View
10
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
SINTESIS SURFAKTAN ANIONIK BERBASIS LAURIL
PROPOKSILAT MELALUI REAKSI KARBOKSILASI
SKRIPSI
EKA LARAS SANTI
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1441 H
SINTESIS SURFAKTAN ANIONIK BERBASIS LAURIL
PROPOKSILAT MELALUI REAKSI KARBOKSILASI
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
EKA LARAS SANTI
11150960000007
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1441 H
©Hak Cipta Milik UIN, Tahun 2019
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
UIN.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin UIN dan LIPI KIMIA (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia), Serpong.
EKA LARAS SANTI. Sintesis Surfaktan Anionik Berbasis Lauril Propoksilat
Melalui Reaksi Karboksilasi. Dibimbing oleh YAN IRAWAN dan SITI
NURBAYTI
ABSTRAK
Surfaktan anionik merupakan kelompok surfaktan yang paling banyak
pemakaiannya. Keunggulan dari surfaktan anionik ini adalah kemampuannya
untuk daya pembusa yang sangat baik (busa yang berlimpah), meskipun dengan
konsentrasi yang rendah dengan sifat detergensi yang sangat baik. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk membuat surfaktan anionik lauril propoksi karboksilat
dari lauril propoksilat dan sodium kloroasetat (1:1 dan 2:1) melalui reaksi
karboksilasi, dengan penambahan katalis NaOH 10 dan 20%. Surfaktan anionik
hasil sintesis dikarakterisasi dengan pengujian kestabilan emulsi, tegangan
permukaan, dan Hydrophilic and Lipophilic Balance (HLB) serta diidentifikasi
menggunakan spektroskopi Nuclear Magnetic Resonance (13
C NMR), Gel
Permeation Chromatography (GPC), dan Fourier Transform InfraRed (FTIR).
Penelitian ini menunjukkan bahwa derajat polimerisasi yang paling baik adalah
LPC 1:1 20% dengan BM 692 g/mol, dengan nilai HLB 16,63, untuk karakterisasi
menggunakan PSA dihasilkan nilai IP yang paling baik adalah LPC 2:1 20%
dengan nilai 0,06 yang menunjukkan bahwa jenis distribusi monodispersi, nilai Z-
average untuk semua LPC merupakan sistem nanoemulsi tranlusen dengan
kisaran 160,47-205 nm.
Kata kunci : karboksilasi, lauril propoksilat, sodium kloroasetat, surfaktan
anionik
EKA LARAS SANTI. Anionic Surfactant Synthesis Based on Lauril Propoxylate
Through Carboxylation Reaction. Supervised by YAN IRAWAN and SITI
NURBAYTI
ABSTRACT
Anionic surfactants are the most widely used surfactant group. The
advantage of this anionic surfactant is its ability to power a very good foaming
(abundant foam), even with low concentrations with excellent detergency
properties. The purpose of this research is to make anionic lauryl propoxy
carboxylic surfactant from lauryl propoxylate and sodium chloroacetate (1: 1 and
2: 1) through carboxylation reactions, with the addition of 10 and 20% NaOH
catalysts. Synthesized anionic surfactants were characterized by stability testing of
emulsion, surface tension, and Hydrophilic and Lipophilic Balance (HLB) and
were identified using Nuclear Magnetic Resonance (13
C NMR) spectroscopy, Gel
Permeation Chromatography (GPC), and Fourier Transform InfraRed (FTIR).
This study shows that the best degree of polymerization is LPC 1: 1 20% with BM
692 g / mol, with HLB value 16.63, for characterization using PSA the best IP
value is LPC 2: 1 20% with a value of 0,06 which shows that the type of
monodispersion distribution, the Z-average value for all LPC is a tranlusen
nanoemulsion system with a range of 160.47-205 nm.
Keywords : carboxylation, lauryl propoxylate, sodium chloroasetat, anionic
surfactant
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirahim
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat
diselesaikan. Shalawat serta salam tak lupa penulis sampaikan pada kehadirat
Nabi Muhammad SAW karena berkat jasa beliaulah manusia dibawa dari zaman
jahiliyah ke zaman yang terang benderang oleh ilmu pengetahuan.
Atas kehendak dan izin Allah, skripsi yang penelitiannya dilakukan di
Laboratorium Makromolekul, LIPI – Kimia berjudul “Sintesis Surfaktan
Anionik Berbasis Lauril Propoksilat Melalui Reaksi Karboksilasi” telah
selesai disusun.
Dalam proses penulisan ini, banyak pihak yang telah berjasa dan
memberikan bantuannya baik melalui dorongan serta motivasi untuk dapat segera
menyelesaikan skripsi ini, oleh karena itu, tiada ungkapan yang lebih pantas
diucapkan kecuali puji syukur dan rasa terima kasih dengan ketulusan dan
kerendahan hati kepada :
1. Yan Irawan, ST., M.Si. selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan
pengetahuan, bimbingan, dan arahan.
2. Dr. Siti Nurbayti, M.Si. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan
pengetahuan dan bimbingan kepada penulis.
3. Dr. La Ode Sumarlin, M.Si. selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud. selaku Dekan Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
viii
5. Seluruh dosen program studi Kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama
mengikuti perkuliahan, semoga ilmu yang telah bapak dan ibu berikan
bermanfaat dan mendapatkan berkah dari Allah SWT.
6. Ika Juliana, S.Si yang telah membantu dan memberikan arahan dalam
melakukan penelitian serta dalam pembuatan skripsi.
7. Bapak dan Mama yang selalu mendoakan, memberikan kasih sayang, nasihat
yang bermanfaat dan memantapkan hati penulis serta dukungan moril lainnya
maupun materil.
8. Teman-teman Mahasiswa Program Studi Kimia Angkatan 2015 yang selalu
mendukung.
9. Istianah, Eko, Roy, Jeremy, dan Ade selaku rekan kerja yang selalu membantu.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis namun tidak dapat disebutkan satu
persatu, tanpa mengurangi rasa hormat dan syukur penulis.
Semoga skripsi ini sedikitnya dapat memberikan manfaat bagi pembaca
dan juga untuk pengembangan ilmu pengetahuan kedepannya.
Ciputat, November 2019
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................. 5
1.3 Hipotesis ............................................................................................................. 5
1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................................... 5
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 6
2.1 Surfaktan ............................................................................................................ 6
2.1.1 Jenis-jenis Surfaktan ....................................................................................... 7
2.1.2 Kegunaan Surfaktan ..................................................................................... 10
2.2 Reaksi Alkoksilasi ........................................................................................... 14
2.3 Surfaktan Alkoksi Karboksilat ........................................................................ 14
2.4 Karakterisasi Surfaktan ................................................................................... 16
2.4.1 Particle Size Analyzer (PSA) ....................................................................... 16
2.4.2 Penentuan Tegangan Antarmuka Dengan IFT (Interfacial Tension) ........... 17
2.4.3 Kesetimbangan Hidrofobik-Lipofilik (HLB) ............................................... 18
2.4.4 GPC (Gel Permeation Chromatography…………………………………..19
2.4.5 FTIR (Fourier Transform Infra Red).……………………………………..20
2.4.6 13
C NMR (Nuclear Magnetic Resonance) …….…...……….……….……21
BAB III METODE PENELITIAN………………………………….…………23
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian……………………………………………….23
3.2 Alat dan Bahan………………………………………………………………23
3.2.1 Alat………………………………………………………………………..23
3.2.2 Bahan……………………………………………………………………...23
xi
3.3 Skema Kerja………………………………………………………………...24
3.4 Prosedur Kerja………………………...…………………………………….26
3.4.1 Sintesis Lauril Propoksilat……………………………………..…………26
3.4.2 Sintesis Surfaktan Lauril Propoksi Karboksilat…………..………………26
3.4.3 Identifikasi Hasil Sintesis………………………………...……………….27
3.4.3.1 Identifikasi dengan Spektrofotometer FTIR……………………………27
3.4.3.2 Identifikasi dengan Spektrofotometer 13
C NMR ………………….…....27
3.4.3.3 Bilangan Asam……………………………………………………….....27
3.4.3.4 Bilangan Ester…………………………………………………………..27
3.4.4 Karakterisasi Surfaktan Lauril Propoksi Karboksilat…………………….28
3.4.4.1 Penentuan Bilangan HLB……………………………………….……....28
3.4.4.2 Pengukuran Particle Size Analyzer (PSA)…………...…………………28
3.4.4.3 Penentuan Tegangan Permukaan dengan IFT (Spinning Drop)………... 28
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 30
4.1 Sintesis Lauril Propoksilat ............................................................................. 30
4.1.1 Identifikasi Berat Molekul Lauril Propoksilat Menggunakan GPC ............ 31
4.1.2 Identifikasi Gugus Fungsi Lauril Propoksilat Menggunakan FTIR ............ 32
4.2 Sintesis Lauril Propoksi Karboksilat .............................................................. 34
4.2.1 Identifikasi Berat Molekul Lauril Propoksi Karboksilat Menggunakan
GPC ............................................................................................................ 34
4.2.2 Identifikasi Gugus Fungsi Lauril Propoksi Karboksilat Menggunakan
FTIR ........................................................................................................... 35
4.2.3 Identifikasi Struktur Kimia Lauril Propoksi Karboksilat Menggunakan
13C NMR .................................................................................................... 37
4.3 Bilangan Asam dan Bilangan Ester dari Lauril Propoksilat dan Lauril
Propoksi Karboksilat .................................................................................. 39
4.4 Karakterisasi Surfaktan Lauril Propoksi Karboksilat .................................... 40
4.4.1 Kestabilan Emulsi Menggunakan PSA (Particle Size Analyzer) ................ 40
4.4.1.1 Indeks Polidispersitas………………………………………...…...…… 40
4.4.1.2 Z-Average (Diameter Rata-Rata Partikel) dan COV (Koefisien
Variasi)……………………...……………………………………....…. 41
4.4.2 Penentuan Bilangan HLB (Hydrophobic Lipophilic Balance)…………...43
xii
4.4.3 Penentuan Tegangan Antarmuka Menggunakan IFT (Interfacial tension) 44
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 44
5.1 Simpulan .......................................................................................................... 44
5.2 Saran……………………………………………………………………….....47
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...48
LAMPIRAN .......................................................................................................... 53
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Molekul surfaktan ................................................................................ 6
Gambar 2. Grafik persentase penggunaan surfaktan. .......................................... 10
Gambar 3. Reaksi etoksilasi ................................................................................ 14
Gambar 4. Surfaktan karboksilat ......................................................................... 15
Gambar 5. Sintesis Guerbet alkoksi sulfat .......................................................... 16
Gambar 6. Skala HLB dan aplikasi surfaktan ..................................................... 19
Gambar 7. Mekanisme pemisahan ukuran .......................................................... 19
Gambar 8. Skema dasar Gel Permeation Chromatography (GPC).................... 20
Gambar 9. Sistem optik spektrofotometer FTIR ................................................. 21
Gambar 10. Sintesis lauril propoksilat ................................................................ 24
Gambar 11. Sintesis lauril propoksi karboksilat .................................................. 25
Gambar 12. Mekanisme reaksi sintesis lauril propoksilat ................................... 31
Gambar 13. Spektrum FTIR lauril alkohol .......................................................... 32
Gambar 14. Spektrum FTIR lauril propoksilat 1:10 ........................................... 33
Gambar 15. Reaksi sintesis surfaktan anionik ..................................................... 34
Gambar 16. Spektrum FTIR LPC ........................................................................ 37
Gambar 17. Spektrum 13
C NMR LPC 1:1 10% .................................................. 38
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Klasifikasi surfaktan anionik .................................................................... 7
Tabel 2. Gugus hidrofilik surfaktan komersial ....................................................... 9
Tabel 3. Pergeseran kimia khas dalam spektrum 13
C NMR ................................ 22
Tabel 4. Hasil analisis FTIR ................................................................................. 32
Tabel 5. Hasil analisis GPC .................................................................................. 35
Tabel 6. Hasil analisis FTIR lauril propoksi karboksilat ...................................... 36
Tabel 7. Hasil bilangan asam dan ester ................................................................ 39
Tabel 8. Nilai indeks polidispersitas .................................................................... 41
Tabel 9. Rata-rata ukuran partikel ........................................................................ 42
Tabel 10. Nilai HLB pada surfaktan LPC ............................................................ 44
Tabel 11. Hasil analisis IFT ................................................................................. 45
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Perhitungan berat lauril alkohol dan propilen oksida ..................... 53
Lampiran 2. Perhitungan berat lauril propoksilat dan sodium kloroasetat ......... 54
Lampiran 3. Perhitungan pembuatan katalis KOH dan NaOH ........................... 55
Lampiran 4. Data perhitungan bilangan asam ..................................................... 56
Lampiran 5. Data perhitungan bilangan ester ..................................................... 58
Lampiran 6. Data analisis FTIR .......................................................................... 60
Lampiran 7. Data analisis 13
C NMR ................................................................... 63
Lampiran 8. Data analisis GPC ........................................................................... 65
Lampiran 9. Data analisis Particle Size Analyzer (PSA) .................................... 71
Lampiran 10. Proses sintesis .............................................................................. 73
Lampiran 11. Karakterisasi dan identifikasi lauril propoksilat dan lauril propoksi
karboksilat ................................................................................... 74
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Impor surfaktan di Indonesia semakin meningkat seiring bertambahnya
jumlah industri makanan, industri kosmetik, industri minuman, industri farmasi,
dan industri tekstil. Pada tahun 2013 data impor surfaktan di Indonesia telah
mencapai 65.624.484 kg, melihat kegunaan surfaktan yang sangat luas dan nilai
konsumsi dalam negeri yang besar, faktor tersebut dapat menjadi pendorong
perkembangan industri pembuatan surfaktan di Indonesia (BPS, 2013).
Surfaktan merupakan zat aktif permukaan (surface active agent) yang
dapat menurunkan tegangan permukaan suatu media, karena mempunyai
kemampuan untuk menggabungkan bagian antar fasa yang berbeda seperti udara
dan air ataupun fasa yang mempunyai kepolaran yang berbeda seperti minyak dan
air. Hal inilah yang menjadikan surfaktan banyak digunakan sebagai bahan aktif
pada detergen. Secara umum surfaktan dapat dibagi menjadi empat kelompok
berdasarkan gugus hidrofiliknya, yaitu surfaktan anionik, kationik, nonionik, dan
amphoterik (Suhendri et al., 2016).
