View
252
Download
5
Category
Preview:
DESCRIPTION
pediatri sosial fk uns
Citation preview
Presentasi Kasus Pediatri sosial
SEORANG ANAK 2 TAHUN 3 BULAN DENGAN
SINDROM DOWN DAN TERSANGKA GLOBAL
DELAY DEVELOPMENT
Oleh :
Yudhistira Permana G99141149/A8-2015
Tenri Ashari G99131087/A14-2015
Syifa Marhattya Rizky G99141035/B4-2015
Pembimbing :
Dra. Suci Murti Karini, Msi
KEPANITERAAN KLINIK SMF / BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2015
BAB I
STATUS PENDERITA
I.IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. J
Umur : 2 Tahun 3 Bulan
Tanggal Lahir : 24 Desember 2012
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nama orang tua : Tn. S
Agama : Islam
Alamat : Jebres, Surakarta
Pemeriksaan : 20 Maret 2015
II. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh dengan cara alloanamnesis terhadap orang tua pasien yang
merawat penderita.
A. Keluhan Utama
Perkembangan lambat dari pada anak seusianya
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluarga pasien mengeluh bahwa anak tersebut perkembangannya
lebih lambat daripada anak seusianya. Anak tidak banyak bersuara dan belum
bias mengucapkan suku kata dengan jelas , hanya bisa mengucap suku kata
seperti ma dan pa. Terkadang tidak memberi respon bila dipanggil. Pasien
sudah bisa makan sendiri tetapi tidak menyatakan maksud keinginannya
. Pasien bisa berdiri sendiri tetapi belum bisa berjalan dengan baik dan
cenderung merangkak. Ketika diberi mainan pasien baru bisa memegang
sekitar 1 minggu yang lalu.
Saat dilakukan pemeriksaan rutin, keluarga pasien mengatakan tidak
terdapat gangguan kesehatan yang dialami penderita. Dan dari pengamatan
pemeriksa penderita terlihat sehat dan bugar.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat mondok : disangkal
Riwayat alergi obat / makanan : disangkal
Riwayat kejang sebelumnya : disangkal
Riwayat perkembangan keterlambatan : (+)
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat alergi obat / makanan : disangkal
Riwayat kejang pada keluarga : disangkal
E. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita
Faringitis (+)
Bronkitis (-)
Morbili (-)
Pertusis (-)
Difteri (-)
Varicella (-)
Malaria (-)
Polio (-)
Thypus abdominalis (-)
Cacingan (-)
Gegar otak (-)
Fraktur (-)
Kejang Demam (-)
TB paru (-)
F. Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita adalah anak pertama Anggota keluarganya terdiri dari ayah,
ibu, dan penderita sendiri. Pengobatan pasien menggunakan biaya sendiri.
G. Riwayat Makan Minum Anak
- Usia 0-7 bulan : ASI saja, frekuensi minum ASI tiap kali bayi menangis
atau minta minum, sehari biasanya 8 kali per hari dan lama menyusui 10
menit, bergantian kiri kanan.
- Usia 7-25 bulan : nasi tim 2-3 kali sehari satu mangkok kecil dengan sayur
hijau/bayam, telur, tahu, tempe, dengan diselingi dengan ASI dan susu
buatan (Nestle) jika bayi masih lapar. Frekuensi minum susu buatan 2 kali
per hari dengan takaran ½ cangkir kecil.
H. Riwayat Pemeriksaan Kehamilan dan Prenatal
Pemeriksaan kehamilan dilakukan ibu penderita di bidan setempat.
Frekuensi pemeriksaan pada trimester I dan II 2 kali tiap bulan, dan pada
trimester III 4 kali tiap bulan. Penyakit kehamilan (-). Riwayat minum jamu
selama hamil (+), obat-obatan yang diminum adalah jenis suplemen yang
diperoleh dari tetangganya.
I. Riwayat Kelahiran
Penderita lahir di Jebres , partus normal, ditolong oleh bidan, pada usia
kehamilan 9 bulan, umur ibu 15 tahun ,bayi langsung menangis segera
setelah lahir. Berat waktu lahir 2600 gram, panjang badan saat lahir 49 cm.
J. Riwayat Pemeriksaan Post Natal
Pemeriksaan bayi setelah lahir rutin dilakukan di puskesmas untuk
menimbang badan dan mendapat imunisasi
K. Riwayat Imunisasi
BCG : 1x, 1 bulan setelah lahir di puskesmas.
Hepatitis B : 4x, saat lahit, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan.
DPT-HB : 3x, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan.
Polio : 4x , 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan.
Campak : 1x, 9 bulan.
Kesan : imunisasi lengkap sesuai jadwal Depkes RI 2011
L. Keluarga Berencana
Keluarga mengikuti program KB dengan program suntik KB per 3 bulan.
.
III.PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : tampak sehat
Derajat Kesadaran : compos mentis
Status gizi : gizi kesan baik
2. Tanda vital
S : 36,4oC
N : 100 x/menit, reguler, simetris, isi dan tegangan cukup.
RR : 24 x/menit, tipe abdominal, kedalaman cukup, reguler.
BB : 11 kg
TB : 78 cm
3. Kulit : warna sawo matang, kelembaban baik, turgor baik.
4. Kepala : bentuk mesocephal, sutura sudah menutup, UUB datar, rambut hitam
tidak mudah rontok dan sukar dicabut.
