23

Click here to load reader

Web viewBangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang ... sosiologi , ilmu politik, ilmu ... tentang

  • Upload
    hamien

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Web viewBangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang ... sosiologi , ilmu politik, ilmu ... tentang

MENUJU MASYARAKAT INDONESIA YANG MULTIKULTURAL

Cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru.  Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia.  Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah "masyarakat multikultural Indonesia" dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak "masyarakat majemuk" (plural society).  Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman sukubangsaa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000).  Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik.  Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut (Reed, ed. 1997).  Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: "kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah".               

Makalah ini ingin menunjukkan bahwa upaya membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat terwujud bila: (1) Konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; (2) Kesamaan pemahaman diantara para ahli mengenai makna multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang mendukungnya, dan (3) Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini. 1. Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia tetapi bagi pada umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah adalah sebuah konsep asing.  Saya kira perlu adanya tulisan-tulisan yang lebih banyak oleh para ahli yang kompeten mengenai multikulturalisme di media massa daripada yang sudah ada selama ini.  Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.  Ulasan mengenai multikulturalisme akan harus mau tidak mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.  Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara Eropah Barat maka sampai dengan Perang Dunia ke-2 masyarakat-masyarakat tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih yang Kristen.  Golongan-

Page 2: Web viewBangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang ... sosiologi , ilmu politik, ilmu ... tentang

golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan sebagai minoritas dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri.  Di Amerika Serikat berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun 1950an.  Puncaknya adalah pada tahun 1960an dengan dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam dan Berwarna di tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil, dan dilanjutkannya perjuangan Hak-Hak Sipil ini secara lebih efektif melalui berbagai kegiatan affirmative action yang membantu mereka yang tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas untuk dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha (lihat Suparlan 1999).

Di tahun 1970an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam perbedaan mengalami berbagai hambatan, karena corak kebudayaan Kulit Putih yang Protestan dan dominan itu  berbeda dari corak kebudayaan orang Kulit Hitam, orang Indian atau Pribumi Amerika, dan dari berbagai kebudayaan bangsa dan sukubangsa yang tergolong minoritas sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-tulisan yang di-edit oleh Reed (1997).  Yang dilakukan oleh para cendekiawan dan pejabat pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti rasisme dan diskriminasi adalah dengan cara  menyebarluaskan konsep multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di sekolah-sekolah di tahun 1970an.  Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan berbagai golongan sukubangsa lainnya dewasa ini dapat belajar dengan menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu (Nieto 1992).  Jadi kalau Glazer (1997) mengatakan bahwa 'we are all multiculturalists now' dia menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang ini di Amerika Serikat, dan gejala tersebut adalah produk dari serangkaian proses-proses pendidikan multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970an.

Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya.  Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lannya, dan multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembang-luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat.   Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. 

Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini.  Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002).. 2. Pemahaman Tentang Multikulturalisme

Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan.  Pengertian kebudayaan diantara para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli atau ahli-ahli lainnya.  Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.  Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut dan karena itu melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan

Page 3: Web viewBangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang ... sosiologi , ilmu politik, ilmu ... tentang

manusia.  Yang juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata sosial. 

Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan  Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.

Salah satu isyu yang kami kira cukup penting untuk diperhatikan di dalam kajian-kajian mengenai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya adalah corak dari kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada corak kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah korporasi.  Perhatian pada pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap dan mengungkapkan seperti apa corak nilai-nilai budaya dan operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaaan manajemen  yang dikaji.  Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap seperti apa corak etika (ethics) yang ada dalam struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan (in-put) menjadi keluaran.(out-put).   Apakah memang ada pedoman etika dalam setiap struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman etikanya, ataukah pedoman etika itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang betul-betul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya disembunyikan dari pengamatan umum)? 

Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen sumber daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam masyarakat.  Negeri kita kaya raya akan sumber-sumber daya alam dan kaya akan sumber-sumber daya manusia yang berkualitas. tetapi pada masa sekarang ini kita, bangsa Indonesia, tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong ke dalam bangsa-bangsa yang negaranya paling korup.  Salah satu sebab utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika dalam mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai.  Pedoman etika yang menjamin proses-proses manajemen tersebut akan menjamin mutu yang dihasilkannya.  Kajian-kajian seperti ini bukan hanya menyingkap dan mengungkapkan ada tidaknya atau bercorak seperti apa nilai-nilai budaya yang berlaku dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan manajemen sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau pranata; tetapi juga akan mampu memberikan  pemecahan yang terbaik mengenai pedoman etika yang seharusnya digunakan menurut dan sesuai dengan konteks-konteks macam kegiatan dan organisasi.

Secara garis besarnya etika (ethics) dapat dilihat sebagai 'Pedoman yang berisikan aturan-aturan baku yang mengatur tindakan-tindakan pelaku dalam sebuah profesi, yang di dalam pedoman tersebut terserap prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai yang mendukung dan menjamin dilakukannya kegiatan profesi si pelaku sebagaimana seharusnya, sesuai dengan hak dan kewajibannya.  Sehingga peranannya dalam sesuatu struktur kegiatan adalah fungsional dalam memproses masukan menjadi keluaran yang bermutu (Bertens 2001, Magnis-Suseno 1987).  Dalam ruang lingkup luas, dalam masyarakat-masyarakat maju, kita kenal adanya etika politik, etika akademik, etika bisnis, etika administrasi dan birokrasi, dan sebagainya.   Dalam ruang lingkup yang lebih kecil kita bisa melihat berbagai pedoman etika yang ada atau tidak ada dalam berbagai struktur kehidupan atau pengelolaan sumber-sumberdaya yang lebih khusus, misalnya pembahasan mengenai "Akbar Tanjung dan Etika Politik" sebagaimana yang telah dikemukakanoleh Alfian M (2002) 

