapkan pidana pengawasan ini untuk perkara anak
karena tidak ada aturan pelaksananya.
Dari beberapa catatan yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak belum cukup memberikan
jaminan perlindungan hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana. Secara
ekstrem dapat dikatakan bahwa dalam beberapa hal (pidana bersyarat dan pelepasan
bersyarat) KUHP lebih memberikan jaminan perlindungan bagi anak.
Dengan adanya beberapa kelemahan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Peradilan Anak, wajar kiranya jika aparat penegak hukum dalam menangani
perkara anak seringkali keliru dalam menafsirkan dan menerapkan undang-undang,
sehingga pada tataran praktek yang muncul adalah ketidakadilan bagi anak.
Demi menghindari proses hukum yang semata-mata bersifat menghukum, degradasi
mental dan penurunan semangat (discouragement) serta menghindari proses
stigmatisasi yang dapat menghambat proses perkembangan, kematangan dan
kemandirian anak dalam arti yang wajar, maka dalam menangani masalah hukum dari
anak-anak yang telah melakukan perilaku yang menyimpang, para penegak hukum
perlu memahami bahwa: (a) anak yang melakukan tindak pidana (juvenile offender)
janganlah dipandang sebagai seorang penjahat, namun harus dilihat sebagai orang
yang memerlukan bantuan, pengertian dan kasih sayang.(Muladi, 1992:115),
pendekatan yuridis terhadap anak hendaknya lebih mengutamakan pendekatan
persuasif-edukatif dan pendekatan kejiwaan. (b) Kesejahteraan anak dalam hal ini
harus dijadikan guiding factordalam penegakan hukum terhadap anak pelaku tindak
pidana.
Contoh Kasus Kekerasan Terhadap Anak :
- TEMPO.CO, Jakarta - Polisi menerima laporan kekerasan terhadap anak di Depok, Jawa Barat. MH, 8 tahun, dilaporkan sering dianiaya kedua orang tuanya dan memutuskan untuk kabur dari rumah, pekan lalu. "Sudah diterima laporannya di Polres Depok Jumat kemarin," ujar juru bicara Polda Metro Jaya, Kombes Rikwanto, Senin, 26 Agustus 2013. Rikwanto menyatakan, laporan diterima polisi setelah beberapa saksi melihat korban linglung usai dianiaya kedua orang tuanya. Saksi yang menemukan korban di sebuah pusat perbelanjaan di Depok, mendapat cerita korban sering dipukul menggunakan bambu oleh ayahnya. Polisi bergerak cepat. Mereka mendatangi rumah korban dan menyita bambu yang diduga digunakan untuk memukul korban. Dari tubuh korban terlihat bekas kekerasan, seperti memar di punggung akibat pukulan dan luka ringan di telinga akibat sering mendapat jeweran. Namun, hingga kini kedua pelaku, SA (40 tahun) dan D (38 tahun), tidak ditahan. Alasannya, pelaku masih memiliki tanggungan anak yang lain. "Ada empat anak, paling besar 12 tahun.Proses hukum kasus ini masih berjalan. Korban MH kini tinggal di tempat perlindungan kasus kekerasan anak. Bila terbukti bermasalah, kedua orang tua korban terancam pidana tiga setengah tahun karena melanggar Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
- TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) mencatat sejak awal tahun 2013 hingga sekarang ada sebanyak 127 laporan kasus kekerasan terhadap anak, secara fisik, mental, dan seksual di wilayah Jabodetabek.Ketua Komnas Anak, Arist Merdeka Sirait mengatakan dari 127 laporan kekerasan anak di Jabodetabek terdapat 67 kasus atau 51 persennya terjadi di wilayah Jakarta Timur. Tahun lalu, kata Arist, tercatat ada 2.637 kasus kekerasan anak di Jabodetabek."DKI Jakarta paling tinggi yakni 663 kasus kekerasan anak, sebanyak 190 kasusnya terjadi di Jakarta Timur," kata Arist di kantor Komnas Anak, Selasa 2 April 2013. Artinya, Arist melanjutkan, wilayah Jakarta Timur memang paling rawan terjadinya kejahatan dan kekerasan terhadap anak.Arist mengungkapkan, banyaknya kasus kekerasan pada anak di Jakarta Timur, karena faktor padatnya penduduk dan pendidikan yang rendah. "Ekonomi penduduknya juga 80 persen menengah ke bawah," ujarnya.Menurutnya, ada tiga kecamatan yang sering terjadi tindakan kekerasan terhadap anak, yakni Kecamatan Kramat Jati, Kecamatan Ciracas dan Kecamatan Cakung. Komnas Anak juga mengapresiasi kinerja Polres Jakarta Timur yang selalu menindaklanjuti dan mengusut tuntas setiap laporan kasus kekerasan anak."Saya berharap polisi terus bekerja menuntaskan segala kasus kekerasan seksual anak sesuai hukum, agar menimbulkan efek jera di masyarakat.