Sifat aktif dari detergen sangat efektif dalam membersihkan kotoran
sehingga digunakan dalam proses pencucian. Pada mulanya surfaktan hanya
digunakan sebagai bahan utama pembuat detergen, namun karena terbukti ampuh
membersihkan kotoran, maka banyak digunakan sebagai bahan pencuci lain.
Masalah tentang kesucian yang didalamnya termasuk kebersihan banyak sekali
dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadits, hal ini merupakan bentuk perhatian Tuhan
2
terhadap hambaNya seperti yang tercantum dalam penggalan ayat Alqur’an
berikut ini:
ابين ويحب المتطهرين و يحب الت إن للا
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS. Al-Baqarah:222).
Kebersihan dalam islam sebagai salah satu aspek yang benar-benar
mendapatkan perhatian yang serius dalam hal beribadah. Detergen dan produk
pencuci lain digunakan untuk menjaga kebersihan badan, dan pakaian. Zat aktif
dalam detergen dan sabun yaitu surfaktan bekerja dengan menurunkan tegangan
air untuk mengangkat kotoran. Struktur molekul surfaktan mempunyai ujung
berbeda yaitu hidrofilik dan hidrofobik. Bahan aktif ini yang dapat melepaskan
kotoran yang menempel pada permukaan bahan.
Surfaktan merupakan bahan yang dapat mengubah atau memodifikasi
tegangan permukaan dan antarmuka antara fluida yang tidak saling larut, atau
molekul yang mengadsorbsi molekul lain pada antarmuka dua zat (Hidayati,
2015). Karakteristik utama surfaktan adalah bersifat ampifilik yaitu senyawa yang
memiliki dua gugus yang berlainan sifat dalam satu molekulnya, yaitu gugus polar
yang sifatnya hidrofilik dan nonpolar yang sifatnya hidrofobik sehingga mampu
menyatukan dua komponen yang berbeda kepolarannya (Sana, 2017).
Surfaktan yang disintesis dalam penelitian ini adalah surfaktan anionik.
Surfaktan anionik adalah surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu anion.
Surfaktan anionik merupakan salah satu jenis surfaktan yang umumnya
ditemukan pada produk pencuci dan pembersih, penyegar udara, produk kosmetik,
pengilap, bahan kimia konstruksi, bahan bakar, pupuk, artikel tekstil, pelapis tinta,
3
pengolahan air, pengendali hama dan produk perlindungan tanaman. Zat ini
digunakan sebagai pelumas dan pelarut atau perekat di berbagai macam aplikasi
(Shah et al., 2011).
Keunggulan dari surfaktan anionik ini adalah kemampuannya untuk daya
pembusa yang sangat baik (busa yang berlimpah), meskipun dengan konsentrasi
yang rendah dengan sifat detergensi yang sangat baik. Surfaktan anionik adalah
pengembangan paling awal, produksi surfaktan terbesar diberbagai jenis surfaktan
(Yuan et al., 2014).
Sifat surfaktan ditentukan oleh struktur dari gugus hidrofilik dan
hidrofobik yang menyusun surfaktan. Surfaktan anionik ini akan didominasi oleh
gugus hidrofilik. Surfaktan yang didominasi oleh gugus hidrofilik akan
mempunyai skala Hydrophilic and Lipophilic Balance (HLB) yang tinggi dan
mempunyai sifat yang lebih larut dalam air atau water soluble (Reningtyas dan
Mahreni, 2015).
Penelitian mengenai sintesis surfaktan anionik telah banyak dilakukan
antara lain oleh Awad et al. (2012) yang telah mensintesis surfaktan alkil amida
eter karboksilat dari berbagai asam lemak melalui reaksi esterifikasi, amidase,
etoksilasi, dan karbosimetilasi. Reaksi karboksimetilasi dilakukan menggunakan
sodium monokloroasetat dan katalis NaOH 1% dalam aseton, menghasilkan
surfaktan anionik, karena mempunyai gugus -COONa yang bersifat hidrofilik.
Penelitian lain dilakukan oleh Lu et al. (2012) mengenai pembuatan
surfaktan anionik Guerbet alkoksi karboksilat menggunakan reaksi propoksilasi,
etoksilasi dan karboksilasi. Surfaktan yang dihasilkan tahan dalam kondisi suhu
yang tinggi dan menghasilkan perolehan minyak yang tinggi sehingga dapat
4
diaplikasikan untuk EOR (Enhanced Oil Recovery). Guerbet alkoksi karboksilat
telah terbukti berkinerja lebih baik daripada surfaktan komersial yang tersedia
sebelumnya.
Sintesis surfaktan anionik DEA (dietanolamina) diperoleh dengan
mereaksikan dietanolamina dan metil ester olein dari minyak sawit dengan
perbandingan 2:1 dan penambahan katalis NaOH sebanyak 1% pada suhu 1400C.
Proses ini menghasilkan surfaktan DEA (dietanolamina) dengan hasil perolehan
rendemen 95,24% (Meizar et al., 2017). Budiono dan Panggabean (2017)
mensintesis surfaktan anionik yaitu metil ester sulfonat menggunakan proses
refluks pada suhu 55-600C dengan katalis H2SO4, menghasilkan metil ester
sulfonat dengan kemampuan menurunkan tegangan permukaan air 46,7728%
(38,7494 dyne/cm).
Pembuatan surfaktan anionik menggunakan reaksi karboksilasi masih
belum banyak diteliti. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan penelitian untuk
sintesis surfaktan anionik melalui reaksi karboksilasi dengan mereaksikan lauril
propoksilat dan sodium kloroasetat (1:1 dan 2:1) menggunakan katalis NaOH
(10% dan 20% mol). Hasil sintesis diidentifikasi menggunakan 13
C NMR
(Nuclear Magnetic Resonance), GPC (Gel Permeation Chromatography), dan
FTIR (Fourier Transform InfraRed), serta dikarakterisasi menggunakan PSA
(Particel Size Analyzer) dan Zeta Potential untuk kestabilan emulsi, IFT
(Interfacial Tension) untuk tegangan permukaan serta HLB (Hidrophile and
Lypophile Balance).
5
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana formulasi perbandingan antara lauril propoksilat dengan sodium
kloroasetat dan konsentrasi katalis NaOH yang optimal dalam pembuatan
surfaktan?
2. Bagaimana karakteristik surfaktan yang dihasilkan dan yang lebih cenderung
hidrofilik?
1.3 Hipotesis
1. Formulasi perbandingan antara lauril propoksilat dengan sodium kloroasetat
adalah 1:1 dan konsentrasi katalis NaOH yang optimal 10%.
2. Surfaktan anionik yang dihasilkan mempunyai karakteristik cenderung
hidrofilik.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menentukan formulasi perbandingan antara lauril propoksilat dengan sodium
kloroasetat dan konsentasi katalis NaOH yang optimal dalam sintesis lauril
propoksi karboksilat.
2. Menghasilkan surfaktan yang bersifat cenderung hidrofilik.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah bahwa surfaktan
anionik dapat disintesis melalui reaksi karboksilasi, dengan hasil produk yang
dapat menjadi pengembangan bagi pembuatan surfaktan di Indonesia.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Surfaktan
Surfaktan adalah molekul amfifilik yang memiliki gugus hidrofilik (larut
dalam air) dan hidrofobik (yang tidak larut dalam air) seperti pada (Gambar1).
Kepala dapat berupa kelompok anionik, kationik, zwitterion, atau nonionik
sedangkan ekornya adalah rantai hidrokarbon nonpolar (Azarmi dan Ashjaran,
2015).
Gambar 1. Molekul surfaktan
Penambahan surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya
tegangan permukaan larutan suatu cairan dan antarmuka fasa baik cair-gas
maupun cair-cair (Swasono et al., 2012). Setelah mencapai konsentrasi tertentu,
tegangan permukaan akan konstan walaupun konsentrasi surfaktan ditingkatkan.
Bila surfaktan ditambah melebihi konsentrasi ini maka surfaktan mengagregasi
membentuk misel. Konsentrasi terbentuknya misel ini disebut critical micelle
consentration (CMC). Tegangan permukaan akan menurun hingga CMC tercapai.
Setelah CMC tercapai, tegangan permukaan akan konstan yang menunjukkan
7
bahwa antarmuka menjadi jenuh dan terbentuk misel yang berada dalam
keseimbangan dinamis dengan monomernya (Supriningsih, 2010).
2.1.1 Jenis-jenis Surfaktan
Berdasarkan gugus hidrofiliknya, surfaktan dikelompokan sebagai berikut:
1. Surfaktan anionik
Gugus hidrofilik surfaktan anionik sebagian besar terdiri dari sulfonat,
sulfat, atau kelompok karboksil (Tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi surfaktan anionik
Tipe Rumus
Linear alkylbenzene
sulfonat (LAS)
R
NaO3S
R= C10 – C13
Alkilsulfonat NaO3S - R
R= C11 – C17
α-olefin sulkfonat NaO3S - (CH2)mHC=CH(CH2)nCH3
m + n = 9 – 15
Alkilsulfat NaO3S-O-R
R= C11 – C17
Fatty alcohol eter sulfat NaO3S-O-(CH2CH2O)n-R
R= C12 – C14;
n = 1-4
ester metil asam lemak α-
sulfo NaO
3S
COOCH3
R
R= C14 – C16
Sulfo suksinat ester
NaOOC COOR
NaO3S
R= C12
Sabun NaOOC-R
R= C10 – C16
Sumber: Thiele (2005)
Surfaktan anionik adalah surfaktan yang mempunyai muatan negatif di
bagian hidrofilik, contoh surfaktan anionik diantaranya adalah garam asam
sulfonat (olefin sulfonat, sulfosuksinat), atau turunan asam sulfat atau asam sulfat
ester atau alkohol sulfat (natrium lauril sulfat/SLS, amonium lauril sulfat/ALS,
8
natrium lauril sulfat/SLES), asam karboksilat (laktilat), asam amino terasilasi dan
peptida dan turunan asam fosfat atau asam fosfat ester. Surfaktan ini dapat
digunakan dalam bidang farmasi sebagai pembersih kulit sebelum operasi, dan
dapat juga digunakan untuk produk pencuci seperti shampo (Sekhon, 2013).
2. Surfaktan Kationik
Kationik terbentuk dalam reaksi dimana alkil halida bereaksi dengan
amina lemak primer, sekunder, atau tersier, disini bagian yang tidak larut dalam
air dari molekul memiliki muatan positif dan bagian molekul yang larut dalam air
adalah muatan negatif, sehingga memberinya nama agen aktif permukaan
kationik. Surfaktan ini ditemukan sebagai agen antistatik pada pelembut kain dan
formula bilas rambut (Azarmi dan Ashjaran, 2015).
Surfaktan ini tidak memiliki daya bersih yang baik dan bukan agen
pembusa yang baik, tetapi surfaktan kationik dipakai dalam formulasi shampoo
sebagai kondisioner. Muatan positif yang ada disurfaktan kationik ini akan
berikatan dengan rambut yang bermuatan negatif, sehingga rambut akan terasa
lebih lembut dan mudah disisir (Azarmi dan Ashjaran, 2015).
3. Surfaktan Nonionik
Surfaktan nonionik adalah surfaktan yang memiliki kepala hidrofilik
tidak terionisasi, khususnya dalam air. Surfaktan nonionik adalah golongan
surfaktan yang paling kompatibel dengan semua golongan surfaktan. Bagian
hidrofilik mengandung polioksietilen, atau polioksipropilen. Bagian hidrofobik
mengandung asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh atau alkohol lemak
penghilang lemak dan minyak yang sangat baik dan pengemulsi. Surfaktan non
9
ionik dapat digolongkan sebagai poliol ester, polioksi etilena, poloxamers
(Muthuprasanna et al., 2009).
4. Surfaktan Amfoter
Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai
muatan positif dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino,
betain, fosfobetain (Sukmawati, 2017).
Surfaktan amfoter adalah surfaktan yang mengandung gugus anionik dan
kationik, dimana muatannya bergantung kepada pH. Pada pH tinggi dapat
menunjukkan sifat anionik dan pada pH rendah dapat menunjukkan sifat kationik
(Swasono et al., 2012).
Tabel 2. Gugus hidrofilik surfaktan komersial
Surfaktan Gugus hidrofilik Struktur kimia
Surfaktan Anionik Sulfat OSO2O-
Sulfonat SO2O-
Fosfat etoksilat [OC2H4x]2P(O)O-
Karboksilat COO-
Surfaktan Kationik Ammonium primer NH3
Ammonium sekunder --NH2
Ammonium tersier --NH--
Ammonium kuartener N
Surfaktan nonionik Polioksietilen (OCH2CH2)xOH
Monogliserida OCH2CHOHCH2OH
Digliserida OCH2CH(O-)CH2OH
Monoetanolamida NHCH2CH2OH
Surfaktan amfoterik Betain N+(CH2)xCOO
-
Sulfobetain N+(CH2)xCH2SO3
-
Amin oksid N+O
-
Sumber: Reningtyas dan Mahreni (2015)
Tabel 2 menampilkan jenis gugus hidrofilik surfaktan anionik, kationik,
nonionik dan amfoter, sedangkan gugus hidrofobik terdiri dari rantai alkil lurus,
bercabang atau rantai alkil tertutup atau gabungan dari rantai alkil lurus dan
bercabang.
10
Gugus hidrofobik dapat berupa:
1. Gugus alkil (R= CnH2n+1) baik alkil rantai lurus, bercabang, siklik maupun
alifatik atau campuran siklik-alifatik.
2. Rantai perfluorohidrokarbon sebagai contoh: Perfluoropolyeter (PFPE) dengan
struktur kimia (-CF2-O-CF2-).
3. Siloksan, sebagai contoh aminopropiltrimetoksisilan (APTS).
4. Polioksipropilen, polioksibutilen. 4,4-dimethoksibutana-2-ol, 3-metilpentana-
1,2,5-triol, heksana-1,3,5-triol, trimetil ortopropionat (C6H14O3) (Reningtyas
dan Mahreni, 2015).
Kelompok terbesar dalam jumlah pemakaian surfaktan adalah surfaktan
anionik. Surfaktan jenis ini banyak diaplikasikan dalam hal pencucian dan
pembersihan. Persentase penggunaan surfaktan dapat dilihat pada grafik berikut:
Gambar 2. Grafik persentase penggunaan surfaktan (Hauthal, 2007).
