Upload
halien
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
TERBENTUKNYA BIROKRASI MODERN DI
SURAKARTA TAHUN 1945-1950
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan
guna Melengkapi Gelar Sarjana Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh:
Belda Ranika Rosiana
C.0507010
JURUSAN ILMU SEJARAH
FAKULTAS SATRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO
“Saat Kamu mampu memaafkan dan tersenyum kepada orang yang telah
menyakitimu, kamu memastikan bahwa dirimu lebih baik darinya”
(Amanda Adrian)
“Masalah diciptakan karena ada penyelesaiannya”
(Hitam Putih)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk :
Papa dan Mama tercinta.
My beloved Sister.
Yanuar Ridho.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
selalu melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Selesainya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik
dorongan, bimbingan, maupun pengarahan yang diberikan. Untuk itu sudah
sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni
Rupa beserta jajarannya yang telah memperlancar dan mempermudah studi
penulis sampai selesainya skripsi ini.
2. Dra. Sawitri Pri Prabawati, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas
Sastra dan Seni Rupa yang telah mencurahkan segenap pengetahuan yang
dimilikinya kepada penulis.
3. Dra.Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan pengetahuan yang
dimilikinya kepada penulis.
4. Drs. Warto M.Hum, selaku pembimbing Skripsi yang telah membimbing
penulis dengan penuh perhatian, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Tiwuk Kusuma H, SS, M.Hum, selaku pembimbing akademik yang senantiasa
memberi dorongan secara moril dan pengetahuannya kepada penulis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
6. Segenap Dosen pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni
Rupa Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan bekal ilmu
pengetahuan kepada penulis.
7. Kepala beserta staf Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta,
Perpustakaan Monumen Pers Surakarta, Sasana Pustaka Kasunanan dan Rekso
Pustoko Mangkunegaran.
8. Bapak, Ibu, kakak dan keluarga yang selalu memberikan kasih sayang dan
semangat dengan tulus ikhlas serta doa yang tak pernah putus kepada penulis
9. Yanuar Ridho, terimakasih untuk semua hal yang telah dicurahkan buat
penulis.
10. Buat Yeni Dwi Ayu, teman seperjuangan dan teman berbagi suka duka,
terimakasih atas semangat dan waktunya.
11. Teman-teman Historia 2007, Dian, Lita, Dewi, Siti, Lilik, Ike, Efendi, Eko,
Herfi, Nico, Hasan, Anggawan, Dalhar, Fuad, Joyo, Seno, Akbar, Wisnu,
Langgeng, Agung, Drajat, Bendi, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat
penulis sebut satu persatu, terimakasih atas do’a dan semangatnya.
12. Buat mas Doni, mbak Sinta, mas Taufik, Vivi dan kakak-kakak tingkat Ilmu
Sejarah yang tidak dapat penulis sebutkan satu demi satu terimakasih untuk
dukungan dan do’a-nya.
13. Untuk teman-teman kost Gedung Putih, Rosika, mbk Icha, Loly, Ratna,
Nastiti, Agnes dan Indri, terimakasi buat semangatnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
14. Semua pihak yang telah membantu, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari, bahwa penulisan skripsi ini tidak lepas dari
kekurangan dan kekeliruan. Oleh karena itu, penulis sangat menghargai adanya
saran maupun kritik yang membangun, guna menyempurnakan penulisan-
penulisan serupa di masa yang akan datang.
Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pembaca semua.
Surakarta, September 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... iv
HALAMAN MOTTO ................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................. vii
DAFTAR ISI ................................................................................................. x
DAFTAR BAGAN........................................................................................ xii
DAFTAR ISTILAH ...................................................................................... xiii
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xv
ABSTRAK .................................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................ 8
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian.................................................................. 8
E. Kajian Pustaka ........................................................................ 9
F. Metode Penelitian ................................................................... 14
G. Sistematika Penulisan ............................................................. 17
BAB II BIROKRASI TRADISIONAL DI SURAKARTA MENJELANG
KEMERDEKAAN
A. Struktur Birokrasi Kolonial. ................................................... 23
B. Birokrasi Tradisional di Surakarta ......................................... 25
1. Birokrasi Keraton Kasunanan ............................................. 29
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
2. Birokrasi Praja Mangkunegaran ........................................ 47
B. Kondisi Birokrasi Di Surakarta Pada Awal Pendudukan Penjajahan
Jepang .................................................................................... 56
BAB III DINAMIKA BIROKRASI MODERN DI SURAKARTA
A. Gerakan Anti Swapraja dan Dampaknya Bagi Birokrasi
Tradisional di Surakarta ....................................................... 68
1. Berdirinya Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) di
Surakarta ............................................................................. 69
2. Gerakan Swapraja di Surakarta .......................................... 76
B. Terbentuknya Birokrasi Modern di Surakarta ........................ 82
1. Pemerintahan Karesidenan Surakarta 1946-1947............. .. 82
2. Terbentuknya Haminte Kota Surakart 1947-1948 .............. 94
3. Periode Pemerintahan Darurat Militer 1948-1949 ............. 100
4. Periode Pemerintah Kota Besar Surakarta 1949-1950 ....... 108
BAB IV DAMPAK DARI TERBENTUKNYA BIROKRASI MODERN DI
SURAKARTA
A. Terbentuknya Lembaga Peradilan ......................................... 110
B. Terbentuknya Jawatan Penerangan ....................................... 127
C. Jawatan-Jawatan Lain Yang Terbentuk Pada Masa Birokrasi
Modern ................................................................................... 133
BAB V KESIMPULAN .............................................................................. 140
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 142
LAMPIRAN ............................................................................................ 147
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR BAGAN
No. Nama Halaman
1. Bagan Struktur Pemerintahan di Kasunanan ............................... 36
2. Bagan Struktur Pemerintahan di Mangkunegaran ...................... 51
3. Bagan Struktur Pemerintahan di Mangkunegaran berdasarkan
Lembaga ...................................................................................... 55
4. Bagan Struktur Pemerintahan pada masa Pendudukan Jepang
di Surakarta .................................................................................. 61
5. Bagan Struktur Pemerintahan Karesidenan ................................ 91
6. Bagan Struktur Pemerintahan Haminte Kota Surakarta .............. 97
7. Bagan Struktur Pemerintahan Darurat Militer .......................... 105
8. Bagan Struktur Pemerintahan Kota Besar Surakarta ................. 111
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR ISTILAH
Abdi dalem : punggawa kerajaan
Bupati :punggawa kerajaan tingkat tinggi, dibawah pangkat
patih kerajaan
Corps Vernielling : kelompok penghancur
double bestuur : pemerintahan ganda
double bestuur : pemerintahan ganda
Jajar : jenjang terendah dalam kepunggawaan kerajaan.
kawula-gusti : pola hubungan raja-rakyat atau juga manusia-
Tuhan
Pangreh Praja : elit birokrasi
patron-client : pola hubungan bapak-anak buah
Patuh : tuan
Politiek Contract : kontrak politik
Volksraad : Dewan Rakyat
Vorstenlanden : wilayah raja-raja
Wetboek van Strafecht Voor : KUHP Untuk warga negara-Belanda
Nederlandch-Orderdaan
Zelfbesturendelandscappen : berhak memerintah daerahnya sendiri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
Daftar Singkatan
BKR : Badan Keamanan Rakyat
BTI : Barisan Tani Indonesia
DIS : Daerah Istimewa Surakarta
KDPRI : Kantor Daerah Pemerintah Republik Indonesia
KNID : Komite Nasional Indonesia Daerah
KNIP : Komite Nasional Indonesia Pusat
KPPRI : Kantor Pusat Pemerintah Republik Indonesia
MBKD : Markas Besar Komando Djawa
PPKI : Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
PUT : Perwira Urusan Teritorial
SWK : Sub Wehrkreise
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Maklumat Sri Paduka Ingkang Sinuhun Kanjeng
Susuhunan Paku Buwono XII ...................................... 146
Lampiran 2 : Penetapan Pemerintah No. 16/SD Tahun 1946
Tentang Pemerintah Di Daerah Istimewa Surakarta
Dan Jogjakarta ............................................................. 147
Lampiran 3 : Arsip Piagam Kedudukan bagi Sunan Paku Buwono
XII dan Sri Mangkunegoro VIII .................................. 149
Lampiran 4 : Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1949
“KEMENTRIAN PENERANGAN. Susunan dan
lapangan pekerjaan Kementrian Penerangan................ 150
Lampiran 5 : Oendang-oendang No. 14 ................................................... 154
Lampiran 6 : Kan Po Boelan 5 Tahoen 2604 .......................................... 155
Lampiran 7 : Berkas Perkara Pengadilan Tahun 1946, 1949, 1954 ........ 156
Lampiran 8 : Osamu Seirei No. 25 …………………………………….. 160
Lampiran 9 : Oendang-oendang N0. 23 tahoen Tentang
Penghapoesan Pengadilan Radja ....................................... 163
Lampiran 10 : Oendang-Oendang Tentang Peratoeran Hoekoem Pidana
Tahoen 1946 ...................................................................... 165
Lampiran 11 : Surat kabar-Surat Kabar ..................................................... 171
Lampiran 12 : Anggaran Dasar Ikatan Pengikut Swapradja ……………. 174
Lampiran 13 : Konsep Rinci Tentang Status Kekuasaan Daerah Serta Struktur
Dan Tata Pelaksanaan Pemerintahan Swapradja .................. 179
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
ABSTRAK
Belda Ranika Rosiana. C0507010. 2012. Terbentuknya Birokrasi Modern Di
Surakarta Tahun 1945-1950. Skripsi : Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan
Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian mengenai Terbentuknya Birokrasi Modern Di Surakarta Tahun
1945-1950. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu (1)
Bagaimana proses terbentuknya birokrasi modern di Surakarta pada awal
kemerdekaan? (2) Bagaimana struktur birokrasi modern di Surakarta pada awal
kemerdekaan? (3) Bagaimana dampak pada masyarakat dari terbentuknya
birokrasi modern di Surakarta ?
Penelitian ini merupakan penelitian historis, sehingga langkah-langkah yang
dilakukan dalam penelitian ini meliputi heuristik, kritik sumber baik intern
maupun ekstern, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah studi dokumen dan studi pustaka. Dari pengumpulan data,
kemudian data dianalisa dan diinterpretasikan berdasarkan kronologisnya. Untuk
menganalisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
analisis, yaitu analisa yang memaparkan ataupun menggambarkan suatu peristiwa
didasarkan pada hubungan sebab akibat dari suatu fenomena historis dalam situasi
tertentu. Analisa data ini diperoleh dari dokumen, surat kabar maupun studi
pustaka digunakan pendekatan ilmu sosial yang lain sebagai ilmu bantu ilmu
sejarah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
sosial, dan politik.
Pemberian otonomi oleh pemerintahan RI kepada Kasunanan dan
Mangkunegaran pada tanggal 19 Agustus 1945 dalam mengatur daerahnya
ternyata mendapat perlawanan yang keras. Daerah Surakarta terdapat dualisme
pemerintahan, antara KNI daerah Surakarta dengan pemerintahan swapraja.
Pemerintahan RI berpikir ulang tentang apa yang harus dilakukan untuk daerah
Surakarta, pada tanggal 15 Juli 1946 pemerintahan mengeluarkan undang-undang
no 16/ SD/ 1946 yang menyatakan : 1) jabatan komisaris tinggi ditiadakan, 2)
daerah Surakarta untuk sementara dijadikan daerah karesidenan, 3) dibentuk
daerah baru dengan nama daerah kota Surakarta. Dalam sejarah perkembangannya
di awal kemerdekaan yang dimulai dari periode Badan Perwakilan Rakyat,
Haminte Kota Surakarta hingga menjadi Pemerintah Kota Surakarta hingga saat
ini memang banyak terjadi perubahan struktur di dalam pemerintahannya.
Berdasarka analisis penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa
terbentuknya pemerintahan modern di Surakarta memberikan berbagai dampak,
yaitu berubahnya system pemerintahan yang sudah tidak lagi menggunakan
bentuk pemerintahan tradisional melainkan sudah berbentuk pemerintahan
modern. Selain itu banyak dibentuk jawatan-jawatan guna membantu kinerja
Pemerintah Daerah Surakarta pada masa itu. Seperti lembaga Peradilan, Jawatan
Penerangan, Jawatan Pamong Praja, bidang Perekonomian, Bidang Sosial dan
Kesejahteraan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
THE ESTABLISHMENT OF MODERN BUREAUCRACY IN
SURAKARTA DURING
1945-1950
Belda Ranika Rosiana1
Drs. Warto M. Hum2
ABSTRACT
2013. Thesis: History Science Department of Faculty of Letters
and Fine Arts of Surakarta Sebelas Maret University.
The research concerns The Establishment of Modern Bureaucracy
in Surakarta during 1945-1950. The problems to be studied in this
research are: (1) how is the process of modern bureaucracy
establishment in Surakarta in early independence time? (2) how is
the modern bureaucracy structure in Surakarta in early
independence time? and (3) how is the effect of modern
bureaucracy establishment on the society in Surakarta?
This study was a historical research; thus the procedure taken in
this research encompassed: heuristic, source critique either
internally or externally, interpretation, and historiography.
Techniques of collecting data used were document study and
library study. The data collected was the analyzed, and interpreted
based on its chronology. Technique of analyzing data used in this
research was a descriptive analysis, the one describing or
explaining an event based on the causal relationship of a historical
phenomenon in a certain situation. This data analysis was obtained
from document, newspaper, and library study; other social science
approaches were also used as secondary to history science. The
approaches used in this study were social and political ones.
Autonomy bestowal by Republic of Indonesia government to
Kasunanan and Mangkunegaran on August 19, 1945 in organizing
its area in fact got stringent resistance. In Surakarta area there was
a government dualism between KNI of Surakarta area and
1 Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Dengan NIM C0507010
2 Dosen Pembimbing
swapraja government. RI’s government rethought about what
should be done for Surakarta area; on July 15, 1946 the
government issued act no. 16/SD/1946 stating that: 1) the high
commissary post was nullified, 2) Surakarta area was made
residency area temporarily, 3) a new district was established named
Surakarta city area. In its development history, in early
independence time started with Badan Perwakilan Rakyat (People
Representative Agency) period, Haminte of Surakarta City to
Surakarta City Government up to now, mant structural changes had
occurred in its government.
From this analysis, it could be concluded that the establishment of
modern government in Surakarta exerted various impacts, that was,
the changing government system no longer using traditional
governmental form but the modern one. In addition many bureaus
were established to help the Surakarta Area Government’s
performance at that time, such as Justice institution, Information
Bureau, Pamong Praja Bureau, Economic Division, Social and
Welfare Division.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
TERBENTUKNYA BIROKRASI MODERN DI
SURAKARTA TAHUN
1945-1950
Belda Ranika Rosiana1
Drs. Warto M. Hum2
ABSTRAK
2013. Skripsi : Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian mengenai Terbentuknya Birokrasi Modern Di Surakarta
Tahun 1945-1950. Permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini yaitu (1) Bagaimana proses terbentuknya birokrasi
modern di Surakarta pada awal kemerdekaan? (2) Bagaimana
struktur birokrasi modern di Surakarta pada awal kemerdekaan? (3)
Bagaimana dampak pada masyarakat dari terbentuknya birokrasi
modern di Surakarta ?
Penelitian ini merupakan penelitian historis, sehingga langkah-
langkah yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi heuristik,
kritik sumber baik intern maupun ekstern, interpretasi, dan
historiografi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
studi dokumen dan studi pustaka. Dari pengumpulan data,
kemudian data dianalisa dan diinterpretasikan berdasarkan
kronologisnya. Untuk menganalisis data yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu analisa yang
memaparkan ataupun menggambarkan suatu peristiwa didasarkan
pada hubungan sebab akibat dari suatu fenomena historis dalam
situasi tertentu. Analisa data ini diperoleh dari dokumen, surat
kabar maupun studi pustaka digunakan pendekatan ilmu sosial
yang lain sebagai ilmu bantu ilmu sejarah. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosial, dan
politik.
1 Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Dengan NIM C0507010
2 Dosen Pembimbing
Pemberian otonomi oleh pemerintahan RI kepada Kasunanan dan
Mangkunegaran pada tanggal 19 Agustus 1945 dalam mengatur
daerahnya ternyata mendapat perlawanan yang keras. Daerah
Surakarta terdapat dualisme pemerintahan, antara KNI daerah
Surakarta dengan pemerintahan swapraja. Pemerintahan RI
berpikir ulang tentang apa yang harus dilakukan untuk daerah
Surakarta, pada tanggal 15 Juli 1946 pemerintahan mengeluarkan
undang-undang no 16/ SD/ 1946 yang menyatakan : 1) jabatan
komisaris tinggi ditiadakan, 2) daerah Surakarta untuk
sementara dijadikan daerah karesidenan, 3) dibentuk daerah
baru dengan nama daerah kota Surakarta. Dalam sejarah
perkembangannya di awal kemerdekaan yang dimulai dari periode
Badan Perwakilan Rakyat, Haminte Kota Surakarta hingga menjadi
Pemerintah Kota Surakarta hingga saat ini memang banyak terjadi
perubahan struktur di dalam pemerintahannya.
Berdasarka analisis penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa
terbentuknya pemerintahan modern di Surakarta memberikan
berbagai dampak, yaitu berubahnya system pemerintahan yang
sudah tidak lagi menggunakan bentuk pemerintahan tradisional
melainkan sudah berbentuk pemerintahan modern. Selain itu
banyak dibentuk jawatan-jawatan guna membantu kinerja
Pemerintah Daerah Surakarta pada masa itu. Seperti lembaga
Peradilan, Jawatan Penerangan, Jawatan Pamong Praja, bidang
Perekonomian, Bidang Sosial dan Kesejahteraan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kasunanan Surakarta disebut juga vorstenlanden atau dapat dikatakan daerah
swapraja yaitu daerah yang berhak memerintah daerahnya sendiri (zelfbesturende
landscappen).1 Dengan kata lain penguasa Kasunanan Surakarta yaitu Raja adalah
seorang yang mengatur segala kehidupan rakyatnya. Seorang Raja wajib memiliki
warisan nilai keteladanan, kebijaksanaan, keutamaan, kemuliaan, keagungan dan
keluhuran, hal ini karena raja menjadi panutan rakyat atau kawulanya. Sama
halnya dengan Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran yang merupakan salah satu
kadipaten di wilayah Surakarta juga memiliki daerah yang dinamakan dengan
swapraja.
Birokrasi merupakan lembaga yang sangat berkuasa, yang mempunyai
kemampuan sangat besar untuk berbuat kebaikan atau keburukan, karena birokrasi
adalah sarana administrasi rasional yang netral dalam skala yang besar.2 Menurut
Max Weber yang dimaksud birokrasi adalah suatu badan administratif tentang
pejabat yang diangkat, birokrasi sebagai hubungan kolektif bagi golongan pejabat,
suatu kelompok tertentu yang berbeda, yang pekerjaan dan pengaruhnya dapat
dilihat di semua jenis organisasi.3 Pembentukan struktur organisasi atau birokrasi
1 Imam Samroni dkk., Daerah Istimewa Surakarta, (Yogyakarta: Pura
Pustaka Yogyakarta, 2010), hlm. 305.
2 Peter M. Blau & MarsHal.l W. Meyer, Birokrasi dalam masyarakat
Modern, (Jakarta: UI-Press, 1998) hlm. 5.
3 Martin Albrow, BIROKRASI, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004) hlm. 41.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
dalam pemerintahan merupakan sistem untuk melaksanakan keputusan dan
kebijakan.
Pemerintah mengangkat para pejabat yang telah diatur dalam undang-undang.
Praja Mangkunegaran memiliki struktur birokrasi terdiri atas dua golongan, yakni
birokrasi berdasarkan pangkat (kekuasaan) dan birokrasi berdasarkan jabatan
(lembaga). Sistem birokrasi yang ada di Praja Mangkunegaran masih terdapat
unsur-unsur tradisional. Sistem yang dimiliki oleh Mangkunegaraan tidak berbeda
dengan kebijakaan birokrasi yang dimiliki oleh Kasunanan Surakarta karena
menurut kebijakan birokrasi yang dipergunakan pada masa tersebut terdapat
hubungan antara atasan dan bawahan yang bersifat paternalistik saling
ketergantungan. Para pejabat dianggap sebagai patron yang dipandang mampu
melindungi dan rakyat sebagai klien yang harus patuh terhadap patronnya.4 Dalam
tubuh Kaunanan Surakarta terjadi konflik yang dapat mempengaruhi perubahan
birokrasi yang sudah ada didalamnya dan dilaksanakan oleh masyarakat Surakarta
pada umumnya.
Proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus
1945 memberikan pengaruh yang besar pada bangsa ini. Salah satunya yang
terjadi di Surakarta, terutama berkenaan dengan birokrasi pemerintahan. Dampak
yang di rasakan Surakarta pada awal kemerdekaan adalah runtuhnya kekuasaan
tradisional Keraton Surakarta. Meskipun sebelumnya citra dari Keraton
Kasunanan telah menurun karena konflik yang terjadi di dalamnya terutama
4 Dwi Ratna Nurhajarini, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI), hlm. 29
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
masalah pengangkatan Raja, dengan diterimanya gelar “Raja Kamardikan” dari
presiden Soekarno kepada Pakubuwana XII.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia merupakan perwujudan formal daripada
salah satu gerakan Revolusi Bangsa Indonesia untuk menyatakan baik kepada diri
sendiri maupun kepada dunia luar, bahwa Bangsa Indonesia mulai mengambil
sikap untuk menentukan bangsa dan nasib tanah air di dalam tangan bangsa
sendiri, yakni dengan mendirikan negara sendiri termasuk antara lain tata hukum
dan tata negaranya.5 Meskipun Surakarta pernah mendapat status sebagai Daerah
Istimewa Surakarta, tetapi hal ini tidak bertahan lama. Masyarakat di Surakarta
tidak semua yang mendukung adanya Swapraja di Surakarta, hal ini dapat
diperhatikan dengan sikap para pemuda dan tokoh terpelajar yang memiliki
semangat nasionalis menganggap bahwa swapraja tidak mencerminkan bentuk
Negara kesatuan, swapraja dianggap sebagai bentuk otoriter suatu penguasa yang
mengekang kebebasan rakyat dalam hal ini adalah penguasa tradisional.
Terjadi beberapa protes mengenai status Daerah Istimewa seperti: penculikan,
kerusuhan di beberapa daerah dan pengerusakan fasilitas umum. Hal ini
memberikan dampak dibekukannya status Daerah Istimewa Surakarta dan
dibentuklah KNID untuk menangani kerusuhan yang terjadi di Surakarta. Tetapi
akhirnya status Daerah Istimewa itu tidak diberikan kembali kepada Surakarta dan
dibentuklah Pemerintah Daerah Surakarta dengan kepala pemerintahannya Wali
Kota.
5 Joeniarto., Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Yogyakarta :
Bumi Aksara, 1966), hlm. 71.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Dibentuknya pemerintah Daerah Surakarta menjadi titik awal terbentuknya
birokrasi modern di Surakarta menggantikan birokrasi tradisional yang tentu saja
menghilangkan kekuasaan dari Keraton Kasunanan Surakarta sebagai penguasa di
Surakarta. Untuk memerintah Negara dibentuklah birokrasi dengan bermacam-
macam jabatan. Birokrasi yang dihubungkan dengan demokrasi dan rasional maka
birokrasi itu bersifat modern, hal ini karena ada unsur rasional dan unsur
demokratis atau kekuasaan di tangan rakyat, bukan berdasarkan keturunan.
Menurut Weber terdapat konsep ideal dalam strutur birokrasi modern yaitu yang
pertama suatu susunan fungsi pejabat yang tetap dan terikat oleh peraturan,
susunan jabatan berdasarkan prinsip hirarki, dan tindakan, keputusan dan
peraturan administratif harus dirumuskan dan dicatat secara tertulis.6 Selain itu
sarana pelaksana sudah ditentukan secara jelas dan penggunanya tunduk pada
kondisi tertentu. Organisasi yang rasional memerlukan pembagian kerja dan
kekuasaan yang sistematis. Setiap partisipan tidak hanya harus memahami tugas
yang dibebankan tetapi juga mempunyai sarana untuk melaksanakannya terutama
kemampuan untuk memerintah orang lain tetapi juga harus mengetahui batas-
batas tugas, hak dan kekuasaan agar tidak melampaui garis yang memisahkan
perananya dan peranan orang lain, sehingga akibatnya tidak mengabaikan seluruh
struktur organisasi
Konsep ideal birokrasi modern di atas dianggap sebagai ciri birokrasi yang
paling rasional. Weber mengaitkan teori organisasi dengan teory demokrasi
sebagai dasar dari konsep birokrasi modern. Secara umum konsep ini menjadi
6 Ibid, hlm. 45
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
dasar bagi birokrasi modern di Indonesia yang terjadi pada awal kemerdekaannya.
Birokrasi yang penggunaannya dihubungkan dengan aristokrasi cenderung
mengarah pada birokrasi tradisional, hal ini karena kaum aristokrat dalam
memegang kekuasaan besifat turun temurun. Birokrasi tradisional yang
berkembang sejak masa kolonial dapat ditelusuri sampai tingkat
perkembangannya yang paling awal selama kerajaan Hindu-Mataram.
Surakarta sebagai kerajaan yang cukup tua pasti telah menjalankan sistem
birokrasi tradisional ini cukup lama. Dengan segala penghormatan dan
penguasaan di masyarakat, hingga membentuk stratifikasi sosial antara penguasa
yaitu bangsawan dan rakyat yang harus mematuhi dan mengabdi sebagai bentuk
ketaatan kepada Raja yang dianggap titisan Dewa. Konsep kekuasaan tradisional
yang berkembang dimasyarakat ini lebih dikenal dengan sebutan Gung-binatara
atau Keagungbinataraan. Konsep kekuasaan ini intinya adalah pengakuan bahwa
kekuasaan raja itu agung binathara, bahu dhendha nyakrawati, ber budi bawa
leksana, ambeg adil paramarta.7
Jadi menurut konsep kekuasaan Jawa, raja berkuasa secara absolut. Tetapi
kekuasaan itu diimbangi dengan kewajiban moral yang besar juga untuk
kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu, dalam konsep kekuasaan Jawa dikenal
juga sebagai tugas raja: njaga tata tentreming praja (menjaga supaya masyarakat
teratur dan dengan demikian ketentraman-kesejahteraan terpelihara).
7 Dalam bahasa Indonesia artinya : besar laksana kekuasaan dewa,
pemelihara hukum dan penguasa dunia, meluap budi luhur mulianya, dan bersikap
adil terhadap sesama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Hingga pada awal kemerdekaan konsep kekuasaan tradisional ini hilang dan
digantikan sistem birokrasi modern yang tidak mengenal adanya stratifikasi sosial,
dimana semua orang berhak untuk ikut dalam menata kehidupan dan ikut serta
dalam pemerintahan. Tentu saja hal ini sangat tidak diterima oleh dua Kerajaan
yang berkuasa di Surakarta saat itu yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran.
Baik Kasunanan maupun Mangkunegaran berusaha untuk mempertahankan
kedudukan mereka sebagai penguasa di Surakarta. Hal ini berbeda dengan apa
yang terjadi di Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman, dimana kekuasaan
mereka tidak terancam hilang. Dengan hilangnya sistem birokrasi tradisional dan
digantikan dengan sistem birokrasi modern, jelas sekali terlihat memberikan
dampak yang bermacam-macam. Ada sebagian kelompok yang mendukung
adanya birokrasi modern ini tetapi tidak sedikit pula yang menentang hal ini
karena mereka ingin tetap mempertahankan Swapraja di Surakarta yang pada saat
itu berstatus sebagai Daerah Istimewa.
Selain masalah diatas, juga karena Surakarta tidak seberuntung Yogyakarta
yang mampu mempertahankan kekuasaannya secara de facto dan de jure, selain
karena beragam masyarakat yang tinggal dan hidup di Surakarta tetapi juga
beragamnya kepentingan yang mewarnai atmosfire politik di Surakarta. Tidak
hanya itu saja, konflik yang terjadi di dalam Keraton Kasunanan serta tidak ikut
berperan aktifnya Keraton dalam membantu mempertahankan kemerdekaan
Indonesia menjadi sebuah masalah yang menarik untuk diperbincangkan. Segala
konflik dan peristiwa yang terjadi pasca kemerdekaan yang akhirnya merubah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
peta perpolitikan Surakarta, yang ditandai dengan terbentuknya Pemerintah
Daerah Surakarta.
Tidak hanya itu saja, ditilik dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia,
dinamika perubahan sistem pemerintahan pada masa awal kemerdekaan telah
menjadi masalah tersendiri bagi bangsa. Mulai dari sistem pemerintahan
presidensiil hingga parlementer dengan kabinet-kabinet yang tidak bertahan lama
dalam menjalankan roda pemerintahan. Bangsa Indonesia masih belajar dan
mencari sistem birokrasi yang baik dan tepat untuk menjalankan roda
pemerintahan. Bahkan hingga saat ini, masih belum dapat dikatakan akan sistem
Pemerintahan yang berlaku.
Melihat peristiwa yang terjadi dengan sistem pemerintahan Negara saat ini,
membuat ketertarikan yang mendalam untuk mengupas birokrasi modern
khususnya yang terjadi di Surakarta. Karena dari sejarahnya Surakarta pernah
mendapatkan status Daerah Istimewa tetapi status tersebut hilang dengan beberapa
peristiwa yang terjadi pada masa itu, serta beberapa peraturan dan ketetapan yang
akhirnya secara otomatis menghapus status keistimewaan Surakarta.
Maka dari itu penting untuk diketahui proses terbentuknya birokrasi modern
di awal kemerdekaan Indonesia khususnya di Surakarta dalam kajian ini yang
berjudul “ Terbentuknya Birokrasi Modern di Surakarta Pada Tahun 1945-
1950”. Judul ini di ambil karena pada rentan waktu tersebut banyak terjadi hal-hal
yang menyebabkan terbentuknya sistem birokrasi modern di Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang tersebut, ditemukan beberapa masalah yang perlu
dikaji lebih lanjut. Adapun rumusan masalah itu adalah:
1. Bagaimana proses terbentuknya birokrasi modern di Surakarta pada awal
kemerdekaan ?
2. Bagaimana struktur birokrasi modern di Surakarta pada awal
kemerdekaan?
3. Bagaimana dampak pada masyarakat dari terbentuknya birokrasi modern
di Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui proses perubahan sistem birokrasi tradisional menjadi
birokrasi modern di Surakarta.
2. Untuk mengetahui struktur birokrasi modern di Surakarta pada awal
kemerdekaan.
3. Untuk mengetahui dampak pada masyarakat dari terbentuknya birokrasi
modern di Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat mamberikan
gambaran mengenai perubahan birokrasi yang terjadi di Surakarta mulai dari
sebelum hingga pasca gerakan anti Swapraja terjadi pada tahun 1945. Penelitian
ini juga diharapkan dapat menjadi referensi dan informasi bagi masyarakat luas
secara umum. Diharapkan juga dapat member sumbangsih dalam dunia akademisi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
sebagai tambahan bahan kajian dalam bidang sejarah, khususnya kajian sejarah
sosial politik.
E. Kajian Pustaka
Dalam mengkaji permasalahan pada penelitian menggunakan beberapa
sumber yang berkaitan dengan sejarah Surakarta menjelang dan pasca Proklamasi
seperti karya George D. Larson dalam bukunya Masa Menjelang Revolusi, Kraton
dan Kehidupan politik di Surakarta 1912-1942 (1990), yang mengungkapkan
kehidupan di dalam Keraton pada tahun 1912-1942. Menurut Larson masyarakat
Jawa secara tradisional terbagi dalam tiga kelompok sosial yaitu keluarga Raja,
Pegawai/Pejabat kerajaan dan rakyat biasa. Buku ini memberikan informasi
mengenai kehidupan rumah tangga dalam Keraton menjelang kemerdekaan, baik
secara politik, ekonomi maupun sosial. Hal ini sangat penting diketahui karena
sebelum membicarakan sistem birokrasi di Surakarta, sebaiknya diawali dari
kondisi wilayah Surakarta dan Keraton Kasunanan menjelang kemerdekaan. Di
lain pihak karya ini merupakan studi sejarah politik Surakarta pada masa
menjelang berakhirnya pemerintahan kolonial Belanda. Serta peranan golongan
elite di Surakarta dalam pergerakan kebangsaan di Indonesia. Meskipun buku ini
lebih menekankan pada bagaimana sikap Keraton Surakarta dalam menghadapi
kemerdekaan dan mulai goyahnya kedaulatan mereka atas Surakarta. Selain itu
dilihat dari rentan waktunya, buku ini hanya menjelaskan mengenai Surakarta
sebelum kemerdekaan sehingga kurang detail mengenai kondisi Surakarta pasca
kemerdekaan dan kondisi birokrasi di Surakarta setelah proklamasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Buku kedua karangan milik Imam Samroni beserta tim yang berjudul Daerah
Istimewa Surakarta (2010). Buku yang menjelaskan mengenai keberadaan Dearah
Istimewa Surakarta dalam kajian history. Menjelaskan mengenai permasalahan-
permasalahan seputar status Daerah Istimewa Surakarta dan gerakan anti
Swapraja yang terjadi pada saat itu. Buku ini lebih menjelaskan mengenai
hilangnya status Keistimewaan Surakarta dan sikap Keraton Kasunanan dalam
menanggapi serta usaha mereka untuk mengembalikan keistimewaan tersebut.