5. Muka : sembab (-), wajah orang tua (-), flat nasal bridge (+),mongoloid face
(+)
6. Mata : cowong (-), bulu mata hitam lurus tidak rontok, conjunctiva anemis
(-/-), strabismus (-), xeroftalmia (-), oedem palpebra (-/-). Almond shaped
eyes (+/+)
7. Hidung : bentuk normal, napas cuping hidung(-/-), sekret (-/-), darah (-/-),
deformitas(-).
8. Mulut : sianosis (+), bibir kering (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-), mukosa
basah (+), susunan gigi normal. makroglossia (+)
9. Tenggorokan : uvula di tengah, tonsil T1 –T1, faring hiperemis (-),
pseudomembran (-), post nasal drip (-).
10. Telinga : bentuk aurikula dx et sn normal, kelainan MAE (-), serumen (-/-),
membrana timpani sde, prosesus mastoideus tidak nyeri tekan, tragus pain (-),
sekret (-).
11. Leher : bentuk normal, trachea ditengah, kelenjar thyroid tidak membesar.
12. Limfonodi : kelenjar limfe auricular, submandibuler, servikalis,
suparaklavikularis, aksilaris, dan inguinalis tidak membesar.
13. Thorax : bentuk normochest, retraksi (+) interkostal dan sub sternal, iga
gambang (-), gerakan simetris ka = ki
Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Kiri atas : SIC II LPSS
Kiri bawah : SIC IV LMCS
Kanan atas : SIC II LPSD
Kanan bawah: SIC IV LPSD
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising
sistolik (+)
Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor / Sonor di semua lapang paru
Batas paru-hepar : SIC V kanan
Batas paru-lambung : SIC VI kiri
Redup relatif di : SIC V kanan
Redup absolut : SIC VI kanan (hepar)
Auskultasi : SD bronchovesikuler (+/+), RBK (+/+)
14. Abdomen : Inspeksi : dinding dada sejajar dinding perut
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : tympani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien
tidak teraba.
15. Urogenital : dalam batas normal
16. Gluteus : Baggy pants (-)
17. Ekstremitas : simbian crease (+) , Hipotonia (+)
akral dingin sianosis oedem
CRT < 2 detik
18. Kuku : keruh (-), spoon nail (-), konkaf (-)
IV. STATUS GIZI
BB/U : 11/12,6 x 100 % = 87,3 % (-2 SD< Z score < 2 SD)
TB/U : 78/89 x 100 % = 87.6% ( Z score >-3 SD)
BB/TB : 11/10,3x 100 % = 106,79 % (-2 SD< Z score < 2 SD)
Kesimpulan : normo weight . stunted , gizi kesan baik menurut antropometri
V. DENVER DEVELOPMENTAL SCREEENING TEST
Ditemukan keterlambatan pada aspek bahasa. Personal sosial, adaptif-
motorik-halus, dan motorik kasar sesuai dengan perkembangan anak seusia
penderita. Anak tersangka Global delay development.
- ---
- ---
- ---
VI. RESUME
Keluarga pasien mengeluh bahwa anak tersebut perkembangannya lebih
lambat daripada anak seusianya. Anak tidak banyak bersuara dan belum bias
mengucapkan suku kata dengan jelas , hanya bisa mengucap suku kata seperti ma
dan pa. Terkadang tidak memberi respon bila dipanggil. Pasien sudah bisa makan
sendiri tetapi tidak menyatakan maksud keinginannya. Pasien bisa berdiri sendiri
tetapi belum bisa berjalan dengan baik dan cenderung merangkak. Ketika diberi
mainan pasien baru bisa memegang sekitar 1 minggu yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak baik, compos
mentis dan gizi kesan baik, tanda vital suhu 36,80C, nadi frekuensi: 90 x/menit,
reguler, simetris, isi dan tegangan cukup, frekuensi nafas: 30 x/menit, tipe
abdominal, kedalaman cukup, dan reguler. Hasil tes perkembangan Denver yaitu,
personal sosial setara dengan anak usia 5 bulan, adaptif-motorik halus setara
dengan anak usia 9 bulan, dan bahasa setara dengan anak usia 11 bulan, serta
motorik kasar setara dengan anak usia 13 bulan.
VII. ASSESMENT
1. Global Delayed development
2. Down syndrome
3. Keterlambatan perkembangan personal sosial setara usia 5 bulan
4. Keterlambatan perkembangan adatif – motorik halus setara usia 9 bulan
5. Keterlambatan perkembangan bahasa setara usia 11 bulan
6. Keterlambatan perkembangan motorik kasar setara usia 13 bulan
VIII.PENATALAKSANAAN
A. Terapi :
- Speech therapy
- Ocupation therapy
- Physio therapy
B. Edukasi :
- Motivasi keluarga tentang penyakitnya
- Stimulasi di rumah
- Konseling
IX. PLANNING
- Konsul THT untuk tes pendengaran
- Konsul RM
X. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SINDROM DOWN
I. Definisi
Nama sindrom Down berasal dari nama seorang dokter yang pertama
kali melaporkan kasus hambatan tumbuh kembang psikomotorik dan
berakibat gangguan mental pada tahun 1866. Dokter tersebut adalah Dr. John
Langdon Down dari Inggris. Sebelumnya kelainan genetika ini disebut
sebagai “Mongolismus”, sebab memang penderitanya memiliki ciri fisik
menyerupai ras Mongoloid. Karena berbau rasialis maka nama ini diganti
menjadi Sindrom Down. Terlebih setelah tahun 1959 diketahui bahwa
kelainan genetika ini dapat terjadi pada ras mana saja tanpa membedakan jenis
kelamin.
