View
253
Download
7
Category
Preview:
Citation preview
LAPORAN KASUS
DERMATITIS KONTAK IRITAN
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kulit dan Kelamin
RSUD Ambarawa
Diajukan Kepada:
Pembimbing: dr. Hiendarto Sp.KK
Disusun Oleh:
Regina Lisa Permata
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
PERIODE Maret – April 2016
1
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN
ILMU KULIT DAN KELAMIN
Laporan Kasus dengan judul:
DERMATITIS KONTAK IRITAN
Diajukan untuk Memenuhi Syarat mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Departemen
Ilmu Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
Disusun Oleh:
Regina Lisa Permata
Pembimbing:
Dr. Hiendarto, Sp. KK
KATA PENGANTAR
2
Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “DERMATITIS
KONTAK IRITAN” ini telah diselesaikan dengan baik. Laporan kasus ini saya susun
untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik Bagian Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum
Daerah Ambarawa.
Saya mengucapkan terimakasih kepada pembimbing saya yaitu dr. Hiendarto
Sp.KK yang telah membimbing, memberikan saran untuk referat saya sampai penyusunan
laporan kasus ini selesai dengan baik.
Selanjutnya saya berterimakasih kepada kedua orang tua, teman-teman dan semua
pihak yang mendukung dalam penyelesaian tugas saya.
Semoga laporan kasus ini dapat menambah wawasan bagi penulis dan pembaca di
kepaniteraan klinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa dan para
pembaca.
Jakarta, Maret 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………….
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………..2
BAB III LAPORAN KASUS……………………………………………………13
BAB IV PEMBAHASAN ………………………………………………………17
BAB V KESIMPULAN………………………………………………………..19
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….20
BAB I
PENDAHULUAN
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap
pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa
efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal.1
Dermatitis kontak adalah reaksi fisiologik yang terjadi pada kulit karena kontak dengan substansi
tertentu, dimana sebagian besar reaksi ini disebabkan oleh iritan kulit dan sisanya disebabkan
oleh alergen yang merangsang reaksi alergi dan suatu respon inflamasi dari kulit terhadap 4
antigen atau iritan yang bisa menyebabkan ketidaknyamanan dan rasa malu dan merupakan
kelainan kulit yang paling sering pada para pekerja.1,2,3
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan inflamasi pada kulit yang bermanifestasi
sebagai eritema, edema ringan dan pecah-pecah. DKI merupakan respon non spesifik kulit
terhadap kerusakan kimia langsung yang melepaskan mediator-mediator inflamasi yang sebagian
besar berasal dari sel epidermis.6 DKI dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan
umur, ras dan jenis kelamin.1 DKI merupakan hasil klinik dari inflamasi yang berasal dari
pelepasan sitokin-sitokin proinflamasi dari sel-sel kulit (prinsipnya kerartinosit), biasanya
sebagai respon terhadap rangsangan kimia. Bentuk klinik yang berbeda-beda bisa terjadi. Tiga
perubahan patofosiologi utama adalah disrupsi sawar kulit, perubahan seluler epidermis dan
pelepasan sitokin. Iritan pada DKI meliputi yang ditemui sehari-hari seperti air, deterjen,
berbagai pelarut, asam, basa, bahan adhesi, cairan bercampur logam dan friksi. Sering bahan-
bahan ini bekerja bersama untuk merusak kulit. Iritan merusak kulit dengan cara memindahkan
minyak dan pelembab dari lapisan terluar, membiarkan iritan masuk lebih dalam dan
menyebabkan kerusakan lebih lanjut dengan memicu inlamasi.7 DKI masih belum banyak
diketahui bila dibandingkan dengan dermatitis kontak alergi (DKA). Kebanyakan artikel tentang
dermatitis kontak konsern pada DKA. Tidak ada uji diagnostik untuk DKI. Diagnosis adalah
berdasarkan ekslusi penyakit kutan lainnya (khususnya DKA) dan pada penampakan klinis
dermatitis pada tempat yang terpapar dengan cukup terhadap iritan yang diketahui.6 Terkadang
penampakan klinis DKI kronik mirip dengan DKA. Beberapa sumber menyatakan DKI kronik
pada telapak tangan dan telapak kaki sulit dibedakan dengan DKA.7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Dermatitis Kontak Iritan