57%
2% 1%
40% Anionik
Kationik
Amphoterik
Nonionik
11
2.1.2 Kegunaan Surfaktan
Aplikasi surfaktan saat ini sudah banyak digunakan dalam dunia industri, antara
lain adalah:
1. Enhanced of Oil Recovery (EOR)
Peningkatan teknologi EOR mendapatkan banyak perhatian dibanyak
negara karena kurangnya sumber daya minyak dan kesulitan dalam menemukan
sumber minyak baru. Penerapan teknologi EOR memberi peluang tambahan untuk
mengeluarkan lebih banyak minyak dari reservoir, kemungkinan sekitar 20%.
Salah satu teknik injeksi kimia menggunakan surfaktan (Sampora et al., 2017).
Pada dasarnya, surfaktan untuk EOR terbentuk dari minyak nabati dan
turunan minyak sawit. Surfaktan polimer perwakilan alternatif yang sangat
menarik untuk teknik ini, karena mereka dapat memberikan peningkatan
viskositas air secara bersamaan dan penurunan tegangan antar muka, keduanya
bermanfaat untuk efisiensi proses (Raffa et al., 2016).
2. Flotasi
Metode flotasi cukup selektif untuk memisahkan mineral-mineral dari
pengotornya dengan menggunakan kolektor atau surfaktan. Minyak kolektor yang
merupakan anionik, kationik, atau surfaktan non-ionik. Partikel-partikel mineral
yang cenderung hidrofobik dengan adanya surfaktan atau kolektor akan
melepaskan diri dari molekul-molekul air dan ikut bersama-sama dengan
gelembung naik kepermukaan cairan flotasi sebagai buih atau busa, selanjutnya
buih yang mengandung konsentrat mineral tersebut dipisahkan untuk pengolahan
lebih lanjut. Flotasi jenis ini juga digunakan untuk prosedur pemurnian untuk
endapan dan kotoran (Kumar et al., 2013).
12
3. Surfaktan dan detergensi
Detergen yang dijual bebas di pasaran biasanya mengandung 20–40%
surfaktan, sedangkan sisanya adalah bahan kimia yang biasanya disebut dengan
aditif atau detergen builders yang berfungsi untuk meningkatkan daya bersih
detergen. Surfaktan yang biasa digunakan sebagai bahan pembuatan detergen
adalah Alkilbenzen sulfonat. Alkilbenzen sulfonat merupakan surfaktan anionik
yang banyak digunakan sebagai detergen. Ada dua jenis alkilbenzen sulfonat yaitu
branched- alkilbenzen sulfonat (ABS) dan linear- alkilbenzen sulfonat (LAS).
Kedua surfaktan ini memiliki perbedaan sifat akibat jenis rantai alkil yang
dimilikinya. Surfaktan ABS dengan rantai alkil bercabang, bersifat tidak
terbiodegradasi, sedangkan surfaktan LAS, rantai alkil lurus yang dimilikinya
menyebabkan surfaktan dapat didegradasi oleh mikroorganisme dan mengurangi
masalah lingkungan. Pada proses detergensi, LAS berfungsi untuk menurunkan
tegangan permukaan dari air dengan membentuk misel yang digunakan untuk
menurunkan konsentrasi minyak dan noda kotoran pada pakaian (Suseno, 2010).
4. Pengemulsi
Pengemulsi (emulsifier) adalah bahan yang mempunyai karakteristik
khusus yang mampu menyatukan minyak dan air sekaligus, karena pada hampir
seluruh produk yang terdiri dari minyak dan air akan cenderung memisah.
Emulsifier merupakan surfaktan yang mampu menurunkan tegangan antar muka
dua fasa, molekul hidrofilik dan hidrofobik. Produk yang menggunakan campuran
air dan minyak selalu menggunakan emulsifier dalam formulasinya, seperti
margarin, mayonaise, obat-obatan dan kosmetik. Dalam industri kosmetik, hampir
13
seluruh produknya yang memiliki manfaat untuk melembabkan kulit
menggunakan emulsifier (Yunilawati et al., 2011).
Emulsifier yang digunakan dalam kosmetika saat ini masih banyak yang
berasal dari minyak bumi, yang terkadang dapat menimbulkan alergi bagi
penggunanya. Selain itu, emulsifier yang berasal dari minyak bumi suatu saat bisa
habis persediaannya karena petrokimia merupakan sumber daya alam yang tidak
terbarukan. Oleh karena itu, saat ini sedang banyak dikembangkan emulsifier
yang berasal dari minyak nabati, seperti minyak kelapa sawit, minyak kelapa,
minyak kedelai, minyak zaitun, minyak jagung, dan minyak kacang (Yunilawati
et al., 2011).
5. Penghambatan Korosi
Korosi adalah kerusakan akibat reaksi kimia antara logam atau paduan
logam dengan lingkungannya. Salah satu metode untuk meminimalkan korosi
adalah dengan menggunakan inhibitor korosi. Inhibitor korosi adalah suatu zat
kimia yang bila ditambahkan ke dalam lingkungan yang korosif, secara efektif
dapat menurunkan laju korosi. Inhibitor korosi digunakan secara luas dalam
berbagai penerapan dan banyak operasi pabrik bergantung pada keberhasilan
penerapannya. Adsorpsi dari molekul surfaktan ke permukaan logam dapat
menghambat proses korosi logam dan secara umum langsung terkait dengan
kemampuan agregat untuk membentuk misel (Yatiman, 2009).
6. Solubilisasi Obat
Surfaktan memainkan peran penting dalam farmasi kontemporer
bioteknologi, karena mereka banyak digunakan dalam berbagai dosis obat bentuk
untuk mengendalikan pembasahan, stabilitas, dan bioavailabilitas. Surfaktan
14
penting sehubungan dengan kemampuan mereka melarutkan obat-obatan
hidrofobik serta aplikasi untuk zat pembawa obat (Kumar et al., 2013).
2.2 Reaksi Alkoksilasi
Alkoksilasi adalah reaksi kimia yang melibatkan penambahan epoksida ke
senyawa lain. Reaksi alkoksilasi umumnya dilakukan dalam reaktor semibatch
dimana katalis dan substrat (alkil fenol, alkohol lemak atau asam) ditambahkan
epoksida (etilena atau propilena oksida). Strategi sintesis khusus ini disebabkan
oleh reaktivitas tinggi alkoksida dan juga panas tinggi yang terlibat dalam reaksi
alkoksilasi. Fatty alcohol tidak secara dominan ada di alam dan diperlukan
langkah reduksi dari ester lemak untuk mendapatkan alkohol lemak sebagai bahan
awal (Gambar 3) (Adilina et al., 2015).
Gambar 3. Reaksi etoksilasi (Laksmono et al., 2008)
Reaksi alkoksilasi biasanya dipromosikan oleh katalis alkali, seperti
NaOH atau KOH, dan sering dilakukan dalam tangki berpengaduk. Nitrogen
dimasukkan ke dalam reaktor sebelum etilen oksida untuk menghilangkan oksigen
dan untuk mencegah etilen oksida terdekomposisi, fase gas dalam reaktor harus
dibuat inert dengan jumlah nitrogen yang cukup (Serio et al., 2005).
2.3 Surfaktan Alkoksi Karboksilat
Surfaktan alkoksi karboksilat merupakan surfaktan anionik. Surfaktan
karboksilat adalah surfaktan khusus yang ditemukan dalam perlengkapan mandi
15
seperti sampo, pasta gigi dan pembersih tangan, dimana surfaktan ini berfungsi
sebagai penguat busa, aplikasi lainnya yaitu dalam industri tekstil (zat pembasah
untuk proses bleaching, dyeing), agen pendispersi, dan Encanced Oil-Recovery
(EOR). Jenis surfaktan karboksilat diantaranya adalah: sabun karboksilat; polieter
karboksilat turunan dari fatty alcohol; polieter karboksilat turunan dari alkilfenol;
polieter karboksilat turunan dari asam lemak monoetanolamida; dan asil
sarkosinat (Gambar 4) (Cross, 1998).
RCOO-Na
+
(a)
R (OCH2CH2)nOCH2COO-Na
+
(b)
R (OCH2 CH2)nOCH2COO- Na+
(c)
RCONHCH2CH2 (OCH2CH2)n OCH2COO- Na
+
(d)
RCON(CH3) CH2COO- Na
+
(e)
Gambar 4. Surfaktan karboksilat
Penelitian Lu et al. (2014) mensintesis surfaktan anionik Guerbet alkoksi
sulfat dengan menggunakan reaksi propoksilasi, etoksilasi dan karboksilasi
(Gambar 5). Guerbet alkoksi sulfat divariasikan hidrofobisitasnya dengan
mengubah jumlah gugus propilena oksida (PO) dan etilena oksida (EO). Dalam
beberapa kasus, propoksilasi dilakukan sebelum etoksilasi untuk meningkatkan
hidrofobisitas starter atau setelah etoksilasi untuk mengubah karakteristik berbusa
produk final.
16
CH3 OH
CH3
CH3
OH
Catalyst
Heat
-H2O
CH3
CH3
O
CH3
O
H
x
1) Base
2) propylene oxide (X= 7-65)
CH3
CH3
O
CH3
O
O
H
YX
Ethylene oxide (Y= 10-100)
NaOH, Heat, -H2O
Sodium monochloroacetate
CH3
CH3
O
CH3
O
O
O-
O
YX
2
Na+
Gambar 5. Sintesis Guerbet alkoksi sulfat (Lu et al., 2012)
2.4 Karakterisasi dan Identifikasi Surfaktan
Karakterisasi surfaktan bertujuan untuk mengetahui sifat fisik surfaktan.
Identifikasi menggunakan alat GPC, FTIR dan NMR.
2.4.1 Particle Size Analyzer (PSA)
Penganalisis ukuran partikel (PSA) dapat menganalisis partikel suatu
sampel bertujuan menentukan ukuran partikel dan distribusinya dari sampel yang
representatif. Distribusi ukuran partikel dapat diketahui melalui gambar yang
dihasilkan. Ukuran tersebut dinyatakan dalam jari-jari untuk partikel yang
berbentuk bola. Penentuan ukuran dan distribusi partikel menggunakan PSA dapat
dilakukan dengan:
1) Difraksi sinar laser untuk partikel dari ukuran submikron sampai dengan
milimeter,
17
2) Counter principle untuk mengukur dan menghitung partikel yang berukuran
mikron sampai dengan milimeter, dan
3) Penghamburan sinar untuk mengukur partikel yang berukuran mikron sampai
dengan nanometer (Etzler, 2004).
Particel Size Analyzer adalah alat yang mampu mengukur partikel
distribusi ukuran emulsi, suspensi dan bubuk kering. Zeta potensial bisa
ditentukan dengan menggunakan PSA (Mardliyati et al., 2012).
Hasil dari pengukuran PSA yaitu nilai PI dan Z-average. PI adalah standar
deviasi antara ukuran tetesan rata-rata yang menunjukkan homogenitas ukuran
tetesan dalam sampel. Nilai PI yang lebih kecil akan menyebabkan lebih banyak
distribusi ukuran partikel homogen (Juniatik et al., 2017). Semakin mendekati nol
berarti distribusi partikelnya semakin baik (Ulya et al., 2017). Nilai yang lebih
besar dari 0,7 mengindikasikan bahwa sampel yang dianalisa memiliki distribusi
ukuran yang sangat lebar dan kemungkinan metode yang digunakan bukan
metode yang cocok untuk menganalisa sampel tersebut (Septiyanti et al., 2016).
Notasi yang menunjukan ukuran partikel rata-rata dinyatakan dalam Z-
Average. Partikel yang dipelajari memungkinkan memiliki ukuran yang tidak
seragam, informasi yang didapatkan dari pengukuran adalah ukuran partikel rata-
rata dan distribusi ukuran partikel (Septiyanti et al., 2016)
2.4.2 Penentuan Tegangan Antarmuka Dengan IFT (Interfacial Tension)
Tegangan antarmuka merupakan gaya per satuan panjang yang harus
diberikan sejajar pada permukaan untuk mengimbangi tarikan ke dalam, dengan
satuan dyne/cm dalam sistem cgs atau energi yang diperlukan untuk memperbesar
permukaan atau antarmuka sebesar 1 cm2 dan dinyatakan dalam erg/cm
2.
18
Tegangan antarmuka dapat diukur menggunakan alat spinning drop tensiometer.
Prinsip alat ini adalah percepatan gravitasi bumi memberikan pengaruh kecil pada
bentuk droplet fluida yang tersuspensi dalam cairan, pada saat droplet dan cairan
berada dalam tabung putar pada arah longitudinal (Sari, 2017).
Gaya yang dihitung pada tegangan antarmuka adalah gaya yang terjadi
antara dua fasa, baik itu cair, padat, maupun gas. Interaksi antara dua fasa tersebut
yang disebut dengan tegangan antarmuka. Kemampuan menurunkan tegangan
antarmuka merupakan hal yang sangat penting dalam memberikan ciri terhadap
surfaktan. Kemampuannya menurunkan tegangan permukaan disebabkan karena
surfaktan memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik (Sari, 2017).
2.4.3 Kesetimbangan Hidrofobik-Lipofilik (HLB)
HLB menunjukkan skala keseimbangan gugus hidrofobik dan hidrofilik
dari suatu surfaktan. Penentuan HLB ini akan menentukan fungsi surfaktan.
Surfaktan yang mempunyai gugus hidrofobik yang lebih dominan mempunyai
skala yang rendah dan sebaliknya surfaktan yang didominasi oleh gugus hidrofilik
mempunyai skala yang tinggi (Reningtyas dan Mahreni, 2015).
Surfaktan dengan HLB lebih dari 9 adalah larut dalam air atau water
soluble digunakan untuk agensia pelarut (solubilizing agent). Surfaktan yang
digunakan sebagai detergen mempunyak HLB dengan skala 15-18 dan 13-15.
Surfaktan dengan skala HLB = 8-16 juga digunakan sebagai pengemulsi minyak
dalam air atau oil in water (O/W). Nilai HLB pada kisaran sampai dengan skala 6
diaplikasikan untuk anti busa. Surfaktan ini disebut oil solution surfactant. Untuk
lebih jelas, hubungan HLB dan kegunaan surfaktan dapat dilihat pada Gambar 6
(Reningtyas dan Mahreni, 2015).