Sindroma down merupakan kelainan kromosom yang paling sering
terjadi. Angka kejadian kelainan ini mencapai 1 dalam 1000 kelahiran. Di
Amerika Serikat, setiap tahun lahir 3000 sampai 5000 anak dengan kelainan
ini. Sedangkan di Indonesia prevalensinya lebih dari 300 ribu jiwa.
Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai
trisomi, karena individu yang mendapat sindrom Down memiliki kelebihan
satu kromosom. Mereka mempunyai tiga kromosom 21 dimana orang normal
hanya mempunyai dua saja. Kelebihan kromosom ini akan mengubah
keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan karakteristik fisik
dan kemampuan intelektual, serta gangguan dalam fungsi fisiologi tubuh
(Pathol, 2003).
Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler, translokasi
dan mosaik. Tipe pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua sel dalam tubuh
akan mempunyai tiga kromosom 21. Sembilan puluh empat persen dari semua
kasus sindrom Down adalah dari tipe ini (Lancet, 2003).
Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21 akan
berkombinasi dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu orang tua
yang menjadi karier kromosom yang ditranslokasi ini tidak menunjukkan
karakter penderita sindrom Down. Tipe ini merupakan 4% dari total kasus
(Lancet, 2003).
Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu saja
yang mempunyai kelebihan kromosom 21. Dua persen adalah penderita tipe
mosaik ini dan biasanya kondisi si penderita lebih ringan (Lancet, 2003).
II. EPIDEMIOLOGI
Menurut Soetjiningsih (1998: 211), sindrom Down merupakan
kelainan kromosom autosomal yang paling banyak terjadi pada manusia.
Diperkirakan angka kejadian terakhir adalah 1,0-1,2 per 1000 kelahiran hidup
dimana 20 tahun sebelumnya dilaporkan 1,6 per 1000. penurunan ini
diperkirakan berkaitan dengan menurunnya kelahiran dari wanita yang
berumur. Diperkirakan 20% anak dengan sindrom Down dilahirkan oleh ibu
yang berumur di atas 35 tahun.
Sindrom Down dapat terjadi pada semua ras. Dikatakan bahwa angka
kejadiannya pada bangsa kulit putih lebih tinggi daripada kulit hitam, tetapi
perbedaan ini tidak bermakna. Sedangkan angka kejadian pada berbagai
golongan sosial ekonomi adalah sama.
II. Faktor Risiko
Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down didapatkan
meningkat dengan bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita
yang hamil pada usia di atas 35 tahun. Walau bagaimanapun, wanita yang
hamil pada usia muda tidak bebas terhadap risiko mendapat bayi dengan
sindrom Down.
Harus diingat bahwa kemungkinan mendapat bayi dengan sindrom
Down adalah lebih tinggi jika wanita yang hamil pernah mendapat bayi
dengan sindrom Down, atau jika adanya anggota keluarga yang terdekat yang
pernah mendapat kondisi yang sama. Walau bagaimanapun kebanyakan kasus
yang ditemukan didapatkan ibu dan bapaknya normal (Livingstone, 2006).
Berikut merupakan rasio mendapat bayi dengan sindrom Down
berdasarkan umur ibu yang hamil:
- 20 tahun: 1 per 1,500
- 25 tahun: 1 per 1,300
- 30 tahun: 1 per 900
- 35 tahun: 1 per 350
- 40 tahun: 1 per 100
- 45 tahun: 1 per 30
III. Etiologi
Menurut Soetjiningsih (1998: 211-212), selama satu abad sebelumnya
banyak hipotesis tentang penyebab sindrom Down yang dilaporkan. Tetapi sejak
ditemukan adanya kelainan kromosom pada sindrom Down pada tahun 1959,
maka sekarang perhatian dipusatkan pada kejadian “non-disjunctional” sebagai
penyebabnya yaitu:
1. Genetik
Diperkirakan terdapat predisposisi genetic terhadap ”non-
disjunctional”. Bukti yang mendukung teori ini adalah berdasarkan hasil
penelitian epidemiologi yang menyatakan adanya peningkatan resiko berulang
bila dalam keluarga terdapat anak dengan sindrom Down.
2. Radiasi
Radiasi dikatakan merupakan salah satu penyebab terjadinya “non-
disjunctional” pada sindrom Down ini. Uchida 1981 (dikutip Pueschel dkk.)
menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan sindrom
Down, pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi.
Sedangkan penelitian lain tidak mendapati hubungan antara radiasi dengan
penyimpangan kromosom.
3. Infeksi
Infeksi juga dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya sindrom
Down. Sampai saat ini belum ada peneliti yang mampu memastikan bahwa
virus dapat mengakibatkan terjadinya “non-disjunctional”.
4. Autoimun
Factor lain yang juga diperkirakan sebagai etiologi sindrom Down
adalah aotuimun. Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan
dengan tiroid. Penelitian Fialkow 1966 (dikutip Pueschel dkk.) secara
konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang
melahirkan anak dengan sindrom Down dengan ibu kontrol yang umurnya
sama.
5. Umur ibu
Apabila umur ibu di atas 35 tahun, diperkirakan terdapat perubahan
hormonal yang dapat menyebabkan “non-disjunctional” pada kromosom.
Perubahan endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya
kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estriadol sistemik,
perubahan konsentrasi reseptor hormone, dan peningkatan secara tajam kadar
LH (Lutenizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormone) secara
tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya “non-disjunctional”.