DKI merupakan reaksi peradangan kulit non imunologik, dimana kerusakan kulit terjadi
langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan inflamasi
pada kulit yang bermanifestasi sebagai eritema, edema ringan dan pecah-pecah dan merupakan
respon non spesifik kulit terhadap kerusakan kimia langsung yang melepaskan mediator-
mediator inflamasi yang sebagian besar berasal dari sel epidermis.6
5
2.2 Epidemiologi
DKI dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras dan jenis
kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan
dengan pekerjaan (DKI akibat kerja), namun dikatakan angkanya secara tepat sulit
diketahui. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyaknya penderita dengan kelainan ringan
tidak datang berobat, atau bahkan tidak mengeluh. Di Amerika, DKI sering terjadi di
pekerjaan yang melibatkan kegiatan mencuci tangan atau paparan berulang kulit terhadap
air, bahan makanan atau iritan lainnya. Pekerjaan yang berisiko tinggi meliputi bersih-
bersih, pelayanan rumah sakit, tukang masak, dan penata rambut. 80% Dermatitis tangan
okupasional karena iritan, lebih sering mengenai tukang bersih-bersih, penata rambut dan
tukang masak. Prevalensi dermatitis tangan karena pekerjaan ditemukan sebesar 55,6% di
ICU dan 69,7% pada pekerja yang sering terpapar (dilaporkan dengan frekuensi mencuci
tangan >35 kali setiap pergantian). Penelitian menyebutkan frekuensi mencuci tangan >35x
tiap pergantian memiliki hubungan kuat dengan dermatitis tangan karena pekerjaan
(OR=4,13). Di Jerman, angka insiden DKI adalah 4,5 setiap 10.000 pekerja, dimana insiden
tertinggi ditemukan pada penata rambut (46,9 kasus per 10.000 pekerja setiap tahunnya),
tukang roti dan tukang masak.6,7
Berdasarkan jenis kelamin, DKI secara signifikan lebih banyak pada perempuan
dibanding laki-laki. Tingginya frekuensi ekzem tangan pada wanita dibanding pria karena
faktor lingkungan, bukan genetik. Berdasarkan usia, DKI bisa muncul pada berbagai usia.
Banyak kasus karena dermatitis ”diaper” (popok) terjadi karena iritan kulit langsung pada
urine dan feses. Seorang yang lebih tua memiliki kulit lebih kering dan tipis yang tidak
toleran terhadap sabun dan pelarut. DKI bisa mengenai siapa saja, yang terpapar iritan
dengan jumlah yang sufisien, tetapi individu dengan dengan riwayat dermatitis atopi lebih
mudah terserang.6,7
2.3 Etiologi
Zat yang menyebabkan DKI akut adalah zat yang cukup iritan untuk menyebabkan
kerusakan kulit bahkan dalam satu pajanan. Mencakup di dalamnya adalah asam pekat, basa
pekat, cairan pelarut kuat, zat oksidator dan reduktor kuat. Sedangkan pada DKI kumulatif
(DKIK) kerusakan terjadi setelah beberapa kali pajanan pada lokasi kulit yang sama , yaitu
terhadap zat – zat iritan lemah seperti : air, deterjen, zat pe;arut lemah, minyak dan pelumas. Zat
– zat ini tidak cukup toksik untuk mneimbulkan kerusakan kulit pada satu kali pajanan,
6
melainkan secara perlahan – lahan hingga pada sutau saat kerusakannya , mampu menimbulkan
inflamsi. Penyebab DKI kumulatif biasanya bersifat multifaktorial.6,9
Faktor – faktor pencetus terjadinya DKIK berhubungan dengan zat iritan, pajanan (waktu
dan frekuensi) lingkungan ( tekanan mekanis, suhu dan kelembaban ) serta bergantung pada
faktor predisposisi yaitu karakteristik individu ( umur, jenis kelamin, etnis, penyakit kulit yang
telah ada, atopi, lokasi anatomis yang terpajan dan profesi).1,2
Faktor zat iritan mencakup sifat fisik dan kimia zat tersebut seperti : ukuran molekul,
ionisasi, polarisasi, PH dan kelarutan. Sedangkan faktor pajanan meliputi konsentrasi , volum,
waktu aplikasi serta durasi pajanan. Umumnya , waktu pajanan yang lama dan volum yang besar
meningkatkan penetrasi. Pengaruh lingkungan , seperti kelembaban yang rendah dan suhu yang
dingin, merupakan faktor penting dalam menurunkan kadar air stratum korneum. Suhu yang
dingin saja dapat menurunkan kelenturan lapisan tanduk, sehingga menyebabkan retaknya
stratum korneum. Oklusi meningkatkan kadar air strtaum korneum sehingga menurunkan fungsi
efisiensi sawarnya.2,6
Hal ini mengakibatkan peningkatkan absorpsi perkutan zat – zat yang larut dalam air.
