10
Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 1 Pelurusan Tafsir Tentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam Upaya Mewujudkan Pembangunan Bangsa yang Berkualitas “Pembangunan Nasional harus berwawasan kesehatan, yaitu setiap kebijakan publik selalu memperhatikan dampaknya terhadap kesehatan”. UU No. 1 / 2007 tentang (RPJP) di poin IV.1.2 angka 4 I. Pendahuluan 1. FCTC sebagai Traktat Internasional Bidang Kesehatan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau adalah perjanjian internasional kesehatanmasyarakat pertama sebagai hasil negosiasi dari 192 negara anggota Organisasi Kesehatan Sedunia WHO. FCTC merupakan dokumen berbasis bukti ilmiah untuk menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan derajat kesehatan setinggitingginya. FCTC merupakan produk hukum internasional yang bersifat mengikat (internationally legally binding instrument) bagi negara negara yang meratifikasinya. Tujuan FCTC dan protokolnya adalah untuk melindungi generasi muda bangsa di masa kini dan masa mendatang dari dampak konsumsi tembakau dan paparan asap rokok, baik di bidang kesehatan, sosial, ekonomi dan lingkungan, melalui sebuah kerangka kerja (framework) pengendalian tembakau yang akan dilaksanakan oleh negara para pihak di tingkat nasional, regional dan internasional, dalam rangka menurunkan prevalensi konsumsi tembakau dan paparan asap rokok secara berkesinambungan. Dalam United Nations Summit on NonCommunicable Diseases (NCDs), New York, 1920 September 2011, segenap Kepala Pemerintahan sepakat untuk mengingatkan terhadap ancaman peningkatan empat penyakit tidak menular utama, yakni (i) penyakit cardio vasculer atau stroke yang menyebabkan 37% kematian, (ii) kanker yan merupakan 27% penyebab kematian, (iii) gangguan pernafasan dan pencernaan khronis yang merupakan 30% penyebab kematian, dan (iv) diabetes yang merupakan 4% penyebab kematian, dengan empat penyebab utama, yakni (i) konsumsi alkohol, (ii) konsumsi tembakau , (iii) diet yang tidak sehat dan (iv) kekurangan aktivitas fisik.(United Nations, 2012) 2. Ratifikasi / Aksesi dan implikasinya Walau delegasi Indonesia berperan sangat aktif dalam persiapan traktat internasional bidang kesehatan, Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), termasuk keterlibatannya dalam beberapa pertemuan International Negotiating Body (INB). Namun ternyata sampai hari ini Pemerintah Indonesia merupakan salah satu dari sebagian kecil negara di dunia yang tidak bersedia menandatangani dan belum mengaksesi FCTC. Indonesia, bersamasama dengan negaranegara Zimbabwe, Malawi, Eritrea dan Somalia di Afrika, serta Lichtenstein, Monaco dan Andora di Eropa, adalah sekelompok kecil Lampiran 2

Pelurusan Tafsir Tentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam Upaya Mewujudkan Pembangunan Bangsa yang Berkualitas

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pelurusan Tafsir Tentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam Upaya Mewujudkan Pembangunan Bangsa yang Berkualitas

Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 1  

Pelurusan Tafsir Tentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)

dalam Upaya Mewujudkan Pembangunan Bangsa yang Berkualitas

“Pembangunan Nasional harus berwawasan kesehatan,

yaitu setiap kebijakan publik selalu memperhatikan dampaknya terhadap kesehatan”. UU No. 1 / 2007 tentang (RPJP) di poin IV.1.2 angka 4  

 

I. Pendahuluan

1. FCTC sebagai Traktat Internasional Bidang Kesehatan

  Framework   Convention   on   Tobacco   Control   (FCTC)   atau   Konvensi   Kerangka   Kerja  Pengendalian   Tembakau   adalah   perjanjian   internasional   kesehatan-­‐masyarakat   pertama  sebagai  hasil   negosiasi  dari   192  negara  anggota  Organisasi   Kesehatan  Sedunia  WHO.  FCTC  merupakan  dokumen  berbasis   bukti   ilmiah  untuk  menegaskan  bahwa   setiap  orang  berhak  mendapatkan   derajat   kesehatan   setinggi-­‐tingginya.   FCTC   merupakan   produk   hukum  internasional  yang  bersifat  mengikat  (internationally  legally  binding  instrument)  bagi  negara-­‐negara  yang  meratifikasinya.    

  Tujuan   FCTC   dan   protokolnya   adalah   untuk   melindungi   generasi   muda   bangsa   di  masa  kini  dan  masa  mendatang  dari  dampak  konsumsi  tembakau  dan  paparan  asap  rokok,  baik   di   bidang   kesehatan,   sosial,   ekonomi  dan     lingkungan,  melalui   sebuah   kerangka   kerja  (framework)   pengendalian   tembakau   yang   akan   dilaksanakan   oleh   negara   para   pihak   di  tingkat  nasional,  regional  dan  internasional,  dalam  rangka  menurunkan  prevalensi  konsumsi  tembakau  dan  paparan  asap  rokok  secara  berkesinambungan.    

