View
81
Download
18
Category
Preview:
DESCRIPTION
ablasia renita
Citation preview
ABLASIO RETINA
Pendahuluan
Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang
menerima rangsangan cahaya. Retina manusia merupakan suatu struktur yang sangat
terorganisir, yang terdiri dari lapisan-lapisan badan sel dan prosesus sinaptik. Walaupun
ukurannya kompak dan tampak sederhana apabila dibandingkan dengan struktur saraf misalnya
korteks serebrum, retina memiliki daya pengolahan yang sangat canggih. Pengolahan visual
retina diuraikan oleh otak, dan persepsi warna, kontras, kedalaman, dan bentuk berlangsung di
korteks.1,2
Retina merupakan jaringan neurosensoris yang terbentuk dari perpanjangan sistem saraf
pusat sejak embriogenesis. Retina berfungsi untuk mengubah energi cahaya menjadi impuls
listrik yang kompleks yang kemudian ditransmisikan melalui saraf optik, chiasma optik, dan
traktus visual menuju korteks occipital sehingga menghasilkan persepsi visual. Bagian sentral
retina atau daerah makula sebagian besar terdiri dari fotoreseptor kerucut yang digunakan untuk
penglihatan sentral dan warna (penglihatan fotopik), sedangkan bagian perifer retina sebagian
besar terdiri dari fotoreseptor batang yang digunakan untuk penglihatan perifer dan malam
(skotopik).2,3
Ablasio retina (retinal detachment) adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan sel
batang retina dari sel epitel pigmen retina. Pada keadaan ini sel epitel pigmen masih melekat erat
dengan membran Brunch. Sesungguhnya antara sel kerucut dan sel batang retina tidak terdapat
suatu perlengketan struktural dengan koroid atau pigmen epitel, sehingga merupakan titik lemah
yang potensial untuk lepas secara embriologis. 1
Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang dari koroid atau sel pigmen epitel akan
mengakibatkan gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid yang bila berlangsung lama
akan mengakibatkan gangguan fungsi penglihatan yang menetap.1
DEFINISI
Ablasio retina (retinal detachment) adalah pemisahan retina sensorik, yakni lapisan
fotoreseptor (sel kerucut dan batang) dan jaringan bagian dalam, epitel pigmen retina
dibawahnya. Pada keadaan ini sel epitel pigmen masih melekat erat dengan membran Bruch.
Sesungguhnya antara sel kerucut dan sel batang retina tidak terdapat suatu perlekatan struktural
dengan koroid atau pigmen epitel, sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas
secara embriologis. 1,3,7
Gambar Ablasio retina
ANATOMI
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, multilapis yang
melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke depan
hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan berakhir di tepi ora serrata. Pada orang
dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm di belakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan
5,7 mm di belakang garis ini pada sisi nasal. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan
lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga bertumbuk dengan membrane Bruch, koroid dan
sklera. Disebagian besar tempat, retina dan epitelium pigmen retina mudah terpisah hingga
membentuk suatu ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasio retina. Tetapi pada diskus
optikus dan ora serrata, retina dan epitelium pigmen retina saling melekat kuat sehingga
membatasi perluasan cairan subretina pada ablasio retina. Hal ini berlawanan dengan ruang
subkhoroid yang dapat terbentuk antara khoroid dan sklera yang meluas ke taji sklera. Dengan
demikian ablasi koroid meluas melewati ora serrata, dibawah pars plana dan pars plikata.
Lapisan - lapisan epitel permukaan dalam korpus siliare dan permukaan posterior iris
merupakan perluasan ke anterior retina dan epitelium pigmen retina. Permukaan dalam retina
menghadap ke vitreus.2
Lapisan-lapisan retina mulai dari sisi luar ke dalam adalah sebagai berikut:
1. Epitelium pigmen retina
Merupakan lapisan terluar dari retina. Epitel pigmen retina terdiri dari satu lapisan
sel mengandung pigmen dan terdiri atas sel-sel silindris dengan inti di basal. Daerah
basal sel melekat erat membran Bruch dari koroid. Fotoreseptor dipelihara oleh epitel
pigmen retina, yang berperan pada proses penglihatan. Epitel pigmen ini bertanggung
jawab untuk fagositosis segmen luar fotoreseptor, transportasi vitamin, mengurangi
hamburan sinar, serta membentuk sawar selektif antara koroid dan retina.3, 4, 5
2. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut.
