Upload
docong
View
216
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembahasan
Belakangan ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasa sangat penting. Paling
tidak karena perkembangan dan pertumbuhan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika
pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai
dimanapun dan kapanpun, terutama pada masyarakat – masyarakat agama yang sedang
mengalami modernisasi.
Jika kita telusuri sejak saat kehidupan Nabi Muhammad SAW, para sejarahwan sering
membaginya dalam dua periode, yakni periode Mekkah dan periode Madinah. Pada periode
pertama, risalah kenabian berisi tentang ajaran – ajaran akidah akhlak, sedangkan pada
risalah kedua kenabian lebih banyak berisi tentang hukum – hukum. Dalam mengambil
keputusan masalah amaliyah sehari – hari, para sahabat tidak perlu melakukan ijtihad sendiri
karena mereka dapat langsung bertanya kepada Nabi Muhammad SAW jika mereka
mendapati suatu masalah yang belum mereka ketahui.
Sampai dengan masa empat khalifah yang pertama, hukum – hukum syariah itu belum
dibukukan dan juga belum diformulasikan sebagai sebuah ilmu yang sistematis. Kemudian
pada masa – masa awal periode tabi’in (masa Dinasti Umayyah) muncul aliran – aliran
dalam memahami hukum – hukum syariah serta dalam merespon persoalan – persoalan baru
yang muncul sebagai akibat semakin luasnya wilayah Islam, yakni al – hadist dan al – ra’y.
Aliran pertama yang berpusat di Hijaz (Mekkah – Madinah) banyak menggunakan hadis dan
pendapat – pendapat sahabat, serta memahaminya secara harfiah. Sedangkan aliran kedua
yang berpusat di Irak, banyak menggunakan rasio dalam merespons persoalan baru yang
muncul. Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum tersebut merupakan sebuah hasil
penelitian (ijti’had), hal ini tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan
kedudukan hukum Islam, tapi sebaliknya bisa memberikan kelonggaran pada banyak orang
sebagaimana disampaikan Nabi dalam sebuah hadis yang artimya “perbedaan pendapat di
kalangan umatku adalah rahmat.” Ini berarti bahwa orang bebas memilih satu pendapat dari
banyak pendapat itu dan tidak terpaku pada satu pendapat saja.
1
B. Rumusan Pembahasan
Berdasarkan latar belakang pembahasan di atas, dapat ditentukan rumusan pembahasan
yakni sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah dan riwayat hidup Imam Hanafi?
2. Bagaimana sejarah dan riwayat hidup Imam Maliki?
3. Bagaimana sejarah dan riwayat hidup Imam Syafi’i?
4. Bagaimana sejarah dan riwayat hidup Imam Hanbali?
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa tujuan pembahasan
yaitu:
1. Mengetahui dan faham sejarah singkat dan riwayat hidup Imam Hanafi
2. Mengetahui dan faham sejarah singkat dan riwayat hidup Imam Malik
3. Mengetahui dan faham sejarah singkat dan riwayat hidup Imam Syafi’i
4. Mengetahui dan faham sejarah singkat dan riwayat hidup Imam Hanbali
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Riwayat Hidup Imam Hanafi
Nama lengkap abu hanifah adalah Nu’man bin Tsabit bin Zutha al-Taimy. Lebih dikenal
dengan sebutan Abu Hanifah. Ia berasal dari keturunan Parsi, lahir di Kufah tahun 80 H/699
M dan wafat di Baghdad tahun 150 H/767 M. ia menjalani hidup di dua lingkungan sosio-
politik, yakni di masa akhir Dinasti Umaiyyah dan masa awal Dinasti Abbasiyah.
Abu Hanifah adalah pendiri madzhab hanafi yang terkenal dengan “al-imam al-A’zham”
yang berarti imam terbesar. Menurut suatu riwayat, ia dipanggil dengan sebutan Abu
Hanifah, karena ia mempunyai seorang putra bernama Hanifah. Menurut kebiasaan, nama
anak menjadi nama panggilan bagi ayahnya dengan memakai kata Abu (Bapak/Ayah),
sehingga ia terkenal dengan sebutan Abu Hanifah. Tetapi menurut Yusuf Musa, ia disebut
Abu Hanifah karena ia selalu berteman dengan “tinta” (dawat), dan kata Hanifah menurut
bahasa Arab berarti “tinta”. Abu hanifah senantiasa membawa tinta guna menulis dan
mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari teman-temannya.