Page 4: Web viewBangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang ... sosiologi , ilmu politik, ilmu ... tentang

Masalah yang kita hadapi berkenaan dengan upaya menuju masyarakat Indonesia yang multikultural adalah sangat kompleks.  Apakah kita para ahli antropologi sudah siap untuk itu?  Apakah Jurusan-jurusan Antropologi yang ada di Indonesia ini juga sudah siap untuk itu?   Dalam kesempatan ini saya ingin menghimbau bahwa mungkin ada baiknya bila kita semua memeriksa diri kita masing-masing mengenai kesiapan tersebut.  Pertama, apakah secara konseptual dan teoretikal kita cukup mampu untuk melakukan penelitian dan analisis atas gejala-gejala yang menjadi ciri-ciri dari masyarakat majemuk yang telah selama lebih dari 32 tahun kita jalani, dan apakah kita juga akan mampu untuk membuat semacam blueprint untuk merubahnya menjadi bercorak multikultural?   Kalau kita belum mampu, sebaiknya kita persiapkanlah diri kita melalui berbagai kegiatan diskusi, seminar, atau lokakarya untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan kita dan mempertajam konsep-konsep dan metodologi yang relevan dalam kajian mengenai ungkapan-ungkapan masyarakat majemuk dan multikultural.  Kalau merasa diperlukan, sebaiknya pimpinan dan dosen-dosen dari berbagai Jurusan Antropologi dapat duduk bersama untuk membicarakan isyu-isyu penting berkenaan dengan peranan antropologi dalam membangun Indonesia sesuai cita-cita reformasi.   Pembicaraan para pimpinan jurusan ini sebaiknya terfokus pada upaya untuk mengembangkan kurikulum dan konsep-konsep serta metodologi yang sesuai dengan itu.

Kedua, apakah secara metodologi kita sudah siap untuk itu?  Kajian-kajian etnografi yang teradisional, yang bercorak butterfly collecting sebagaimana yang selama ini mendominasi kegiatan-kegiatan penelitian mahasiswa untuk skripsi dan dosen, sebaiknya ditinjau kembali untuk dirubah sesuai dengan perkembangan antropologi dewasa ini dan sesuai dengan upaya pembangunan masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang multikultural.  Penelitian etnografi yang bercorak penulisan jurnalisme juga sebaiknya dihindari dan diganti dengan penelitian etnografi yang terfokus dan mendalam, yang akan mampu mengungkap apa yang tersembunyi dibalik gejala-gejala yang dapat diamati dan didengarkan, dan yang akan mampu menghasilkan sebuah kesimpulan atau tesis yang sahih.  Begitu juga kegiatan-kegiatan penelitian yang menggunakan kuesioner untuk mendapat respons dari respeonden atas sejumlah pertanyaan sebaiknya ditinggalkan dalam kajian untuk dan mengenai multikulturalisme ini.  Karena, kajian seperti ini hanya akan mampu menghasilkan informasi mengenai kecenderungan gejala-gejala yang diteliti, bersifat superfisial, dan menyembunyikan bayak kebenaran yang seharusnya dapat diungkapan melalui dan dalam kegiatan sesuatu penelitian.  Pendekatan kualitatif dan etnografi, yang biasanya dianggap tidak ilmiah karena tidak ada angka-angka statistiknya, sebaiknya digunakan dengan menggunakan metode-metode yang baku sebagaimana yang ada dalam buku yang di-edit oleh Denzin dan Lincoln (2000), karena justru pendekatan kualitatif inilah yang ilmiah dan obyektif dalam konteks-konteks masyarakat atau gejala-gejala dan masalah yang ditelitinya.  Untuk itu perlu juga diperiksa tulisan Guba dan tulisan-tulisan dari sejumlah penulis yang di-editnya (1990) yang menunjukkan kelemahan dari filsafat positivisme yang menjadi landasan utama dari metodologi kualitatif. 

Ketiga, ada baiknya jika berbagai upaya untuk melakukan kajian multikulturalisme dan masyarakat mulitikultural yang telah dilakukan oleh ahli-ahli antropologi juga dapat menstimuli dan melibatkan ahli-ahli sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan bisnis, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu kepolisian, dan ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya untuk secara bersama-sama melihat, mengembangkan dan memantapkan serta menciptakan model-model penerapan multikutlralisme dalam masyarakat Indonesia, menurut perspektif dan keahlian akademik masing-masing.  Sehingga secara bersama-sama tetapi melalui dan dengan menggunakan pendekatan masing-masing, upaya-upaya untuk menuju masyarakat Indonesia yang multikultural itu dapat dengan secara cepat dan efektif berhasil dilaksanakan.  

Page 5: Web viewBangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang ... sosiologi , ilmu politik, ilmu ... tentang

Upaya-upaya tersebut diatas dapat dilakukan oleh Jurusan Antropologi, atau gabungan Jurusan Antropologi dan satu atau sejumlah jurusan lainnya yang ada dalam sebuah universitas atau sejumlah universitas dalam sebuah kota untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan diskusi, seminar kecil, atau lokakarya.  Kegiatan-kegiatan ini akan dapat dijadikan landasan bagi dilakukannya kegiatan seminar atau lokakarya yang lebih luas ruang lingkupnya.  Dengan cara ini maka konsep-konsep dan teori-teori serta metodologi berkenaan dengan kajian mengenai multikulturalisme, masyarakat multikultural, dan perubahan serta proses-prosesnya dan berbagai konsep serta teori yang berkaitan dengan itu semua akan dapat dikembangkan dan dipertajam sehingga operasional di lapangan.