Sel-sel batang dan kerucut di laisan fotoreseptor mengubah rangsangan cahaya
menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh jaras-jaras penglihatan ke korteks
penglihatan ocipital. Fotoreseptor tersusun sehingga kerapatan sel-sel kerucut
meningkat di di pusat makula (fovea), dan kerapatan sel batang lebih tinggi di
perifer. Pigmen fotosensitif di dalam sel batang disebut rodopsin. Sel kerucut
mengandung tiga pigmen yang belum dikenali sepenuhnya yang disebut iodopsin
yang kemungkinan menjadi dasar kimiawi bagi tiga warna (merah,hijau,biru) untuk
penglihatan warna. Sel kerucut berfungsi untuk penglihatan siang hari (fotopik).
Subgrup sel kerucut responsif terhadap panjang gelombang pendek, menengah, dan
panjang (biru, hijau merah). Sel batang berfungsi untuk penglihatan malam
(skotopik). Dengan bentuk penglihatan adaptasi gelap ini terlihat beragam corak abu-
abu, tetapi warnanya tidak dapat dibedakan. Waktu senja (mesopik) diperantarai oleh
kombinasi sel kerucut dan batang.2,4, 5
3. Membrana limitans externa
4. Lapisan inti luar sel fotoreseptor, Ini terdiri dari inti dari batang dan kerucut.
5. Lapisan pleksiformis luar, yang mengandung sambungan – sambungan sel bipolar
dan sel horizontal dengan fotoreseptor .3,6
6. Lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal
7. Lapisan pleksiformis dalam, yang mengandung sambungan – sambungan sel
ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar .3,6
8. Lapisan sel ganglion, Ini terutama mengandung sel badan sel ganglion (urutan kedua
neuron visual 7 pathway). Ada dua jenis sel ganglion.3,6
9. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson – akson sel ganglion yang berjalan
menuju ke nervus optikus.3,6
10. Membrana limitans interna. Ini adalah lapisan paling dalam dan memisahkan retina
dari vitreous. Itu terbentuk oleh persatuan ekspansi terminal dari serat yang Muller,
dan pada dasarnya adalah dasar membran.
Gambar 1. Lapisan retina dari luar ke dalam (3)
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub posterior. Di
tengah – tengah retina posterior terdapat makula. Secara klinis makula dapat didefinisikan
sebagai daerah pigmentasi kekuningan yang disebabkan oleh pigmen luteal (xantofil) yang
berdiameter 1,5 mm. Secara histologis makula merupakan bagian retina yang lapisan
ganglionnya mempunyai lebih dari satu lapis sel. Secara klinis, makula adalah bagian yang
dibatasi oleh arkade – arkade pembuluh darah retina temporal. Di tengah makula sekitar 3,5
mm di sebelah lateral diskus optikus terdapat fovea yang secara klinis jelas – jelas merupakan
suatu cekungan yang memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan oftalmoskop.2
Fovea merupakan zona avaskular di retina pada angiografi fluoresens. Secara histologi,
fovea ditandai dengan menipisnya lapisan inti luar dan tidak adanya lapisan – lapisan parenkim
karena akson – akson sel fotorreceptor (lapisan serat Henle) berjalan oblik dan pergeseran
secara sentrifugal lapisan retina yang lebih dekat ke permukaan dalam retina. Foveola adalah
bagian paling tengah pada fovea, disini fotoreseptornya adalah sel kerucut dan bagian retina
yang paling tipis. Semua gambaran histologis ini memberikan diskriminasi visual yang halus.
Ruang ekstraseluler retina yang normalnya kosong potensial paling besar di makula dan
penyakit yang menyebabkan penumpukan bahan di ekstrasel dapat menyebabkan daerah ini
menjadi tebal sekali.