19
Gambar 6. Skala HLB dan aplikasi surfaktan (Reningtyas dan Mahreni, 2015)
2.4.4 GPC (Gel Permeation Chromatography)
GPC sejauh ini merupakan pilihan yang paling umum dalam karakterisasi
polimer untuk mengetahui berat molekul (BM) dan polidispersitas (PDI). Prinsip
yang mendasari permeasi gel kromatografi adalah polimer dalam pelarut dipompa
melalui kolom. Molekul yang lebih besar tidak dapat memasuki sebagian besar
pori-pori karena itu melewati kolomnya relatif cepat. Molekul yang lebih kecil
dapat memasuki lebih banyak pori dan harus menempuh jarak yang lebih jauh,
menghasilkan bagian yang lebih lambat melewati kolom (Gambar 7)
(Dyamenahalli et al., 2015).
Gambar 7. Mekanisme pemisahan ukuran (Dyamenahalli et al., 2015)
20
Gambar 8. Skema dasar Gel Permeation Chromatography (GPC) (Waters, 2019)
Dalam merancang instrumentasi untuk GPC, berbagai persyaratan harus
dipenuhi. Injektor diperlukan untuk memasukkan larutan polimer ke dalam sistem
yang mengalir. Pompa mengirimkan sampel lalu pelarut melalui kolom dan
sistem. Detektor memantau dan merekam pemisahan (Gambar 8) (Waters, 2009).
2.4.5 FTIR (Fourier Transform Infrared)
Metode pengukuran dengan spektroskopi IR berkembang dikenal dengan
FTIR (Fourier Transform Infrared) dengan adanya interferometer Michelson dan
penggunaan laser sebagai sumber radiasi serta komputer untuk memproses data,
maka dengan metode ini spektroskopi IR dapat menyerap radiasi hingga frekuensi
5000-400 cm-1
. Perbedaan antara spektrofotometer FTIR dengan spektrofotometer
IR dispersi adalah pada pengembangan sistem optiknya sebelum berkas sinar
inframerah melewati sampel (Hermanto, 2009).
Sistem optik dari spektrofotometer FTIR dilengkapi dengan cincin yang
bergerak tegak lurus dan cermin yang diam. Sistem optik ini bekerja atas dasar
fourier transform interferometer. Ada tiga bagian utama dari interferometer yaitu
cermin diam (fixed mirror), cermin bergerak (vibrated miror) dan cermin penjatah
sinar (chopper mirror). Sinar dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama dilewatkan
pada cermin diam (F) kemudian kembali, sedangkan bagian yang lain dilewatkan
21
pada cermin bergerak (M) dan kembali. Kedua berkas digabung kembali di (O)
kemudian dipancarkan ke sampel dan kemudian dibaca oleh detektor (Gambar 9)
(Hermanto, 2009).
Gambar 9. Sistem optik spektrofotometer FTIR (Hermanto, 2009)
Spektroskopi FTIR merupakan salah satu metode pengukuran untuk
mendeteksi struktur molekul senyawa melalui identifikasi gugus fungsi penyusun
senyawa. Pengujian dengan spektroskopi FTIR tidak memerlukan persiapan
sampel yang rumit dan bisa digunakan dalam berbagai fase baik padat, cair mapun
gas. FTIR juga bisa melakukan kalibrasi sendiri atau self calibrating (Sulistyani,
2017).
2.4.6 13
C NMR (Nuclear Magnetic Resonance)
NMR pada dasarnya adalah suatu bentuk spektroskopi serapan, sama
halnya dengan spektrofotometer IR atau UV-Vis. Pada keadaan yang tepat, suatu
sampel yang diukur dengan NMR menyerap gelombang electromagnet di daerah
frekuensi radio sesuai ciri sampelnya, serapannya merupakan fungsi inti-inti
tertentu dalam molekul (Silverstein et al., 1986).
Spektroskopi NMR telah menjadi alat yang paling efektif untuk
menentukan struktur semua jenis senyawa. 13
C NMR atau disebut sebagai karbon
NMR) adalah penerapan spektroskopi resonansi magnetik nuklir (NMR) yang
22
memungkinkan identifikasi atom karbon. 13
C NMR hanya mendeteksi isotop 13
C
karbon, yang kelimpahan alami hanya 1,1%, karena isotop karbon utama 12
C tidak
terdeteksi oleh NMR (Hermanto, 2009).
Skala horisontal ditunjukkan sebagai (ppm). dinamakan pergeseran kimia/
chemical shift dan dihitung dalam bagian per juta/ parts per million – ppm. Setiap
karbon atau kelompok karbon yang berbeda secara kimia akan memberikan
keunikan resonansi dalam spektrum NMR. Berikut ini adalah nilai pergeseran
kimia khas pada 13
C NMR:
Tabel 3. Pergeseran kimia khas dalam spektrum 13
C NMR
Sruktur Pergeseran Kimia (ppm)
Karbonil (keton) 205-220
Karbonil (aldehid) 190-220
Karbonil (ester, asam) 170-185
Aromatik 125-150
Alkena 115-140
Sumber: Hermanto (2009)
23
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada Desember 2018- Agustus 2019 di Laboratorium
Makromolekul, LIPI Kimia Serpong, Tangerang Selatan dan LEMIGAS.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat- alat gelas, penangas,
alat refluks, evaporator, termometer, pH indikator, neraca analitik, buret, magnetic
stirrer, Fourier Transform Infrared (FTIR) (Shimadzu IR Prestige-21), Gel
Permeation Chromatography (GPC) (Shimadzu), Particle Size Analyzer (PSA)
dan Zeta Potential (HORIBA Nano Particle Size Analyzer SZ-100), Nuclear
Magnetic Resonance (NMR) (JEOL JNM ECA 125 MHz) dan Spinning Drop
Tensiometer TX 500.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan aquades, sodium kloroasetat (Merck), natrium
hidroksida (Merck), aseton (Merck), propilen oksida (Merck), natrium sulfat
(Merck), lauril alkohol, asam asetat.glasial (Merck), asam klorida (Merck), etanol
(Merck), indikator PP, n-heksana (Merck), kalium hidroksida (Merck), 2-propanol
(Merck), gas nitrogen dan metanol (Merck).
24
3.3 Skema Kerja
3.3.1 Sintesis Lauril Propoksilat
Gambar 10. Sintesis lauril propoksilat
Lapisan atas
(fraksi heksan)
Lapisan bawah
(fraksi air)
Diidentifikasi menggunakan
GPC, FTIR
Ditentukan bilangan asam,
dan ester
Dimasukkan ke dalam reaktor,
flushing dengan N2 sebanyak 5x
Propilen Oksida 58,1g (1
mol) + KOH 0,93 g (5%)
Dipanaskan dengan suhu 130-
1500C selama 5 jam
Didiamkan hingga
dingin
Dinetralkan pHnya menggunakan
asam asetat glasial
Ekstraksi menggunakan n-Heksan
dan air (1:1)
Evaporasi
Lauril Propoksilat
Lauril alkohol 18,633 g
(0,1 mol)
Diidentifikasi menggunakan
FTIR
25
3.3.2 Sintesis Lauril Propoksi Karboksilat
Lauril propoksilat + Sodium kloroasetat
(1:1 dan 2:1)
DI tambahkan katalis NaOH (10% dan
20% mol) dalam 100 mL aseton
Direfluks selama 5 jam dengan suhu 60 0C
Lapisan bawah
(air)
Surfaktan
anionik
Karakterisasi
dan identifikasi
Dikarakterisasi:
1. PSA
2. HLB
3. IFT dengan Spinning Drop
Diidentifikasi dengan GPC, FTIR dan
NMR, bilangan asam dan ester
Lapisan atas (organik)
Evaporasi
Ditambahkan Na2SO4 dan disaring
Gambar 11. Sintesis lauril propoksi karboksilat
26
3.4.1 Prosedur Kerja
Sintesis surfaktan anionik diawali dengan pembuatan lauril propoksilat
dari lauril alkohol dan propilen oksida, selanjutnya lauril propoksilat digunakan
sebagai bahan dalam sintesis lauril propoksi karboksilat.
3.4.1 Sintesis Lauril Propoksilat
Lauril alkohol sebanyak 18,633 g (0,1 mol) direaksikan dengan KOH
sebanyak 0,93 g (5%) dalam 5 mL metanol dan propilen oksida sebanyak 58,08 g
(1 mol), dimasukkan ke dalam reaktor lalu diflushing menggunakan N2.
Temperatur diatur pada 130-150 0C selama 5 jam, campuran reaksi dinetralkan
dengan asam asetat glasial, kemudian diekstraksi menggunakan n-heksana dan air
(1:1) untuk menghilangkan pengotor, fraksi n-heksana kemudian dievaporasi.
Produk yang dihasilkan kemudian diidentifikasi gugus fungsinya menggunakan
FTIR, ditentukan BMnya menggunakan GPC dan ditentukan bilangan asam, serta
bilangan ester (Laksmono et al., 2008).
3.4.2 Sintesis Surfaktan Lauril Propoksi Karboksilat
Sodium kloroasetat sebanyak 3,84 g (1 mol) yang sudah dilarutkan dalam
akuades sebanyak 10 mL direaksikan dengan lauril propoksilat sebanyak 12,87 g
(1 mol) dan ditambahkan katalis NaOH (10% dan 20% mol). Larutan yang telah
dibuat dimasukkan ke dalam labu leher tiga dan dicampurkan dengan aseton 100
mL sebagai pelarut. Proses refluks yang disertai dengan pengadukan dilakukan
pada suhu 60 oC selama 5 jam. Setelah selesai, didiamkan agar campuran menjadi
dingin. Campuran yang terbentuk diukur pHnya lalu dipisahkan berdasarkan
perbedaan fase. Fase organik diambil lalu dievaporasi sampai pelarutnya hilang.
Setelah itu ditambahkan Na2SO4 untuk menghilangkan air, kemudian dilakukan
27
penyaringan. Produk yang dihasilkan dilakukan karakterisasi dan identifikasi. Hal
yang sama dilakukan juga untuk perbandingan lauril propoksilat dan sodium
kloroasetat 2:1 (Awad, 2012).
3.4.3 Identifikasi Hasil Sintesis
3.4.3.1 Identifikasi dengan spektrofotometer FTIR
Sampel dianalisis oleh Fourier Transform Infrared (FTIR) (Shimadzu
IRPrestidge-21/FTIR-8000). Sampel diteteskan pada pelat sel KBr, dan kemudian
ditempatkan pada sample holder, lalu dianalisis pada bilangan gelombang 500-
4000 cm-1
(Sampora et al., 2017).
3.4.3.2 Identifikasi dengan spektrofotometer NMR
Pengukuran 13
C-Nuclear Magnetic Resonance (NMR) (JEOL, 125 MHz)
dilakukan untuk identifikasi struktur. Sejumlah sampel produk dilarutkan dalam
CDCl3 dan ditempatkan pada sample holder kemudian diukur 13
C-NMR
(Laksmono et al., 2008).
3.4.3.3 Bilangan Asam
Sampel ditimbang sebanyak 1 g, ditambahkan 25 mL etanol 95%, lalu
dipanaskan dengan suhu 60 0C sampai larut. Selanjutnya ditambahkan indikator
PP sebanyak 3 tetes, dititrasi dengan KOH-etanol 0,1N sampai terbentuknya
warna merah muda seulas (ASTM D974-14e2). Bilangan asam ditentukan dengan
persamaan berikut:
Bilangan asam =(Vol.Sampel−Vol.Blanko) x N KOH x 56.1
Massa sampel……………(1)
3.4.3.4 Bilangan Ester
Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam labu Erlenmeyer 100 mL. Sampel
dilarutkan dalam 5 mL etanol 95% dan ditambahkan 3 tetes indikator fenolftalein,
28
dinetralkan dengan KOH-etanol 0,1 N sampai warna merah muda. Selanjutnya,
ditambahkan dengan teliti 25 mL KOH-etanol 0,5 N dan sedikit batu didih,
dididihkan selama 1,5 jam dengan refluks, ditambahkan 3 tetes indikator
fenolftalein dan dititrasi dengan H2SO4/HCl sampai jenih (ASTM D1617-07).
Bilangan ester ditentukan dengan persamaan berikut:
Bilangan ester =(Vol.Banko−Vol.Sampel) x N HCl x 56.1
Massa sampel ……….(2)
3.4.4 Karakterisasi Surfaktan Lauril Propoksi Karboksilat
Karakterisasi ini untuk mengetahui sifat dari surfaktan yang telah
disintesis.
3.4.4.1 Penentuan Bilangan HLB
Metode yang digunakan dalam penentuan HLB ini adalah dengan metode
Griffin, dimana diketahui terlebih dahulu berat molekul dari surfaktan yang akan
diketahui nilai HLBnya. Surfaktan hasil sintesis dilarutkan dalam isopropil
alkohol sebelum diinjeksikan. Berat molekul sampel diukur dengan GPC
menggunakan air, detektor indeks refraktif dan kolom ultrahidrogel. Sampel
dilarutkan pada 40℃ dalam THF dan diinjeksikan ke dalam sistem. Volume
larutan sampel yang diinjeksi adalah 20 µL dengan waktu operasi 20 menit untuk
setiap sampel (Alsabagh et al., 2016). Harga HLB dapat ditentukan dengan
persamaan berikut:
HLB =20 x (Mw Total−Mw Lauril Alkohol)
Mw Total…..(3)
3.4.4.2 Pengukuran Particle Size Analyzer (PSA)
Ukuran partikel surfaktan dianalisis dengan menggunakan HORIBA Nano
Particle Size Analyzer SZ-100. Sampel sebanyak 0,01 g yang telah diketahui nilai
29
refraksi indeksnya dipreparasi dengan menggunakan pendispersi 2-propanol dan
air yang telah dihilangkan kandungan ionnya, lalu disonikasi (Irawan, 2017).
Menurut standar ISO 13320 (ref.9) dan USP<429> (ref.10), sampel diukur
sebanyak tiga kali. Pengukuran dinilai baik apabila memiliki nilai COV
(Coeficient of variation) lebih kecil dari 3%. Persamaan untuk menghitung COV
adalah:
𝐶𝑂𝑉 =𝑆𝑇𝐷𝐸𝑉
𝑀𝑒𝑎𝑛𝑥 100% … … … … (4)
3.4.4.3 Penentuan Tegangan Permukaan dengan IFT (Spinning Drop)
Tegangan antar fase minyak-air dihitung antara 2µL minyak wonocolo
dengan surfaktan lauril propoksi karboksilat pada konsentrasi yang berbeda yaitu
0,1; 0,3; 0,5 dan 1%, diukur mengunakan spinning drop tensiometer. Larutan
surfaktan diaduk dengan kecepatan 6000 rpm pada suhu 60oC. Equilibrium
tegangan antar fasa dari larutan surfaktan diperoleh dengan persamaan sebagai
berikut:
σ = ω2R3 ∆ρ
4 ……………(5)
ω menunjukan kecepatan sudut pada sistem, R menunjukkan jari-jari dari
tetesan minyak yang jatuh, σ merupakan tegangan antar fasa dua cairan yang
kondisinya sudah ditetapkan, ∆ρ merupakan perbedaan kerapatan antara minyak
mentah dan larutan surfaktan (Saxene, 2017).