6. Umur ayah
Selain pengaruh umur ibu terhadap sindrom Down, juga dilaporkan
adanya pengaruh umur ayah. Penelitian sitogenik pada orang tua dari anak
dengan sindrom Down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom
21 bersumber dari ayahnya. Tetapi korelasinya tidak setinggi dengan umur
ibu.
Factor lain seperti gangguan intragametik, organisasi nucleolus, bahan kimia
dan frekuensi koitus masih didiskusikan kemungkinan sebagai penyebab dari
sindrom Down.
IV. Skrining
Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi
sindrom Down. Pertama adalah uji skrining yang terdiri daripada blood test
dan atau sonogram. Uji kedua adalah uji diagnostik yang dapat memberi hasil
pasti apakah bayi yang dikandung menderita sindrom Down atau tidak
(American College of Nurse-Midwives, 2005).
Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah Nuchal
Translucency (NT test). Ujian ini dilakukan pada minggu 11 – 14 kehamilan.
Apa yang diuji adalah jumlah cairan di bawah kulit pada belakang leher janin.
Tujuh daripada sepulah bayi dengan sindrom Down dapat dikenal pasti
dengan tehnik ini (American College of Nurse-Midwives, 2005).
Hasil ujian sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada darah
ibu hamil yang disuspek bayinya sindrom Down, apa yang diperhatikan
adalah plasma protein-A dan hormon human chorionic gonadotropin (HCG).
Hasil yang tidak normal menjadi indikasi bahwa mungkin adanya kelainan
pada bayi yang dikandung (Mayo Foundation for Medical Education and
Research (MFMER), 2011).
Terdapat beberapa uji diagnostik yang boleh dilakukan untuk
mendeteksi sindrom Down. Amniocentesis dilakukan dengan mengambil
sampel air ketuban yang kemudiannya diuji untuk menganalisa kromosom
janin. Kaedah ini dilakukan pada kehamilan di atas 15 minggu. Risiko
keguguran adalah 1 per 200 kehamilan.
Chorionic villus sampling (CVS) dilakukan dengan mengambil
sampel sel dari plasenta. Sampel tersebut akan diuji untuk melihat kromosom
janin. Tehnik ini dilakukan pada kehamilan minggu kesembilan hingga 14.
Resiko keguguran adalah 1 per 100 kehamilan.
Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS) adalah tehnik di
mana darah dari umbilikus diambil dan diuji untuk melihat kromosom janin.
Tehnik dilakukan pada kehamilan diatas 18 minggu. Tes ini dilakukan
sekiranya tehnik lain tidak berhasil memberikan hasil yang jelas. Resiko
keguguran adalah lebih tinggi (Mayo Foundation for Medical Education and
Research (MFMER), 2011).
V. Patofisiologi
Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem organ
dan menyebabkan perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini dapat
menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa, dan perubahan proses
hidup yang signifikan secara klinis. Sindrom Down akan menurunkan survival
prenatal dan meningkatkan morbiditas prenatal dan postnatal. Anak – anak
yang terkena biasanya mengalami keterlambatan pertumbuhan fisik, maturasi,
pertumbuhan tulang dan pertumbuhan gigi yang lambat.
Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan
tampilan fisik yang tipikal seperti retardasi mental, struktur fasial yang khas,
anomali pada ekstremitas atas, dan penyakit jantung kongenital. Hasil analisis
molekular menunjukkan regio 21q.22.1-q22.3 pada kromosom 21
bertanggungjawab menimbulkan penyakit jantung kongenital pada penderita
sindrom Down. Sementara gen yang baru dikenal, yaitu DSCR1 yang
diidentifikasi pada regio 21q22.1-q22.2, adalah sangat terekspresi pada otak
dan jantung dan menjadi penyebab utama retardasi mental dan defek jantung
(Mayo Clinic Internal Medicine Review, 2008).
Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolisme
thiroid dan malabsorpsi intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan akibat
dari respons sistem imun yang lemah, dan meningkatnya insidensi terjadi
kondisi aotuimun, termasuk hipothiroidism dan juga penyakit Hashimoto.
Penderita dengan sindrom Down sering kali menderita
hipersensitivitas terhadap proses fisiologis tubuh, seperti hipersensitivitas
terhadap pilocarpine dan respons lain yang abnormal. Sebagai contoh, anak –
anak dengan sindrom Down yang menderita leukemia sangat sensitif terhadap
methotrexate. Menurunnya buffer proses metabolik menjadi faktor
predisposisi terjadinya hiperurisemia dan meningkatnya resistensi terhadap
insulin. Ini adalah penyebab peningkatan kasus Diabetes Mellitus pada
penderita Sindrom Down (Cincinnati Children's Hospital Medical Center,
2006).
Anak – anak yang menderita sindrom Down lebih rentan menderita
leukemia, seperti Transient Myeloproliferative Disorder dan Acute
Megakaryocytic Leukemia. Hampir keseluruhan anak yang menderita sindrom
Down yang mendapat leukemia terjadi akibat mutasi hematopoietic
transcription factor gene yaitu GATA1. Leukemia pada anak – anak dengan
sindrom Down terjadi akibat mutasi yaitu trisomi 21, mutasi GATA1, dan
mutasi ketiga yang berupa proses perubahan genetik yang belum diketahui
pasti (Lange BJ,1998).
VI. Mortalitas dan Morbiditas
Diperkirakan sekitar 75% kehamilan dengan trisomi 21 tidak akan
bertahan. Sekitar 85% bayi dapat hidup sampai umur satu tahun dan 50%
dapat hidup sehingga berusia lebih dari 50 tahun. Penyakit jantung kongenital
sering menjadi faktor yang menentukan usia penderita sindrom Down. Selain
itu, penyakit seperti Atresia Esofagus dengan atau tanpa fistula transesofageal,
Hirschsprung disease, atresia duodenal dan leukemia akan meningkatkan
mortalitas (William, 2002).
