20
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Permasalahan yang hendak dijawab dalam tulisan ini dilatarbelakangi oleh adanya keprihatinan penulis dan juga sebagian jemaat Gereja lokal seperti GKJ ( Gereja Kristen Jawa ) di wilayah urban seperti wilayah Pondok Gede yang notabene merupakan daerah pinggiran kota yang menghubungkan antara Jakarta dan Bekasi sebagai daerah pembantu bagi Jakarta. Keprihatinan ini terkait dengan sudah tidak nampak lagi jemaat GKJ Pondok Gede yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari mereka, sudah banyak diantara mereka yang tidak lagi mengerti bahasa Jawa, dan juga budaya unggah-ungguh atau basa-basi dan lain-lain. Sikap Gereja lokal seperti GKJ Pondok Gede yang berada di wilayah urban yang kental (banyak menggunakan unsur budaya Jawa) kini terlihat kian hari kian memudar dan tidak lagi menghidupi budaya tersebut. Hal ini terlihat pada presentase kehadiran mereka ketika ibadah berbahasa Jawa yang sangat sedikit. Hal ini dibuktikan dengan data yang ada yakni dari 80 orang responden sampel 55 orang lebih senang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar ibadah, sedangkan 13 orang dari sampel itu lebih senang menggunakan bahasa Jawa sebagai pengantar dalam peribadatan dan sisanya yakni 12 orang sampel memilih keduanya. 1 Penulis berpendapat bahawa hal ini disebabkan adanya perpindahan dari generasi awal (nenek moyang) yang menetap pada daerah asal yang menghidupi dan mengerti dengan budaya Jawa. Kemudian melahirkan sebuah generasi baru yang diharapkan dapat meneruskan budaya dari generasi awal tersebut. 1 Hasil dari kuisioner yang diberikan kepada jemaat GKJ Pondok Gede dengan jumlah sampel atau responden sebesar 80 orang dan dibagi dalam bentuk klasifikasi usia dari umur 11-56± tahun. @UKDW

@UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072157/66d341... · Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian Pemaknaan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072157/66d341... · Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian Pemaknaan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Permasalahan

Permasalahan yang hendak dijawab dalam tulisan ini dilatarbelakangi oleh adanya

keprihatinan penulis dan juga sebagian jemaat Gereja lokal seperti GKJ ( Gereja Kristen

Jawa ) di wilayah urban seperti wilayah Pondok Gede yang notabene merupakan daerah

pinggiran kota yang menghubungkan antara Jakarta dan Bekasi sebagai daerah pembantu

bagi Jakarta. Keprihatinan ini terkait dengan sudah tidak nampak lagi jemaat GKJ Pondok

Gede yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari mereka, sudah banyak

diantara mereka yang tidak lagi mengerti bahasa Jawa, dan juga budaya unggah-ungguh

atau basa-basi dan lain-lain.

Sikap Gereja lokal seperti GKJ Pondok Gede yang berada di wilayah urban yang

kental (banyak menggunakan unsur budaya Jawa) kini terlihat kian hari kian memudar dan

tidak lagi menghidupi budaya tersebut. Hal ini terlihat pada presentase kehadiran mereka

ketika ibadah berbahasa Jawa yang sangat sedikit. Hal ini dibuktikan dengan data yang ada

yakni dari 80 orang responden sampel 55 orang lebih senang menggunakan bahasa

Indonesia sebagai bahasa pengantar ibadah, sedangkan 13 orang dari sampel itu lebih

senang menggunakan bahasa Jawa sebagai pengantar dalam peribadatan dan sisanya yakni

12 orang sampel memilih keduanya.1 Penulis berpendapat bahawa hal ini disebabkan

adanya perpindahan dari generasi awal (nenek moyang) yang menetap pada daerah asal

yang menghidupi dan mengerti dengan budaya Jawa. Kemudian melahirkan sebuah

generasi baru yang diharapkan dapat meneruskan budaya dari generasi awal tersebut.

1 Hasil dari kuisioner yang diberikan kepada jemaat GKJ Pondok Gede dengan jumlah sampel atau

responden sebesar 80 orang dan dibagi dalam bentuk klasifikasi usia dari umur 11-56± tahun.

@UKDW

Page 2: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072157/66d341... · Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian Pemaknaan

2

Namun pada kenyataannya, beberapa generasi baru tersebut mencoba keluar dari pakem2

yang ada yang dahulu dibuat oleh generasi awal. Generasi pertama di wilayah urban yang

terkesan tetap mempertahankan identitasnya sebagai seseorang yang berasal dari budaya

Jawa. Generasi berikutnya hanya mempertahankan identitas kelokalannnya dengan tidak

menghilangkan bahasa daerah ataupun yang lainnya. Generasi ini tidak mengerti dengan

makna serta maksud dari apa yang telah dibuat oleh nenek moyang mereka. Hal ini

disebabkan karena mereka telah berada di wilayah urban yang notabene memiliki

keberagaman budaya di dalam wilayah tersebut. Hal ini dapat dicontohkan melalui masih

ada ibadah dengan bahasa Jawa namun banyak jemaat yang tidak hadir ketika diadakan

ibadah dengan bahasa Jawa. Hal ini membuat penulis beranggapan bahwa mereka terkesan

seperti takut kehilangan identitasnya dan dianggap kehilangan orientasi mereka sebagai

gereja lokal yang berlatar belakang budaya.

Wilayah urban secara antropologis dapat diartikan Di dalam Kamus Lengkap

Inggris – Indonesia / Indonesia - Inggris suntingan S. Wojowasito dan W.J.S.

Poerwodarminto (1972), rural diartikan ”seperti desa, seperti di desa” dan urban diartikan

“dari kota, seperti di kota”. Rural yang secara umum di terjemahkan menjadi “Perdesaan”

bukanlah desa (village).demikian pula urban atau yang umum diterjemahkan menjadi

perkotaan, juga bukan kota (town, city). Konsep suburban atau rurban sering diberi arti

atau diterjemahkan dengan “pinggiran kota”. Yang lebih tepat, suburban adalah merupakan

bentuk antara (in-between): antara rural dan urban. Dilihat sebagai suatu lingkungan

daerah, maka daerah suburban merupakan daerah yang berada di antara atau di tengah-

tengah daerah rural dan urban.

