View
130
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Tugas Mata KuliahIlmu Sosial dan Budaya Dasar
PERSEPSI ”DEEP ECOLOGY AND ANALYSIS”DALAM PEMBANGUNAN DAN KAITANNYA DENGAN PENINGKATAN
BENCANA ALAM DI INDONESIA
Oleh:
METRIZALA.0910200
JURUSAN TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS AGRIBISNIS DAN TEKNOLOGI PANGAN
UNIVERSITAS DJUANDA
2010
I. PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Seiring dengan berakhirnya abad ke 20, masalah lingkungan menjadi hal yang
utama. Kita dihadapkan pada serangkaian masalah global dan lokal yang
membahayakan biosfer dan kehidupan manusia dalam bentuk yang sangat
mengejutkan yang dalam waktu dekat akan segera menjadi irreversible. Bencana alam
seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir, tanah longsor dan badai telah meminta
korban satu setengah juta jiwa dalam dua puluh tahun belakangan. Sebagian besar
korban berada di negara-negara sedang berkembang. Di belahan dunia di kota Bam,
Iran Desember lalu sebanyak 40 ribu orang tewas, Korea utara 606 setiap sejuta
penduduk, Mozambik (328) dan Armenia (324). Di Indonesia sepanjang tahun 2003
dan awal 2004 telah terjadi berbagai macam fonomena alam seperti dinegara
berkembang lainnya yang menimbulkan kerugian ekonomi, fisik, sosial dan ekologis.
Kita memiliki dokumentasi yang cukup tentang jangkauan dan pentingnya
masalah-masalah ini. Berbagai problematika alam yang telah terjadi bukan hal yang
mudah untuk dikendalikan dengan cepat secara parsial. Parcial problem di daerah
yang telah terakumulasi menjadi global problem yang dapat berpengaruh terhadap
berbagai masalah alam yang dapat menyebabkan multidimensi permasalahan, dalam
kehidupan manusia, sebagai contoh produksi CO2 yang menyebabkan green house
effect, biodevercity, asap kebakaran hutan ( forrest smoke), populasi manusia (human
population), perubahan iklim (climate change), bencana banjir, tanah longsor,
kekeringan dan lain sebagainya.
TUJUAN
Berdasarkan masalah-masalah fenomena alam yang telah terjadi maka perlu
dilakukan pengkajian secara mendalam untuk membangun kesadaran arti penting
sustainable development yang didasarkan pada implementasi kaidah-kaidah ”deep
ekology concept.” Sehingga perlunya pemahaman tentang pembangunan nasional
tanpa adanya dampak negative atau meminimalkan kerusakan alam dan lingkungan.
TINJAUAN PUSTAKA
a. Pengertian ”deep ecology”
Yang dimaksud dengan persepsi ”deep ekology” adalah pemahaman secara
mendalam manusia tentang keberadaannya di alam, menjadi suatu bagian yang tak
terpisahkan dari lingkungannya, yang didalamnya tercakup faktor-faktor fisik, biologis,
sosioekonomi dan juga politik. Hubungan ini bersifat timbal balik dan membentuk sustu
sistem yang disebut dengan ekosistem (Supardi, 1994). Dalam hubungan yang timbal
balik ini, diperlukan adanya keselarasan ekologis, yang membangun kondisi dimana
manusia ada dalam hubungan yang harmonis dengan lingkungannya.
Manusia sebagai bagian dari makhluk hidup selalu berinteraksi dengan
lingkungannya. Adanya interaksi ini antara manusia dan lingkungannya,
mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan ekologi seperti kerusakan tanah,
pencemaran lingkungan, rusaknya keragaman hayati, bencana banjir, longsor,
pemanasan global dan sebagainya. Keadaan ini makin diperbesar dengan adanya
penggalian dan pemanfaatan sumber-sumber alam untuk menunjang kehidupan
manusia akibat growth of resident quickly. Akibat dari interfensi manusia terhadap
alam, terhadap lingkungan, terhadap ekosistem bisa mengubah struktur alam dan
ekosistemnya pada tingkatan tertentu dapat melebihi carrying capacity sehingga
mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekologik (ecology balanced).