  Dalam   United   Nations   Summit   on   Non-­‐Communicable   Diseases   (NCDs),   New   York,  19-­‐20   September   2011,   segenap   Kepala   Pemerintahan   sepakat   untuk   mengingatkan  terhadap   ancaman   peningkatan   empat   penyakit   tidak   menular   utama,   yakni   (i)   penyakit  cardio   vasculer   atau   stroke   yang  menyebabkan   37%   kematian,   (ii)   kanker   yan  merupakan  27%   penyebab   kematian,   (iii)   gangguan   pernafasan   dan   pencernaan   khronis   yang  merupakan   30%   penyebab   kematian,   dan   (iv)   diabetes   yang   merupakan   4%   penyebab  kematian,   dengan   empat   penyebab   utama,   yakni   (i)   konsumsi   alkohol,   (ii)   konsumsi  tembakau,   (iii)   diet   yang   tidak   sehat   dan   (iv)   kekurangan   aktivitas   fisik.(United   Nations,  2012)      2. Ratifikasi / Aksesi dan implikasinya

  Walau  delegasi  Indonesia  berperan  sangat  aktif  dalam  persiapan  traktat  internasional  bidang   kesehatan,   Framework   Convention   on   Tobacco   Control   (FCTC),   termasuk  keterlibatannya   dalam   beberapa   pertemuan   International   Negotiating   Body   (INB).   Namun  ternyata   sampai   hari   ini   Pemerintah   Indonesia   merupakan   salah   satu   dari   sebagian   kecil  negara  di  dunia  yang  tidak  bersedia  menandatangani  dan  belum  mengaksesi  FCTC.    

  Indonesia,   bersama-­‐sama   dengan   negara-­‐negara   Zimbabwe,   Malawi,   Eritrea   dan  Somalia  di  Afrika,  serta  Lichtenstein,  Monaco  dan  Andora  di  Eropa,  adalah  sekelompok  kecil  

Lampiran  2  

Page 2: Pelurusan Tafsir Tentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam Upaya Mewujudkan Pembangunan Bangsa yang Berkualitas

Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 2  

negara   yang   tidak   menandatangani   dan   belum   mengaksesi   FCTC.   Indonesia   adalah   satu-­‐satunya  anggota  ASEAN,   juga  satu-­‐satunya  anggota  Organisasi  Konperensi   Islam  (OKI)  yang  belum   menandatangani   /   mengaksesinya,   walaupun   secara   bersama-­‐sama,   baik   ASEAN  maupun  OKI  telah  lama  memberikan  dukungan  dan  komitmen  nya  dalam  mendukung  FCTC.  Negara-­‐negara  penghasil  tembakau  terbesar  dunia  seperti  Tiongkok  dan  India,  bahkan  sudah  meratifikasi,   tanpa   menimbulkan   gejolak   dalam   kehidupan   petani   dan   pekerja   industri  tembakau,  maupun  dalam  perdagangan  tembakau  internasional  mereka.    

  Akibatnya   Indonesia   tdak   menjadi   anggota   Conference   of   the   Parties   (COP)   dari  traktat   internasional   tersebut,   sehingga   Indonesia   tidak   memiliki   wakil   dan   tidak   dapat  berperan  dalam  berbagai  pengambilan  keputusan  yang  diambil  oleh  Parties  tersebut,  dalam  kaitan   dengan   pengendalian   dan   perdagangan   tembakau   internasional.   Hal   ini   sangat  merugikan  secara  substanstif  strategis  maupun  secara  politis,  karena  negara    demokratis  ke  empat  terbesar  di  dunia  ini,  tidak  terwakili  dalam  COP  tsb.  Bilamana    hadir,  Indonesia  hanya  berstatus  sebagai  peninjau,  yang  tak  berhak  memasang  bendera  R.I.,  tak  berhak  bicara,  dan  harus  duduk  di  belakang  Timor  Leste,  Vietnam  atau  Kamboja.  

 

3. Tanggung Jawab Konstitusional Negara

  Pada   hakikatnya   tanggung   jawab   Negara   dalam   melindungi   segenap   warga  Negaranya   terhadap  berbagai  bentuk  ancaman,   termasuk  perlindungan   terhadap  ancaman  bahaya   produk   tembakau,   adalah   merupakan   amanat   konstitusi.   Sementara   ancaman  bahaya   asap   rokok   terhadap   kesehatan   manusia   dan   lingkungannya,   kini   semakin   luas  disadari.    

  Bahkan  beberapa   studi   SUSENAS   yang  dilaksanakan  Biro   Pusat   Statistik   (BPS),   yang  menempatkan   belanja   untuk   rokok   pada   keluarga   miskin   menempati   nomor   urut   ke   dua  setelah  pembelian  beras,  memperkuat  hubungan  antara  konsumsi  rokok  dengan  hambatan  dalam     peningkatan   pendidikan,   kesehatan   masyarakat   dan   upaya   penanggulangan  kemiskinan.   Tanggung   jawab   Negara   dalam   melindungi   rakyatnya,   harus   dimaknai   secara  umum  dan   luas,   baik   dalam  perlindungan  di   bidang   kesehatan,  maupun  perlindungan  dan  keadilan  bagi     petani   tembakau  maupun  pekerja   industri,   tanpa  harus  mempertentangkan  kepentingan  kesehatan  dan  kepentingan  petani  dan  pekerja  industri  tembakau.    

 

4. Payung kebijakan

  Pendekatan   pengendalian   konsumsi   Tembakau   (demand   reduction)   dan  pengendalian   pasokan   produk   Tembakau   (supply   reduction)   dalam   FCTC   tentu   tidak  bermaksud  mempertentangkan  antara  antara  kepentingan  sektor  kesehatan  dengan  sektor  industri.  Justru  tugas  kostitusional  Negara  dan  Pemerintah  untuk  melaksanakan  harmonisasi,  agar  kesehatan  masyarakat  terlindungi,  tanpa  hatus  mengorbankan  kepentingan  petani  dan  pekerja  industri  tembakau.  