Jika dilihat sebagai suatu komunitas, maka suburban merupakan kelompok

komunitas yang memiliki sifat tengah-tengah antara rural dan urban. Pinggiran kota dalam

arti batas terluar dari sebuah kotapraja disebut urban fringe atau country side.3 Wilayah ini

biasanya membentuk budaya baru yang terdiri dari pencampuran budaya lokal dengan

2 Pakem dalam bahasa Jawa dapat diartikan sebagai aturan yang diharapkan oleh para leluhur ini bisa

dilanjutkan oleh penerusnya. 3 Edi Indrizal, Memahami Konsep Pedesaan Dan Tipologi Desa Di Indonesia, diakses melalui

http://fisip.unand.ac.id/media/rpkps/EdiIndrizal/M3.pdf pada taggal 8 Agustus 2014

@UKDW

Page 3: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072157/66d341... · Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian Pemaknaan

3

berbagai macam budaya dari daerah lain. Wilayah urban memiliki satu budaya awal dari

masyarakat terdahulu yang sudah lama menetap di wilayah tersebut. Walaupun demikian,

jumlah warga asli tersebut berbanding jauh dengan masyarakat pendatang.4 Ketika kita

berada dalam wilayah urban tersebut, kita akan menemukan sebuah permasalahan yang

kemungkinan terdapat dalam sebuah Gereja. Di mana di dalam wilayah urban tersebut

terdapat banyak Gereja dengan latar belakang etnik tertentu dan budaya tertentu. Gereja-

Gereja yang berada di wilayah tersebut berlandaskan latar belakang budaya tertentu.

Namun masyarakat yang membuat Gereja lokal yang berada di wilayah urban ini terkesan

tidak menghidupi budaya lokal tersebut. Hal ini dilandasi dengan adanya latar belakang

dari gereja lokal itu terbentuk. Cotohnya latar belakang GKJ Pondok Gede ini terbentuk

karena adanya kesamaan latar belakang budaya dan agama yang menginginkan adanya

suasana yang sama seperti yang ada pada kampung halaman mereka. Masyarakat ini hanya

mempertahankan identitas dan ciri khas dalam Gereja lokal tersebut. Kemungkinan hal ini

yang menyebabkan Gereja Jawa yang berada di wilayah urban tidak lagi dapat menghidupi

makna budayanya. Kemungkinan lainnya ialah generasi kedua yang berada jauh dari

budaya dan tempat asal budaya tersebut mencoba mengintepretasikan ulang pemaknaan

mengenai hidup dalam budaya mereka tersebut sesuai dengan keadaan dan konteks mereka

sekarang.

Penulis mengambil konteks budaya Jawa dan mengambil konteks Gereja lokal

yakni Gereja Kristen Jawa (GKJ) yang berada di daerah perkotaan dan merupakan wilayah

urban sebagai kajian untuk melihat pergeseran dan kebutuhan pembentukan budaya Jawa

baru tersebut. Gereja Kristen Jawa yang akan diangkat ialah Gereja Kristen Jawa Pondok

Gede. GKJ Pondok Gede memiliki jemaat sebagian besar dari masyarakat Jawa. Namun

mereka sudah tidak lagi menghidupi kebudayaan Jawa dan bahkan sudah meninggalkan

kebudayaan tersebut. Hal ini disebabkan sudah banyak sekali orang-orang yang tidak fasih

berbahasa Jawa. Alasan lainnya adalah perbedaan jumlah jemaat ketika beribadah

menggunakan bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia. Hal ini sangat penting sebab gereja

4 Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, Yogyakarta, Kanisius, 2002

@UKDW

Page 4: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072157/66d341... · Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian Pemaknaan

4

yang memiliki latar belakang budaya khususnya budaya Jawa seharusnya gereja dapat

menjadi bagian dalam mempertahankan sebuah kebudayaan. Penulis menganggap bahwa

Gereja tersebut pantas untuk dijadikan objek penelitian sebab Gereja tersebut sudah jarang

jemaat yang menghidupi kebudayaan Jawa dan bahkan meninggalkannya. Kehidupan

sebagai orang Jawa yang penulis sebutkan dalam permasalahan bukan sekedar tetap

menggunakan bahasa tradisional serta mampu memainkan alat musik tradisional. Namun

kehidupan sebagai orang Jawa yang mengerti mengenai etika serta tradisi Jawa yang kini

mulai menghilang di dalam kehidupan jemaat tersebut atau mungkin adanya perubahan

pemahaman serta perubahan dari budaya lama ke perubahan budaya baru.

2. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang sudah dijabarkan sebelumnya, penulis menemukan

beberapa permasalahan. Permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana pemahaman jemaat Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pondok Gede

mengenai budaya Jawa terkait dengan identitas mereka sebagai orang Jawa

yang memiliki budaya Jawa serta Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa

(PPAGKJ)?

b. Bagaimana GKJ Pondok Gede menyikapi dirinya yang merupakan sebuah

komunitas orang Jawa yang berada di wilayah urban dipinggir Jakarta?

c. Bagaimana Misi kontekstual dilakukan dalam konteks GKJ Pondok Gede?

3. Batasan Permasalahan

Dalam hal ini, penulis mencoba memberi batasan terhadap penulisan ini dengan terfokus

pada sebuah Gereja Jawa yang berbasis dalam ajaran atau pemahaman budaya Jawa.

Budaya Jawa yang penulis maksud tidak hanya pemahaman mengenai alat musik, pakaian

@UKDW

Page 5: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072157/66d341... · Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian Pemaknaan

5

adat atau bahkan bahasa saja yang biasa ditunjukkan oleh jemaat dalam perayaan hari

besar keagamaan Gereja, melainkan pemahaman mereka sebagai jemaat mengenai

pemahaman tentang hidup orang Jawa serta ajaran mengenai falsafah hidup orang Jawa.

Hal ini pada awalnya penulis yakini bahwa orang Jawa dan juga keturunannya masih

memegang dan mengerti adat istiadat kebudayaan Jawa mereka. Peran misiologi yang

kontekstual menolong GKJ Jemaat Pondok Gede sebagai salah satu contoh Gereja Jawa

yang berada di tanah urban yang masih memegang budaya Jawa. Hal ini ditunjukkan oleh

masih banyak orang yang memahami ajaran budayanya meskipun mereka berada di daerah

urban dan sudah lama menetap di daerah tersebut.