Gambar 2. Anatomi makula
Retina menerima darah dari dua sumber yaitu khoriokapilaria yang berada tepat diluar
membrana Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina termasuk lapisan pleksiformis luar dan
lapisan inti luar, fotorreceptor, dan lapisan epitel pigmen retina serta cabang – cabang dari
arteri sentralis retinae yang mendarahi dua pertiga sebelah dalam. Fovea sepenuhnya
diperdarahi oleh khoriokapilaria dan mudah terkena kerusakan yang tak dapat diperbaiki kalau
retina mengalami ablasi. Pembuluh darah retina mempunyai lapisan endotel yang tidak
berlubang yang membentuk sawar darah retina. Lapisan endotel pembuluh khoroid dapat
ditembus. Sawar darah retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina.2,3
Epidemiologi
Istilah “ablasio retina” (retinal detachment) menandakan pemisahan retina sensorik dari
epitel pigmen retina. Terdapat tiga jenis utama ablasio retina, yaitu: ablasio retina
regmatogenosa, epitel retina traksi (tarikan), dan ablasio retina eksudatif.2
Insiden ablasio retina di Amerika Serikat adalah 1:15.000 populasi dengan prevalensi
0,3%. Sumber lain menyatakan bahwa insidens ablasio retina di Amerika Serikat adalah
12,5:100.000 kasus per tahun atau sekitar 28.000 kasus per tahun.
Secara internasional, faktor penyebab ablasio retina terbanyak adalah miopia 40-50%,
operasi katarak (afakia, pseudofakia) 30-40%, dan trauma okuler 10-20%. Ablasio retina lebih
banyak terjadi pada usia 40-70 tahun, tetapi bisa terjadi pada anak-anak dan remaja lebih banyak
karena trauma.4
Ablasio retina regmatogenosa merupakan ablasio retina yang paling sering terjadi.
Sekitar 1 dari 10.000 populasi normal akan mengalami ablasio retina regmatogenosa.
Kemungkinan ini akan meningkat pada pasien yang:
Memiliki miopia tinggi;
Telah menjalani operasi katarak, terutama jika operasi ini mengalami komplikasi
kehilangan vitreus.
Pernah mengalami ablasio retina pada mata kontralateral.
Baru mengalami trauma mata berat.5
Etiologi
Kelompok orang tertentu memiliki faktor risiko lebih tinggi dibandingkan dengan orang
lain, seperti miopia berat, afakia (misal pada pasien katarak setelah dioperasi tanpa
lensaintraokular), usia lanjut, dan trauma. Ablasio retina yang disebabkan oleh
trauma lebih sering terjadi pada individu berusia 25-45 tahun. Hal yang tidak terlalu
berhubungan dengan ablasio retina regmatogenosa, antara lain riwayat keluarga,
riwayatkelainan kongenital mata seperti glaukoma, vitreopati herediter dengan
abnormal badan vitreus, dan riwayat retinopati prematuritas.
Miopia tinggi, di atas 5-6 dioptri, berhubungan dengan 67 % kasus ablasio retina dan
cenderung terjadi lebih mudah dari pasien non miopia. Diperkirakan terjadi pada 5-16dari 1000
setelah operasi katarak dengan metode ICCE. Risiko ini menjadi lebih tinggi pada
pasien dengan miopi tinggi. Walaupun ablasio retina terjadi pada satu mata tetapi 15%
kemungkinan akan berkembang pada mata yang lainnya, dan risiko ini lebih
tinggi,sekitar 25-30 % pada pasien yang telah menjalani operasi katarak pada kedua mata.
Klasifikasi
Dikenal tiga bentuk ablasio retina:
1. Ablasio Retina Regmatogenosa
Tipe ini merupakan ablasio retina yang paling sering. Pada tipe ini ablasio timbul akibat
adanya robekan pada retina sehingga cairan masuk ke belakang antara sel epitel berpigmen
dengan sel batang dan sel kerucut. Terjadi pendorongan retina oleh badan kaca cair ( fluid
vitreous) yang masuk melalui robekan pada retina menuju rongga subretina. Miopia, afakia,
laticce degeneration, dan trauma okuli merupakan faktor resiko terjadinya ablasio retina
regmatogenosa.