Abu Hanifah dikenal sangat rajin belajar, taat ibadah dan sungguh-sungguh dalam
mengerjakan kewajiban agama. Kata hanif dalam Bahasa Arab berarti condong atau
cenderung kepada yang benar.
Abu Hanifah berhasil mendidik dan menempa ratusan murid yang memiliki pandangan
luas dalam masalah fiqih. Puluhan dari muridnya itu menjabat sebagai hakim-hakim dalam
pemerintahan dinasti Abbasiyah, saljuk, ‘utsmani dan Mughal. Adapun guru-guru Imam
Abu Hanifah yang banyak jasanya dan selalu member nasihat kepadanya, antara lain adalah:
imam ‘Amir ibn Syahril al-Sya’bi dan Hammad ibn Sulaiman al-‘Asy’ari. Ia mempelajari
qiraat dan tajwid dari Idris ‘Ashim. Beliau sangat rajin dan selalu taat serta patuh pada
perintah gurunya.
Seperti kebiasaan ulama lainya, masa kecilnya dilalui dengan menghafal al-Qur’an
kemudian beberapa hadits-hadits penting. Sedang kehidupan ilmiyahnya dimulai dengan
menekuni Ilmu Kalam, mungkin dikarenakan kondisi masyarakat Irak yang saat itu banyak
perbedaan dan perdebatan masalah akidah sehingga memberikan pengaruh terhadap
kecenderungan Abu Hanifah muda. Namun lama-kelamaan beliau menyadari bahwa selama
3
ini ia telah mengikuti jalan yang tidak pernah diikuti para salafuna ash-shalih dan sibuk
dengan perdebatan-perdebatan yang tidak jelas manfaatnya. Inilah yang menjadi faktor asasi
perubahan haluan ilmu beliau ke bidang Fiqh yang lebih nampak manfaatnya di tengah
masyarakat
Abu hanifah pada mulanya gemar belajar ilmu qira’at, hadist, nahwu, sastra, syi’ir dan
ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu.diantara ilmu-I;mu yang diminatinya
adalah teologi, sehingga ia menjadi salah seorang tokoh terpandang dalam ilmu tersebut.
Karena ketajaman pemikirannya, ia sanggup menangkis serangan golongan Khawarij yang
doktrin ajarannya sangat ekstrim.
Selanjutnya, Abu Hanifah menekuni ilmu fikih di Kuffah yang pada waktu itu
merupakan pusat pertemuan para ulama fiqih yang cenderung rasional. Di Irak terdapat
Madrasah Kufah yang dirintis oleh Abdullah ibn Mas’ud (wafat 63 H/682 M).
Kepemimpinan Madrasah Kufah kemudian beralih kepada Ibrahim al-Nakha’I, lalu
Hammad Ibn Abi Sulaiman al-As’ari (wafat 120 H). hammad ibn Sulaiman adalah salah
seorang imam Besar (terkemuka) ketika itu. Ia murid dari Al-qamah ibn Qais dan al-Qadhi
Syuriah, keduanya adalah tokoh dan pakar fikih yangbterkenal di Kufah dari golongan
Tabi’in. dari Hammad ibn Abi Sulaiman itulah Abu Hanifah belajar fikih dan hadist.
Pola Pemikiran Imam Hanafi
Menurut sejarahwan, bahwa pada masa pemerintahan dinasti Umayyah dan Abasiyah,
Abu Hanifah pernah ditawari beberapa jabatan resmi, seperti di Kuffah yang ditawarkan
oleh Yazid bin Umar (pembesar kerajaan), akan tetapi Abu Hanifah menolaknya. Pada masa
dinasti Abasiyah, Abu Ja’far al-Mansur pernah pula meminta kedatangannya di Bghdad
untuk diberi jabatan sebagai hakim, namun ia menolaknya. Akibat penolakan itu ia
dipenjarakan sampai meninggal dunia.
Abu Hanifah hidup selama 52 tahun pada masa dinasti Umayyah dan 18 tahun pada
masa dinasti Abasiyah. Alih kekuasaan dari Umayyah yang runtuh kepada Abasiyyah yang
naik tahta, terjadi di Kuffah sebagai ibu kota Abbasiah sebelu pindah ke Baghdad.
