View
121
Download
8
Category
Preview:
Citation preview
REFERAT
GRAVE’S DISEASE
PEMBIMBING
Dr. Gatut Semiardji, Sp. PD (KEMD)
PENYUSUN
Marselli
030.07.158
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT DR. MARZOEKI MAHDI BOGOR
PERIODE 18 JUNI 2012- 25 AGUSTUS 2012
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkah dan rahmat-Nya lah saya dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Grave’s Disease”.
Saya ucapkan terima kasih kepada Dr. Gatut Semiardji, Sp. PD (KEMD) yang
telah membimbing dan membagi ilmu kepada saya serta seluruh pihak yang telah
membantu saya sehingga referat ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Saya menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena, itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi kita.
PENDAHULUAN
Graves disease berasal dari nama Robert J. Graves, MD, circa tahun1830, adalah
penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidisem (produksi berlebihan dari
kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves disease lazim juga
disebut penyakit Basedow. Struma adalah istilah lain untuk pembesaran kelenjar
gondok. Gondok atau goiter adalah suatu pembengkakan atau pembesaran kelanjar
tiroid yang abnormal yang penyebabnya bisa bermacam-macam. Penyakit ini lebih
sering ditemukan pada orang muda usia 20 –40 tahun terutama wanita, tetapi penyakit
ini dapat terjadi pada segala umur .
Kelenjar tiroid dalam keadaan normal tidak tampak, merupakan suatu kelenjar
yang terletak di leher bagian depan, di bawah jakun. Kelenjar tiroid ini berfungsi
untuk memproduksi hormon tiroid yang berfungsi untuk mengontrol metabolisme
tubuh sehingga tercapai pertumbuhan dan perkembangan yang normal.
Tanda dan gejala penyakit Graves yang paling mudah dikenali ialah adanya
struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/
hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, serta disertai dermopati, meskipun
jarang. Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti.
Namun demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam
mekanisme yang belum diketahui secara pasti meningkatnya resiko penyakit Graves.
EPIDEMIOLOGI
Penyakit Graves adalah penyebab paling umum dari hipertiroid di Amerika Serikat.
Penyakit ini dapat menyebabkan tirotoksikosis yang berat. Kejadian penyakit ini
diperkirakan sekitar 30 kasus per 100.000 orang per tahun. Pada umumnya pasien
memiliki riwayat penyakit tiroid pada keluarga. Rasio antara perempuan dan laki-laki
adalah 7:1 dan khasnya sering terjadi pada wanita muda.
ANATOMI
Tiroid adalah suatu kelenjar endokrin yang sangat vaskular, berwarna merah
kecoklatan dengan konsistensi yang lunak. Kelenjar tiroid terdiri dari dua buah lobus
yang simetris. Berbentuk konus dengan ujung cranial yang kecil dan ujung caudal
yang besar. Antara kedua lobus dihubungkan oleh isthmus, dan dari tepi superiornya
terdapat lobus piramidalis yang bertumbuh ke cranial, dapat mencapai os hyoideum.
Pada umumnya lobus piramidalis berada di sebelah kiri linea mediana. Setiap lobus
kelenjar thyroid mempunyai ukuran kira-kira 5 cm, dibungkus oleh fascia propria
yang disebut true capsule, dan di sebelah superficialnya terdapat fascia pretrachealis
yang membentuk false capsule. Kelenjar thyroid berada di bagian anterior leher, di
sebelah ventral bagian caudal larynx dan bagian cranial trachea, terletak berhadapan
dengan vertebra C 5-7 dan vertebra Th 1. Kedua lobus bersama-sama dengan isthmus
memberi bentuk huruf “U”. Ditutupi oleh m. sternohyoideus dan m.sternothyroideus.
Ujung cranial lobus mencapai linea obliqua cartilaginis thyreoideae, ujung inferior
meluas sampai cincin trachea 5-6. Isthmus difiksasi pada cincin trachea 2,3 dan 4.