30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sintesis Lauril Propoksilat
Sintesis lauril propoksilat menggunakan lauril alkohol dan propilen oksida
(PO) (1:10) diperoleh melalui reaksi alkoksilasi. Perbandingan 1:10 untuk lauril
alkohol dan propilen oksida bertujuan untuk mendapatkan senyawa propoksilat
yang memiliki sifat hidrofilik karena dengan penambahan 10 mol propilen oksida
menyebabkan memanjangnya gugus hidrofilik yang bersifat polar pada bagian
kepala (Adilina et al.,2015).
Lauril alkohol bereaksi dengan propilen oksida pada gugus hidroksinya
menghasilkan ikatan eter dan gugus hidroksi baru (Gambar 12). Reaksi
berlangsung menggunakan katalis KOH (basa kuat) dengan konsentrasi 5%, hal
ini agar proses polimerisasi menggunakan propilen oksida lebih banyak terjadi
(Laksmono et al., 2008). Produk hasil sintesis harus dilakukan netralisasi, untuk
menghilangkan sisa katalis yang digunakan dalam proses ini yaitu KOH (Adilina
et al., 2015).
Proses alkoksilasi juga telah dilakukan oleh Yunilawati dan Komalasari
(2010) dibuat dari derivat minyak kelapa sawit yaitu stearil alkohol etoksilat yang
dibuat dari stearil alkohol dan direaksikan dengan etilen oksida dengan
perbandingan 1:1. Proses etoksilasi menggunakan katalis KOH 0,5% dan
menghasilkan stearil etoksilat, dengan nilai HLB sebesar 8. Produk yang
dihasilkan juga mempunyai kestabilan yang baik.
31
Gambar 12. Mekanisme reaksi sintesis lauril propoksilat
4.1.1 Identifikasi Berat Molekul Lauril Propoksilat Menggunakan GPC
Gel Permeation Chromatography (GPC) digunakan untuk mengetahui
berat molekul. Berat molekul lauril propoksilat dari 2 kali sintesis yang diperoleh
sebesar 429 g/mol dan 474 g/mol (Lampiran 8). Sintesis LP dilakukan sebanyak 2
kali karena tidak cukup untuk sintesis selanjutnya. Jika dihitung jumlah propilen
oksida (PO) yang masuk ke dalam struktur lauril propoksilat adalah sebanyak 4,18
dan 4,95. PO yang masuk tidak seluruhnya, hal ini karena lauril alkohol sudah
jenuh, sehingga tidak dapat bereaksi dengan PO (Laksmono et al., 2008). Menurut
Adilina et al. (2015) propilen oksida yang tidak bereaksi akan tetap dalam bentuk
gas setelah reaksi dikeluarkan dari reaktor.
Propoksilasi menghasilkan surfaktan polimer yang memperpanjang bagian
hidrofilik surfaktan. Surfaktan polimer memiliki fungsi yang sama dengan
32
surfaktan normal, perbedaan utamanya adalah massa molekul lebih besar
(Laksmono et al., 2008).
4.1.2 Identifikasi Gugus Fungsi Lauril Propoksilat Menggunakan FTIR
Keberhasilan sintesis lauril propoksilat dapat dilihat dari perubahan gugus
fungsional bahan awal (lauril alkohol) dan produk (lauril propoksilat). Hasil FTIR
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil analisis FTIR Sampel Bilangan Gelombang (cm
-1) Gugus Fungsi
Lauril Alkohol 3327,21
2864,29-2926,01
OH
C-H alifatik
Lauril Propoksilat 3464,15
2860,43-2968,45
1107,14
OH
C-H alifatik
C-O-C
Gambar 13. Spektrum FTIR lauril alkohol
Lauril alkohol (Gambar 13) mempunyai serapan pada bilangan gelombang
3327,21 cm-1
yang merupakan serapan untuk gugus OH stretching (Hermanto,
2009). Serapan lainnya yaitu pada bilangan gelombang 2864,29-2926,01 cm-1
OH
CH alifatik
33
yang merupakan serapan untuk gugus C-H alifatik. Ikatan C-H menyerap sinar
pada bilangan gelombang sekitar 2853-2962 cm-1
(Day dan Underwood, 1986).
Gambar 14. Spektrum FTIR lauril propoksilat 1:10
Hasil FTIR lauril propoksilat (Gambar 14) terdapat bilangan gelombang
3464,15 cm-1
merupakan serapan yang menunjukkan gugus OH, dan serapan
2860,43-2968,45 cm-1
untuk C-H alifatik, dan 1107,14 cm-1
yang merupakan
serapan gugus C-O-C, dimana serapan ini tidak muncul pada lauril alkohol
(Lambert et al., 1998).
Berdasarkan hasil analisis FTIR, sintesis lauril propoksilat dikatakan
berhasil karena munculnya gugus C-O-C pada panjang gelombang 1107,14 cm-1
.
Hal ini sejalan dengan penelitian Awad (2012) yang telah berhasil melakukan
sintesis surfaktan nonionik karena munculnya gugus C-O-C pada bilangan
gelombang 1115 cm-1
yang menandakan adanya gugus eter.
CH alifatik
OH
C-O-C
34
4.2 Sintesis Lauril Propoksi Karboksilat
Lauril propoksi karboksilat disintesis menggunakan lauril propoksilat dan
sodium kloroasetat melalui reaksi karboksilasi menggunakan katalis NaOH.
Sodium kloroasetat digunakan untuk menambah gugus hidrofilik (polar). Sintesis
lauril propoksilat menggunakan berbagai variasi dari lauril propoksilat yang
dibuat 1 mol dan 2 mol, serta variasi konsentrasi dari katalis NaOH 10 dan 20%,
sedangkan sodium kloroasetat dibuat tetap yaitu 1 mol. Reaksi yang terjadi
adalah:
Gambar 15. Reaksi sintesis surfaktan anionik
Adanya penambahan gugus karboksilat dan propilen oksida dalam struktur
molekul lauril propoksi karboksilat membuat sifat hidrofobik molekul menurun
dan menjadi lebih hidrofilik (Awad, 2012). Surfaktan karboksilat juga merupakan
surfaktan anionik dimana surfaktan kelas ini menjadi alternatif untuk EOR
(Adkins et al., 2012).
4.2.1 Identifikasi Berat Molekul Lauril Propoksi Karboksilat Menggunakan
GPC
Pada reaksi karboksilasi, lauril propoksilat divariasikan yaitu 1 mol dan 2
mol dan sodium kloroasetat dibuat tetap, tetapi berat molekul lauril propoksi
karboksilat tidak jauh berbeda, hal ini menunjukkan bahwa sodium kloroasetat
35
telah habis beraksi. Pada penelitian Awad (2012) sintesis amida eter karboksilat
telah berhasil dilakukan, dimana prosesnya menggunakan produk etoksilasi yang
direaksikan dengan sodium kloroasetat dengan perbandingan 1:1.
Keberhasilan sintesis dapat dilihat dari perubahan berat molekul lauril
propoksilat yaitu 429 g/mol dan 474 g/mol setelah mengalami reaksi karboksilasi
menjadi 659-692 g/mol (Tabel 5).
Tabel 5. Hasil analisis GPC
No. LP Sodium kloroasetat NaOH (%) Berat molekul (g/mol)
1 1 1 10 659
2 2 1 10 659
3 1 1 20 692
4 2 1 20 689
Pembuatan LP dilakukan sebanyak 2 kali, karena tidak cukup untuk sintesis
selanjutnya. Berdasarkan hal inilah terjadi perbedaan berat molekul dari LPC.
Berat molekul dari LPC 1:1 20% merupakan berat molekul terbesar dari yang
lainnya yaitu 692 g/mol, bisa diketahui bahwa derajat polimerisasi yang paling
baik adalah LPC 1:1 20% .
4.2.2 Identifikasi Gugus Fungsi Lauril Propoksi Karboksilat Menggunakan
FTIR
Pengukuran FTIR terhadap lauril propoksi karboksilat dilakukan untuk
mengetahui apakah reaksi karboksilasi berhasil dilakukan. Hasil analisis spektrum
FTIR (Tabel 6) menunjukan bahwa lauril propoksi karboksilat mempunyai gugus
fungsi dengan puncak serapan melebar pada bilangan gelombang 3454,51-
3480,30 cm-1
yang menunjukkan adanya gugus –OH yang berikatan hidrogen
(Creswell, 1987). Berdasarkan serapan ini dapat diketahui bahwa surfaktan lauril
propoksi karboksilat hasil sintesis mengalami hidrolisis, hal ini terlihat dari gugus
OH yang muncul. Disamping itu, terdapat serapan dengan bilangan gelombang
36
pada 2864-2968 cm-1
, yang menunjukkan adanya vibrasi stretching asimateris
gugus fungsi –CH alifatik (Creswell,1987).
Tabel 6. Hasil analisis FTIR lauril propoksi karboksilat
Sampel Bilangan Gelombang cm-1
Gugus Fungsi
1:1 10% 3480,30
2884-2966,52
1708,93
1369.46
1105,21
514.99
OH
C-H alifatik
C=O
H-C=O
C-O-C
C-C=O
2:1 10% 3463,15
2864,29-2966,52
1708,93
1369.46
1105,21
518.85
OH
C-H alifatik
C=O
H-C=O
C-O-C
C-C=O
1:1 20% 3454,52
2864,29-2968,45
1707,00
1369.46
1105,21
514.99
OH
C-H alifatik
C=O
H-C=O
C-O-C
C-C=O
2:1 20% 3460,30
2864,29-2966,52
1708,93
1369.46
1105,21
520.78
OH
C-H alifatik
C=O
H-C=O
C-O-C
C-C=O
37
Gambar 16. Spektrum FTIR LPC
Serapan juga terjadi pada bilangan gelombang 1708,93 dan 1707,00 cm-1
yang menunjukkan adanya gugus C=O. Gugus karbonil pada struktur lauril
propoksi karboksilat adalah C=O aldehida, hal ini diperkuat oleh adanya ciri khas
aldehida yang muncul pada bilangan gelombang 1369,46 cm-1
merupakan H-C=O
bending aldehida alifatik, dan 514,99; 518,85; serta 520,78 cm-1
yang merupakan
serapan C-C=O (Day dan Underwood, 1986). Serapan pada bilangan gelombang
1105,21 cm-1
menunjukkan adanya gugus C-O-C (Hermanto, 2009).
Hasil analisis FTIR lauril propoksi karboksilat tidak jauh berbeda jika
dibandingkan dengan penelitian Awad (2012) dimana gugus karbonil dari
surfaktan karboksilat muncul pada bilangan gelombang 1721 cm-1
, sedangkan
untuk lauril propoksi karboksilat, gugus karbonil C=O muncul pada bilangan
gelombang 1708,93 dan 1707,00 cm-1
.
4.2.3 Identifikasi Struktur Kimia Lauril Propoksi Karboksilat Menggunakan 13
C NMR
Spektroskopi 13
C NMR memberikan informasi berkaitan dengan jenis-
jenis karbon yang terdapat dalam molekul suatu senyawa. Spektrum karbon ini
LPC 1:1 10%
LPC 1:1 20%
LPC 2:1 20%
LPC 2:1 10%
38
memiliki kelebihan, salah satunya adalah kesederhanaan penampakan spektrum
karbon sehingga lebih mudah dianalisis dibandingkan dengan spektrum proton
(Syah, 2016).
Gambar 17. Spektrum 13
C NMR LPC 1:1 10%
Spektrum LPC 1:1 10% memberikan sinyal pada δ 211,073 ppm
menunjukkan adanya C=O. Selanjutnya, untuk geseran kimia δ 71.738 ppm
menunjukkan adanya gugus metilen oksi (CH2-O) dan δ 77.402 merupakan gugus
metin oksi (CH-O). Nilai geseran kimia δ 17.266 merupakan gugus metil yang
terikat pada metin oksi (Silverstein et al., 2005).
Gugus karbonil yang muncul pada geseran kimia δ 211,073 ppm
merupakan C=O aldehida, hal ini tidak sesuai dengan struktur dari lauril propoksi
karboksilat dimana gugus C=O seharusnya adalah C=O garam karboksilat
dikarenakan lauril propoksi karboksilat yang telah terhidrolisis dan tereduksi
sehingga gugus C=O garam karboksilat berubah menjadi C=O aldehida.
39
4.3 Bilangan Asam dan Bilangan Ester dari Lauril Propoksilat dan Lauril
Propoksi Karboksilat
Analisis bilangan asam dan ester dilakukan untuk mengkarakterisasi hasil
sintesis atau mengetahui perkembangan reaksi karboksilasi pada lauril
propoksilat, dan didapat hasilnya sebagai berikut:
Tabel 7. Hasil bilangan asam dan ester
No Sampel Bilangan Asam Bilangan Ester
1 LP 6.18 1.33
2 LPC 1:1 10% 0.47 14.53
3 LPC 2:1 10% 0.23 20.01
4 LPC 1:1 20% 0.47 8.28
5 LPC 2:1 20% 0.47 5.84
Bilangan asam lauril propoksilat (Tabel 7) yang dihasilkan lebih besar
daripada sampel lauril propoksi karboksilat yaitu 6,18. Hal ini dikarenakan lauril
propoksilat mempunyai gugus hidroksil yang memberikan bilangan asam cukup
tinggi dibandingkan dengan lauril propoksi karboksilat yang tidak mempunyai
gugus hidroksil karena sudah melalui reaksi karboksilasi menggunakan sodium
kloroasetat membentuk surfaktan anionik. Bilangan asam dari lauril propoksi
karboksilat adalah 0,23-0,47. Reaksi dianggap telah berlangsung jika bilangan
asam mengalami penurunan (Sampora et al., 2017).