- TEMPO.CO, Washington - Tyler James Deutsch adalah ayah muda berusia 25 tahun. Dan ia memiliki bayi yang usianya baru enam pekan. Ketika si bayi menangis tanpa henti, Deutsch diduga mendiamkannya dengan cara tak lazim. Yakni menaruhnya dalam freezer atau kotak pendingin di lemari es. Atas tuduhan penyerangan anak, penganiayaan kriminal, dan mengganggu pelaporan kekerasan, Deutsch dihadapkan ke muka meja hijau.Di depan hakim, Deutsch mengklaim dirinya tak bersalah. Sedangkan menurut jaksa Mark Lindquist, Deutsch tertidur setelah menempatkan bayinya di dalam freezer. Deutsch baru terbangun satu jam kemudian ketika istrinya pulang. Deutsch juga dituduh merebut ponsel waktu istrinya akan menelepon untuk meminta bantuan.“Jaksa mengatakan suhu bayi itu turun drastis," tulis Daily Mail, Rabu, 29 Mei 2013. "Ia juga mengalami patah lengan, patah kaki,
lecet di kaki, serta cedera kepala.” Dalam persidangan, ibu dari bayi perempuan itu tidak ikut hadir. Namun, dalam dokumen pengisian, ia menyatakan ragu bila Deutsch dapat menjaga anak mereka dengan baik. Kepada si ibu, Deutsch sendiri mengakui menempatkan bayi itu ke dalam freezer, dengan dalih untuk kebaikan putrinya. Namun, ketika polisi tiba, ia mengubah cerita. Kata Deutsch, ia lelah sehabis kerja hingga tertidur. Dan, saat terbangun, bayinya tidak tidur di sampingnya. Dia pun berkukuh tidak tahu bagaimana si bayi sampai ke dalam freezer.Polisi percaya Deutsch sengaja menempatkan anaknya dalamfreezer untuk menghentikan tangisan. Sebab, Deutsch tidak mengetahui cara menghentikan tangisan bayi berusia enam pekan. "Sehingga ia menempatkan bayi dalam freezer,” ujar seorang polisi, Ed Troyer.Pengadilan mendapatkan laporan bahwa Deutsch tidak tengah berada di bawah pengaruh obat atau zat terlarang. Meski demikian, Deutsch bukanlah orang yang bersih hukum. Dia pernah mengaku bersalah atas pencurian identitas pada tahun 2012: menggunakan kartu kredit adiknya untuk membeli rokok dan bir. "Jika terbukti bersalah atas semua tuduhan, Deutsch akan menghabiskan sisa hidupnya di penjara."
- TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) melansir data kasus yang terpantau selama Januari-Juni 2013. Menurut Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, kasus sepanjang pertengahan 2013 masih didominasi kekerasan terhadap anak, terlebih kasus kekerasan seksual. “Terdapat 1.032 kasus selama enam bulan,” kata Arist ketika dihubungi Kamis, 18 Juli 2013. Komnas PA memerinci, kasus kekerasan fisik ada sebanyak 294 kasus, kekerasan psikis sebanyak 203 kasus, dan paling banyak yaitu kekerasan seksual sebanyak 535 kasus. Arist berasumsi, setiap bulan hampir 90-100 anak menerima kekerasan seksual.Mengenai lokasi kejadian, kasus kekerasan seksual paling banyak terjadi di lingkungan sosial sebanyak 385 kasus, disusul lingkungan keluarga 193, dan lingkungan sekolah 121. Beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan seksual karena pengaruh pornografi sebanyak 70 kasus, terangsang dengan korban 122, dan hasrat tak tersalurkan 148 kasus.Bentuk kekerasan seksual di antaranya sodomi 52 kasus, pemerkosaan 280 kasus, pencabulan 182 kasus, dan inses 21 kasus. Modusnya dengan menggunakan obat penenang 15 kasus, diculik lebih dulu 14 kasus, disekap 45 kasus, bujuk rayu dan tipuan 139 kasus, dan iming-iming 131 kasus. Dampaknya, meninggal dunia sembilan kasus dan trauma 345 kasus.Arist meminta semua komponen masyarakat untuk ikut memerangi dan menghentikan kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan. Dia juga meminta Kepolisian RI meningkatkan pelayanannya dan memberikan perlakuan khusus terhadap korban kejahatan seksual. Komnas PA mendorong DPR agar memasukkan pasal sanksi bagi pelaku kejahatan seksual kepada anak dan perempuan. “Minimal 20 tahun penjara dan maksimal seumur hidup..
Analisa Faktor Internal :
Secara faktor internal mengenai landasan hukum yang melindungi anak-anak
Indonesia adalah Undang-undang Dasar 1945 pasal 28B ayat 2, Undang Undang No.
23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, Kitab undang-undang hukum pidana, UU No.
4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, UU No. 22 tahun 1997 tentang
narkotika, UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, UU NO. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU
No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No.12
Tahun 2005 tentang kewarganegaraan, UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan, UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Korban, UU No. 21
tahun 2007 tentang PTPPO : setiap orang yang melakukan tindak pidana perdagangan
orang dan korbannya adalah anak, maka ancaman pidananya ditambah
sepertiga, .RPJMN 2004-2009 (Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005),Peningkatan
kesejahteraan dan perlindungan anak merupakan salah satu dari agenda menciptakan
Indonesia yang adil dan demokratis dan RKP 2006 dan RKP 2007 : Pengarusutamaan
anak merupakan salah satu program pembangunan, dan harus dilakukan untuk
memastikan kebijakan/ program/ kegiatan pembangunan peduli/ ramah anak.
Semua aturan atau norma-norma yang berupa perundang-undang didalam
implementasi secara faktor internal belum benar-benar melindungi anak-anak di
Indonesia, dimana pada faktanya masih terlihat kejahatan terhadap anak yang semakin
marak terjadi di Indonesia. Permasalahan lain juga dikarena kurangnya sosialisasi
terhadap orang dewasa dan orang tua tentang pemberlakuan undang-undang perlindungan
anak tersebut.
