View
247
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
i
SITUASI DAN KONDISI KEBIJAKAN
PERHAJIAN DI TEGAL
MASA KOLONIAL 1850-1889M
Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Magister Humaniora (M.Hum)
Oleh:
Slamet Riyadin
NIM: 21140221000002
MAGISTER SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2018 M
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan
karunia dan pertolongan kepada saya, sehingga penelitian ini dapat
diselesaikan sesuai yang diharapkan. Salawat dan Salam semoga
selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad S.AW. Beliau adalah
panutan dan inspirasi umat islam agar selalu belajar dimanapun
kondisi dan waktunya. Selanjutnya saya ucapkan banyak-banyak
terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan
memotifasi dalam penyelesaian penelitian ini:
1. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Prof.Dr.Syukron Kamil,M.Ag, Ketua Prodi
Magister Sejarah Kebudayaan Islam Dr,Halid,M.Ag,
Sekretaris Prodi Magister Fakultas Adab dan Humaniora
Dr.M.Adib Misbachul Islam,M.Hum. Terimakasih atas
dorongan, motifasi dan bantuannya dalam proses
penyelesaian tesis ini.
2. Prof.Dr.Budi Sulistiono,M.Hum sebagai pembimbing tesis
yang telah mengarahkan dan membimbing metodologi
dalam penulisan sejarah. Prof.Dr.M.Dien Madjid sebagai
penguji I yang telah memberikan masukan dan informasi
vi
serta data yang berkaitan dengan Haji zaman Kolonial dan
Dr.Abdul Wahid Hasyim,M.Ag sebagai penguji II yang
telah memberikan masukan dan arahan,sehingga
memudahkan untuk saya menyelesaikan tugas akhir ini.
3. Seluruh pegawai Kantor Urusan Agama Kecamatan Cariu
Kabupaten Bogor, sebagai teman dan sahabat yang telah
mendorong dan mendukung agar tugas akhir ini cepat
selesai tepat pada waktunya.
4. Teman-teman Mahasiswa Magister Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah, terutama angkatan
2014 yang telah membantu dan memotifasi kepada saya
agar dapat menyelesaikan tugas akhir kuliah.
5. Terakhir kepada istriku tercinta Umi Maerita Asparani,
putri dan putra saya Zakiya Rahmah, Dimas Azam
Hakim Alfirdaus dan Muhamad Rasyid Riyadin.mereka
yang selalu mendukung dan memotifasi serta menghibur
saya dalam penulisan tesis ini.
Jakarta, Agustus 2018
Slamet Riyadin
vii
Situasi dan Kondisi Kebijakan Perhajian di Tegal Masa
Kolonial 1850 – 1889
Slamet Riyadin
Abstrak
Haji merupakan salah satu bentuk ibadah yang dilakukan umat
Islam. Waktu keberangkatan haji bersifat khusus, dan tidak bisa
dikerjakan sewaktu-waktu. Ketika musim haji tiba, umat Muslim
dari seluruh dunia akan berbondong-bondong mengunjungi
Mekkah. Di abad 19, bagi para haji dari Nusantara, ritus tahunan
ini selain digunakan sebagai sarana beribadah, juga sebagai
kesempatan menuntut ilmu. Saat itu, Kota Suci umat Islam itu
masih menjadi kiblat pengetahuan Islam di dunia.
Pemerintah Hindia Belanda, sebagai otoritas kuasa di Nusantara,
memandang ritus berhaji dengan dua sudut pandang. Pertama, haji
dianggap sebagai kegiatan yang membahayakan, karena dapat
dijadikan sarana bertukar informasi para pejuang Islam yang datang
dari negeri yang diduduki bangsa Eropa. Tukar menukar informasi
sekaligus dapat membangkitkan pandangan Pan-Islamisme sebagai
basis perlawanan menghadapi pemerintah Eropa. Kedua, haji
merupakan lahan yang menguntungkan dilihat dari segi ekonomi.
Di Nusantara, pemerintah memutuskan untuk memfasilitasi ibadah
haji dengan beberapa kemudahan antara lain di bidang pendaftaran
dan pengangkutan.
Tulisan ini akan berfokus pada perhajian di Tegal seputar tahun
1850-1889. Di kurun waktu tersebut, terdapat sejumlah masyarakat
Tegal yang ikut berhaji. Mereka menemukan pengalaman-
pengalaman yang beragam ketika bersentuhan dengan pemerintah
Hindia Belanda. untuk mengetahui informasi mengenainya, penulis
menggunakan sumber berbahasa Belanda sebagai upaya untuk
memperoleh gambaran yang utuh dan original terkait perhajian di
Tegal. Potret sejarah haji di Tegal merupakan upaya penulis
membangkitkan penulisan sejarah lokal, yang sebelumnya masih
terserak di berbagai media.
viii
Kajian sejarah dalam telaah perhajian Tegal merupakan satu bentuk
penelitian sejarah sosial. Sumber-sumber yang berasal dari arsip,
buku atau jurnal terbitan abad 19, diambil informasinya, lantas
disesuaikan dengan pembahasan yang sifatnya kronologis.
Interpretasi dalam temuan itu, merupakan upaya yang juga
diandalkan untuk memperoleh suatu telaah yang bersifat
Indonesiasentris.
Kata kunci: Pemerintah Belanda, perhajian, pendaftaran dan
pengangkutan
ix
Transportation Policy of Hajj in Tegal, Colonial Period 1850 –
1889
Slamet Riyadin
Abstrak
Hajj is a form of worship performed by Moslems. The time of hajj
departure is special, and cannot be done at any time. When the Hajj
season arrives, Moslems from all over the world will flock to
Mecca. In the 19th century, for pilgrims from the archipelago, this
annual rite was used not only as a means of worship, but also as an
opportunity to study. At that time, the Holy City of Muslims was
still the center of Islamic knowledge in the world.
The Dutch East Indies government, as the power authority in the
archipelago, viewed the rite as pilgrimage with two points of view.
First, Hajj is considered a dangerous activity, because it can be used
as a means of exchanging information between Islamic fighters who
come from countries occupied by Europeans. Exchange of
information and at the same time can evoke Pan-Islamism's view as
a resistance base against the European government. Second, Hajj is
a land that is profitable from an economic perspective. In the
archipelago, the government decided to facilitate the pilgrimage
with several conveniences, among others in the field of registration
and transportation.
This paper will focus on the studies about Hajj at Tegal around
1850-1889. During this period, there were a number of Tegal people
who took part in the pilgrimage. They found diverse experiences
when in contact with the Dutch East Indies government. To find out
information about it, the author uses Dutch-language sources as an
effort to obtain a complete and original picture of the study in
Tegal. Portrait of Hajj history in Tegal is the author's attempt to
evoke local history writing, which was previously scattered in
various media.
Historical studies in Tegal studies are a form of social history
research. Sources originating from 19th century published archives,
x
books or journals were taken information, then adjusted to
chronological discussions. The interpretation of the findings is an
effort that is also relied upon to obtain an Indonesian-centric study.
Keywords: Dutch government, Hajj, registration and transportation
xi
1889-1850فرتة االستعمار Tegal يف احلج لنقلسياسة ا
سالمت ريادي
وقت مغادرة احلج .العبادة اليت يؤديها املسلمون نواعمن أ نوعاحلج عندما يصل موسم احلج ، .خاص ، وال ميكن القيام به يف أي وقت
فيالقرن التاسع عشر ، .املسلمون من مجيع أحناء العامل إىل مكة يتوجه، مت استخدام هذا الطقوسالسنوية ليس فقط نوسنرتابالنسبة للحجاج من
يف ذلك الوقت ، كانت .كوسيلة للعبادة ، ولكن أيضا كفرصة للدراسة .مدينة املسلمني املقدسة مركز املعرفة اإلسالمية يف العامل
ا سلطة النفوذ يف اعتربت حكومة جزر اهلند الشرقية اهلولندية ، باعتبارهأوالً، يعترب احلج نشاطًا .، الطقس مبثابة احلج مع وجهيت نظر نوسنرتا
خطريًا ، ألنه ميكن استخدامه كوسيلة لتبادل املعلوماتبني املقاتلني ميكن لتبادل .اإلسالميني الذين يأتون من بلدان حيتلها األوروبيونالتيار اإلسالمي املعلومات ويف الوقت نفسه أن يستحضر وجهة نظر
ثانيًا ، احلج أرض مرحبة من .كقاعدة مقاومة ضد احلكومة األوروبية، قررت احلكومة تسهيل احلج مع العديد نوسنرتايف .منظور اقتصادي
.من وسائل الراحة ، من بني أمور أخرى يف جمال التسجيل والنقل
xii
.1889-1850سرتكز هذه الورقة على الدراسات يف تيغال حوايل .الذين شاركوا يف احلجيني خالل هذه الفرتة ، كان هناك عدد من تيغال
وجدوا خربات متنوعة عند االتصال مع حكومة جزر اهلند الشرقية للحصول على معلومات حول هذا املوضوع ، يستخدم املؤلف .اهلولندية
مصادر باللغة اهلولندية كمحاولة للحصول على صورة كاملة وأصلية فيصورة لتاريخ احلج يف تيغال هو حماولة الكاتب استحضار كتابة للدراسة
.التاريخ احمللي ، واليت كانت مبعثرة يف السابق يف وسائل اإلعالم املختلفة
ي شكل من عبادة احلج الذي عقدوه تيغاليوهنالدراسات التارخيية يف املصادر اليت صدرت من أرشيفات .أشكال البحوث التاريخ االجتماعي
كتب أو جمالت منشورة يف القرن التاسع عشر أخذت معلومات ، مث أوتفسري النتائج هو اجلهد الذي يعتمد .عدلت إىل نقاشات كرونولوجية
.أيضا على احلصول على دراسة تركز على االندونيسية
والتسجيل والنقل عبادة احلجالكلمات املفتاحية: احلكومة اهلولندية ،
xiii
DAFTAR ISI
Halaman Judul…………………………………………………….i
Surat Pernyataan………………………………………………...ii
Persetujuan Pembimbing……………………………………….iii
Pengesahan Penguji………………………………………….….iv
Kata Pengantar………………………………………………….v
Abstrak Tesis…………………………………………………..vii
Daftar Isi……………………………………………………….xiii
BAB I PENDAHULUAN …………………………….….1
A. LatarBelakang Masalah …………………...1
B. Pembatasan dan perumusan Masalah……..7
C. Tujuan Penelitian ……………….. ……….8
D. Signifikasi Penelitian ……………………..8
E. Penjelasan Konsep dan Kerangka Teori ….8
F. Metode Penelitian..…….. .………..……..11
G. Analisa Data…………….. ….……….......13
H. Telaah Kepustakaan……….//……………14
I. SistematikaPenulisan……………………..16
xiv
BAB II DINAMIKA UMAT ISLAM TEGAL
A. Asal-usul Nama Tegal dan Letak Geografi.17
B. Awal masuknya Islam di Tegal …………29
C. Dinamika Umat Islam Tegal…….............49
BAB III KEBIJAKAN PEMERINTAH KOLONIAL
BELANDA
A. Kebijakan dalam Bidang Politi… …….57
B. Kebijakan Kolonial dalam Bidang Ekonomi,
Sosial, dan Budaya ……………………65
C. Kebijakan Kolonial dalam Bidang
Keagamaan ……………………………82
BAB IV HAJI TEGAL DI ZAMAN KOLONIAL 1850-
1889
A. Haji Bagi Orang Tegal………………..88
B. Peran Pemerintah Kolonjal dalam Haji..92
C. Perhajian Tegal sekitar 1850-1889…...95
D. Haji dan Perubahan Sosial….………..114
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………....118
B. Saran…………………………………119
DAFTAR PUSTAKA
xv
1
Situasi dan Kondisi Kebijakan Perhajian di Tegal
Masa Kolonial 1850-1889 M
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang Masalah
Sejarah masuk dan perkembangannya Islam di Asia Tenggara/
Nusantara,masih menjadi perdebatan dan menjadi kajian yang menarik.
Permasalahannya masih berkisar kapan masuknya Islam, siapa pembawahnya,
wilayah mana yang pertama kali didatangi, serta bagaimana proses
pengislamannya.1
Pada tahun 1258, kota Baghdad yang selama lima abad menjadi pusat
peradaban Islam dibawah kekuasaan Dinasti Abbasiah ditaklukan oleh bangsa
Tartar, Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan.2 Kekuasaan Islam Baghdad
digantikan oleh Dinasti Mongolia yang beragama Kristen Nestoria.3 Hal ini yang
menyebabkan kepimpinan Islam bergeser dari penguasa ke tangan para ulama.
Para ulama kemudian bergerak keluar kota Baghdad menuju Asia Selatan,Asia
Timur dan Asia Tenggara, diantara mereka banyak yang menjadi saudagar Islam.
Daerah Turkestan, Bukhara dan Samarkand adalah pusat perkembangan Islam
pada saat itu.4 Persilangan pernikahan antara keturunan Arab,Cina dengan India
menjadikan“kerumitan”sejarah dalam menentukan asal-muasal pembawa Islam
1Ahmad Rahman .Perkembangan Islam di Nusantara berdasarkan Naskah. disampaikan
pada Seminar Nasional Penulisan Ulang Sejarah Islam Nusantara yang dilaksanakan oleh
Program Magister Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal
16 Juni 2014. 2Samsul Munir Amin. SejarahPeradaban Islam (Jakarta : AMZAH, 2009) h.154.
3Slamet Muljana. RuntuhnyaKerajaan Hindu-Jawa Dan Timbulnya Negara-Negara
Islam di Nusantara (Yogyakarta: LKIS 2009) h.167. 4
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo
Persada 2005) h.7.
2
pertama datang ke Indonesia.”Teori Arab”merujuk kepada silsilah para wali dari
jalur laki-laki yang menunjukan ahlul bait(keturunan Nabi Muhammad) atau
alawiyin, sementara “ Teori Cina” merujuk kepada silsilah para wali dari garis
perempuan yang belakangan diyakini sebagai pembawa Islam ke Indonesia.5
Meskipun sejak 674M, di pantai barat Sumatera sudah ada koloni-koloni
saudagar yang berasal dari negeri Arab, namun meningkatnya keramaian
perdagangan di pelabuhan-pelabuhan pesisir pulau Sumatera dan Jawa terjadi
pada kurun abad ke-13 dan 14. Sejalan dengan itu, pada abad ke-13, dalam
sejarah Islam di Indonesia, merupakan waktu terjadinya gelombang kedua dari
dakwah Islam yang telah dipelopori sebelumnya pada abad ke-7 atau masa
khalifah Ar-Rasyidin.6
Walaupun para ahli sejarah dari Belanda banyak yang berpendapat Islam
datang dibawa dari India seperti Gujarat dan Malabar,tetapi menurut Pijnappel,
orang-orang Arab bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah
India, kemudian membawa Islam ke Nusantara. Teori ini dikembangkan dan
diperkuat oleh Snouck Hurgronje yang berpendapat bahwa begitu Islam berpijak
kukuh di beberapa kota pelabuhan anak Benua India, sebagai pedagang perantara
dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara, kemudian datang ke
Melayu-Indonesia sebagai para penyebar Islam pertama7
Kemudian disusul
kedatangan orang-orang Arab keturunan Nabi Muhammad SAW, dicirikan
dengan penggunaan gelarSayyid atau Syarif, yang melakukan islamisasi di
Nusantara. Namun teori tentang Islamdari Gujarat mempunyai kelemahan, karena
menurut Marrison dikatakan bahwa meski batu-batu nisan yang ditemukan
berasal dari Gujarat atau Bengal, karena pada saat islamisasi Samudra Pasai,
yang raja pertamanya wafat pada 698/1297, Gujarat masih merupakan kerajaan
Hindu.8
5Sumanto Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa; Bongkar sejarah atas peranan Tionghoa
dalam penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV &XVI (Yogyakarta: Inspeal Ahimsa
Karya Press,2003) h.39. 6Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam ...,h.302.
7Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad
XVII&XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana. 2013) h 3. 8Azyumardi Azra, Jaringan Ulama …,h. 5.
3
Teori kedatangan Islam dari Arab dipegang oleh Thomas W. Arnold.
menurutnya Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya tempat asal
Islam,tetapi juga dari Arabia. Pendapat ini diperkuat oleh Naguib al-Attas. Ia
berpendapat batu-batu nisan bisa saja dibawa dari Gujarat ke Pasai dan Gresik,
karena jaraknya yang dekat dibanding dengan Arabia. Begitu juga dalam literatur
keagamaan Islam yang tercatat tidak ada pengarang Muslim dari India.9 Menurut
Arnold berkeyakinan bahwa antara di Arabia dan di Indonesia terdapat kesamaan
mazhab, yakni mazhab Syafi’i, yang menandaskan adanya hubungan genealogi
Islam keduanya.10
Argumen ini selaras dengan historiografi lokal yang
menyebutkan tentang tentang Islamisasi, walaupun hal ini sering bercampur
dengan mitos dan legenda.
Para ahli sejarah sepakat bahwa Maulana Malik Ibrahim merupakan sosok
yang pertama kali menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Beliau beberapa kali
mencoba membujukRaja Majapahit, tetapi gagal, hanya setelah kedatangan
Raden Rahmat sebagai pemimpin wali sanga dengan gelar Sunan Ampel.11
Ia
mendirikan pusat keilmuan Islam. Setelah itu ada Syeh Nur al-Din Ibrahim bin
Maulana ‘Izrail, yang terkenal dengan julukan Sunan Gunung Jati. Ia yang
mendirikan Kesultanan Cirebon pada tahun 1552M dengan dukungan orang-
orang Islam Tionghoa di Sembung.12
Dari historiografi itu dapat disimpulkan intensitasdakwah Islam di pulau
Jawa,memilki beberapa faseperkembangan,diantaranya;
Dakwah Islam dilakukan oleh para guru penyiar profesional dari Arabdi
pesisir utara pantai Jawa.
Dakwah Islam dilakukan secara akselaratif oleh para ulama yang terkenal
dengan sebutan Wali Tsana (wali yang terpuji )
9Azyumardi Azra, Jaringan Ulama …, h. 9.
10Azyumardi Azra, “Kedatangan Islam dan Islamisasi”dala Tim Penulis, Indonesia
dalam Arus Sejarah Jilid III (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve 2012) h.11. 11
Azyumardi Azra, Kedatangan Islam dan Islamisasi …, h. 12. 12
Slamet Muljana.Runtuhnya Kerajaan …, h.101.
4
Dakwah Islam yang dilakukan secara institusional oleh kerajaan
Islam,yaitu kerajaan Islam Demak dan Cirebon. Kedua kerajaan ini
berhasil meluluh lantakan dua kerajaan yang dominan yaitu Majapahit
dan Pajajaran.13
Dakwah Islam yang dilakukan para Sayyid, Habib atau alawiyinyang dari
Hadramaut Yaman di pesisir pulau Jawa, seperti Pekalongan, Tegal,
Brebes dan Cirebon.
Adapun menurut Musyrifah Sunanto, ada beberapa cara atau saluran yang
dipakai dalam penyebaran Islam di Nusantara, yaitu;14
a. Perdagangan
b. Dakwah yang dilakukan oleh para Mubaligh,yang datangnya bersama
pedagang
c. Perkawinan; ini dilakukan oleh pedagang dan Mubaligh dengan putri
bangsawan
d. Pendidikan; setelah kedudukan para pedagang mantap dan mereka
menguasai perekonomian, maka didirikan lembaga dakwah atau
Majlis Ilmu, seperti di Gresik sebagai pusat dakwah pada saat itu
e. Tasawuf dan Tarekat; banyak para tokoh atau ulama sufi yang
menjadi penasehat kerajaan, seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin
Sumatrani, Nurudin Ar-raniri, dan Abdul Rauf Singkel di Aceh dan
Walisongo di Jawa
f. Para sufi menyebarkan Islam melalui dua cara, pertama membentuk
kader mubaligh, kedua melalui karya tulis.Pada abad ke-17, Hamzah
Fansuri mengarang kitab yang berjudulAsrar al-Arifin fil Bayandan
13
Sejarah Islam Tanah Jawa (2), diakses tanggal 07 Juli 2014 dari
http://serbasejarah.wordpress.com. 14
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban …, h.12.
5
Nurudin ar-Raniri menulis kitab hukum Islam yang berjudulShirat al-
Mustaqim.15
Tegal merupakan salah satu wilayah di kawasan Jawa Tengah. Dilihat
dari letak geografisnya, posisi Tegal sangat strategis,16
yang memungkinkan
dalam proses penyebaran dakwah Islam yang berpusat di Demak sekitar abad 15.
Pada saat itu,Tegal menjadi jalur penyebaran Islam ke Cirebon Jawa Barat dan
Banten. Ini sejalan dengan dakwah Sunan Kalijaga yang dijelaskan dalam Babad
Demak versi Cirebon, bahwa perjalanan dakwah Sunan Kalijaga dimulai dari
Rembang, Purwodadi, Salatiga, Kartasura, Kutaraja, Kebumen, Banyumas, dan
akhirnya sampai Cirebon.17
WalaupunwilayahTegal tidak dijelaskan secara
spesifik dalam kitab tersebut, kemungkinan besar perjalanan Sunan Kalijaga
setelah Banyumas akan melalui Tegal bagian Selatan, Brebes, hingga Cirebon.
Kedatangan Islam di Tegal berangka tahun sekitar 1400-an. Angka
tersebut disandarkan pada bukti adanya makam Suroponolawean/Syayid Syarif
Abdurrahman bin Sulthon Sulaiman di Desa Pagiyanten Kecamatan Adiwerna
(w.1400-an). Meskipun demikian,perkembangan Islam secara massif baru terlihat
sekitar abad ke-19. Di masa itu, Tegal berada di bawah kekuasaan Belanda.
Pemerintah kolonial melakukan pembangunan pelabuhan Tegal menjadi lebih
baik. Dampaknya, banyak kapal-kapal asing, termasuk dari Arab, yang bersandar
di pelabuhan ini. di antara orang Arab yang datang ada yang berprofesi sebagai
pedagang, ada pula yang berdakwah.
Pada tahun 1859, terdapat 67 orang Arab dari Hadramaut bermukim di
Tegal. menginjak 1870 tercatat 204 orang, dan tahun 1885 tercatat 352
orang.18
Ada dua tokoh penyebar/pendakwah Islam yang makamnya masih ada
dan dakwahnya masih dilanjutkan oleh anak cucunya,yaitu makam al-Haddad di
Kelurahan Kraton, Kecamatan Tegal Barat (w.1885 M), dan makam Kyai Armia
bin Kurdi di desa Cikura, Kecamatan Bojong (w.1890-an). Terdapat pula masjid
15
Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara,
(Surabaya: Al-Ikhlas, tanpa tahun) h.37. 16
Letak Geografis kota Tegal,diakses tanggal 15 April 2016 dari www.tegalkota.go.id. 17
Yudi Hadinata, SunanKalijaga (Yogyakarta: DIPTA, 2015) h.62. 18
L.W.C.Van den Berg, Hadramaut dan Kolonia Arab di Nusantara, diterjemahkan oleh
Rahayu Hidayat (Jakarta : INIS,1989) h.68.
6
bersejarah, yaitu; Masjid Pesekongan (dibangun sekitar 1821),Masjid Agung
Tegal (1825), dan Langgar Dhuwur Pesekongan (1830). Pesantren At-Tauhidiyah
yang didirikan oleh Kyai Armia di Cikura Kecamatan Bojong pada tahun 1880
M, merupakan pesantren tertua di Tegal yang masih eksis keberadaan dan
perannya dalam dakwahnya hingga saat ini. Penduduknya mayoritas beragama
Islam dan tradisi keagamaan yang dapat kita lihat sehari-hari mencirikan adanya
proses islamisasi yang begitu panjang, karena sebelumnya penduduk Tegal
beragama Hindu, atau sebagian masih dalam kepercayaan animisme dan
dinamisme.
Seiring dengan semakin menguatnya ajaran Islam di tengah masyarakat
Tegal, membuat pengetahuan mereka tentang hukum Islam semakin bertambah
serta berupaya memenuhi ketentuan peribadatan Islam secara penuh. Di antara
mereka mulai ada yang merasa siap untuk menunaikan rukun Islam kelima yakni
berhaji ke Tanah Suci.
Fenomena ini semakin terlihat meruyak, ketika Tegal berada di bawah
kuasa kolonial. penulis menemukan sejumlah arsip berbahasa Belanda dari
Gedung ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) yang bernomor 198B/3
tahun 1858 yang menyatakan adanya beberapa surat perminataan warga Tgeal
mengenai pengurusan paspor haji yang ditujukan ke Residen Tegal. Hal ini
menunjukkan adanya antusiasisme warga untuk mengikuti ritual tahunan ini.
Kekuasaan kolonial Hindia Belanda sangat dalam menancapkan kuku
pengaruhnya di Tegal. Pada 1800-an, pengaruh kolonial tidak bisa dibendung
oleh penguasa lokal, yakni bupati Tegal yang bernama R.M. Panji Cakranegara.
Ia tidak bisa menahan laju kebijakan Gubernur Jenderal Herman Willem
Daendels (berkuasa 1808-1811) yang mengupayakan proyek besar pembuatan
jalan dari Anyer sampai ke Panarukan. Sang Gubernur bahkan meminta agar
warga Tegal bersedia membantu pembangunan jalan secara cuma-cuma. Masa
inilah yang dikatakan sebagai masa kerja paksa di Tegal.
Penderitaan warga Tegal tidak kunjung berakhir manakala Gubernur
Jenderal Thomas Stamford Raffless (1818-1824) mewajibkan pajak tanah yang
7
tinggi. Keadaan yang serba susah itu rupanya tidak menyurutkan sejumlah
Muslim untuk menunaikan ibadah haji. Pada 1858, tercatat sebanyak 118 warga
Tegal menunaikan haji. Jumlah ini semakin membesar antara 1860-1864, yakni
sebanyak 253 orang.19
Catatan ini menunjukkan bahwa meskipun Tegal berada di
bawah popor/bedil kuasa kolonial, namun semangat untuk menggenapkan
ketentuan Islam tidak kunjung padam di sanubari warganya. Salah satunya
terlihat pada partisipasi mereka dalam berhaji.
Sepenggal temuan di atas cukup memantik kesadaran penulis untuk
memberanikan diri menulis tentang geliat perhajian masyarakat Tegal di masa
kolonial. karya ini didedikasikan untuk menambah pengetahuan masyarakat
Tegal khususnya, serta bangsa Indonesia pada umumnya, sekaligus untuk
memenuhi tugas akhir berupa penyusunan tesis di strata dua Fakultas Adab dan
Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Tesis ini merupaka studi tentang dinamika umat Islam di Tegal,
khususnya mengenai perhajian di Tegal di masa kolonial. Perhajian yang
dimaksud berkisar pada kegiatan rekruitmen, pemberangkatan hingga aktivitas
para haji di Tegal sepulangnya dari Tanah Suci. Kedudukan Pemerintah Hindia
Belanda sebagai pengambil kebijakan ikut disorot dalam tesis ini. eksistensi
mereka diwakili dalam penyebutan kurun yakni zaman kolonial. Sedangkan
kurun waktu yang spesifik disorot berkisar pada 1850 – 1889. Penulis
menemukan sejumlah temuan menarik terkait perhajian Tegal di rentang tahun
tersebut, yang memiliki hubungan dengan pengelolaan haji di Tegal di masa
setelahnya.
19
Dien Majid, Berhaji dimasa Kolonial (Jakarta: Sejahtera, 2008) h.104. Lihat pula
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19 (Jakarta:Bulan
Bintang, 1984) h. 249-253. Pada tahun 1888, perbandingan jumlah haji dan jumlah penduduk
adalah 1.804 haji dan 1.041.660 jiwa penduduk Tegal, ini menunjukan betapa pentingnya arti haji
untuk masyarakat Tegal pada saat itu.
8
Dari pembatasan masalah diatas, dapat dirumuskan sejumlah pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi sosial, budaya,ekonomi,dan agama orang Tegal ?
2. Bagaimana relasi yang terjalin antara pemerintah kolonial dengan
warga Muslim Tegal?
3. Apa saja bentuk regulasi kolonial terhadap perhajian di Tegal?
C. Tujuan Penulisan Tesis
Studi ini bertujuan menjelaskan bagaimana dinamika umat Islam dalam
perhajian di Tegal pada masa pendudukan kolonial dalam kurun 1850-1864.
Karya ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan sejarah yang belum atau
jarang diketahui masyarakat Kota/Kabupaten Tegal dan masyarakat Indonesia
secara umum.
D. Signifikasi Tesis
Studi ini berguna untuk mengetahui sejauh mana dinamika umat Islam
dalam berhaji di zaman Kolonial di Tegal, yang dapat menjadi rujukan
pengetahuan, khususnya di bidang kesejarahan, dalam perkembangan sejarah
Islam Nusantara secara umum dan masyarakat Tegal secara khusus.
E. Penjelasan Konsep dan kerangka Teori
Tesis ini merupakan telaah sejarah yang bertalian dengan aktivitas
manusia di masa lampau. perilaku manusia amat bertalian dengan zaman atau
kondisi ketika ia hidup. Di masa kolonial, umat Islam Tegal bersinggungan
dengan pemerintah kolonial sebagai elit penguasa. Mereka merupakan objek dari
terbitnya sejumlah kebijakan, keputusan atau penetapan suatu undang-undang
9
dari pemerintah kolonial. Salah satu peraturan ini menyasar masalah pengaturan
perhajian.
Penulis tertarik untuk membahas karya sejarah ini dalam sudut pandang
sejarah sosial. Hal ini didasari oleh sejumlah temuan awal yang banyak
berhubungan dengan aktivitas manusia dengan manusia atau kelompok dengan
kelompok. Dalam sudut pandang sosilologis hubungan relasional atau dialektika
antara dua pihak diperbincangkan secara lebih serius. Bahkan masalah ini dapat
dijadikan suatu kriteria dalam mengetahui suatu maket atau model suatu
hubungan dua entitas yang mempunyai identitas yang berbeda.
Warga Tegal umumnya merupakan etnis Jawa yang mempunyai
karakteristik tertentu. Dalam beberapa keadaan, mereka juga cocok disebut
dengan sub-Jawa. Pernyataan ini dihubungkan dengan adanya perbedaan bahasa,
budaya serta adat istiadat Jawa yang ditemukan di Tegal dengan di tempat
lainnya. bahasa, menjadi sesuatu yang mencolok, yang dapat dijadikan suatu
identitas diversifikatif orang Tegal dengan orang Jawa lainnya.
Agama orang Tegal di masa kolonial (bahkan hingga masa kini) adalah
Islam. Tegal merupakan pelabuhan tempat bersandarnya kapal-kapal asing,
termasuk kapal dari Arab maupun negeri Islam lainnya. para pendatang itu
berperan dalam menyebarkan Islam di kawasan ini, sebagaimana yang
disinggung di bagian sebelumnya. Sikap reseptif ditujukkan masyarakat pesisir
Tegal, dibuktikan dengan konversi agama yang massif di sana dari kepercayaan
Hindu Budha atau animisme dan dinamisme berganti ke Islam.
Sejak diduduki kolonial, perubahan sosial terjadi di tatanan masyarakat
Tegal. Para penguasa lokal dituntut harus melayani kebutuhan pemerintah
kolonial yang diwakili oleh Residen Tegal. Wibawa serta kuasa mereka dikebiri
dan hanya dijadikan pendamping bagi administratur Belanda yang ditugaskan di
Tegal. Pembatasan kuasa ini berimbas pada terbukanya peluang Bangsa Eropa
untuk menguasai rakyat Tegal. Penggerakkan kerja paksa di masa Daendels
menjadi salah satu bukti betapa pemerintah Eropa mempunyai pengaruh di Jawa
dan Tegal pada umumnya.
10
Bangsa Eropa, khususnya Belanda dan Inggris, merupakan pihak yang
berperan dalam pemerintahan di Tegal sepanjang abad 19. Mereka melakukan
sejumlah penundukkan, perebutan kuasa hingga menciptakan ketakutan dengan
armada perangnya untuk mendirikan suatu keteraturan sepihak. Dalam sudut
pandang kolonial, suatu daerah dikatakan tertib dan teratur manakala berada di
bawah pengaturan dan kuasa kolonial. Dalam hal ini, orang Eropa sebagai elit
pemerintah, sedangkan masyarakat Tegal sebagai subjek yang diperintah.20
Pemerintah Hindia Belanda menginginkan agar masyarakat yang
dipimpinnya berada dalam keadaan rust en orde. Istilah asing ini merujuk pada
keadaan sosial yang tertib dan teratur. Jika cita-cita tersebut sudah ditanamkan,
maka tindakan selanjutnya adalah mengupayakan penguatan sendi-sendi kolonial
melalui sejumlah pengaturan dan pengamatan. Salah satu kegiatan yang
dilakukan mereka adalah menerbitkan sejumlah produk hukum atau perundang-
undangan.
Di abad 19, Pemerintah Hindia Belanda memandang umat Muslim
sebagai suatu entitas yang harus diawasi gerak-geriknya. Di mancanegara, sedang
marak suatu gerakan massa Islam yang diperjuangkan oleh Syekh Jamaluddin al-
Afghani, yakni Pan-Islamisme atau Perstatuan Islam. Salah satu maksud gerakan
ini adalah menggulingkan pemerintahan Eropa di Asia. Pemerintah menganggap
perhajian merupakan saluran umat Muslim Nusantara untuk memupuk
komunikasi dengan para pejuang Muslim lainnya. hal ini yang dikhawatirkan
pihak Belanda. regulasi perhajian pun digunakan sebagai alat untuk membatasi
dan menertibkan kegiatan para haji di Tanah Suci.
Dari sekelumit uraian tentang peran umat Islam Tegal dan kedudukan
Pemerintah Hindia Belanda, dapat dipahami bahwa kehadiran orang Eropa di
tengah publik Tegal membawa dampak yang signifikan. Jika di masa-masa
sebelumnya penduduk Tegal dapat dengan leluasan menunaikan ibadah haji,
maka menginjak masa kolonial, mereka mengalami sejumlah pembatasan dan
20
Heather Sutherland, “The making of a bureaucratic elite: The colonial transformation
of the Javanese priyayi”, dalam Asian Studies Association of Australia oleh Heinemann
Educational Books (Asia), 1979.
11
penertiban. Terdapat suatu model yang berubah dari tatanan masyarakat Tegal
ini. penulis tertarik untuk membicangkan masalah ini dalam sudut pandang
perubahan sosial.
Penulis tertarik dengan pengertian perubahan sosial (social change) yang
digagas oleh Lewis A. Coser. Ia menyebutkan bahwa terjadinya perubahan sosial
tidak dapat dilepaskan dengan adanya konflik sosial (social conflict). Antara
masyarakat Tegal dan pemerintah kolonial Hindia Belanda, sebelumnya
merupakan entitas yang berseberangan dan tidak jarang terjadi ketegangan di
antara keduanya. Dengan berkuasanya pemerintah kolonial di kemudian hari,
mereka melakukan sejumlah restrukturisasi di antaranya dengan menerbitkan
banyak undang-undang, salah satunya di bidang perhajian.
Menurut Coser, konflik tidak selalu berujung pada kehancuran,
kemunduran atau hal-hal negatif lainnya. dalam beberapa kasus, konflik
malahirkan perubahan sosial dan perubahan itu bernuansa progresif21
, atau
bernuansa menumbuhkan kebaikan di antara sesama masyarakat. Hal ini yang
ingin penulis buktikan dalam tesis ini, apakah perubahan sosial yang digagas
pemerintah kolonial melalui regulasi perhajian dapat membawa maslahat bagi
penduduk Tegal atau malah sebaliknya.
F.Metode Penelitian
F.1.Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berlangsung di daerah Tegal, Jawa Tengah. Daerah ini menjadi
sasaran penulis untuk mendapatkan data-data mengenai perkembangan Islam
hingga menyentuh periode kolonial, khususnya masalah perhajian.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2016 – April 2017, dengan
penulisan berdasarkan pada Pedoman Akademik Program Magister dan
Doktor Pengkajian Islam UIN Syarif Hidayatullah 2011-2015. Penelitian ini
21
Lewis A. Coser, The Function of Social Conflict (New York: Routledge, 2001) h.16.
Lihat juga Lewis A. Coser, “Social conflict and The Theory of Social Change”, dalam The British
Journal of Sociology, Vol. 8, No. 3, 1957, h. 197-207.
12
mendasarkan pada studi arsip kolonial berbahasa Belanda dan kepustakaan,
namun data lapangan tetap digunakan demi memperkuat hasil penelitian.
F.2.Metode Penelitian
Pendekatan dan metode yang digunakan adalah metode historis. Langkah-
langkah meneliti ini merupakan satu bentuk penelitian kualitatif dengan
menggunakan metode sejarah melalui kajian sejarah kearsipan, kepustakaan
dan data lapangan.
2.1.Metode Pengumpulan Data ( Heuristik )
Dalam penggalian dan pengumpulan data sejarah terdapat beberapa
metode yang dapat digunakan untuk menggali data yang valid berkaitan
dengan sejarah. Disini penulis menggunakan metode lisan, observasi, dan
dokumenter.
