Upload
doddy-novriadie
View
18
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ggf
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Hischsprung Disease adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai pleksus
auerbach dan pleksus meisneri pada kolon. Pasien dengan penyakit Hirschsprung
pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru
mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon
kongenital pada tahun 1886. dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa
megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik
dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion.1,2 Swenson dalam laporannya
menerangkan tentang penyempitan kolon distal yang terlihat dalam barium enema
dan tidak terdapatnya peristaltik dalam kolon distal. Okamoto dan Ueda lebih lanjut
menyebutkan bahwa penyakit Hirschsprung terjadi akibat terhentinya proses migrasi
sel neuroblas dari krista neuralis saluran cerna atas ke distal mengikuti serabut-
serabut vagal pada suatu tempat tertentu yang tidak mencapai rectum.3
Hischsprung disease terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup. Insidensi
penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1
diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan
tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi
dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung
yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit Hischsprung adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai
pleksus auerbach dan pleksus meisneri pada kolon. Sembilan puluh persen (90%)
terletak pada rectosigmoid, akan tetapi dapat mengenai seluruh kolon bahkan
seluruh usus (Total Colonic Aganglionois (TCA)). Tidak adanya ganglion sel ini
mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus
fungsional dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon
yang lebih proksimal.1
B. Anatomi dan Fisiologi Usus Besar
Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 5
kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter
usus besar lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inchi (sekitar 6,5
cm), tetapi makin dekat anus diameternya makin kecil. Usus besar dibagi menjadi
sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks
yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci
pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke
sekum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon ascendens, transversum, descendens, dan
sigmoid. Tempat dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen
kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura
lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan
berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid
bersatu dengan rektum. Rektum terbentang dari kolon sigmoid sampai dengan
anus. Satu inci terakhir dari rektum terdapat kanalis ani yang dilindungi oleh
sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum sampai kanalis ani adalah 5,9
inci.5
Gambar 1. Anatomi Kolon
Dinding kolon terdiri dari empat lapisan yaitu tunika serosa, muskularis,
tunika submukosa, dan tunika mukosa, akan tetapi usus besar mempunyai
gambaran-gambaran yang khas berupa: lapisan otot longitudinal. Usus besar tidak
sempurna tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut taenia koli yang bersatu
pada sigmoid distal. Panjang taenia lebih pendek daripada usus sehingga usus
tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang disebut haustra.
Pada taenia melekat kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak yang
disebut apendices epiploika. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dengan
kriptus lieberkuhn terletak lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak
daripada usus halus. Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika
superior dan inferior. Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian
kanan (mulai dari sekum sampai dua pertiga proksimal kolon transversum). Arteri
mesenterika superior mempunyai tiga cabang utama yaitu arteri ileokolika, arteri
kolika dekstra, dan arteri kolika media. Sedangkan arteri mesenterika inferior
memvaskularisasi kolon bagian kiri (mulai dari sepertiga distal kolon transversum
sampai rektum bagian proksimal). Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga
cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemorroidalis superior, dan arteri
sigmoidea. Vaskularisasi tambahan daerah rektum diatur oleh arteria sakralis
media dan arteria hemorroidalis inferior dan media. Aliran balik vena dari kolon
dan rektum superior melalui vena mesenterika superior dan inferior serta vena
hemorroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal yang mengalirkan darah ke
hati. Vena hemorroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka dan
merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. Ada anastomosis antara vena
hemorroidalis superior, media, dan inferior sehingga peningkatan tekanan portal
dapat mengakibatkan aliran balik ke dalam vena-vena ini dan mengakibatkan
hemorroid.5
Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter
eksternus yang diatur secara voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf
vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari
daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut simpatis yang berjalan dari pars
torasika dan lumbalis medula spinalis melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis
preortika. Disana bersinaps dengan post ganglion yang mengikuti aliran arteri
utama dan berakhir pada pleksus mienterikus (Aurbach) dan submukosa
(meissner). Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan
kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis
mempunyai efek yang berlawanan. Kendali usus yang paling penting adalah
aktivitas refleks lokal yang diperantarai oleh pleksus nervosus intramural
(Meissner dan Aurbach) dan interkoneksinya. Jadi pasien dengan kerusakan
medula spinalis maka fungsi ususnya tetap normal, sedangkan pasien dengan
penyakit hirschsprung akan mempunyai fungsi usus yang abnormal karena pada
penyakit ini terjadi keabsenan pleksus aurbach dan meissner.6
Gambar 2. Persarafan pada Usus Besar
Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin, dan elektrolit, ekskresi mukus
serta menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya keluar. Dari 700 - 1000 ml
cairan usus halus yang diterima oleh kolon, hanya 150-200 ml yang dikeluarkan
sebagai feses setiap harinya. Udara ditelan sewaktu makan, minum, atau menelan
ludah. Oksigen dan karbondioksida di dalamnya di serap di usus, sedangkan
nitrogen bersama dengan gas hasil pencernaan dari peragian dikeluarkan sebagai
flatus. Jumlah gas di dalam usus mencapai 500 ml sehari. Pada infeksi usus,
produksi gas meningkat dan bila mendapat obstruksi usus gas tertimbun di
saluran cerna yang menimbulkan flatulensi.7
C. Epidemiologi
Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-
laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan
pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan
kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun
hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down
Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%). Hanya saja dengan adanya
fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks vesikoureter,
hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3 kasus).8
D. Patogenesis
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal colon
dan sphincter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian yang
abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian
yang normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya. Bagian aganglionik
selalu terdapat dibagian distal rectum. 1
Dasar patofisiologi dari HD adalah tidak adanya gelombang propulsive dan
abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang
disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus
besar.2
Gambar 3. Gambaran segmen
aganglion pada Morbus Hirschprung
Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area hipoganglionosis.
Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi. Hipoganglionosis adalah keadaan
dimana jumlah sel ganglion kurang dari 10 kali dari jumlah normal dan kerapatan
sel berkurang 5 kali dari jumlah normal. Pada colon inervasi jumlah plexus
myentricus berkurang 50% dari normal. Hipoganglionosis kadang mengenai
sebagian panjang colon namun ada pula yang mengenai seluruh colon.2
Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali dengan
pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak memiliki
sitoplasma yang dapat menghasilkan dehydrogenase sehingga tidak terjadi
diferensiasi menjadi sel Schwann’s dan sel saraf lainnya. Pematangan dari sel
ganglion diketahui dipengaruhi oleh reaksi succinyldehydrogenase (SDH).
Aktivitas enzim ini rendah pada minggu pertama kehidupan. Pematangan dari sel
ganglion ditentukan oleh reaksi SDH yang memerlukan waktu pematangan penuh
selama 2 sampai 4 tahun. Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas dan
hipoganglionosis.2
Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat berasal dari
vaskular atau nonvascular. Yang termasuk penyebab nonvascular adalah infeksi
Trypanosoma cruzi (penyakit Chagas), defisiensi vitamin B1, infeksi kronis
seperti Tuberculosis. Kerusakan iskemik pada sel ganglion karena aliran darah
yang inadekuat, aliran darah pada segmen tersebut, akibat tindakan pull through
secara Swenson, Duhamel, atau Soave.2
Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang terkena.
Tipe Hirschsprung disease meliputi: 1,2
1. Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil dari
rectum.
2. Short segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian kecil dari colon.
3. Long segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian besar colon.
4. Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh colon dan rectum dan
kadang sebagian usus kecil.
E. Gejala klinik
Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam pertama
kehidupan. Dengan gejala yang timbul: distensi abdomen dan bilious emesis.