Disamping bekerja sama dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan yang mempunyai perhatian terhadap masalah multikulturalisme, ahli-ahli antropologi dan terutama pimpinan jurusan antropologi sebaiknya mulai memikirkan untuk memberikan informasi mengenai multikulturalisme kepada berbagai lembaga, badan, dan organisasi pemerintahan yang dalam kebijaksanaan mereka langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah multikulturalisme.  Hal yang sama juga sebaiknya dilakukan terhadap sejumlah LSM dan tokoh-tokoh masyarakat atau partai politik.  Selanjutnya, berbagai badan atau organisasi pemerintahan serta LSM diajak dalam berbagai kegiatan diskusi, seminar, dan lokakarya sebagai peserta aktif.  Mereka ini adalah kekuatan sosial yang akan mendukung dan bahkan dapat memelopori terwujudnya cita-cita reformasi bila mereka memahami makna multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang berkaitan dengan itu, atau mereka itu dapat juga menentang multikulturalisme dan ide tentang masyarakat multikultural Indonesia bila mereka tidak memahaminya atau mereka merasa tidak berkepentingan untuk turut melakukan reformasi. 3. Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan

Cita-cita reformasi yang sekarang ini nampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya ada baiknya digulirkan kembali.  Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki masyarakat multikultural Indoneaia.  Sebagai model maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal. 

Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil maka tahap berikutnya adalah  mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang tercakup dalam masyarakat Indonesia.  Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup reformasi dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan dalam hukum dan penegakkan hukum bagi keadilan.  Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan berbagai corak dinamikanya.

Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen.  Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.

Upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila pemerintah nasional maupun pemerintah-pemerintah daerah dalam berbagai tingkatnya tidak menginginkannya atau tidak menyetujuinya.  Ketidak inginan merubah tatanan yang ada biasanya berkaitan dengan berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh dan dipunyai oleh para pejabat dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada dan

Page 6: Web viewBangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang ... sosiologi , ilmu politik, ilmu ... tentang

pendistribusiannya.  Mungkin peraturan yang ada berkenaan dengan itu harus direvisi, termasuk revisi untuk meningkatkan gaji dan pendapatan para pejabat, sehingga peluang untuk melakukan KKN dapat dibatasi atau ditiadakan.

Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut diatas, sebaiknya Depdiknas R.I. mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA.  Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau menjadi bagian dari krurikulum sekolah (khususnya untuk daerah-daerah bekas konflik berdarah antar sukubangsa, seperti di Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lainnya).  Dalam sebuah diskusi dengan tokoh-tokoh Madura, Dayak, dan Melayu di Singkawang baru-baru ini, mereka itu semuanya menyetujui dan mendukung ide tentang diselenggarakannya pelajaran multikulturalisme di seklah-sekolah dalam upaya mencegah terulangnya kembali di masa yang akan datang konflik berdarah antar sukubangsa yang pernah mereka alami baru-baru ini (lihat Suparlan 2002)

KEKUASAAN & PENDIDIKAN

Tidak ada masyarakat tanpa budaya. Pendidikan dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan. Kebudayaan dalam pengertian tertentu merupakan suatu proses pendidikan. Kebudayaan tidak bersifat statis mengingat terus menerus mengalami proses perubahan. Dalam buku ini penulis mengatakan bahwa proses pendidikan tidak hanya dilihat sebagai suatu proses yang terjadi dalam lembaga sekolah, akan tetapi sekolah sebagai lembaga sosial merupakan bagian dari proses pendidikan sebagai proses pembudayaan. Perspektif studi kultural mengenai pendidikan yang dimaksud oleh penulis dalam buku ini dimaksudkan untuk meninjau bagaimana proses pendidikan sebagai suatu bagian dari proses pembudayaan.   Pendidikan dalam konteks kebudayaan meliputi masalah pelik seperti konsep kekuasaan (power). Kekuasaan bukan hanya objek garapan ilmu politik atau sosiologi, tetapi juga merupakan penelitian kebudayaan mengingat pada hakikatnya kebudayaan mengatur kelangsungan hidup suatu kelompok masyarakat, dan dengan demikian berarti mempertahankan kekuasan tertentu.  Pendidikan pada hakikatnya adalah proses menemukan identitas seseorang. Proses pendidikan yang benar adalah yang membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, atau penyadaran akan kemampuan seseorang. Meski demikian, pendidikan dapat pula berbentuk sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang. Hal ini akan terjadi bila pendidikan dijadikan alat oleh sistem penguasa yang ada untuk mengungkung kebebasan individu. Pendidikan dan kekuasaan merupakan suatu kajian dari studi kebudayaan, bagaimana pemerintah melestarikan kekuasaan melalui lembaga-lembaga pendidikan. Apabila suatu sistem kekuasaan memaksakan kehendaknya dan merampas kemerdekaan individu berserta kebudayaan, maka pendidikan telah berubah menjadi alat oppressive bagi perkembangan individu atau kelompok masyarakat.   Berbicara mengenai kekuasaan, maka yang tergambar dalam diri kita adalah pemerintah dengan birokrasinya. Apa hubungan antara pendidikan dan kekuasaan? Tidak pernah kita dengar bahwa pendidikan dikerahkan untuk mengambil alih suatu kekuasaan politik, ekonomi dan lain-lain. Dalam bayangan kita proses pendidikan adalah proses yang berjalan dalam suasana kedamaian dalam kehidupan manusia tanpa kekerasan.  Bagaimana praktek pendidikan dilaksanakan berdasarkan kekuasaan? Kami memberikan gambaran atau contoh sebagai berikut : 1. Proses domestifikasi dan stupidifikasi

Kelas aman karena guru dan siswa mengikuti berbagai peraturan yang telah dirumuskan oleh pihak berwenang bidang pendidikan. Apa yang akan terjadi? Siswa menjadi