2.1.a.Metode Lisan ( interview)
Dengan metode ini, pelacakan suatu obyek sejarah dilakukan dengan
interview atau wawancara langsung terhadap tokoh yang mengetahuidan
memahami dinamika umatIslam di Tegal. Dalam wawancara, penulis
berkomunikasi dengan masyarakat secara langsung dengan bertanya tentang
Islam, baik sejarah IslamTegal maupun budaya atau tradisi masyarakat, cara
mendapatkan ilmu agama, nilai ibadah haji, dan lain sebagainya. Masyarakat
yang diwawancarai antara lain berlatar belakang pemuka agama ( KH.Hasani
pengasuh Pondok Pesantren At-Tauhidiyah Giren Talang, Habib Abdullah
bin Hasan bin Husein bin Muhamammad Al-Haddad, Ustad Samsul dan
Ustad Diponegoro, pengasuh Pondok Pesantren Tahfidul Qur’an Al-Quthubi
Banjarturi Warureja ), Budayawan (KH.Fauzi Robbani ), Juru Kunci Makam
(Abdul Haq, Ahmad Zaeni).Adapun dari kalangan pemerintah adalah
Drs.H.Nurotib,M.Pd, Kepala Seksi Bimas Islam Kantor Kementerian Agama
Kabupaten Tegal, H.Ahmad,S.Ag, Kepala Seksi Bimas Islam Kantor
Kementerian Agama Kota Tegal, Bapak Bani,S.Ag penyuluh Agama Islam
13
Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tegal, dan Ibu Hj.Milah,M.Si,
Kepala Kantor Arsip dan perpustakaan Daerah Kabupaten Tegal).
2.1.b.Metode Observasi
Dalam metode observasi,objek sejarah yang diamati dan ditelaah secara
langsung, berkaitan dengan kondisi geografis wilayah, pola hidup sehari-hari
masyarakat, ekonomi, pendidikan, interaksi sosial, struktur social yang ada,
budaya atau tradisi masyarakat, kegiatan ibadah dan lainnya. Sebelum
penelitian dimulai atau sebelum terjun kelapangan, penulis menyiapkan
sejumlah pertanyaan penelitian dan persiapaan yang lainnya, termasuk
mengalokasikan waktu yang cukup. bagi penulis, metode ini tidak kalah
pentingnya dibanding metode yang lain
2.1.c.Metode Dokumenter
Metode ini berusaha mempelajari secara cermat dan mendalam segala
catatan atau dokumen tertulis. Metode dokumentasi merupakan metode
pengumpulan data yang digunakan untuk mengetahui data yang dapat dilihat
secara langsung. Metode ini sangat efektif dan efisien dalam penggunaan
waktu dan tenaga,karena cukup dengan melihat catatan yang telah tersedia.
Hal ini telah dilakukan dengan mengunjungi Perpustakaan Fakultas Adab
dan Humaniora, Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia (PNRI), Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI), Kantor Arsip Kabupaten Tegal, dan Kantor Arsip Kota Tegal guna
meneliti dokumen yang relevan dengan penelitian ini.
G . Analisa Data
Penelitian ini menggunakan metode historis sehingga bertumpu pada
empat langkah seperti, heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Data yang
ditemukan dan dikumpulkan dalam proses heuristik, selanjutnya diverifikasi atau
14
dikritik untuk memperoleh keabsahan sumber.22
Data yang telah diverifikasi
kemudian diuraikan dan disatukan. Dalam proses interpretasi sejarah, peneliti
harus berusaha mencapai pengertian faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
peristiwa. Langkah terakhir bagi peneliti adalah menuliskan sejarah atau
historiografi. Tujuan kegiatan ini adalah merangkaikan fakta-fakta sejarah
menjadi kisah sejarah.23
Dalam penjabaran operasionalnya, penulis melihat pokok-pokok
persoalaan studi berdasarkan fakta-fakta lapangan dan dokumen sejarah
diwilayah ini,adapun perincian analisa data sebagai berikut: pertama, penulis
mengumpulkan data mengenai keberadaan sebuah komunitas Muslim di Tegal
dan mengamati kebiasan sehari-hari yang membuktikan terjadinya islamisasi,
betapa pun terpencilnya daerah itu.Meskipun satu daerah terpisah dengan wilayah
lainnya yang secara administrartif lebih besar, akan ada beberapa pertanda yang
mengindikasikan bahwa kehadiran Islam di sana telah berlangsung sejak masa
yang lama. Ini bia dilihat dari peninggalan-peninggalan arkeologis di wilayah itu
seperti melalui makam-makam, masjid, serta kenyataan statistik bahwa penduduk
di wilayah itu mayoritas beragama Islam. Data-data mengenai perhajian di
wilayah itu pun juga ikut dikumpulkan. Melalui langkah-langkah ini, diharapkan
dapat menyusun suatugambaran yang lebih memadaimengenai dinamika umat
islam Tegal, terutama dalam berhaji di masa Kolonial 1850-1889 M.
H. Telaah Kepustakaan
Meskipun secara keseluruan studi tentang masyarakat dan berbagai aspek
sejarah Tegal telah ada,namun karya-karya yang secara khusus membahas
perkembangan Islam dan penyebarannya, serta dinamika umat Islam dalam
berhaji di daerah ini masih terbatas. Karya Prof.Abu Su’ud (2003) yang berjudul
Semangat Orang-orang Tegal sangat berguna untuk memehami sejarah dan
22
Dudung Abdurrahman,Metode Penelitian Sejarah (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007)
h. 68. 23
Budi Sulistiono, Historiografi 2013, diakses tanggal 22 Januari 2016 dari www.putra-
lawu.com.
15
budaya masyarakat Tegal.Walaupun karya ini lebih banyak membahas sejarah
Tegal secara umum, akan tetapi terdapat uraian tentang masuknya Islam ke Tegal
yang dibawa oleh Sunan Drajat atau Pangeran Panggung, putra Sunan Ampel dari
istrinya asal Campa. Dalam berdakwah,Sunan Drajat lebih mengedepankan
hakekat daripada syariat, sehingga pada akhir kisahnya, Sunan Drajat atau
Pangeran Panggung dipanggil oleh Raja, lantasdisidang oleh para Wali dan
diputuskan hukuman bakar.Konten mengenai perhajian di Tegal di masa kolonial
tidak banyak ditemukan di buku ini.
Ahmad Hamam Rochani (2005) juga telah menyumbangkan temuanya
mengenai sejarah Tegal dalam buku berjudul Ki Gede Sebayu Babad Negari
Tegal. Buku ini membahas peran Ki Gede Sebayu dalam pendirian wilayah Tegal
sebagai kabupaten pada abad ke-17 dan kisah-kisah mengenai penerus
pemerintahannya. Buku ini juga membahas Suluk Malang Sumirang karya Mbah
Panggung atau Pangeran Panggung yang isinya berupa ajaran Syekh Siti Jenar
yaitu manunggaling kawula gusti atau wahdatul wujud. Karya ini lebih fokus
kepada sejarah dan peran KiGede Sebayu dalam pendirian Tegal sebagai
Kabupaten yang diakui oleh Pajang dan Mataram. Penulis merasa mendapatkan
gambaran umum mengenai sejarah politik Tegal dari buku ini. Sayangnya,
pembahasan mengenai perhajian di Tegal zaman Kompeni tidak disinggung
secara komprehensif.
Prof. Dr. M. Dien Madjid (2008) menulis sejarah perhajian di masa
kolonial berjudul Berhaji di Masa Kolonial. buku ini mengetengahkan sumber-
sumber bahasa Belanda yang berkisar seputar perhajian di Tanah Air. Buku ini
cukup memberikan tambahan wawasan yang penting mengenai bagaimaa
pemeirntah kolonial merasa perlu untuk menertibkan jamaah haji Nusantara.
Keputusan untuk menahan animo mereka bukan merupakan tindakan yang baik.
Sebaliknya, pemerintah justru memberikan fasilitas berupa pengadaan angkutan
jamaah haji berupa kapal besar yang modern. Sayang sekali, buku ini tidak
membahas seputar kebijakan dan kondisi perhajian Tegal semasa kolonial
berkuasa.
16
Penelitianini berupaya melihat bagaimana Islamisasi di Tegal berlangsung
dengan kontinyu, serta melihat haji sebagai salah satu geliat massa dari
tersebarnya ajaran Islam di tengah penduduk. Keberadaan buku serta hasil
penelitian terdahulu, sebagaiman di antaranya disebutkan di atas, tetap
mempunyai korelasi dengan penelitian ini. hanya saja, penulis perlu mencari
sumber-sumber lainnya yang relevan, khususnya buku atau dokumen yang
diterbitkan di kurun waktu penelitian penulis.
I. Sistematika Penulisan
Hasil studi ini akan disajikan denganurutan sebagai berikut:
Bab I, memuat latarbelakang masalah, telaah kepustakaan, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan penulisan tesis, signifikasi tesis, penjelasan
konsep dan kerangka teori, dalam bagian ini, penulis juga menguraikan metode
penelitian yang mencakup (ruang lingkup penelitian,metode penelitian), analisa
data, telaah kepustakaan/tinjauan pustaka, serta sistematika penulisan.
Bab II, akan dibahas dinamika umat Islam di Tegal yang menyangkut
asal-usul nama daerah Tegal,kondisi geografi dan demografi,teori awal masuknya
islam, tokoh pembawa dan perannya, dan dinamika umat Islam Tegaldalam
bidang agama, sosial,budaya dan ekonomi.
Bab III, akan diuraikan mengenai kebijakan pemerintah kolonial dalan
bidang politik, ekonomi, sosial budaya,dan agama.
Bab IV, menjelaskantentang haji umat islam Tegal yang meliputi
pengertian dan hakikat haji bagi umat Islam, problematika haji zaman kolonial
khususnya dalam kurun waktu 1850-1889 M.
Bab V, berisi penutup atau kesimpulan.
17
BAB II
DINAMIKA UMAT ISLAM TEGAL
A. Asal- usul Nama Tegal dan Letak Geografi
1. Asal-usul NamaTegal
Sejak abad ke-10, Tegal telah menjadi daerah yang didiami oleh
sekelompok masyarakat yang beragama Hindu dan pedagang Tionghoa. Tome
Pires seorang pedagang berkebangsaan Portugis, ia pernah singgah di Pelabuhan
Tegal Pada tahun 1530 M, Tome Pires menyebut daerah Tegal dengan kata
“Teteguell”, yang berarti Tanah Ladang.24
Daerah ini merupakan perkembangan
dari sebuah desa Tetegal yang mengalami kemajuan pesat dan termasuk kedalam
wilayah kabupaten Pemalang yang telah mengakui kerajaan Pajang. Ki Gede
Sebayu merupakan tokoh yang memimpin dan mengembangkan daerah Tegal. Ia
juga mengembangkan pertanian.
Setelah kedatangan Ki Gede Sebayu, daerah ini mengalami kemajuan
yang sangat pesat, sehingga pada 15 Sapar 988H bertepataan tanggal 12 April
1580M,ia diangkat menjadi demang oleh Raja Pajang.25
Ini yang menjadi dasar
hari jadinya Kota Tegal yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah
Kotamadya Daerah Tingkat II Tegal nomor 5 Tahun 1988,Peraturan Daerah
Kotamadia Daerah Tingkat II Tegal Nomor 5 Tahun 1988. Dalam peraturan
daerah tersebut dikatakan bahwa hari jadi kota Tegal diwujudkan dengan
ungkapan filosofis berupa Candra Sengkala dan Surya Sengkala untuk
penyebutan tahun. Tahun E H E 988 Hijriah dengan candra sengkala: “Mangesti
Basukining Anggo”, yang berarti:
24
Sejarah berdirinya Kota Tegal diakses dari www.pariwisata.tegalkota.go.id pada
tanggal 29 maret 2016. 25
Abu Su’ud, Semangat Orang-orang Tegal (Semarang: Masscom Media , 2003) h.40.
Lihatjuga Ahmad Hamam Rochani, Ki Gede Sebayu Babad Negari Tegal (Semarang: Intermedia
Paramadina, 2005) h.150.
18
Mangesti: 8 , Basuki: 8 , Anggo: 9 , adapun Tahun 1580 dengan Surya
Sengkala: “Purnamaning Pangesti Wisiking Gusti”, yang
berarti:Purna:0,Pangesti: 8, Wisik: 5 , Gusti: 1. Sedangkan hari jadi Kabupaten
Tegal merujuk pada pengangkatan Ki Gede Sebayu sebagai Adipati Tegal oleh
Raja Mataram tanggal 18 Mei 1601 M /12 Rabiul Awal 1010H,yang ditetapkan
berdasarkan Perda (Peraturan Daerah) Kabupaten Tegal nomor 13 tahun 1995.
1.1.Tokoh Pendiri dan Perannya
Ki Gede Sebayu merupakan tokoh pendiri Tegal yang tercatat dalam
sejarah. Dia masih keturunan Majapahit dari Bhatara Katong, Adipati Ponorogo
putra Brawijaya V. Menurut Ahmad Hamam Rochani:“Silsilah Ki Gede Sebayu
atau Syekh Abdurrahman adalah putera Pangeran Ondje atau Ki Ageng Tepoes
Roempoet, Adipati Purbalingga putera Ki Gede Ngunut putera Ki Gede Mandira
putera Bhatara Katong , Adipati Wungker atau Adipati Ponorogo putera
BrawijayaV, Raja Majapahit terakhir”26
Sejak kecil, Ki Gede Sebayu diasuh oleh kakeknya yang bernama Ki
Gede Ngunut yang hidup dilingkungan keraton Pajang. Namun Sebayu lebih
memilih mengembara ke-barat yang diikuti oleh 40 kepala keluarga atau tidak
kurang dari 100 orang, terdiri laki-laki dan perempuan. Sekitar 1570-an, ia
sampai di Tegal, dari 40 kepala keluarga dibagi menjadi lima kelompok, yaitu;
a. Kelompok pertama, menempati sebuah wilayah yang sekarang dikenal
dengan nama desa Pesayangan, yang diambil dari keahlian warganya
membuat alat-alat dapur dari tembaga.
b. Kelompok kedua, menempati wilayah yang sekarang dikenal dengan
nama desa Mejasem, yang diambil dari keahlian membuat alat
pertukangan dan ahli pertukangan.
c. Kelompok ketiga, menempati wilayah yang sekarang terkenal dengan
nama desa Pagongan, karena warganya memiliki keahlian membuat alat-
26
Ahmad Hamam, Ki Gede .., h.79.
19
alat dari tanah liat, yang lazim disebut gerabah. Mereka juga ahli
membuat genting atau Atap Rumah.
d. Kelompok keempat, menempati wilayah yang sekarang terkenal dengan
nama desa Banjaran. Penduduknya ahli membuat kue dan makanan.
e. Kelompok kelima, menempati wilayah Kalisoka bersama keluarga Ki
Gede Sebayu, mereka mempunyai keahlian membuat tenun kain dan ahli
bidang kemasan.27
Dari sini, dapat kita perhatikan bahwa Sebayu dalam membangun daerah
dan masyarakatnya, sudah menggunakan pola Renstra atau Rencana Strategis,
artinya 40 kepala keluarga yang ia bawa tidak ditempatkan dalam satu tempat. Ia
jugamengajarkan kemandirian kepada masyarakat dan kewirausahawan atau
wiraswasta yang dapat menimbulkan kepercayaan pada kemampuan pribadi serta
tidak menggantugkan diri pada orang lain. Nilai-nilai luhur ini dapat dijumpai
dalam diri orang Tegal yang mandiri dalam usahanya.Meskipun lapangan
usahanya kecil, akan tetapi jiwa kemandirian itu yang perlu ditiru dan
dikembangkan. Kalau kita analisa keberadaan Warung Tegal di Jakarta dan
sekitarnya, dapat disimpulkan bahwa orang Tegal teruji kemandirian secara
ekonominya.
Keseimbangan antara dunia dan akhirat selalu ditanamkan oleh Ki Gede
Sebayu di kehidupan masyarakatnya.Ini sesuai dengan hadis Nabi Muhammad
S.A.W yang artinya; “Siapa saja yang berharap dunia dengan ilmu, siapa saja
yang berharap akhirat dengan ilmu dan siapa saja yang berharap keduanya
dengan ilmu. Dan hadisNabi lain yang artinya; “Bekerjalah untuk duniamu
seakan-akan kamu akan hidup selamanya, dan beribadahlah seakan-akan kamu
akan mati besok pagi.28
Disamping membagi lima kelompok dalam wilayah dan keahlian, Sebayu
juga mengajarkan untuk membaur dengan kelompok masyarakat yang ada
sebelum mereka datang, saling tolong menolong, dan membangun bendungan
27
Ahmad Hamam, Ki Gede …, h.116. 28
Ahmad Hamam, Ki Gede …, h. 19.
20
dan irigasi untuk pertanian. Semangat membangun dan kemandirian ini
dibakukan dalam bentuk Peraturan Daerah, yang disebut TRI SANJA,yaitu Tiga
Landasan Kerja ;(1) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2)Berwawasan
kedepan,(3);
Penduduk Tegal saling bahu membahu mewujudkan ketiga tugas suci di
atas. Pada 1596 M, Sebayu dan penduduk Tegal menyelesaikan pembangunan
bendungan irigasi Kali Gungdan untuk kebutuhan pengairan lahan pertanian.
Hasil dari pertanian merupakan kesempatan untuk meningkatkan kemakmuran
mereka. Berkat jasanya itu, pada tanggal 18 Mei 1601, Sebayu diangkat menjadi
Temunggung atau Adipati secara resmi oleh Raja Mataram,Panembahan Senopati
Ing Alaga.Peristiwa inilah yang menjadi dasar hari jadinya Kabupaten Tegal.
1.2.Bupati dan Wali Kota Tegal dari masa ke- masa
1.2.1.Bupati Tegal29
Zaman Kerajaan Mataram
Ki Gede Sebayu (Juru Demung) setingkat dengan Bupati (1601 - 1620)
Dimakamkan di Desa Danawarih, Kecamatan Balapulang.
Ki Gede Honggowono (Juru Demung) setingkat dengan Bupati (1620 - 1625)
Dimakamkan di Desa Kalisoka, Kecamatan Dukuhwaru.
Tumenggung Tegal (1625-1636). Beliau yang ikut serta dalam penyerangan
Mataram ke Batavia tahun 1628/1629, beserta Tumenggung Bahurekso.30
PangeranAdipati Arya Martoloyo (Wira Suta) "Adipati Tegal Pertama" (1636
- 1678). Beliau berkuasa pada masa Amangkurat I.31
Tumenggung Sindurejo alias Pranantaka/Gendowor (1678 - 1680).
Tumenggung HonggowonobergelarAdipati Reksonegoro I (1680 - 1697).
29
Profil Kabupaten Tegal,bisa dibaca di www.tegalkab.go.id. 30
Ahmad Hamam, Ki Gede …, h. 190, baca pula H.J,De Graaf, Puncak Kekuasaan
Mataram (Jakarta: Grafiti Pers, 1985) h.162. 31
H.J. De Graf, Runtuhnya Istana Mataram (Jakarta: Grafiti Pers, 1985) h.140.
21
Tumenggung Secowijoyo (1697 - 1697), menjabat hanya tiga bulan.
Tumenggung Secomenggolo (1697 - 1700).
Raden Mas Tumenggung Tirtonoto (1700 - 1702).
Tumenggung Bodroyudho Secowardoyo Ibergelar Reksonegoro III (1702 -
1746).
Zaman Kolonial Belanda
Tumenggung Bodroyudho Secowardoyo IIbergelar Reksonegoro IV (1746 -
1776) dimakamkan di Desa Kalisoka, Kecamatan Dukuhwaru. Saat itu, Tegal
secara resmi menjadi wilayah kekuasaan Belanda.32
Tumenggung KartoyudhobergelarAdipati Reksonegoro V (1776 - 1800).
Raden Mas Panji Haji Cokronegoro IV (1800 - 1816) Dimakamkan di Desa
Semedo, Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal.
Tumenggung Surenggono (1816) Meninggal sesudah diangkat sebagai
Tumenggung.
Tumenggung Sumodiwongsobergelar Reksonegoro VI (1816 - 1819).
Tumenggung Singasari Panatayuda bergelar Reksanegoro VII (1819 - 1821).
Raden Mas Arya Haji Reksonegoro VIII (1821 - 1857).
Tumenggung Sosronegoro (1857 - 1858).
Raden Mas Ronggo Surodipuro (1858 - 1862).
Raden Tumenggung Wiryodiningrat (1862 - 1864).
R. Tumenggung Panji Sosrokusumo (1864 - 1869).
32
Abu Su’ud, Semangat …, h. 52. Setelah pemberontakan yang dipimpin oleh Mas
Garendi dikalahkan dengan bantuan VOC maka Susuhunan atau Paku Buwono II mengadakan
perjanjian dengan Kompeni/Belanda yang isinya merugikan Mataram, salah satunya adalah
pengangkatan Pati atau Bupati di pesisir pulau Jawa harus seizin VOC ( 11 Nopember 1743).
Sedangkan Pekalongan dan Tegal secara penuh dikuasai Belanda sejak 1746.
22
R.M. Ore bergelar Reksonegoro IX (1869 - 18...).
R.M. Kis bergelar Reksonegoro X (.. - 1903),dimakamkan di Desa Pesarean,
KecamatanAdiwerna.
R.M. Suyitno (R.M.A. Reksonegoro XI)(1903 - 1916).
R.M. Susmono (R.M.A. Reksonegoro XII) (1916 - 1935).
J. Patih R. Subiyanto (1935 - 1937).
R. Tumenggung Slamet Kertonegoro (1937 - 1942).
Zaman Penjajahan Jepang
Mr. Moh. Besar Mertokusumo (merangkap Burgermester) (1942 - 1944).
Raden Sunaryo (1944 - 1945).
Zaman Revolusi ( Indonesia Merdeka ) sampai sekarang
Kyai Abu Sujai "Sebagai Ulama Pertama yang menjadi Bupati" (1945 - 1946)
dimakamkan di Desa Talang, Kecamatan Talang.
Prawoto Sudibyo (1946 - 1948)
R. Soeputro (1948 - 1949)
R.M. Susmono Reksonegoro (1949 - 1950)
R.M. Sumindro (1950 - 1955)
R.M. Projosumarto (1955 - 1960)
Sutoro (1960 - 1966)
Munadi (Januari 1966 - Desember 1966)
R. Sutarjo (Desember 1966 - Desember 1967)
Letkol.R. Supardhi Yudodharmo (1967 - 1973)
Letkol. R. Samino Sastrosuwignyo (1973 - 1977)
23
Drs. Herman Sumarmo (1977 - 1978)
Hasyim Dirjosubroto (1978 - 1988)
Drs. H. Wienachto (1988- 1991)
Drs. Sudiatno (Januari 1991 - Agustus 1991)
Drs. H. Soetjipto (Agustus 1991 - Juli 1998)
Drs. Setiawan Sadono (Plt) (Juli 1998 - Juni 1999)
Drs. H. Soediharto (Juni 1999 - Januari 2004)
Agus Riyanto, S.Sos, M.M. (Januari 2004 - Agustus 2011)
H.M. Heri Soelistiawan, S.H., M.Hum. (Agustus 2011 - Mei 2013)
Drs. Haron Bagas Prakosa, M.Hum. (Plt. Bupati Tegal) (Mei 2013 - Juni
2013)
Ir. Satriyo Widodo (Plt.) (Juni 2013 - Oktober 2013)
Ki Enthus Susmono, Ph.D. (Oktober 2013 - Sekarang)
1.2.2. Walikota Tegal33
Zaman Kolonial Belanda
D.J. Spanjaard (1929-1933)
J.J.Ph. Koppenol (1934)
A.M. Pino (1935-1937)
Mr. W.A. Court (1937-1941)
H. Leenmans (1941-1942)
33
Profil Kota Tegal diakses pada tanggal 12 september 2016 dari www.tegalkota.go.id.
Baca pula Ahmad Hamam, Ki Gede…, h. 302.
24
Zaman Penjajahan Jepang
Mr. Besar Mertokoesoemo (1942-1945)
Indonesia Merdeka sampai sekarang-
R. Soengeb Reksoatmodjo (1945-1948)
HRM. Soepoetro Brotodihardjo (1948-1962)
Drs. Tadi Pranoto (1962-1965)
R. Soebagjo (1965-1967)
Sardjoe (1967-1979)
Arjoto S.H. (1979-1984)
Sjamsuri Mastur (1984-1989)
H.M. Zakir (1989-1998)
H. Adi Winarso, S.Sos. (1999-2009)
H. Ikmal Jaya, S.E., Ak. (2009-2014)
Hj. Siti Marsitha Soeparno(2014-Sekarang)
1.3. Bahasa Orang Tegal
Bahasa Tegal memiliki kemiripan dengan bahasa Banyumas (ngapak),
umumnya dalam penggunaan kosakata. Namun, kebanyakan masyarakat Tegal
enggan disebut sebagai orang ngapak, karena dialeknya berbeda. Masyarakat
yang menggunakan bahasa Tegal meliputi: bagian utara kabupaten Tegal, Kota
Tegal, bagian barat kabupaten Pemalang, dan bagian timur kabupaten Brebes.
Kongres bahasa Tegal pertama digelar oleh pemerintah Kota Tegal pada tanggal
4 April 2006, di Hotel Bahari Inn. Acara yang digagas oleh Yono Daryono
tersebut, menghadirkan beberapa tokoh antara lain SN Ratmana (Cerpenis), Ki
Enthus Susmono (Dalang Tegal/Bupati Tegal 2013-2018), Eko Tunas (Penyair
25
Tegal), Dwi Ery Santoso (Puisi dan Sutradara).Tujuan digelarnya kongres itu
adalah untuk mengangkat status dialek Tegalan menjadi bahasa Tegal.34
Menurut Prof.Dr.Suparman Sumamiharja, dalam buku berjudul Semangat
Orang-orang Tegal karya Abu Su’ud, dikatakan bahwa makna kata Tegal
adalah;35
Huruf T mengandung makna teteg, yang berarti penuh percaya diri, tidak
mengenal takut, tampil apa adanya. Kebanyakan orang Tegal merasa tidak
perlu menggunakan bahasa kromo.
Huruf E memiliki kepanjangan yaitu, eling atau sadar, yang berarti orang
Tegal memiliki kesadaran tinggi dalam setiap tingkah lakunya,sehingga
mereka melakukan sesuatu sesuai posisi dan fungsinya. Inilah watak
wiraswastawan orang Tegal, terbukti dengan adanya Warteg dimana-mana.
Huruf G merupakan huruf awal dari kata gesit, yang menunjukan watak orang
Tegal yang gesit dalam melihat lingkungan atau peluang. Barang-barang
bekas bisa bernilai ekonomis ditangan orang-orang Tegal. Di sepanjang jalan
raya Tegal-Slawi dapat dijumpai orang-orang yang menjajakan barang-
barang bekas.
Huruf A sebagai singkatan kata alim, yang berarti orang Tegal taat
menjalankan agama. Mayoritas orang Tegal beragama Islam, sedangkan yang
beragama selain Islam kebanyakan pendatang. Pada umumnya, kesuksesan
orang Tegaldiukur dengan keberhasilan menunaikan ibadah haji serta rumah
yang bagus atau megah.
Huruf L merupakan singkatan dari kata lugas.Orang Tegal tampil apa
adanya, tanpa banyak formalitas, tidak sukaberbasa-basi, bahkan kadangkala
terkesan kasar.
34
Profil Kota Tegal,bisa dibaca di www.tegalkota.go.id. 35
Abu Su’ud, Semangat …,.h. 17.
26
2. Letak Geografi dan Demografi Tegal
Pada abad XIX,Tegal merupakan sebuah karesidenan di Jawa yang
berbatasan di sebelah Barat dengan Karesidenan Cirebon, di sebelah Barat Daya
dengan Karesidenan Banyumas, sebelah Timur dengan Karesidenan Pekalongan,
dan di sebelah Utara dengan Laut Jawa. Luas karesidenan ini mencapai 53,1 mil
geografi atau 1,284 paal persegi. (Luas 53,1 mil persegi di sini berdasarkan peta
statistik dari Melvill van Carnbee tahun 1849).36
Ibukota Karesidenan berada di
Kabupaten dan Distrik Tegal yang terletak pada 6 51’ 9,4” Lintang Selatan dan
109 7’ 49” Bujur Timur. Daerah ini berbentuk segitiga,yang puncaknya berada
pada lereng Timur Laut Gunung Slamet yang mempunyai ketinggian 3.472 meter
dari permukaan laut.
Dalam suatu sumber kolonial dijelaskan bahwa Tegal merupakan suatu
wilayah residensi. Residensi Tegal berbatasan dengan Cirebon di sebelah Barat,
di sebelah Selatan dengan Banyumas, di sebelah Timur dengan Pekalongan dan
di Utara bersebelahan dengan Laut Jawa. Residensi Tegal terbagi dua wilayah
bawahan: Afdeeling Tegal dan Afdeeling Brebes.
Afdeeling Tegal merupakan ibukota Residensi Tegal. Di sana terdapat
pelabuhan yang baik serta benteng yang kuat (peninggalan zaman Mataram).
Sebagian bangunan bekas benteng saat itu masih digunakan sebagai gudang. Di
afdeeling ini pula terdapat Kampung Pesarean yang merupakan kuburan
Susuhunan Mataram. Di Soera, yang terletak di bagian Selatan, di jalan menuju
Lebaksiu, terletak pekuburan orang-orang yang terkenal dari kalangan pribumi.
Wilayah Tegal dialiri Sungai Sengarung Losari. Di wilayah Timur,
tepatnya di Ulujami (Oeloe Djami), mengalir Kali Seragi, Sungai ini mengalur
dari arah Selatan, berhulu di Gunung Depok. Di sebelah Selatan terdapat jalur
pendakian gunung yang terhubung ke Gunung Slamet. Bagian Selatan Tegal
merupakan suatu dataran tinggi yang subur. Perbukitan di sana ditumbuhi aneka
36
Alamsyah, “Deskripsi Hinterland Karesidenan Tegal abad XIX”. Alamsyah adalah
pengajar sejarah pada Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Diponegoro.
27
ragam pepohonan termasuk hutan jati. Berbagai komoditas berasal dari sana
seperti beras, minyak kelapa, kopi, gula dan lain sebagainya.37
Bagian Utara Tegal dipenuhi bentang lahan aluvium yang luas yang
berubah menjadi tanah kwartier.Bagian tengahnya terdiri atas perbukitan tersier
yang termasuk tanah campuran. Bentang tanah di bagian Selatan terletak di
lereng Gunung Slamet. Tanah di sini berjenis tanah vulkanis. Kedua sungai
utama adalah Kali Rambut dan Kali Gung yang sumber airnya berasal dari
Gunung Slamet. Sungai tersebut mengalir di sepanjang ibukota Karesidenan
Tegal.Air di arus hilir Kali Gung sebagian besar dimanfaatkan untuk pengairan
sawah yang ditanami padi. Hasil panen ini dipasok untukmemenuhi pasaran
domestik yang terletak di dataran rendah.
Kota yang namanya berarti “dataran” atau “lembah” ini, mencakup lahan
seluas 18 Km2
dan dipotong oleh jaringan jalan pedati sepanjang 23 Km. Di
sepanjang tiga sisinya, Tegal memiliki batas-batas alami yaitu di bagian Utara
berbatasan denganLaut Jawa, di bagian Barat berbatasan dengan Brebes
danBagian timur dengan Pemalang38
Tegal terletak di jalan raya utama yang
menghubungkan Jawa Barat dan Jawa Timur di jalur Pantai Utara.Jalan yang
membentang dari Pantai Utara ke Pantai Selatan (Banyumas) dimulai di Tegal.
Pada abad ke-19,Jalan Raya Tegal-Prupuk-Bumiayu-Purwokerto-
Banyumas kondisinya sudah baik dan bisa dilalui kendaraan.39
Akibatnya, Kota
Tegal menjadi persimpangan lalu-lintas yang penting yang mempertemukan
sejumlah daerah. Banyak jalur darat yang menghubungkan Tegal dengan tempat-
tempat yang terletak di sekitarnya, sementara melalui jalur Perusahaan Trem Uap
Tegal dihubungkan dengan kota Semarang-Cirebon.
Pada umumnya, tanah datar yang membentang ke sisi Selatan bentuknya
berbukit-bukit. Sementara di perbatasan Banyumas, terdapat sebuah gunung yang
37
Johannes Jacobus de Holander, Handleiding Bij de Beoefening Der Land en
Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, eerste deel (Breda: Broese and Comp, 1874), hal. 309-
311. 38
Abu Su’ud, Semangat …, h.56 39
Sri Margana & M.Nursam (editor), Kota-Kota di Jawa, Identitas,Gaya Hidup dan
Permasalahannya (Yogyakarta: Ombak, 2010) h. 22.
28
bernama Gunung Slamet, atau yang dikenal pula dengan nama Gunung Tegal.
Secara umum,Karesidenan Tegal memiliki tanah yang subur. Sungai-sungai yang
mengaliri daerah ini berperan besar menciptakan kondisi itu.40
Pada 1815, tepatnya ketika Thomas Raffless menguasai Jawa, dilakukan
sensus penduduk di Karesidenan Tegal. Dari upaya itu diketahui bahwa total
populasinya 123.208 jiwa, dengan perincian 58.185 laki-laki dan 65.023
perempuan. Adapun klasifikasi penduduk karesidenan ini berdasarkan mata
pencahariannya adalah petani 11.693 jiwa, pekerja rumah tangga non-petani
7.990 jiwa. Dari jumlah tersebut dapat digolongkan 121.238 merupakan
penduduk pribumi dengan perincian 57.224 laki-laki dan 64.014 perempuan.
Jumlah penduduk Cina pada masa itu relatif besar yaitu sekitar 1.025 dengan
perincian 518 laki-laki dan 507 wanita. Sisanya 945 jiwa terdiri atas warga Timur
Asing, Eropa, dan Arab.
Selama kurun 15 tahun hingga 20 tahun berikutnya, populasi Karesidenan
Tegal mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada 1830 hingga 1835
jumlah penduduk di Tegal diperkirakan 230.000 jiwa. Jadi, dari data tersebut
diketahui telah terjadi peningkatan populasi di Karesidenan ini sekitar 90 %. Pada
1829, rata-rata penduduk per desa di Karesidenan Tegal adalah 86 orang.
Sedangkan pada tahun 1837-1840, penduduk Karesidenan Tegal mengalami
peningkatan lagi.41
Dalam suatu pencatatan penduduk yang diambil dari suatu penerbitan
tahun 1874, diketahui bahwa di Tegal terdapat komposisi penduduk: 523 orang
Eropa, 5074 orang Cina, 148 orang Arab dan 806.387 pribumi. Total dari
penduduk Tegal saat itu 812.132 orang.42
40
Ahmad Hamam, Ki Gede …, h.112. 41
Alamsyah, Deskripsi Hinterland …, h.14 42
De Holander, Handleiding …, hal. 311.
29
Tabel jumlah penduduk Karesidenan Tegal di beberapa distrik
tahun 1837 – 1840
Distrik 1837 1838 1839 1840
Brebes 19309 2053 21399 21.621
Losari 9109 8021 8276 8797
Tangungan - 4201 4310 4544
Bumiayu 10477 11083 12886 12861
Lebaksiu 9368 9205 11149 11425
Salem 5998 7035 7008 7405
Tegal 15844 13600 15535 15795
Krangdan 19743 19085 20010 21441
Maribaya 9154 9735 10675 10843
Kalisoka 13515 16903 17203 14659
Balamoa 15133 15346 15548 16023
Pangkah 22741 20103 20371 20862
Gantungan 4689 9208 9812 9858
Pemalang 18198 18735 19540 19597
Comal lor 10394 10435 11881 12083
Comal Kidul 5477 5284 7732 7996
Mandiraja 10939 11166 8997 9147
Bongas 6977 7368 8311 8490
Sumber: Algemeen Verslag van Residentie Tegal Over het Jaar 1840 (Algemeen
Verslag van Residentie Tegal Over het Jaar 1840, Bundel Tegal nomer 12/1)
Sedangkan pada akhir abad XIX jumlah penduduk Tegal 595.000 jiwa,
yang terdiri dari; 585.000 pribumi, 6.900 orang Cina/ Tionghoa, 1.700 orang
Eropa, dan 1.000 orang Arab.43
B. Awal masuknya Islam di Tegal
1. Teori awal masuknya Islam di Tegal
Sejak runtuhnya Dinasti Abbasiyah di Baghdad pada 1258 M44
,
peradaban Islam mulai hancur. Peristiwa ini memicu munculnya tujuh peradaban
Islam lainnya di tujuh wilayah belahan dunia yang berbeda. Adapun tujuh cabang
peradaban Islam itu adalah peradaban Islam Arab, Islam Persi (Persia), Islam
Turki, Islam Afrika Hitam, Islam anak benua India, Islam Arab Melayu, Islam
Cina. Peradaban Islam Arab Melayu tersebar di Asia Tengara yang memiliki ciri
43
Abu Su’ud, Semangat …, h. 57. 44
A.Latif Osman, Ringkasan Sejarah Islam (Jakarta: Widjaya,1992) h. 135.
30
universal yang tetap mempertahankan bentuk keaslian, namun menyandang
unsur-unsur local yang khas.45
Sejak abad ke-7, pedagang Muslim asal Arab, Persi, India telah datang ke
Nusantara. Dari Timur Tengah para pedagang berlayar kearah Timur melintasi
Laut Arab, Teluk Oman, Teluk Persi dan singgah di Gujarat.
