View
88
Download
8
Category
Preview:
Citation preview
LAPORAN PENDAHULUAN
TRAUMA TUMPUL ABDOMEN
I. Konsep Dasar Teori
A. Pengertian
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma
tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja
(Smeltzer, 2001). Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang
mengakibatkan cedera (Sjamsuhidayat, 1998). Trauma abdomen adalah
trauma yang terjadi pada daerah abdomen yang meliputi daerah
retroperitoneal, pelvis dan organ peritroneal. Trauma adalah luka atau cedera
fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat
(Brooker, 2001).
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang
terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau
yang menusuk. Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ
abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi
gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ.
Trauma tumpul abdomen adalah cedera pada abdomen akibat benda
tumpul, jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor,
cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi atau sabuk
pengaman yang didasarkan dari hasil autoanamnesa atau alloanamnesa baik
adanya jejas maupun tanpa jejas, tetapi didapatkan tanda-tanda klinis berupa
rasa ketidaknyamanan sampai rasa nyeri pada abdomen karena adanya
perlukaan atau kerusakan organ intra abdomen.
B. Etiologi
Menurut (Hudak & Gallo, 2001) kecelakaan atau trauma yang terjadi pada
abdomen, umumnya banyak diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan
kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi yang tidak terkontrol merupakan
1
kekuatan yang menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul setir mobil
atau benda tumpul lainnya.
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang
menyebabkan kerusakan yang besar didalam abdomen. Selain luka tembak,
trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka
tusuk sedikit menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen.
Trauma pada abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu :
1. Trauma tumpul/paksaan/benda tumpul
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga
peritoneum. Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh,
kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor, cedera
akibat berolahraga, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi atau sabuk
pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
Organ yang terkena limpa, hati, pankreas, dan ginjal. disebabkan oleh
kecelakaan tabrakan mobil, terjatuh dari sepeda motor. Trauma tumpul
yaitu Trauma di daerah abdomen yang tidak menyebabkan perlukaan
kulit/jaringan tetapi kemungkinan perdarahan akibat trauma bisa terjadi.
Organ berisiko cedera: Hepar 40-55%, Limpa 35-45%.
2. Trauma tajam/tembus
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga
peritoneum. Luka tembus pada abdomen disebabkan oleh tusukan
benda tajam atau luka tembak.
Organ yang terkena hati, usus halus dan besar. disebabkan oleh baku
tembak dan luka tusukan. Trauma tajam/tembus (tusuk dan tembak)
yang mana penyebabnya benda tajam atau benda tumpul dengan
kekuatan penuh hingga melukai rongga abdomen. Perdarahan hebat
ruptur arteri/vena, cedera organ di rongga abdomen. Organ berisiko
cedera yang terkena luka tusuk: Hepar (40%), Usus halus (30%),
Diafragma (20%), Colon (14%). Luka tembak: Usus halus (50%),
Colon (40%), Liver (30%), Ruptur vaskuler abdominal (25%).
2
C. Gambaran Klinis
Menurut (Hudak & Gallo, 2001) tanda dan gejala trauma abdomen, yaitu:
1. Nyeri: Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang
berat. Nyeri dapat timbul di bagian yang luka atau tersebar. Terdapat
nyeri saat ditekan dan nyeri lepas.
2. Darah dan cairan: Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga
peritonium yang disebabkan oleh iritasi.
3. Cairan atau udara di bawah diafragma
4. Mual dan muntah
5. Hipotensi
6. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pada auskultasi pembuluh
darah, biasanya pada arteri karotis)
7. Sesak
8. Tidak adanya bising usus
9. Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah): Yang disebabkan
oleh kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock hemoragi.
10. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh
perdarahan limfa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi rekumben.
11. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan
peritoneal.
12. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh (pinggang)
pada perdarahan retroperitoneal.
13. Tanda Coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau
labia pada fraktur pelvis.
14. Tanda Balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada
kuadran kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe.
D. Patofisiologis
3
Jejas pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma
tajam. Pada trauma tumpul dengan viskositas rendah (misalnya akibat tinju)
biasanya menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul
viskositas tinggi sering menimbulkan kerusakan organ multipel, seperti organ
padat (hepar, lien, ginjal) dari pada organ-organ berongga.
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat
kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari
ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara
factor-faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma
yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk)
untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan
pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal
ini juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting.