Upaya mengimplementasikan UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan
anak adalah sebagai perlindungan langsung dan tidak langsung, dan perlindungan yuridis
dan non-yuridis. Upaya-upaya perlindungan secara langsung di antaranya meliputi:
pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan dari sesuatu yang
membahayakannya, pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan atau
mengorbankan anak, pengawasan, penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya atau
dari luar dirinya, pembinaan (mental, fisik, sosial), pemasyarakatan pendidikan formal
dan informal, pengasuhan (asah, asih, asuh), pengganjaran (reward), pengaturan dalam
peraturan perundang-undangan. Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung antara
lain meliputi: pencegahan orang lain merugikan, mengorbankan kepentingan anak
melalui suatu peraturan perundang-undangan, peningkatan pengertian yang tepat
mengenai manusia anak serta hak dan kewajiban, penyuluhan mengenai pembinaan anak
dan keluarga, pengadaaan sesuatu yang menguntungkan anak, pembinaan (mental, fisik
dan sosial) para partisipan selain anak yang bersangkutan dalam pelaksanaan
perlindungan anak, penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak.
Upaya-upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam hal bentuk upaya
perlindungannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek dari perlindungan itu
sendiri. Objek dalam upaya perlindungan langsung tentunya adalah anak secara
langsung. Sedangkan upaya perlindungan tidak langsung, lebih pada para partisipan yang
berkaitan dan berkepentingan terhadap perlindungan anak, yaitu orang tua, petugas dan
pembina. Dan upaya-upaya ini lebih merupakan upaya yang integral, karena bagaimana
mungkin pelaksanaan perlindungan terhadap anak dapat berhasil, apabila para partisipan
yang terkait seperti orang tua, para petugas dan pembina, tidak terlebih dahulu dibina dan
dibimbing serta diberikan pemahaman mengenai cara melindungi anak dengan baik.
Dimana sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat dibedakan dari menjadi:
perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang hukum perdata
dan dalam hukum pidana; perlindungan yang bersifat non-yuridis, meliputi perlindungan
di bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan.
Perlindungan yang bersifat yuridis atau yang lebih dikenal dengan
perlindungan hukum adalah upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan
hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan
yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Perlindungan hukum dalam bidang
keperdataan, terakomodir dalam ketentuan dalam hukum perdata yang mengatur
mengenai anak seperti, (1) Kedudukan anak sah dan hukum waris; (2) pengakuan dan
pengesahan anak di luar kawin; (3) kewajiban orang tua terhadap anak;
(4)kebelumdewasaan anak dan perwaliaan.
Dalam hukum pidana, perlindungan anak selain diatur dalam pasal 45, 46,
dan 47 KUHP (telah dicabut dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Peradilan Anak). Kemudian, terdapat juga beberapa pasal yang secara
langsung atau tidak langsung berkaitan dengan perlindungan anak, yaitu antara lain pasal
278, pasal 283, pasal 287, pasal 290, pasal 297, pasal 301, pasal 305, pasal 308, pasal 341
dan pasal 356 KUHP.
Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak yang pada prinsipnya mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak
dan dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, pada
prinsipnya diatur mengenai upaya-upaya untuk mencapai kesejahteraan anak. Dan, yang
terakhir Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, yang pada
prinsipnya mengatur mengenai perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana
dalam konteks peradilan anak. Perlindungan anak yang bersifat non-yuridis dapat berupa,
pengadaan kondisi sosial dan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan anak,
kemudian upaya peningkatan kesehatan dan gizi anak-anak, serta peningkatan kualitas
pendidikan melalui berbagai program bea siswa dan pengadaan fasilitas pendidikan yang
lebih lengkap dan canggih. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, berbagai
upaya perlindungan anak tersebut tidak lain diorientasikan sebagai upaya untuk
menciptakan kesejahteraan anak, guna mencapai tujuan tersebut, maka pelaksanaan
perlindungan tersebut tidak boleh dipisahkan dari prinsip-prinsip dasar perlindungan anak
dalam Konvensi Hak Anak, yaitu: (1) Prinsip-prinsip non-diskriminasi (non-
discrimination); (2) Prinsip Kepentingan terbaik untuk anak (the best interest of the
child;(3) Prinsip hak-hak anak untuk hidup, bertahan hidup dan pengembangan (the right
to life, survival and development);(4) Prinsip menghormati pandangan anak (respect to
the views of the child).
Pada prinsipnya landasan hukum yang dibentuk oleh lembaga nasional
Komisi Perlindungan Anak (KPA) adalah telah diuraikan diatas yang harus
mencerminkan apa yang terdapat dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Hak Asasi
Manusia.
Analisa faktor internal, yang merupakan sebagai pelanggaran terhadap
undang-undang perlindungan anak adalah diatur oleh UU No. 23 Tahun 2002 yang pada
prinsipnya dalam upaya perlindungan anak adalah segala kegiatan yang menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berprestasi
secara optimal sesuai dengan harkat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, yang meliputi hak-hak anak yiatu Nondiskriminasi,
Kepentingan yang terbaik bagi anak. 3. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan.Penghargaan terhadap pendapat anak. Dimana Hak dan Kewajiban Anak
adalah hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan
dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara. Kewajiban Anak
adalah kewajiban yang artinya sesuatu yang harus dilaksanakan. Jadi, kewajiban anak
adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh seorang anak. Sedangkan kewajiban Orang
Tua adalah tercantum dalam pasal 26 yang berbunyi: orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk: a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak,
menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, mencegah
terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Terdapat pengaturan Pidana bersyarat untuk perlindungan anak yang secara
faktor internal adalah berdasarkan prinsip “lex specialis derogat lege generalis” (aturan
khusus akan menyimpangi aturan umum). Ketentuan pidana bersyarat dalam pasal 29
Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 (sebagailex specialis) akan menyimpangi (berlaku)
ketentuan pidana bersyarat dalam Pasal 14 a hingga 14 f KUHP (sebagai lex generalis).