Gambar 3. Ablasio Retina Regmatogenosa4
2. Ablasio Retina Traksi
Ablasio retina tipe tarikan atau traksi merupakan tipe ablasi yang tersering kedua. Tipe
ini biasanya timbul akibat retinopati diabetika, proliferasi vitreoretinopati, retinopati akibat
prematuritas, atau trauma okuli. Pada ablasi ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan
jaringan parut pada badan kaca yang akan melepaskan tautan retina. Berbeda dengan tipe
regmatogenosa dengan kelainan berbentuk koveks, bentuk kelainan pada tipe traksi biasanya
konkaf dan lebih terlokalisir. 1,3
Gambar 4. Ablasio Retina Traksi4
3. Ablasio Retina Eksudatif
Ablasio retina eksudatif terjadi tanpa adanya robekan atau traksi vitreoretina. Ablasi
terjadi akibat penimbunan cairan pada ruang subretina akibat penyakit primer pada epitel
berpigmen dan koroid. Kelainan ini terjadi pada skleritis, koroiditis, tumor retrobulber, uveitis,
atau idiopatik.1,3
Gambar 5. Ablasio Retina Eksudatif
Patofisiologi
Dalam keadaan normal terdapat gaya yang menjaga agar bagian sensoris tetap melekat pada
epitel berpigmen. Gaya ini dibentuk oleh tekanan negatif pada ruang subretina sebagai hasil
metabolic pump epitel berpigmen dan tekanan onkotik yang relatif lebih tinggi pada koroid,
serta adanya lem yang terbuat dari mukopolisakarida yang melekatkan epitel berpigmen dan
sensori retina (sel batang dan kerucut).
Ablasi retina eksudatif atau tipe serus timbul akibat akumulasi cairan serus atau
hemoragik pada ruangan subretina akibat faktor hidrostatik seperti contohnya akibat hipertensi
akut yang berat. Dapat pula timbul akibat eksudasi cairan karena proses inflamasi seperti pada
uveitis atau efusi neoplastik. Cairan eksudat maupun darah akibat perdarahan akan tertimbun
pada ruangan subretina yang jika jumlahnya terus bertambah akan mendorong retina dan
menyebabkan retina terlepas.
Tipe kedua yaitu ablasi retina traksi terjadi akibat tenaga sentripetal pada retina akibat
adanya jaringan fibrotik. Tenaga sentripetal ini kemudian akan menarik jaringan retina sehingga
terlepas dari lapisan epitel berpigmen tanpa adanya robekan.
Jaringan fibrotik ini timbul akibat perdarahan profuse, trauma, pembedahan, infeksi, atau
inflamasi. Penyebab tersering adalah proliferatif diabetic retinopathy.
Gejala Klinis
Gejala klinis dari ablasi retina adalah :
1. Fotopsia dan floaters.
Pada awal penyakit biasanya penderita mengeluh melihat kilatan cahaya
(fotopsia) maupun melihat adanya bercak bercak yang bergerak pada lapangan
penglihatanya (floaters). Setelah itu timbul bayangan pada lapangan pandang perifer
yang jika diabaikan akan menyebar dan melibatkan seluruh lapangan penglihatan. 6
Dalam keadaan normal stimulasi terhadap retina terjadi jika terdapat cahaya.
Namun retina juga dapat terstimulasi jika terdapat kerusakan mekanik. Saat terjadi
kerusakan mekanik akibat separasi badan kaca posterior, akan terjadi pelepasan fosfen
lalu retina akan terstimulasi dan terjadilah sensasi cahaya yang dirasakan oleh penderita
sebagai kilatan cahaya (fotopsia).7
Floaters (melihat bercak bergerak) merupakan gejala yang umum di populasi
namun etiologinya harus dibedakan karena banyak penyakit dapat menimbulkan gejala
ini. Floaters yang timbul mendadak dan terlihat sebagai bercak-bercak besar pada tengah
lapangan penglihatan biasanya mengindikasikan posterior vitreous detachment (PVD).
Pasien akan mengeluh timbulnya floaters seperti cincin jika vitreous terlepas dari
insersinya yang anular pada papil nervus optikus. Floaters berupa garis-garis kurva
timbul pada degenerasi badan kaca. Kadang-kadang timbul ratusan bintik-bintik hitam
dibelakang mata. Hal ini patognomonik untuk perdarahan vitreus sebagai akibat
pecahnya pembuluh darah retina akibat robekan atau lepasnya perlekatan badan kaca
pada retina. Beberapa saat setelah itu dapat timbul jaring laba-laba yang mengindikasikan
pembentukan klot (bekuan darah).
Sebagai catatan lokasi dari kilatan cahaya maupun floaters dalam lapangan pandang ini
tidak menunjukkan lokasi defek pada retina.
3. Penurunan visus
Gejala ini dapat terjadi jika ablasi melibatkan makula dan kadang kadang benda terlihat
seperti bergetar atau disebut pula metamorphopsia.