Gab. Hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya (biotis dan
abiotis) membentuk ekosistem
b. Dimensi ekologi dalam pembangunan ekonomi
Peningkatan pembangunan, maka akan terjadi pula peningkatan penggunaan
sumberdaya untuk menyokong pembangunan dan timbulnya permasalahan-
permasalahan dalam lingkungan hidup manusia. Dalam pembangunan, sumberdaya
alam merupakan komponen penting karena alam ini memberikan kebutuhan asasi bagi
kehidupan. Seringkali meningkatkan kebutuhan proyek pembanguanan, keseimbangan
ini bisa terganggu, yang pada akhirnyabisa membehayakan kehidupan umat.
Kerugian-kerugian dan perubahan-perubahan terhadap lingkungan perlu
diperhitungkan, dengan keuntungan yang diperkirakan akan diperoleh dari suatu
proyek pembangunan. Itu sebabnya dalam setiap usaha pembangunan, externality
cost harus diperhitungkan untuk menjaga kelestraian lingkungan, dengan sedapat
mungkin tidak memberatkan kepentingan umum masyarakat sebagai konsumen hasil
pembangunan tersebut.
Beberapa hal yang harus dipertimbangan dalam mengambil keputusan-
keputusan, antara lain adalah kualitas dan kuantitas lingkungan yang diketahui dan
diperlukan; akibat-akibat dari pengambilan sumber daya alam termasuk kekayaan
hayati dan habisnya deposito kekayaan alam tersebut. Bagaimana cara
pengelolaannya apakah tradisional atau memakai teknologi modern, termasuk
pembiayaannya dan pengaruh proyek pada lingkungan terhadap memburuknya
lingkungan serta kemungkinan menghentikan perusakan lingkungan dan menghitung
externality cost.
Pembangunan ini merupakan proses dinamis yang terjadi pada salah satu
bagian dalam ekosistem yang akan mempengaruhi seluruh bagian. Idealnya era
pembangunan dewasa ini, SDA harus dapat dikembangkan untuk carrying capacity
sebagai penopang pembangunan ekonomi. Tetapi sayang, dalam praktiknya perhatian
terhadap daya dukung lingkungan menjadi sangat rendah, pembangunan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan manusia bertumpu pada eksploitasi sumberdaya alam
berlebihan. Hal-hal yang menyangkut pemeliharan kontinuitas alam kurang
diperhatikan. Sehingga tidak jarang environmental intergrity tidak terpelihara dan
hilangnya kelestarian lingkungan berdampak pada munculnya persoalan-persoalan
bencana alam dimana-mana. Untuk menghindarkan terjadinya hal-hal demikian, maka
seyogyanya setiap kebijakan yang diluncurkan pada aspek ekonomi, sosial, politik
harus selalu disertai dengan pertimbangan aspek ekologi secara mendalam (deep
ekology) secara matang dalam setiap proyek pembangunan dengan melalui recearch,
evaluation, dan awareness yang terintegrasi diantara hal-hal yang saling berhubungan.
c. Sustainable development
Selama ini pembangunan yang dilaksanakan, baik di negara berkembang
merupakan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi ini menempatkan dimensi
ekonomi sebagai pertimbangan yang dominan. Eksploitasi sumberdaya alam melebihi
ambang batas tertentu, sehingga pada suatu saat pembangunan akan terhenti atau
bahkan mendekati ambang kehancuran akibat munculnya natural disaster. Sehingga
pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah menimbulkan dampak negatif
terhadap ekosistem dikenal sebagai pola pembangunan konvensional.