Indonesia adalah satu-satunya anggota ASEAN, juga satu-satunya anggota Organisasi Konperensi Islam (OKI) yang belum menandatangani / mengaksesi FCTC.  

Page 3: Pelurusan Tafsir Tentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam Upaya Mewujudkan Pembangunan Bangsa yang Berkualitas

Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 3  

  Kalau   pemerintah   Tiongkok,   Brazil   dan   India   yang   masing-­‐masing   merupakan  penghasil   dari   42,25%,   10,98%   dan   10,62%   tembakau   dunia,   dibanding   Indonesia   sebagai  penghasil   1,91%,   telah  meratifikasi   FCTC  dan  berhasil  menyeimbangkan   antara   supply  dan  demand   tembakau   di   negara   mereka   masing-­‐masing,   bahkan   berhasil   meningkatkan  tataniaga   tembakau   mereka   dipasar   global,   diharapkan  Negara   dan   Pemerintah   Indonesia   juga   sanggup  mengembangkan   kebijakan   payung   yang   mengayomi  kedua   kepentingan   yang   berbeda   namun   sama-­‐sama  menuju  kepada  terwujudnya  harkat  dan  martabat  bangsa  tersebut.    

   

II. Pendekatan holistik

  Pada   dasarnya   FCTC   merupakan   instrumen  pengaturan   holistik   komprehensif   dalam   pengendalian  tembakau  pada  level  global,  regional  dan  nasional.  Inisiatif  penyusunan   FCTC   atau   “Konvensi   Kerangka   Kerja  Pengendalian   Tembakau”   berasal   dari   negara-­‐negara  berkembang   termasuk   Indonesia,   Thailand   dan   India  karena   terjadinya   peningkatan   prevalensi   perokok   dan  meningkatnya   perdagangan   ilegal   daun   dan   produk  tembakau.  

  “Konvensi   Kerangka   Kerja   Pengendalian  Tembakau”   adalah   perjanjian   internasional   kesehatan-­‐masyarakat   pertama   sebagai   hasil   negosiasi   192   negara  anggota   Organisasi   Kesehatan   Sedunia   WHO.   FCTC  merupakan   dokumen   berbasis   bukti   ilmiah   untuk  menegaskan  bahwa  setiap  orang  berhak  mendapatkan  derajat  kesehatan  setinggi-­‐tingginya.  

  Delegasi   Indonesia   yang   terdiri  dari   lintas   sektor   seperti  Badan  POM,  Kemenkes  RI,  Kemnaker,  Kemenperin,  Dirjen  Bea  Cukai  Kemenkeu,  Kemenlu  dan  wakil  asosiasi  profesi  dan  LSM,   mengikuti   dan   terlibat   aktif   pembahasan     dan   negoisasi   FCTC   sejak   1995   –   2003.  Sehingga  Indonesia  sebenarnya  salah  satu  negara  yang  membidani  FCTC.    

  FCTC  terdiri  dari  11  Bab  dan  38  Pasal.  Secara  umum,  pasal-­‐pasal  dalam  FCTC  dapat  dikelompokkan  menjadi  dua  kelompok  kebijakan  yang  bersifat  holistik,  komprehensif   serta  saling  mendukung  satu  dengan  yang  lain.    

Pertama,   pasal-­‐pasal   pengendalian   permintaan   konsumsi   tembakau   (demand   reduction)  yang  terdiri  atas:  

1. Paparan  Asap  Rokok  Orang  Lain  (Pasal  8)  2. Iklan  Promosi  dan  Sponsor  Rokok  (Pasal  13)  3. Harga  dan  Cukai  (Pasal  6)  4. Kemasan  dan  Pelabelan  (Pasal  11)  5. Kandungan  Produk  Tembakau  dan  Pencantuman  Produk  Tembakau  (Pasal  9  dan  

10)  6. Edukasi,  Komunikasi,  Pelatihan  dan  Kesadaran  Publik  (Pasal  12)  7. Program  Mengatasi  Ketergantungan  dan  Berhenti  Merokok  (Pasal  14)    

 

Delegasi Indonesia yang terdiri dari Badan POM, Kemenkes RI, Kemnaker, Kemenperin, Dirjen Bea

Cukai Kemenkeu, Kemenlu dan wakil asosiasi profesi dan LSM, mengikuti dan

terlibat aktif pembahasan dan negoisasi FCTC sejak 1995 – 2003. Sehingga

Indonesia sebenarnya salah satu negara yang membidani

FCTC.  

Page 4: Pelurusan Tafsir Tentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam Upaya Mewujudkan Pembangunan Bangsa yang Berkualitas

Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 4  

Kedua  pasal-­‐pasal  pengendalian  pasokan  tembakau  (supply  reduction)  yang  terdiri  atas    

1. Perdagangan  iIlegal  Produk  Tembakau  (Pasal  15)  2. Penjualan  pada  Anak  di  Bawah  Umur  (Pasal  16)  3. Penyediaan  dukungan  untuk  kegiatan  alternatif  (pasal  17)  

 

Dari  pendekatan  partial  ke  holistik    

  Negara,   pemerintah   dan   masyarakat   seharusnya   dapat   memandang   pendekatan  supply  dan  demand  reduction  tersebut  secara  holistik,  sebagai  bagian  dari  perlindungan  dan  pemenuhan  hak-­‐hak  segenap  warga  negara,  dan  tidak  mempertentangkan  antar  keduanya.  Perlindungan   terhadap   hak   atas   kesehatan  masyarakat,   seharusnya   tidak   dipertentangkan  dengan  kepentingan  petani  dan  pekerja   industri,  karena  sebagai  sesama  bagian  dari  warga  negara  dan  masyarakat  Indonesia,    semuanya  memiliki  dasar  legal  yuridis  untuk  memperoleh  hak-­‐haknya.  

