View
250
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
SUMBER DAYA GENETIKA TANAMAN PAKAN TERNAK
ADAPTIF LAHAN KRITIS
�
ST
BADAN P
SUMBERTANAMAN
ADAPTI
Nurh
AE
PENELITIAN DKEMEN
R DAYA GN PAKANIF LAHAN
Penyusun:
hayati D. PurwSajimin
Achmad FaninEndang Suted
�����������
��
DAN PENGEMNTERIAN PER
2012�
GENETIKAN TERNAKN KRITIS
wantari
ndi di
MBANGAN PERTANIAN
A K
ERTANIAN
Cetakan 2012 Hak cipta dilindungi undang-undang
�IAARD Press, 2012
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin tertulis dari IAARD Press. Hak cipta pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2012 Katalog dalam terbitan BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis/Penyusun, Nurhayati D. Purwantari ... [et al.]; Penyunting, Bess
Tiesnamurti, Endang Romjali, dan Eko Handiwirawan.-- Jakarta: IAARD Press, 2012
ix, 80 hlm.: ill.; 21 cm 636.39. 1. Sumber Daya Genetika 2. Tanaman Pakan Ternak I. Judul II. Purwantari, Nurhayati D. ISBN 978-602-8475-66-2
Penanggungjawab: Dr. Bess Tiesnamurti (Kepala Puslitbang Peternakan) Tata letak:
Eko Kelonowati Linda Yunia Rancangan sampul: Ahmadi Riyanto
IAARD Press
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jalan Ragunan No. 29, Pasarminggu, Jakarta 12540 Telp: +62 21 7806202, Faks.: +62 21 7800644 Alamat Redaksi: Jalan Ir. H. Juanda No. 20, Bogor 16122 Telp.: +62 251 8321746, Faks.: +62 251 8326561 e-mail: iaardpress@litbang.deptan.go.id
vii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................. v
DAFTAR ISI .............................................................................. vii
DAFTAR TABEL ....................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................... ix
1. PENDAHULUAN ............................................................... 1
2. SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN PAKAN TERNAK 4
3. PERANAN TPT DALAM SISTEM PERTANIAN ............... 14
4. PERANAN TPT DALAM BIDANG PETERNAKAN ........... 15
5. LAHAN KRITIS ................................................................. 17
TPT Adaptif pada Lahan Kritis .......................................... 17
TPT untuk Lahan Kering, Masam dan Salin ..................... 18
TPT untuk Lahan Rawa Pasang Surut ............................. 20
TPT untuk Menjaga Das ................................................... 23
TPT untuk Lahan Pascaerupsi Gunung Berapi ................ 24
6. Pertanian di Lahan Tailing ................................................ 27
7. Padang Penggembalaan Alam ......................................... 30
8. Faktor Utama yang Mempengaruhi Pertumbuhan TPT .... 35
9. Deskripsi Beberapa TPT ................................................... 40
10. Deskripsi Beberapa Tanaman Leguminosa ……............... 56
11. Deskripsi TPT Leguminosa ............................................... 58
DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 76
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Keragaman, kisaran kekayaan dan kepunahan jenis makhluk hidup penghuni hutan di Indonesia .......................
4
2. Rumput dan leguminosa yang telah dikarakterisasi ............ 9
3. Kandungan rata-rata logam berat Pb, Cd, Cu dan Zn dalam rumput (μg/g berat kering) menurut jarakpengambilan sampel dari pabrik semen di Kabupaten Bogor ...……….....
29
4. Karakteristik adang rumput alam di Indonesia (Sutaryono dan Partridge, 2002) …………………………………………..
31
5. Beberapa contoh jenis HPT yang cocok untuk padang penggembalaan ...................................................................
33
6. Jenis-jenis TPT yang beradaptasi pada lahan marjinal ....... 38
7. Jenis-jenis TPT yang beradaptasi pada lahan marjinal (lahan kering beriklim kering, sedang, basah) .....................
39
8. Jumlah N2 atmosfer yang ditambat oleh beberapa tanaman leguminosa ..........................................................................
57
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Hamparan rumput Banta, Kalimantan Selatan .................... 22
2. Hamparan rumput Bura-bura, Kalimantan Selatan ............. 22
3. Petani membawa rumput Bura-bura ................................... 22
4. Rumput-rumput mulai tumbuh menghijau di dusun Kalitengah Lor, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, pascaerupsi gunung Merapi ..............
25
5. Rumput tumbuh subur di bawah pohon kelapa yang masih meranggas ...........................................................................
26
6. Padang penggembalaan alam di Sumba Timur, NTT ......... 34
7. Rumput Brachiaria decumbens ………………...................... 40
8. Rumput Cenchrus ................................................................ 44
9. Chloris gayana ..................................................................... 46
10. Digitaria milinjianis ............................................................... 48
11. Rumput Meksiko .................................................................. 49
12. Rumput Gajah ..................................................................... 51
13. Rumput Benggala ................................................................ 53
14. Rumput Vetiveria zizanoides ............................................... 55
15. Arachis glabrata ................................................................... 59
16. Hamparan Arachis pintoi Centrosema spp. ......................... 59
17. C. pascuorum cv. Cavalcade ............................................... 61
18. Clitoria ternatea ………........................................................ 62
19. Lablab purpureus ................................................................. 63
20. Macroptilium atropurpureum …………………………………. 64
21. Stylosanthes sp. …………………………………….……….... 66
22. Calliandra calothyrsus ………………………………………… 67
23. Gliricidia sepium ………………………………………………. 69
24. Leucaena sp. ………………………………………………… 71
25. Sesbania grandiflora (bunga merah) ……………………….. 72
26. Indigofera zollingeriana ………………………………………. 75
Pendahuluan
1
1. PENDAHULUAN
Pada masa yang lalu, prinsip produksi pertanian adalah
meningkatkan produksi potensial tanaman pangan dan
memaksimalkan produktivitasnya. Namun pada masa sekarang,
peningkatan produksi harus diiringi dengan keberlanjutan sumber
daya alam yang mendukungnya.
Semua jenis komoditas pertanian termasuk tanaman pakan
ternak untuk dapat tumbuh atau hidup dan berproduksi optimal
memerlukan faktor-faktor yang perlu dipenuhi, antara lain energi
radiasi, temperatur, kelembaban, oksigen, dan hara serta status
kimia tanah misalnya kemasaman atau salinitas tanah. Pada
umumnya tanaman menghendaki aerasi tanah yang baik,
sehingga cukup tersedia oksigen, dan akar tanaman dapat
berkembang dengan baik, serta mampu menyerap unsur hara
secara optimal.
Tanaman Pakan Ternak yang dimaksud dalam buku ini adalah
Hijauan Pakan Ternak (HPT) yang dibudidayakan dan mencakup
rumput dan leguminosa, yang di Indonesia biasa disebut kacang-
kacangan atau polong-polongan. Leguminosa ini sangat baik
sebagai pakan ternak karena mempunyai kandungan protein yang
tinggi. Tumbuhan ini mampu mengikat unsur nitrogen (N2) dari
atmosfer, sehingga meminimalkan kebutuhan pupuk kimia N atau
bahkan tidak perlu dipupuk dengan pupuk N seperti urea. Jumlah
N2 udara yang diikat bervariasi tergantung jenis leguminosa,
bakteri pengikat N2, dan faktor lingkungannya.
Sumber Daya Genetik Tanaman Pakan Ternak (SDG TPT)
sangat beragam. Di Indonesia selain rumput dan leguminosa
lokal, serta introduksi, mempunyai kemampuan beradaptasi pada
berbagai kondisi tanah maupun iklim. Namun SDG TPT saat ini
belum dimanfaatkan secara optimal. Jenis yang telah dikenal oleh
masyarakat belum banyak, sehingga perlu lebih diintensifkan
usaha pengenalan dan pemanfaatannya.
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
2
Definisi yang digunakan di dalam buku ini
Di dalam buku ini dijumpai beberapa istilah antara lain:
Daerah Aliran Sungai atau DAS. Daerah aliran sungai
secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan/kawasan
yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang
menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara
serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada
satu titik (outlet). Hijauan pakan ternak atau HPT. Bagian berwarna hijau dari
tumbuhan terutama rumput dan leguminosa yang digunakan
sebagai pakan ternak.
Lahan kering. Hamparan lahan yang tidak pernah digenangi
air atau tergenang pada sebagian waktu selama setahun.
Lahan rawa. Rawa adalah lahan genangan air secara ilmiah
yang terjadi terus-menerus atau musiman akibat drainase yang
terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisika, kimiawi
dan biologis. Lahan rawa dibedakan menjadi: (a) rawa pantai, (b)
rawa pedalaman.
Lahan pasang surut, adalah bagian dari lahan rawa.
Lahan kritis. Lahan Kritis merupakan lahan yang keadaan
fisiknya sedemikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat
berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukkannya sebagai
media produksi maupun sebagai media tata air.
Rumput lokal. Biasa dikenal dengan rumput alam, yaitu
rumput yang sudah lama beradaptasi dengan kondisi Indonesia.
Rumput introduksi atau rumput unggul. Rumput yang
sengaja didatangkan dari luar negeri karena dipandang
mempunyai hasil dan mutu yang lebih tinggi daripada rumput
lokal.
Tailing, adalah limbah industri pertambangan, baik tambang
tembaga, emas, perak maupun mineral lainnya. Tailing bersifat
porositas tinggi sehingga kapasitas memegang air (holding capacity) rendah, struktur tidak stabil, sangat miskin bahan
organik, bahkan dapat dikatakan tidak ada bahan organik, miskin
Pendahuluan
3
unsur hara mikro dan makro, aktivitas mikroba juga tidak ada
sama sekali.
Tanaman Pakan Ternak atau TPT. HPT yang sengaja
dibudidayakan.
Sumber Daya Genetik TPT atau SDG TPT atau Plasma
nutfah adalah substansi pembawa sifat keturunan yang dapat
berupa organ utuh atau bagian dari tumbuhan dan merupakan
kekayaan alam yang sangat berharga bagi kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan
nasional.
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
4
2. SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN PAKAN TERNAK
Sumber Daya Genetik (SDG) tanaman adalah aset yang
sangat penting dalam suatu negara, termasuk TPT. SDG ini
merupakan materi untuk dapat dikembangkan/digunakan dalam
meningkatkan produksi maupun kualitas suatu tanaman, oleh
karena itu perlu dilindungi oleh negara dari pengelolaan dan
penggunaan yang tidak tepat.
Erosi sumber daya genetika di dunia termasuk Indonesia terus
berlangsung. Salah satu penyebabnya adalah kerusakan hutan
yang makin bertambah, yang disebabkan oleh aktivitas
antropogenik maupun bencana alam. Hutan ini merupakan salah
satu ekosistem dimana terdapat sumber daya hayati fauna
maupun flora termasuk tanaman pakan ternak dan SDG mikroba.
Tabel 1. Keragaman, kisaran kekayaan dan kepunahan jenis makhluk hidup penghuni hutan di Indonesia
Kategori penghuni hutan
No urut negara terkaya
keragamannya
Kisaran kekayaan
dari seluruh dunia (%)
Tingkat kepunahan
hingga tahun 2006 (spesies)
Spesies tumbuhan berbunga
7 10 27500
Spesies burung 4 17 1539
Spesies mamalia 1 12 515
Spesies ampfibia 5 16 270
Sumber: Sudarmono (2006)
Dari spesies yang punah tersebut kemungkinan ada spesies
yang merupakan tanaman pakan ternak yang potensial, untuk
agroekologi setempat. Kondisi ini memberikan kontribusi
berkurangnya keragaman sumber daya genetik tanaman pakan
ternak. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki
keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Data yang dilaporkan
oleh Forest Watch Indonesia (2001), keanekaragaman hayati di
Sumber Daya Genetik Tanaman Pakan Ternak
5
Indonesia sangat tinggi yang meliputi 11% spesies tumbuhan
dunia, 10% spesies mamalia, dan 16% spesies burung.
Pertambahan luas kebun kelapa sawit di Indonesia yang sangat
cepat sejak tahun tahun 2008 – 2011 berkisar 6,92%, yaitu
7.363.703 ha menjadi 7.873.384 ha (Ditjenbun, 2011), berpotensi
menambah jumlah spesies fauna maupun flora yang hilang.
Kematian gajah dan harimau, yang terjadi di hutan yang dibuka
untuk kebun kelapa sawit, salah satu indikator rusaknya habitat
untuk fauna dan juga flora. Kerusakan hutan oleh aktivitas
manusia juga menyebabkan kelangkaan bahkan kepunahan
tumbuhan maupun hewan.
Demikian juga ketahanannya atau sifat toleransinya terhadap
berbagai tekanan (stress). Ada jenis TPT yang tahan kering, ada
yang tahan genangan air. Ada yang mampu hidup pada tanah
masam, ada yang toleran terhadap salinitas, ada pula yang hanya
dapat hidup pada tanah subur. Rumput juga ada yang bisa
bertahan pada tanah pasir namun ada juga yang hidup hanya
pada tanah lempung. Demikianlah ada bermacam-macam spesies
atau jenis rumput yang mempunyai sifat-sifat khas yang
berpengaruh terhadap pertumbuhannya.
Plasma nutfah pakan ternak mungkin akan lebih optimal
digunakan bila multifungsi dari tanaman pakan ternak juga
dioptimalkan. Selain sebagai pakan ternak, tanaman ini dapat
digunakan sebagai cover crop (tanaman penutup tanah) di areal
perkebunan, tanaman reklamasi di tanah yang terdegradasi baik
oleh erosi maupun oleh pencemaran bahan beracun yang terjadi
di industri pertambangan maupun industri lain, salinitas tinggi, dan
lain-lain. Spesies tanaman penutup tanah di perkebunan-
perkebunan, harus mempunyai kemampuan tumbuh di naungan,
dimana intensitas cahaya merupakan faktor pembatas. Sumber
daya genetik TPT mempunyai potensi untuk dikembangkan
sebagai komoditas dengan nilai ekonomi menjanjikan apabila TPT
digunakan sebagai tanaman multifungsi, tidak hanya sebagai
sumber hijauan pakan.
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
6
Saat ini TPT yang banyak digunakan oleh petani maupun
pengguna lain adalah rumput Gajah (Pennisetum purpureum),
rumput Raja (P. purpuroides) dan rumput Gajah Taiwan
(Pennisetum purpureum cv. Taiwan). Rumput Gajah Taiwan,
sangat disukai petani maupun ternak. Rumput ini berbunga lebih
lambat dibandingkan dengan rumput Raja maupun Gajah lokal,
yang berarti fase vegetatif lebih panjang. Pada fase vegetatif
kualitas nutrisi rumput lebih baik (Purwantari et al., 2010). Padahal
banyak jenis rumput yang dapat dibudidayakan sebagai sumber
hijauan pakan.