Kemudian Baghdad dibangun oleh khalifah kedua abasiyah, Abu Ja’far Al-Manshur (754-
775 M), sebagai ibu kota kerajaan tahun 762 M.
4
Dari perjalanan hidupnya itu, Abu Hanifah sempat menyaksikan tragedy-tragedi besar di
Kuffah. Disatu segi, kota Kuffah member makna dalam kehidupannya sehingga menjadi
salah seorang ulama besar dan al-imam al-A‘azam. Disisi lain ia merasakan kota Kuffah
sebagai kota terror yang diwarnai dengan pertentangan politik. Kota Bashrah dan Kuffah di
Irak melahirkan banyak ilmuwan di berbagai bidang, seperti ilmu sastra, teologi, tafsir fiqih
hadis dan tasawuf. Kedua kota bersejarah ini mewarnai intelektual Abu Hanifah di tengah
berlangsungnya proses transformasi sosio-kultural, politik dan pertentangan tradisional
antara suku arab utara, Arab Selatan dan Persi. Oleh sebsb itu pola pemikiran Abu Hanifah
dalam menetapkan hukum, sudah sangat tentu dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan
serta pendidikannya, juga tidak lepas dari sumber hukum yang ada.
Abu Hanifah dikenal sebagai ulama Ahl Al-Ra’yi. Dalam menetapkan hukum islam,
baik yang diistinbatkan dari Al-qur’an ataupun hadist, beliau banyak menggunakan nalar.
Beliau mengutamakan ra’yi dari khabar ahad. Apabila terdapat hadis yang bertentangan,
beliau menetapkan hukum dengan jalan qiyas dan istihsan.
Adapun metode istidlal Imam Abu Hanifah dapat dipahami dari ucapan beliau sendiri,
“Sesungguhnya saya mengambil kitab suci Al-Qur’an dalam menetapkan hokum, apabila
tidak didapatkan dalam Al-Qur’an, maka saya mengambil dari Sunnah Rasul SAW yang
shahih dan tersiar dikalangan orang-orang terpercaya. Apabila saya tidak menemukan dari
keduanya, maka saya mengambil pendapat orang-orang terpercaya yang saya kehendaki,
kemudian saya tidak keluar dari pendapat mereka. Apabila urusan itu sampai kepada
Ibrahim Al-Sya’by, Hasan ibn Sirrin dan Sa’id ibn Musayyab, maka saya berijtihad
sebagaimana saya berijtihad.”
B. Sejarah dan Riwayat Hidup Imam Maliki
Nama madzhab Maliki dinisbatkan dari seorang ulama yang bernama Imam Malik bin
Anas (93-179 H). Beliau lahir di Madinah dan menjadi ahli fiqh yang terkenal di Madinah.
Diriwayatkan bahwa beliau tidak pernah meninggalkan kota ini kecuali pada waktu
melaksanakan ibadah haji. Mengenai tahun kelahirannya terdapat beberapa perbedaan. Ibnu
Khaliqan mencatat bahwa tahun lahirnya adalah 75 H, sedangkan Imam Syafi’i berpendapat
bahwa dia lahir 94 H.
5
Masa muda Malik disibukkan dengan menuntut ilmu. Mula-mula ia menghafal as-
Sunnah, atsar dan fatwa-fatwa sahabat. Malik bin Anas mulai belajar dan menghafal al-
Qur’an dan pada usia yang sangat muda telah hafal seluruh al-Qur’an. Setelah itu beliau
mulai belajar dan menghafal hadis. Guru beliau dalam hadis antara lain: Ibnu Syihab az-
Zuhri, Ibnu Hurmuz, dan Nafi’. Sementara guru beliau dalam bidang fiqh adalah Rabi’ah
dan Yahya bin Sa’id al-Anshari.
Situasi ketika Malik hidup juga memberikan pengaruh besar terhadap sikap
konsistensinya pada hadis dan keengganannya pada ijtihad rasio. Selama 40 tahun ia hidup
dalam periode Umayyah dan 46 tahun dalam periode Abbasiyah. Masa-masa ini merupakan
orde penuh gejolak dan sarat gelombang fitnah dan politik. Dalam lapangan politik,
misalnya, munculnya aliran Syi’ah dan Khawarij. Dalam teologi muncul aliran Qadariyah,
Jahmiyah dan Murji’ah. Dalam upaya membela madzhab-madzhabnya, kadang-kadang
mereka menggunakan hadis-hadis nabi secara serampangan. Akibatnya timbul hadis-hadis
palsu dan pertentangan di kalangan masyarakat.
