17
| 224 | Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol.20, No.2 Mei 2016, hlm. 224–240 Terakreditasi SK. No. 040/P/2014 http://jurkubank.wordpress.com Korespondensi dengan Penulis: Sonny Harry B Harmadi : +62 811940544 Email: [email protected] PELEMAHAN RUPIAH: MANAJEMEN NILAI TUKAR INDONESIA DAN PELAJARAN DARI MASA LALU Sonny Harry B Harmadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abstract World ecomonic trend in 2008 has decreased significantly after growing rapidly for a decade (world economic growth up to 2007 was 5.2%). Global contraction happened because of United States and Europe performance decreasing. In 2008, this impact had spread to all around the world including Asia and especially Indonesia. This paper aims to consider Indonesia Experience in Exchange Rate Management policy. This paper con- cerned on pre-1990 period which was highlighted by the exchange value rezime and with all of the variations. Keywords: exchange rate, exchange rate regime, Indonesia PENDAHULUAN Tulisan ini hendak meninjau kembali pengalaman Indonesia dalam kebijakan pengelo- laan nilai tukar. Dengan sengaja periode krisis keuangan 1997 tidak disinggung disini. Pertama, sudah cukup banyak studi yang khusus meng- analisis episode tersebut. Kedua, periode pra 1990 Indonesia diwarnai oleh rejim nilai tukar tetap dengan beberapa variasinya. Karena itu menarik untuk mempertimbangkan situasi dimana peme- rintah memiliki kendali penuh atas nilai tukar dalam pembahasan tentang perkembangan nilai tukar. Saat perekonomian Amerika Serikat (AS) di tahun 2008 lalu mengalami masalah, pereko- nomian Indonesia juga setidaknya menerima akibat negatif dari kondisi tersebut. Tahun 2008 saat krisis “Lehman Brothers”, rupiah melemah 39 persen hanya dalam rentang waktu tiga bulan, dari Rp. 9.073 per USD menjadi Rp. 12.650 per USD. Namun di saat perekonomian AS membaik, dengan adanyakebijakan tappering off (dari sebelumnya menjalankan quantitative eazing policy) oleh Bank Sentral AS (The Fed), perekonomian Indonesia juga menerima dampak negatif. Artinya, perekonomian AS membaik atau memburuk, perekonomian kita tetap berhadapan dengan dampak negatif. Sejak Maret 2015, nilai tukar di Indonesia te- lah melewati angka psikologis Rp 13.000/USD. Selama tahun 2000-2012, Rupiah secara rata-rata berada dalam rentang keseimbangan antara Rp. 8.300 hingga Rp. 9.400 per USD. Namun sejak 1 April 2014 hingga 12 Maret 2015, pergerakan harian nilai tukar rupiah telah melampaui -2 persen, dimana hal ini akan memicu pelemahan rupiah lebih lanjut.

jurkubank.wordpress.com PELEMAHAN RUPIAH: …

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: jurkubank.wordpress.com PELEMAHAN RUPIAH: …

| 224 |

Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol.20, No.2 Mei 2016, hlm. 224–240Terakreditasi SK. No. 040/P/2014http://jurkubank.wordpress.com

Korespondensi dengan Penulis:

Sonny Harry B Harmadi : +62 811940544

Email: [email protected]

PELEMAHAN RUPIAH: MANAJEMEN NILAI TUKAR INDONESIADAN PELAJARAN DARI MASA LALU

Sonny Harry B HarmadiFakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Abstract

World ecomonic trend in 2008 has decreased significantly after growing rapidly for a decade (world economicgrowth up to 2007 was 5.2%). Global contraction happened because of United States and Europe performancedecreasing. In 2008, this impact had spread to all around the world including Asia and especially Indonesia.This paper aims to consider Indonesia Experience in Exchange Rate Management policy. This paper con-cerned on pre-1990 period which was highlighted by the exchange value rezime and with all of the variations.

Keywords: exchange rate, exchange rate regime, Indonesia

PENDAHULUAN

Tulisan ini hendak meninjau kembalipengalaman Indonesia dalam kebijakan pengelo-laan nilai tukar. Dengan sengaja periode krisiskeuangan 1997 tidak disinggung disini. Pertama,sudah cukup banyak studi yang khusus meng-analisis episode tersebut. Kedua, periode pra 1990Indonesia diwarnai oleh rejim nilai tukar tetapdengan beberapa variasinya. Karena itu menarikuntuk mempertimbangkan situasi dimana peme-rintah memiliki kendali penuh atas nilai tukardalam pembahasan tentang perkembangan nilaitukar.

Saat perekonomian Amerika Serikat (AS)di tahun 2008 lalu mengalami masalah, pereko-nomian Indonesia juga setidaknya menerimaakibat negatif dari kondisi tersebut. Tahun 2008

saat krisis “Lehman Brothers”, rupiah melemah 39persen hanya dalam rentang waktu tiga bulan, dariRp. 9.073 per USD menjadi Rp. 12.650 per USD.Namun di saat perekonomian AS membaik, denganadanyakebijakan tappering off(dari sebelumnyamenjalankan quantitative eazing policy) oleh BankSentral AS (The Fed), perekonomian Indonesia jugamenerima dampak negatif. Artinya, perekonomianAS membaik atau memburuk, perekonomian kitatetap berhadapan dengan dampak negatif.

Sejak Maret 2015, nilai tukar di Indonesia te-lah melewati angka psikologis Rp 13.000/USD.Selama tahun 2000-2012, Rupiah secara rata-rataberada dalam rentang keseimbangan antara Rp.8.300 hingga Rp. 9.400 per USD. Namun sejak 1 April2014 hingga 12 Maret 2015, pergerakan harian nilaitukar rupiah telah melampaui -2 persen, dimana halini akan memicu pelemahan rupiah lebih lanjut.

Page 2: jurkubank.wordpress.com PELEMAHAN RUPIAH: …

Pelemahan Rupiah: Manajemen Nilai Tukar Indonesia dan Pelajaran dari Masa LaluSonny Harry B Harmadi

| 225 |

terus merosot harganya dipengaruhi rendahnyaharga minyak mentah dunia. Batubara merupakansubstitusi minyak mentah, sehingga turunnyaharga minyak mentah jelas berdampak pada penu-runan harga batubara. Demikian halnya dengangas alam, minyak sawit dan karet menjadi subs-titusi minyak mentah. Karet sintetis berbahan bakuminyak mentah jelas menjadi substitusi karet alam.

Tentu kita harus belajar dari pengalamanmasa lalu mengingat bahwa fluktuasi nilai tukarmemiliki dampak besar terhadap kinerja pem-bangunan Indonesia dan iklim usaha.

Lingkungan Ekonomi Dunia

Perekonomian dunia pada 2008 mengalamipenurunan yang tajam setelah tumbuh dengan lajuyang cukup tinggi selama sekitar separuh dasa-warsa (pertumbuhan ekonomi dunia hingga 2007tercatat sebesar 5,2 persen). Kontraksi globalterjadi mengikuti penurunan kinerja pereko-nomian Amerika Serikat dan Eropa. Dampak darikrisis 2008 ini menjalar ke semua kawasan di duniatermasuk Asia dan, khususnya, Indonesia.Saat inikrisis diperkirakan sudah lewat, tetapi perekono-mian dunia masih belum pulih.Perkembangan tran-sisi dari krisis menuju pemulihan, khususnya dalamsemester pertama 2015 dibahas di bawah ini.

Memasuki 2015 berbagai laporan tentangprospek ekonomi dunia memprakirakan bahwapemulihan perekonomian masih berjalan lambat.IMF, misalnya, dalam laporannya yang diumum-kan awal Juli menyatakan dalam triwulan I pereko-nomian dunia tumbuh lebih rendah daripada per-kiraan semula, yakni pada 2,2 persen (kurang 0,8persen dari perkiraan) (IMF, 2015). SementaraBank Dunia menyatakan kesimpulan yang serupa,meskipun dengan angka yang lebih kecil, bahwaperekonomian dunia tumbuh di bawah perkiraansebelumnya (Kose, 2015). Pada Januari 2015 BankDunia dalam laporannya memperkirakan pertum-buhan sebesar 3,0 persen, namun kemudian diper-

7500

8400

9300

10200

11100

12000

Rp/U

SD

1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013

78428379

10233

9317

85768968

970691689140

9681

10398

90878776

9384

10459

11877

NILAI TUKAR RUPIAH RATA-RATATahun 1999 - 2014

-3

-2

-1

0

1

2

% p

erub

thd

hari

sebe

lum

nya

01-Apr-14 19-May-14 02-Jul-14 21-Aug-14 02-Oct-14 13-Nov-14 29-Dec-14 10-Feb-15

PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH HARIAN1 April 2014 - 12 Maret 2015

