Upload
nerva-anaa
View
282
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS SGD
BLOK MUSKULOSKELETAL
FRAKTUR SERVIKAL
OLEH:
ELTANINA ULFAMEYTALIA DEWI
1103010
PRODI S 1 KEPERAWATAN PROGRAM B
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BETHESDA YAKKUM
YOGYAKARTA
2012
BAB I
KONSEP DASAR MEDIS
A. PENGERTIAN
Fraktur adalah rusaknya keutuhan struktur tulang (Brooker, 2008).
Fraktur menurut Dorland (2012), adalah pemecahan suatu bagian, khususnya
tulang ; pecah atau rupture pada tulang.
Menurut FKUI (2000), fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas
tulang, sedangkan menurut Doengoes (2000) fraktur adalah pemisahan atau
patahnya tulang.
Sehingga fraktur servikal adalah terpisahnya kontinuitas tulang pada vertebra
servikalis.
Fraktur servikal pang sering disebabkan oleh benturan kuat, atau trauma
pukulan di kepala. Atlet yang terlibat dalam olahraga impact, atau
berpartisipasi dalam olahraga memiliki resiko jatuh akibat benturan di leher
(ski, menyelam, sepak bola, bersepeda) terkait dengan fraktur servikal. Setiap
cedera kepala atau leher harus dievaluasi adanya fraktur servikalis. Sebuah
fraktur servikal merupakan suatu keadaan kedaruratan medis yang
membutuhkan perawatan segera. Spine trauma mungkin terkait cedera saraf
tulang belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, sehingga sangat
penting untuk menjaga leher.
B. KLASIFIKASI TRAUMA SERVIKAL
1. Klasifikasi berdasarkan mekanisme trauma
a. Trauma hiperfleksi
1) Subluksasi anterior
Terjadi robekan pada sebagian ligament di posterior tulang leher;
ligament longitudinal anterior utuh. Termasuk lesi stabil. Tanda
penting pada subluksasi anterior adalah adanya angulasu ke
posterios (kifosis) local pada tempat kerusakan ligament. Tanda-
tanda lainnya: jarak yang melebar antara prosesus spinosus, dan
subluksasi sendi apofiseal.
2) Bilateral interfacetal dislocation
Terjadi robekan pada ligament longitudinal anterios dan kumpulan
ligament di posterior tulang leher. Lesi tidak stabil. Tampak
dislokasi anterior korpus vertebrae. Dislokasi total sendi apofiseal.
3) Flexion tear drop fracture dislocation
Tenaga fleksi murni ditambah komponen kkompresi menyebabkan
robekan pada ligament longitudinal anterior dan kumoulan
ligament posterior disertai fraktur avulse pada bagian antero-
inferior konspur vertebra. Lesi tidak stabil. Tampak tulang servikal
dalam fleksi: fragmen tulang berbentuk segitiga pada bagian
antero-inferior korpus vertebrae, pembengkakan jaringan lunak
pravertebral.
4) Wedge fracture
Vertebra terjept sehingga berbentuk baji. Ligament longitudinal
anterior dan kumoulan ligament posterior utuh sehingga lesi ini
bersifat stabil.
5) Clay shovelers fracture
Fleksi tulang leher dimana terdapat kontraksi ligament posterior
tulang leher mengakibatkan terjadinya fraktur oblik pada prosesus
spinosus; biasanya pada C4-C7 atau Th1.
b. Trauma fleksi rotasi
Terjadi dislokasi interfacetal pada satu sisi. Lesi stabil walaupun
terjadinya kerusakan pada ligament posterior termasuk kapsul sendi
apofiseal yang bersangkutan dan vertebra proksimalnya dalam posisi
oblik, sedangkan distalnya tetap dalam posisi lateral.
c. Trauma hiperkstensi
1) Fraktur dislokasi hiperekstensi
Dapat terjadi fraktur pedikel, prosesus artikularis, lamina dan
prosesu spinosus. Fraktur avulse korpus vertebra bagian postero-
inferior. Lesi tidak stabil karena terdapat kerusakan pada elemen
posterior tulang leher dan ligament yang bersangkutan.
2) Hangmans fracture
Terjadi fraktur arkus bilateral dan silokasi anterior C2 terhadap C3.
d. Ekstensi rotasi
Terjadinya fraktur pada prosesus artikularis satu sisi.
e. Kompresi vertical
Terjadinya fraktur ini akibat diteruskannya tenaga trauma melalui
kepala, kondilus oksipitalis, ke tulang leher.