Page 7: Web viewBangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang ... sosiologi , ilmu politik, ilmu ... tentang

seperti robot yang sekedar menerima nilai. Pada akhirnya proses pendidikan menjadi sebuah proses domestifikasi anak manusia. Hasilnya adalah bukan pembebasan, melainkan pembodohan (stupidifikasi). Proses domestifikasi dalam pendidikan disebut imperialisme pendidikan dan kekuasaan. Siswa menjadi objek eksploitasi oleh suatu kekuasaan di luar pendidikan. Pemujaan masyarakat kita terhadap ijazah sebagai alat untuk menaikkan status sosial merupakan contoh lain bagian ini.2. Indoktrinasi

Kurikulum yang berlaku sebenarnya merupakan sarana indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan. Penyusunan kurikulum di Indonesia yang silih berganti, menunjukkan betapa kekuasaan yang berlaku menancapkan kungkungannya dalam penentuan isi kurikulum. Manajemen pendidikan yang cocok dengan proses indoktrinasi tentunya harus terpusat dan mudah dikontrol. 3. Demokratisasi

Inti dari pendidikan demokratis adalah manusia bebas. Tumbuhnya demokrasi dalam proses pendidikan mendorong tumbuhnya pendekatan multikulturalisme dalam pendidikan. Tetapi pada kenyataannya di lapangan terjadi benturan di masyarakat, seperti dalam bidang keyakinan dan agama. Beberapa contoh lainnya adalah pengalokasian dana pendidikan yang belum optimal padahal semua orang berhak mendapatkan pendidikan, serta masalah diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Sampai saat ini masalah status keperempuanan masih menjadi pembicaraan di permukaan saja.4. Integrasi Sosial

Integrasi sosial tidak dapat diciptakan dengan pemaksaan melalui kekuasaan di atas. Inilah makna desentralisasi dan otonomi baik pemerintahan maupun pendidikan dan kebudayaan. Sistem pendidikan yang seragam dan otoriter akan mematikan kemampuan untuk mengembangkan budaya lokal yang merupakan batu bata penyusunan budaya nasional.   Kaitan antara pendidikan dan kekuasaan membawa kita pula kepada masalah ideologi. Setiap masyarakat modern mempunyai ideologi yang menjadi panutan atau life style yang membimbing arah perkembangan masyarakat. Pengalaman selama Orde Baru menunjukkan bahwa ideologi telah dijadikan sumber indoktrinasi yang telah mematikan kreativitas individu, dalam hal ini peserta didik. Ideologi yang seharusnya menjadi pembimbing telah berubah menjadi alat penekan dari penguasa dalam mengendalikan sistem dan isi pendidikan nasional.  Masyarakat dunia mulai menyadari bahwa kesetaraan kebudayaan hanya dapat dilaksanakan melalui pendidikan. Oleh sebab itu lahirlah tuntutan education for all dengan pemahaman bahwa pendidikan merupakan salah satu hak azasi manusia. Apabila pendidikan merupakan salah satu hak azasi manusia maka mulailah dipermasalahkan apakah pemerintah merupakan satu-satunya lembaga yang dapat menyelenggarakan pendidikan? Selanjutnya apabila masyarakat sendiri dapat melaksanakan pendidikan yang sesuai dengan kebudayaannya, maka dimanakah tempat dan peran pemerintah? Dengan demikian timbulah masalah mengenai batas-batas wewenang dan tugas pemerintah dalam pendidikan. Campur tangan pemerintah tentunya tetap ada di dalam penentuan sistem dan isi pendidikan, namun batas batas-batas kekuasaan pemerintah di dalam managemen pendidikan nasional tidak boleh bertentangan dengan hak azasi manusia.  Multikulturalisme dalam praktek pendidikan merupakan suatu tuntutan demokrasi. Upaya kita untuk membangun masyarakat Indonesia baru yang multikultural hanya dapat dilaksanakan melalui proses pendidikan. Proses pendidikan nasional merupakan proses pemberdayaan manusia Indonesia yang bebas tetapi juga sekaligus terikat kepada suatu kesepakatan bersama untuk membangun masyarakat Indonesia yang bersatu di dalam wacana kebudayaan Indonesia yang terus menerus berkembang.

Page 8: Web viewBangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang ... sosiologi , ilmu politik, ilmu ... tentang

  Selain hal di atas, ada hal lain yang menjadi tantangan bagi pihak pemerintah dalam mengantisipasi globalisaasi dunia ini, antara lain seperti kejelasan penentuan arah pendidikan agar pengalokasian dana pendidikan dapat lebih terfokus pemanfaatannya; tanggung jawab pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar; pengembangan program pelatihan yang disusun oleh dan untuk masyarakat daerah; pengembangan pusat-pusat riset pada jenjang pendidikan tinggi khususnya untuk pengembangan industri; dan yang terakhir adalah bagaimana mengembangkan secara optimal kemampuan seseorang agar dapat berbuat maksimal dalam kehidupannya.  Kekuasaan dalam pendidikan bertujuan untuk memberdayakan individu. Negara sebagai lembaga sosial bertujuan mewujudkan kebahagiaan bersama yaitu menciptakan masyarakat adil dan makmur. Oleh sebab itu negara harus dijaga keberadaannya oleh warga negaranya. Inilah yang dimaksud dengan kekuasaan negara untuk menuntut setiap warga negaranya dalam dua hal, yaitu mentaati hukum yang disepakati bersama, dan mempertahankan eksistensi negara. Dalam pelaksanaannya kedua kekuasaaan itu tidak akan mengalami benturan apabila memiliki dasar yang sama, yaitu moralitas. Seorang warga negara yang baik bukanlah boneka-boneka dari negara tetapi manusia yang mandiri dan bertanggung jawab.

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DAN KONFLIK BANGSA.

Pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.

Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan.