Sumber: QRU-TAK Bappenas, 2015

Sumber: QRU-TAK Bappenas, 2015

Pelemahan rupiah secara terus menerus jelasdipengaruhi faktor eksternal dan internal. Menguat-nya perekonomian AS mendorong penguatan dolarAS terhadap sebagian besar mata uang dunia, ter-masuk rupiah. Faktor internal pelemahan rupiahdipicu oleh terus memburuknya transaksi berjalansejak 2011 dari surplus USD 5,1 Milyar (sekitar 0,2persen PDB) hingga mencapai defisit USD26,2Milyar (-3,0 persen PDB) di tahun 2014. Defisittransaksi berjalan dipicu oleh melemahnya hargakomoditas internasional sejak 2011, dimana hampir50 persen ekspor Indonesia merupakan komoditas.Sebenarnya penurunan harga komoditas lebih di-pengaruhi oleh penurunan harga minyak mentah.Mengapa demikian? Sebagai contoh batubara yang

Page 3: jurkubank.wordpress.com PELEMAHAN RUPIAH: …

Jurnal Keuangan dan Perbankan | KEUANGANVol. 20, No.2, Mei 2016: 224– 240

| 226 |

oleh hasil penghitungan yang lebih rendah, sebesar2,8 persen (Bank Dunia, 2015). Data yang adamenunjukkan bahwa tiga dari empat perekonomi-an terbesar dunia (yang meliputi Amerika Serikat(AS), Tiongkok, Zona Euro dan Jepang), yakniTiongkok, Jepang dan Zona Euro mengalami per-lambatan pertumbuhan (year-on year) selama triwu-lan I 2015. Bahkan, dalam periode yang sama,Jepang mengalami pertumbuhan negatif. Semen-tara itu, kinerja ekonomi AS yang diharapkan dapatmenjadi pendorong ternyata tidak tumbuh sebaikperkiraan.Kemunduran dalam perekonomian ASini, menurut IMF, menjadi faktor utama terta-hannya pertumbuhan ekonomi dunia (IMF, 2015).Dalam kawasan Asia, di luar Tiongkok dan Jepang,Korea Selatan juga mengalami perlambatan pertum-buhan, sementara India mengalami pelemahanekonomi karena, salah satunya, perubahan tahundasar (Prijambodo, 2015).

Beberapa faktor dapat menjelaskan pele-mahan dalam perekonomian-perekonomian ter-sebut. Kurang tingginya pertumbuhan ekonomi ASterjadi akibat pelemahan ekspor dan investasi diluar sektor perumahan yang masih belum pulih(Bank Indonesia, 2015).Khusus mengenai turunnyapertumbuhan ekspor AS, ini terjadi akibat dampaknegatif penguatan dolar AS. Sebelumnya, berbagaiperkiraan menyatakan adanya pemulihan yangberarti dalam perekonomian AS sehingga permin-taan akan dolar AS naik dan membuatnya terapre-siasi. Pada gilirannya, apresiasi ini justru membuatmahalnya ekspor AS dan di saat yang sama me-ningkatkan impor sehingga pertumbuhan yang di-harapkan tinggi justru terhambat.Di samping itumusim dingin yang buruk dengan akibat ditutup-nya pelabuhan-pelabuhan serta turunnya belanjamodal oleh sektor migas di AS berperan melemah-kan aktivitas perekonomian AS.Kontraksi pereko-nomian AS ini mempunyai akibat limpahan(spillovers) ke perekonomian Kanada dan Meksikodan karenanya membawa dampak kontraktif dikawasan Amerika Utara (IMF, 2015).

Perekonomian Jepang masih mengalami kon-traksi, melanjutkan tren pertumbuhan negatif yangterjadi sejak triwulan II 2014.Ini disebabkan olehpermintaan domestik yang tetap lemah, yaknikurangnya konsumsi dan upah riel yang belummembaik (IMF, 2015).Di dalam negeri akibatsituasi ini output manufaktur dan produksi secarakeseluruhan mengalami kontraksi (Bank Indone-sia, 2015). Pertumbuhan potensial Jepang rendahdisebabkan oleh menyusutnya populasi pendudukusia kerja (Bank Dunia, 2015). Selain itu Bank Dunia(2015) juga mengungkapkan, secara implicit, keren-tanan perekonomian Jepang dengan menempat-kannya sebagai satu faktor risiko stagnasi yangmungkin melemahkan pertumbuhan dunia dankhususnya kawasan Asia.

Situasi yang sedikit lebih baik ditunjukkanoleh Zona Euro.Meskipun demikian pertumbuhandi kawasan ini masih lemah dan rentan. Pertum-buhan di sini berasal dari peningkatan permintaandomestik, khususnya konsumsi, yang dicerminkanoleh pertumbuhan penjualan eceran (Bank Indo-nesia, 2015).Naiknya permintaan domestic jugamembawa akibat positif bagi sektor produksi, ter-utama manufaktur, di mana sektor ini mengalamipeningkatan selama triwulan I 2015 (Bank Indo-nesia, 2015).Secara khusus perekonomian kawasaneuro masih dihantui oleh isu Yunani yang memberidampak negatif besar pada aktivitas di kawasanini berupa naiknya risiko (IMF, 2015).Untungnya,perkembangan di Yunani tidak membawa penu-laran yang berarti.Bank Dunia (2015) pun membe-rikan gambaran yang serupa, tetapi sekaligus mem-beri penekanan pada kerentanan pemulihan yangberlangsung di sana.

Satu faktor penting lain yang ikut menahanekspansi ekonomi dunia ialah perekonomianTiongkok yang masih mengalami perlambatan.Dalam triwulan I 2015, perekonomian Tiongkoktetap melanjutkan tren perlambatan yang sudahberlangsung sejak 2010 dengan tumbuh sebesar 7,0persen, lebih rendah 0,3 persen dibanding per-

Page 4: jurkubank.wordpress.com PELEMAHAN RUPIAH: …

Pelemahan Rupiah: Manajemen Nilai Tukar Indonesia dan Pelajaran dari Masa LaluSonny Harry B Harmadi

| 227 |

tumbuhan dalam kuartal-kuartal sebelumnya pada2014.Tiongkok menjadi penting karena, antara lain,negara ini telah menjadi sumber utama investasiasing langsung (PMA) dan pendanaan, terutamabagi Amerika Latin (Bank Dunia, 2015). Karenaitu perkembangan yang terjadi di sana memilikikaitan yang kuat dengan kawasan lain.Akhir Juni2015 bursa saham Tiongkok jatuh akibat pecahnyagelembung pasar saham (Prijambodo, 2015). Per-lambatan ekonomi yang berlangsung di Tiongkoksaat ini merupakan akibat dari proses rebalancing(IMF, 2015) yakni penyesuaian-penyesuaian struk-tural dan upaya-upaya kebijakan yang dilakukanpemerintah Tiongkok untuk menangani kerentan-an keuangan di dalam negeri (Bank Dunia, 2015).

Dengan situasi perekonomian yang bias kebawah seperti dijelaskan di atas, harga komoditas-komoditas ekspor mengalami tekanan untuk turun.Namun demikian beberapa dari harga komoditas-komoditas ini, di tengah tren yang menurun, meng-alami peningkatan volatilitas. Khusus mengenaiharga minyak mentah, selama semester pertama2015 cenderung stabil (Prijambodo, 2015).Faktorpenawaran (produksi minyak shale dari AS, minyaksands dari Kanada dan ketersediaan biofuels) men-jadi kunci utama mendorong rendahnya hargaminyak, selain dari kurangnya permintaan se-hingga tidak memberi banyak ruang bagi hargaminyak untuk naik (Bank Dunia, 2015).

Rendahnya harga minyak ikut menekan hargaharga-harga komoditas primer non energi.Harga-harga komoditas ini sampai dengan Juni 2015 masihmengalami tren ke bawah (Prijambodo, 2015).Jikaharga minyak yang rendah berakibat pergeseranpendapatan riel dari negara-negara pengeksporminyak ke negara-negara pengimpor, dampakyang serupa dapat diduga terjadi pula akibat penu-runan harga-harga komoditas ekspor. LaporanBank Dunia (2015) mengungkapkan kejutan dasartukar (terms of trade) berdampak buruk bagi negara-negara pengekspor minyak seperti Azerbaijan,Kolombia, Kazakhstan, Nigeria, Rusia, Venezueladan Meksiko; bagi negara-negara pengekspor gas

alam yakni Bolivia dan Malaysia; demikian puladengan negara-negara yang mengandalkan pene-rimaan ekspor dari logam dan komoditas-komo-ditas non-energi lain seperti Argentina, Indone-sia, Peru, Afrika Selatan dan Zambia. Median per-tumbuhan dari negara-negara pengekspor komo-ditas turun 2 persen per tahun seiring perubahanperkembangan dari titik puncak menuju titik ren-dah dari siklus harga, dan dampak tidak meng-untungkan ini dapat diredam antara lain oleh de-presiasi mata uang dan pemanfaatan ruang fiskalyang dimiliki (Bank Dunia, 2015).