  UUD  45  pasal  28  ayat  1  menjamin  setiap  warga  negara  untuk  “hidup  sejahtera  lahir  dan   bathin,   bertempat   tinggal   dan   mendapatkan   lingkungan   hidup   yang   baik   dan   sehat  serta  berhak  memperoleh  pelayanan  kesehatan”.    

  Sementara   UU   No.   1   Tahun   2007   tentang   Rencana   Pembangunan   Jangka   Panjang  (RPJP)  di  poin  IV.1.2  angka  4  tentang  Mewujudkan  Bangsa  Yang  Berdaya  Saing  menegaskan,  bahwa  “Pembangunan  Nasional  harus  berwawasan  kesehatan,  yaitu  setiap  kebijakan  publik  selalu  memperhatikan  dampaknya  terhadap  kesehatan”.  

  Sedang   UU   No.   19   Tahun   2013   tentang   Perlindungan   dan   Pemberdayaan   Petani,    memberikan   pedoman   bagi   perlindungan   dan   pemberdayaan   petani,   termasuk   petani  tembakau,   yang   sebagian   besar   masih   masuk   katagori   warga   masyarakat   yang  termarginalkan  di  negara  agraris  ini.    

   

III. Beberapa tafsir utama dan relevansinya dengan Perundang-Undangan

Adapun   beberapa   kandungan   dalam   pasal-­‐pasal   dalam   FCTC   yang   selama   ini   selalu  diperdebatkan  terutama  meliputi  pengaturan  –pengaturan  tentang  :  

1. Pengaturan kandungan rokok dan larangan bau aromatik / standarisasi bahan baku: Pengaturan   ini   yang   ditafsirkan   berpotensi   mematikan   industri   rokok   kretek.  Sesungguhnya   aturan   ini   secara   substantif   bernuansa  melindungi   konsumen/Generasi  muda/pihak-­‐pihak  dari  akibat  kandungan  nikotin  dalam  rokok.    Secara  juridis  Negara  dibenarkan  untuk  melakukan  pengaturan  seperti  ini  dengan  tetap  menyesuaikan  dengan  hukum  Negara  masing-­‐masing.  

Tiongkok, Brazil dan India yang masing-masing merupakan penghasil dari 42,25%, 10,98% dan 10,62% tembakau dunia, dibanding Indonesia sebagai penghasil 1,91%, telah meratifikasi FCTC dan berhasil menyeimbangkan antara

supply dan demand tembakau di negara mereka masing-masing  

Page 5: Pelurusan Tafsir Tentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam Upaya Mewujudkan Pembangunan Bangsa yang Berkualitas

Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 5  

2. Pengaturan Tentang diversifikasi / alih tanam usaha tani. Diversifikasi/alih  tanam  dalam  budi  daya  tanaman  tembakau  sesungguhnya  merupakan  alternatif  terakhir  dari  upaya  perlindungan  petani  tembakau.  Apalagi  bila  diingat  bahwa  

tembakau   adalah   tanaman   semusim   yang   sangat   memungkinkan   dilaksanakannya  diversifikasi  atau  tumpang  sari  dalam  budi-­‐dayanya.  Sesungguhnya   perlindungan   dan   pemberdayaan   petani   tembakau   merupakan   bagian  dari   perlindungan   dan   pemberdayaan   petani   yang   diatur   oleh   UU   no.   19   tahun   2013  tentang   Perlindungan   dan   Pemberdayaan   Petani,   Alih   tanam   hanya   salah   satu  alternative   disamping   pengembangan   usaha   tani   dan   diversifikasi   hasil   produksi  pertanian.  

3. Tarif Cukai yang tinggi. Ditafsirkan   akan   mematikan   pabrikan   menengah   ke   bawah.   Padahal   sesungguhnya  peningkatan   cukai   ditujukan   untuk   menaikkan   harga   rokok,   melindungi   warga   tidak  mampu  dan  anak-­‐anak  dari  konsumsi  rokok.  Sementara   peningkatan   cukai,   terlebih   bilamana   kebijakan   ini   diiringi   dengan  pengendalian   import   tembakau,   maka   justru   petani   akan   sangat   diuntungkan   dan  memiliki  posisi  tawar  lebih  tinggi  dalam  mata-­‐rantai  tata-­‐niaga  Tembakau.  

4. Pembatasan interaksi Lembaga Negara dengan industri rokok. Pembatasan   interaksi   Lembaga   Negara   dengan   industri   rokok   ini   dimaksudkan   untuk  melindungi   kepentingan  masyarakat   dalam   proses   perumusan   kebijakan   perlindungan  kesehatan  dari  akibat  rokok.  Lembaga   Negara   tetap   dipersilahkan   berinteraksi   dengan   industri   rokok   secara  proporsional   secara   terbuka   dan   transparan   dengan   mengutamakan   kepentingan  kesehatan  dan  kepentingan  masyarakat.      