Dengan adanya penetapan mengenai pemberian status Daerah Istimewa di
Surakarta membuat banyak tanggapan dari berbagai kalangan, baik yang setuju
dan tidak setuju dengan pemberian status tersebut. Hal ini memunculkan konflik
dan kecaman di Surakarta sehingga membuat pemerintah Pusat harus turun tangan
untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan membentuk KNID di Surakarta
untuk meredam kekacauan di Surakarta.
Karya Imam Samroni ini hanya menjelaskan seputar permasalahan
keisimewaan Surakarta yang menyebabkan runtuhnya kekuasaan Swapraja yang
ada di Surakarta. Masalah-masalah yang mempengaruhi atau menjadi dampak
akan keistimewaan Surakarta kurang dijelaskan dalam buku ini.
Selain beberapa buku di atas, juga digunakan buku yang di terbitkan oleh
Paguyuban Para Pelaku Pemerintah RI Balaikota Surakarta dalam Pendudukan
Belanda Tahun 1948 – 1950 yang berjudul Perjuangan Gerilya Membela
Kemerdekaan Negara dan Bangsa, 1995. Dalam buku ini mengisahkan tentang
situasi dan kondisi riil Surakarta pada masa revolusi. Hal ini di peroleh langsung
dari para mantan pejuang yang sekaligus menjabat sebagai perangkat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
pemerintahan di Surakarta. Keadaan yang serba labil antara Kekuasaan RI dan
kekuasaan Swapraja kerajaan yang didukung oleh pihak Belanda. Buku tersebut
memberikan gambaran tentang situasi dan kondisi pemerintahan pada masa
pendudukan Belanda tahun 1948-1950. Di dalam buku tersebut dikisahkan pula
tentang pemerintahan gerilya di Kota Surakarta yang dapat disebut juga sebagai
pemerintahan militer, karena pada saat itu keadaan Republik Indonesia pada
umumnya dan kota Surakarta pada khususnya sedang dalam keadaan darurat
perang. Pelaku pemerintahan gerilya kota Surakarta diceritakan dalam buku ini,
mulai dari pembentukan sampai dengan pelaksanaan pemerintah gerilya tersebut.
Referensi dari skripsi-skripsi yang sudah ada sebelumnya yang berkaitan
dengan proses terbentuknya birokrasi modern, salah satunya skripsi dari Cahya
Putri Musaparsih tahun 2005 yang berjudul Strategi Komite Nasional Indonesia
Daerah Surakarta (KNIDS) Dalam Mengambil Alih Swapraja, 1945-1946,
dimana pasca kemerdekaan pemerintah pusat membuat suatu Komite Nasional
Pusat yang memiliki cabang di setiap daerah di Indonesia begitu juga di Surakarta.
Komite ini bertugas sebagai pemerintahan sementara sebelum dibentuknya
pemerintahan daerah secara resmi di Surakarta. Meskipun dalam pembentukannya
banyak menuai konflik dan juga perlu perjuangan yang cukup keras tetapi dengan
terbentuknya KNIDS ini dapat mempertegas eksistensi bahwa telah terbentuknya
suatu pemerintahan yang berada langsung di bawah Pemerintahan Pusat. Lingkup
penelitian ini hanya mencakup peristiwa yang terjadi pasca Kemerdekaan hingga
aksi anti Swapraja yang menjadi penyebab terbentuknya KNIDS di Surakarta
yang rentan waktunya terjadi pada tahun 1945-1946. Kajian ini belum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
menjelaskan lebih detail lagi kondisi Surakarta setelah masalah Swapraja dan juga
perkembangan birokrasi modern yang terbentuk setelah adanya KNIDS.
Skripsi dari Pheres Sunu Wijayengrono tahun 2006 yang berjudul Sikap
Politik Mangkunegaran Dalam Mempertahankan Swapraja 1945-1946,
memberikan penjelasan mengenai kondisi birokrasi Mangkunegaran dalam
menghadapi gerakan anti swapraja. Kajian ini mencoba untuk membuka kembali
keberadaan Mangkunegaran sebagai lembaga politik pada tahun 1945-1946.
Keberadaan Mangkunegaran sebagai lembaga tradisional tidak dianggap sebagai
antithesis dari anti Swapraja. Hal ini dikarenakan upaya yang dilakukan oleh
Mangkunegaran dalam menentang gerakan anti Swapraja sangat intensif dan lebih
terbuka dibandingkan Kasunanan yang lebih menunjukkan sikap feodalisme di
Surakarta. Bagi Mangkunegaran sendiri keterlibatan gerakan anti Swapraja dalam
perpolitikan di Surakarta pada akhirnya menjadi ancaman utama setelah pihak
Kasunanan pada akhirnya meredakan tekanan kepada Mangkunegaran untuk
secara bersama-sama menghadapi revolusi sosial yang terdapat pada gerakan anti
Swapraja.
Pada masa ini terlihat bahwa lemahnya kepemimpinan Kasunanan dalam
menghadapi gerakan anti Swapraja yang berbeda dengan Mangkunegaran yang
sejak awal berani menentang gerakan anti swapraja dalam bentuk konfrontasi
apapun karena kokohnya kekuasaan Mangkunegaran terhadap sistem birokrasi
baik di dalam istana maupun di masyarakat. Meskipun begitu Mangkunegaran
tetap tidak dapat mempertahankan kekuasaan politiknya di Surakarta dimana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
gerakan anti swapraja ini telah mencapai puncaknya yang berujung pada
keruntuhan kekuasaan Mangkunegaran.
Penelitian ini hanya mengkaji mengenai bagaimana Mangkunegaran
mempertahankan kekuasaannya pada masa Kemerdekaan. Kajian ini menjelaskan
sikap politik Mangkunegaran dalam mempertahankan Swapraja. Tetapi belum
menjelaskan bagaimana perubahan birokrasi yang terjadi pada saat itu.
Begitu juga denga skripsi karangan R. Djojo Puswito tahun 1999 yang
berjudul Sistem Pelaksanaan Pengawasan Pemerintah Kolonial Belanda
Terhadap Kasunanan Surakarta Pada Masa Paku Buwana X, yang menjelaskan
pemerintah kolonial mengatur hampir segala macam aspek kehidupan di dalam
Keraton maupun luar keraton Surakarta. Tentu saja cara yang digunakan tidak
secara frontal tetapi dengan masuk kedalam system kebijakan pemerintahan dalam
birokrasi Keraton. Bahkan dalam masalah pengangkatan patih pun harus sesuai
ijin dari pemerintah kolonial. Maka dari itu, meskipun penjajahan kolonial tidak
langsung mengaraha ke pribumi tetapi melalu penguasa local. Hal ini karena
dalam birokrasi tradisional hubungan antara Raja dengan Kawula masih sangat
kental sekali, dimana raja diibaratkan sebagai titisan dewa yang segala
perintahnya adalah titah yang akan dilaksanakan oleh rakyat. Tetapi kajian ini
lebih memusatkan pada pengawasan dari Pemerintah Kolonial pada Keraton
Kasunanan masa Paku Buwana X.
Karya dari Martin Albrow yang berjudu BIROKRASI (2004), dimana buku ini
menjelaskan tentang konsep-konsep birokrasi mulai dari awal abad ke-19 hingga
konsep birokrasi menurut tokoh-tokoh terkenal seperti Mosca dan Michel, Max
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Weber, Karl Marx dan para tokoh Ideolog Demokrasi. Albrow berusaha untuk
menggali hakikat birokrasi, latar belakang dan kelahiran dari birokrasi, selain itu
juga mengungkapkan pemikiran Max Weber tentang tujuh konsep birokrasi
modern. Maka dari itu penting dalam kajian ini untuk menggunakan karya dari
Martin Albrow ini sebagai sumber yang memberikan penjelasan mengenai dasar
dari birokrasi modern dan bagaimana konsep dari birokrasi tersebut.
Dalam mengerti masalah birokrasi baik secara umum maupun yang
berhubungan dengan sistem birokrasi modern, penelitian ini menggunakan
sumber dari buku yang berjudul Birokrasi dalam Masyarakat Modern, karya Peter
M. Blau dan Marshall W. Meyer (1987). Dalam buku ini dijelaskan mengenai
pengertian Birokrasi, konsep birokrasi yang berkembang di masyarakat sejak
jaman pertengahan hingga birokrasi modern dan organisasi birokrasi. Oleh karena
buku ini digunakan sebagai bahan kajian yang memberikan gambaran perihal
birokrasi, khususnya birokrasi modern.
F. Metode Penelitian
Sesuai permasalahan yang akan diteliti maka penelitian ini menggunakan
metode sejarah. Menurut Nugroho Notosusanto, metode sejarah merupakan
kumpulan prinsip-prinsip atau aturan yang sistematis yang dimaksudkan untuk
bantuan secara efektif didalam usaha mengumpulkan bahan-bahan bagi sejarah,
menilai secara kritis dan kemudian menyajikan suatu sintesa daripada hasilnya
dalam bentuk tertulis.8 Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang
mencakup empat tahap yaitu menghimpun sumber-sumber sejarah yang sesuai
8 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993) Hlm 60-62.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
dengan permasalahan (heuristik), kritik sumber, interpretasi dengan penjelasan
sebagai berikut:9
1. Heuristik
Tahap pertama heuristik, menghimpun sumber-sumber sejarah berkaitan
dengan segala hal mengenai Keraton Kasunanan, terutama mengenai birokrasi
pemerintahan Keraton Kasunanan Surakarta sebelum dan sesudah adanya gerakan
anti Swapraja.
Karena penelitian ini menggunakan metode historis, maka jenis sumber
data yang digunakan berupa arsip seperti : Penetapan Pemerintah No. 16/S.D.
tahun 1946, Maklumat yang dikeluarkan oleh Paku Buwana XII tertanggal 1
September 1945, piagam kedudukan tanggal 19 Agustus 1945, Laporan Riwayat
Perjuangan Para Pelaku Pemerintahan Republik Indonesia Balai Kota Suarakarta
pada masa pendudukan Belanda, Peraturan Pengganti Undang-undang No.8 tahun
1946, UU No.16 tahun 1947 tentang pengesahan pemerintahan Kota dan berbagai
arsip yang berkenaan dengan perubahan ketatanegaraan Keraton Kasunanan
Surakarta. Verslag mengenai Komando Militer Kota pada tahun 1949. Maklumat
No. 2/MBKD mengenai berlakunya pemerintah militer di seluruh Pulau Jawa.
Serta beberapa surat kabar yang menyiarkan berita seputar kondisi Surakarta pada
saat itu.
Selain itu juga arsip mengenai Maklumat Dewan Pertahanan Daerah
Surakarta No. 17 tahun 1947. Siaran Kilat No. 5 yang berisi mengenai tentang
urusan Daerah Istimewa Surakarta yang dikeluarkan Pemerintah Militer Daerah
9 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1994)
hlm. 79.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Kota Surakarta, undangan untuk menghadiri acara Penghapusan Pemerintah
Militer Surakarta. Turunan mengenai pengumuman menolak segala macam jenis
negara boneka bentukan Belanda. Terdapat juga Konsep Rinci tentang Status
Kekuasaan Daerah serta Struktur dan Tata Pelaksanaan Pemerintah Swapraja.
Semua arsip tersebut di atas didapatkan dari perpustakaan Mangkunegaran
(Reksapustaka), Monumen Pers, dan juga Sasana Pustaka Kasunanan Surakarta.
2. Kritik Sumber
Terdiri dari kritik intern dan ekstern. Kritik intern merupakan kritk yang
meliputi tulisan, kata-kata, bahasa dan analisa verbal serta tentang kalimat yang
berguna sebagai validitas sumber atau untuk membuktikan bahwa sumber tersebut
dapat dipercaya. Sedangkan kritik ekstern, meliputi material yang digunakan guna
mencapai kredibilitas sumber atau keaslian sumber tersebut. Dari hasil sumber-
sumber yang berhasil dikumpulkan adalah dokumen asli bahwasanya sumber-
sumber itu sebagian berbahasa Belanda yang kuno dan bahasa Jawa lengkap
dengan tulisan Jawa pula. Kondisi dari data yang mudah rusak karena bahan
kertasnya sudah berusia sangat tua dan mudah repuh dan sobek. Terkadang tulisan
yang berupa tulisan tangan sebagian ada tinta yang luntur sehingga susah untuk
dibaca. Memilih dan memilah sumber-sumber yang akan dijadikan data, karena
tidak semua arsip yang ditemukan dapat dijadikan sebagai data.
3. Interpretasi
Tahap ketiga adalah interpretasi, yang diartikan sebagai memahami makna
yang sebenarnya dari sumber-sumber atau bukti-bukti sejarah. Fakta sebagai hasil
“kebenaran” dari sumber sejarah setelah melalui pengujian yang kritis tidak akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
bermakna tanpa dirangkaikan dengan fakta lain. Proses perangkaian itu disebut
eksplanasi. Hasil eksplanasi tersebut kemudian disajikan dalam bentuk tertulis
yang disebut rekonstruksi, yaitu dengan menyusun fakta-fakta kemudian menjadi
sebuah kisah sejarah. Tujuan kegiatan ini adalah merangkaikan fakta-fakta
menjadi kisah sejarah dari bahan sumber-sumber yang belum merupakan suatu
kisah sejarah.
4. Historiografi
Tahap keempat adalah historiografi yang merupakan penyajian hasil
penelitian dalam bentuk tulisan baru berdasarkan bukti-bukti yang telah diuji.
Sumber-sumber bahan dokumen dan studi kepustakaan, selanjutnya dianalisis,
diinterpretasikan dan ditafsirkan isinya. Data-data yang telah dikaji kebenarannya
itu merupakan fakta–fakta yang dirangkai menjadi kisah sejarah yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Historiografi atau penulisan sejarah, yaitu
menyampaikan sumber yang diperoleh dalam bentuk kisah sejarah atau penulisan
sejarah. Kemudian menceritakan apa yang telah ditafsirkan dalam penyusunan
kisah sehingga menarik untuk dibaca. Penulisan dan penyusunan kisah dengan
kata-kata dan gaya bahasa yang baik bertujuan supaya pembaca mudah
memahami maksudnya dan tidak membosankan.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika dimaksudkan membantu pembaca untuk mempermudah dalam
memahami penulisan skripsi ini. Serta membantu memberikan gambaran
mengenai tema yang di bicarakan di dalamnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Bab I merupakan Pendahuluan meliputi latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab II, pada bab ini membahas tentang kondisi birokrasi di Surakarta
sebelum kemerdekaan. Diterangkan pula mengenai gambaran umum kondisi
birokrasi tradisional (Kasunan Surakarta dan Mangkunegaran) sebelum
kemerdekaan dan struktur pemerintahan dan kewenangan yang dimiliki Keraton
Kasunanan dan Mangkunegaran pada saat terjadinya proses terbentuknya
birokrasi modern pada tahun 1945-1950.
Bab III menjelaskan proses terbentuknya birokrasi modern dan struktur
birokrasi modern di Surakarta. Di dalam bab ini juga dijelaskan kondisi di
Surakarta pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia, hingga terbentuknya sistem
birokrasi modern di Suarakrta beserta peristiwa-peristiwa yang
melatarbelakanginya dan mengenai jalannya birokrasi modern yang baru
terbentuk.
Bab IV menjelaskan dampak dari terbentuknya birokrasi modern di
Surakarta. Khususnya bab ini menjelaskan dampak pada masyarakat dengan
adanya sistem birokrasi yang baru tersebut.
Bab V penutup yang berisi kesimpulan dari keseluruhan pembicaraan yang
telah diuraikan dalam kajian ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
BAB II
BIROKRASI TRADISIONAL DI SURAKARTA
MENJELANG KEMERDEKAAN
Nama Surakarta merupakan nama varian dari Jakarta yang pada masa lalu juga
disebut Jayakarta. Surakarta berasal dari gabungan kata Sura berarti berani, dan
Karta berarti sejahtera.1 Keraton Surakarta mulai dibangun pada masa
pemerintahan Sunan Paku Buwana II (1726-1749), sebagai pengganti Keraton
Kartasura yang telah rusak akibat pemberontakan orang-orang Cina dibawah
pimpinan Sunan Kuning, juga oleh pasukan Madura yang dipimpin Cakraningrat
IV.2
Kerajaan tradisional Jawa, baik pada zaman Hindu-Budha maupun Islam
selalu menempatkan kekuasaan tertingginya pada raja. Dalam konsep Jawa
tentang organisasi Negara, raja atau ratulah yang menjadi eksponen mikrokosmos.
Raja merupakan penguasa tunggal yang memiliki kekuasaan yang begitu besar
tetapi juga menuntut tanggung jawab yang begitu berat. Konsep seperti ini disebut
dengan Konsep Kekuasaan Jawa.
Menurut pemikiran dari Max Weber budaya politik di Indonesia lebih
mengarah pada nilai-nilai patrimonial. Oleh karenanya, jenis sistem politik dan
demokrasi yang berkembang adalah sistem politik dan demokrasi patrimonial.3
1 Dwi Ratna Nur Hajarini, dkk, Sejarah Keraton Tradisional Surakarta,
(Jakarta: CV. Ilham Bangun Karya, 1999), hlm.7-8
2 Ibid, hlm. 12
3 Martin Albrow, BIROKRASI, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004) hlm. 58
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Max Weber menjelaskan patrimonialisme sebagai salah satu bentuk dominasi
dari otoritas tradisional. Pijakan dasarnya adalah pemahaman patrimonial dapat
ditelusuri pada penjabarannya mengenai Otoritas Tradisional. Tipe otoritas
tradisional, didasarkan pada kepercayaan yang mapan terhadap kesucian tradisi
zaman dahulu yang kemudian dipertahankan dan diturunkan dari generasi ke
generasi. Kepercayaan yang telah mapan ini yang dipakai sebagai dasar memberi
legitimasi kepada status pemegang otoritas. Alasan orang patuh serta taat pada
pemegang otoritas berdasarkan prilaku yang diambil begitu saja (taken for
granted).4 Alasannya, karena sejak dahulu juga seperti itu, atau karena mereka
yang memegang otoritas tersebut telah dipilih berdasarkan peraturan yang harus
dihormati sepanjang waktu.
Hubungan antara pemimpin yang memegang otoritas dengan bawahannya
merupakan hubungan pribadi. Ada kesetiaan pribadi untuk patuh dan taat pada
pemimpin tersebut dan sebaliknya pemimpin berkewajiban secara moral untuk
memperhatikan kebutuhan dari mereka yang dipimpin. Bagi Weber, sebuah
otoritas akan disebut tradisional jika ada legitimasi yang bersumber dari
kekuasaan dan peraturan yang sudah sangat tua dan suci. Para pemimpin dipilih
menurut peraturan tradisional dan dipatuhi berdasarkan status tradisional mereka
(Eigenwurde). Tipe pengaturan ini, berdasarkan loyalitas personal yang dihasilkan
dari pelajaran-pelajaran yang di tanamkan semenjak kecil (commons upbringing).
Penggunaan otoritas dilekatkan pada pemimpin secara individual, dimana para
pembantu pemimpin tersebut bukanlah seseorang yang digaji, sebagaimana
4 Ibid, hlm. 72
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
pegawai dalam konteks birokrasi modern. Ia hanya sebagai seorang asisten pribadi
(personal retainer) yang loyal dengan tuannya. Kemampuan dan hak untuk
memerintah diwariskan melalui keturunan dan itu tidak berubah, juga tidak
memfasilitasi perubahan sosial. Kecenderungan tidak rasional dan tidak konsisten,
serta melanggengkan status quo. Penciptaan hukum baru yang berlawanan dengan
norma-norma tradisional dianggap tidak memungkinkan. Otoritas tradisional
biasanya diwujudkan dalam feodalisme. Dalam struktur murni patriarkal, "hamba
secara pribadi tergantung pada tuan" (Tuan-Hamba), sedangkan pada sistem
feodalisme, para pelayan bukan budak penguasa tetapi laki-laki independen,
namun dalam Patriakal dan feodalisme tersebut, sistem kekuasaan tidak berubah
atau berevolusi.
Menurut konsep kekuasaan Jawa, raja adalah seorang yang berkuasa secara
mutlak / absolute, tetapi kekuasaan itu diimbangi dengan kewajiban moral yang
besar untuk kesejahteraan rakyatnya oleh karena itu dalam konsep kekuasaan jawa
dikenal sebagai tugas raja adalah njaga tata tentremin praja yang artinya menjaga
supaya masyarakat teratur, dengan demikian ketentraman dan kesejahteraan
rakyat terjaga.5
Kedudukan dan kekuasaan raja yang begitu besar dikenal dengan doktrin
Keagungbinataraan. Maksud dari konsep ini adalah bahwa Raja memiliki
segalanya baik harta maupun manusia. Oleh karena itu dikalangan rakyat berlaku
prinsip nderek kersa dalem. Namun hal ini tidak berarti raja sebagai penguasa
5 Tim Penulis Solopos, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat,
(Solo: PT Aksara Solopos, 2004), hlm. 63
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
tunggal berhak untuk berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Sebab dalam
konsep Keagungbinataraan itu juga dirangkai dengan sikap berbudi laksana,
ambeg adil para marta6, dan hal tersebut masih ditambah lagi dengan kalimat
wenang wisesa sangari7. Ini menunjukkan adanya keseimbangan antara
kewenangan yang luar biasa dengan kewajiban dan tanggung jawab yang luhur,
yakni melindungi, mengasihi dan mensejahterakan rakyatnya.8
Sebaliknya, supaya raja dapat melaksanakan tugasnya, rakyat mempunyai
kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya (ngemban dhawuh dalem).
Dengan demikian antara raja dan rakyat berlaku prinsip jumbuhing atau pamoring
kawula-gusti (bertemunya rakyat dan raja).
Sebelum tahun 1900 atau lebih tepatnya sebelum sistem politik Etis, sistem
pemerintahan untuk daerah jajahan (Hindia Belanda) masih bersifat sentralistis.
Dimana tidak ada partisipasi dari perangkat lokal, segala sesuatu diatur oleh
pemerintah pusat. Tidak ada sama sekali otonomi untuk mengatur sendiri rumah
tangga daerah sesuai dengan kepentingan daerah. Hal ini karena
sentralisasi dipandang sebagai cara terbaik oleh pemerintah Belanda untuk
memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Oleh karena itu, dengan sentralisasi
Belanda dapat mempertahankan tanah jajahannya.
6 berbudi laksana, ambeg adil para marta dalam bahasa Indonesia artinya
budi luhur yang begitu luas/ meluap serta sifat adil dan penuh kasih saying.
7 wenang wisesa sangari artinya memiliki wewenang diseluruh negeri
8 G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa dan Penerapannya oleh Raja-raja
Mataram, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm 87
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
A. Struktur Birokrasi Kolonial
Mulai tahun 1903 diberlakukan Undang-undang Desentralisasi dimana dengan
Undang-undang tersebut dibentuklah Dewan Lokal yang memiliki otonomi.
Dengan adanya dewan lokal maka pemerintah lokal perlu dibentuk dan
disesuaikan. Maka terbentuklah: Provinsi, kabupaten, kotamadya, dan kecamatan
serta desa.
Desentralisasi adalah pembagian wewenang atau urusan penyelenggaraan
pemerintahan. Dengan adanya keinginan desentralisasi maka Belanda
membutuhkan orang-orang pribumi bukan hanya sebagai penguasaan daerah
tetapi juga untuk mengerjakan keperluan administrasi pemerintah. Belanda juga
membutuhkan tenaga terlatih (tenaga kesehatan, kehutanan, kemiliteran,
kepolisian). Orang-orang pribumi tersebut akan dijadikan pelaksana, pelayan
pemerintah, serta perantara antara Belanda dan penguasa daerah. Tetapi untuk
dapat bekerja di pemerintah maka mereka harus sekolah.
Keinginan desentralisasi menyebabkan adanya desentralisasi antara negara
induk (Belanda) dengan Hindia-Belanda, antara pemerintah Batavia dengan
daerah, dan antara Belanda dengan pribumi. Dengan adanya keinginan
desentralisasi tersebut maka memerlukan adanya daerah otonom.
Meskipun ada upaya untuk modernisasi struktur birokrasi tetapi tetap saja
masih mempertahankan beberapa bagian struktur politik sebelumnya. Hal ini
dilakukan demi kepentingan praktis dan untuk mempertahankan loyalitas,
khususnya loyalitas elit bumi putra. Untuk jabatan teritorial diatas tingkat
kabupaten dipegang oleh orang-orang Belanda/ Eropa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Pada perkembangannya, karena semakin luas Hindia Belanda maka
dibutuhkan tenaga kerja untuk mengelola administrasi negara semakin meningkat.
Sehingga ada pendamping pejabat teritorial yang disebut pejabat non teritorial
yang setingkat kabupaten (asisten residen), kawedanan (asisten wedono).
Berdasarkan Undang-undang Perubahan tahun 1922 Hindia Belanda dibagi
dalam provinsi dan wilayah (gewest) sebagai berikut:
1.Provinsi
Provinsi memiliki otonomi. Tiap provinsi dikepalai oleh seorang gubernur.
Ada 3 provinsi yaitu Jawa Barat (1926), Jawa Timur (1929), dan Jawa Tengah
(1930).
2. Gewest (wilayah)
Gewest tidak memiliki otonomi. Sampai tahun 1938 Hindia Belanda terbagi
menjadi 8 gewest yang terdiri dari: 3 Provinsi : Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa
Tengah, dan 5 Gewesten : Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Gewest
Sumatera, Gewest Kalimantan (Borneo), Gewest Timur Besar (Grote Oost) yang
terdiri dari Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan Irian Barat. Untuk
Surakarta dan Yogyakarta termasuk Gubernemen yaitu wilayah yang langsung
diperintah oleh pejabat-pejabat gubernemen.
Akibat adanya desentralisasi menyebabkan munculnya kebebasan yang
semakin besar dari penguasa kolonial. Memunculkan proses Indonesianisasi
(sistem kepengurusan Indonesia, sejauh mungkin dilaksanakan oleh orang
Indonesia. Hingga lahirlah Volksraad (Dewan Rakyat)).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Pemerintahan tertinggi dilaksanakan oleh Menteri Jajahan sedangkan sebagai
penyelenggara pemerintahan umum adalah Gubernur Jenderal. Gubernur Jenderal
didampingi oleh Raad van Indie yang beranggotakan 4 orang yang disebut sebagai
Pemerintah Agung di Hindia Belanda.Selain itu dibantu oleh 2 Sekretariat yaitu:
1) Sekretaris Umum (Generale Secretarie) untuk membantu Commisaris
General
2) Sekretaris Pemerintah (Gouvernement Secretarie) untuk membantu
Gubernur Jenderal.
Pada perkembangannya keduanya diganti menjadi Algemene Secretarie yang
bertugas membantu Gubernur Jenderal terutama memberikan pertimbangan
keputusan. Peraturan yang mengatur kewenangan gubernur jenderal yang tertuang
dalam Regeering Reglement (RR). Gubernur Jenderal bertanggung jawab
langsung pada Raja melalui Mentri Jajahan, Laporan pertanggung jawaban
tersebut diberikan kepada Palemen Belanda (Staten Generaal).
Menurut Undang-undang Hindia Belanda sebagai bagian kerajaan Belanda,
maka:
1. Pemerintahan tertinggi berada di tangan Raja yang dilaksanakan oleh
menteri jajahan atas nama raja. Bertanggung jawab pada Parlemen
Belanda (Staten General).
2. Pemerintahan Umum diselenggarakan oleh Gubernur Jenderal atas nama
Raja yang dalam prakteknya atas nama menteri jajahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Raja bertugas :
1. Mengawasi pelaksanaan/ penyelenggaraan pemerintahan Gubernur
Jenderal.
2. Pengangkatan pejabat penting, memberikan petunjuk kepada Gubernur
Jenderal dalam mengambil keputusan apabila terjadi perselisihan antara
Gubernur jenderal dengan Dewan Hindia Belanda.
Sedangkan di bawahnya Gubernur Jenderal ada Dewan Rakyat (Volksraad)
sebagai Badan Perwakilan Hindia-Belanda dalam pemerintahan. Untuk tingat
Provinsi dikepalai oleh Gubernur, Karisidenan (afdeling) dipimpin oleh Residen
dibantu asisten residen dan controleur (pengawas). Kabupaten (regent) dipimpin
oleh bupati jabatan tertinggi, dibantu oleh seorang patih. Kawedanan dipimpin
oleh wedana, Distrik dipimpin oleh asisten wedana, dan Kecamatan dipimpin oleh
camat.
Desa (kepala desa) jabatan ini tidak termasuk dalam struktur birokrasi
pemerintah kolonial/ bukan anggota korp pegawai dalam negeri Hindia Belanda
(Departemen Dalam Negeri). Kepala desa dibantu pejabat desa (pamong desa).
Pejabat pribumi (inland bestuur) yang termasuk dalam binenland bestuur
(departemen dalam negeri) disebut Pangreh Praja (pemangku Kerajaan) yang
dikenal dengan sebutan Priyayi.
Kepala desa tidak diangkat maupun digaji oleh pemerintah. Mereka dipilih
langsung oleh rakyat dan digaji oleh rakyat pula melalui tanah desa (tanah
bengkok) yang diserahkan kepadanya selama menjadi kepala desa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
B. Birokrasi Tradisional di Surakarta
Luas ibukota Kerajaan Surakarta (kota Sala) adalah 24 kilometer persegi
dengan ukuran 6 kilometer, membentang dari arah barat ke arah timur, dan 4
kilometer dari arah utara ke selatan. Kota ini berada di tanah dataran rendah di
tepi sebelah barat Sungai Bengawan Sala. Luas wilayah kerajaan Surakarta
(sekarang Karesidenan Surakarta) seluruhnya adalah 6.215 kilometer persegi.
Separuh dari daerah itu adalah milik kasunanan, sedang separuh lainnya masuk
daerah Mangkunegaran.
Di pusat ibukota terdapat bangunan inti kerajaan berupa keraton yang terdiri
dari kompleks bangunan yang dikelilingi tembok, tempat kediaman raja, isteri-
isterinya, dan berbagai wanita terkemuka. Daerah inti di kelilingi oleh sepasang
bangunan tembok yang tinggi, tempat masuk hanya bisa lewat gerbang dengan
pintu yang tebal dan kuat. Sebagai pusat kerajaan, keraton adalah pusat birokrasi
pemerintahan atau dapat dikatakan pusat penyelenggara pemerintahan dalam
suatu kerajaan. Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dibantu oleh para
pengikutnya yang setia berdasarkan hubungan kekeluargaan.
Agar kekuasaan itu diselenggarakan secara berdaya dan berhasil guna, maka
dalam konsep kekuasaan Jawa dikenal adanya konsep kewilayahan, birokrasi serta
dibuat pedoman perilaku bagi para penguasa dan rakyat.
Konsep kewilayahan negara tercermin dalam gambaran sebagai berikut:
1) Pada tingkat pusat terdapat karaton, negara atau kuthagara, yaitu wilayah
inti, tempat tinggal raja dan keluarganya. Daerah ini adalah daerah inti atau pusat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
dari wilayah kerajaan. Daerah ini juga disebut daerah Narawito9 yang merupakan
tanah milik raja. Di daerah Kutagara inilah terletak keraton. Dimana raja dengan
keluarganya dan beberapa pejabat tinggi lainnya tinggal.
2) Negara agung, yaitu daerah yang ada di sekitar Kutagara. Daerah ini masih
termasuk daerah inti kerajaan karena di daerah inilah terutama terdapat tanah
lungguh (apanage) dari para bangsawan keluarga Mataram;
3) Mancanagara, yaitu daerah darat di luar negara agung, di daerah ini dapat
dikatakan tidak ada tanah-tanah lungguh dari bangsawan-bangsawan kraton tetapi
tiap waktu-waktu tertentu harus menyerahkan pajak ke keraton.
4) Daerah pesisir wetan, kira-kira Demak ke Timur, dan pesisir kilen, kira-
kira Demak ke Barat.
Birokrasi Mataram menyangkut urusan pusat dan daerah. Di pusat, birokrasi
dipimpin oleh Patih (pepatih dalem). Ia membawahkan sejumlah pejabat atau
nayaka, semacam kepala departemen, yang disebut wedana. Patih juga
membawahkan militer dan para bupati. Birokrasi di kabupaten merupakan bentuk
tiruan dalam ukuran yang lebih kecil dari birokrasi kerajaan. Bupati atau adipati
pada hakikatnya adalah raja kecil atau taklukan dari raja besar.
Doktrin keagungbinataraan mengajarkan bahwa raja harus selalu membangun
kerajaannya, sehingga kerajaannya menjadi pusat politik yang tertinggi dan paling
kuasa. Secara singkat kekuasaan raja besar menurut konsep kekuasaan Jawa
ditandai oleh: 1) Wilayah kerajaannya yang sangat luas; 2) Luas wilayah daerah
9 Nara=orang, wita= suwitaatau mengabdi, jadi daerah dari orang-orang yang
mengabdi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
atau kerajaan taklukan dan berbagai barang persembahan yang disampaikan oleh
raja taklukan; 3) Kesetiaan para bupati dan punggawa lainnya dalam menunaikan
tugas kerajaan dan kehadiran mereka dalam paseban yang diselenggarakan pada
hari-hari tertentu; 4) Kebesaran dan kemeriahan upacara kerajaan dan banyaknya
pusaka dan perlengkapan yang tampak dalam upacara; 5) Kekayaan yang dimiliki
oleh raja, gelar-gelar yang disandang dan kemasyhurannya; 6) Seluruh kekuasaan
menjadi satu ditangannya, tanpa ada yang menandingi.