Trauma juga tergantung pada elastisitas dan viskositas dari jaringan tubuh.
Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang
sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk
aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung
pada kedua keadaan tersebut. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada
seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan.
Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah
posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi
cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme:
1. Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh
gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang
letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ
padat maupun organ berongga.
2. Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior
dan vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.
3. Terjadi gaya akselerasi-deselerasi secara mendadak dapat
menyebabkan gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler.
4
Cedera akselerasi (kompresi) merupakan suatu kondisi trauma tumpul
langsung ke area abdomen atau bagian pinggang. Kondisi ini memberukan
manifestasi kerusakan vaskular dengan respons terbentuknya formasi
hematoma didalam visera.
Cedera deselerasi adalah suatu kondisi dimana suatu peregangan yang
berlebihan memberikan manifestasi terhadap cedera intraabdominal.
Kekuatan peregangan secara longitudinal memberikan manifestasi ruptur
(robek) pada struktur dipersimpangan antara segmen intraabdomen.
Kondisi cedera akselerasi dan deselerasi memberikan berbagai masalah
pada pasien sesuai organ intraabdominal yang mengalami gangguan. Hal ini
memberikan implikasi pada asuhan keperawatan. Masalah keperawatan yang
muncul berhubungan dengan kondisi kedaruratan klinis, respons sistemik,
dampak intervensi medis.
Trauma
(kecelakaan)
↓
Penetrasi & Non-Penetrasi
↓
Terjadi perforasi lapisan abdomen
(kontusio, laserasi, jejas, hematom)
↓
Menekan saraf peritonitis
↓
Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen → Nyeri
↓
Motilitas usus
↓
Disfungsi usus → Resiko infeksi
↓
Refluks usus output cairan berlebih
↓
Gangguan cairan dan eloktrolit-Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
↓
5
Kelemahan fisik
↓
Gangguan mobilitas fisik
E. Penatalaksanaan Pre Hospital dan Hospital Trauma Abdomen
Pre Hospital
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam
nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian.
Paramedik mungkin harus melihat Apabila sudah ditemukan luka tikaman,
luka trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal
dilakuakan prosedur ABC jika ada indikasi. Jika korban tidak berespon, maka
segera buka dan bersihkan jalan napas.
1. Airway, dengan Kontrol Tulang Belakang
Membuka jalan napas menggunakan teknik ‘head tilt chin lift’ atau
menengadahkan kepala dan mengangkat dagu, periksa adakah benda
asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Muntahan,
makanan, darah atau benda asing lainnya.
2. Breathing, dengan Ventilasi Yang Adekuat
Memeriksa pernapasan dengan menggunakan cara ‘lihat-dengar-
rasakan’ tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah ada napas
atau tidak, Selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi korban
(kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya pernapasan).
3. Circulation,dengan Kontrol Perdarahan Hebat
Jika pernapasan korban tersengal-sengal dan tidak adekuat, maka
bantuan napas dapat dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi,
lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan
bantuan napas dalam RJP adalah 30:2 (30 kali kompresi dada dan 2
kali bantuan napas).
Penanganan awal pada trauma abdomen, adalah:
1. Trauma tumpul
6
Langsung stop makanan dan minuman, imobilisasi, dan segera kirim
ke rumah sakit.
2. Trauma tajam
Apabila terjadi trauma tajam, lakukan langkah-langkah berikut:
a. Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam
lainnya) tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis.
b. Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan
dengan kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau
sehingga tidak memperparah luka.
c. Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut
tidak dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian
organ yang keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila
ada verban steril.
d. Imobilisasi pasien.
e. Tidak dianjurkan memberi makan dan minum.
f. Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekan.
g. Segera kirim ke rumah sakit.
Hospital
Penanganan pada saat sampai rumah sakit, yaitu:
1. Trauma tumpul
Lakukan tindakan berikut:
a. Pengambilan contoh darah dan urine
Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan
laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan laboratorium
khusus seperti pemeriksaan darah lengkap, potasium, glukosa,
amilase.
b. Pemeriksaan rontgen
7
Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks anteroposterior dan
pelvis adalah pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita
dengan multi trauma, mungkin berguna untuk mengetahui udara
ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di bawah
diafragma, yang keduanya memerlukan laparotomi segera.
c. Studi kontras urologi dan gastrointestinal
Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon
ascendens atau decendens dan dubur.