Penderita atopi rentan terhadap efek iritasi zat iritan. Kandungan zat iritan juga penting dalam
meningkatkan iritasi. Kebanyakan produk pembersih kulit di pasaran dapat menyebabkan efek
iritasi primer jika digunakan berulang –ulang atau berlebihan, akan tetapi jika digunakan sesuai
aturan, kulit normal tidak akan teriritasi.4,6
Kulit normal memiliki PH berkisar sekitar 5,5 meski beberapa penelitiberpendapat bahwa
PH kulit berkisar antara 6 -7. Kisaran PH kulit natara lain ditentukan oleh adanya mantel asam
yaitu lapisan tipis yang ditinggalkan oleh keringat dan bersifat asam. Bakteri anggota mikroflora
kulit memerlukan PH tertentu untuk dapat melaksanakan pertumbuhan optimum. Terdapat
perbedaan PH untuk pertumbuhan setiap jenis bakteri, misalnya S.aureus membutuhkan PH 7,5
untuk pertumbuhannya, sedangkan P.aureus memerlukan PH antara 6 – 6.5. Larutan deterjen
memiliki PH 9,5 dan jika digunakan berulang –ulang selama beberapa hari PH kulit akan naik
menjadi 8. Kondisi kulit yangd emikian tidak menjadi sarana yang baik bagi pertumbuhan
mikroflora yang penting untuk menjaga lapisan matel asam. Saat terpajan dengan iritan yang
sama dengan kondisi yang sama pula,perkembangan tingkat iritasi tiap individu berbeda –beda.
Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap kerentanan individu meliputi :8,9
Umur dan lokasi
Kerentanan kulit terhadap efek iritasi zat iritan menurun seiriing dengan usia. Hal ini disebabkan
oleh penurunan fungsi sawar.Penelitian menunjukkan bahwa iritabilitas kulit terhadap sodium
lauril sulfat mencapai puncaknya selama masa kanak – kanak dan menurun selama dewasa, 7
mencapai tingkat terendah saat decade keenam.Lokasi dengan rekativitas tertinggi adalah paha,
punggung atas dan lengan bawah.
Ras
Individu berkulit gelap seperti orang Afrikan dan Hispanik, memperlihatkan respon iritasi yang
lebih besar terhadap surfaktan, sodium lauril sulfat, begitu pula terhadap zat kimia dan sinar ultra
violet. Dikatakan bahwa kulit berwarna ( Afrika, Asia, Hispanik ) memiliki fungsi sawar yang
lebih rentan dibandingkan dengan kulit putih.
Jenis Kelamin
Kerentanan kulit terhadap iritasi tidak berbeda antar jenis kelamin. Akan tetapi penelitina
menunjukkan bahwa kulit wanita cenderung lebih mudah terkena iritasi selama periode
prementruasi.
Dermatitis yang telah ada dan dermatitis atopi
Penderita atopi rentan terhadap efek iritasi.Trans-epidermal water loss ( TEWL) lebih tinggi
pada subjek dengan riwayat dermatitis setelah terpajan deterjen. Abnormalitas sawar kulit atopi
dari menurunnya ambang iritasi merupakan faktor penyebab kerentananya terhadap iritasi
Profesi
Deterjen merupakan pembersih kulit yang seting digunakan oleh seluruh pekerja industri , dan
bersifat iritan lemah. Pembersihan kulit yang berlebihan dengan deterjen dapat meneybabkan
DKI kumulatif pada iundividu yang memiliki faktor predisposisi kelompok beresiko ini yaitu
para petugas kebersihan, catering, konstruksi, penata rambut, petugas rumahs akit, pekerja
industri kimia, petugas dry cleaning dan pekerja logam Secara umum, aktivitas wet work mudah
memicu terjadinya DKI.
2.4 Patofisiologi
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan
melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin,
menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit. Kebanyakan bahan
iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit tetapi sebagian dapat menembus
membran sel dan merusak lisosom, mitokondria atau komplemen inti. Kerusakan membran
mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG),
platelet actifating factor (PAF) dan inositida (IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG)
dan leukotrin (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga
bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mas
melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskuler.8
DAG dan second messenger lain mengstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya
interleukin-1 (IL-1) dan granulocyt-macrophage colony stimulating factor (GMCSF). IL-1
mengaktifkan sel T-penolong mengeluarkan IL-2 an mengekspresi reseptor IL-2 yang
menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut. Keratinosit juga membuat
molekul permukaan HLA-DR dan adesi intrasel- (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan,
keratinosit juga melepaskan TNFά, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T,
makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin.