Selain itu, penderita sindrom Down mempunyai tingkat morbiditas
yang tinggi karena mempunyai respons sistem imun yang lemah. Kondisi
seperti tonsil yang membesar dan adenoids, lingual tonsils, choanal stenosis,
atau glossoptosis dapat menimbulkan obstruksi pada saluran nafas atas.
Obstruksi saluran nafas dapat menyebabkan Serous Otitis Media, Alveolar
Hypoventilation, Arterial Hypoxemia, Cerebral Hypoxia, dan Hipertensi
Arteri Pulmonal yang disertai dengan cor pulmonale dan gagal jantung
(Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).
Keterlambatan mengidentifikasi atlantoaxial dan atlanto-occipital
yang tidak stabil dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf spinal yang
irreversibel. Gangguan pendengaran, visus, retardasi mental dan defek yang
lain akan menyebabkan keterbatasan kepada anak – anak dengan sindrom
Down dalam meneruskan kelangsungan hidup. Mereka juga akan menghadapi
masalah dalam pembelajaran, proses membangunkan upaya berbahasa, dan
kemampuan interpersonal (Cincinnati Children's Hospital Medical Center,
2006).
VII. Efek pada Fisik dan Sistem Tubuh
a Pemeriksaan Fisik
Fisikalnya pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang
pendek. Mereka sering kali gemuk dan tergolong dalam obesitas. Tulang
rangka tubuh penderita sindrom Down mempunyai ciri – ciri yang khas.
Tangan mereka pendek dan melebar, adanya kondisi clinodactyly pada jari
kelima dengan jari kelima yang mempunyai satu lipatan (20%), sendi jari
yang hiperekstensi, jarak antara jari ibu kaki dengan jari kedua yang
terlalu jauh, dan dislokasi tulang pinggul (6%) (Brunner, 2007).
Bagi panderita sindrom Down, biasanya pada kulit mereka didapatkan
xerosis, lesi hiperkeratosis yang terlokalisir, garis – garis transversal pada
telapak tangan, hanya satu lipatan pada jari kelima, elastosis serpiginosa,
alopecia areata, vitiligo, follikulitis, abses dan infeksi pada kulit yang
rekuren (Am J., 2009).
Retardasi mental yang ringan hingga berat dapat terjadi. Intelegent
quatio (IQ) mereka sering berada antara 20 – 85 dengan rata-rata 50.
Hipotonia yang diderita akan meningkat apabila umur meningkat. Mereka
sering mendapat gangguan artikulasi. (Mao R., 2003).
Penderita sindrom Down mempunyai sikap atau prilaku yang spontan,
sikap ramah, ceria, cermat, sabar dan bertoleransi. Kadang kala mereka
akan menunjukkan perlakuan yang nakal dengan rasa ingin tahu yang
tinggi (Nelson, 2003).
Infantile spasms adalah yang paling sering dilaporkan terjadi pada
anak – anak sindrom Down sementara kejang tonik klonik lebih sering
didapatkan pada yang dewasa. Tonus kulit yang jelek, rambut yang cepat
beruban dan sering gugur, hipogonadism, katarak, kurang pendengaran,
hal yang berhubungan dengan hipothroidism yang disebabkan faktor usia
yang meningkat, kejang, neoplasma, penyakit vaskular degeneratif,
ketidakmampuan dalam melakukan sesuatu, pikun, dementia dan
Alzheimer dilaporkan sering terjadi pada penderita sindrom Down.
Semuanya adalah penyakit yang sering terjadi pada orang – orang lanjut
usia (Am J., 2009).
Penderita sindrom Down sering menderita Brachycephaly,
microcephaly, dahi yang rata, occipital yang agak lurus, fontanela yang
besar dengan perlekatan tulang tengkorak yang lambat, sutura metopik,
tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid serta hipoplasia pada sinus
maksilaris (John A. 2000).
Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas
(upslanting) karena fissura palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya
lipatan epicanthal, titik – titik Brushfield, kesalahan refraksi sehingga
50%, strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis (33%),
conjunctivitis, ruptur kanal nasolacrimal, katarak kongenital, pseudopapil
edema, spasma nutans dan keratoconus (Schlote, 2006).
Pasien sindrom Down mempunyai hidung yang rata, disebabkan
hipoplasi tulang hidung dan jembatan hidung yang rata (Schlote, 2006).
Apabila mulut dibuka, lidah mereka cenderung menonjol, lidah yang kecil
dan mempunyai lekuk yang dalam, pernafasan yang disertai dengan air
liur, bibir bawah yang merekah, angular cheilitis, anodontia parsial, gigi
yang tidak terbentuk dengan sempurna, pertumbuhan gigi yang lambat,
mikrodontia pada gigi primer dan sekunder, maloklusi gigi serta
kerusakan periodontal yang jelas (Selikowitz, Mark., 1997).