2. Klasifikasi berdasar derajat kestabilan
a. Stabil
b. Tidak stabil
Stabilitas dalam hal trauma tulang servikal dimaksudkan tetap utuhnya
kkomponen ligament-skeletal pada saat terjadinya pergeseran satu segmen
tulang leher terhadap lainnya.
Cedera dianggap stabil jika bagian yang terkena tekanan hanya bagian
medulla spinalis anterior, komponen vertebral tidak bergeser dengan
pergerakan normal, ligament posterior tidak rudak sehingga medulla
spinalis tidak terganggu, fraktur kompresi dan burst fraktur adalah contoh
cedera stabil. Cedera tidak stabil artinya cedera yang dapat bergeser
dengan gerakan normal karena ligament posteriornya rusak atau robek,
fraktur medulla spinalis disebut fraktur tidak stabil jika kehilangan
integritas dari ligament posterior.
Menentukan stabil atau tidaknya fraktur membutuhkan pemeriksaan
radiografi. Pemeriksaan radiografi minimal ada 4 posisi yaitu
anteroposterior, lateral, oblik kanan dan akiri. Dalam menilai stabilitas
vertebra, ada tiga unsur yang harus dipertimbangkan yaitu kompleks
posterior (kolumna posterior), kompleks media dan kompleks anterior
(kolumna anterior).
C. JENIS FRAKTUR SERVIKAL
Jenis fraktur daerah servikal, sebagai berikut:
1. Fraktur atlas C1
Fraktur ini terjadi pada kecelakaan jatuh dari ketinggian dan posisi kepala
menopang badan dan daerah servical mendapat tekanan hebat. Condylus
occipitalis pada basis crani dapat menghancurlan cincin tulang atlas. Jika
tidak ada cedera angulasi dan rotasi maka pergeseran tidak berat dan
medulla spinalis tidak ikut cedera. Pemeriksaan radiologi yang dilakukan
adalah posisi anteroposterior dengan mulut pasien dalam keadaan terbuka.
Terapi untuk fraktur tipe stabil seperti fraktur atlas ini adalah immobilisasi
servical dengan collar plaster selama 3 bulan.
2. Pergeseran C1 C2 (Sendi Atlantoaxial)
Atlas dan axis dihubungkan dengan ligamentum tranversalis dari atlas
yang menyilang di belakang prosesus odontoid pada axis. Dislokasi sendi
atlantoaxial dapat mengakibatkan arthritis rheumatoid karena adanya
perlunakan kemudian aka nada penekanan ligamentum tranversalis.
Fraktur dislokasi termasuk fraktur basis prosesus odontoid. Umunya
ligamentum tranversalis masih utuh dan prosesus odontoid pindah dengan
atlas dan dapat menekan medulla spinalis. Terapi utnuk fraktur tidak
bergeser yaitu imobilisasi vertebra cervical. Terapi utnuk fraktur geser
atlantoaxial adalah reduksi dengan traksi continues.
3. Fraktur kompresi corpus vertebral
Tipe kompresu lebih sering tanpa kerusakan ligamentum spinal namun
dapt mengakibatkan kompresi corpus vertebralis. Sifat rafktur ini adalah
tipe tidak stabil. Terapi untuk fraktur tipe ini adalah reduksi dengan plastic
collar selama 3 minggu (masa penyembuhan tulang).
4. Flexi subluksasi vertebral cervical
Fraktur ini terjadi saat pergerakan kepala kearah depan yang tiba-tiba
sehingga terjadi deselerasi kepala karena tubrukan atau dorongan pada
kepala bagian belakang, terjadi vertebra yang miring ke depan diatas
vertebra yang ada dibawahnya, ligament posterior dapat rusak dan fraktur
ini singkat disebut subluksasi, medulla spinalis mengalami kontusio dalam
waktu singkat.
Tindakan yang diberikan untuk fraktur tipe ini adalah ekstensi cervical
dilanjutkan dengan imobilisasi leher terkekstensi dengan collar selama 2
bulan.