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di
tempat terjadinya kontak di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan
iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan
kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan
kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan.1
DKI akibat pelarut industrii
2.5 Gejala
Kelainanan kulit yang terjadi sangat beragam tergantung dari sifat iritan. Iritan kuat
member gejala akut sedanga iritan yang lemah member gejala kronis. Selain itu banyak
factor juga yang mempengaruhi yaitu factor individu (misalnya ras, usia, lokasi, atopi,
penyakit kulit lain), factor lingkungan ( suhu, kelembapan udara, oklusi). Diagnosis dari DKI
tergantung pada adanya riwayat paparan iritan kutaneus yang mengenai tempat-tempat pada
tubuh. Tes tempel juga digunakan pada kasus yang berat atau persisten untuk menyingkirkan
DKA. Gejala subjektif primer biasanya meliputi hal-hal sebagai berikut : Riwayat paparan
yang cukup terhadap iritan kulit yaitu onset gejala muncul dalam beberapa menit hingga
beberapa jam pada DKI akut. Pada DKI subakut merupakan ciri iritan tertentu seperti
benzalkonium klorida (ada pada disinfektak) yang mendatangkan reaksi radang 8-24 jam
setelah paparan. Onset dan gejala bisa tertunda beberapa minggu pada DKI kumulatif. Nyeri,
rasa terbakar, rasa tersengat atau tidak nyaman pada fase awal. Gejala subjektif lainnya
meliputi: onset dalam 2 minggu paparan dan adanya keluhan yang sama pada rekan kerja
9
atau anggota keluarga lainnya. DKI okupasional biasanya terjadi pada karyawan baru atau
mereka yang belum belajar untuk melindungi kulitnya dari iritan. Individu dengan dermatitis
atopik (khususnya pada tangan) rentan terhadap DKI tangan.6
Pada pemeriksaan Fisik pada anamnesis mengenai pajanan yang mengenai pasien.
Anamnesis yang dapat mendukung penegakan diagnosis DKI (gejala subyektif) adalah
- Pasien mengklain adanya pajanan yang menyebabkan iritasi kutaneus
- Onset dari gejala terjadi dalam beberapa menit sampai jam untuk DKI akut. DKI lambat
dikarakteristikkan oleh causa pajanannya, seperti benzalkonium klorida (biasanya
terdapat pada cairan disinfektan), dimana reaksi inflamasinya terjadi 8-24 jam setelah
pajanan.
- Onset dari gejala dan tanda dapat tertunda hingga berminggu-minggu ada DKI kumulatif
(DKI Kronis). DKI kumulatif terjadi akibat pajanan berulang dari suatu bahan iritan yang
merusak kulit.
- Penderita merasakan sakit, rasa terbakar, rasa tersengat, dan rasa tidak nyaman akibat
pruritus yang terjadi.6
Kriteria diagnostik primer DKI menurut Rietschel meliputi Makula eritema, hiperkeratosis atau
fisura yang menonjol, kulit epidermis seperti terbakar proses penyembuhan dimulai segera
setelah menghindari paparan bahan iritan, Kriteria objektif minor meliputi: Batas tegas pada
dermatitis, Bukti pengaruh gravitasi seperti efek menetes, Kecenderungan untuk menyebar lebih
rendah dibanding DKA. Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk mediagnosis dermatitis kontak
iritan. Ruam kulit biasanya sembuh setelah bahan iritan dihilangkan. Terdapat beberapa tes
yang dapat memberikan indikasi dari substansi yang berpotensi menyebabkan DKI. Tidak ada
spesifik tes yang dapat memperlihatkan efek yang didapatkan dari setiap pasien jika terkena
dengan bahan iritan. Dermatitis kontak iritan dalam beberapa kasus, biasanya merupakan hasil
dari efek berbagai iritans. Tes tempel negatif dan meliputi semua alergen yang mungkin.1,6
Untuk kepentingan pengobatan, berdasarkan perjalanan penyakit dan gejala klinis DKI
dikelompokkan menjadi
DKI akut
Penyebabnya adalah iritan kuat misalnya larutan asma sulfat dan asam hidroklorid atau
basa kuat misalnya natrium dan kalium hidroksida. Reaksi segera timbul. Intensitas
reaksinya seanding dengan konsentrasi dan lamanya kontak dengan iritan, terbatas pada
tempat kontak kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar, kelainan yang terlihat adalah
10
eritema edema, bula, bias juga sampai nekrosis. Pinggir kelainan kulit berbatas tegas
dan pada umunya asimetris.