4. Tujuan Penulisan

Melalui tulisan ini, penulis berharap para pembaca dapat mempelajari pemaknaan dan

pemahaman yang muncul dalam gereja yang berbasis pada budaya yang berada di wilayah

urban. Satu hal yang menjadi tujan penulisan ini adalah penerjemahan kembali tentang

makna budaya Jawa dalam jemaat GKJ Pondok Gede serta menentukan misi Gereja yang

cocok bagi konteks Gereja lokal yakni GKJ Pondok Gede yang berada di daerah urban.

5. Pemilihan Judul

Dengan melihat pada uraian permasalahan tersebut di atas, penulis memilih judul:

Identitas Baru Kejawaan Di GKJ Pondok Gede

dalam Rangka Misi Kontekstual di Wilayah Urban

@UKDW

Page 6: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072157/66d341... · Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian Pemaknaan

6

6. Landasan Teori

6.1. Pemaknaan Budaya

Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan

pengertian Pemaknaan Budaya. Definisi kebudayaan menurut Koentjaraningrat

sebagaimana dikutip oleh Budiono K. adalah “menurut antropologi, kebudayaan adalah

seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam

kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar”.5 Pengertian tersebut

berarti pewarisan budaya-budaya leluhur melalui proses pendidikan. Beberapa pengertian

kebudayaan berbeda dengan pengertian di atas, yaitu:

a. Kebudayaan adalah cara berpikir dan cara merasa yang menyatakan diri

dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk

kesatuan sosial (masyarakat) dalam suatu ruang dan waktu.

b. Kebudayaan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan kepercayaan

seni, moral, hukum, adat serta kemampuan serta kebiasaan lainnya yang

diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

c. Kebudayaan merupakan hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya yaitu

masyarakat yang menghasilkan tekhnologi dan kebudayaan kebendaan yang

terabadikan pada keperluan masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa manusia

yaitu kebijaksanaan yang sangat tinggi di mana aturan kemasyarakatan

terwujud oleh kaidah-kaidah dan nilai-nilai sehingga denga rasa itu,

manusia mengerti tempatnya sendiri, bisa menilai diri dari segala

keadaannya.6

5 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Kebudayaan: Proses Realitas Manusia, Jalasutra, Yogyakarta,

2010 6 John Fiske. Cultural and Communication Studies, Yogyakarta, Jalasutra. 2010

@UKDW

Page 7: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072157/66d341... · Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian Pemaknaan

7

Pengertian kebudayaan tersebut mengispirasi penulis untuk menyimpulkan bahwa; akal

adalah sumber budaya. Karena setiap manusia berakal, maka secara tidak langsung

manusia memiliki sebuah budaya yang identik dengan manusia lain dan sekaligus

membedakannya dengan makhluk hidup lain. Dengan akal manusia mampu berfikir, dan

menciptakan nilai-nilai budaya yang membawa manusia kepada ketinggian peradaban.

Makna yang sama juga diutarakan oleh Suratno Pardi yang mengatakan bahwa kebudayaan

adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi ) manusia, yang keberadaannya

dapat diterima dan diakui oleh masyarakat pada masanya.7

Dengan demikian, budaya dan kebudayaan telah ada sejak manusia berpikir,

berkreasi dan berkarya sekaligus menunjukkan bagaimana pola berpikir dan interpretasi

manusia terhadap lingkungannya. Dalam kebudayaaan terdapat nilai-nilai yang dianut

masyarakat setempat dan hal itu memaksa manusia berperilaku sesuai budayanya. Antara

kebudayaan satu dengan yang lain terdapat perbedaan dalam menentukan nilai-nilai hidup

sebagai tradisi atau adat istiadat yang dihormati. Adat istiadat yang berbeda tersebut,

antara satu dengan lainnya tidak bisa dikatakan benar atau salah, karena penilaiannya

selalu terikat pada kebudayaan tertentu.

Kebudayaan sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang, begitu pula

sebaliknya. Di dalam pengembangan kepribadian diperlukan kebudayaan, dan kebudayaan

akan terus berkembang melalui kepribadian tersebut. Sebuah masyarakat yang maju,

kekuatan penggeraknya adalah individu-individu yang ada di dalamnya. Tingginya sebuah

kebudayaan masyarakat dapat dilihat dari kualitas, karakter dan kemampuan individunya.

Manusia dan kebudayaan adalah dua hal yang saling berkaitan. Manusia dengan

kemampuan akalnya membentuk budaya, dan budaya dengan nilai-nilainya menjadi

landasan moral dalam kehidupan manusia. Seseorang yang berperilaku sesuai nilai-nilai

budaya, khususnya nilai etika dan moral, akan disebut sebagai manusia yang berbudaya.

Selanjutnya, perkembangan diri manusia juga tidak dapat lepas dari nilainilai budaya yang

berlaku.

7 Suratno Pardi, Masyarakat Jawa dan Budaya Barat, Adiwacana, Yogyakarta, 2013. p. v

@UKDW

Page 8: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072157/66d341... · Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian Pemaknaan

8

Kebudayaan dan masyarakatnya memiliki kekuatan yang mampu mengontrol,

membentuk dan mencetak individu. Apagi manusia di samping makhluk individu juga

sekaligus makhluk sosial, maka perkembangan dan perilaku individu sangat mungkin

dipengaruhi oleh kebudayaan. Atau boleh dikatakan, untuk membentuk karakter manusia

paling tepat menggunakan pendekatan budaya.8 Dalam pandangan yang serupa, Levi-

Strauss mengatakan bahwa budaya merupakan sebuah proses pemahaman bukan hanya

untuk memahami alam atau realitas eksternal, melainkan juga sistem sosial yang

merupakan bagian dari identitas sosial sekaligus identitas sosialnya.9 Pernyataan yang

serupa juga dikatakan oleh Prior dengan mengatakan bahwa dengan pengertian yang

seperti itu, kebudayaan terus berkembang dan di dalamnya terkandung sifat serta

hakikatnya, yaitu dinamis. Sifat dan hakikat kebudayaan yang dinamis itu sangat kuat dan

itu yang harus memperoleh tekanan.

Dari pemahaman itu penulis berpendapat bahwa ketika manusia itu hidup dalam

sebuah komunitas pastinya manusia tersebut membentuk sebuah budaya baru yang secara

bersama-sama mereka bentuk di daerah tersebut dan ketika mereka keluar dari

komunitasnya hijrah ke tempat lain yang tentunya telah ada kebudayaan sebelumnya

pastilah ada sebuah benturan. Benturan-benturan ini yang disebut dengan shock culture.