Padahal jika dicermati lebih lanjut, ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP lebih
melindungi kepentingan anak sebagai pelaku daripada Pasal 29 Undang-undang
Peradilan Anak terkait dengan pidana bersyarat. Beberapa permasalahan (kelemahan)
yang terdapat dalam formulasi Pasal 29 tersebut adalah sebagai berikut: sebagai
bentuk non-custodial measures dan strafmodus, pidana bersyarat yang diberlakukan bagi
anak hanya untuk pidana penjara saja (tidak diperkenankan untuk pidana lainnya,
misalnya berupa kurungan, denda dan pidana tambahan lainnya). Hal ini berbeda dengan
ketentuan dalam Pasal 14 a KUHP yang mensyaratkan pidana bersyarat untuk pidana
penjara maksimal 1 (satu) tahun atau pidana kurungan (Pasal 14 a ayat (1)), dan denda
(Pasal 14 a ayat (2)). Dari 2 (dua) ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa
kesempatan untuk memperoleh pidana bersyarat bagi orang dewasa lebih besar daripada
kesempatan bagi anak, hal ini sangat diskriminatif, padahal prinsip yang seharusnya
melandasi setiap ketentuan untuk anak adalah “Prinsip Kepentingan Terbaik Anak”.
Mengenai Pelepasan bersyarat, diatur dalam Pasal 62 Undang-undang Nomor
3 tahun 1997 adalah sebagai berikut: (a) ketentuan mana yang akan diberlakukan kepada
anak, apakah Pasal 15 KUHP ataukah Pasal 62 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997,
hal ini dikarenakan Pasal 15 KUHP tidak dicabut oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997; (b) Pasal 62 ini tidak ditempatkan dalam Bab III UU Nol. 3/1997 (tentang “Pidana
dan Tindakan”), tetapi ditempatkan di dalam Bab VI tentang “Lembaga Pemasyarakatan
Anak”. Penempatan pasal pada bab yang tidak semestinya ini, selain menyebabkan
penafsiran yang berbeda mengenai peruntukkan pasal tersebut, juga menyebabkan
keberadaan pasal tersebut jarang diketahui oleh para aparat penegak hukum, sehingga
seringkali dianggap tidak pernah ada ketentuan mengenai pelepasan bersyarat dalam
undang-undang yang dimaksud; (c) Ketentuan jangka waktu percobaan pelepasan
bersyarat dalam Pasal 62 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 sangat pendek jika
dibandingkan dengan jangka waktu yang ditetapkan KUHP. Masa percobaan pelepasan
bersyarat dalam KUHP (Pasal 15) adalah sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani
ditambah satu tahun. Sedangkan, masa percobaan pelepasan bersyarat bagi adank dalam
Pasal 62 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 adalah sama dengan sisa pidana yang
harus dijalankannya (tanpa penambahan apapun). Ketentuan ini tentunya juga tidak
masuk akal, berdasarkan prinsip kepentingan terbaik anak, seharusnya kesempatan yang
diberikan anak untuk menjalani pelepasan bersyarat/pembebasan bersyarat lebih lama,
dibandingkan kesempatan yang diberikan kepada orang dewasa, bukan malah lebih
dipersingkat sehingga peluang anak untuk kembali menjalani pidana penjara lebih besar.
Mengenai pidana Pengawasan, diatur dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor
3 Tahun 1997 pada prinsipnya sama dengan konsep pidana bersyarat. Pidana
Pengawasan ini merupakan jenis sanksi baru yang diperkenalkan Undang-undang Nomor
3 Tahun 1997 untuk perkara-perkara pidana anak. Permasalahan yang muncul adalah
mengingat KUHP tidak mengenal pidana pengawasan, maka Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 seharusnya mengatur pula mengenai aturan pelaksanaannya (strafmodus).
Kenyataannya, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 sama sekali tidak mengaturkan
aturan pelaksanaan dari pidana pengawasan ini, sehingga ekses yang muncul adalah
kesulitan dalam menerapkan pidana pengawasan ini untuk perkara anak karena tidak ada
aturan pelaksananya. Dengan undang-undang tersebut adalah semata-mata bersifat
menghukum, degradasi mental dan penurunan semangat (discouragement) serta
menghindari proses stigmatisasi yang dapat menghambat proses perkembangan,
kematangan dan kemandirian anak dalam arti yang wajar, maka dalam menangani
masalah hukum dari anak-anak yang telah melakukan perilaku yang menyimpang, para
penegak hukum perlu memahami bahwa: (a) anak yang melakukan tindak pidana
(juvenile offender) janganlah dipandang sebagai seorang penjahat, namun harus dilihat
sebagai orang yang memerlukan bantuan, pengertian dan kasih sayang.(Muladi,
1992:115), pendekatan yuridis terhadap anak hendaknya lebih mengutamakan pendekatan
persuasif-edukatif dan pendekatan kejiwaan. (b) Kesejahteraan anak dalam hal ini harus
dijadikan guiding factordalam penegakan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana.
Analisa Faktor Eksternal
Adalah proses kebijakan pemberlakuan faktor eksternal yang mempengaruhi
adanya peradilan pidana (juvenile justice) merupakan salah satu bentuk perlindungan
yang diberikan hukum kepada anak yang telah melakukan tindak pidana. Orientasi dari
keseluruhan proses peradilan pidana anak ini harus ditujukan pada kesejahteraan anak itu
sendiri, dengan dilandasi prinsip kepentingan terbaik anak (the best interest for children).
Tujuan utama dari sistem peradilan pidana ini telah ditegaskan dalam SMR-JJ (Beijing
Rules) dalam rule 5.1 bahwa: “The juvenile justice system shall emphasize the well –
being of the juvenileand shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always
be in proportion to the circumtances of both the offender and the offence”.(Rule 5.1.