Kemudian,perjalanan diteruskan ke Teluk Benggala atau langsung ke Selat
Malaka, terus ke arah Timur, yakni ke Cina atau sebaliknya. Bentuk kapal
mereka disesuaikan dengan modepenggunaan angin musim untuk pelayaran
pulang pergi.
Islam masuk Pulau Jawa pada abad ke-11, berdasar pada temuan benda
masa lalu berbentuk sebuah makam, yakni makam Fatimah binti Maimun di
Leran, Gresik (475 H/1082 M).Kendati demikian, dakwah Islam secara luas atau
islamisasi baru mulai tampak pada abad ke-15 M. Penyebar Islam di Jawa
terkenal dengan sebutan “Wali Songo” atau Sembilan wali46
. Mereka adalah: 1.
Maulana Malik Ibrahim, 2. Sunan Ampel, 3. Sunan Bonang, 4. Sunan Drajat, 5.
Sunan Giri, 6. Sunan Kalijaga, 7. Sunan Kudus, 8. Sunan Muria, dan 9. Sunan
GunungJati.
Menurut Samsul Munir:“Walisongo yang terkenal dan makamnya
menjadi tempat ziarah, adalah walisongo periode kedua –kecuali Sunan Maulana
Malik Ibrahim. Adapun walisongo periode pertama, adalah: 1). Maulana Malik
Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur Negara. Berdakwah di Jawa bagian
Timur. Wafat di Gersik tahun 1419; 2). Maulana Ishak berasal dari Samarkand,
Rusia Selatan. Beliau ahli pengobatan; 3). Maulana Ahmad Jumadil Kubra,
berasal dari Mesir. Ia kerap melakukan dakwah keliling,makamnya terletak di
Troloyo, Trowulan, Mojokerto; 4). Maulana Muhammad Al-Maghribi, berasal
dari Maroko. Ia juga gemarmelakukandakwah keliling, wafat tahun 1465; 5).
Maulana Malik Israil, berasal dari Turki, ahli dalam pemerintahan, wafat tahun
1435. Makamnya terdapat di Gunung Santri, Cilegon, antara Serang-Merak; 6).
Maulana Muhammad Ali Akbarberasal dari Persia (Iran). Ia adalah ahli di bidang
45
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo
Persada 2005) h.16-21. 46
Soedjipto Abimanyu, Babad Tanah Jawi (Jogyakarta: Laksana, 2014) h. 327.
31
pengobatan dan wafat tahun 1435 M: 7). Maulana Hasanudin, berasal dari
Palestina. Ia juga kerap melakukan safari dakwah dan menghembuskan nafas
terakhir pada 1462. Makamnya terletak di samping Masjid Banten lama; 8).
Maulana Aliyudin, berasal dari Palestina, seorang pendakwah ulung yangwafat
pada 1462. Makamnya terletak di Masjid Banten lama; 9). Syaikh Subakir,
berasal dari Persia, ahli di bidang kanuragan.47
Dalam penyebaran Islam,Walisongo lebih mengedepankan etika tasawuf
atau mistik. Pengaruh ini masih bisa kita rasakan di Jawa hingga saat ini. salah
satu cabang ilmu tasawuf yang menimbulkan kontroversi, yakni ajaran “wahdatul
wujud” (pantheistic) atau manunggaling kawula gusti, juga cukup mewarnai
penyebaran Islam di Jawa. Beberapa ulama serta pembesar Jawa banyak yang
menjadi tokoh kelompok tasawuf ini seperti Syaikh Siti Jenar, Pangeran
Panggung, Ki Cabolek, dan Syaikh Amongrogo.
Tarekat juga memiliki pengaruh dalam perkembangan Islam di Jawa.
berbekal ajakan mendekatkan diri pada Tuhan yang tertib, disertai pembiasaan
bacaan-bacaan zikir dengan jumlah tertentu, para guru tarekat ikut serta mendidik
masyarakat untuk selalu ingat pada Tuhannya. Para tokoh tasawuf dan tarekat
cukup berjasa dalam penyebaran Islam secara damai tanpa adanya kekerasan.48
Islam datang ke Tegal bersamaan dengan era Walisongo periode kedua,
terbukti dengan keberadaan Makam Sayyid Syarif Abdurrahman bin Sultan
Sulaiman (1400-an), yang dikenal oleh orang Tegal dengan sebutan Mbah
Suroponolawen. Ia berasal dari Bagdad, Irak. Semasa hidup, ia rajin melakukan
dakwah keliling di sekitar Tegal bagian Barat dan Selatan( termasuk wilayah
Dukuhturi, Adiwerna, Lebaksiu dan Slawi). Makamnya terletak di desa
Pagiyanten Kecamatan Adiwerna Tegal.
47
Samsul Munir Amin. SejarahPeradaban Islam (Jakarta : AMZAH, 2009) h. 315-317. 48
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad 17
& 18, h.15-17. Lihat juga S. Subardi, Serat Cabolek, kuasa, agama, dan pembebasan (Bandung:
Nuansa,2004) h.53-55. Kita juga jumpai sebagian masyarakat suka membaca Manaqib atau kisah
sejarah Syeh Abdul Qadir Jaelani, sebagai keyakinan bahwa dengan membaca manaqib itu dapat
keberkahan hidup. baca juga Moh. Saifullah Al-Azis (Penerjemah), Manaqib Syeh Abdul Qadir
Jailani (Surabaya:Terbit Terang, 2000).
32
Menurut juru kunci makam Mbah Suroponolawen, Abdul Haq: “Si Mbah
Suroponolawen berdakwah keliling di Tegal sampai Purbalingga, bahkan ke
Ceribon, karena beliau masih kerabat Syaikh Nurjati dari kakeknya.” Di samping
itu, terdapat nama pendakwah Islam lainnya yakni Sunan Drajat yang dikenal
dengan sebutan Mbah Panggung/Pangeran Panggung. Ia merupakan putra Raden
Rahmat (Sunan Ampel) dari istri yang berasal dari Campa (wafat 1520). Ia
berdakwah keliling dengan ajaran tasawufnya yaitu wahdatul wujud atau
manunggaling kawula gusti, yang pada akhirnya dihukum bakar oleh Raja
Demak. Menurut kepercayaan masyarakat Tegal, makamnya terdapat di
Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal, sebelah Timur Kota Tegal.49
Pada abad ke-17, terdapat nama lain yakni Muhammad bin Maulana al-
Maghribi yang terkenal dengan sebutan Syaikh Atas Angin (Ki Ageng
Dagang)50
. Ia memperkenalkan Islam disekitar Lebaksiu dan Pedagangan. Ia
menutup mata pada 1600-an dan kuburnya terletak di Desa Pedagangan,
Kecamatan Dukuhwaru, Kabupaten Tegal. Ki Gede Sebayu datang ke Tegal
beserta rombongannya sebanyak 40 kepala keluarga.Sekitar 1570-an, ia
membangun masyarakat Tegal melalui sisi ekonomi dan spiritual. Oleh sebab
prestasinya meningkatkan harkat hidup warga Tegal, ia mendapat sebutan Ki
Gede Sebayu. Ia menjadi panutan serta pemimpin masyarakat Tegal.
Ki Gede Sebayu juga menyandang peran sebagai mahaguru yang luas
ilmunya. Ia diyakini penduduk Tegal mempunyai wawasan keislaman yang luas.
Karya baktinya tidak berlangsung sepanjang zaman. Ia menghembuskan nafas
terakhir pada 1620 dan dimakamkan di Desa Danawarih, Kecamatan Balapulang,
Kabupaten Tegal. Setelah ia wafat, roda pemerintahan dilanjutkan oleh putra dan
menantunya, yaitu Raden Mas Hanggawana dan Pangeran Purbaya.Makam
keduanya berada di Desa Kalisoka, Kecamatan Dukuhwaru, Kabupaten Tegal.51
Pada tahun 1859-1885, koloni Arab mulai berdatangan ke Tegal,
terutama dari Hadramaut. Mereka yang datang ada yang bergelar Sayyid, ada
49
Abu Su’ud, Semangat …, ,h. 25. 50
Ahmad Hamam, KI Gede …, h. 62 dan 75. 51
Ahmad Hamam, Ki Gede …, h.196.
33
pula yang non-Sayyid.52
Salah satu pendatang yang belakangan berperan dalam
pengembangan Islam di Tegal adalah Habib Muhammad bin Thohir al-Haddad.
Ia dilahirkan di Geidun, Hadramaut pada 1838 danwafat pada 1885 di Tegal.
Makamnya terletak di Kelurahan Kraton, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal.
Semasa hidup, Habib Muhammad dikenal sebagai pendakwah ulung.
Sepeninggalnya, cicitnya yang bernama Habib Abdullah bin Hasan bin Husein
Al-Haddad melanjutkan dakwah sang kakek.
Terdapat pula seorang keturunan Arab Hadrami non-Sayyid yang
mengembangkan pendidikan Islam di Tegal. Ia bernama Kyai Armia bin Kurdi.
Kyai Armia mendirikan pesantren at-Tauhidiyyah pada 1880 di desa Cikura,
Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal. Setelah ia berpulang, dakwah yang
dirintisnya dilanjutkan oleh putranya yang bernama Kyai Said bin Armia.
Belakangan, Kyai Said mendirikan pesantren di Giren Kaligayam, Kecamatan
Talang, Kabupaten Tegal. Pondok pesantren ini masih berdiri hingga kini dan
pengelolaannya dilanjutkan oleh dua orang cucu Kyai Said yakni KH.Ahmad
Saidi bin Sa’id bin Armia bin Kurdi dan KH.Muhammad Hasani bin Sa’id bin
Armia bin Kurdi.
2. Jalur / Saluran penyebaran Islam
Kedatangan awal Islam di Tegal disinyalir melalui jalur darat. Hal ini
sebagaimana terlihat dalam cerita dakwah Sunan Kalijaga yang memulai tugas
ketuhanan ini melalui Rembang, Purwodadi, Salatiga, Kartasura, Kutaraja,
Kebumen, Banyumas, Tegal bagian Selatan, Brebes,dan Cirebon dan atau dari
Cirebon – Brebes – Tegal. Pola dakwah yang dikedepankan adalah dakwah
melalui kebudayaan. Cara ini terbukti ampuh meyakinkan sebagian penduduk
Cirebon untuk masuk Islam.53
52
L.W.C.Van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara (Jakarta:INIS, 1989)
h. 68. 53
Yudi Hadinata, Sunan Kalijaga (Yogyakarta: DIPTA, 2015) h. 62. Lihat juga Ahmad
Hamam, Ki Gede …, h.112. Di sini dijelaskan bahwa perjalanan Ki Gede Sebayu dari Pajang/
Kartasuro melewati Bagelen/Kedu-Purbaliga-Banyumas–Tegal bagian Selatan, kemudian
menyusuri Sungai Gung menuju Tegal. Ini menunjukkan jalur perjalanan yang ada pada saat itu.
34
Pada abad XIX, setelah Belanda memperbaiki Pelabuhan Tegal, banyak
pedagang Arab yang berdatangan ke Tegal. Pedagang ini kemudian membentuk
koloni Arab. Lingkungan mereka dengan cepat menjadi sentra dakwah bagi
masyarakat sekitar.54
Meskipun datang sebagai orang asing, tidak lantas membuat
orang Arab abai untuk bergaul dengan warga lokal. Berkat keahlian berdagang
dan kebijaksanaannya, mereka mampu mencuri hati penduduk sehingga
belakangan banyak penduduk Tegal yang belajar agama kepada mereka.
Terdapat beberapa metode dakwah yang dilakukan orang Arab.Pertama,
dakwah keliling dengan media tasawuf, yang lebih mengedepan kesantunan dan
kemampuan spiritual/mistis yang mudah diterima oleh hati masyarakat yang
beragama Hindu-Budha dan kepercayaan Animisme dan dinamisme. Kedua,
melalui pendidikan berupa media majlis dakwah atau pesantren. Hal ini mirip
dengan yang dilakukan oleh Kyai Armia bin Kurdi yang mendirikan pesantren
At-Tauhidiyah. Ia menjadikan pesantrennya sebagai basis pengajaran Islam. Jalan
sucinya ini kemudian dilanjutkan oleh anak dan cucunya hingga sekarang.
3. Tokoh-tokoh penyebaran Islam di Tegal
3.1 . Syarif Abdurrahman bin Sulthan Sulaiman (w.1400-an).
Syekh Syarif Abdurrahman bin Sulthan Sulaiman merupakan salah satu
tokoh penyebar Islam di Tegal. Penduduk sekitar mengenalnya sebagai Mbah
Suro/ Suroponolawen. Ia merupakanseorang ulama dari Bagdad, Irak,55
yang
datang sekitar tahun 1400-an, untuk menyebarkan agama Islam. Makamnya
terletak di desa Pagiyanten, Kecamatan Adiwerna. Makam ini ramai
dikunjungi/diziarahi masyarakat pada hari Jum’at Kliwon, dan tanggal 06 -12
bulan Maulid. Namun pada tanggal 8 Maulid lebih ramai peziarah yang datang,
karena diadakan peringatan Maulid Nabi Muhammadyang bertepatan dengan
tanggal wafatnya Mbah Suro.
54
Van den Berg, Hadramaut …, h.68. 55
Samsu Munir, Sejarah…, h.315. Syarif Abdurrahman bin Sulthan Sulaiman datang ke
Indonesia sezaman Walisongo periode pertama, bisa dilihat dari kesamaan dalam dakwah yaitu
dengan metode dakwah keliling, menjumpai masyarakat langsung.
35
Wilayah jelajah dakwah Syekh Abdurrahman meliputi Tegal bagian Barat
dan Selatan (Dukuhturi, Adiwerna, Lebaksiu dan Slawi).Menurut penuturan juru
kunci makamnya, yang bernama Abdul Haq mengatakan bahwa Syekh
Abdurrahman masih mempunyai hubungan kerabat dengan Syekh Idhofi atau
Syaikh Nur Jati dari garis kakeknya56
Di masa lalu,komplek pemakaman Syekh
Abdurrahman, oleh masyarakat sekitar diyakini sebagai tempat singgah Syekh
Abdurrahman ketika melakukan dakwah. Di sini pula ia dan para santrinya
mendirikan pemukiman. Jumlah santri yang dimakamkan di komplek
pemakaman ini lebih dari 25 orang. Jumlah ini yang kemudian mengilhami
penamaan komplek pemakaman ini menjadi makam Suroponolawen yang artinya
25 dalam bahasa Jawa.
3.2.Mbah Panggung/Pangeran Panggung (w.1520 M)
Mbah Panggung atau Pangeran Panggung merupakan soerang penyebar
Islam di kawasan Tegal yang kisah hidupnya dibubuhi kontroversi. Laku
dakwahnya berseberangan dengan model dakwah ulama lainnya yang
menekankan pada aspek syariat. Ia lebih dikenal sebagai penabur benih Islam
melaluijalur hakikat, yakni pengetahuan yang dianggap bukan konsumsi
masyarakat dengan tingkat beragama yang masih rendah.
Nama asli Sunan Panggung adalah Abdurrahman. Ia juga menyandang
gelar sebagai Sunan Drajat. Ia merupakan putra Sulung dari Raden Rahmat atau
Sunan Ampel dan ibunya merupakan wanita asal Campa. Sunan Panggung wafat
pada 1520.57
Ia dimakamkan di Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur,
Kota Tegal.
56
Lihat Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-
Negara Islam di Nusantara (Yogyakarta :LKIS 2005) h. 236. Dijelaskan bahwa Syekh Maulana
Ifdhil Hanafi (Syekh Idhofi) meninggal 1564, dalam usaha merebut Kerajaan Galuh di Periangan
Timur dan Garut. Dari waktu meninggalnya Syekh Abdurrahman dan Syekh Nur Jati terpaut
hampir satu abad ini kewajaran, karena bertemu kekerabatannya pada kakek, serta kesamaan
madzab fiqih syafi’I yang dipakai keduanya dalam berdakwah. Ia juga seangkatan dengan
Maulana Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419, di Gresik, Jawa Timur lihat juga Soedjipto
Abimanyu, Babad Tanah Jawi (Yogyakarta: LAKSANA, 2014) h.328. 57
Abu Su’ud,Semangat …, ,h. 28.
36
Ia mempunyai suatu gubahan sastrawi yang bernama Suluk Marang
Sumirang. Suluk ini berisi ajaran mengenai tasawuf esoterik yang maknanya
adalah pembebasan manusia dari hukum-hukum yang menghalangi rohnya
bersatu dengan Tuhannya. Dalam menyebarkan ajarannya, Sunan Panggung
ditemani dua hewan peliharaannya yang diberi nama Iman dan Taukhid (Tokid).
Paham beragama yang digagas Sunan Panggung mempunyai kemiripan
dengan ajaran Syekh Siti Jenar. Ajarannya lebih banyak menyasar pada masalah
hikmah, tasawuf serta pembersihan diri dari anasir yang mengganggu
tersambunya roh dengan dzat Tuhan. Bagi Sunan Panggung, pengajaran makrifat,
yakni pengetahuan tentang menyibak keberadaan Tuhan, merupakan penting
ditanamkan supaya manusia dapat mengerti tentang apa tujuan dari
kehidupannya.58
Kesamaan ini bukan tanpa sebab, dikarenakan Sunan Panggung
merupakan murid dari Syekh Siti Jenar sewaktu masih menetap di Cirebon.59
Sunan Panggung berdakwah dengan cara berjalan dan singgah dari satu
tempat ke tempat lain. beberapa daerah yang disinggahiny antara lain wilayah
Tegala bagian Timur, Slerok dan Langon (Kota Tegal sekarang), Mantran,
Balamoa dan Pangkah (Kabupaten Tegal bagian Timur. Ajarannya yang mirip
dengan paham Siti Jenar yakni manunggaling kawula gusti atau bersatunya dzat
manusia dengan Tuhan menimbulkan polemik di istana Demak. Oleh Raja
Demak kedua, ia dijatuhi hukuman bakar.60
Masyarakat Tegal, khususnya yang tinggal di wilayah Panggung, amat
memulyakan kedudukan Sunan Panggung. Kendati sang pujaan memiliki kisah
yang kontroversial, mereka tetap memulyakan sang tokoh salah satunya dengan
mengadakan haul tahunan Sunan Panggung yang biasanya diadakan pada bulan
Ruah atau Sya’ban dalam penaggalan Islam.
58
Lihat S.Soebardi, Serat Cabolek …, h. 54. Dalam Suluk Malang Sumirang dijelaskan
bahwa yang mengikuti hukum Islam secara membabi buta, yang mengagungkan syariat tidak
akan mendapatkan hakikat ilahiah. 59
Ahmad Hamam, Ki Gede …, h.34. 60
Lihat juga R. Michael Feener, "A Re-examination of the Place of al-Hallaj in the
Development of Southeast Asian Islam," dalam Bijdragen tot de taal-, land-en
volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia Vol. 154, No.4,
1998, hl. 571-592.
37
.
3.3. Syekh Muhammad bin Maulana Al-Maghribi (w.1600-an).
Syekh Muhammad bin Maulana al-Maghribu merupakan seorang
pendakwah yang banyak memusatkan kegiatannya di Pedagangan dan Lebaksiu.
Syekh Muhammad menyandang julukan sebagai Mbah Atas Angin, disandarkan
pada banyaknya kejadian menakjubkan semasa ia hidup. Sesuatu yang ajaib
menjadi salah satu tema yang menghiasi perjalanan dakwahnya.
Semasa Syekh Muhammad bermukim di Pedagangan, wilayah itu telah
dikenal sebagai sentra kegiatan niaga. Ia mendapati banyak saudagar di
sekitarnya mempunayi sifat kikir. Sang ulama kemudian mencari cara agar para
saudagar tersebut bersedia merubah sikapnya itu. suatu ketika ia mendapat
tantangan untuk membuat sawah di atas udara. Jika ia sanggup, maka para
saudagar dan penduduk Pedagangan akan berbondong-bondong masuk Islam. Di
akhir cerita, Syekh Muhammad berhasil melakukan hal ajaib itu dan berlakulah
konversi massal penduduk desa Pedagangan ke dalam Islam.
Kisah mengenai penyebaran Islam di Indonesia kerap dibubuhi oleh hal-
hal ajaib yang mistik. Ini merupakan salah satu corak narasi yang ditemukan
dalam tutur masyarakat tradisional. Ketika seorang pendakwah datang ke tengah
penduduk yang menganut ajaran Hindu-Budha, animisme atau dinamisme maka
cara pengenalan Islam berbekal kebolehan bertindak ajaib menjadi salah satu
syaratnya. Kejadian menakjubkan, seperti pembuatan sawah di atas udara,
membuat penduduk terpukau yang akhirnya memeluk Islam.61
Makam Syekh
61
Azyumardi Azra,Jaringan Ulama …, .h.15. Karakteristik para sufi penyebar Islam
adalah pengembara yang berkelana, yang secara sukarela hidup dalam kemiskinan. Mereka sering
berkaitan dengan pedagang atau kerajinan tangan, sesuai tarekat yang mereka anut. Mereka
mengajarkan teosofi sinkretik yang komplek, yang dikenal oleh masyarakat Nusantara. Mereka
menguasai ilmu magis dan memiliki kekuatan penyembuh dan menggunakan istilah dan unsur
kebudayaan lokal sebelum Islam dalam konteks Islam. Menurut Fauzi Robani pengasuh pondok
pesantren Al-Qutb di Desa Banjarsari kecamatan paling Timur yang berbatasan dengan kabupaten
Pemalang, bahwa Syekh Muhamad atau Mbah Atas Angin merupakan penyiar atau pendakwah
yang tidak diragukan keberadaannya dan makamnya telah diakui oleh Pemerintah Kabupaten
Tegal sebagai situs sejarah Islam di Tegal. Lihat juga Ahmad Hamam, Ki Gede …, hal. 62.
Disebutkan bahwa Ki Ageng Dagang atau Syekh Atas Angin berdakwah setelah masa Mbah
Panggung.
38
Muhammad atau Syekh Atas Angin berda di Desa Pedagangan, Kecamatan
Dukuhwaru, Kabupaten Tegal, skeitar 1, 5 Km dari pusat Kota Slawi.
3.4.Ki Gede Sebayu ( w.1620M ).
Ki Gede Sebayu adalah seorang tokoh pendiri dan penguasa pertama
Tegal yang diakuioleh pemerintahan Mataram Islam.Pada hari Rabu Kliwon
tanggal 18 Mei 1601atau 12 Rabiul Awal 1010 H/1524 Caka, ia diangkat
menjadi Juru Demang di Kadipaten Tegal oleh Ingkang Sinuhun Kanjeng
Panembahan Senopati Sayidina Penata Gama Ratu Bintoro Raja Mataram. Ia
wafat pada 1620, dan dimakamkan di Desa Danawarih, Kecamatan Balapulang.
Kabupaten Tegal.
Makam Ki Gede Sebayu selalu ramai didatangi para peziarah, apalagi
menjelang peringatan hari jadi Kabupaten dan Kota Tegal. Di momen itu banyak
pejabat yang datang seperti Bupati, Walikota, anggota DPRD, Kepala Dinas dan
lain sebagainya. Makamnya menjadi magnet keramaian spiritual di Tegal.
.Ki Gede Sebayu menjadikan Kalisoka sebagai basis awal pengembangan
Tegal. Ia juga menginisiasi pembanguan pesantre al-Quran sebagai sarana belajar
agama penduduk setempat. Semasa hidup, Ki Gede Sebayu menjadikan
penanaman pengetahuan agama sebagai hulu peningkatan harkat dan martabat
masyarakat Tegal. Tauhid menjadi landasan penting sebelum merencanakan
pembanguann-pembanguan di sendi-sendi yang lainnya seperti sosial, ekonomi
serta politik.62
Di masa kepemimpinan Sebayu, secara perlahan, Tegal mengalami
peningkatan jumlah penduduk. Sang pemimpin Tegal ini mempertalikan
hubungan kekerabatan antara pemukim awal dan para pendatang, bagaikan kisah
Nabi Muhammad yang menetapkan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan
62
Ahmad Hamam, Ki Gede …, h.115. Menurut Ibu Hj. Milah, Kepala Perpustakaan dan
Arsip Kabupaten Tegal, bahwa Ki Gede Sebayu merupakan tokoh pendiri wilayah Tegal dan
seorang pendakwah Islam, dengan mendidik dan mengajar masyarakatnya selalu seimbang antara
dunia dan akhirat agar kehidupan dunia serta akhiratnya bahagia. Lihat juga Musyrifah, Sejarah
Peradaban …, h.13.
39
Ansar di Madinah. Untuk meningkatkan pengetahuan agama, Ki Gede Sebayu
membangun masjid di Kalisoka, sebagai sentra ibdah dan dakwah masyarakat
setempat.
Peninggalan penting Ki Gede Sebayu lainnya adalah warisan teknik
bercocok tanam. Pengetahuan bercocok tanam ini dirasa bermanfaat oleh
penduduk Kalisoka dan Tegal secara umum, karena berhasil meningkatkan taraf
kehidupan mereka. Sebagai penunjang pengetahuan pertanian, Sebayu juga
mengajak warga untuk membangun sarana irigasi.63
Di masa ketika Sultan
Agung berupaya menaklukkan Batavia pada 1628 – 1629, Ki Gede Sebayu
meminta warganya untuk memasok kebutuhan beras pasukan Mataram.64
3.5.Muhammad bin Thohir Al-Haddad ( w. 1885).
Muhamad bin Thohir Al-Haddad lahir di kota Geidun, Hadramaut,
Yaman pada 1838.Beliau datang ke Indonesia pada 1870, untuk berdakwah.
Langkah mulianya ini akhirnya terhenti karena ia wafat pada1885 (18 Rajab 1316
H)dalam usia 47 tahun. Kegiatan dakwahnya dilanjutkan oleh putra-putranya.65
Makam Habib Muhammad terletak di Kelurahan Kraton, Kecamatan Tegal Barat,
Kota Tegal.
Adapun nasab lengkap Habib Muhammad yaitu; Habib Muhammad bin
Thohir bin Umar bin Abubakar bin Ali bin Alwi bin Abdullah (Shahiburratib) Al-
Haddad bin Alwi bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin
Alwi bin Ahmad bin Abubakar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin
Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin
Muhammad bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin
Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far As-Shadiq bin Muhammad
63
Ahmad Zaini ( Tokoh Kalisoka ) mengatakan bahwa Ki Gede Sebayu sebagai tokoh
pendiri Tegal telah mengajarkan masyarakat untuk hidup seimbang antara dunia dan akhirat.
Beliau juga mendirikan pesantren al-Qur’an dan masjid Agung Kalisoka. 64
Abu Su’ud, Semangat …, ,h. 41. 65
Menurut Van den Berg yang telah meneliti orang Arab Hadramaut, bahwa sebelum
tahun 1859, tidak tersedia data yang jelas mengenai jumlah orang Arab di Nusantara. Lihat Van
den Berg, Hadramaut …, h. 67-68.
40
Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib karramallahul
wajhah, suami dari Fatimah Az-Zahra putri Rasulullah S.A.W.
Ayah Habib Muhammad, yakni Habib Thohir bin Umar al-Haddad adalah
seorang ulama besar di kota Geidun, Hadramaut. Habib Thohir banyak membaca
buku di bawah pengawasan dan bimbingan ayah dan kakeknya, sehingga ia diberi
ijazah sebagai ahli hadis dan ahli tafsir. Habib Muhamad berdakwah di sekitar
daerah Kraton dekat pelabuhan Tegal. Menurut Habib Abdullah bin Hasan,
Habib Muhamad melakukan syiar Islam dari Yaman – India- Pakistan- Indonesia
(Tegal). Kedua putranya, Habib Husein bin Muhamad Thohir berdakwah di
Jombang dan Habib Alwi bin Muhamad Thohir berdakwah di Bogor.66
Makam
Habib Muhammad berada di sebelah selatan pelataran atau halaman Masjid.
Peringatan kaulnya dilaksanakan hamir setiap tanggal 15 bulan Syaban, dan
dihadiri warga Tegal maupun luar daerah / kota lain.
3.6.K.H.Armia bin Kurdi ( w.1930)
K.H. Armia lahir sekitar tahun 1850-an.Setelah pengembaraannya dalam
menuntut ilmu kepada banyak ulama, diantaranya ulama dari Kasuben, Lebaksiu
Tegal, Sumpuh Banyumas, Cirebon dan terakhir belajar dengan Kyai Anwar dari
Lemah Duwur, Tegal. Pada1880, ia mendirikan pesantren yang diberi nama At-
Tauhidiyah di desa Cikura, Kecamatan Bojong Kabupaten Tegal.
Kyai Armia memberikan materi dasar bagi pendidikan umat. Mata
pelajarannya berkisar pada tata cara sholat dan baca Al-Quran. Dalam
perkembangannya, ia jugamengajarkanTauhid atau usuludin67
. Oleh karena
metode pengajarannya yang dikenal mudah dicerna, dar waktu ke waktu, jumlah
muridnya terus meningkat.Ketika usianya mencapai 60 tahun, ia menikah dengan
Aliyah salah satu santrinya. Dari pernikahan itu, ia berputra Said bin Armia. Dia
lah yang kelak melanjutkan dakwah dan mendirikan Pesantren at-Tauhidiyah,
66
Habib Abdullah adalah cicit dari Habib Muhamad bin Thohir Al-Haddad. Ia yang
meneruskan dakwah di Tegal dan mendirikan Yayasan Pendidikan Al-Khairiyah. 67
KH.Saidi bin Said bin Armia bin Kurdi mengatakan bahwa pengajaran atau dakwahnya
Kyai Armia lebih menekankan pada tauhid yang berdasarkan Kitab Tauhid Imam as-Sanusi. Bani,
selaku penyuluh Agama Islam, mengatakan bahwa penyebaran Islam di Tegal pada abad 20,
sangat terbantu dengan adanya pesantren, terutama Pesanren At-Tauhidiyah yang didirikan oleh
kyai Armia.
41
Giren Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal. Pada 1974( 20 Rajab 1395 H)
K.H.Said wafat. Kegiatan dakwahnyadilanjutkan oleh kedua putranya,yaitu
KH.Saidi bin Said dan KH.Hasani bin Said.
Ibu Tamilah68
mengatakan bahwa dakwah Islam yang disampaikan oleh
KH.Armia adalah penyiaran Islam yang menekankan pada tauhid dan
syariat.Pengaruh ulama ini sangat besar, dibuktikan dengan adanya pesantren
yang masih berdiri sampai sekarang dan pengajian rutin yang masih dilanjutkan
oleh cicitnya yang dihadiri masyarakat dari berbagai daerah/kecamatan/desa di
Tegal. Keterangan ini diperkuat oleh Ahmad Bani, ia adalah Penyuluh Agama
Islam Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tegal.
4. Masjid bersejarah di Tegal
Masjid sebagai tempat beribadah umat Islam memiliki fungsi yang
beragam, baik ibadah ukhrawi maupun ibadah duniawi. Pada masa Rasulullah,
masjid berperan sebagai tempat menyelesaikan masalah umat, penyampaian
dakwah dan politik umat Islam, sehingga masjid merupakan sentral kegiatan
umat pada saat itu.
4.1.Pengertian Masjid
Masjid bagi umat islam memiliki arti yang besar dalam kehidupan, baik
arti fisik maupun spiritual. Kata “masjid”berasal dari bahasa Arab yang berarti
tempat sujud.Pada hakekatnya, masjid merupakan rumah Tuhan, sebagaimana
disebutkan dalam al-Quran surat At-Taubah ayat 107-109.Nash ini diperkuat
dengan hadis Qudsi Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abu Na’im dari
Sa’id al-Khudri r.a. Allah berfirman; “ Sesungguhnya rumah-rumah-Ku di bumi
ialah masjid-masjid dan para pengunjungnya adalah orang-orang yang
68
Ia adalah Kepala Kantor ARSIP dan Perpustakan Daerah Kab.Tegal tahun 2014-
sekarang
42
memakmurkannya.”69
Oleh karena masjid adalah tempat yang mulia, maka
dilarang membangun masjid diatas kuburan, sebagaimana hadis Rasulullah dari
Aisyahr.a yang diriwayatkan oleh Muslim r.a.70
Pada masa awal Islam
berkembang, niat mendirikan masjid merupakan hal yang sangat penting untuk
menentukan status dari masjid, apakah masjid itu termasuk dalam kategori masjid
Allah ataukah masjid riya.71
Masjid yang pertama kali dibangun oleh Nabi Muhammad SAW adalah
masjid Quba’ kemudian masjid Nabawi di Madinah. Kedua masjid tersebut
adalah masjid Taqwa, karena dibangun atas dasar ketakwaan. Dalam
perkembangan Islam,masjid merupakan sentral atau pusat dakwah,
pengembangan ilmu dan lambang kebesaran Islam. Keutamaan membangun
masjid, sebagaimana hadis Nabi Muhammad, adalah Allah akan membangunkan
sebuah bangunan yang serupa di surga, bagi siapa saja yang membangun masjid
di dunia.72
Banyak peninggalan masjid dalam sejarah Islam yang belakangan
dijadikanbukti kejayaan dan keberadaan penyebaran islam di suatu wilayah.
Sebagaimana masjid di Tegal, juga menjadi bukti sejarah penyebaran Islam dan
perkembangan serta dinamika umat Islam.
Dalam perjalanan sejarah Islam,masjid sangat strategis untuk menjadi
media dakwah, karena aktivitas membutuhkan tempat sebagai sentral atau pusat
kegiatan.Ditinjau secara doktrinal, masjid juga merupakan salah satu keutamaan
yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad, karena bumi ini dijadikan oleh
Allah sebagai masjid.Ini sejalan dengan keterangan dari hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim.73
Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, yang
pertama kali dibangunnya adalah masjid sebagai tempat kegiatan umat, baik yang
69
M.Ali Usman dkk, Hadist Qudsi (Bandung : Diponogoro,2005) h.135. Di dalam hadis
ini, Allah menerangkan kepada manusia bahwa Allah mempunyai rumah di bumi, yaitu masjid.
Orang Muslim mengerjakan ibadah dan mengabdi kepada-Nya, sehingga masjid menjadi tempat
yang mulia, siapa saja yang datang ke masjid dengan niat memakmurkannya , berarti ia adalah
tamu Allah yang mulia. 70
Idrus H.Alkaf ( penterjemah), Ihtisar Hadist Muslim (Surabaya : Karya Utama,2009)
h.117 71
Tim Penulis, Pedoman Manajemen Masjid (Jakarta: Fokkus Babinrohis ICMI dan
Yayasan Kado Anak Muslim, 2004) h. 7. 72
Lihat hadist ke-195 dalama Ihtisar Hadist Muslim yang diterjemahkan oleh
Idrus.H.Alkaf. Surabaya; Karya Utama 2009.h.118. masjid adalah rumah Allah 73
Idrus.H.Alkaf, Ihtisar …, h.116.
43
bersifat duniawi maupun ukhrawi. Ketika menyusun strategi perang,Nabi dan
para sahabatnya melakukannya di dalam Masjid Nabawi. Masjid pada saat
itudiibaratkan sebagai islamic center, yakni tempat membina hubungan manusia
dengan Allah dan hubungan manusia dan manusia.74
Di masa awal dakwah Islam di Arabia, banyak umat Islam yang mendatangi
Nabi Muhammad SAW untuk bertanya mengenai masalah hidupnya. Forum
pertemuan semacam ini biasa dilangsungkan di masjid. Begitu pula pada masa
Khulafah Ur-Rasyidin, masjid masih melanjutkan perannya sebagai tempat
kegiatan umat dan dakwah Islam. Penyebaran Islam di Jawa tidak lepas dari
peran masjid, surau dan langgar. Tempat-tempat ini mempunyai ruangan yang
luas, sehingga memungkinkan para santri untuk belajar dengan nyaman.
Apa yang terjadi di Arabia mempunyai kesamaan dengan di Tegal. Masjid
sebagai media dakwah sekaligus tempat pengajaran Islam.Terbukti dengan
adanya bangunan masjid di setiap balaikotakadipaten. Sejak zamankerajaan
Demak sekitar abad 15, pembangunan masjid menjadi suatu budaya yang
ditradisikan.Masjid menjadi maskot atau ikon di suatu pusat pemerintahan Jawa
seperti Masjid Demak, Masjid Agung Banten, Masjid Agung Ciptarasa
Kesepuhan Cirebon, Masjid Baiturahman Aceh dan lain sebagainya.75
Dalam
perkembangannya, masjid di Indonesia dikelompokan menjadi beberapa jenis
yakni: Masjid Negara, Masjid Nasional, Masjid Raya, Masjid Agung, Masjid
Besar dan Masjid Jami’.76
4.2.Masjid bersejarah di Tegal
Masjid merupakan salah satu buktipeninggalan sejarah yang tidak dapat
dibantah. Keberadaannya bersamaan dengan proses penyebaran Islam disetiap
tempat, seperti halnya Masjid Agung Banten yang didirikan pada masa Sultan
Maulana Hasanudin dan putranya Sultan Maulana Yusuf pada tahun 1566 M /
74
Achmad Subianto dkk, Pedoman Pelaksanaan Gerakan Memakmuran Masjid (Jakarta
: Kasala Mitra Selaras, 2008) h.14. 75
Samsul Munir, Sejarah Peradaban …, h.417. 76
Achmad , Pedoman Pelaksanaan …, h. 25.