Di Indonesia selama ini program pemuliaan hanya
dikonsentrasikan pada tanaman pangan, hortikultura, perkebunan
dan tanaman kehutanan, sedangkan untuk tanaman pakan ternak
belum mendapatkan perhatian secara luas, walaupun beberapa
genera tanaman pakan ternak telah masuk dalam daftar genera
penting untuk pertanian pada komisi sumber genetika tanaman
(Commission on Plant Genetic Resources) yang bernaung di
bawah FAO (1995). Genera-genera tersebut antara lain
andropogon, brachiaria, bothriochloa, cenchrus, chloris, cynodon, phalaris, themeda (rumput); aeschynomene, alysicarpus, centrosema, desmodium, lablab, leucaena, medicago, neotonis
(leguminosa). Pada tahun 1974, the International Board for Plant Genetic Resources (IBPGR) dari The Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR) mempunyai mandat
untuk melakukan promosi, koordinasi internasional dalam hal
koleksi pelestarian, dokumentasi, evaluasi dan pemanfaatan
plasma nutfah tanaman, termasuk tanaman pakan ternak. Ada 8
CGIAR yang saat ini berada di bawah IBPGR, yaitu IRRI
(International Rice Research Institute, Philippine), CIMMYT
(International Maize and Wheat Improvement Center, Mexico),
CIAT (TPT, Columbia, Amerika Selatan), IITA, CIP, ICRISAT
(Internacional Centre for Research in the Semi-Arid Tropics, Syria), ILRAD and ILCA. Pusat-pusat tersebut telah mempunyai
koleksi plasma nutfah yang besar, namun tujuan awalnya lebih
Sumber Daya Genetik Tanaman Pakan Ternak
7
untuk program pemuliaan tanaman bukan sebagai pelestarian. Di
Indonesia telah dibentuk suatu komisi, yaitu Komisi Nasional
Plasma Nutfah yang mempunyai mandat untuk melakukan
koordinasi kegiatan baik penelitian maupun struktural plasma
nutfah tingkat nasional. Komisi ini bertanggung jawab kepada
Menteri Pertanian.
Balai Penelitian Ternak telah melakukan eksplorasi dan
koleksi plasma nutfah tanaman pakan ternak sejak tahun 1984
yang mencakup daerah sebagian Sumatera dan Jawa (Ivory dan
Yuhaeni, 1984). Dari kegiatan yang dilakukan pada saat itu, telah
dikoleksi jenis TPT yang ditemukan di lokasi eksplorasi. Dari hasil
koleksi dan eksplorasi kemudian dilakukan karakterisasi dan uji
adaptasi pada berbagai agroklimat, antara lain di Jawa (Jawa
Barat), Sulawesi yang mewakili lahan kering, beriklim basah,
dataran rendah dan Nusa Tenggara, mewakili lahan kering,
beriklim kering, dataran rendah, juga telah diidentifikasi jenis yang
beradaptasi di DAS (Anonimus, 1986). Sedang uji adaptasi
beberapa spesies telah dilakukan di lahan kering beriklim kering,
dataran rendah; lahan kering, beriklim basah, dataran sedang.
Dalam jangka panjang kegiatan plasma nutfah ini diharapkan
akan menjadi bank gen tanaman pakan ternak di Indonesia, untuk
dapat dimanfaatkan dalam program pemuliaan TPT dan
memproduksi benih tanaman pakan ternak yang berkualitas
karena selama ini para peneliti, pengguna, petani menemui
kesulitan untuk memperoleh benih TPT yang berkualitas dengan
jaminan mutu. Kontribusi pemuliaan dalam meningkatkan
produktivitas tanaman dapat mencapai 63% (Baihaki, 2005)
Beberapa TPT telah dikarakterisasi dan dievaluasi, antara lain
beberapa jenis rumput, leguminosa herba, dan leguminosa pohon,
yang dalam pengamatannya menggunakan sistem penilaian,
berdasar pedoman IBPGR (1985) seperti tertera pada Tabel 2.
Dalam buku ini diuraikan beberapa jenis SDG Tanaman Pakan
Ternak. Salah satu rumput yang prospektif untuk dikembangkan
adalah Panicum maximum (rumput Benggala). Jenis rumput ini
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
8
telah terbukti merupakan rumput yang paling produktif di Amerika
tropis, mempunyai nilai nutrisi yang tinggi untuk pastura, rumput
potong, hay, silase dan sangat disukai ternak terutama daun
mudanya, namun karena sedikit menghasilkan biji yang baik maka
penggunaan rumput ini terbatas (Reed, 1976). Di Indonesia jenis
ini telah beradaptasi dengan baik. Ada beberapa kultivar dengan
adaptasi pada kondisi yang berbeda-beda, yaitu:
� Panicum maximum cv Hamil (tidak tahan kering)
� P. maximum cv Coloniao (agak tahan kering)
� P. maximum cv Common (tidak tahan embun beku)
� P. maximum cv Gatton (tahan dalam kondisi kering)
� P. maximum cv Makueni (tahan pengembalaan)
� P. maximun cv. Natsuyutaka (tahan kering)
� P .maximum cv Trichoglune (tahan naungan)
� P. maximum cv Riverdsdale (tahan naungan)
� P. maximum cv Purple Guinea (tahan kering)
Dari hasil karakterisasi delapan kultivar Panicum maximum
menunjukkan adanya variasi karakter dari kedelapan rumput
tersebut. P. maximum cv. Purple Ginea dan cv. T58 sangat tahan
terhadap kekeringan, sedangkan kultivar lainnya relatif tahan
terhadap kekeringan. Khususnya P. maximum cv Purple Guinea,
juga memberikan produksi hijauan yang paling tinggi, fase
vegetatif lebih panjang dibanding kultivar lain, tahan terhadap
penyakit, kandungan protein yang relatif tinggi dibandingkan
rumput gajah (Sutedi et al., 2002). Dengan sifat-sifat yang
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
10
dimiliki maka P. maximum cv. Purple Guinea dapat
direkomendasikan untuk dibudidayakan di daerah kering. Di
dalam pemuliaan nanti, sifat ini merupakan sifat yang perlu
dipertimbangkan untuk dilakukan rekayasa genetik. P. maximum mempunyai prospek sebagai rumput yang paling
baik untuk dibudidayakan di daerah tropik seperti Indonesia,
maupun subtropik. Rumput ini sangat disukai ternak, mempunyai
kualitas yang baik untuk rumput potong maupun komponen
pastura untuk ternak ruminansia.
Dari 7 kultivar Panicum maximum (cv. Gatton, Riversdale,
Natsuyutaka, Common Guinea, Petrie, Hamil dan Purple Guinea),
cv. Purple Guinea adalah yang paling tahan terhadap kondisi
kering, yaitu pada curah hujan < 100 mm per bulan, baik pada
dataran rendah maupun tinggi (Sutedi et al., 2005).
Ada genera Panicum dan jenis Panicum virgatum, yang telah
dikembangkan di Amerika Serikat, Kanada sebagai model
tanaman sumber energi, yaitu etanol.
Chloris gayana. Jenis ini mempunyai produksi yang relatif
rendah karena morfologi rumput yang berdaun kecil, namun
sangat tahan terhadap cekaman kekeringan yang panjang,
sehingga sangat potensial sebagai bahan pemuliaan (Sutedi et al., 2004). Rumput ini berasal dari Afrika, dan akhirnya menyebar
sampai ke Asia termasuk Indonesia. Potensi sebagai hijauan
pakan ternak sangat prospektif untuk dikembangkan, dengan
produksi hijauan 38 t/ha bahan kering. C. gayana merupakan
rumput gembala, dapat sebagai bahan hay, silase, dengan
kandungan N berkisar 2,7% atau setara dengan protein kasar
16,8% pada daun yang sangat muda, dan hanya 0,5% pada daun
yang tua. Kecernaan protein dapat mencapai 70% dan palatibilitas
sangat baik (t’Mannetje dan Kresten, 1992).
Stylosanthes hamata cv Verano, jenis tanaman leguminosa
herba ini mempunyai prospek untuk dikembangkan sebagai pakan
ternak. Jenis TPT ini berasal dari Southtern Florida, Amerika
Tengah dan Selatan (Columbia, Venezuela, Brazil). Hasil
Sumber Daya Genetik Tanaman Pakan Ternak
11
karakterisasi Stylo (Sutedi et al., 2001) mempunyai nilai gizi yang
cukup baik (protein kasar 15,8%, serat kasar 28,0%, fosfor 0,7%),
tahan terhadap kekeringan, tahan terhadap hama dan penyakit,
daun berwarna hijau tua, bunga terlihat pada 30 hari setelah
tanam (hst), biji muda terlihat pada 60 hst, dan masak 90 hst,
produksi hijauan segar 166 g/pohon dan bobot kering 38,9
g/pohon. Hal lain yang unggul dari tanaman stylo adalah
mempunyai kemampuan berkompetisi dengan gulma. Tanaman
ini dapat diintegrasikan dengan tanaman pangan seperti jagung
dan ketela pohon (Skerman, 1977). Di daerah kering, tanaman ini
disamping akan menyediakan hijauan pakan, juga akan menjaga
tanaman pangan dari gangguan gulma dan memberi sumbangan
hara N bagi tanaman utama karena kemampuannya mengikat N2
atmosfer.
C. calothyrsus. Spesies ini merupakan leguminosa pohon
yang aslinya berasal dari Amerika Tengah. Tanaman ini masuk
dari Guatemala ke Indonesia yaitu di Jawa sekitar tahun 1936.
Pada tahun 70-an, Kaliandra telah ditanam pada area perkebunan
seluas 30000 ha, yang akhirnya digunakan sebagai tanaman multi
guna (Wiersum dan Rika, 1992). Ada beberapa kultivar C. calothyrsus yang telah banyak diteliti dan merupakan koleksi dari
OFI (Oxford Forestry Institute). Empat kultivar C. calothyrsus yang
berprospek di Indonesia adalah cv. San ramon, cv La Ceiba, cv.
Santa Maria, dan cv Suchitepeques. Keempat kultivar tersebut
menunjukkan adanya perbedaan dalam beberapa karakter
morfologi. Daun berwarna hijau tua pada C. calothyrsus cv San
Ramon, warna daun hijau muda pada C. calothyrsus cv La Ceiba
dan cv Santa Maria dan warna daun hijau kekuningan pada C. calothyrsus cv Suchitipeques. Tingkatan serangan penyakit
keempatnya tampak tidak terlihat tanda-tanda berpenyakit, begitu
juga pada tingkat serangan hama hanya terlihat tanda-tanda
berhama pada daun, kecuali pada C.calothyrsus cv San ramon,
untuk ketahanan terhadap kekeringan lingkungan setempat tidak
ada perbedaan. Pembungaan terlihat adanya bunga pada C.
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
12
calothyrsus cv La ceiba dan cv Santamaria. Tinggi dan lebar
tanaman yang paling tinggi pada C. calothyrsus cv San Ramon
(238,30 cm, 270,00 cm). Produksi yang paling tinggi dicapai oleh
C. calothyrsus cv San Ramon, yaitu bobot segar hijauan 5516.67
gr/pohon dan bobot kering daun 2399,74 g/pohon; kandungan
protein kasar daun yang paling tinggi dicapai oleh C. calothyrsus
cv Santa Maria 20,00% (Purwantari et al., 2000). Leucaena leucocephala. Salah satu tanaman leguminosa pohon yang telah
lama menjadi bagian dalam suatu sistem pertanian di dunia
termasuk Indonesia. L. leucocephala mempunyai biomassa yang
tinggi dan tahan kering tetapi tidak toleran terhadap tanah masam
dan hama kutu loncat (Heteropsylla cubana). Hama ini bila
menyerang tanaman akan menyebabkan penurunan produksi
daun yang sangat signifikan bahkan dapat menyebabkan
kematian tanaman dan pernah mewabah sekitar tahun 80-an
yang menyerang L. leucocephala di seluruh dunia. Sehubungan
dengan hal itu, perlu dicari alternatif pengganti atau menggali
potensi Leucaena spp yang kurang dikenal. Uji adaptasi
Leucaena spp. terutama yang kurang dikenal telah dilakukan
bekerja sama dengan ACIAR selama 3 tahun. Beberapa spesies
Leucaena spp tersebut tahan terhadap kutu loncat. Uji adaptasi
telah dilakukan pada berbagai kondisi lingkungan (tanah,
ketinggian tempat dan curah hujan) yang berbeda, yaitu Ciawi,
Bogor (latosol tanah asam, kesuburan tanah rendah, curah hujan
> 2000 mm); Sandubaya, NTB (tanah vulkanik, subur, 800 mm);
Amarasi, NTT (tanah berkapur, alkalin, 1400 mm); Naibonat, NTT
(tanah alluvial hitam, 1400 mm); Milipinga, Sumba, NTT (tanah
dangkal, coral, pH alkalin, 800 mm). Leucaena hibrid KX2 (L. leucocephala x L. pallida) unggul dibandingkan Leucaena spp
yang lain pada semua lokasi, baik produksi hijauan maupun
adaptasi terhadap tanah asam (Nulik et al., 2004; Panjaitan
unpublish; Purwantari, 2005). Produksi Leucaena KX2 dapat
mencapai 4 kali lebih tinggi dari produksi L. leucocephala (Purwantari, 2005). Namun Leucaena hibrid KX2, akan
Sumber Daya Genetik Tanaman Pakan Ternak
13
mengalami segregasi pada populasi generasi berikutnya bila
diperbanyak dengan biji, sehingga untuk perbanyakan digunakan
bahan vegetatif. Metoda perbanyakan vegetatif pada hibrid ini
terus dikembangkan untuk memperoleh hasil yang diharapkan.
Keberhasilan penggunaan bahan vegetatif untuk perbanyakan
Leucaena hybrid KX2 tergantung banyak faktor, antara lain materi
tanaman yang digunakan dan kondisi lingkungan untuk
pertumbuhannya (Sun et al., 1998). Sampai saat ini perbanyakan
dengan cara vegetatif baik dengan propagasi maupun kultur
jaringan masih terus dicoba di Indonesia.
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
14
3. PERANAN TPT DALAM SISTEM PERTANIAN
Tanaman Pakan Ternak selain sebagai sumber hijauan pakan
untuk ternak, juga mempunyai fungsi lain yang penting dalam
sistem pertanian maupun lingkungan antara lain sebagai pupuk
hijau, tanaman penutup tanah, pengontrol gulma, pengontrol erosi
tanah, sebagai tanaman pagar pembatas lahan, membantu
konservasi air, fitoremediasi bahkan dapat sebagai komoditas
ekspor.
Lahan pertanian yang bisa ditanami TPT sangat luas, hampir
semua lahan kering yang bisa ditanami palawija, bisa juga
ditanami rumput potongan yang kebanyakan merupakan rumput
introduksi atau rumput unggul. Rumput unggul biasanya mampu
menghasilkan hijauan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
rumput lokal yang terdapat di padang-padang penggembalaan,
pinggir-pinggir jalan, tepi sungai, tepi saluran air dan sebagainya.
Di sentra pemeliharaan sapi perah terdapat lahan pertanian
maupun kehutanan yang dapat ditanami rumput pakan,
khususnya rumput Gajah dan rumput Raja, seperti di Lembang,
Pangalengan (Jawa Barat), Boyolali (Jawa Tengah), Pujon dan
Batu (Jawa Timur).
Tanaman Pakan Ternak biasa ditanam dalam berbagai sistem
pertanaman, antara lain ditanam sebelum tanaman pangan,
terutama TPT leguminosa, integrasi dengan tanaman hortikultura,
integrasi dengan tanaman perkebunan (sawit, karet, kakao), serta
tanaman kehutanan (pinus, jati, dll.).
Peranan TPT dalam Bidang Peternakan
15
4. PERANAN TPT DALAM BIDANG PETERNAKAN
Peternakan di Indonesia adalah peternakan rakyat dengan
kepemilikan ternak sangat kecil, dan biasanya merupakan sistem
yang terintegrasi dengan tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan maupun kehutanan. Untuk memenuhi kebutuhan
petani sehari-hari dipenuhi dari hasil tanaman pangannya,
sedangkan limbahnya diberikan untuk memenuhi kebutuhan
pakan ternaknya, disamping rumput alam. Ternak sendiri
mempunyai peranan untuk memenuhi kebutuhan khusus petani,
misalnya untuk biaya sekolah anak, biaya perkawinan dan lain-
lain. Sehingga dalam sistem ini hijauan pakan ternak merupakan
komoditas yang tidak dipentingkan untuk dibudidayakan menurut
pemahaman kebanyakan petani. Kondisi seperti ini merupakan
salah satu kendala dalam pengembangan hijauan pakan ternak.