DKI akut lambat
Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI akut tetapi baru muncul 8 sampai 24 jam
atau lebih setelah kontak. Bahan iritannya yang dapat menyebabkan DKI akut lambat
adalah podofilin, antralin, tretinoin, etilen oksida. Contoh oleh dermatitis yang
disebabkan oleh bulu serangga yang terbang adalah dermatitis venenata. Penderita baru
merasakan pedih pada esok harinya, awalnya terlihat eritema dan sore harinya sudah
menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.
DKI kumulatif
Nama lainnya adalah DKI kronis. Penyebab ialah kontak berulang – ulang dengan iritan
lemah (factor fisis misalnya gesekan, trauma mikro, kelembapan rendah, panas atau
dingin juga bahan misalnya detergen, sabun, pelarut, tanah bahkan juga air). Kelainan
baru nyata setelah kontak berminggu-minggu atau bulan, bahkan bias bertahun – tahun
kemudian, sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan factor penting. Gejalanya
berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal (hyperkeratosis) dan
likenifikasi, difus. Bisa kontak terus berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti luka
iris misalnya pada kulit tumit tukang cuci yang mengalami kontak terus menerus dengan
detergen. Keluhan penderita umumnya rasa gatal atau nyeri karena kulit retak (fisur).
Ada kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa eritema sehingga
diabaikan oleh penderita. Setelah dirasakan mengganggu baru mendapat perhatian. DKI
kumulatif berhubungan dengan pekerjaan maka dari itu banyak ditemukan di tangan
diandingkan dengan di bagian lain tubuh. Contoh pekerjaan yang berisiko tinggi adalah
yaitu tukang cuci, kuli bangunan, montir di bengkel, juru masak, tukang kebun, peñata
rambut.
.Reaksi iritan
Merupakan dermatitis iritan subklinis padaseseorang yang terpajan dengan pekerjaan
basah misalnya piñata rambut dan pekerja logam dalam beberapa bulan pertama
pelatihan. Kelainan kulit monomorf dapat berupa skuama, eritema, vesikel, pustule dan
erosi. Umumnya dapat sembuh sendiri menimbulkan penebalan kulit kadang dapat
berlanjut menjadi DKI kumulatif
DKI traumatik
11
Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas atau laserasi. Gejala seperti
dermatitis numularis, penyembuhan lambat paling cepat 6 minggu dan paling sering
terjadi di tangan.
DKI noneritematosa
Merupakan bentuk subklinis DKI ditandai perubahan fungsi sawar stratum korneum
tanpa disertai kelainan klinis. . Pada tingkat awal dari iritasi kulit, kerusakan kulit terjadi
tanpa adanya inflamasi, namun perubahan kulit terlihat secara histologi. Gejala umum
yang dirasakan penderita adalah rasa terbakar, gatal, atau rasa tersengat. Iritasi
suberitematous ini dihubungkan dengan penggunaan produk dengan jumlah surfaktan
yang tinggi.
DKI subyektif
Disebut sebagai DKI sensori, kelainan kulit tidak terlihat namun penderita merasa
seperti tersengat (pedih) atau terbakar (panas) setelah kontak dengan bahan kimia
tertentu misalnya asam laktat. Biasanya terjadi di daerah wajah, kepala dan leher.6
Tabel 2. Perbedaan DKI Akut, Lambat Akut dan Kumulatif 1, 6
12
Gambar 3 : DKI kronis akibat efek korosif dari semen
2.6 Histopatologi
Gambaran histtopatologik DKI tidak karakteristik. Pada DKI akut (oleh iritan primer),
dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel mononuklear di sekitar pembuluh darah
dermis bagian atas. Eksositosis di epidermis diikuti spongiosis dan edema intrasel dan akhirnya
menjadi nekrosis epidermal. Pada keadaan berat, kerusakan epidermis dapat menimbulkan
vesikel atau bila. Di dalam vesikel atau bula ditemukan limfosit atau neutrofil. Pada DKI kronis
adalah hiperkeratosis dengan area parakeratosis, akantosis dan perpanjangan rete ridges.6
2.7 Diagnosis banding
Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis.
DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada
umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya DKI kronis timbul lambat
serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan dengan
DKA. Untuk ini diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai. Diagnosis banding yang
diperkirakan adalah :1
a. Dermatitis atopic
Merupakan keadaan radang kulit kronis dan residif, disertai dengan gatal yang
umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak. Sering berhubungan
dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga
penderita. Oleh karena itu, pemeriksaan IgE pada penderita dengan suspek DKI
dapat dilakukan untuk mengurangi kemungkinan diagnosis dermatitis atopi.
b. Dermatitis Kontak Alergi
Berbeda dengan DKI, pada DKA, terdapat sensitasi dari pajanan/iritan.
Gambaran lesi secara klinis muncul pada pajanan selanjutnya setelah
interpretasi ulang dari antigen oleh sel T (memori), dan keluhan utama pada
penderita DKA adalah gatal pada daerah yang terkena pajanan.10Pada patch tes,
didapatkan hasil positif untuk alergen yang telah diujikan, dan sensitifitasnya
berkisar antara 70 – 80%.
c. Tinea Pedis
Merupakan penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneun pada epidermis, rambut, dan kuku yang disebabkan oleh jamur
dermatofitosis. Penderita bisa merasa gatal dan kelainan berbatas tegas, terdiri
13
atas macam-macam effloresensi kulit. Bagian tepi lesi lebih aktif (lebih jelas
tanda-tanda peradangan) daripada bagian tengah. Pada tinea pedis, khususnya
bentuk mocassin foot, pada seluruh kaki terlihat kulit menebal, dan bersisik
serta eritema yang ringan terutama di tempat yang terdapat lesi.
2.8 Penatalaksanaan
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik
yang bersifat mekanik, fisis atau kimiawi serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila
dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi, maka tidak perlu pengobatan topikal
dan cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering. Apabila diperlukan untuk
mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal. Pemakaian alat perlindungan yang
adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan sebagai upaya pencegahan.
A. Dermatitis akut
Untuk dermatitis akut, secara lokal diberikan kompres larutan garam fisiologis atau
larutan kalium permanganas 1/10.000 selama 2-3 hari dan setelah mengering diberi krim
yang mengandung hidrokortison 1-2,5%. Secara sistemik diberikan antihistamin untuk
menghilangkan rasa gatal. Bila berat/luas dapat diberikan prednison 30 mg/hari dan bila
sudah ada perbaikan dilakukan tapering. Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotik
dengan dosis 3x500 mg selama 5-7 hari. Glukokortikoid topikal efek topical dari
glukokortikoid pada penderita DKI akut masih kontrofersional karena efek yang
ditimbulkan, namun pada penggunaan yang lama dari corticosteroid dapat menimbulkan
kerusakan kulit pada stratum korneum. Pada pengobatan untuk DKI akut yang berat,
mungkin dianjurkan pemberian prednison pada 2 minggu pertama, 60 mg dosis inisial, dan
di tappering 10mg.12
B. Dermatitis kronik
Topikal diberikan salep mengandung steroid yang lebih poten seperti hidrokortison yang
mengalami fluorinasi seperti desoksimetason, diflokortolon. Sistemik diberikan antihistamin
(untuk menghilangkan rasa gatal) 12
2.9 Komplikasi 6
a. DKI meningkatkan risiko sensitisasi pengobatan topikal
b. Lesi kulit bisa mengalami infeksi sekunder, khususnya oleh Stafilokokus aureus
14
c. Neurodermatitis sekunder (liken simpleks kronis) bisa terjadi terutama pada pekerja
yang terpapar iritan di tempat kerjanya atau dengan stres psikologik
d. Hiperpigmentasi atau hipopignemtasi post inflamasi pada area terkena DKI
e. Jaringan parut muncul pada paparan bahan korosif, ekskoriasi atau artifak.
2.10 Prognosis
Prognosisnya kurang baik jika bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak dapat
disingkirkan dengan sempurna. Keadaan ini sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya
multifaktor, juga pada penderita atopi.1,6
BAB III
15
LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Sdr. KEL
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 16 tahun
Suku : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Lodoyong, Ambarawa
Pekerjaan : Sekolah
3.2 ANAMNESIS
Keluhan utama:
Kulit menonjol, gatal dan kemerahan karena tato pake tanco 2 minggu lalu
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan kulit menonjol serta kemerahan. Pasien mengatakan
mencoba untuk menghapus tatonya sekitar 5 hari yang lalu menggunakan bensin, revanol,
balsam, kayu putih. Setelah dibersihkan, pasien merasakan gatal, perih dan keluar air
sedikit.
Riwayat Pengobatan:
pasien belum mendapatkan pengobatan sebelumnya.