Sustainability istilah lain di di bidang kehutanan maximum sustainable yeild dan
maximum sustainable catch artinya bahwa hasil tangkapan maksimum yang dapat
diperoleh secara lestari. Menurut Brutland, sustainable development didefinisikan
sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi
kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Kebutuhan yang dimaksud disini adalah kebutuhan untuk kelangsungan hidup hayati
dan kebutuhan untuk kehidupan yang manusiawi. Kebutuhan untuk kelangsungan
hidup hayati : udara, air, pangan, ruang dan keamanan yang harus tersedia dalam
jumlah dan kualitas yang memadai untuk dapat hidup sehat. Sedangkan kebutuhan
untuk kehidupan manusiawi mempunyai arti untuk menaikkan martabat dan status
sosial manusia.
II. RUMUSAN PERMASALAHAN
Bencana banjir dan tanah longsor akan terus berlanjut jika penebangan pohon
oleh pemegang HPH yang tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, penjarahan hanya
mungkin diatasi dengan penegakan hukum, pengentasan kemiskinan dan pendidikan.
Sebagaimana banjir yang telah banyak memakan korban, pada awal tahun 2002 lalu di
Jakarta 70% wilayahnya telah ditelan air, Sitobondo, Probolinggo, Kudus, juga
sebagian wilayah Sumatera seperti di Jambi, Lampung, dan Palembang pada tahun-
tahun sebelumnya tidak pernah mengalami limpahan air yang dahsyat. Tanah longsor
di Tulungagung, Mojokerto, Pacitan, Blitar, Trenggalek dan kota-kota lainnya juga telah
memakan korban.
Fonomena alam di tahun 2003, yang terjadi beberapa bulan sebelum bencana
banjir bandang menyapu kawasan wisata Bukit Lawang, Bahorok, Sumatera Utara,
kejadian bencana alam tanah longsor terjadi di kaki Gunung Mandalawangi, Kabupaten
Garut, Jawa Barat, Cikalong wetang, Bandung, dan lain- lain. Di tahun 2004 di
Kabupaten Mojokerto, Situbondo Jawa Timur banjir disertai lumpur, ibu kota Jakarta
telah terjadi bencana alam berupa banjir diserati lumpur menggenangi beberapa
kecamatan, menimbukan kerugian milyaran rupiah.
Pada tanggal 27 Maret 2009 dini hari, wilayah Situ Gintung mengalami hujan deras yang
menyebabkan pihak keamanan memberikan peringatan bahaya banjir sekitar pukul
02.00. Namun demikian, tidak ada tindakan lanjut pengamanan hingga terjadi kebobolan
tanggul selebar 30 m dengan ketinggian 6 m pada sekitar pukul 04.00 WIB dan sekitar
2,1 juta meter kubik air melalui melanda pemukiman yang terletak di bawah tanggul.
Bencana ini mengakibatkan korban meninggal sedikitnya 99 orang. Bencana ini
menambah polemic terhadap kelalaian dalam pembangunan daerah. Awal pembentukan
situ (danau) ini adalah sebagai waduk yang berfungsi sebagai tempat penampungan air
hujan dan untuk perairan ladang pertanian di sekitarnya, dibuat antara tahun 1932-1933
dengan luas awal 31 ha. Semenjak tahun 1970-an kawasan pulau dan salah satu tepi
Situ Gintung dimanfaatkan sebagai tempat wisata alam dan perairan dimana terdapat
restoran,kolam renang,dan outbond.
Banjir Lumpur Panas Sidoarjo atau Lumpur Lapindo atau Lumpur Sidoarjo (Lusi)
adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas
di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak
tanggal 27 Mei 2006. Semburan lumpur panas selama beberapa bulan ini menyebabkan
tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di
sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Semua kejadian telah menimbulkan dampak ekonomi negatif yang telah
mencapai kerugian Trilyunan Rupiah, hal ini terjadi ditengah-tengah perjalanan rakyat
Indonesia membenahi perekonomiannya. Walaupun sebenarnya sangat sulit untuk
diprediksi tingkat kerugiannya secara gamblang dan menyeluruh karena dampak yang
ditimbulkan oleh fenomena alam itu tidak hanya terjadi pada aspek ekonomi sermata,
namun juga terhadap berbagai dimensi meluputi kerugian fisik, kerugian psikologis,
kesehatan, administrasi dan ekologis.