2. Trauma tajam
Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang
ahli bedah yang berpengalaman akan memeriksa lukanya secara lokal
untuk menentukan dalamnya luka. Pemeriksaan ini sangat berguna
bila ada luka masuk dan luka keluar yang berdekatan.
a. Skrinning pemeriksaan rontgen
Foto rontgen torak tegak berguna untuk menyingkirkan
kemungkinan hemo atau pneumotoraks atau untuk menemukan
adanya udara intraperitonium. Serta rontgen abdomen sambil tidur
(supine) untuk menentukan jalan peluru atau adanya udara
retroperitoneum.
b. IVP atau Urogram Excretory dan CT scan
Ini di lakukan untuk mengetauhi jenis cedera ginjal yang ada.
c. Uretrografi
Di lakukan untuk mengetauhi adanya rupture uretra.
d. Sistografi
Ini digunakan untuk mengetauhi ada tidaknya cedera pada kandung
kencing, contohnya pada fraktur pelvis dan trauma non-penetrasi.
F. Komplikasi Trauma Abdomen
1. Komplikasi yang timbul segera adalah shock hemoragi.
2. Komplikasi yang timbul lambat adalah terjadinya infeksi pada sekitar
daerah trauma atau pada lukanya langsung.
8
3. Komplikasi lain seperti sepsis, atelektasis, tekanan ulserasi,
pneumonia, emboli pulmoner, trombosis vena.
4. Pankreas: Pankreatitis, fistula pancreas-duodenal, dan perdarahan.
5. Limfa: takikardia, hipotensi, akral dingin, diaphoresis, dan syok.
6. Usus: obstruksi usus, peritonitis, sepsis, nekrotik usus, dan syok.
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Foto thoraks untuk melihat adanya trauma pada thorak.
2. Pemeriksaan darah rutin.
Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-line data bila terjadi perdarahan
terus menerus. Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit.
Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000/mm tanpa terdapatnya
infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak dan
kemungkinan terjadi ruptura lienalis.
Serum amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan adanya
trauma pankreas atau perforasi usus halus.
Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma pada hepar.
3. Plain abdomen foto tegak. Memperlihatkan udara bebas dalam rongga
peritoneum, udara bebas retroperineal dekat duodenum, corpus alineum
dan perubahan gambaran usus.
4. Pemeriksaan urine rutin. Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih
bila dijumpai hematuri. Urine yang jernih belum dapat menyingkirkan
adanya trauma pada saluran urogenital. Pemeriksaan fungsi perkemihan
dilakukan terutama adanya tanda dan riwayat trauma panggul yang bisa
mencederai uretra dan kandung kemih. Palpasi kekencangan kandung
kemih dan kemampuan dalam melakukan miksi dilakukan untuk mengkaji
adanya ruptur uretra.
5. VP (Intravenous Pyelogram). Karena alasan biaya biasanya hanya
dimintakan bila ada persangkaan trauma pada ginjal.
6. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL). Dapat membantu menemukan
adanya darah atau cairan usus dalam rongga perut. Hasilnya dapat amat
membantu. Tetapi DPL ini hanya alat diagnostik. Bila ada keraguan,
9
kerjakan laparatomi (gold standard). Ada juga dinamakan dengan test
khusus, yaitu DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) adalah untuk
mengetahui adanya perdarahan intraabdomen pada suatu trauma tumpul,
bila dengan pemeriksaan fisik dan radiologik, diagnosa masih diragukan.
Test ini tak boleh dilakukan pada penderita yang tak kooperatif, melawan
dan yang memerlukan operasi abdomen segera. Kandung kemih harus
dikosongkan terlebih dahulu. Posisi panderita terlentang, kulit bagian
bawah disiapkan dengan jodium tingtur dan infiltrasi anestesi lokal di garis
tengah, diantara umbilikus dan pubis. Kemudian dibuat insisi kecil, kateter
dialisa peritoneal dimasukkan ke dalam rongga peritoneal. Ini dapat
dibantu/dipermudah oleh otot-otot abdomen penderta sendiri, dengan jalan
meikan kepala penderita. Kateter ini harus dipegang dengan kedua tangan,
untuk mencegah tercebur secara acak ke dalam rongga abdomen.
Indikasi untuk melakukan DPL adalah sebagai berikut :
Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya.
Trauma pada bagian bawah dari dada.
Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas.
Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,
alkohol, cedera otak).
Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum
tulang belakang).
Patah tulang pelvis.
Kontra indikasi relatif melakukan DPL adalah sebagai berikut :
Hamil.
Pernah operasi abdominal.
Operator tidak berpengalaman.
Bila hasilnya tidak akan merubah penatalaksanaan.
7. Ultrasonografi dan CT Scan. Sebagai pemeriksaan tambahan pada
penderita yang belum dioperasi dan disangsikan adanya trauma pada hepar
dan retroperitoneum.
10
Pemeriksaan khusus
1. Abdomonal Paracentesis merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat
berguna untuk menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritoneum.
Lebih dari 100.000 eritrosit/mm dalam larutan NaCl yang keluar dari
rongga peritoneum setelah dimasukkan 100–200 ml larutan NaCl 0.9%
selama 5 menit, merupakan indikasi untuk laparotomi.
2. Pemeriksaan Laparoskopi. Dilaksanakan bila ada akut abdomen untuk
mengetahui langsung sumber penyebabnya. Bila dijumpai perdarahan dan
anus perlu dilakukan rekto-sigmoidoskopi. Pemeriksaan rektal harus
dilakukan untuk mencari bukti cedera penetrasi akibat patah tulang
panggul dan feses dievaluasi apakah ada darah kotor pada feses.
Penatalaksanaan Medis
1. Abdominal paracentesis. Menentukan adanya perdarahan dalam rongga
peritonium, merupakan indikasi untuk laparotomi.
2. Pemeriksaan laparoskopi. Mengetahui secara langsung penyebab
abdomen akut.
3. Pemasangan NGT. Memeriksa cairan yang keluar dari lambung pada
trauma abdomen. Pengkajian dengan memasang NGT (dilakukan
apabila tidak ada kontraindikasi, misalnya fraktur dasar tengkorak)
dilakukan untuk menilai dekompresi lambung dan untuk menilai
pengeluaran darah pada NGT.
4. Pemberian antibiotik. Mencegah infeksi.
5. Laparotomi
11
H. Algoritma Penanganan Pasien Dengan Trauma Tumpul Abdomen
12
II. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Pengkajian yang sistematis meliputi pengumpulan data, analisa data dan
penentuan masalah. Pengumpulan data diperoleh dengan cara intervensi,
observasi, pengkajian fisik. Pemeriksaan abdomen harus sistematis, meliputi
pemeriksaan inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi.
Inspeksi
Abdomen diperksa adanya kondisi lecet (abrasi) atau ekimosis. Tanda
memar akibat sabuk pengaman, yakni luka memar atau abrasi perut bagian
bawah sangat berhubungan dengan kondisi patologi intraperitoneal.
Auskultasi
Auskultasi adanya bunyi usus bagian toraks dapat menunjukkan adanya
cedera pada otot diafragma.
Palpasi
Pemeriksaan palpasi dapat mengungkapkan adanya keluhan tenderness
(nyeri tekan) baik secara lokalis atau seluruh abdomen, kekakuan
abdominal, atau rebound tenderness yang menunjukkan cedera peritoneal.
Perkusi
Dilakukan untuk mendapatkan adanya nyeri ketuk pada organ yang
mengalami cedera.
Pengakjian primer pada trauma abdomen:
1. Airway: ada atau tidaknya sumbatan jalan napas (secret, lidah jatuh ke
belakang, bronkospasme), kepatenan jalan napas.
2. Breathing: bunyi napas (vesikuler), frekuensi pernapasan, pola napas,
penggunaan otot bantu napas.
13
3. Circulation: denyut nadi, frekuensi, kekuatan, irama, tekanan darah,
kapilari refill <3 detik.
4. Disability: ketidakmampuan, GCS (E=4, V=5, M=6 ), reaksi pupil,
reflek cahaya.
5. Exposure: sensasi nyeri, cegah pasien hipotermi, lihat ada tidaknya
jejas, CT scan abdomen, Lavase Peritoneal Diagnostik (LPD).
Pengkajian lanjutan trauma abdomen meliputi:
1. Identitas klien.
2. Riwayat trauma abdomen
a. Trauma tumpul abdomen
Dapatkan riwayat detil jika mungkin (sering tidak bisa didapatkan,
tidak akurat, atau salah). dapatkan semua data yang mungkin
tentang metode cidera, waktu awitan cidera, lokasi penumpang
jika itu kecelakaan lalu lintas (kalau itu sopir sering terjadi ruptur
limpa atau hati), waktu makan dan minum terakhir,
kecenderungan perdarahan, penyakit dan medikasi terbaru,
riwayat imunisasi dengan perhatian pada tetanus, alergi.