Padahal di dalam usaha peternakan khususnya ruminansia,
hijauan pakan ternak merupakan kebutuhan pokok pakannya dan
para peternak sering dihadapkan pada permasalahan kekurangan
penyediaan hijauan pakan ternak secara kontinyu untuk
memenuhi kebutuhan ternak baik jumlah maupun kualitas.
Program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan
populasi sapi seharusnya diikuti dengan penyediaan lahan untuk
sumber hijauan pakan ternak.
Selama ini rumput yang banyak digunakan oleh petani
maupun pengguna lain adalah rumput alam, rumput budidaya
seperti Pennisetum purpureum (rumput Gajah) dan Pennisetum purpuroides (rumput Raja). Kedua rumput yang terakhir
produksinya lebih tinggi dibandingkan rumput lain. Namun rumput
tersebut memerlukan air yang banyak dan tanah yang subur untuk
pertumbuhannya dan kandungan airnya juga cukup tinggi.
Rumput ini tidak tahan pada kondisi kering (iklim kering). Di lain
pihak, tanah yang tersedia untuk budidaya Tanaman Pakan
Ternak (TPT) umumnya adalah tanah-tanah yang marjinal, baik
itu yang kering dan tidak subur maupun tanah dengan
kemasaman tinggi. Sehubungan dengan hal itu, perlu diidentifikasi
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
16
jenis TPT sebagai sumber hijauan yang dapat menghasilkan
Hijauan Pakan Ternak (HPT) dengan produksi tinggi yang dapat
dapat memanfaatkan lahan secara efisien sesuai agroekologi
tertentu dalam kaitan dengan budidaya komoditas pertanian
lainnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
memanfaatkan keragaman plasma nutfah tanaman pakan ternak
yang ada di Indonesia, terutama jenis yang lebih unggul pada
musim kemarau dan juga yang cocok untuk agroekologi spesifik.
Oleh karena itu perlu dipilih rumput dan leguminosa pakan ternak
yang mempunyai adaptasi yang tinggi pada kondisi kering dan
tanah yang relatif miskin dan lokasi agroekologi spesifik lainnya.
Saat ini petani, terutama peternak sapi perah banyak yang
membudidayakan rumput Taiwan (Pennisetum purpureum cv.
Taiwan). Rumput ini mirip dengan rumput Gajah tetapi
mempunyai daun yang lebih halus dan tidak cepat berbunga
(Purwantari et al., 2010) sehingga sangat disukai oleh ternak sapi.
Lahan Kritis
17
5. LAHAN KRITIS
Agroekosistem Indonesia dibedakan menjadi enam kategori
yaitu daerah hulu aliran sungai DAS, lahan rawa dan pasang
surut, lahan kering beriklim kering, lahan kering beriklim basah,
sawah irigasi dan sawah tadah hujan.
Lahan rawa dan pasang surut, dan kebanyakan lahan kering
beriklim kering, lahan kering masam merupakan lahan-lahan yang
marginal (lahan kritis).
Lahan kritis merupakan lahan yang keadaan fisiknya
sedemikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi
secara baik sesuai dengan peruntukkannya sebagai media
produksi maupun sebagai media tata air atau lahan yang tidak
mempunyai nilai ekonomis. Untuk menilai lahan kritis ada empat
parameter lahan, yaitu kondidi penutupan vegetasi, tingkat
kerapatan drainase, penggunaan lahan dan kedalaman tanah
(Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997).
Tanaman pakan ternak adaptif pada lahan kritis
Lahan-lahan yang dikategorikan kritis antara lain, lahan kering
beriklim kering, masam, tanah yang miskin, lahan bekas area
pertambangan; lahan pasca erupsi gunung berapi dan lahan di
DAS yang kritis. Lahan-lahan tersebut biasanya miskin hara,
tanah porous (sarang), atau liat, pH masam atau salin.
Ada beberapa alasan mengapa rumput cocok sebagai
tanaman pakan ternak dan sebagai tanaman konservasi tanah,
yaitu : (1) rumput mampu membentuk tunas-tunas baru sebagai
pengganti batang yang dimakan ternak. Tunas-tunas baru itu
tumbuh pada pangkal batang, dekat permukaan tanah, sehingga
tidak rusak apabila terjadi pemotongan atau penggembalaan; (2)
sebagian besar rumput mampu mempertahankan pertumbuhan
vegetatif terus menerus dan hanya terhenti pada musim kering;
(3) banyak rumput yang berkembang biak dengan rimpang atau
stolon yang dengan mudah membentuk akar-akar baru sehingga
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
18
permukaan tanah dapat cepat tertutup; (4) sistem perakarannya
mampu mengikat partikel-partikel tanah dan membentuk jalinan
akar (sod). Akar ini mengangkat zat hara yang telah tercuci oleh
hujan lebat dari dalam tanah ke permukaan.
Kondisi kemasaman maupun salinitas tinggi akan
mempengaruhi pertumbuhan tanaman termasuk TPT.
Tanaman pakan ternak untuk lahan kering masam dan salin
Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah
digenangi air atau tergenang pada sebagian waktu selama
setahun (Irsal Las, 2012) dan beriklim kering, dimana curah hujan
kurang dari 100 mm per bulan. Lahan kering biasanya mempunyai
kesuburan rendah, dengan tanah retak-retak dan kedalaman
tanah dangkal. Pemupukan dengan pupuk organik sangat
membantu dalam memperbaiki struktur tanah, sedangkan
pemupukan dengan pupuk kimia akan meningkatkan hasil
biomasa dan kualitas hijauan TPT. Luas lahan kering di Indonesia
mencapai 148 juta ha dan baru 50 juta ha yang digunakan untuk
lahan pertanian (Sains Indonesia, 2012).
Budidaya tanaman termasuk tanaman pakan ternak pada
lahan kering memerlukan teknologi pengairan yang efisien,
pemilihan jenis tanaman, pemupukan, pola tanam dll. Beberapa
jenis TPT relatif lebih dapat beradaptasi pada lahan kering beriklim
kering dibandingkan dengan tanaman komoditas pertanian lain.
Sebagian besar lahan daratan di Indonesia termasuk pada
lahan masam, dikarenakan variasi iklim dan curah hujan yang
relatif tinggi di sebagian besar wilayah Indonesia mengakibatkan
tingkat pencucian basa di dalam tanah cukup intensif, sehingga
kandungan basa-basa rendah dan tanah menjadi masam
(Subagyo et al., 2000). Ciri utama lahan masam adalah tingkat
produktivitas lahannya yang rendah untuk produktivitas tanaman,
terutama tanaman pangan. Keberadaan lahan masam di
Indonesia dapat ditemukan pada lahan kering dan lahan basah.
Lahan Kritis
19
Total luas lahan kering masam di Indonesia sekitar 102,8 juta ha
(Widjaja-Adhi et al., 2000).
Tanah masam biasanya mengandung unsur aluminium (Al)
dan mangan (Mn) yang sangat tinggi sedangkan kandungan
unsur kalsium (Ca) dan fosfor (P) sangat rendah yang
mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat. TPT yang
beradaptasi pada lahan masam tidak dapat tumbuh dengan
optimal. Pengapuran adalah salah satu cara untuk meningkatkan
pH tanah sehingga unsur hara lebih tersedia untuk pertumbuhan
tanaman.
Salah satu komoditas tanaman yang lebih berpotensi untuk
dikembangkan pada lahan kering masam adalah tanaman pakan
ternak (TPT), karena tanaman pakan merupakan sumber hijauan
bagi ternak, dan sekitar 80% komponen pakan ruminansia berasal
dari hijauan. Selain itu tanaman pakan ternak biasanya
ditempatkan pada lahan-lahan yang marjinal atau lahan yang
kurang produktif. Potensi untuk mengembangkan tanaman pakan
di lahan kering masam didukung dengan tersedianya jenis
tanaman pakan ternak yang memiliki kemampuan untuk tumbuh
baik pada lahan kering masam. Rumput Brachiaria decumbens
(BD) misalnya, merupakan spesies yang toleran pada lahan
kering masam karena toleran keracunan alumunium. Dari hasil
penelitian terbukti penambahan 200 μM Al ke media tanam, sama
sekali tidak mempengaruhi pertumbuhan Brachiaria decumbens. Ketahanan tersebut terkait dengan eksudat yang dihasilkan
perakaran, yaitu berupa senyawa-senyawa organik, diantaranya
asam sitrat dan malat (Grundy et al., 2002).
Beberapa spesies rumput yang toleran masam (cekaman
alumunium) yaitu Brachiaria decumbens (sangat toleran),
Axonophus compressus (toleran), Brachiaria brizantha (toleran),
Panicum maximum (toleran), Pennisetum purpuroides (toleran),
Panicum muticum (moderat-toleran), Elusin indica (moderat-
toleran), Setaria spachelata (moderat-toleran), Pennisetum
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
20
purpureum (moderat toleran) dan Setaria splendida (moderat-
toleran).
Usaha pertanian di tanah salin mempunyai potensi yang besar
karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai
garis pantai yang panjang. Salinitas adalah salah satu masalah
dalam pertanian di seluruh dunia karena lebih 50%
mempengaruhi kesuburan tanah. Kenaikan salinitas tanah adalah
salah satu faktor alam yang merugikan dan memiliki efek negatif
pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Flowers, 2004).
Cekaman salinitas sering terjadi akibat akumulasi garam yang
berasal dari adanya deposit garam asal bahan induk, intrusi air
laut, atau evaporasi yang tinggi dengan curah hujan yang rendah.
Bentuk garam yang dominan pada cekaman salinitas seperti ini
umumnya adalah Natrium Klorida (NaCl). Pada lahan-lahan pantai
sering memunculkan tanah-tanah salin sebagai akumulasi garam
akibat kekeringan pada musim kemarau. Bahan organik di dalam
tanah dapat berperan sebagai sumber unsur hara, memelihara
kelembaban tanah, sebagai buffer dengan mengkhelat unsur-
unsur penyebab salinitas sehingga dapat meningkatkan
ketersediaan unsur-unsur hara (Buckman dan Brady, 1982).
Tanaman pakan ternak untuk lahan rawa pasang surut
Lahan rawa pasang surut luasnya mencapai 20,10 juta ha dan
awalnya merupakan rawa pantai pasang surut di muara sungai
besar, yang dipengaruhi secara langsung oleh aktivitas laut. Di
bagian agak ke pedalaman, pengaruh sungai besar makin kuat
sehingga wilayah ini memiliki lingkungan air asin (salin) dan air
payau. Lahan rawa tergolong marginal dan fragile, sehingga
aspek teknis harus dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi dan
penerapan teknologi terutama pertanian (Suriadikarta dan
Sutriadi, 2007).
Lahan Kritis
21
Karakteristik lahan pasang surut antara lain:
� tanah sulfat masam dengan senyawa piritnya
� tanah gambut
� air pasang besar dan kecil kedalaman air tanah
� kemasaman air yang menggenangi lahan
Lahan rawa di Indonesia cukup luas sekitar 33,4 – 39,4 juta ha
(Widjaja-Adhi et al., 2000), menyebar dominan di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Lahan rawa tersebut terdiri atas
lahan rawa pasang surut 23,1 juta ha dan lahan rawa lebak 13,3
juta ha (Subagyo dan Widjaja-Adhi, 1998).
Peternak di lahan pasang surut juga mengandalkan rumput
lokal. Di lahan pasang surut pasokan rumputnya bisa tersedia
sepanjang tahun. Di daerah rawa dan pasang surut, hijauan
pakan juga mudah dijumpai, karena untuk habitat seperti itu
terdapat jenis-jenis rumput yang bisa tumbuh dengan baik.
Rumput alam (rumput lokal) yang biasanya tumbuh di lahan rawa
antara lain rumput Kumpai Miyang (Hymenachne interrupta),
Kumpai Batu (Ischaemum barbatum Retz), Padi Hiang (Oryza rufipogon), Kerandang (Paspalum scrobbiculatum), rumput Bura-
bura (Eriochloa procera) dan Banta (Leersia hexandra Swartz);
rumput Banta (Leersia hexandra). Dua rumput yang terakhir
mendominasi lahan rawa di Kalimantan Selatan.
Rumput Banta adalah rumput alam di Kalimantan Selatan
yang tidak dibudidayakan dan tumbuh di daerah rawa, sawah atau
tanah basah. Rumput ini dipelihara sebagai pakan ternak dan
dipotong secara rutin dan dipupuk dengan pupuk kimia. Morfologi
rumput mempunyai daun yang lembut dengan buku-buku tumbuh
akar dan bulu daun halus. Rumput Bura-bura banyak
dimanfaatkan sebagai pakan ternak di Kalimantan Selatan dan
telah dipelihara karena mempunyai nilai ekonomi sebagai pakan
ternak sehingga diperjualbelikan antar peternak. Rumput ini
tumbuh liar di sawah, rawa dan galengan. Ciri-ciri rumput Bura-
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
22
bura memiliki batang yang merambat dengan daun berbentuk
pita.
Gambar 1. Hamparan rumput Banta, Kalimantan Selatan
Gambar 2.Hamparan rumput Bura-bura, Kalimantan Selatan
Gambar 3. Petani membawa rumput Bura-bura
Lahan Kritis
23
Tanaman pakan ternak untuk menjaga daerah aliran sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu
wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai
dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke
danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan
pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah
perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (Dephut,
2009). DAS merupakan suatu wilayah daratan atau lahan yang
mempunyai komponen topografi, batuan, tanah, vegetasi, air,
sungai, iklim, hewan, manusia dan aktivitasnya yang berada pada,
di bawah, dan di atas tanah.
Daerah aliran sungai secara umum didefinisikan sebagai suatu
hamparan/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi
(punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan,
sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak
sungai dan keluar pada satu titik (outlet) (Nugroho et al., 2004).
Namun saat ini separuh DAS di Indonesia sudah dalam keadaan
kritis (Sinar Tani, 2012), karena itu kini tengah diintensifkan
Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA),
dengan penanaman pohon, terutama pohon produktif dalam
rangka melestarikan sumber daya lahan dan air untuk
keberlanjutan ketahanan pangan nasional.
Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya
penutupan vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis
sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air
yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan
penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan
pada musim kemarau.
Kondisi kritis yang ditunjukkan suatu DAS antara lain tingkat
erosi, sedimentasi dan fluktuasi debit (Sarminingsih, 2007),
sebagai contoh erosi cekungan Bandung khususnya pada Sub
DAS Cisangkuy sudah mencapai 163 ton/ha/thn, sedimentasi
yang ditunjukkan dengan laju sedimentasi Waduk Saguling yang
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
24
mencapai 3,02 – 4,32 juta m3 /tahun. Indikator DAS yang kritis
ditandai dengan fluktuasi debit maksimum dan minimum berkisar
antara 49 – 394 m3/detik, yang berakibat banjir.