44
966 H. Bangunan ini menjadi salah satu peninggalan sejarah di Banten dan bukti
penyebaran islam di daerah itu.77
Di Tegal, masjid menampilkan diri sebagai sentra umat yang
mempersatukan semua kalangan. Sebagaimana diketahui, dalam tata masyarakat
Jawa sebeleum kolonial, hubungan raja dan kawula (rakyat kebanyakan atau
orang kecil) terpaut derajat yang jauh. Hampir tidak mungkin dijumpai seorang
demang yang bergaul akrab dengan nelayan kecil. Perbedaan kelas semacam itu
dapat diminimalisir di masjid. Peribadatan atau ritual yang dilakukan di tempat
ini senantiasa menjunjung aspek kesamaan dan kolektivitas. Hal tersebut terlihat
dalam salat berjamaah dan doa bersama. Secara doktrinal, masjid di Tegal telah
memenuhi fungsi masjid sebagaiman di zaman Rasulullah di abad-abad
sebelumnya.78
Adapun masjid bersejarah di Tegal,yaitu:
4.2.1. Masjid Kewalian Kalisoka (didirikan sekitar 1602)
Sejarah Tegal tidak lepas kaitannya dengan Desa Kalisoka, sebuah desa
yang terletak di Barat Laut Kantor Pemerintah Kabupaten Tegal.Secara
administratif, Kalisoka ikut dalam Kecamatan Dukuhwaru, Kabupaten Tegal.Di
tempat inilah Ki Gede Sebayu bersama keluarganya tinggal dan membangun
pondok pesantren dan masjid yang kini dinamakan sebagai Masjid Kewalian
Kalisoka.
77
Muhammad Shohib, dkk. Heritage Islam Nusantara- Masjid Bersejarah di Jawa
(Jakarta : Lajnah Pentashihan Mushaf AL-Qur’an, Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2012) h.7. 78
Tim Penulis,Pedoman Manajemen …, h.87.
45
Yang cukup menarik untuk ditelisik, adalah Masjid Kewalian atau Masjid
Kalisoka, masih terjaga dengan baik, meskipun ada beberapa bagian yang
direnovasi. Di pelataran masjid terdapat jam matahari yang dulu digunakan untuk
menentukan waktu sholat. Hingga kini, jam tersebut masih ada, meskipun sudah
tidak digunakan lagi.Menara masjid menjulang tinggi di sisi masjid.Di bagian
dalam terdapat mimbar yang bentuknya masih tradisional, tampak kelambu hijau
yang menutupi mimbar tersebut.Pintu dan jendela masih menggunakan kayu jati
yang sangat awet.Atap masjid tidak terlalu tinggi, mekipun begitu, masjid ini
memiliki lantai bawah tanah yang lantai tersebut dekat dengan bibir sungai.
Tempat air untuk bersuci terlihat sangat unik. Para pengunjung tidak akan
menemukan kran air untuk wudhu, yang ada hanyalah kolam besar dengan
beberapa gayung untuk mengambil air.Tempat wudhu tersebut hampir digunakan
pada masjid-masjid model lama.
4.2.2. Masjid Al-Hikmah Pesekongan ( didirikan sekitar 1821)79
Secara geografis, Pasekongan berada dekat dengan kawasan pelabuhan Tegal.
Kondisi demikian menjadikan kampung ini menjadi persinggahan sementara
79
Masjid ini terletak di kota Tegal. Informasi mengenai masjid diperoleh dari Dinas
Pemuda dan Pariwisata Kota Tegal.
46
beberapa pendatang, seperti masyarakat dari luar pulau Jawa atau masyarakat
asing khususnya warga keturunan Arab, keturunan India khususnya warga
Gujarat atau Koja.
Dilihat sepintas dari depan, tidak ada yang istimewa dari Masjid
Pesekongan atau Masjid Al-Hikmah. Namun, ketika membaca maksud dari tanda
historis berupa candrasengkalan bergambar bunga melati dan mawar di bagian
atas pintu masuk, akan terlihat orosonalitas dan kekhasannya. Candrasengkala
tersebut menjadi prasasti berdirinya masjid Pasekongan. Dari pembacaan
candrasengkala itu diperkirakan bangunan masjid berdiri pada tahun 1241
Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 1821 Masehi.
Konstruksi bangunan masjid ini berbentuk bujur sangkar dengan ukuran
15x15 meter. Pilihan pada bentuk ini mengingatkan pada bentuk bangunan
Ka’bah. Atap masjid berbentuk limasan tumpang dua dan jumlah undakannya
berbilang genap. Tidak ada hiasan pada bangunan ini, kecuali ornamen flora
(melati dan mawar) diatas pintu masuk serta hiasan pada mihrab. Di lihat dari
pembacaan sejarah melalui sejumlah ornamen di masjid ini, dapat dipastikan
bahwa masjid ini mmepunyai fungsi penting dalam perkembangan dakwah Islam
di masa lalu.80
Masjid Pasekongan menjadi saksi bisu perkembangan Islam ketika Tegal
berada di bawah penguasaan Belanda pada abad 19. Dari sini, ajaran Islam
berhembus hingga mencapai kawasan pelabuhan Pasekongan lalu menyebar
hingga ke pedalaman. Bangunan ini mempunyai hubungan dengan Langgar
Dhuwur, tempat ibadah lainnya. namun dilihat dari segi usia, Masjid Pasekongan
lebih tua dari bangunan tersebut.
Dalam perkembangannya, Masjid Pasekongan telah mengalami sejumlah
perbaikan. ini dilakukan demi menjaga fungsi masjid sebagai tempat ibadah
sekaligu bermusyawarah warga sekitar. Masjid ini mengalami pemugaran pada
1981 dan diresmikan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kotamadya Tegal
pada 10 Januari 1982.
80
Yono Daryono, “Tegal Evolusi Sebuah Kota”, makalah yang dipaparkan dalam
peringatan hari jadi kota Tegal, ia adalah salah satu tokoh budayawan di Tegal, 2008, h. 7.
47
4.2.3. Langgar Dhuwur Pesekongan (1830 M)
81
Sekilas tampak depan tidak ada yang istimewa dari langgar ini. Namun
jika diteliti dan amati lebih jauh, ternyata langgar yang posisinya ada di
Pesekongan, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal ini
memiliki sejarah yang sangat penting bagi perkembangan Islam di Tegal.Langgar
ini diperkirakan dibangun pada 1830 yang posisinya ada di dekat laut yang fungsi
utamanya kala itu adalah untuk memenuhi kebutuhan peribadatan pelaut-pelaut
dari Bugis, Madura, Sumatera, dan Kalimantan yang sedang berlabuh di Tegal.82
Bangunan dengan bahan utama kayu jati ini memiliki luas bangunan 10 x
10 meter.Pada dinding bangunan, terbuat dari kayu dan ada sedikit motif bunga-
bunga dan jeruji kayu.Bentuk fisik bangunan ini disesuaikan dengan fungsi
utamanya, selain untuk beribadah, juga digunakan untuk beristirahat.Sehingga
sembari beristirahat, para pelaut bisa melihat langsung perahu-perahu yang
ditambatkan atau yang sedang berlayar. Langgar Dhuwur posisinya berada
dilantai kedua, sedangkan untuk lantai bawahnya, digunakan untuk tempat
istirahat para pelaut.Hingga sekarang, Langgar Dhuwur masih digunakan sebagai
tempat ibadah dan pengajaran Islam.
81
Photo diakses dari www.wisatategal.com 82
Yono Daryono, “Tegal Evolusi …, h. 9.
48
4.2.4. Masjid Agung Tegal ( 1825 M)
83
Pendapa Tegal, alun-alun dan Masjid Agung Tegal merupakan tiga
rangkaian penanda yang tak bisa dilepaskan dari sejarah Tegal. Pendapa Tegal
dan Masjid Agung Tegal merupakan bangunan yang didirikan bersamaan, yakni
pada tahun 1825. Masjid Agung Tegal membuktikan rangkaian pertumbuhan dan
perkembangan Islam di wilayah Tegal yang dimulai dari era Mbah Panggung.
Tetapi sumber lokal menyebutkan proses penyebaran Islam yang dilakukan Mbah
Panggung lebih mirip dengan percampuran Islam dengan tradisi setempat,
sehingga banyak dipercaya sebagai akulturasi Islam Kejawen. Saat pelariannya
dari Demak hingga ke Tegal, Mbah Panggung mengajarkan Islam melalui media
wayang, utamanya tokoh Kresna.
Intensitas penyebaran dan perkembangan Islam di kota Tegal dimulai
tahun 1821.Data tersebut merujuk pada candrasengkalan gambar Masjid Al-
Hikmah, Pasekongan, bergambar bunga melati dan mawar diatas pintu masuk
sebagai penanda berdirinya masjid tersebut. Pada masa itu,diyakini merupakan
periode masuknya warga keturunan Arab yang berasal dari Hadramaut ke
wilayah Nusantara. Migrasi keturunan Arab Hadramaut ke pulau jawa dimulai
pada abad 18 dan abad 19.84
Banyak dari mereka yang bermukim di Pekalongan,
Tegal, Brebes hingga Cirebon.
Masjid Agung Tegal menjadi simbol proses perkembangan Islam di
Tegal. Pendirian masjid ini diprakarsai oleh Kyai Abdul Aziz yang merupakan
pejabat penghulu pertama di Tegal diatas tanah yang ia wakafkan. Tanah tersebut
83
Photo tersebut merupakan dokumen dinas Pariwisata Kota Tegal. Bangunan ini hasil
renovasi tahun 1981. 84
Van den BERG, Hadramaut …, h. 67.
49
memiliki luas 2.864,36 m2. Kyai Abdul Azis memiliki cita-cita membangun
tempat ibadah sekaligus tempat syiar Islam. Pada mulanya, bangunan ini
memiliki satu kubah berbentuk limasan. Pada 1981, renovasi atas masjid ini
dilakukan dan menghasilkan 2 kubah limasan dan pemugaran terakhir dilakukan
pada 2014.85
Berada di kelurahan Mangkukusuman, Masjid Agung Tegal telah banyak
mengalami renovasi dan perluasan bangunan. Meskipun demikian, wujud asli
bangunan ini tetap dipertahankan, di antaranya dapat dilihat di bagian sokoguru,
mihrab dan pengimaman. Pada bulan Ramadhan, masjid agung menjadi tempat
penanda waktu berbuka. Pada 1970-an, terdapat tradisi peledakan petasan besar
sebagai tanda berbuka puasa.
C. Dinamika Umat Islam Tegal
1. Kehidupan Beragama
Umat Islam dari setiap daerah mempunyai tradisi dalam kehidupan
beragama, tidak terkecuali masyarakat Tegal. Adapun Tradisi keagamaan
masyarakat Tegal yang beragama Islam dibagi dalam tiga kelompok.Pertama,
masyarakat yang dalam kehidupan sehari-hari jarang menggunakan kosa kata
atau istilah yang ada hubungan dengan agama. Mereka juga kurang memenuhi
ritual harian umat Islam pada umumnya, seperti mendirikan shalat di lima waktu.
Ciri lainnya adalah nama mereka tidak menggunakan nama dengan bahasa Arab,
melainkan nama dari bahasa Jawa Tegalan di antaranyaseperti seperti Kasangan,
Kalwiyad, Saad, Wasmad, Daspan dan sebagainya. Sedangkan bagi kaum wanita
menggunakan nama seperti Sulki, Kasimah, Runtah, Tariah, Sayem, Bawon,
Danipah dan lain-lain.86
85
Data ini dari Dinas Pemuda dan Pariwisata Kota Tegal. 86
Abu Suud, Semangat …,h. 9. Menurut K.H. Fauzi, tradisi keagamaan orang Tegal
sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam. Walaupun ada tradisi lokal, tapi kebiasaan masyarakat
itu telah bercampur dengan budaya Islam, seperti acara tujuh bulanan pada orang yang hamil,
diadakan dengan lebih banyak dengan pembacaan kalimat tayibah. lihat Zaini Muchtarom, Santri
dan Abangan di Jawa (Jakarta: INIS,1988) h. 5. Santri adalah orang Muslim yang saleh yang
memeluk agama Islam dengan sungguh-sungguh dan dengan teliti menjalankan perintah-perintah
50
Kedua, orang Tegal yang banyak menggunakan nama-nama Arab, seperti
Muhammad,Dahlan,Amir, Mashuri, Zaenudin, Abdurahman, atau Tarmidi.
Dalam pergaulan, biasanya mereka kerap menggunakan istilah Arab pada
umumnya seperti Alhamdulillah, Astaghfirullah dan Insyaallah.
Ketiga, masyarakat kota yang secara intelektual lebih tinggi di banding
masyarakat pedesaan. Penggunaan bahasa dan nama mereka seperti yang
ditemukan dalam bahasa Jawa standar Solodan Yogyakarta. Sebagian nama
mereka juga ada yang menggunakan nama dari bahasa Arab.
Dari tiga kelompok di atas, yang pertama dan kedua umumnya bermukim
di pedesaan. Mereka memiliki model keagamaan Islam yang pengalanannya
dekat dengan kaum tradisional, seperti menunaikan shalat Idul Fitri di masjid.
Hal demikian tidak dijumpai di kalangan perkotaan yang mendirikan shalat Idul
Fitri di lapangan. Ketika memasuki bulan Ramadhan, biasanya warga pedesaan
akan menunaikan shalat tarawih dengan jumlah 23 rakaat. Hal tersebut berbeda
dengan kaum Muslim di perkotaan yang hanya menjalankan shalat tarawih
dengan 11 rakaat.
Secara umum, tipologi penggolongan Muslim di Tegal mempunyai
kesamaan sebagaimana yang ditetapkan oleh Clifford Geertz. Dalam suatu
penelitiannya ia membagi masyarakat Jawa dalam tiga kategori yakni abangan,
santri dan priyayi. Kehidupan mereka kerap dikaitkan dengan budaya
Jawa/Hindu yang sebagian masih percaya dengan perhitungan adanya hari baik
dan buruk (hitungan Jawa/saka).87
agama Islam sebagaimana yang diketahui, sambil berusaha membersihkan akidah dari syirik yang
terdapat di daerahnya. Sedangan, pengertian abangan adalah orang Islam Jawa yang tidak
seberapa memperhatikan perintah-perintah agama, dan kurang teliti dalam memenuhi kewajiban-
kewajiban agama, tetapi cara hidupnya masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa sebelum Islam. 87
Informasi ini dibenarkan oleh Bani, penyuluh Agama Islam, yang mengatakan bahwa
tradisi jawa masih melekat pada sebagian masyarakat Tegal sampai saat ini. Lihat juga Khaeroni,
Peran Sosial Santri dan Abangan (Jakarta: Penamadani, 2007). Menurutnya perbedaan santri dan
abangan terletak pada tingkat prilaku religiusnya.
51
2. Kehidupan Ekonomi
Pada umumnya, masyarakat Tegal berprofesi sebagai petani. Sebagian
lain yang tidak mempunyai arelah persawahan, bekerja sebagai buruh di sawah
orang atau bekerja di perkebunan.Pada abad ke-19, kehidupan ekonomi Tegal
ditopang oleh daerah pedalaman yang menghasilkan gula, beras dan palawija.
terdapat beberapa areal perkebunan tebu, indigo, kopi, serta berdiri pula beberapa
pabrik gula di Tegal. Selain itu ada pula masyarakatyang beternak sapi, kerbau
dan lain-lain. Kondisi ini menunjukkan bahwa peran suplai pedalaman akan
sangat mempengaruhi aktivitas ekonomi di pesisir, khususnya di pelabuhan
Tegal.88
Secara ekonomi, Tegal mempunyai potensi yang cukup besar karena
daerah pedalamannya menjadi sumber penghasil kekayaan bagi masyarakatnya.
Pada 1815 hingga tahun 1830, diperkirakan prosentase keluarga petani sekitar
87%, sedangkan prosentase keluarga pemilik tanah sekitar 68%. Jadi, kehidupan
agraris masyarakatnya masih mendominasi.Sisanya, sekitar 13%, bergerak di luar
sektor pertanian.
Jumlah kepala keluarga yang mempunyai tanah sendiri cukup besar,
sedangkan yang tidak memiliki tanah sekitar 32%89
Ketika diberlakukannya
cultuurstelseelpada abad 19, yang mewajibkan setiap desa untuk menyisihkan
20% tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor dan hasil tanaman di jual ke
Pemerintah Kolonial dengan harga tertentu dan hasil panen diserahkan kepada
pemerintah kolonial.Sedangkan bagi masyarakat yang tidak memiliki tanah,
diharuskan bekerja selama 75 hari dalam setahun (setara dengan 20%) pada
perkebunan pemerintah kolonial.90
Di bidang peternakan, setiap rumah tangga di Karesidenan Tegal telah
terbiasa dengan pemeliharaan kerbau.Biasanya setiap rumah tangga ini terdiri
88
Alamsyah, “Deskripsi Hinterland Karesidenan Tegal Abad XIX”, h.16 89
Peter Boomgaard, “ Mengubah Ukuran dan Perubahan Ukuran : Pertumbuhan
Pertanian daerah di Pulau Jawa, 1815-1875” dalam Anne Booth, dkk, Sejarah Ekonomi
Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1988) h.190. 90
Htts://fandytindi.wordpress.com/2014/06/20/politik-kolonial-belanda-abad-ke-19.
Lihat juga htt:// siska puspitasari.warta sejarah.blogspot.com/2013/07/politik-kolonial-belanda-
abad –ke-19 diakses pada 5 September 2018.
52
dari 5 jiwa. Secara rinci jumlah kerbau yang dimiliki oleh setiap rumah tangga
digambarkan di bawah ini:91
Rata-Rata Jumlah Kerbau Setiap Rumah Tangga Tahun 1815-1839
Kurun Waktu 5 Tahun Jumlah Setiap Rumah Tangga
1795-1799 0,73
1800-1804 0,66
1805-1809 0,79
1810-1814 -
1815-1819 0,68
1820-1824 -
1825-1829 -
1830-1834 0,70
1835-1839 0,84
Rata-rata jumlah kerbau yang dimiliki oleh setiap rumah tangga selama
kurun waktu 45 tahun tersebut sekitar 0,73. Data di atas menunjukkan bahwa
fluktuasi kepemilikan kerbau di Karesidenan Tegal tidak terlalu tinggi. Jumlah
kerbau tertinggi yang dimiliki oleh setiap rumah tangga terjadi pada tahun 1835-
1839 yaitu sekitar 0,84 perrumah tangga.
Pusat perdagangan petani di Tegal biasanya dilakukan dipasar dan di tepi
sungai sehingga mudah untuk diakses. Petani melakukan perjalanan ke hulu pasar
di daerah pedalaman di Tegal untuk menjual hasil berasnya.Kebanyakan beras
hasil dari Tegal digunakan untuk konsumsi ekspor. Di pasar, berbagai hasil
daerah Tegal maupun daerah lain juga diperjualbelikan,antara lain buah-buahan,
91
Alamsyah, “Deskripsi …”, h. 20.
53
produk industri seperti keranjang, pot, aneka ragam tekstil, unggas (ayam dan
itik), dan yang utama dalam pasar pesisir adalah ikan segar.92
Dari tahun ke tahun, perekonomian masyarakat Tegal mengalami
peningkatan. Indikatornya adalah hasil panen pertanian yang cukup
menguntungkan dan adanya diversifikasi produk-produk utama di Karesidenan
Tegal.Sebelum1841, sebagian besar tanah pertanian masih menggunakan metode
tadah hujan. Namun, atas usulan pemerintah pada 1836, maka pada tahun 1840-
an, pembangunan proyek irigasi untuk persawahan mulai diadakan. Dengan
demikian, tanah pertanian yang semula tergantung pada tadah hujan dapat diubah
menjadi lahan yang baik, tidak tergantung musim hujan dan produktif.93
Di luar sektor pertanian dan penangkapan ikan, ada berbagai cabang
kerajinan seperti;kerajinan besi, tembaga, perak dan kerajinan emas. Demikian
juga untuk tenaga yang membutuhkan keahlian seperti tukang batu, tukang kayu,
tenun katun, pemintalan, pembuatan genting, pembakaran pot dan pembuatan
kapur yang mengalami kenaikan pesat. Pada 1837, sektor pembuatan kapur
menghasilkan 24.204 ton. Pada1838 hingga 1841, terjadi lonjakan hasil produksi
sebanyak 38.153 ton, 42.661 ton, 61.502 ton dn 72.084 ton. Sebagian besar hasil
produksi kapur tersebut digunakan untuk konsumsi lokal.
Di sektor pembuatan genting dan pembuatan pot juga mengalami
kenaikan produksi. Kondisi ekonomi masyarakat dipercepat dengan adanya
pembukaan empat pabrik gula baru di Karesidenan ini, sehingga membuat
banyak tenaga pertukangan yang semakin diperlukan.94
Di sektor hutan, daerah pedalaman Tegal merupakan penghasil kayu, baik
untuk keperluan industri, pribadi, maupun jual-beli. Dan di sektor usaha
pembuatan garam juga telah menjadi mata pencaharian sebagain penduduk Tegal
yang hidup di pinggir pantai. Kondisi ini hampir dijumpai di sepanjang pantai
utara Jawa.
92
Suputro, Tegal dari Masa ke Masa (Tegal: Bagian Bahasa Djawatan Kebudayaan
Kementerian P.P. dan K, 1959) h.23. 93
Ahmad Hamam, Ki Gede …, h. 223; Lihat juga di ANRI, Algemen Verslag van
Residentie Tegal Over het Jaar 1841, Bundel Arsip Tegal No.12/2. 94
Alamsyah, Deskripsi …, ,h. 25.
54
3. Kehidupan Sosial-Budaya
Pelaksanaan tanam paksa (cultuurstelsel) oleh Pemerintah Hindia Belanda
membuat kesengsaraan berkepanjangan bagi rakyat Tegal. Sebelum ini,
penduduk Tegal telah merasakan penderitaan kerja paksa berupa pembuatan jalan
dari Anyer kePanarukan, Jawa Timur.Kerja paksa dan tanam paksa ini
berpengaruh besar dalam perubahan sosial budaya masyarakat Tegal. Keseharian
mereka yang sebelumnya diisi oleh akivitas di sawah atau pkebun, berganti pada
pemerasan tak terperi.
Sistem tanam paksa yang dilakukan oleh Belanda sejak 1830 mengalami
penyimpangan dalam pelaksanaannya, yaitu;
a. Perjanjian penyediaan tanah dilakukan dengan paksaan
b. Tanah yang digunakan lebih dari seperlima bagian
c. Pengerjaan tanah untuk tanam paksa melebihi waktu menanam padi
d. Tanah tersebut masih terkena pajak95
e. Kelebihan hasil panen tidak diberikan kepada petani
f. Kegagalan panen merupakan tanggung jawab petani
g. Buruh dijadikan tenaga paksaan
Untuk menjamin agar para bupati, wedana, camat dan kepala desa
(pangreh praja) menunaikan tugasnya denganbaik,Pemerintah Belanda
memberikan rangsangan yg disebut cultuurprocenten. Disamping penghasilan
tetap, sehingga terjadi ketimpangan pendapatan antara para kepala desa dan
rakyatnya.96
Sejak awal pemerintahan Gubernur Jenderal J. Van Bosch, pemerintah
kolonialBelanda menganggap penguasa pribumi sangat penting sebagai pejabat
95
Dalam prakteknya tanam paksa digabungkan dengan sewa tanah yang tinggi. Lebih
lanjut lihat Robert van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa,terj.Hardoyo (Jakarta: LP3ES, 2003)
h.19. 96
Anton E.Lucas, Peristiwa Tiga Daerah:Revolusi dalam Revolusi (Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1989) h. 13.
55
lokal yang mempertahankan hak-hak istimewanya, terutama kedudukan dalam
adat kebiasaan di mata masyarakat.Untuk itu, pemerintah mengembalikan para
bupati kepada kedudukannya seperti semula, sehingga mempermudah bagi
Belanda untuk mengatur dan mengawasi rakyat melalui penguasa lokal.97
Pada umumnya, dalam keseharian, orang Jawa menggunakan bahasa Jawa
dalam kehidupan bermasyarakat.Pegawai kolonial biasanya berbahasa Melayu
atau Belanda. Masyarakat Tegal kebanyakan menempati posisi startifikasi sosial
sebagai orang kecil, khsuusnya yang berprofesi sebagai petani di wilayah
pedesaan.Penduduk desa adalah para petani yang kurang terpengaruh oleh pihak
luar, dibanding dengan golongan –golongan masyarakat lokal lainnya.98
Setelah UU Agraria 1870 diterapkan, masyarakat Hindia Belanda
memasuki periode imperalisme modern. Dengan diterapkannya opendeur
politiek,yaitu politik pintu terbuka terhadap modal-modal swasta asing,hal itu
mendorong Indonesia dijadikan tempat untuk berbagai kepentingan, seperti:
a. Mendapatkan bahan mentah atau bahan baku industri di Eropa.
b. Mendapatkan tenaga kerja yang murah
c. Menjadi tempat pemasaran barang-barang produksi Eropa
d. Menjadi tempat penanaman modal asing.
Berlakunya sistem ekonomi liberal ini mengakibatkan dua hal.99
Pertama,
Memberikan keuntungan yang besar bagi Belanda, berupa:
a. Keuntungan yang besar bagi kaum swasta Belanda
b. Hasil-hasilproduksi perkebunan dan pertambangan mengalir ke Belanda
97
J.van Bosch mengembalikan kedudukan para bupati untuk melaksanakan tanam paksa,
karena bupati sebagai pemimpin yang mengawasi penduduk pribumi lebih di patuhi tanpa
pemerintah colonial turun tangan. Dalam hal ini mempermudah pekerjakan Pemerintah Belanda.
Kebijakan ini dikukuhkan dalam Regerings Reglement Tahun 1854( RR 1854 ) Pasal 67 dan 69.
Lebih lanjut lihat P.J. Suwarno, Sejarah Birokrasi Pemerintah Indonesia dahulu dan sekarang
(Yogyakarta: Universitas Atma Jaya,tt) h. 30. 98
Zaini Muchtarom, Santri …, h. 2. 99
Http//:oktadwifernindi.blogspot.com/2012/11/ kebijakan -pemerintah- kolonial-
belanda.htm/, diakses pada 5 September 2018.
56
c. Belanda menjadi pusat perdagangan hasil dari tanah jajahan.
Kedua, pemberlakukan ini mengakibatkan problem besar bagi rakyat Indonesia,
antara lain:
a. Kemerosotan tingkat kesejahteraan penduduk
b. Adanya krisis perkebunan tahun 1885, karena jatuhnya harga gula dan
kopi
c. Menurunnya konsumsi bahan makanan,terutama beras
d. Menurunnya usaha kerajinan rakyat karena telah tersaingi dengan barang
impordari Eropa
e. Penghasilan menurun, karena pengangkutan dengan gerobak berkurang
setelah adanya kereta api
f. Rakyat menderita, karena masih diterapkannya kerja rodi dan hukuman
yang berat bagi pelanggar peraturan.
Kondisi pedesaan yang miskin menjadikan kehidupan sosial-budaya
orang Tegal terbelakang. Hal ini berbanding terbalik dengan animo beragama
orang Tegal yang mengalami peningkatan. Hal ini ditandai dengan banyaknya
masyarakat Tegal yang meminta paspor haji kepada pemerintah pada 1858.100
Tidak bisa dipungkiri, haji merupakan suatu hal yang menjadi barometer
keberhasilan dan ketakwaan seseorang di masyarakat Tegal.
100
ANRI, Arsip Tegal tahun 1858, no.198B/3,KEAGAMAAN,diverse, naik haji.
57
BAB III
KEBIJAKAN PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA
A. Kebijakan dalam Bidang Politik
Umat Islam merupakan mayoritas penduduk Nusantara khususnya di
pulau Jawa. walaupun kepercayaan orang Islam Indonesia masih bercampur
dengan animisme, Hindu dan Budha, mereka tetap menganggap agamanya
sebagai alat pengikat yang kuat antaradirinya denganorang lain. Dalam beberapa
kasus, Islam kerap digunakan sebagai ideologi pemersatu masyarakat Nusantara
untuk mengadakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial yang merupakan
representasi dari orang asing penganut Kristen.101
Tatkala bangsa Eropa datang ke Indoensia, mereka segera dihadapkan
pada persepsi bahwa Islam telah menjadi kekuatan politik yang harus
diperhitungkan. Kebanyakan perlawananan orang Indonesia terhadap bangsa-
bangsa Barat dilakukan oleh orang yang beragama Islam. ideologi Islam
merupakan kekuatan sosial yang besar sekali dalam mengadakanperlawanan
terhadap kekuatan asing, baik dalam perang besar seperti Perang Padri, Perang
Diponegoro,Perang Aceh, maupun pemberontakan–pemberontakan petani seperti
peristiwa Cilegon dan Cimareme.Kesemuanya dipimpin oleh pemuka agama
Islam dan dijiwai oleh ideologiIslam.102
Karena minimnya pengetahuan tentang Islam, awalnya Belanda tidak
berani mencampuri agama ini secara langsung. Oleh karena itu, Islam sangat
ditakuti dan dianggap mirip dengan Katolik. Belanda membayangkan bahwa
Islam sebagai agama yang diorganisir secara ketat, serupa dengan agama Katolik
Roma, dengan susunan kebiaraan hierarkis yang bersekutu dengan Khalifah
101
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta : LP3ES, 1985) h.12. 102
Sartono Kartodirdjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid 5 (Jakarta: Balai Pustaka
1977) h. 75.
58
Turki serta memegang kekuasaan besar terhadap pemerintah lokal di Indonesia
dan rakyatnya, dengan kehidupan yang diantur oleh hukum Islam.103
Pemeirntah Hindia Belanda masih melakukan pengkajian terhadap orang-
orang Nusantara. Mereka amat hati-hati melakukan hal ini, karena tidak ingin
jika di kemudian hari terjadi kesalahan fatal yang membenturkan kepentingan
mereka dengan gairah keislaman penduduk setempat. Bahkan, Pemerintah Hindia
Belanda sempat merasa tidak perlu mencampuri urusan keislaman. Hal ini
terlihat dalam penetapan Undang-Undang Hindia Belanda ayat 119 RR yang
menyatakan bahwa:“Setiap warga negara bebas menganut agamanya, tidak
kehilangan perlindungan masyarakat dan anggotanya atas pelanggaran peraturan
umum hukum agama.”104
Sebelum kedatangan C. Snouck Hurgronje ke Indonesia, pemerintah
kolonial Belanda merasa takut dan kawatir terkait masalah Islam sehingga
merumuskan tiga kebijakan pokok. Pertama, Pemerintah Belanda harus
mengadakan aliansi dengan para pangeran, priyai, raja atau sultan maupun kepala
adat pribumi. Mereka dianggap Belanda sebagaikelompok yang tidak terlalu
fanatik bahkan anti Islam. Kedua, pemerintah kolonial Belanda harus
mengadakan proses pengkristenan/kritenisasi kepada sebagian besar masyarakat
pribumi guna menghilangkan pengaruh Islam. Ketiga, Pemerintah Belanda harus
membatasi orang Islam yang pergi haji ke Mekkah, karena orang haji dianggap
biang keladi yang menyebarkan agitasi dan pemberontakan di Indonesia.105
Pada tahun 1889, C. Snouck Hurgronje106
datang ke Indonesia. Perannya
di kemudian waktu banyak mempengaruhi kebijakan Pemerintah Hindia Belanda
terkait masalah Islam. Snouck melawan ketakutan Belanda terhadap Islam, baik
103
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang, Terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1980) h. 38. 104
Aqib Suminto, Politik .., h.10. 105
Effendi, “Politik Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia dalam perepektif
sejarah ( Studi Pemikiran Snouck Hurgronye)” , dalam Jurnal Tapis, Vol.8, no.1, 2012, h. 96. 106
C. Snouck Hurgronje adalah tokoh orentalis berkebangsaan Belanda. Ia lahir di
Oosterhout, Belanda tanggal 8 Februari 1857 dan meninggal pada tanggal 26 Juni 1936. Ia adalah
ahli di bidang bahasa Arab, agama Islam, bahasa dan budaya Indonesia. Berkat keahliannya itu, ia
diangkat sebagai penasihat Pemerintah Kolionial Belanda dalam masalah agama islam dan Hindia
Belanda untuk menghadapi problem pemerintah dalam mengatasi pemberontakan pribumi dan
mengokohkan kekuasaan kolonial di Hindia Belanda. Lihat juga Budi Ichwayudi, “Hipokritisme
Tokoh Orientalis Christian Snouck Hurgronje”, dalam Religio, Vol. 1, No. 2, 2011.
59
di tingkat lokal maupun internasional. Menurut Snouck, dalam Islam tidak
mengenal lapisan kependetaan seperti Katolik, khalifah Turki bukan kepala
agama Islam, tidak memangku jabatan keagamaan dan tidak dapat mengambil
keputusan dalam perkara keagamaan. Khalifah hanyalah simbol yang hampir
tidak berdaya bagi kesatuan umat Islam. Mayoritas umat Islam Indonesia,
termasuk juga kiai, tidaklah apriori fanatik. Penghulu merupakan bawahan
pemerintah pribumi dan bukan atasannya.Baik mereka sendiri maupun kepala
pejabat agama bukanlah pemerintahan yang terpaku pada fanatisme Islam. Para
kiai dan ulama adalah independen, mereka bukan komplotan penjahat tetapi
hanya ahli Kitab Suci dan guru-guru agama. Pergi haji ke Mekkah bukan
bermaksud menjadi fanatik yang penuh semangat pemberontakan.107
Snouck juga menegaskan bahwa umat Islam di Indonesia pada
hakekatnya penuh damai, namun dia juga tidak buta akan kemampuan politik
fanatisme Islam. Menurut Snouck, musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai
agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik. Itulah sebabnya, dalam bidang
agama, pemerintah kolonial Belanda hendaknya memberikan kebebasan kepada
umat Islam untuk menjalankan agamanya, selama tidak menganggu kekuasaan
pemerintah serta menindak tegas setiap faktor yang bisa mendorong munculnya
pemberontakan politik.108
Oleh karena itu, Snouck membedakan Islam dalam arti
ibadah dan Islam sebagai kekuatan sosial politik. Dalam hal ini, ia membagi
Islam menjadi tiga katagori: 1. bidang agama murni atau ibadah. 2. bidang sosial
kemasyarakata.3. bidang politik. Di mana masing-masing bidang membutuhkan
pemecahan yang berbeda.109
Snouck memberikan solusi atas permasalahan itu sebagai berikut:
1. Bidang agama murni atau ibadah, pemerintah kolonial Belanda pada
dasarnya harus memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk
menjalankan ajaran agamanya, selama tidak menganggu kekuasaan
Pemerintah Belanda. Mengenai bidang ini, pemerintah kolonial Belanda
tidak boleh menyingung dogma atau ibadah murni umat Islam, karena
107
Harry J. Benda, Bulan …, h.41-42. 108
Budi, “Hipokritisme …” 109
Effendi, Politik …, h.100
60
dogma ini tidak berbahaya bagi pemerintah kolonial. Menurut Snouck, di
kalangan umat Islam Indonesia akan muncul suatu perubahan secara
pelan untuk meninggalkan ajaran agama Islam. Ia melihat bahwa pada
abad ini, ketaatan sepenuhnya dalan melaksanakan ajaran agama Islam,
seperti shalat lima waktu, zakat, puasa merupakan beban berat bagi umat
Islam. Beban berat tersebut dinilainya akan menyebabkan mereka
semakin menjauhi ikatan yang dinilainya sempit dan kolot.110
Oleh karena
itu, campur tangan pemerintah kolonial Belanda dalam hal ini malah akan
memperlambat proses perubahan, maka pemerintah diharapkan netral
terhadap agama.111
Snouck juga menganjurkan agar pemerintah kolonial
Belanda melestarikan tradisi nenek moyang orang pribumi dan
mengupayakan agar Islam hanya menjadi agama masjid, dalam artian
agama hanya dijadikan ibadah kepada Tuhan semata dan tidak menjadi
perilaku keseharian masyarakat Indonesia. Langkah ini diambil karena
Islam merupakan suatu kekuatan yang membahayakan kelangsungan
penjajahan Belanda di Indonesia.112
2. Bidang kemasyarakatan, pemerintah kolonial Belanda harus
memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dengan
cara menggalakkan rakyat pribumi agar mau menyesuikan diri dengan
kebudayaan Belanda. Tujuannya adalah untuk mempererat ikatan antara
negara yang menjajah dengan negara yang dijajah, melalui kebudayaan
dan yang menjadi lapangan garapan utamanya adalah pendidikan.113
Melalui sistem pendidikan yang tidak lagi berdasarkan kurikulum
pesantren, maka akan lahir generaasi baru yang berorientasi budaya Barat.