Kelenjar thyroid juga difiksasi pada trachea dan pada tepi cranial cartilago cricoidea
oleh penebalan fascia pretrachealis yang dinamakan ligament of Berry. Fiksasi-fiksasi
tersebut menyebabkan kelenjar thyroid ikut bergerak pada saat proses menelan
berlangsung. (3)
FISIOLOGI
Biosintesis Hormon Thyroid Gambar 2. Biosintesis Hormon Tiroid(9)
Iodium adalah adalah bahan dasar yang sangat penting dalam biosintesis
hormon thyroid. Iodium yang dikonsumsi diubah menjadi iodida kemudian
diabsorbsi. Kelenjar thyroid mengkonsentrasikan iodida dengan mentransport aktif
iodida dari sirkulasi ke dalam koloid. Mekanisme transport tersebut dikenal dengan “
iodide trapping mechanism”. Na+ dan I- ditransport dengan mekanisme cotransport
ke dalam sel thyroid, kemudian Na+ dipompa ke interstisial oleh Na+-K+ATPase. Di
dalam kelenjar thyroid, iodida mengalami oksidasi menjadi iodium. Iodium kemudian
berikatan dengan molekul tirosin yang melekat ke tiroglobulin. Tiroglobulin adalah
molekul glikoprotein yang disintesis oleh retikulum endoplasma dan kompleks Golgi
sel-sel thyroid. Setiap molekul tiroglobulin mengandung 140 asam amino tirosin.
Enzim yang berperan dalam oksidasi dan pengikatan iodida adalah thyroid
peroksidase. Senyawa yang terbentuk adalah monoiodotirosin (MIT) dan diodotirosin
(DIT). Dua molekul DIT kemudian mengalami suatu kondensasi oksidatif membentuk
tetraiodotironin (T4). Triiodotironin (T3) mungkin terbentuk melalui kondensasi MIT
dengan DIT. Sejumlah kecil reverse triiodotironin (rT3) juga terbentuk, mungkin
melalui kondensasi DIT dengan MIT. Dalam thyroid manusia normal, distribusi rata-
rata senyawa beriodium adalah 23 % MIT, 33 % DIT, 35 % T4 dan 7 % T3. RT3 dan
komponen lain terdapat hanya dalam jumlah yang sangat sedikit. (3)
Sekresi Hormon Thyroid
Sel-sel thyroid mengambil koloid melalui proses endositosis. Di dalam sel, globulus
koloid menyatu dengan lisosom. Ikatan peptida antara residu beriodium dengan
tiroglobulin terputus oleh protease di dalam lisosom, dan T4, T3, DIT serta MIT
dibebaskan ke dalam sitoplasma. T4 dan T3 bebas kemudian melewati membran sel
dan dilepaskan ke dalam sirkulasi. MIT dan DIT tidak disekresikan ke dalam darah
karena iodiumnya sudah dibebasakan sebagai akibat dari kerja intraselular iodotirosin
dehalogenase. Hasil dari reaksi enzimatik ini adalah iodium dan tirosin. Iodium
digunakan kembali oleh kelenjar dan secara normal menyediakan iodium dua kali
lipat dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh pompa iodium. (3)
Transport dan Metabolisme Hormon Thyroid
Hormon thyroid yang bersirkulasi dalam plasma terikat pada protein plasma, yaitu:
globulin pengikat tiroksin (thyroxine-binding globulin, TbG), prealbumin pengikat
tiroksin (thyroxine-binding prealbumin, TBPA) dan albumin pengikat tiroksin
(thyroxine-binding albumin, TBA). Kebanyakan hormon dalam sirkulasi terikat pada
protein-protein tersebut dan hanya sebagian kecil saja (kurang dari 0,05 %) berada
dalam bentuk bebas. Hormon yang terikat dan yang bebas berada dalam
keseimbangan yang reversibel. Hormon yang bebas merupakan fraksi yang aktif
secara metabolik, sedangkan fraksi yang lebih banyak dan terikat pada protein tidak
dapat mencapai jaringan sasaran. Dari ketiga protein pengikat tiroksin, TBG
merupakan protein pengikat yang paling spesifik. Selain itu, tiroksin mempunyai
afinitas yang lebih besar terhadap protein pengikat ini dibandingkan dengan
triiodotironin. Akibatnya triiodotironin lebih mudah berpindah ke jaringan sasaran.