Semakin dalam kita pelajari masalah bencana alam di bumi kita, makin kita
sadari bahwa hal ini tak dapat terjadi secara terpisah. Masalah-masalah itu merupakan
masalah sistemik, artinya bahwa semuanya saling terkait dan tergantung satu sama
lainnya membentuk suatu sistem. Kelangkaan sumberdaya dan degradasi lingkungan
ditambah dengan pertambahan pesat populasi menimbulkan kerusakan komunitas-
komunitas lokal, membentuk ego sektoral, kekerasan etnis dan suku, yang sudah
menjadi ciri utama era krisis ekologis. Sebagai contoh, fenomena alam yang sudah
menjadi tradisi bagi masyarakat Jakarta (Pebruari lalu) ; bahwa banjir yang melanda
disebabkan oleh rusaknya kawasan Bopunjur, yang merupakan daerah tangkapan air
berdasarkan Keppres No. 114/1999 untuk (1) menjamin berlangsungnya konservasi
tanah dan air yang merupakan fungsi utama kawasan dan (2) menjamin tersedianya air
dan tanah, air permukaan dan penanggulangan banjir bagi Kawasan Bopunjur dan
daerah hilirnya.
Akhirnya, masalah-masalah ini harus dilihat sebagai aspek-aspek yang berbeda
dari sebuah krisis tunggal, yaitu terutama suatu ”krisis persepsi deep ekologis”. Krisis,
itu berasal dari fakta bahwa sebagian besar kita, dan khususnya lembaga-lembaga
sosial kita yang besar. Sebenarnya, sekarang ini kita berada pada permulaan sebuah
perubahan fundamental pandangan dunia dalam ilmu dan masyarakat. Namun
keinsyafan akan arti penting pemahaman konsep deep ekologis ini belum berkembang
pada sebagian besar pemimpin politik kita, birokrat, ekonom dan profesi lainnya.
Sehingga dengan ini diharapkan tumbuh kesadaran akan betapa pentingnya
mempertimbangkan aspek ekologis sebagai salah satu bagian yang tak terpisahkan
dalam pengambilan keputusan.
a. ”Deep ecology” sebagai komponen penting dalam pembangunan
Bukan hanya gagalnya para pemimpin kita melihat bagaimana persoalan-
persoalan yang berbeda saling berhubungan satu sama lain; mereka juga kurang
memperhatikan generasi-generasi masa depan. Perspektif ini sudah berjalan bertahun-
tahun lamanya yang pada dekade sekarang ini diharapkan dapat menanamkan
awareness pada umat manusia dan khususnya masyarakat Indonesia akan
pentingnya kelestarian sumberdaya alam. Setelah satu persatu gejolak alam yang
sudah tidak lagi berkompromi dengan lajunya pemenuhan kebutuhan manusia serta
keserakahannya. Beranjak dari fakta yang telah terjadi di era tahun 2000 perlu
pengkajian yang mendalam akan arti pentingnya deep ecologi untuk diimplementasikan
terhadap para birokrat, ekonom, politikus dan berbagai profesionalis lainnya untuk
melaksanakan evaluation setiap kegiatan yang telah dan yang akan dilakukan.