Kasunanan adalah daerah Swapraja yaitu daerah yang dapat memerintah
sendiri atau dapat disebut juga Zelfbesturendelandscapen,10
meskipun begitu
keraton tidak lepas dari pengawasan pemerintah Kolonial Belanda. Hubungan
dengan pemerintah Kolonial tersebut diatur dalam perjanjian-perjanjian politik
yang disebut politiek contract. Terdapat dua macam perjanjian politik yaitu Lang
Contract atau kontrak panjang dan Korte Verklaring atau pernyataan pendek.
Perbedaan dari perjanjian politik tersebut adalah :
(1) Swapraja dengan kontrak panjang (Lang Contract), yaitu perjanjian yang
mengikat dan membatasi kekuasaan swapraja dan memberi kelonggaran
pada pemerintah pusat.
(2) Swapraja dengan kontrak pendek (Korte Verklaring), yaitu berisi
keterangan bahwa swapraja mengakui kedaulatan Negara dan tunduk akan
perintah.11
10 Zelfbesturende landschappen artinya adalah berhak memerintah daerahnya
sendiri. Imam Samroni, dkk., Daerah Istimewa Surakarta,(Yogyakarta: Pura
Pustaka Yogyakarta, 2010), hlm. V
11 Dwi Ratna Nur Hajarini, dkk, opcit, hlm. 124-125
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Dilihat dari segi hukum tersebut di atas maka daerah swapraja Surakarta
tergolong swapraja dengan kontrak panjang, karena perjanjian yang dibuat secara
turun temurun berlaku terus. Kontrak panjang ini menetapkan satu demi satu
kekuasaan Belanda dalam hubungannya dengan pemerintahan swapraja yang
bersangkutan, sebaliknya pemerintah kolonial mengakui keberadaan pemerintah
swapraja beserta haknya untuk mengatur dan menjalankan pemerintahannya.
Perjanjian politik tersebut selalu diperbarui tiap kali seorang putra mahkota
akan menduduki tahta kerajaan. Meskipun dengan adanya perjanjian politik
tersebut kekuasaan raja benar-benar telah mengalami pergeseran, akan tetapi
dalam kenyataannya Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan yang otonom,
mempunyai system pemerintahan sendiri, walaupun tidak bisa dilepaskan sama
sekali dari pengaruh sistem kolonial.12
1. Birokrasi Keraton Kasunanan
Kekuasaan seorang raja, sebagai diatur dalam struktur birokrasi tradisional
memiliki kekuasan sentral dalam wilayah kerajaan. Kedudukan dan kekuasaan
raja diperoleh berdasarkan warisan menurut tradisi pengangkatan raja baru atas
dasar keturunan Raja yang memerintah. Raja-Raja Surakarta memakai gelar dan
sebutan Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana
Senapati Ing Alaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Atas
dasar gelar ini, maka Raja mengepalai urusan politik pemerintahan, keagamaan
dan sebagai primus interpares di wilayah kekuasaannya.
12
Ibid, hlm. 125
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Pola demikian merupakan pola Caesar-papisme, yaitu raja sebagai orang
pertama dan terhormat di negaranya (Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng
Susuhunan),13
dia juga sebagai pusat kehidupan masyarakat dan dunia (Paku
Buwana). Selain itu raja adalah kepala pemerintahan dan juga sebagai panglima
tertinggi angkatan perang (Senapati Ingalaga), serta sebagai kepala bidang
keagamaan (Ngabdurahman Sayidin Panatagama). Sebagai penguasa tertinggi
Raja harus adil dalam memerintah dengan hukum yang seadil-adilnya, hal ini
karena Raja dianggap sebagai wakil Allah di dunia yang tampak pada gelar
Khalifatulah.14
Oleh karena itu raja duduk sebagai wali hakim bagi kawula dalem
wanita yang akan menikah.
Menurut tradisi istana yang berlaku bahwa hanya putera laki-laki tertua dari
permaisuri atau yang ditunjuk oleh raja sajalah yang berhak menggantikan
kedudukan sebagai Raja. Hal ini berdasarkan pada tradisi bahwa yang berhak
menjadi Wali adalah orang laki-laki atau ayah, atau saudara laki-laki dari satu
ayah. Maka menurut adat kerajaan yang berhak menjadi Raja haruslah keturunan
atau putera laki-laki.
Raja secara tradisional dianggap sebagai pusat dunia, pusat kehidupan
masyarakat, maka tanggung jawab baik buruknya kerajaan terletak di tangan raja.
Oleh karena itu dalam struktur birokrasi pemerintahan, raja menempati kedudukan
tertinggi. Raja berhak mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat dalam
pemerintahan yang dipegangnya. Kedudukan raja yang sangat tinggi maka dalam
13
Ibid.
14 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
menjalankan tugas pemerintahan, raja dibantu melalui birokrasinya yang
merupakan alat dari kekuasaan raja yaitu para abdi dalem (pegawai kerajaan).
Dalam hal ini pepatih dalem (patih) merupakan orang nomor dua setelah raja,
baru kemudian diteruskan kepada kawula dalem (rakyat).15
Para abdi dalem juga bisa dimasukkan dalam golongan priyayi, mereka
mempunyai keyakinan dan nilai-nilai khusus dan berada di antara raja serta para
bendara di satu pihak dan tiyang alit di lain pihak. Mereka juga merupakan salah
satu unsur elit yang memerintah, karena elit ini terdiri atas dua kelompok, yaitu
aristrokrasi darah dan aristokrasi jabatan. Kawula atau rakyat kecil yang ingin
masuk dalam kelompok elit ini harus menjadi abdi dalem yang di-kawulawisuda
(diwisuda).16
Dalam perkembangan berikutnya secara berangsur-angsur para
priyayi murni berasal dari keluarga dan keturunannya.
Rakyat kecil yang ingin masuk menjadi priyayi harus melewati jalur suwita
dan magang. Suwita dimulai ketika anak masih berusia sekitar dua belas tahun,
dan dilaksanakan di rumah kerabat yang telah menjadi priyayi tingkat tinggi. Di
tempat yang baru itu anak yang suwita harus mau melakukan pekerjaan baik yang
kasar maupun yang memakai pikiran. Selain itu ia harus membiasakan diri dengan
keadaan setempat, belajar sopan santun yang berlaku dalam keluarga tempat ia
mengabdi. Ia juga harus banyak menimba macam-macam pengetahuan dalam
bidang artistik, terutama kesusastraan, tari dan gamelan.17
15
Ibid, hlm. 111
16 Darsiti Suratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939,
(Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 2000), hlm.247 17
Ibid, hlm. 248
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Bagi rakyat pada umumnya atau petani yang tidak mempunyai kerabat
Priyayi, biasanya menjumpai kesulitan dalam memperoleh keluarga yang dapat
dipakai untuk tempat suwita bagi anaknya. Tetapi seorang petani yang sangat
ingin agar anaknya dapat menjadi priyayi, dapat menggunakan hubungan patron-
klient sebagai alat untuk mencapai maksudnya itu. Cara menyampaikannya
dengan menggunakan lambang, misalnya pada waktu ia menyerahkan hasil sawah
yang digarap kepada patuhnya, ia menyerahkan pula beberapa pikul buah-buahan.
Hal ini mengandung maksud, bahwa buah-buahan tersebut sebagai timbangan
agar tuannya mau mengimbangi jerih payah hambanya, berarti tidak berkeberatan
menerima anak kliennya mengabdi kepadanya.
Waktu yang dipakai untuk suwita bagi tiap anak tidak sama, karena hal ini
tergantung pada ketekunan, kerajinan, kesetiaan, kejujuran dan kemampuan anak
yang mengabdi itu. Jika tahap suwita telah berhasil dilalui dengan baik, anak itu
mulai melangkah ke tataran berikutnya, yaitu magang. Oleh tuannya dikirim ke
salah satu bagian dalam struktur pemerintahan lokal atau keraton disertai surat
rekomendasi yang dibuatnya, di tambah dengan surat keterangan mengenai
silsilahnya. Pada umumnya penerimaan menjadi magang priyayi akan lebih
mudah, jika yang bersangkutan mempunyai keluarga yang telah menjadi priyayi.
Seorang yang dapat melampaui kedudukan suwita atau magang sehingga
diterima dalam tingkat berikutnya hal ini dikarenakan dia dianggap telah cukup
pengetahuannya dan telah berbuat banyak jasa bagi tuannya. Pada umumnya tuan
atau priyayi tempat anak suwita mengabdi, memberikan penilaian menggunakan
kriteria subjektif, sehingga perhatian hanya ditujukan pada perbuatan abdinya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
yang selalu menyenangkan hatinya. Maka dapat dikatakan hubungan antara tuan
dan anak yang suwita itu sangat pribadi, seakan-akan merupakan suatu ikatan
patron-klien yang mendalam.
Terjalinlah hubungan antara keluarga priyayi dan kerabat anak suwita yang
berada di pedesaan atau kerabat priyayi yang lebih rendah. Berbagai macam cara
untuk menyatakan jalinan hubungan itu dilakukan, setidak-tidaknya kerabat anak
yang suwita itu akan menjunjung nama baik keluarga priyayi itu. Kerabat anak
yang suwita merasa teruntungkan, karena mereka mempunyai harapan akan
adanya mobilitas vertical di dalam lingkungan kerabatnya.
Meskipun begitu seseorang dapat langsung diterima menjadi priyayi atas
seizin raja tanpa melalui prosedur biasa, bahkan ada yang langsung dapat
memperoleh pangkat mantri atau kliwon. Seorang yang langsung mendapatkan
pangkat kliwon berarti ia telah melampaui deretan jenjang kepangkatan jajar,
bekel, lurah, mantri dan panewu.18
Sedangkan sebagai abdi dalem dengan pangkat tertinggi yaitu Pepatih Dalem
(patih) sebagai orang nomor dua setelah raja, berkedudukan di pusat kerajaan dan
sebagai tangan pertama raja dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan
Kasunanan Surakarta dibagi dalam tiga bagian administrasi pemerintahan yang
terdiri atas :19
a. Reh Kepatihan, yaitu lembaga administrasi pemerintahan dibawah
kekuasaan patih, dimana patih berfungsi sebagai pejabat tertinggi dalam
hierarki birokrasi. Patih berfungsi sebagai wakil Sunan dalam bidang
18
Ibid, hlm. 258 19
Dwi Ratna Nur Hajarini, dkk, opcit, hlm. 111-112
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
pemerintahan, maka patih disebut sebagai rijksbestuurder artinya yang
memerintah Negara atau Mangreh Negara.
Reh Kepatihan sebagai lembaga administrasi pemerintahan, dalam
pelaksanaannya dibantu oleh para Bupati yang terbagi dalam Bupati
Nayaka (Bupati Pemerintahan) dan Bupati Pangreh Praja. Pelaksanaan
pemerintahan di pusatkan di Kuthagara, yang disebut Pemerintahan Bale
Mangu. Bupati Nayaka berjumlah delapan orang (Nayaka Wolu), dimana
yang menjadi Dewan Kerajaan adalah empat Bupati Nayaka Lebet dan
empat Bupati Nayaka Jawi.20
Para Bupati tersebut menerima perintah
langsung dari Patih. Bupati Lebet bertugas mengurusi urusan di dalam
istana (Parentah Keraton). Sedang Bupati Jawi bertugas menjaga
keamanan dan ketentraman kawula dalem di daerah Negara Agung.
Sedangkan untuk Bupati Pangreh Praja menguasai daerah territorial
ditingkat kabupaten sehingga untuk seluruh wilayah Kasunanan Surakarta
terdapat empat Bupati Pangreh Praja.
b. Reh Kadipaten Anom, berkedudukan sebagai kepala administrasi,
mengurusi kebutuhan para sentana dalem. Lembaga ini berada di bawah
kekuasaan Pangeran Adipati Anom.21
c. Reh Pangulon, bertugas mengurusi administrasi keagamaan yang secara
integrative di bawah pimpinan Pengulu Tafsir Anom. Penghulu Keraton
berfungsi sebagai penasehat raja. Khususnya ketika Raja mengambil
20
Ibid.
21 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
keputusan hukuman di pengadilan, dalam kedudukannya sebagai anggota
lembaga peradilan Surambi. Pegawai-pegawai yang membantu lembaga
Reh Pangulon disebut Abdi Dalem Pametakan.22
Dibawah lembaga Reh Kepatihan terdapat Bupati Pangreh Praja yang bertugas
sebagai penguasa tertinggi di tingkat kabupaten dibantu oleh Kliwon, Mantri
Kabupaten, Mantri Jaksa dan Penghulu. Pada tingkat Kabupaten, untuk jabatan di
tingkat distrik (kawedanan) di pegang oleh Panewu. Sedang yang memimpin di
tingkat kecamatan (onderdistrik) yaitu mantri onderdistrik. Tetapi pada
perkembangannya terdapat pergantian nama, untuk kepala distrik yaitu Panewu
diganti namanya menjadi Wedana sedangkan mantri onderdistrik diganti dengan
nama Asisten wedana. Ditingkat desa sendiri, untuk jabatan tertinggi disebut
Lurah yang dibantu oleh perangkat desa yang disebut Punggawa Desa.
Sebagai wilayah yang memiliki dua kekuasaan tradisional yang sama-sama
berkuasa atas daerahnya masing-masing tentu tidak lepas dari pengawasan
kolonial Belanda, terutama untuk Keraton Kasunanan Surakarta yang pada saat itu
adalah Penguasa utama dari sebagian besar Surakarta.
Pemerintah Kolonial Belanda tentu tidak lepas mengawasi jalannya
pemerintah di Kasunanan Surakarta dan juga Mangkunegaran, maka dari itu
mereka menempatkan seorang Residen untuk wilayah Surakarta, sedangkan di
tiap-tiap daerah yang dikepalai oleh Bupati ditempatkan seorang Asisten Residen.
Sehingga pemerintah Kolonial dapat mengawasi keseluruhan jalannya
22
Ibid, hlm. 113
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
pemerintahan Kasunanan. Struktur pemerintahan di Surakarta pada masa
Pakubuwana X digambarkan dalam skema berikut :
Bagan 1 : Struktur pemerintahan di Surakarta
Gouverneur --------------------------------------------- Raja Kasunanan
Residen / --------------------------------------------- Patih
Asisten Residen
Kontrolis/pengawas Bupati Pangreh Praja
Wedana
(Panewu)
Asisten Wedana
(Mantri Onderdistrik)
Punggawa Desa
Keterangan:
: garis Komando
---------- : garis Konsultasi
Sumber : Serat Wewatoning Para Abdidalem Ageng Alit Ing Nagari Jawi, tanpa
tahun. Surakarta: Arsip Mangkunegaran
Dari skema tersebut dapat dijelaskan bahwa sistem pemerintahan Kasunanan
Surakarta berada di bawah kekuasaan pemerintah Kolonial, yang berpengaruh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
langsung terhadap rakyat di Surakarta juga. Terlihat bahwa untuk menguasai
seluruh lapisan masyarakat di Surakarta, pemerintah Kolonial menggunakan
penguasa tradisional atau birokrasi tradisional dalam melaksanakan
kekuasaannya.
Sistem birokrasi seperti ini terus dipertahankan, hal ini karena penguasa
tradisional tidak merasa dijajah oleh pemerintah kolonial. Hal ini karena
pemerintah kolonial membiarkan penguasa daerah, yaitu para bupati untuk
menjalankan kekuasaannya berdasarkan otoritas tradisional. Selain itu sistem ini
mementingkan usaha ekonomi denga mengerahkan penguasa pribumi untuk
memungut hasil bumi dan jasa rakyat (pajak). Perkembangan birokrasi tradisional
di Jawa hingga awal pendudukan Jepang 1942 di Indonesia adalah dengan
dibentuknya elit birokrasi yang dinamakan Pangreh praja. Elit birokrasi ini
adalah kaum priyayi yang mempunyai kekuasaan dan kedudukan dalam birokrasi
tradisional.
Pada awal PB XI berkuasa, dalam menjalankan pemerintahannya hanya
melanjutkan struktur birokrasi yang sudah ada pada masa PB X, dimana raja
menduduki dan memiliki jabatan dengan kekuasaan tertinggi. Sedangkan urusan
pemerintahan dibagi menjadi dua yaitu pemerintahan istana (lebet) diserahkan
Reh kasentanan yang mengurusi adalah putra Sentana Dalem, sedangkan
pemerintahan kerajaan (Nagari=jawi) kepada reh kepatihan yang dpimpin oleh
Patih. Adapun birokrasi tersebut dapat diterangkan sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
1) Pemerintah Reh Kasentanan
Lembaga ini bertugas mengurusi Keraton dan seluruh keluarga raja, maka
pegawai-pegawai pada lembaga ini termasuk “Abdi Dalem Lebet” yang
bertugas di dalam urusan istana dan raja beserta keluarganya. Sedang “Abdi
Dalem” yang mengurusi lembaga di luar istana disebut “Abdi Dalem Jawi”
yang bertugas mengelola pemerintahan. Baik Abdi Dalem Lebet dan Abdi
Dalem Jawi dibagi dua kelompok, yaitu “Abdi Dalem Damel” dan “Abdi
Dalem Anon-anon” dimana Abdi Dalem Damel memimpin Abdi Dalem
Anon-anon.23
Abdi Dalem Damel pada pokoknya terbagi dalam 8 golongan, dan tiap
golongan dikepalai oleh seorang Bupati Nayaka. Sebagai Kondang (Wakil) adalah
Abdi Dalem Damel Bupati Anom. Ke delapan golongan tersebut adalah sebagai
berikut :24
a) Abdi Dalem Lebet, dibagi dalam empat kelompok menurut tugasnya yaitu
: “abdi dalem keparak kiwo” dan “tengen”, “abdi dalem gedong kiwo” dan
“tengen”. Abdi Dalem Keparak bertugas menangani urusan raja dan
keluarganya, sedangkan Abdi Dalem Gedong mengurusi masalah
pemerintah keraton yang berpusat di keraton.
b) Abdi Dalem Jawi menurut tugasnya dikelompokkan menjadi empat, yaitu
: Penumping, Bumi, Bumi Gede dan Sewu. Bawahan dari mereka ini ialah
Abdi Dalem Abdi Dalem Garap Nagari. Pusatnya di Kantor Kepatihan.
23
Radjiman, Sejarah Mataram Kartasura sampai Surakarta Hadiningrat
(Surakarta: Krida, 1984), hlm. 213-214.
24 Ibid, hlm. 214
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Kepalanya berpangkat Bupati dan sebagainya Kondangnya adalah Bupati
Anom.
Di luar kedua kelompok Abdi Dalem tersebut di atas, disebut Abdi Dalem
Anon-Anon yang mempunyai Kepala dan golongan sendiri-sendiri. Struktur
dalam Pemerintah Reh kasentanan sendiri secara garis besar terdiri atas 6 lembaga
yang dikepalai oleh Pembesar Parentah Keraton. Lembaga tersebut yaitu ::25
Lembaga yang mengurusi keluarga raja, yaitu raja, permaisuri,
garwa ampeyan (priyantun dalem) serta putra-putri raja.
Lembaga ini tergabung dalam kasentanan dipimpin oleh
seorang sentono, berkantor di Sasana Wilopo.
Lembaga yang mengurusi abdi dalem yang bekerja di dalam
istana (abdi dalem lebet). Lembaga ini tergabung dalam reh
kanayakan berkantor di kepatihan dan mengurusi pekerja
istana, kantor pangrembe mengurusi tentang siti dhusun dan
penerima pajak.
Lembaga yang mengurusi keuangan istana, mereka tergabung
dalam lembaga kas keraton yang dipimpin, oleh seorang bupati
gedong.
Lembaga yang mengurus adanya yayasan, rumah tangga istana,
perlengkapan istana dan kegiatan budaya keraton yang lain.
25
Ny. E. Sudarsi (Ed). Pawarti Surakarta. (Arsip Reksa Pustaka
Mangkunegaran: 1939) No. B. 262 hlm. 59-70
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Lembaga ini tergabung dalam reh parentah keraton dengan
dipimpin seorang Wedono.
Lembaga yang mengurus usaha-usaha di perkebunan, dipimpin
bupati pangrembe.
Lembaga yang mengurus tanah pamijen keraton dan bangunan-
bangunan di lingkunan istana. Lembaga ini juga termasuk
dalam lembaga harta benda dan dipimpin seorang abdi dalem
bupati pangrembe.
Sejak masa Pakubuwana X struktur lembaga ini tidak berubah karena lembaga
ini khusus mengurusi segala macam keperluan untuk anggota keluarga raja serta
kebutuhan yang menyangkut rumah tangga dalam istana saja.
2) Pemerintah Reh Kepatihan
Reh Kepatihan merupakan lembaga pemerintahan yang mengurusi
Kerajaan atau disebut Pemerintahan “Nagari” dimana kebijaksanaan raja
adalah “pemerintahan Nagari” itu sendiri yang berarti perintah raja bersifaf
mutlak. Sedangkan “Abdi Dalem” merupakan pembantu raja di bidang urusan
kerajaan, yang di pimpin oleh Patih. Mereka termasuk dalam Abdi Dalem
Jawi yang dipimpin oleh Patih sebagai wakil raja.
Sebagia wakil raja, patih diberi hak oleh raja untuk mengatur Negara dan
mengadakan hubungan dengan Negara lain. Sedangkan kedudukan Patih
dengan Gubernur atau dengan pihak Mangkunegaran adalah sederajat. Sebagai
pembesar pemerintahan kerajaan, patih mendapatkan wewenang dari raja
untuk membuat ketentuan-ketentuan. Meskipun patih memiliki kewenangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
untuk membuat aturan tetapi hal itu tidak lepas dari pengawasan raja dan
disetujui oleh residen Belanda.
Patih juga memiliki hak untuk menyelesaikan masalah dan menerima
pelimpahan wewenang dari raja. Pelimpahan wewenang ini terdapat dalam
surat raja, senin 24 Muharam Ehe 1868 atau pada tahun 1936 yang merupakan
instruksi terhadap patih. Adapun isi surat tersebut sebagai berikut 26
:
a) Melaksanakan segala peraturan yang berlaku.
b) Melaksanakan dan mengeluarkan dana untuk kemiskinan dan
kebutuhan mendadak, misalnya akibat bencana alam, kebakaran
dan lain-lain.
c) Mengatur pemerintahan kerajaan (nagari).
d) Mengangkat dan memerintahan Abdi Dalem berpangkat Panewu
ke bawah yang bekerja di pemerintahan kerajaan.
e) Lain-lain yang berhubungan dengan kesejahteraan, dan
ketentraman rakyat atau Kawulo Dalem.
Dapat disimpulkan bahwa Patih bukanlah pelaksana tunggal, tetapi
koordinator segala kegiatan pemerintah yang tidak bertentangan dengan
kebijaksanaan raja. Patih sering disebut juga “Leluhuring” para Abdi Dalem
Bupati Jawi, pelaksana pemerintahan kerajaan. Untuk kelancaran administrasi
pemerintahan, maka pemerintah kerajaan terbagi dalam beberapa bidang-bidang
26
Pawarti Surakarta, opcit, hlm. 67
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
kelembagaan. Pemerintahan kerajaan (kantor kepatihan) terbagi dalam tiga
kelompok bidang kerja yaitu sebagai berikut27
:
a) Golongan Sekretariat : Suratnya berkode A.
Bidang tugasnya adalah masalah kegiatan kerajaan, pengangkatan
dan pemberhentian abdi Dalem yang menangani kegiatan ekonomi
kerajaan, serta memimpin abdi dalem agraria.
b) Golongan pengelola Keuangan : Suratnya berkode B.
Bidang tugasnya meliputi administrasi keuangan kerajaan,
yayasan-yayasan yang ada, mengangkat dan memberhentikan abdi
dalem, keuangan dan kasti praja.
c) Golongan pengadilan dan pemerintahan : Suratnya berkode C.
Bidang tugasnya adalah masalah-masalah ketentaraan, kesehatan,
pendidikan dan bidang ekonomi (mata pencaharian, perundang-
undangan, abdi dalem pangreh praja).
Selain “Paprentahan Lebet” dan “Jawi” untuk melancarkan jalannya
pemerintahan secara keseluruhan masih ada suatu badan yang berfungsi dan
berstatus mendampingi raja. Badan tersebut dinamakan “Dewan Pertimbangan”,
macam-macam dewan sesuai dengan kebutuhan. Pada masa pemerintahan Paku
buwana XI terdapat 3 dewan yang mengurusi 11 macam bagian, dewan itu ialah:
Raad (dewan) Bale Agung
Raad (dewan) Keraton
Raad (dewan) Kepatihan
27
Ibid, hlm. 65
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
3) Pemerintahan Reh Pangulon
Di Kasunanan priyayi santri terdiri para pegawai kerajaan yang mengurus soal
agama. Mereka ini adalah “Abdi Dalem Pangulon” atau “Abdi Dalem
Pemethakan”. Abdi Dalem ini terdiri dari penghulu (bergelar Raden
Tumenggung), Katib, Ngulomodamel, Jakso, Ngulomomiji, Munzin, Mudarin,
Kabayan, Syarif dan Marbot.28
Abdi Dalem Pangulon mempunyai fungsi mengurus perkawinan dan warisan
antar bangsawan. Semua pegawai kerajaan dalam lingkungan abdi dalem
pangulon tergolong elite agama keraton. Di antara golongan mereka ini terdapat
kelompok sosial abdi dalem perdikan, mereka terdiri dari juru tebah, marbot dan
modin, selain itu mereka memelihara makam raja dan keluarga raja di luar kota
kerajaan. Pada masa pemerintahan PB XI bagian urusan agama Islam dan
pengadilan agama dijabat oleh para kerabat keraton Kasunanan.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya, abdi dalem memiliki tugas dan gelar
mereka masing-masing menurut Serat Wadu Aji sebagai berikut:29
a) Patih
Sebutan patih berarti parentah, yaitu yang berhak memerintah para
prajurit serta memiliki kekuasaan untuk menyempurnakan perintah raja
maupun menguasai segala peraturan negara. Peraturan itu akan
disosialisasikan kepada aparat bawahannya. Patih yang kedudukan atau
28
Soeyatno K, Kolonialisme Barat dan Kemunduran Raja-raja Surakarta
Abad XIX, (Surakarta :IKIP, 1972), hlm. 20
29 Subandi, “Serat Wadu Aji Nagian Gelar Tradisional Jawa ( Sebuah Kajian
Filologis)”, Skripsi, (Surakarta, UNS Press,1991), hlm. 98.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
kekuasaannya sebagai pemimpin para punggawa sehingga mendapat sembah
berulang kali karena merupakan mangkubumi seorang raja. Secara tatanan
istana pun dianggap orang tua yang dihormati; maka juga mendapat sebutan
raja diluar istana. Gelar jabatan atau pangkat patih dapat disandang oleh
keluarga raja atau orang biasa. Jika dijabat keluarga raja (misalnya cucu raja)
gelarnya Kangjeng Raden Adipati jika dijabat perempuan gelarnya Kangjeng
Raden Ayu Adipati. Masa jabatran patih antara 5 sampai 8 tahun dan
sesudahnya berhenti. Tentang penggantinya mendasarkan pada perilaku patih
dan pengabdiannya bukan karena keturunan.
b) Adipati
Sebutan adipati juga berarti pangagenging parentah, yaitu yang
mendapatkan kekuasaan atas perintah patih yang lebih menilai dan
menerapkan peraturan negara kepada bawahannya. Demikian pula menerima
segala perintah raja yang berhubungan dengan istana atau pemerintahan
maupun kehendak atasannya. Kekuasaan wewenang serta pekerjaannya
menjalankan semua pengadilan dengan benar, berbuat baik dengan bawahan
istana. Kehormatannya disembah oleh Pangeran, Hariya, dan saudara dekat
yang lebih muda usia-usianya kebawah, sedangkan adipati merupakan gelar
dibawah patih yang berhak menerima perintahnya serta menyebarkan kepada
bawahannya seperti bupati, wadana dan seterusnya.30
30
Ibid, hlm. 99.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
c) Senapati
Sebutan bagi orang yang atas kehendak raja dapat menerima kuasa atas
segala perintah atau kekuasaan raja, lebih menggeluti dalam keprajuritan,
taktik strategi perang maupun cerdik dalam melihat musuh negara, sehingga
dapat disebut pula bayangan dari seorang patih. Kewajiban senapati mengajar
perang, melatih para prajurit, menugaskan petugas sandi, waspada terhadap
peristiwa-peristiwa yang mengancam negara termasuk keselamatan diri raja,
serta menjaga prajuritnya.
d) Bupati
Sebutan bupati berarti bawahaning parentah, yang memiliki otonomi
bawahannya sendiri. Bupati berhak menerima perintah dari patih untuk
disebarkan pada lingkungan bawahannya. Dalam melancarkan tugasnya
bupati berpedoman pada perintah raja maupun patih, baik peraturan istana
maupun dalam menjaga keselamatan dan keluhuran kerajaan, bertanggung
jawab kepada raja atas kelancaran pemerintah di tingkat daerah maupun
keberhasilan mengerahkan hasil upeti kepada istana, menyelesaikan segala
persoalan yang dapat mengancam kewibawaan raja. Bupati dapat di jabat
oleh sentana dalem atau orang biasa.31
e) Tumenggung
Sebutan tumenggung yang berarti dhenggung atau tertindhih, yaitu orang
yang berhak memeriksa segala tindakan raja dan berkewajiban memeilhara
senjata milik raja.
31
Ibid, hlm. 101-102.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
f) Wadana
Wadana berarti pemuka atau pemimpin; yaitu yang berhak menjadi
perantara pekerjaan. Perantara pekerjaan yang dimaksud adalah antar pejabat
di lingkungan istana, seperti tumenggung dengan nayaka dan segala perintah
atasan yang dianggap perlu disampaikan kepada seluruh aparat istana. Di
bawahnya masih terdapat nayaka, hariya serta pejabat lainnya.
g) Nayaka
Nayaka berarti panunggul atau pangirit, yang berhak menjadi pimpinan
tentara, identik dengan pertahanan dan keamanan negara. Tugas lainnya
mengajar perang, melatih prajurit, mengarahkan dan member tugas kepada
para prajurit serta waspada terhadap peristiwa-peristiwa yang mengancam
dan merugikan negara32
.
Terdapat juga gelar khusus atau sebutan golongan lain, kekhususan ini
didasarkan pada pengertian dan stratifikasi sosial istana yang mencirikan
pada pembedaan gelar kebangsawanan dan gelar jabatan. Gelar khusus itu
dapat dibedakan menjadi gelar yang bersifat keagamaan (sebutan golongan
keagamaan) dan keprajuritan ataupun keprajuritan di tingkat bawah istana.
Gelar khusus yang bersifat keagamaan seperti; kiyai, pangulu, ngulama,
kaum dan santri, sedangkan gelar khusus yang bersifat kemiliteran atau
keprajuritan adalah panji, pakathik, pagundhal dan jajar. 33
Gelar jabatan atau kepangkatan tersebut tidak hanya dijabat oleh priyayi
atau orang yang masih memiliki darah keturunan atau kerabat raja, melainkan
32
Ibid, hlm. 104-105. 33
Ibid, hlm. 137.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
dapat pula dijabat oleh rakyat biasa. Rakyat kecil yang ingin masuk menjadi
priyayi harus melewati proses suwita34
dan magang.35
2. Birokrasi Praja Mangkunegaran
Berbeda dengan sistem birokrasi di Kasunanan, Mangkunegaran memiliki
kebijakan birokrasi tradisional seperti berikut ini:
a) Birokrasi menurut pangkat atau kekuasaan ialah susunan atau kepangkatan
dalam pemerintahan Praja Mangkunegaran mulai pangkat yang teratas sampai
terendah yang menunjukkan kekuasaan yang dipegangnya:36
1) Adipati (Kepala Trah Mangkunegaran)
Jabatan Adipati merupakan jabatan tertinggi dari birokrasi di
Mangkunegaran. Gelar ini hanya dimiliki oleh Kanjeng Gusti Pangeran
Adipati Arya Mangkunegoro. Adipati berkuasa atas semua wilayah praja
yang tugas-tugasnya dibantu oleh para pejabat di bawahnya.
2) Bupati Patih
Jabatan patih dipegang oleh seorang Bupati maka disebut Bupati Patih.
Kedudukan Bupati ini langsung di bawah dan diangkat oleh Adipati
Mangkunegoro. Bupati Patih bertugas sebagai pelaksana pertama perintah
Adipati.
34
Suwita atau ngenger, ngawula berarti mengabdi, menghamba. 35
Magang berarti calon; calon abdi dalem mengerjakan suatu pekerjaan,
namun tidak mendapat gaji. 36
Serat Wewatoning Para Abdi Dalem Ageng Alit Ing Nagari Jawi, tanpa
tahun, Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
3) Bupati
Bupati adalah jabatan yang menguasai suatu kadipaten. Mereka berada di
bawah koordinasi penguasa Bupati Patih Mangkunegaran.
4) Wedana
Wedana bertugas melaksanakan perintah dari Bupati secara operasional.