Jika kita menengok sejarah Indonesia, maka realitas konflik sosial yang terjadi sering kali mengambil bentuk kekerasan sehingga mengancam persatuan dan eksistensi bangsa. Pengalaman peperangan antara kerajaan-kerajaan sebelum kemerdekaan telah membentuk fanatisme kesukuan yang kuat. Sedangkan terjadinya konflik sosial setelah kemerdekaan, sering kali bertendensi politik, dan ujungnya adalah keinginan suatu komunitas untuk melepaskan diri dari kesatuan wilayah negara kesatuan, bahkan buntutnya masih terasa hingga sekarang, baik yang terjadi di Aceh dan Papua. Tanpa pendidikan multikultural, maka konflik sosial yang destruktif akan terus menjadi suatu ancaman yang serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa.1. Revitalisasi

Pendidikan kewiraan, kepramukaan dan kewarganegaraan sesungguhnya dilakukan sebagai bagian dari proses usaha membangun cara hidup multikultural untuk memperkuat wawasan kebangsaan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan kewiraan sudah mulai kehilangan dimensi multikulturalnya, sebagai akibat krisis militerisme dalam kehidupan politik bangsa. Akibatnya tidak ada lagi minat dan semangat di kalangan mahasiswa untuk mempelajarinya, bahkan telah kehilangan aktualitasnya. Sementara pendidikan kepramukaan dan kewarganegaraan menjadi antirealitas karena tidak mengalami aktualisasi hidup di tengah realitas perubahan sosial yang kompleks dalam tekanan budaya global yang cenderung materialistik dan hedonistik.

Page 9: Web viewBangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang ... sosiologi , ilmu politik, ilmu ... tentang

Pada sisi yang lain, kita pun merasakan bahwa pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya tidak menghidupkan pendidikan multikultural yang baik, bahkan cenderung berlawanan. Akibatnya, konflik sosial sering kali diperkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Ini membuat konflik mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik sosial kekerasan semakin sulit diatasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya.

Kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan agama masih diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama yang lainnya, seakan-akan hanya agamanya sendirilah yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun yang minoritas. Semangat pendidikan keagamaan yang sempit ini, sudah barang tentu berlawanan secara fundamental dengan semangat pendidikan multikultural, dan akan memperlemah persatuan bangsa.

Era reformasi telah membuka mata kita terhadap semua borok-borok kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah berlangsung selama ini. Realitas korupsi telah menghancurkan sendi-sendi persatuan bangsa, karena korupsi ternyata melestarikan ketidakadilan sosial, ekonomi, dan hukum yang semakin tajam dan ikut memperkeras konflik sosial. Sementara pendidikan kewiraan, kepramukaan, bahkan keagamaan telah kehilangan aktualitas multikulturalnya, dan pada gilirannya akan memperkeras konflik sosial yang ada. Karena itu, pendidikan multikultural harus direvitalisasi dan direaktualisasi secara kreatif sehingga tidak kehilangan jiwa dan semangatnya.2. Konflik dan perubahan

Hakikat kehidupan adalah perubahan, dan jika ada yang abadi dalam kehidupan, maka keabadian itu adalah perubahan. Kehidupan tidak pernah ada tanpa perubahan dan dalam perubahan dengan sendirinya selalu memunculkan konflik, yaitu konflik antara yang akan diubah, pengubah dan kebaruan yang lahir dari perubahan itu sendiri.Proses konflik itu akan selalu terjadi di mana pun, siapa pun dan kapan pun. Konflik merupakan realitas permanen dalam perubahan, dan perubahan adalah realitas permanen dalam kehidupan, dan dialektika adanya konflik, perubahan dan kehidupan akan bersifat permanen pula.

Meskipun demikian, konflik tidak boleh dibiarkan berkembang menjadi liar dan kemudian merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, apalagi tatanan berbangsa dan bernegara yang telah menjadi konsensus nasional. Karena itu, manajemen politik yang ada seharusnya mampu mengendalikan konflik, sehingga dapat menjadinya sebagai kekuatan yang mencerahkan, bukan kekuatan yang menghancurkan.

Kemampuan manajemen politik itu akan ditentukan oleh seberapa jauh dapat menyerap hakikat pendidikan multikultural. Jika tidak, maka manajemen politik akan berubah menjadi manajemen bisnis politik konflik, yaitu menjadikan konflik, sebagai bisnis politik untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar bagi kepentingan dirinya sendiri.

Dalam realitas kehidupan berbangsa, ternyata persatuan mengalami pasang surut. Pada masa menjelang kemerdekaan, maka persatuan bangsa terasa makin menguat dan bergelora di mana-mana, yang kemudian melahirkan semangat dan kekuatan perlawanan kepada penjajah Belanda untuk merebut dan mendapatkan kemerdekaan. Bahkan, agama pun turut memberikan legitimasinya untuk memperkuat perlawanan terhadap penjajahan, sebagai bagian dari panggilan agama, karena agama yang mana pun melarang umatnya untuk melakukan penjajahan atas bangsa yang lainnya. Penjajahan dipandang agama sebagai suatu kezaliman yang harus dilawan oleh siapa pun.

Akan tetapi, setelah kemerdekaan sudah dicapai dan sampailah kita untuk menata kekuasaan negara, maka kita pun segera berhadapan dengan usaha membagi-bagi kekuasaan pemerintahan, dan kepentingan membagi kekuasaan ternyata mempunyai kaitan dengan akar-

Page 10: Web viewBangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang ... sosiologi , ilmu politik, ilmu ... tentang

akar konflik yang berbasis pada faham kedaerahan dan keagamaan, sehingga muncullah konflik politik kekuasaan yang berbasis fanatisme ras, suku dan keagamaan.