5. Flexi dislokasi dan fraktur dislokasi cervical
Cedera ini lebih berat disbanding fleksi subluksasi. Mekanisme terjadinya
fraktur hamper sama dengan fleksi subluksasi, posterior ligament robek
dan posterior facet pada satu atau kedua sisi kehilangan kestabilannya
dengan bangunan sekitar. Jikla dislokasi atau fraktur dislokasi pada C7 –
Th1 maka posisi ini sulit dilihat dari posisi foto lateral maka posisi yang
terbaik untuk radiografi adalah “swimmer projection”
Tindakan yang dilakukan adalah reduksi fleksi dislokasi ataupun fraktur
dislokasi dari fraktur cervical termasuk sulit namun traksi skull continu
dapat dipakai sementara.
6. Ekstensi sprain (kesleo) cervical (Whiplash injury)
Mekanisme cedera pada jaringan lunak yang terjadu bila leher tiba-tiba
tersentakl ke dalam hiperekstensi. Biasanya cedera ini terjadi setelah
tertabrak dari belakang; badan terlempar ke depan dan kepala tersebtak ke
belakang. Terdapat ketidaksesuaian mengenai patologi yang tepat tetapi
kemungkinan ligament longitudinal anterior meregang atau robek dan
diskus mungkin juga rusak.
Pasien mengelih nyeri dan kekakuan pada leher, yang refrakter dan
bertahan selam asetahun atau lebih lama. Keadaan ini sering disertai
dengan gejala lain yang lebih tidak jelas, misalnya nyeri kepala, pusing,
depresi, penglihatan kabur dan rasa baal atau parestesia pada lengan.
Biasanya tidak terdapat tanda-tanda fisik, dan pemeriksaan dengan sinar-X
hanya memperlihatkan perubahan kecil pada postur. Tidak ada bentuk
terapi yang telah terbukti bermanfaat, pasien diberikan analgetik dan
fisioterapi.
7. Fraktur pada cervical ke-7 (Processus Spinosus)
Prosesus spinosus C7 lebih panjang dan prosesus ini melekat pada otot.
Adanya kontraksi otot akibat kekerasan yang sifatnya tiba-tiba akan
menyebabkan avulse prosesus spinosus yang disebut “clay shoveler’s
fracture”. Fraktur ini nyeri tapi tak berbahaya.
D. ANATOMI FISIOLOGI
Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi
medula spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang
diteruskannya ke lubang-lubang paha dan tungkai bawah. Masing-masing
tulang dipisahkan oleh disitus intervertebralis.
Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut:
1. Vertebrata servikalis
Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan
pasak. Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena mempunyai
prosesus spinasus paling panjang. Berjumlah 7 buah.
2. Vetebrata Thoracalis (atlas)
Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi
hanya berupa cincin tulang.
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk
jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax.
3. Vertebrata Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal,
berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus
vertebra yang besar ukurannya sehingga pergerakannya lebih luas kearah
fleksi.
4. Os. Sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang
dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk
tulang bayi.
5. Os. Coccygis
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami
rudimenter. Lengkung koluma vertebralis.kalau dilihat dari samping maka
kolumna vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-
pesterior : lengkung vertikal pada daerah leher melengkung kedepan
daerah torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan dan daerah
pelvis melengkung kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap
pasterior, yaitu torakal dan pelvis, disebut promer karena mereka
mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang
belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengna kepala membengkak ke
bawah sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah
depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah
sekunder → lengkung servikal berkembang ketika kanak-kanak
mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki,
dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan
serta mempertahankan tegak.
Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh dan
sekaligus bekerja sebagai penyangga kedengan prantaraan tulang rawan
cakram intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan
memungkinkan membonkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk
menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti
waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belkang
terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul berat
badan, menyediakan permukaan untuk kartan otot dan membentuk tapal batas
pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga
(Evelyn. C. Pearch, 1997).
Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula oblongata,
menjulur kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir diantara
vertebra-lumbalis pertama dan kedua. Disini medula spinalis meruncing
sebagai konus medularis, dna kemudian sebuah sambungan tipis dasri pia
meter yang disebut filum terminale, yang menembus kantong durameter,
bergerak menuju koksigis. Sumsum tulang belakang yang berukuran panjang
sekitar 45 cm ini, pada bagian depannya dibelah oleh figura anterior yang
dalam, sementara bagian belakang dibelah oleh sebuah figura sempit.
Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, servikal dan lumbal.