Lakukan pemeriksaan cepat pada seluruh tubuh pasienuntuk
mendeteksi masalah yang mengancam kehidupan.
b. Trauma tajam abdomen
Dapatkan riwayat mekanisme cedera; kekuatan tusukan/ tembakan;
kekuatan tumpul (pukulan).
Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya : cedera tusuk,
memar, dan tempat keluarnya peluru.
Auskultasi ada/ tidaknya bising usus dan catat data dasar sehingga
perubahan dapat dideteksi. Adanya bising usus adalah tanda awal
keterlibatan intraperitoneal; jika ada tanda iritasi peritonium,
biasanya dilakukan laparatomi (insisi pembedahan kedalam
rongga abdomen).
14
Kaji pasien untuk progresi distensi abdomen, gerakkan melindungi,
nyeri tekan, kekakuan otot atau nyeri lepas, penurunan bising
usus, hipotensi dan syok.
Kaji cedera dada yang sering mengikuti cedera intra-abdomen,
observasi cedera yang berkaitan.
Catat semua tanda fisik selama pemeriksaan klien.
3. Kebutuhan dasar.
Eliminasi: inkontinensia kandung kemih atau mengalami
ganggauan fungsi.
Integritas ego: perubahan tingkah laku, cemas, bingung, depresi.
Nutrisi dan cairan: mual, muntah, perubahan selera makan, distensi
abdomen.
Neurosensori: kehilangan kesadaran sementara, vertigo, perubahan
status mental, kesulitan menentukan posisi tubuh, koma.
Sirkulasi: terjadi bradikardi atau takikardi.
Pernafasan: pola nafas yang berubah, seperti bradipneu atau
takipneu
Nyeri dan kenyamanan: sakit pada abdomen dengan intensitas dan
lokasi berbeda, meringis, gelisah, merintih.
Aktivitas/istirahat: pusing, sakit kepala, nyeri, mulas, perubahan
kesadaran, masalah dalam keseimbangan.
Keamanan: trauma karena kecelakaan, dislokasi gangguan kognitif,
gangguan rentang gerak.
4. Dasar pemeriksaan fisik ‘head to toe’ harus dilakukan dengan singkat
tetapi menyeluruh dari bagian kepala ke ujung kaki.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan
kehilangan cairan secara aktif (perdarahan).
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (trauma tumpul atau
tajam).
15
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cidera tusuk.
4. Resiko infeksi dengan faktor resiko tindakan invasif, tidak adekuatnya
pertahanan tubuh, kerusakan integritas kulit.
16
C. Perencanaan
Diagnosa Keperawatan NOC NIC Rasional
Ketidakefektifan pola napas b.d hipoventilasi dan kerusakan neurologis
Definisi : inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi
Batasan Karakteristik :1. bradipneu2. pernapasan cuping hidung3. pernapasan bibir4. penggunaan otot aksesorius
untuk bernapas
NOC (Moorhead, 2008) :1. Status respirasi :
ventilasi2. Status respirasi :
patensi jalan napas3. Status tanda-tanda
vital
Kriteria Hasil :1. Menunjukkan
jalan napas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama dan frekuensi napas normal, tidak ada suara napas abnormal)
2. Tanda-tanda vital normal
NIC (Bulecheck, 2008):Manajemen Jalan Napas dan Monitoring Respirasi1. Buka jalan napas dan
posisikan bayi untuk memaksimalkan ventilasi, gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
2. Keluarkan sekret dengan suction
3. Pertahankan jalan napas yang paten
4. Atur peralatan oksigenasi dan
Rasional (Ackley, 2011) :
1. Saluran pernapasan yang paten merupakan upaya awal agar bayi dapat bernapas. Teknik chin lift dapat dilakukan pada pasien yang tidak mengalami trauma. Namun pada bayi sebaiknya gunakan teknik jaw thrust karena batang leher bayi masih rentan fraktur dan ada kemungkinan BBL mengalami trauma saat proses kelahiran.