Faktor ini yang merupakan alasan mengapa aktifitas metabolik triiodotironin lebih
besar. Perubahan konsentrasi TBG dapat menyebabkan perubahan kadar tiroksin total
dalam sirkulasi. Peningkatan TBG, seperti pada kehamilan, pemakaian pil
kontrasepsi, hepatitis, sirosis primer kandung empedu dan karsinoma hepatoselular
dapat mengakibatkan peningkatan kadar tiroksin yang terikat pada protein.
Sebaliknya, penurunan TBG, misalnya pada sindrom nefrotik, pemberian
glukokortikoid dosis tinggi, androgen dan steroid anabolik dapat menyebabkan
penurunan kadar tiroksin yang terikat pada protein. Hormon-hormon thyroid diubah
secara kimia sebelum diekskresi. Perubahan yang penting adalah deiodinasi yang
bertanggung jawab atas ekskresi 70 % hormon yang disekresi. 30 % lainnya hilang
dalam feses melalui ekskresi empedu sebagai glukuronida atau persenyawaan sulfat.
Akibat deiodinasi, 80 % T4 dapat diubah menjadi 3,5,3’-triiodotironin, sedangkan 20
% sisanya diubah menjadi reverse 3,3’,5’-triiodotironin (rT3) yang merupakan
hormon metabolik yang tidak aktif.(3)
Mekanisme hormon tiroid
Fungsi tiroid dikontrol oleh hormon glikoprotein hipofisis hormon TSH, yang diatur
pula oleh thyroid releasing hormon (TRH), suatu neurohormon hipotalamus. Tiroksin
menunjukkan pengaturan timbal balik negatif dari sekresi TSH dengan bekerja
langsung pada tirotropin hipofisis.1
Peningkatan kadar hormon tiroid akan menimbulkan umpan balik negatif
(negative feedback) menghambat hipofisis anterior untuk melepaskan TSH yang lebih
banyak dan pelepasan TRH dari hipotalamus
Definisi
Penyakit Graves merupakan penyebab tersering hipertiroidisme adalah suatu penyakit
otonium yang biasanya ditandai oleh produksi otoantibodi yang memiliki kerja mirip
TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari
hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma
difus, oftamopati (eksoftalmus/ mata menonjol) dan kadang-kadang dengan
dermopati.(1,4,5,6)
Etiologi
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit otoimun, dimana penyebabnya
sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Penyakit ini mempunyai predisposisi
genetik yang kuat, dimana 15% penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat
dengan penderita penyakit yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit
Graves, ditemukan autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5
kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur.
Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun.(2,6)
Patogenesis
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang
berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk
mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi
dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang
pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi
didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan
kekambuhan penyakit. Mekanisme otoimunitas merupakan faktor penting dalam
patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit
Graves.
Sampai saat ini dikenal ada 3 otoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu
tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping
itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran
sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan
kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves.
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila
terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan
molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk
mempresentasikan antigen pada limfosit T.