Untuk memenuhi tujuan itu, diperlukan pendukung sistem politik yang
disebut dengan politik asosiasi. Politik asosiasi adalah untuk menciptakan
110
Aqib Suminto, Politik Islam …,h.12 111
Lihat undang-undang Dasar Belanda ayat 119 tahun 1855 yang menyatakan bahwa
pemerintah bersikap netral terhadap agama. Namun, pada kenyataannya antara teori dan praktek
sangat berbeda, bahkan sampai tahun-tahun terakhir kekuasaannya, kebijakan Belanda terhadap
agama lebih tepat dikatakan ikut campur tangan daripada bersikap netral .lihat Aqib Suminto,
Politik Islam …, h. 26-27. 112
Entri Christian Snouck Hurgrounje dalam Abudin Nata, Ensiklopedi Islam jilid 6,
(Jakarta: Icthiar Baru van Hoeve,2005) h. 227. 113
Aqib Suminto, Politik Islam …, h.38.
61
sikap keterbukaan generasi muda Islam, yang bergantung pada budaya
Barat, dengan kata lain, menciptakan generasi baru yang tidak lagi
memiliki identitas budaya pribumi. Dengan adanya asosiasi kebudayaan
antara negara yang menjajah dengan negara yang dijajah akan
menghilangkan cita-cita Pan Islam dari segala kekuatan.114
Secara tidak
langsung, asosiasi kebudayaan juga akan bermanfaat bagi penyebaran
agama Kristen, sebab penduduk pribumi yang telah berasosiasi akan lebih
mudah menerima panggilan missi kristenisasi. Penerapan asosiasi
kebudayaan, pada hakekatnya bukan berarti pengembangan seluruh
masyarakat pribumi, karena secara keseluruhan ternyata masyarakat
pribumi tidak tersentuh oleh asosiasi kebudayaan.
3. Bidang ketatanegaraan, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang
akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islam.115
Unsur politik
dalam Islam harus diwaspadai dan kalau perlu ditindak secara tegas.
Umat Islam diberikan kebebasan untuk menjalankan agamanya,
menghormati hukum Islam yang sesuai dengan hak asasi manusia. Akan
tetapi pada saat yang sama menolak berbagai pengaruh asing yang
menjurus ke politik. Untuk itu Snouck menasehati untuk menentang doa
bagi sultan Turki pada shalat Jumat, karena ia menganggapnya sebagai
pengakuan politik.116
Adapun ibadah haji tidak boleh dilarang. Merupakan pendapat yang
keliru apabila menganggap umat Islam yang telah menunaikan ibadah haji akan
menjadi agitator, karenakenyataan menunjukkan puluhan ribu rakyat pribumi
114
Pan Islam adalah penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik dan
agama yang dikepalai oleh khalifah Turki Ustmani. Pan Islam pertama kali diwartakan oleh
seorang ulama bernama Jamaluddin al-Afghani yang berhijrah ke Paris pada tahun 1879. Di sana,
Ia mendirikan perkumpulan dan menerbitkan majalah yang diberi nama Al-Urwatul Wutsqa
dengan tujuan ingin memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa Islam
kepada kemajuan. Pada masa Ustmani Muda, Turki berusaha menggunakan Pan Islam untuk
menyatukan seluruh umat Islam di bawah Kesultanan Ustmani. Namun dalam perkembangannya,
Pan Islam hanya sekedar berusaha untuk menyatukan seluruh umat Islam dalam satu ikatan setia
kawan atau menghidupkan rasa Ukhuwah Islamiyah di kalangan dunia Islam. Lihat Aqib
Suminto, Politik Islam …, h. 80. 115
Aqib Suminto, Politik Islam …, h. 12; lihat juga Efendi, “Politik Kolonial …”, h.100. 116
Jacob Vredenbergt, “Ibadah Haji Beberapa Ciri dan Fungsinya di Indonesia”,dalam
Dick Douwes dan Nico Kaptein, ed, Indonesia dan Haji,Terj.Soedarso Soekarno dan Theresia
Slamet (Jakarta:INIS, 1997) h.11.
62
yang telah selesai menunaikan ibadah haji tetap bersikap baik terhadap
Pemerintah Belanda. Ibadah haji tidak membuat seseorang menjadi fanatik buta
dan memusuhi pemerintah. Jadi, inti dari politik Islam yang ditawarkan Snouck
Hurgronje adalah sikap bijaksana pemerintah kolonial Belanda dalam
menghadapi umat Islam di Indonesia. Pemerintah harus memberikan jaminan
kemerdekaan beragama namun tetap mewaspadai isi politis dari sistem Islam.
Pemerintah juga harus membuka lebar segala jalan yang dapat mengantar umat
Islam Indonesia pada evolusi ajaran agamanya.Politik haji sebenarnya merupakan
bagian dari politik Islam pemerintah kolonial Belanda. Akan tetapi, mengingat
haji dianggap sesuatu yang penting dalam politik Islam, maka khusus haji
pemerintah kolonial Belanda menetapkan kebijakantersendiri.
Sejak masa VOC, Pemerintah Kolonial memandang ibadah haji sebagai
bahaya dan sangat ditakuti, sehingga muncul istilah hajiphobia.Akibat pandangan
tersebut, maka orang yang akan pergi haji selalu dihalangi dengan syarat harus
mendapat izin terlebih dahulu dari pihakVOC dan apabila mereka ingin kembali
dari Mekkah, maka tidak diperbolehkan untuk pulang ke tanah airnya.
Pada abad ke-19, setelah VOC dibubarkan dan digantikan oleh
pemerintahan Hindia Belanda, pemerintah kolonial Belanda memberikan
kebebasan beragama selama tidak menggangu ketertiban dan ketenangan
Pemerintah Belanda. Namun kenyataannya, kebijakan untuk tidak mencampuri
agama tidaklah konsisten. Sepertimasalah haji, pemerintah kolonial Belanda tidak
bisa menahan diri untuk tidak ikut campur. Para haji sering dicurigai, karena
dianggap biang keladi pemberontakan, sehingga Gubernur Jenderal Daendels
memerintahkan agar jamaah haji memakai pas jalan, dengan alasan keamanan
dan ketertiban.117
Kontrol atas perhajian juga terlihat pada aneka peraturan tentang haji
yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial antara tahun 1825-1859, yang
bertujuan membatasi dan mempersulit ibadah haji.118
Namun, jumlah jamaah haji
dari tahun ke tahun semakin bertambah banyak. Ini membuat pemerintah kolonial
117
Husni Rahim, Sistem Otoritas Administrasi Islam; studi tentang pejabat agama masa
kesultanan dan Kolonial di Palembang (Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1998) h.179. 118
Aqib Suminto, Politik Islam …, h.10.
63
Belandasemakin cemas karena setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah
untuk menghalangi ibadah haji, semakin menambah semangat umat Islam
Indonesia untuk berhaji. Bagi umat Islam, menjalankan rukun islam ke-5 adalah
jihad, suatu pekerjaan yang taruhannya nyawa/jiwa,bahkan mereka rela mati di
Mekah, sehingga bagi mereka semakin rumit/sulit prosedurnya semakin afdhal
ibadahnya.119
Jumlah jamaah haji dari tahun ke tahun semakin bertambah, sehingga sulit
untuk dibendung dengan kebijakan mencegah orang pergi haji. Karena kebangkitan
umat Muslim Nusantara yang terjadi pada abad 19dan awal abad 20, sedikit banyak
berkaitan dengan Mekah sebagai pusat Agama Islam. Oleh karena itu, menghalangi
atau melarang secara langsung pelaksanaan kewajiban berhaji dan pelajaran serta
pengajaran agama merupakan cara yang jelek /kotor untuk melawan fanatisme
agama.
Menurut Snouck Hurgronje, satu-satunya cara untuk mengatasi masalah
haji adalah dengan menghambat secara halus dan tidak langsung, yaitu dengan
cara mengalirkan semangat pribumi ke arah kebudayaan Barat. Sehingga dapat
menjauhkankeinginan masyarakat untuk berhaji.Saran ini merupakan bagian dari
politik asosiasi kebudayaan.120
Perlawanan terhadap Pemerintah Belanda pada pertengahan pertama abad
XIX, seperti Perang Padri dan Perang Diponegoro, menimbulkan kesan adanya
haji fanatik. Pemberontakan Mutiny atau Sepoy di India pada 1857 menambah
keyakinan Pemerintah Belanda akan adanya haji fanatik. Akibat kekawatiran
akan terjadinya hal yang sama, Pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan
ordonansi haji tahun 1825 dan 1859. Dengan dikeluarkankannya kebijakan yang
mempersulit masalah haji, diharapkan dapat membendung orang pribumi pergi
haji, sehingga bisa memperkecil kemungkinan adanya haji fanatik yang akan
memicu pemberontakan terhadap Pemerintah Belanda.
119
C.Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgrounje jilid X, terj. Sutan
Maimun dan Rahayu S.Hidayat (Jakarta: INIS,1994) h. 83. 120
Aqib Suminto, Politik Islam …, h. 96.
64
Dari berbagai dokumen surat-menyurat antara tahun 1881-1883 dapat
diketahui bahwa Pemerintah Belanda mencurigai beberapa syaikh haji dan orang-
orang yang bermukim di Mekah sebagai musuh yang berbahaya bagi pemerintah.
Mereka yang menetap di Mekah dianggap memberi pengaruh besar pada
kehidupan spiritual di Tanah Air.121
Memang Snouck melihat perbedaan antara
jamaah haji biasa, yang hanya beberapa bulan tinggal di Mekah, dengan beberapa
mukimin (orang yang bermukim di Tanah Suci) yang menahun tinggal di Tanah
Suci untuk memperdalam ilmu agama. Pada akhir abad 19, mukimin Indonesia di
Mekahmerupakan bagian terbesar dan paling aktif di kota Mekah. Dari temuan
ini, Snouck berkesimpulan bahwa di kota Mekah terletak jantung kehidupan
agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar
ke seluruh tubuh umatislam di Indonesia. Beberapa orang yang diduga telah
melarikan diri dari pengasingan yang sedang menuju atau telah berada di Mekah
juga harus diawasi dengan ketat.122
Pada tahun 1880-an, kegiatan tarekat mulai dicurigai oleh pemerintah
kolonial Belanda. Mereka beralasan bahwa kegiatan tarekat sering menimbulkan
kerusuhan. Kegiatan tarekat yang menyebar di Indonesia dianggap sebagai
bagian dari kebangkitan kembali Islam. Beberapa diantaranya dianggap sebagai
gerakan menghidupkan kembali kesultanan Islam, terutama Kesultanan
Banten.123
Pengawasan terhadap kegiatan tarekat dan para pemimpinnya semakin
intensif dilakukan setelah terjadinya pemberontakan Banten tahun 1888. Apalagi,
pemberontakan tersebut ternyata dipelopori oleh tokoh-tokoh tarekat dan para
haji. Sekretaris pemerintah menyebutkan bahwa ada dugaan sebagian
pemberontak di Banten lari serta bersembunyi di Mekah dan Madinah.
Politik haji yang keras dan pengawasan yang ketat terhadap jamaah haji
dikritik oleh Snouck Hurgronje.Menurutnya politik haji semacam itu tidak tepat
dan hanya didasarkan pada anggapan yang keliru. Kekerasan, pencegahan dan
121
C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgrounje jilid V,terj.Soedarso
Soekarno (Jakarta: INIS,1996) h. 44. 122
Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: Lkis, 2007) h. 297. 123
Shaleh, Historiografi …, h. 298.
65
pengawasan yang ketat terhadap jamaah haji selama ini tidak akan berhasil
dikerenakan telah melanggar prinsip kebebasan beragama.
B. Kebijakan Kolonial dalam Bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya
1. Masa Kekuasaan VOC
Keberhasilan ekspedisi-ekspedisi Belanda dalam mengadakan
perdagangan rempah-rempah mendorong pengusaha-pengusaha Belanda yang
lain untuk berdagang ke Nusantara. Diantara mereka terjadi persaingan.
Disamping itu, mereka harus menghadapi persaingan dengan Portugis,Spanyol
dan Inggris.Akibat dari itu, mereka saling menderita kerugian,apa lagi dengan
sering terjadinya perampokan- perampokan oleh bajak laut. Atas prakarsa dari 2
orang tokoh Belanda yaitu Pangeran Maurits dan Johan van Oldebarneveltpada
1602, maka kongsi-kongsi dagang Belanda dipersatukan menjadi sebuah kongsi
dagang besar yang diberinama VOC (Verenigde Oost Indesche Compagnie ) atau
‘Persekutuan Maskapai Perdagangan Hindia Timur.124
Pada 1602, VOC membuka kantor pertamanya di Banten yang dikepalai
oleh Francois Witter.Pada 1619, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coenberhasil
merebut Jayakarta dari Banten. Di lokasi itu ia mendirikan benteng bernama Fort
Batavia, yang sekitarnya kemudian muncul kota Batavia yang kini dikenal
Jakarta.125
Di daerah penghasil rempah-rempah yang berhasil ditaklukan VOC
diangkat seorang gubernur, seperti Ambon, Ternate, Banda, Semarang, dan
Makassar. Kelebihan VOC dibanding dengan kongsi dagang lainnya adalah
sistem perdagangannya menggunakan suatu birokrasi melalui surat-surat dan
laporan tertulis (bureaucratic trade) dan serikat dagang yang dilengkapi senjata
(armed trade).126
124
R.Z.Leirissa, “Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC)”,dalam Indonesia dalam
Arus Sejarah jilid 4 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012) h. 22. 125
Leirissa, “Verenigde …”, h. 24. 126
Leirissa, “Verenigde …”, h. 25.
66
Adapun tujuan dibentuknya VOC adalah;
a. Menghindari persaingan tidak sehat diantara sesama pedagang Belanda
untuk keuntungan maksimal.
b. Memperkuat posisi Belanda dalam menghadapi persaingan,baik dengan
bangsa-bangsa Eropa lainnya maupun dengan bangsa-bangsa Asia.
c. Membantu dana Pemerintah Belanda yang sedang berjuang menghadapi
Spanyol.
Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan leluasa VOC diberi hak-hak istimewa
oleh Pemerintah Belanda :127
a. Memonopoli perdagangan
b. Mencetak dan mengedarkan uang
c. Mengangkat dan memperhentikan pegawai
d. Mengadakan perjanjian dengan raja-raja
e. Memiliki tentara untuk mempertahankan diri
f. Mendirikan benteng
g. Menyatakan perang dan damai
h. Mengangkat dan memberhentikan penguasa-penguasa setempat.
Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC dalam melaksanakan monopoli
perdagangan antara lain :128
127
http;//oktadwifernindi.blogspot.com/2012/11/kebijakan-pemerintah –kolonial-
belanda,htm. Diakses pada 5 September 2018. 128
A.M.Djuliati Suroyo, “Politik Eksploitasi Kolonial dan Perubahan Ekonomi di
Indonesia”, dalam Indonesia dalam Arus Sejarah jilid 4 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012)
h.137.
67
a. Verplichte Laverantie, yakni merupakan kebijakan berupa penyerahan
wajib hasil bumi dengan harga yang telah ditetapkan oleh VOCdan
melarang rakyat menjual hasil buminya selain kepada VOC.
b. Contingenten, yakni merupakankewajiban bagi rakyat untuk
membayar pajak berupa hasil bumi.
c. Peraturan tentang ketentuan areal dan jumlah tanaman rempah-rempah
yang boleh ditanam.
d. Ekstirpasi, yaitu hak VOC untuk menebang tanaman rempah-rempah agar
tidak terjadi kelebihan produksi yang dapat menyebabkan harga rempah-
rempah merosot.
e. Pelayaran Hongi129
, yaitu pelayaran dengan perahu kora-kora (perahu
perang) untuk mengawasi pelaksanaan monopoli perdagangan VOC dan
menindak pelanggarnya.
Keberhasilan menanamkan pengaruh VOC di tengah penduduk negeri
jajahan, tidak terlepas dari kepemimpinan para Gubernur Jenderal. Terdapat
sejumlah gubernur jenderal yang dianggap berhasil menjalankan tugasnya,
mereka adalah:
a. Jan Pieterzoon Coen (1619-1623; 1627-1629)
Jan Pieterzoon Coen dikenal sebagai peletak dasar imperialisme Belanda
di Nusantara. Kebijakan populernya adalah rencana kolonisasinya dengan
memindahkan orang-orang Belanda bersama keluarganya ke Nusantara. ia
meninggal akibatterserang penyakit kolera ketika sedang mempertahankan
Batavia dari serangan tentara Mataram pada 1629.
129
http;//oktadwifernindi.blogspot.com/2012/11/kebijakan-pemerintah –kolonial-
belanda,htm. Diakses pada 5 September 2018.
68
b. Antonio Van Diemen (1636-1645)
Van Diemen berhasil memperluas kekuasaan VOC ke Maluku pada 1641.
Ia juga mengirimkan misi pelayaran yang dipimpin oleh Abel Tasman ke
Australia,Tasmania dan Selandia baru.
c. Joan Maetsuycker (1653-1678)
Ia berhasil memperluas wilayah kekuasaan VOC ke India dan Sri Langka.
d. Rijckloff van Goens ( 1678-1681) dan Cornelis Speeldman (1681-1684)130
Di masa kekuasan dua penguasa di atas, VOC dapat menguasai semua
kota dagang di Hindia Timur yang menjadi pusat perdagangan rempah-
rempah.131
Untuk mengoptimalkan pendudukan Nusantara, VOC mengangkat
gubernur jenderal sebagai kepala tertinggi yang membawahi suatu wilayah
operasi. Ia dibantu oleh empat orang yang tergabung dalam Raad van Indie
(dewan India). Di bawah posisi gubenrur jenderal, diangkat pula beberapa
gubernur yang membawahi wilayah-wilayah administratif tertentu. Seorang
gubernur memiliki bawahan beberapa residen. Dalam menjalankan tugasnya,
residen dibantu oleh seorang asisten residen.
Kendati VOC semakin menguat kedudukannya di ranah politik
Nusantara, mereka tidak mengabaikan kedudukan penguasa lokal seperti raja dan
bupati. Sebisa mungkin, mereka akan membina hubungan yang baik dengan para
penguasa lokal, dikarenakan mereka merupakan pemimpin yang ditaati oleh
rakyatnya. Kepada mereka, VOC memberlakukan sistem pemerintahan
130
Ahmad Hamam Rochani, Ki Gede Sebayu Babad Negari Tegal (Semarang: Intermedia
Paramadina, 2005) h. 284. 131
Leirissa, “Vereenigde …”, h. 25.
69
tidak langsung (indirect rule) dengan memanfaatkan sistem feodalisme. Salah
satu penyebab kemunduran VOC adalah korupsi dan gaya hidup mewah para
pembesarnya di daerah–daerah kolonial.Para pembesar VOC, terutama di
Batavia, senang meniru kebiasaan para raja di Jawa. Mereka selalu diiringi oleh
para pejabat dan dipayungi oleh budak. Kemewahan lain seperti Rumah mewah,
dilengkapi ratusan budak dan puluhan kuda keretanya juga marak ditemukan
dalam gaya hidup Bangsa Kulit Putih saat itu .132
2. Masa Pemerintahan Kolonial Belanda
Perubahan yang terjadi di Eropa pada akhir abad ke-18 berdampak pada
roda pemeirntahan kerajaan Belanda. Pada 1795, Partai Patriot Belanda yang anti
raja,atas bantuan Perancis, berhasil merebut kekuasaan dan membentuk
pemerintahan baru yg disebut Republik Bataaf (Bataafische Republiek).
Republik ini menjadi bawahan Perancis yg sedang dipimpin oleh Napoleon
Bonaparte.Raja Belanda Willem Vmelarikan diri dan membentuk pemerintahan
peralihan di Inggris. Pada saat itu, Inggris merupakan lawan terberatPrancis.
Pada1795, dibentuk panitia pembubaran VOC dan hak-hak istimewa
VOC dihapus. Pada 31 Desember 1799, VOC dibubarkan dengan saldo kerugian
sebesar 134,7 juta gulden.Selanjutnya, semua hutang dan kekayaan VOC diambil
alih oleh Pemerintah Kerajaan Belanda. Setelah itu, tanah jajahan yang dulu
dikuasai VOC kemudian diurus oleh suatu badan yang disebut Aziatische
Raad (Dewan Asia).
Kekuasaan pemerintahan Belanda di Nusantara dipegang oleh gubernur
jendral Johanes Siberg (1801-1804) yang menggantikan gubernur jendral
Overstrateen sebagai gubernur jendral VOC yang terakhir. Dari awal abad 19 ini,
Pemerintah Belanda menampilkan diri sebagai penguasa politik utama yang
berusaha keras menanamkan pengaruhnya sedalam mungkin di Nusantara.
Mereka mengganti haluan politik kooperatif menjadi konservatif. Para pemuka
pribumi tidak diberi ruang dalam bidang sosial maupun politik. Pemerintah
132
Leirissa, “Vereenigde …”, h.26.
70
Hindia Belanda (nama Indonesia pada abad 19) tidak segan melakukan
penindasan kepada rakyat melaluikerja rodi, sewa tanah dan tanam paksa.
Kebijakan ini sangat menyengsarakan rakyat.133
a. Pemerintahan Herman W.Daendels
Letak geografis Belanda yang dekat dengan Inggris menyebabkan
Napoleon Bonaparte merasa perlu menduduki Belanda.Pada1806,Prancis
membubarkan Republik Bataaf dan membentuk Kerajaan Belanda (Koninkrijk
Holland).Napoleon kemudian mengangkat Louis Napoleon sebagai Raja
Belanda. Sehingga sejak saat itu pemerintahan yang berkuasa di Nusantara
adalah pemerintahan Belanda-Perancis.Oleh karena itu Louis Napoleon
mengangkat Herman William Daendeles sebagai gubernur jendral di
Nusantara.Dengan tugas utama mempertahankan Pulau Jawa dari serangan
Inggris.
Untuk menjalankan roda perekonomian pemerintah membuat kebijakan di
bidang ekonomi, yaitu; 134
1) Membentuk Dewan Pengawas Keuangan negara (Algemene Rekenkaer)
2) Mengeluarkan uang kertas
3) Memperbaiki gaji pegawai
4) Pajak in natura (contingenten) dan sistem penyerahan wajib (verplichte
laverantie) yang diterapkan pada masa VOC tetap dilanjutkan.
5) Mengadakan monopoli perdagangan beras
6) Mengadakan peminjaman paksa kepada orang-orang yang dianggap
mampu,bagi yang menolak dikenakan hukuman
133
http//fandyfindi.wordpress.com/2014/06/20/politik-kolonial-belanda abad ke-19
Diakes pada 5 September 2018. 134
http;//oktadwifernindi.blogspot.com/2012/11/kebijakan-pemerintah –kolonial-
belanda,htm. Diakses pada 5 September 2018.
71
7) Penjualan tanah kepada pihak swasta
8) Mengadakan Preanger Stelseel,yaitu kewajiban bagi rakyat Priangan dan
sekitarnya untuk menanam tanaman kopi untuk diekspor.
Di bidang sosial dan budaya Dendels mengeluarkan beberapa kebijakan sebagai
berikut:
1) Rakyat dipaksa untuk melakukan kerja Rodi untuk membangun jalan
Anyer-Panarukan.135
2) Perbudakan dibiarkan berkembang
3) Menghapus upacara penghormatan kepada Residen,Sunan dan Sultan
(budaya lokal dipinggirkan)
4) Membuat jaringan pos distrik dengan menggunakan kuda pos
b. PemerintahanThomas S. Raffles (1811-1816)
Raffles adalah gubernur jenderal yang berkuasa dari tahun 1811-1816 di
Hindia Belanda. Kemenangan Inggris atas Prancis di Eropa, membuat peluang
Inggris menduduki Nusantara semakin terbuka. Belanda masih belum bisa
bangun dari keterpurukan akibat dijajah Prancis. Adapun yang melatarbelakangi
Inggris menduduki Indonesia adalah :136
1) Contingental Stelsel, pada 1806, Napoleon memblokade jalur laut Inggris
menuju Eropa daratan. Di masa itu, Inggris memutuskan untuk
mengembangkan industri dengan pemasaran yang luas hingga mencapai
India dan Indonesia. cara ini sukses meningkatkan perekonomian Inggris.
Dua bangsa tersebut kemudian dianggap sebagai negara penting dalam
radar ekonomi Inggris.
135
Djuliati, “Politik Eksploitasi …”, h.141. 136
http;//oktadwifernindi.blogspot.com/2012/11/kebijakan-pemerintah –kolonial-
belanda,htm. Diakses pada 5 September 2018.
72
2) Ketika berada dalam pendudukan Prancis, Nusantara dianggap Inggris
sebagai pangkalan musuh yang berbahaya di Asia. Inggris pun
memutuskan untuk menyerbu Jawa, sebagai pusat komando Prancis di
negeri kepulauan tersebut. Jansens ditugaskan untuk menduduki jabatan
gubernur jenderal menggantikan Daendels. Jansens tetap tidak bisa
menahan serangan dari Inggris. Ia pun memutuskan menyerahkan
Nusantara pada Inggris. Penyerahan kekuasaan Prancis ke Inggris dikenal
dengan nama Kapitulasi Tuntang yang diselenggarakan pada 18 September
1811. Yang betugas menandatangai draf pertemuan itu adalah S.
Auchmuty (Inggris) dan Jansens (Belanda). Isi dari pertemuan itu adalah;
a) Seluruh Jawa dan sekitarnya diserahkan kepada Inggris
b) Semua tentaga Belanda menjadi tawanan Inggris
c) Semua pegawai Belanda yang bersedia bekerja sama dengan
Inggris dapat terus duduk di posisinya
d) Semua hutang Pemerintah Belanda sebelumnya, bukan menjadi
tanggung jawab Inggris.
Seminggu sebelum Kapitulasi Tuntang dilangsungkan,raja muda Lord
Minto yg berkedudukan di India mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai
wakil gubernur di Pulau Jawa. Dalam pelaksanaannya, Raffles berkuasa penuh
diseluruh Nusantara. Model kepemimpinanya cenderung mendapat tanggapan
positif dari raja-raja dan rakyat lokal karena hal berikut ini;137
1) Pararaja dan rakyat tidak menyukai Daendels
2) Ketika masih berkedudukan di Penang,Malaysia Raffles beberapa kali
mengadakan misi rahasia ke kerajaan-kerajaan yang anti Belanda,seperti:
Yogyakarta,Banten dan Palembang
137
http;//oktadwifernindi.blogspot.com/2012/11/kebijakan-pemerintah –kolonial-
belanda,htm. Diakses pada 5 September 2018.
73
3) Sebagai seorang yang liberalis,Raffles memiliki kepribadian yang
simpatik. Ia menjalankan politik murah hati dan sabar walaupun dalam
prakteknya berlainan.
Dalam rangka menjalankan roda perekonomian, Raffles memeberlakukan
kebjakan di bidang perekonomian dan keuangan antara lain:138
1) Petani diberikan kebebasan untuk menanam tanaman ekspor
2) Penghapusan pajak hasil bumi (contingenten) dan sistem penyerahan
wajib (verplichte laverantie) yang sudah diterapkan sejak zaman VOC.
3) Menetapkan sistem sewa tanah (landren). Untuk menentukan besarnya
pajak, tanah dibagi menjadi 3 kelas, yaitu sebagai berikut:139
a) Kelas I, yaitu tanah yang subur, dikenakan pajak setengah dari hasil
bruto
b) Kelas II, yaitu tanah setengah subur, dikenakan pajak sepertiga dari
hasil bruto
c) Kelas III, yaitu tanah tandus, dikenakan pajak dua perlima dari hasil
bruto.
4) Pemungutan pajak pada awalnya dikenakan secara perorangan
5) Mengadakan monopoli komoditas garam dan minuman keras.
Raffles banyak menyorot masalah penyewaan tanah sebagai salah satu
pendapatan negara. Tujuan dari program ini adalah:140
1) Para petani dapat menanam dan menjual hasil panennya secara bebas. Hal
ini menimbulkan motivasi bagi mereka utuk meningkatkan kesejahteraan
mereka lebih baik dari sebelumnya
138
Djuliati Suroyo, “Politik Eksploitasi …”, h. 141. 139
Suhartono, “Dampak Politik Hindia Belanda (1800-1830)”, dalam Indonesia dalam
Arus Sejarah jilid 4 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012) h.164. 140
Djuliati, “Politik Eksploitasi …”, h.141.
74
2) Pendapatan yang meningkat, memungkikan para warga dapat membeli
barang dagangan yang diimpor dari Inggris
3) Pemerintah mempunyai pemasukan negara yang tetap dan jumlahnya
menjamin terselenggaranya sejumlah rencana
4) Memberikan kepastian hukum atas tanah yang dimiliki petani
5) Menjadi salah satu metode yang merubah sistem ekonomi barang menjadi
ekonomi uang
Dalam pelaksanaannya, sistem sewa tanah memantik timbulnya
perubahan-perubahan penting, antara lain:
1) Penggantian sistem kerja paksaan dengan sistem kerja yang bebas dan
sukarela
2) Penggantian ikatan kerja yang tradisional menjadi hubungan kerja yang
didasari dengan perjanjian atau kontrak
3) Ikatan adat istiadat perlahan mengendur, disebabkan oleh pengaruh sikap
dan perangai Barat
Di bidang sosial, Raffles memiliki sejumlah kebijakan di antaranya;
1) Penghapusan kerja rodi (kerja paksa)141
2) Penghapusan perbudakan.Tetapi dalam praktiknya,Raffles melanggar
undang-undangnya sendiri dengan melakukan kegiatan sejenis
perbudakan. Hal itu terbukti dengan pengiriman kuli-kuli dari Jawa ke
Banjarmasin untuk membantu perusahaan temannya, Alexander Hare,
yang sedang kekurangan tenaga kerja, sedangkan di Batavia, Raffles
menetapkan pajak yang tinggi bagi pemilik budak.
141
Suhartono, “Dampak Politik …”, h.163.
75
3) Penghapusanpynbank (disakiti), yaitu hukuman yang sangat kejam
dengan melawan harimau.142
Di bidang ilmu pengetahuan, Raffles mempunyai jasa seperti;
1) Ditulisnya buku berjudul History Of Java. Dalam menulis buku tersebut,
Raffles dibantu oleh juru bahasanya, Raden Ario Notodiningrat dan
Bupati Sumenep, Notokusumo II
2) Memberikan bantuan kepada John Crawfurd (Residen Yogyakarta) untuk
mengadakan penelitian yang menghasilkan sebuah buku berjudul History
Of The East Indian Archipelago.
3) Raffles juga aktif mendukung Bataviasch Genootschap, sebuah
perkumpulan kebudayaan dan ilmu pengetahuan143
4) Ditemukannya bunga Rafflesia Arnoldi.
5) Dirintisnya Kebun Raya Bogor.
c. Pemerintahan Van Den Bosch / Tanam Paksa (1830-1833)
Setelah berakhirnya kekuasaan Inggris,selanjutnya yang menjadi
gubernur jendral adalah Van Der Capellen.Kemudian pada 1830, J.Van Den
Bosch menjadi gubernur jenderal dan menerapkan cultuurstelselyang memiliki
kesamaan istilah dengan yang ada dalam bahasa Inggris yakniculture system atau
cultivation system.Istilahcultuurstelsel memiliki maknasebagai kewajiban kepada
rakyat (Jawa) untuk menanam tanaman ekspor yang laku dijual
diEropa144
.Rakyat menterjemahkanistilah ini dengan tanam paksa.
Istilah cultuurstelsel oleh aparatkolonial belakangan kerap disamakan
dengan adat istiadat yang berlaku di Jawa. raja atau bupati yang memerintah
142
http;//oktadwifernindi.blogspot.com/2012/11/kebijakan-pemerintah –kolonial-
belanda,htm. Diakses pada 5 September 2018. 143
Suhartono, “Dampak Politik …”, h.165. 144
http;//siskapuspitasari.wartasejarah.blodspot.com/2013/07/politik-kolonial-belanda.
Diakses pada 5 September 2018.
76
suatu wilayah, mempunyai kuasa atas tanah dan rakyat yang hidup di dalamnya.
Menurut Van Den Bosch: “Cultuurstelsel didasarkan atas hukum adat yang
menyatakan bahwa barang siapa berkuasa disuatu daerah,ia memiliki tanah dan
penduduknya”.145
Pemerintah menerapkan tanam paksa sebagai langkah taktis
menyelamatkan perekonomiannya. Adapun faktor-faktor penyumbat ekonomi
Belanda saat itu antara lain:
1) Di Eropa, Belanda terlibat dalam peperangan-peperangan pada masa
kejayaan Napoleon sehingga menghabiskan biaya besar.
2) Terjadinya perang kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan pemisahan
Belgia dari Belanda tahun 1830.
3) Terjadinya Perang Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perlawanan
rakyat jajahan termahal bagi Belanda (menghabiskan biaya 20.000.000
gulden).
4) Kas negara Belanda kosong dan hutang yang ditanggung Belanda cukup
berat.
5) Pemasukan uang dari penanaman kopi tidak banyak.
6) Kegagalan usaha mempraktikkan gagasan Liberal (1816-1830) dalam
mengeksploitasi tanah jajahan untuk memberikan keuntungan yang besar
terhadap negeri induk./penjajah.
Ketentuan pokok Tanam Paksa terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) no.22
tahun 1834,dengan ketentuan sebagai berikut :146
1) Penyediaan tanah untuk cultuurstelsel berdasarkan persetujuan
penduduk
2) Tanah tersebut tidak lebih dari seperlima tanah pertanian
145
Djuliati, Politik Eksploitasi …, h.143 146
http//fandyfindi.wordpress.com/2014/06/20/politik-kolonial-belanda abad ke-19,
Diakses pada 5 September 2018.
77
3) Tanah tersebut bebas dari pajak
4) Kelebihan hasil tanaman jika melebihi pajak diberikan pada petani
5) Pekerjaan untuk cultuurstelsel tidak melebihi waktu menanam padi
6) Kegagalan panen yang bukan kesalahan petani merupakan tanggung
jawab pemerintah
7) Bagi yang tidak memiliki tanah dipekerjakan dipabrik atau perkebunan
pemerintah147
8) Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pemimpin pribumi
Guna menjamin agar para bupati dan kepala desa menunaikan tugasnya
denganbaik,Pemerintah Belanda memberikan rangsangan yang disebut cultuur
procenten, disamping penghasilan tetap.148
Van Den Bosch mengembalikan status
para bupati ke posisi semula sebagai penguasa lokal yang diberi kedudukan
dalam adat Jawa.149
Sistem tanam paksa dalam pelaksanaannya diserahkan kepada
penguasa pribumi, sehingga terdapat penyimpang-penyimpangan yang
menguntungkan pejabat dan menyengsarakan rakyat, seperti;
1) Perjanjian penyediaan tanah dilakukan dengan paksaan
2) Tanah yang digunakan lebih dari seperlima bagian
3) Pengerjaan tanah untuk tanam paksa melebihi waktu menanam padi
4) Tanah tersebut masih terkena pajak150
5) Kelebihan hasil panen tidak diberikan kepada petani
6) Kegagalan panen tanggung jawab petani
7) Buruh dijadikan tenaga paksaan.
147
http//fandyfindi.wordpress.com/2014/06/20/politik-kolonial-belanda abad ke-19.
Diakses pada 5 September 2018. 148
http;//siskapuspitasari.wartasejarah.blodspot.com/2013/07/politik-kolonial-belanda.
Diakses pada 5 September 2018 149
Suwarno, Sejarah Birokrasi …, h.30 150
Robert van Niel, Sistem Tanam …, h.19.
78
d. Politik Ekonomi Liberal Kolonial Belanda sejak 1870.151
Politik ekonomi liberal kolonial dilatarbelakangi oleh hal-hal sebagai
berikut :
1) Pelaksanaan tanam paksa memberi keuntungan yang besar kepada
Belanda,tetapi menimbulkan penderitaan rakyat pribumi.
2) Berkembangnya paham liberalisme di Eropa.
3) Kemenangan partai liberal di Belanda.152
4) Adanya Traktat Sumatera 1871,yang memberikan kebebasan bagi
Belanda untuk meluaskan wilayahnya ke Aceh.
Pelaksanaan politik ekonomi liberal ditandai dengan beberapa peraturan
antara lain :
1) Reglement op het belied der regering in Nedherlandsh Indie(1854), Berisi
tentang tata cara pemerintahan di Indonesia
2) Indishe Comtabiliteit Wet (1867), Berisi tentang perbendaharaan negara
Hindia Belanda
3) Suiker Wet, yaitu Undang-undang gula yang menetapkan bahwa tanaman
tebu adalah monopoli pemerintah yang secara berangsur-angsur akan
dialihkan kepada pihak swasta
4) Agrarish Wet (undang-undang Agraria) 1870:
5) Agrarisch Besluit (1870)153
, ditetapkan oleh raja Belanda dan mengatur
hal-hal yang lebih rinci.
151
http;//siskapuspitasari.wartasejarah.blodspot.com/2013/07/politik-kolonial-belanda
Diakses pada 5 September 2018. 152
Djuliati Suroyo, Politik Eksploitasi …, h.146. 153
Djuliati Suroyo, Politik Eksploitasi …, h.147.
79
Undang-undang Agraria yang berlaku di Indonesia dari tahun 1870-1960
isinya sebagai berikut :
1) Tanah di Indonesia dibedakan menjadi tanah tanah rakyat dan tanah milik
pemerintah.
2) Tanah rakyat terdiri dari tanah bebas dan tidak bebas
3) Tanah rakyat tidak boleh dijual kepada orang lain.