Riwayat Alergi Makanan:
tidak ada
Riwayat Penyakit Terdahulu:
tidak ada
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
Keadaan umum : baik
Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 84x/menit
RR : 20x/menit
T : 360C
Kepala : Normocephali, deformitas (-), rambut merata16
Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera ikterik (-/-)
THT : Normotia, normosepta, faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1
Leher : Kelenjar tiroid dan KGB tidak teraba membesar
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat, thrill tidak teraba.
Perkusi : Batas-batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru
Inspeksi : Simetris, statis dan dinamis kanan=kiri
Palpasi : Vokal fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)
STATUS DERMATOLOGIS :
Lokasi I: lengan bawah kiri
Efloresensi : tampak plak eritema berbatas tegas, terdapat krusta, berbentuk annular,
unilateral
17
Lokasi II : pergelangan tangan kanan
Efloresensi : eritema, liniar, unilateral
3.4 RESUME
Penderita, laki-laki, 16 tahun, islam, jawa dengan keluhan Kulit menonjol dan kemerahan
karena tato pake tanco 2 minggu lalu. Pasien mengatakan mencoba untuk menghapus
tatonya sekitar 5 hari yang lalu menggunakan bensin, revanol, balsam, kayu putih. Setelah
dibersihkan, pasien merasakan gatal, perih dan keluar air sedikit. Pasien belum mendapatkan
pengobatan sebelumnya. Riwayat Alergi Makanan tidak ada dan riwayat Penyakit
Terdahulu tidak ada
3.5 DIAGNOSIS BANDING
A. Dermatitis Atopik
B. Dermatitis Kontak Iritan
3.6 DIAGNOSIS KERJA
Dermatitis Kontak Iritan
3.7 PENATALAKSANAAN
A. Non medikamentosa
Menghindari factor pencetus
Menghindari untuk di garuk18
B. Medikamentosa
R/ Kloderma cr No X
Salticin cr No V
Mf zalf da in pot no I
S u e (pagi – malam)
Tiriz tab 1x1 sore no XII
Cefadroxil caps 500 mg no XX 2 x 1
Glisodin caps 1 x 1 siang no X
3.8 PROGNOSIS
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam : Bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Dari anamnesis didapatkan pasien datang dengan keluhan kulit yang menonjol merasakan
adanya gatal dan kemerahan karena memakai tato dengan menggunakan tanco 2 minggu lalu.
Pasien mengatakan mencoba untuk menghapus tatonya sekitar 5 hari yang lalu menggunakan
bensin, revanol, balsam, kayu putih. Setelah dibersihkan, pasien merasakan gatal, perih dan keluar
air sedikit ini merupakan kearah dermatitis kontak iritan akut dikarenakan pasien telah terpajan
oleh bahan iritan yang panas sedangkan penggunaan tanco dengan dibersihkan oleh bahan-bahan 19
tersebut dengan timbul beberapa menit setelah terpajan dan iritan tersebut akan menjadi suatu
iritasi sendiri karena bahan-bahan tersebut bersifat panas.
Dari status dermatologis didapatkan tampak plak eritema berbatas tegas, terdapat krusta,
berbentuk annular, unilateral menandakan bila pasien ini sudah terpajan oleh iritan kuat di
karenakan adanya eritema, pinggir lesi berbatas tegas tidak menyebar kearah yang luas, gatal,
pedih, rasa terbakar serta di pergelangan tangan kanan berupa eritema, liniar, unilateral. Ini
semua merupakan tanda-tanda dari dermatitis kontak iritan yang di karenakan oleh iritan yang
kuat.
Diagnosis banding untuk kasus ini adalah dermatitis kontak iritan karena pasien terpajan
oleh bahan iritan, dermatitis kontak alergi karena terdapat gatal, kemerahan dan dermatitis atopic
terdapat kemerahan,
Setelah dari anamnesis dan pemeriksaan pada akhirnya diagnose kerja ditegakkan adalah
dermatitis kontak iritan dikarenakan pasien ini telah terpajan oleh bahan iritan dan langsung
timbul gejala, tidak adanya riwayat alergi, pada pemeriksaan fisik juga di temukan lesi berbatas
tegas tidak menyebar ke tempat yang lain hanya pada yang terpajan saja,terdapat krusta (vesikel
yang pecah). DKA dapat di hilangkan dari pada pasien ini tidak ada riwayat alergi berarti tidak
ada proses sensitisasi terlebih dahulu, lesinya tidah generalisata (menyebar) dan pasien
mengalami rasa pedih,dan rasa terbakar ini merupakan cirri ke DKI. Dermatitis atopic dapat di
hilangkan karena pasien berumur 16 tahun yang bukan epidemiologi dari atopic karena atopic
itu terjadi 95% pada anak 5 tahun pertama.