Pada dasarnya hampir semua jenis TPT dapat beradaptasi di
kawasan DAS, tapi untuk DAS yang kritis, TPT yang cocok untuk
ditanam adalah yang dapat mengontrol erosi dan mencegah banjir
seperti tanaman yang mempunyai akar tunggang dan sistem
parakaran yang padat sehingga dapat mengurangi atau
mencegah erosi; yang mempunyai kemampuan menjaga
kesuburan tanah, atau meningkatkan kesuburan tanah.
Tanaman pakan ternak untuk lahan pascaerupsi gunung
berapi
Kasus erupsi gunung Merapi
Indonesia merupakan Negara yang mempunyai banyak
gunung berapi. Salah satunya adalah gunung Merapi, yang
terletak di Yogyakarta. Gunung ini diidentifikasi sebagai gunung
berapi paling aktif di dunia.
Kerusakan sumberdaya lahan yang terjadi akibat letusan
gunung Merapi adalah erupsi abu dan pasir yang menutupi lahan
pertanian dengan ketebalan abu dan pasir yang bervariasi untuk
setiap lokasi tergantung jarak dari pusat letusan, arah dan
kecepatan angin. Dampak langsung terhadap lahan adalah
penutupan lapisan olah bagian atas tanah oleh abu dan rusaknya
tanaman yang tumbuh di atasnya. Tanaman pakan ternak banyak
yang mati dan tertutup abu sehingga tidak dapat digunakan untuk
pakan ternak.
Sebelum terjadi erupsi gunung Merapi, hijauan pakan yang
telah dikenal petani/peternak antara lain rumput Gajah
(Pennisetum purpureum), rumput Raja (Pennisetum purpuroides),
Panicum maximum dan Brachiaria decumbens. Jenis tanaman
pakan tersebut telah menjadi pakan utama sapi perah maupun
Lahan Kritis
25
sapi potong di kawasan Merapi karena produksi dan kualitasnya
yang tinggi. Produksi bahan kering hijauan rumput tersebut dapat
mencapai 40 – 110 ton/ha/th.
Akibat erupsi, jenis pakan tersebut telah mati dan petani
ternak mengalami kesulitan mendapatkan rumput untuk pakan
ternaknya. Pada kondisi tersebut perlu diupayakan tanaman pakan
ternak yang cepat tumbuh yang dapat memenuhi kebutuhan pakan.
Saat erupsi gunung Merapi di Kabupaten Sleman, Yogyakarta,
hampir semua tanaman yang berjarak sekitar 4 km dari gunung
Merapi terbakar dan hanya menyisakan tanaman yang
meranggas.
Gambar 4. Rumput-rumput mulai tumbuh menghijau di dusun Kalitengah Lor, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, pascaerupsi gunung Merapi
Setelah enam bulan pascaerupsi Merapi, lima jenis tanaman pakan ternak dapat tumbuh baik sebagai tanaman pioner rehabilitasi lahan yang terkena abu vulkanik, pasca erupsi. Jenis rumput yang ada, antara lain rumput Benggala (Panicum maximum), Brachiaria (Brachiaria brizantha), rumput Gajah (Pennisetum purpureum), rumput Raja (P. purpuroides) dan Cynodon dactylon. Keempat jenis rumput yang pertama adalah rumput unggul, yang sebelum erupsi memang dibudidayakan,
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
26
sedangkan rumput C. dactylon, kemungkinan tumbuh alami (tanpa dibudidayakan), sehingga dapat dikatakan rumput pioner rehabilitasi lahan dan ekonomi masyarakat.
Gambar 5. Rumput tumbuh subur di bawah pohon kelapa yang masih
meranggas
Pertanian di Lahan Tailing
27
6. PERTANIAN DI LAHAN TAILING
Eksploitasi sumber daya alam seperti industri pertambangan
adalah suatu kegiatan yang tak terelakkan untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi, sumber keuangan negara, dan lain-lain.
Eksploitasi ini akan memberikan dampak lingkungan, budaya,
sosial baik positif maupun negatif. Industri pertambangan
merupakan salah satu industri yang berdampak kerusakan
lingkungan baik fisik maupun sosial, karena industri ini
menghasilkan limbah yang cukup besar dalam bentuk tailing dan
beberapa pertambangan menghasilkan residu berupa logam berat
yang bersifat toksis dan akumulatif dalam tubuh makhluk hidup.
Tailing adalah limbah industri pertambangan baik emas, tembaga
maupun perak. Tailing terdiri dari batuan yang telah hancur dari
batuan mineral yang telah diambil mineralnya dan mempunyai
porositas tinggi sehingga kapasitas memegang air rendah,
struktur tidak stabil, sangat miskin bahan organik, aktivitas
mikroba tidak ada sama sekali.
Rehabilitasi bekas lahan tambang dengan menggunakan
tanaman disebut fitoremediasi. Ada beberapa mekanisme
fitoremediasi yaitu fitoekstraksi, fitotransformasi (fitodegradasi,
rizodegradasi), fitostabilisasi dan fitofiltrasi (Vidali, 2001).
Pemilihan spesies tanaman, termasuk TPT untuk rehabilitasi
area bekas tambang sangat krusial tergantung tujuan
penanaman. Ada kelompok tanaman yang bersifat mengekstraksi,
mendegradasi dan menstabilkan kontaminan misalnya logam
berat. TPT yang bersifat mengekstraksi kontaminan, terutama
tidak dapat dikonsumsi oleh ternak karena akan terakumulasi di
dalam tubuhnya dan akan masuk ke rantai makanan. Sehingga
TPT yang bersifat akumulator dapat digunakan untuk
membersihkan kontaminan pada area bekas tambang.
Kebanyakan tanaman pakan ternak dapat beradaptasi dengan
kondisi lahan pasca tambang. Namun perlu perbaikan lahan
seperti pemberian pupuk kandang untuk memperbaiki struktur
tanah dan meningkatkan aktivitas mikroba.
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
28
Beberapa jenis rumput maupun leguminosa telah digunakan
sebagai agen reklamasi di beberapa pertambangan di Indonesia
(Anonimus, 2006), antara lain rumput Bahia (Paspalum spp.), rumput Vetiver (Vetiveria zizonoides), rumput Bermuda (Cynodon dactylon). Leguminosa Vigna parkeri Baker, terlihat tumbuh di
lokasi terjadinya suksesi alam di suatu pertambangan emas di
Papua. Jenis rumput seperti Panicum notatum, Cynodon dactylon
tumbuh sendiri di area yang terkontaminasi polutan logam berat
(Yoon et al., 2006).
Rumput Vetiveria zizanoides (rumput akar wangi), salah satu
rumput yang toleran terhadap tanah dengan kandungan logam
berat yang tinggi dan bersifat akumulator logam berat.
Perakarannya yang sangat panjang, dapat menembus kedalaman
tanah yang dalam dan sangat cocok untuk konservasi dan
penguat tanggul yang ada di beberapa pertambangan. Rumput ini
telah digunakan di pertambangan tembaga dan emas di Papua,
untuk penahan tanggul yang dibuat sebagai aliran tailing dari
dataran tinggi tempat mineral ditambang ke dataran rendah agar
tidak terjadi erosi (PTFI, 2004).
Akar rumput Vetiver sangat kuat, rata-rata kekuatan daya
rentang berkisar 5 Mpa yang setara dengan seperenam daya
rentang baja medium (mildsteel) (Truong, 1999). Jenis rumput ini
sangat berbeda dengan rumput pada umumnya. Siregar dan
Sajimin (1992), melaporkan rumput Vetiver yang ditanam di
Kabupaten Ende, Sikka dan Sumba, Provinsi NTT pada musim
kering dengan curah hujan tidak ada sama sekali, pada bulan-
bulan tertentu masih dapat menghasilkan hijauaPertanian di lahan
tailing.
Tujuan reklamasi lahan tailing antara lain untuk memperbaiki
lingkungan, dan kondisi lahan tailing menjadi area yang dapat
digunakan menjadi lebih produktif misalnya untuk budidaya
tanaman. Untuk tujuan kegiatan pertanian perlu dilakukan secara
hati-hati sebelum produk pertanian dapat dikonsumsi manusia.
Logam berat yang biasa diketemukan di lahan tailing antara lain
Pertanian di Lahan Tailing
29
kadmium, timbal, merkuri (Pearce, 2000), dan cuprum. Di salah
satu pertambangan emas di Indonesia, beberapa komoditas
pertanian telah dibudidayakan pada lahan tailing, misalnya sayur-
sayuran (tomat, cabe, labu), buah-buahan seperti melon, jambu
batu, matoa. Namun semua komoditas tersebut perlu dianalisis
kemungkinan keberadaan logam berat dalam produknya sebelum
dinyatakan layak untuk dikonsumsi. Logam berat dapat
terakumulasi dalam jaringan tubuh makhluk hidup termasuk
tanaman. Darmono (1995) melaporkan adanya akumulasi logam
berat Cd, Pb, Cu dan Zn dalam rumput yang tumbuh di sekitar
pabrik semen di Kabupaten Bogor (Tabel 3).
Tabel 3. Kandungan rata-rata logam berat Pb, Cd, Cu dan Zn dalam rumput (μg/g berat kering) menurut jarakpengambilan sampel dari pabrik semen di Kabupaten Bogor
Jarak (km) Pb Cd Cu Zn
1 10,50 0,43 6,16 184,2
2 6,18 0,34 5,49 79,5
3 8,83 0,35 6,31 144,0
Semua kandungan logam berat rumput telah melampaui batas
ambang yang diperbolehkan untuk dikonsumsi ternak seperti
ditetapkan menurut NRC (NAS, 1980) sehingga bila logam-logam
berat tersebut dikonsumsi oleh ternak akan terakumulasi di dalam
jaringan tubuhnya. Sementara itu, fitotoksisitas Cu terjadi bila
tanah mengandung Cu berkisar 60 – 125 mg/kg (Ross dalam Li et al. 2006); 500 – 1000 mg/kg total Pb (Jiang et al. dalam Li et al., 2006).
Budidaya tanaman apapun di area tailing perlu strategi
tertentu untuk mengelolanya. Kondisi tailing yang secara fisik
sangat sarang (porous), miskin hara dan bahan organik, maka
perlu pemupukan dengan pupuk organik dan kimia secara
seimbang. Penggunaan pupuk kandang maupun pupuk organik
lain (pupuk hijau, biosolids) atau top soils perlu dilakukan dengan
dosis yang tinggi.
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
30
7. PADANG PENGGEMBALAAN ALAM
Area padang penggembalaan yang masih tersedia luas
berada di luar Pulau Jawa, yang sebagian besar atau dapat
dikatakan semuanya merupakan padang penggembalaan alam,
yang didominasi oleh rumput alam atau alang-alang. Jenis
padang penggembalaan seperti ini mempunyai kapasitas
tampung yang rendah. Luas padang penggembalaan saat ini
makin berkurang, karena banyak yang sudah beralih fungsi untuk
kepentingan lain (perkebunan, perumahan, pertambangan).
Diharapkan alih fungsi ini tidak akan terjadi lagi, karena menurut
UU Nomor 18 tahun 2009 bahwa lahan penggembalaan
merupakan kawasan yang harus dipertahankan keberadaannya
dan kemanfaatannya. Namun sampai saat ini pengembangannya
masih tidak optimal bahkan dapat dikatakan tidak ada.
Status padang penggembalaan. Padang penggembalaan
sebagian besar merupakan padang penggembalaan komunal
(NTT, NTB, Sulawesi, Sumatera, Papua) yang kepemilikan
lahannya tidak jelas. Kemungkinan besar adalah lahan negara,
atau diklaim sebagai lahan adat, sehingga perlu adanya kejelasan
bila padang penggembalaan tersebut akan diberdayakan.
Perbaikan padang penggembalaan akan lebih mudah pada
padang penggembalaan yang dimiliki oleh individu.
Tujuan perbaikan padang penggembalaan adalah untuk
meningkatkan kapasitas tampung dan kualitas hijauannya
sehingga produksi ternak meningkat tanpa merusak habitat dan
lingkungan. Namun perbaikan padang penggembalaan sangat
sulit untuk dilaksanakan apabila status lahan tidak jelas. Pada
kondisi status lahan tidak jelas, maka siapa yang memperbaiki
dan siapa yang bertanggungjawab dalam pengelolaannya juga
tidak jelas.
Padang rumput alam yang ada di Indonesia mempunyai
komposisi rumput alam yang berbeda-beda.
Padang Penggembalaan Alam
31
Tabel 4 Karakteristik adang rumput alam di Indonesia (Sutaryono dan Partridge, 2002)
Karakteristik Jenis rumput alam
Lokasi
Rumput-rumput tinggi, musim kering panas, tanah tersusun dari bahan kapur, tekanan penggembalaan ringan
Sorghum/ Themeda/ Heteropogon
Bagian Timur Sumba
Rumput-rumput tinggi, musim kering tidak terlalu panas, tanah masam, penggembalaan sangat ringan
Themeda Bagian tengah Sulawesi
Savana dengan pohon-pohon yang menyebar, rumput dengan ketinggian sedang, musim kering yang panas, tanah dari bahan kapur, penggembalaan sedang
Heteropogon/Ischaemum/ Andropogon
Timor Barat
Rumput dengan ketinggian sedang, musim kemarau panas, tanah vulkanis, penggembalaan ringan
Heteropogon Pantai Utara Sumbawa
Tinggi rumput sedang, musim kemarau panas, tanah vulkanis, penggembalaan sedang
Chrysopogon Bagian Utara Lombok
Tinggi rumput sedang, musim kemarau tidak terlalu panas, tanah asam, penggembalaan ringan
Imperata cylindrical (Alang-alang)
Sulawesi Tenggara
Rumput dengan ketinggian sedang dan pendek, musim kemarau tidak terlalu panas, tanah asam, penggembalaan ringan
Imperata cylindrical/ Chrysopogon
Sulawesi Tenggara
Rumput pendek, musim kering panas, tanah dari bahan kapur, penggembalaan berat
Ischaemum/Bothriochloa
Di pulau-pulau bagian Timur
Rumput pendek, di bawah pohon kelapa
Axonopus compressus
Palu bagian tengah, Sulawesi Utara, daerah pantai Lombok
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
32
Perbaikan padang penggembalaan meliputi perbaikan teknis
dan non-teknis. Perbaikan yang bersifat teknis antara lain
perbaikan vegetasi (introduksi rumput unggul dan leguminosa)
kombinasi dengan pemupukan, penyediaan sumber air (embung-
embung), pemagaran (bila diperlukan) dan tak kalah pentingnya
adalah manajemen penggembalaan untuk menjamin
keanekaragaman tanaman tetap terjaga, tidak overgrazing
(penggembalaan yang berlebihan) atau undergrazing
(penggembalaan kurang). Pada kasus overgrazing, padang
rumput menjadi gundul dan rumput sulit untuk tumbuh kembali
dan lama kelamaan yang tumbuh adalah gulma berbatang keras
atau gulma beracun. Sementara itu, pada kasus undergrazing,
dimana ada sektor-sektor padang rumput yang tidak pernah
diinjak oleh ternak, rumput akan tumbuh semakin tua dan keras sehingga ternak tidak akan menyentuhnya, dan pada akhirnya rumput berubah menjadi gulma. Untuk menghindari overgrazing atau undergrazing, padang penggembalaan dibagi menjadi paddock-paddock, ternak digembala secara rotasi dan dengan stocking rate yang tepat. Dalam rangka mengoptimalkan hasil
dan kualitas hijauan pakan suatu pastura harus digembala
dengan frekuensi, intensitas dan durasi yang tepat, untuk
memungkinkan tanaman tetap sehat dan secara kontinyu
menghasilkan produksi hijauan dengan kualitas tinggi. Luas padang rumput di Indonesia berkisar antara 21 sampai
23 juta hektar, yang penyebarannya mulai dari Sumatera
(diperkirakan terdapat 7 juta ha), Kalimantan (5 juta ha), Sulawesi
(4 – 5 juta ha), dan Nusa Tenggara (2 – 4 juta ha). Selebihnya
terdapat di Irian, Maluku dan Jawa (Prawiradipitra et al., 2006).