Dari penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani anggota badan
atas dan bawah : dan plexus dari daerah thorax membentuk saraf-saraf
interkostalis. Fungsi sumsum tulang belakang mengadakan komunikasi antara
otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks.
Untuk terjadinya geraka refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut :
1. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit
2. Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-
sel dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi
kelabu pada karnu pasterior mendula spinalis.
3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung
menghantarkan impuls-impuls menuju karnu anterior medula spinalis.
4. Sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima
dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut sarag motorik.
5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls
saraf motorik.
6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada
daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis
beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada
kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan rektum.
E. EPIDEMIOLOGI
Kecelakaan merupakan penyebab kematian ke empat, setelah penyakit
jantung, kanker dan stroke, tercatat 50 meningkat per 100.000 populasi tiap
tahun, 3 % penyebab kematian ini karena trauma langsung medula spinalis,
2% karena multiple trauma. Insidensi trauma pada laki-laki 5 kali lebih besar
dari perempuan. Ducker dan Perrot melaporkan 40% spinal cord injury
disebabkan kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, sport,
kecelakaan kerja. Lokasi fraktur atau fraktur dislokasi cervical paling sering
pada C2 diikuti dengan C5 dan C6 terutama pada usia dekade 3.
F. ETIOLOGI
Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas (44%),
kecelakaan olah raga (22%), terjatuh dari ketinggian (24%), dan kecelakaan
kerja.
Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relative rapuh namun
mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur
dapat diakibatkan oleh beberapa hal, yaitu:
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang
dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran atau
penarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang daoat oatah pada temoat
yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan
biasanya menyebabkan fraktur llunak juga pasti akan ikut rusak.
Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada
kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur
komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.
b. Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain
akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan
pada tibia, fibula atau metatarsal terutama pada atlet, penari atau calon
tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.
c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak
(misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.
G. PATOFISIOLOGI
FENOMENA SEKUNDER
KERUSAKAN MEDULA SPINALIS
(KETIDAKSTABILAN KOLUMNAR
SPINALIS)
PERDARAHAN PERKAPILER
BERGABUNG DAN MEMBESAR
TERUTAMA DALAM SUBSTANSIA
GRISEA
INFARK PADA SUBTANSIA GRISEA DAN
OEDEMA SUBTANSIA ALBA DINI (WAKTU
4 JAM)
(8 JAM) INFARK GLOBAL PADA TINGKAT
CIDERA DAN TERJADI NEKROSIS
SUBSTANSIA ALBA DAN PARALISIS DI
BAWAH TINGKAT LESI MJD
IRREVERSIBLE
NEKROSIS & PERDARAHAN SENTRAL
YANG MEMBESAR MENJADI 1-2
TINGKAT DIATAS DAN DIBAWAH TITIK
TIMBUKAN PRIMER
TERJADI GLIOSIS DALAM REGIO,
MUNCUL AREA NEKROTIK. DLM BBRAPA
BULAN MENJADI KAVITAS, MUNCUL
SINDROM SIRINGO MIELIA PROGRESIF
H. TANDA DAN GEJALA
1. Nyeri pada leher atau tulang belakang .
2. Nyeri tekan ketika dilakukan palpasi disepanjang tulang belakang.
3. Paralisis atau hasil pemeriksaan fungsi motorik abnormal.
4. Parestesia.
5. Priapisme.
6. Pernafasan diafragma.
7. Renjatan neurogenik.
Hal yang perlu di observasi adalah tekanan darah, status pernapasan, dan
cidera sistemik.
1. Trauma kaudal servikalis dan torakalis tinggi, menyebabkan hipotensi
ringan dan bradikardi (simpatektomi fungsional yang berespon terhadap
infuse kritaloid atau koloid).
2. Pemeriksaan neurologik pada pasien sadar di pusatkan pada nyeri leher
atau punggung, hilangnya tenaga ekstermitas, tingkat sensoris dari tubuh,
reflek tendon dalam (biasanya tidak ada dibawah tingkat cedera kode
akut).
3. Cedera di atas servikalis 5, menyebabkan quadriplegi dan gagal
pernapasan.
4. Pada C 5 dan C 6 bisep lemah, C4 dan C5 deltoideus dan supra serta
infraspinatus lemah.