Akibat dari kecerobohan-kecerobohan terhadap hadis-hadis Nabi itu, Imam Malik merasa
perlu untuk meneliti riwayat-riwayat hadis. Dari sinilah lahir bukunya yang monumental,
¬al-Muwattha’, yang memuat hadis-hadis shahih, perbuatan-perbuatan orang-orang
Madinah, fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in yang disusun secara sistematis mengikuti
sistematika penulisan fiqh. Keistimewaan buku ini adalah bahwa Imam Malik memerinci
berbagai persoalan dan kaidah-kaidah fiqhiyah yang diambil dari hadis-hadis dan atsar.
Buku yang berjudul al-Muwattha’ dan disusun selama 40 tahun ini bermakna “kemudahan”
dan “kesederhanaan”, karena penulisannya yang diusahakan sebaik mungkin untuk
memudahkan dan menyederhanakan kajian-kajian hadis dan fiqh.
Adapun dasar-dasar yang digunakan oleh madzhab Maliki adalah sebagai berikut:
1) Al Qur’an
2) As-Sunnah. Berbeda dengan Abu Hanifah yang mensyaratkan dengan kualifikasi
tertentu, Imam Malik meski mengutamakan hadis mutawatir dan masyhur, juga
menerima hadis ahad asalkan tidak bertentangan dengan amal (praktik) ahli Madinah.
3) Amal ahli Madinah (praktik masyarakat Madinah). Imam Malik berpendapat bahwa
Madinah merupakan tempat Rasulullah menghabiskan 10 tahun terakhir hidupnya,
maka praktik yang dilakukan oleh masyarakat Madinah mesti diperbolehkan, atau
6
bahkan dianjurkan oleh Nabi Saw. Oleh karena itu, Imam Malik beranggapan bahwa
praktik masyarakat Madinah merupakan bentuk as-Sunnah yang sangat otentik yang
diriwayatkan dalam bentuk tindakan.
4) Fatwa sahabat
5) Qiyas
6) Al-Mashlahah Mursalah yakni menetapkan hukum atas berbagai persoalan yang tidak
ada petunjuk nyata dalam nash, dengan pertimbangan kemaslahatan, yang proses
analisisnya lebih banyak ditentukan oleh nalar mujtahidnya
7) Al Istihsan
8) Adz-Dzari’ah yakni Imam Malik menetapkan hukum dengan mempertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul dari suatu perbuatan. Jika perbuatan itu
akan menimbulkan mafsadah meski hukum asalnya boleh, maka hukum perbuatan tadi
adalah haram. Sebaliknya, jika akan menimbulkan maslahah, maka hukum perbuatan
tadi tetap boleh atau bahkan dianjurkan atau meningkat menjadi wajib.
Penganut madzhab Maliki ini sampai sekarang banyak pengikutnya dan mereka tersebar
di negara-negara, antara lain: Mesir, Sudan, Kuwait, Bahrain, Maroko dan Afrika.
C. Sejarah dan Riwayat Hidup Imam Syafi’i
Sebagaimana nama madzhab-madzhab sebelumnya, nama madzhab ini juga diambil dari
nama imam yang menjadi tokoh utama yang pemikirannya banyak diikuti oleh pengikut
madzhab ini. Beliau adalah Imam Abdullah bin Muhammad bin Idris asy-Syafi’i yang lahir
bertepatan dengan wafatnya Abu Hanifah yaitu 150 Hijriyah di daerah yang bernama
Ghazzah, salah satu kota di daerah Palestina, dan wafat di Mesir tahun 204 H (822). Ayah
beliau meninggal ketika masih kecil. Pada usia dua tahun ia dibawa ibunya ke Mekkah.
Dalam usia anak-anak, sekitar 9 tahun, ia sudah hafal al-Qur’an di luar kepala. Ia juga
menghafal hadis-hadis Nabi. Syafi’i juga tekun belajar bahasa Arab, bahkan karena
minatnya yang demikian tinggi ini membawanya selalu berkelana ke pelosok-pelosok
pedesaan (badawah). Dari sana Imam Syafi’i menguasai sastera Arab untuk memahami teks
al-Qur’an dan hadis dengan baik.