2. Tindakan suction merupakan salah satu tindakan yang dilakukan untuk membersihkan jalan napas
3. Dapat dengan menjaga posisi bayi agar ventilasi maksimal, jaga temperatur tidak terlalu ekstrim
4. Oksigen yang diberikan
17
monitor aliran oksigen
Vital Sign Monitoring1. Monitor TD, temperatur, HR,
dan RR2. Monitor pola pernapasan
abnormal3. Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
dapat membantu bayi memenuhi kebutuhan oksigen ke otak maupun ke jaringan sehingga bayi tidak mengalami hipoksia
Perubahan tanda-tanda vital pada bayi secara tiba-tiba sangat membahayakan keselamatan bayi meskipun perubahan yang terjadi sangat sedikit. Bayi dengan asfiksia terlebih dengan riwayat prematur dan BB < 2500 gram belum mempunyai sistem organ yang sempurna. Hal tersebut juga berimbas pada kekebalan tubuh yang lemah, sehingga perubahan keadaan sekecil apa pun akan berpengaruh terhadap kondisi bayi.
18
Diagnosa 1
Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan
cairan secara aktif (perdarahan).
Tujuan:
Volume cairan menjadi seimbang.
Kriteria hasil:
Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran
mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan.
Intervensi:
Kaji TTV (tekanan darah, frekuensi nafas, nadi, dan suhu), pantau cairan
parenteral dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin, pertahankan catatan
intake dan output yang akurat, monitor status hidrasi (kelembaban
membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik), Kolaborasi
pemberian cairan IV dan tranfusi darah.
Diagnosa 2.
Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (trauma tumpul atau
tajam).
Tujuan:
Nyeri teratasi/nyeri berkurang.
Kriteria hasil:
Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan),
melaporkan nyeri berkurang dengan menggunakan menegemen nyeri,
menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang, TTV dalam batas
normal.
Intervensi:
Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif (termasuk lokasi,
karakteristik, durasi,frekuensi,kualitas dan faktor presipitasi), observasi
reaksi non verbal dari ketidaknyamanan, kolaborasi pemberian analgetik
19
sesuai indikasi, monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
analgesik.
Diagnosa 3.
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cidera tusuk.
Tujuan:
Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria hasil:
Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus, luka bersih tidak lembab dan
tidak kotor, tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi:
Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka, kaji lokasi,
ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka, pantau adanya
peningkatan suhu tubuh, berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik.
Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas,
kolaborasi untuk debridement kalau luka tidak terjadi penyembuhan.
Diagnosa 4.
Resiko infeksi dengan faktor resiko tindakan invasif, tidak adekuatnya
pertahanan tubuh, kerusakan integritas kulit.
Tujuan:
Infeksi tidak terjadi/terkontrol.
Kriteria hasil:
Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus, luka bersih tidak lembab dan
tidak kotor, tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi:
Pantau tanda-tanda vital, lakukan perawatan luka dengan teknik aseptic,
lakukan perawatan terhadap prosedur invasif (seperti infus, kateter,
drainase luka), kolaborasi untuk pemeriksaan lab (Hb, Ht, leukosit) dan
pemberian antibiotik.
20
D. Kriteria Evaluasi
1. Volume cairan menjadi seimbang.
2. Nyeri teratasi/nyeri berkurang.
3. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
4. Infeksi tidak terjadi/terkontrol.
Daftar Pustaka
1. Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth Ed.8 Vol.3. Jakarta: EGC.
2. Sjamsuhidayat. 1998. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC.
3. Hudak & Gallo. 2001. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik.
Jakarta : EGC.
4. Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Media
Aesculapius FKUI : Jakarta
5. Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. EGC : Jakarta.
6. Hudak & Gallo. 2001. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Jakarta:
EGC
7. Carpenito, L.J. 2006. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed.
2. Jakarata: EGC
8. Dongoes. 2000. Diagnosa Keperawatan. Ed. 8. Jakarta: EGC
21
9. NANDA International. 2011. NANDA-I: Nursing Diagnoses Definitions &
Classification 2012-2014. USA: Willey Blackwell Publication.
10. Moorhead, Sue, Meridean Maas, Marion Johnson. 2004. Nursing
Outcomes Classification (NOC) Fourth Edition. USA: Mosby Elsevier.
11. Bulechek, Gloria M, Joanne C. McCloskey. 2008. Nursing Intervention
Classification (NIC) Fifth Edition. USA: Mosbie Elsevier.
22
Recommended