SMR JJ dalam Muladi, 1992:112).
Aims of Juvenile Justice ini dapat disimpulkan adanya dua sasaran
dibentuknya peradilan anak, yaitu: (a) Memajukan kesejahteraan anak (the promotion of
the well being of the juvenile), artinya prinsip kesejahteraan anak ini harus dipandang
sebagi fokus utama dalam sistem peradilan anak. Prinsip ini dapat dijadikan dasar untuk
tidak menerapkan penggunaan sanksi yang semata-mata bersifat pidana, atau yang
bersifat menghukum. (Muladi, 1992:113). Sanksi pidana, terutama pidana penjara harus
dipandang sebagai ‘the last resort’ dalam peradilan anak, seperti yang telah ditegaskan
dalam Resolusi PBB 45/113 tentang Un Rules For The Protection Of Juveniles Deprived
Of Thei Liberty. (Barda Nawawi Arief, 1996:13); (b) Mengedepankan prinsip
proporsionalitas (the principle of proporsionality). Prinsip yang kedua ini merupakan
sarana untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat menghukum dalam arti
memabalas.
Sebagai subjek hukum yang dipandang khusus oleh hukum, maka proses
perlindungan hukum terhadap anak dalam peradilan anak memerlukan perlakuan dan
jaminan-jaminan khusus dari undang-undang. Jaminan-jaminan khusus ini tentunya tidak
mengesampingkan jaminan-jaminan umum yang berlaku bagi setiap orang. Jaminan
umum yang dimaksud tersebut adalah jaminan-jaminan yang bersifat prosedural yang
paling mendasar, antara lain: (a) Hak untuk diberitahukannya tuduhan (the right to be
notified of the charges); (b)Hak untuk tetap diam (the right to remain silent) ; (c) Hak
untuk memperoleh penasehat hukum (the right to councel); (d) Hak untuk hadirnya orang
tua/wali (the right to the presence of a parent of guardian);(e) Hak untuk menghadapkan
saksi dan pemeriksaan silang para saksi (the right to confront and cross-examine
witness); (f) Hak untuk banding ke tingkat yang lebih tinggi (the right to appeal to a
higher authority).
Keseluruhan perlindungan terhadap anak, dalam hal ini anak sebagai pelaku
tindak pidana, seyogyanya dimulai dari ketentuan-ketentuan hukum yang seoptimal
mungkin menjamin hak-hak anak, dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip dasar
perlindungan anak yang berlaku universal, yakni: (a) non-diskriminasi; (b) kepentingan
terbaik bagi anak; (c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan (d)
penghargaan terhadap pendapat anak. Pandangan Internasional diatur dalam The Beijing
Rules adalah sebagai peraturan yang secara khusus mengatur perlakuan dan jaminan-
jaminan khusus bagi anak yang melakukan tindak pidana, pada kenyataannya substansi
undang-undang peradilan anak tersebut belum cukup memberikan jaminan perlindungan
dan mengabaikan prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest for children).
Dalam undang-undang pengadilan anak tersebut juga tidak diatur mengenai
kewenangan hakim untuk tidak meneruskan atau menghentikan proses pemeriksaan
(seperti yang telah diatur dalamThe Beijing Rules, Rule 17.4) Seperti yang diatur dalam
The Beijing Rules, adapun prinsip-prinsip yang seharusnya diatur sebagai pedoman bagi
hakim dalam mengambil keputusan dalam perkara anak, adalah reaksi yang diambil
(termasuk sanksi pidana) selalu harus diseimbangkan dengan keadaan-keadaan dan bobot
keseriusan tindak pidana, melakukan pembatasan kebebasan/kemerdekaan pribadi anak
hanya dikenakan setelah pertimbangan yang hati-hati dan dibatasi seminimal mungkin,
perampasan kemerdekaan pribadi jangan dikenakan kecuali anak melakukan perbuatan
serius (termasuk tindakan kekerasan terhadap orang lain) atau terus menerus melakukan
tindak pidana serius, dan kecuali tidak ada bentuk respons/sanksi lain yang lebih tepatn
dan demi kesejahteraan anak harus menjadi faktor pedoman dalam mempertimbangkan
kasus anak.
Prinsip “diversi”, yakni hakim diberikan kewenangan untuk menghentikan
atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan, atau dengan kata lain hakim dapat tidak
menjatuhkan sanksi apapun terhadap anak dan penempatan seorang anak dalam lembaga
Pemasyarakatan (penjara. pen) harus selalu ditetapkan sebagai upaya terakhir (the last
resort) dan untuk jangka waktu minimal yang diperlukan.
Kesimpulan :
Anak dipandang memiliki kedudukan khusus di mata hukum,yang didasarkan
atas pertimbangan bahwa anak adalah manusia dengan segala keterbatasan biologis dan
psikisnya belum mampu memperjuangkan segala sesuatu yang menjadi hak-haknya.
Selain itu, juga disebabkan karena masa depan bangsa tergantung dari masa depan dari
anak-anak sebagai generasi penerus. Oleh karena itu, anak sebagai subjek dari hukum
negara harus dilindungi, dipelihara dan dibina demi kesejahteraan anak itu sendiri.
Aturan-aturan atau norma-norma yang berupa perundang-undang didalam
implementasi secara faktor internal belum benar-benar melindungi anak-anak di
Indonesia, dimana pada faktanya masih terlihat kejahatan terhadap anak yang semakin
marak terjadi di Indonesia.
Implementasi UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak adalah
sebagai perlindungan langsung dan tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan non-
yuridis.
Objek dalam upaya perlindungan langsung tentunya adalah anak secara
langsung. Sedangkan upaya perlindungan tidak langsung, lebih pada para partisipan yang
berkaitan dan berkepentingan terhadap perlindungan anak, yaitu orang tua, petugas dan
pembina.