4. Defek lapangan pandang
Gejala ini adalah merupakan gejala lanjut dari ablasio retina. Berbeda dengan lokasi
fotopsia dan floaters yang tidak menunjukkan lokasi kerusakan, defek lapangan pandang
sangat spesifik untuk menentukan lokasi dari robekan atau ablasi retina.
Ablasi di depan ekuator tidak dapat dinilai melalui pemeriksaan lapangan
pandang. Sedangkan lesi di belakang ekuator dapat ditentukan dengan pemeriksaan
lapangan pandang namun biasanya tidak jelas dirasakan sebelum melibatkan makula.
Defek lapangan pandang di superior menunjukan ablasio retina di inferior, sedangkan
defek lapangan pandang di superior menunjukkan ablasio retina inferior.4
Diagnosis
Pemeriksaan pada kasus yang dicurigai ablasio retina meliputi pemeriksaan dengan slit lamp
biomicroscopy dimana biasanya kamera okuli anterior ditemukan dalam batas normal. Pada
pemeriksaan badan kaca kadang-kadang ditemukan adanya pigmen yang terlihat sebagai tobacco
dust. Hal ini merupakan tanda patognomonik untuk robekan retina pada 70 % kasus tanpa
riwayat penyakit mata atau pembedahan sebelumnya. 6
Diagnosis pasti ditegakkan dengan oftalmoskopi. Direct oftalmoscopy dapat mendeteksi
perdarahan vitreus dan ablasi retina yang luas. Daerah ablasi ditandai dengan daerah abu-abu
dengan warna pembuluh darah lebih gelap yang terletak pada daerah yang melipat. Daerah ablasi
akan terlihat berundulasi atau bergelombang ketika mata digerakkan, namun jika ablasi masih
dangkal akan sangat sulit untuk dievaluasi. Dengan daya pandang pemeriksaan yang sempit
sering diagnosis ablasio retina terlewatkan, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan secara
indirek yang secara signifikan meningkatkan visualisasi fundus bagian perifer.
1. Anamnesis
Gejala yang sering dikeluhkan pasien, adalah:
- Floaters (terlihat benda melayang-layang), yang terjadi karena adanya kekeruhan di
vitreus oleh adanya darah, pigmen retina yang lepas atau degenerasi vitreus itu
sendiri.
- Fotopsia/ light flashes (kilatan cahaya) tanpa adanya cahaya di sekitarnya, yang
umumnya terjadi sewaktu mata digerakkan dalam keremangan cahaya atau dalam
keadaan gelap.
- Penurunan tajam penglihatan. Pasien mengeluh penglihatannya sebagian seperti
tertutup tirai yang semakin lama semakin luas. Pada keadaan yang telah lanjut dapat
terjadi penurunan tajam penglihatan yang lebih berat.
2. Pemeriksaan oftalmologi
- Pemeriksaan visus, dapat terjadi penurunan tajam penglihatan akibat terlibatnya
makula lutea ataupun terjadi kekeruhan media penglihatan atau badan kaca yang
menghambat sinar masuk. Tajam penglihatan akan sangat menurun bila makula lutea
ikut terangkat.
- Pemeriksaan lapangan pandang, akan terjadi lapangan pandang seperti tertutup
tabir dan dapat terlihat skotoma relatif sesuai dengan kedudukan ablasio retina, pada
lapangan pandang akan terlihat pijaran api seperti halilintar kecil dan fotopsia.
- Pemeriksaan funduskopi, yaitu salah satu cara terbaik untuk mendiagnosis ablasio
retina dengan menggunakan binokuler indirek oftalmoskopi. Pada pemeriksaan ini
ablasio retina dikenali dengan hilangnya refleks fundus dan pengangkatan retina.
Retina tampak keabu-abuan yang menutupi gambaran vaskuler koroid. Jika terdapat
akumulasi cairan bermakna pada ruang subretina, didapatkan pergerakkan undulasi
retina ketika mata bergerak. Suatu robekan pada retina terlihat agak merah muda
karena terdapat pembuluh koroid dibawahnya. Mungkin didapatkan debris terkait
pada vitreus yang terdiri dari darah dan pigmen atau ruang retina dapat ditemukan
mengambang bebas.
3. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit penyerta
antara lain glaukoma, diabetes mellitus, maupun kelainan darah.