Sebagian besar padang rumput di Sumatera, Kalimantan dan
Sulawesi terdiri atas padang alang-alang, sedangkan sebagian
besar padang rumput di Nusa Tenggara berada di lahan-lahan
berbatu (tanpa vegetasi alang-alang) di seluruh Indonesia tercatat
sekitar 2 juta ha dengan area yang paling luas terdapat di Nusa
Tenggara. Sebagian besar padang rumput alam telah mengalami
Padang Penggembalaan Alam
33
degradasi sehingga daya dukung padang rumput yang tidak
terpelihara dan terdegradasi ini sangat rendah. Jenis hijauan yang
cocok dibudidayakan di padang rumput atau padang
penggembalaan harus memiliki perakaran yang kuat, tahan
pijakan, tahan renggutan, dan toleran terhadap kekeringan.
Beberapa jenis hijauan unggul yang cocok untuk padang
penggembalaan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Beberapa contoh jenis HPT yang cocok untuk padang penggembalaan
Nama botani Nama umum
Penggembalaan ringan
Brachiaria humidicola Rumput Beha
Andropogon gayanus Rumput Gamba
Digitaria decumbens Rumput Pangola
Cenchrus ciliaris Rumput Buffel
Stylosanthes spp. Stilo
Macroptilium atropurpureum Siratro
Penggembalaan sedang
Chloris gayana Rumput Rhodes
Brachiaria mutica Rumput Malela
Cynodon plectostachyus Star grass Setaria spp. Setaria
Desmodium spp. Desmodium
Centrosema pubescen Sentro
Penggembalaan berat
Brachiaria decumbens Rumput Signal
Paspalum dilatatum Rumput Australi
Paspalum notatum Rumput Bahia
Cynodon dactylon Rumput Kawat
Calopogonium muconoides Kalopo
Pueraria phaseloides Puero
Sumber: Diekstrak dari Prawiradiputra et al. (2006)
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
34
Dengan kapasitas tampung 0,5 satuan ternak per hektar
(ST/ha), ternak yang digembalakan tidak mampu meningkatkan
bobot badannya. Padahal di padang-padang rumput yang
ditanami rumput unggul dan dipelihara dengan baik, seperti di
negara-negara yang peternakannya sudah maju, kapasitas
tampung dapat ditingkatkan. Pola pemeliharaan ternak dengan
cara penggembalaan ini cocok untuk wilayah padat ternak tetapi
jarang penduduk seperti di Indonesia bagian timur khususnya di
NTT.
Gambar 6. Padang penggembalaan alam di Sumba Timur, NTT
Faktor utama yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Produksi TPT
35
8. FAKTOR UTAMA YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN
DAN PRODUKSI TPT
Produksi dan mutu hasil suatu tumbuhan yang dapat hidup di
suatu daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu jenis
tanaman, Iklim, tanah, dan pengelolaan.
Iklim
Indonesia termasuk ke dalam wilayah iklim tropis. Tumbuh-
tumbuhan yang dapat hidup di wilayah iklim sub-tropis belum
tentu dapat hidup dengan baik di wilayah iklim tropis dan
sebaliknya. Komponen iklim yang paling besar pengaruhnya
terhadap hasil dan mutu HPT di Indonesia adalah curah hujan dan
suhu udara.
Curah hujan, pada musim hujan produksi HPT biasanya tinggi,
tetapi kemungkinan mutunya akan menurun. Hal ini disebabkan
karena pada musim hujan pertumbuhan TPT lebih cepat daripada
musim kemarau. Akibatnya peternak kelebihan pasokan sehingga
banyak rumput yang terlambat dipotong. Apabila rumput dipotong
terlalu tua, kandungan serat kasarnya meningkat, sedangkan
kandungan protein kasarnya menurun.
Suhu udara, suhu udara biasanya ditentukan oleh ketinggian
tempat dari permukaan laut, dimana setiap perubahan tinggi 100
m, suhu udara berbeda sebesar 1°C. Dengan demikian spesies
yang tumbuh pada ketinggian tertentu, mampu beradaptasi pada
suhu di tempat itu.
Spesies
Jenis tanaman pakan ternak berpengaruh terhadap produksi
HPT maupun mutu HPT, bahkan jenis yang sama tetapi kultivar
yang berbeda, produksi HPT nya akan berbeda. Rumput
Benggala cv. Purple guinea produksi HPTnya lebih tinggi
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
36
dibandingkan rumput Benggala cv. Riversdale. Produksi rumput
Gajah dan rumput Benggala akan berbeda.
Di dalam memilih jenis HPT untuk ternaknya, biasanya
peternak tradisional mengacu kepada kebiasaan yang sudah
turun temurun dilakukan sejak nenek-moyangnya. Yang penting
bagi mereka HPT itu disenangi ternak. Mereka belum memilih
HPT apa yang sebaiknya diberikan agar ternaknya tumbuh lebih
sehat, atau lebih cepat gemuk atau hasil susunya lebih banyak.
Padahal seharusnya peternak sudah menentukan sejak awal,
HPT yang akan ditanam dan diberikan kepada ternak mempunyai
kelebihan dalam hal produktivitas, palatabilitas, nilai gizi dan
kemampuannya dalam beradaptasi dengan iklim setempat.
Sebaliknya pada musim kemarau, pertumbuhan rumput lebih
lambat sehingga rumput lebih lambat dipanen atau kalau cepat
dipanen rumputnya masih muda. Pada saat itu kandungan protein
kasar cukup tinggi sementara serat kasarnya rendah. Pada musim
kemarau produksi HPT juga rendah, sehingga banyak peternak
yang mencari hijauan ke tempat lain untuk ternaknya.
Pengelolaan
Pengelolaan atau manajemen TPT akan menentukan produksi
maupun kualitas HPT. Pengelolaan ini sering diabaikan oleh
peternak di Indonesia. Jika pengelolaan dalam budidaya TPT
baik, maka pasokan HPT sepanjang tahun akan terjamin.
Tanaman harus dipelihara dengan baik, dan harus dipupuk baik
dengan pupuk kandang maupun pupuk kimia. Peternak dapat
membuat parit di depan atau di belakang kandang untuk
mengalirkan air bekas memandikan sapinya atau membersihkan
kandangnya. Air itu, biasanya sudah tercampur dengan kotoran
sapi, dialirkan ke kebun rumput yang berada di dekat kandang.
Dengan demikian TPT tumbuh dengan subur, hasil hijauannya
tinggi. Pupuk kandang ini fungsinya terutama adalah memperbaiki
struktur tanah sehingga unsur hara yang ada di dalam tanah
Faktor utama yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Produksi TPT
37
dapat terserap oleh tanaman disamping menyediakan unsur hara
bagi tanaman.
Bagi peternak yang menggembalakan ternaknya di padang
rumput, pengelolaan yang perlu diperhatikan adalah dengan
memelihara padang rumput dengan sebaik-baiknya. Kendala
utama yang dihadapi biasanya padang penggembalaan yang
digunakan adalah padang penggembalaan alam komunal,
sehingga tidak ada yang merasa bertanggung-jawab memelihara
padang rumput, yang berakibat kondisi padang rumput semakin
lama semakin menurun.
Pemeliharaan padang rumput dapat dilakukan dengan
penggembalaan rotasi sehingga tidak terjadi penggembalaan
berlebih, yang dampaknya akan buruk terhadap padang rumput.
Salah satu alternatif cara yang dapat dilakukan adalah
peternak dapat membentuk kelompok untuk meningkatkan mutu
padang rumput dengan jalan menanaminya dengan rumput
unggul, leguminosa, baik leguminosa menjalar, herba maupun
pohon.
Benih
Dalam mendukung keberhasilan kegiatan plasma nutfah maka
benih merupakan salah satu yang memegang peranan penting.
Benih merupakan salah satu komponen plasma nutfah yang
penting, karena kehidupan tanaman berawal dari benih. Kondisi
perbenihan tanaman pakan ternak di Indonesia belum digarap
secara serius. Di Indonesia sampai saat ini belum ada penyedia
(penangkar) benih TPT yang bisa menjamin kualitasnya sesuai
dengan sertifikasi benih, karena belum ada quality control seperti
tanaman pangan. Sehingga untuk mendapatkan benih yang prima
(terjamin kemurnian dan kualitasnya) baik untuk memenuhi
kebutuhan pengguna maupun bahan penelitian biasanya diimpor
dari luar negeri yang harganya relatif mahal.
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
38
Bibit, atau benih sangat menentukan produksi suatu tanaman
termasuk TPT. Stek rumput Gajah yang akan digunakan sebagai
bibit sebaiknya berumur 2 tahun (sudah tua). Jika penggunaan
bibit dilakukan dengan tepat maka produksi hijauannya juga akan
optimal. Sementara itu, untuk tanaman leguminosa biasanya
digunakan biji, rhizoma, atau stolon sebagai bahan tanam.
Tabel 6 Jenis-jenis TPT yang beradaptasi pada lahan marjinal
Nama botani Nama umum Adaptasi
Paspalum notatum Paspalum Lahan kering, beriklim kering
Pennisetum purpureum
Rumput Gajah
Lahan kering beriklim basah, sedang
P. purpuroides Rumput Raja Lahan kering beriklim basah, sedang
Panicum maximum Rumput Benggala
Toleran kering, naungan, tanah masam (tergantung kultivar)
Chloris gayana Rumput Rhodes
Tahan terhadap kekeringan, pengembalaan berat, kebakaran dan salinitas
Vetiveria zizanoides Rumput Vetiver
Lahan kering beriklim kering, toleran dengan logam berat; tanah masam
Leguminosa pohon
Calliandra calothyrsus Kaliandra Lahan kering, bersuhu dingin, dataran tinggi
Desmodium rensonii Desmodium Lahan kering, beriklim sedang; basah
Gliricidia sepium Gamal Lahan kering, beriklim kering, toleran pH alkalin; toleran tanah masam
Indigofera spp. Indigo Lahan kering beriklim kering, toleran tanah masam
Leucaena leucocephala
Lamtoro Lahan kering, beriklim kering, cocok tanah alkalin; tidak toleran tanah masam
Sesbania grandiflora Turi Lahan kering, beriklim kering, toleran tanah alkalin
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
40
9. DESKRIPSI BEBERAPA TPT RUMPUT DAN LEGUMINOSA
(Diekstrak dan modifikasi dari: Prawiradiputra et al., 2006)
Uraian berikut adalah deskripsi beberapa TPT digunakan
sebagai sumber HPT.
Rumput Brachiaria spp.
Nama lain: rumput Bebe, rumput Bede (Indonesia), jukut
(Sunda), Signal grass, Palisade grass, Para grass, Buffalo grass,
Water grass, Ruzi grass (Inggris).
Jenis dan kultivar:
� B. mutica cocok untuk tanah-tanah yang lembab tetapi tidak
tahan terhadap penggembalaan berat
� B. humidicola cocok untuk ditanam di dataran rendah dan
basah. Rumput ini tahan penggembalaan berat
� B. ruziziensis tahan terhadap kekeringan tidak lebih dari 3 –
4 bulan, lebih sesuai untuk pastura ternak kecil, tidak tahan
injakan dan rengutan
� B. decumbens merupakan rumput penggembalaan yang
sangat baik dan sangat baik apabila ditanam bersama
dengan stilo (Stylosanthes spp.)
Gambar 7. Brachiaria decumbens
Deskripsi Beberapa TPT rumput dan Leguminosa
41
B. brizantha
Merupakan rumput penggembalaan yang tumbuh baik pada
tanah kering. Asal dan penyebaran: Uganda, Afrika Selatan,
Kongo dan Kenya.
Ciri-ciri:
� Perakaran dangkal sampai dalam tergantung varietas
� Batang agak kasar dan beruas pendek-pendek
� Daun pendek kaku berbulu halus
� Bunga berbentuk mayang bendera
� Tumbuh membentuk hamparan lebat. Tinggi tanaman dapat
mencapai 20 sampai 250 cm, tergantung pada varietas
Persyaratan tumbuh:
� Dapat tumbuh pada curah hujan 1000 mm/tahun
� Toleran terhadap jenis tanah dengan kisaran cukup luas
mulai dari berstruktur ringan dengan pH 6 – 7
� Tahan terhadap kekeringan selama 6 bulan, dan terhadap
cuaca dingin, juga toleran terhadap penggembalaan
Produksi, mutu hijauan dan kegunaan lain:
� Kandungan protein 8 – 10% tergantung kultivar
� Responsif terhadap pemupukan nitrogen
� Produksi berat segar 100 sampai 150 ton/ha per tahun atau
sekitar 12,5 – 18,75 ton satu kali pemotongan
� Pemanenan pertama umur 60 hari setelah tanam. Pada
musim hujan interval panen 40 hari dan musim kemarau 50
– 60 hari. Tinggi pemotongan 5 – 10 cm dari permukaan
tanah
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
42
B. humidicola
Ciri-ciri:
� Rumput padang penggembalaan
� Rumput ini dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah, yaitu
pada tanah yang sangat masam, tidak subur sampai pada
tanah liat berat dan pada tanah berpasir dengan pH tinggi.
Tumbuh baik pada tanah tidak subur dengan P rendah.
Rumput ini sangat respon terhadap pemupukan N dan P,
kebutuhan Ca rendah. Toleran terhadap drainase yang
buruk
� Tumbuh pada curah hujan berkisar 600 – 2800 mm per
tahun, pada ketinggian tempat 600 – 2400 m dpl atau lebih
� Tumbuh optimal pada intensitas cahaya 100%, tetapi dapat
tumbuh pada naungan sedang (misalnya di bawah
perkebunan kelapa)
Deskripsi Beberapa TPT rumput dan Leguminosa
43
Rumput Cenchrus ciliaris (rumput Cenchrus)
Nama lain: Cenchrus ciliaris (Nama botani), Buffel grass,
African foxtail dan Rhodesian foxtail (Inggris).
� C. ciliaris cv Biloela, Molopo, Boorara, Lawes, Nunbank,
Tarewinnabar
� C. ciliaris cv Gayndah dan American, tinggi tanaman 1 m
� C. ciliaris cv West Australia tinggi tanaman 0,75 m
Ciri-ciri:
� Membentuk hamparan. Tinggi tanaman dapat mencapai
1,5 m tergantung kultivarnya
� Perakaran kuat dan dalam
� Batang beruas pendek, tidak berbulu
� Panjang daun 30 cm, lebarnya 8 mm
� Bunga berbentuk tandan
Penyebaran: Afrika sub-tropis, India, Indonesia
Persyaratan tumbuh:
� Dapat tumbuh pada curah hujan 300 – 900 mm/tahun
� Toleran terhadap berbagai jenis tanah, namun lebih
menyukai tanah bertekstur ringan
� Tahan terhadap kekeringan, kebakaran dan penggembalaan
berat. Namun tidak tahan terhadap genangan air
Produksi, mutu hijauan dan kegunaan lain:
� Kandungan protein 9%
� Produksi berat segar 20 sampai 30 ton ton/ha/tahun atau
sama dengan 2,5 – 3,75 ton setiap satu kali pemotongan
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
44
Gambar 8. Rumput Cenchrus
Deskripsi Beberapa TPT rumput dan Leguminosa
45
Rumput Chloris gayana (Rumput Rhodes)
Nama lain: Chloris gayana (Nama botani), Pioneer grass
(Inggris)
Jenis dan kultivar:
� C. gayana cv Pioneer (tinggi dan rimbun)
� C. gayana cv Samford (tahan terhadap embun beku)
� C. gayana cv Katambora (tahan terhadap kekeringan)
Ciri-ciri:
� Rumput tumbuh menahun, perakaran sangat kuat
� Batang bercabang cabang lebat dan berkembang dengan
stolon membentuk hamparan
� Daun halus tidak berbulu, panjang daun 50 cm dan lebarnya
0,5 – 1 cm
� Bunga berbentuk mayang jari berwarna coklat keunguan,
berbiji (penghasil biji produktif)
� Tumbuh membentuk hamparan, namun tinggi tanaman bisa
mencapai 1,5 m. Menyebar, terutama dengan stolonnya
sehingga cepat menutup tanah. Rumput ini juga cepat
tumbuh kembali setelah terbakar
Asal dan penyebaran:
Berasal dari Afrika Selatan dan Afrika Timur kemudian meluas
ke Afrika Barat sebelum menyebar ke daerah-daerah tropis.