Tidak keluarnya mekonium pada 24 jam pertama kehidupan merupakan tanda
yang signifikan mengarah pada diagnosis ini. Pada beberapa bayi yang baru lahir
dapat timbul diare yang menunjukkan adanya enterocolitis. 1
Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami kesulitan
makan, distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat konstipasi. Penyakit
hirschsprung dapat juga menunjukkan gejala lain seperti adanya periode obstipasi,
distensi abdomen, demam, hematochezia dan peritonitis. 1
Kebanyakan anak-anak dengan hirschsprung datang karena obstruksi
intestinal atau konstipasi berat selama periode neonatus. Gejala kardinalnya yaitu
gagalnya pasase mekonium pada 24 jam pertama kehidupan, distensi abdomen
dan muntah. Beratnya gejala ini dan derajat konstipasi bervariasi antara pasien
dan sangat individual untuk setiap kasus. Beberapa bayi dengan gejala obstruksi
intestinal komplit dan lainnya mengalami beberapa gejala ringan pada minggu
atau bulan pertama kehidupan. 2
Beberapa mengalami konstipasi menetap, mengalami perubahan pada pola
makan, perubahan makan dari ASI menjadi susu pengganti atau makanan padat.
Pasien dengan penyakit hirschsprung didiagnosis karena adanya riwayat
konstipasi, kembung berat dan perut seperti tong, massa faeses multipel dan
sering dengan enterocolitis, dan dapat terjadi gangguan pertumbuhan. Gejala
dapat hilang namun beberapa waktu kemudian terjadi distensi abdomen. Pada
pemeriksaan colok dubur sphincter ani teraba hipertonus dan rektum biasanya
kosong.2
Umumnya diare ditemukan pada bayi dengan penyakit hirschsprung yang
berumur kurang dari 3 bulan. Harus dipikirkan pada gejala enterocolitis dimana
merupakan komplikasi serius dari aganglionosis. Bagaimanapun hubungan antara
penyakit hirschsprung dan enterocolitis masih belum dimengerti. Dimana
beberapa ahli berpendapat bahwa gejala diare sendiri adalah enterocolitis ringan. 2
Enterocolitis terjadi pada 12-58% pada pasien dengan penyakit hirschsprung.
Hal ini karena stasis feses menyebabkan iskemia mukosal dan invasi bakteri juga
translokasi. Disertai perubahan komponen musin dan pertahanan mukosa,
perubahan sel neuroendokrin, meningkatnya aktivitas prostaglandin E1, infeksi
oleh Clostridium difficile atau Rotavirus. Patogenesisnya masih belum jelas dan
beberapa pasien masih bergejala walaupun telah dilakukan colostomi.
Enterocolitis yang berat dapat berupa toxic megacolon yang mengancam jiwa.
Yang ditandai dengan demam, muntah berisi empedu, diare yang menyemprot,
distensi abdominal, dehidrasi dan syok. Ulserasi dan nekrosis iskemik pada
mukosa yang berganglion dapat mengakibatkan sepsis dan perforasi. Hal ini harus
dipertimbangkan pada semua anak dengan enterocolisis necrotican. Perforasi
spontan terjadi pada 3% pasien dengan penyakit hirschsprung. Ada hubungan erat
antara panjang colon yang aganglion dengan perforasi. 2
F. Diagnosis
1. Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis, pada anamnesis didapatkan:9
a) Adanya keterlambatan pengeluaran mekonium yang pertama, biasanya
keluar >24 jam.
b) Adanya muntah berwarna hijau.
c) Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih besar
obstipasi semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan terhambat.
d) Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan
serupa, misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia 2
minggu dengan riwayat tidak dapat defekasi.
2. Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan:9
a) Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami
obstipasi.
b) Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses
akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian
tampak perut anak sudah kempes lagi.
G. Pemeriksaan penunjang
Diagnostik utama pada penyakit hirschprung adalah dengan pemeriksaan:
1. Barium enema. Pada pasien penyakit hirschprung spasme pada distal rectum
memberikan gambaran seperti kaliber/peluru kecil jika dibandingkan colon
sigmoid yang proksimal. Identifikasi zona transisi dapat membantu diagnosis
penyakit hirschprung. 1
Segmen aganglion biasanya berukuran normal tapi bagian proksimal usus
yang mempunyai ganglion mengalami distensi sehingga pada gambaran
radiologis terlihat zona transisi. Dilatasi bagian proksimal usus memerlukan
waktu, mungkin dilatasi yang terjadi ditemukan pada bayi yang baru lahir.