Jika dilihat dari hasil analisis bilangan ester. bilangan ester dari lauril
propoksilat lebih kecil dari pada lauril propoksi karboksilat yaitu 1,33. Hal ini
dikarenakan lauril propoksi karboksilat mempunyai gugus ester dibandingkan
dengan lauril propoksilat. Bilangan ester dari lauril propoksi karboksilat adalah
5,84-20,01. Reaksi dianggap telah berlangsung jika bilangan ester mengalami
kenaikan (Sampora et al., 2017).
40
4.4 Karakterisasi Surfaktan Lauril Propoksi Karboksilat
Karakterisasi surfaktan hasil sintesis menggunakan PSA, penentuan HLB,
dan IFT. Karakterisasi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sifat surfaktan
hasil sintesis.
4.4.1 Kestabilan Emulsi Menggunakan PSA (Particle Size Analyzer)
PSA (Particle Size Analyzer) digunakan untuk mengetahui ukuran partikel
dan distribusi molekulnya, metode yang digunakan adalah metode DLS (Dynamic
Light Scattering). DLS adalah teknik yang digunakan untuk ukuran partikel
sampel, biasanya dalam kisaran sub-mikron. Teknik ini mengukur fluktuasi
tergantung waktu dalam intensitas cahaya yang tersebar dari suspensi partikel
yang mengalami gerakan Brown secara acak (Malvern, 2016). Hasil dari
pengukuran PSA didapatkan nilai IP (Indeks Polidispersitas), Z-Average, dan
COV (Koefisien Variasi).
4.4.1.1 Indeks Polidispersitas
Indeks polidispersitas adalah ukuran dari distribusi massa molekul dalam
sampel tertentu. Indeks polidispersitas sampel dalam larutan terjadi dalam kisaran
0,05 hingga 0,7. Sampel dengan kisaran 0,05 merupakan jenis distribusi
monodispersi. Indeks polidispersitas lebih besar dari 0,7 menunjukkan bahwa
sampel yang dianalisis mengandung distribusi ukuran yang sangat luas. Sampel
dengan nilai indeks polidispersitas 0,1 hingga 0,4 diklasifikasikan sebagai jenis
distribusi polidispersi sedang, sedangkan di atas 0,4 diklasifikasikan sebagai
polidispersi luas (Septiyanti et al., 2016).
41
Tabel 8. Nilai indeks polidispersitas
No. Sampel Indeks polidispersitas Rerata
1 LPC 1:1 10% 0,353
0,355
0,388
0,36
2
LPC 2:1 10%
0,135
0,085
0,128
0,48
3 LPC 1:1 20%
0,458
0,432
0,539
0,11
4 LPC 2:1 20%
0,085
0,054
0,049
0,06
Berdasarkan Tabel 8, indeks polidispersitas rerata surfaktan LPC berturut-
turut adalah LPC 1:1 10% (0,36); LPC 2:1 10% (0,48); LPC 1:1 20% (0,11); dan
LPC 2:1 20% (0,06). LPC 2:1 20% dengan nilai IP 0,06 merupakan nilai IP
terbaik dari pengukuran ini, karena yang paling mendekati nol, dan termasuk jenis
distribusi monodispersi. Nilai IP LPC 1:1 20% adalah 0,11 dan LPC 1:1 10%
dengan nilai IP 0,36 termasuk jenis distribusi polidispersi sedang (moderately
polydisperse). Selanjutnya, nilai IP LPC 2:1 10% yaitu 0,48 termasuk jenis
distribusi polidispersi luas (broad polydisperse). Nilai IP semua sampel LPC
termasuk baik karena tidak melebihi kisaran yang telah ditentukan sebelumnya
yaitu 0,7.
4.4.1.2 Z-Average (Diameter Rata-Rata Partikel) dan COV (Koefisien
Variasi)
Hasil PSA juga menunjukkan ukuran partikel rata-rata. Penentuan Z-
average berguna karena partikel yang dipelajari memungkinkan memiliki ukuran
yang tidak seragam, serta penentuan ukuran partikel merupakan faktor yang
penting dalam proses pembuatan nanoemulsi (Septiyanti et al., 2016).
42
Emulsi dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok: mikroemulsi (10-100
nm), nanoemulsi (100-1000 nm), dan makroemulsi (0,5-100 mm). Nanoemulsi
juga dapat dikategorikan menjadi dua kelompok berdasarkan ukuran partikelnya,
yaitu translusen dengan rentang 50-200 nm dan milky dengan rentang sampai
dengan di atas 500 nm (Maali dan Mosavian, 2013).
Berdasarkan Tabel 8 pengukuran LPC 1:1 10% yang dihasilkan memiliki
ukuran partikel yang lebih kecil dibanding dengan yang lainnya yaitu 160.47, hal
ini dikarenakan konsentrasi sampel bisa mempengaruhi ukuran partikel.
Konsentrasi yang tinggi pada sampel juga memungkinan terjadinya aglomerasi,
dimana partikel dalam nanoemulsi bergerak secara acak, kemudian bertemu
dengan partikel lainnya kemudian menempel satu sama lain membentuk partikel
yang lebih besar, konsentrasi sampel yang cukup merupakan faktor yang penting
dalam pengukuran PSA agar didapat sinyal yang cukup dan mendapatkan data
yang berkualitas (Septiyanti et al., 2016).
Nilai Z-average yang berkisar dari 20-200 nm termasuk tipe nanoemulsi
translusen, hal ini jika dibandingkan dengan nilai Z-average LPC bisa diketahui
bahwa LPC termasuk sistem nanoemulsi translusen, dimana emulsi dengan
ukuran nano diharapkan memiliki kestabilan fisik dalam jangka waktu yang lama
(Yukuyama et al., 2016).
Tabel 9. Rata-rata ukuran partikel
No. Average Hydrodynamic diameter Z (nm)
LPC 1:1 10% LPC 2:1 10% LPC 1:1 20% LPC 2:1 20%
1 154.8 212.9 170.6 196.9
2 158.9 205.2 177 202.4
3 167.7 196.9 188.2 181.9
STDEV 6.60 8.00 8.91 10.61
Mean (nm) 160.47 205 178.6 193.73
COV (%) 4,11 3,90 4,98 5,48
43
Perhitungan COV digunakan dan didorong sebagai perhitungan untuk
mengungkapkan hasil pengukuran reproduksibilitas (Lampiran 9). Koefisien
variasi (COV, atau (std dev / mean) * 100) untuk pengukuran sampel harus
kurang dari 3% (Horiba, 2014). Dari hasil penelitian pada Tabel 9 nilai COV yang
didapat lebih dari 3%, hal ini dapat diketahui bahwa dimana nilainya tidak
memenuhi standar. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa surfaktan
LPC tidak stabil sehingga nilai COV-nya melebihi 3%.
4.4.2 Penentuan Bilangan HLB (Hydrophobic Lipophilic Balance)
HLB (Hydrophobic Lipophilic Balance) sangat penting untuk dijadikan
parameter kerja surfaktan yang baik. Surfaktan yang mempunyai nilai HLB
rendah larut dalam minyak dan meningkatkan emulsi air dalam minyak (W/O),
dan sebaliknya surfaktan yang mempunyai nilai HLB tinggi larut dalam air dan
meningkatkan emulsi minyak dalam air (O/W). Nilai HLB berkisar 1 hingga 20
(Holmberg et al., 2003).
HLB ditentukan dengan metode Griffin yang sudah dimodifikasi, dimana
diidentifikasi terlebih dahulu berat molekul sampel menggunakan GPC.
Penentuan HLB juga bisa menggunakan metode titrasi, tetapi dalam penelitian ini
tidak digunakan, hal ini dikarenakan metode Griffin dengan titrasi menggunakan
bahan dari asam lemak dalam prosesnya untuk bilangan asam, sedangkan dari
penelitian ini menggunakan fatty alcohol sehingga tidak digunakan metode Griffin
tersebut (Gadhave, 2014).
Penentuan jumlah bagian hidrofilik (propilen oksida) dalam molekul yang
dimasukkan ke dalam struktur dianalisis dan dihitung dengan metode pengukuran
44
GPC untuk mengetahui berat molekul dari senyawa tersebut seperti yang dapat
dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Nilai HLB pada surfaktan LPC
No. Sampel BM
(g/mol)
HLB
1 LP 429 11,31
2 LPC 1:1 10% 659 16,46
3 LPC 2:1 10% 659 16,46
4 LPC 1:1 20% 692 16,63
5 LPC 2:1 20% 689 16,61
Dari Tabel 10 didapatkan nilai HLB dari lauril propoksilat dengan lauril
propoksi karboksilat meningkat, hal ini dikarenakan penambahan sodium
kloroasetat. Semakin meningkatnya nilai HLB, semakin bersifat hidrofilik, dan
sebaliknya (Gadhave, 2014). Menurut Adilina et al. (2015) nilai HLB semakin
tinggi seiring dengan peningkatan berat molekul. Keberadaan gugus -COONa
dapat meningkatkan nilai HLB, karena adanya penambahan gugus hidrofilik
(Awad, 2012).
Nilai HLB untuk LP adalah 11,31 menunjukkan bahwa LP digunakan
sebagai pengemulsi minyak dalam air atau oil in water (O/W), serta nilai HLB
untuk LPC rata-rata adalah 16,54 menunjukkan LPC sebagai pengemulsi minyak
dalam air atau oil in water (O/W). Nilai HLB dari 8-18 merupakan pengemulsi oil
in water (O/W) (Swadesi et al., 2015).
4.4.3 Penentuan Tegangan Antarmuka Menggunakan IFT (Interfacial
tension)
Metode penentuan HLB digunakan untuk mempertimbangkan jenis
surfaktan dan untuk memahami mekanisme kerja dari surfaktan, sedangkan IFT
juga digunakan untuk menambah informasi kinerja formulasi surfaktan yaitu
45
dalam menurunkan tegangan antarmuka (Iglauer et al., 2010; Swadesi et al.,
2015).
Hasil analisis IFT yang dihasilkan oleh surfaktan lauril propoksi
karboksilat pada temperatur 60oC dengan menggunakan minyak wonocolo adalah
sebagai berikut:
Tabel 11. Hasil analisis IFT
Sampel Konsentrasi (%) IFT (dyne/cm)
LPC 1:1 10% 0,1
0,3
0,5
1
81,18549
Tidak terukur
Tidak terukur
Tidak terukur
LPC 2:1 10% 0,1
0,3
0,5
1
Tidak terukur
Tidak terukur
Tidak terukur
Tidak terukur
LPC 1:1 20% 0,1
0,3
0,5
1
Tidak terukur
Tidak terukur
Tidak terukur
Tidak terukur
LPC 2:1 20% 0,1
0,3
0,5
1
Tidak terukur
Tidak terukur
Tidak terukur
Tidak terukur
Konsentrasi surfaktan yang digunakan untuk analisis IFT adalah 0,1; 0,3;
0,5; dan 1% yang diujikan menggunakan minyak Wonocolo serta air dengan
salinitas 1800 ppm. Berdasarkan Tabel 11 menunjukan bahwa tidak terukurnya
nilai IFT ini diindikasikan karena surfaktan LPC tidak sesuai dengan minyak
wonocolo dimana minyak ini adalah tipe minyak jenis ringan yang didominasi
oleh n-alkana rantai pendek. Minyak ini ditambang di daerah Wonocolo, Jawa
Timur (Yogafanny et al., 2019). Pada LPC 1:1 10% dengan konsentrasi 0,1%
menghasilkan nilai IFT 81,18549 dyne/cm, nilai IFT ini juga masih besar, karena
46
menurut Raffa et al. (2016) nilai yang biasanya digunakan adalah 10-3
dyne/cm
untuk mendukung penerapan teknik EOR, untuk keberhasilan pengukuran
diperlukan pengujian ke seluruh jenis minyak.
Salah satu metode EOR yang digunakan yaitu injeksi kimia dengan
menggunakan surfaktan. Injeksi surfaktan merupakan salah satu cara untuk
mengurangi sisa minyak yang masih tertinggal di dalam reservoir dengan cara
menginjeksikan suatu zat aktif permukaan ke dalam reservoir sehingga tegangan
antarmuka minyak-air dapat diturunkan. Dengan turunnya tegangan antarmuka
maka tekanan kapiler pada daerah penyempitan pori-pori batuan reservoir dapat
dikurangi sehingga minyak yang terperangkap dalam pori-pori batuan dapat
didesak dan diproduksi (Rivai et al., 2011).
Lauril propoksi karboksilat adalah surfaktan jenis anionik, dimana
surfaktan anionik memiliki muatan negatif dan beberapa sifat seperti stabil,
penurunan IFT atau tegangan antarmuka, dan adsorpsi rendah terhadap batuan
dalam reservoir minyak bumi. Oleh karena itu, surfaktan anionik dapat dianggap
sebagai senyawa kimia yang efektif untuk teknik EOR (Sampora et al., 2017).
Dari nilai IFT, bisa diketahui nilai CMC (Critical Micelle Concentration)
yaitu dengan grafik hubungan konsentrasi surfaktan dan IFT. Ketika penambahan
surfaktan tidak merubah IFT atau perubahan IFT sangat kecil, maka konsentrasi
surfaktan sudah mencapai konsentrasi kritis atau CMC (Reningtyas dan Mahreni,
2015).
47
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan didisimpulkan sebagai
berikut:
1) Sintesis lauril propoksi karboksilat berdasarkan pengukuran GPC yang
terbaik adalah dengan BM= 692 g/mol dilihat dari derajat polimerisasinya
diperoleh melalui reaksi antara lauril propoksilat dan sodium kloroasetat
1:1, dengan katalis NaOH 20%.
2) Surfaktan lauril propoksi karboksilat yang mempunyai nilai HLB yang
paling besar (lebih hidrofilik) yaitu 1:1 20% dengan nilai HLB sebesar
16,63.
3) Nilai IP yang paling baik adalah lauril propoksi karboksilat 2:1 20%
dengan nilai 0,06. Semua lauril propoksi karboksilat merupakan sistem
nanoemulsi translusen dengan nilai Z-average 160.47-205 nm.
4) Hasil pengukuran IFT, semua surfaktan lauril propoksi karboksilat tidak
sesuai dengan minyak wonocolo.
5.2 Saran
Sebaiknya pada penelitian ini dilakukan optimalisasi dari formulasinya
agar dalam hasil karakterisasinya dan pengaplikasiannya juga semakin baik, dan
perlu dilakukan pengujian IFT diberbagai tipe minyak untuk mengetahui
kesesuaian surfaktan dengan minyak yang akan diujikan.