4) Tanah pemerintah dapat disewakan kepada penguasa swasta sampai
jangka waktu 75 tahun.
Pada 1869, Terusan Suez dibuka. Saluran ini ikut memperlancar
hubungan perdagangan Asia-Eropa.154
Pemerintah kolonial melakukan impor
mesin-mesin dan perlengkapan modern sehingga produksi perkebunan dan pabrik
gula meningkat. Perluasan produksi tanaman ekspor dan impor barang-barang
konsumsi dan negeri Eropa mengakibatkan perdagangan internasional semakin
ramai di Nusantara.155
Setelah Undang-undang Agraria 1870 diterapkan, Indonesia memasuki
masa imperalisme modern dengan dijalankannya opendeur politiek,yaitu politik
pintu terbuka terhadap modal-modal swasta asing. Hal itu yang mengakibatkan
Indonesia dijadikan tempat untuk berbagai kepentingan yaitu:156
1) Mendapatkan bahan mentah atau bahan baku industri di Eropa
2) Mendapatkan tenaga kerja yang murah.
3) Menjadi tempat pemasaran barang-barang produksi Eropa.
4) Menjadi tempat penanaman modal asing.
154
M. Dien Majid, Berhaji DiMasa Kolonial (Jakarta: Sejahtera, 2008) h.55. 155
http;//siskapuspitasari.wartasejarah.blodspot.com/2013/07/politik-kolonial-belanda.
Diakses pada 5 September 2018. 156
http;//siskapuspitasari.wartasejarah.blodspot.com/2013/07/politik-kolonial-belanda.
Diakses pada 5 September 2018.
80
Keadaan di atas mengakibatkan dua kenyataan, bagi Belanda sangat diuntungkan
namun disisi lain masyarakat Indonesia menderita.
Bagi Pemerintah Kolonial Belanda :
1) Memberikan keuntungan yang besar bagi pengusaha swasta Belanda
2) Hasil-hasil produksi perkebunan dan pertambangan mengalir
kePemerintah Belanda.
3) Negeri Belanda menjadi pusat perdagangan barang-barang dari
tanah jajahan.
Bagi rakyat Indonsia :
1) Kemerosotan tingkat kesejahteraan penduduk.
2) Adanya krisis perkebunan pada tahun 1885 karena jatuhnya harga gula
dan kopi.
3) Menurunnya konsumsi bahan makanan,terutama beras, karena lahan
petani banyak digunakan untuk perkebunan tebu.
4) Pengangkutan dengan gerobak menjadi merosot penghasilannya setelah
adanya angkutan kereta api.
5) Rakyat menderita karena masih diterapkan kerja rodi dan adanya
hukuman yang berat untuk rakyat yang melanggar peraturan.
f. Politik Etis157
( 1901)
Munculnya politik etis ada beberapa hal yang melatarbelakangi Politik
Etis, diantaranya yaitu;
1) Sistem ekonomi liberal tidak mengubah nasib rakyat.
157
http;//siskapuspitasari.wartasejarah.blodspot.com/2013/07/politik-kolonial-belanda.
Diakses pada 5 September 2018.
81
2) Tanam paksa memberi keuntungan besar bagi bangsa Belanda sebaliknya
menimbulkan penderitaan rakyat jajahan.
3) Dalam praktiknya Pemerintah Kolonial Belanda melakukan penekanan
dan penindasan terhadap rakyat .
4) Rakyat kehilangan tanah sebagai hak milik utamanya.
5) Banyaknya kritik terhadap praktik kolonial liberal.158
Politik Etis adalah politik balas budi, dimana penjajah merasa berhutang
kepada jajahannya, sehingga dengan diterapkan politik ini membawa pengaruh
yang baik terhadap bidang politik, administrasi, pendidikan, dan kemakmuran
sosial. Secara administrasi, Politik Etis membawa langkah-langkah otonomi dari
negara induk, penyerahan tanggung jawab sebagian dari pemerintah pusat di
Batavia kepada pejabat-pejabat daerah. Pendidikan yang membawa kesadaran
politik dan kemahiran administratif yang dapat menjalankan fungsi negara
modern. Sehingga pada akhirnya pendidikan dan program kemakmuran harus
membawa perubahan –perubahan bagi penduduk desa di jawa.159
Kegagalan penerapan politik etistampak dalam kenyataan-kenyataan
sebagai berikut:160
1) Sistem ekonomi liberal hanya memberi keuntungan besar bagi Belanda,
namun tingkat kesejahteraan rakyat Pribumi tetap rendah
2) Sangat sedikit penduduk pribumi yang memperoleh keuntungan dan
kedudukan yang baik, karena pendidikan yang diberikan oleh pemerintah
kepada rakyat dibeda-bedakan menurut kedudukan, jabatan dan golongan
kulit
158
http;//oktadwifernindi.blogspot.com/2012/11/kebijakan-pemerintah –kolonial-
belanda,htm. Diakses pada 5 September 2018. 159
Harry J.Benda, Bulan Sabit …, h. 56. 160
http//fandyfindi.wordpress.com/2014/06/20/politik-kolonial-belanda abad ke-19.
Diakses pada 5 September 2018.
82
3) Pegawai negeri golongan pribumi hanya dijadikan alat sehingga dominasi
Belanda tetap sangat besar
Ditinggalkannya Politik Etis disebabkan oleh fakta bahwa perubahan –
perubahan, betapa pun baiknya, namun dalam proses yang begitu cepat tidak
menghasilkan apa yang telah digariskan dari kerangka penganjurnya.
Dengan adanya politik etis, kesadaran rakyat untuk maju dan merdeka
sangat besar, terbukti dengan munculnya organisasi-organisasi Islam awal abad
ke-20, seperti; Syarekat Dagang Islam (1905), Muhammadiyah(1912),Al-Irsyad(
1914),PERSIS( 1917), Nahdathul Ulama (1926).161
C. Kebijakan Kolonial dalam Bidang Keagamaan
Sekitar September 1808, Gubernur Jenderal Daendels mengeluarkan
instruksi yang berbunyi;162
“Terhadap urusan-urusan agama orang Jawa tidak akan dilakukan
gangguan-gangguan,sedangkan kepada penghulu kepala
(Opperpriesters) mereka dibiarkan untuk memutus perkara-perkara
tertentu dalam bidang perkawinan dan kewarisan dengan syarat bahwa
tidak akan ada penyalahgunaan dan banding dapat dimintakan kepada
hakim banding (Landgericht).”
Pemerintah kolonial selalu berusaha untuk ikut campur dalam bidang
keagamaan.Ini terbukti pada 1835, di Jawa diterbitkan peraturan pertama tentang
pengadilan Agama, besluittertanggal 7 Desember 1835 no. 6 (dalam statblad
1835 no.58) yang berbunyi :163
“ Kalau di antara orang Jawa timbul perkara tentang perkawinan,
pembagian waris, dan lain sebagainya, yang harus diputuskan menurut
undang-undang Islam, maka para penghulu/ulama/kyai harus
memberikan keputusan hukum; tetapi efek sipil, yaitu pelaksanaan atau
pembayaran yang harus timbul dari keputusan itu,harus diajukan kepada
161
Effendi, “Politik Kolonial...”, h,104. 162
Husni Rahim, Sistem Otoritas …, h.154. 163
Karel A.Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984) h. 217.
83
pengadilan biasa, supaya dilaksanakan menurut keputusan yang sudah
diambil dan untuk menjamin pelaksanaannya.”
Keputusan ini menimbulkan persoalan baru, karena tidak ada penjelasan dalam
wewenangnya. Pada 1843, keluarlah peraturan tentang pengadilan agama untuk
daerah Rembang dan Blora, adapun isi petikannya sebagai berikut; ( terjemahan )
Rembang, hari 8 Juli 1843
1. Dari satu orang yang nikah, biaya nikah harus dibagi; enam bagian,
satu bagian disimpan di kas masjid, dan lima bagian dibagi untuk
penghulu dan stafnya.- adapun uang yang terkumpul di kas masjid
untuk perbaikan dan keperluan masjid. Dan harus dilaporkan ke
Raden Tumenggung/Bupati setiap bulan.
2. Jika ada orang yang meninggal dan tidak mempunyai ahli waris,
maka setelah di potong biaya kematian, sisa harta peninggalannya
dimasukan ke kas Masjid.
3. Jika ada orang kaya meninggal tetapi ahli warisnya jauh, maka harta
itu disimpan di masjid, dan jika ahli waris datang harta
dikembalikan ke ahli warisnya. Penghulu diperbolehkan mengambil
5% dari harta itu dengan pembagian 1 bagian untuk kas Masjid, 4
bagian untuk penghulu dan stafnya.
4. Jika ada perkara pembagian waris, maka bila perkara selesai maka
penghulu boleh mengambil 2% dari harta yang diperkarakan, 1
bagian untuk kas masjid dan 1 bagian untuk penghulu dan stafnya.
5. Jika ada orang miskin meninggal, maka biaya kematiannya diambil
dari kas masjid.
6. Jika ada orang cerai, biaya dan pembagiannya sama seperti biaya
dan pembagian seperti orang nikah.
7. Dilarang bagi penghulu meminta biaya nikah lebih dari yang telah
ditentukan.
8. Jika ada orang yang menikah, tetapi biayanya kurang atautidak
bayar karena miskin, maka pernikahan harus dilaksanakan.
9. Untuk menghindari permasalahan pada pasangan suami istri, maka
penghulu harus memberikan buku nikah. Adapun buku nikah harus
sesuai contoh yang diberikan Residen. Buku nikah dicap dari nama
penghulu atau naib, serta ditanda tanganin penghulu katib modin.
Dan data yang ada dibuku nikah dicatatat dibuku besar
(register)setiap bulan.-adapun biaya pembuatan buku nikah bisa
diambil dari potongan yang di simpan di masjid.
Kanjeng Tuan Residen
(ttg) Engelhard
84
Adapun petikan peraturan itu sebagai berikut;164
Rembang, hari 8 Juli 1843
Dari sebab jang saiji soedah beremboes pada Raden
Toemanggoeng semoea misdjid jang ada di bawah Residentie
Rembang, baiklah sama mengoempoelkan oewang baetoel-mal
tersimpan di masdjid,djadi sekarang saiji kasih idzin bagaimana
jang tersebut di bawah ini.
1. Dalem satoe orang kawin oewang ongkost kawinnja misti di
potong; jang satoe bagian dari anem disimpen di dalemnja petti
mesdjid terkontji jang baik 2, jang lima bagian misti terbagi pada
pengoeloe dan kontjonja, pembaginja misti jang dengan patoet.
Adapun itoe oewang potongan jang terkoempoelkan di mesdjid jang
soepaja bolih terbikin sedia beli berkakas apa jang misti di pake di
mesdjid, atau bikin ongkost baiknja apa perkakas mesdjid jang
roesak. Maka penghoeloe patoet bikin satoe boekoe kloewarnja
oewang potongan itoe jang dalem sehari-harinja jang misti di pake
di mesdjid, ia djuga moesti tertoelis dalem itoe boekoe2; saben
boelan pengoeloe misti mengirimken itoe boekoe pada Raden
Toemanggoeng seberapa jang goenggoengnja itoe oewang jang ada
di dalem itoe petti, seberapa jang dibikin beli perkakas mesdjid
seberapa jang missih.
2. Kaloe ada orang mati jang tiada poenja ahli waris seberapa
punjaknja misti dimasoeken di mesdjid semowa serta misti
dimasoeken di itoe boekoe. Adapoen ongkost matinja, jang soedah
ditentoekan dalam agama Djawa, misti kloewar dari oewangnja itoe
jang dengan sampe.
3. Kaloe ada orang kaja mati poenja ahli waris tapi jaoeh
tempatnja’seberapadipoe3nja mesti terganoeng di masdjidlebih
doeloe,jika ahli warisnja datweng misti dikassiken,tapi panghoeloe
bolih ambil 5 percent,jang 1 bagian daripada 5 dikoempoelken sama
orang masdjid,jang 4bagian pada pangoeloe dengan sakontjonja.
4. Djikaloe ada orang masoek bitjara perkara waris,djika soedah
poetoes perkaranja terbagai dengan betoel itoe panghoeloe bolih
motong doewa percent,terbagi goewa jang satu bagian di
tjampoerken sama itoe oewang mesdjid jang 1 bagian pada
panghoeloe sakontjonja.
5. Djikaloe ada orang miskin matti,itoe orang tiada poenja ahli waris
maka negri jang misti tanem,dari ongkostnja tanem misti ambil dari
itoe oewang masdjid dengan sepantesnja sadja.
6. Djikaloe ada orang bertjerai ongkostnja seperti orang nikah djoega
pembaginja djoega seperti orang nikah tadi,
164
Karel, Beberapa Aspek …, h. 219.
85
7. Saija kasih printah dengan sanget pangoeloe tida boleh mintai lebih
dari ongkostnja orang nikah,dan tiada bolih ngloewarken apa2dari
orang nikah jang salainnja dari oewang nikah.
8. Djikaloe ada orang nikahtapi pembajarannja koerangdari adat jang
soedah didjalanken atawa tidak bajar sama sekali sebab dari miskin
itoe pengoeloe patoet djalanken nikahnja orang tadi.
9. Dari sebab jang soedah saija dengar banjak orang jang sama
bikinsoesah hal yang belaki bini,menjadi saija bikin atoeran saben
ada orang nikahan panghoeloe atawa naib misti kassih soerat tanda
pada penganten seperti tjonto jang saija kirimkan bersama-sama ini
soerat.itoe soerat tanda nikah mesti pakai tjap dari namanja
panghoeloe atawa naib,serta di teeken penghoeloe kitab
modin.Adapoen toeroenannja soerat nikah tadi jang saboelan-
boelannja misti bikin satoe boekoe,tapi pake kolom sadja, menjadi
saben2 boelan, moelai tanggal satoe no.1 di sitoe nanti bolih liat
sebrapa goenggoengnja soerat nikah,jang dalem saboelan-boelannja.
Adapoen hal pemblinja kertas jang terbikin soerat nikah tadi
bolih ambil oewang potongan tadi. Lain dari itoe saija minta
rapportnjawang nikah jang 5 bagian dari pada 7tadi siapa2 jang sama
bolih sabrapa bolihnja.
Kandjeng Toewan Resident
(ttg) Engelhard
Setelah terbitnya peraturan itu mulai, pengaruh peradilan Jawa mulai
berkembang luas, meskipun belum menyeluruh ke semua wilayah. Sedangkan di
Palembang, peraturan pertama tentang pengadilan agama ditetapkan oleh
Komisaris Palembang tanggal 3 Juni 1823 no.12. Peraturan ini berlaku untuk
Palembang dan Bangka165
Sebelum ada peraturan peradilan, sudah ada peraturan
dan ditetapkan dalam Staatsblad 1820 no.22 ayat 13:
“Bupati harus mengawasi semua permasalahan agama Islam dan harus
mengusahakan agar para penghulu bebas melaksanakan tugasnya
menurut adat dan kebiasaan orang Jawa, baik dalam perkara perkawinan,
pembagian waris dan lain sebagainya”.
Karena dari Staatsblad 1820 no.22 ini telah menimbulkan penafsiran bahwa para
Bupati adalah ‘kepala Agama’ dan ada yang menafsirkan Bupati sebagai ‘kepala
165
Husni Rahim, Sistem Otoritas …, h. 146.
86
polisi’ . kemudian timbul pula ketidakjelasan tentang siapa yang dimaksudkan
sebagai priester, apakah para penghulu atau para kiayi.166
Peraturan Pengadilan Agama di Jawa ditetapkan dalam Staatblad 1835
No.38. Tapi, Staatblad ini hanya merupakan pengakuan secara resmi Pemerintah
Belanda terhadap praktek pengadilan agama, namun belum dimasukkan dalam
struktur birokrasi kolonial. Pengaturan Pengadilan Agama dalam struktur
pemerintah kolonial baru ditetapkan dalam Staatsblad 1882No.152.Staatsblad ini
kemudian dilengkapi dengan Staatsblad 1937No. 116 dan 610.167
Dari peraturan
ini, tidak merubah praktek yang sudah ada.Penghulu yang mengambil keputusan,
sehingga kalau penghulu tidak hadir, maka keputusan ditunda.
Disamping peraturan 1882 membatasi para bupati untuk tidak ikut
campur pengadilan agama. Namun disisi lain karena gaji kecil dan tidak tetap,
gaji tergantung volume perkara. Walaupun beberapa pegawai mengusulkan gaji
yang layak, tapi sepanjang zaman kolonial tidak ada gaji tetap untuk pegawai
pengadilan agama.168
Ini yang menyebabkan terjadinya korupsi dalam pengadilan
agama. Pada abad ke-19, para penghulu menjadi pegawai pusat yang diangkat
langsung oleh gubernur jenderal, sehingga ada hierarki atau hubungan tinggi-
rendah di antara petugas agama.
Di setiap kabupaten diangkat penghulu kepala (hoofd penghulu), dan
penghulu kawedanan/kecamatan;naib. Sedangkan di tingkat desa, orang yang
bertugas disebut lebe/modin/amil yang mengurus rumah ibadah di desa. Tugas
penghulu kepala sebagaimufti/penasihat agama, hakim pengadilan agama dan
pemungut/pengumpul zakat.Adapun naib sebagai wali hakim dan imam
masjid.169
Setelah terjadi beberapa persoalan yang muncul, mengenai pungutan
perkawinan dan pencatatan perkawinan gelap,maka dikeluarkan Staatsblad 1895
no.198.Di sini,diatur siapa yang berhak melakukan pencatatan perkawinan,
perceraian, rujuk,prosedur pelaksanaan, pengaturan biaya pernikahan, perceraian
166
Husni Rahim, Sistem Otoritas …, h. 155. 167
Husni Rahim, Sistem Otoritas …, h.160. 168
Karel, Beberapa Aspek …, h. 224. 169
Karel, Beberapa Aspek …, h. 228.
87
dan rujuk.dan peraturan denda dan hukuman bagi yang melanggar.170
Kemudian
dilengkapi dengan Staatsblad 1898 no.149, 1904 no. 212, dan 1906 no.409.
Adapun para kyai dipesantren sebagai ahli agama swasta yang mandiri tidak
terikat dengan pemerintah kolonial.
Sejak zaman gubernur jenderal Daendels,para jamaah haji diharuskan
memiliki pas jalan.Peraturan ini terdapat dalam Peraturan tahun1825 no.9 (18
oktober 1825). Para calon haji yang tidak memiliki pas jalan didenda 1000
gulden.Kemudian, peraturan ini dirubah pada1831 (besluitNo.24 tanggal 26
maret 1831), denda dikurangi menjadi 220 gulden,yaitu dua kali lipat biaya pas
jalan 110 gulden. Setelah 20 tahun peraturan berubah lagi,berdasarkan keputusan
besluit3 Mei 1852 no.9, bahwa pas jalan tetap diwajibkan, tetapi diberikan secara
gratis dan denda dihapus. Sedangkan aturan tentang haji yang terakhir di abad ke-
19 adalah peraturan tahun1859 (staatsblad no.42 tanggal 6 Juli 1859), yang
isinya antara lain;171
1. Calon haji harus minta pas haji kepada bupati, tanpa ongkos
2. Calon haji harus membuktikan kepada bupati bahwa ia mempunyai
ongkos pulang pergi dan uang untuk keluarganya selama ia berhaji
3. Setelah pulang dari Mekkah, maka para jamaah haji diuji oleh bupati atau
yang mewakilinya, jika ia lulus ujiannya dapat gelar haji dan boleh
pakaian haji/jubah.
170
Husni Rahim, Sistem Otoritas …, h.161. 171
Husni Rahim, Sistem Otoritas …, h.182; Lihat juga Karel, Beberapa Aspek …, h. 236.
88
BAB IV
HAJI TEGAL DI ZAMAN KOLONIAL 1850-1864
A. Haji Bagi Orang Tegal
1. Pengertian Haji
Haji berasal dari kata “hajja” yang berarti “menyengaja sesuatu” 172
.
adapun menurut syara’ adalah sengaja mengunjungi Ka’bah untuk melakukan
beberapa amal ibadah, dengan syarat-syarat yang tertentu.173
Haji pertama di wajibkan pada tahun keenam hijriah, merujuk kepada
firman Allah pada surat Ali Imran;97.
Artinya; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah,
yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
Sabda Rasullah SAW;
Artinya; Islam itu ditegakan diatas 5 dasar : (1) bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad itu Rasul Allah, (2)
Mendirikan Sholat lima waktu, (3) membayar zakat, ( 4) mengerjakan
haji ke Baitullah, (5) berpuasa di bulan Ramadhan.( sepakat ahli hadist ).
Ibadah haji wajib segera dilaksanakan.Artinya, apabila seseorang telah
memenuhi syarat-syaratnya, tetapi masih dilalaikannya juga, maka ia berdosa
karena kelalaiannya. Allah mengingatkan Nabi Adam agar bersegera berhaji
sebelum datangnya kematian.174
Syarat wajib haji menurut Sulaiman Rasjid175
ada empat, yaitu: islam,
berakal, baligdan kuasa. Ibadah haji dinyatakan sah apabila memenuhi syarat sah
172
Kata “hajja” dalam tata Bahasa Arab merupakan fi’il madhi yang berarti
“menyengaja”. Lihat Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia (Jakarta : Hidakarya
Agung 1990) h. 97. 173
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007) h. 247. 174
M.Ali Usman dkk, Hadist Qudsi (Bandung: Diponegoro, 2005) h. 347. 175
Sulaiman, Fiqih Islam …, h. 248; Lihat juga M. Dien, Berhaji …,h.25. bahwa
pendapat tentang syarat wajib haji menurut Moh. Rifai dan Sayid Usman ada lima, adalah : Islam,
balig, berakal, merdeka dan kuasa (mampu). Adapun menurut Syamsudin Abdillah Muhammad
89
haji dan melaksanakan semua rukun haji, seperti: ihram, wukuf di Arafah,
thawaf, sa’i,bercukur atau menggunting rambut dan menertibkan rukun-rukun
itu.
Keinginan kuat umat islam dalam menjalankan ibadah haji dipengaruhi
oleh keyakinan yang mendalam terhadap ajaran agama pada diri setiap kaum
Muslim. Salah satu motivasi seseorang dalam berhaji adalah adanya balasan
masuk surga bagi orang yang menjalankan ibadah haji.176
“ Dari Abu Hurairah
raddhiyallahu anhu, bahwa Rasullah SAW bersabda:
“Dari satu umrah ke umrah berikutnya merupakan penebus dosa yang
terjadi diantara kedua umrahnya; dan haji mabrur itu tidak ada
ganjarannya kecuali surga.” (H.R. Muslim)
Perjalanan haji Muslim Nusantara menuju tanah suci Mekkah telah
dilakukan sejak awal islam masuk ke nusantara. Meskipun demikian, tidak ada
data yang dapat diperoleh sebagai bukti konkrit tahun berapa dan siapa manusia
pertama yang pergi haji. Diantara Raja yang pernah mengirim utusan ke Mekah
adalah Raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa 177
( 1638 ) dan raja Mataram, Sultan
Agung ( 1641 )178
yang mendapat gelar Sultan Muhammad Maulana Mataram,
kemudian menyusul naik hajinya Abdul Qahar, putra sultan Ageng Tirtayasa
yang terkenal dengan sebutan Sultan Haji.179
Jamaah haji yang tidak diketahui jumlahnya secara pasti adalah yang
bermukim di Mekkah. Berangkat dan pulang secara resmi tidak tercatat oleh
pemerintah. Kenyataan ini menimbulkan ketakutan Pemerintah Kolonial
Belanda. Karena jamaah haji yang mukim akan bergaul dengan jamaah lain dari
negara Islam, yang menimbulkan gerakan untuk melawan penjajah. Apalagi,
lahirnya gerakan Pan Islamisme dari kegiatan haji, maka Pemerintah Belanda
bin Qosim Asy-Syafi’, isyarat wajib haji ada delapan, yaitu: Islam, balig ( sudah dewasa),
berakal sehat, merdeka, ada bekal dan tempat, ada kendaraan dan keadaan jalan aman. 176
Idrus H. Alkaf, IhtisarHadist Shahih Muslim (Surabaya: Karya Utama, 2009) h. 213. 177
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo
Persada 2005) h.143 178
Noerhadi Magetsari dkk, Biro Perjalan Haji di Indonesia Masa Kolonial (Jakarta:
ANRI, 2001) h. ix; Lihat juga M. Dien Majid, Berhaji DiMasa Kolonial (Jakarta: Sejahtera,
2008) h. 3. 179
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam
di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999) h. 42.
90
ikut campur tangan dalam pelaksanaan pemberangkatan dan pemulangan jamaah
haji Nusantara. Untuk menekan kuota atau jumlah calon jamaah haji, maka
dikeluarkan peraturan seperti Resolusi 1825, kemudian disempurnakan dengan
Ordonansi 1859.Jamaah yang kembali ke Nusantara dikenakan wajib melapor
dengan tujuan untuk mengetahui dan menentukan murni atau tidak haji
seseorang, karena ada sebagian umat islam dipekerjakan di perkebunan, sebelum
berangkat ke Tanah Suci karena kekurangan bekal atau tertipu di perjalanan.
Mereka kerap disebut dengan Haji Singapura. Sensor juga dilakukan untuk
mengetahui semangat radikalisme Islam yang berujung pada alergi terhadap
pemerintahan Eropa.
Jumlah jamaah haji terus meningkat, apalagi setelah Terusan Suez dibuka
pada tahun 1869.180
Pada akhir abad ke-18, ditemukan mesin uap oleh James
Watt, kemudian terjadi Revolusi industri di Eropa (Inggris) yang berlangsung
sekitar 1850-an.181
Kemajuan teknologi itu, membawa perubahan-perubahan yang
mendasar dalam teknik produksi/industri yang begitu cepat menyebar ke seluruh
penjuru dunia. Pada gilirannya, produksi kapal laut menggunakan tenaga uap,
sehingga kapal tidak berlayar berdasarkan musim dan arah angin. Kemajuan ini
juga salah satu yang mempermudah proses perjalanan ibadah haji Muslim
Nusantara.
2. Hajibagi Umat Islam Tegal
Haji merupakan pengamalan rukun islam yang ke-5. Dalam pandangan
masyarakat, ibadah ini hanya dapat dilaksanakan oleh setiap orang yang
mampu182
, di samping ada faktor lain yang mendorong umat Islam berlomba-
180
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit ; Islam Indonesia pada Masa
Pendudukan Jepang,terj.Daniel Dhakidae (Jakarta: Pustaka Karya, 1980) h. 36. 181
M. Dien, Berhaji …, h. 55. 182
Pengertian istitha’ah yang menjadi syarat wajib haji memang ada perbedaan
penafsiran dikalangan ulama. Menurut Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, bahwa mampu
disini yaitu mampu untuk nyampai ke Baitullah dan kemampuan setiap orang berbeda-beda.tapi
kebanyakan ulama berpendapat bahwa mampu /mempunyai bekal haji dan biaya transfort pulang
pergi dan nafkah keluarga yang ditinggalkan. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta: Haji Mas
Agung, 1994) h. 289; Menurut Sulaiman Rasjid, pengertian “mampu” disini adalah bekal yang
cukup, kendaraan yang layak untuk perjalanan, aman dalam perjalanan, untuk jamaah muslimah
91
lomba untuk melakukan sesuatu agar dapat menjalankan perintah Allah ini.
Orang yang telah melaksanakan haji akan dianggap telah menjadi individu yang
sempurna dan lebih suci dari orang yang belum melaksanakannya. Ia menjadi
pribadi yang terhormat di keluarga dan masyarakat. Kenyataan ini yang ditakuti
oleh pemerintah kolonial pada abad ke-19. Hal ini telah disampaikan Gubernur
Raffles kepada para residen agar mengawasi para haji (pastor Islam).Ia
menganggap para haji adalah orang suci, istimewa dan mempunyai kekuatan gaib
yang dapat mempengaruhi masyarat untuk memberontak kepada pemerintah
kolonial.183
Bagi orang Tegal, haji adalah salah satu barometer kesuksesan seseorang,
sehingga ibadah haji menjadi suatu yang tidak hanya bernilai ketaatan terhadap
perintah Allah Sang Pencipta, namun bernilai sosial yang tinggi. Derajat atau
status seseorang akan bertambah ditengah-tengah masyarakat.184
Orang Tegal
hampir sama dengan masyarakat Jawa pada umumnya. Dalam pengamalan
agama dapat di kelompokan menjadi tiga kategori yaitu; santri, abangan dan
priyayi.185
Tapi, yang membedakan Tegal dan kota lainnya di Jawa, adalah sangat
sulit mencari orang non muslim di sini, kecuali di pusat kota dan tempat
ibadahnya tentunya sangat sedikit. Kebanyakan yang pergi haji adalah orang
kota.Status mereka berbeda dengan orang desa.Kebanyakan orang desa petani
miskin atau buruh pabrik gula atau tekstil. Sedangkan orang kota adalah pegawai
pemerintah, pemilik toko, dan usahawan atau wiraswasta.186
harus ada mahromnya. Lihat juga Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2007) h. 249. 183
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek …, h. 235. 184
Hal ini dibenarkan oleh beberapa ustad dan kyai, di antaranya Ustadz Dipenogoro
salah satu pengasuh Pondok Pesantren Tahfid Qur’an Al-Quthubi, Kyai Hasani Pengasuh Pondok
Pesantren at-Tauhidiyah, dan Habib Abdullah cicit Habib Muhammad Thohir aL-Haddad. Hal ini
diperkuat oleh pernyataan bapak H. Nurotib selaku Kepala Seksi Bimas Islam, Kantor
Kementerian Agama Kabupaten Tegal. Ia mengatakan bahwa masyarakat dalam menjalankan
ibadah haji tidak semata-mata karena kesadaran dalam menjalankan agama, tapi ada motif pribadi
yang sudah umum di masyarakat atau bukan rahasia lagi. Ini terbukti dari banyaknya orang yang
mendaftar haji dan orang tersebut kurang taat dalam agama, sehingga pada gilirannya banyak para
haji yang telah kembali tidak mencerminkan pribadi yang soleh sebagaimana tujuan haji sebagai
penyempurnaan keislaman seseorang. 185
Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa jilid 2 (Jakarta :INIS, 1988) h. 2-3. 186
Abu Su’ud, Semangat Orang-orang Tegal (Semarang: Masscom Media , 2003) h. 12.
92
B. Peran Pemerintah Kolonial dalam Haji
Sejak masa VOC, ibadah haji sudah mendapat perhatian khusus. VOC
memandang ibadah haji sebagai bahaya dan sangat ditakuti oleh Belanda,
sehingga muncul istilah hajiphobia.187
Akibat pandangan tersebut maka orang
yang akan pergi haji selalu dihalangi dengan syarat harus mendapat izin terlebih
dahulu dari pihakVOC.Apabila para jamaah haji ingin kembali dari Mekkah,
VOC tidak akan memberinya izin kembali. Jika ada di antara mereka yang
pulang dengan tanpasepengetahuan VOC, maka akan selalu diawasi dan
dicurigai. Selain itu, VOC juga mengeluarkan peraturan larangan para calon haji
naik kapal dagang VOC.
Sebenarnya, perturan keras tentang haji yang diberlakukan VOC bersifat
tidak konsisten. Mereka melakukan itu semata-mata bukan karena takut pada
pengaruh para haji, melainkan dilandasi oleh motif perdagangan,persaiangan
dengan Inggris. Langkah ini juga dilakukan untuk menarik simpati penguasa
pribumi.
Di penghujung abad 18, VOC dibubarkan dan wilayahnya dikelola oleh
pemerintahan Hindia Beland.188
Perubahan kuasa ini berdampak pula dalam
kebijakan perhajian. Pemerintah kolonial Belanda memberikan kebebasan
beragama selama tidak menggangu tetertiban dan ketenangan pemerintah.
Namun kenyataannya, kebijakan untuk tidak mencampuri agama tidaklah
konsisten. Dalam masalah haji, pemerintah kolonial tidak bisa menahan diri
untuk tidak ikut campur. Para haji justru sering dicurigai, dianggap fanatik dan
dituduh tukang memberontak. Hal ini terlihat pada aneka peraturan tentang haji
yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial antara tahun 1825-1859, yang
bertujuan membatasi dan mempersulit ibadah haji.189
Pebatasan berhaji tidak membuat jerah umat Islam. Dari tahun ke tahun,
jumlah jamaah haji semakin bertambah banyak. Ini membuat pemerintah kolonial
187
Husni Rahim, Sistem Otoritas …, h.178. 188
Karel, Beberapa Aspek …, h. 234. 189
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta : LP3ES, 1985) h. 10.
93
semakin cemas karena setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk
menghalangi ibadah haji, semakin menambah semangat umat Islam Indonesia
untuk berhaji. Bahkan, sudah ada semacam pemahaman di pikiran orang-orang
yang berhaji bahwa semakin rumit prosedur yang ditempuh mereka dalam
berhaji, maka semakin mulia (afdhal) ibadah mereka.
Sebelum peraturan 1825 tentang haji, pada masa gubernur jenderal
Daendels sudah mengeluarkan peraturan, bahwa para haji diharuskan memakai
pas jalan jika bepergian dari satu tempat di Jawa ke tempat lain.190
dengan
bertambahnya jumlah jamaah haji setiap tahunnya, membuat kesulitan tersendiri
bagi pemerintah untuk membatasi mereka. Ditambah lagi, adanya pembukaan
Terusan Suez pada 1869, yang memudahkan dan memperpendek jalur pelayaran
kapal haji, semakin mendukung keadaan yang mungkin dianggap tidak berpihak bagi
pemerintah.191
Menurut Snouck Hurgronje, satu-satunya cara untuk mengatasi masalah
haji adalah dengan menghambat secara halus dan tidak langsung.Maksudnya
yaitu dengan cara mengalirkan semangat pribumi ke arah kebudayaan Barat.
Sehingga dapat menjauhkan keinginan masyarakat untuk berhaji.Saran ini
merupakan bagian dari politik asosiasi kebudayaan.192
Perlawanan terhadap Pemerintah Belanda pada pertengahan pertama abad
19, seperti Perang Padri dan perang Diponegoro, menimbulkan kesan adanya haji
fanatik. Pemberontakan Mutiny atau Sepoy di India pada tahu 1857 menambah
keyakinan Pemerintah Belanda akan adanya haji fanatik.193
Akibat kekawatiran
akan hal itu, Pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan ordonansi haji pada
1859. Dengan dikeluarkankannya kebijakan ini, diharapkan dapat membendung
orang pribumi pergi haji, sehingga bisa memperkecil kemungkinan adanya haji
fanatik yang akan memicu pemberontakan terhadap Pemerintah Belanda. 194
190Karel, Beberapa Aspek …, h. 235.
191Harry, Bulan Sabit …, h. 36.
192Aqib, Politik Islam …, h. 96.
193F. G. P. Jaquet, "Mutiny en hadji-ordonnantie: Ervaringen met 19e eeuwse bronnen"
Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 2/3de Afl (1980), hal. 283-312. 194
Karel, Beberapa Aspek …, h. 236.
94
. Kebijakan Pemerintah Belanda mengenai ibadah haji pada seperempat
pertama abad 19, dimulai dengan dikeluarkannya Resolusi tahun 1825, yang
diarahkan pada pembatasan kuota jamaah haji. Alasan dikeluarkannya Resolusi
1825 berawal dari laporan Residen Batavia tentang adanya sekitar 200 orang
pribumi yang berasal dari Batavia dan karesidenan lainnya menghadap polisi
dengan maksud untuk meminta pas jalan dan sekaligus melaporkan perjalanan
haji ke Mekkah menggunakan kapal Magbar milik Syaikh Umar Bugis.195
Berdasarkan peristiwa tersebut, maka dikeluarkanlah Resolusi Gubernur Jenderal
pada tanggal 18 Oktober 1825 No. 9 yang intinya mengizinkan naik haji
menggunakan kapal Magbar dan menetapkan bahwa setiap calon haji harus
membayar 110 gulden untuk pembayaran pas jalan atau paspor haji. Para calon
haji yang tidak mempunyai pas jalan akan dikenakan denda dengan membayar
1000 gulden, jumlah uang yang sangat besar pada saat itu.
Pada 1831, denda diubah menjadi dua kali lipat biaya pas jalan, yaitu 220
gulden. Pada 1852, peraturan dirubah lagi berdasarkan vonis pengadilan yang
membebaskan H.AbdulSalam karena peraturan 1825 dan 1831 tidak diumumkan.
Besluit 3 Mei 1852 No. 9 diterbitkan yang intinya pas jalan tetap diwajibkan,
tetapi diberikan gratis dan denda dihapus.196
Kabijakan haji yang diterapkan Pemerintah Hindia Belanda belum
berjalan secara maksimal, bahkan ada yang gagal. Hal tersebut dikarenakan
banyak calon jamaah haji yang menghindar dari ketentuan Belanda dengan
berangkat dari Sumatra maupun daerah luar Jawa dan Madura. Untuk mengatasi
itu, Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru, yaitu dengan mengeluarkan
Ordonansi Haji tahun 1859.
