View
8
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Tinjauan Pustaka
REAKSI KUSTA
Oleh :
Deny Oktriana Pamuncak, S.Ked
1102009071
Pembimbing :
Dr. Andi Fauziah, Sp.KK
BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SUBANG
SUBANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit kusta merupakan penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi dan kulit. 1 Kurangnya
pemahaman dan kepercayaan yang keliru mengenai penyakit kusta dan deformitas
yang ditimbulkan menyebabkan ketakutan bagi masyarakat. Masyarakat awam
menganggap kusta sebagai penyakit keturunan dan menyebabkan kecacatan.1
Gejala klinis dari penyakit kusta meliputi lesi kulit hipopigmentasi, rasa
nyeri pada persarafan dan mati rasa pada bagian tubuh atau pada lesi tertentu.2
Gejala-gejala ini berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Diagnosis penyakit
kusta ditegakkan dengan ditemukannya 3 tanda kardinal, yaitu : adanya lesi kulit
yang mati rasa, penebalan saraf tepi, dan ditemukannya bakteri tahan asam
(BTA).2
Penderita penyakit kusta dapat mengalami reaksi kusta, yaitu keadaan
eksaserbasi yang ditandai dengan peningkatan aktivitas penyakit secara tiba-tiba.2
Reaksi kusta sering terjadi sebagai komplikasi pengobatan, tetapi dapat juga
terjadi sebelum pengobatan atau sesudah pengobatan selesai dengan obat kusta.5
Reaksi kusta dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu reaksi kusta tipe I, reaksi kusta tipe II
dan reaksi kusta tipe III (Fenomena Lucio).2 Reaksi kusta meningkatkan
morbiditas dari penyakit kusta dan dapat menimbulkan kecacatan bagi
penderitanya.5
Penyakit kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia.3
Menurut WHO, diperkirakan jumlah penderita kusta baru di dunia pada tahun
2012 adalah sekitar 232.857 orang. Dari jumlah tersebut terbanyak terdapat di
regional Asia Tenggara : 116.445 kasus (71%), diikuti regional regional
Amerika : 36.178 kasus(16%), Afrika : 20.599 kasus (9%), dan sisanya berada
pada regional lain di dunia (4%). Pada awal tahun 2013, di dunia terdapat
189.018 kasus dengan perincian regional Asia Tenggara 125.167 kasus, regional
Amerika : 33.926 kasus, dan regional Afrika 17.540 kasus, sedangkan sisanya
berada di regional lainnya.3
Pada tahun 2012, di Indonesia tercatat 22.390 penderita kusta terdaftar.
Jumlah kasus baru sebanyak 18.994 penderita, 15.703 penderita menderita kusta
tipe multibasiler, 2.131 mengalami cacat tingkat 2 serta 194 penderita di antaranya
adalah kasus relaps.3 Menurut data kusta nasional tahun 2000, sebanyak 5 %
penderita mengalami reaksi kusta.4
Reaksi kusta yang terjadi pada penderita kusta diharapkan dapat diketahui
sedini mungkin, sehingga penderita secepatnya mendapat penanganan dan
kecacatan akibat reaksi dapat dihindari. Menurut Depkes (2006), faktor pencetus
reaksi kusta antara lain : penderita dalam kondisi stres fisik, kehamilan, sesudah
melahirkan, sesudah mendapat imunisasi, penyakit malaria, kecacingan, karies
gigi, penderita stres mental dan efek pemakaian obat untuk kekebalan tubuh.6
Banyaknya jumlah penderita kusta di Indonesia serta pentingnya
penatalaksanaan saat reaksi kusta menjadi landasan dalam penyusunan tinjauan
pustaka ini. Pengenalan dan penatalaksanaan reaksi kusta yang adekuat
diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan kecacatan yang terjadi.
DEFINISI
ETIOLOGI
KLASIFIKASIReaksi Kusta terbagi menjadi 3 yaitu :
1. Reaksi Kusta Tipe 1
Reaksi ini terjadi pada spektrum borderline. Reaksi tipe 1 terbagi menjadi
2 yaitu :
a. Reaksi upgrading (reversal)
Pada reaksi reversal, terjadi perubahan tipe spektrum BT menjadi spectrum
TT.
b. Reaksi downgrading
Pada reaksi reversal, terjadi perubahan tipe spektrum borderline menjadi
spectrum LL. Reaksi ini dapat terjadi pada pasien yang tidak mendapat
pengobatan. Lesi multiple yang baru muncul dan memiliki karakteristik lesi
LL yaitu lesi kecil, simetris dan ill-defined. AFB mungkin tampak pada lesi
baru. Nodus limfe regional mungkin membesar dan basil tampak pada
FNAC. Pasien resiko tinggi yaitu spectrum borderline dengan 10 lesi kulit
dan penebalan saraf lebih dari 3.