5. Pengaturan tentang pelarangan CSR industri rokok. Pengaturan   ini   sangat   sejalan   dengan   pengaturan   CSR   secara   global,   dimana   semua  produk  mengandung  zat  adiktif,  dalam  hal  ini  termasuk  tembakau,  alkohol  serta  NAPZA,  tidak  dibenarkan  untuk  menyelenggarakan  program  CSR.  Hal   ini   dikhawatirkan   program   CSR   tersebut   akan   dimanfaatkan   untuk   menunjang  kepentingan   pemasaran   maupun   advertensi,   yang   secara   umum   tidak   dibenarkan  dilakukan  oleh  industri  zat  adiktif  tersebut.    

 

Sementara  itu  secara  garis  besar  FCTC  memberikan  beberapapengaturan  dasar  sbb:  

1. Perlindungan terhadap hak-hak rakyat

Konsumsi   produk   tembakau   di   Indonesia   yang   tinggi   dan   terus  meningkat   di   berbagai  kalangan   masyarakat   mengancam   kesehatan   dan   kualitas   sumber   daya   manusia  Indonesia.   Konsumsi   produk   tembakau   terbukti   sebagai   faktor   risiko   utama   penyakit  

Lebih dari 92 juta orang terpapar asap rokok yang sebagian besar diantaranya adalah anak-anak dan perempuan. Bahkan 11 juta

diantaranya adalah balita (usia 0 – 4 tahun (RISKESDAS 2010 l)

 

Page 6: Pelurusan Tafsir Tentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam Upaya Mewujudkan Pembangunan Bangsa yang Berkualitas

Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 6  

jantung  dan  pembuluh  darah  (hipertensi,  stroke,  serangan  jantung),  penyakit  paru-­‐paru,  kanker,  gangguan  sistem  reproduksi  (infertilitas,  lahir  prematur)  dan  kematian  bayi  yang  merupakan   60%   penyebab   kematian   di   dunia  maupun   di   Indonesia   (RISKESDAS   2007,  WHO  2008).    

Selain   itu  kebiasaan  merokok  juga  merugikan  orang-­‐orang  di  sekitar  perokok.  Menurut  RISKESDAS   2010   lebih   dari   92   juta   orang   terpapar   asap   rokok   yang   sebagian   besar  diantaranya  adalah  anak-­‐anak  dan  perempuan.  Bahkan  11  juta  diantaranya  adalah  balita  (usia  0  –  4  tahun).  

Secara   ekonomi   perilaku  merokok  merusak   ekonomi   rumah   tangga   dan  menghambat  pengentasan   kemiskinan.   Ini   tergambar   dari   prevalensi   perokok   berdasarkan   tingkat  pendapatan   (35%   kelompok   termiskin,   32%   kelompok   terkaya)   (RISKESDAS,   2010).  Sedang   di   kalangan   remaja   15-­‐19   tahun   sebesar   38,4%   laki-­‐laki   dan   0,9%   perempuan  (RISKESDAS,  2010).  Data  Global  Youth  Tobacco  Survey  (GYTS)  2009,  menunjukkan  20,3%  anak  sekolah  13-­‐15  tahun  merokok.  Perokok  pemula  usia  10-­‐14  tahun  naik  2  kali   lipat  dalam  10   tahun   terakhir   dari   9,5%  pada   tahun   2001  menjadi   17,5%  pada   tahun   2010  (SKRT,  2001;  RISKESDAS,  2010).  

Data   SUSENAS   2011   menunjukan   pengeluaran   untuk   rokok   pada   keluarga   termiskin  lebih   besar   (12%)   dari   pada   keluarga   terkaya   (7%).   Rokok   merupakan   pengeluaran  rumah   tangga   kedua     terbesar   (11,91%)   setelah   beras   (18,03%)   pada   keluarga  miskin  yang  melampaui  pengeluaran  untuk  pendidikan  (1,88%),  dan  kesehatan  (2,02%).    

Tingginya   prevalensi   perokok   juga   akan   membebani   negara   yang   akan   memperluas  cakupan   Jaminan   Kesehatan   Nasional   (JKN)   (180   juta   penduduk   per   1   Januari   2014,  seluruh   penduduk   per   1   januari   2019).   Tingginya   prevalensi   perokok   akan   memicu  peningkatan   kesakitan  penyakit   terkait  merokok   yang  akan    menambah  beban  negara  dalam  melaksanakan  Sistem  Jaminan  Kesehatan  Nasional  (SJKN).    

Maka  kebijakan  yang  terkandung  dalam  FCTC  seperti  Kebijakan  Kawasan  Tanpa  Rokok,  Kenaikan   cukai   dan   harga   rokok,  Pelarangan   iklan,   sponsor   dan   promosi  merupakan   suatu   upaya   preventif   untuk  mengurangi   prevalensi   perokok   di  kalangan   penduduk.     Upaya-­‐upaya  tersebut  merupakan   bentuk   perlindungan  terhadap   hak-­‐hak   rakyat:   hak   atas  kesehatan   dan   merupakam   perlindungan  tehradap  hak  anak  dari  paparan  zat  adiktif.    

 

2. Perlindungan terhadap petani dan pekerja industri Tembakau

Agenda   pengendalian   dampak   produk   tembakau   yang   bertujuan   untuk   melindungi  masyarakat  dari  dampak  buruk  tembakau  di  bidang  kesehatan  dan  sosial  ekonomi,  tidak  dimaksudkan  untuk  memarginalkan  petani  dan  pekerja   industri.  Marginalisasi   tersebut  justru   terjadi   karena   kebijakan   dan   praktek   tata   niaga   produk   tembakau   yang   sangat  berpihak  kepada  industri.  