Situasi Domestik dan Depresiasi Mata Uang

Seperti dijelaskan di atas, kecenderunganperekonomian dunia selama semester I 2015 ialahbias ke bawah. Rupiah dalam kecenderungan terusmelemah sejak April 2015 dan mencapai titikterendah pada 8 Juni 2015 sebesar Rp 13.360/USD.Rata-rata kurs rupiah bulan Mei 2015 sebesar Rp13.141/USD.Defisit neraca transaksi berjalan (cur-rent account deficit) diakibatkan oleh turunnya hargaekspor komoditas, padahal hampir 50% eksporIndonesia ialah ekspor komoditas.Sebagai negaradengan perekonomian terbuka Indonesia tidakdapat terhindar dari perkembangan faktor pentingdi dunia khususnya menurunnya pertumbuhanekonomi China (menurunkan permintaan komo-ditas impor dari Indonesia) dan masih lemahnyaperekonomian Zona Eropa seperti telah disampai-kan di bagian terdahulu.

Tetapi depresiasi mata uang tidak hanya di-alami oleh Indonesia. Saat ini dolar AS menguatterhadap sebagian besar mata uang negara lain.Rubel (Rusia) mengalami depresiasi paling tinggidibandingkan minggu lalu seiring dengan terjadi-nya konflik politik pada negara tersebut. Diban-ding setahun yang lalu (yoy) Rupiah terdepresiasilebih tajam setelah Ringgit Malaysia dan Myanmardari mata uang ASEAN lainnya. Namun Real (Bra-zil), Rubel (Rusia), Euro masih terdepresiasi lebihtajam.

Page 5: jurkubank.wordpress.com PELEMAHAN RUPIAH: …

Jurnal Keuangan dan Perbankan | KEUANGANVol. 20, No.2, Mei 2016: 224– 240

| 228 |

11000

11500

12000

12500

13000

13500

Kurs

(Rp/

USD

)

01-Apr-14 05-Jun-14 11-Aug-14 07-Oct-14 03-Dec-14 03-Feb-15 06-Apr-15 05-Jun-15

NILAI TUKAR RUPIAH HARIAN1 April 2014 - 8 Juni 2015

-3

-2

-1

0

1

2

% p

erub

thd

hari

sebe

lum

nya

01-Apr-14 05-Jun-14 11-Aug-14 07-Oct-14 03-Dec-14 03-Feb-15 06-Apr-15 05-Jun-15

PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH HARIAN1 April 2014 - 8 Juni 2015

Gambar 1. Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar AS,2014-2015 (Rp/US$).

Sumber: Bappenas (2015)

Gambar 2. Persen Perubahan Nilai Tukar HarianSumber: Bappenas (2015)

Negara 08 Juni 2015 PAB Weekly MTM YTD YOY

Indonesia 13385 1,29% 2,01% 8,05% 14,64% Turki 2,7515 2,56% 2,05% 18,02% 31,22% Afrika Selatan 12,4753 1,73% 4,67% 8,03% 18,00% BRIC

Brazil 3,1124 -1,77% 4,63% 17,11% 38,85% Rusia 55,9979 4,52% 9,99% -3,12% 60,46% India 64,0875 0,60% 0,23% 1,16% 8,43% Cina 6,206 0,11% -0,05% -0,03% -0,66%

ASEAN-6 Singapura 1,3532 -0,24% 1,86% 2,24% 7,89% Malaysia 3,772 2,33% 4,82% 7,88% 17,40% Thailand 33,75 0,19% 0,59% 2,43% 2,77% Filipina 45,223 1,52% 1,27% 1,12% 3,31% Myanmar 1111,55 1,23% 2,51% 7,81% 14,94%

Negara Maju Kawasan Euro 0,8856 -3,23% -0,73% 7,19% 20,74% Inggris 0,6515 -0,96% 0,57% 1,53% 9,18% Jepang 124,49 -0,22% 3,95% 3,97% 22,32% Korea Selatan 1123,3 1,18% 3,21% 2,68% 10,11%

Tabel 1. Posisi Nilai Tukar Beberapa Negara

Sumber: Bloomberg. Posisi akhir bulan

Page 6: jurkubank.wordpress.com PELEMAHAN RUPIAH: …

Pelemahan Rupiah: Manajemen Nilai Tukar Indonesia dan Pelajaran dari Masa LaluSonny Harry B Harmadi

| 229 |

Pada Januari 2015, ekspor nonmigas kembalimengalami kontraksi 5,1 persen (ytd) terutama di-sebabkan oleh kontraksi ekspor komoditas batu-bara serta manufaktur, yaitu tekstil dan produktekstil (TPT), mesin dan mekanik, serta produkkimia. Ekspor manufaktur Indonesia ke AS masihtumbuh positif, tetapi ekspor manufaktur dengantujuan Jepang, zona Euro dan Tiongkok mengalamipenurunan seiring dengan melemahnya pereko-nomian negara-negara ini.

Di sisi lain, laju inflasi Indonesia yang cukuptinggi menyebabkan daya beli masyarakat menu-run. Turunnya daya beli ini mengakibatkan kon-sumsi rumah tangga turun dan pada gilirannyamembuat permintaan agregat turun.PertumbuhanPDB hingga akhir semester I 2015 diperkirakanmasih sesuai dengan proyeksi, yakni sekitar 5,06persen hingga 5,2 persen.

Akibat pelemahan mata uang

Selama 2011-2014 neraca transaksi berjalanIndonesia mengalami defisit.Defisit neraca tran-saksi berjalan menyiratkan adanya utang oleh parapelaku ekonomi dalam negeri pada luar negeri.Dalam jangka pendek, defisit neraca transaksi ber-

jalan bukan sesuatu yang buruk bagi perekono-mian. Defisit ini, yang dibiayai dengan pinjamandari luar negeri, jika disalurkan bagi kegiatan-ke-giatan investasi yang produktif di dalam negeriakan menghasilkan pendapatan di masa depan.

Meskipun demikian defisit neraca transaksiberjalan yang mendalam dan berlangsung dalamwaktu yang cukup panjangakan membawa akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi perekono-mian domestik. Defisit neraca berjalan berarti lebihbesarnya impor daripada ekspor.Mengikuti skemaneraca pembayaran, defisit neraca berjalan berartinaiknya kewajiban domestik yang harus dibayarpada pihak asing (naiknya pembelian aset domestikoleh asing). Ini berarti naiknya permintaan akanmata uang asing (terutama mitra-mitra dagang utama)yang akibat berikutnya ialah terdepresiasinya matauang domestik.

Dalam perspektif makroekonomi depresiasimata uang domestik dalam jangka waktu yangcukup panjang berpotensi menimbulkan sejumlahpersoalan berkenaan dengan stabilitas, pertumbuh-an dan keberlanjutan. Stabilitas makroekonomimensyaratkan adanya suatu lingkungan ekonomiyang memiliki cukup kepastian. Depresiasi matauang yang berlangsung lama akan mengakibatkan

Tabel2. Perkembangan harga ekspor Indonesia

Sumber: Bank Indonesia, 2015.

Page 7: jurkubank.wordpress.com PELEMAHAN RUPIAH: …

Jurnal Keuangan dan Perbankan | KEUANGANVol. 20, No.2, Mei 2016: 224– 240

| 230 |

perubahan yang signifikan dua variabel pentingdalam makroekonomi, yaitu tingkat harga dansuku bunga. Langkah standar yang umum dilaku-kan untuk menahan laju depresiasi mata uang yangtidak menguntungkan ialah dengan menaikkansuku bunga (sesuai dengan kondisi paritas sukubunga). Kenaikan suku bunga ini membuat per-geseran keseimbangan di pasar uang dalam negeridengan turunnya permintaan uang, atau berartiterjadi pengetatan uang dalam perekonomian.Padagilirannya ini akan menggiring pada kontraksi per-ekonomian.

Untuk mengembalikan tingkat output yangterkontraksi akibat dari kenaikan suku bungaseperti digambarkan di atasdiperlukan intervensidari sektor fiskal. Campur tangan fiskal ini berupapengeluaran pemerintah sebagai perangsang bagipertumbuhan ekonomi. Tetapi, dalam keadaanperekonomian seperti ini, belanja pemerintah perlumemperhatikan pula dampak inflasioner yangdapat timbulkannya. Hubungan antara kolapsnyamata uang dan inflasi dapat dijelaskan denganmemperhatikan perdebatan antara mazhab teorikuantitas dan mazhab neraca pembayaran (Dornbush,1993).

Mazhab manapun yang dianggap lebih se-suai, dengan kebijakan yang mengikutinya, pe-nangan krisis tidak dapat hanya terpaku pada si-tuasi krisis semata-mata.Upaya berikut yang harusdipertimbangkan dengan baik ialah mengembali-kan pertumbuhan ekonomi agar berjalan secarakontinu. Di sini, karena itu, yang menjadi pusatperhatian ialah untuk menciptakan struktur per-ekonomian yang sehat mencakup baik sektor rielmaupun moneter.