Perlindungan yang bersifat yuridis atau yang lebih dikenal dengan
perlindungan hukum adalah upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan
hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan
yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Perlindungan hukum dalam bidang
keperdataan, terakomodir dalam ketentuan dalam hukum perdata yang mengatur
mengenai anak seperti, (1) Kedudukan anak sah dan hukum waris; (2) pengakuan dan
pengesahan anak di luar kawin; (3) kewajiban orang tua terhadap anak;
(4)kebelumdewasaan anak dan perwaliaan dan perlindungan hukum pidana, perlindungan
anak selain diatur dalam pasal 45, 46, dan 47 KUHP (telah dicabut dengan
diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak).
Kemudian, terdapat juga beberapa pasal yang secara langsung atau tidak langsung
berkaitan dengan perlindungan anak, yaitu antara lain pasal 278, pasal 283, pasal 287,
pasal 290, pasal 297, pasal 301, pasal 305, pasal 308, pasal 341 dan pasal 356 KUHP.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang pada
prinsipnya mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak dan dalam Undang-undang
Nomor 4 tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, pada prinsipnya diatur mengenai
upaya-upaya untuk mencapai kesejahteraan anak.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, yang pada
prinsipnya mengatur mengenai perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana
dalam konteks peradilan anak. Perlindungan anak yang bersifat non-yuridis dapat berupa,
pengadaan kondisi sosial dan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan anak,
kemudian upaya peningkatan kesehatan dan gizi anak-anak, serta peningkatan kualitas
pendidikan melalui berbagai program bea siswa dan pengadaan fasilitas pendidikan yang
lebih lengkap dan canggih.
Upaya perlindungan anak tersebut tidak lain diorientasikan sebagai upaya
untuk menciptakan kesejahteraan anak, guna mencapai tujuan tersebut, maka pelaksanaan
perlindungan tersebut tidak boleh dipisahkan dari prinsip-prinsip dasar perlindungan anak
dalam Konvensi Hak Anak, yaitu: (1) Prinsip-prinsip non-diskriminasi (non-
discrimination); (2) Prinsip Kepentingan terbaik untuk anak (the best interest of the
child;(3) Prinsip hak-hak anak untuk hidup, bertahan hidup dan pengembangan (the right
to life, survival and development);(4) Prinsip menghormati pandangan anak (respect to
the views of the child).
Pidana bersyarat untuk perlindungan anak yang secara faktor internal adalah
berdasarkan prinsip “lex specialis derogat lege generalis” (aturan khusus akan
menyimpangi aturan umum). Ketentuan pidana bersyarat dalam pasal 29 Undang-undang
Nomor 3 tahun 1997 (sebagailex specialis) akan menyimpangi (berlaku) ketentuan pidana
bersyarat dalam Pasal 14 a hingga 14 f KUHP (sebagai lex generalis). Padahal jika
dicermati lebih lanjut, ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP lebih melindungi
kepentingan anak sebagai pelaku daripada Pasal 29 Undang-undang Peradilan Anak
terkait dengan pidana bersyarat.
Pelepasan bersyarat, diatur dalam Pasal 62 Undang-undang Nomor 3 tahun
1997 adalah sebagai berikut: (a) ketentuan mana yang akan diberlakukan kepada anak,
apakah Pasal 15 KUHP ataukah Pasal 62 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, hal ini
dikarenakan Pasal 15 KUHP tidak dicabut oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997;
(b) Pasal 62 ini tidak ditempatkan dalam Bab III UU Nol. 3/1997 (tentang “Pidana dan
Tindakan”), tetapi ditempatkan di dalam Bab VI tentang “Lembaga Pemasyarakatan
Anak”.
Pidana Pengawasan, diatur dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 pada prinsipnya sama dengan konsep pidana bersyarat. Pidana Pengawasan ini
merupakan jenis sanksi baru yang diperkenalkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
untuk perkara-perkara pidana anak. Permasalahan yang muncul adalah mengingat KUHP
tidak mengenal pidana pengawasan, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
seharusnya mengatur pula mengenai aturan pelaksanaannya (strafmodus). Kenyataannya,
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 sama sekali tidak mengaturkan aturan
pelaksanaan dari pidana pengawasan ini, sehingga ekses yang muncul adalah kesulitan
dalam menerapkan pidana pengawasan ini untuk perkara anak karena tidak ada aturan
pelaksananya.
Proses perlindungan hukum terhadap anak dalam peradilan anak memerlukan
perlakuan dan jaminan-jaminan khusus dari undang-undang, dimana jaminan-jaminan
khusus ini tentunya tidak mengesampingkan jaminan-jaminan umum yang berlaku bagi
setiap orang. Yang dimaksud jaminan umum yang dimaksud tersebut adalah jaminan-
jaminan yang bersifat prosedural yang paling mendasar, antara lain: (a) Hak untuk
diberitahukannya tuduhan (the right to be notified of the charges); (b)Hak untuk tetap
diam (the right to remain silent) ; (c) Hak untuk memperoleh penasehat hukum (the right
to councel); (d) Hak untuk hadirnya orang tua/wali (the right to the presence of a parent
of guardian);(e) Hak untuk menghadapkan saksi dan pemeriksaan silang para saksi (the
right to confront and cross-examine witness); (f) Hak untuk banding ke tingkat yang
lebih tinggi (the right to appeal to a higher authority).
Prinsip “diversi”, yakni hakim diberikan kewenangan untuk menghentikan
atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan, atau dengan kata lain hakim dapat tidak
menjatuhkan sanksi apapun terhadap anak dan penempatan seorang anak dalam lembaga
Pemasyarakatan (penjara. pen) harus selalu ditetapkan sebagai upaya terakhir (the last
resort) dan untuk jangka waktu minimal yang diperlukan.