5. Cedera C 7, menyebabkan kelemahan trisep, ekstensor pergelangan tangan
dan pronator lengan bawah.
6. Cedera T 1 dan dibawahnya menyebabkan paraplegi dan hilang sensoris.
7. Kompresi pada region torak bawah dan lumbalis menyebabkan konus
medularis atau sindrom kauda equina.
8. Dislokasi hiperrefleksi dari vertebra servikalis menyebabkan kuadriplegia
traumatik.
9. Fraktur kompresi tunggal dari vertebra torakis biasanya stabil tapi dapat
berkaitan dengan kompresi kauda anterior dan membutuhkan dekrompesi
dan stabilisasi dengan pemasangan batang metal.
10. Kompresi singkat dari kauda servikasli dan rusaknya substansia grisea
sentralis terjadi kelemahan lengan, sering dengan hilangnya sensasi
tusukan tajam pada lengan dan bahu, tenaga dan sensasi pada tubuh dan
tungkai berkurang. Abnormalitas fungsi kandung kemih bervariasi. Dan
prognosis kesembuhannya baik.
I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi), untuk
kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
2. CT SCAN
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
3. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
4. Mielografi.
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub
anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah
mengalami luka penetrasi).
5. Foto rontgen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada
diafragma, atelektasis)
6. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume
inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian
bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot
interkostal).
7. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
(Marilyn E. Doengoes, 2000)
J. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pertama trauma medula spinalis adalah imobilisasi eksternal
untuk stabilisasi sementara, traksi untuk mendapatkan atau mempertahankan
alignment yang baik, dan farmakoterapi untuk meminimalisasi cedera
sekunder. Setelah transportasi dan evaluasi awal telah lengkap, extended-
external fixation atau intervensi bedah dapat dikerjakan. Terakhir, disfungsi
yang berhubungan dapat direhabilitasi.
1. Imobilisasi dan traksi.
Halo vest (Gambar 2) sering digunakan sebagai alat definitif untuk cedera
spina servikal. Philadelphia collar bersifat semirigid, sintetik foam brace
dimana pada dasarnya membatasi fleksi dan ekstensi tetapi membebaskan
rotasi. Miami-J collar bersifat mirip tetapi lebih kaku dan lebih nyaman
untuk sandaran.
Brace yang secara adekuat melakukan imobilisasi fraktur spina servikal
adalah thermoplastic Minerva body jaket (TMBJ) dan halo vest. TMBJ
lebih baik dalam membatasi fleksi dan ekstensi dan lebih nyaman
dibandingkan halo vest sedangkan halo vest lebih bagus dalam membatasi
rotasi dibandingkan TMBJ.
(a) (b)
Gambar 3. Philadelphia collar (a) dan Miami-J collar (b)
2. Farmakoterapi
a. Farmakoterapi standar pada trauma medula spinalis berupa
metilprednisolon 30 mg/kgBB secara bolus intravena, dilakukan pada
saat kurang dari 8 jam setelah cedera. Jika terapi tersebut dapat
dilakukan pada saat kurang dari 3 jam setelah cedera, terapi tersebut
dilanjutkan dengan metilprednisolon intravena kontinu dengan dosis
5,4 mg/kgBB/jam selama 23 jam kemudian. Jika terapi bolus
metilprednisolon dapat dikerjakan pada waktu antara 3 hingga 8 jam
setelah cedera maka terapi tersebut dilanjutkan dengan
metilprednisolon intravena kontinu dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam
selama 48 jam kemudian. Terapi ini efektif dimana terjadi peningkatan
fungsi sensorik dan motorik secara signifikan dalam waktu 6 minggu
pada cedera parsial dan 6 bulan pada cedera total. Efek dari
metilprednisolon ini kemungkinan berhubungan dengan efek inhibisi
terhadap peroksidasi lipid dibandingkan efek glukokortikoid.
b. Antasid atau H2 antagonis ditujukan untuk mencegah iritasi atau ulkus
lambung.
Menurut Harrison (2000), setiap pasien dengan cedera kepala berat, secara
potensial berhubungan dengan ketidakstabilan kolumnar spinalis. Perawatan
pasien dimulai pada tempat kecelakaan. Leher harus diimobilasasi untuk
mencegah kerusakan medulla spinalis, harus diperhatikan selama pemindahan,
pemeriksaan fisik, dan radiologi, untuk mencegah ekstensi leher atau rotasi
dan mencegah torsi rotasi dari vertebra torakalis.