HASIL DAN PEMBAHASANPengalaman Pengelolaan Nilai TukarIndonesia Sejak 1960-an

Perekonomian Indonesia selalu berisfat ter-buka. Teori ekonomi internasional menyatakan

bahwa nilai tukar suatu negara mencerminkanbagaimana perekonomian dalam negeri dikeloladan kemudian bagaimana hasil-hasil dari penge-lolaan itu berhadapan dengan hasil pengelolaanperekonomian negara-negara lain. Dari pembahas-an dalam bagian ini akan terlihat bagaimana ber-bagai ideal yang dianut oleh para pengambil kebi-jakan menjadi faktor dalam pengelolaan nilai tukar.Bagian ini terdiri atas tiga bagian: bagian pertamaakan membahas tentang nilai tukar di masa pra-1970; dalam bagian kedua dibicarakan tentang nilaitukar selama 1970-1996; sedangkan dalam bagianketiga pembahasan ialah mengenai nilai tukar sejak2000.

Periode pra-1970

Meskipun periode pra 1970 umumnya hanyadiingat sebagai masa “Orde Lama”, tetapi darisudut pandang sejarah pengelolaan nilai tukarmerupakan suatu rentang waktu yang menarik.Masa ini dilatarbelakangi oleh kenyataan dimanamemasuki dasawarsa limapuluhan Indonesia me-warisi ekonomi dan infrastruktur yang rusak berat(Zanden dan Daan, 2012). Dua masalah pokokyang mendesak ditangani di waktu itu adalah:bagaimana menyeimbangkan anggaran pemerintahdan bagaimana menyeimbangkan neraca pem-bayaran (Zanden dan Daan, 2012). Mencetak uangsebagai pembiayaan telah dilakukan sejak masa pe-rang gerilya, sedangkan masalah inflasi telah mun-cul lama sebelum pertengahan 1960-an (Zanden danDaan, 2012). Berkenaan dengan nilai tukar, White(1972) menyebutkan tiga tema yang menjadi karak-teristik umum pengelolaan nilai tukar Indonesiaselama masa ini, yaitu over-valuasi (meskipunpemberlakuan nilai tukar jamak)nilai tukar, kewa-jiban penyerahan devisa hasil ekspor, dan kendalikuantitatif (quantitative control) atas impor danmodal. Keprihatinan pemerintah memang tidaktertuju pada nilai tukar itu sendiri, tetapi padaneraca pembayaran. Tetapi kebijakan neraca pem-bayaran menyiratkan perlunya pengelolaan nilai

Page 8: jurkubank.wordpress.com PELEMAHAN RUPIAH: …

Pelemahan Rupiah: Manajemen Nilai Tukar Indonesia dan Pelajaran dari Masa LaluSonny Harry B Harmadi

| 231 |

tukar. Khususnya di sini ingin dibahas lebih jauhtentang pemberlakuan nilai tukar jamak, tetapisebelumnya akan disampaikan terlebih dahulugambaran tentang persepsi negara berkembangmengenai nilai tukar selepas Perang Dunia II.

Seiring dengan munculnya negara-negaramerdeka setelah Perang Dunia II berakhir, upayauntuk mengelola dan membangun negara-negaraini kini ada di bawah kendali pemerintah-pemerin-tah yang baru dibentuk. Tantangan ekonomi utamayang dihadapi pemerintah-pemerintah baru iniialah bagaiman memenuhi keseimbangan anggaranpemerintah dan menjaga neraca perdagangan.Langkah tradisional yang ditempuh negara-negaraberkembang sebagai solusi bagi dua masalah iniialah dengan menerapkan pendekatan orientasi kedalam yang mencakup pengenaan pajak impor(untuk mengatasi defisit neraca perdagangan) danpenerapan strategi substitusi impor (Zanden danMarks, 2012). Termasuk dalam pandangan ini ialahpengendalian nilai tukar sebagai salah satu instrumenseperti pemberlakuan rejim nilai tukar jamak.

Nilai tukar jamak (multiple exchange rate) telahdikenal lama dalam sejarah. Dengan praktik iniberarti kemamputukaran (convertibility) mata uangmenjadi terbatas dan tidak seragam. Praktik inidapat berlaku nyata seperti akibat adanya pasargelap, tetapi bisa juga merupakan hasil dari kebi-jakan pemerintah. Gambar 2 memperlihatkan jum-lah terjadinya (incidence,dalam persen) penerapannilai tukar jamak di seluruh dunia sejak 1950 hingga2001. Gambar ini juga menampilkan perbandinganantara sistem pagu nilai tukar dan sistem lain yangmencakup fleksibel terbatas (limited flexibility),mengambang terkendali, dan mengambang bebas.Tampak di sana bahwa pengaturan nilai tukarjamak sangat populer di seluruh dunia selamadasawarsa 1970-an hingga 1990. Dornbusch (1986)menyebutkan empat manfaat bagi pemerintah danperekonomian dari diterapkannya nilai tukarjamak, yaitu untuk meningkatkan penerimaanfiskal, sebagai suatu bentuk pajak demi alokasi

sumber daya dan distribusi pendapatan, sebagaiperedam kejut makroekonomi, dan sebagai instru-men penyesuaian neraca perdagangan. Tetapi, da-pat dibayangkan bahwa akan muncul biaya mar-jinal, yang sangat mungkin tidak kecil, diperlukanuntuk mengendalikan dan mengorganisasi kebijak-an ini. Faktor pengorganisasian dan penegakanaturan inilah yang memberi nama buruk bagi prak-tik ini (Dornbusch, 1986).

Gambar 2. Jumlah Penerapan Nilai Tukar Ganda atauJamak 1950-2001 berdasarkan Klasifikasi

IMF yang DisederhanakanSumber: Reinhart dan Rogoff (2003).

Dalam kajian mereka tentang sejarah mod-ern pengaturan nilai tukar, Reinhart dan Rogoff(2003) membuat kronologi pengaturan nilai tukardari sekitar 150 negara, termasuk Indonesia. Sebagi-an dari kronologi yang disusun ditampilkan dalamTabel 3. Sedikit penjelasan perlu disampaikan disiniialah tentang premi pasar paralel. Yang dimaksuddengan premi pasar paralel adalah nisbah (rasio)nilai tukar yang berlaku di pasar sekunder (paralel)atas nilai tukar resmi. Pasar paralel ini bisa saja legalmaupun ilegal.

Pengalaman Indonesia dalam mengelola nilaitukar selama 1950 hingga 1964 dipelajari denganmendalam oleh Kanesa-Thasan (1966). Dari tulisantersebut diketahui bahwa pengaturan nilai tukarjamak pada masa itu tidak berlaku untuk semuasektor ekonomi dan di semua wilayah Indonesia.

Page 9: jurkubank.wordpress.com PELEMAHAN RUPIAH: …

Jurnal Keuangan dan Perbankan | KEUANGANVol. 20, No.2, Mei 2016: 224– 240

| 232 |

Transaksi-transaksi luar negeri di sektor migasdikecualikan dari pengaturan ini, demikian pulabeberapa daerah di Sumatera dimana perdaganganbarter dengan Penang dan Singapura diijinkan.Selain itu pengaturan nilai tukar tersebut juga ber-kembang menjadi sangat rumit karena melibatkananeka rupa nilai jual dan beli, rentang yang besarantara berbagai nilai itu, dan begitu seringnya ter-jadi perubahan seperti penggantian istilah untukperangkat yang sama (sedikitnya setiap tahun ter-jadi perubahan sejak 1955).

Perangkat dasar yang digunakan dalampengaturan nilai tukar ialah harga-harga dasaruntuk jual dan beli; pajak (atau subsidi) atas valutaasing yang diterima; sertifikat pendorong ekspor;dan pajak atas penjualan valuta asing (Kanesa-Tha-san, 1966). Dari keempat perangkat ini sertifikatpendorong ekspor merupakan perangkat yang ter-penting. Sertifikat ini untuk kepraktisan di sini akandisebut dengan istilah bonus ekspor (BE), meng-ikuti terminologi yang paling sering digunakanberbagai kepustakaan.

Mekanisme penerapan BE adalah sebagaiberikut (Kanesa-Thasan, 1966). Eksportir danpenerima valuta asing lainnya (kecuali sektor minyak)menerima sertifikat valuta setara dengan sebagianatau seluruh valuta asing yang diterima sebagaihasil eskpor. Importir harus membayar valutaasing pada nilai tukar dasar ditambah pajak-pajakatas valuta untuk impor dan sertifikat BE yangnilainya setara dengan nilai valuta tersebut. Umum-nya, persyaratan terakhir ini diterapkan hanyauntuk beberapa impor yang tidak termasuk kebu-tuhan pokok. Sertifikat yang dikeluarkan bagieksportir dapat dijual ke importir terdaftar ataudipakai oleh eksportir yang bersangkutan untukmelakukan impor.