- Pemeriksaan ultrasonografi, yaitu ocular B-Scan ultrasonografi juga digunakan
untuk mendiagnosis ablasio retina dan keadaan patologis lain yang menyertainya
seperti proliverative vitreoretinopati, benda asing intraokuler. Selain itu ultrasonografi
juga digunakan untuk mengetahui kelainan yang menyebabkan ablasio retina
eksudatif misalnya tumor dan posterior skleritis.
- Scleral indentation
- Fundus drawing
- Goldmann triple-mirror
- Indirect slit lamp biomicroscopy
Diagnosis Banding
- Retinoschisis degeneratif, yaitu degenerasi peripheral tipikal sering ditemukan pada
orang dewasa, berlanjut dan meninggi 2-3 mm posterior ke oraserrata. Daerah yang
degenerasi tampak adanya gelembung dan paling mudah diamati adanya depresi skleral.
Kavitas kistoid pada lapisan pleksiform luar mengandung hyalorinidase-
mukopolisakarida sensitif. Komplikasi yang diketahui dari degenerasi kistoid yang tipikal
adalah koalesensi dan ekstensi kavitas dan peningkatan kearah retinoskisis degenerasi
tipikal. Gejala fotopsia dan floaters tidak ada karena tidak ada traksi vitreoretinal. Defek
lapangan pandang jarang. 10,11
- Choroidal detachment, gejala fotopsia dan floaters tidak ada karena tidak ada traksi
viteroretinal. Defek lapangan pandang ada pada mata dengan detachment choroidal yang
luas.10
Penatalaksanaan
Penanganan Ablasio Retina
Retina mendapatkan oksigen dan nutrien dari koroid yang mendasarinya (lapisan
vaskuler). Saat ablasio retina muncul, retina yang lepas mulai mengalami disfungsi dan akhirnya
nekrosis (mati) yang merupakan akibat apabila retina tidak dikembalikan pada tempatnya semula
pada koroid. Oleh karena itu ablasio retina merupakan tindakan darurat yang mana retina yang
terlepas harus dikenali dan diberikan penanganan yang tepat. Prinsip Penatalaksanaan pada
ablasio retina adalah untuk melekatkan kembali lapisan neurosensorik ke lapisan epitel pigmen
retina. Penanganannya dilakukan dengan pembedahan, pembedahan ablasio retina dapat
dilakukan.
Apabila robekan retina ditemukan sebelum ablasio terjadi, hal tersebut dapat ditangani
dan dicegah agar retina tidak lebih lanjut terlepas. Biasanya laser dapat digunakan untuk
menangani robekan retina. Laser tersebut dapat membuat “luka bakar” baru disekitar robekan
yang pada akhirnya nanti membentuk jaringan parut dan menahan retina pada jaringan di
bawahnya. Hal ini mencegah cairan (cairan vitreus) agar tidak masuk melalui robekan dan
melepaskan retina. 4
Gambar 6. Penggunaan Laser pada Ablasio Retina2,6
Pada kasus-kasus yang lebih jarang, laser tidak bisa dipergunakan dan sebagai gantinya
dipakai cryoprobe retina untuk menangani robekan tersebut. Cryoprobe tersebut dapat membuat
suatu reaksi pembekuan yang dapat membentuk jaringan parut di sekitar robekan.