K. PROGNOSIS
Dari riwayatnya, banyak diantara korban trauma medula spinalis meninggal
akibat komplikasi respirasi. Perbaikan pada sistem penanganan trauma, telah
menurunkan angka komplikasi dan meningkatkan angka keberhasilan.
Keberhasilan dan kualitas hidup pasien bergantung pada perawatan
kedaruratan yang didapatkan. Pengenalan dan perawatan awal akan
mempertahankan rehabilitasi yang optimal.
L. KOMPLIKASI
Pasien dengan trauma medula spinalis sering mengalami cedera multipel.
Perlu untuk mempertahankan volume intravaskular dengan aliran darah yang
optimal yang ditunjukkan oleh nilai hematokrit antara 30-34%. Hiperpireksia
perlu dikontrol secara agresif untuk mencegah cedera spinal lebih lanjut.
Terjadinya demam berdasarkan studi berhubungan dengan saluran kencing
atau infeksi jaringan ikat.
BAB II
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Aktifitas /Istirahat
Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi.
Kelemahan umum /kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
2. Sirkulasi
Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat.
3. Eliminasi
Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis
berwarna seperti kopi tanah /hematemesis.
4. Integritas Ego
Takut, cemas, gelisah, menarik diri.
5. Makanan /cairan
Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik)
6. Higiene
Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi).
7. Neurosensori
a. Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi
perubahan pada syok spinal).
b. Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah
syok spinal sembuh).
c. Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris
termasuk tendon dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya
keringat bagian tubuh yang terkena karena pengaruh trauma spinal.
8. Nyeri /kenyamanan
Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
9. Pernapasan
Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas,
ronki, pucat, sianosis.
10. Keamanan
Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).
11. Seksualitas
Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur.
(Marilyn E. Doengoes, 1999 ; 338-339)
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan.
2. Nyeri berhubungan dengan agen cedera.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik
dan sensorik.
4. Resiko kerusakana integritas kulit berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular.
5. Konstipasi berhubungan dengan adanya kelemahan neuromuscular.
6. Ansietas berhubungan dengan proses penyakit.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA
KEPERAWA
TAN
TUJUAN
DAN
KRITERIA
HASIL (NOC)
INTERVENSI
(NIC)
RASIONAL
1 Ketidak
efektifan pola
nafas
berhubungan
dengan
kelemahan.
Setelah
dilakukan
tindakan
keperawtan
selama
…x24jam
masalah
teratasi dengan
criteria:
1. Batuk
1. Kaji
kemampuan
batuk dan
reproduksi
secret.
1. Hilangnya
kemampuan
motorik otot
intercosta
dan abdomen
berpengaruh
terhadap
kemampuan
batuk.
efektif.
2. Mampu
mengel
uarkan
dahak.
3. AGD
dalam
batas
normal.
2. Pertahankan
jalan nafas
(hindari
fleksi leher,
brsihkan
sekret)
3. Monitor
warna,
jumlah dan
konsistensi
sekret,
lakukan
kultur.
4. Auskultasi
bunyi napas.
5. Berikan
oksigen dan
monitor
analisa gas
darah.
6. Monitor
tanda vital
setiap 2 jam
dan status
neurologi.
2. Menutup
jalan nafas.
3. Hilangnya
refleks batuk
beresiko
menimbulka
n pnemonia.
4. Mendeteksi
adanya sekret
dalam paru-
paru.
5. Meninghkatk
an suplai
oksigen dan
mengetahui
kadar
olsogen
dalam darah.
6. Mendeteksi
adanya
infeksi dan
status
respirasi.
2 Nyeri
berhubungan
dengan agen
cedera.
Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatn
selama …x
24jam masalah
teratasi dengan
criteria:
1. Pasien
melapo
rkan
nyeri
berkura
ng
sampai
dengan
bias
ditolerir
.
2. Ekspres
i wajah
rileks.
3. Kooper
atif.
4. Tanda
vital
dalam
batas
normal.
1. Kaji terhadap
adanya nyeri,
bantu pasien
mengidentifi
kasi dan
menghitung
nyeri,
misalnya
lokasi, tipe
nyeri,
intensitas
pada skala 0
– 1.