Mendorong pentingnya deep ekologi sebagai salah satu pertimbangan dan hal
perencanaan dan pengambilan kebijakan. Kebijakan yang menekankan pada aspek
deep ekologi harus mempertimbangkan lima pilar; (1) keanekaragaman (divercity), (2)
ketergantungan (interdependensi), (3) kegunaan (uttility), (4) Keberlanjutan
(sustanability) dan (5) Keharmonisan (harmony) (Emil S. 2004)
b. Pembangunan ekonomi bukan semata-mata ”Pertumbuhan produksi”
Dari sudut pandang sistemik, satu-satunya solusi adalah berkelanjutan
(sustainable). Konsep berkelanjutan ini merupakan konsep kunci dalam gerakan
ekologi dan hal ini perlu disadari bahwa ini adalah sangat penting. Lester Brown dari
Woeldwach Institute sudah memberikan sebuah definisi sederhana, jelas dan indah :
Sebuah masyarakat yang mampu mempertahankan kehidupan ialah yang mampu
memuaskan kebutuhan-kebutuhannya tanpa mengurangi prospek generasi-generasi
masa depan’. Singkatnya ini adalah tantangan yang sangat besar di zaman kita : untuk
menciptakan komunitas-komunitas yang mampu mempertahankan kehidupan yakni
lingkungan-lingkungan sosial dan kultural dimana kita dapat memuaskan kebutuhan
dan aspirasi kita tanpa mengurangi kesempatan bagi generasi-generasi masa depan.
Persoalan lingkungan hidup juga dapat terkait dengan masalah politik
pembangunan. Pendekatan pembangunan yang dipilih oleh sebuah rezim, juga
mempengaruhi sumberdaya langka. Perekonomian yang berorientasi pada
penumpukan surplus devisa ekspor demi mempertahankan nilai tukar kurs mata uang
yang amat mudah digerogoti inflasi domestik misalnya, seringkali harus ditebus dengan
pengorbanan berupa rusaknya hutan tropis. Pola pencariam solusi seperti itu dapat
diibaratkan sebagai upaya “menutupi ketidakbecusan dengan kelengahan”. Inflasi dan
depresiasi kurs sebetulnya lebih dipicu oleh kelengahan di dalam menjaga indikator-
indikator finansial, yang kemudian “dikoreksi” dengan pemborosan sumber daya yang
sungguh fatal. Dominansi aliran developmentalis yang menggunakan indikator-indikator
makro ekonomi sebagai petunjuk seberapa jauh perekonomian suatu negara dapat
tumbuh, menyebabkan terkesampingkannya prinsip pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development). Disisi lain, makna pembangunan itu sendiri telah
menyempit menjadi sekedar “pertumbuhan produksi”. Akibatnya, desain perencanaan
pertumbuhan ekonomi jarang memperhatikan aspek ekologis sebagai konsekuensi dari
setiap pemanfaatan sumberdaya langka dimuka bumi ini.
Sebagai alternatif, memang perlu dikaji secara lebih mendalam dan serius,
terhadap kepentingan-kepentingan non–ekologis yang cenderung “menunggangi”
agenda ekologis bisa menjadi suatu ancaman. Akan tetapi diharapkan, kolektivisme
dalam suatu kepentingan universal, yaitu mencegah kedatangan kerusakan lingkungan
yang sangat fatal, seyogianya dapat terwadahi dalam semangat dan latar belakang
yang universal pula. Betapa pun, bumi ini milik bersama yang kelestariannya juga
menjadi tanggung jawab kita bersama. Untuk itu perlu dibangun sebuah model dimensi
akhlak dalam sistem pembangunan yang berasaskan deep ekology untuk membangun
awareness policy maker dalam perncanaan pembangunan.