Pengadilan anak yang senantiasa mengedepankan kesejahteraan anak
sebagai guiding factor dan disertai prinsip proporsionalitas merupakan bentuk
perlindungan hukum bagi anak sebagi pelaku tindak pidana. Dalam hal ini, secara
yuridis-formil Undang-undang Pengadilan anak tidak cukup memberikan jaminan
perlindungan hukum bagi anak sebagai pelaku kejahatan. Terdapat beberapa peraturan
dalam undang-undang tersebut yang inkonsistensi dengan KUHP dan The Beijing Rules,
sehingga yang terjadi adalah secara tidak langsung terjadi pengabaian prinsip
kepentingan terbaik anak seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu Kajian Filosofi dan Sosiologis, Gunung Agung, Jakata, 2002.
Ak, Syahmin, 1999, Hukum Internasional Publik dalam M Joni dan Z Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak.
AM. Saefuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Presfektif Islam, (jakarta : Rajawali, 1987).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII), Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
Abdoeraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Jakarta, Bulan Bintang, 1970.
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus (terjemahan Pustaka Firdaus).
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Editor : Khotibul Umam dan Muhammad Rifqi, Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008, hal. 215.
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 289.
----------2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta, Penerbit ArgaWijaya Persada.
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas & Noble, Inc.
Blau, Peter M dan Mashall W. Meyer, 1987, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, , Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia
----------- Bertens.Dr.K. Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta, 1975.----------- Bertens. Dr.K Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta , 1976.----------- Beerling,Dr.R.F.Filsafat dewasa ini, Jilid I, II, Jakarta, 1958.Bochenski, J.M.Contemporary European Philosophy, translated bay D. Nichol and K.
Aschenbrenner, London and Berkeley, 1956.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
----------- Collins,J.A .History of Modern Eurapean Philosophy, Milwaukee, 1954.----------- Copleston,F.A. Historys of Philosophy, London.
----------- Dardji Darmodihardjo, Orientasi Singkat Pancasila, Jakarta : PT.Gita Karya, 1974.
----------- Donal Black, The Behavior of Law, (New York : Academic Press, 1976).
----------- (2003) Disertasi “Sanksi Alternatif Sebagai Fokus Pembinaan Anak Pidana
Saran Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, Jakarta: Program Pasca
sarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
----------- Dirjarkara, Prof.Dr.N.Pertjikan Filsafat, Jakarta, 1966.----------- Durant Wil, The Story of Philosophy, NewYork, 1952.
Engineering Interpretation diambil dari Bab VII buku Rocoe Pound yang berjudul : Interpretation of Legal History. (USA : Holmes Heach, Plorida, 1986).
Frans Magnis Suso, Etika Dasa Masalah-masalah Pokok Filsaat Moral, (Yogyakarta, 1985).
Fakih, Mansour, 1999, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Friedman.W.Teori Dan Filsafat Hukum (Judul asli : ”Legal Theory”). Penerjemah Muhammad Arfin, Jakarta : CV.Rajawali, 1990.
Friedman, W.”Teori Dan Filsafat Hukum (Judul Asli : “LegalTheory”).Penerjemah Muhammad Arifin, Jakarta : CV.Rajawali. 1990.
Fadjar, ”beraneka ragam itu semua berasal dari materi atau benda yaitu sesuatu yang berbentuk dan menempati ruang serta kedudukan nilai benda/badan/materi adalah lebih tinggi daripada roh/sukma/jiwa/spirit”, 2007: 1-2.
Feener R.Michael, Islamic Law In Contemporary Indonesia : Ideas and Institutions, Editor By R.Michael Feener, Mark.E.Cammack, Cambridge : Harvard Law School, 2007.
----------- Fuller, B.A.G (Ph.D) History of Greek Philosophy, New York, 1923.----------- Gilson Etiene, History of Christian Philosophy in the Middie Ages, New York,
1954.
Geert, Hartz, Cunningham, Turner, dan Levi Strauss, Struktur Sosial, Agama dan Upacara, dikutip dari www.yahoo.co. Tgl 23 Oktober 2004.
Gosita, Arief, (5 Okober 1996) Makalah Pengembangan Aspek Hukum Undang-undang Peradilan Anak dan Tanggung Jawab Bersama, Seminar Nasional Perlindungan Anak, diselenggarakan Oleh UNPAD, Bandung.
---------- HLA. Hart, Th Consept of Law, (londn : Oxford University Pes, 1961).
Hadisuprapto, Paulus, (5 Oktober 1996) Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak,
Seminar Nasional Peradilan Anak, Bandung: Fakultas Hukum Universitas
Padjajaran,
Haidar Bagir dan Zainal Abdin, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an (Judul asli : The Holy Qur’an and the Sciences of Nature, Dr. Mahdi Ghulsyani. Terbitan Thran, Edsi I, 1986) Penerjemah : Agus Effendi, Bandung : Mizan, Cetakan Kedua, 1989.
Haarin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, Jakarta : Bina Akara, 1981.Harold H. Titus. Living Issues in Philosophya, New York : Amirika Book Company,
Thirdd Edition 1959.Hirschaberger,J.The History of Philosophy, translated by in Nineteenth Century, New
York, 1967.
Imam Syarkani. ”Epistemologi Islam Indonesia : Dan Relevansinya Bagi Pembangunan Hukum Nasional”, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006, hal 176.