Sistem nilai tukar jamak yang diterapkantidak mendukung peran untuk memaksimalkanpenerimaan pemerintah karena nilai-nilai tukaryang dibuat menjadi overvalued ini banyak meng-hambat penerimaan dari sektor ekspor-impor. Adatiga alasan untuk ini: i) basis rupiah pajak sektorekspor menjadi tertekan akibat nilai tukar yang

Waktu Klasifikasi: Primer/Sekunder/Tersier Keterangan

November – Desember, 1949 Mengambang terkendali/Nilai tukar jamak

Rupiah menggantikan guilder Hindia Belanda. Mata uang acuan adalah dollar AS.

Oktober 1950 – Januari 1952 Turun bebas (freely falling)/Mengambang terkendali/Nilai tukar jamak

Inflasi 68 persen

Februari 1952 – Agustus 1954 Mengambang terkendali/Nilai tukar jamak

September 1954 – November 1955

Turun bebas/Mengambang terkendali/Nilai tukar jamak

Desember 1955 – Maret 1969 Mengambang terkendali/Nilai tukar jamak

Dengan Meningkatnya ketidakstabilan di awal 1960-an premi pasar paralel (parallel market premium) sebesar 2.678% pada Juli 1962, 5.100% pada Agustus 1965 dan memuncak di 11.100% pada November 1965.

Tabel 3. Kronologi Pengaturan Nilai Tukar Rupiah 1949-1969

Sumber: Reinhart dan Rogoff (2003).

Page 10: jurkubank.wordpress.com PELEMAHAN RUPIAH: …

Pelemahan Rupiah: Manajemen Nilai Tukar Indonesia dan Pelajaran dari Masa LaluSonny Harry B Harmadi

| 233 |

overvalued; ii) nilai rupiah barang impor dipagulewat nilai tukar yang overvalued sehingga importirdapat mengambil untung dari kenaikan harga do-mestik akibat inflasi, dimana selisih harga ini se-benarnya dapat menjadi penerimaan pemerintah;iii) sebagian transaksi valuta asing beralih ke pasargelap dimana penerimaan dan pembayaran valutaasing lolos tidak hanya dari pajak valuta asingtetapi juga dari pajak penghasilan.

Penerimaan ekspor Indonesia selama dasa-warsa limapuluhan dan enampuluhan terutamaberasal dari karet dan minyak bumi. Sementarahasil-hasil perkebunan lain yang penting meliputikopi, teh, lada dan kopra (Rosdale, 1981). Produksioutput nasional kurang karena: sektor pengolahantidak berkembang, sumbangan manufaktur dalamPDB pada 1965 kurang dari 10 persen; di sektorpertanian, perkebunan-perkebunan besar meng-hasilkan produk-produk ekspor yang pertum-buhannya lambat di pasar dunia, investasi di sektorini juga kurang karena swasta pada mulanya penuhkeraguan di tengah iklim politik yang tidak me-nentu dan kemudian menjadi tidak berperan ka-rena adanya nasionalisasi, … Tambahan lagi In-donesia mengalami tekanan demografi yang besardi mana hanya dalam waktu 8 tahun sejak 1958jumlah penduduk telah bertambah sebesar 20persen (Sutton, 1981). Instabilitas politik memangpada akhirnya merantai perekonomian Indonesia,membuatnya jalan di tempat.Kapasitas produksirendah (karena rusak atau aus pemakaian), semen-tara investasi kurang berarti kurangnya kemam-puan swasta).

Periode 1970-an hingga 1990

Selama periode 1970-1990 terdapat dua epi-sode penting dalam perekonomian Indonesia.Yang pertama ialah masa ledakan minyak pertamaselama 1970-an, dan yang kedua ialah era ledakanekspor pada dasawarsa 1980-an, dengan ledakanminyak kedua di paruh pertama dasawarsa ini.

Berkenaan dengan nilai tukar, dua dasawarsa inimewakili dua situasi yang hampir sepenuhnyabertolak belakang. Periode 1970-an hingga Oktober1978 dikenal pula sebagai masa stabilitas se-dangkan masa November 1978 sampai denganakhir 1980an adalah masa perubahan struktural.

Memasuki 1970, upaya-upaya stabilisasi danrehabilitasi yang ditempuh sejak 1966 telah mulaimenampakkan hasil-hasil yang diharapkan. Khu-susnya berkenaan dengan neraca pembayaran danmanajemen nilai tukar, pemerintah mengganti se-mentara sistem nilai tukar tetap dengan melakukanpengambangan bebas nilai tukar hingga akhir 1968(Rosendale, 1981).Akibat dari pengambangan ininilai tukar bergerak naik sejalan dengan tekananpasar valuta asing dan rupiah mengalami deva-luasi.

Di akhir 1968, nilai tukar rupiah per dolarAS ialah sebesar 326.Yang paling berperan dalammanajemen nilai tukar rupian di awal dasawarsa1970-an itu ialah aliran bantuan asing.Rosendale(1981) memberi gambaran betapa krusialnya aliranbantuan ini untuk menyeimbangkan neraca pem-bayaran. Meskipun sejak 1969 hingga awal 1970harga-harga impor tidak mengalami kenaikan, bah-kan cenderung datar, tekanan permintaan dalamnegeri membuat posisi cadangan devisa sangat ber-bahaya (pada waktu itu cadangan yang ada hanyacukup untuk menutup kebutuhan ekspor selamaenam minggu). Pemerintah kemudian memutuskanmelakukan devaluasi rupiah sebesar 14 persen ter-hadap dolar AS sehingga nilai tukar pada April1970 menjadi Rp 378 per dolar AS).Di samping itupemerintah juga memberlakukan nilai tukartunggal dengan menyatukan nilai tukar ekspor danimpor.

Di pertengahan tahun berikutnya, sistemmoneter dunia Bretton Woods kolaps dan sebagaiakibatnya mata uang AS diambangkan. Dua keja-dian ini kembali membahayakan cadangan devisaIndonesia sehingga pada Agustus 1971 pemerintahkembali mendevaluasi rupiah, kali ini sebesar 9

Page 11: jurkubank.wordpress.com PELEMAHAN RUPIAH: …

Jurnal Keuangan dan Perbankan | KEUANGANVol. 20, No.2, Mei 2016: 224– 240

| 234 |

persen dan membuat nilai tukar menjadi 415 ru-piah per dolar AS. Di tengah gejolak moneter duniadan tekanan dalam negeri tersebut ekonomi In-donesia dapat terhindar dari stagnasi bahkanmengalami pertumbuhan berkat ekspansi eksporminyak di satu sisi, dan aliran masuk modal melaluibantuan, investasi langsung dan repatriasi di sisilain.Dengan semua kebijakan ini perekonomianIndonesia dapat menikmati kestabilan hingga lebihdari tujuh tahun.

Namun demikian, menurut Hill (1996) upayastabilitas di atas, khususnya devaluasi pada 1971mungkin berlebihan. Jika waktu itu pemerintahmembiarkan rupiah mengambang bebas, alih-alihmenerapkan nilai tukar tetap, rupiah dapat meng-alami apresiasi dan dengan demikian ancaman ter-hadap cadangan devisa dapat dihindarkan. Bagai-manapun juga, langkah ini akanmenimbulkaninflasi dan bagi suatu pemerintahan yang baru sajaberhasil menempatkan inflasi di bawah kendalinyapengorbanan ini menjadi terlalu besar.

1973 menjadi tahun penting bagi Indonesia,khususnya berkenaan penerimaan ekspor. Padatahun itu komoditas internasional mengalamiledakan dan harga minyak mulai menanjak.Diakhir 1973 OPEC mengubah kebijakan harga yangmengakibatkan harga minyak ekspor Indonesianaik empat kali lipat (Rosendale, 1981). Kenaikanini menyebabkan bergandanya penerimaan devisadan dengan sendirinya penerimaan pemerintahjuga naik dua kali lipat (Arndt, 1994). Tetapi, ledak-an di sektor minyak ini membawa akibat yangtidak menguntungkan bagi sektor-sektor per-dagangan yang lain.

Hingga lima tahun sejak 1973, ekspor nonmigasIndonesia mengalami kemandekan (Hill, 1996).Disisi lain, lonjakan harga minyak mendorong per-ekonomian dunia ke dalam resesi yang dimulaipada 1974 dan menjadi semakin dalam pada 1975(Rosendale, 1981).Situasi yang belakangan kemudi-an muncul ini mengena banyak komoditas eksporIndonesia dan penerimaan dari ekspor sektor non-

migas menurun. Meskipun demikian, cadangandevisa dapat terus ditingkatkan hingga mencapailaju pertambahan sebesar 0,9 milyar dolar AS pertahun selama 1976-1977 (Rosendale, 1981).

Di tengah keberhasilan pengelolaan neracapembayaran ini, pemikiran tentang dampak nilaitukar terhadap distribusi pendapatan kembalimengemuka (Hill, 1996).Pada pertengahan 1970-an, meskipun diberlakukan sistem nilai tukar tetap,nilai tukar efektif rupiah mengalami kenaikan.Kenaikan efektif inilah yang menyebabkan keman-dekan ekspor komoditas (dan juga ekspor produkmanufaktur) Indonesia sejak 1973.