Persyaratan tumbuh:
� Dapat tumbuh pada curah hujan 650 – 1200 mm/tahun
� Toleran terhadap jenis tanah dengan pH 6,5 – 7
� Tahan terhadap kekeringan, pengembalaan berat, kebakaran
dan salinitas
Produksi, mutu hijauan dan kegunaan lain:
� Kandungan protein kasar 8 – 9% tergantung pada kultivar.
Karena cepat menyebar, banyak digunakan sebagai tanaman
pengendali erosi. Rumput ini cukup disenangi ternak
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
46
� Produksi berat segar 30 sampai 50 ton/ha/tahun (satu kali
pemotongan interval 45 hari adalah 3,75 – 6,26 ton)
Gambar 9. Chloris gayana
Deskripsi Beberapa TPT rumput dan Leguminosa
47
Rumput Digitaria decumbens (rumput Pangola)
Nama lain: Digitaria decumbens (nama botani), Pangola grass,
Common finger grass (Inggris).
Jenis dan kultivar: Digitaria decumbens, D. milinjianis, D. sanguinalis
Ciri-ciri:
� Merupakan tanaman tahunan; Perakaran sangat kuat
membentuk stolon yang panjang. Buku-buku pada stolonnya
ada yang berbulu ada juga yang tidak berbulu
� Tumbuh membentuk hamparan yang tidak rapat. Tinggi
tanaman bisa mencapai 0,6 – 1,2 m
� Daun halus agak berbulu. Ukuran daun, panjang 5 – 15 cm
dan lebar 0,5 – 1 cm
� Bunga berbentuk mayang jari
Asal dan penyebaran: Berasal dari Afrika subtropika dan
menyebar ke negara-negara tropis maupun subtropis seperti
Karibia, Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Hawai.
Persyaratan tumbuh:
� Dapat tumbuh pada curah hujan 1000 mm/tahun
� Toleran terhadap jenis tanah dengan kisaran yang luas
(tanah berpasir dan berliat yang rendah kesuburannya)
� Tahan terhadap kekeringan, dan genangan air
� Mampu beradaptasi pada tanah berpasir miskin
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
48
Gambar 10. Digitaria milinjianis
Deskripsi Beberapa TPT rumput dan Leguminosa
49
Euchlena mexicana (rumput Meksiko)
Nama lain: Teosinte (Teosinte grass)
� Euchlaena mexicana (E. luxurians)
� Euchlaena perennis
Ciri-ciri:
� Batang beruas pendek-pendek. Batangnya kaku dan tegak
menyerupai tanaman jagung. Tinggi tanaman dapat
mencapai 1 – 5 m
� Daunnya pendek kaku, terkulai dan kasar
� Bunga berbentuk mayang seperti bunga jagung
Asal dan penyebaran: Berasal dari Amerika Tengah dan
Mexico. Dimasukkan ke Pulau Jawa tahun 1878.
Persyaratan tumbuh:
� Dapat tumbuh pada curah hujan 1000 mm/tahun
� Toleran terhadap berbagai jenis tanah
� Tidak tahan terhadap kekeringan
Produksi, mutu hijauan dan kegunaan lain:
� Produksi bobot segar 100 sampai 120 ton/ha/tahun atau
12,5 – 15 ton/ha
� Kandungan protein 8 – 13% tergantung cultivar
Gambar 11. Rumput Meksiko
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
50
Rumput Pennisetum purpureum (rumput Gajah)
Nama lain: Pennisetum purpureum (Nama botani), Kolonjono
(Jawa), Aspa (Sunda), Elephant Grass, Napier Grass, Uganda Grass (Inggris).
Beberapa kultivar yang dikenal, antara lain:
� Pennisetum purpureum cv Afrika (tinggi dan sangat
produktif) � P. purpureum cv Hawai (lebih kecil daripada cv Afrika) � P. purpureum cv Trinidad, (tidak tahan penyakit) � P. purpureum cv Merkeri (tidak tinggi, daun dan batang
sangat kecil, tahan kering)
� P. purpureum cv Mott (kerdil, cocok untuk penggembalaan) � P. purpureum cv. Taiwan
Ciri-ciri:
� Tumbuhnya membentuk rumpun
� Perakarannya cukup dalam, rhizoma atau rimpang pendek,
pada umur 4 – 5 tahun kumpulan batang di bagian bawah
membentuk bonggol sehingga perlu diremajakan
� Batangnya tegak, berbuku dan keras bila sudah tua. Tinggi
tanamannya bisa mencapai 1,8 sampai 4,5 m, tergantung
pada kultivarnya dengan diameter batang 3 cm. Di Afrika
dilaporkan bisa mencapai tinggi 7 m. Sebaliknya di Amerika
dikenal juga rumput gajah kerdil (kultivar Mott) tetapi nilai
gizinya cukup tinggi
� Daunnya keras dan berbulu, panjangnya bisa mencapai 90
cm dan lebarnya 8 – 35 cm
� Bunganya berbentuk tandan (seperti es lilin), namun bijinya
sulit didapat
Asal dan penyebaran: Berasal dari Nigeria dan tersebar luas di
seluruh wilayah tropis. Rumput ini masuk ke Indonesia dari Afrika
pada akhir masa penjajahan Belanda sejak tahun 1926. Di
Indonesia mula-mula disebarkan di daerah peternakan sapi perah,
Deskripsi Beberapa TPT rumput dan Leguminosa
51
seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun
sekarang sudah tersebar juga di wilayah peternakan sapi potong.
Persyaratan tumbuh:
� Tumbuh baik di dataran rendah dan dataran tinggi dan pada
berbagai jenis tanah dengan curah hujan di atas 1.000
mm/tahun
� Rumput ini tahan terhadap naungan
Produksi, mutu hijauan dan kegunaan lain:
Kandungan protein rumput ini sekitar 7,6% (tergantung pada
kultivar), sedangkan produksi mencapai 350 sampai 525 ton
bobot segar per ha per tahun.
Gambar 12. Rumput Gajah
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
52
Rumput Panicum maximum (rumput Benggala)
Nama lain: Panicum maximum (Nama botani), rumput
Benggala (Indonesia), suket londo (Jawa). Gunggung, rebha luh-
buluhan (Madura), Guinea grass (Inggris).
Jenis dan kultivar:
� Panicum maximum cv Hamil (tidak tahan kering)
� P. maximum cv Coloniao (agak tahan kering)
� P. maximum cv Common (tidak tahan embun beku)
� P. maximum cv Gatton (tahan dalam kondisi kering)
� P. maximum cv Makueni (tahan pengembalaan)
� P. maximun cv Natsuyutaka
� P .maximum cv Trichoglune (tahan naungan)
� P. maximum cv Riverdsdale (tahan naungan)
� P. maximum cv Purple Guinea (tahan kering)
Ciri-ciri:
� Membentuk rumpun. Tingginya bisa mencapai 1,25 m,
tergantung varietasnya
� Akar serabut dengan rhizoma pendek. Rumput ini berakar
dalam sehingga dapat bertahan agak lama pada musim
kemarau, walaupun tidak betul-betul tahan kering
� Daun halus, panjang 30 – 50 cm, lebar 1 – 2 cm, sedikit
berbulu
� Bunga membentuk mayang, apabila berbiji, mudah rontok
Asal dan penyebaran:
Berasal dari Afrika tropika dan sub tropika, sekarang tumbuh
di semua daerah tropika. Masuk ke Indonesia tahun 1865
sebagai tanaman makanan ternak dan dibudidayakan karena
nilai gizi yang tinggi sebagai makanan ternak.
Persyaratan tumbuh:
� Cocok untuk dataran rendah dan dataran tinggi (1700 m dpl)
dengan curah hujan 600 – 1800 mm/tahun
Deskripsi Beberapa TPT rumput dan Leguminosa
53
� Tahan terhadap naungan dan kekeringan
� Tumbuh baik pada pH tanah 5 – 8
Produksi, mutu hijauan dan kegunaan lain:
� Kandungan protein kasar 5,5 – 9,5% tergantung pada
varietasnya
� Produksi berat segar 100 sampai 150 ton/ha/tahun
Gambar 13. Rumput Benggala
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
54
Vetiveria zizanioides
Jenis dan kultivar: V. zizanioides cv. Monto
Asal dan Penyebaran: Berasal dari Asia tropis dan telah
diintroduksi ke daerah tropis lainnya.
Ciri-ciri: Perakaran masif dan sangat dalam, dapat mencapai 3 m
setelah 12 bulan tanam. Kebanyakan rumput mempunyai akar
serabut yang pertumbuhannya pada arah horizontal, sedangkan
rumput Vetiver ini akarnya tumbuh secara vertikal dan dapat
menembus sangat dalam ke tanah, sehingga sangat tahan
kekeringan.
Persyaratan tumbuh:
� Rumput ini tahan terhadap kondisi tanah yang ekstrim
termasuk area yang terkontaminasi logam berat (Truong
dan Baker, 1996)
� Vetiver terutama kultivar Monto toleran terhadap pH 3,3 –
9,5 dan sangat toleran pada tanah salin dan sodium tinggi,
toleran terhadap Al dan Mn tinggi
Produksi, mutu hijauan dan kegunaan lain:
� Rumput ini berbatang keras dan kaku dan berdaun kasar
tidak terlalu disukai ternak
� Rumput Vetiver adalah rumput yang mempunyai keunikan
karakter morfologi dan fisiologi dan telah dikenal sebagai
tanaman yang efektif mengontrol erosi dan sedimen.
Vetiver telah berhasil untuk menstabilkan tailing dari area
pertambangan batubara yang bersifat basa (pH 9,5)
maupun pertambangan lain yang bersifat masam
Deskripsi Beberapa TPT rumput dan Leguminosa
55
Gambar 14. Rumput Vetiveria zizanoides
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
56
10. DESKRIPSI BEBERAPA TANAMAN LEGUMINOSA
Leguminosa atau tanaman kacang-kacangan, adalah TPT
sebagai sumber HPT yang mempunyai nilai nutrisi tinggi karena
mengandung protein tinggi dan asam amino serta mineral yang
dibutuhkan ternak. Suplementasi pakan ruminansia dengan
hijauan leguminosa dapat mengurangi konsentrat dalam ransum
pakan, sehingga biaya produksi beternak menjadi lebih rendah.
Berdasarkan pertumbuhannya TPT leguminosa dapat
dikelompokkan menjadi leguminosa herba (merambat, menjalar)
dan leguminosa perdu/pohon.
Kelebihan lain dari tanaman leguminosa adalah mempunyai
kemampuan menambat N2 atmosfer (bentuk hara N yang tidak
tersedia oleh tanaman) apabila bersimbiosa dengan bakteri tanah
(Rhizobium), sehingga dapat mengurangi kebutuhan pupuk
terutama pupuk kimia N (misalnya urea). Di samping itu, secara
ekologi merupakan sistem yang ramah lingkungan karena
penggunaan pupuk kimia yang terus menerus akan merusak
struktur tanah dan tidak semua pupuk kimia diserap oleh tanaman
dan sebagian akan dilepaskan ke lingkungan yang berakibat
pencemaran lingkungan.
Tabel 8 menunjukkan jumlah N2 yang ditambat dengan adanya
asosiasi tanaman leguminosa dengan bakteri tanah Rhizobium
pada Gliricidia sepium, Sesbania sesban, Calliandra calothyrsus,
dan Glycine max.
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
58
11. DESKRIPSI TPT LEGUMINOSA
Arachis spp. (kacang Pinto)
Ada beberapa spesies kacang arachis perennial yang dikenal saat ini di
Indonesia diantaranya A. glabrata, A. pintoii, A. repens, dan A. hybrid.
Nama lokal dikenal kacang Pinto.
Ciri-ciri:
� Arachis pintoi (perennial) adalah leguminosa dari keluarga Arachis
(seperti kacang tanah) namun hidupnya menahun, artinya setelah
menghasilkan bunga dan buah, tanaman tidak mati.
� Keuntungan Arachis perenial ini sebagai pakan ternak adalah bisa
tetap hidup dan berkembang biak walaupun sudah dipangkas atau
digembalai, sehingga tidak perlu menanam ulang.
� Perakarannya kuat dan dalam, akarnya berkembang dengan
banyak cabang.
� Batangnya menjalar di permukaan tanah. Bisa distek untuk
perbanyakan vegetatif.
� Daunnya mirip daun kacang tanah.
� Bunganya mirip bunga kacang tanah, berbentuk bunga kupu-
kupu, berwarna kuning.
� Biji/polong di bawah tanah seperti kacang tanah.
Asal dan penyebaran: Amerika Selatan. Di Indonesia tanaman ini
telah mulai dikembangkan sebagai tanaman pakan walaupun wilayah
penyebarannya masih sangat terbatas.
Persyaratan tumbuh:
� Tumbuh baik pada wilayah dengan curah hujan 1000 mm – 2000
mm per tahun, namun bisa juga tumbuh di daerah dengan curah
hujan di bawah 750 mm per tahun.
� pH tanah yang cocok adalah antara 5,0 – 6,5
� Tanaman ini juga bisa tumbuh pada kondisi tanah yang kurang
subur
� Tidak cocok untuk daerah dengan musim kering yang sangat
panjang
Deskripsi TPT Leguminosa
59
� Sebagai tanaman pakan tahunan, arachis tahan terhadap
pangkasan dan renggutan ternak
� Arachis pintoi relatif lebih tahan terhadap kekeringan dan musim
kemarau panjang, sementara A. glabrata lebih tahan terhadap
intensitas cahaya yang rendah
Produksi, mutu hijauan dan kegunaan lain:
� Kandungan protein tinggi, yaitu 22,44%
� Produksi hijauan segar 45,604 ton/ha, interval potong 8 minggu.
� Di beberapa wilayah Indonesia seperti di Lampung sudah ditanam
sebagai tanaman penutup tanah di perkebunan lada, dan sebagai
pakan kambing yang dipelihara di dekat kebun lada.
� Sebagai tanaman hias
Gambar 15. Arachis glabrata
Gambar 16. Hamparan Arachis pintoi Centrosema spp.
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
60
Ada beberapa spesies kacang Sentro yang dikenal saat ini di
Indonesia diantaranya Centrosema pubescens dan C. macrocarpum, C. molle, C. pascuorum cv Belalto, C. pascuorum cv. Cavalcade, C. Plumeri. Di Jawa Centrosema plumieri dikenal sebagai kacang
ketopong.