Ketika manusia lain dari komunitas yang memiliki paham yang sama dengan manusia

tersebut hadir maka mereka akan membentuk sebuah komunitas baru bedasarkan apa yang

mereka alami di tempat baru dengan benturan-benturan yang mereka alami dengan budaya

yang mereka bawa.

Hal ini membentuk mereka dan memaksa mereka membentuk kebudayaan baru

atau merubah sedikit budaya mereka dan menyesuaikan dengan budaya yang ada. Inilah

yang penulis lihat ketika GKJ Pondok Gede berada di wilayah urban ini. GKJ Pondok

Gede sebagai suatu komunitas Kristen yang memiliki latar belakang budaya Jawa harus

8 http://www.referensimakalah.com/2012/11/pengertian-budaya-dan-kebudayaan.html diakses jam

20.50, tanggal 7/2/2014 9 Fiske, John, Cultural and Communication Studies, Jalasutra, Yogjakarta, 2010, p. 167

@UKDW

Page 9: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072157/66d341... · Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian Pemaknaan

9

hidup di tengah budaya urban yang majemuk mengakibatkan mereka dipaksa untuk

merubah dan membentuk budaya baru atau mempertahankan budayanya yang ada karena

itu adalah identitas mereka. Penulis merasa GKJ Pondok Gede masih bingung menentukan

karakter diri mereka. Sehingga misi yang mereka bawa melalui budaya mereka tidak

tersampaikan. Hal ini membuat suatu problematika baru yang muncul akibat adanya

perpindahan orang dari satu budaya ke budaya yang lain selain menimbulkan shock culture

juga akan berdampak pada permasalahan globalisasi yang dikembangkan pada era zaman

orde baru dimana masyarakat Indonesia itu disebar ke seluruh pelosok negeri sehingga

banyak percampuran budaya perubahan budaya dan keanekaragaman budaya. Tidak hanya

itu juga globalisasi mencakup hadirnya kerjasama dengan antara budaya timur dengan

budaya barat yang menyebabkan perubahan pola pikir kita. Hal ini menyebabkan budaya

yang kita miliki sebelumnya berubah bentuk menyesuaikan dengan keadaan yang dialami.

6.2. Budaya Jawa

Dalam rangka mendalami budaya Jawa serta makna apa saja yang terkandung di dalam

budaya Jawa, penulis mencoba mencari tahu tentang pengertian dasar dari apa itu budaya

Jawa. Secara garis besar orang Jawa sendiri memaknai Budaya Jawa dengan sebuah

perumpamaan yaitu tentang keselarasan antar satu substansi dengan substansi lainnya

substansi yang saya maksudkan disini adalah agama, budaya, dll. Unsur yang paling kental

tentang pemaknaan budaya Jawa ialah “kejawen”.

Kata “Kejawen” berasal dari kata Jawa, sebagai kata benda yang memiliki arti

dalam bahasa Indonesia yaitu segala yg berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa

(Kejawaan). Penamaan "kejawen" bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar

ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, kejawen merupakan bagian

dari agama lokal Indonesia. Seorang ahli antropologi Amerika Serikat, Clifford

Geertz pernah menulis tentang agama Jawa atau dalam bahasa lainnya adalah Kejawen.

"Agami Jawi", sebagaimana yang dikemukakan oleh Harsja Bachtiar (1973), memang

benar bahwa salah satu kelemahan tulisan Geertz ini adalah karena tidak didasarinya akan

adanya Agama Jawa. Lebih lanjut Bachtiar mengidentifikasi Agama Jawa sebagai

@UKDW

Page 10: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072157/66d341... · Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian Pemaknaan

10

pemujaan leluhur. Sumber yang digunakan adalah kepustakaan yang ditulis oleh para

sarjana Belanda. Bedasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Geertz pada orang Jawa

di Suriname (1976). Diperoleh kesimpulan bahwa sesungguhnya yang dinamakan Agama

Jawa bukanlah agama pemujaan leluhur. Tetapi, berintikan pada prinsip utama yang

dinamakan sangkan paraning dumadi.10

Prinsip ini menyangkut dua hal, yaitu: konsep

mengenai eksistensi manusia di alam semesta beserta segala isinya ; dan berbagai kegiatan

yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Kedua hal ini menyangkut konsep-konsep wadah

dan isi, serta ekuilibrium dan ketidakteraturan unsur-unsur yang ada dalam isi sesuatu

wadah.11

Hal ini membuktikan bahwa kejawen bukanlah sebuah agama dan juga bukan

sebuah kebudayaan melainkan sebuah kepercayaan yang bukan berdasarkan penghormatan

kepada leluhur melainkan pada Sang pencipta alam semesta yang hadir melalui alam

semesta itu sendiri.

6.3. Pandangan Gereja Kristen Jawa Terhadap Budaya Jawa.12

Dalam perkembangan peradaban manusia seperti sekarang ini perubahan pandangan dan

perubahan pola pikir pun terkadang ikut berubah mengikuti peradaban yang ada. Hal ini

seperti ketika kita berbicara mengenai budaya Jawa pada kehidupan peradaban Jawa

sendiri berkembang seturut dengan perkembangan peradaban di dunia. Di mana pada

zaman dahulu masih jarang sekali percampuran suku, kepercayaan atau sebagainya.

Seiring perkembangan peradaban manusia khususnya manusia Jawa muncul sebuah

peradaban baru yakni globalisasi. Menurut sebagian masyarakat Jawa, globalisasi

merupakan ancaman terbesar bagi punahnya budaya Jawa terhadap generasi muda. Hal ini

dikarenakan sudah banyak anak muda yang tidak mengerti bahasa Jawa dan mau belajar

bahasa Jawa. Maka berdasarkan inilah Gereja-Gereja Kristen Jawa (GKJ), nampaknya juga

didasari oleh anggapan bahwa globalisasi dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan

identitas Jawa.

10

Geertz, Clifford. Abangan, diterjemahkan oleh Aswab Mahasin, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat

Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta, 1989. p. xii 11

. Geertz, Clifford. Abangan, diterjemahkan oleh Aswab Mahasin, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat

Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta, 1989. p. xii 12

Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa, Salatiga, 2005.