Dampak distributif nilai tukar akan lebihmudah dipahami dengan mengingat bahwa komo-ditas ekspor Indonesia pada waktu itu terutamamasih dihasilkan oleh petani-petani gurem (small-holders). Komoditas ekspor tersebut meliputi,antara lain, kopi, karet dan kopra.Di samping itubeberapa industri kecil substitusi impor padatkarya di Jawa juga terkena dampak tidak meng-untungkan dari naiknya nilai tukar efektif, meski-pun melalui mekanisme yang tidak langsung yaknimelalui inflasi (Rosendale, 1981).

Sistem nilai tukar tetap dan melimpahnyacadangan devisa membuat ekspansi jumlah uangberedar yang berujung pada tingginya inflasihingga mencapai 40 persen pada 1974 (Hill, 1996).Tidak semua industri harus bersaing dengan pro-duk impor karena industri-industri substitusi imporyang tumbuh akibat UU PMA dan UU PMDN, yangditerbitkan di akhir 1960-an, mendapat proteksidari pesaing asing lewat larangan impor (Rosendale,1981).Tetapi industri-industri padat karya sepertiyand disebut dalam paragraph di atas tidak mem-peroleh fasilitas ini, dan dengan tingginya inflasimereka mengalami kesulitan. Dengan kata lainkesejahteraan riel faktor-faktor produksi di sektor-sektor nonmigas memburuk.

Dengan pertimbangan ini maka pemerintahpada November 1978 melakukan devaluasi rupiahdari Rp 415 menjadi Rp 625 per dolar AS.Dari

Page 12: jurkubank.wordpress.com PELEMAHAN RUPIAH: …

Pelemahan Rupiah: Manajemen Nilai Tukar Indonesia dan Pelajaran dari Masa LaluSonny Harry B Harmadi

| 235 |

perspektif neraca pembayaran, devaluasi ini cukupmengejutkan karena tidak ada risiko yang mem-bahayakan neraca pembayaran (Hill, 1996).Selainitu Hill (1996) juga menunjukkan bahwa meskipunada kekuatiran bahwa harga minyak dunia mulaimengalami tren penurunan, tetapi ternyata kemu-dian kekuatiran ini tidak terbukti karena di tahunberikutnya pecah perang Iran-Irak yang menye-babkan terjadinya ledakan harga minyak kedua.Penting pula untuk dicatat bahwa sejak 1978 peme-rintah menerapkan rejim nilai tukar mengambangterkendali (managed floating).

1980-an: Devaluasi, Deregulasi dan NilaiTukar Mengambang Terkendali

Masuk dalam dasawarsa 1980-an bagi per-ekonomian Indonesia adalah masuk dalam masapenyesuaian dan perubahan struktural. Akan ter-lihat kembali bagaimana kejutan-kejutan yang ter-jadi di luar ekonomi dalam negeri menimbulkanperubahan-perubahan besar, tidak terkecuali atasmata uang dan pengelolaannya. Dasawarsa inidapat ditelaah lebih lanjut dengan melihat bahwaperkembangan yang terjadi dalam paruh pertama1980-an berbeda dari perkembangan dalam paruhkedua. Hingga 1986, perekonomian Indonesiamasih berjalan dalam lingkungan yang praktisserupa dengan dasawarsa sebelumnya. Meskipunharga minyak dunia jatuh pada 1982 (Pinto, 1987)pemerintah dapat melakukan sejumlah penyesuai-an sehingga perekonomian dapat berjalan kembaliseperti sedia kala.

Penting untuk dicatat bahwa 1980-an meru-pakan dasawarsa yang penuh dinamika. Anjloknyaharga minyak pada 1982berakibat pada resesi diseluruh dunia.Keprihatinan utama bagi pemerin-tah akibat kejatuhan harga minyak ialah padadampaknya terhadap anggaran. Anjloknya hargaminyak di awal 1980-an mengakibatkan anjloknyapenerimaan pemerintah mengingat bahwa sekitar60 persen penerimaan itu berasal dari pajak migas

(Hill, 1996).Dengan demikian penurunan tajamharga komoditas membawa akibat langsung padaanggaran pemerintah. Selain itu, karena kepriha-tinan pemerintah terfokus pada kondisi anggaran,tanggapan kebijakan yang diberikan pertama-tamaialah demi penyelamatn anggaran. Ini dapat de-ngan mudah dilihat dari langkah-langkah penghe-matan dilakukan. Maret 1983 pemerintah mendi-evaluasi nilai tukar rupiah sebesar 50 persen (Pangestu,1996). Dengan langkah ini maka nilai nominal pene-rimaan pemerintah dalam rupiah akan naik meski-pun penerimaan dari migas turun. Untuk mencegahhilangnya devisa, rejim perdagangan dibuat men-jadi lebih protektif (Pangestu, 1996).

Langkah ini dari sisi lain dapat dipandangkurang tepat karena seiring dengan devaluasisebenarnya terbuka peluang untuk mendorongekspor. Sayangnya pada waktu itu sektor riel Indo-nesia masih belum terbiasa dengan orientasi ke luarsehingga peluang ini praktis terlewatkan begitusaja. Upaya lain yang dilakukan demi penyelamat-an anggaran ialah penghematan (austerity) yangdilakukan pemerintah dengan menunda beberapaproyek yang padat modal dan padat impor, bah-kan pemerintah mengurangi subsidi untuk bahanbakar, pertanian dan BUMN.Patut dicatat bahwaupaya pengetatan fiskal yang dilakukan sungguhefektif karena defisit yang mencapai lebih dari 4persen PDB hanya terjadi satu kali selama dasa-warsa 1980-an (Hill, 1996).Namun demikian barusetelah harga minyak jatuh ke titik 10 dolar ASper barel pemerintah berketetapan untuk menjalan-kan reformasi di sektor riel (Pangestu 1996).

Dasawarsa 1980-an selain merupakan masapertumbuhan ekspor (Indonesia mengalamiledakan ekspor dalam dasawarsa ini) juga meru-pakan masa deregulasi. Penurunan harga minyakpada 1982 berdampak pula pada sektor perbankan.Pada waktu itu sektor perbankan Indonesia dike-lola oleh dua jenis bank, yakni bank pemerintahdan bank swasta. Perbedaan antara kedua jenisbank ini (selain mengenai kepemilikan) adalah pada

Page 13: jurkubank.wordpress.com PELEMAHAN RUPIAH: …

Jurnal Keuangan dan Perbankan | KEUANGANVol. 20, No.2, Mei 2016: 224– 240

| 236 |

regulasi yang diterapkan pemerintah. Bank-bankpemerintah adalah sub-sektor perbankan yangsepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah.

Akibat dari resesi pada 1982, seperti telahdisebut di atas, pemerintah melakukan pengetatanuang beredar. Salah satunya ialah dengan mengu-rangi kredit likuiditas bank-bank pemerintah (Wooet al. 1994). Langkah ini sangat merugikan bagibank-bank tersebut karena, pertama, praktis bagihampir semua bank pemerintah kredit likuiditasmerupakan sumber pendanaan utama (kreditlikuiditas adalah penyaluran kredit berdasarkantarget-target pemerintah dan karena itu bank-bankpemerintah mendapat marjin keuntungan yangsudah dijamin sebelumnya). Kedua, suku bungatabungan (deposito) dan pinjaman bank pemerin-tah dikendalikan oleh pemerintah, sedangkanbank-bank swasta tidak. Karena itu ketika terjadipengetatan likuiditas pada bank pemerintah, bank-bank swasta memanfaatkan ini dengan menaikkansuku bunga tabungan sehingga terjadi pengalihandana dalam jumlah besar ke bank swasta.

Dua konsekuensi itu membuat pemerintahpada akhirnya menerbitkan paket reformasi per-bankan pada 1983. Kebijakan ini, dikenal denganPaket Juni 1983, dikeluarkan pemerintah setelahupaya untuk memperbaiki situasi keuangan bank-bank pemerintah lewat pembebasan kendali atassuku bunga deposito ternyata tidak berhasil.Masalah keuangan bank-bank tersebut justrumenjadi lebih parah.Pemerintah dapat saja mene-rapkan subsidi bagi bank-bank pemerintah, tetapitidak tersedia cukup sumber daya untuk itu (Wooet al. 1994). Alternatif yang tersedia bagi pemerin-tah kini adalah merestrukturisasi seluruh sektorperbankan dengan tujuan membuat sektor ini me-miliki daya dukung sendiri yang baik. Perlu dicatatpula bahwa pilihan kedua itu dipilih karena adadesakan kuat dari sisi neraca pembayaran, dimanakrisis neraca pembayaran yang terjadi waktu itumeminta usaha yang lebih besar untuk memobili-sasi tabungan. Berlalunya kejayaan dan kekayaan

dari minyak yang mulai dan datang tiba-tiba saatitu menjadi peringatan akan pentingya efisiensi da-lam pengalokasian dana-dana investasi.