Ciri-ciri:
� Tanaman berumur panjang; tumbuh merambat dan memanjat;
akarnya dapat masuk sangat dalam ke dalam tanah, membentuk
akar tunggang dan akar serabut;
� Batang lunak, hijau tua, berbuku-buku, agak berbulu, panjangnya
bisa mencapai 5 m;
� Berdaun tiga helai pada tangkainya, daun berbentuk oval, agak
meruncing di ujungnya, berukuran panjang 2,5 cm, berbulu lembut
di kedua permukaannya;
� Bunga berbentuk bunga kupu-kupu, berwarna violet keputih-
putihan;
� Polongnya panjang, sekitar 10 cm, berwarna hijau, setelah tua
menjadi kecoklat-coklatan, tiap polong berisi 12 – 20 biji.
Asal dan penyebaran: Amerika Selatan yang beriklim tropis,
sekarang sudah menyebar ke wilayah tropis di seluruh dunia. Di
Indonesia tanaman ini mula-mula dikembangkan sebagai tanaman
penutup tanah di perkebunan.
Persyaratan tumbuh:
� Cocok untuk daerah tropis basah, dengan curah hujan 1.500 mm
atau lebih;
� Dapat beradaptasi pada tanah yang tidak terlalu subur dan tanah
masam. Juga bisa tumbuh pada tanah tergenang atau
drainasenya jelek;
� Responsif terhadap pemupukan P.
Produksi, mutu hijauan dan kegunaan lain:
� Mempunyai nilai gizi (protein) tinggi. Kandungan protein kasar 16
– 19% dari bahan kering;
� Apabila ditanam secara monokultur produksinya bisa sampai 12
ton BK/ha/tahun, namun di dalam pertanaman campuran hanya 3
ton BK/ha/tahun.
Deskripsi TPT Leguminosa
61
Gambar 17. C. pascuorum cv. Cavalcade
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
62
Clitoria ternatea (Kembang telang)
Clitoria ternatea (nama botani). Bunga biru (Maluku), bunga kelentit,
bunga telang (Sunda), kembang teleng (Jawa), menteleng (Makasar),
bunga temenraleng (Bugis), Bisi (Halmahera), Saya ma gulele (Ternate).
Ciri-ciri:
� Tanaman ini tumbuhnya sangat cepat dengan produksi daun yang
tinggi, yang merupakan tumbuhan menahun;
� Batang lunak, tumbuh membelit ke kiri, hidup menahun dan
memanjat sehingga kurang cocok untuk pupuk hijau;
� Berdaun tiga helai per tangkai, berbentuk oval;
� Bunga berwarna biru, sering digunakan sebagai tanaman hias;
� Biasanya ditanam dengan biji, yang memiliki daya kecambah
tinggi dari tanaman yang baru;
� Polongnya panjang atau melengkung, sekitar 4 cm, berwarna
hijau, setelah tua menjadi putih tiap polong berisi 3 – 5 biji.
Persyaratan tumbuh: Cocok untuk daerah tropis dan tahan kering.
Tumbuh dari dataran rendah sampai 700 m dpl dengan curah hujan
1.250 mm atau lebih dengan ketinggian sampai 2000 m dpl.
Produksi, mutu dan kegunaan lain:
� Tahan pemangkasan dengan produksi kering per tanaman 51,45
g pada musim hujan dan 50, 67 g pada musim kering;
� Kandungan protein kasar 14,03 – 16,00%;
� Kegunaan : daun dan bunga ditumbuk ditambah gula jawa untuk
obat bisul.
Gambar 18. Clitoria ternatea
Deskripsi TPT Leguminosa
63
Lablab purpureus (Lablab)
Lablab purpureus (nama botani), Dolichos lablab (sinonim), Lablab bean (Inggris). Belmbohne, Arbila, Kekara, Kara-Kara, Kacang Bado,
Kacang Biduk (Timor); Kacang Jeriji, Kacang Peda, Roay Katopes
(Sunda); Kara, Kekara, Kara Andong, Kara Useng, Kara Wedus (Jawa);
Komak (Madura); Ndoto, Loto, Rato (Roti).
Ciri-ciri:
� Merupakan leguminosa semusim atau setahun.
� Pertumbuhannya menjalar, tebalnya mencapai 100 cm dengan
membentuk masa yang padat menutup tanah.
� Termasuk leguminosa tahan naungan dan sangat produktif.
� Batang berwarna hijau dan agak lunak.
� Daunnya tiga helai di satu tangkai daun. Helaian daun berbentuk
oval dengan ukuran 10 – 15 cm; Bagian bawah daun berbulu
halus.
� Karangan bunga terdiri dari beberapa kuntum.
� Polong berukuran 4 – 5 cm yang berisi 2 – 4 biji.
Asal dan penyebaran: Tersebar di daerah subtropis Afrika, Amerika
Tengah dan Amerika Selatan, juga terdapat di Asia Tenggara termasuk
Indonesia.
Gambar 19. Lablab purpureus
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
64
Macroptilium atropurpureum (siratro)
Macroptilium atropurpureum (nama botani), Atro, Purple bean (Inggris).
Ciri-ciri:
� Tanaman tahunan yang menjalar. Pertumbuhan lebih lambat
dibandingkan leguminosa lain;
� Batang agak berbulu;
� Daun berwarna hijau tua, di permukaannya agak berbulu, di
bagian bawah bulunya lebat. Helai daun berbentuk oval;
� Perakarannya dalam, menghasilkan akar sekunder;
� Panjang tangkai bunga 10 – 30 cm. Warna bunga ungu tua
kehitam-hitaman;
� Berkembang-biak dengan biji. Panjang polong 8 cm berwarna
coklat kehitam-hitaman dengan isi 12 – 13 biji.
Asal dan penyebaran: Tanaman asli Amerika Tengah dan Amerika
Selatan. Sekarang tersebar di Australia, Pasifik dan Asia Tenggara.
Persyaratan tumbuh:
� Cocok untuk daerah sub-tropis sampai tropis dengan curah hujan
700 – 1800 mm/tahun. Namun di Meksiko bisa tumbuh di daerah
dengan curah hujan 250 mm/ tahun;
� Tumbuh baik pada ketinggian di bawah 1600 m dpl;
� Tumbuh baik pada berbagai jenis tanah, mulai tanah berpasir
sampai tanah liat;
� Kurang tahan naungan.
Gambar 20. Macroptilium atropurpureum
Deskripsi TPT Leguminosa
65
Stylosanthes spp.
Brazilian lucerne (Inggris); Spesies dan kultivar yang dikenal di
Indonesia antara lain Stylosanthes guianensis (cv. cook; cv. Schofield;
cv. graham; cv. Endeavour). S. hamata cv. Verano; S. humilis, dan S. scabra.
Ciri-ciri:
� Berupa perdu pendek yang tumbuhnya agak tegak sampai tegak.
Tingginya bisa mencapai 1,5 m;
� Dapat ditanam dengan rumput pakan, khususnya rumput Guinea
dan rumput Molases, tetapi sebaiknya jangan ditanam dengan
rumput menjalar yang agresif seperti rumput Pangola;
� Akar tunggang sangat kuat;
� Batang berwarna coklat, berambut, agak keras dan semakin lama
semakin keras dan berkayu. Percabangannya banyak.
� Daun berbentuk elips (bulat telur) sampai lancip, panjang 4 – 5
cm, lebar 2 cm;
� Bunga kecil-kecil berwarna kuning atau jingga. Bisa menghasilkan
polong berbiji tunggal;
� Bijinya berwarna kuning kecoklat-coklatan;
Asal dan penyebaran: Berasal dari Brazilia, Argentina dan Meksiko.
Sekarang sudah tersebar di daerah tropis, terutama di padang-padang
rumput.
Persyaratan tumbuh:
� Dapat beradaptasi pada berbagai kondisi iklim dan tanah,
termasuk tanah kurang subur dan tanah masam;
� Sangat cocok untuk wilayah iklim lembab dan hangat dengan
curah hujan 1500 mm/tahun. Namun ada juga jenis yang mampu
tumbuh pada curah hujan di bawah 1500 mm/tahun.
Produksi, mutu hijauan dan kegunaan lain:
� Tanaman monokultur dapat menghasilkan bahan kering 10 t/ha.
Apabila ditanam dengan rumput, hasilnya 2 – 6 t/ha dengan
protein kasar 13,0 – 18,9%;
� Dapat digunakan juga sebagai penutup tanah di perkebunan dan
sebagai pupuk hijau.
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
66
Gambar 21. Stylosanthes sp.
Calliandra calothyrsus (Kaliandra)
Calliandra calothyrsus (nama botani); Kaliandra (nama umum)
Ciri-ciri:
� Merupakan pohon kecil yang bercabang banyak. Tingginya bisa
mencapai 10 m namun rata-rata 4 – 6 m. Diameter batang sampai
30 cm. Warna batang coklat tua;
� Umur tanaman bisa mencapai 12 tahun;
� Daunnya sangat lebat;
� Perakarannya tumbuh sangat cepat, dalam waktu 5 bulan bisa
mencapai 2 m;
� Tanaman ini bisa berbunga sepanjang tahun, namun biji biasanya
dihasilkan pada musim kemarau;
� Berkembang biak dengan biji, baik langsung maupun
dikecambahkan lebih dahulu. Biji yang sudah tua mudah sekali
berkecambah;
� Bunganya komposit terdiri dari beberapa bunga. Warna bunga
merah jambu sampai merah tua.
Asal dan penyebaran: Amerika Tengah iklim basah, kemungkinan
besar dari Suriname. Sekarang tersebar di daerah tropika lembab,
termasuk Asia Tenggara. Diintroduksikan ke Jawa tahun 1936.
Persyaratan tumbuh:
� Tumbuh baik pada ketinggian 400 – 800 m dpl;
Deskripsi TPT Leguminosa
67
� Bisa tumbuh pada wilayah dengan curah hujan 700 – 3000
mm/tahun dengan tidak lebih dari 7 bulan kering per tahun, namun
di Pulau Jawa pertumbuhan yang baik dicapai pada curah hujan
2000 – 4000 mm/tahun;
� Tumbuh pada berbagai tipe dan kesuburan tanah. Bisa
beradaptasi pada tanah masam yang tidak begitu subur.
Produksi, mutu hijauan dan kegunaan lain:
� Bisa menghasilkan bahan kering hijauan 7 – 10 t/ha per tahun;
� Selain daun dan batang mudanya sebagai hijauan pakan,
batangnya digunakan sebagai kayu bakar;
� Tanaman ini bagus untuk pengendali erosi di lahan-lahan miring
dan pupuk hijau. Karena bisa menambat N dari udara, baik juga
untuk memperbaiki kesuburan tanah;
� Walaupun kandungan taninnya tinggi (11%), tidak ada laporan
mengenai kandungan racun di daun kaliandra;
� Kandungan N 3 – 3,5% dan serat kasar sampai 75% dari bahan
kering. Ternak lebih menyukai daun segar daripada yang sudah
layu;
� Untuk keperluan pakan atau kayu bakar jarak tanam yang baik 1 �
1 m atau 1 � 2 m. Namun untuk keperluan konservasi tanah
biasanya ditanam lebih rapat dengan jarak 50 cm di dalam
barisan;
� Pertumbuhan tanaman dalam enam bulan mencapai 1 – 2 m.
Gambar 22. Calliandra calothyrsus
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
68
Gliricidia sepium (Gamal, Glirisidia)
Gliricidia sepium (nama botani), Gliricidia maculata (sinonim),
Liriksidia, Gelisidia (Indonesia), Gamal (Indonesia, Jawa), Cebreng
(Sunda).
Ciri-ciri:
� Tinggi tanaman bisa mencapai 12 m apabila dibiarkan;
� Batangnya berwarna coklat muda atau coklat keputih-putihan;
� Panjang tangkai daun 15 – 40 cm mengandung 7 – 17 helai daun
yang berukuran 1 � 3 cm sampai 3 � 6 cm;
� Bunganya berwarna merah muda pucat. Berbunga hanya pada
musim kemarau pada saat daunnya rontok;
� Biji berkecambah dalam waktu 7 – 10 hari. Perkecambahan pada
awalnya lambat, namun bila sudah tumbuh, pertumbuhannya
sangat cepat;
Asal dan penyebaran: Pantai Pasifik Amerika Tengah, Meksiko dan
masuk Indonesia tahun 1960-an. Dibudidayakan di tempat-tempat
dengan ketinggian 1200 – 1500 m dpl, dari mulai Meksiko sampai bagian
Utara Amerika Selatan. Hingga sekarang tanaman telah menyebar
sampai ke Indonesia, Malaysia, Thailand dan India.
Persyaratan tumbuh:
� Di tempat asalnya tumbuh baik pada daerah dengan curah hujan
900 – 1500 mm per tahun dengan lima bulan kering setahun.
Namun terbukti tumbuh baik juga di daerah dengan curah hujan
3500 mm per tahun tanpa musim kemarau panjang;
� Toleran terhadap tanah masam dan alkalin;
� Memerlukan kesuburan sedang;
� Tidak tahan genangan dalam waktu yang lama;
� Setelah terbakar terbukti masih bisa tumbuh kembali.
Produksi, mutu hijauan dan kegunaan lain:
� Tanaman berumur 1 tahun menghasilkan bahan kering 3 – 4 kg
sekali panen;
� Pada jarak tanam 0,5 m � 0,5 m bisa menghasilkan hijauan segar
sampai 43 ton per tahun;
Deskripsi TPT Leguminosa
69
� Daun gamal mempunyai kualitas tinggi sebagai pakan ternak.
Kualitas pakan bervariasi tergantung pada umur tanaman, bagian
tanaman, musim. Kandungan protein daun 18 – 25%, serat kasar
13 – 30%;
� Disukai domba dan kambing. Dapat digunakan juga sebagai
pakan sapi dan kerbau. Kadang-kadang perlu waktu untuk disukai
karena baunya yang tidak enak. Untuk disukai pertama kali
campur daun gamal dengan rumput;
� Batangnya sebagai kayu bakar atau dibuat arang. Bisa juga untuk
bahan furnitur yang sederhana. Sebagai naungan di perkebunan
kopi, kakao dan lada. Juga sebagai tanaman tempat merambat
lada, vanili;
� Bisa digunakan juga sebagai tanaman pagar dan untuk pupuk
hijau.
Gambar 23. Gliricidia sepium Leucaena leucocephala (lamtoro)
Leucaena leucocephala (Nama botani) L. glauca (Sinonim); Petai
cina, Kemalandingan, Pelending (Indonesia), Peuteuy selong (Sunda);
Kemlandingan, Lantara, Metir (Jawa), Klandingan (Madura).
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
70
Ciri-ciri:
� Tinggi pohon ini bisa mencapai 16 m. Kalau sering dipangkas atau
digembalai bisa menjadi perdu. Bisa hidup bertahun-tahun dengan
pemotongan secara teratur;
� Lamtoro lokal tingginya 2 – 10 m. Jenis lamtoro gung tingginya
bisa mencapai 15 – 20 m (tipe Salvador);
� Tumbuh tegak, ada yang tidak bercabang banyak, ada juga yang
cabangnya sangat banyak;
� Daunnya lebat, biasanya hijau sepanjang tahun.
� Bunganya berwarna putih.