Pasien sindrom Down mempunyai telinga yang kecil dan heliks yang
berlipat. Otitis media yang kronis dan kehilangan pendengaran sering
ditemukan. Kira – kira 60–80% anak penderita sindrom Down mengalami
kemerosotan 15 – 20 dB pada satu telinga (William W. Hay Jr, 2002).
b Hematologi
Anak penderita sindrom Down mempunyai risiko tinggi mendapat
Leukemia, termasuklah Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia
Myeloid. Diperkirakan 10% bayi yang lahir dengan sindrom Down akan
mendapat klon preleukemic, yang berasal dari progenitor myeloid pada
hati yang mempunyai karekter mutasi pada GATA1, yang terlokalisir pada
kromosom X. Mutasi pada faktor transkripsi ini dirujuk sebagai Transient
Leukemia, Transient Myeloproliferative Disease (TMD), atau Transient
Abnormal Myelopoiesis (TAM) (Lanzkowsky, 2005).
c Penyakit Jantung Kongenital
Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita sindrom
Down dengan prevelensi 40-50%. Walau bagaimanapun kasus lebih sering
ditemukan pada penderita yang dirawat di RS (62%) dan penyebab
kematian yang paling sering adalah aneuploidy dalam dua tahun pertama
kehidupan.
Antara penyakit jantung kongenital yang ditemukan Atrioventricular
Septal Defects (AVD) atau dikenal juga sebagai Endocardial Cushion
Defect (43%), Ventricular Septal Defect (32%), Secundum Atrial Septal
Defect (ASD) (10%), Tetralogy of Fallot (6%), dan Isolated Patent
Ductus Arteriosus (4%). Lesi yang paling sering ditemukan adalah Patent
Ductus Arteriosus (16%) dan Pulmonic Stenosis (9%). Kira - kira 70%
dari endocardial cushion defects adalah terkait dengan sindrom Down.
Dari keseluruhan penderita yang dirawat, kira – kira 30% mempunyai
beberapa defek sekaligus pada jantung mereka (Baliff JP, 2003).
Atrioventricular septal defects (AVD)
Atrioventricular septal defects (AVD) adalah kondisi dimana
terjadinya kelainan anatomis akibat perkembangan endocardial cushions
yang tidak sempurna sewaktu tahap embrio. Kelainan yang sering di
hubungkan dengan AVD adalah patent ductus arteriosus, coarctation of
the aorta, atrial septal defects, absent atrial septum, dan anomalous
pulmonary venous return. Kelainan pada katup mitral juga sering terjadi.
Penderita AVD selalunya berada dalam kondisi asimtomatik pada dekade
pertama kehidupan, dan masalah akan mula timbul pada dekade kedua dan
ketiga kehidupan. Pasien akan mula mengalami pengurangan pulmonary
venous return, yang akhirnya akan menjadi left-to-right shunt pada atrium
dan ventrikel. Akhirnya nanti akan terjadi gagal jantung kongestif yang
ditandai dengan antara lain takipnu dan penurunan berat badan (William
2002).
AVD juga boleh melibatkan septum atrial, septum ventrikel, dan pada
salah satu, atau kedua dua katup atrioventikuler. Pada penderitadengan
penyakit ini, jaringan jantung pada bagian superior dan inferior tidak
menutup dengan sempurna. Akibatnya, terjadi komunikasi intratrial
melalui septum atrial. Kondisi ini kita kenal sebagai defek ostium primum.
Akan terjadi letak katup atrioventikuler yang abnormal, yaitu lebih rendah
dari letak katup aorta. Perfusi jaringan endokardial yang tidak sempurna
juga mangakibatkan lemahnya struktur pada leaflet katup mitral.
Pada penderita sering terjadi predominant left-to-right shunting.
Apabila penderita mengalami kelainan yang parsial, shunting ini sering
terjadi melalui ostium primum pada septum. Kalau penderita mendapat
defek yang komplit, maka dapat terjadi defek pada septum ventrikel dan
juga insufisiensi valvular. Kemudian akan terjadi volume overloading
pada ventrikel kiri dan kanan yang akhirnya diikuti dengan gagal jantung
pada awal usia. Sekiranya terjadi overload pulmonari, dapat terjadi
penyakit vaskuler pulmonari yang diikuti dengan gagal jantung kongestif
(Kallen B.,1996).
Ventricular Septal defect (VSD)
Ventricular Septal Defect kondisi ini adalah spesifik merujuk kepada
kondisi dimana adanya lubang yang menghubungkan dua ventrikel.
Kondisi ini boleh terjadi sebagai anomali primer, dengan atau tanpa defek
kardiak yang lain. Kondisi ini dapat terjadi akibat kelainan seperti
Tetralogy of Fallot (TOF), complete atrioventricular (AV) canal defects,
transposition of great arteries,dan corrected transpositions (Freeman SB,
1998)
Secundum Atrial Septal Defect (ASD)
Pada penderita secundum atrial septal defect, didapatkan lubang atau
jalur yang menyebabkan darah mengalir dari atrium kanan ke atrium kiri,
atau sebaliknya, melalui septum interatrial. Apabila tejadinya defek pada
septum ini, darah arterial dan darah venous akan bercampur, yang bisa
atau tidak menimbulkan sebarang gejala klinis. Percampuran darah ini
juga disebut sebagai ‘shunt’. Secara medis, right-to-left-shunt adalah lebih
berbahaya (Freeman SB, 1998).
Tetralogy of Fallot (TOF)
Tetralogy of Fallot merupakan jenis penyakit jantung kongenital pada
anak yang sering ditemukan. Pada kondisi ini, terjadi campuran darah
yang kaya oksigen dengan darah yang kurang oksigen. Terdapat empat
abnormalitas yang sering terkait dengan Tetralogy of fallot. Pertama
adalah hipertrofi ventrikel kanan. Terjadinya pengecilan atau tahanan pada
katup pulmonari atau otot katup, yang menyebabkan katup terbuka kearah
luar dari ventrikel kanan. Ini akan menimbulkan restriksi pada aliran darah
akan memaksa ventrikel untuk bekerja lebih kuat yang akhirnya akan
menimbulkan hipertrofi pada ventrikel.