c. Membangun kesadaran pelaku pembangunan
Pembangunan harus dapat dipahami sebagai proses multidimensi yang
mencakup perubahan orientasi diberbagai bidang antara lain ; organisasi sosial,
ekonomi, politik dan kebudayaan. Hal ini berarti bahwa pembangunan memerlukan
multi disiplin ilmu. Selanjutnya tujuan akhir dari pembangunan ialah memperbaiki
keadaan yaitu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan manusia, sehingga dapat
dikatakan sebagai perbuatan kebaikan. Pembangunan yang yang berorientasi pada
perspectif deep ekology selain dapat meningkatkan kualitas hidup manusia dalam arti
luas, yang berarti kebutuhan manusia yang berkecukupan untuk jangka waktu
sekarang dan memberikan peluang pemenuhan kebutahan generasi yang akan
datang. Untuk itu diperlukan kesadaran stakeholder dalam menjalankan proses
multidimensi pembangunan yang mendukung kaidah-kaidah kehidupan berkelanjutan
antara lain;
1. Menghormati dan memelihara life community
Kaidah ini mencerminkan dalam setiap kebijakan yang diambil berkewajiban
untuk peduli kepada orang lain dan kepada bentuk-bentuk kehidupan lain,
sekarang dan masa yang akan datang. Kaidah ini mengandung arti bahwa
pembangunan tidak boleh mengorbankan kelompok lain atau generasi kemudian.
Kita harus membagi dengan adil baik manfaat maupun biaya sumberdaya yang
digunakan (valuating economic) serta biaya pelestarian lingkungan di antara
masyarakat-masyarakat yang berbeda dan kelompok-kelompok yang
bersangkutan, diantara mereka yang miskin dan yang kaya, serta diantara generasi
kita dan generasi yang akan datang (Bunasor, 2003).
2. Memperbaiki kualitas hidup manusia
Fokus pembangunan yang sesungguhnya adalah manusia. Ini sebuah proses
yang memungkinkan manusia menyadari potensi mereka, membangun rasa
percaya diri mereka, dan masuk ke kehidupan yang bermanfaat dan
berkecukupan. Economic policy merupakan komponen penting dalam
pembangunan, tetapi pembangunan ekonomi tidak boleh dijadikan sasarannya
sendiri, atau dibiarkan tanpa batas. Karena jika dibiarkan berkembang tanpa batas
tidak akan mempertahankan ketersediaan sumberdaya yang diperlukan untuk
pencapaian standar hidup yang layak.
3. Melestarikan life support dan biodevercity
Melestarikan sistem-sitem penunjang kehidupan. Yang dimaksud adalah
proses-proses ekologi yang menjaga agar planet ini cocok untuk kehidupan.
Sistem-sistem ini mengatur iklim, membersihkan udara-udara serta air,
mengatur aliran air, mendaur ulang unsur-unsur esensial, menciptakan dan
mengenerasi tanah dan memungkinkan ekosistem memperbaharui diri.
Melestarikan keragaman hayati. Ini meliputi tidak saja spesies tumbuhan,
hewan dan organisme lainnya, tetapi juga seluruh cadangan genetik dalam
setiap spesies dan keragaman ekosistem.
Menjamin agar penggunaan sumber-sumberdaya yang dapat diperbaharui
berkelanjutan. Sumber-sumberdaya yang dapat diperbaharui mencakup tanah,
organisme liar dan peliharaan, hutan, padang penggembalaan, sawah dan
ladang, serta laut dan ekosistem air tawar.
4. Menghindari sumber-sumber yang unrenewable
Unrenewable recource seperti minyak bumi, mineral, gas dan batu bara tidak dapat
dipergunakan secara berkelanjutan. Tetapi umur mereka dapat diperpanjang
dengan cara recycling, thrift, atau gaya pembuatan suatu produk pengganti bahan-
bahan tersebut.
5. Berusaha tidak melampaui kapasitas daya dukung bumi
Carrying capacity bumi mempunyai batas-batas tertentu. Hal ini mempunyai
arti bahwa sampai tingkat tertentu ekosistem bumi dan biosfer masih mampu
bertahan terhadap gangguan atau beban tanpa mengalami kerusakan yang
membahayakan. Batas-batas ini bervariasi antara daerah yang satu dengan yang
lainnya.
6. Mengubah sikap dan gaya hidup orang perorang
Guna menerapkan new ethics untuk hidup berkelanjutan, kebijakan yang
diambil harus mencerminkan tat nilai masyarakat dan merubah sikap mereka.