@UKDW

Page 11: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072157/66d341... · Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian Pemaknaan

11

Pemasalahan globalisasi yang penulis maksud di sini tidak hanya permasalahan

datangnya peradaban budaya barat saja tetapi persebaran penduduk yang dicanangkan

pemerintah orde baru. Hal ini menyebabkan percampuran budaya yang ada semakin kental

terasa apa lagi ketika berada di wilayah urban seperti Jakarta. Banyak orang-orang dari

daerah Jawa Tengah yang berurbanisasi ke daerah tersebut demi mencoba peruntungannya

dan mengadu nasibnya untuk mengubah tingkat kehidupannya.

Percampuran antar suku dan urbanisasi inilah kiranya yang menjadikan

percampuran pemahaman antara satu budaya dengan budaya lain. Percampuran budaya

dalam wilayah urban inilah yang kiranya membentuk suatu kebudayaan baru. Perubahan

dan percampuran budaya dari zaman ke zaman tentunya membuat Gereja-Gereja yang

berbasis budaya ini segera membentengi identitas mereka dengan berbagai cara agar

mereka dapat disebut Gereja etnis yang dalam hal ini Gereja-Gereja Kristen Jawa (GKJ).

Namun hal ini tidak lantas selesai karena perubahan ini sulit dihidari. Demi

mempertahankan identitas itu banyak GKJ melakukan antisipasi dengan membangkitkan

kembali tradisi Jawa dalam berbagai bentuk dan simbol, baik pada arsitektur gedung

Gereja, liturgi, bahasa pengantar ibadah, serta musik-musik tradisional di berbagai

aktivitas pelayanan Gereja. Bahkan tidak banyak Gereja yang memberikan syarat wajib

yakni dengan harus mampu berbahasa daerah sebagai sebuah syarat menjadi seorang

pendeta.

Sementara itu ada yang memiliki pemahaman bahwa GKJ harus menjadi “ benteng

terakhir “ budaya Jawa.13

Berangkat dari pemaknaan budaya secara umum penulis

mencoba mengerucutkan permasalahan mengenai pemaknaan budaya Jawa. Menurut

Sujamto pemaknaan mengenai budaya Jawa merupakan hasil dari sebuah perpaduan dua

atau lebih paham. Sampai seberapa jauh pertemuan itu atau perpaduan itu, dan sejak kapan

hal itu terjadi di Jawa.14

Sujamto juga menambahkan bahwa budaya Jawa memiliki ciri-ciri

seperti [1] religius, [2] non doktriner, [3] toleran, [4] akomodatif, [5] optimistik. Dari

pernyataan inilah maka budaya Jawa dapat bergabung dengan agama manapun dan dapat

menjadi sebuah spritualisme baru mengenai tata hidup orang Jawa itu sendiri.

13

Artikel Djoko Prasetyo Adi Wibowo, Murid, Sahabat, Pelayan; Mengkomunikasikan Injil Berasama

dengan Konteks GKJ Masa Kini, p. 96. 14

Sujamto, Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Orang Jawa, Dahara Prize, Semarang. p.14

@UKDW

Page 12: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072157/66d341... · Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian Pemaknaan

12

Budaya Jawa sendiri memiliki pemakanaan tersendiri mengenai Sang Ilahi.

Sujamto mengatakan bahwa Kejawen memiliki sifat yang sangat religius. Orang Jawa pada

umumnya percaya tentang adanya Tuhan. Dalam pandangan dasar pandangan Kejawen

yang murni, Tuhan dihayati sebagai yang Dat Yang Maha Kuasa yang tidak dapat

digambarkan bagaimana wujud dan keadaannya.15

Hal lain jika kita melihat dari fakta

sejarah terbentuknya sebuah Gereja yang dinamakan GKJ (Gereja Kristen Jawa) ini. Jika

kita tinjau dari lahirnya Gereja Kristen Jawa, Gereja ini lahir dan besar dalam budaya

bangsa Eropa yakni Belanda yang kala itu menjajah Indonesia. Pada kala itu para

misionaris Belanda mendirikan sekolah tinggi teologia dan menyebarkan dogma dan ajaran

kekristenan kepada masyarakat Jawa yakni sebelum tahun 1900 Gereja ini membentuk

kemajelisan dan mandiri. Dilihat secara cakupan luas wilayah pengajaran yang tesebar dari

daerah Sumatra Selatan(GKSBS), Jawa Tengah (GKJ), Jawa Timur (GKJW).16

Kata Jawa dalam Gereja Kristen Jawa, memiliki maksud dan arti sebagai sebuah

bentuk penandaan sebuah identitas. Dalam sejarah yang cukup panjang , sebelum menjadi

Gereja Kristen Jawa atau disingkat GKJ, Gereja itu bernama Gereja Kristen Jawa Tengah

Selatan. Kenapa mesti disebut Jawa Tengah Selatan, karena ada Gereja lain yang

menggunakan nama Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) Selain GKJ dan GKJTU.

Kata Jawa ini sendiri digunakan untuk menentukan di mana letak mereka dalam hal ini

daerah teritorial mereka. Selain itu juga terkait dengan zending Gereja masing-masing di

mana para misionaris itu berasal. Seperti kita ketahui bahwa penyebaran ajaran Kristen itu

tidak hanya dibawa oleh bangsa Belanda pada masa penjajahan tetapi juga ada bangsa lain

seperti Portugis, Prancis, dan Spanyol yang masing-masing dari mereka juga membawa

para misionaris dalam penyebaran ajaran kekristenan dan membentuk denominasi atau

teritorial untuk membatasi persebaran dan juga agar Indonesia kala itu tidak dapat bersatu.

Setidaknya sejak tahun 1984 GKJ sudah bertekad menyusun Ajaran GKJ. Setelah

melalui proses yang panjang, dalam Sidang Sinode terbatas tahun 1996 diputuskan Pokok-

pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa. Alasan diputuskannya PPA GKJ itu sangat signifikan.