Gambar 1 : Patogenesis Penyakit Graves
Faktor genetik berperan penting dalam proses otoimun, antara lain HLA-B8 dan
HLA-DR3 pada ras Kaukasus, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras Cina dan HLA-B17
pada orang kulit hitam. Faktor lingkungan juga ikut berperan dalam patogenesis
penyakit tiroid otoimun seperti penyakit Graves. Virus yang menginfeksi sel-sel tiroid
manusia akan merangsang ekspresi DR4 pada permukaan sel-sel folikel tiroid, diduga
sebagai akibat pengaruh sitokin (terutama interferon alfa). Infeksi basil gram negatif
Yersinia enterocolitica, yang menyebabkan enterocolitis kronis, diduga mempunyai
reaksi silang dengan otoantigen kelenjar tiroid. Antibodi terhadap Yersinia
enterocolitica terbukti dapat bereaksi silang dengan TSH-R antibody pada membran
sel tiroid yang dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves. Asupan yodium
yang tinggi dapat meningkatkan kadar iodinated immunoglobulin yang bersifat lebih
imunogenik sehingga meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya penyakit tiroid
otoimun. Dosis terapeutik dari lithium yang sering digunakan dalam pengobatan
psikosa manik depresif, dapat pula mempengaruhi fungsi sel limfosit T suppressor
sehingga dapat menimbulkan penyakit tiroid otoimun. Faktor stres juga diduga dapat
mencetuskan episode akut penyakit Graves, namun sampai saat ini belum ada
hipotesis yang memperkuat dugaan tersebut.
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan
antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan
dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan
tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast
dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata,
proptosis dan diplopia.
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam
jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi
glikosaminoglikans .
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin, seperti
takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperreaktivitas katekolamin,
terutama epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor
katekolamin didalam otot jantung.(2)
Gambaran Klinis
A. Gejala dan Tanda
Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter
akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid
yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme
dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan
panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun
walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan srta atrofi
otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang
biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai
80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan
berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan
kegagalan konvergensi.
Perubahan pada mata (oftalmopati Graves) , menurut the American Thyroid
Association (NOSPECS) diklasifikasikan sebagai berikut :
NOSPECS CLASSIFICATION OF EYE CHANGES OF GRAVE’S DISEASE
Class Grade Signs and symptoms
0 No symptoms and signs
1 Only signs ( upper lid retraction, without lid lag or proptosis)
2 Soft tissue involvement with symptoms ( excess lacrimation, sandy
sensation, retrobulbar discomfort, and photophobia but not diplopia)
Objective signs as follow:
0 Absent
a Minimal ( edema of conjunctiva and lids, conjunctival injection,
fullness of lids often with orbital fat extrusion, palpable lacrimal
glands, or swollen extraocular muscles beneath lower lids)
b Moderate (above plus chemosis, lagophtalmus lid fullness)
c Marked
3 Proptosis associated with classes 2 to 6 only ( specify if inequality of
3 mm or more between eyes, or if progression of 3 mm or more
under observation)
0 Absent (20 mm or less)
a Minimal (21-23 mm)
b Moderate (24-27 mm)
c Marked (28 mm or more)
4 Extraocular muscle involvement ( usually with diplopia)
0 Absent
a Minimal (limitation of motion, evident at extremes of gaze in one or
more directions)
b Moderate (evident restriction of motion without fixation of position)
c Marked ( fixation of position of a globe or globes)
5 Corneal involvement (primarily due to lagophtalmus)
0 Absent
a Minimal (stippling of cornea)
b Moderate (ulceration)
c Marked (clouding, necrosis, perforation)
6 Sight loss (due to optic nerve involvement)
0 Absent
a Minimal (disc pallor or choking, or visual fields defect, vision 20/20
to 20/60
b Moderate (disc pallor or choking, or visual fields defect,vision 20/70
to 20/200
c Marked ( blindness, i.e, failure to perceive light, vision less than
20/200
Kelas Uraian
0 Tidak ada gejala dan tanda
1 Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lidlag)
2 Perubahan jaringan lunak orbita
3 Proptosis
4 Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
5 Perubahan pada kornea (keratitis)
6 Kebutaan
Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal
tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya
diobati secara adekuat.
Pada Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita.
Kelas 2 ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita,
kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis).