Wilayah kekuasaannya sering disebut Kawedanan.
5) Kaliwon
Kaliwon kedudukannya di bawah wedana, namun ia diangkat langsung
oleh Bupati. Tugasnya adalah meneruskan perintah dari Wedana kepada
pejabat di bawahnya.
6) Panewu
Panewu merupakan jabatan di bawah Kaliwon yang diangkat oleh Bupati
dan harus bertanggungjawab kepada Kaliwon. Daerah yang dipimpinnya
dinamakan Kapanewon.
7) Mantri
Mantri bertugas menyampaikan perintah dari Panewu kepada pejabat di
bawahnya.
8) Lurah
Lurah ini bertugas menerima perintah dari kadipaten yang diterimanya
lewat Mantri untuk diteruskan kepada pejabat di bawahnya. Di Praja
Mangkunegaran pangkat lurah ini dijabat oleh Demang dan Rangga.
Demang bertugas mengurus pekerjaan di tingkat desa yang menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
bawahannya. Sedangkan Rangga bertanggungjawab baik buruknya
wilayah bawahannya.
9) Bekel
Bekel bertugas meneruskan perintah dari Lurah kepada pejabat di
bawahnya. Dan Bekel juga bertanggungjawab atas baik buruknya
pelaksanaan tugas-tugas di desa.
10) Jajar
Jajar merupakan pangkat terendah dalam birokrasi dan pelaksana perintah
yang datang dari Bekel.
Para pegawai itu sebagian ada yang bertempat di dalam kota
Mangkunegaran dan sebagian ada yang berada di daerah atau desa. Adipati dan
Bupati Patih mereka berada di dalam istana. Bupati bertempat di kabupaten,
sedangkan Wedana, Kaliwon, Mantri, Lurah, Bekel dan Jajar berada di daerah
atau kelurahan, mereka merupakan pegawai yang dekat dengan rakyat.
Aparat birokrasi pemerintahan di bawah Bupati Patih sejak berdirinya Praja
ini hingga abad XX telah mengalami beberapa kali perubahan. Aparat-aparat
birokrasi pemerintahan di bawah patih terdiri dari empat pejabat pemerintahan
dengan nama Priyayi Punggawa. Tugas dan kewajiban para Punggawa itu
menjalankan pemerintahan yang berasal dari perintah Pangeran Mangkunegara,
seperti menerima pajak tanah, menerima kayu bakar dan sebagainya.37
37
Wasino, 1994, “Kebijakan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Studi
tentang Strategi Pemerintah Tradisional dalam Menanggapi Perubahan Sosial
Akhir Abad XIX-XX)”, Tesis. Yogyakarta: Pasca Sarjana UGM, hlm. 104-105.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Restrukturisasi birokrasi yang dilakukan merupakan pengaruh dari bangsa
Barat yang menjadi struktur organisasi yang berorientasi pada tugas dan
wewenang, sejalan dengan struktur organisasi Pemerintahan Hindia-Belanda.
Pengangkatan tenaga asing dalam bidang-bidang tertentu, seperti keuangan dan
ketatausahaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Bagan 2 : Struktur Pemerintahan di Mangkunegaran
Struktur Birokrasi Berdasarkan Pangkat
ADIPATI MANGKUNEGARA
PEPATIH DALEM
WEDANA
BUPATI
KALIWON
LURAH
MANTRI
BEKEL
JAJAR
Sumber: Serat Wewatoning Para Abdidalem Ageng Alit Ing Nagari Jawi,
tanpa tahun. Surakarta: Arsip Mangkunegaran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Selain itu ada juga birokrasi berdasarkan Jabatan (Lembaga) di
Mangkunegaran.38
Pembaharuan-pembaharuan dalam organisasi pemerintahan
pada masa Mangkunegara VII ditetapkan dalam Rijksblad no. 37 tahun 1917 yang
kemudian disusul dengan Rijksblad no.10 tahun 1923. Berdasarkan kedua
Pranatan dalam Rijksblad itu, maka ada beberapa perubahan dalam struktur
birokrasi dan jabatanjabatan yang ada di dalamnya.39
Jabatan ini merupakan nama-nama dari dinas-dinas perkantoran di Praja
Mangkunegaran. Jabatan lembaga itu meliputi :
1) Kabupaten Hamong Praja (Pemerintah Pusat)
Dinas ini langsung di bawah pejabat Bupati Patih. Kedudukannya sebagai
pemerintah pusat yang mengawasi semua kegiatan dalam praja. Dinas ini dibagi
menjadi tiga golongan yakni:
a. Kawedanan / Kantor Nata Praja
Tugasnya mengurusi surat-menyurat, membuat dan memeriksa undang-undang
peraturan praja. Di bawahnya terdapat beberapa kapanewon meliputi: Kapanewon
/ Kantor Hagnya Praja, bertugas mengurusi surat-menyurat; Kapanewon / Kantor
Reksa Wilapa, bertugas menerima, merawat dan menyerahkan semua surat-
menyurat pemerintahan praja; Kapanewon / Kantor Reksa Pustaka, bertugas
merawat buku-buku dan surat-surat milik Praja Mangkunegaran.
38
Honggopati Tjitrohoepojo, 1930, Serat Najakatama, Surakarta: Reksa
Pustaka Mangkunegaran, halaman 58-62
39 Rijksblad no.37 tahun 1917 dan Rijksblad no.10 tahun 1923. Surakarta:
Reksa Pustaka Mangkunegaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
b. Kawedanan / Kantor Niti Praja
Bertugas memeriksa harta kekayaan praja. Dinas ini meliputi:
Kapanewon / Kantor Niti Wara, bertugas memeriksa peredaran keuangan praja;
Kapanewon / Kantor Marta Praja, bertugas memeriksa kas praja; Kapanewon /
Kantor Karta Praja, bertugas mengurusi bidang pertanahan.
c. Kawedanan Reksa Hartana
Bertugas menerima dan mengeluarkan keuangan praja serta mengurusi
beasiswa dan dana pensiun para pegawai.
2). Kabupaten Pangreh Praja (Pemerintah Dalam Negeri)
Dinas ini berada di bawah pejabat Bupati Pangreh Praja. Bertugas menangani
kepangreh-prajaan dan kepolisian.
3). Kabupaten Mandrapura (Dinas Istana)
Berada di bawah pejabat kaliwon (Bupati Anom). Bertugas mengangani urusan
dalam istana (Pura Mangkunegaran).
4). Kabupaten Parimpoena ( Dinas Pasar)
Berada di bawah pejabat seorang Kaliwon, yang bertugas mengurusi bidang pasar.
Kabupaten ini pada awal pembentukannya berada di bawah Kabupaten Martapraja
sejajar dengan Kabupaten Martanimpoena.
5). Kabupaten Karti Praja (Pekerjaan Umum)
Kabupaten ini dikepalai oleh seorang Belanda dengan pangkat direktur. Tugasnya
mengurusi bidang pekerjaan umum di Praja Mangkunegaran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
6). Kabupaten Sindumarta (Bidang Irigasi)
Kabupaten ini dipimpin seorang inspektur yang berpangkat chef yang bertugas
mengurusi bidang pengairan. Mengurus waduk untuk sawah pertanian dan tanah
perkebunan.
7). Kabupaten Wanamarta (Kehutanan Mangkunegaran)
Dinas ini dikepalai oleh seorang Belanda yang berpangkat opperhoutvester
(kepala hutan), tugasnya mengurusi soal kehutanan. Kabupaten ini juga diawasi
oleh seorang pegawai yang disebut dengan controleur.
8). Kabupaten Yogiswara (Keagamaan)
Kabupaten ini dikepalai oleh sorang wedana (pengulu), yang bertugas mengurusi
bidang keagamaan. Wedana ini juga bertugas memimpin upacara keagamaan yang
diadakan oleh kerajaan.
9). Kabupaten Kartahusada (Perusahaan Mangkunegaran)
Dinas ini dikepalai seorang Belanda berpangkat superintendent yang bertugas
mengurusi perusahaan milik Praja Mangkunegaran.
10). Kabupaten Sinatriya
Dikepalai oleh seorang wedana yang bertugas mengurusi para putra sentana.
11). Pemerintahan Bidang Pertanahan
Dikepalai oleh seorang Kaliwon yang bertugas mengatur soal tanah.
12). Pemerintahan Kedokteran
Dikepalai oleh seorang dokter dengan sebutan Arts, bertugas menjaga kesehatan
bagi para putra dan narapraja.
13). Pemerintah Martanimpoena (Kantor Inspektur Pajak)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Dinas ini dikepalai oleh seorang Kaliwon yang tugasnya memeriksa dan
meningkatkan pemasukan uang dalam praja.
14). Pemerintah Legiun
Dinas ini dikepalai oleh seorang Letnan Kolonel dari bangsa Belanda yang
tugasnya mengurusi bidang keprajuritan.
Bagan 3. Struktur Birokrasi Berdasarkan Lembaga
1. Kabupaten Pangreh Praja
2. Kabupaten Mandrapura
I 3. Kabupaten Parimpoena
S
T 4. Kabupaten Karti Praja
A
N 5. Kabupaten Sindumarta
A 6. Kabupaten Hamong Praja
M
A 7. Kabupaten Wanamarta
N
G 8. Kabupaten Yogiswara
K
U
N 9. Kabupaten Karta Husada
E
G 10. Kabupaten Sinatriya
A
R 11. Pemerintah Bid. Pertanahan
A
N 12. Pemerintah Bid. Kedokteran
13. Pemerintah Martanimpoena
14. Pemerintah Legiun
Sumber: Serat Wewatoning Para Abdidalem Ageng Alit Ing Nagari Jawi, tanpa
tahun. Surakarta: Arsip Mangkunegaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Istana Mangkunegaran memiliki 14 (empat belas) kabupaten atau bidang yang
mempunyai pegawai dan tugas masing-masing. Mulai dari mengurusi kebutuhan
dalam istana sampai ke daerah di luar kota Mangkunegaran. Masing-masing
kabupaten itu memiliki struktur pegawai yang berada dalam istana sampai ke wilayah
bagian milik Praja Mangkunegaran. Para pegawai bertugas untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat, maka rakyat akan merasa diperhatikan oleh sang raja.
Sebagai timbal balik dari itu semua, rakyat akan patuh terhadap apa yang
diperintahkan oleh sang raja.
C. Kondisi Birokrasi di Surakarta Pada Awal Pendudukan Penjajahan
Jepang
Masa-masa terakhir penjajahan Belanda pada masa PB XI semakin mengikat
kekuasaan mereka atas Kasunanan. Ketentuan memilih penguasa pun harus seijin
dari Gubernur Jenderal, maka bagi mereka yang ditunjuk sebagai pengganti baik
kursi tahta maupun pada kepegawaian harus tunduk pada segala ketentuan pihak
Belanda. Belanda sangat menguasai hak politik pemerintahan yang seharusnya
dipegang oleh keluarga istana atau Kasentanan. Selain itu, Belanda mengerti
bahwa penggerak roda pemerintahan adalah Pepatih Dalem, maka dari itu
pengangkatan atau pun pemberhentian Pepatih Dalem harus melalui pesetujuan
pemerintah Belanda.
Pada akhir tahun 1942 sudah banyak pejabat Belanda yang kembali ke
negaranya dan jabatan mereka tidak ada yang menggantikan lagi karena Jepang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
mulai berkuasa di Surakarta. Di masa-masa pendudukan Jepang pegawai dari tiap
bupati Lebet dan Jawi tidak digunakan lagi karena terjadi efisiensi pegawai.40
Pemerintahan PB XI pada waktu penjajahan Jepang hanya memiliki
kepatihan, pemerintah Keraton dan beberapa saham pribadi.41
Sedangkan keraton
Kasunanan dalam bidang ekonomi sudah tidak memiliki kekayaan berharga lagi.
Karena tanah-tanah milik Kasunanan banyak yang telah disewa oleh perusahaan
sipil, dipinjam untuk industri ataupun dijual.
Jepang berhasil menduduki wilayah Surakarta pada 5 Maret 1942, dimana
kondisi sosial ekonomi di wilayah ini tidak stabil. Hampir semua kehidupan
ekonomi yang ada berhenti dan berubah menjadi ekonomi perang yang
disebabkan adanya aksi pembakaran ynag dilakukan oleh pemerintah Kolonial
Hindia Belanda. Sebelum penjajah Belanda meninggalkan Surakarta mereka
membentuk sebuah kelompok yang dinamakan corps Vernielling (penghancur),
dimana kelompok ini bertugas menghancurkan semua objek Belanda di Surakarta
agar tidak dapat dimanfaatkan oleh Jepang. Mereka membakar tempat-tempat
penting seperti tempat-tempat umum dan tempat-tempat produksi.
Lebih parahnya lagi Kasunanan pada akhir masa pemerintahan PB XI hanya
mempunyai dukungan militer sejumlah 600 orang prajurit saja, sedangkan
sebelumnya pada masa PB X memiliki 1000 orang prajurit. Keraton Tradisional
Jawa memiliki prajurit professional yang bagi masyarakat Jawa memiliki fisik
yang Sakti Mondro Guna, maka dari itu mereka memiliki posisi yang sangat
40
Fachry Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern,
(Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 69.
41 Kabar Paprentahan 1940. Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran No. B. 262
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
penting sebagai prajurit pelindung raja. Tentara Keraton adalah tentara milisi
meskipun keraton tetap memiliki pasukan regular dalam bentuk corps, setiap
corps memiliki nama yang diambil dari pahlawan legendaris Jawa. Para prajurit
ini banyak yang dibubarkan pada akhir masa pemerintahan PB XI yang di luar
adat-istiadat, efisiensi ini hampir terjadi pada semua corps. Prajurit yang
dipertahankan hanyalah prajurit yang khusus berhubungan demgan ritual
keagamaan, maka dapat disimpulkan bahwa dalam periode ini arti kesatrian
prajurit sudah menyusut dan beralih dari kekuasaan ke bentuk kebudayaan.
Keberhasilan Jepang menduduki Surakarta merupakan salah satu dari
keberhasilan di daerah lain di pulau Jawa. Keadaan ini membuat kedudukan
Belanda di bawah Gubernur Jendral Tjarda van Starkenborgh goyah dan akhirnya
menyerah tanpa syarat pada militer Jepang di bawah Letnan Jendral Hitoshi
Immamura pada tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati.
Tentara Jepang dalam menguasai Indonesia menempatkan tiga Komando
yaitu:
1. Pemerintahan Militer Angkatan Darat (Tentara ke-25) untuk Sumatera
yang berada di Bukit Tinggi.
2. Pemerintah Militer Angkatan Darat (Tentara ke 16), untuk Jawa, Madura
dan Bali yang berpusat di Jakarta (Batavia).
Kedua wilayah tersebut berada di bawah pimpinan Angkatan Darat
wilayah ke-7 dengan markas besarnya di Singapura.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
3. Pemerintah Militer Angkatan Laut (Armada Selatan Kedua) untuk daerah
yang meliputi Sulawesi, Kalimantan dan Maluku berkedudukan di
Makasar.
Pemerintahan sementara Jepang telah berakhir pada bulan Agustus 1942
kemudian digantikan dengan pemerintahan pendudukan. Dalam pemerintahan
pendudukan ini Jepang mengadakan reorganisasi struktur pemerintahan karena
tenaga pemerintahan sipil dari Jepang telah tiba. Pada waktu bala tentara Jepang
berkuasa, berdasar UU No. 1 tahun 1942. Pemeritahan daerah diatur dengan
Osamuserei No. 27 tahun 1942. Pergantian status pemerintahan tersebut ditandai
dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 27 Tahun 1942 tentang aturan
pemerintahan daerah dan Undang-Undang No. 28 Tahun 1942 tentang aturan
pemerintahan syu (karesidenan) dan tokubetsu syi (kotapraja istimewa).
Menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 1942, seluruh pulau Jawa dan
Madura kecuali Kochi Surakarta (Daerah Istimewa Surakarta) dan Kochi
Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta), dibagi menjadi Syuu (Karesidenan),
Si (Kota Praja), Ken (Kabupaten), Gun (Kawedanan/Distrik), Son (Kecamatan),
dan Ku (Desa/Kelurahan). Undang-Undang ini juga menghapus pembagian
pemerintahan pada masa Hindia Belanda yang terdiri atas tiga propinsi di Jawa.42
Masing-masing unit administrasi tersebut dipimpin oleh Syuchokan (kepala
daerah Syu, dahulu Resident), Sico (kepala daerah Si, dahulu Walikota).
42
G. Moedjanto. Indonesia Abad Ke 20 jilid I dari Kebangkitan Nasional
sampai l linggarjati. (Jakarta:Kanisius, 1998), hlm. 74-75
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Setiap Syuu dibagi menjadi beberapa daerah administrative yaitu :
1. Ken (Kabupaten), dengan pejabatnya Kentyoo
2. Gun (Kawedanan), dengan pejabatnya Guntyoo
3. Son (Kecamatan), dengan pejabatnya Sontyoo, dan
4. Ku (Kelurahan), dengan pejabatnya Kutyoo.
Surakarta sebagai daerah swapraja disebut dengan Kooti, sedangkan
kekuasaan dipegang oleh Raja dengan sebutan Solo Koo. Jabatan Patih dinamakan
Kentyoo, serta Wedana, Camat dan Lurah berturut dinamakan Guntyoo, Sontyoo
dan Kutyoo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Bagan 4 : Skema Struktur Pemerintahan pada masa Pendudukan Jepang
Gunsereikan
Solo Koo Syu Tyoo
Kochi Sumotyokan
Ken Tyoo
Gun Tyoo
Son Tyoo
Ku Tyoo
Sumber: Osamu sirei (tanpa tahun), arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran
Selang beberapa waktu terdapat penambahan dalam struktur pemerintahan ini,
yaitu dengan adanya lembaga pelengkap yang bernama Tonarigumi. Lembaga ini
berada di dalam Ku, sehingga merupakan lembaga terendah yang terdiri dari
persekutuan ketetanggaan (RT).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Surakarta dan Yogyakarta dijadikan pemerintah Jepang sebagai daerah
istimewa dengan nama Surakarta Kochi dan Yogyakarta Kochi. Kochi merupakan
kota dalam bahasa Jepang sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut kooti. Di
dalam terbitan berita pemerintah atau Kan Po yang terbit tahun 1942, istilah kooti
lebih sering digunakan daripada kochi. Kata kochi berasal dari bahasa Jepang
yang mempunyai arti otonom atau istimewa. Secara administratif kedudukan
kochi (daerah istimewa) setingkat dengan syu (karesidenan).
Penguasa daerah kochi disebut koo yaitu Surakarta Koo (kepala Surakarta
Kochi) dan Yogyakarta Koo (kepala Yogyakarta Kochi). Surakarta Koo itu sendiri
dibagi menjadi dua yaitu Solo Koo untuk penguasa Kasunanan dan
Mangkunagara Koo untuk penguasa Mangkunegaran. Jabatan Koo ini setingkat
dengan raja dalam istilah bahasa Indonesia. Kedudukan Surakarta dijadikan
sebagai daerah istimewa agar masyarakat Surakarta mau bekerjasama dengan
pemerintah baru dalam rangka membantu Jepang memenangkan perang Asia
Timur Raya.43
Terbentuknya Surakarta Kochi juga mempengaruhi jabatan Somu Chokan
(pepatih dalem/patih kerajaan). Jabatan tersebut pada saat pendudukan Jepang,
diangkat dan diberhentikan oleh Kochi Zimu Kyoku Chokan (Pembesar Urusan
Daerah Kerajaan).44
Dengan adanya hal tersebut maka pemerintah militer Jepang
43
Julianto Ibrahim, Makalah dalam Diskusi Wacana Pembentukan
Propinsi Daerah Istimewa Surakarta, (Semarang: Yayasan Putra Budaya Bangsa,
2010).
44 Ira Pramuda Wardani, 2000, ”Pembentukan Surakarta Kochi dalam
Birokrasi Tradisional Masa Pendudukan Jepang 1942-1945”, Skripsi Fakultas
Sastra dan Seni Rupa UNS, hlm. 56.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
di Surakarta Kochi di bawah pimpinan Kochi Zimu Kyoku Chokan dapat secara
langsung memberi perintah melalui Somu Chokan.
Pada masa pendudukan Jepang ini kedudukan Solo Koo dan Mangkunegara
Koo bersifat hubungan militer sehingga Susuhunan dan Mangkunagara dapat
diperintah melalui peraturan militer. Berbeda dengan pendudukan Belanda, kedua
penguasa tersebut adalah kepala kerajaan yang otonom dengan diatur berdasarkan
kontrak politik. Kontrak politik ini biasanya berisi tentang pengakuan terhadap
pemerintahan Hindia Belanda dan kesetiaan pada Ratu Wilhelmina di Belanda.
Corak pemerintahan dari pemerintah Hindia Belanda bersifat sipil sedang pada
masa pendudukan Jepang adalah gabungan antara militer dan sipil.45
Di samping perbedaan dalam penguasaan Surakarta, kedudukan Belanda
dan Jepang juga mempunyai persamaan dalam menduduki Surakarta.
Dijadikannya Surakarta sebagai daerah istimewa dan adanya sumpah setia pada
Ratu Belanda dan Kaisar Jepang merupakan persamaannya.
Dijadikannya Surakarta sebagai daerah istimewa tidak mempengaruhi dalam
pembagian administrasi pemerintahan namun sebaliknya, pembagian administrasi
pemerintahan Surakarta Kochi mengikuti pola pembagian daerah lain yang tidak
diistimewakan. Daerah Solo Kochi dan Mangkunagara Kochi setingkat dengan
syu (karesidenan) dan bersifat otonom. Setiap kochi membawahi daerah-daerah
Ken, Gun, Son dan Ku. Jumlah Ken, Gun, Son dan Ku di Surakarta Kochi sama
dengan kabupaten, kawedanan dan kapanewon/onderdistrik sebelum masa
pendudukan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, wilayah Kasunanan
45
Ibid, hlm. 70.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
mempunyai 4 ken atau kabupaten, 18 gun atau kawedanan dan 66 son atau
onderdistrik. Sementara itu wilayah Mangkunegaran memiliki 2 ken, 9 gun dan 41
son.46
Mengenai pemberian izin terhadap segala hal yang menyangkut hak
istimewa Susuhunan dan Mangkunagara masih diberikan meskipun pucuk
pimpinan kedua kerajaan tersebut berada di tangan Jepang. Misalnya saja gelar-
gelar tradisional atau gelar lainnya yang biasa dipakai di lingkungan kerajaan.
Beberapa saat setelah Jepang berkuasa PB XI wafat digantikan oleh puteranya
yaitu PB XII, yang kurang beruntung karena keadaan di luar maupun di dalam
keraton yang tidak stabil. Awal pemerintahan PB XII banyak terjadi perebutan
kekuasaan dalam penataan birokrasi. Hal ini karena pemerintahan pendudukan
Jepang tidak lagi melindungi perekonomian keraton. Selain itu Pemerintahan
Jepang tidak berniat membentuk corps pejabat Jepang untuk menggantikan jajaran
pejabat Belanda.47
Strustur birokrasi pemerintahan PB XII makin tidak berpola
dengan baik dan tidak tertata sesuai dengan tradisi yang telah ada.
Aparat pemerintahan masih meneruskan pemerintahan PB XI. Untuk seluruh
pegawai pada Abdi Dalem Jawi secara perlahan telah dibubarkan, walaupun
sebenarnya banyak bangsawan birokrasi yang ingin menjabatnya. Hal ini
berdampak besar banyak abdi dalem yang tidak lagi mendukung PB XII karena
dianggap tidak tegas dalam menjalankan pemerintahannya. Selain itu, secara
ekonomi Keraton Kasunanan mengalami krisis hal ini karena asset-aset
46
Suyatno Kartodirdjo, op.cit, hlm. 719.
47 Kedaulatan Rakjat, Januari 1943, koleksi Monumen Pers
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Kasunanan banyak yang dibakar oleh pemerintah Hindia-Belanda di akhir masa
penjajahannya.
Jepang melaksanakan propaganda agar Daerah Kochi bersedia bekerja
sama dalam memenangkan Perang Asia Timur Raya. Mengingat Jepang banyak
mengalami kekalahan melawan Sekutu maka pemerintah Jepang mendorong
pembentukan badan-badan yang merancang kemerdekaan Indonesia yaitu
BPUPKI dan PPKI. Surakarta sebagai daerah Kochi diikutkan dalam
keanggotaan BPUPKI dalam merancang UUD 1945. Anggota BPUPKI dari
Surakarta adalah Wongsonegoro, Wuryaningrat, Sosrodiningrat, dan Radjiman
Widiodiningrat. Pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 Soepomo memberi
penjelasan tentang Rancangan UUD 1945 yang dapat disimpulkan sebagai
berikut:
a. Jaminan kedudukan kooti dalam UUD 1945
b. Penghormatan pada daerah istimewa atau kooti dalam susunannya yang
asli.
c. Daerah zelfbesturende landscappen (kooti) dinyatakan sebagai daerah
bukan negara.
d. Penguasa kosoti setingkat gubernur.48
Akhir masa pendudukan pemerintah militer Jepang sebenarnya sudah mulai
menggejala pada tahun 1944. Perang di Asia-Pasifik melawan Sekutu dirasakan
semakin berat. Hingga pada tahun 1945 Jepang harus menyerah pada kekuatan
sekutu dengan di bumi hanguskannya dua kota besar di Jepang.
48
Julianto Ibrahim, op.cit, hlm 59.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
BAB III
DINAMIKA BIROKRASI MODERN DI SURAKARTA
Tersebarnya berita mengenai kekalahan Jepang terhadap Sekutu memberikan
perubahan yang besar kepada bangsa ini. Usaha tentara Jepang untuk
menyembunyikan tersiarnya berita kekalahan mereka ini ternyata dapat
digagalkan oleh para pemuda yang menyembunyikan radio untuk mendengarkan
siaran-siaran berita internasional yang dilarang pemerintah Jepang.
Semakin dekatnya kekalahan Jepang, membuat para aktivis politik di
Surakarta menyusun rencana kemerdekaan. M. Suprapto, seorang pemimpin
pergerakan politik pada tanggal 11 Agustus 1945 mengirim utusan untuk bertemu
Suyoko dan Suryopranoto dari perwakilan Asrama Menteng 31 dan Sutan Syahrir
di Jakarta supaya mengetahui langkah-langkah yang harus ditempuh.1 Di luar
dugaan, para tokoh di Jakarta menerangkan untuk bersabar menanti kepastian
kepulangan Sukarno dan Hatta dari markas tentara Jepang di Dalat, Vietnam.
Sepulang dari Jakarta, utusan tersebut singgah terlebih dahulu di Cirebon,
Pekalongan dan Semarang untuk memberitahukan informasi kepada tokoh-tokoh
politik lokal.2
1 Para utusan itu ialah A. Royis, Ismangunwinoto dan Marto Mulyono.
Panitia Pelaksana Pembangunan Monumen. Perebutan Kekuasaan dan
Pertempuran Kenpetai di Surakarta. (Surakarta : t.p. 1985)hal. 15
2 Jaringan ini berkaitan dengan Kromolawi yang berada di Pekalongan.
Kromolawi merupakan salah satu tokoh utama dalam Peristiwa Tiga Daerah.
Panitia Pembangunan Monumen., ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Keadaan yang serba tidak pasti ini ditanggapi oleh para aktivis di Surakarta
dengan membentuk Panitia Pelaksanaan Kemerdekaan (PPK) pada 15 Agustus
1945. Panitia ini diketuai oleh KRMTH Wuryaningrat dan beranggotakan para
tokoh politik di Surakarta yang sebagian besar kerabat Kasunanan bertujuan untuk
menghadapi segala kemungkinan yang akan datang dengan memberikan jaminan
kemerdekaan Indonesia tanpa sepengetahuan tentara Jepang.3
Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia mengumumkan
kemerdekaannya, hal ini menjadi tanda bahwa bangsa ini siap untuk hidup dengan
kaki sendiri. Maka dari itu sehari setelah pembacaan Proklamasi diadakanlah
rapat untuk mengukuhkan Undang-undang Dasar dan Pancasila sebagai pedoman
hidup bangsa Indonesia, serta menentukan Presiden dan wakil presiden sebagai
kepala Pemerintahan dan Negara. Ketika Proklamasi PPK memainkan peranan
penting dalam penghubung kekuasaan Jakarta dan Surakarta. PPK akhirnya
menjadi kekuatan utama politik di Surakarta dimana dirinya berkembang dan
meleburkan diri menjadi KNIDS.
A. Gerakan Anti Swapraja dan Dampaknya Bagi Birokrasi Tradisional
di Surakarta
Proklamasi kemerdekaan memberikan pengaruh mendalam bagi penduduk
Surakarta untuk melaksanakan partisipasi politiknya dalam suasana kemerdekaan.
Pada bagian ini akan diterangkan peristiwa sosial politik pada penduduk Surakarta
pada awal kemerdekaan.
3 Ibid, hlm. 92
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
1. Berdirinya Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) di Surakarta
Sidang PPKI yang berlangsung pada tanggal 19 Agustus 1945, memutuskan
tentang pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Setelah itu pada
tanggal 22 Agustus 1945 diadakan sidang KNIP yang membahas mengenai
pembentukan Komite Nasional di daerah-daerah yang disahkan melalui UU No.1
tahun 1945, maka dari banyak bermunculan tuntutan pembentukan KNID di
Surakarta sebagai bentuk dari Nasionalisme.
Pihak Kasunanan dan Mangkunegaran memang telah mengakui kemerdekaan
RI dan menyatakan bahwa kedua kerajaan berada di belakang Pemerintahan
Indonesia. Pakubuwana XII mengeluarkan maklumat tertanggal 1 September
1945 yang isinya menyatakan bahwa:
a) Beliau Pakubuwana XII dan Negeri Surakarta yang bersifat kerajaan
adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia yang berdiri di
belakang pemerintah pusat R.I
b) Segala kekuasaan di Surakarta adalah di tangan Susuhunan Surakarta,
maka kekuasaan yang tadinya diambil oleh penjajah kembali dengan
sendirinya setelah proklamasi kemerdekaan.
c) Kami menyatakan bahwa hubungan antara Surakarta dan pemerintah pusat
bersifat langsung.4
Maklumat Sri Sunan Paku Buwono XII tertanggal 1 September 1945
4 Maklumat Sri Susuhunan Pakubuwana XII, tanggal 1 September 1945.
Arsip Reksapustaka Mangkunegaran. Katalog Mangkunegaran VIII ,volume 2,
No. 376
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
menyatakan bahwa Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah
daerah istimewa dari negeri Republik Indonesia dan berdiri di
belakang pemerintah pusat negara RI. Maklumat yang disampaikan oleh pihak
Kasunanan tersebut ditanggapi oleh pemerintah pusat, pada tanggal 6 September
1945 pemerintah Republik Indonesia memberi piagam kedudukan kepada Sri
Susuhunan Paku Buwono XII yang merupakan bagian dari wilayah RI.
Piagam ini ditandatangani Soekarno tertanggal 19 Agustus 1945. Pada
pokoknya menetapkan Sri Paduka Paku Buwono XII dan Sri Paduka
Mangkunegoro VIII pada kedudukannya masing-masing dengan kepercayaan,
bahwa beliau-beliau itu akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, dan jiwa dan
raga untuk keselamatan daerahnya sebagai bagian dari pada Republik Indonesia.5
Adapun bunyi dari keputusan presiden adalah sebagai berikut:6
REPUBLIK INDONESIA
Kami, PRESIDEN REPUBLIK Indonesia, menetapkan:
Ingkang Sinohoen Kandjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono, Senopati Ing
Ngalogo, Abdurrahman Sajidin Panotogomo, Ingkang Kaping XII ing
Soerakarta Hadiningrat. Pada kedoedoekannja, dengan kepertjajaan,
bahwa Seri Padoeka Kandjeng Soesoehoenan akan mentjurahkan segala
pikiran, tenaga, djiwa dan raga oentoek keselamatan daerah Soerakarta
sebagai bagian dari pada Repoeblik Indonesia.
Djakarta, 19 Agoestoes 1945
Presiden Repoeblik Indonesia
ttd
Ir. Soekarno
5 Ibid. halaman 24.
6 Mawardi, Yuliani Sw. Dinamika Revolusi Sosial di Surakarta. (Sukoharjo:
Universitas Veteran Bangun Nusantara, 1995) Hal 34
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
REPUBLIK INDONESIA
Kami, PRESIDEN REPUBLIK Indonesia, menetapkan:
Kandjeng Goesti Pangeran Adipati Arjo Mangkoenagoro, Ingkang Kaping
VIII. Pada kedoedoekannja, dengan kepertjajaan, bahwa Seri Padoeka
Kandjeng Soesoehoenan akan mentjurahkan segala pikiran, tenaga, djiwa
dan raga oentoek keselamatan daerah Soerakarta sebagai bagian dari pada
Repoeblik Indonesia.
Djakarta, 19 Agoestoes 1945
Presiden Repoeblik Indonesia
ttd
Ir. Soekarno
Pengakuan kedaulatan Kasunanan untuk daerah Surakarta oleh Presiden tidak
serta merta memberikan kepastian kedaulatan dan kekuatan politis kerajaan.