---------- Ibnu Katsir.2008.Tafsir Ibnu Katsir.Jakarta:Pustaka Imam as-Syafi’i---------- Izzuddin Solikhin.2010.Happy Ending Full Barokah.Yogyakarta:Pro-U Media
Joni, Muhammad, (1999) Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Johnson Victoria etal.19998.Stepping Forward dan Bahan-bahan dari Impact Assessment Program PLAN International atau Anak-anak membangun Kesadaran Kritis diterjemahkan oleh Prabowo H dkk.Cetakan Pertama.Yogyakarta:Read Book
Kansil, SH., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989.
---------- Krass, Peter (ed), The Book of Business Wisdom, John Wiley & Sons, New York, 1998.
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4, Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell.
Loewith,K.From hegel to Nietzsche, The revolution in Nineteenth Century, New York, 1967.
----------- M. Qurash Shihab, Wawasan Al Qur’an, Cet.Ke IX, (Bandung : Mizan, 1999). Muladi, 2002, Demokrasi, Hal Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum Indonesia, The
Jakarta, Habibie Center.Muhammad –Hufy, Ahmad, Akhlak Nabi Muhammad SAW : Keluhuran dan Kemuliaan.
(jakarta : Bulan Bintang, 1987), h. 15. Bandingkan uraian, Ahmadamin, Etika (Ilmu Akhlak), ( Jakarta : Bulan Bintang, 1987).
Masruri dan Rosidy dalam Fadjar, ”Epistemologi adalah yang terkait dengan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuan”, 2007: 4.
Mertokusumo, ”Dengan kaidah sosial hendak dicegah gangguan-gangguan maupun konflik kepentingan manusia, sehingga diharap manusia dapat terlindungi kepentingan-kepentingannya”, 1999- 10, 1999-12, 1999: 167.
Mohammad Noor Syam, ” Pembudayaan Nilai Pancasila Sebagai Sistim Filsafat Dan Idiologi Nasional”Laboratorium Pancasila,Universitas Negeri Malang (UM), Malang, 30 November 2007
Masruri dan Rosidy dalam Fadjar, ”Epistemologi adalah yang terkait dengan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuan”, 2007: 4.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition), Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III, Malang, Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe, Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cetakan ke-6.
Punadi Purbacaraka, Ridwan Halim.Filsafat Hukum Pidana.Jakarta :CV.Rajawali 1982.
Pound, roscoe.Pengantar Filsafat Hukum.Penerjemah : Muhammad Rajab. Jakarta : Bhratara, 1972.
---------- Poedjowijatno, I.R, Pembimbing kearah Ilmu Filsafat, Jakarta, 1963.
Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, (Bandung, Remadja Karya, 198).
Roscoe Pound, Interpretation of Legal History, USA : Holmes Heach, Plorida, 1986.R. Otje Salman, Sosiologi Hukum : Suatu Pengantar, (Bandung : Penerbi CV, Armico,
1992). Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
Rasyid, ”yang meliputi peraturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif, melainkan sebatas hukum Islam yang menyangkut aspek keperdataan tertentu saja. Itulah yang menjadi hukum yang hidup (living law) dan selebihnya seperti aturan-aturan yang menyangkut aspek peribadatan dan lain sebagainya masih belum menjadi hukum yang hidup dimasyarakat”, 1991 : 6. ---------- Rudi T.Erwin. Tanya jawab Filsafat Hukum.Jakarta : Aksara Baru, 1982.
----------- Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
---------- Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
---------- Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
-----------Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
Soejono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhdap Masalah-Masalah Sosial, Penerbit umni, Bandung, 1981.
---------- Siti Soetami, SH., Pengantar Tatat Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2001.
---------- Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (bandung, Aumni, 1982).
Soerjono Soekanto dan Mustapa Abdullah, Hukum Adat Indonesia. (Jakarta : Rajawali Press, 1983).
Sayyid Sabiq.” Fiqih Sunjnah”, Penerjemah : Nor Hasanuddin, Penyunting : Dendi Irfan, Arif Anggoro, Dedi M. Han Basri, Cet.2, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2007.
---------- Sutikno.Filsafat Hukum.Jakarta :CV.Prima,1973.Suriasumantri, ”Hukum barat yang bercorak kapitalistik dan individualistik memiliki
dasar ontologis monisme yaitu materialisme,bahwa hakekat dari kenyataan yang ada, 1990: 93.
Sumardjono, ”siklus ilmu pengetahuan sebagaimana digambarkan oleh L. Wallace di dalam bukunya The Logic of Science in Sociology”, 1989: 3.
Saptariani, N. Potret Perspektif Keadilan Gender dalam Pengelolaan SDA di Indonesia. Jurnal Perdikan.
Soejono Soekanto, Mengenai Sosiologi Hukum, Bandung, PT. Citra Bakti, 1989.Teguh Pudjo Mulyono, “Anlisis Laporan Keuangan untuk Perbankan”, Penerbit Djambatan , Jakarta, 1999. UNO 1988: HUMAN RIGHTS, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UNICEF, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak, dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung, PT Citra Aditya Bakti.
----------- UNICEF, 1990, Convention on The Rights of The Child.----------- Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Wignjodipoero, Soerojo.Pengantar dan Asas-Asas Hukum Ada (Jakarta : CV.Haji Masagung, 1983).
---------- Wright,W.K, A history of modern European Philosophy, New York, 1941.
Wiliam Zelernyer. Internasional to Bussines Law The Macmillan Company, New York. London : Collier-Macmillan Limited, 1964.
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New York, Harvard College, University Press.
Zainuddi Ali, MA, Sosiologi Hukum. Penerbit : Yayasan Mayarakat Indonesia Baru. Palu, Hal. 2.
---------- Zainuddin Ali, Ilmu Hukum dalam Masyarakat Indonesia, (Palu, YMIB, 2001).--------- 2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Recommended