15

Sujamto, Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Orang Jawa, Dahara Prize, Semarang.

p.48 16

Dr. Th, Den End, Van dan Dr. J. Weitjens, S.J, Ragi Carita Jilid 2: Sejarah Gereja Di Indonesia

1860-an – sekarang, BPK. Gunung Mulia, Jakarta , 2008 . p. 235-236

@UKDW

Page 13: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072157/66d341... · Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian Pemaknaan

13

Disebutkan di pengantar buku itu, ajaran yang selama ini diberlakukan adalah warisan dari

GKN (Gereformeerde Kerken in Nederland), hal ini ditunjukan dalam pemberlakuan kitab

Piwulang Agami Kristen yang merupakan terjemahan dari Katekhismus Heidelberg pada

tahun 1931. Gereja yang mengutus penginjil yang mewartakan Injil ke tanah Jawa

sehingga lahirlah GKJ.17

Namun sebagai Gereja yang mandiri GKJ menyadari perlunya menyusun Ajaran

Gereja sendiri”. Kalimat tersebut mengungkapkan sebuah tekad GKJ untuk melakukan

kontekstualisasi Injil (bahasa teologis sebelumnya indigenousasi atau pempribumian).

Tekad itu memang secara eksplisit diungkapkan secara runtut: Pertama, sebagai Gereja

yang mandiri, dewasa. GKJ harus menentukan sendiri ajarannya; kedua, sesuai dengan

status dan sifat mandiri atau dewasanya, warisan yang diterima itu harus ditanggapi dengan

sikap kritis; ketiga, kekritisan itu dilakukan dengan cara mempertanyakan warisan itu

berdasar Alkitab. Kalau ternyata warisan itu ada yang tidak sesuai dengan penafsiran yang

bertanggungJawab terhadap Alkitab, maka warisan itu perlu diubah dan diganti. Sedang

yang sesuai tetap dipertahankan; keempat, GKJ menyadari bahwa tantangan yang dihadapi

adalah konkret, sehingga ajaran itu juga harus dapat menjadi pegangan yang relevan dalam

menjawab atau menyiasati tantangan konkret itu.18

Mencermati alasan lahirnya PPA GKJ, tersirat suatu harapan terjadinya

kontekstualisasi Injil dalam budaya Jawa. Paling tidak di sana dapat ditemukan sikap GKJ

terhadap kebudayaan (Jawa), tempat GKJ tumbuh dan berkembang, atau hubungan antara

Injil dan Kebudayaan (Jawa). harapan tersebut dijawab dalam PPA yang terdiri dari 310

pertanyaan dari tema-tema yang disediakan untuk 28 minggu yakni pada bagian

pertanyaan minggu ke-18. Yakni dalam bagian bagaimana GKJ menyikapi sekularisme

yang didalamnya terdapat masalah kebudayaan khususnya budaya Jawa.

Perjumpaan antara Gereja dan kebudayaan, serta sikap GKJ terhadap Kebudayaan

(Jawa) muncul dalam Tata Gereja GKJ Pasal 39, yang berbunyi: “Gereja dapat menerima

bentuk-bentuk budaya atau adat istiadat dengan: (1) mengeluarkan makna religius

17

Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa, Salatiga, 2005. p.vii. 18

Padmono SK .S.Si, artikel pribadi Adat dan Budaya di GKJ: Padangan GKJ terhadap Budaya Jawa:

sebuah catatan kritis.

@UKDW

Page 14: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072157/66d341... · Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian Pemaknaan

14

filsafatinya yang bertentangan dengan Injil; (2) memberi makna religius yang baru sesuai

dengan Injil”.19

Setelah PPA itu berlaku kurang lebih 8 tahun, baru dalam edisi revisi PPA

dicantumkan sikap GKJ terhadap kebudayaan. Pada minggu ke-16 dengan pokok Sikap

Terhadap Kebudayaan, ada 5 tanya-Jawab.

- Pertanyaan 159: apakah kebudayaan itu? Jawab: “Kebudayaan adalah segala

sesuatu yang dihasilkan manusia dari tingkat yang paling sederhana sampai

dengan yang paling modern meliputi segala kegiatan manusia, sistem nilai dan

hasilnya.

- Pertanyaan 160: kebudayaan meliputi apa saja? Jawab: “Kebudayaan meliputi

pembuatan perkakas-perkakas dan cara-cara penggunaannya, bahasa dan adat

istiadat, agama dan kepercayaan, penetapan nilai-nilai dan pengubahannya, ilmu

pengetahuan dan filsafat, serta aneka ragam kesenian”.

- Pertanyaan 161, “Bagaimana orang percaya memahami kebudayaan?”. Jawab:

“Kebudayaan sebagai hasil cipta dan karya manusia dalam melaksanakan “tugas

kebudayaan” yang diberikan Allah sejak penciptaan tidak lepas dari cedera

manusiawi. Oleh karena itu, kebudayaan mengandung kelemahan dan

penyimpangan”.

- Pertanyaan 162, “Bagaimana sikap orang percaya terhadap kebudayaan?” Jawab:

“Sikap orang percaya terhadap kebudayaan adalah: (1) menghargai; (2) bersikap

kritis; dan (3) memperbaiki kesalahan.

- Pertanyaan 163, “Apakah tujuan orang percaya memperbaiki dan menggunakan

kebudayaan?” Jawab: “Tujuannya adalah agar kebudayaan dapat dipulihkan

arahnya bagi kemuliaan Tuhan, bukan bagi keagungan manusia”.20

Dalam pengertian ini saya memahami pengklasifikasian kebudayaan ini menjadi 2 macam

klasifikasi diantaranya; [1] kebudayaan tampak secara fisik ( perkakas, bahasa, alat musik

), [2] kebudayaan yang tidak tampak secara fisik ( pengajaran adat istiadat, nilai-nilai

moral dan filsafat ). Dari beberapa poin itu GKJ sebagai kumpulan orang percaya dengan

ajaran Yesus Kristus menggumuli hal tersebut dengan berlandasakan pada ayat dalam kitab

suci dan juga ajaran serta dogma yang para misionaris mereka ajarkan dulu. Oleh sebab

itu, GKJ sebagai jemaat Allah mencoba menjelaskan bagaimana mereka menyikapi sebuah

budaya khususnya budaya Jawa. Dari hasil tanya-Jawab yang ada pada pokok-pokok

ajaran GKJ ini, GKJ sendiri (jemaat) mencoba mengkritisi dan menjelaskan bagaimana

19

Padmono SK .S.Si, artikel pribadi Adat dan Budaya di GKJ: Padangan GKJ terhadap Budaya Jawa:

sebuah catatan kritis. 20

Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa, Salatiga, 2005, p. 59-60.