Radiologis konvensional menunjukkan berbagai macam stadium distensi usus
kecil dan besar. Ada beberapa tanda dari penyakit Hirschsprung yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan barium enema, yang paling penting adalah zona
transisi. Posisi pemeriksaan dari lateral sangat penting untuk melihat dilatasi
dari rektum secara lebih optimal.
Retensi dari barium pada 24 jam dan disertai distensi dari kolon ada tanda
yang penting tapi tidak spesifik. Enterokolitis pada Hirschsprung dapat
didiagnosis dengan foto polos abdomen yang ditandai dengan adanya kontur
irregular dari kolon yang berdilatasi yang disebabkan oleh oedem, spasme,
ulserase dari dinding intestinal. Perubahan tersebut dapat terlihat jelas dengan
barium enema. Nilai prediksi biopsi 100% penting pada penyakit
Hirschsprung jika sel ganglion ada. Tidak adanya sel ganglion, perlu
dipikirkan ada teknik yang tidak benar dan dilakukan biopsi yang lebih tebal.
Diagnosis radiologi sangat sulit untuk tipe aganglionik yang long segmen,
sering seluruh colon. Tidak ada zona transisi pada sebagian besar kasus dan
kolon mungkin terlihat normal/dari semula pendek/mungkin mikrokolon.
Yang paling mungkin berkembang dari hari hingga minggu. Pada neonatus
dengan gejala ileus obstruksi yang tidak dapat dijelaska. Biopsi rectal
sebaiknya dilakukan. Penyakit hirschsprung harus dipikirkan pada semua
neonates dengan berbagai bentuk perforasi spontan dari usus besar/kecil atau
semua anak kecil dengan appendicitis selama 1 tahun. 10
2. Anorectal manometry dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit
hirschsprung, gejala yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi sphincter ani
interna ketika rectum dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini adalah
dapat segera dilakukan dan pasien bisa langsung pulang karena tidak
dilakukan anestesi umum. Metode ini lebih sering dilakukan pada pasien yang
lebih besar dibandingkan pada neonatus. 1
3. Biopsy rectal merupakan “gold standard” untuk mendiagnosis penyakit
hirschprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan
morbiditas minimal karena menggunakan suction khusus untuk biopsy
rectum. Untuk pengambilan sample biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate
dan juga mengambil sample yang normal jadi dari yang normal ganglion
hingga yang aganglionik. Metode ini biasanya harus menggunakan anestesi
umum karena contoh yang diambil pada mukosa rectal lebih tebal. 1,11
Gambar 6. Lokasi pengambilan sampel biopsi pada Morbus Hirschprung
H. Diagnosis Banding
Pada masa neonatus, harus dipikirkan kemungkinan atresia ileum atau
sumbatan anorektum oleh mekonium yang sangat padat (meconium plug
sindrome). Penyakit ini hampir tidak pernah dijumpai di Indonesia. Sedangkan
pada masa bayi dan anak, obstipasi dapat disebabkan oleh obstipasi dietik,
retardasi mental, hipotiroid, dan psikogenetik.7
Kartono (2004) menyatakan banyak kelainan-kelainan yang menyerupai
penyakit Hirschsprung akan tetapi pada pemeriksaan patologi anatomi ternyata
didapatkan sel-sel ganglion. Kelainan-kelainan tersebut antara lain Intestinal
neuronal dysplasia, Hypoganglionosis, Immature ganglia, Absence of argyrophyl
plexus, Internal sphincter achalasia dan kelainan-kelainan otot polos.9,12
I. Tata Laksana
Pada prinsipnya, sampai saat ini, penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya
dapat dicapai dengan pembedahan. Tindakan-tindakan medis dapat dilakukan
tetapi hanya untuk sementara dimaksudkan untuk menangani distensi abdomen
dengan pemasangan pipa anus atau pemasangan pipa lambung dan irigasi rektum.