Kelas 3 ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel
exophthalmometer.
Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif terutama
pada musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran menggerakkan bola
mata keatas. Bila mengenai musculus rectus medialis, maka akan terjadi kesukaran
dalam menggerakkan bola mata kesamping.
Kelas 5 ditandai dengan perubahan pada kornea (keratitis).
Kelas 6 ditandai dengan kerusakan nervus opticus, yang akan menyebabkan kebutaan.
Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler
disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita
sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis
(penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga
dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan
pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian
posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan.
Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum ditemukan
antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat banyak,
tidak tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama
penyakit graves dapat berupa amenore atau infertilitas.
Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan
tulang.
Sedangkan pada penderita usia tua ( > 60 tahun ), manifestasi klinis yang lebih
mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan
adanya palpitasi , dyspnea d’effort, tremor, nervous dan penurunan berat badan. (1,2)
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat dilihat
atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai berikut
INDEX WAYNE
Pemeriksaan laboratorium
Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema
dibawah ini :
Autoantibodi tiroid , TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves
maupun tiroiditis Hashimoto , namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit
Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid
atau pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas. (2)
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan
hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan
(axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar
hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam
keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan
T-4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon
tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel
tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus,
sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini
menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan
bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan
pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu
disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka
mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4 bebas
(free T-4/FT-4). (1,2,3)
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk
menegakkan diagnosis penyakit Graves jarang diperlukan, kecuali scan tiroid pada tes
supresi tiroksin. (1)
Diagnosis Banding
Penyakit Graves dapat terjadi tanpa gejala dan tanda yang khas sehingga diagnosis
kadang-kadang sulit didiagnosis. Atrofi otot yang jelas dapat ditemukan pada miopati
akibat penyakit Graves, namun harus dibedakan dengan kelainan neurologik primer.
Pada sindrom yang dikenal dengan “ familial dysalbuminemic hyperthyroxinemia “
dapat ditemukan protein yang menyerupai albumin (albumin-like protein) didalam
serum yang dapat berikatan dengan T4 tetapi tidak dengan T3. Keadaan ini akan
menyebabkan peningkatan kadar T4 serum dan FT4I, tetapi free T4, T3 dan TSH
normal. Disamping tidak ditemukan adanya gambaran klinis hipertiroidisme, kadar
T3 dan TSH serum yang normal pada sindrom ini dapat membedakannya dengan
penyakit Graves.
Paralisis biasanya membaik secara spontan dan dapat dicegah dengan pemberian
suplementasi kalium dan beta bloker. Keadaan ini dapat disembuhkan dengan
pengobatan tirotoksikosis yang adekuat.
Pada penderita usia tua dapat ditemukan gejala-gejala berupa penurunan berat badan,
struma yang kecil, atrial fibrilaasi dan depresi yang berat, tanpa adanya gambaran
klinis dari manifestasi peningkatan aktivitas katekolamin yang jelas. Keadaan ini
dikenal dengan “apathetic hyperthyroidism”. (2)
Manifestasi Klinis
Penyakit Graves umumnya ditandai dengan pembesaran kelenjar tiroid/ struma difus,
disertai tanda dan gejala tirotoksikosis dan seringkali juga disertai oftalmopati
(terutama eksoftalmus) dan kadang-kadang dengan dermopati. Manifestasi
kardiovaskular pada tirotoksikosis merupakan gejala paling menonjol dan merupakan
karakteristik gejala dan tanda tirotoksikosis. (1,2,3)
Gejala tirotoksikosis yang sering ditemukan:
Hiperaktivitas, iritabilitas
Palpitasi
Tidak tahan panas dan keringat berlebih
Mudah lelah
Berat badan turun meskipun makan banyak
Buang air besar lebih sering
Oligomenore atau amenore dengan libido berkurang
Tanda tirotoksikosis yang sering ditemukan:
← Takikardi, fibrilasi atrial
← Tremor halus, refleks meningkat
← Kulit hangat dan basah
← Rambut rontok
Komplikasi
Krisis tiroid
Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat sehingga
dapat mengancam kehidupan penderita.