Dasawarsa 1980-an selain merupakan masapertumbuhan ekspor (memang Indonesia meng-alami ledakan ekspor dalam dasawarsa ini) danjuga merupakan masa deregulasi.Diawali denganderegulasi perbankan pada 1983, pemerintah men-jalankan deregulasi pajak pada 1984 dan kemudianderegulasi perdagangan pada 1985. Dalam seluruhperkembangan ini manajemen nilai tukar selama1980-an sungguh menunjukkan efektivitasnya.

Apakah devaluasi 1983 diikuti dengan kebi-jakan uang ketat? Teori mengatakan bahwa akibatdevaluasi suku bunga riel turun (Chhibber danShafik, 1990), tetapi yang terjadi dengan Indone-sia adalah turunnya pertumbuhan jumlah uang ber-edar (M1) menjadi 6,4 persen selama 1983 dari 10persen selama tahun sebelumnya (Woo et al., 1994).Soesastro dalam Pasha (2011) mengatakan bahwakebijakan uang ketat waktu itu dipilih karena adakekuatiran meningatnya inflasi, selain untukmengamankan defisit neraca transaksi berjalan.Pada September 1986 pemerintah kembali mela-kukan devaluasi rupiah dengan besaran yang samaseperti pada 1983 (Pangestu, 1996). Tujuandevaluasi kali ini pun tetap pada upaya untuk men-dorong ekspor nonmigas.

Teori tentang devaluasi mengatakan me-kanisme yang berlaku ialah sebagai berikut: deva-luasi meningkatkan output domestik, cadangandevisa pemerintah dan jumlah uang beredar;karena peningkatan output, permintaan uang naikdan, jika tidak ada intervensi bank sentral di pasarvaluta asing, suku bunga akan naik. Untukmempertahankan nilai tukar pada keseimbangan-nya yang baru bank sentral mengintervensi pasaruang dengan membeli valuta asing dan menambahjumlah uang beredar (JUB). Aliran masuk modalswasta akan menyesuaikan capital outflow yangterjadi akibat intervensi bank sentral sebelumnya.

Page 14: jurkubank.wordpress.com PELEMAHAN RUPIAH: …

Pelemahan Rupiah: Manajemen Nilai Tukar Indonesia dan Pelajaran dari Masa LaluSonny Harry B Harmadi

| 237 |

Apa yang terjadi selama 1980-an? 1) Keber-hasilan kebijakan orientasi keluar (outward looking)negara-negara Asia Timur selama 1970-an mem-buat banyak negara berkembang mengkaji ulangparadigma pembangunan yang diterapkan. Keber-hasilan yang ditunjukkan ialah berlangsungnyapertumbuhan ekonomi yang kontinu yang dige-rakkan tidak oleh kekayaan alam yang terbatassifatnya, tetapi oleh kegiatan-kegiatan yang meng-hasilkan nilai tambah. 2) resesi ekonomi di awal1980-an dan harga minyak dunia jatuh menyeretperekonomian Indonesia sehingga pertumbuhanturun hingga kurang dari 2 persen selama 1985-1986 (Pasha, 2011). 3) Salah satu pembeda pentingdalam dua dasawarsa ini dibanding dua dasawarsasebelumnya ialah peran penting batuan asing danPMA. Ini merupakan sisi ‘debit’ dari neraca pem-bayaran. Khususnya dalam dasawarsa 1980-anyang ditandai denganjatuhnya harga minyak dunia.

Dasawarsa 1980-an juga diingat sebagai epi-sode deregulasi perekonomian Indonesia. Dasa-warsa ini mencakup dua Pelita (Pelita III, 1979-1984, dan Pelita IV, 1984-1989) dan di pertengahanPelita III, pada 1982, harga minyak dunia jatuhuntuk pertama kali dalam dasawarsa ini. Kejatuhankomoditas andalan Indonesia ini jelas ditanggapiserius oleh pemerintah, tetapi pada awalnya belumdianggap cukup mendasar untuk sampai pada ke-simpulan bahwa diperlukan reformasi perekono-mian. Pemerintah menanggapi situasi ini denganmenerapkan langkah penghematan (austerity)antara lain berupa penundaan sejumlah proyekpadat modal dan padat barang impor (Pangestu,1996).

Baru pada 1983 pemerintah menerapkan de-regulasi perbankan, kebijakan deregulasi pertamadari serangkaian deregulasi yang dikeluarkanselama 1980-an higga 1988. Menyusul devaluasi dibulan Maret, pada Juni 1983 deregulasi perbankanditempuh pemerintah dengan menghapus pagukredit, mengurangi kredit bersubsidi, dan me-niadakan kendali atas suku bunga deposito dan

kredit pada bank-bank milik pemerintah. Akibatdari kebijakan ini suku bunga deposito naik se-dangkan biaya intermediasi hingga tingkat tertentumengalami penurunan (Pangestu, 1996).

Reformasi selama 1980-an berlangsung de-ngan diterbitkannya aneka paket deregulasi setiaptahun hingga muncul terminologi menamai paket-paket tersebut berdasarkan bulan terbitnya sepertiPakjun 1983, untuk kebijakan deregulasi pada Juni1983, atau Pakto 1986, untuk kebijakan deregulasiyang dikeluarkan pada Oktober 1986. Salah satubutir penting yang patut diperhatikan selamadasawarsa ini ialah betapa efektivnya pengelolaannilai tukar.

Setelah devaluasi 1983, pemerintah terusmengambangkan rupiah ke bawah dari 970 rupiahper dollar di awal 1983 hingga 1,131 rupiah perdollar di pertengahan 1986. Meskipun depresiasiini diberlakukan neraca berjalan terus memberitekanan defisit hingga mencapai 5,2 persen dariPDB pada 1986 (dua kali lipat dari tahun sebelum-nya) (Woo et al., 1994). Di samping itu debt serviceratio(DSR) sejak 1984 telah melonjak dengan cepathingga pada 1986 angkanya sudah setara denganMexico pada 1981. Gambaran ini sungguh men-cemaskan mengingat bahwa perbandingan dengannegara amerika latin di masa itu sama dengan pe-ringatan keras akan adanya ancaman untuk masukke dalam krisis utang yang dialami negara-negaratersebut.

Faktor utama lonjakan tajam DSR adalahkolapsnya ekspor Indonesia yang disertai denganjatuhnya nilai tukar dollar AS di pasar uang dunia.Persoalannya ialah hanya kurang dari 30 persenutang luar negeri Indonesia dalam mata uang dol-lar AS, sedangkan lebih dari 70 persen dalam matauang lain yang tiba-tiba melonjak dan akibatnyadebt service tahunan Indonesia mendadak naik se-lama periode 1984-1986. Tiga faktor (memburuk-nya neraca perdagangan, membengkaknya utangluar negeri, dan melambatnya ekonomi dalamnegeri) menyebabkan langkah pemerintah untuk

Page 15: jurkubank.wordpress.com PELEMAHAN RUPIAH: …

Jurnal Keuangan dan Perbankan | KEUANGANVol. 20, No.2, Mei 2016: 224– 240

| 238 |

mendevaluasi rupiah sebesar 45 persen padaSeptember 1986 menjadi hal yang paling efektifuntuk memperbaiki kemampuan negaramemperoleh valuta asing dan sekaligus memberistimulus pada perekonomian dalam negeri (Wooet al., 1994). Pangestu (1996) dan Hill (1996)menambahkan bahwa setelah devaluasi 1986pengelolaan nilai tukar dijalankan denganmengelola nilai tukar efektif riel. Untuk menjagaagar nilai tukar efektif riel rupiah tetap konstanmaka pemerintah mendepresiasi rupiah sebesar 5persen terhadap mitra dagang utama.

Berbagai ekonom melihat bahwa tujuandevaluasi selama 1980-an adalah untuk memajukansektor ekspor nonmigas Indonesia. Memang dalamdasawarsa ini Indonesia memasuki masa ledakanekspor produk industri manufaktur.Warna orien-tasi substitusi impor yang tampak dalam Repelitasejak Repelita I hingga IV1 dalam praktiknya telahberubah menjadi orientasi promosi ekspor di per-tengahan 1980-an. Sebagaimana dijelaskan oleh Hil(1996) sejak 1985 sektor industri manufaktur meng-alami perluasan dalam subsektor industri padasumber daya (industri kayu dan produk kertas)dan industri pada karya (tekstil, garmen, dan alaskaki).