Walaupun para raja dan elit politik tingkat nasional menyetujui dengan
diberlakukannya daerah istimewa, elit politik lokal tetap merupakan batu
sandungan bagi konsolidasi kekuasaan kerajaan. Penolakan para aktivis serta
politisi di Surakarta terutama barisan perjuangan dan laskar rakyat menyebabkan
melemahnya kontrol keamanan oleh pihak kerajaan terhadap daerahnya.
Meskipun begitu tidak ada upaya dari kedua kerajaan dalam membantu
penyerahan kekuasaan dari Jepang. Tetapi kedua kerajaan dirasa lamban dalam
membantu menegakkan kekuasaan Republik serta melucuti senjata dari tentara
Jepang, sehingga pemerintah akhir nya membentuk Komite Nasional Daerah di
Surakarta demi memperlancar hal tersebut. Adapun tujuan dari pembentukan
Komite Nasional di daerah-daerah ialah:
1) Melucuti tentara Jepang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
2) Memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNID.7
Berdasarkan hal tersebut pembentukan Komite Nasional diharapkan agar
secepat mungkin melakukan tugasnya dalam rangka penegakan kedaulatan
republik. Akan tetapi permasalahan utama dari pembentukan komite ini ialah
keberadaan tentara Jepang yang memang diserahi urusan penjagaan keamanan
dan status quo oleh Sekutu. Tentara Jepang tersebut merupakan kekuatan tempur
yang sangat kuat mengingat lengkapnya persenjataan yang dimiliki oleh mereka.8
Kedatangan Mr. Maramis dan Mr. Sartono di Surakarta pada tanggal 9
September 1945 adalah suatu langkah intensif yang ditunjukkan oleh pemerintah.
Selang dua hari dari kedatangan mereka tersebut, diadakanlah rapat yang
dipimpin oleh Mr. Sartono di Pendopo Wuryaningrat. Hasil dari rapat ini adalah
dengan disepakatinya pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta
(KNIDS) yang merupakan pengembangan dari PPK.9
Pada tanggal 11 September 1945 diadakan rapat di pendopo Wuryaningratan
(sekarang Jl. Slamet Riyadi No. 227). Pada kesempatan ini disepakati untuk
membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta (KNIDS) yang
menguasai seluruh wilayah Surakarta yaitu daerah kerajaan Surakarta dan
Mangkunegaran dan merangkap sebagai pemerintahan umum di kota Surakarta.
7 Djawatan Penerangan Kota Besar Surakarta, Kenang-kenangan Kota Besar
Surakarta, 1945-1953. (Surakarta: t.p. , 1953), hlm. 2-3.
8 George McTurnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik,
Nasionalisme dan revolusi di Indonesia, (Surakarta: UNS Press, 1995). hlm. 186
9 Dibentuknya KNIDS maka terlihat sikap mendua dari pemerintah. Karena
pada saat yang bersamaan pemerintah mengesahkan pihak kerajaan sebagai
lembaga kekuasaan resmi namun juga menunjuk KNIDS untuk mengambil alih
kekuasaan Jepang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Sejak dibentuknya KNIDS, maka untuk sementara menggantikan kepemimpinan
lokal di Karesidenan Surakarta.
Pada perkembangannya pembentukan KNIDS menuai kontroversi dari
berbagai pihak, terutama dari kedua kerajaan baik Kasunanan maupun
Mangkunegaran. Ketua KNID Surakarta yaitu Mr. Soemodiningrat (ipar
Susuhunan) adalah seorang bangsawan yang pernah menjabat opsir dalam
pasukan PETA merangkul beberapa orang untuk menjadi anggota KNID
Surakarta dengan tujuan dapat merangkul semua pihak dari berbagai kalangan,
orang – orang tersebut adalah Soeprapto, H. Moefti, GPH Suryohamijoyo, KRT.
Mangundiningrat, Sutopo Hadi Saputro, I. J. Kasimo, Mulyadi Joyomartono dan
Suyono.10
Program yang ditetapkan pada waktu itu adalah melucuti senjata tentara
Jepang dan memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang di Surakarta ke tangan
KNI daerah Surakarta.11
Tanggal 1 Oktober 1945 KNID Surakarta yang dipimpin oleh Mr
Soemadiningrat berhasil memaksa pembesar-pembesar Jepang di bawah pimpinan
H. Watanabe untuk menyerahkan kekuasaan pemerintahannya kepada KNI.
Peristiwa ini terjadi di Balai Kota dan disaksikan oleh beribu-ribu masyarakat
Surakarta. Kantor yang dinamakan dengan nama Jepang diganti nama dengan
10
Pelaksana Pembangunan Monumen., op. cit. hlm. 25. Keanggotaan
KNIDS terdiri dari dua latar belakang politik yaitu dari kalangan rakyat dan
Kasunanan. Anggota Kasunanan ialah GPH Suryohamijoyo (putra Pakubuwono
X), KRT. Mangundiningrat, I. J. Kasimo. Tidak ada satu pun kerabat
Mangkunegaran yang menjadi anggota KNID Surakarta.
11 Tim Penyusun. Buku Kenang-kenangan Perjuangan Rakyat Surakarta
Dari Zaman ke Zaman. (Surakarta, 1973), hlm. 21-23.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
KPPRI ( Kantor Pusat Pemerintahan Republik Indonesia). Nama ini dipandang
kurang tepat, kemudian diganti dengan KDPRI (Kantor Daerah Pemerintahan
Republik Indonesia.). Setelah pemindahan pemerintahan berhasil dilakukan, maka
KNI Daerah berusaha untuk melaksanakan tugas keduanya yaitu melucuti senjata
tentara Jepang. Hal ini ditindak lanjuti dengan melucuti senjata tentara Jepang.
Tanggal 19 Oktober 1945 Pemerintah Pusat mengangkat R.P Soeroso
menjadi Komisaris Tinggi yang menjadi penghubung antara daerah-daerah
Istimewa Surakarta dan Yogyakarta yang berkedudukan di Surakarta. R.P Soeroso
dalam tugasnya adalah sebagai Koordinator dari kedua pemerintahan Swapraja
Kasunanan dan Mangkunegaran yang memiliki kekuatan hukum seperti tertera
dalam UUD 1945 Bab VI Pasal 18 hal pemerintahan Daerah.
Berkenaan dengan hal tersebut maka tidak mustahil jika kemudian timbul
perselisihan tentang siapa yang berhak memerintah, apakah KNI daerah atau
pemerintahan Swapraja yang membuat adanya dua pemerintahan di Surakarta.
Melihat adanya dualisme pemerintahan di daerah Surakarta tersebut,
Pemerintah pusat segera mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 19 Oktober
1945 Pemerintah Pusat mengangkat R.P Soeroso menjadi Komisaris Tinggi
Daerah Surakarta dan Yogyakarta, yang berkedudukan di Surakarta. Dalam
pertemuan yang pertama tokoh-tokoh di Surakarta, R. P Soeroso selaku Komisaris
Tinggi menjelaskan bahwa beliau hanyalah sebagai wakil Pemerintah Pusat yang
akan menjadi sarana forum koordinasi antara Pemerintah Kasunanan Surakarta
dan Mangkunegaran. Lalu agar hanya ada satu pemerintahan, Komisaris Tinggi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
itu menyetujui keputusan dari Badan Pekerja KNID Surakarta untuk membentuk
suatu badan Pemerintah Direktorium.12
Dibentuknya Pemerintahan Direktorium membuat pergeseran kekuasaan dari
kekuasaan Pemerintahan Kasunanan dan Mangkunegaran serta KNID Surakarta
menjadi Pemerintahan Direktorium yang melaksanakan prinsip Collegaal
Bestuur. Kelompok Swapraja tidak mendukung terbentuknya Pemerintahan
Direktorium, hal ini karena menurut pihak Kasunana Surakarta, kekuasaan
Direktorium hanyalah meliputi kekuasaan yang dulunya dipegang oleh Tyookan
Jepang, seperti ketentaraan, kepolisian, dan sebagian urusan ekonomi. Sedangkan
dalam pelaksanaan perekonomian tetap masih di jalankan oleh pemerintah
Kasunanan dan Mangkunegaran. Selain itu, tiga orang anggota Diretorium yaitu
Ronomarsono, Mohammad Dasoeki dan Djoewadi adalah orang-orang yang
berasal dari golongan kiri dan bekas orang hukuman dari Digul.13
Dengan
masuknya tiga orang anggota itu dikhawatirkan akan menyebabkan kerugian-
kerugian dipihak daerah Surakarta yang bersifat istimewa karena tiga orang
tersebut dikenal sebagai orang-orang yang tidak menyetujui adanya daerah
istimewa.
Kondisi ini diperparah dengan adanya pertentangan antar golongan yang
mendukung tetap berlangsungnya Pemerintahan daerah Istimewa, yang disebut
12
Sri Juari Santosa, Suara Nurani Keraton Surakarta: Peran Keraton
Surakarta dalam Mendukung dan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, (Yogyakarta: Komunitas Studi Didaktika, 2002), hlm. 33
13 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
golongan pro-swapraja, dan golongan yang menentang berlangsungnya
Pemerintahan Daerah Istimewa, dinamakan golongan anti swapraja.
2. Gerakan Swapraja di Surakarta
Kelompok-kelompok atau kelas-kelas sosial dalam masyarakat mudah
menjadi basis timbulnya konflik-konflik sosial politik. Kelas-kelas sosial ini dapat
mendasari pertentangan, pergolakan maupun konflik yang cenderung bersifat
menonjolkan primordialisme dan faksionalisme. Unsur kepentingan kelas atau
kelompok sering mempengaruhi jalannya suatu peristiwa sejarah yang terjadi.
Konflik-konflik sosial politik pada masa revolusi dapat muncul antara kaum
konservatif dengan progresif, sosialis-komunis dengan nasionalis-agama, politisi
dan militer, kaum tua dan kaum muda, dan aristokrat feodal dengan demokrasi
kerakyatan. Dalam pola atau struktur konflik itu, ideologi juga berperan penting
untuk mempertajam jurang perbedaan dan kepentingan antar kelompok yang
bertikai.14
Konflik sosial politik di daerah Surakarta sebenarnya telah ada sejak awal
kemerdekaan. Kevakuman kekuasaan pada awal revolusi mengundang terjadinya
konflik kepentingan kelompok yang ada. Hukum sebab akibat berlakulah teori,
ada aksi menimbulkan reaksi. Sejak ditetapkannya Surakarta sebagai Daerah
Istimewa atau Swapraja oleh pemerintah RI di pusat pada 19 Agustus 1945, maka
segera timbul reaksi dari para pejuang kemerdekaan di Surakarta dari berbagai
kelompok. Ketetapan tersebut yang kemudian diperkuat oleh adanya maklumat
14 Suyatno Kartodirdjo., Revolusi Nasional di Tingkat Lokal, (Jakarta:
Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1989), hlm. 47.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
raja di Surakarta tertanggal 1 September 1945 tentang seruan kepada seluruh
penduduk Surakarta untuk loyal menerima ketentuan status Daerah Istimewa bagi
kedua kerajaan di Surakarta itu. Hal ini tampaknya dianggap bersifat bertolak
belakang dengan semangat kemerdekaan atau revolusi.
Sejak awal 1945 secara nyata mulailah periode konflik sosial politik, berupa
gerakan-gerakan anti-Swapraja untuk menghapus Daerah Istimewa, gerakan
untuk mengganti Susuhunan Pakubuwono XII, dan gerakan untuk merubah
peraturan Daerah Istimewa/ Swapraja yang tidak cocok dengan zamannya.15
Gerakan-gerakan ini juga berdampak luas, misalnya perebutan pengaruh,
penculikan, dan insiden bersenjata.
Daerah Surakarta berkali-kali didatangi Menteri Dalam Negeri, Dr. Sudarsono
untuk menemui Paku Buwono XII. Tujuannya tidak lain untuk menciptakan
stabilitas di Surakarta secara sosial politik. Pada suatu pertemuan dengan Menteri
Dalam Negeri tersebut seorang bangsawan kraton Surakarta, Woeryaningrat
selaku “Bupati Nayaka”, mengusulkan suatu pendapat yang menyangkut
persoalan Daerah Istimewa itu. Pertama, agar Daerah Istimewa dipegang oleh
Pemerintah Pusat, bila sudah ada peraturan yang mengatur Daerah Istimewa,maka
dikembalikan seperti semula. Kedua, gerakan-gerakan yang disebut ”revolusi
sosial” agar diberi pengertian bahwa gerakan tersebut memperlemah persatuan
dan kesatuan untuk menghadapi musuh dari luar yang ingin menjajah bangsa
Indonesia, usul inimditolak Dr. Sudarsono.16
Akhirnya di kemudian hari timbul
15
Suara Merdeka, 20 Februari 1983
16Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
berbagai peristiwa revolusioner di Surakarta akibat suhu revolusi yang terus
memanas yang sulit dikendalikan.
Pada 15 April 1946 terjadi penculikan-penculikan, terutama dilakukan
oleh kesatuan-kesatuan kelaskaran dan pemuda-pemuda militan. Penculikan
terhadap pepatih dalem dan wakilnya di Kasunanan, sehingga kekosongan jabatan
ini diisi Woeryaningrat yang diangkat Paku Buwono XII, berstatus pejabat ”Ymt”
atau sementara. Selain itu banyak pegawai ditahan dan selanjutnya menimbulkan
ketakutan pegawai lainnya sehingga banyak yang memutuskan untuk
mengundurkan diri.
Penculikan lain ditujukan kepada R. Mulyadi Joyomartono (eks Peta) dan
wakil ketua KNID Surakarta, dengan alasan karena dianggap kurang tegas. Di
lingkungan keluarga keraton juga diculik, misalnya Kanjeng Ratu Paku Buwono
(Ibu Sri Paku Buwono XII), Ray. Sunami (kerabat Istana Mangkunegaran), R.
Sukarjo Wiryopranoto (eks anggota Volksraad), Duta Besar RI di Vatikan dan
RRC yang datang dari luar Surakarta. Mereka diculik dan ditempatkan di
Kandang Menjangan, Kartosuro. Mereka diculik dengan tuduhan sebagai mata-
mata Belanda. Setelah Sudiro menjadi wakil Residen Surakarta, mereka
dibebaskan.17
Komandan Pasukan Intel 0001, Zulkifli Lubis dan beberapa orang
pengawalnya diculik kemudian ditempatkan di Gembongan, Kartosuro. Sudiro
memerintahkan Barisan Banteng untuk membebaskan mereka, tetapi harus
17 Karkono Kamajaya., Revolusi di Surakarta, Makalah Temu Ilmiah,
(Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 1993), hlm. 12.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
memenuhi syarat tidak boleh menginjakkan kaki di Surakarta sebelum persoalan
swapraja dapat diselesaikan.18
Pada 1 Mei 1946 Mangkunegoro VIII mengeluarkan pengumuman bahwa
Mangkunegoro adalah sebagai Kepala Distrik Khusus Mangkunegaran yang
berada di bawah langsung Presiden RI. Berdasarkan pada pengumuman itu berarti
daerah Mangkunegaran tetap dipertahankan pihak konservatif sebagai swapraja.
Status ini tidak ingin terjadi perubahan, apalagi yang bertentangan dengan
kepentingan golongan konservatif itu.
Hal itu mempertajam timbulnya gerakan anti-swapraja atau revolusi sosial.
Gerakan revolusioner muncul di Surakarta untuk menentang keinginan golongan
konservatif tersebut. Sebagai langkah awal dari kaum revolusioner mengadakan
rapat besar pada 9 Mei 1946 yang dihadiri oleh 36 organisasi politik yang
dipimpin Dr. Muwardi.19 Tujuan rapat besar ini untuk membentuk dengan segera
badan legislatif secara demokratis dan melalui pemilihan langsung untuk
menentukan anggotanya. Pada kesempatan itu pihak konservatif di Surakarta,
Susuhunan dan Mangkunegoro mendapat kritik keras dari mereka. Akibatnya Dr.
Muwardi beserta 11 tokoh politik lainnya ditangkap unsur tertentu, yang juga
termasuk ditangkap ialah anggota KNID Surakarta.
Dengan ditangkapnya para tokoh progresif tersebut, maka sebagai
rentetannya, di Surakarta segera timbul demonstrasi-demonstrasi pada 28 Mei
18
Ibid.
19 Mawardi, Dinamika Revolusi Sosial di Surakarta, (Sukoharjo:
Universitas Veteran Bangun Nusantara, 1995), hlm. 53.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
1946 yang dilancarkan secara bersama untuk menentang aksi penangkapan
tokoh- tokoh rakyat itu. Para pelaku demonstrasi berasal dari kelompok Barisan
Banteng, Hizbullah, dan Polisi Khusus.
Bulan April dan Mei 1946 rupanya cukup panas suasana politik di Surakarta
terutama dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat itu.
Pada satu sisi gerakan anti-swapraja berkembang luas hingga ke masyarakat
desa. Misalnya tindakan badan-badan pekerja KNID, Surakarta maupun daerah-
daerah luar kota, berusaha melepaskan diri dari kekuasaan swapraja Surakarta
yang diikuti berbagai kesatuan perjuangan lainnya. Di Klaten,
Badan Pekerja KNI yang didukung sekitar 60 organisasi misalnya PBI,
BTI, Laskar Rakyat, Laskar Buruh, Pesindo, Barisan Banteng, Masyumi,
Hizbullah, GPII, Parkindo, dan Pangreh Praja lokal menyatakan keputusan untuk
membentuk pemerintahan rakyat, terlepas dari swapraja Kasunanan.20 Demikian
pula daerah Karanganyar dan Wonogiri melepaskan diri dari swapraja
Mangkunegaran. Kota Surakarta dan pihak Kepolisian Daerah Surakarta juga
menyatakan diri terlepas dari swapraja, pihak kepolisian menjadi Kepolisian
Republik Indonesia.21 Namun demikian di sisi lain pihak swapraja
tampaknya tetap bertahan dengan pendiriannya untuk mempertahankan status
keistimewaannya. Berkenan dengan itu daerah Sragen juga melepaskan diri.
Konflik-konflik di Surakarta dipertajam pula dengan adanya kelompok
20
Ibid.
21 Wisnu Widodo, Surakarta Genap 41 tahun: Pada Awal kemerdekaan RI
pernah menolak sebagai Daerah Istimewa, Suara Merdeka, 16 Juni 1987.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
oposisi. Kelompok ini menempatkan diri sebagai oposan pemerintah RI pusat.
Pada permulaan tahun 1946 Perdana Menteri Syahrir merintis perundingan
diplomatis dengan Belanda. Pihak Persatuan Perjuangan (PP) yang dipimpin Tan
Malaka dengan beberapa tokoh pendukungnya, Mr. Iwa Kusumasumantri, Mr.
Muhammad Yamin, Mr. Achmad Soebarjo, Chaerul Saleh, Sukarni, Adam Malik
menuntut agar kabinet Syahrir segera dibubarkan. Namun demikian tuntutan PP
tidak diterima Soekarno-Hatta.
Oleh karena itulah kemudian terjadi konflik di pusat pemerintahan RI yang
ketika itu telah berada di Yogyakarta dan selanjutnya menjalar ke Surakarta.
Seperti diketahui bahwa PP yang dipimpin Tan Malaka merupakan kelompok
oposisi yang cukup besar pengaruhnya dalam lingkungan sipil maupun militer
dengan program-programnya yang radikal.22
Pada bulan Juni 1946 ketegangan politik di Surakarta menimbulkan aksi
penculikan terhadap tokoh-tokoh Pemerintah RI. Pada 27 Juni 1946 malam,
Perdana Menteri Syahrir beserta rombongannya yaitu Dr. Sudarsono (Menteri
Dalam Negeri), Ir. Darmawan Mangunkusumo (Menteri Kemakmuran), Mr.
Maria Ulfah (Sekretaris Kabinet), yang baru saja dari perjalanan ke Mojokerto
dan kemudian menginap di Javasche Bank Surakarta diculik oleh Mayor AK.
Yusuf atas dasar surat tugas dari Mayor Sudarsono.23
Penculikan terhadap
Syahrir dan kawan-kawannya ini terdengar hingga ke Jawa Timur, akhirnya
22 Taufik Abdullah dkk, Manusia dalam kemelut Sejarah, (Jakarta: LP3ES,
1983), hlm. 165. 23 Karkono Kamajaya, op.cit., hlm. 16.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
kelompok Pesindo Jawa Timur (pendukung Syahrir) menyerbu Surakarta dan
menduduki kantor di depan Javasche Bank tersebut dan Markas Polisi
Tentara. Namun mereka tak kuasa apa-apa karena penculiknya adalah Mayor
AK. Yusuf. Perdana Menteri Syahrir dan rombongannya kemudian dibawa ke
Pesanggrahan milik Sunan di Paras Boyolali.
Selain itu di Kantor Pemerintahan Rakyat dan Tentara pada 28 Juni
ternyata kosong. Pemimpin-pemimpin pemerintahan ini diamankan di Resimen
XXV jalan Jebres yang dipimpin Suadi Suromiarjo. Adanya perintah Presiden
Soekarno untuk segera mengembalikan Perdana Menteri Syahrir melalui RRI
akhirnya para pemimpin pemerintahan itu baru meninggalkan resimen XXV
untuk pulang ke rumah masing-masing. Soekarno juga mengumumkan ”Negara
dalam keadaan Darurat Perang” dan menyerukan agar Syahrir segera
dikembalikan para penculik. Untuk sementara waktu pemerintahan diambil alih
Presiden Soekarno.
B. Terbentuknya Birokrasi Modern Di Surakarta
1. Pemerintahan Karesidenan Surakarta
Komitmen pemerintah untuk menjadikan Surakarta menjadi daerah istimewa
ditunjukkan dengan diangkatnya Panji Suroso tanggal 19 Oktober 1945 sebagai
komisaris tinggi untuk Surakarta yang bersifat istimewa. Suroso membentuk
direktorium untuk mengatasi double bestuur di Surakarta dengan diketuai
Sunan PB XII, wakil Mangkunegoro VIII, dan anggota 5 orang KNID
Surakarta. Suroso berharap sebagai daerah istimewa, kekuasaan dipegang oleh
pihak kraton.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Pada tanggal 27 November 1945 Suroso membentuk Panitia Tata Negara
yang bertugas menyusun peraturan tentang Daerah Istimewa Surakarta. Peraturan
Daerah Istimewa Surakarta dibicarakan oleh pihak Kasunanan, Mangkunegaran
dan 27 organisasi di Surakarta baik laskar rakyat, organisasi kemasyarakatan, dan
organisasi politik (representatif untuk mewakili masyarakat Surakarta).24
Daerah Istimewa atau Swapraja di Surakarta mengundang banyak pro dan
kontra. Kelompok-kelompok yang mendukung adanya pemerintahan Swapraja
sebagian besar anggotanya berasal dari kelompok bangsawan yang memegang
kedudukan pada jabatan di Kerajaan. Kelompok-kelompok yang mendukung
adanya Swapraja antara lain : a) Narpowandowo, b) Pakempalan Kawulo
Surokarto, c) Pemuda Trah Surakarta, d) Dewan Pamong Kerabat Surakarta, e)
Legiun Mangkunegaran, f) Pakempalan Kerabat Mangkunegaran. Kelompok ini
terus melakukan kampanye yang menyerukan untuk mempertahankan Swapraja di
Surakrta, selain itu mereka juga mengadakan rapat raksasa. Seperti yang terjadi
tanggal 28 Mei 1946 diadakan rapat raksasa di lapangan Giriwojo Kapanewon
Giriwojo. Rapat tersebut dihadiri oleh berbagai kalang masyarakat juga para saksi
dari kelompok anti Swapraja.25
24
Julianto Ibrahim, Makalah dalam Diskusi “ Wacana Pembentukan
Propinsi Daerah Istimewa Surakarta”, (Semarang: Yayasan Putra Budaya Bangsa,
16 Januari 2010)
25 Para saksi yang menghadiri rapat tersebut diantaranya : B.P.R.I, Masyumi,
Pesindo, Perwari, S.S.P.P, G.P.I.I, Rombongan Kaoem Kristen, Dewan Perantara,
dan dari daerah lain : Polisi Negara dari Batoeretno, B.P.I dari Wonogiri, Polisi
Tentara dari Batoeretno, PKI Tirtomonjo. “ Mosi Dari Rakjat Mangkoenegaran
yang Menginginkan Daerah Soerakarta Menjadi Daerah Istimewa, Tahun 1946”.
Arsip Rekso Pustoko Mangkunegaran VIII no. 745.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Sejak awal tahun 1946, banyak terjadi aksi dan gerakan-gerakan yang disebut
sebagai “Revolusi Sosial”, gerakan ini dipicu dari adanya pernyataan pemerintah
yang berkenaan dengan penetapan Surakarta sebagai Daerah Istimewa sehingga
mengundang banyak protes dari berbagai kalangan, terutama dari badan-badan
atau laskar-laskar perjuangan. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari para pejuang
kemerdekaan di Surakarta dan menganggap hal ini bertolak belakang dengan
semangat kemerdekaan atau revolusi. Kondisi ini merupakan awal munculnya
reaksi hebat atas aksi anti Swapraja di Surakarta.
Kaum revolusioner mengadakan rapat pada tanggal 9 Mei 1946 besar yang
dihadiri beberapa organisasi politik yang dipimpin oleh Dr. Muwardi.
Diadakannya rapat ini adalah untuk membentuk dengan segera badan legislatif
secara demokratis dan melalui pemilihan langsung untuk menentukan anggotanya.
Kelompok yang menentang adanya Swapraja tersebut mengajukan tiga tuntutan
yaitu:26
a) Meminta agar dihapuskannya Daerah Istimewa / Swapraja di Surakarta.
b) Meminta mengganti Raja / Susuhunan.
c) Meminta perubahan-perubahan dalam peraturan Daerah Istimewa /
Swapraja yang tidak sesuai lagi dengan zamannya.
Menanggapi tuntutan tersebut pihak Kasunanan mengeluarkan pidato yang
intinya bahwa akan dilakukan perubahan dalam peraturan-peraturan Daerah
Istimewa / Swapraja, karena Sri Susuhunan telah menyatakan kesediaannya,
sedangkan Daerah Istimewa / Swapraja tetap berlangsung karena telah diakui oleh
26
Woerjaningrat, Sekedar Uraian tentang Swapraja Surakarta, 1956, hlm. 4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
bangsa Indonesia bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan. Akan tetapi
kelompok penentang itu masih belum puas dengan pidato yang disampaikan oleh
Sri Susuhunan Pakubuwana XII.
Pernyataan dari Kasunanan tersebut tadi semakin memperkeruh keadaan,
sehingga memicu ketidak puasan dari kelompok yang menamai diri sebagai
kelompok Anti Swapraja. Pada bulan April dan Mei 1946 suasana politik di
Surakarta mulai panas. Satu sisi gerakan anti Swapraja berkembang luas hingga
ke masyarakat desa sedangkan di sisi lain aksi penculikan-penculikan pun
merajalela. Penculikan terhadap pejabat keraton, yaitu pegawai pamong praja,
pepatih dalem dan wakilnya tersebut menyebabkan kekosongan jabatan yang
kemudian diisi oleh Woerjaningrat yang diangkat Paku Buwana XII.27
Selain itu
beberapa kabupaten mulai memutuskan hubungan, sehingga pemasukan uang
dalam Kas Negeri Surakarta terhenti.
Sri Susuhunan Pakubuwana XII tetap pada pendiriannya bahwa kekuasaan
yang ada padanya tidak akan diserahkan begitu saja, karena Pemerintah Pusat R.I
telah mempercayakan kekuasaan atas Surakarta. Maka jika ada yang ingin
meminta kekuasaan atas Surakarta semestinya meminta kepada Pemerintah Pusat
R.I.
Di Klaten, Badan Pekerja KNI yang didukung sekitar 60 organisasi, misalnya
PBI, BTI, Laskar Rakyat, Laskar Buruh, Pesindo, Barisan Banteng, Masyumi,
Hisbullah, dan pangreh praja lokal menyatakan keputusan untuk membentuk
pemerintahan rakyat, terlepas dari Swapraja Kasunanan. Demikian pula dengan
27
Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
daerah Karanganyar dan Wonogiri, kedua daerah tersebut juga melepaskan diri
dari Swapraja Mangkunegaran.28
Mengatasi permasalahan mengenai daerah Swapraja di Surakarta tersebut,
tanggal 22-23 Mei 1946, pemerintah RI melalui Perdana Menteri Sutan Sjahrir
dan para menteri dari kabinetnya mengundang kedua penguasa Swapraja untuk
membicarakan keadaan Surakarta di gedung Javasche Bank. Pembicaraan tentang
keadaan Surakarta dan kekacauan akibat adanya kalangan pro dan anti Swapraja
tersebut diikuti oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Menteri Dalam Negeri Dr.
Soedarsono dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin mewakili Pemerintah
Pusat RI. Dari pemerintah Swapraja sendiri diwakili oleh S.P Ingkang Sinuhun
beserta wakil Pepatih Dalem Woerjaningrat dan S.P K.G.P.A.A Mangkoenogoro
beserta Pepatih beliau K.R.M.H. Partono Handojonoto.29
Pertemuan tersebut digunakan oleh patih Woerjaningrat untuk menjelaskan
usulnya bahwa gerakan atau revolusi di Surakarta harus segera diselesaikan
karena pihak Kerajaan sudah marah. Gerakan menentang Swapraja berarti
menetang UUD yang berarti juga menentang Pemerintah Pusat R.I.
Woerjaningrat menyarankan jika disetujui oleh peserta rapat pada waktu itu
ialah untuk sementara pemerintahan di Surakarta dipegang dahulu oleh
Pemerintah Pusat R.I. Setelah situasi sudah aman pemerintahan Surakarta
dikembalikan lagi kepada Kekuasaan Swapraja. Pemerintah Pusat R.I. pada
tanggal 1 Juni 1946 menempatkan Gubernur Soerjo sebagai wakilnya di Surakarta
28
Karkono Kamajaya, Op.Cit, hlm 12.
29 Woerjaningrat, Op.Cit., hlm. 8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
dengan tugas mengumpulkan bahan-bahan untuk dipertimbangkan pemerintah
Pusat dalam menyusun peraturan yang sebaik-baiknya untuk Daerah
Istimewa/Swapraja, sedangkam Komisaris Tinggi R.P. Soeroso dibebaskan dari
jabatannya.
Banyak terjadi peristiwa yang semakin menyulitkan pemerintah Surakarta
pada saat itu ditambah lagi dengan beberapa kabupaten yang menyatakan
melepaskan diri dari Pemerintahan Surakarta yang bersifat istimewa. Keadaan ini
membuat Kesatuan Tentara (divisi IV) di bawah pimpinan Mayor Jenderal Sutarto
mengadakan stabilisasi dengan jalan membebtuk Pemerintah Tentara Rakyat.
Pemerintah ini dijalankan oleh lima orang dengan ketua Mayor Jenderal Sutarto
dan Komisaris Tinggi sebagai penasihat.30
Sebagai tindak lanjutnya, dikeluarkan
Penetapan Presiden tanggal 6 Juni 1946 yang menyatakan keadaan bahaya di
wilayah Surakarta dan mengeluarkan Undang-undang No. 6 1946 yang intinya
segera dibentuk Dewan Pemerintahan Rakyat – Tentara dimana ketuanya adalah
Soediro (mbah Diro).31
Undang-undang No. 6 tahun 1946 tersebut berlaku hingga akhirnya tanggal
15 Juli 1946, Pemerintah RI menetapkan Surakarta sebagai Daerah Karesidenan
untuk mengendalikan situasi di Surakarta dengan mengeluarkan UU. No.
16/SD/1946 yang menyebutkan:32
30
Kedaulatan Rakyat, 4 Juni 1946, Koleksi Monumen Pers
31 Maklumat No.1 tentang Pembentukan Dewan Pemerintah Rakyat- Tentara,
arsip Reksa Pustaka, catalog Mangkunegaran VIII no. 785
32 PP. 16/SD 1946, tentang Keadaan Bahaya Solo, Arsip Reksa Pustaka
Mangkunagaran. Katalog Mangkunegaran VIII No. 857
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
1). Jabatan Komisaris Tinggi ditiadakan
2). Daerah Surakarta untuk sementara dijadikan daerah Karesidenan
3). Dibentuk daerah baru dengan nama Daerah Kota Surakarta
Dijelaskan pula dalam Penetapan ini bahwa kekuasaan Swapraja sementara
dibekukan, disebutkan bahwa:
…………………………………. Sebelum bentuk susunan pemerintahan
daerah Kasunanan dan Mangkunegaran ditetapkan dengan Undang-undang,
maka daerah tersebut untuk sementara waktu dipandang merupakan suatu
“Karesidenan”, dikepalai oleh seorang Residen, yang memimpin segenap
pegawai Pamong Praja dan Polisi serta memegang segala kekuasaan, sebagai
seorang Residen di Jawa dan Madura luar daerah Surakarta dan Yogyakarta
………………..33
Maklumat ini dengan tegas memutuskan, pembekukan Pemerintahan Swapraja
dan mengangkat seorang Residen untuk menjalankan Pemerintahan. Mr. Iskaq
Tjokroadisoerjo dilantik oleh Presiden sebagai Residen di Surakarta dengan wakil
Jabatan sebagai Residen dipegang oleh Iskaq Tjokroadisuryo dan wakilnya
Soediro. Iskaq Tjokroadisuryo dan Soediro setelah beberapa lama bertugas,
akhirnya mampu menyelesai kan beberapa permasalahan, diantaranya :
1). Menghapus perbatasan daerah Kasunanan dan Mangkunegaran, serta Kota
Surakarta yang baru terbentuk, terdiri dari bekas wilayah Kasunanan (selatan rel)
dan bekas wilayah Mangkunegaran (utara rel).