Faktor pencetus terjadinya krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain :
- Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain
- Terapi yodium radioaktif
- Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara
adekuat.
- Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi akut,
alergi obat yang berat atau infark miokard.
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme berat
dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi :
- Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai 41°C disertai
dengan flushing dan hiperhidrosis.
- Takhikardi hebat , atrial fibrilasi sampai payah jantung.
- Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai koma.
- Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.
Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari simpanan hormon
tiroid didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar
T4 dan T3 didalam serum penderita dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi
dibandingkan dengan kadarnya pada penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid.
Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat peningkatan produksi
triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi terbukti bahwa pada krisis tiroid
terjadi peningkatan jumlah reseptor terhadap katekolamin, sehingga jantung dan
jaringan syaraf lebih sensitif terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi. (2)
Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme (menghambat
produksi hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat konversi T4
menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis), normalisasi
dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit) dan mengatasi faktor pemicu.
Penyakit Jantung Tiroid
Penderita dengan penyakit jantung tiroid terutama ditandai dengan gejala-gejala
kelainan jantung, dapat berupa :
- Atrial fibrilasi yang tidak sensitif dengan pemberian digoksin
- Takikardi
- Pulsus seler
- Sesak napas
- Palpitasi
- Cepat lelah
Sekitar 50% pasien tidak mempunyai latar belakang penyakit jantung sebelumnya,
dan gangguan fungsi jantung ini dapat diperbaiki dengan pengobatan terhadap
tirotoksikosisnya, yaitu dengan menurunkan kadar hormon tiroidnya.
- Metimazol 60-80 mg/hari
- PTU 400-600 mg/hari. Dosis terbagi dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
selama 1- 1,5 tahun.
Menanggulangi aritmia atau penyakit jantung :
- propanolol 40-160 mg/hari
- diuretik
Penatalaksanaan
Walaupun mekanisme otoimun merupakan faktor utama yang berperan dalam
patogenesis terjadinya sindrom penyakit Graves, namun penatalaksanaannya terutama
ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme.
Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat
penyakit Graves, yaitu : Medikamentosa, Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif.
Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya
tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon
atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya. (1,2)
Medikamentosa
a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil
dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama
metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah
tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi
intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3 dan
T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat
coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat
sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah
menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada
metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih
dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon
tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan
biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai
dosis tunggal. Obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi
remisi spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun
setelah pengobatan.
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150 mg setiap 6
jam. Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg , 1 atau 2 kali sehari.
Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena dapat
menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar
hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis
tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi
selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 – 20 mg perhari. (2)
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek samping,
yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis yang lebih
kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa
bulan pertama pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat
sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan
untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif.. Agranulositosis biasanya ditandai
dengan demam dan sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan
antibiotika.
Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti
dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya. (1)
Evaluasi pengobatan
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves adalah
penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi. Evaluasi
pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis
dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan
diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan
eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih
mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3
bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang menetap dapat diprediksi pada hampir 80%
penderita yang diobati dengan Obat Anti Tiroid bila ditemukan keadaan-keadaan
sebagai berikut :
1. Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
2. Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian Obat Anti Tiroid
dosis rendah.
3. Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.
Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4 (atau FT-3 bila terdapat T-3
toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis, sementara
kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan
setelah keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah
berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata.
b. Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat
untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis seperti palpitasi, tremor, cemas,
dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek
antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat -meskipun sedikit- menurunkan
kadar T-3 melalui penghambatannya terhadap konversi T-4 ke T-3. Dosis awal
propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari.3,4
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping
yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan
yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan
trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien
asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi
atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia, fenomena
Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat monoamin oksidase.