Konflik politik kekuasaan yang mencerminkan ketidak-adilan membuat persatuan bangsa terguncang-guncang, terluka, terkoyak, dan sering kali memperlemah rasa persatuan dan solidaritas kebangsaan.

Konflik sosial yang mewarnai pasang surutnya persatuan Indonesia harus menjadi perhatian dan perlu diwaspadai oleh kemampuan manajemen politik bangsa agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang memecah belah persatuan Indonesia. Salah satu caranya yang strategis adalah pendidikan multikultural yang dilakukan secara aktual, cerdas, dan jujur.

Pendidikan apa pun bentuknya, tidak boleh kehilangan dimensi multikulturalnya, termasuk di dalamnya pendidikan keagamaan dan keilmuan, karena realitas dalam kehidupan pada hakikatnya bersifat multidimensional. Demikian juga halnya manusia sendiri pada hakikatnya adalah sebagai makhluk yang multidimensional.

Karena itu, pendekatan kepada manusia dan untuk mengatasi problem kemanusiaan yang ada, tidak bisa lain kecuali dengan menggunakan pendekatan yang multidimensional. Dan, di dalamnya adalah pendidikan multikultural.

MENGGAGAS PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI SEKOLAH

1. Menyoal Pendidikan Multikultural Di SekolahSeiring dengan perkembangan peradaban informasi, masalah yang dialami oleh dunia

pendidikan kita kian lama semakin kompleks. Kompleksitas masalah tersebut dapat dilihat dari berbagai hal. Diantaranya adalah rendahnya kualitas mutu pendidikan nasional, gonta-gantinya kurikulum, ujian nasional hingga ancaman dan peluang mewujudkan masyarakat multikultural melalui institusi pendidikan.

Melihat benang kusut dunia pendidikan di atas, tentu semua pihak, baik pemerintah maupun lainnya, perlu memikirkan dan mencari solusi alternatif atas ruwetnya problematika pendidikan di Indonesia. Bagaimana (kira-kira) respons pendidikan dalam menghadapi arus globalisasi, informasi dan demokratisasi?

Dalam konteks masyarakat Indonesia yang multikultural, mampukah dunia pendidikan menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya nilai-nilai multikulturalisme? Yaitu, pendidikan yang mengakui dan menghormati keragaman etnis, agama, suku dan ras. Pertanyaan dan pernyataan tersebut perlu dijawab, mengingat kompleksitas problematika pendidikan di negeri ini.

Makalah ini tidak bermaksud ingin menawarkan konsep praktis-operasional tentang Pendidikan Multikultural di sekolah. Namun, hanya ingin mendialogkan kembali pentingnya nilai-nilai keragaman budaya (multikulturalisme) dimasukkan dalam kurikulum pendidikan kita. Agar supaya, pengalaman pahit selama Orde Baru, tidak terulang kembali.

Seperti pola-pola kebijakan yang cenderung top-down (atas-bawah) dan sentralistik. Serta, bentuk-bentuk pemaksaaan kehendak dari pemerintah untuk membentuk satu kehidupan berbangsa yang seragam. Gelombang demokrasi seperti saat ini, menuntut pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan dalam kehidupan masyarakat yang secara realitas majemuk (plural). Kemajemukan masyarakat tersebut di atas, tentu perlu direspons secara positif oleh semua kalangan, tak terkecuali pendidikan.

Pendidikan merupakan media transformasi budaya yang cukup ampuh dalam menciptakan iklim yang harmonis. Dengan menghadirkan paradigma baru pendidikan multikultural (mungkin) jawaban tepat atas beberapa problematika tersebut. Dan, perlu kita sadari bersama, bahwa proses pendidikan adalah proses pembudayaan.

Page 11: Web viewBangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang ... sosiologi , ilmu politik, ilmu ... tentang

Mewujudkan cita-cita persatuan bangsa merupakan suatu unsur budaya nasional. Pendidikan multikultural dapat kita rumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman kultural, hak-hak asasi manusia (HAM) serta pengurangan atau penghapusan berbagai jenis prasangka (prejudise) untuk membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan maju. Hal ini sangat sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam pasal 4 ayat 1 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS).

Selain itu, pendidikan multikultural bisa juga diartikan sebagai strategi untuk mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya (the pride in one’s home nation). Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, plural, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru diberlakukan sejak 1999 lalu hingga saat ini.

Penyelenggaraan ‘model’ pendidikan multikultural yang harus dikembangkan di Indonesia adalah yang sesuai dengan konteks (karakter) sosio-kultural masyarakat Indonesia. Dan dilaksanakan dengan prinsip hati-hati. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati, justru mungkin akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional (disintegrasi bangsa).

Secara historis, sesungguhnya pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa Orde Baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, juga terjadi peningkatan gejala "provinsialisme" yang hampir tumpang tindih dengan "etnisitas". Kecenderungan ini, jika tidak terkendali, akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik.

Maksud dan tujuan pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran. Tetapi, juga melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Pengalaman di Amerika Serikat, bersamaan dengan masuknya wacana tentang multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakat luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok.

Dalam konteks Indonesia, untuk mewujudkan model-model tersebut, perlu mempertimbangkan kombinasi model yang ada. Misalnya, model Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi. Yakni, Transformasi diri, transformasi sekolah, dan transformasi masyarakat.

Kemahiran guru dalam menerapkan pendekatan “conflict resolution" dalam pembelajaran IPS ditingkatkan ? Sangat perlu. Karena adalah suatu kenyataan bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, dengan berbagai etnis yang terdiri dari beragam bahasa daerah, budaya, adat istiadat, agama, dan masa lalu (sejarah) yang juga berbeda. Kondisi seperti ini rawan akan terjadinya konflik antar etnis. Konflik antar etnis pada akhirnya akan mencabik-cabik integrasi bangsa, sedangkan upaya integrasi bangsa belumlah tuntas. Di pihak lain, pendidikan IPS pada hakikatnya adalah untuk mempersiapkan dan menciptakan warga negara yang baik (ghood citizenship). Karena itu bukan saja conflic resulution yang perlu ditingkatkan, akan tetapi conflic management dan membiasakan diri akan situasi konflik itu sendiri.