Petani  di  Indonesia,  termasuk  petani  tembakau  adalah  bagian  dari  paradoks  kehidupan  masyarakat   petani   Indonesia.   Di   saat   produksi   rokok  meningkat   tajam   dari   220  miliar  

20,3% anak sekolah 13-15 tahun adalah merokok. Perokok pemula usia 10-14 tahun

naik 2 kali lipat dalam 10 tahun terakhir dari 9,5% menjadi 17,5% pada tahun pada

tahun 2001-2010 (GYTS)  

Page 7: Pelurusan Tafsir Tentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam Upaya Mewujudkan Pembangunan Bangsa yang Berkualitas

Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 7  

batang  tahun  2005  menjadi  lebih  dari  300  miliar  batang  tahun  2011.  Produksi  Tembakau  Indonesia   mengalami   penurunan   dari   204   ribu   ton   tahun   2000   menjadi135   ribu   ton  tahun  2010.  Di  saat  yang  sama  import  tembakau  terus  meningkat  dari  34  ribu  ton  tahun  2000  menjadi  65  ribu  ton  tahun  2010.      

Permasalahan   yang   dihadapi   oleh   petani   tembakau   adalah   kondisi   musim   dan   cuaca  yang  tidak  menentu,  lemahnya  daya  tawar  petani  terhadap  tengkulak  dalam  tata  niaga  Tembakau   dan   dibukanya   keran   impor   daun   tembakau   sebesar-­‐besarnya   dari   luar  negeri.   Banyaknya   permasalahan   yang   dihadapi   petani   Tembakau   menjadikan  kesejahteraan  petani  Tembakau  dihantui  ketidakpastian.    

Disisi   lain   semakin   meningkatnya   kesadaran   masayarakat   akan   bahaya   merokok  menjadikan   industri   hasil   Tembakau   sebagai   Sunset   Industry.   Trend   ini   selayaknya  direspon   dengan  menyiapkan   langkah-­‐langkah   untuk  membantu   kesejahteraan   petani  dan  pekerja  di  sektor  industri  hasil  tembakau.    

FCTC   yang   bagi   oleh   industri   rokok   selalu   dipersepsikan   sebagai   traktat   yang   akan  merugikan   petani   dan   pekerja   industri   Tembakau,   justru   telah   sejak   jauh-­‐jauh   hari  memikirkan  kehidupan  petani  tembakau.    

Keberpihakan   FCTC   terhadap   petani   dan   pekerja   industri   Tembakau   tergambar   dari  pasal  15  dan  17  FCTC  yang  menyerukan  kepada  seluruh  negara  pihak  untuk  membantu  dan  memastikan  kesejahteraan  petani  dan  pekerja  indunstri  tembakau.  Lebih  jauh  FCTC  juga   mengembangkan   protokol   untuk   menanggulangi   peredaran   dan   penyelundupan  produk   dan   daun   tembakau   ilegal   yang   sangat   merugikan   petani   dan   pelaku   industri  tembakau.  

Terlebih  dalam  mata  rantai  tata-­‐niaga  tembakau,  petani  adaah  mata  rantai  yang  paling  lemah   dan   tidak   memiliki   posisi   tawar,   namun   selalu   dijadikan   bumper   oleh   industri  untuk  kepentingan  mengeruk  keuntungan  yang  setinggi-­‐tingginya.  

Substansi   FCTC   tersebut   kiranya   sesuai   dengan   amanat   Undang   Undang   No.19   Tahun  2013   tentang   Perlindungan   dan   Pemberdayaan   Petani   yang   apabila   benar-­‐benar  dilaksanakan   dapat   melindungi   dan   meningkatkan   kesejahteraan   petani   tembakau.  Sehingga  tak  ada  lagi  alasan  dan  upaya  untuk  mempertentangkan  antara  kebijaksanaan  dan  upaya  untuk  melindungi  masyarakat   luas  dari  dampak  produk  tembakau  di  bidang  kesehatan  dan  sosial  ekonomi  dengan  bidang-­‐bidang  pembangunan  lainnya.  

 

 

 

3. Pengendalian

Indonesia  adalah  negara  ke-­‐3  tertinggi  di  dunia  dalam  jumlah  perokok  sesudah  Cina  dan  India   (WHO,   2008).   Data   GATS   2011  menunjukkan   prevalensi  merokok   orang   dewasa  Indonesia  sebesar  34,8%  terbagi  atas  67,4%  laki-­‐laki,  dan  4,5%  perempuan  (GATS,  2011).    

Rokok merupakan pengeluaran rumah tangga kedua terbesar (11,91%) setelah beras (18,03%) pada keluarga miskin yang melampaui pengeluaran untuk pendidikan (1,88%), dan kesehatan (2,02%)

(SUSENAS 2011)  

Page 8: Pelurusan Tafsir Tentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam Upaya Mewujudkan Pembangunan Bangsa yang Berkualitas

Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 8  

Tingginya  prevalensi   juga   seiring   dengan  meroketnya  pertambahan   konsumsi   rokok  di  indonesia.   Setiap   tahun   rata-­‐rata   pertambagahan   konsumsi   rokok   sudah  mencapai   30  miliar  batang.  Pada  tahun  2014  diperkirakan  konsumsi  rokok  di  Indonesia  mencapai  360  milliar  batang.  