Gambar 7. Penggunaan Cryoprobe pada Ablasio Retina2
Hal inilah yang menyebabkan pentingnya suatu pemeriksaan awal apabila terdapat gejala
PVD (flashes, floaters, shower of spots). Pemeriksaan menggunakan oftalmoskopi indirek,
pemeriksaan lensa kontak, dan depresi sklera diperlukan untuk menemukan robekan retina
secara dini dan daerah di sekitarnya yang beresiko terlepas. Jika tidak ditemukan robekan pada
pemeriksaan awal, sangat penting untuk mengadakan pemeriksaan lagi dalam waktu 1 sampai 2
minggu atau lebih awal lagi apabila terdapat gejala baru. Walaupun robekan ditemukan dan telah
ditangani, pemeriksaan lanjutan sangat diperlukan untuk memastikan reaksi laser bekerja dan
tidak berkembang robekan baru.4
Tidak semua robekan retina memerlukan penanganan. Banyak orang memiliki lubang bundar
atau atrofi pada retina mereka yang ditemukan pada pemeriksaan rutin dan biasanya hal ini tidak
perlu ditangani. Tetapi secara umum jika suatu robekan retina ditemukan yang berhubungan
dengan temuan gejala PVD atau terdapat faktor resiko tinggi untuk mengalami ablasio retina
diperlukan suatu penanganan yang tepat.4
Penanganan robekan retina dengan laser atau cryoprobe tersebut memiliki tingkat
kesuksesan yang tinggi dan biasanya ablasio retina dapat dihindari. Sayangnya pada kasus-kasus
tertentu, terkadang robekan retina secara cepat mengarah kepada ablasio retina tanpa ada gejala
PVD. Untuk ini dan alasan lainnya banyak orang didiagnosis dengan ablasio retina pada awal
pemeriksaan dan hampir selalu memerlukan perbaikan melalui tindakan pembedahan. 4
Tindakan pembedahan untuk menangani ablasio retina meliputi berbagai macam prosedur
tergantung pada keadaan penyakit. Prosedur pembedahan yang dimaksud meliputi scleral buckle
procedure, vitrectomy dan pneumatic retinopexy.
1. Scleral Buckling
Posedur pembedahan ini telah dipergunakan lebih dari 30 tahun dan biasanya
dipergunakan untuk menangani ablasio retina tipe regmatogenosa. Operasi pemasangan scleral
buckle itu adalah merupakan prosedur yang paling umum untuk memperbaiki ablasio retina.
Prosedur ini meliputi melokalisir posisi keseluruhan robekan retina, menangani semua robekan
retina dengan cryoprobe dan mempertahankan dengan menggunakan gesper sclera (scleral
buckle). Gesper yang digunakan biasanya adalah sebuah busa silicon atau silicon padat. Tipe dan
bentuk gesper bervariasi tergantung lokasi dan jumlah robekan retina. Gesper tersebut dipasang
pada dinding luar bola mata (sclera) untuk menciptakan sebuah indentasi atau efek gesper di
dalam mata. Gesper diposisikan di bawah muskulus rektus sehingga dapat menekan robekan
retina dan secara efektif menutup robekan dan dipertahankan pada tempatnya dengan jahitan
yang minimalis pada sklera mata. Setelah robekan tertutup, cairan di bawah retina biasanya
secara spontan akan kembali pada posisinya semula dalam 1 sampai 2 hari (menghilangkan
traksi vitreus). Pada banyak kasus dilakukan dreinase terhadap cairan yang berada di bawah
retina pada bagian retina yang terlepas dan kemudian menutup lubang yang terjadi dengan laser
atau cryoterapy. 4,10
Gambar 8. Prosedur Scleral Buckling2,4
2. Vitrectomy
Prosedur ini dikenal juga dengan sebutan Trans Pars Plana Vitrectomy (TPPV), dan telah
digunakan sejak 20 tahun yang lalu untuk menangani ablasio retina tipe traksi pada pasien
diabetes tapi dapat juga dipergunakan untuk ablasio retina tipe regmatogenosa khususnya kasus-
kasus yang berhubungan dengan traksi vitreus atau pendarahan pada vitreus. Prosedur tersebut
meliputi membuat insisi kecil pada dinding bola mata agar dapat memasukkan alat yang disebut
vitrector ke dalam kavitas vitreus (bagian tengah bola mata). Langkah yang pertama dilakukan
adalah menghilangkan vitreus humor menggunakan vitreus cutter. Kemudian tergantung pada
tipe dan penyebab ablasio retina, berbagai macam instrumen (gunting, forcep, laser, dll) dan
teknik (eksisi lingkaran yang mengalami traksi, pertukaran gas-cairan, pemberian minyak
silikon, dll) dipergunakan untuk mengembalikan retina pada lapisan di bawahnya. 4,10