Dalam bidang hadis, di Mekkah ia berguru kepada Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin
Khalid. Ia menghafal ¬al-Muwattha’ sebelum bertemu penulisnya, Imam Malik. Konon ia
menghafalnya hanya dalam waktu 9 hari. Pada diri asy-Syafi’i terkumpul pemikiran fiqh
7
fuqaha Mekkah, Madinah, Irak, Syam dan Mesir. Ar-Razi – seperti dikutip Mun’im –
mengatakan bahwa hampir semua ulama terkemuka yang hidup di zamannya pernah
menjadi gurunya atau, paling tidak, pernah mendiskusikan berbagai persoalan dengannya.
Kehidupan ilmiahnya bersama Imam Malik selama 3 tahun di Hijaz, dengan tatanan
kehidupan sosial yang sederhana membuat Imam sy-Syafi’i cenderung pada aliran hadis,
bahkan mengaku sebagai pengikut madzhab Maliki. Tetapi sesudah ia mengembara ke
Baghdad, Irak, dan menetap di sana untuk beberapa tahun lamanya serta mempelajari fiqh
Abu Hanifah dan pemikiran rasional Ahlur Ra’yu, maka mulailah ia condong pada aliran
Ahlur Ra’yu. Apalagi setelah ia rasakan sendiri tingkat kebudyaan di Irak sebagai daerah
perkotaan menyebabkan aneka ragam masalah kehidupan berikut problematikanya yang
seringkali tidak ditemukan ketentuan jawabannya dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua kondisi yang berbeda ini dapat diikuti dengan cermat sehingga melahirkan suatu
sintesa pemikiran fiqh moderat antara Ahlul Hadis dan fiqh Ahlur Ra’yi. Imam Syafi’i
dalam beberapa hal berbeda pendapat dengan Imam Malik dan juga melakukan koreksi
terhadap pengikut-pengikut madzhab Hanafi. Dari kritik-kritik kedua madzhab itu akhirnya
muncul dengan madzhab baru yang merupakan sintesa dari kedua madzhab tersebut.
Kehidupan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat memengaruhi Imam Syafi’i
dalam membentuk pemikiran dan madzhab fiqhnya. Munculnya apa yang disebut qaul jadid
dan qaul qadim membuktikan hal tersebut. Madzhab qaul qadim dibangun di Irak tahun 195
H. Kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad pada masa pemerintahan khalifah al-Amin itu
melibatkan Syafi’i dalam perdebatan sengit dengan para ahli fiqh rasional. Sedangkan qaul
jadid adalah pendapatnya selama berdiam di Mesir yang dalam banyak hal mengoreksi
pendapat-pendapat sebelumnya. Lahirnya madzhab jadid ini merupakan dampak dari
perkembangan baru yang dialaminya, dari penemuan hadis, pandangan dan kondisi sosial
baru yang tidak ditemui sebelumnya di Hijaz dan Irak.
Secara ringkas, dasar-dasar madzhab Syafi’i dalam menentukan hukum adalah sebagai
berikut:
1) Al Qur’an
2) As Sunnah
3) Ijma’.Imam Syafi’i berpandangan bahwa kemungkinan ijma’ berarti persamaan faham
atau kesepakatan seluruh ulama atas suatu persoalan pada satu masa merupakan hal
8
yang sulit terjadi, karena jauhnya jarak dan sulitnya komunikasi di antara para ulama
tersebut. Namun demikian, ia tetap mengakui adanya ijma’ dan memeganginya sebagai
dalil dan mungkin terjadi adalah ijma’ sahabat dalam persoalan-persoalan tertentu.
4) Perkataan Sahabat
5) Qiyas
6) As-Istihab yaitu membiarkan suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa lampau
dan masih diperlukan ketentuannya hingga ada dalil lain yang menggantikannya. Imam
Syafi’i dalam kitabnya al-Umm menyatakan: “Apabila seseorang melakukan suatu
perjalanan dan ia membawa air, kemudian ia menduga bahwa air tersebut tercampuri
najis, tetapi ia tidak yakin akab terjadinya percampuran tersebut, maka dalam hal ini air
tersebut tetap dihukumi suci, bisa dibuat wudhu’ maupun diminum, hingga orang
tersebut yakin benar bahwa air itu telah tercampuri najis.”