Conflic managemant dan conflic resulution bahkan sudah menjadi kebutuhan dalam pembelajaran IPS, karena pengalaman sejarah bangsa selama Orde Baru sudah membuktikan bahwa masalah konflik dihindari, dan jangan dibahas secara terbuka, menjadi tabu, sensitif, menjadi “dosa” bila dibahas di depan kelas, kemukakan saja keselarasan, keserasian,

Page 12: Web viewBangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang ... sosiologi , ilmu politik, ilmu ... tentang

keharmonisan, toleransi serta kegotongroyongan dalam masyarakat bhinneka tunggal ika. Padahal dalam masyarakat majemuk potensi konflik itu selalu ada. Bagaimana mau mengatasi konflik, kalau saja membicarakan konflik dianggap sebagai sebuah “dosa”, dan tidak terbiasa dengan situasi konflik dan menghadapi konflik itu sendiri?

Disamping itu, pembelajaran IPS selama ini dikatakan sebagai proses pembelajaran yang membosankan siswa, karena selalu yang disampaikan berupa konsep dan fakta, melalui metode ceramah. Namun pendidikan IPS akan menjadi lebih hidup dan bermakna bila guru dapat menerapkan pendekatan conflic resulution, dengan model inquiri atau role playing misalnya. Dengan demikian para peserta didik melalui pembelajaran IPS, telah dibiasakan dengan konflik serta mengelola dan mengatasinya.2. Urgensi Pendidikan Multikultural

Pertentangan etnis dan konflik SARA yang terjadi beberapa dekade terakhir ini mengajarkan betapa pentingnya pendidikan multikultural di sekolah. Seperti telah di singgung di atas, meskipun bangsa ini secara formal mengakui keragaman, namun dalam kenyataannya tidak.

Sudah sejak lama sistem pendidikan kita terpenjara dalam pemenuhan target sebagai akibat dari kapitalisme yang telah menguasai negeri ini. Sehingga, memunculkan apa yang disebut dengan konsep link and match. Yang akhirnya, pendidikan tidak lebih dari pabrik raksasa yang menghasilkan tenaga kerja terampil, namun dengan bayaran murah.

Pada masa Orde Baru, pendidikan merupakan bagian dari indoktrinasi politik untuk mendukung rezim yang sedang berkuasa. Waktu itu hampir tidak ada ruang untuk mengungkapkan identitas lokal dalam sistem pendidikan. Yang ada hanyalah kebudayaan nasional. Warna-warna lokal di anggap sesuatu yang sekunder. Padahal lokalisme merupakan bagian penting, apalagi dalam pendidikan multikultural. Mengapa? Karena, di situlah setiap orang (budaya) dapat melihat dirinya (self). Di situ pula orang bisa melihat keragaman orang lain (the other).

Pada sentra-sentra kebudayaan, seperti kota-kota besar, di mana hidup berbagai macam etnis di dalamnya, pertemuan antar kebudayaan merupakan persoalan yang menarik. Dari hasil pertemuan ini timbul sebuah kreativitas baru yang pada akhirnya memperkaya kebudayaan. Kuncinya adalah kreativitas dan dinamika. Sistem kebudayaan yang demikian perlu dalam menghadapi tantangan yang akan terjadi di masa depan.

Desentralisasi kebudayaan tidak hanya akan membiarkan sentra-sentra kebudayaan yang tersebar luas di kepulauan nusantara tumbuh subur. Namun, juga akan menumbuhkan kreativitas bangsa. Ini pada gilirannya akan menciptakan ketahanan budaya dari gempuran globalisasi. Nilai-nilai budaya yang ada harus dilihat sebagai bagian dari masa depan, dikembangkan secara kreatif dan dalam suatu proses perubahan yang eksistensial. Jika tidak demikian, maka sentra dan kantung-kantung kebudayaan itu akan menjadi lembaga yang defensif dan konservatif.

Pada prinsipnya pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan. Pendidikan multikultural senantiasa menciptakan struktur dan proses dimana setiap kebudayaan bisa melakukan ekspresi. Untuk mendesain pendidikan multikultural secara praksis tentu tidak mudah. Tetapi, paling tidak kita mencoba melakukan ijtihad untuk mendesain sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan multikultural yang sesuai dengan corak masyarakat kita.

Menurut hemat kami, setidaknya ada dua metode bila kita ingin mewujudkan pendidikan multikultural di sekolah. Pertama adalah dialog. Pendidikan multikultural tidak mungkin berlangsung tanpa dialog. Dalam pendidikan multikultural setiap peradaban dan kebudayaan yang ada berada dalam posisi yang sejajar dan sama. Tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap lebih tinggi (superior) dari kebudayaan yang lain.

Page 13: Web viewBangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang ... sosiologi , ilmu politik, ilmu ... tentang

Kedua adalah toleransi. Toleransi adalah sikap menerima bahwa orang lain berbeda dengan kita. Metode dialog dan toleransi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bila dialog adalah bentuknya, maka toleransi adalah isinya. Toleransi diperlukan tidak hanya pada tataran konseptual, melainkan juga pada tingkat teknis operasional. Inilah yang sejak lama absen dalam sistem pendidikan kita. Sistem pendidikan kita selama ini terlalu menitikberatkan pada pengkayaan pengetahuan (kognitif) dan ketrampilan (skill). Namun, mengabaikan penghargaan atas nilai-nilai budaya (multikultural) dan tradisi bangsa. KESIMPULAN

Multikultural Education, menurut Banks dalam Hamid Hasan (2002:8) menyebut pendidikan multicultural sebagai pendidikan untuk people of color. Sleeter dalam Hamid Hasan (2002:8), mengemukakan bahwa pendidikan multicultural adalah any set of process by which scools work with rather than against oppressed group. Pengertian ini jelas tidak sesuai dengan konteks pendidikan di Indonesia, karena Indonesia memiliki konteks budaya yang berbeda dengan Amerika Serikat, walaupun keduanya memiliki suku bangsa (etnis) dengan multi kebudayaan.