Ada   beberapa   faktor   yang   mendorong   hal   ini   terjadi,   diantaranya   adalah   kebebasan  promosi  dan  konsumsi  serta  harga  yang  masih  sangat  murah.  Berdasarkan  survei  GYTS  2009,   sekitar   90%   anak   usia   13-­‐15   tahun  melihat   iklan   rokok   di   televisi,   89%  melihat  iklan  rokok  di  billboard,  dan  76,6%  melihat  iklan  rokok  di  media  cetak.    

Berbagai  studi  menunjukkan   iklan  rokok  berpengaruh  pada  anak  untuk  mulai  merokok  dan  meningkatkan   konsumsi   rokok   (UHAMKA,   2009;   Kosen,   2012).   Harga   rokok   yang  masih   berkisar   antara   Rp   300   –   Rp   1000   per   batang   juga   membuat   keterjangkauan  kelompok  miskin  dan  anak-­‐anak  terhadap  rokok  masih  sangat  tinggi.    

Beberapa   instrumen   pengendalian  tembakau   seperti   pelarangan   total  terhadap   iklan,   sponsor   dan  promosi,   layanan   berhenti  merokok,   peringatan   kesehatan  bergambar   serta   kenaikan   pajak  dan   harga   rokok   terbukti   efektif  untuk   mengendalikan   konsumsi  rokok.  Beberapa  instrumen  tersebut  selaiknya   dilaksanakan   secara  serentak   dalam   satu   paket   untuk  mengendalikan  konsumsi  rokok.  

IV. Relevansi dengan Per-undang-undangan

  Undang-­‐Undang  Dasar  Negara  Kesatuan  Republik   Indonesia  Tahun  1945  pasal  28  H  ayat   1   menyebutkan,   bahwa   “Negara   menjamin   hak   warganya   terhadap   pelayanan  kesehatan   untuk   meningkatkan   derajat   kesehatan   masyarakat   yang   setinggi-­‐tingginya  tanpa  membedakan  suku,  golongan,  agama,  jenis  kelamin,  dan  status  sosial  ekonomi.  Setiap  anak  dan  perempuan  berhak  atas  perlindungan  dari  kekerasan  dan  diskriminasi.  

  Hak  untuk  Hidup  Sehat  atau  the  Right  to  Health  sebagaimana  dijamin  oleh  UUD  1945  tersebut  dikembangkan  lebih  lanjut,  baik  dalam  Undang  Undang  No.  39  Tahun  1999  tentang  Hak  Asasi  Manusia,  maupun  dalam  Undang  Undang  No.  36  Tahun  2009  tentang  Kesehatan.    

  Bahkan  Undang  Undang  No.  17  Tahun  2007  tentang  Rencana  Pembangunan  Jangka  Panjang   Nasional   (RPJPN)   Tahun   2005   –   2025   kembali   menggaris-­‐bawahi   bahwa   sebagai  upaya  untuk  mewujudkan  sumber  daya  manusia  yang  berkualitas  dan  bangsa  yang  berdaya  saing,   sehingga   ”Pembangunan   nasional   harus   berwawasan   kesehatan,   yaitu   setiap  kebijakan   publik   selalu   memperhatikan   dampaknya   terhadap   kesehatan   (IV.1.2.A.4)”.  Sehingga  perlu   disadari,   bahwa  pembangunan   sumber  daya  manusia   yang  berkualitas   dan  bangsa   yang   berdaya   saing   adalah   filosofi   dasar   nation   and   character   building   dari  pembangunan  kebangsaan  kita.    

  Disi  lain  Indonesia  akan  mengalami  Bonus  Demografi  dalam  kurun  waktu  15  tahun  ke  depan.     Sejak   tahun   2025,   ledakan   kaum   muda   dan   angkatan   kerja   produktif   ini   sangat  

Produksi rokok meningkat tajam dari 220 miliar menjadi lebih dari 300 miliar batang

pada tahun 2005-2011. Produksi Tembakau turun dari 204 ribu ton menjadi

35 ribu ton tahun 2000-2010. Import tembakau terus meningkat dari 34 ribu ton

menjadi 65 ribu ton tahun 2000-2010.  

Page 9: Pelurusan Tafsir Tentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam Upaya Mewujudkan Pembangunan Bangsa yang Berkualitas

Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 9  

krusial  dan  akan  menjadi  bencana  apabila  konsumsi  tembakau  tidak  terkendali,  karena  akan  menyebabkan  merosotnya   kualitas   SDM   ke   depan,   dan   rendahnya   kualitas   SDM   tersebut  hanya   akan  menjadi   beban  negara.   Situasi   ini   akan  berakibat   pada   tidak   tercapainya   rasio  ketergantungan  (dependency  ratio)  44,79  yang  diharapkan  akan  tercapai  pada  tahun  2025.  

  Apapun   alasan   dan   dasar   hukumnya,   kepentingan   bangsa   dan   masyarakat   dalam  mewujudkan  the  right  to  health  tersebut,  tidak  dapat  dipertentangkan  dengan  kepentingan  sektor  lain,  misalnya  perdagangan,  industri,  pertanian  dsb.  Apalagi  Undang  Undang  tentang  RPJPN   tersebut   menegaskan,   bahwa   tujuan   ditetapkannya   Undang   Undang   RPJP   Tahun  2005-­‐2025  adalah  a)  mendukung  koordinasi  antar  pelaku  pembangunan  dalam  pencapaian  tujuan  nasional  (Penjelasan,  I.  UMUM).  