Pengikut-pengikut madzhab Syaf’I ini di antaranya di daerah-daerah seperti Mesir,
Afrika Timur, Persia dan Malaysia, Indonesia, Khurasan, Syiria, Armenia, Ceylon,
Tiongkok dan Filipina Selatan.
D. Sejarah dan Riwayat Hidup Imam Hanbali
Imam Ahmad bin Hambal adalah Imam terakhir atau imam yang keempat di antara para
Imam madzhab empat yang terkenal sepanjang sejarah dan dapat dipastikan bahwa tidak
akan ditemukan lagi para Imam seperti mereka, yang memiliki berbagai keahlian.
Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Bilal bi Asad bin
Idris bin Abdullah bin Hasan Asy – Syaibani Al – Marwazi, lahir pada Rabiul Awal pada
tahun 164 H di Bagdad.1
Ahmad ibn Hanbal dibesarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya karena ayahnya
meninggal ketika beliau masih bayi. Sejak kecil, beliau telah menunjukkan sifat dan pribadi
yang mulia, sehingga menarik simpati banyak orang. Dan sejak kecil itu pula beliau telah
menunjukkan minat yang besar kepada ilmu pengetahuan, dan kebetulan pada saat itu
Bagdad merupakan kota pusat ilmu pengetahuan. Beliau memulai dengan belajar menghafal
1 Ibrahim, Muslim. 1989. Pengantar Fiqh Muqaaran. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama. Hlm 96
9
Al – Qur’an dan hafal pada usia 14 tahun. Kemudian belajar bahasa Arab, hadis, sejarah
Nabi Muhammad SAW dan sejarah para sahabat serta para tabi’in.2
Untuk memperdalam ilmu, beliau pergi ke Bashrah untuk beberapa kali dan di sanalah
beliau bertemu dengan Imam Syafi’i. Beliau juga pergi menuntut ilmu ke Yaman dan Mesir.
Di antara guru beliau yang lain adalah Yusuf Al – Hasan ibn Ziyad, Husyaim, ‘Umair, Ibn
Humam dan Ibn Abbas. Imam Ahmad ibn Hanbal banyak emmpelajari dan meriwayatkan
hadis, serta beliau tidak mengambil hadis, kecuali hadis – hadis yang sudah jelas sahihnya.
Oleh karena itu, akhirnya beliau berhasil mengarang kitab hadis yang terkenal dengan nama
Musnad Ahmad Hanbal. Beliau mulai mengajar ketika berusia empat puluh tahun.
Pada masa pemerintahan Al – Mu’tashim, khalifah Abbasiyah, beliau sempat dipenjara
karena sependapat dengan opini yang mengatakan bahwa Al – Qur’an adalah makhluk.
Beliau dibebaskan pada masa Khalifah Al – Mutawakkil.
Imam Ahmad ibn Hanbali wafat di Baghdad pada usia 77 tahun atau tepatnya pada tahun
241 H (855M) pada masa pemerintahan Khalifah Al – Wathiq. Sepeninggal beliau, mazhab
Hanbaliberkembang luas dan menjadi salah satu mazhab yang memiliki banyak penganut.
Pokok – pokok fiqih mazhab Hanbali yakni :
1. Nash Al – Qur ’an dan nash hadis yang sahih. Bila beliau telah menemukan nash Al –
Qur’an dan nash hadis yang sahih untuk menetapkan hukum dari suatu masalah, maka
beliau tidak menggunakan dalil – dalil yang lain sekalipun dalil yang lain itu berupa
keterangan atau fatwa sahabat – sahabat Rasulullah.
2. Fatwa sahabat Rasulullah, bila tidak ditemukan nash Al – Qur’an dan hadis yang sahih.
3. Fatwa seorang sahabat yang belum disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini
beliau mengambil fatwa sahabat yang lebih dekat dan lebih sesuai dengan Al – Qur’an
dan hadis. Bila beliau belum menetapkan mana fatwa yang lebih dekat kepada Al –
Qur’an dan hadis, beliau meramal dengan salah satu dari fatwa itu dengan tidak
menyatakan mana fatwa yang lebih kuat dan mana yang kurang kuat.
