Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KERJASAMA INDONESIA-AMERIKA SERIKAT
BIDANG EKONOMI DAN KEUANGAN
HUBUNGAN INVESTASI INDONESIA- AMERIKA SERIKATStudi Kasus:
PT. Freeport Indonesia bentuk Foreign Direct Investment (FDI) AS di Indonesia
Oleh:
Kelompok 3
1. Fajar Hidayat Fahmi (115030100111016)
2. Gusti Mehaki Zophan (115030100111020)
3. Mufida Ade Trisna (115030100111044)
4. Ria Nur Ambarwati (115030100111046)
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
Malang
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sampai saat ini Amerika Serikat (AS) masih merupakan kekuatan utama di dunia,
baik dari sisi politik, militer, maupun ekonomi. Amerika Serikat merupakan negara
dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di dunia yakni sekitar 311.6 juta jiwa pada tahun
2011 (World Bank 2012). Pendapatan per-kapita penduduknya tercatat sebesar US$
48,100 menjadikannya sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Perekonomian AS
baik sektor manufaktur maupun sektor jasa sudah cukup maju.
Indonesia menjalin hubungan politik dan strategis yang cukup baik dengan
Amerika Serikat (AS) terutama sejak Rezim Orde Baru berkuasa di Indonesia yaitu paruh
kedua dekade 1960an. Dominasi aspek politik dan strategis dalam hubungan kedua
negara mengakibatkan AS dan Indonesia kurang mengembangkan potensi-potensi
ekonomi diantara keduanya. Sejak tahun 2009 AS juga dilanda krisis ekonomi. Upaya
peningkatan hubungan kedua belah pihak muncul dalam beberapa tahun terakhir karena
dorongan Duta Besar Indonesia yang baru dan upaya AS untuk mencari pasar lebih besar
dalam rangka pemulihan krisis ekonominya.
Namun hubungan ekonomi kedua pihak tidak cukup berkembang dibandingkan
dengan hubungan ekonomi AS dengan negara tetangga Indonesia, seperti Singapura dan
Australia. Pada bulan November 2010 pemimpin kedua negara menandatangani the US-
Indonesia Compherensive Partnership Agreement (US-Indonesia CPA) yang merupakan
komitmen jangka panjang kedua negara untuk meningkatkan dan memperdalam
hubungan bilateral. Salah satu sektor yang menjadi fokus kerja sama adalah sektor
ekonomi. Selain menandatangani CPA, upaya Pemerintah Indonesia dan AS untuk
meningkatkan hubungan ekonomi kedua negara ditandai dengan pembentukan beberapa
forum untuk memfasilitasi dialog dan kerjasama ekonomi diantara kedua negara. Forum
dan insiatif tersebut terdiri atas: US-Indonesia Trade and Investment Dialogue,
Commercial Dialogue, dan Overseas Private Investment Corporation (OPIC).
Di bidang ekonomi dan keuangan, dalam hubungan perdagangan neraca
perdagangan nilai ekspor komoditas non migas Indonesia ke Amerika Serikat selama
Januari – September 2012 tercatat sebesar US$ 11,08 miliar atau 9,69 % dari keseluruhan
ekspor non migas sebesar US$ 114,36 miliar (BPS: 2012). Berdasarkan data Kementerian
Perdagangan, nilai perdagangan Indonesia–AS cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Tercatat terdapat peningkatan nilai perdagangan sebesar 12.08% dari tahun 2007-2011.
Di bidang investasi, nilai investasi AS ke Indonesia pada tahun 2011 mencapai US$ 1,5
miliar dengan porsi 7,6% dari total investasi dan meningkat dibanding tahun sebelumnya
yang mencapai US$ 1 miliar. Kementerian Koordinator Perekonomian dalam laporan
tahun 2011 memperkirakan nilai investasi AS ke Indonesia akan semakin meningkat
seiring dengan recovery ekonomi AS pasca krisis global 2008-2009.
Investasi langsung (Foreign Direct Investment) dari AS menyumbang 4% dari
total nilai FDI di Indonesia. Posisi FDI Indonesia terhadap Amerika Serikat mencapai
puncaknya pada tahun 2005, namun kemudian menurun hingga bernilai negatif di 2006.