2). Dibentuk dua kabupaten baru, yaitu Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten
Karanganyar.
33
Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
3). Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat untuk Daerah Surakarta dan
untuk tiap-tiap kabupaten, dimana Dewan Perwakilan Rakyat bersama residen
akan dipimpin oleh residen untuk mengatur pemerintahan sebaik mungkin.
4). Dewan Perwakilan Rakyat kabupaten dan kota Surakarta bersama bupati
dan walikota berusaha menyelenggarakan urusan pemerintahan di kabupaten dan
kota Surakarta sesuai dengan peraturan yang berlaku untuk seluruh Karesidenan
Surakarta. Mereka harus selalu memberi laporan kepada residen dan wakil residen
tentang segala sesuatu yang sudah dilaksanakan dan yang akan dilaksanakan.
5). Semua bekas pegawai Kasunanan dan Mangkunegaran dijadikan pegawai
daerah otonom baru dan dinyatakan tidak berada lagi dibawah pimpinan Paku
Buwana dan Mangkunegoro VII.
Beberapa kebijaksanaan yang dibuat oleh Residen dan wakil residen tersebut
pada hakikatnya bersifat konstruktif bagi perkembangan Surakarta untuk
menjadikan daerah biasa dalam negara RI. Konsep tersebut disusun menuju
kepada penghapusan struktur feodal dan menggantikan dengan struktur yang baru,
demokratis sesuai UUD 1945.
Melengkapi PP No. 16/ SD/ 1946 dan juga menyempurnakan pemerintahan
yang berazaskan permusyawaratan dan perwakilan, Pemerintah Pusat pada 8
Agustus mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
No. 8 tahun 1946 tentang Badan Perwakilan Rakyat di Daerah Surakarta,
sehubungan dengan PP No. 16/ SD/ 1946 tentang pemerintahan di Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
Surakarta dan Yogyakarta, maka Residen Surakarta berdasar ketentuan Pasal 8
ayat 1 Perpu nomor 8 tahun Badan Perwakilan membentuk BPRD.34
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Perpu nomor 8 tahun 1946, maka
dengan Surat keputusan Residen Surakarta tanggal 7 Agustus 1946 nomor 6
dibentuklah BPR Kota Surakarta dengan 50 anggota. Adapun ke-50 anggota BPR
Kota Surakarta tersebut, terdiri dari unsure-unsur yang mewakili Partai-partai
Politik, Gabungan Badan Perjuangan, Organisasi Wanita, Organisasi Pemuda dan
Tokoh-tokoh Masyarakat di Surakarta.
Penetapan mengenai jumlah 50 orang anggota BPR Kota Surakarta tidak
didasarkan pada ketentuan Pasal 8 ayat (1) Perpu nomor 8 tahun 1946 tersebut,
akan tetapi mengacu kepada ketentuan Undang-undang nomor 1 tahun 1945
khususnya Pasal 2 besera penjelasannya yang antara lain35
:
1. Komite Nasional Daerah berubah sifatnya menjadi BPRD diketuai Kepala
Daerah yang tidak merupakan anggota Badan tersebut yang sekaligus
tidak mempunyai hak suara.
2. Oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, jumlah anggota BPR
ditetapkan sebanyak-banyaknya 100 orang untuk Karesidenan dan untuk
Kota serta 60 orang.
34
Ibid.
35 Pemerintah Kota Surakarta, 50 Tahun Kotamadia Surakarta, (Surakarta:
Pemerintah Surakarta: 1995), hlm. 56
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Ketentuan yang mengatur sebanyak-banyaknya 60 orang inilah kiranya
yang dijadikan pertimbangan Residen Surakarta untuk menetapkan jumlah
anggota BPR kota Surakarta sebanyak 50 orang.
Dalam melaksanakan dan mengatur rumah tangga sendiri sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Pusat, BPRD bersama-
sama dan dipimpin oleh Wali kotamadya memilih sebanyak-banyaknya 5 orang di
antaranya anggota-anggota BPRD untuk duduk di Badan Eksekutif Pemerintah
Daerah Kota Surakarta sebagai pelaksana pemerintah sehari-hari. Secara
berurutan struktur pemerintahannya digambarkan sebagai berikut :
Bagan 5 : Struktur Pemerintahan Karesidenan
Residen ---------- Wali Kota Madya
Badan Eksekutif
BPRD
Anggota
Keterangan:
--------- : garis pengawasan
: garis komando
Pembagian jumlah Anggota Badan Perwakilan Rakyat Daerah Kota
Surakarta, periode 7 Agustus 1946 sampai dengan 5 Juni 1947. Jumlah Anggota
50 orang terdiri dari 28 orang yang berasal dari kelompok Partai yaitu: terdiri atas:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Masyumi: 6 orang, PNI: 5 orang. Parkindo: 2 orang, PKRI: 2 orang, PSI: 6 orang,
Partai Rakyat: 2 orang, PKI: 3 orang, Partai Sosialis: 3 orang. Selain itu dari
organisasi terdapat 6 orang yang berasal dari Kowani : 2 orang, GLPS: 2 orang,
Kongres Pemuda: 2 orang. Sisanya ditunjuk sebanyak 15 orang, dan masih
menyisakan kekosongan 1 orang.36
Tanggal 6 Agustus 1946 dengan keputusan Residen Surakarta tanggal 7
Agustus 1946 ditetapkan bahwa telah dibentuk susunan Dewan Perwakilan
Rakyat Surakarta. Dewan Perwakilan Rakyat menggantikan kinerja KNI Daerah
sebagai Badan Legislatif. Tanggal 6 Desember 1946 diangkat Gubernur Soetardjo
Kartohadikusoemo untuk menjabat sebagai Residen di Surakarta, sedangkan
walikotanya berkedudukan sejajar dengan seorang Residen. Hal ini mendapatkan
persetujuan dari Pemerintah Pusat mengingat situasi dan kondisi politik Surakarta
yang kacau balau.
Walaupun pemerintahan daerah telah tersusun dari wakil-wakil berbagai
golongan dalam BPR, keadaan Surakarta masih di warnai dengan konflik.
Terdapat kelompok tertentu yang merasakan keberatan-keberatan terhadap diri
Residen Mr. Iskaq Tjokroadisoerjo dan wakil Residen R. Soediro sebagai
kelanjutannya pada tanggal 9 November 1946 mereka menculik Residen dan
Wakil Residen. Sulit untuk menentukan dari golongan mana penculik tersebut.
Meskipun demikian dapat diduga bahwa mereka berasal dari lawan politik kedua
orang tersebut, yang mencoba untuk mengambil alih kekuasaan pemerintahan.
36
Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
Mereka lalu mengangkat Soejas sebagai Residen dan Dasoeki sebagai Wakil
Residen, namun tidak berlangsung lama.
Pada tanggal 14 Nopember 1946 jabatan Walikota yang semula dirangkap
Residen diserahkan kepada Sjamsuridjal. Selanjutnya pada tanggal 6 Desember
1946 Pemerintah Pusat mengengkat Soetardjo Kartohadikoesoemo sebagai
Residen Surakarta. Oleh karena dinilai pro swapraja maka Kepala Daerah ini
ditentang oleh BPRD dalam sidangnya 17 Februari 1947 sehingga dibebas
tugaskan pada tanggal 27 Maret 1947. Di lain pihak Wakil Residen Soediro untuk
sementara ditunjuk sebagai pemangku jabatan Kepala Daerah Karesidenan
Surakarta, yang akhirnya dalam bulan Juli 1947 ditunjuk sebagai Residen
Surakarta. Sedikit demi sedikit jalannya roda pemerintahan baik di kota Surakarta
maupun Karesidenan Surakarta menjadi lancar. Residen Soediro memiliki tekad
menjadikan Surakarta sebagai Karesidenan biasa dan bukan suatu daerah
Istimewa ataupun Swapraja. Hal tersebut mendapat dukungan dari Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang memberikan mosi kepercayaan kepada Residen
Soediro. Tugasnya diawali dengan menertibkan pegawai-pegawai sipil dengan
memindahkan pegawai Mangkunegaran ke Kasunanan maupun sebaliknya, selain
hal tersebut, Residen Soediro juga menertibkan barisan-barisan bersenjata, baik
dari tentara resmi maupun badan-badan perjuangan bersenjata lainnya.
Sekalipun sudah dibentuk BPRD Kota Surakarta, hal ini masih belum berarti
bahwa kota Surakarta menjadi Daerah Otonom. Sebab urusan-urusan social,
kesehatan, perekonomian dan pemerintahan daerah masih diatur oleh Pemerintah
Karesidenan Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
Melihat kenyataan itu, maka gerakan anti swapraja masih meneruskan
aksinya menuntut agar Kota Surakarta dijadikan kota otonom yang berada
langsung di bawah Pemerintahan Pusat. Jika, Kota Surakarta dapat dijadikan kota
otonom yang berada langsung di bawah Pemerintahan Pusat, maka hal ini akan
mengakibatkan lepasnya kota Surakarta dari wilayah Karesidenan Surakarta dan
akan menutup kemungkinan kraton berkuasa lagi. Ternyata tuntutan tersebut
berhasil, yaitu ditandai dengan keluarnya Undang-undang No. 16 tahun 1947
tentang Pembentukan Haminte Kota Surakarta.
Keputusan tersebut membuat diberlakukannya Pemerintahan Haminte Kota
Surakarta sedangkan daerah sekitarnya dinyatakan sebagai daerah karesidenan.
Daerah yang masuk sebagai daerah karesidenan seperti : Sukoharjo, Klaten,
Wonogiri, Boyolali, Karanganyar dan Sragen, sedangkan Surakarta sendiri
dipimpin oleh walikota .
2. Terbentuknya Haminte Kota Surakarta
Kekuasaan kerajaan semakin melemah seiring dkeluarkannya UU No. 16
tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte Kota Surakarta, yang menyatakan
bahwa “Kota Surakarta ditunjuk sebagai daerah yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri dengan nama Haminte Kota Surakarta dengan
daerah atau wilayah yang meliputi :37
a) Sebagian dari kabupaten Kota Kasunanan dan sebagian dari Kabupaten
Kota Mangkunegaran.
37
Ibid., hlm. 36
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
b) Kelurahan Nusukan sebagaimana dimaksud Surat Keterangan Pemerintah
Mangkunegaran tanggal 25 November 1942 nomor 186.
c) Kelurahan-kelurahan Karangasem, Kerten, Jajar, Sumber dan Banyuanyar.
d) Kelurahan-kelurahan Kadipiro dan Mojosongo.
Berdasarkan hal ini maka kekuasaan Karesidenan dihapus dan muncul
lembaga walikota yang hanya mengurusi Kota Surakarta tanpa melakukan
pengawasan terhadap wilayah Surakarta karena telah dbentuk kabupaten yang
hingga kini tetap berdiri. Pada masa ini ditentukan pula batas-batas Kota
Surakarta yang baru dimana diadakan penggabungan wilayah Mangkunegaran dan
Kasunanan. Soediro ditunjuk sebagai walikota yang baru yang menandakan
hancurnya wilayahnya Mangkunegaran dan Kasunanan.
Pemerintah Daerah yang berhak mengatur rumah tangga sendiri tanpa
dilengkapi DPRD ibarat dekonsentrasi kekuasaan belaka yang akan memperkuat
otoritas penguasa. Maka dari itu sesuai dengan Undang-undang nomor 16 tahun
1947 tersebut, secara jelas diatur susunan Pemerintahan Haminte Kota Surakarta,
urusan-urusan yang harus diserahkan, peraturan-peraturan lain yang berlaku untuk
Haminte Kota Surakarta, serta ditetapkan jumlah anggaran untuk pertama kali
sebesar 3.824.890.
Berdasarkan Undang-undang No. 16 tahun 1947, Pemerintah Haminte Kota
Surakarta terdiri dari tiga Organ, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Haminte Kota
(Dewan Kota), Dewan Eksekutif Haminte (Dewan Pemerintah Kota) dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Walikota. Susunan Pemerintah Haminte Kota Surakarta sesuai dengan Undang-
undang nomor 16 tahun 1947 adalah sebagai berikut38
:
1. Dewan Perwakilan Rakyat Haminte Kota yang disebut Dewan Kota.
Dewan Kota ini terdiri dari :
a. Walikota sebagai ketua
b. Seorang wakil ketua merangkap wakil walikota yang dipilih oleh
dan dari anggota Dewan Kota
c. Lima puluh anggota Dewan Kota yang dipilih oleh penduduk
Haminte Kota menurut Undang-undang pemerintah.
2. Dewan Eksekutif Haminte Kota yang disebut Dewan Pemerintah Kota,
terdiri dari :
a. Walikota sebagai ketua merangkap anggota
b. Wakil Ketua merangkap Wakil Ketua Dewan Kota
c. Lima puluh anggota yang dipilih oleh dan dari Anggota Dewan
Kota.
38
Ibid., hlm. 56
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
Bagan 6 : Struktur Pemerintahan Haminte Kota Surakarta
Dewan Kota Dewan Pemerintah Kota
Keterangan:
: garis komando
: Jawatan-jawatan
Anggota dalam Dewan Kota yang berjumlah 50 orang tersebut adalah
kumpulan dari berbagai kalangan demi terciptana demokrasi pada saat itu.
Anggota-anggota tersebut berasal dari Partai sebanyak 31orang yang terdiri atas :
Masyumi : 6 orang, PNI : 5 orang, Parkindo : 2 orang, PKRI : 2 orang, PKI : 3
orang, PBI : 5 orang, Partai Sosialis : 3 orang, PSI : 1 orang, PDR : 10 orang,
Partai Murba : 2 orang, PSII: 1 orang. Sendangkan dari organisasi terdapat 10
orang, dan yang ditunjuk juga sebanyak 10 orang.
Sebagai daerah yang diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah
tangga sendiri, sebagaimana ketentuan UU No. 16 tahun 1947, kepada Pemerintah
Wali Kota
1
2 3 4 dst
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
Haminte Surakarta diserahkan 22 macam urusan untuk diatur dan diurus oleh
Pemerintah Haminte Kota Suarakarta.
Dalam pelaksanaan tugas sehari-harinya, Pemerintah Haminte Kota
Surakarta membentuk Jawatan-jawatan sebagai pelaksana teknis Pemerintah Kota
yang terdiri dari39
:
1) Jawatan Sekretariat Umum.
2) Jawatan Keuangan
3) Jawatan Pekerjaan Umum
4) Jawatan Sosial
5) Jawatan Kesehatan
6) Jawatan Perusahaan
7) Jawatan PD & K
8) Jawatan Pamong Praja
9) Jawatan Perekonomian
10) Biro Kontrolir
Selain jawatan-jawatan tersebut, pada Jawatan Sekretariat Umum yang
merupakan staf utama pelaksana pekerjaan Walikota serta sebagai pusat kegiatan
Pemerintah Haminte Kota Surakarta, dibentuk unsur-unsur pendukung antara lain:
1) Kantor Tata Usaha
2) Kantor Urusan Perumahan
3) Kantor Personalia
4) Kantor Sekretariat DPRD
39
Ibid, hlm. 74
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
5) Bagia pusat perbekalan
Dengan ditetapkannya pejabat-pejabat pemerintahan di daerah Surakarta
lengkap dengan Dewan Perwakilan dan Badan Eksekutifnya masing-masing,
maka sedikit demi sedikit jalannya pemerintahan menjadi lancar. Akan tetapi
suasana ini berubah setelah ditandatanganinya Perjanjian Renville dan menjelang
Pemberontakan Madiun, dan terjadinya pergolakan politik antara kekuatan social
politik di Surakarta
Setelah Perjanjian Renville kota Surakarta menjadi salah satu pusat
pergolakan atau konflik antar kelompok social politik yang ada. Dalam keadaan
yang semacam ini, rakyat umumnya menginginkan tindakan tegas dari
pemerintah. Akan tetapi oleh karena pemerintah yang berkuasa saat itu telah
banyak yang dipengaruhi oleh partai atau aliran tertentu maka tindakan tegas
semacam itu tidak bisa dilaksanakan.
Untuk mengatasi keadaan agar tidak berlarut-larut, maka pada tanggal 2 April
1948 Pemerintahan mengeluarkan maklumat resmi yang berbunyi sebagai berikut
:
Sejak beberapa lama, keamanan penduduk Surakarta dan sekelilingnya
acapkali diganggu oleh pengacau-pengacau yang bersembunyi di belakang
suatu golongan atau badan. Soal ini tidak terlepas dari perhatian pemerintah.
Dan pemerintah insyaf pula, bahwa keadaan demikian tidak dapat dibiarkan
merajalela. Agar supaya pembasmian anasir-anasir yang merugikan itu dapat
dijalankan dengan cara yang tepat dan pada waktu masa ini pemerintah
menganggap telah sampai waktunya untuk menjalankan pembersihan di atas.
…………………………………………………………………………………
…… Pemerintah telah menunjuk instansi resmi yang diwajibkan menjalankan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
pembersihan yang dipimpin oleh Jaksa Tentara Agung. Di luar instansi
tersebut lain-lain golongan atau pihak dilarang untuk campur dalam tindakan
ini…..40
Meskipun telah dikeluarkan instruksi dari pemerintah, tetap saja ada golongan
tertentu yang menggunakan kesempatan untuk menyerang lawan politiknya. Ini
menunjukkan pemerintah yang belum stabil, dan dengan demikian belum mampu
mengatasi keadaan yang berkembang.
3. Periode Pemerintah Darurat Militer
Menghadapi situasi di kota Surakarta yang sedang kacau, Panglima Besar
Soedirman mengeluarkan perintah harian yang menyatakan bahwa APRI adalah
alat negara dan penjamin kedaulatan negara. Serangan terhadap alat negara akan
dianggap sebagai serangan terhadap kedaulatan negara, dan selanjutnya atas
saran dari Panglima Besar kepada Presiden RI selaku panglima tertinggi, setelah
berunding dengan Kepala Staf Operasi Kolonel A.H. Nasution pada tanggal 16
September 1948 malam bersama Komandan Gatot Soebroto memutuskan satu-
satunya jalan untuk menyelesaikan perang saudara di Surakarta adalah
menempatkan pimpinan yang tegas. Presiden Soekarno menyetujui dan kemudian
mengangkat Kolonel Gatot Soebroto sebagai Gubernur Militer Surakarta yang
berwenang atas semua alat negara serta berhak sepenuhnya menjalankan tugas-
tugas Dewan Pertahanan Negara.
40
A. H. Nasution, Sekitar Perang Proklamasi Jilid 3, (Bandung: Angkasa,
1978), hlm. 217
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
Bertepatan dengan kedatangan Gubernur Militer Kolonel Gatot Soebroto di
Surakarta pada 18 September 1948, dan mulai terdesaknya pasukan FDR/PKI
dalam pertempuran-pertempuran di Surakarta, PKI kemudian melakukan
pemberontakan di Madiun. Pemberontakan itu selanjutnya memberikan kejelasan
bagi Kolonel Gatot Soebroto bahwa insiden-insiden yang terjadi di Surakarta
didalangi oleh PKI. Tindakan yang pertama kali dilakukan oleh Gubernur Militer
adalah menginstruksikan semua kekuatan bersenjata di Surakarta untuk
menghentikan tembak-menembak selambat-lambatnya tanggal 20 September
1948 jam 24.00, dan keesokan harinya semua komandan pasukan yang saling
bermusuhan harus melaporkan diri, dan mereka yang tidak melapor akan
dianggap pemberontak.
Keadaan di kubu FDR/PKI adalah melakukan perebutan kekuasaan yang
dilakukan oleh Sumarsono, seorang pemuda pimpinan Pesindo, Kolonel Joko
Suyono, Komandan Brigade XXIX Letnan Kolonel Dachlan. Perebutan
kekuasaan itu didukung oleh kesatuan-kesatuan dari Brigade XXIX, bagian TNI
yang telah masuk ke dalam kekuatan tempur FDR/PKI. Pendukung tersebut
mengangkat Gubernur Militer, Komandan Komando Militer Daerah, dan Residen
baru yang berasal dari FDR/PKI.41
Presiden Soekarno setelah itu menyatakan bahwa PKI Muso telah
mengadakan coup dan mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun yang
dipandang sebagai permulaan merebut seluruh Pemerintah RI dan Presiden
41
Himawan Soetanto, Yogyakarta 19 Desember 1948, (Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm 199.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
Soekarno juga menginstruksikan untuk segera merebut Madiun dari perampasan
FDR/PKI. Pernyataan tegas Presiden Soekarno tersebut disusul denagan instruksi
Panglima Besar Soedirman tanggal 19 September 1948 yang berintikan
menetapkan Kolonel Soengkono sebagai Gubernur Militer Jawa Timur, menunjuk
Kolonel Gatot Soebroto sebagai Gubernur Militer Jawa Tengah, serta menugaskan
Brigade Sadikin untuk menyerbu Madiun dan menghancurkan PKI Muso.
Perang Kemerdekaan Indonesia memberi pengalaman yang sangat berharga
kepada Bangsa Indonesia. Belanda melancarkan perang terhadap Indonesia
dengan tujuan politiknya untuk mengembalikan kekuasaan Kolonialnya di
Indonesia yang saat itu sudah merdeka. Agresi militer ke-II Belanda yang
direncanakan untuk mengeakhiri eksistensi RI dan menghancurkan angkatan
bersenjatanya, justru gagal dan tidak mampu menandingi Perang Rakyat Semesta
yang dilancarkan pihak RI.
Jika sebelumnya Belanda yang mengepung dan menyerang, dalam Perang
Rakyat Semesta terbalik menjadi yang dikepung dan yang diserang. Perang
Rakyat Semesta yang bersumber pada Perintah Siasat No.1 itu merupakan
perlawanan total di segala bidang, termasuk daerah pendudukan Belanda.42
Adanya Pemerintah Kota Surakarta pada waktu itu merupakan Pemerintah
Gerilya dalam kota yang diduduki Belanda dan bertindak pula sebagai Pemerintah
Militer yang mengemban kekuasaan Negara RI yang berada dalam keadaan
perang.
42
Paguyuban Para Pelaku Pemerintah R.I. Balai Kota Surakarta.,
Perjuangan Gerilya Membela Kemerdekaan Negara dan Bangsa, (Jakarta :
Paguyuban Para Pelaku Pemerintah R.I. Balai Kota Surakarta, 1995), hlm. 11-12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
Mengingat di Surakarta, Belanda sudah mulai membentuk pemerintahan
pre-federal termasuk Swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran, maka diputuskan
untuk secepatnya membentuk pemerintahan RI di Kota Surakarta yang diduduki
Belanda. Berdasarkan Surat Keputusan Mentri Dalam Negeri RI dr. Soekiman
tanggal 24 Januari 1949, Soediro selaku Residen Surakarta yang ditugasi
merangkap menjalankan tugas Walikota Surakarta yang kosong pada`waktu itu.43
Karena Residen Soediro berkedudukan di luar Kota Surakarta, dengan persetujuan
Mayor Achmadi sebagai Komandan SWK 106 Arjuna, maka berdasarkan Surat
Keputusan Residen Surakarta No 3a/ Dar/ 1949 tertanggal 26 Januari 1949
diangkat Soedjatmo Hardjosoebroto sebagai fd Walikota Surakarta.44
Soedjatmo
sendiri memiliki wewenang untuk membentuk dan melaksanakan tugas
Pemerintah Republik Indonesia di dalam Kota Surakarta yang sedang diduduki
Belanda. Untuk membantu pembentukan pemerintah yang dimaksudkan, Mayor
Achmadi menugasi Soeharyo Soeryopranoto selaku PUT (Perwira Urusan
Teritorial). Selain itu juga menugasi Rayon V yang dipimpin oleh Lettu RM.
Hartono untuk menjadi pendukung Pemerintah RI Balaikota Surakarta.
Adanya sebutan “Balai Kota” pada Pemerintahan Surakarta masa itu karena
untuk menampakkan suatu identitas dan eksistensi dari pembentukan
pemerintahan di Surakarta yang pada masa itu sedang diduduki oleh Belanda.
Maka dari itu tugas Pemerintah RI Balai Kota Surakarta di daerah pendudukan
43 Sekedar uraian tentang Swapraja Surakarta setelah Proklamasi Sosial,
(Surakarta : Ungu, 1990), hlm. 16
44 fd singkatan dari fungerend= pj yang artinya pemangku jabatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
Belanda itu memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan kota lain, baik dalam cara
pelaksanaannya serta lingkup tugasnya.
Hal ini terlihat dari awal pembentukannya, dimana pemerintahan atau
organisasi yang akan mengangkat seorang pejabat sudah memiliki kelengkapan
atau kesiapan, tetapi tidak untuk pemerintah Balai Kota Surakarta. Setiap bagian
dalam pemerintahan dibangun mulai nol dengan mengangkat seluruh pejabat
mulai dari Lurah hingga ke Kepala Jawatan.
Pada awal pembentukannya Pemerintah Balai Kota Surakarta berbentuk
organisasi sederhana yang baik secara horisontal maupun vertikal dapat
melaksanakan tugasna dengan baik. Secara Horisontal struktur pemerintahan
Surakarta yaitu terdiri dari45
: Walikota, Wakil Walikota I dan II, Sekretaris,
Ajudan serta para Kepala Jawatan, Kepala Jawatan Pamong Praja dan Wakilnya,
Kepala Jawatan Keuangan, Kepala Jawatan Kemakmuran,, Koordinator
Perekonomian (Koper), Kepala Jawatan sosial dan Kesehatan, Kepala Jawatan
Penerangan, Kepala Jawatan Pekerjaan Umum (PU), Kepala Jawatan Pengawas
Jawatan, Kepala Jawatan Pendidikan dan “Braintrust” yaitu suatu forum non-
lembaga yang bertugas membantu dibidang perekonomian dan kemakmuran.
45
Paguyuban para Pelaku Pemerintah R.I Balai Kota Surakarta, op.cit., hlm.
15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
Bagan 7 : Pemerintah Darurat Militer 1947
Wali Kota
Wakil Walikota
Sekretaris
Ajudan
Keterangan:
: garis Komando
: jawatan-jawatan
Sedangkan secara vertikal, wilayah Surakarta terdiri dari 5 (lima)
Kaoenderan atau Onderdistrik (kecamatan) yang membawahi 44 kelurahan,
yaitu46
:
a. Kaoenderan Jebres : membawahi 10 kelurahan;
b. Kaoenderan Pasar Kliwon : membawahi 9 kelurahan;
c. Kaoenderan Serengan : membawahi 7 kelurahan;
d. Kaoenderan Laweyan : membawahi 8 kelurahan;
e. Kaoenderan Banjarsari : membawahi 10 kelurahan;
46
Ibid., hlm.15-16
1 2 3 4 5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
f. Sebagai kepala Kaoenderan adalah Asisten Wedana (Camat).
Dalam menjalankan tugas pemerintahan pun tidak dapat dilakukan secara
terbuka harus tertutup (covered), agar terjamin keamanannya karena hal ini
merupakan keharusan dalam operasi gerilya untuk menghindari deteksi oleh
Belanda.
Tugas`pokok dari Pemerintahan RI Balai Kota Surakarta pada masa
pendudukan Belanda adalah mempertahankan eksistensi Pemerintahan republik
Indonesia secara de-facto dalam Kota Surakarta untuk menggagalkan segala
upaya Belanda membentuk Pemerintahan pre-federal termasuk pemerintah
Swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran. Sedangkan berbagai tugas dan
aktivitas khusus guna mendukung terlaksananya tugas pokok antara lain 47
:
a. Bidang Pamong Praja, dimana pemerintah dapat menguasai 5 (lima)
Kaoenderan dan 44 Kelurahan yang membuat lumpuhnya pemerintahan
Swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran.
b. Bidang Keuangan, Perekonomian dan Kemakmuran menghimpun dana
untuk pembiayaan perjuangan, menyelamatkan kekayaan R.I di dalam
kota Surakarta.
c. Bidang Sosial dan Kesehatan, meskipun sangat terbatas kemampuannya,
melakukan perawatan anggota yang sakit, gugur atau meninggal termasuk
anggota Rayon V. Menyantuni para pegawai RI yang non-koperasi (tidak
bekerja menjadi pegawai Belanda dan Swapraja.
47
Ibid., hlm. 26-28
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
d. Bidang Penerangan, untuk menangkis propaganda Belanda, melalui pamflet
atai poster dan pernah menerbitkan 3 (tiga) majalah yang diberi nama
Pancasila, 17 Agustus 1945 dan Yuddha.
e. Bidang Pekerjaan Umum (PU), khusus untuk membantu operasi tempur
membuat ranjau, bom tarik dan sumbu.
f. Bidang “Braintrust”, kelompok pemikir yang terutama membantu bidang
Perekonomian dan Kemakmuran.
g. Bidang Kurir, terutama yang dilakukan oleh para kurir wanita yang besar
jasanya dalam pengiriman surat/ dokumen rahasia dengan cara membawa
yang unik dan aman.
h. Bagian Pemuda, dikepalai Mulyomiadji dengan tugas menghimpun atau
memobilisasi Pemuda untuk mendukung kegiatan Pemerintah Balai Kota
Surakarta.
Disamping tugas tersebut di atas, terdapat aksi-aksi khusus yang dilakukan
oleh Pemerintah Surakarta pada saat itu demi mempertahankan eksistensinya.
Seperti melakukan perang urat syaraf (psywar) untuk menurunkan moril tentara
Belanda dan pegawai federal dengan penyebaran pamflet, poster yang di tempel di
tempat-tempat strategis. Hal meningkat semangat juang pasukan sendiri dan
rakyat secara umum yang membaca poster tersebut. Ditambah lagi dengan
tersebarnya berita mengenai keberhasilan perjuangan militer dan politik diplomasi
RI yang menangkis kebohongan propaganda Belanda.
Adanya bantuan pasukan Rayon V, dapat menjamin kehidupan masyarakat
yang aman dan tertib karena menanggulangi merajalelanya perampok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
(gedor/grayak) yang meresahkan masyarakat. Pasukan Rayon V juga melakukan
infiltrasi yaitu dengan menyusupkan agen sendiri ke dalam instalasi militer
ataupun sipil Belanda. Hal ini memberikan hasil yang memuaskan, karena
berhasil mendapat informasi mengenai identitas orang yang menjadi mata-mata
Belanda sehingga dapat segera di eliminir. Para kawan yang tertangkap oleh
militer Belanda dapat dibebaskan, selain itu dapat membuat satu kompi tentara
bentukan Belanda TBS (Teritorial Batalyon Surakarta) berpihak ke Pemerintah
Surakarta serta dengan membawa 100-an pucuk senjata. Memperoleh informasi
mengenai rencana operasi militer Belanda, serta terus melancarkan perang urat
syaraf (psywar) untuk mengelabui gerakan Militer Belanda.
4. Periode Pemerintah Kota Besar Surakarta
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 39 tahun 1950 tentang
Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara dan Dewan
Pemerintahannya untuk seluruh daerah Indonesia, maka ada 2 hal yang mengubah
Tata Susunan DPRD yang sudah ada. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan yang
menyatakan bahwa48
:
1. PP nomor 10 tahun 1950 dan Perpu nomor 2 tahun 1950 yang belum
disahkan oleh Pekerja Komite Nasional Pusat, dicabut.
2. Semua DPRD yang telah ada pada saat terbentuknya DRPD menurut
peraturan ini, dibubarkan. Bertitik tolak pada ketentuan ini, maka BPRD
Haminte Kota Surakarta yang beranggota 50 orang harus disesuaikan
dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa: Jumlah ini
48
Pemerintah Kota Surakarta., op.cit, hlm. 57
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
masih bisa ditambah dengan jumlah anggota yang diperoleh menurut Pasal
5 ayat (4) dan (5) peraturan dimaksud.
Jadi dengan ditetapkannya PP nomor 39 tahun 1950 tentang pembentukan
DPRDS dan Dewan Pemerintahannya untuk seluruh Indonesia membawa
perubahan-perubahan sebagai berikut :
a. Istilah DPRD Haminte Kota Surakarta berubah menjadi DPRDS
Kota Besar.
b. Jumlah anggota DPRD dari 50 orang, mengalami penurunan
menjadi 33 orang yang terdiri:
(1) 21 orang anggota menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1)
(2) 12 orang anggota menurut ketentuan Pasal 5 ayat (4) dan
(5).
Sebelum semua Pemerintah Daerah memiliki DPRDS sebagaimana
ketentuan PP nomor 3 tahun 1950 terbentuk, di tingkat Pusat pada tanggal 19
Januari 1951 DPRD mengalami mosi S.Hadi Koesoemo dan kawan-kawan yang
menghandaki dicabutnya PP nomor 39 tahun 1950 dengan pertimbangan bahwa
PP tersebut tidak tepat untuk Indonesia yang berlainan corak dan sifatnya, tidak
demokratis dan menimbulkan keadaan politik yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Mosi dari S. Hadi Koesoemo dan kawan-kawan diterima DPR dalam
sidangnya tanggal 22 Januari 1951 dengan perbandingan suara 76 lawan 48.