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda dengan ukuran
kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan dengan Obat Anti
Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun jangka waktu
pengobatan lama yaitu 6 bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi.
Kelemahan utama pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi
setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%. Kekambuhan
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan, kepatuhan pasien
dan asupan yodium dalam makanan. Kadar yodium yang tinggi didalam makanan
menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif terhadap OAT.
Pemeriksaan laboratorium perlu diulang setiap 3 - 6 bulan untuk memantau respons
terapi, dimana yang paling bermakna adalah pemeriksaan kadar FT4 dan TSH.
Protokol pengobatannya adalah sebagai berikut :
Pertama kali penderita diberi methimazole 3 x 10 mg/hari selama 6 bulan, selanjutnya
10 mg perhari ditambah tiroksin 100 μg perhari selama 1 tahun, dan kemudian hanya
diberi tiroksin saja selama 3 tahun. Kelompok kontrol juga diberi methimazole
dengan dosis dan cara yang sama namun tanpa tiroksin. Kadar TSH dan kadar TSH-R
Ab ternyata lebih rendah pada kelompok yang mendapat terapi kombinasi dan
sebaliknya pada kelompok kontrol. Hal ini mengisyaratkan bahwa TSH selama
pengobatan dengan OAT akan merangsang pelepasan molekul antigen tiroid yang
bersifat antigenic, yang pada gilirannya akan merangsang pembentukan antibody
terhadap reseptor TSH. Dengan kata lain, dengan mengistirahatkan kelenjar tiroid
melalui pemberian tiroksin eksogen eksogen (yang menekan produksi TSH), maka
reaksi imun intratiroidal akan dapat ditekan, yaitu dengan mengurangi presentasi
antigen. Pertimbangan lain untuk memberikan kombinasi OAT dan tiroksin adalah
agar penyesuaian dosis OAT untuk menghindari hipotiroidisme tidak perlu dilakukan
terlalu sering, terutama bila digunakan OAT dosis tinggi.
Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma yang
besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan
pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu , selama 2 minggu pre
operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang
dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi.
Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan
tiroid yangn harus diangkat.
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan oftalmopati
Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid yang
ditinggalkan , dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan
2-3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan penderita masih
memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit Graves.
Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan komplikasi
pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus.
Terapi Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak lebih dari 50 tahun
yang lalu. Radionuklida I131 akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek ionisasi
partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi local pada sel-
sel folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan lain disekitarnya. Respons
inflamasi akan diikuti dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu terjadi
atrofi dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi sangat
tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas kelenjar
tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2-6
bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun. Iodine131 dengan cepat dan sempurna
diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi
didalam kelenjar tiroid. Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan
ini aman , tidak mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik ataupun
teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang
pernah mendapat pengobatan yodium radioaktif.
Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau menyusui.
Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium radioaktif perlu
dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain kedua keadaan diatas,
tidak ada kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan
umur tidak lagi diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat bahwa
pengobatan yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien hipertiroidisme
anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini seringkali kambuh dengan OAT.
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh.
Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium
dalam dosis I131 yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram.
Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 – 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat
diulang. Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat
penyekat beta dan / atau OAT.
Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh besarnya
dosis I131 dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras dan asupan
yodium dalam makanan sehari-hari.
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah
hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis;
makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian
hipotiroidisme.
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 μCi/g berat jaringan tiroid,
didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan
sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya.
Efek samping lain yang perlu diwaspadai adalah :
- memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya antigen tiroid
dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH), dapat dicegah dengan
pemberian kortikosteroid sebelum pemberian I131
- hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya sangat jarang
terjadi)
- gastritis radiasi (jarang terjadi)
- eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara mendadak (leakage)
pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk mencegahnya maka sebelum minum
yodium radioaktif diberikan OAT terutama pada pasien tua dengan kemungkinan
gangguan fungsi jantung.
Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau selama 3 sampai 6
bulan pertama; setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi tiroid cukup dipantau setiap 6
sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk mendeteksi adanya hipotiroidisme. (2)
Penatalaksanaan oftalmopati Graves
Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis dalam
menangani oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada mata
dapat diatasi dengan larutan tetes mata atau lubricating ointments, untuk mencegah
dan mengobati keratitis. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menghentikan
merokok, menghindari cahaya yang sangat terang dan debu, penggunaan kacamata
gelap dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan untuk mengurangi edema periorbital.
Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan adekuat. Obat-obat yang mempunyai
khasiat imunosupresi dapat digunakan seperti kortikosteroid dan siklosporin,
disamping OAT sendiri dan hormon tiroid. Tindakan lainnya adalah radioterapi dan
pembedahan rehabilitatif seperti dekompresi orbita, operasi otot ekstraokuler dan
operasi kelopak mata.
Remisi
Angka keberhasilan remisi dipengaruhi beberapa hal, antara lain lamanya pengobatan,
kadar TSH dan kadar antibodi terhadap reseptor TSH. Dianjurkan lama pengobatan
dengan obat antitiroid berkisar antara 1-2 tahun. Dahulu, usaha untuk meningkatkan
angka remisi dilakukan dengan menambah hormon L-tiroksin. Dasarnya, obat
antitiroid mempunyai efek imunosupresif dan dengan kombinasi L-tiroksin maka
dosis obat antitiroid dapat dimaksimalkan. Tetapi dari beberapa penelitian klinis
berikutnya, seperti dilaporkan Edmonds CJ dan Tellez M, tidak terdapat perbedaan
bermakna antara obat kombinasi dengan obat tunggal.(3,6)
Bila remisi telah tercapai, pengobatan dapat dihentikan, tetapi evaluasi tetap harus
diteruskan. Pada tahun pertama, evaluasi dilakukan tiap 3 bulan, karena kekambuhan
biasanya terjadi pada periode tersebut. Kemudian evaluasi dapat dilakukan tiap 1
tahun. Dalam evaluasi tersebut, parameter yang diperiksa ialah tanda dan gejala klinis
serta pemeriksaan laboratorium TSH dan FT-4 (atau FT-3 bila terdapat T-3
toksikosis).
Bila terjadi kekambuhan, pilihan pengobatan selanjutnya adalah 131I atau operasi.
Obat antitiroid dapat dicoba lagi bila pasien menolak atau terdapat kontraindikasi
pengobatan iodium radioaktif atau operasi. Angka kekambuhan dipengaruhi oleh
kadar TSH yang selalu rendah atau tak terdeteksi untuk jangka panjang walaupun
keadaan eutiroid telah tercapai, atau adanya kadar antibodi reseptor TSH yang tinggi .
(4,5)
Penutup
Berbagai faktor perlu dipertimbangkan dalam pemilihan jenis pengobatan penyakit
Graves, antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma,
ketersediaan obat antitiroid dan respons/reaksi terhadapnya, serta penyakit lain yang
menyertainya.
Dan, mengingat penyakit Graves merupakan penyakit autoimun yang tidak dapat
diketahui secara pasti kapan remisi tercapai, dan membutuhkan penekanan proses
autoimun secara terus menerus
DAFTAR PUSTAKA
1. Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan
Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001 : hal 1-5
2. Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli
2002, PIKKI, Jakarta, 2002 : hal 9-18
3. Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2001 : hal 263 – 265
4. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H.
Asdie, Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000 : hal 2144-2151
5. Mansjoer A, et all, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3, Media Aesculapius,
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1999 : hal 594-598
6. Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 3, Edisi 3, Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1996 : hal 725 – 778
7. Dokmud’s Zone. Struma. Available at: http://www.dokmud.wordpress.com.
Accesed on: February 27, 2012.
8.Gambar 1. Anatomi Tiroid. Sumber: www.risetmedis.blogspot.com
Recommended