48
DAFTAR PUSTAKA
Adkins, S., G. W. P., Weerasooriya, U., and Pope, G. A., "Development of
Thermally and Chemically Stable Large-Hydrophobe Alkoxy Carboxylate
Surfactants", SPE 154256 presented at SPE IOR Symposium, Tulsa, OK, 14-
18 April, 2012.
Alsabagh, A. M., Hassan, M. E., Dosouky, S. D. M., Nasser, N. M., Elsharaky, E.
A., & Abdelhamid, M. M. (2016). Preparation of some thermal stable
polymers based on diesters of polyethylene and polypropylene oxides macro
monomers to use as surfactants at high temperature and pressure. Egyptian
Journal of Petroleum. 25(3), 355–366.
AOCS (American Oil Chemists Society). 1995. Official Method and
Recommended Practices of the American Oil Chemists Society. 4th Ed.. Am.
Oil Chemists Society. Champaign. USA.
Apriani. D., Darvina. Y. & Sumatera. W. 2013. Studi Tentang Nilai Viskositas
Madu Hutan dari Beberapa Daerah di Sumatera Barat untuk Mengetahui
Kualitas Madu. Pillar of Physics. 2, 91–98.
ASTM D1617-07. 2012. Standard Test Method for Ester Value of Solvents and
Thinners. West Conshohocken: ASTM International. www.astm.org doi:
10.1520/D1617-07R12.
ASTM D974-14e2. 2014. Standard Test Method for Acid and Base Number by
Color-Indicator Titration. West Conshohocken: ASTM International.
www.astm.org doi: 10.1520/D0974-14E02.
Awad. A. I. 2012. Preparation and evaluation of some amide ether carboxylate
surfactants. Egyptian Journal of Petroleum. 21(1), 11–17.
Azarmi. R. & Ashjaran. A. 2015. Review Article Type and application of some
common surfactants. Journal of Chemical and Pharmaceutical Research.
7(2), 632–640.
Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Ekspor-Impor. Tersedia pada:
http://www.bps.go.id. Jakarta. Diakses pada tanggal 30 Januari 2019.
Babu, K., Pal, N., Saxena, V.K., Mandal, A., 2016. Synthesis and
Characterization of a New Polymeric Surfactant for Chemical Enhanced Oil
Recovery. Korean Journal of Chemical Engineering. 33(2), 711–719.
Budiono. M. & Panggabean. A. S. 2017. Sintesis Surfaktan Metil Ester Sulfonat
Dari Metil Ester Minyak Biji Karet (Havea Brasiliensis) Melalui Reaksi
Sulfonasi Dengan Pengaruh Variasi Katalis. Samarinda (ID). Prosiding
Seminar Nasional Kimia 2017, 199–204.
49
Creswell. Clifford J. 1987. Analisa Spektrum Senyawa Organik. Terjemahan.
Bandung. ITB.
Cross. J. 1998. Anionic Surfactants: Analytical Chemistry. 2nd Ed.. Marcel
Dekker Inc.. New York.
Day, R.A. & Underwood, A.L. 1986. Quantitative Analysis. 5th Edition, Prentice
Hall Publication, Upper Saddle River, 701.
Dyamenahalli, K., Famili, A., & Shandas, R. 2015. Characterization of shape
memory polymers for biomedical applications. Shape Memory Polymers for
Biomedical Applications. 35-63.
Etzler. F. M. 2004. Particle Size Analysis: AAPS workshop repost. cosponsored
by the food and drug administration and the united states pharmacopeia. The
American Association of Pharmaceutical Scientists Journal. 6(3), 1-12.
Griffin. W. C. 1953. Classification of Surface-Active agents by HLB. Journal Of
The Society of Cosmetic Chemist. 311–326.
Hauthal. H. G. 2007. Detergent Polymers. Other Ingredients. Basics. Tests.
Assessment of Sustainability and Environmental Evaluation. SEPAWA
Congress: October 10 –12. 2007. Congress Centrum Wurzburg.
Hermanto, S. 2009. Mengenal Lebih Jauh Teknik Analisa Kromatografi &
Spektroskopi. Program Studi Kimia. Fakultas Sains dan Teknologi.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Hidayati. S. 2015. Pengaruh Suhu dan Lama Pemanasan Terhadap Metil Ester
Sulfonat dari Sawit. Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional
FKPT-TPI.
Horiba Instrument Catalog. 2014. A Guidebook to Particle Size Analysis. Horiba
Instrum. Cat. 1–32.
Iglauer, S., Wu, Y., Shuler, P., Tang, Y., & Iii, W. A. G. 2010. New surfactant
classes for enhanced oil recovery and their tertiary oil recovery potential.
Journal of Petroleum Science and Engineering. 71(1–2), 23–29.
Irawan. Y., Juliana. I., Adilina. I. & Alli. Y. F. 2017. Aqueous Stability Studies Of
Polyethylene Glycol And Oleic Acid-Based Anionic Surfactants For
Application In Enchanced Oil Recovery Through Dynamic Light Scattering.
International Journal of Technology. 8: 1414-1421.
Kaszuba, M., Corbett, J., Watson, F.M., Jones, A. 2010. High-concentration Zeta
Potential Measurements using Light-scattering Techniques. Phil. Trans. R.
Soc. A. 368, 4439-4451.
Kumar. S.. Bhattarai. A.. & Chatterjee. S. 2013. Applications of Surfactants in
modern Science and Technology. Modern Trends in Science and Technology
50
2013. 147 - 158
Laksmono. J. A.. Adilina. I. B.. & Agustian. E. 2008. Direct Ethoxylation of
Glycerol Mono Oleate From Palm Oil Derivate As A Novel Non-ionic
Polymeric Surfactant. Reaktor. 12(2), 102–106.
Lambert, Joseph F., Shurvell, H. F., Lightner, D. A., Cooks, R. Graham. 1998.
Organic Structural Spectroscopy, 1st ed.; Prentice‐Hall.
Lu. J., Britton. C., Solairaj. S., Liyanage. P. J., & Kim. D. H. 2012. Novel Large-
Hydrophobe Alkoxy Carboxylate Surfactants for Enhanced Oil Recovery.
Paper SPE 154261 presented at the Eighteenth SPE Improved Oil Recovery
Symposium, Tulsa, Oklahoma, April.
Maali. A dan M. T. H. Mosavian. 2012. Preparation and Application of
Nanoemulsions in the Last Decade (2000–2010). J. Dispers. Sci. Technol.
34, 92–105.
Malvern Application Note. 2016. Surfactant Micelle Characterization using
Dynamic Light Scattering. Journal of Physical Chemistry. 1–5.
Mardliyati. E., Muttaqien. S. El., Setyawati. D. R., Rosidah. I. & Sriningsih. 2012.
Preparasi Dan Aplikasi Nanopartikel Kitosan Sebagai Sistem Penghantaran
Insulin Secara Oral. 29 November 2012. Jakarta (ID). Prosiding InSINas.
25–30.
Meizar. D. V., Suryano. A. & Hambali. E. 2017. Sintesis Surfaktan Dietanolamida
(DEA) dari Metil Ester Olein Sawit Menggunakan Reaktor 25 Liter. J.
Teknologi Industri Pertanian, 27(3), 328–335.
Juniatik. M., Hidayati. K., Wulandari. P. F., Pangetuti. N., Munawaroh. N.,
Martien. R. & Utami. S. 2017. Formulation Of Nanoemulsion Mouthwash
Combination Of Lemongrass (Cymbopogon citratus ) and Kaffir Lime Oil
(Citrus hystrix) Against Candida albicans. Traditional Medition Journal.
22(1), 7–15..
Muthuprasanna. P., Surya. K., Sobhita. P., Satish. I. A., Chandiran. I. S.,
Arunachalam. G. & Shalini. S. 2009. Basics and Potential Applications of
Surfactants - A Review. Journal of PharmTech. 1(4), 1354–1365.
Nisya. F. N., Prijono. D. & Nurkania. A. 2017. Application of diethanolamide
surfactant derived from palm oil to improve the performance of biopesticide
from neem oil. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science.
65(1).
Raffa, P., Broekhuis, A. A. & Picchioni, F. 2016. Polymeric Surfactants for
Enhanced Oil Recovery: a Review. Journal of Petroleum Science and
Engineering.
Reningtyas, R & Marheni. 2015. Biosurfaktan. Eksergi. 12(2), 12–22.
51
Rivai, M., Irawadi, T. T., Suryani, A. & Setyaningsih, D. 2011. Perbaikan proses
produksi surfaktan metil ester sulfonat dan formulasinya untuk aplikasi. J.
Tek. Ind. Pert. 21(1), 41-49.
Sampora, Y., Juwono, A. L., Haryono, A. & Irawan, Y. 2017. Study of Synthesis
Polyethylene glycol oleate Sulfonated as an Anionic Surfactant for Enhanced
Oil Recovery (EOR). Journal of Physics: Conf. Series 909.
Sana. A & Zubaidi. 2017. Aplikasi Surfaktan Minyak Sawit Untuk Proses
Pemasakan-Pengelantangan dan Pencelupan Tekstil. Arena Tekstil. 32(01),
41–50.
Santi. S. S. 2009. Penurunan Konsentrasi Surfaktan Pada Limbah Detergen
Dengan Proses Photokatalitik Sinar UV. Jurnal Teknik Kimia. 4(1), 260–264.
Sari. M. S. 2017. Sintesis dan Karakterisasi Surfaktan Kationik Alkil Trietil
Amonium Klorida Dari Turunan Minyak Sawit [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Sekhon. B. S. 2013. Surfactants: Pharmaceutical and Medicinal Aspects. Journal
of Pharmaceutical Technology. Research and Management. 1, 11–36.
Septiyanti, M., Fahmiati, S. & Meliana, Y. 2016. Pengaruh Konsentrasi Sampel
Terhadap Akurasi Pengukuran Diameter Partikel Nanoemulsi (Effect of
Sample Concentration on Measurement of Nanoemulsion Particle Diameter).
Annual Meeting on Testing and Quality, LIPI. 121–127.
Serio. M. D., Tesser. R. & Santacesaria. E. 2005. Comparison of Different
Reactor Types Used in the Manufacture of Ethoxylated. Propoxylated
Products. Ind. Eng. Chem. Res., 9482–9489.
Shah. S. K., Bhattarai. A. & Chatterjee. S. K. 2011. Surfactants. its applications
and effects on environment. BIBECHANA. 7,61–64.
Sihotang. H. & Ginting. M. 2006. Pembuatan Monogliserida Melalui Gliserolisis
Minyak Inti Sawit Menggunakan Katalis. Jurnal Sains Kimia. 10(2), 51–57.
Silverstein, R.M., G.C. Bassler & T.C. Morril. 1986. Penyidikan Spektrometrik
Senyawa Organik, Edisi IV. Diterjemahkan Oleh: Drs. A.J Hartomo & Dra.
A. V. Purba, M.Sc. Erlangga, Jakarta.
Silverstein, R. M., Webster, F. X. & Kiemle, D. J., 2005. Spectrometric
Identification of Organic Compounds, 7th ed.; Wiley.
Suhendri, Nirwana & Irdoni. 2016. Sintesa Surfaktan Ramah Lingkungan Metil
Ester Sulfonat dan Palm Oil Methyl Ester Menggunakan Natrium
Metebisulfit dan Katalis Aluminium Oksida. Jom FTEKNIK. 3(1).
Sukmawati. 2017. Pengaruh Temperatur dan Rasio Bahan Baku pada Pembuatan
Surfaktan Dari Pelepah Sawit. Journal of Animal Science and Agronomy
52
Panca Budi. 2(02).
Sulistyani, M. & Huda. N. 2017. Optimasi Pengukuran Spektrum Vibrasi Sampel
Protein Menggunakan Spektrofotometer Fourier Transform Infrared ( FT-IR
). Indo. J. Chem. sci. 6(2), 174-180.
Sundari. R., Gaos. H. & Yanker. A. 2010. Aplikasi Metoda Flotasi Buih Untuk
Pencucian Batubara Peringkat Rendah. 26 Januari 2010. Yogyakarta (ID):
Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia.
Supriningsih. D. 2010. Pembuatan Metil Ester Sulfonat (MES) sebagai Surfaktan
untuk EOR. [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia.
Suseno. A. 2010. Detergensi Natrium Dodesilbenzen Sulfonat dengan
Penambahan Natrium Tripolifosfat dan Variasi pH. Jurnal Kimia Sains dan
Aplikasi. 13(1), 8–11.
Swadesi, B., Marhaendrajana, T. & Siregar, H. P. S. 2015. The Effect of
Surfactant Characteristics on IFT to Improve Oil Recovery in Tempino Light
Oil Field Indonesia, J. Eng. Technol. Sci. 47(3), 250–265.
Swasono. A.W.P., Sianturi. P.D.E. & Masyithah. Z. 2012. Sintesis Surfaktan Alkil
Poliglikosida dari Glukosa dan Dodekanol dengan Katalis Asam. Jurnal
Teknik Kimia USU. 1. 1, 5-9.
Syah, Yana Maolana. 2016. Dasar-Dasar Penentuan Struktur Molekul
Berdasarkan Data Spektrum 1H &
13C NMR. Laboratorium Spektroskopi
Massa dan NMR FMIPA: Institut Teknologi Bandung.
Thiele B. 2005. Analysis of Surfactants in Samples of the Aquatic Environment.
In: L.M.L. Nollet. editor. Chromatographic Analysis of the Environment.
Boca Raton: CRC Press. 1173–1198.
Ulya, M. R., Perdana, I. & Mulyono, P. 2017. Pengaruh Penambahan Surfaktan
Sodium Lignosulfonat (SLS) dalam Proses Pengendapan Nano Calcium
Silicate (NCS) dari Geothermal Brine. Jurnal Rekayasa Proses. 11(2), 54–
61.
Waters. 2019. Beginner's Guide to Size-Exclusion Chromatography. [diunduh 7
Nov 2019]. Tersedia pada: https://www.waters. com /nextgen/de /de.
html?locale=de_DE.
Yatiman. P. 2009. Application of Organic Inhibitors for Corrosion Control of
Metals and Alloys. Yogyakarta (ID): Prosiding Seminar Nasional Penelitian.
Pendidikan dan Penerapan MIPA.