@UKDW

Page 15: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072157/66d341... · Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian Pemaknaan

15

ajaran itu dipahami oleh mereka dan sikap bagaimana yang mereka ambil dalam

menyikapi kebudayaan mereka sendiri yakni budaya Jawa.

Dalam artikel yang ditulis oleh Padmono SK, S.Si. tentang pandangan GKJ

terhadap budaya Jawa. Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa setiap manusia hidup

dalam komunitasnya. Komunitas manusia itu di dalam upaya mengembangkan kehidupan

selalu berusaha menggapai kehidupan yang lebih baik. Dalam upayanya itu kebudayaan

manusia pun terus berkembang. Ini sesuai dengan hakikat kebudayaan itu sendiri. Ketika

jaman berubah dan tuntutan serta tantangan manusia pun berubah, kebudayaan yang

“lama” yaitu yang dihasilkan sebelum terjadi perubahan itu, akan ditinggalkan karena

sudah tidak mampu menjawab tantangan jaman lagi. Sebagai contoh, nelayan yang hidup

dari mencari ikan di sungai tentu akan mengajarkan kepada anaknya bagaimana

menangkap ikan. Tetapi di hulu sungai itu dibangun bendungan dan sungai di daerah sang

nelayan tidak lagi mengalir seperti sebelumnya, apakah anak nelayan itu masih bisa

mempertahankan “kebudayaan” yang diajarkan ayahnya? Tentu tidak! Sang anak tentu

harus menyesuaikan diri dengan kehidupan yang baru, dengan demikian mengembangkan

kebudayaan yang lain.

Dalam kasus seperti itu, apakah kebudayaan sang nelayan salah? Kebudayaan sang

nelayan telah menjawab tantangan zamannya, dan kebudayaan itu berkembang karena

tantangan zaman juga berubah. Dari hal tersebut, kita tidak dapat mengatakan salah pada

sebuah kebudayaan. Seperti halnya Injil berkembang dalam kebudayaan Yunani dan

Yahudi, maka tidak ada yang salah dengan kebudayaan itu, baik itu kebudayaan Yunani

atau Yahudi.21

Sebagai perangkat dan piranti kehidupan serta tata nilai, kebudayaan selalu relevan

dengan zamannya. Apabila ada nilai-nilai baru yang lebih relevan dengan zamannya, maka

nilai lama yang ada tidak dapat dikatakan sebagai kebudayaan yang salah. Begitu proses

perjumpaan terjadi pada semua agama dan kepercayaan yang datang ke sebuah wilayah

manusia yang telah mapan dengan kebudayaannya. Betapapun bentuk tata nilai itu,

siapapun juga termasuk orang percaya (Gereja) dengan kekristenannya tidak dapat

21

Padmono SK .S.Si, artikel pribadi pandangan GKJ terhadap budaya Jawa.

@UKDW

Page 16: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072157/66d341... · Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian Pemaknaan

16

mengatakan bahwa kebudayaan (Jawa), tempat tumbuh dan berkembangnya Injil adalah

salah hanya karena yang mengembangkan adalah manusia yang menurut ajaran kristen

memiliki kesalahan manusiawi. Kesalahan disini ialah agama menganggap kebudayaan

merupakan suatu bentuk kesalahan karena tidak ada kehadiran Allah.

Banyak contoh di Kitab Suci, hasil budi daya manusia (yang cedera itu) yang

dipakai oleh Tuhan. Sistem pemerintahan kerajaan misalnya. Ketika orang Yahudi

meminta raja, Tuhan pada awalnya memang murka, tetapi Tuhan mengizinkan kemudian

memakai bentuk pemerintahan itu sebagai alat dan sarana Allah menyelamatkan manusia.

Bahkan Tuhan sendiri yang menahbiskan (mengurapi) rajanya.Sistem pemerintahan yang

dipilih oleh bangsa Israel adalah kerajaan, untuk menjawab tantangan zaman. Mereka

mengakui YHWH sebagai Allah, tetapi mereka menginginkan pemimpin yang nyata, yang

dapat mengatur sekaligus membawa kehidupan yang lebih baik.22

Kendati mereka

diingatkan bahwa keberadaan raja yang mereka kehendaki (1 Samuel 10:17-27), tetapi

bangsa itu memilih rajanya dengan melakukan undian. Ini sebuah kebudayaan baru bagi

bangsa itu. Mereka akan memiliki seorang raja, bukan sekadar seorang pengadil (hakim).

GKJ Pondok Gede sebagai kelompok yang telah mengenal ajaran Kristen pastinya

menyikapi dirinya sebagai orang Kristen yang memiliki budaya jawa. GKJ Pondok Gede

sendiri tidak hanya berbicara mengenai ajaran Kristen itu saja melainkan bagaimana

kekristenan yang mereka bawa berdialog dengan kejawaan mereka sebagai sebuah budaya.

Sebagai orang yang telah mengenal Allah dan juga memiliki budaya Jawa. GKJ Pondok

Gede lantas tidak harus menghilangan kejawaan mereka dan beralih menjadi Kristen

murni. Menurut pendapat Pdt. Em. Siman Widyatmanta, M.Th. bahwa kalau orang hanya

bertolak dari bunyi ayat dalam Alkitab, sebagai indikator murid Tuhan Yesus yang setia

menjadi tidak benar, karena maksudnya orang harus mengesampingkan masalah-masalah

yang bersifat jasmaniah dalam mengejar serta mengutamakan soal-soal rohani.23

22

Kehidupan manusia di timur tengah pada waktu itu masih berbentuk klan-klan yang saling

menyerang. Bangsa Israel menginginkan sebuah pemerintahan dalam rangka menghadapi bangsa-

bangsa itu. 23

Pdt. Em. Siman Wdyatmanta, M. Th, artikel Sikap Kristiani Terhadap Pandangan Hidup

Masyarakat Jawa, dalam buku Serba-Serbi Di sekitar Kehidupan Orang Jawa: sebagai konteks

berteologi, (editor: Pdt Dr. Yusak Tridarmanto), Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 2012. p. 116

@UKDW

Page 17: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072157/66d341... · Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian Pemaknaan

17

Kenyataan itu membuktikan bahwa tidak ada kebudayaan yang dapat dikatakan

salah atau cedera, walaupun dihasilkan oleh manusia (yang cedera). Ketika Injil Yesus

Kristus sampai ke Jawa setelah melalui berbagai proses pembudayaan. Dari Yahudi ke

Yunani dan kemudian berinteraksi dengan kebudayaan Eropa. Dari perjalanan itu kita

dapat melihat bahwa proses inkulturasi Injil membuahkan paham protestantisme yang

rasional, individualistik, serta materialistik. Apakah kebudayaan-kebudayaan dengan

berbagai corak dan karakternya itu dapat dikatakan cedera dan oleh karena itu harus

dipulihkan? Karena itu kekristenan sebagai nilai yang berdasarkan Injil tidak nisbi

terhadap kebudayaan.