Masyarakat harus memperkenalkan nilai0nilai yang mendukung new ethics ddan
meninggalkan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan flsafah hidup berkelanjutan.
7. Mendukung kreatifitas masyarakat untuk memelihara lingkungannya sendiri
Masyarakat di daerah memiliki kebiasaan yang terakumilasi dalam hukum adat
(hak ulayat) yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kelestarian
lingkungannyan sendiri. Untuk itu kebijakan pemerintah harus dapat menghormati
dan memelihara budaya lokal serta dapat berperan aktif dalam penciptaan
kehidupan berkelanjutan yang mantap.
8. Penyediaan kerangka kerja nasional untuk memadukan upaya pembangunan
pelestarian
Diperlukan suatu program nasional untuk menciptakan kehidupan yang
berkelanjutan. Dengan demikian, harus melibatkan berbagai kepentingan, dan
permasalahan yang bisa terjadi akibat perbenturan kepentingan harus dapat
diketahui dan dicegah sebelum timbul.
Upaya-upaya yang bersifat nasional tersebut harus :
Memperlakukan setiap daerah sebagai suatu sistem yang terpadu dan
memperhitungkan adanya interaksi-interaksi antara kegiatan manusia dengan
udara, air serta organisme lain
Menyadari bahwa tiap sistem mempengaruhi dan dipengaruhi baik oleh sistem-
sistem yang lebih besar maupun lebih kecil dari segi ekologi, ekonomi, sosial
dan politik
Memandang manusia sebagai individu maupun kelompok/golongan sebagai
unsur sentral dalam sistem danmengevaluasi faktor-faktor sosial, ekonomi,
teknik dan politik yang berpengaruh terhadap bagaimana mereka menggunakan
sumber-sumberdaya alam
Mengaitkan kebijakan ekonomi dengan kapasitas environmental carrying
capacity
Meningkatkan manfaat yang dapat diperoleh dari tiap sumberdaya secara lebih
efisien
Menjamin agar para pengguna sumberdaya mengganti sepenuhnya biaya atau
pengorbanan orang lain (sicial cost) atas manfaat yang mereka nikmati
9. Law enforcement
Alam dan segala isinya adalah karunia dan amanah tuhan, semuanya
memberikan manfaat kepada manusia, pemanfaatan secara lestari merupakan
kewajiban kita untuk kemakmuran generasi sekarang dan generasi yang akan
datang. Disisi lain manusia mempunyai kebutuhan dan keinginan yang tidak terbas
dan sangatlah manusiawi jika manusia berupaya memenuhi kebutuhannya itu
dengan segala cara dan kelestarian menjadi urutan pertimbangan yang nyaris tidak
diperhitungkan.
Untuk membatasi sikap dan prilaku yang dapat menimbulkan fenomena negatif
terhadap kelestarian alam manusia dituntut untuk memiliki dan menggunakan
”etika” sehingga manusia dapat memberikan respon terhadap apa yang perlu dipilih
dan tindakan apa yang perlu diambil pada situasi tertentu, etika yang ideal ini
melahirkan norma-norma hukum ditengah masyarakat yang memberikan sanksi
tegas terhadap siapa saja yang melanggarnya.
Pertanyaan timbul setelah bencana melanda, alam menunjukkan sikap tidak
bersahabat, dan ternyata bencana itu timbul dan disebabkan oleh ulah tangan
manusia sendiri. Lantas mengapa sebahagian kecil manusia Indonesia dapat
leluasa merusak kelestarian alam, tidak adakah norma hukum yang membatasi
mereka . Ada dua permasalahan penting tentang kepincangan hukum di Indonesia,
disamping permasalahan yang lain :