Karena Menteri Dalam Negeri tidak mau menjalankan atau melaksanakan mosi
ini, maka Mentri Dalam Negeri mengundurkan diri dan didukung oleh Kabinet.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
Akhirnya Kabinet yang dipimpin M. Nasir meletakkan jabatan tanggal 20 Maret
1951. Dengan mundurnya Kabinet, pada akhir April 1951 terbentuklah Kabinet
Soekiman Soewirjo dengan program akan mempercepat terlaksananya otonomi
daerah.
Mengenai pelaksanaan mosi S. Hadi Koesoemo, dalam program Kabinet
Soekiman menjanjikan akan segera mencabut PP 39 tahun 1950 dengan
berpedoman anta lain49
:
a. Sebelum DPR dan DPRD hasil Pemilu terbentuk, maka DPRDS yang
dibentuk PP 39 tahun 1950 akan diganti DPRD-DPRDS menurut
peraturan baru sebagai pengganti PP 39 tahun 1950.
b. Selama DPRS/DPRDS yang dibentuk dengan Peraturan baru pengganti PP
39 tahun 1950, maka DPRS/DPRDS hasil PP 39 tahun 1950 dapat bekerja
terus.
c. Kemudian menteri Dalam Negeri Mr. Iskaq Tjokro Hadi Koesoerjo dengan
instruksi nomor Des. 1/9/25 tanggal 30 April 1951 menetapkan bahwa
DPRDS yang telah terbentuk berdasarkan PP 39 tahun 1950 tetap
menjalankan tugasnya sampai berakhirnya masa jabatannya pada tahun
1956. Dan oleh karena PP 39 tahun 1950 telah dibekukan dan Undang-
undang nomor 7 tahun 1950 dianggap sudah tidak sesuai lagi, maka
Peraturan Perundang-undang yang baru belum terbentuk, maka dengan
Undang-Undang nomor 7 tahun 1956 ditetapkanlah perpanjangan jangka
49
Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
waktu masa kerja DPRDS yang terbentuk berdasarkan PP nomor 39 tahun
1950.
Semakin meningkatnya stabilitas Negara Republik Indonesia dan semakin
meningkatnya beban tugas dari Pemerintah Republik Indonesia, maka pemerintah
memandang perlu untuk mengambil langkah-langkah agar pelaksanaan
pemerintahan di Indonesia lebih efektif dan efisien, dengan pertimbangan bahwa
Pemerintah Daerah semakin berkembang dan mampu untuk melaksanakan
sebagian tugas dari Pemerintah Pusat, maka ditetapkan UU nomor 16 tahun 1950
yang isiny menetapkan urusan-urusan atau sebagian urusan yang diserahkan
kepada Pemerintah Daerah untuk jadi urusan rumah tangga daerah.
Bagan 8 : Struktur Pemerintahan Periode Kota Besar Surakarta
Wali Kota
Keterangan:
: garis Komando
: urusan-urusan
DPRD
S
DPU
Urusan-urusan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
Urusan-urusan yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan UU
nomor 16 tahun 1950 tersebut antara lain adalah50
:
a. Urusan umum (tata usaha)
b. Urusan Pemerintah
c. Urusan Agraria
d. Urusan Pengairan
e. Urusan Pertanian, perikanan dan koperasi
f. Urusan Kehewanan
g. Urusan Kerajinan, Perdagangan Dalam Negeri dan Perindustrian
h. Urusan Perburuhan
i. Urusan Sosial
j. Urusan pembagian (distribusi)
k. Urusan penerangan
l. Urusan Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan
m. Urusan Kesehatan
n. Urusan Perusahaan
Secara perlahan dan pasti Pemerintah Daerah Surakarta, semakin
memantapkan langkahnya dalam mengatur Pemerintahannya dan masyarakatnya.
Meskipun masih ada masalah mengenai ke absahan dari pembentukan Pemerintah
Daerah Surakarta oleh para pendudkung Swapraja. Tetapi sejak dikeluarkannya
pasal 18 ayat 5 Undang-undang No. 22/1948 yang menyatakan bahwa “Kepala
Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga, yang berkuasa
50
Ibid., hlm. 36-37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
dizaman sebelum republik Indonesia dan yang masih menguasi daerahnya”, maka
dari itu, secara otomatis hapuslah kekuasaan Swapraja Kasunanan dan
Mangkunegaran. Selama tidak adanya perubahan pada pasal tersebut maka
Pemerintah Daerah Surakarta tetap berkuasa sebagai pemerintahan yang sah.
Sejak tanggal 15 Juli 1946, dengan dikeluarkannya Penetapan Pemerintah
No. 16/SD tahun 1946 sebagai tindakan sementara, Kepala Daerah Swapraja
secara de facto tidak lagi memegang kekuasaan Kepala Daerah. Tetapi perlu
diperjelas bahwa hal ini merupakan persetujuan antara kedua Swapraja untuk
mengatasi ketegangan yang terjadi pada saat itu. Ketika rancangan Undang-
undang No. 22 tahun 1948,51
yang pada pokoknya adalah memberikan dasar-dasar
pemerintahan daerah (otonom) di seluruh Indonesia. Hal ini dibicarakan oleh
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, S.P. Paku Buwana XII telah
mengajukan surat yang berisi pendapat dan usul untuk diadakan perubahan-
perubahan dalam Rancangan Undang-undang tersebut. Setelah itu dengan
diberlakukannya Undang-undang No. 22 tahun 1948 yang membagi habis daerah-
daerah di Surakarta menjadi daerah otonom.
Begitu juga dengan dibentuknya Pemerintah Daerah Surakarta yang telah
berjalan dan pada awal pembentukannya telah memberi sumbangsihnya dalam
mempertahankan eksistensi Pemerintah Pusat yang tercermin dari stabilitas
Pemerintah Daerah itu sendiri. Hal ini juga menjadi titik balik dimana Birokrasi
Tradisional (Swapraja) terhapus dan digantikan dengan Birokrasi Modern yang
ditandai dengan terbentuknya Pemerintah Daerah Surakarta yang berkuasa secara
51
Dr. Sri Juari Santosa, Op.cit. Hal.158
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
otonom sesuai dengan Undang-undang yang mengaturnya. Terbentuknya
Pemerintahan ini juga atas kehendak masyarakat Surakarta yang menginginkan
Pemerintah Demokratis, yang sesuai dengan perkembangan zaman pada saat itu
dan mencerminkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
BAB IV
DAMPAK DARI TERNBENTUKNYA BIROKRASI MODERN
DI SURAKARTA
Masyarakat modern mengenal konsep atau sistem politik demokrasi. Inti dari
demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari
keterangan singkat itu tertangkap bahwa subjek demokrasi adalah rakyat, yang
menentukan arah dan tujuan negara. Mereka juga memilih siapa yang diserahi
tugas untuk mengantarkan mereka mencapai tujuannya. Karena jumlah rakyat
begitu besar, maka mereka membentuk perwakilan lewat pemilihan umum yang
berlangsung secara bebas dan rahasia.
Agar pemerintahan yang dibentuk sungguh-sungguh menyelenggarakan
kepentingan mereka, maka demokrasi menuntut adanya keterbukaan terhadap
kontrol sosial. Berbagai sarana demokrasi dapat menjadi alat bagi
berlangsungnya kontrol sosial itu, seperti DPR, Parpol, Ormas, Pers.
Untuk dapat menyelenggarakan kepentingan rakyat banyak, pemerintah
membagi wilayah Indonesia dalam sekian banyak propinsi, kabupaten,
kotamadya, kecamatan, kelurahan, dan seterusnya. Untuk menjaga keamanan dan
pertahanan pemerintah mempunyai tentara dan polisi. Semua itu merupakan
aparat birokrasi.
Dalam sejarah perkembangannya di awal kemerdekaan yang dimulai dari
periode Badan Perwakilan Rakyat, Haminte Kota Surakarta hingga menjadi
Pemerintah Kota Surakarta hingga saat ini memang banyak terjadi perubahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
struktur di dalam pemerintahannya. Di bentuknya Pemerintah Kota Surakarta ini
sepenuhnya dimulai dari nol, bukan merupakan perubahan dari birokrasi
Swapraja yang telah ada melainkan benar-benar dibentuk suatu Pemerintahan
baru yang lebih Modern dan tentu saja dalam penentuan jabatan tidak
berdasarkan atas garis keturunan melainkan dari kecakapan tiap-tiap orang.
Terbentuknya pemerintahan modern di Surakarta tentu memberikan berbagai
dampak. Beberapa dampak yang terlihat adalah dari system pemerintahan itu
sendiri yang sudah tidak lagi menggunakan bentuk pemerintahan Tradisional
melainkan sudah berbentuk pemerintahan modern. Di awal berdirinya
pemerintahan modern di Surakarta, pegawai yang bekerja adalah gabungan dari
pegawai Kasunanan dan Mangkunegaran. Sesuai keputusan Mentri Dalam
Negeri bahwa dengan berlakunya PP No. 16/SDN 1946 dengan dibentuknya
Karesidenan maka untuk sementara pemerintahan dijalankan oleh Pemerintah
Daerah yang pegawainya terdiri dari pegawai Mangkunegaran dan Kasunanan
serta anggota KNID Surakarta.1
Terhapusnya birokrasi tradisional dengan dbentuknya birokrasi modern
memberikan peluang bagi masyarakat umum untuk ikut berpartisipasi dalam
bidang politik. Masyarakat yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan
keraton dapat masuk menjadi pegawai pemerintahan sesuai dengan keahlian yang
dimilikinya. Karena demi mewujudkan pemerintahan yang demokratis maka yang
1 Maklumat Perdana Mentri Dalam Negeri No. 1 tentang status kepegawaian
di Kasunanan dan Mangkunegaran, arsip reksa pustaka, catalog Mangkunegaran
VIII volume 3, No. 956.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
masuk kedalam jajaran pegawai adalah dari berbagai partai dan kelompok-
kelompok kelaskaran.2
A. Lembaga Peradilan
Kelompok-kelompok atau kelas-kelas sosial dalam masyarakat mudah
menjadi basis timbulnya konflik-konflik sosial politik. Kelas-kelas sosial ini
dapat mendasari pertentangan, pergolakan maupun konflik yang cenderung
bersifat menonjolkan primordialisme dan faksionalisme. Unsur kepentingan kelas
atau kelompok sering mempengaruhi jalannya suatu peristiwa sejarah yang
terjadi. Konflik-konflik sosial politik pada masa revolusi dapat muncul antara
kaum konservatif dengan progresif, sosialis-komunis dengan nasionalis-agama,
politisi dan militer, kaum tua dan kaum muda, dan aristokrat feodal dengan
demokrasi kerakyatan. Dalam pola atau struktur konflik itu, ideologi juga
berperan penting untuk mempertajam jurang perbedaan dan kepentingan
antar kelompok yang bertikai.3
Konflik sosial politik di daerah Surakarta sebenarnya telah ada sejak awal
kemerdekaan. Kevakuman kekuasaan pada awal revolusi mengundang terjadinya
konflik kepentingan kelompok yang ada. Hukum sebab akibat berlakulah
teori, ada aksi menimbulkan reaksi. Sejak ditetapkannya Surakarta sebagai
Daerah Istimewa atau Swapraja oleh pemerintah RI di pusat pada 19 Agustus
1945, maka segera timbul reaksi dari para pejuang kemerdekaan di Surakarta
2 Paguyuban para Pelaku Pemerintah RI Balai Kota Surakarta dalam
Pendudukan Belanda, 1995, hlm. 48 3 Suyatno Kartodirdjo, Revolusi Nasional di Tingkat Lokal, (Jakarta:
Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1989) hal. 47.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
dari berbagai kelompok. Ketetapan tersebut yang kemudian diperkuat oleh
adanya maklumat raja di Surakarta tertanggal 1 September 1945 tentang
seruan kepada seluruh penduduk Surakarta untuk loyal menerima ketentuan
status Daerah Istimewa bagi kedua kerajaan di Surakarta itu. Hal ini tampaknya
dianggap bersifat bertolak belakang dengan semangat kemerdekaan atau revolusi.
Sejak awal 1945 secara nyata mulailah periode konflik sosial politik, berupa
gerakan-gerakan anti-Swapraja untuk menghapus Daerah Istimewa, gerakan
untuk mengganti Susuhunan Pakubuwono XII, dan gerakan untuk merubah
peraturan Daerah Istimewa/ Swapraja yang tidak cocok dengan zamannya.4
Gerakan-gerakan ini juga berdampak luas, misalnya perebutan pengaruh,
penculikan, dan insiden bersenjata.
Hal itu dapat terlihat dengan munculnya kelompok anti swapraja dan
kelompok pecinta swapraja. Adanya keadaan ekonomi yang buruk menambah
menjadi rumit. Keadaan yang kacau itu meninbulkan perasaan anti imperialism
dan anti feodalosme.5 Perasaan ini timbul karena balas dendam yang ditujukan
kepada pihak yang pernah membuat sengsara penduduk Surakarta.
Perasaan balas dendam merupakan akibat dari depresi yang dialami oleh
penduduk Surakarta. Menurut Samuel Stauffer bahwa deprivasi merupakan
berkaitan dengan kedaan psikologi seseorang yaitu perasaan membandingkan
antara dirinya / kelompok dengan kelompok / dirinya orang lain. Deprivasi
bersifat relative ditentukan melalui pembanding, antara lain keadaan masa
4 Suara Merdeka, 20 Februari 1983. 5 Julianto Ibrahim, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan :
Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta, (Yogyakarta : Bina
Citra Pustaka,2004), halaman 9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
lampau dibandingkan dengan keadaan masa sekarang, keadaan masa sekarang
dibandingkan dengan keadaan masa mendatang, dan keadaan suatu pihak di masa
kini dibandingkan dengan keadaan pihak lain di masa kini.6
Teori dari Samuel Stauffer dapat digunakan untuk menganalisa terjadinya
tindak kriminal di Surakarta masa revolusi. Pembandingan keadaan terjadi pada
masa revolusi 1945, penduduk Surakarta membandingkan keadaan mereka
dengan keadaan golongan kerajaan. Penderitaan masa lampau dan masa revolusi
dengan perasaan akan lebih menderita bila golongan kerajaan berkuasa lagi,
membuat konflik sosial terjadi.
Perasaan pembanding tersebut ditunjang dengan adanya keadaan untuk
melakukan konflik. Adanya struktur sosial (penduduk biasa dan elit kerajaan),
depresi ekonomi dan suhu perpolitikan yang panas, munculnya keyakinan
tentang revolusi total dari Tan Malaka, munculnya kelompok anti swapraja dan
pro swapraja setelah adanya pemberian otonomi kepada kedua kerajaan di
Surakarta, munculnya pimpinan radikal seperti Dr. Moewardi, Amir Sjarifuddin,
Aidit dan lainnya serta adanya media seperti partai politik seperti Barisan
Banteng, Pesindo, GRR dan lainnya. Keadaan tersebut menurut Neil Smelser
dapat menimbulkan suatu gejolak aksi sosial.
Perasaan untuk balas dendam dan didukung dengan keadaan sangat mudah
untuk melakukan aksi sosial dimanfaatkan oleh pengacau keamanan untuk
melakukan tindak kriminal. Para pengacau keamanan menggunakan keadaan itu
6 Anhar Gonggong, Abdul Qahhar Muzakar : Dari Pejuang Sampai
Pemberontakan, (Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia,1992), halaman 8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
untuk mendapatkan dukungan dari rakyat. Dukungan rakyat akan membantu para
pengacau keamanan dalam menjalankan aksinya. Seperti halnya masa sebelum
revolusi para penjahat selalu mendapat dukungan dari rakyat karena mempunyai
tujuan dan musuh yang sama.
Pada masa Hindia Belanda, tindak kriminal dianggap oleh penduduk
Surakarta sebagai teman bahkan dianggap sebagai pahlawan. Korban dari
tindakan criminal merupakan musuh dari penduduk seperti perusahaan asing,
pamong praja dan lainnya. Penduduk selalu melindungi para penjahat saat dikejar
oleh polisi begitu juga sebaliknya panjahat akan memberikan sebagian hasil
untuk diberikan kepada rakyat bahkan para kepala penjahat(benggol) merupakan
kepala desa.7
Kriminalitas yang terjadi saat revolusi fisik dan masa Hindia Belanda tidak
jauh berbeda. Tindak criminal berupa penggedoran mempunyai persamaan
dengan tindak perkecuan. Penggedoran dan perkecuan merupakan kejahatan
berbentuk perampokan yang dilakukan dengan berkelompok. Gedor dan kecu
dipimpin oleh seorang benggol yang mempunyai kelebihan tertentu daripada
anak buahnya, seperti belut putih (suatu ilmu agar dapat menghilang pada saat
akan ditangkap).8 Begal dan kecu dalam menjalankan aksinya selalu
menggunakan senjata dan bahkan tidak segan-segan melukai korbannya.
Keadaan kacau saat revolusi fisik menguntungkan bagi para penjahat untuk
melakukan kejahatan. Kriminalitas yang terjadi di Surakarta dapat dikategorikan
7 Suhartono, Apanage dan Bekel, Perubahan Sosial di Pedesaan
Surakarta 1830 – 1920, (Yogyakarta: Tiara Wacana,1991), halaman 155 8 Ibid, hlm 154
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
dua bentuk. Bentuk pertama merupakan kriminalitas yang berbentuk
penggedoran atau perampokan, yang dilandasi perekonomian. Bentuk kedua
merupakan kriminalitas yang berbentuk penculikan dan pembunuhan yang
dilandasi politik.
Pada awal revolusi di Surakarta krimminalitas yang terjadi tidak begitu
banyak namun waktu terjadi agresi kedua, kriminalitas bertambah. Pelaku
kejahatan dilakukan oleh berbagai macam latar belakang, dari orang miskin, anak
muda bakan dari pihak TNI (Tentara Nasional Indonesia). Pihak tentara dapat
menjadi pelaku kejahatan dikarenakan adanya rencana serangan umu empat hari
di Surakarta, sehingga diperlukan logistic.9 Pemenuhan logistic bisa dengan
meminta atau merampok, yang menjadi korban merupakan orng Tionghoa dan
abdi dalem keraton.
Hukum selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa. Menurut
Samprofd dalam teori Ceos (ketidakteraturan), hukum bukanlah suatu
sistem yang teratur tetapi merupakan sesuatu yang berkaitan dengan
ketidakteraturan, tidak dapat diramalkan dan bahwa hukum sangat dipengaruhi
oleh presepsi orang dalam memaknai hukum tersebut. Hal itu dapat disimpulkan
bahwa hukum akan selalu mengikuti gerak masyarakat yang dinamis, karena
didalam masyarakat terdapat faktor yang mempengaruhi misalnya kekuasaan.10
Keinginan penguasa terhadap hukum yang diberlakukan di daerahnya
membuat hukum akan mengalami perkembangan. Logika dan struktur
9 Julianto Ibrahim, Op.cit, hlm 235 10 H.R. Otje Salman s. Anthon F Susanto, Teori Hukum: Mengingat,
Mengumpulkan dan Membuka Kembali, (Jakarta : Refika Aditama, 2008),hlm
112
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
hukum muncul dari adanya power relation dalam masyarakat. Kepentingan
hukum adalah untuk mendukung kepentingan kelas dalam masyarakat yang
membentuk hukum tersebut (teori hukum CLS (Critical Logica Studies)).11
Pertama kali di Mataram diadakan perubahan didalam tata hukum di
bawah pengaruh Islam oleh Sultan Agung yang dikenal sebagai raja yang alim
dan menjunjung tinggi agamanya. Perubahan itu pertama-tama diwujudkan
khusus dalam pengadilan yang dipimpin oleh raja sendiri. Pengadilan Pradoto
diubah namanya menjadi pengadilan Surambi, karena pengadilan ini tidak
mengambil tempat persidangan di Sitinggil, melainkan di Serambi Masjid
Agung. Perkara-perkara kejahatan yang menjadi urusan pengadilan dikenakan
hukum kisas, padahal istilah ini tidak sesuai dengan arti kata yang sebenarnya.
Hukum Islam berlaku untuk semua rakyat kerajaan walaupun terdapat
penyimpangan dalam penerapannya. Sumber hukum Islam terdapat pada Qur’an
dan Sunnah. Raja merupakan pengambil keputusan dalam setiap perkara pidana
maupun perdata. Hal itu disebabkan raja merupakan khalifatullah (wakil Tuhan
di dunia) yang mendapatkan tiga wahyu yaitu wahyu nubuwah, wahyu kukumah,
wahyu wilayah.12
Wahuyu nubuwah merupakan wahyu yang mendudukan raja sebagai wakil
Tuhan, untuk wahyu kukumah merupakan wahyu yang menempatkan raja
segagai sumber hukum sehingga segala putusan tidak boleh dibantah atau
ditentang oleh rakyatnya. Wahyu wilayah merupakan wahyu yang menempatkan
11 Ibid, halaman 124 12 Darsiti Soeratman, 1994, Kehidupan Dunia keraton Surakarta 1830-
1939, Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, halaman 3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
raja sebagai pelindung dan memberikan penerangan kepada rakyatnya.
Pada masa kerajaan, Surakarta merupakan kerajaan yang berlandaskan
pada sendi Islam, sehingga segala macam hukum atau pengadilan berlandaskan
Islam walaupun terdapat beberapa penyimpangan. Pandangan seorang pakar
Belanda Ladewijk Willem Christian Van Den Berg (1845-1942) dalam teorinya
yakni reception in complex, Berg mengatakan bahwa hukum Islam telah berlaku
secara keseluruhan untuk umat Islam Nusantara13
Pecahnya Surakarta menjadi dua wilayah adminitrasi mengakibatkan pecah
pula pengadilan raja. Perpecahan tersebut ditandai dengan adanya perjanjian
Salatiga pada tahun 1657 sehingga Surakarta dibagi menjadi dua wilayah,
wilayah Kasunanan dan Mangkunegaran. Kasunanan Surakarta menggunakan
pengadilan pradoto gedhe, pengadilan pradoto dan pengadilan Surambi, untuk
Mangkunegaran menggunakan pengadilan pradoto dan pengadilan surambi.
Tiap-tiap pengadilan bagi kedua kerajaan memiliki yuridiksi masing-masing dan
tidak boleh melanggar yuridiksi pengadilan lain, selain itu terdapat pengadilan
Gubernamen yang berada di wilayah karesidenan. Bagi bangsa Eropa yang
melanggar hukum baik itu sebagai tersangka maupun pelapor, maka yang wajib
menjalankan perkara yaitu Raad van Justitie.14
Hukum dan pengadilan kerajaan lama ke lamaan mengalami kehilangan
kedaulatan kekuasaan. Adanya campur tangan pihak asing seperti pemerintahan
Inggris dan Belanda merupakan penyebab utama. Pemerintahan Inggris oleh
13
Arso Sastroatmodjo dan Wasit Aulawi, 1975, Hukum Perkawinan
di Indonesia, Jakarta : Bulan Bintang, halaman 11 14
Staatblad tahun 1848 no 9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
Raffles melihat bahwa hukum Islam yang diberlakukan tidak mempunyai peri
kemanusiaan dan menjadi tontonan bagi rakyat. Pemerintahan Belanda
menginginkan adanya suatu unifikasi (persamaan) dalam hukum dan pengadilan
bagi semua seluruh rakyat pribumi ataupun orang asing (Eropa dan Arab atau
Cina). Adanya unifikasi hukum tidak berlaku bagi golongan kerajaan dan para
abdi dalem. Mereka mengikuti hukum Eropa namun pengadilan masih
menggunakan pengadilan raja. Pada tahun 1915 muncul suatu undang-undang
kriminal yang bernama Wetboek van Straffecht (W.v.S) yang sekarang
merupakan landasan hukum bangsa Indonesia. Masa pemerintahan Jepang W.v.S
tetap digunakan.
Pada tahun 1903 merupakan hilangnya kekuasaan pengadilan raja
terhadap rakyatnya. Rakyat Surakarta pada waktu itu diberlakukan hukum Eropa
dan pengadilan dilakukan oleh landraad dan landgerecht15. Pengadilan raja
hanya diberi wewenang untuk mengadili golongan kerajaan dan abdi dalem atau
yang sesuai dengan perjanjian kontrak politik. Pada masa pemerintahan Jepang,
hukum yang diberlakukan berupa hukum militer Jepang (Osamu Gunrei),
namun melalui uu no 2 tahun 1942 hukum dan pengadilan pada masa Hindia
Belanda masih digunakan asal tidak bertentangan dengan pemerintahan. Tahun
1944 pemerintahan Jepang mengeluarkan uu yang dinamakan Osamu
Kenzerei (uu kriminal). Undang- undang itu terdapat pasal yang menyatakan
bahwa akan dibebaskan dari tuduhan apabila terdakwa mau mengakui
15
R Supomo, 1982, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia
ke II, Jakarta : Pradya Paramita, halaman 85
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
kesalahannya16. Segala kebaikan dari kebijakan pemerintahan Jepang sangat
mudah diterima tapi hal itu hanya untuk kepentingan pemerintahan. Golongan
kerajaan dan abdi dalem masih dalam lingkungan pengadilan pradoto. Golongan
ini diberikan lingkungan peradilan tersendiri sehingga dimanfaatkan oleh
beberapa abdi dalem untuk melakukan tindak kriminal seperti meminta uang
tagihan kepada rakyat secara berlebihan atau korupsi. Berbeda dengan rakyat
biasa, bila ada yang melakukan tindak kriminal maka akan dikejar lalu dihukum
mati, bahkan perkaranya tidak diajukan kepada pengadilan17. Hukum peradilan
pada masa revolusi merupakan lanjutan dari peradilan pada masa Jepang. Hal itu
disebabkan bangsa Indonesia belum bisa membuat uu kriminal sendiri. Hukum
kriminal yang digunakan bukan hukum buatan Jepang melainkan hukum buatan
Hindia Belanda yang sudah diperbaharui pada tahun 1942. Ada beberapa hal
yang dikurangi atau diganti dalam uu kriminal tersebut. Undang-undang
kriminal itu lalu diundangkan dalam uu no 1 tahun 1946.18 Susunan dan
kekuasaan pengadilan masa revolusi merupakan penyederhanan dari susunan
pengadilan masa pemerintahan Jepang.
Pada akhir revolusi hukum peradilan di Surakarta mengalami perubahan.
Peradilan tidak lagi menggunakan cara sipil melainkan dengan cara militer. Hal
itu disebabkan Surakarta berada dalam kekuasaan Belanda. Hukum dan
pemerintahan harus tetap dijalankan walau dalam keadaan perang. Adanya
16
Kan Po no 43 boelan 5 tahoen 2604 17
Julianto Ibrahim, Op.cit, halaman 132 18
Oendang-Oendang Tentang Peratoeran Hoekoem Pidana Tahoen 1946”.
Arsip reksa Pustaka Mangkunegaran VIII no 2440.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
peradilan yang berlaku akan membuat penduduk lebih pecaya terhadap negara.
Masa revolusi fisik peradilan mengalami perubahan dua kali. Saat awal
revolusi peradilan Surakarta masih tetap dijalankan oleh sipil walaupun hanya
sebatas pelaksanaan keputusannya tidak sesuai dengan sumber hukum. Saat akhir
revolusi peradilan berubah dari sipil menjadi militer. Perubahan itu ditandai
dengan terbitnya Surat keputusan no 46 / MBKD / 1949, yang dikeluarkan oleh
komandan angkatan perang Jawa, Kolonel A.H. Nasution.19
Setelah Pemerintah Daerah Suarakarta terbentuk secara otomatis
menghapus adanya Swapraja di Surakarta baik itu Swapraja Kasunanan maupun
Swapraja Mangkunegaran. Tentu saja banyak dibentuk lembaga-lembaga untuk
membantu jalannya Pemerintah Daerah Surakarta dalam mengatur masyarakat
dan juga urusan-urusan keseharian Pemerintah Daerah Surakarta. Meskipun dulu
pada masa Birokrasi Tradisional masih berkuasa di Surakarta, Keraton
Kasunanan yang mengatur segala macam kehidupan dalam masyarakat, seperti
lembaga peradilan, Pajak, transportasi dan masih banyak lagi. Lembaga-
lemabaga itu hilang dan digantikan dengan lembaga baru yang dibentuk oleh
pemerintahan yang baru ini.
Seperti lembaga peradilan di Surakarta, yang awalnya lembaga
pengadilan pada masa birokrasi tradisional di selenggarakan di serambi masjid,
maka dari itu dinamakan Pengadilan Surambi. Penga;dilan ini menangani perkara
sipil (pidana) dan juga masalah criminal (perdata). Pemimpin pengadilan ini
19
A.H. Nasution, 1992, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 10,
Bandung : Angkasa, halaman 420
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
adalah Penghulu yang memiliki gelar Kanjeng Kyai Mas Penghulu Tafsir Anom
Adiningrat, yang dibantu oleh empat orang ulama dan delapan orang khotib.
Pada tanggal 14 Juli 1947, mentri kehakiman membuat maklumat No. 02,
tentang penghapusan peradilan kerajaan. Sebelum maklumat tersebut diputuskan,
mentri kehakiman sebelumnya mengirimkan maklumat tersebut kepada para Raja
di Jawa untuk meminta persetujuan. Sri Hamengku Buwana IX tanggal 11
Januari 1947 no. 1/ D.D dan 29 Mei 1947 no. 2/ D.D, Sri Paduka Paku Buwana
XII tanggal 10 Maret 1947 no. 385 dan 20 Mei 1947 no. 634 dan Sri
Mangkunegaran VIII bulan April 1947 no. 5/I/A yang kesemuanya memberikan
jawaban tidak menolak terhadap maklumat mentri kehakiman tersebut.20
Udang-undang tersebut, selain berisi tentang penghapusan pengadilan
raja, juga mengatur tentang peralihan perkara yang ditangani oleh pengadilan raja
(Pradoto). Semua pengadilan raja di Jawa dan Sumatera dihapuskan (pasal 1
ayat
1) dan kekuasaan pengadilan raja dialihkan pada pengadilan negari (pasal 1
ayat
2). Semua perkara yang baru ditangani oleh pengadilan raja, dialihkan kepada
pengadilan negeri dan menggunakan hukum negara yang telah diperbaharui
dengan cara mengirimkan surat / berkas perkara kepada pengadilan negeri
(pasal 2). Perkara yang sudah diputuskan oleh pengadilan raja tetap
menggunakan hukum yang berlaku pada saat itu yaitu hukum kerajaan (pasal 3),
sedangkan uu no. 23 mulai berlaku pada tanggal 29 Agustus 1947 (pasal
20
“Surat Balasan Mangkunegaran VIII kepada Mentri Kehakiman”. Arsip
Reksa Pustaka Mangkunegaran VIII. No. 2388
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
4).21 Seluruh aspek mengenai pengadilan dan hukum kerajaan sudah tidak
diberlakukan lagi di Surakarta dan perkara-perkara yang sebelum tanggal 29
Agustus 1947 masih diberlakukan hukum lama.
Penghapusan pengadilan raja dilakukan pemerintah republik
karena beberapa alasan. Alasan pertama yang mendasari dikeluarkannya uu itu
yakni adanya keinginan dari penduduk melalui dewan perwakilan daerah
Jogjakarta tentang persamaan kewajiban dan hak warga Negara Indonesia
mengenai pemberlakuan hukum, karena di keluarga kerajaan masih
diberlakukan
pengadilan raja.22 Alasan kedua perpisahan pengadilan bagi warga
Negara Indonesia tidak dapat ditoleransi karena bangsa Indonesia bukan bangsa
warisan Hindia Belanda. Adanya daerah istimewa (Jogjakarta dan Surakarta)
bukan berarti adanya keistimewaan dalam hukum karena daerah istimewa bukan
daerah kontrak.23 Alasan ketiga diperlukan persatuan dalam menghadapi
peperangan yang terjadi. Adanya penghapusan pengadilan raja membua keadaan
keluarga Kasunanan dan Mangkunegaran dan para jabatan tingginya mempunyai
kesamaan dalam hukum. Adanya undang-undang tersebut, golongan yang dulu
berada dalam kekuasaan pengadilan raja menjadi sama-sama ikut dalam
21
“Oendang-Oendang No 23 Tahoen 1947 Tentang Penghapoesan
Pengadilan Radja (zelfbesturrechtpraak) di Djawa Dan Sumatera”. Arsip reksa
Pustaka MangkunegaranVIII no 2388. 22
“Soerat Kepada Menteri Kehakiman Tentang Hasil Rapat Pleno
Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Jogjakarta”. Arsip Reksa Pustaka
Mangkunegaran VIII no 2388 23
“Pendjelasan Oendang-Oendang No 23 Tahoen 1947 Tentang
Penghapoesan Pengadilan Radja (zelfbesturrechtpraak) di Djawa dan Soematera.
Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran VIII no 2388
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
kekuasaan pengadilan negeri. Hilangnya kekuasaan pengadilan raja membuat
para pejabat tinggi keraton tidak berani seenaknya melakukan tindak kriminal.
Hal ini menandakan bahwa dengan terbentuknya birokrasi modern di Surakarta
yang salah satu dampaknya adalah dengan dihapuskannya pengadilan tradisional
dan terbentuknya pengadilan yang dipegang oleh pemerintah daerah sehingga di
mata hukum semua orang sama meskipun orang itu kerabat kerajaan.