2. Berikan
tindakan
kenyamanan,
misalnya,
perubahan
posisi,
masase,
kompres
hangat /
dingin sesuai
indikasi.
3. Dorong
penggunaan
teknik
relaksasi,
misalnya,
pedoman
imajinasi
1. Pasien
biasanya
melaporkan
nyeri diatas
tingkat
cedera
misalnya
dada /
punggung
atau
kemungkinan
sakit kepala
dari alat
stabilizer.
2. Tindakan
alternatif
mengontrol
nyeri
digunakan
untuk
keuntungan
emosionlan,
selain
menurunkan
kebutuhan
otot nyeri /
efek tak
diinginkan
pada fungsi
pernafasan
3. Memfokuska
visualisasi,
latihan nafas
dalam. .
4. kolaborasi
pemberian
obat sesuai
indikasi,
relaksasi
otot,
misalnya
dontren
(dantrium);
analgetik;
antiansietis.
misalnya
diazepam
(valium)
n kembali
perhatian,
meningkatka
n rasa
kontrol, dan
dapat
meningkatka
n
kemampuan
koping.
4. Dibutuhkan
untuk
menghilangk
an spasme
/nyeri otot,
untuk
menghilangk
an-ansietas
dan
meningkatka
n istrirahat
D. ASPEK LEGAL ETIK DAN ADVOKASI
Perawat memiliki peran sebagai advokat klien dalam menjalankan tugas
keperawatannya, salah satunya yaitu terkait dengan pasien yang memiliki
masalah penyakit fraktur servikal. Dalam hal ini perawat bertanggung jawab
untuk memberikan informasi menyeluruh terkait dengan penyakit tersebut
termasuk alternative tindakan.
Dari segi legal keperawatan, apabila akan dilakukan tindakan keperawatan
maupun medis maka harus memintakan inform consent sebelumnya.
Dari segi etik keperawatan sebenarnya prinsip etika dapat diterapkan semua
dalam setiap kasus, namun disini yang terkait dengan kasus tersebut yaitu :
1. Memberikan kebebasan kepada pasien/keluarga untuk memilih dan
memutuskan tindakan yang akan dilakukan.
2. Kejujuran memberikan informasi tentang penyakit dan faktor yang terkait
misalnya menyangkut ekonomi keluarga.
E. SATUAN ACARA PENYULUHAN
Tema : fraktur servikal
Sub Tema : perawatan dirumah
Waktu : 30 menit
Sasaran : klien
Tujuan umum: setelah dilakukan penyuluhan selama 30 menit diharapkan
klien dapat memahami dan mengerti tentang perawatan dirumah
Tujuan khusus: setelah mengikuti penyuluhan diharapkan klien mampu:
1. Menjelaskan perawatan dirumah
2. Menjelaskan hal-hal yang harus diperhatikan
Metode : ceramah dan demonstrasi
Media : leaflet
Evaluasi :
Kegiatan penyuluhan :
Kegiatan Penyuluh Audience Waktu
Pendahuluan - Salam pembuka,
perkenalan
- Menjelaskan tujuan
penyuluhan
- Menjawab salam
- Menyimak
5 menit
Isi - Menyampaikan garis besar
materi
- Member kesempatan untuk
bertanya
- Menjawab pertanyaan
- Mendengarkan dgn
penuh perhatian
- Menanyakan hal-hal
yang belum jelas
- Memperhatikan jawaban
dr penyuluh
15 menit
Penutup - Evaluasi
- Menyimpulkan
- Pesan
- Penutup
- Tanya jawab
- Mendengarkan
- Menerima pesan
- Menjawab salam
10 menit
F. JURNAL
Terlampir.
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, Marillyn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan (Edisi 3). Jakarta:
EGC
Mansjoer, Arif. (1999). Kapita Selekta Kedokteran (edisi 1). Jakarta: Media
Aesculapius
Muscari, Mary E. (2005). Panduan belajar: keperawatan pediatric. Edisi 3.
Jakarta: EGC
Purnomo, Basuki B. (2011). Dasar-dasar urologi. Jakarta: CV Sagung Seto
Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. (2001). Buku ajar keperawatan medical
bedah Brunner & Suddarth. Volume 2. Edisi 8. Jakarta: EGC
Syaifuddin. (2011). Anatomi tubuh manusia untuk mahasiswa keperawatan. Edisi
kedua. Jakarta: EGC.