Dalam suatu peraturan yang dikeluarkan pada 1855, dikatakan bahwa
pemerintah Hindia Belanda menyatakan netral terhadap pengaturan di bidang
agama masyarakat pribumi. Namun, empat tahun berselang, yakni pada 1859,
diterbitkan peraturan tentang haji yang isinya sebagai berikut;197
195
Dien, Berhaji …, h. 89. Lihat juga ANRI, Resolusi18 Oktober 1825 No.9 196
Karel, Beberapa Aspek …, h. 236. 197
Saleh Putuhena, Perjalanan Haji …, h. 420.
95
1. Calon haji harus meminta pas jalan pada bupati tanpa ongkos
2. Calon haji harus membuktikan kepada bupati bahwa ia mempunyai uang
yang cukup banyak untuk biaya perjalanan pulang pergi ke-Mekah, serta
biaya hidup keluarganya di Indonesia.
3. Sesudah pulang dari Mekkah para jamaah harus diuji oleh Bupati atau
orang yang ditunjuk oleh bupati- dan setelah itu baru diperkenankan
memakai gelar haji dan pakaian haji/jubah. Peraturan ini berlaku
sepanjang abad ke-19 dan diganti pada tahun 1902. Dalam peraturan
terbaru, kewajiban mengikuti ujian dihapuskan.198
Pada abad 19, jumlah jamaah haji makin bertambah karena sudah tersedia
kapal khusus angkutan jama’ah haji milik syekh, disusul kemudian kapal milik
perusahaan pelayaran Belanda. Selain itu, ditetapkan pula tentang pengurusan
jamaah oleh syekh dan oleh Konsulat Belanda di Jedah, yang didirikan tahun
1872.faktor lain adalah bertambahnya kaum muslimin yang memahami makna
haji dan berkeinginan untuk menuntut ilmu di Mekkah.199
C. Perhajian Tegal sekitar 1850-1889
Pada abad 19, kondisi masyarakat Tegal secara umum masih sederhana.
Masyarakat desa banyak menggantungkan hidup sebagai petani. Mereka yang
kebetulan mempunyai sawah, akan mengolah sawahnya sendiri, atau
memperkerjakan buruh tani. Secara periodik, mereka akan menyerahkan hasil
tani mereka dalam bentuk upeti kepada penguasa setempat.
Terdapat suatu keanehan dalam membicarakan kesempatan masyarakat
Tegal dalam berhaji. Meskipun mereka hidup sebagai petani, namun semangat
atau cita-cita untuk menunaikan ibadah haji tetaplah besar. Untuk urusan ini,
mereka akan menempuh jalur yang mengharuskan bersinggungan dengan
penguasa kolonial, sebagai pucuk pengambil kebijakan di Tegal.
198
Karel, Beberapa Aspek …, h. 237. 199
Saleh Putuhena, Perjalanan Haji …, h. 421.
96
C. Snouck Hurgronje, seorang konsultan pemerintah Hindia Belanda
untuk urusan pribumi dan Orang Arab, pernah mengunjungi Tegal pada 6
September pada perjalanannya mengelilingi Jawa pada 1889 – 1891. Setelah
beberapa waktu memperhatikan orang Tegal, ia sampai pada kesimpulan bahwa
Orang Tegal termasuk orang yang taat menjalankan ajaran Islam sehari-hari.
Bahkan, Snouck mengutarakan bahwa perilaku Muslim Tegal termasuk menarik
untuk diteliti lebih lanjut.200
Kendati banyak di kalangan orang Tegal yang telah mampu berhaji,
keinginan mereka harus diuji terlebih dahulu dengan sistem administrasi kolonial.
di medio kedua abad 19, Pemerintah Hindia Belanda telah menancapkan
pengaruh politik yang kuat di Tegal. Mereka mulai mencampuri segala macam
urusan penduduk pribumi termasuk peraturan-peraturan di bidang admisnistrasi
dan organisasi.
Beberapa pekerjaan pemerintah lokal yang kemudian dicampuri
pemerintah kolonial di antara lain: pembentukan dewan desa dengan sistem
pemilihan, pembukuan urusan desa (khususnya keuangan dan pajak), pengaturan,
pengumpulan dan penggunaan dana desa, registrasi penduduk, kelahiran,
kematian dan sebagainya. Registrasi perhajian termasuk yang dicampuri pula
oleh pemerintah Hindia Belanda.201
Tabel 1: Jumlah orang Tegal yang menunaikan Ibadah Haji( 1850-1889)202
Tahun Tegal
1850-1854
1855-1859
1860-1864
1865-1869
1870-1874
1875-1879
1880-1884
1885-1889
76
362
253
-
-
199
422
200
200
P. H. S. van Ronkel, "Aanteekeningen over Islam en Folklore in West-en Midden-
Java. Uit het Reisjournaal van dr. C. Snouck hurgronje." Bijdragen tot de taal-, land-en
volkenkunde van nederlandsch-indië , 4de afl (1942) hal. 321. 201
J. W. Meyer, Laporan-Laporan Desa (Desa-Rapporten) (Jakarta: ANRI, 1974) h. 12. 202
Karel, Beberapa Aspek …, h. 249 dan 251.
97
Melihat Tabel di atas, tampak perkembangan jamaah haji Tegal semenjak
tahun 1850-1889. Di rentang 1880-1884, menunjukan banyaknya jamaah yang
berangkat. Hal ini dikarenakan kapal uap sudah mulai beroperasi serta Terusan
Suez yang dibuka. Pemerintah Belanda sendiri sudah mulai membangun relasi
dengan 3 perusahaan kapal yang sedianya digunakan sebagai kapal angkut haji.
Selain itu, mereka juga sudah mendirikan Konsulat Belanda di Jeddah.
Di abad 19, terjadi beberapa perubahan tata kelola haji serta beberapa
fenomena sosial yang ikut memantik dinamika dalam perhajian Tegal. Agar
penjelasan lebih padu, maka akan dijelaskan sesuai dengan fokus bahasannya.
1. Pelabuhan dan Kapal Angkut
Pemerintah Hindia Belanda mempunyai cita-cita yang besar dalam
memajukan pelabuhan dan perkapalan di negerinya. Hal ini dapat dimulai dari
penataan adminitrasi dan organisasi di pelabuhan. Dalam pelaksanaannya, para
petugas Eropa dibantu pula oleh para petugas lokal. Mereka terlibat dalam
pelbagai rapat perencanaan, pengadaan serta peninjauan terhadap segala hal di
pelabuhan supaya pengangkutan barang dan orang dapat terlaksana dengan
baik.203
Kemudian, untuk perkapalan, pemerintah Hindia Belanda sudah
menyiapkan sedemikian rupa kebutuhan pengangkutan itu di sejumlah pelabuhan
besar seperti Tanjung Priok, Surabaya atau Makassar, sampai dengan pelabuhan
kecil (kleine haven) seperti Cirebon, Tegal dan Kerawang. Di pelabuhan kecil itu
juga didirikan sejumlah kantor perwakilan perusahaan kapal untuk
mempermudah layanan pra maupun paska bayar perkapalan.204
Pelabuhan pantai utara Jawa, seperti Cirebon, Tegal dan Pekalongan
merupakan pelabuhan penting untuk distribusi sejumlah komoditas, termasuk
gula. Gula dan air tebu (melasse) adalah komoditas utama di pelabuhan Tegal
203
Water Cool, The Ports of the Dutch Indies (Brussels: General Secretary’s Office,1921)
hal. 46 – 49. 204
H. M. La Chapelle, "Bijdrage tot de kennis van het stoomvaart-verkeer in den
Indischen Archipel," dalam De Economist, Vol. 34, No. 2, 1885, hal. 675-702.
98
dan Pekalongan. Bahkan, Tegal dan Pekalongan di abad 19, telah akrab dengan
sebutan “pelabuhan gula”. Kondisi ini dikarenakan dua pelabuhan ini merupakan
jalan keluar awal produksi gula ke perairan luas. Namun, komoditas ini tidak
langsung dikirimkan ke pasaran, melainkan dihimpun terlebih dahulu di
pelabuhan yang lebih besar, yakni di Semarang.
Dalam suatu laporan kolonial, dikatakan bahwa sampai dengan 1930-an,
pelabuhan Tegal dan Pekalongan dikenal sebagai pelabuhan yang dikepung oleh
lumpur. Lumpur ini tentu saja menghambat laju kapal besar untuk langsung
bersauh di pelabuhan, sehingga membutuhkan bantuan kapal-kapal angkut yang
lebih kecil yang mengantarkan barang ke kapal yang besar. Meskipun menelan
biaya yang lebih banyak, namun cara ini dianggap pemerintah lebih
menguntungkan ketimbang mengeluarkan biaya untuk mengeruk lumpur di
kedua pelabuhan tersebut.205
Kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan Tegal beraneka ragam. Mulai
dari kapal kecil berbahan kayu, hingga kapal uap. Kapal yang digunakan untuk
berangkat haji adalah kapal uap. Namun, karena kapal ini besar dan tidak
memungkinkan bersandar langsung di pelabuhan, maka jamaah haji akan
menggunakan kapal kecil untuk menuju ke kapal uap yang akan berangkat ke
Tanah Suci.
Perjalanan haji yang akan ditempuh dari pelabuhan Tegal, hampir sama
dengan tempat lainnya di Jawa dan Sumatera, yakni tiga minggu. Satu kapal
pengangkut dapat berisi ratusan orang dari pelbagai latar belakang suku bangsa.
Biasanya, ikatan pertemanan atau persahabatan dapat langsung dirasakan di atas
kapal. Hal ini dikarenakan mereka semua diikat oleh kepentingan yang sama,
yakni ingin sama-sama menunaikan haji.206
Kapal-kapal yang digunakan sebagai angkutan haji kebanyakan berasal
dari Eropa. Perusahaan Eropa yang berpartisipasi dalam pengangkutan haji antara
205
Susanto Zuhdi, Cilacap (1830 – 1942): Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di
Jawa (Jakarta:KPG, 2002) hal. 63. 206
Kris Alexanderson, "A Dark State of Affairs”: Hajj Networks, Pan-Islamism, and
Dutch Colonial Surveillance during the Interwar Period," dalam Journal of Social History,
Vol.47, No. 4, 2014, hal. 1021-1041.
99
lain adalah berasal dari Inggris, Prancis, Belanda, Italia, Rusia, Yunani dan
Jerman. Selain itu, ada pula perusahaan kapal dari Persia, India dan negara non-
Eropa lainnya. mereka akan mengantar jamaah haji pulang pergi. Michael Miller
bahkan menyebut ini sebagai salah satu bisnis besar saat itu.207
Sejak 1825, Pemerintah Kolonial sudah mewajibkan calon jamaah
memiliki pas jalan. Jika kedapatan seorang calon haji yang sudah di atas kapal
dan tidak membawa pas jalan, maka ia harus membayar 110 gulden, sedangkan
jamaah yang kembali tanpa membawa pas jalan harus membayar 220 gulden.
Aturan ini pada awalnya hanya untuk orang Jawa dan Madura, namun pada
akhirnya wilayah lain juga diberlakukan aturan serupa. Sedangkan uang denda
pas jalan yang semula diperuntukkan untuk biaya pembangunan masjid, diubah
menjadi pajak pribumi yang berangkat ke Arabia.208
Sejak 1872, sudah ada Konsul Belanda di Jeddah. Pegawai ini akan
bertugas membubuhkan cap pada visa di dalam pas jalan, sehingga ujian tidak
ada gunanya lagi.209
Sejak 1874, jamaah diharuskan membeli tiket kapal pergi dan pulang
(pp). Dalam dokumen Belanda disebut retourbiljetten. Walaupun ketentuan ini
mempermudah jamaah ketika ingin pulang dan mempermudah pemerintah untuk
mengontrol, tapi banyak jamaah yang mengeluh karena memberatkan dan kurang
memberi kebebasan untuk pulang dengan kapal lain.210
Kapal Inggris menawarkan harga yang lebih murah, namun tidak tidak
menyediakan makanan. Jamaah diperbolehkan memasak sendiri di kapal. Harga
tiket kapal pemerintah atau yang ditunjuk oleh pemerintah lebih mahal, namun
sudah termasuk penyediaan makanan, walaupun terkadang nasinya belum
207
Michael Miller, "The Business of the Hajj: Seaborne Commerce and the Movement of
Peoples," dalam “Seascapes, Littoral Cultures, and Trans-Oceanic Exchanges,”, Prosiding, Vol.
12(Washington, DC: Library of Congress, 2003). Lihat juga
http://webdoc.sub.gwdg.de/ebook/p/2005/history_cooperative/www.historycooperative.org/proce
edings/seascapes/miller.html, diakses pada 4 Oktober 2018. 208
Saleh Putuhena, “Perjalanan Haji dari Masa ke masa” dalam Indonesia dalam Arus
Sejarah (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012) h. 424. 209
Karel A. Steenbrink, Beberapa aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19 (Jakarta:
Bulan Bintang,1984) h. 237. 210
Saleh Putuhena, “Perjalanan Haji …”, h. 425.
100
matang.211
Pemberangkatan haji Nusantara di masa kolonial dilakukan di enam
kota pelabuhan utama yaitu; Makassar, Surabaya, Tanjung Priok, Palembang,
Teluk Bayur dan Sabang.212
Setelah mengetahui jumlah jamaah haji Nusantara semakin meningkat,
membuat Inggris tergiur untuk berbisnis transportasi laut untuk mengangkut
jamaah haji. Pada pertengahan 1858, kapal uap milik Inggris muncul di Batavia
guna mengangkut jamaah haji Indonesia. Orang Arab di Batavia pun ikut
memanfaatkan bisnis tersebut dengan membeli kapal uap dari firma Basier en
Jonkheim.213
Melihat kenyataan bahwa setiap tahun jumlah calon jamaah Indonesia
yang pergi berhaji semakin bertambah, membuat pemerintah kolonial Belanda
tergoda untuk ikut mengambil keuntungan. Para pejabat kolonial Belanda yang
awalnya ingin membatasi jumlah jamaah haji karena takut pengaruh fanatisme
agama, kini mengalah terhadap kepentingan ekonomi. Maka pada
1873,Pemerintah Belanda memberikan kotrak kepada tiga maskapai yang sering
disebut tiga kongsi yaitu Nederland, Rotterdamsche Lloyd dan Ocean
Maatschapaij.214
Persaingan maskapai kapal Belanda yang disebut “kongsi tiga” dengan
maskapai kapal Inggris, Arab, dan Singapura sangat tinggi. Pada umumnya
maskapai itu ada yang tidak mengutamakan kesehatan dan kesejahteraan
penumpang haji. Salah satu kasus terjadi pada 1890, ketika wabah kolera
melanda Mekkah. Kapal Gelderland membawa penumpang 700 orang tanpa
akomodasi yang memadai dan lengkap. Terdapat 32 orang yang meninggal,
walaupun Pemerintah Hindia telah memerintahkan kepada semua maskapai agar
ada kamar untuk tempat pengobatan, kebersihan dan konsumsi yang higenis.215
211
Karel, Beberapa Aspek …, h. 244. 212
Husni Rahim, Sistem Otoritas Administrasi Islam; studi tentang pejabat agama masa
kesultanan dan Kolonial di Palembang (Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1998), h.183. 213
Shaleh Putuhena, “Historiografi Haji …”,h.134. 214
Shaleh Putuhena, “Historiografi Haji …”, h.134; Lihat juga Dien, Berhaji …, h. 53. 215
Dien, Berhaji …, h. 71.
101
M. Dien Madjid mengungkapkan bahwa pengangkutan ibadah haji di
Tegal bukan langsung dilakukan di pelabuhan Tegal, melaikan menggunakan
kapal yang lebih kecil dengan rute ke Batavia atau ke Semarang. Dua pelabuhan
itulah yang menjadi tempat pemberangkatan haji. Adapun perusahaan kapal kecil
yang kerap mengangkut penumpang dari tegal adalah Herklots dan Firma Al-
Saggoof. Di abad 19, keduanya menjadi perusahaan kapal penghubung paling
terkemuka, yang berporeasi sepanjang Pantai Utara Jawa sampai di wilayah
Labuhan Haji, Nusa Tenggara Barat.216
2. Administrasi Haji
Para jamaah haji yang akan berangkat haji, diwajibkan menyiapkan segala
persiapan termasuk ongkos naik haji. Selain sebagai modal untuk biaya
perjalanan, biaya ini juga nantinya akan dipotong sebagai bagian dari keuntungan
pemerintah. Pada 1882, Pemerintah memberi kebebasan bagi pemerintah pribumi
untuk menarik premi dari jamaah haji sebesar f, 2. 50 per orang, bagi mereka
yang menggunakan layanan kapal Rotterdamsche Lloyd dan Nederlansch
Lloyd.217
Para jamaah haji diharapkan untuk mengisi biodata yang meliputi: nama,
asal daerah, nomor paspor, tanggal penyerahan, nama kapal pengangkur, bandar
atau pelabuhan pemberangkatan pilihan bermukim di Jeddah atau kembali ke
pelabuhan keberangkatan (disebutkan dalam tiket). Biasanya para petugas agen
kapal pengangkut akan meminta jamaah haji menyimpan baik-baik tiketnya
untuk kepentingan pengecekan saat di perjalanan. semua ketentuan tentang haji
biasanya ditulis menggunakan dua bahasa, yakni Melayu (dengan aksara Arab
Jawi) dan Bahasa Belanda.218
Biaya naik haji jumlahnya beragam, tergantung pada kebutuhan calon
haji. Untuk jamaah haji kelas standar, mereka akan mengeluarkan biaya f. 110
untuk biaya tiket, ditambah jasa perusahaan dan syekh (pemandu haji) sebesar f.
216
Wawancara dengan M. Dien Madjid, Guru Besar Sejarah Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 4 Oktober 2018. 217
ANRI, Sirkuler Sekretaris Pertama Gubernemen, tertanggal Bogor 14 September
1889 No 2138 dalam Besluit 16 November 1889 no. 28. 218
ANRI, Agenda 6496/25 Oktober 1909.
102
17,5. Jika digabungkan jumlah keduanya sebesar f. 127, 5. Belakangan,
pemerintah Hindia Belanda memeberlakukan kebijakan bahwa seorang yang
ingin naik haji diharuskan menyetor uang sebesar f. 500. Jika di kemudian waktu
terdapat kelebihan biaya, makan akan dikembalikan. Namun, mengenai
bagaimana cara pengembaliannya, tidak dijelaskan.219
Besaran biaya ini agaknya
berlaku pula di Tegal.
Dalam peraturan 1859ditetapkan bahwa jamaah haji harus mampu dalam
ekonomi untuk menjalankan haji juga harus menjamin keperluan keluarganya
selama ditinggal haji. Peraturan ini merupakan salah satu usaha Belanda
menghalangi ibadah haji, terutama bila diperhatikan dari pelaksanaannya. Jamaah
diharuskan menyimpan uang di kas karesidenan sebesar 500 gulden dan diberi
tanda bukti penyimpanan. Sekembalinya dari haji, mereka bisa mengambilnya
kembali. Yang menarik, tidak dijelaskan mengenai bagaimana mencairkan uang
mereka kembali. Selain itu, mereka juga diharuskan memperlihatkan sekurang-
kurangnya uang 500 gulden kepada bupati setempat di daerah tempat tinggalnya
atau para pegawai yang diberi tugas di kapal yang akan membawa ke Mekkah.
Jumlah 500 gulden sangat besar bagi calon haji dan kenyataannya banyak calon
haji yang tidak ingin memperlihatkan uang miliknya kepada pegawai kapal
maupun rekannya.220
Jamaah haji asal Tegal kerapkali mengalami masa sulit ketika ingin
berhaji. Mereka terdorong untuk melakukan sejumlah kegiatan yang mampu
mengantarkan mereka ke Tanah Suci, meskipun itu harus melakukan sesuatu
yang menyengsarakan dirinya. Banyak di antara mereka yang mendaftarkan diri
berangkat haji dari Singapura. Dari sana mereka akan berangkat haji, dengan
ongkos yang lebih murah. Dikatakan “menyengsarakan”, karena ada di antara
mereka yang bekerja terlebih dahulu di perkebunan orang Inggris untuk
mendapatkan tambahan pesangon haji atau menutupi utang biaya haji yang
219
Dien Madjid, Berhaji …, hlm. 55. 220
Kees van Dijk, “Perjalanan Jemaah Haji Indonesia” , dalam Diek Douwes dan Nico
Kaptein, Indonesia dan Haji,Terj. Soedarso Soekarno dan Thersia Slamet (Jakarta: INIS, 1997) h.
83 lihat juga Dien, Berhaji …, h. 55.
103
sebelumnya dipinjamkan oleh para syekh di sana. mereka yang terjerat sindikat
perhajian di Singapura, dikenal dengan istilah “Haji Singapura”.
Pada 1852, banyak jamaah haji yang melakukan cara-cara gelap untuk
sampai ke Mekkah. Hal ini dikarenakan biaya pas haji yang dianggap terlalu
tinggi. Menanggapi hal ini, Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan peraturan
haji yang mewajibkan para jamaah haji diharuskan mempunyai cukup uang uang
untuk dirinya dan keluarga yang ditinggalkan. Kemudian, mereka masih
diharuskan menyimpan uang ke bupati. Di tahun ini, banyak pula ditemukan
kasus banyaknya jamaah haji yang berhaji dari Singapura. Mereka tergiur oleh
ajakan berhaji dari sana yang kabarnya lebih murah dan mudah. pemerintah
Inggris di Singapura turut memfasilitasi kebutuhan itu.221
Seorang jamaah haji Tegal sempat mengkisahkan nasibnya tatkala berhaji
dari Singapura. Ia menghabiskan waktu berhaji selama empat tahun lebih. Hal ini
terlihat dari surat pas jalan yang dikeluarkan Resident Tegal tanggal 8 November
1853 nomor 294 hingga sertifikat hajinya yang diperoleh pada 3 April 1857
nomor 333. Penggalan informasi dari sertifikatnya sebagai berikut:222
“Dengan segala hormat kita orang hoendjoek bartaoe kepada kandjeng
Toean Resident, ada 1 orang jang soeda pigie hadjie die meccaseperti
njang soeda terseboet kandjeng Toean Resident poenja soerat pas tanggal
8 november 1853 no. 294 sekarang soeda dateng combalie di Tegal
dengan soeda djadie hadjie seperti Moetasiah sekarang pindah nama
Noermohammad kita orang soeda preksa dia poenja bilangan dan
melijatsoeratnja katrangan dari macca kita orang poenja rassa dia betoel
soeda djadie hadjie sebab soeda trang dan roedjoek pigie mana biasja
djadinja orang pigie hadjie dan itoe soerat katrangan dari macca saija
hoendjoekan seblah sini kepada kandjeng Toean Resident. Kita orang
commissie jang soeda priksa ….”
Pemberian sertifikat oleh bupati kepada para haji yang telah
menyelesaikan ibadah didasarkan atas surat pernyataan dari imam Syafi’i (769-
221
Karel, Beberapa Aspek …, h. 237. 222
ANRI, Surat Bupati Tegal pada 3 November 1857 No. 333 ditujukan pada Residen
Tegal, dalam afgaande inkomende brieven 1857, Residen Tegal 194 A/4.
104
820 M) di Mekkah.Salah satu ilustrasi surat yang diberikan oleh Imam Syafi’i
adalah;223
Orang jang bawa soerat katrangan dari mecca satu orang nama
Noormohamad jang soenggoeh dia orang soeda datang darie mecca
masook djadie hadjie apalagie soedah datang liat koeboerannja kandjeng
nabie moehammad die Madinah,saja harep moeda moedahan nantie
toewan Allah kasie segala slamat die dalam doenia sampe die acherat
pada satoe orang hadjie dan harep soepanjang dapat ampoen dari segala
dia poenja dosa pada toean Allah Njang tertanda
Imam Safingie
Saija imam Safingie njang tinggal berumah die mecca soeda ngetaoewie
jang 1 orang negri tegal nama Noormohamad soeda datang die negri
mecca massok djadie hadjie dan soeda datang liat koeboeranja kandjeng
nabie moehammad die negri Madinah.Sekarang ini satoe orang maoe
poelang ke roemahnja die negri jawa
Njang tertanda
Imam safingie
Voor satoe salinan dengan bahassa Melajoe.
Dalam kurun 1850 sampai 1889, setidaknya ada dua peraturan haji yang
diberlakukan pemeirntah kolonial. Resolusi 1825, ditetapkan sebagai wujud
perhatian pemerintah terhadap ritual haji yang dianggap sebagai ibadah Muslim
yang perlu diatur dan dikelola dengan baik. Di dalam peraturan ini dibahas secara
rinci mengenai bagaiman seorang Muslim yang ingin berhaji. Peraturan dari
Resolusi 1825 menjadi model yang juga diberlakukan bagi seluruh Muslim yang
akan berhaji termasuk di Tegal.
Seiring berjalannya waktu, pemerintah merasa perlu untuk mengadakan
pembaruan atas Resolusi 1825. Hal ini dipicu karena adanya penyalahgunaakn
gelar haji yang dianggap sebagai dalang bagi kerusuhan yang merugikan
pemerintah kolonial. para haji kerap menggunakan gelarnya untuk menyebarkan
paham anti-kolonialisme dan Pan-Islam, dua ideologi yang dianggap dapat
223
Dien, Berhaji …, h.102. Lihat juga Arsip Nasional RI,Residen Tegal 1857
no.194A/4.
105
merusak kepercayaan masyarakat atas pemerintah kolonial. dari landasan berpikir
itu kemudian lahirlah Ordonansi Haji 1859.224
Inti dari Peraturan 1859 berkisar pada dua hal, di antaranya: 1) Calon
jamaah harus menunjukan uang untuk ongkos pulang pergi dan biaya hidup
keluarganya selama ditinggal berhaji; 2) Sepulangnya dari Tanah Suci, Jamaah
haji diharuskan mengikuti tes yang diselenggarakan oleh Bupati. Para jamaah
haji banyak yang mengeluhkan peraturan kedua. Banyak dari mereka yang tidak
mengitu tes tersebut.225
Salah satu dampak dari pemberlakuan kebijakan itu di Tegal terasa pada
sensor pemerintah kabupaten yang diperketat bagi para calon haji. Seorang
jamaah yang akan berhaji dipastikan bahwa dirinya berkelakuan baik, punya
biaya yang cukup, tidak membangkang pemerintah, serta memiliki bekal hidup
bagi keluarga yang ditinggalkan. Terdapat suatu korespondensi antara Bupati
Brebes kepada Residen Tegal tentang permintaan pas jalan bagi warganya yang
sudah melalui tahap pemeriksaan, sebagai berikut:226
“ … kita orang soedah priksa dan kassie mengerti sama dia orang
djangan sampe dia orang bikin bodo sama negri poera-poera sadja pergie
hadji, djikaloe bessok dia orang poelang dari Meka djadie hadjie mistie
kassie katrangan njang soenggoe-soenggoe dia orang soedah datang dari
Meka djadie hadjie. Andenja tiada bisa menundjuken apa njang mistie
perloe djadie hadjie dan tiada boleh dia orang djadie nama hadjie.
Begitoe djoega itoe sebelas orang terseboet die dalem soeratnja Wedono
Lassam tanggal 30 Augustus 1858 Nomor 452 njang itoe orang soeda
trang dia poenja pepriksaan die sienie tiada tersangkoet perkara politie
oetawa laen-laenja sebetoelnja toeroet djalannja agama Islam.
Salah satu tugas bupati adalah pengawasan terhadap jamaah haji yang
akan berangkat dan pulang haji. Ia atau pejabat yang berwenang bertanggung
jawab menyeleksi kelayakan calon jamaah haji. Setelah itu, mereka diharuskan
melaporkan pendataan tersebut kepada Residen untuk mendapatkan pas
jalan/passport.227
224
Dien Madjid, Berhaji …, hlm. 95. 225
Husni Rahim, Sistem Otoritas .., h.182. 226
ANRI, Residensi Tegal 1858 No. 198 B/3. Dalam pemeriksaan itu, Bupati Tegal
dibantu Penghulu Masjid Brebes, Ketib dan dua orang haji. 227
Dien, Berhaji …, h.100.
106
Dalam suatu Arsip Tegal disebutkan:228
Tagal,11 Augustus 1858
Dengan segala hormat
Bersama inie soerat kita orang hatoerkan kepada Kandjeng Toen
Resident 3 orang njang mare minta pas voor pigie hajie die Mecca seperti:
1. Orang lelaki nama kaslim dessa Tambak Lor
2. Orang lelaki nama Djeman dessa Tambak Kidul
3. Orang leleki nama Noeridjaman dessa Kambangan district
Doekoeringin.
Orang no. 1. Bawa roepa f,70 ringgit perak spicie, 1 piccol beras,
setengah piccolo lloijang , 1 peteiisie kain,sendjatanja satoe kris,njang
diekasie tinggalboet makan dia poenja binie roepa 100 sangga padie, 40
recepies, 2kerbo, 1 pendok emas.
Orang no,2 bawa roepa f100 ringgit perak speicie,3 picol bars, 1
picol loijang , yang die kasie njang die kasih tinggai boet makan die
poenja ,njang die kasie tinggal boeat makan dia poenja binie f 40
recepies,100 sangga padie,tjintjin mas, 1 passang soebang mas, 20 badjoe
item, 1 karbo.
Orang njang No.3 bawa roepa f 60 ringgit perak specie,setengah
picol bras,setengah picol loijang, 1 patie isie kain, 1 krandjang isie
kelapa,sendjata satoe golok,njang dikasie tinggal boeat makan dia poenja
anak binie reopa f 10 recepies, 100 sangga padie.
Kita orang yang berttanda tangan dan
Ini njang djadi comishi
Rangga Pathi
w.Regent.Tagal
Panghoeloe laanraad Tagal
M.sangit
Poenghoeloe masjid
Abdul Ajiz
Doea Haji
Oesman dan Badjoeri
Atas dasar ketentuan yang telah ditetapkan di atas, pemerintah kolonial
berharap tidak ada lagi orang yang menjadi ‘’Haji Singapura’’.Bukan menjadi
rahasia umum bahwa banyak jamaah tidak menjalani ritual haji di Mekkah secara
sempurna (hanya sampai di Singapura),karena kehabisan ongkos atau tertipu oleh
agen perjalanan haji, tetapi menyatakan diri telah menjadi haji, karena sang
jamaah malu menyampaikan keadaan sebenarnya.Oleh sebab itu, kebijakan
pemerintah kolonial mewajibkan lapor untuk menentukan murni-tidaknya
menyandang gelar haji. Disamping cara ini ditempuh untuk memeriksa adanya
228
ANRI, Arsip Tegal tahun 1790 – 1871, No. 198, B/3, keagamaan Juni-September
1858, diverse, naik haji, Bupati Tegal Rangga Pati kepada Residen Tegal, tertanggal 11 Agustus
1858.
107
muatan politik atau hal-hal yang membahayakan yang dibawa oleh para haji.
Setelah melapor,mereka diberi sertifikat sebagai bukti telah melaksanakan ibadah
haji.229
Sementara bagi yang melanggar, dikenakan denda dan gelar hajinya
dicabut.
Menjadi seseorang dengan predikat haji/hajjah tidaklah mudah dan
memiliki beban moral yang harus diselaraskan dengan gelar yang mereka
sandang. Karena bagi masyarakat kita secara keseluruhan, mendapatkan gelar
haji itu tidak semudah kita mendapatkan gelar dokter dan sarjana seperti
dibangku pendidikan yang bisa didapatkan dalam jangka waktu 3 sampai 5tahun.
Para pemerintah kolonial juga mengakui bahwa di samping haji, kyai
(ulama) merupakan sosok yang patut diwaspadai. Jika haji merupakan gelar
seseorang tatkala berhasil sampai ke Mekkah, maka kyai merupakan gelar lain
yang menunjukkan bahwa dirinya merupakan pakar di bidang ilmu keislaman.
salah satu yang paling diwasapadai adalah kemampuan menakjubkan yang
dipunyai kyai, yakni seperti kekuatan supranatural. Salah satu penulis Belanda,
P.H.S. van Ronkel pernah mendengar bahwa seorang Kyai beserta muridnya di
Jawa Barat mampu sampai di Mekkah hanya dengan satu kali melangkah.230
3. Perampok Jama’ah Haji
Dalam perjalanan antara Jeddah, Mekkah dan Madinah, para jamaah haji
menggunakan unta sebagai alat transportasi. Merka kerap menjadi sasaran
perampokan masyarakat Badui. ini terjadi sekitar 1880-an.231
Ini merupakan satu
masalah dari setumpuk masalah lain yang dihadapi jamaah haji, selain
perampokan dalam bentuk lain, disebabkan karena ketidaktahuan jamaah haji.
Tidak semua agen pelayaran mematuhi kode etik sama-sama memberi
manfaat pada penyedia jasa juga pelanggan. Terdapat agen pelayaran yang
229
Karel, Beberapa Aspek …, h. 237. 230
Van Ronkel, "Aanteekeningen ….”, hal. 318. 231
Saleh Putuhena, “Perjalanan Haji …”, h. 426. Lihat juga Karel, Beberapa Aspek …, h.
246.
108
curang. Terkadang, sifat culas ini muncul karena merespon kepolosan orang
Indonesia dalam bersikap. Para jamaah yang telah jauh hari bersikap pasrah
dalam ibadah haji, kemudian menjadi objek penipuan para agen nakal untuk
mendulang keuntungan sepihak.
Salah satu kasus penipuan ini dilakukan oleh agen pelayaran Firma
Alsegoff & Co. banyak masyarakat Hindia Belanda yang menjadi korban
penipuan dan penindasan agen ini dengan dalih hutang yang belum dibayar
sehingga harus dipekerjakan di perkebunan selama 5-10 tahun.232
Agen yang lain,
Herklots, melakukan pungutan terlalu besar, namun kapalnya terlalu kecil
dibanding jamaah yang dikumpulkan, sehingga dek atas dan bawah penuh
penumpang yang berdesakan. Hal ini sangat membahayakan para jamaah.
Mendapati hal ini Konsulat Belanda di Jeddah menjatuhkan hukuman penahanan
bagi Herklots.
4. Karantina untuk Jamaah Haji
Pada akhir abad ke-19 diadakan sebuah konferensi internasional di Paris.
Peserta yang hadir berasal dari Turki, Rusia, Inggris, Perancis, dan Belanda.
Tujuan pertemuan ini adalah mengambil tindakan guna menghindari wabah
penyakit di Mekkah. Disepakati bahwa sebelum masuk ke Jeddah, semua orang
diharuskan masuk karantina di pulau dekat Laut Merah.233
Ketika jamaah haji pulang ke Indonesia, mereka diharuskan singgah di
tempat karantina yang tersedia di Pulau Onrust dan Pulau Khayangan (sekarang
Pulau Cipir) yang termasuk dalam gugusan Kepulauan Seribu. Setelah didapati
tidak ada masalah kesehatan, mereka baru diperkenankan kembali ke daerah
masing-masing.
232
Noerhadi Magetsari, dkk, Biro Perjalan Haji di Indonesia Masa Kolonial (Jakarta:
ANRI, 2001) h.xviii. 233
Karel, Beberapa Aspek …, h. 244.
109
5. Ancaman Kristenisasi
Tegal merupakan daerah di Jawa tengah yang pemukimannya terhampar
di pesisir dan pedalaman. Keadaan Islam di pesisir cenderung lebih hidup,
dikarenakan banyak makam-makam ulama yang berada di pesisir. Hal ini
menunjukkan bahwa pengabdian mereka di kalangan penduduk pesisir memiliki
porsi yang lebih besar ketimbang di pedalaman. Wilayah Tegal pedalaman,
sebagian adalah bukit-bukit yang merupakan barisan dari gunung Slamet.
Persebaran Islam di wilayah ini cukup merata, hanya saja, mereka menghadapi
ancaman yang besar di sekitar abad 19.
Orang Belanda sejatinya tidak mempunyai minat yang tinggi terhadap
persebaran Kristen.234
Hal ini dikarenakan pola kolonisasi mereka yang lebih
mengedepankan percepatan modal dan bisnis, dan sedikit mempunyai perhatian
terhadap pertumbuhan Kristen, yang notabene merupakan keyakinan umum
orang Eropa di Tanah Jajahan. Kenyataan ini, lambat laun, rupanya mengalami
perubahan. Hal ini salah satunya ditengarai oleh semakin kuatnya kelompok
Katolik di parlemen Belanda.235
Aktivis Katolik mempunyai perhatian besar
terhadap pertumbuhan Kristen di Nusantara.
Pemerintah Hindia Belanda sudah mengetahui, bahwa penduduk Tegal
adalah penganut Islam yang taat. Mereka menyebut Islam dengan ungkapan
muhammadisme atau mohammedeanism. Sebagian dari mereka mempunyai
kepercayaan Islam Jawa. Meskipun demikian, oleh para petugas Gereja Protestan
di Jawa, mereka adalah objek yang selalu terbuka untuk diperkenalkan ajaran
Nasrani. Mereka berkeyakinan bahwa penduduk Nusantara sudah selaiknya
segera berpindah keyakinan untuk mengimani ajaran Injil. Mereka akan selalu
dinanti dalam selimut keadilan dan diterima oleh Tuhan.236
234
Muhamad Ali, "Religion, Imperialism, and Resistance in Nineteenth Century’s
Netherlands Indies and Spanish Philippines," dalam Jurnal Kajian Wilayah, Vol. 1, No. 1, 2016,
hal. 119-140. 235
Robert van Niel, Munculnya Elit Modern di Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 2009)
hal. 1 – 15. 236
F. Lion Cachet, Verslag van deputaten-synodi, aangewezen door de voorloopige
synode van Ned. Geref. Kerken, gehouden te Leeuwarden Juni 1890 om onderzoek te doen in
110
Pernyataan di atas mengindikasikan bahwa persebaran Nasrani tidak bisa
dihentikan, dan akan terus dilakukan. Para Misi tidak lagi menganggap orang
Jawa yang telah beragama sebagai orang yang telah memiliki kemantapan iman
dan kepercayaan kosmik yang mantap. Dalam uraiannya, mereka masih
menyematkan bahwa sebagian orang Jawa sebagai tidak beragama. Para pengikut
Muhammad tetap dianggap sebagai pihak-pihak yang perlu disadarkan dan
ditertibkan. Mereka akan melakukan segenap tindakan, termasuk berkolaborasi
dengan pemerintah Hindia Belanda.