Kedua adalah ventricular septal defect. Pada kondisi ini, adanya
lubang pada dinding yang memisahkan dua ventrikel, akan menyebabkan
darah yang kaya oksigen dan darah yang kurang oksigen bercampur.
Akibatnya akan berkurang jumlah oksigen yang dihantar ke seluruh tubuh
dan menimbulkan gejala klinis berupa sianosis.
Ketiga adalah posisi aorta yang abnormal. Keempat adalah pulmonary
valve stenosis. Jika stenosis yang terjadi ringan, sianosis yang minimal
terjadi karena darah masih lagi bisa sampai ke paru. Tetapi jika
stenosisnya sedang atau berat, darah yang sampai ke paru adalah lebih
sedikit maka sianosis akan menjadi lebih berat (Amit K, 2008).
Isolated Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Pada kondisi Patent ductus arteriosus (PDA) ductus arteriosus si anak
gagal menutup dengan sempurna setelah si anak lahir. Akibatnya terjadi
bising jantung. Simptom yang terjadi antara lain adalah nafas yang pendek
dan aritmia jantung. Apabila dibiarkan dapat terjadi gagal jantung
kongestif. Semakin besar PDA, semaki buruk status kesehatan penderita
(Amik K, 2008).
d Imunodefisiensi
Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi
dibandingkan orang normal untuk mendapat infeksi karena mereka
mempunyai respons sistem imun yang rendah. Contohnya mereka sangat
rentan mendapat pneumonia (William W. Hay Jr. 2002).
e Sistem Gastrointestinal
Kelainan pada sistem gastrointestinal pada penderita sindrom Down
yang dapat ditemukan adalah atresia atau stenosis, Hirschsprung disease
(<1%), TE fistula, Meckel divertikulum, anus imperforata dan juga
omphalocele.
Selain itu, hasil penelitian di Eropa dan Amerika didapatkan
prevalensi mendapat Celiac disease pada pasien sindrom Down adalah
sekitar 5-15%. Penyakit ini terjadi karena defek genetik, yaitu spesifik
pada human leukocyte antigen (HLA) heterodimers DQ2 dan juga DQ8.
Dilaporkan juga terdapat kaitan yang kuat antara hipersensitivitas dan
spesifikasi yang jelek (Livingstone, 2006).
f Sistem Endokrin
Tiroiditis Hashimoto yang mengakibatkan hipothyroidism adalah
gangguan pada sistem endokrin yang paling sering ditemukan. Onsetnya
sering pada usia awal sekolah, sekitar 8 hingga 10 tahun. Insidens
ditemukannya Graves disease juga dilaporkan meningkat. Prevelensi
mendapat penyakit tiroid seperti hipothirodis kongenital, hipertiroid
primer, autoimun tiroiditis, dan compensated hypothyroidism atau
hyperthyrotropenemia adalah sekitar 3-54% pada penderita sindrom
Down, dengan persentase yang semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya umur (Merritt's, 2000).
g Gangguan Psikologis
Kebanyakan anak penderita sindrom Down tidak memiliki gangguan
psikiatri atau prilaku. Diperkirakan sekitar 18-38% anak mempunyai
risiko mendapat gangguan psikis. Beberapa kelainan yang bisa didapat
adalah Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Oppositional
Defiant Disorder, gangguan disruptif yang tidak spesifik dan gangguan
spektrum Autisme (Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).
h Trisomi 21 mosaik
Trisomi 21 mosaik biasanya hanya menampilkan gejala – gejala
sindrom Down yang sangat minimal. Kondisi ini sering menjadi kriteria
diagnosis awal bagi penyakit Alzheimer. Fenotip individu yang mendapat
trisomi 21 mosaik manggambarkan persentase sel – sel trisomik yang
terdapat dalam jaringan yang berbeda di dalam tubuh (Andriolo, 2005).
VIII. Perawatan Medis
Walaupun berbagai usaha sudah dijalankan untuk mengatasi retardasi
mental pada penderita sindrom Down, masih belum ada yang mampu
mengatasi kondisi ini. Walau demikian usaha pengobatan terhadap kelainan
yang didapat oleh penderita sindrom Down akan dapat memperbaiki kualitas
hidup penderita dan dapat memperpanjang usianya.
Beberapa pemeriksaan secara reguler dapat dilakukan untuk memantau
perkembangan tingkat kesehatan penderita sindrom Down, baik anak ataupun
dewasa. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan audiologi,
pemeriksaan optalmologi secara berkala sebagai pencegah keratokonus,
opasitas kornea atau katarak. Untuk kelainan kulit seperti follikulitis, xerosis,
dermatitis atopi, dermatitis seboroik, infeksi jamur, vitiligo dan alopesia perlu
dirawat segera. Masalah kegemukan pada penderita sindrom Down dapat
diatasai dengan pengurangan komsumsi kalori dan meningkatkan aktivitas
fisik (Breslow, 2002).
Skrining terhadap penyakit Celiac juga harus dilakukan, yang ditandai
dengan kondisi seperti konstipasi, diare, bloating, tumbuh kembang yang
lambat dan penurunan berat badan. Selain itu, kesulitan untuk menelan
makanan harus juga diperhatikan, dipikirkan kemungkinan terjadi sumbatan
pada jalan nafas.