Pemberian antibiotika dimaksudkan untuk pencegahan infeksi terutama untuk
enterokolitis dan mencegah terjadinya sepsis. Cairan infus dapat diberikan untuk
menjaga kondisi nutrisi penderita serta untuk menjaga keseimbangan cairan,
elektrolit dan asam basa tubuh.9
Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertama
dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan operasi
definitif. Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah
komplikasi dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan
menghilangkan distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien.Tahapan
kedua adalah dengan melakukan operasi definitif dengan membuang segmen
yang aganglionik dan kemudian melakukan anastomosis antara usus yang
ganglionik dengan dengan bagian bawah rektum.12
Setelah diagnosis penyakit Hirshprung ditegakkan maka sejumlah tindakan
preoperasi harus dikerjakan terlebih dahulu. Apabila penderita dalam keadaan
dehidrasi atau sepsis maka harus dilakukan stabilisasi dan resusitasi dengan
pemberian cairan intra vena , antibiotik dan pemasangan pipa lambung. Apabila
sebelum operasi ternyata telah mengalami enterokolitis maka resusitasi cairan
dilakukan secara agresif, peberian antibiotika broad spektrum secara ketat
kemudian segera dilakukan tindakan dekompresi usus. Melakukan serial
pencucian rektum dengan memberikan 10 ml/kg BB pada setiap kali pencucian
dengan menggunakan pipa rektum ukuran 18-20. Pada penderita kemudian
diberikan antibiotik intavena.9,12
J. Tindakan Bedah
Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah
berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal.
Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah
enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari
kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan
bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang
telah besar sehingga memungkinkan dilakukan anastomose. Kolostomi tidak
dikerjakan bila dekompresi secara medik berhasil dan direncanakan bedah
defenitif langsung.12
Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut juga anus
preternaturalis yang di buat untuk sementara atau menetap. Indikasi kolostomi
adalah dekompresi usus pada obstruksi, stoma sementara untuk bedah reseksi
usus pada radang, atau perforasi, dan sebagai anus setelah reseksi usus distal
untuk melindungi anastomosis distal. Kolostomi dapat berupa stoma ikat atau
stoma ujung.7
Kolostomi dikerjakan pada:7
1. Pasien neonatus : Tindakan Bedah defenitif langsung tanpa kolostomi
menimbulkan banyak komplikasi dan kematian. Kematian dapat mencapai
28,6%, sedangkan pada bayi 1,7%. Kematian ini disebabkan oleh kebocoran
anastomosis dan abses dalam rongga pelvis.
2. Pasien anak dan dewasa yang terlambat terdiagnosis. Kelompok pasien ini
mempunyai kolon yang sangat terdilatasi, yang terlalu besar untuk
dianastomosiskan dengan rectum dalam bedah defenitif. Dengan tindakan
kolostomi, kolon dilatasi akan mengecil kembali setelah 3 sampai 6 bulan
pascabedaah, sehingga anastomosis lebih mudah dikerjakan dengan hasil yang
lebih baik.
3. Pasien dengan enterokolitis berat dan dengan keadaan umum yang buruk.
Tindakan ini dilakukan untuk mencegah komplikasi pascabedah, dengan
kolostomi pasien akan cepat mencapai perbaikan keadaan umum.
Pada pasien yang tidak termasuk dalam kategori 1, 2, dan 3 tersebut dapat
langsung dilakukan tindakan bedah definitif. Kolostomi yang bersifat sementara
akan dilakukan penutupan.
Berdasarkan lubang kolostomi dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:7
1. Single barreled stoma : yaitu dibuat dari bagian proksimal usus. Segmen
distal dapat dibuang atau ditutup.
2. Double barreled : biasanya meliputi kolon transversum. Kedua ujung dari
kolon yang direksesi dikeluarkan melalui dinding abdominal mengakibatkan
dua stoma. Stoma distal hanya mengalirkan mukus dan stoma proksimal
mengalirkan feses.
3. Kolostomi lop-lop : yaitu kolon transversum dikeluarkan melalui dinding
abdomen dan diikat ditempat dengan glass rod. Kemudian 5-10 hari usus
membentuk adesi pada dinding abdomen, lubang dibuat di permukaan
terpajan dari usus dengan menggunakan pemotong.