Perkembangan yang terjadi di sektor indus-tri pengolahan itu pada mulanya dipandang hanyabersifat sementara (Pasha, 2011). Baru di akhir 1980-an menjadi jelas bahwa Indonesia telah mengikutijalur yang ditempuh oleh negara-negara Asia Timuryakni dengan menempuh industrialisasi lewat per-luasan industri padat karya (Hill, 1996). Perubahanorientasi ini memberi dampak positif yang sig-nifikan yang terlihat dari dilampauinya eksportotal kelompok minyak, mineral dan logam pada1992 oleh ekspor industri manufaktur, sedangkan

kontribuasi ekspor sektor pertanian telah dilewatisejak 1987 (Hill, 1996).

KESIMPULAN

1. Definisi nilai tukar adalah harga mata uangdalam negeri dalam satuan mata uang luarnegeri. Dengan demikian adalah tidak benarjika mengevaluasi perubahan nilai tukar hanyaberdasarkan kondisi perekonomian dalamnegeri. Indonesia sejak merdeka selalu menjadiperekonomian terbuka dan kegiatan perdagang-an lintas perbatasan (ekspor dan impor) selaluterjadi, baik legal maupun ilegal (penyelun-dupan).

2. Pengelolaan nilai tukar mengadung unsur ke-tidakpastian. Bahkan, pengelolaan nilai tukardapat dipahami sebagai upaya menciptakansuatu ruang kepastian di tengah ketidak pas-tian. Bagaimanapun juga ada suatu tren yangdapat diusahakan untuk menggerakkan nilaitukar menuju suatu keseimbangan tertentu danini merupakan suatu pengelolaan jangkapanjang. Perubahan-perubahan struktural men-jadi faktor di sini.

3. Bahkan dalam rejim nilai tukar tetap, sebuahperekonomian tidak bisa menjadi steril sepe-nuhnya dari perubahan-perubahan yang ber-langsung di luar perekonomian. Ada berbagaikonsekuensi yang mungkin berdampak besardan tidak bisa diabaikan begitu saja bagi per-ekonomian domestik terutama karena efek dis-tributif yang ditimbulkan (pengaruhnya ataskelompok pendapatan rendah).

4. Butir terakhir di atas menyiratkan bahwa penge-lolaan nilai tukar yang efektif mensyaratkankemampuan pengelolaan saat krisis, yakni

1 Jika kita baca rencana-rencana pembangunan itu hingga Repelita IV (1984-1989) akan terlihat kesinambungan perencanaan pembangunan sejak Repelita I.Seharusnya sejak Repelita II Indonesia sudah memiliki sektor industri yang mampu mengolah bahan mentah menjadi bahan baku, sedangkan dalam RepelitaIII sektor industri yang dibangun adalah industri pengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Dalam Repelita IV direncanakan bahwa Indonesia sudah memilikiindustri yang menghasilkan mesin-mesin industri.

Page 16: jurkubank.wordpress.com PELEMAHAN RUPIAH: …

Pelemahan Rupiah: Manajemen Nilai Tukar Indonesia dan Pelajaran dari Masa LaluSonny Harry B Harmadi

| 239 |

pengelolaan yang berorientasi jangka pendekdengan tujuan yang sangat spesifik. Tetapi,pengelolaan nilai tukar tidak dapat berlang-sung secara terisolasi, lepas dari kaitannya de-ngan sektor-sektor perekonomian yang lain.Dengan kata lain pengelolaan nilai tukarmemerlukan juga kebijakan-kebijakan yangsuportif dari sektor-sektor yang relevan.

5. Suatu ledakan ekonomi (economic boom, sepertiledakan minyak atau ledakan komoditas dimana harga dunia barang yang bersangkutannaik secara berarti) mempunyai mekanismedampak sebagai berikut: putaran pertama,pemerintah mendapat manfaat dari penjualanlangsung, royalti ataupun pajak-pajak. Peneri-maan valuta asing pemerintah naik dan disim-pan di bank sentral. Dalam skenario sepertiini, tidak ada penambahan jumlah uang ber-edar kecuali pemerintah membelanjakan pene-rimaan tersebut di dalam negeri, atau kreditdalam negeri ke sektor swasta meningkat.

6. Perlu upaya secara terus menerus untuk men-dorong berkembangnya industri manufakturberbasis ekspor di Indonesia melalui berbagaipaket kebijakan yang tepat. Ketergantunganterhadap impor bahan baku perlu diatasi de-ngan dengan memperkuat industri manufak-tur di sektor hulu yang berarti pengembanganindustri manufaktur penyedia bahan baku.

DAFTAR PUSTAKAArndt, H. W. (1994). Pembangunan Ekonomi Indonesia:

Pandangan Seorang Tetangga. Yogyakarta: GadjahMada University Press.

Bank Dunia. (2015). Global Economic Prospects: GlobalEconomy in Transition. Washington. The WorldBank.Juni.

Bank Indonesia.(2015). Perkembangan Terkini,Tantangan dan Prospek Ekonomi Indonesia.Makalah tidak diterbitkan.Bank Indonesia. Juli.

Bank Indonesia. (tanpa tahun-a). Sejarah Bank Indone-sia: Moneter, Periode 1959-1966. http://

www.bi.go.id/id/tentang-bi/museum/sejarah-bi/bi/Documents/cdb6700dabd84a92b03f8fe8d5cd27caSejarahMoneterPeriode19591966.pdf

Bank Indonesia. (tanpa tahun-b). Sejarah Bank Indone-sia: Moneter, Periode 1959-1966.http://www.bi.go.id/id/tentang-bi/museum/sejarah-b i / b i / D o c u m e n t s / 9 f 3 f 6 d 0 9 0 a a b 4 2e4b17ff3499fadd7ddSejarahMoneterPeriode19531959.pdf

Binsardi Sastrowardojo, A. P. (1993). Aspects of balance ofpayments modelling in a developing economy: a casestudy of Indonesia. Unpublished Doctoral disserta-tion. Loughborough University. Leicestershire,England, UK.

Chhibber, A. Dan Shafik, N. (1990).Does Devaluation HurtPrivate Investment? The Indonesian Case. Vol 418.World Bank Publications.

Dornbusch, R. (1993). Stabilization, debt, and reform: policyanalysis for developing countries. HarvesterWheatsheaf.

Erten, B., & Ocampo, J. A. (2013).Super cycles of commod-ity prices since the mid-nineteenth century. WorldDevelopment, 44, 14-30.

Hill, H. (1996).Transformasi Ekonomi Indonesia sejak 1966:Sebuah Studi Kritis dan Komprehensif.Terjemahan.Yogyakarta. Pusat Antar UniversitasUniversitas Gadjah Mada dan Tiara WacanaYogya.

Internasional Monetary Fund.(2015). World EconomicOutlook Update.9 Juli.http://www.imf.org/exter-nal/pubs/ft/weo/2015/update/02/

Kose, M. A. (2015). Global Economic Prospects:GlobalEconomy in Transition. Makalah dipresentasikandalam Seminar Global Economic Prospects (GEP):The Global Economy in Transition. Tokyo. 6 Juli.

Krugman, P. R. dan Obstfeld, M. (2003). International Eco-nomics: Theory and Policy. Edisi VI.Singapura.Addison-Wesley.

McCawley, P., & Booth, A. (Eds.). (1981). The IndonesianEconomy During the Soeharto Era. Oxford Univer-sity Press.

Pangestu, M. (1996).Economic Reform, Deregulation andPrivatization: The Indonesian Experince. Jakarta. CSIS.

Page 17: jurkubank.wordpress.com PELEMAHAN RUPIAH: …

Jurnal Keuangan dan Perbankan | KEUANGANVol. 20, No.2, Mei 2016: 224– 240

| 240 |

Pasha, M. (2011). Hadi Soesastro: sebuah Antologi Pemikiran.Jakarta. CSIS.

Pinto, B. (1987). Nigeria During and After The Oil Boom:A Policy Comparison with Indonesia. The WorldBank Economic Review. Vol 1. No. 3. Hal. 419-445.

Prijambodo, B. (2015). Evaluasi Singkat PerekonomianSemester I 2015.Makalah tidakditerbitkan.BAPPENAS.

Rosendale, P. (1981). The Balance of Payments.DalamMcCawley, P., & Booth, A. (Eds.). (1981). The Indo-nesian Economy During the Soeharto Era. OxfordUniversity Press.Hal.162-180.

Sutton, M. (1982). Indonesia 1966-1970: Economic Man-agement and the Role of the IMF. Overseas Devel-opment Institute.Working Paper no. 8. April.

Thee, K. W. (1994).Industrialisasi di Indonesia: BeberapaKajian. Jakarta: LP3ES.

White, L. J. (1972). The Decontrol of the Indonesian ForeignExchange System, 1966-1971. Research Program inEconomic Development, Woodrow Wilson School,Princeton University.

Woo, W. T., Glassburner, B. dan Nasution, A. (1994).Macroeonomic Policies, Crises, and Long-Term Growthin Indonesia, 1965-1990. Washington, D.C.: TheWorld Bank.

Zanden, J.L. van dan Marks, Daan. (2012). Ekonomi Indo-nesia 1800-2010: Antara Drama dan KeajaibanPertumbuhan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas danKITLV.