2. Reaksi Kusta Tipe 2
No Tipe 1 Tipe 21 Spektrum Borderline (BT, BB, BL) Lepromatous (BL, LL)2 Lesi Kulit Nodul baru muncul
berkelompok3 Kerusakan
SarafSering dan parah Tidsk terlalu parah
4 Sistemik Tidak umum Demam, lemah, artralgia, dan limfadenitis
5 Organ lain Iritis, orchitis, dan glomerulonefritis tidak
Sangat umum terjadi
terjadi6 Pengulangan jarang
terjadiPengulangan biasanya terjadi
7 AFB Tidak ditemukan Basil yang rusak8 Investigasi Rutin : normal Urin : albuminuria9 Patogenesis Reaksi antigen antibodi
tipe 4 (Gel dan Coombs)Reaksi antigen antibodi tipe 3 (peningkatan IgG, IgM,C2 dan C3)
10 Histopatologi Edema dengan pengurangan basil dan peningkatan limfosit. Granuloma tidak teratur.
Edema dengan infiltrat neutrofil dan vaskulitis
Tabel . Perbedaan Antara Reaksi Tipe 1 dan Tipe 2
3. Reaksi Kusta Tipe 3 (Fenomena Lucio)
PATOGENESIS
MANIFESTASI KLINIS
DIAGNOSIS BANDING
PEMERIKSAAN PENUNJANG
PENATALAKSANAAN(Andrew)
1. Reaksi Tipe 1
Terapi untuk reaksi tipe 1 biasanya dengan kortikosteroid.
Prednison (peroral) 40-60 mg/hari sampai lebih dari 1 bulan.
Ketika reaksi terkontrol, dilakukan tappering off.
Clofazimin 300 mg/hari bisa ditambahkan dalam pengobatan.
Cyclosporin bisa digunakan jika terapi steroid gagal, dengan
dosis 5-10 mg/kg. Jika selama pengobatan, fungsi saraf gagal
berkembang sementara fungsi lainnya kembali normal,
kemungkinan kompresi manual harus dievaluasi melalui
eksplorasi bedah. Transposisi nervus ulnaris tampaknya tidak
lebih efektif dibanding terapi imunosupresi untuk disfungsi
nervus ulnaris.
ENL :
Thalidomide merupakan pilihan utama pengobatan ENL karena
keefektivitasannya. Dosis awal sampai 400 mg/hari pada pasien
yang lebih dari 50 kg. Dosis ini sangat sedatif, sehingga
memiliki efek samping pada SSP. Maka, pengobatan dengan
dosis tinggi diberikan pada jangka waktu singkat. Pada kasus
sedang, dimulai dengan dosis awal 100-200 mg/kg. Pada
kasusENL akut, obat dihentikan setelah beberapa minggu atau
bulan. Pada reaksi tipe 2 kronik, usaha penghentian obat
dilakukan setelah 6 bulan.
Clofazimine dosis tinggi (hingga 300 mg/hari)efektif pada ENL
dan bisa digunakan sendiri atau untuk mengurangi dosis
kortikosteroid atau thalidomide.
Kombinasi pentoxifylline 400-800 mg 2 kali/hari dan
clofazimine 30 mg/hari dapat digunakan jika thalidomide tidak
dapat diberikan atau untuk menghindari penggunaan steroid
sistemik untuk pengobatan ENL berat.
TNF inhibitor, seperti infliximab, efektif mengobati ENL yang
berulang.
Lucio’s phenomenon
Tidak efektif dengan kortikosteroid atau thalidomide
Kemoterapi antimikrobial untuk lepromatous leprosy
merupakan satu-satunya terapi yang dianjurkan, bersama dengan
manajemen luka untuk ulkus kaki.
KOMPLIKASI
PROGNOSIS
Daftar Pustaka
1. Burns, Tony, Stephen Breathnach, Nail Cox and Christopher Griffiths
(Editor). 2010. Rook’s Textbook of Dermatology, Eight Edition, Volume 2.
Wiley-Blackwell, Pg. 29.1-32.19
2. Prasad, PVS. 2005. All About Leprosy. Jaypee Brother Medical Publisher,
New Delhi.
3. World Health Organization. Weekly Epidemiological Record- Global
Leprosy: Update on the 2012 Situation. No. 35, 30 August 2013.
(http://www.who.int/wer/2013/wer8835.pdf, downloaded in 8 Desember
2013)
4. Ditjen PPM & PL Dep.Kes. RI, Modul Epidemiologi Penyakit Kusta dan
Program Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta, 2001 ; 1-10.
5. Rea, Thomas H, and Robert L. Modlin. Leprosy. In : Wolff, Klauss,
Lowell A. Goldsmith, Stephen I. Katz, dan Barbara A. Gilchrest, Amy S.
Paller, David J. Leffell (Editor). 2008. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine Seven Edition Volume 1. McGraw-Hill, United States of
America. Pg. 1786-1796
6. Ditjen PPM & PL Dep. Kes. RI, Buku Pedoman Nasional Pemberantasan
Penyakit Kusta, Cetakan XVIII, Jakarta, 2006 ; 4-138.
Recommended