Asal dan penyebaran: Lamtoro diperkirakan berasal dari Tanjung
Yucatan. Tipe lain yang tingginya mencapai 16 m berasal dari Salvador,
Guatemala dan Honduras. Pada tahun 1500-an dibawa ke Amerika
Selatan kemudian tahun 1600-an dibawa ke Filipina sehingga abad 19
sudah menyebar ke seluruh dunia. Tipe Salvador yang dikenal dengan
nama Lamtoro gung masuk ke Indonesia pada tahun 1977.
Persyaratan tumbuh:
� Tumbuh di daerah dataran rendah sampai 1000 m dpl. Namun
ada kultivar yang bisa tumbuh pada ketinggian lebih dari 1500 m
dpl;
� Curah hujan yang ideal 650 – 1500 mm per tahun tapi ada juga
yang tumbuh di tempat yang lebih kering atau lebih basah;
� pH tanah yang cocok adalah > 5. Kurang toleran terhandap Al;
� Masih bisa tumbuh pada salinitas tinggi, tapi tidak menyukai
tanah yang tergenang;
� Kurang cocok untuk daerah dingin;
� Beberapa jenis tidak tahan terhadap hama kutu loncat. Namun
ada beberapa jenis lamtoro atau kultivar yang tahan kutu loncat
antara lain Leucaena diversifolia, L. pallida, L. leuco-cephala KX2
hybrid dan L. leucocephala cv. Tarramba.
Produksi, mutu hijauan dan kegunaan lain:
� Hasil bahan kering hijauan berkisar antara 1 – 15 t/ha tergantung
pada jenis atau kultivar, kesuburan tanah, curah hujan, dan cara
pemangkasan. Semakin sering dipangkas hasilnya semakin
berkurang;
Deskripsi TPT Leguminosa
71
� Merupakan pakan hijauan dengan nilai nutrisi tinggi terutama
untuk musim kemarau. Kandungan protein daun 18 – 25%;
� Baik digunakan sebagai tanaman penghijauan atau untuk
reklamasi tanah kritis;
� Batangnya untuk kayu bakar yang berkualitas baik.
Gambar 24. Leucaena sp.
Sesbania grandiflora (Turi)
Sesbania grandiflora (nama botani): Turi (Indonesia, Sunda, Jawa,
Timor), Gala-gala (Timor), Tuwi (Bali), Toroy (Madura), Palawu (Bima),
Tanumu, (Sumba), Tuli (Talaud), Turing (Sulawesi Utara), Ulingo
(Gorontalo), Aju taluma (Bugis), Kayu jawa (Makasar), Nggang gala,
Kalala (Rote), Katuri (Halmahera).
Ciri-ciri:
� Berupa pohon, tingginya sampai 3 – 4 m. Tumbuh tegak, cabang
sedikit;
� Pertumbuhan pada saat muda sangat cepat. Dalam 12 minggu
tingginya bisa mencapai 2 m. Namun untuk mencapai 8 m
diperlukan waktu 3 tahun;
� Bunganya berwarna putih, kekuning-kuningan atau merah muda;
Asal dan penyebaran: Diduga merupakan tumbuhan asli Indonesia
atau India. Sekarang tersebar di wilayah beriklim tropis, termasuk
Meksiko sampai Amerika Selatan, Hawai, Afrika Barat dan Afrika Timur.
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
72
Persyaratan tumbuh:
� Tumbuh baik pada dataran rendah sampai ketinggian 800 m dpl;
� Sangat beradaptasi pada daerah yang musim kemaraunya
panjang;
� Memerlukan kesuburan tanah yang relatif sedang.
Produksi, mutu hijauan dan kegunaan lain:
� Sumber hijauan pakan yang berkualitas terutama untuk musim
kering tetapi produksi hijauannya rendah;
� Tidak tahan potong, sehingga pengambilan hijauan yang tepat
adalah dengan memetik cabang/ranting secara bergiliran;
� Daun dan bunga dapat untuk pakan ternak;
� Bunganya, terutama bunga putih di daerah tertentu dimakan untuk
sayur yang dapat menambah produksi susu (dikonsumsi
manusia);
� Kayu untuk bahan bakar, dan dapat digunakan pulp (pembuatan
kertas);
� Tanaman peneduh dan penunjang tanaman lada, vanili;
� Ekstrak dari daun, bunga, kulit dan akar dapat untuk obat
tradisional penyakit malaria, obat sariawan, disentri, sakit
tenggorokan dan juga untuk scabies.
Gambar 25. Sesbania grandiflora (bunga merah)
Deskripsi TPT Leguminosa
73
Indigofera spp.
Indigofera terdiri atas 200 – 800 jenis yang tersebar di daerah tropik
dan subtropik, kebanyakan berada di Afrika. Jenis-jenis yang ada di
Indonesia arrecta hochst. ex a. Rich; cordifolia Heyne ex Roth; dosua Buch.Ham ex D.Don; galegoides DC; glandulosa Willd; suffruticosa subsp. guatemalensis (Moc., Sesse & Cerv. ex Back.) de Kort & Thijsse;
hirsuta L.; linifolia (L.f.) Retz; linnaei Ali; longeracemosa Boiv. ex Baill;
nigrescens Kurz; oblongifolia Forsk;spicata Forsk.; suffructicosa Mill;
tinctoria L.; trifoliata L.;trita L.f.; zollingeriana Miq.
Ciri-ciri: Spesies dari genus Indigofera mempunyai sifat pertumbuhan
herba, perdu maupun pohon. Spesies yang termasuk herba antara lain I. spicata, I. astragalina dan yang merupakan perdu/pohon misalnya I. tinctoria, I. natalensis (Cherise Viljoen, 2006).
Asal dan penyebaran: Asal dari daerah tropik, subtropik dan Afrika
selatan, Arabia yang kebanyakan berada di Afrika.
Persyaratan tumbuh:
� Responsif terhadap pemupukan;
� Indigofera termasuk tanaman yang adaptif terhadap kondisi
lingkungan yang kering;
� Indigofera merupakan tanaman yang mudah dikembangkan,
karena potensi reproduksinya yang tinggi untuk menghasilkan
polong dengan biji bernas, sifat tumbuh kembali (regrowth) yang
baik sehingga menghasilkan produksi daun yang tinggi.
Produksi, mutu dan kegunaan lain
� Hijauan Indigofera mempunyai kualitas nutrisi dan produktivitas
yang tinggi dan dengan kandungan protein yang bervariasi yaitu
15,9 – 29,8%;
� Sumber pangan: I. cordifolia, I. glandulosa, I. linifolia dan I. linnaei. Biji I. gladulosa dan I. trifoliata untuk tonik. I dosua bumbu masak
dan I. cassioides sebagai lalaban;
� Tanaman ini mempunyai multifungsi, antara lain sumber warna
biru alami untuk kain (I. arrecta, I. suffruticosa dan I. tinctoria), dan
obat tradisional (obat batuk), antimikroba yang antara lain
melawan bakteri Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis dan
Escherichia coli (Selvakumar dan Karunakaran, 2004); pupuk
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
74
hijau, penutup tanah, misalnya I. arrecta (Lemmens and Cardon,
2005), I. hirsuta, I. spicata, I. suffruticosa dan I. tinctoria;
� Obat: (batuk dan nyeri dada), I. linifolia, I. linnaei (diuretik) dan I. tinctoria. Akar I. suffruticosa dan daun I. hirsuta untuk obat perut
dan obat diarea;
� Banyak jenis Indigofera beracun karena mengandung komponen
toksik antara lain: � galegoides mengandung asam cyanida � hirsuta menyebabkan iritasi kuku binatang
� linifolia mempunyai racun kuat ‘high poison’ � linnaei menyebabkan penyakit pada kuda di Australia
‘Birdsville disease’ tetapi tidak berpengaruh pada biri-biri dan
ternak lain.
Budidaya:
� Indigofera spp., biasanya menghasilkan biji banyak dan
perbanyakan dengan biji relatif sangat mudah;
� Persemaian. Benih Indigofera dapat disemaikan pada baki yang
berisi media tumbuh pasir, tanah dan pupuk kandang (1 : 1 : 1)
atau langsung ke kantong plastik. Benih ditabur secara merata ke
permukaan media tanam. Penyiraman dilakukan secara hati-hati
agar kecambah tidak rusak. Setelah kecambah tegar (kuat) sekitar
umur lebih kurang 1 minggu atau lebih tergantung pertumbuhan,
dipindahkan ke kantong plastik. Bibit muda dipelihara di bawah
naungan;
� Pembersihan lahan, pembajakan, penggaruan, penggemburan,
pengguludan dan penanaman dengan jarak tanam 1,5 x 1 m atau
1 x 1 m. Tanaman berumur 1 – 2 bulan dapat dipindahkan ke
lubang tanam;
� Pemanenan pertama dapat dilakukan pada umur 8 – 12 bulan
tergantung kecepatan pertumbuhan; interval potong 2 bulan dan
tinggi potong 75 – 100 cm dari permukaan tanah
Deskripsi TPT Leguminosa
75
Gambar 26. Indigofera zollingeriana
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
76
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, L. 2012. Prospektif agronomi dan ekofisiologi Indigofera sebagai tanaman pakan berkualitas tinggi. Dalam: Tanaman Indigofera sebagai Pakan Ternak. Simon, P.G., B.R. Prawiradiputra dan Nurhayati D.P. (Eds.). Puslitbang Peternakan. IAARD Press Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (In press).
Baihaki, A. 2005. Pemuliaan tanaman pakan ternak. Pros. Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Bogor 16 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 34 – 44.
Darmono. 1995. Kandungan logam berat (Pb, Cd, Cu dan Zn) pada rumput pakan ternak yang tumbuh di sekitar pabrik semen di Kabupaten Bogor. Pros. Seminar Nasional Teknologi Veteriner. Balai Penelitian Veteriner , Bogor. hlm. 391 – 395.
Dephut. 2009. Kerangka Kerja Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia. Departemen Kehutanan. www.dephut.go.id/files/FrameWork_DAS_09.pdf (8 Januari 2013)
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2011. Statistik Perkebunan 2009 – 2011: Kelapa Sawit. Sekretariat Jenderal Perkebunan, Jakarta.
Fariani, A. dan Evitayani. 2008. Potensi rumput rawa sebagai pakan ruminansia: Produksi, daya tampung dan kandungan fraksi seratnya. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 33(4): 299 – 304.
Flower, T.J. 2004. Improving salt tolerance. J. Exp. Bot. 55(396): 307 – 319.
Forest Watch Indonesia. 2001. Potret Kehutanan Indonesia. Forest Watch Indonesia, Bogor.
Hidayat, A dan A. Mulyani. 2005. Lahan Kering untuk Pertanian. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Abdulrachman Adimihardja dan Mappaona (Eds.). Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor. hlm. 8 – 37.
Daftar Pustaka
77
Li, M.S., Y.P. Luo and Z.Y. Su. 2006. Heavy metal concentrations in soils and plant accumulation in a restored manganese mineland in Guangxi, South China. Elsevier Ltd.
NRC. 1980. Mineral Tolerance of Domestic Animals. National Academy Press, Washington, DC.
Nugroho, C., S. Priyono dan S. Andy Cahyono. 2004. Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai: Cakupan, Permasalahan, dan Upaya Penerapannya.
Nulik. J., D. Kana Hau, P.Th. Fernandez dan S. Ratnawati . 2004. Adaptasi beberapa Leucaena spesies di Pulau Timor dan Sumba, Nusa Tenggara Timur. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 825 – 831.
Prawiradiputra, B.R., Sajimin, N.D. Purwantari dan I. Herdiawan. 2006. Hijauan Pakan Ternak di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Prosea. 1992. Plant Resources of South-East Asian. No 4 Forages. L’tMannetje and R.M. Jones (Eds.). Prosea Foundation, Bogor, Indonesia.
PTFI. 2004. Mine Reclamation for Pasture Grazing. Executive Summary for PT Freeport Indonesia. Recommendation. Prepared by Indonesian Research Institute for Animal Production.
Purwantari, N.D., B. R. Prawiradiputra dan Sajimin. 2000. Calliandra calothyrsus: Agronomic performance and seed production. Lokakarya Produksi Benih dan Pemanfaatan Kaliandra. ICRAF/Winrock 14-16 November 2000. Bogor, Indonesia. 49 hlm
Purwantar i, N.D. 2005. Forage Production of some lesser-known Leucaena spesies grown on acid soil. Indonesia J. Agr ic. Sci . 6: 46 – 51.
Purwantari, N.D and A.R. Setioko. 2006. Mine Reclamation for Pasture Grazing. Executive Summary for PTFI.
Sumber Daya Genetika Tanaman Pakan Ternak Adaptif Lahan Kritis
78
Purwantari, N.D. 2008. Penambatan nitrogen secara biologis: perspektif dan keterbatasannya. Wartazoa 18(1): 9 – 17.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1997. Statistik Sumber Daya Lahan/Tanah Indonesia. Puslittanak-Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Rohaeni, E.S., R. Qomariah dan A. Subhan. 2007. Potensi hijauan sebagai pakan utama ternak kerbau di Kalimantan Selatan. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha ternak Kerbau. Hlm 70-76 http://www.peternakan.litbang.deptan.go.id
Sarmirningsih, A.. 2007. Evaluasi kekritisan lahan daerah aliran sungai (DAS) dan mendesaknya langkah-langkah konservasi air. J. Presipitasi 2(1): 8 – 14.
Siregar, M.E. and Sajimin. 1994. Forage productivity of Vetiver grass using hedgerow system in East Nusa Tenggara Province Indonesia. Proc. of the 7th AAAP Animal Science Congress. Held in Bali, Indonesia. July 11 – 16. pp. 173 – 174.
Subagyo, H. 1997. Potensi pengembangan dan tata ruang lahan rawa untuk pertanian. Pros. Simposium Nasional dan Kongres VI PERAGI. Jakarta, 25 – 27 Juni 1996. hlm.17 – 55.
Sudarmono. 2006. Perlunya keterpaduan pemerintah dan masyarakat mengatasi kepunahan tumbuhan endemik di Indonesia. Inovasi 7(XVIII).
Suriadikarta, D.A. dan M.T. Sutriadi. 2007. Jenis-jenis lahan berpotensi untuk pengembangan pertanian di lahan rawa. J. Litbang Pertanian 26(3): 115 – 122.
Sutaryono, A.Y. dan I.J. Partridge. 2002. Mengelola Padang Rumput Alam di Indonesia Tenggara. The State of Queensland, Department of Primary Industries, Brisbane, Australia. 52 p.
Daftar Pustaka
79
Sutedi, E., B.R. Prawiradiputra, A. Semali, Saj imin, A. Fanindi. 2004. Karakterisasi rumput Rhodes ( Chlor is gayana) sebagai pakan ternak. Prosiding Sem inar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 4 – 5 Agustus 2004. Pusl ibang Peternakan. Bogor. hlm. 842 – 844.
Truong, P.N.V. 1999. Vetiver grass technology for land stabilisation, erosion control in the Asia-Pacific Region. Paper Prepared for the First Asia-Pacific Conference in Ground and Water Bio-Engineering, Manila April 1999. 23 p.
Vidali, M. 2001. Bioremediation. an Overview. Pure Appl. Chem. 73: 1163 – 1172
Widjaja-Adhi, I.P.G., N.P. Sri Ratmini dan I Wayan Swastika. 1997. Pengelolaan Tanah dan Air di Lahan Pasang Surut. Penyunting Sunihardi. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Yoon, J., X. Cao, Q. Zhou and L.Q. Ma. 2006. Accumulation of Pb, Cu and Zn in native plants growing on a contaminated Florida site. Sci. Total Env. 368: 456 – 464.
Recommended