Yogafanny, E., Utami, A., Kristiati, E. A. & Nandari, W. W. 2019. Rapid Lava
Sand Filtration for Decentralized Produced Water Treatment System in Old
Oil Well Wonocolo, J. of the Civil Engineering Forum. 5(2).
53
Yuan. C. L., Xu. Z. Z., Fan. M. X., Liu. H. Y., Xie. Y. H. & Zhu. T. 2014. Study
on characteristics and harm of surfactants. Journal of Chemical and
Pharmaceutical Research. 6(7), 2233–2237.
Yukuyama, M. N., Ghisleni, D. D. M. & Pinto, T. J. A. 2016. Nanoemulsion :
process selection and application in cosmetics – a review. International
Journal of Cosmetic Science. 38, 13–24.
Yunilawati. R. & Komalasari. Y. 2011. Penggunaan Emulsifier Stearil Alkohol
Etoksilat Derivat Minyak Kelapa Sawit Pada Produk Losion dan Krim.
Jurnal Kimia dan Kemasan. 33(1), 83-89.
53
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan berat lauril alkohol dan propilen oksida
1. Lauril alkohol
10 𝑚𝑜𝑙 𝑥 1
100= 0,1 𝑚𝑜𝑙
0,1 𝑚𝑜𝑙 𝑥 186,33𝑔
𝑚𝑜𝑙= 18,633 𝑔𝑟𝑎𝑚
2. Propilen oksida
100 𝑚𝑜𝑙 𝑥 1
100= 1 𝑚𝑜𝑙
1 𝑚𝑜𝑙 𝑥 58,08𝑔
𝑚𝑜𝑙= 58,08 𝑔𝑟𝑎𝑚
54
Lampiran 2. Perhitungan berat lauril propoksilat dan sodium kloroasetat
1. Lauril propoksilat
- 1 Eq
Mol LP
0,3 𝑀 =𝑛
0,1𝐿(𝑎𝑠𝑒𝑡𝑜𝑛 100 𝑚𝐿)= 0,03 𝑚𝑜𝑙
Massa (gram)
𝑔𝑟𝑎𝑚 = 0,03 𝑚𝑜𝑙 𝑥 429 𝑔/𝑚𝑜𝑙 = 12,87 𝑔
- 2 Eq
Mol LP
0,3 𝑀 =𝑛
0,1𝐿(𝑎𝑠𝑒𝑡𝑜𝑛 100 𝑚𝐿)𝑥2 = 0,06 𝑚𝑜𝑙
Massa (gram)
𝑔𝑟𝑎𝑚 = 0,06 𝑚𝑜𝑙 𝑥 429 𝑔/𝑚𝑜𝑙 = 25,74 𝑔
2. Sodium kloroasetat
Mol SMCA
0,03 𝑀𝑜𝑙 𝑥 1 = 0,03 𝑚𝑜𝑙
Massa (gram)
0,03 𝑚𝑜𝑙 𝑥 116,47𝑔
𝑚𝑜𝑙= 3,49
55
Lampiran 3. Perhitungan pembuatan katalis KOH dan NaOH
1. Perhitungan pembuatan KOH 5% (w/w lauril alkohol)
5 𝑚𝑜𝑙 𝑥 1
100= 0,05 𝑚𝑜𝑙
0,05 𝑚𝑜𝑙 𝑥 18,6333 𝑔
𝑚𝑜𝑙= 0,93165 𝑔 (𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 2 𝑚𝐿 𝑚𝑒𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙)
2. Perhitungan pembuatan NaOH 10% mol LP
0,033 𝑚𝑜𝑙 𝐿𝑃 ∶ 10 = 0,003
𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑁𝑎𝑂𝐻 = 0,003 𝑚𝑜𝑙 𝑥 40𝑔
𝑚𝑜𝑙= 0,12 𝑔 (𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 1 𝑚𝐿 𝑎𝑞𝑢𝑎𝑑𝑒𝑠)
Perhitungan viskositas pendispersi PSA (air : 2-propanol)
𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠
=(𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑝𝑖𝑘𝑛𝑜𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑏𝑒𝑟𝑖𝑠𝑖 𝑎𝑖𝑟 ∶ 2 − 𝑝𝑟𝑜𝑝𝑎𝑛𝑜𝑙) − (𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑝𝑖𝑘𝑛𝑜𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑘𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔)
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒
= 24,6 𝑔−15,27 𝑔
10 𝑚𝑙= 0,9321 𝑔/𝑚𝑙
𝑉𝑖𝑠𝑘𝑜𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 (𝜂) = 𝜂𝑎𝑖𝑟
𝑡𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 𝜌𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝑡𝑎𝑖𝑟 𝑥 𝜌𝑎𝑖𝑟
0,995994𝑔
𝑐𝑚3𝑥
2606 𝑠 𝑥 0,88658𝑔
𝑚𝑙
1125 𝑠 𝑥 1𝑔
𝑚𝑙
= 2,0454 𝑔/𝑐𝑚3
56
Lampiran 4. Data perhitungan bilangan asam
𝑨𝒗 =(𝐬𝐚𝐦𝐩𝐞𝐥 − 𝐛𝐥𝐚𝐧𝐤𝐨)𝒙 𝑵𝑲𝑶𝑯 𝒙 𝟓𝟔. 𝟏
𝐆𝐫𝐚𝐦 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐞𝐥
Standarisasi KOH 0,1N
No. Berat sampel (mg) V. titran
(ml)
Kons. Titran
(N)
1 100 18,8
0,085 2 100 18,6
Rata2 100 18,7
𝑁 𝐾𝑂𝐻 − 𝐸𝑡 =100
18,7𝑥 63 = 0,085
No. Sampel Berat
sampel (g)
V. titran
(ml)
Kons. Titran
(N)
Bilangan
asam
1 Lauryl
propoksilat
1,0018 1,6 0,08488
6,18
2 Lauryl
propoksilat
1,0013 1,4 0,08488
Rerata 1,00155 1,5 0,08488
𝐴𝑣 =(1,5 − 0,2)𝑥 0,08488 𝑥 56.1
1,00155
𝐴𝑣 = 6,18
No. Sampel Berat sampel
(gr)
V. titran
(ml)
Kons.
Titran (N)
Bilangan
asam
1 LPC 1:1 (10%) 1,0042 0,3 0,08488
0,47 2 LPC 1:1 (10%) 1,0025 0,3 0,08488
Rerata 1,00335 0,3 0,08488
𝐴𝑣 =(0,3 − 0,2)𝑥 0,08488 𝑥 56.1
1,00335
𝐴𝑣 = 0,47
No. Sampel Berat sampel
(gr)
V. titran
(ml)
Kons.
Titran (N)
Bilangan
asam
1 LPC 2:1 (10%) 1,0040 0,3 0,08488
0,23 2 LPC 2:1 (10%) 1,0088 0,2 0,08488
Rerata 1,0064 0,25 0,08488
57
𝐴𝑣 =(0,25 − 0,2)𝑥 0,08488 𝑥 56.1
1,0064
𝐴𝑣 = 0,23
No. Sampel Berat sampel
(gr)
V. titran
(ml)
Kons.
Titran (N)
Bilangan
asam
1 LPC 1:1 (20%) 1,0034 0,3 0,08488
0,47 2 LPC 1:1 (20%) 1,0079 0,3 0,08488
Rerata 1,00565 0,3 0,08488
𝐴𝑣 =(0,3 − 0,2)𝑥 0,08488 𝑥 56.1
1,00565
𝐴𝑣 = 0,47
No. Sampel Berat sampel
(gr)
V. titran
(ml)
Kons.
Titran (N)
Bilangan
asam
1 LPC 2:1 (20%) 1,0035 0,3 0,08488
0,47 2 LPC 2:1 (20%) 1,0021 0,3 0,08488
Rerata 1,0028 0,3 0,08488
𝐴𝑣 =(0,3 − 0,2)𝑥 0,08488 𝑥 56.1
1,0028
𝐴𝑣 = 0,47
58
Lampiran 5. Data perhitungan bilangan ester
No. Sampel Berat sampel
(gr)
V. titran
(ml)
Kons. Titran
(N)
Bilangan
ester
1 LP 2,0080 23 0,4757
1,328 2 LP 2,0097 22 0,4757
Rerata 2,00885 22,5 0,4757
𝐸𝑣 =(22,6 − 22,45)𝑥0,4757𝑥56,1
2,00885
𝐸𝑣 = 1,328
No. Sampel Berat sampel
(gr)
V. titran
(ml)
Kons. Titran
(N)
Bilangan
ester
1 LPC 1:1 (10%) 2,0003 20,7 0,4928
14,53 2 LPC 1:1 (10%) 2,0021 20,6 0,4928
Rerata 2,0012 20,65 0,4928
𝐸𝑣 =(21,7 − 20,65)𝑥 0,4928 𝑥 56.1
2,0012
𝐸𝑣 = 14,53
No. Sampel Berat sampel
(gr)
V. titran
(ml)
Kons. Titran
(N)
Bilangan
ester
1 LPC 2:1 (10%) 2,0076 20,3 0,4936
20,01 2 LPC 2:1 (10%) 2,0042 20,2 0,4936
2,0059 20,25 0,4936
𝐸𝑣 =(21,7 − 20,25)𝑥 0,4936 𝑥 56.1
2,0059
𝐸𝑣 = 20,01
No. Sampel Berat sampel
(gr)
V. titran
(ml)
Kons. Titran
(N)
Bilangan
ester
1 LPC 1:1 (20%) 2,0053 21,2 0,4936
8.28 2 LPC 1:1 (20%) 2,0065 21 0,4936
Rerata 2,0059 21,1 0,4936
𝐸𝑣 =(21,7 − 21,1)𝑥 0,4936 𝑥 56.1
2,0059
𝐸𝑣 = 8,28
59
No. Sampel Berat sampel
(gr)
V. titran
(ml)
Kons.
Titran (N)
Bilangan
ester
1 LPC 2:1 20% 2,0079 21,3 0,5223
5,84 2 LPC 2:1 20% 2,0052 21,3 0,5223
Rerata 2,00655 21,3 0,5223
𝐸𝑣 =(21,7 − 21,3)𝑥 0,5223𝑥 56.1
2,00655
𝐸𝑣 = 5,84
60
Lampiran 6. Data analisis FTIR
1. Lauril Alkohol
2. Lauril propoksilat
61
3. Lauril propoksi karboksilat 1:1 10%
4. Lauril propoksi karboksilat 2:1 10%
62
5. Lauril propoksi karboksilat 1:1 20%
6. Lauril propoksi karboksilat 2:1 20%
63
Lampiran 7. Data analisis 13
C NMR
LPC 1:1 10%
LPC 2:1 10%
64
LPC 1:1 20%
LPC 2:1 20%
65
Lampiran 8. Data analisis GPC
LP 1:10
Perhitungan jumlah PO yang masuk:
𝑃𝑂 =𝑀𝑤 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 − 𝑀𝑤 𝑙𝑎𝑢𝑟𝑖𝑙 𝑎𝑙𝑘𝑜ℎ𝑜𝑙
𝑀𝑤 𝑃𝑂
𝑃𝑂 =429
𝑔𝑚𝑜𝑙
−186,33𝑔
𝑚𝑜𝑙
58,08𝑔
𝑚𝑜𝑙
= 4,18
𝐻𝐿𝐵 = 20𝑥(429 − 186,33)
429= 11,31
66
Perhitungan jumlah PO yang masuk:
𝑃𝑂 =𝑀𝑤 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 − 𝑀𝑤 𝑙𝑎𝑢𝑟𝑖𝑙 𝑎𝑙𝑘𝑜ℎ𝑜𝑙
𝑀𝑤 𝑃𝑂
𝑃𝑂 =474
𝑔𝑚𝑜𝑙
−186,33𝑔
𝑚𝑜𝑙
58,08𝑔
𝑚𝑜𝑙
= 4,95
𝐻𝐿𝐵 = 20𝑥(474 − 186,33)
429= 13,41
67
LPC 1:1 10%
Perhitungan HLB
𝐻𝐿𝐵 = 20𝑥(659 − 186,33)
659= 16,46
68
LPC 2:1 10%
Perhitungan HLB
𝐻𝐿𝐵 = 20𝑥(659 − 186,33)
659= 16,46
69
LPC 1:1 20%
Perhitungan HLB
𝐻𝐿𝐵 = 20𝑥(692 − 186,33)
692= 16,63
70
LPC 2:1 20%
Perhitungan HLB
𝐻𝐿𝐵 = 20𝑥(689 − 186,33)
689= 16,61
71
Lampiran 9. Data analisis PSA (Particle Size Analyzer)
No. Average Hydrodynamic diameter Z (nm)
LPC 1:1 10% LPC 1:1 20% LPC 2:1 10% LPC 2:1 10%
1 154.8 170.6 212.9 196.9
2 158.9 177 205.2 202.4
3 167.7 188.2 196.9 181.9
STDEV 6.60 8.91 8.00 10.61
Mean
(nm) 160.47 178.6 205 193.73
COV (%) 4,11 4,98 3,90 5,48
𝐶𝑂𝑉 =STDEV
Mean𝑥100%
1. LPC 1:1 10%
𝐶𝑂𝑉 =6,60
160,47𝑥100%
𝐶𝑂𝑉 = 4,11%
2. LPC 2:1 10%
𝐶𝑂𝑉 =8,00
205𝑥100%
𝐶𝑂𝑉 = 3,90%
3. LPC 1:1 20%
No. Sampel Indeks polidispersitas Refraksi indeks
1
LPC 1:1 10%
0,353
0,355
0,388
1,42225
2
LPC 2:1 10%
0,135
0,085
0,128
1,43992
3
LPC 1:1 20%
0,458
0,432
0,539
1,43849
4
LPC 2:1 20%
0,085
0,054
0,049
1,44032
72
𝐶𝑂𝑉 =8,91
178,6𝑥100%
𝐶𝑂𝑉 = 4,98%
4. LPC 2:1 20%
𝐶𝑂𝑉 =10,61
193,73𝑥100%
𝐶𝑂𝑉 = 5,48%
73
Lampiran 10. Proses sintesis
Proses pembuatan lauril propoksilat Proses pembuatan lauril propoksi karboksilat
Pesmisahan hasil reaksi Evaporasi
Penambahan natrum sulfat Lauril propoksi karboksilat
74
Lampiran 11. Karakterisasi dan identifikasi lauril propoksilat dan lauril propoksi
karboksilat
Analisis bilangan asam dan ester
PSA FTIR
GPC
53
Recommended