Diagnosis dari penyakit hirschsprung pada semua kasus membutuhkan
pendekatan pembedahan klinik terdiri dari prosedur tingkat multipel. Hal ini
termasuk kolostomi pada neonatus, diikuti dengan operasi pull-through definitif
setelah berat badan anak >5 kg (10 pon). Ada 3 pilihan yang dapat digunakan,
untuk setiap prosedurnya, prinsip dari pengobatan termasuk menentukan lokasi
dari usus di mana zona transisi antara usus ganglionik dan aganglionik, reseksi
bagian yang aganglionik dari usus dan melakukan anastomosis dari daerah
ganglionik ke anus atau bantalan mukosa rektum.12
Gambar 7. Teknik Pembedahan pada Penyakit Hirschprung
Dewasa ini ditunjukkan bahwa prosedur pull-through primer dapat dilakukan
secara aman bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini mengikuti prinsip
terapi yang sama seperti pada prosedur bertingkat melindungi pasien dari prosedur
pembedahan tambahan. Banyak dokter bedah melakukan diseksi intra abdominal
menggunakan laparoskop. Cara ini terutama banyak pada periode neonatus yang
dapat menyediakan visualisasi pelvis yang baik. Pada anak-anak dengan distensi
usus yang signifikan adalah penting untuk dilakukannya periode dekompresi
menggunakan rectal tube jika akan dilakukan single stage pull-through. Pada anak-
anak yang lebih tua dengan kolon hipertrofi, distensi ekstrim, kolostomi dilakukan
dengan hati-hati sehingga usus dapat dekompresi sebelum dilakukan prosedur
pull-through. Namun, harus ditekankan, tidak ada batas umur pada prosedur pull-
through. 13
Dari ketiga prosedur pull-through yang dilakukan pada penyakit Hirschsprung
yang pertama adalah prosedur Swenson. Pada operasi ini rektum aganglionik
diseksi pada pelvis dan dipindahkan ke anus. Kolon ganglionik lalu dianastomosis
ke anus melalui pendekatan perineal. Pada prosedur Duhamel, diseksi di luar
rektum dibatasi terhadap ruang retrorektal dan kolon ganglionik dianastomosis
secara posterior tepat di atas anus. Dinding anterior dari kolon ganglionik dan
dinding posterior dari rektum aganglionik dianastomosis menggunakan stappler.
Walaupun kedua prosedur ini sangat efektif, namun keterbatasannya adalah
adanya kemungkinan kerusakan syaraf parasimpatis yang menempel pada rektum.
Untuk mengatasi masalah ini, prosedur Soave menyertakan diseksi seluruhnya dari
rektum. Mukosa rektum dipisahkan dari mukosa muskularis dan kolon yang
ganglionik dibawa melewati mukosa dan dianastomosis ke anus. Operasi ini dapat
dilakukan sepenuhnya dari bawah. Dalam banyak kasus, sangat penting untuk
menentukan dimana terdapat usus yang ganglionik. Banyak ahli bedah
mempercayai bahwa anastomosis dilakukan setidaknya 5 cm dari daerah yang sel
ganglion terdeteksi. Dihindari dilakukannya pull-through pada zona transisi yang
berhubungan dengan tingginya angka komplikasi karena tidak adekuatnya
pengosongan segmen usus yang aganglionik. Sekitar 1/3 pasien yang di pull-
through pada zona transisi akan membutuhkan reoperasi. 4
Komplikasi utama dari semua prosedur diantaranya enterokolitis post operatif,
konstipasi dan striktur anastomosis. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
hasil jangka panjang dengan menggunakan 3 prosedur sebanding dan secara
umum berhasil dengan baik bila ditangani oleh tangan yang ahli. Ketiga prosedur
ini juga dapat dilakukan pada aganglionik kolon total dimana ileum digunakan
sebagai segmen yang di pull-through. 4
Beberapa metode operasi biasa digunakan dalam penatalaksanaan penyakit
hirschsprung: 1
1. Secara klasik, dengan melakukan insisi di bagian kiri bawah abdomen
kemudian dalakukan identifikasi zona transisi dengan melakukan biopsy
seromuskuler.