  FCTC   tidak   berpengaruh   langsung   terhadap   ekonomi   terkait   industri   rokok.  Pengalaman   banyak   negara   menunjukkan   pengendalian   tembakau   tidak   secara   signifikan  mempengaruhi  industri  tembakau.  Konsumsi  Tembakau  yang  merupakan  zat  adiktif  bersifat  inelastis   sehingga   tidak   akan   mengalami   penurunan   yang   drastis   apabila   dilakukan  pengendalian.    

  Negara  China,  Brazil,  dan  India  telah  meratifikasi  FCTC,  namun  negara  tersebut  tetap  menjadi  negara  penghasil  tembakau  tertinggi  di  dunia.  Thailand  yang  telah  meratifikasi  FCTC  sejak  tahun  2004  bahkan  berhasil  meningkatkan  pendapatan  cukai  sebesar  25%.    

  Jika   diterapkan   dengan   benar,   dalam   jangka   panjang   FCTC   akan   mengurangi  konsumsi   rokok   secara   bertahap.   Hal   ini   akan   menghindarkan   masyarakat   dari   penyakit-­‐penyakit   dan   akan   meningkatkan   kualitas   kesehatan   masyarakat,   menurunkan   biaya  pengobatan   akibat   gangguan   kesehatan   dan   meningkatkan   produktivitas   kerja   yang   akan  meningkatkan  kondisi  perekonomian.    

 

V. Rekomendasi Kebijakan.

  Mengingat   berbagai   tantangan   dan   relevansi   Pengendalian   Tembakau   bagi   bangsa  Indonesia   maka   sudah   semestinya   pemerintah   segera   melakukan   aksesi   FCTC,   tentunya  dengan  diikuti  kebijakan  penanganan  dampak  pada  pekerja  rokok  dan  buruh  tani  tembakau  pada  saat  bersamaan.  Oleh  karena  itu,  dukungan  lintas  sektor  dari  sektor  pertanian,  sektor  ketenagakerjaan,   dan   sektor   industri   sangat   diperlukan   untuk   mengatasi   menurunnya  kinerja  sektor  rokok  dan  tembakau.    

 

 

 

Keberpihakan FCTC terhadap petani dan pekerja industri Tembakau tergambar dari pasal 15 dan 17 FCTC yang menyerukan kepada seluruh negara pihak untuk membantu dan memastikan kesejahteraan petani dan

pekerja indunstri tembakau.  

Page 10: Pelurusan Tafsir Tentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam Upaya Mewujudkan Pembangunan Bangsa yang Berkualitas

Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 10  

 

 

 

Rujukan:  

1. Bunga  Rampai  Fakta  Tembakau;  Permasalahannya  di  Indonesia  tahun  2012,  Tobacco  Control  Support  Center  –  IAKMI  

2. Framework  Convention  on  Tobacco  Control  (FCTC),  World  Health  Organization  2003  3. Global  Adult  Tobacco  Survey,  WHO  2011  4. Global  Youth  Tobacco  Survey,  WHO  2009  5. Kosen,  S.  (2009).  Beban  biaya  kesehatan  penyakit  akibat  rokok.  National  Institute  of  

Health  Research  Development,  Kementrian  Kesehatan.  Puslitbang  Kemenkes  RI.  6. Peraturan   Pemerintah   Republik   Indonesia   Nomor   109   Tahun   2012   Tentang  

Pengamanan  Bahan  Yang  Mengandung  Zat  Adiktif  7. Peraturan  Menteri   Kesehatan  No   28   Tahun   2013   Tentang   Pencatuman   Peringatan  

Kesehatan  Pada  Produk  Tembakau  8. Resolusi   Perserikatan   Bangsa-­‐Bangsa   nomor   66/2,   2012   mengenai   Political  

Declaration  of  the  High-­‐level  Meeting  of  the  General  Assembly  on  the  Prevention  and  Control  of  Non-­‐communicable  Diseases  

9. Riset  Kesehatan  Dasar  2007,  2010,  Kementerian  Kesehatan  RI  10. Survey  Sosiaal  Ekonomi  Nasional  (SUSENAS)  2011,  Badan  Pusat  Statistik    11. Studi   Penelitian   Dampak   Keterpajanan   Iklan   dan   Sponsor   Rokok   terhadap   Kognitif,  

Afeksi  dan  Perilaku  Merokok  Remaja,  Uhamka  –  Komnas  Anak  2009)  12. Survei  Kesehatan  Rumah  Tangga  (SKRT),  2001,  Kemenkes  RI  13. Undang-­‐Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945  14. Undang-­‐Undang   Republik   Indonesia   nomor   8   tahun   1999   tentang   Perlindungan  

Konsumen  15. Undang-­‐Undang   Republik   Indonesia   nomor   39   tahun   1999   tentang   Hak   Asasi  

Manusia  16. Undang-­‐Undang   Republik   Indonesia   nomor   23   tahun   2002   tentang   Perlindungan  

Anak  17. Undang-­‐Undang  Republik  Indonesia  nomor  32  tahun  2002  tentang  Penyiaran  18. Undang-­‐Undang  Republik  Indonesia  nomor  39  tahun  2007  tentang  Cukai  19. Undang-­‐Undang   Republik   Indonesia   nomor   17   tahun   2007   tentang   Rencana  

Pembangunan  Jangka  Panjang  20. Undang-­‐Undang  Republik  Indonesia  nomor  36  tahun  2009  tentang  Kesehatan  21. Undang-­‐Undang  Republik  Indonesia  nomor  19  tahun  2013  tentang  Perlindungan  dan  

Pemberdayaan  Petani  22. WHO  Report  on  The  Global  Tobacco  Epidemic,  2008