Menimbang pada iklim politik dan sosial abad 19, penulis meyakini
bahwa upaya-upaya pemerintah Hindia Belanda membatasi perhajian di
Nusantara, termasuk di Tegal mempunyai motif pembatasan perkembangan
Islam. Hal ini didasari pada penilaian bahwa pertalian agama dan pemerintahan
akan menjadi jalinan yang kuat dalam merumuskan suatu kebijakan. Telah
dipahami bahwa Kristen diperkenalkan oleh orang Belanda, etnis yang kala itu
menjadi penguasa yang menjajah tanah dan air orang Tegal. Ketidak efektifan
perhajian di Tegal di antaranya adalah pecahnya perhatian pemerintahan kolonial
yang ikut serta membidangi tersiarnya Nasrani, utamanya di pemukiman-
pemukiman yang pengaruh Islamnya masih rendah, seperti di pedalaman Tegal.
Kelompok kejawen kerap dihubungkan dengan sekumpulan orang Jawa
yang memadukan unsur Islam dan nilai kejawaan dalam pandangan hidup dan
cara beragamanya. Oleh kelompok Islam putihan, yakni sekumpulan Muslim
yang menjalankan rukun Islam secara penuh, yakni mereka yang menjalankan
keseluruhan rukun Islam, kelompok kejawen dianggap sebagai orang Jawa yang
mempunyai cara beragama yang berlainan dengan mereka. Dalam studi Islam
Jawa, kelompok kejawen kerap disebut dengan istilah Islam abangan (merah).237
Kelompok inilah yang dimaksud tinggal di wilayah pedalaman.
loco, in zake de Zending op Midden-Java (Nederlands: Protestantse Theologische Universiteit,
1892) hal. 13.
237 Lihat Fachry Ali, "Abangan-Islam or Making Islam Indigeneous?," dalam Islamika
Indonesiana, Vol. 1, No. 1, 2014, hal. 124-129.
111
Para penganut kejawen di Tegal, merupakan sasaran kristenisasi para
misionaris kolonial. Perbedaan varian paham dan praktek keagamaan mereka
dengan kelompok Islam putihan, disinyalir menjadi corong yang tepat untuk
menyemaikan ajaran Kristiani dalam kehidupan mereka. Pola kehidupan
masyarakat kejawen, dinilai misionaris Belanda, amat sedikit menjalankan ajaran
Islam. Mereka diibaratkan seperti Muslim yang tidak sempurna. Biasanya,
mereka tidak mempunyai pemahaman agama sedalam kelompok putihan.
Kelemahan inilah yang dibidik kelompok zending (misionaris) sebagai peluang
untuk perlahan menggiring mereka melepaskan keyakinan mereka yang lama.
Para penganjur Injil meyakini, dengan menanamkan ajaran Nasrani ke
kelompok kejawen, maka akan mudah mencetak sekelompok baru orang Jawa
yang beragama Kristen. Kelak, mereka akan menggantikan guru-guru gereja
mereka yang berasal dari Belanda. Di tangan merekalah, gereja-gereja Jawa akan
tumbuh dan berurat akar di tengah lingkungannya. Kelompok zending meyakini
bahwa keberadaan komunitas kejawen sebagai kebetulan semata. Mereka
meyakini bahwa khotbah kristiani bukan hanya dapat ditularkan melalui
perkataan maupun perbuatan, terkadang perkara kebetulan dapat mempermudah
niat mereka.
Di mata para zending, kepercayaan masyarakat Jawa telah sedemikian
rusak karena mereka amat dekat dengan segala macam ritual yang berbau
takhayul. Mereka telah terkurung dalam bingkai kesesatan yang nyata.
Keseharian mereka dipenuhi oleh berbagai ritual yang tidak masuk akal. Sudah
waktunya, kelompok Gereja turun tangan untuk membenahi mereka. Penanaman
ajaran Kristen adalah langkah yang patut dilakukan untuk menghentikan
kekafiran mereka.238
Untuk menyukseskan kristenisasi, para misionaris diminta untuk tinggal
di tempta-tempat yang ditetapkan. Di bagian Utara, mereka akan ditetapkan di
Muara Tua (Tegal), Pekalongan, Bandar Sedayu dan Batang. Di bagian Tengah,
mereka akan bermukim di Purwokerto, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo,
238
Lion Chacet, Verslag …, hal. 13.
112
Muntilan dan Yogyakarta. Di bagian Selatan, mereka akan tinggal di Cuacap
(Cilacap?), Kebumen, Purworejo dan Yogyakarta bagian Selatan.239
Sasaran kristenisasi di Jawa Tengah pada abad 19, lebih ditekankan di
daerah pegunungan. Lokus itu merupakan sentra kelompok kejawen. Di wilayah
ini juga disinyalir tidak terlalu kuat pengaruh Islamnya, sehingga dapat membuka
peluang bagi baratisasi atau westernisasi. Kelompok Kejawen diyakini lebih
mudah menerima pengaruh Eropa dibanding kelompok putihan. mereka juga
mudah diidentifikasi dengan kebiasaan mereka menghisap candu. Mereka juga
dikenal sebagai pribadi yang lebih mandiri dalam berpikir dan berkelakuan
ketimbang warga yang tinggal di daerah rendah.240
Maksud dari perkataan
tersebut adalah warga pegunungan lebih mudah untuk diajak kompromi dengan
Belanda ketimbang penduduk pesisir yang lebih patuh pada ikatan agama
mereka.
Selain mengabarkan Injil secara langsung (orang per orang), langkah ini
juga bisa dimulai dengan jalur pendidikan. pendidikan a la Barat merupakan
salah satu upaya untuk memperkenalkan ajaran Nasrani pada orang pedalaman.
Mereka akan melewati masa-masa penempaaan diri sampai pada masanya
mereka telah menjadi penganut Nasrani yang taat. Mereka inilah yang kelak akan
diterjunkan ke pusat-pusat keramaian manusia seperti warung, pasar atau
kampung. Biasanya, seseorang Jawa akan bisa dikenal dan dimengerti ketika
bersentuhan dengan sesama orang Jawa.241
Kristenisasi di Tegal dilakukan secara masif dan disokong oleh
pemerintah. Dukungan mereka pada para zending mengakibatkan penyebaran
Nasrani lebih luas dan bebas. Di Muara Tua, suatu kampung di Tegal, telah ada
12 rumah yang diisi oleh keluarga Nasrani. Tidak jauh dari situ dibangun gereja
sederhana dan kantor misionaris. Awalnya, keberadaan penganut Nasrani di
kampung ini mendapat penentangan dari warga sekitar. Namun perlahan,
kesulitan ini dapat dieliminir. Salah satu cara yang ampuh untuk
239
Lion Chacet, Verslag …, hal. 13 – 14. 240
Lion Chacet, Verslag …, hal. 13 – 14. 241
Lion Chacet, Verslag …, hal. 19.
113
memperkenalkan Nasrani adalah dengan menikahi para buruh yang bekerja di
tempat-tempat orang Belanda.242
Dari informasi di atas diketahui bahwa, metode penyebaran Kristen di
Tegal, salah satunya menggunakan pernikahan. Besar kemungkinan, para
perempuan yang berhasil dinikahi orang Belanda merupakan orang yang datang
dari perekonomian rendah, berpengetahuan Islam yang minim, atau memang si
orang Belanda berhasil meyakinkan sang perempuan untuk hidup serumah
dengannya, dan dengan mengganti kepercayaan yang sebelumnya dianut si
perempuan. Dalam bahasa lain, para perempuan pribumi yang dinikahi oleh
orang Eropa disebut nyai. Reggie Baay menyebut ini sebagai satu bentuk
pergundikan di zaman kolonial.243
Meskipun tidak berpengaruh secara signifikan, proyek kristenisasi yang
digalang kelompok agamawan Eropa yang disokong oleh Pemeirntah Hindia
Belanda menjadi ancaman bagi perkembangan Islam di Tegal. Hal ini juga
berdampak pada manajemen perhajian di sana. Sebagaimana diketahui,
Pemerintah Hindia Belanda melakukan sejumlah cara agar para calon haji
mengurungkan niat mereka untuk menunaikan kewajiban agama itu. Registrasi
yang memakan waktu lama, uang dalam jumlah besar, tes pengetahuan agama,
tidak adanya jaminan keselamatan di perjalanan, merupakan beberapa rintangan
yang dalam beberapa di antaranya berasal dari kebijakan pemerintah kolonial.
Hal ini pula yang dirasakan Muslim Tegal.
Tegal menjadi salah satu sasaran kristenisasi. Kelompok Nasrani
memulainya dengan cara-cara sederhana namun dianggap efektif. Gerakan
senyap mereka dianggap meresahkan oleh sebagian orang Muslim. Bagaimana
mungkin seseorang yang telah beragama, meskipun tidak melulu menunjukkan
ketaatannya, sebagaimana kelompok kejawen, diajak berpindah agama. Hal
tersebut kiranya yang mengganggu pemikiran para tokoh Islam Tegal.
Keberpihakan pemerintah pada mereka mengindikasikan telah adanya dukungan
sepihak di bidang agama untuk Kristen, sedangkan Islam, dalam hal ini
242
Lon Chacet, Verslag …., hal. 22. 243
Reggie Baay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda (Depok: Komunitas Bambu,
2017) hal. 23 – 27.
114
penyelenggaraan ibadah haji, diperhatikan hanya karena di dalamnya
mengandung keuntungan fiskal yang besar. Dengan kata lain, bukan dukungan
keagamaan murni pada Islam yang ditunjukkan pemerintah kolonial.
D. Haji dan Perubahan Sosial
Haji merupakan gerak besar manusia dalam satu kurun. Ibadah ini
menampilkan semangat dan tekad yang kuat dari seorang Muslim untuk
mencapai Tanah Suci. Namun, bagi jamaah haji yang berasal dari Hindia
Belanda, langkah ini memiliki cobaannya sendiri. Pemerintah Hindia Belanda
kerap mengkhawatirkan para jamaah haji yang berpotensi menjelma menjadi
kekuatan makar di hari kelak. Inilah yang melatarbelakangi banyaknya
kebijakan-kebijakan yang terlalu berlebihan mengawasi jamaah haji.
Muslim Tegal merupakan masyarakat yang mempunyai dinamika
tersendiri. Mereka merupakan jajaran manusia giat yang mengisi hari-hari
mereka dengan bekerja di sawah, ladang atau mencari ikan di lautan.244
Hasil
panen dan tangkapan ikan inilah yang dikumpulkan sedikit demi sedikit untuk
membiayai kebutuhan ibadah hajinya. Tidak jarang, mereka harus hidup
berhemat untuk terus memupuk asa dapat menggenapkan rukun Islam yang
kelima ini.
Keberadaan pemeritahan kolonial di Tegal pada abad 19, merupakan
keniscayaan yang tidak dapat dielakkan. Paska kekalahan Pangeran Diponegoro
pada 1830, penduduk Jawa, dan Tegal khususnya, telah jatuh dalam ketakutan
dan kepasrahan. Mereka harus rela jika tampuk kekuasaan yang semula
dijalankan oleh wakil-wakil istana Yogyakarta atau Surakarta berganti ke tangan
Kompeni. Dengan cepat, perubahan politik juga menjalar ke Tegal. Masyarakat
244
Alamsyah dan Sugijanto Padmo, “Perkembangan Perkebunan dan Pelabuhan di
Karesidenan Tegal 1830 – 1990”, dalam Humanika, No. 17, No. 4, 2004, hal. 513 – 522.
115
dipaksa untuk dapat menerima kehadiran kaum Kompeni sebagai pemerintahan
yang sah.245
Tidak bisa dipungkiri, perbuatan semena-mena yang ditunjukkan dari
politik rust en orde, membekas di benak orang Tegal. Terdapat sejumlah kasus
kerusuhan, meskipun tidak besar, yang ditunjukkan segelintir bangsawan Jawa
terhadap kedudukan Kompeni di Tegal. Sayangnya, upaya mereka selalu dapat
digagalkan, karena persiapan makar yang minim serta langkanya dukungan dari
bangsawan lain serta masyarakat.246
Itu semua hanya dianggap riak yang tidak
mampu menggusur kuasa kolonial.
Salah satu kasus mengenai campur tangan pemerintah dalam kebiasaan
orang Tegal, adalah upaya pemerintah menghapuskan perayaan lebaran.
Sebagaimana diketahuti, lebaran merupakan salah satu tradisi yang dirayakan
hampir di semua lokus Muslim di Nusantara. Seorang Belanda bernama Tuan
Steinmetz berupaya menghapuskan perayaan lebaran di Tegal dan Pekalongan
dengan dalih bahwa kegiatan itu tidak lebih dari pemborosan semata.
Perkataannya ini menyulut kemarahan Muslim Tegal dan menurut Snouck
Hurgronje, dapat menyebabkan kerusuhan yang membahayakan kedudukan
pemerintah di sana.247
Memasuki 1850 dan seterusnya, Tegal telah menjelma menjadi wilayah
penghasil tebu terpenting di Jawa. Pabrik-pabrik gula telah didirikan di sejumlah
titik di Pantai Utara. Para insinyur Belanda bekerja dibantu oleh para buruh lokal.
Keberadaan pabrik ini menimbulkan perubahan sosial yang signifikan di
kalangan masyarakat Tegal, karena mereka yang sebelumnya hidup dari hasil
pertanian dan penangkapan ikan, mulai beralih profesi sebagai buruh pabrik.248
245
Peter Carey, Takdir; Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 – 1855 (Jakarta: Kompas,
2014), hal. 85 – 125. 246
ANRI, Besluit 20 Juli 1842, La . A; ANRI, Besluit 9 Oktober 1842 No. 2 a/ai; ANRI,
Besluit 31 Desember 1842 La. F2; ANRI, Besluit 23 Februari 1843 La. R. 247
E. Goebe dan C. Adriaanse, peny, Nasehat-Nasehat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889 – 1936 (Jakarta: INIS, 1991) hal. 553
– 555. 248
Lihat G. Roger Knight, Sugar, Steam and Steel; The Industrial Project in Colonial
Java 1830 – 1885 (Adelaide: University of Adelaide Press, 2014) hal. 44.
116
Konflik dan ketegangan yang terjadi antara sebagian penduduk Tegal dan
pemerintah kolonial, tidak melulu membuahkan hasil yang negatif. Salah satu
manfaat yang dapat dituai dari kehadiran pemerintah kolonial adalah modernisasi
di bidang pengelolaan haji. Tidak bisa dipungkiri, kehadiran pemerintah Belanda
di tengah masyarakat Tegal, membawa gairah baru dalam sistem perhajian di
wilayah ini. Azas manfaat tersebut, boleh saja dinilai terlalu dini, mengingat
motif utama perhatian kolonial terhadap haji bukan pada semangat menyebarkan
atau mendukung umat Islam, melainkan lebih pada keuntungan yang diperoleh
dari ongkos haji.
Penulis melihat bahwa kehadiran pemerintah kolonial telah ikut serta
menertibkan pengelolaan haji di Tegal. Setidaknya, dalam beberapa segi,
masyarakat merasa terbantu dengan pelbagai kerja pemerintah seperti pengadaan
kapal angkut, pas jalan serta jaminan keamanan (dalam skala yang minim)
selama perjalanan pulang-pergi berhaji. Dikatakan minim, karena dalam arsip-
arsip yang ditemukan tidak banyak mengupas jaminan keamanan para jamaah
haji. Ancaman kejahatan selalu mengintai mereka, seperti perampokan di padang
pasir menuju Tanah Suci, yang nyatanya belum ditangani secara serius oleh
konsul Belanda di Jeddah.249
Para haji dianggap sebagai sosok yang perlu diwaspadai. Kepulangan
mereka dari Mekkah, tak ubahnya seperti sekumpulan bom yang sewaktu-waktu
dapat meledak dan membakar semangat rakyat untuk melawan pemerintahan
Eropa. Dari persepsi ini dapat dipahami bahwa haji juga telah membuka
kesempatan bagi setiap Muslim untuk menjadi agen perubahan bagi
masyarakatnya. Motivasi yang tinggi dari sebelumnya hanya menjadi Muslim
biasa kemudian menjadi tokoh Muslim di kampung atau komunitasnya juga
menjadi buah dari perubahan yang semula ikut diupayakan pemerintah kolonial,
meskipun tentu saja maksudnya bukan untuk persepsi haji tersebut.
Penulis menyorot lebih jauh dari perubahan peran para haji yang memang
di tengah masyarakatnya dianggap sebagai sosok yang memiliki pengaruh.
Penulis belum menemukan suatu peristiwa perlawanan yang dipimpin oleh para
249
Dien Madjid, Berhaji …, hal. 122 – 123.
117
haji di Tegal, namun kesempatan itu bukan tidak mungkin dilakukan. Setidaknya,
dengan sematan gelar haji, maka seseorang akan memiliki peluang besar
mengumpulkan suara serta memantik suatu perubahan di tataran bawah.
Apa yang diungkapkan Lewis A. Coser, bahwa konflik dapat melahirkan
perubahan sosial, dalam kasus perhajian di Tegal, mempunyai signifikansinya.
Kemudahan akses yang diberikan pemerintah, dimanfaatkan untuk menyerap
pengalaman serta dianggap sebagai pintu terbuka bagi seorang Muslim untuk
menambah wawasannya tentang dunia Islam saat itu serta kesempatan untuk
menuntut ilmu agama, langsung dari sumber perkembagannya.
118
BAB V
PENUTUP
A.Kesimpulan
Di abad 19, Tegal merupakan wilayah yang bergelut dalam perubahannya. Salah
satu unsur penting dari perubahan itu adalah kehadiran kolonial Belanda. Paska
kegagalan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa pada 1830, wilayah Jawa,
serta Tegal, bersiap menghadapi perpindahan kekuasaan dari para ningrat Jawa
ke tangan pemerintah Hindia Belanda. Model pemerintahan Jawa kemudian
diganti dengan tata kelola pemerintahan kolonial.
Masyarakat Tegal pun menghadapi perubahan yang tidak terduga-duga di sektor
ruang publik. Sebelumnya, gaya hidup mereka cenderung sederhana dengan
menggantungkan hidup pada hasil pertanian serta tangkapan laut bagi yang hidup
di pesisir. Pada medio kedua abad ini, beberapa pabrik gula didirikan di Tegal,
sehingga ikut merubah pola hidup masyarakat Tegal yang agraris dan maritim
menjadi masyarakat industri.
Secara umum, orang Tegal tidak mempunyai upaya untuk merubah tatanan
pemerintahan yang telah diperbaharui kolonialis Belanda. Mereka cenderung
menerima perubahan-perubahan yang ditawarkan pemerintah. Jikapun ada
kelompok masyarakat yang menyatakan keberatannya bahkan sempat melakukan
upaya perlawanan, maka jumlahnya tidaklah besar. Masyarakat Tegal menerima
mereka, dengan catatan pemerintah memperhatikan keadaan mereka.
Berangkat ke Tanah Suci untuk behaji, merupakan sesuatu yang diidamkan
Muslim Tegal. Di masa itu, mereka yang mempunyai kesempatan untuk berhaji
akan mendaftarkan diri ke pejabat terkait untuk berangkat haji. Pemerintah
Belanda pun berupaya mengadakan kompromi untuk hal ini. Mereka
menunjukkan kepeduliannya dengan mengadakan jasa angkutan berhaji serta
menetapkan administrasi yang harus dipenuhi calon haji.
119
Salah satu agenda penting dalam manajemen perhajian adalah menetapkan
kebijakan haji. Dalam rentang 1850 – 1889, telah ada dua produk hukum
perhajian yang berlaku yakni Resolusi 1825 dan Ordonansi 1859. Pada 1850,
sistem perhajian yang berlaku merujuk pada Resolusi 1825. Ratifikasi yang
terjadi pada 1859, didorong oleh fenomena banyaknya umat Muslim yang
menyalahgunakan gelar haji mereka untuk kepentingan menghimpun massa
Islam kemudian dialirkan untuk melawan pemerintah. Dalam peraturan yang
baru, ditetapkan sejumlah pembaruan, di antaranya adalah bukti berkelakukan
baik, tidak melawan pemerintah serta tes pengetahuan seputar haji. Langkah-
langkah tersebut dilakukan untuk mengisolir para haji dari paham Pan-Islamisme,
anti-kolinial dan nasionalisme.
B.Saran
Saran yang diajukan, adalah agar studi perhajian di Tegal ini dapat menjadi
inspirasi bagi lahirnya kajian sejarah haji di tempat lain. Bagaimanapun, kajian
sejarah Islam lokal harus terus dibudidayakan, agar kajian sejarah semakin
dinamis.
120
Daftar Pustaka
Sumber Primer
ANRI, Besluit 20 Juli 1842, La . A.
_____, Besluit 9 Oktober 1842 No. 2 a/ai.
_____, Besluit 31 Desember 1842 La. F2.
_____, Besluit 23 Februari 1843 La. R.
_____, Residen Tegal 1857 no.194A/4.
____, Surat Bupati Tegal pada 3 November 1857 No. 333 ditujukan pada Residen
Tegal, dalam afgaande inkomende brieven 1857, Residen Tegal 194 A/4.
____, Residensi Tegal 1858 No. 198 B/3. Dalam pemeriksaan itu, Bupati Tegal
dibantu Penghulu Masjid Brebes, Ketib dan dua orang haji.
____, Arsip Tegal tahun 1858, no.198B/3,KEAGAMAAN,diverse, naik haji.
____, Arsip Tegal tahun 1790 – 1871, No. 198, B/3, keagamaan Juni-September
1858, diverse, naik haji, Bupati Tegal Rangga Pati kepada Residen Tegal,
tertanggal 11 Agustus 1858.
____, Sirkuler Sekretaris Pertama Gubernemen, tertanggal Bogor 14 September
1889 No 2138 dalam Besluit 16 November 1889 no. 28.
____, Agenda 6496/25 Oktober 1909.
Cachet, F. Lion.Verslag van deputaten-synodi, aangewezen door de voorloopige
synode van Ned. Geref. Kerken, gehouden te Leeuwarden Juni 1890 om
onderzoek te doen in loco, in zake de Zending op Midden-Java,
Nederlands: Protestantse Theologische Universiteit, 1892.
Sumber Sekunder
Al-Qurtuby, Sumanto,Arus Cina-Islam-Jawa, Jogyakarta : INSPEAL
AHIMSA Karya Press,2003.
Alamsyah, “Deskripsi Hinterland Karesidenan Tegal abad ke-19”, sebuah
makalah yang ditulis tahun 2014 diakses dari
https://core.ac.uk/download/pdf/11704354/pdf.
Abimanyu, Soedjipto,Babad Tanah Jawi, Jogyakarta: Laksana, 2014,cet ke-IV.
Azra, Azyumardi,Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan NusantaraAbad
XVII & XVIII, Jakarta : Kencana,2013.
Abdullah,Hawash, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di
Nusantara, Surabaya : Al-Ikhlas ,2006.
Adaby Darban, Ahmad, Fragmenta Sejarah Islam Indonesia, Surabaya: JP Book
2008.
121
A.Steenbeink,Karel,Beberapa Aspek tentang Islam Indonesia abad ke- 19,
Jakarta : Bulan Bintang,1984.
Abdurrahman, Dudung,Metode Penelitian Sejarah, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
1999.
Abdurrahman, Dudung,Metodologi Penelitian Sejarah, Yogyakarta : Ar-Ruzz
Media, 2007.
Abdullah, Taufik & Edi Sedyawati ,(Editor ),Sejarah Indonesia ;penilaian
kembali karya utama sejarawan Asing,Depok : UI PRESS, 1997.
Abdullah,Taufik, dkk, (editor).IDAS( Indonesi dalam Arus Sejarah )JILID 3
Kemendikbud RI, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,2012.
Arsip Tegal tahun 1790-1872M, No.198B/3, KEAGAMAAN, Juni-September
1858,diverse ,naikhaji, diakses dari Arsip Nasional RI.
Aziz,Fachroel & Etty Saringendyanti ( Editor ),Cakrawala Arkeologi, Bandung :
Balai Arkeologi ,2000.
Akbar, Ali (Editor ),Arkeologi peran dan manfaat bagi kemanusiaan, Bandung :
AL-Qaprint Jatinangor,2011.
Alamsyah dkk, “Perkembangan Perkebunan dan Pelabuhan di Karesidenan Tegal
1830 – 1990”, dalam Humanika, No. 17, No. 4, 2004.
Alexanderson, Kris. "A Dark State of Affairs”: Hajj Networks, Pan-Islamism,
and Dutch Colonial Surveillance during the Interwar Period," dalam
Journal of Social History, Vol.47, No. 4, 2014.
Ali, Muhamad. "Religion, Imperialism, and Resistance in Nineteenth Century’s
Netherlands Indies and Spanish Philippines," dalam Jurnal Kajian
Wilayah, Vol. 1, No. 1, 2016.
Ali, Fachry. "Abangan-Islam or Making Islam Indigeneous?," dalam Islamika
Indonesiana, Vol. 1, No. 1, 2014.
Baay, Reggie. Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, Depok: Komunitas
Bambu, 2017.
Benda, Harry J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang, Terj. Daniel Dhakidae, Jakarta: PT. Dunia Pustaka
Jaya, 1980.
Booth, Anne, dkk. Sejarah Ekonomi Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1988.
Budi Utomo, Bambang, Atlas Sejarah Indonesia, Jakarta : Kharisma Ilmu,2013.
Burke, Peter,Sejarah dan Teori Sosial, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,2011.
B.Lapian, Adrian,Pelayaran dan Perniagaan Nusantara abad ke-16 & 17,
Jakarta : Komunitas Bambu ,2008.
Carey, Peter. Takdir; Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 – 1855, Jakarta:
Kompas, 2014.
Cool, Water. The Ports of the Dutch Indies, Brussels: General Secretary’s
Office,1921.
Coser, Lewis A. The Function of Social Conflict (New York: Routledge, 2001)
h.16. Lihat juga Lewis A. Coser, “Social conflict and The Theory of
Social Change”, dalam The British Journal of Sociology, Vol. 8, No. 3,
1957.
Daryono, Yono, Tegal Evolusi Sebuah Kota, makalah yang disajikan pada
peringatan Hari jadi Kota Tegal 2008.
122
De Holander, Johannes Jacobus, Handleiding Bij de Beoefening Der Land en
Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, eerste deel, Breda: Broese and
Comp, 1874.
Djumhur& Danasaputra, Sejarah Pendidikan untuk PGA 6 tahun dan sekolah
Guru yang sederajat, Bandung: CV.Ilmu, cet.ke-13.
DeGraaf,H.J, Awal Kebangkitan Mataram masa perintahan Senapati, Jakarta :
Grafiti Pers, 1985.
De Graaf,H.J, Runtuhnya Istana Mataram, Jakarta : Grafiti Pers, 1987.
De Graaf, H.J,Disintegrasi Mataram dibawah Sunan Amangkurat I, Jakarta :
Grafiti Pers,1987.
Douwes, Dick, ed. Indonesia dan Haji,Terj.Soedarso Soekarno dan Theresia
Slamet, Jakarta:INIS, 1997.
Effendi, “Politik Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia dalam perepektif
sejarah ( Studi Pemikiran Snouck Hurgronye)” , dalam Jurnal Tapis,
Vol.8, no.1, 2012.
Fathurahman, Oman, Filologi Indonesia Teori dan Metode, Jakarta : Kencana,
2015.
Feener, R. Michael. "A Re-examination of the Place of al-Hallaj in the
Development of Southeast Asian Islam," dalam Bijdragen tot de taal-,
land-en volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of
Southeast Asia Vol. 154, No.4, 1998.
Goebe, E. dkk, peny, Nasehat-Nasehat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889 – 1936, vol.
VII, Jakarta: INIS, 1991.
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, Jakarta : UI Press,2008.
Hamid,Abdurahman, Sejarah Maritim Indonesia, Jogyakarta: Ombak, 2013.
Hadinata, Yudi, SunanKalijaga, Yogyakarta : DIPTA, 2015.
Hamam Rochani, Ahmad,Ki Gede Sebayu Babad Negari Tegal, Semarang:
Intermedia Paramadina, 2005.
Hurgronje, C.Snouck. Kumpulan Karangan Snouck Hurgrounje jilid X, Jakarta:
INIS,1994.
_________________. Kumpulan Karangan Snouck Hurgrounje jilid V, Jakarta:
INIS,1996.
Ichwayudi, Budi. “Hipokritisme Tokoh Orientalis Christian Snouck Hurgronje”,
dalam Religio, Vol. 1, No. 2, 2011.
Jaquet, F. G. P. "Mutiny en hadji-ordonnantie: Ervaringen met 19e eeuwse
bronnen" Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 2/3de Afl, 1980.
Kartodirdjo, Sartono dkk. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid 5, Jakarta: Balai
Pustaka 1977.
Knight, G. Roger. Sugar, Steam and Steel; The Industrial Project in Colonial
Java 1830 – 1885, Adelaide: University of Adelaide Press, 2014.
Kuswara,Dadang, Metode Penelitian Sosial, Bandung: Pustaka Setia, 2012.
K.Rukiati,Enung & Fenti Hikmawati,Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung : Pustaka Setia,2006.
-----------, Kongres Nasional Sejarah 1996 : Sub Tema Pemikiran dan Analisis
teks Sejarah, DEPDIKBUD RI ,1998.
La Chapelle, H. M. "Bijdrage tot de kennis van het stoomvaart-verkeer in den
Indischen Archipel," dalam De Economist, Vol. 34, No. 2, 1885.
123
Leo, Sutanto,Kiat Jitu Menulis SKRIPSI, TESIS, DISERTASI, Jakarta : Erlangga,
2013.
Lucas, Anton E, PeristiwaTiga Daerah RevolusidalamRevolusi, Jakarta
:PustakaUtamaGrafiti, 1989.
Munir, Samsul,Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009.
Muarif Ambary, Hasan, Menemukan Peradaban jejak Arkeologi dan Historis
Islam Indonesia, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,1998.
Mulyana,Agus & Darmiasti,Historiografi di Indonesia dari Magis-Religius
hingga Strukturis,Bandung : Refika Aditama,2009.
Muljana, Slamet,Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-
Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LKIS,2009.
Majid,M.Dien, Berhaji dimasa Kolonial, Jakarta : cv.Sejahtera,2008.
Meyer, J. W. Laporan-Laporan Desa (Desa-Rapporten), Jakarta: ANRI, 1974.
Miller, Michael. "The Business of the Hajj: Seaborne Commerce and the
Movement of Peoples," dalam “Seascapes, Littoral Cultures, and Trans-
Oceanic Exchanges,”, Prosiding, Vol. 12(Washington, DC: Library of
Congress, 2003).
Mukhtar,Bimbingan Skripsi, Tesis, dan Artikel Ilmiah, Jakarta : Gaung
Persada Press,2010 .
Moleong,LexyJ,MetodologiPenelitianKualitatif, Bandung :RemajaRosdaKarya,
2004.
Nata, Abuddin, Studi Islam Komprehensif, Jakarta : Kencana, 2011.
Osman, A.Latif, Ringkasan Sejarah Islam, Jakarta: Widjaya, 1992.
O.Untoro, Heriyanti ( Editor ),Arkeologi Ruang lintas waktu sejak prasejarah
hingga kolonial di situs – situs Jawa Barat dan Lampung, Bandung : AL-
Qaprint Jatinangor,2012.
Pires ,Tome,SUMA ORIENTAL, Jogyakarta: Ombak, 2014.
------------, Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV Cipanas, 3-9 Maret 1986, Jakarta :
PUSLIT Arkeologi Nasional,1986.
Rahim, Husni,Sistem Otoritas Administrasi Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
1998.
Rahardjo, Supratikno ( Editor ), Arkeologi pola pemukiman dan lingkungan
hidup, Bandung : AL-Qaprint Jatinangor,2011.
Rahman,Ahmad,Perkembangan Islam Nusantara berdasarkan Naskah, Makalah
pada Seminar Nasional Penulisan Ulang Sejarah Islam Nusantara yang
dilaksanakan oleh Program Magister Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tanggal 16 juni 2014
Rosa Herliany,Dorothea dkk ( Editor ),ARUS BALIK, Memori Rempah dan
Bahari Nusantara, Kolonial dan Poskolonial, Yogyakarta : Ombak,2014.
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo
Persada 2005.
Soehartono, Irawan, Metode Penelitian Sosial, Bandung : Rosda Karya, 1998.
Soetjiptoni,Ki GedeSebayuPendiriPemerintahanTegaltahun 1585-1625, Tegal: Citra Bahari Animal,2007.
Schulte Nordholt, Henk, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari( editor ),
Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008.
124
Shohib,Muhammad,dkk,( editor ), Heritage Islam Nusantara-Masjid Bersejarah
di Jawa Vol.1.Lajnah PentashihanMushaf Al-Qur’an, BadanLitbang, dan
DiklatKementerian Agama RI.2012.
Su’ud, Abu, Semangat Orang-orang Tegal, Semarang: Masscom Media , 2003.
Suharsaputra, Uhar, Metode Penelitian: kuantitatif , kualitatif dan Tindakan,
Bandung : Refika Aditama, 2012.
Sulasman, MetodologiPenelitianSejarah, Bandung: Pustaka Setia, 2014.
Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta : LP3ES, 1985.
Sunanto ,Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta : Rajawali
Pers, 2014.
S.Soebardi, Serat Cabolek, kuasa, agama, dan pembebasan, Bandung :
Nuansa,2004.
S.Soebardi,The Book of Cabolek, Koninklijk Instituut Voor TAAL-,LAND-EN
Volkenkunde,1975.
Su’ud Sukahar, Joko, Tafsir Gatolotjo, Surabaya : Wuwung.
Saringendyanti, Etty ( Editor ),Kronik Arkeologi, Jakarta : PUSLIT Arkeologi
Nasional,2000.
Surjomihardjo,Abdurrachman,Kota Yogyakarta Tempo Dulu, sejarah Sosial
1880-1930, Jakarta : Komunitas Bambu, 2008.
Suprapto, R.Handoyo,KitabPetuahWarisanLeluhurJawa, Yogyakarta :Laksana,
2015.
Sutherland, Heather. “The making of a bureaucratic elite: The colonial
transformation of the Javanese priyayi”, dalam Asian Studies Association
of Australia oleh Heinemann Educational Books (Asia), 1979.
---------, Seminar Sejarah Nasional IV,Sub Tema: Pendidikan Sejarah, 16-19
Desember 1985 di Yogyakarta. Jakarta : DEPDIKBUD, 1991.
Tim ANRI, Biro Perjalanan Haji di Indonesia Masa Kolonial, Agen Herklots
dan Firma Al Segoff & CO, Jakarta: ANRI,2001.
Tjandra Sasmita, Uka,Penelitian Arkeologi Islam di Indonesia dari masa ke
masa, Kudus : Menara Kudus, 2000.
Usman, Hasan,Metode Penelitian Sejarah, terj.A.Muin Umar, Jakarta : DEPAG
RI,1986.
Van den Berg,L.W.C, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jakarta:
INIS,1989.
Van Niel, Robert.Munculnya Elit Modern di Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan,
2009.
Van Ronkel, P. H. S. "Aanteekeningen over Islam en Folklore in West-en
Midden-Java. Uit het Reisjournaal van dr. C. Snouck hurgronje," dalam
Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde van nederlandsch-indië , 4de
afl, 1942.
Yatim,Badri,Historiografi Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,1997.
Yulianto,Kreno, ed, ,Arkeologi strategi adaptasi, permukiman dan
pemanfaatannya, Bandung : AL-Qaprint Jatinangor,2011. Zuhdi, Susanto. Cilacap (1830 – 1942): Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan
di Jawa, Jakarta:KPG, 2002.
Sumber Lisan
125
Wawancara dengan M. Dien Madjid, Guru Besar Sejarah Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 4 Oktober 2018.
On Line
Http;//tegalbahari.com/pohon-jati-ki-gedhe-sebayu…
Http;//perpusarda.tegalkab.go.id.
Http://wisatategal.com.
Http://ncis-asalusulkotategal.blogspot.com.
Www.disparbud.tegalkab.go.id/id/wisata-budaya/wisata-ziarah..
Www.tegalkab.go.id.
Www.tegalkota.go.id.
Www.putra-lawu.com.
http://webdoc.sub.gwdg.de/ebook/p/2005/history_cooperative/www.historycoope
rative.org/proceedings/seascapes/miller.html, diakses pada 4 Oktober 2018.
Recommended