2. Terapi definitive yang dilakukan pada penyakit hirschprung ada 3 metode:
a) Metode Swenson: pembuangan daerah aganglion hingga batas sphincter
ani interna dan dilakukan anastomosis coloanal pada perineum
b) Metode Duhamel: daerah ujung aganglionik ditinggalkan dan bagian yang
ganglionik ditarik ke bagian belakang ujung daerah aganglioner. stapler
GIA kemudian dimasukkan melalui anus.
c) Teknik Soave: pemotongan mukosa endorectal dengan bagian distal
aganglioner.
K. Komplikasi
Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat digolongkan
atas kebocoran anastomosis, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter.
Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus pada penderita penyakit
Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena iskemia mukosa dengan invasi bakteri
dan translokasi. Perubahan-perubahan pada komponen musin dan sel
neuroendokrin, kenaikan aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile
atau rotavirus dicurigai sebagai penyebab terjadinya enterokolitis. Pada keadaan
yang sangat berat enterokolitis akan menyebabkan terjadinya megakolon toksik
yang ditandai dengan demam, muntah hijau, diare hebat, distensi abdomen,
dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi da nekrosis akibat iskemia mukosa diatas
segmen aganglionik akan menyebakan terjadinya sepsis, pnematosis dan perforasi
usus. Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita
penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun
paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1
minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan
disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan
manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan
kolostomi. Kejadian enteokolitis berdasar prosedur operasi yang dipergunakan
Swenson 16,9%, Boley-Soave 14,8%, Duhamel 15,4% dan Lester Martin 20%.12
L. Prognosis
Prognosis baik kalau gejala obstruksi segera diatasi. Penyulit pasca bedah
seperti kebocoran anastomosis atau striktur anastomosis umumnya dapat diatasi.
Kurang lebih 1% dari pasien dengan penyakit Hirschsprung membutuhkan
kolostomi permanen untuk memperbaiki inkontinensia. Umumnya, lebih dari
90% pasien dengan penyakit Hirschsprung memiliki hasil memuaskan.7
DAFTAR PUSTAKA
1. Warner BW. Townsend sabiston textbook of surgery. 17th edition. Elsevier-
Saunders. Philadelphia. 2004; p. 2113-4
2. Holschneider A., Ure BM . Ashcraft Pediatric Surgery 3rd edition W.B.
Saunders Company. Philadelphia. 2000; p. 453-68
3. Swenson O.Hirschsprung’s disease : A Review. J Pediatr 2002;109:914-918.
4. Hackam D.J., Newman K., Ford HR. Schwartz’s principles of surgery. 8th
edition. McGraw-Hill. New York. 2005; p. 1496-8
5. Lindseth, Glenda N. Gangguan Usus Besar. Hartanto Huriawati. Dalam:
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Volume 1, Edisi 6.
Jakarta. EGC. 2005; p. 456-68.
6. Taylo,Clive R. Struktur dan Fungsi, Sindrom Malabsorbsi, Obstruksi usus.
Editor: Mahanani, Dewi Asih,dkk. Dalam: Ringkasan Patologi Anatomi.
Jakarta. EGC5. 2005; p. 532-8.
7. Pieter, John. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. Sjamsuhidajat.R,
De Jong,Wim. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi III. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2007; p. 646-7
8. Swenson O, Raffensperger JG. Hirschsprung’s disease. In: Raffensperger
JG,editor. Swenson’s pediatric surgery. Edisi 5. Connecticut:Appleton &
Lange. 1990; p. 555-77.
9. Lee, Steven L, Hirschsprung disease. 2009; Available From :
http://www.emedicine.com/med/topic.
10. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging
10th edition. Elsevier-Mosby. Philadelphia. 2004; p.148-153
11. Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. Operative Pediatric Surgery.
McGraw-Hill. New York.2003; p. 617-40
12. Kartono, Darmawan. Penyakit Hirschsprung.. Jakarta : Sagung Seto. 2004.