Untuk kali ini pasien diberikan racikan salep yang berisi klobetasol propionate yaitu obat
golongan kortikostroid topikal yang berguna untuk menghilangkan inflamasi yang di alami oleh
pasien dan salep gentamicin berupa obat antibiotik berguna untuk mengobati infeksi sekunder
dari pasien diberikannya pagi – malam. Pasien diberikan tirizin untuk menghindari gatal-gatal
serta diberikan cefadroxil yaitu berupa antibiotik untuk mengobati infeksi dari dalam dan
glisodin adalah suplemen antioksidan yang berguna untuk proses degenerasi kulit agar
penyembuhannya lebih cepat .
Prognosis pada pasien ini adalah baik bila pasien menghindari faktor pencetus seperti
bahan-bahan iritan, tidak menggaruk bila merasakan gatal dan rutin untuk mengkonsumsi obat-
obatannya.
20
BAB V
KESIMPULAN
Pasien datang dengan keluhan kulit menonjol, gatal serta kemerahan karena memakai
tato menggunakan tanco 2 minggu lalu. Pasien mengatakan mencoba untuk menghapus
tatonya sekitar 5 hari yang lalu menggunakan bensin, revanol, balsam, kayu putih. Setelah
dibersihkan, pasien merasakan gatal, perih dan keluar air sedikit. Pasien belum berobat, ini
merupakan penyakit pertama kali pasien dan dari keluarga pasien tidak pernah mengalami
hal serupa.
Status Dermatologis :
Lokasi I: lengan bawah kiri
Efloresensi : tampak plak eritema berbatas tegas, terdapat krusta, berbentuk annular,
unilateral
21
Lokasi II : pergelangan tangan kanan
Efloresensi : eritema, liniar, unilateral
Dari gejala didapatkan 2 diagnostik menurut Rietschel dan kriteria objektifnya maka
pasien di diagnostic dermatitis kontak iritan dan diberi terapi klobetasol propionate untuk
menghilangkan inflamasinya, diberikan gentamisin untuk menghindari infeksi sekunder,
diberikan antihistamin untuk gatal-gatal, cefadroxil antibiotic oral untuk menghindari
infeksi sekunder dan glisodin untuk degenerasi kulit. Pasien juga diedukasi untuk
menghindari factor pencetus dan tidak menggaruk pada saat gatal untuk membantu proses
penyembuhan.
Daftar Pustaka
1. Pelle MT. Rosacea. In Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Faller A, Leffell
D, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York:
McGraw-Hill; 2008. p. 703–9.
2. Prof. Dr. dr. Adhi Djuanda. Ilmu Kulit & Kelamin . Edisi 5. Jakarta : FKUI. 2007. Hal
260-262
3. Wilkin J, Dahl M, Detmar M, Drake L, Liang MH, Odom R, et al. Standard
Grading System for Rosacea: Report of the National Rosacea Society Expert
Committee on the classification and staging of rosacea. J Am Acad Dermatol 2004;
50: 907–12
4. Fimmel S, Naser MBA, Kutzner H: New aspects of the pathogenesis of Rosacea.
Drug discovery today: Dis Mech 2008; 5: 103–11
5. Grawford GH, Pelle M T, James WD: Rosacea:22
6. . Etiology, pathogenesis, and suntype classification. J Am Acad Dermatol 2004; 9:
327–41.
7. Webster GF. Rosacea. Med Clin N Am 2009; 93:1183–94.
8. Blount BW, Pelletier AL. Rosacea: A common, yet commonly overlooked,
condition. Ame Fam Phys 2002; 66: 435–40.
9. Knox C: Rosacea: A review of the a common disorder.
10. The Int J of Acad Phys Assist 2006: 4.
11. Romagnolo SC, Benedetto AV. Rosacea in a new light. Skin Med 2005; 1: 47–8.
12. Millikan L. The proposed inflammatory pathophysiology of rosacea: Implication for
treatment. Skin Med 2003;2: 43–7.
13. Johnson RA, Wolff K, Polano MK, Suurmond D. Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology: Common and Serious Diseases. 3rd ed. New York: McGraw-Hill;1997.
14. Gawkrodger DJ. Dermatology an illustrated Colour Text. 3rd ed. Oxford: Elsevier
Health Sciences; 2002
23
24
25
Recommended