Ketika datang ke Jawa, kekristenan yang bercorak “barat” itu harus berhadapan

dengan sebuah sistem tata nilai Jawa yang antara lain mengutamakan harmoni, kental

dengan spiritualisme, kurang menghargakan materi dan seterusnya. Sebenarnya corak

spiritualisme seperti yang ada di Jawa itu pernah hidup subur di Yunani dan cukup

berpengaruh pada awal kekristenan. Namun corak yang seperti itu justru dikikis habis oleh

protestantisme Barat.24

Hal sejalan dengan pendapat dari para tim peneliti Drs. Soeparman,

dkk mengenai pengaruh budaya Jawa bagi kehidupan agama Kristen yang kental dengan

budaya barat.

Dalam penelitian tersebut mengatakan bahwa sepanjang sejarah keberadaan umat

Tuhan di Bumi, spiritualitas tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan etnis silih berganti.

Injil atau jiwa kekristenan hanya bisa lepas dari budaya dalam pangkal meta-empiriknya

yang super natural-numerus.25

Hal ini ditunjukan ketika paham monotheisme dalam ajaran

Kristen berlawanan dengan ajaran agama Jawa (Kejawen) yang politheisme yang masih

menyembah arwah nenek moyang. Kekristenan jelas menentang keras ketika ada

masyarakat penganut agama Kristen yang masih menjalankan penyembahan kepada arwah

nenek moyang.26

24

Padmono SK .S.Si, artikel pribadi Adat dan Budaya di GKJ: Padangan GKJ terhadap Budaya Jawa:

sebuah catatan kritis. 25

Drs. Soeparman, dkk. Unsur-unsur Adat Budaya Jawa Dalam Pembinaan Kehidupan Umat Kristen di

Surakarta (Proyek Pembinaan Pendidikan Agama Protestan Pada Perguruan Tinggi Jakarta,

1993/1994). p. 44. 26

Ibid. p. 51

@UKDW

Page 18: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072157/66d341... · Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian Pemaknaan

18

7. Metodologi Penelitian

Berbicara mengenai penelitian lapangan dalam ilmu teologi seperti saat ini menurut

penulis hal ini tidak dapat dipisahkan dengan pemahaman teologi praktis yang terus

berkembang di kalangan teolog akademis. Penelitian ini dimaksudkan untuk

mengumpulkan sebanyak mungkin data dari jemaat. Metode yang dipakai dalam

mengumpulkan informasi ialah metode kualitatif yang terdiri dari percakapan dengan

narasumber atau wawancara dan juga angket/ kuisioner. Berdasarkan penyataan di atas,

maka penulis mencoba dengan cara mengajukan sebuah dengan kuisioner kepada setiap

warga Gereja.

Tujuan kuisioner tersebut untuk mengetahui kuantitas dan mengetahui sampai

mana mereka sebagai warga Gereja berbudaya Jawa menghidupi kebudayaan Jawa

tersebut serta demi mengetahui misi apa yang pantas bagi Gereja GKJ Pondok Gede di

tengah daerah urban. Dalam hal ini penulis mencoba menggunakan sampel dengan sebagai

pelengkap untuk mengetahui seberapa besar kecenderungan mereka memahami budaya

mereka. Di sini proses dilakukan dengan mencari kemungkinan dalam setiap responden

mengenai permasalahan yang sedang sedang saya teliti. Sampel ini di buat secara acak

(random) kepada setiap jemaat yang mewakilinya dengan total 80 responden dari jumlah

jemaat dalam Gereja tersebut dengan berdasarkan klasifikasi usia,tingkat pendidikan, dan

lama mereka tinggal di wilayah urban.

8. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

@UKDW

Page 19: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072157/66d341... · Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian Pemaknaan

19

Penulis akan memaparkan latar belakang permasalahan, perumusan

masalah, batasan penulisan, alasan pemilihan judul, tujuan

penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II Pemaknaan Budaya Jawa dalam konteks GKJ Pondok Gede

Penulis akan memaparkan pengertian budaya secara khusus

berdasarkan etimologinya dan mencoba mengkerucutkannya dalam

Budaya Jawa. Sampai sejauh mana budaya Jawa itu berkembang

serta di maknai dalam Gereja Kristen Jawa Khususnya GKJ Pondok

Gede. Bagaimana jemaat GKJ Pondok Gede tersebut menghidupi

kejawaan mereka di tengah wilayah urban. Penulis juga akan

memaparkan apa fungsi dan manfaat budaya Jawa itu sendiri dalam

kehidupan mereka bergereja serta kecenderungan budaya baru yang

muncul berdasarkan dari hasil penelitian dari GKJ Pondok Gede.

Bab III Identitas dan Misi Interkultural

Penulis akan memaparkan tinjauan secara teologis dari segi misi

Gereja dalam hal ini misi GKJ serta pemahaman identitas dari GKJ

Pondok Gede selaku Gereja lokal yang berada di wilayah urban.

Bab IV Misi Interkultural oleh Jemaat Urban melalui Pembentukan

Identitas Kejawaan Baru di GKJ Pondok Gede

Penulis akan memaparkan beberapa sikap yang seharusnya diambil

oleh GKJ Pondok Gede sendiri dalam menyikapi keberedaan

budayanya yakni budaya Jawa di tengah wilayah urban. Bagaimana

sikap jemaat GKJ tersebut dan apa misi kontektual yang pantas bagi

mereka dilihat dari keberadaan dan pemaknaan kembali budaya Jawa

@UKDW

Page 20: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072157/66d341... · Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian Pemaknaan

20

tersebut yang disesuaikan dengan keberadaan mereka yang berada di

wilayah urban.

Bab V Penutup

Penulis memaparkan kesimpulan akhir dari tulisan ini.

@UKDW