Menurut Andersen dan Chuser dalam Hamid Hasan (2002:8), adalah pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Definisi ini tentu lebih luas bila dibandingkan dengan yang dikemukakan di atas, meskipun demikian posisi kebudayaan masih sama dengan apa yang dikemukakan dalam definisi di atas, yaitu keragaman kebudayaan menjadi sesuatu yang dipelajari.

Menurut Rochiati Wiriaatmadja (2002:255), pendidikan multicultural ialah pendidikan yang bertujuan mempersiapkan anak didik dengan sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam lingkungan budaya etnik mereka, budaya nasional dan antar budaya etnik lainnya.

Dengan demikian pendidikan multicultural ini, adalah suatu pendidikan yang diterapkan dalam negara kebangsaan yang majemuk; terdiri dari ratusan etnis dengan bahasa yang berbeda, adat istiadat, budaya, agama, keadaan geografis, pengalaman sejarah yang berbeda (bhinneka), dengan maksud terjadinya suatu pembauran (melting pot), dalam kerangka persatuan dan kesatuan, memperkuat integrasi bangsa, (tunggal ika), namun tetap mengakui eksistensi budaya dari masing-masing etnik, sehingga adanya kesatuan dalam keragaman (salad bowl). Budaya dari masing-masing etnik tersebut akan mempunyai peranan yang unik dalam memperkaya khasanah budaya nasional, sebagaimana telah dijamin dalam penjelasan UUD 1945.

Melalui pendidikan multicultural, sejak dini peserta didik sudah dipersiapkan untuk menjadi warga negara yang baik, sebagaimana hakikat dari pendidikan IPS itu sendiri. Seorang Jawa, Melayu, Bugis atau dari etnis lainnya, haruslah akrab dengan budaya suku bangsanya, dapat berbahasa ibu, namun juga harus pandai secara lisan dan tulis berbahasa Indonesia, menghargai adanya budaya dari etnis lain, serta dapat menerima kenyataan bahwa Bangsa Indonesia adalah suatu bangsa yang bhinneka tunggal ika.DAFTAR PUSTAKAAlfian M., , 2002, "Akbar Tanjung dan Etika Politik".  Harian Media Indonesia, 19 Maret 2002.Bertens, K., 2991, Etika.  Jakarta: Gramedia.choirulmahfud.blogspot.com/2005/ 09/menggagas-pendidikan-multikultural-di.html - 23k 23-12-2005Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincolns (eds), 2000, Handbook of Qualitative Research.  Second Edition. 

London: Sage.Fay,  Brian, 1996, Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach.  Oxford: BlackwellGlazer, Nathan, 1997, We Are All Multiculturalists Now.  Cambridge, Mass.:Harvard University Press.Guba, Egon G.(ed.), The Paradigm Dialog.  London: Sage.Hasan, Hamid, (2002), pendekatan Multikulultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional, Bandung, UPIJary, David dan Julia Jary, 1991, "Multiculturalism".  Hal.319.  Dictionary of Sociology.  New York: Harper.Magnis-Suseno, 1987, Etika Dasar.  Yogyakarta:  Kanisius.

Page 14: Web viewBangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang ... sosiologi , ilmu politik, ilmu ... tentang

Nieto, Sonia, 1992, Affirming Diversity:  The Sociopolitical Context of Multicultural Education.  New York: Longman.

Reed, Ishmed (ed.), Multi America:  Essays on Culture Wars and Peace.  Pinguin.Rex, John, 1985, "The Concept of Multicultural Society".  Occassional Paper in Ethnic Relations, No. 3. 

Centre for Research in Ethnic Relations (CRER).Simposium Internasional Bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002Somantri (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya

Suparlan, Parsudi, 1999, "Kemajemukan Amerika:  Dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme".  Jurnal Studi Amerika, vol.5 Agustus, hal. 35-42.

Tilaar H. A.R (2003) KEKUASAAN & PENDIDIKAN (Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural) INDONESIATERA, Magelang

Watson, C.W., 2000,  Multiculturalism.  Buckingham-Philadelphia: Open University Press.Wiriaatmadja, Rochiati, (2002), Pendidikan Sejarah di Indonesia, Bandung, Historia Utama Press.www.kompas.com/kompas-cetak/0409/03/opini/1246546.htm - 44k 23-12-2005www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_ps.htm - 41k 23-12-2005     _________     , 2001a, "Bhinneka Tunggal Ika:  Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan?  makalah

disampaikan dalam Seminar "Menuju Indonesia Baru".  Perhimpunan Indonesia Baru - Asosiasi  Antropologi Indonesia.  Yogyakarta, 16 Agustus 2001.    

     _________     , 2001b, "Indonesia Baru Dalam Perspektif Multikulturalisme". Harian Media Indonesia, 10 Desember 2001.

     _________     , 2002a, "Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia".  Jurnal Antropologi Indonesia, no. 6, hal. 1-12.

     _________    , 2002b, Konflik Antar-Sukubangsa dan Upaya Mengatasinya. Temu Tokoh.  "Dengan Keberagaman Etnis Kita Perkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Rangka Menuju Integrasi Bangsa".  Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya - Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKNST) Pontianak.  Singkawang, 12-14 Juni 2002.