1. Materi hukum.
Prosedur lahirnya hukum dan perundang-undangan di Indonesia dinilai
kurang profesional dan sangat sederhana, sehingga banyak permasalahan
aktual yang tidak dimuat, bahkan terkesan sengaja tidak dimuat, sehingga pada
gilirannya terjadi bencana yang disebabkan oleh manusia, maka barulah
difikirkan aturannya, karena belum ada Undang-undang yang mengaturnya,
Peraturan perundang-undangan dapat saja direfisi dalam beberapa hari, tetapi
alam lingkungan yang rusak memakan waktu panjang untuk utuh kembali, atau
bahkan tidak akan pernah sama sekali. Beberapa hal yang direkomendasikan :
Human resorce yang diberikan amanah dan kewenangan dalam
menyusun materi aturan perundang-undangan yang mengatur
pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan haruslah mereka yang
mempunyai kreteria mengerti dan memahami konsep keilmuan
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Mengenyampingkan pengaruh politik untuk kepentingan golongan
tertentu dalam tendensi pembuatan materi peraturan perundang-
undangan yang mengatur pemanfaatan sumberdaya alam dan
lingkungan.
2. Aparat penegak hukum.
Keberhasilan penegakan Hukum dan perundang-undangan ditengah
masyarakat sangat ditentukan oleh ketegasan dan kemurnian sikap para
penegak hukumnya. Peraturan perundang-undangan hendaklah berlaku secara
universal tanpa pengecualian dan tanpa adanya tendensi-tendensi kepentingan
didalamnya.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan sebagai upaya
mencegah terjadinya peningkatan bencana alam di Indonesia maka salah satu langkah
yang harus dipertimbangan dalam pengambilan keputusan perencanaan
pembangunan adalah melalui implementasi lima pilar “deep ecology” , Sebagai factor
yang dominan realisasi diperlukan kesadaran seluruh stake holder dalam pengambilan
keputusan. Pembangunan harus dapat dipahami sebagai proses multidimensi yang
mencakup perubahan orientasi diberbagai bidang antara lain ; organisasi sosial,
ekonomi, politik dan kebudayaan.
Sebuah masyarakat yang mampu mempertahankan kehidupan ialah yang
mampu memuaskan kebutuhan-kebutuhannya tanpa mengurangi prospek generasi-
generasi masa depan.
Di lain pihak harus ditunjang upaya penegakan hukum dan perundang-
undangan sangat ditentukan oleh ketegasan dan kemurnian sikap penegak hukumnya,
yang secara universal tanpa pengecualian dan adanya tendensi-tendensi kepentingan
di dalamnya.
Saran
1. Perlunya peningkatan dan perbaikan perundang-undangan di Indonesia yang
dinilai kurang profesional dan sangat sederhana, sehingga banyak
permasalahan aktual yang tidak dimuat, bahkan terkesan sengaja tidak dimuat.
2. Menganalisis akibat dari dampak pembangunan terhadap lingkungan dan dapat
mengakibatkan perubahan ekosistem.
3. Perlunya peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat melalui
sosialisasi langsung maupun tidak langsung (media).
4. Kerugian-kerugian dan perubahan-perubahan terhadap lingkungan perlu
diperhitungkan, dengan keuntungan yang diperkirakan akan diperoleh dari
suatu proyek pembangunan.
Daftar Pustaka
Darmono, 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Universitas Indonesia-Press. Jakarta.
Emil Salim, 2004. Membangun Indonesia 2005-2020. Makalah Kapita Selekta Masalah Lingkungan Hidup, IPB. Bogor. 11 Pebruari 2004
Kartasasmita.G., 1996. Pembangunan Untuk Rakyat (Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan), CIDES. Jakarta
Soemarwoto, 1997. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan. Bandung.
Supardi, 1994. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Penerbit Alumni.Bandung.
www.rnw.nl/ranesi/html/korban_bencana_alam .html
www.kompas.com/kompas-cetak/0312/18/daerah/721796.htm
LAMPIRAN:
1. Bencana jebolnya bendungan situgintung
Sebelum terjadi bencana
Setelah kejadian bencana
2. Bencana Lumpur Lapindo
Recommended