Pada awal revolusi hukum yang berlaku masih menggunakan hukum
balatentara Jepang. Pada tahun 1946 melalui undang-undang no 1 tahun 1946,
pemerintah mengeluarkan putusan bahwa hukum acara pidana yang dipakai
merupakan hukum Hindia Belanda tahun 1942 bukan hukum kriminal
buatan Jepang (Gunsei Keizerei). Ada beberapa peraturan-peraturan hukum
pidana Hindia Belanda yang mengalami perubahan. Perubahan-perubahan
dalam peraturan hukum Hindia Belanda tahun 1942 hanya semata-mata
untuk disesuaikan dengan Negara Indonesia yang merdeka, misalnya
Wetboek van Strafecht Voor Nederlandch-Onderdaan dalam kitab undang-
undang hukum pidana diganti dengan warga Negara Indonesia.24
Susunan dan bentuk pengadilan pada masa revolusi masih melanjutkan
susunan dan bentuk pengadilan masa pemerintahan Dai Nippon. Dalam aturan
peralihan undang-undang dasar 1945 pasal II disebutkan semua badan Negara
dan peraturan yang ada masih dapat digunakan selama tidak bertentangan dengan
undang-undang dasar. Berdasarkan aturan peralihan undang-undang dasar itu,
pengadilan pada masa Jepang tetap dijalankan.
24
“Oendang-Oendang Tentang Peratoeran Hoekoem Pidana Tahoen 1946”.
Arsip reksa Pustaka Mangkunegaran VIII no 2440.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
Susunan dan kekuasaan pengadilan pada masa Jepang masih dijalankan,
walaupun terdapat penggantian nama dan penambahan pengadilan. Pada tahun
1947 melalui undang-undang no. 7 tahuan 1947, dibuat makamah agung. Daerah
Surakarta masih terdapat pengadilan diantaranya : 1) pengadilan kawedanan
pengganti dari Gun Hooin, 2) pengadilan kabupaten pengganti dari Ken Hooin,
3) pengadilan kepolisian pengganti dari Keizai Hooin, 4) pengadilan
negeri pengganti dari Tihoo Hooin. Susunan pengadilan ini masih berlaku sampai
tahun 1948. Susunan dan kekuasaan pengadilan pada masa Hindia Belanda tetap
dipertahankan walaupun nama pengadilan dirubah.
Adanya aturan yang jelas dalam penerapan hukum tidak membuat
peradilan berjalan sebagaimana mestinya. Gejolak politik yang kacau
mengakibatkan aturan itu tidak dapat digunakan dengan baik. Hukum yang
dibuat oleh pemerintahan tidak untuk digunakan dalam keadaan perang atau
keadaan bahaya. Hal itu terjadi di Surakarta yang diberlakukan keadaan daerah
bahaya perang sebanyak dua kali bahkan samapi tiga kali (saat terjadi
pemberontakan PKI 1948 dan agresi militer Belanda II). Adanya itu maka
dibutuhkan suatu penegakan hukum yang baik namun dalam kenyataannya
masih kurang.
Penegakan hukum harus memperhatikan tiga unsur yakni kepastian
hukum, kemanfaatan dan keadilan.25 Rakyat mengharapkan kepastian
hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.
Masyarakat juga menginginkan adanya kemanfaatan dalam penegakan hukum.
25
Sudikno Mertokusumo., Mengenal Hukum : Suatu Pengantar,
( Yogyakarta : Lyberti, 1985), hlm. 140
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
Penegakan hukum harus tanpa menimbulkan keresahan di masyarakat.
Masyarakat juga menginginkan dalam penegakan hukum harus mempunyai nilai
keadilan. Hukum tidak identik dengan keadilan, mungkin penegakan hukum
adil bagi seseorang dan tidak adil bagi yang lain.
Penegakan hukum dapat mempengaruhi keadaan sosial ekonomi
masyarakat pada suatu daerah. Tidak berjalannya hukum mengakibatkan orang
atau kelompok melakukan sesuatu berdasarkan kehendaknya, baik itu yang
melanggar hukum atau tidak. Keadaan ini dimanfaatkan oleh beberapa kelompok
untuk melakukan kerusuhan di Surakarta, seperti partai oposisi (PKI, FDR dll)
bagi pemerintahan Indonesia. Banyaknya para partai politik yang mempunyai
senjata yang bertujuan untuk membela partainya, mengakibatkan sering terjadi
bentrokan dengan partai lain seperti penyerangan partai Barisan Banteng
terhadap partai Pesindo di Gladag dan Singosaren.26
Keadaan yang kacau dapat membuat masyarakat tidak percaya terhadap
pemerintah karena pemerintah dianggap tidak dapat menjamin keamanan dan
ketertiban. Penegakan hukum yang kurang diakibatkan dua faktor yaitu
kurangnya kekuatan di penegak hukum dan belum adanya aturan yang tegas
dalam pemberlakukan hukum. Kurangnya personil penegak hukum di Surakarta
merupakan salah satu faktor kurangnya ketegasan dalam penegakan hukum di
Surakarta.
Tanpa adanya aturan yang tegas tercermin dari putusan pengadilan negeri
Surakarta. Hampir dari semua putusan perkara pengadilan tidak berdasarkan
26
Julianto Ibrahim, Op.cit, hlm. 174
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
hukum yang berlaku bahkan hampir semua putusan perkara hanya berupa
tahanan luar.27
Putusan pengadilan yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku
dikarenakan masih adanya kebiasaan dari para hakim, pada waktu masa
pemerintahan Jepang. Pada masa itu hakim dapat memberikan hukuman kepada
tersangka hanya berdasarkan kebijakannya. Hal lain yang mempengaruhi putusan
pengadilan yaitu karena keadaan Surakarta yang kacau sehingga pengadilan tidak
berjalan sebagaimana mestinya.
Pada awal revolusi orang atau kelompok yang kuat dapat menjalankan
pengadilan sendiri terhadap kelompok yang lemah bahkan orang atau kelompok
yang dianggap pro Belanda akan dihukum. Banyak para komandan
bertindak sendiri sendiri sebagai hakim tanpa adanya kontrol sehingga sulit
dibedakan antara pembunuhan dengan hukuman mati, sulit membedakan antara
penahanan dengan penculikan dan sulit membedakan antara perampokan dengan
penyitaan. Agar kekacauan itu tidak terulang lagi maka pemerintahan melalui
pemimpin tertinggi MBKD membuat suatu peraturan tentang menjalankan
peradilan dalam keadaan bahaya perang.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda berhasil menguasai daerah
Republik. Pimpinan besar angkatan perang Jenderal Soedirman mengintruksikan
supaya pemerintahan dijalankan dengan cara militer. Pemerintahan yang
berbentuk militer mengakibatkan ikut berubahnya bentuk peradilan. Peradilan
27
Hampir dalam berkas kasus acara pengadilan di Surakarta menyatakan
bahwa penjahat hanya mendapatkan hukuman luar tahanan. Berkas Kasus Acara
Pidana di Pengadilan Negeri Surakarta Tahun 1945-1946
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
yang semula dijalankan dengan cara sipil diubah menjadi peradilan militer yang
dijalankan dengan cara militer, sedangkan hukum yang digunakan disesuaikan
dengan keadaan perang. Badan pemerintahan termasuk pengadilan
dijalankan dengan gerilya, diungsikan di daerah pinggiran. Alat pemerintahan
diungsikan bertujuan agar pemerintahan tetap berjalan semestinya walaupun
dalam keadaan perang.
Pada tanggal 1 Februari 1949 komandan tertinggi angkatan darat Jawa,
Kolonel A. H. Nasution mengeluarkan surat keputusan tentang pengaturan
peradilan militer pada masa bergerilya. Surat keputusan itu dikenal dengan Surat
Keputusan No 46 / MBKD / 1949. Surat keputusan ini mengatur tentang
peraturan darurat pengadilan Tentara Pemerintahan Militer, Pengadilan Sipil
Pemerintahan Militer, Mahkamah Tentara Luar Biasa dan tentang cara
menjalankan hukuman penjara. Kehakiman dalam keadaan darurat hanya
sampai pada tanggal 19 April 1950, karena Belanda sedikit demi sedikit menarik
pasukannya di daerah republik.28
Surat keputusan ini memberikan suatu keyakinan kepada masyarakat
bahwa negara masih dapat menegakkan hukum walaupun dalam keadaan perang.
Sebagai negara hukum, hukum harus ditegakkan walaupun dalam keadaan
perang.29 Adanya suatu kepastian hukum dari negara menambah
kepercayaan masyarakat bahwa negara masih ada dan dapat memberikan atau
28
Surat Putusan : Tentang Pengembalian Keadaan Pengadilan Negeri
dan Kepolisian di Surakarta Dalam Keadaan Sebelum 19 Desember 1948”.
Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran VIII no 1128. 29 Uraian Tentang Pemerintahan Republik Indonesia, Mengenai Hal-Hal
Staatsrechtelijk”. Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran VIII no. 2232
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
menjalankan peradilan. Adanya aturan yang tegas dalam penegakan hukum
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Kepastian hukum dapat
memberikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sehingga tidak
dapat dimasuki pengaruh dari Belanda.
B. Jawatan Penerangan
Selain lembaga Peradilan yang terbentuk pada masa Birokrasi Modern, ada
juga lembaga Penerangan yang sangat membantu kerja pemerintahan guna
menyiarkan kabar kepada masyarakat mengenai segala kinerja dan berita yang
terjadi pada masa itu. Komunikasi massa adalah komunikasi dengan
menggunakan media massa modern yang meliputi surat kabar yang mempunyai
sirkulasi yang luas, radio dan televisi yang siarannya ditujukan kepada
masyarakat umum. Melakukan kegiatan komunikasi massa jauh lebih sulit dari
pada komunikasi antar pribadi.
Seorang komunikator yang menyampaikan pesan kepada ribuan pribadi yang
berbeda-beda satu sama lain tetapi pada saat yang sama, tidak akan bisa
menyesuaikan harapannya untuk memperoleh tanggapan komunikasi secara
pribadi. Dalam komunikasi massa ada dua tugas kominikator, yaitu mengetahui
mengenai apa yang disampaikan dan bagaimana cara penyampaian, sehingga
berhasil melancarkan penetrasi kepada benak komunikan. Sebuah pesan yang
isinya lemah yang disampaikannya dengan lemah pula kepada jutaan orang bisa
menimbulkan pengaruh yang kurang efektif berbanding dengan pesan yang
disampaikan dengan baik kepada komunikan yang jumlahnya sedikit. Sifat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
komunikasi massa adalah:30
1. Pesan komunikasi yang disampaikan media massa adalah terbuka untuk
setiap orang
2. Komunikan bersifat heterogin
3. Media massa mengandung keserempakan.
Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, komunikasi massa
sangat diperlukan, karena dengan adanya komunikasi khalayak dapat mengetahui
tentang perjuangan yang sedang dilakukan oleh para pejuang Indonesia dalam
melawan Belanda. Dengan adanya komunikasi massa ini diharapkan tidak hanya
angkatan bersenjata Indonesia yang berjuang mempertahankan kemerdekaan
Indonesia melainkan rakyat juga ikut berjuang. Dengan adanya pemberitaan
tentang perjuangan yang dilakukan oleh para pejuang RI diharapkan juga
semangat rakyat untuk ikut berjuang juga muncul dan rasa nasionalisme yang
kuat yang tertanam dalam jiwa rakyat Indonesia ikut muncul pula.
Salah satu kebutuhan masyarakat yang sangat dirasakan baik pemerintah
maupun rakyat dimasa gelora revolusi adalah penerangan. Penerangan yang
memberikan gambaran dengan tegas kepada rakyat tentang tujuan dan cita-cita
revolusi Indonesia, penerangan yang menggelorakan api perjuangan disertai
kerelaan berkorban dan menderita untuk mencapai cita-citaitu. Penerangan yang
membimbing kepercayaan akan diri sendiri dan kesadaranakan harga diri sebagai
bangsa yang terhormat. Disamping itu penerangan perlu untuk memberi
30
Arief Setiyadi Hidayat. Skripsi. 2006, “Peranan Radio Republik Indonesia
Stasiun Surakarta dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Tahun 1946-1949 di Surakarta”. Semarang:UNY Press. Hal 84-85.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
pengertian-pengertian dan bimbingan supaya kekuatan rakyat yang berkembang
ditengah-tengah revolusi itu tidak salah jalan menjadi anarki yang dapat menelan
diri sendiri, tetapi disalurkan dan dipimpin menjadi kekuatan revolusi nasional
yang bulat.
Pentingnya penegasan mengenai Jawatan Penerangan supaya tidak terjadi
salah paham antara berbagai kalangan. Jawatan Penerangan bertugas untuk
memberikan penyuluhan kepada rakyat diharapkan supaya tidak ada keraguan
dan prasangka buruk dari berbagai pihak. Maka terbagilah menjadi dua jawatan
yaitu Jawatan Penerangan Rakyat dan Jawatan Penerangan Pemerintah.31
1. Jawatan Penerangan Rakyat
Jawatan Penerangan Rakyat didirikan pada tanggal 1 Februari 1949. Menurut
bahasa Belanda Jawatan Penerangan Rakyat dinamakan dengan Bevolkings
Voorlightings Dienst atau disingkat dengan B.V.D.
Jawatan Penerangan Rakyat ini juga memiliki tugas dan wewenang masing-
masing. Kantor Jawatan Penerangan Rakyat bertempat di Karesidenan
Semarang, Bojong 138 Semarang atau Het heef v/d Residentie Bevolkings
Voorlightings Dienst Semarang, Bojong 138 Semarang. Kantor Jawatan
Penerangan Rakyat tersebut merupakan Jawatan Penerangan Rakyat se-Jawa
Tengah.
Tugas dan kewajiban utama dari Jawatan Penerangan Rakyat adalah
memberikan penerangan-penerangan dan petunjuk-petunjuk yang khusus
31
berkas masalah keterangan mengenai Jawatan Penerangan Rakyat dan
Jawatan Pemerintah. Surakarta: Reksa Pustaka, no. 2558
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
dibutuhkan oleh rakyat se-Jawa Tengah.
Pelaksanaan tugas pemberian penerangan ini harus berhati-hati, bijaksana dan
netral karena jika melakukan kesalahan dalam penyampaian penerangan oleh
salah seorang pegawai juru penerangan maka rakyat tidak akan percaya lagi
terhadap Jawatan Penerangan Rakyat. Rakyat cukup dengan mengecam bahwa
“penerangan membawa kegelapan”.
Jawatan Penerangan Rakyat mempunyai rencana dalam setiap melaksanakan
pekerjaannya. Ini dilakukan untuk mempermudah dalam penyampaian
informasinya. Rencana pekerjaan dari Jawatan Penerangan Rakyat antara lain:
a. Untuk menentukan penerangan dan langkah-langkahnya harus berdasarkan
oleh perhitungan yang tepat mengingat keadaan yang sebenarnya.
Sehingga Jawatan Penerangan Rakyat harus mempunyai gambaran yang
jelas tentang keadaan masyarakat.
b. Jawatan Penerangan Rakyat harus dapat menyelami suasana masyarakat
dalam kebutuhannya akan suatu penerangan/penyampaian informasi.
c. Jawatan Penerangan Rakyat harus dapat mencari cara yang sebaik-baiknya
untuk menyampaikan berbagai hal kepada rakyat dalam memberikan
penerangan.
d. Jawatan Penerangan Rakyat harus memperhatikan kondisi psikologis
masyarakat, terutama dalam masa sekarang ini dan melihat hal-hal
ditengah-tengah masyarakat secara objektif.
e. Jawatan Penerangan Rakyat harus dapat mendorong kepada rakyat untuk
mencari jalan kearah kebahagiaan, kesejahteraan, kemakmuran,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
kesempurnaan dan kemajuan rakyat yang kesemuanya ini membawa
faedah dan manfaat bagi kepentingan rakyat.
f. Untuk memudahkan dan melancarkan rencana pekerjaan ini maka Jawatan
Penerangan Rakyat harus mengadakan hubungan dengan Pamong Praja,
diikuti doleh kebijaksanaan yang sebesas-sebesarnya.
g. Hubungan rapat diantara Jawatan Penerangan Rakyat dengan Pamong
Praja dapat mengandung arti bekerja bersama-sama dalam segala
kebutuhan, masing-masing menurut kompetensinya sendiri-sendiri.
h. Untuk menunjukkan kerjasama ini maka langkah pertama Jawatan
Penerangan Rakyat melakukan kontak dengan Pamong Praja diantaranya
melakukan pengiriman pelaporan yang tepat dan objektif dalam suasana
yang sebenarnya, hingga bagi Jawatan Penerangan Rakyat dapat lebih
mudah menyiapkan bahan-bahan untuk keperluan penerangan di daerah
tersebut disamping kewajibannya sendiri. Jika dianggap perlu teks-teks
penerangan atau lainnya dari Jawatan Penerangan Rakyat yang
disampaikan pada Pamong Praja untuk diteruskan kepada rakyat , dapat
dirubah atau ditambah sesuai keadaan di daerah itu.
2. Jawatan Penerangan Pemerintah
Beberapa pekan setelah proklamasi kemerdekaan berkumandang, di
Semarang berdirilah Dinas Penerangan Provinsi Jawa Tengah dibawah pimpinan
seorang dokter ahli bedah yang terkenal yaitu Dr. Subandrio. Beliau mendirikan
dinas ini dengan keringat dan uang sendir dibantu oleh beberapa orang pegawai
diantaranya Suyoto. Dr. Subandrio juga dibantu oleh istrinya yang diketahui
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
adalah seorang dokter juga. Beberapa orang itulah yang oawal mulanya
menggerakkan aktivitas penerangan di Semarang.
Berhubung mendaratnya tentara Sekutu yang diboncengi oleh Belanda,
maka suasana Semarang menjadi sangat genting. Ketika pemerintah daerah kita
terpaksa meniggalkan kota akibat tekanan hebat dari tentara Sekutu, Belanda dan
Jepang maka Dr. Subandrio memindahkan kantornya di Solo. Ini terjadi pada
permulaan bulan oktober 1945. Di Solo Dr. Subandrio mendapat bantuan besar
dari Mukarto sebagai wakilnya yang merangkap sebagai kepala Jawatan Pusat
Garam yang berkedudukan di Solo pada waktu itu. Ketika Mukarto
mengundurkan diri dari penerangan untuk mencurahkan tenaganya pada
jawtannya. Beliau diganti oleh Mr. Sudjarwo.
Dalam melaksanakan tugasnya di tengah-tengah masyarakat, sudah pada
permulaan pertumbuhannya kementrian penerangan dan jawatan-jawatan
penerangan di daerah sering dihadapkanpada pergolakan-pergolakan dalam
kehidupan politik yang mengenai berbagai masalah yang dihadapi negara. Maka
sangat dirasakan keperluannya untuk merumuskan dengan tegas dan konkret
haluan yang harus ditempuh oleh penerangan-penerangan kita. Maka ditengah
pergolakan-pergolakan politik itulah dirumuskan haluan tersebut di Kaliurang
pada tanggal 7 Mei 1948 yang kemudian dikenal sebagai “ Pancasila Penerangan
“ dan dapat dianggap sebagai pegangan dalam menjalankan tugas penerangan
selanjutnya. Adapun isinya berbunyi sebagai berikut:32
32
Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1949 Tentang Kementrian
Penerangan. Susunan dan lapangan pekerjaan Kementrian Penerangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
a. Memberikan penerangan kepada setiaplapisan rakyat tentang politik yang
dijalankan oleh pemerintah serta memberi penerangan tentang peraturan-
peraturan yang dikeluarkan dan tindakan-tindakan yang dilakukan, baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
b. Memberi penerangan dan memperdalam pengertian tentang ideologi
Negara (Pancasila) seperti yang termaktub dalam UUD 1945
c. Memperdalam kesadaran politik dan kecerdasan membanding dari rakyat
sebagaimana yang harus ada pada tiap-tiap warga negara yang menjunjung
tnggi dasar demokrasi.
d. Memelihara dan menyuburkan jiwa dan roh perjuangan rakyat untuk
melaksanakan cita-cita negara memperkenalkan keluar negeri Negara
Republik Indonesia serta cita-cita persatuan bangsa seluruh Indonesia.
C. Jawatan – jawatan lain yang terbentuk pada Birokrasi Modern
Peran dari tiap Jawatan yang ada pada saat itu juga sangat penting dalam
mempertahankan eksistensi Pemerintah RI di Surakarta. Beberapa contoh peran
dari jawatan-jawatan yang dibentuk pada birokrasi modern di Surakarta adalah33
:
1. Jawatan Pamong Praja
Sejak zaman penjajahan Belanda telah diterapkan system pemerintahan
Pangreh Praja dengan struktur ke bawah sampai kelurahan. System ini
berfungsi efektif untuk menanamkan kekuasaan kolonial yang langsung
mampu menguasai kehidupan rakyat. Setelah Indonesia merdeka
33
Pemerintah Kota Surakarta, 50 Tahun Kotamadia Surakarta, (Surakarta:
Pemerintah Surakarta: 1995), hlm. 31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
menerapkan pula system pemerintah yang sama namun dengan nama
Pamong Praja yng berfungsi ngemong Rakyat.
Dalam mendukung pelaksanaan tugas untuk mempertahankan eksistensi
Pemerintah Republik Indonesia secara de-facto dalam kota Surakarta untuk
mengagalkan segala upaya Belanda membentuk pemerintah pre-federal
termasuk pemerintah Swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran, maka
dibentuklah Jawatan Pamong Praja. Jawatan ini berhasil menguasai 5 (lima)
Kaoenderan dan 44 Kelurahan yang menyebabkan lumpuhnya pemerintah
Swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran.
Pada waktu tentara Belanda dan NICA menduduki kota Surakarta, maka
prioritas pertama segera membentuk pemerintah Swapraja dengan system
Pangreh Praja samapai Kelurahan. Maka yang pada saat itu berperang adalah
Pamonag Praja RI berhadapan dengan Pangreh Praja Swapraja, yang tentu
saja sangat kontras dalam susunan personelnya (personeels-bezetting).
Karena para Lurah Pamong Praja RI adalah para Pelajar Pejuang yang
bergerilya, dimana rata-rata usia mereka sekitar 20an tahun bahkan ada yang
masih belasan tahun. Sedangkan para Lurah Swapraja adalah para pegawai
yang kebanyakan sudah tua-tua.
Untuk melumpuhkan pemerintah Swapraja dilakukan dari bawah, yaitu
dengan menggalang para Lurahnya itu. Meskipun mereka memperoleh
perlindungan tentara pendudukan Belanda, tetapi mereka pernah berjanji
membantu perjuangan RI karena kesadaran atau takut akan sanksi yang berat
bagi yang ingkar janji.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
Selain tugas melumpuhkan pemerintah Swapraja, Pamong Praja juga
memiliki serangkaian tugas lain yaitu :
a) Aktif membantu dan melayani kawan seperjuangan yang melakukan
operasi tempur dalam kota baik siang maupun malam.
b) Menangkis kebohongan propaganda Belanda dengan menyebarkan
pamflet, poster dan coretan-coretan tembok yang dapat
menunjukkan eksitensi Pemerintah RI di Surakarta meskipun di
duduki Belanda.
c) Dengan bantuan Rayon V menjamin keamanan rakyat sehingga
meningkatkan kewibawaan Pemerintah RI.
d) Menjelang gencatan senjata melakukan gerakan perampasan cap-
cap kantor federal dan Swapraja untuk menuntaskan lumpuhnya
pemerintah pre-federal Swapraja.
2. Tugas dan Aktivitas bidang Braintrust, Perekonomian, dan
Kemakmuran
Braintrust adalah suatu Forum Masyarakat dan Pemerintah yang
tidak melembaga, dengan tugas pokok untuk mengadakan
observasi, evaluasi dan antisipasi tentang keadaan umum di Kota
Surakarta serta memberi advis secara diminta ataupun tidak
diminta. Forum ini biasanya menjadi tim pemikir yang membantu
kinerja jawatan Perekonomian dan Kemakmuran.34
34
Ibid, hlm. 34
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
Bidang Perekonomian : pada awal dibentuknya terdapat satu team
yang bertugas menjalankan kebijaksanaan dan supervise dibidang
financial dengan bantuan pelaksanaan dari Jawatan/Instansi dan
Lembaga Masyarakat/Swasta terkait. Jawatan dan Lembaga
tersebut beberapa diantaranya secara sukarela bergabung dan
menempatkan diri untuk sementara dalam lingkup koordinasi di
bawah Koordinator Perekonomian (Koper), seperti Bank Rakyat
Indonesia, Jawatan Lalu lintas, perindustrian, koperasi-koperasi
Batik, Vrachten Kantoor, Biro Ninjnerheids Bevordering (BNB),
Kantor Rechts-Herstel dan Algemene Distributie Dienst (ADD).35
Dengan adanya kerjasama dari lembaga tersebut di atas dapat dilaksanakan
usaha diversifikasi pendapatan bagi Balai Kota berupa Pungutan Pajak, yang
diberlakukan oleh Pemerintah Militer sejak 1 Juli – 30 November 1949 secara
efektif, dengan terbentuknya Urusan Pajak Luar Biasa dalam Jawatan Keuangan
yang dipimpin oleh Koordinator Perekonomian.36
Usaha berikutnya yang dilakukan adalah penyediaan barang-barang
kebutuhan masyarakat yang mulai terbatas, sehingga dibentuklah Kantor Urusan
Pembagian Umum RI (KUPU) yang berada dalam Jawatan Kemakmuran.
Selain itu dapat dibentuk armada angkutan barang dan penumpang berupa
40 buah truck dan 11 mobil sedan serba baru milik swasta dalam kesempatan
pertama setelah Belanda mundur meninggalkan Surakartadengan terbentuknya PT
35
Ibid. 36
Ibid., hlm. 36
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
ATOS (Algemene Transport), yang membantu kelancaran arus barang baik import
maupun eksport lewat pelabuhan Semarang ke atau dari Surakarta.
Sedang dari pihak Pamong Praja bekerja sama dengan Kantor Pasar dapat
membangun 19 Bank Pasar dan 47 buah Bank Kampung yang tadinya sudah ada
sejak jaman pendudukan Belanda yang sempat tutup dapat di bangkitkan kembali
dengan pemberian modal kerja baru dari Jawatan Keuangan. Dimana asal modal
itu dari Pendapatan Urusan Pajak Luar Biasa. Selain itu juga mengembangkan
Usaha perkreditan untuk rakyat dan Usaha perusahaan kecil tanpa agunan yang
diselenggarakan oleh Kantor Modal Rakyat dalam lingkungan Jawatan
Kemakmuran, yang dimaksudkan untuk menandingi kegiatan usaha partikelir
yang mulai bangkit lagi karena dukungan dari Swapraja yang mendapat bantuan
Belanda.
Dana dari Pajak juga digunakan untuk membantu pengadaan kembali
fasilitas sarana dan peralatan Kantor bagi seluruh aparat Balaikota, selama belum
adanya subsidi dari pemerintah Provinsi. Tugas ini menjadi tanggung jawab
Kantor Pusat Perbekalan dalam lingkungan Jawatan Kemakmuran.
3. Jawatan Sosial dan Kesehatan
Bidang ini secara umum memiliki tugas yang secara kemampuan cukup
terbatas, hanya seputar melakukan perawatan anggota yang sakit, gugur dan
menyantuni para pegawai RI yang non kooperator (tidak bekerja lagi baik sebagai
pegawai Belanda maupun Swapraja) yang terbatas pula. Jawatan ini berhasil
membangun beberapa poliklinik di tiap kecamatan, serta melakukan vaksinasi
tiphus dan cholera kepada penduduk dengan diberi sertifikasi dari pihak Balai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
Kota RI. Selain itu juga pernah memberikan bantuan beras, bekerja sama dengan
Dinas Sosial Kasunanan.37
4. Usaha Dan Aktivitas Mencari Dana
Dalam perjalanan pemerintah gerilya Surakarta ini, permasalahan dana
dirasakan merupakan permasalahan yang sangat penting, dan sebisa mungkin
pemerintahan militer Surakarta harus mencari sendiri dana untuk membiayai
kehidupan pemerintahan militer Surakarta, karena tidak mungkin untuk meminta
dana dari pemerintah pusat di Yogyakarta, karena sedang terjadi peperangan dan
pemerintahan pusat sedang dalam keadaan kekosongan pemerintahan. Untuk itu
berbagai cara ditempuh oleh para pelaku pemerintah militer dan gerilya di
Surakarta. Cara yang ditempuh antara lain adalah sebagai berikut :38
1. Melacak kekayaan milik pemerintah RI.
2. Meminta sumbangan dari kawan-kawan yang ekonominya kuat
3. Mengizinkan orang-orang tertentu bekerja dengan sebagian dari gaji
mereka diserahkan untuk perjuangan.
4. Mengadakan pungutan dari kegiatan ekonomi. Sebagai contoh adalah
pungutan dari truk-truk, yang mengangkut barang dari Semarang ke
Solo. Apabila truk tersebut tidak mau membayar, maka di tengah
perjalanannya nanti truk-truk tersebut akan mendapat serangan dari
kawan-kawan pejuang RI.
37
Ibid., hlm. 37-38 38
Ibid., hlm. 43-44
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
5. Peran dan Aktivitas Kurir
Selama masa perjuangan gerilya dan keadaan Surakarta dan Ri mendaerah
militer, pekerjaan seorang kurir dirasakan sangat penting, karena di dalam
pergerakannya merupakan satu-satunya alat komunikasi. Diperlukan orang-orang
yang berani, loyal kepada bangsa dan negara serta pemerintahan militer Surakarta,
juga orang yang menjadi kurir tersebut juga harus pandai menyamar, karena cara
membawa surat dari satu pihak ke pihak lain pun juga memerlukan cara dan
kecerdikan tersendiri. Mula-mula kurir dilakukan oleh seorang laki-laki, namun
karena seiring berjalannya waktu dan keadaan, posisi kurir laki-laki ini dirasa
sudah tidak aman, sehingga diganti dengan seorang wanita.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
BAB V
KESIMPULAN
Pemberian otonomi oleh pemerintahan RI kepada Kasunanan dan
Mangkunegaran pada tanggal 19 Agustus 1945 dalam mengatur daerahnya
ternyata mendapat perlawanan yang keras. Beberapa partai politik,
kelompok atau golongan di Surakarta menyatakan menolak pernyataan tersebut.
Pernyataan pemerintah itu juga mendapat tantangan dari KNI (Komite Nasional
Indonesia) daerah Surakarta yang mendapat dukungan dari partai-partai
dan badan perjuangan. KNI daerah Surakarta juga mendapat kepercayaan oleh
partai-partai dan badan perjuangan agar dapat memerintah daerah Surakarta.
Daerah Surakarta terdapat dualisme pemerintahan, antara KNI daerah
Surakarta dengan pemerintahan swapraja.
Dualisme pemerintahan membuat pemerintahan RI mengangkat suatu
komisaris tinggi untuk daerah Surakarta dan Yogyakarta. Komisaris Tinggi ini
merupakan perwakilan dari pemerintahan RI yang berpusat di Surakarta. Pada
tanggal 19 Oktober 1945 pemerintahan RI menunjuk R P Soeroso (gubernur Jawa
Tengah) untuk menjadi Komisaris Tinggi daerah Surakarta dan Yogyakarta. Atas
usul dari KNI kepada Komisaris Tinggi dibentuklah badan pemerintahan
Direktorium yang bertujuan agar Surakarta berada dalam satu pemerintahan.
Direktorium beranggotakan Komisaris Tinggi, Paku Buwono XII dan perwakilan
KNI daerah Surakarta.
Pemerintahan RI berpikir ulang tentang apa yang harus dilakukan untuk
daerah Surakarta, karena pertentangan tersebut dapat dimanfaatkan oleh Belanda
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
dan akan bertambah kacau. Pemerintahan berusaha untuk mencegah pertikaian
bertambah luas maka pemerintahan memenuhi keinginan dari kelompok anti
swapraja. Pada tanggal 15 Juli 1946 pemerintahan mengeluarkan undang-undang
no 16/ SD/ 1946 yang menyatakan : 1) jabatan komisaris tinggi ditiadakan, 2)
daerah Surakarta untuk sementara dijadikan daerah karesidenan, 3) dibentuk
daerah baru dengan nama daerah kota Surakarta.
Dalam sejarah perkembangannya di awal kemerdekaan yang dimulai dari
periode Badan Perwakilan Rakyat, Haminte Kota Surakarta hingga menjadi
Pemerintah Kota Surakarta hingga saat ini memang banyak terjadi perubahan
struktur di dalam pemerintahannya. Di bentuknya Pemerintah Kota Surakarta ini
sepenuhnya dimulai dari nol, bukan merupakan perubahan dari birokrasi Swapraja
yang telah ada melainkan benar-benar dibentuk suatu Pemerintahan baru yang
lebih modern dan tentu saja dalam penentuan jabatan tidak berdasarkan atas garis
keturunan melainkan dari kecakapan tiap-tiap orang.
Terbentuknya pemerintahan modern di Surakarta tentu memberikan
berbagai dampak. Beberapa dampak yang terlihat adalah dari system
pemerintahan itu sendiri yang sudah tidak lagi menggunakan bentuk pemerintahan
tradisional melainkan sudah berbentuk pemerintahan modern. Selain itu banyak
dibentuk jawatan-jawatan guna membantu kinerja Pemerintah Daerah Surakarta
pada masa itu. Seperti lembaga Peradilan, Jawatan Penerangan, Jawatan Pamong
Praja, bidang Perekonomian, Bidang Sosial dan Kesejahteraan.