Gambar 9. Vitrektomi4
3. Peumatic Retinopexy
Prosedur ini dilakukan untuk memperbaiki ablasio retina tipe regmatogenosa khususnya
yang memiliki robekan tunggal terletak di bagian superior retina (straight-forward
rhegmatogenous retinal detachment). Prosedur ini meliputi menginjeksikan gelembung gas ke
dalam bagian tengah bola mata (kavitas vitreus) baik sebelum atau sesudah lubang pada retina
dirawat dengan laser atau cryoterapy untuk menutup lubang secara permanen. Gelembung gas
tersebut harus diposisiskan di atas lubang agar dapat mencegah cairan masuk ke lubang
sementara retina menyembuh. Keuntungan utama dari prosedur ini adalah dapat dilakukan di
praktek dokter tanpa harus lama menginap di rumah sakit dan juga dapat dihindari komplikasi
dari prosedur sclera buckling walaupun tentunya memiliki komplikasi tersendiri. Sedangkan
keburukannya adalah prosedur ini memerlukan posisi kepala yang tetap selama 7 – 10 hari
mendatang dan memiliki angka kesuksesan yang lebih rendah dibandingkan prosedur sclera
buckling. 4,10
Gambar 10. Pneumatic Retinopexy4
Komplikasi
Penurunan ketajaman penglihatan dan kebutaan merupakan komplikasi yang paling umum
terjadi pada ablasio retina. Penurunan penglihatan terhadap gerakan tangan atau persepsi cahaya
adalah komplikasi yang sering dari ablasio retina yang melibatkan makula.4
Jika retina tidak berhasil dilekatkan kembali dan pembedahan mengalami komplikasi, maka
dapat timbul perubahan fibrotik pada vitreous (vitreoretinopati proliferatif, PVR). PVR dapat
menyebabkan traksi pada retina dan ablasio retina lebih lanjut.2,5
Prognosis
Prognosis tergantung luasnya robekan retina, jarak waktu terjadinya ablasio, diagnosisnya dan
tindakan bedah yang dilakukan.12
Terapi yang cepat prognosis lebih baik. Prognosis lebih buruk bila mengenai makula atau jika
telah berlangsung lama. Jika makula melekat dan pembedahan berhasil melekatkan kembali
retina perifer, maka hasil penglihatan sangat baik. Jika makula lepas lebih dari 24 jam sebelum
pembedahan, maka tajam penglihatan sebelumnya mungkin tidak dapat pulih sepenuhnya.2,5
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S, dkk. Ablasio retina. In: Sari ilmu penyakit mata. Cetakan ke-4. Gaya Baru Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2004: 9,10,183-6.
2. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. Ablasi retina. In: Oftalmologi umum. 14th ed. Widya
Medika. Jakarta; 2006:197, 207-9.
3. Olsen TW. Retina. In: Primary care ophtahalmology. Palay DA, Krachmer JH. Pr, editors. 2nd
ed. Elsevier Mosby. Philadelphia;2005. 183-6.
4. Gregory Luke Larkin.Retinal Detachment.EMedicine [Online] Available from :
http://www.emedicine.com/emerg/byname/Retinal-Detachment.htm . Accessed: 15/4/2008
5. James B.,dkk. Ablasi retina. In: Oftalmologi. 9th ed. Erlangga:Ciracas Jakarta; 2003: 117-121.
6. Friedman NJ, Kaiser PK, Trattler WB. Posterior segment. In: Review of ophthalmology.
Elsevier Saunders. Philadelphia; 2005: 295-342.
7. Wijana N. Retina. In: Ilmu penyakit mata. 154-6.
8. Langston DP. Manual of ocular diagnosis and therapy. 5th ed. Lippicott Williams & Wilkins.
Philadelphia; 2002: 187-91.
9. Mansjoer, Arif. 2001. Kapita selekta kedokteran Edisi ketiga jilid pertama. Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia : Media Aesculapius
10. Kanski JJ. Retinal etachment. In: Clinical ophthalmology. 5th ed. Butterworth Heinemann.
Philadelphia; 2003: 349-89.
11. The Eye MD. Association, Retina and Vitreus. In: Basic and clinical science cource 2003-
2004 on CD-ROM, section 12. America Academy of Ophthalmology: 2003-2004.
12. Hollwich F. Ablasi Retina. In: Oftalmologi. Binarupa Aksara: Jakarta; 1993: 263-269.
13. Lihteh Wu. Tractional Retinal Detachment.E Medicine [Online]Available from :
http://www.emedicine.com/oph/byname/Retinal-Detachment–Tractional.htm.Accessed:
15/4/2008.
14. Lihteh wu. Exudative Retinal Detachment.E Medicine [Online]Available from :
http://www.emedicine.com/oph/byname/Retinal-Detachment–Exudative.htm.Accessed:
15/4/2008.
Recommended