2 Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Dahulukan Akhlak di atas Fiqih. Bandung : PT. Mizan Pustaka. Hlm 192
10
4. Hadis mursal dan hadis dhaif, apabila beliau tidak menemukan Al – Qur’an, hadis,
fatwa sahabat yang beliau anggap kuat atau belum dinyatakan mana yang kuat di antara
fatwa – fatwa itu, perawi – perawinya tidak dinyatakan orang – orang pendusta.
5. Qiyas, apabila tidak ditemukan no 1 sampai 4. Beliau hanya menggunakan qiyas dalam
keadaan darurat.
Dari keterangan di atas, nyatalah bahwa Ahmad bin Hanbal adalah seorang ulama yang
mementingkan riwayat, orang yang berusaha benar agar semua ibadat yang dilakukan itu
sesuai benar dengan ibadat yang dilakukan Rasulullah SAW yang kemudian dicontoh dan
dikerjakan oleh para sahabat – sahabat beliau.
Mazhab Hanbali mulai tersiar di kota Baghdad, tempat kelahiran Imam Ahmad,
kemudian berkembang ke Syria. Sampai abad ke VII belum nampak perkembangan mazhab
ini. Barulah berkembang abad ke VIII di Mesir yang dikembangkan oleh Hafiz Abdul Ghani
Al Muqaddasi, pengarang kitab ‘Umdah. Kemudian dikembangkan oleh Abdullah bin
Muhammad bin Abdul Malik Al Hajawi sewaktu beliau menjadi qadhi di Mesir tahun 738
H.3
Pada periode akhir ini mazhab Hanbali dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul
Qayyim, Muhammad Abdul Wahab (pemuka aliran Wahabi), Waliullah Ad Dahlawi di
India dan Pakistan serta yang terakhir oleh Muhammad Abduh di Mesir.
E. Tabel Riwayat Imam Empat Madzhab (terlampir)
3 Ibrahim, Muslim. 1989. Pengantar Fiqh Muqaaran. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama. Hlm 104
11
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Madzhab Hanafi. Nama asli yaitu Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan
at-Taymi. Ayahnya keturunan bangsa persi yang menetap di kuffah bernama Tsabit4. Lahir pada
tahun 80 H atau 699 M di Kuffah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 150 H atau 797
M5. Metode yang dipakai yaitu al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Perkataan Shahabat, Qiyas, Istihsan
dan ‘Urf (Adat)6. Madzhab hanafi dikenali dengan madrasah ahli ra'yi atau rasional, kerana
banyak menggunakan ijtihad dalam fiqihnya7. Penyebarannya berawal di Baghdad dan Kuffah,
namun kemudian terus meluas sampai ke daerah-daerah lain, khususnya yang pernah berada di
bawah kekuasaan Abbasiyah, seperti Mesir, Syam, Tunis, Jazair, Tripoli, Yaman, India, Parsi,
Romawi, Cina, Bukhara, Afghan, Turkistan bahkan Brazil8. Sampai saat ini bisa dikatakan
Mazhab Hanafi banyak dipakai di Irak, Syam/Syiria, India, Turkistan.
Madzhab Maliki. Imam dari madzhab ini yaitu Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik
bin Abi ‘Amir al-asybahi al-‘araby al-Yamaniyahal9. Ayahnya berasal dari kabilah Dzi Ashbah
yang ada di Yaman, dan ibunya bernama ‘Aliyah binti syuraik dari kabilah Azdi. Lahir pada
tahun 93 H atau 712 M di Madinah dan wafat pada tahun 179 H atau 798 M 10. Dasar atau pokok
pemikiran bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ Ahlu Al-Madinah, Fatwa Sahabat,
Qiyas, ‘Urf, Istishab, Syar’u man Qoblana11. Madzhab ini terkenal dengan mengutamakan akal
penduduk Madinah dari hadith Ahad walaupun sahih. Mazhab imam Maliki tersebar di daerah
Hijaz, Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko, Tripoli, Sudan, Bashrah, dan Baghdad12.