Perhatian khusus harus diberikan terhadap proses operasi dikarenakan
tidak stabilnya atlantoaxial dan masalah yang mungkin terjadi pada sistem
respirasi. Selain itu, jangan lupa untuk melakukan skrining untuk
kemungkinan tejadinya penyakit Hipothiroidism dan Diabetes Mellitus.
Jangan dilupakan untuk memberi perhatian terhadap kebersihan yang
berkaitan dengan menstrual, seksual, kehamilan dan sindrom premenstruasi
(Tolmie, 2006).
Kelainan neurologis dapat menyebabkan retardasi mental, hipotonia,
kejang dan stroke. Pastikan juga perbaikan kemampuan berkomunikasi dan
terapi bicara diteruskan, dengan memberi perhatian pada aplikasi bahasa
nonverbal dan kecerdasan otak (Merritt's, 2002).
Bagi pasien sindrom Down, baik anak atau dewasa harus sentiasa
dipantau dan dievaluasi gangguan prilaku, seperti fobia, ketidakmampuan
mengatasi masalah, prilaku streotipik, autisme, masalah makanan dan lain –
lain. Tatalaksana terhadap kondisi mental yang timbul pada penderita sindrom
Down harus dilakukan (National Down Syndrome Society, 2007).
Selain dari aspek medis, harus diperhatikan juga aspek sosial dan
pergaulan. Yaitu dengan memberi perhatian terhadap fase peralihan dari masa
anak ke dewasa. Penting untuk memberi pendidikan dasar juga harus
diberikan perhatian seperti dimana anak itu akan bersekolah dan sebagainya.
Hal – hal berkaitan dengan kelangsungan hidup juga perlu diperhatikan,
contohnya bagaimana mereka akan meneruskan kehidupan dalam komunitas
(National Down Syndrome Society, 2007).
IX. Komplikasi
Walaupun lahir secara normal, asimptomatik dan tidak dijumpai
murmur, anak penderita sindrom Down tetap mempunyai risiko mendapat
defek pada jantung. Apabila resistensi pada vaskular pulmonari dapat
dideteksi, kemungkinan terjadinya shunt dari kiri ke kanan dapat dikurangi,
sehingga dapat mencegah terjadinya gagal jantung awal. Apabila tidak dapat
dideteksi, keadaan ini akan menyebabkan hipertensi pulmonal yang persisten
dengan perubahan pada vaskular yang ireversibel (Cincinnati Children's
Hospital Medical Center, 2006).
Umumnya tatalaksana operatif untuk memperbaiki defek pada jantung
dilakukan setelah anak cukup besar dan kemampuan bertahan terhadap
operasi yang dilakukan lebih baik. Biasanya tindakan operasi dilakukan
apabila anak sudah berusia 6-9 bulan. Saat ini, hasil operasi sudah lebih baik
dan anak yang dioperasi mampu hidup lebih lama (Kallen B, 1996).
Bagi penderita sindrom Down yang menderita defek septal
atrioventrikuler, simptom biasanya timbul sewaktu usia kecil, ditandai dengan
shunting sistemik-pulmonari, aliran darah pulmonari yang tinggi, disertai
dengan peningkatan risiko terjadinya hipertensi arteri pulmonal. Resistensi
pulmonal yang meningkat dapat memicu terjadinya kebalikan dari shunting
sistemik-pulmonal yang diikuti dengan sianosis (Baliff JP, 2005).
Penderita sindrom Down mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk
menderita hipertensi arteri pulmonal dibandingkan dengan orang normal. Hal
ini disebabkan berkurangnya jumlah alveolus, dinding arteriol pulmonal yang
lebih tipis dan fungsi endotelial yang terganggu (Galley R, 2005).
Tindakan operatif perbaikan jantung pada usia awal dapat mencegah
terjadinya kerusakan vaskuler pulmonal yang permanen pada paru - paru.
Apalagi dengan pengobatan yang terkini (prostacyclin, endothelin, antagonis
reseptor dan phosphodiesterase-5-inhibitor) didapatkan mampu memperbaiki
status klinis dan jangka hidup bagi penderita hipertensi arteri pulmonal
(Livingstone, 2006).
Meskipun demikian penyakit jantung koroner didapatkan rendah pada
penderita sindrom Down. Hal ini dibuktikan melalui pemeriksaan patologi
dimana didapatkan rendahnya kemungkinan terjadi aterosklerosis pada
penderita sindrom Down (Tyler, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Andriolo, R B. 2005. Aerobic Exercise Training Programmes For Improving
Physical And Psychosocial Health in adults with Down Syndrome. www.
biomedsearch.com.
Am J Pathol. 2003. Down Syndrome. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
Lancet. 2003. Antenatal Screening for Down’s Syndrome. The Lancet volume 362,
issues 9377, p 81.
American College of Nurse-Midwives. 2005. Prenatal Tests for Down Syndrome.
www.ncbi.nlm.nih.gv/pubmed/15895013
Tyler, C V, Zyzanski SJ, Runser, L. 2004. Increased Risk of Symptomatic
Gallbladder Disease in Adults with Down Syndrome. American Journal of
Medical Genetics vol 130 A, issue 4, pp 351-3
Livingstone C. 2006. Heart Related Down Syndrome. repository.usu.ac.id
Galley R. 2005. Medical Management of the Adult Patient with Down Syndrome.
Journal of the American Academy of Physician Assistant Apr: 18(4): 45-52.
Baliff J B. 2005. New Development in Prenatal Screening for Down Syndrome.
University of Rochester School of Medical.
Kallen B, Mastroiacovo P, Robert E. 1996. Major Congenital Malformations in
Down Syndrome. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8911611
Recommended