4 Ar-rahbawi, `Abdul Qadir. 2008. Salaf Empat Mazhab. Pustaa litera antarNusa : Bogor. Hlm : 3. 5 Ibid. 6 http://ragab304.wordpress.com/2009/02/13/mazhab-hanafi/
7 Ibid8 Ibid9 http://www.slideshare.net/marhamahsaleh/sejarah-pola-istinbath-mazhab-hanafi-maliki
10 Ar-rahbawi, `Abdul Qadir. 2008. Salaf Empat Mazhab. Pustaka Litera AntarNusa : Bogor. Hlm 411 http://www.slideshare.net/marhamahsaleh/sejarah-pola-istinbath-mazhab-hanafi-maliki12 ibid
12
Madzhab Syafi`i. Dengan Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi`i13 sebagai imam
madzhabnya. Keturunan beliau bertemu dengan titisan keturunan Rasulullah s.a.w pada ‘Abd
Manaf. Ibunya berasal dari Kabilah Al-Azd, satu kabilah Yaman yang masyhur. Lahir di Guzat
palestina pada 150 H atau 769 M wafat di Mesir pada tahun 204 H atau 820 M14. Metode atau
manhaj imam Syafi`I yaitu: Al-Qur`an, Sunnah, Ijma`, Qiyas, As-Istihab15. Beliau tidak
menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah sebagai dasar ijtihadnya.
Penyebaran madzhab imam Syafi`i meliputi Mesir, Syam, Irak, Persia, kawasan Khurasan,
Palestina, Hadramaut (Yaman), Pakistan, Srilanka, India, Indonesia16.
Madzhab Hanbali. Dengan imam yaituAbu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal
bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith
bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy Syaibaniy17. Ibunya bernama
Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy18. Lahir di Baghdad pada tahun 164
H atau 780 M dan wafat pada tahun 241 H atau 855 M19. Dasar atau pokok pemikiran yaitu An-
Nushush (yaitu Qur'an dan hadis, Qaulus shahabi (fatwa sahabat), Ijma', Qiyas. Penyebaran dari
madzhab Imam Hanbali ini meliputi Irak, Mesir, Semenanjung Arab dan Syam, dan menjadi
mazhab resmi kerajaan Saudi Arabia20.
13 Abu Zahrah, muhammad. 2007. Imam Syafi`i : biografi dan pemikirannya dalam masalah akidah, politik, dan fiqih. Lentera : jakarta. Hlm 514 Ibid15 http://www.slideshare.net/marhamahsaleh/sejarah-pola-istinbath-mazhab-hanafi-maliki
16 Abu Zahrah, muhammad. 2007. Imam Syafi`i : biografi dan pemikirannya dalam masalah akidah, politik, dan fiqih. Lentera : Jakarta. Hlm 564. 17 Ar-rahbawi, `Abdul Qadir. 2008. Salaf Empat Mazhab. Pustaka Litera AntarNusa : Bogor. Hlm 618 http://www.slideshare.net/marhamahsaleh/sejarah-pola-istinbath-mazhab-hanafi-maliki
19 Ar-rahbawi, `Abdul Qadir. 2008. Salaf Empat Mazhab. Pustaka Litera AntarNusa : Bogor. Hlm 620 Ibidk
13
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Rahbawi, Abdul Qadir. 2008. Salaf Empat Madzhab. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
Abu Zahrah, Muhammad. 2007. Imam Syafi’i: Biografi dan Pemikirannya dalam masalah
akidah, politik dan fiqih. Jakarta: Lentera.
Ibrahim, Muslim. 1989. Pengantar Fiqh Muqaaran. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama.
Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Dahulukan Akhlak di atas Fiqih. Bandung : PT. Mizan Pustaka.
Asy-Syarqowi, Abdurrahman. 2000. Riwayat Sembilan Imam Fiqh. Bandung: Pustaka Hidayah.
Al-Aqil, Muhammad. 2005. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’i. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i.
Muasalih, Khaled. 2005. Biografi 10 Imam Besar. Jakarta: Pustaka al Kautsar.
Yanggo, Huzaemah. 1997. Pengantar Perbandingan Madzhaab. Jakarta.
Asy-Syurbasi, Ahmad. 2004. Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hanbali, Penerj. Sabil Huda dan H.A. Ahmadi, Cet.IV, ttp.: Amzah.
Hasan, M. Ali. 2002. Perbandingan Mazhab, Cet.IV. Jakarta: PT Rajawali Press.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1999. Pengantar Ilmu Fiqh, Cet.II. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
14