Tren posisi FDI dari 2007 hingga 2010 mengalami penurunan.
Pasang surut FDI AS ke Indonesia tidak terlepas dari perubahan rezim atau
undang-undang yang berlaku di Indonesia. Pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai
produk perundang-undangan yang meliberalisasi investasi asing di Indonesia pada tahun
1980an dan tahun 1990an. Namun krisis yang terjadi akhir tahun 1990an menyebabkan
Indonesia tidak menjadi tujuan investasi yang menarik dimata investor asing. Keadaan
ini mulai membaik setelah tahun 2001 ketika Pemerintah bersikap lebih terbuka terhadap
investasi asing, daya tawar perusahaan-perusahaan Indonesia yang kompetitif, privatisasi
dan rekapitalisasi bank-bank di Indonesia, dan privatisasi beberapa BUMN. Pada tahun
2005, ketika saham FDI di Indonesia mencapai US$10 Milyar, perusahaan multinasional
AS mendominasi investasi asing di Indonesia. Hampir 60% FDI dari AS terkonsentrasi
pada sektor minyak, gas, dan pertambangan.
Beberapa contoh perusahaan yang mendominasi investasi di bidang eksploitasi
barang tambang seperti Exxon Mobil Oil, Newmont, Caltex, dan PT. Freeport Indonesia.
Perusahaan-perusahaan tersebut merupakan beberapa contoh perusahaan AS yang berada
di Indonesia sebagai bentuk investasi yang dilakukan AS atau sebagai bentuk FDI di
Indonesia. Dalam penulisan ini kelompok kami akan memfokuskan pembahasan tentang
PT. Freeport Indonesia sebagai salah satu bentuk atau bagian dari FDI.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana gambaran hubungan kerjasama antara Indonesia dengan Amerika Serikat
dalam bidang investasi?
1.2.1 Sejauhmana PT. Freeport Indonesia sebagai FDI berpengaruh terhadap ekonomi
Indonesia dan pembangunan berkelanjutan di Papua khususnya?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Untuk mengetahui gambaran hubungan kerjasama antara Indonesia dengan Amerika
Serikat dalam bidang investasi
1.3.2 Untuk mengetahui sejauhmana PT. Freeport Indonesia sebagai FDI berpengaruh terhadap
ekonomi Indonesia dan pembangunan berkelanjutan di Papua khususnya
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Foreign Direct Investment (FDI)
Arus sumber-sumber keuangan internasional dapat terwujud dalam dua bentuk.
Yang pertama adalah penanaman modal asing yang dilakukan oleh pihak swasta (private
foreign investment) dan investasi portofolio, terutama berupa penanaman modal asing
langsung. Penanaman modal seperti ini juga dapat disebut Foreign Direct Investment
(FDI). FDI (Foreign Direct Investment) atau investasi langsung luar negeri adalah salah
satu ciri penting dari sistem ekonomi yang kian mengglobal. Bermula saat sebuah
perusahaan dari satu negara menanamkan modalnya dalam jangka panjang ke sebuah
perusahaan di negara lain. Dengan cara ini perusahaan yang ada di negara asal (biasa
disebut ‘home country‘) bisa mengendalikan perusahaan yang ada di negara tujuan
investasi (biasa disebut ‘host country‘) baik sebagian atau seluruhnya. Caranya dengan
penanam modal membeli perusahaan di luar negeri yang sudah ada atau menyediakan
modal untuk membangun perusahaan baru di sana atau membeli sahamnya sekurangnya
10%.
Biasanya, FDI terkait dengan investasi aset-aset produktif, misalnya pembelian
atau konstruksi sebuah pabrik, pembelian tanah, peralatan atau bangunan atau konstruksi
peralatan atau bangunan yang baru yang dilakukan oleh perusahaan asing. Penanaman
kembali modal (reinvestment) dari pendapatan perusahaan dan penyediaan pinjaman
jangka pendek dan panjang antara perusahaan induk dan perusahaan anak atau afiliasinya
juga dikategorikan sebagai investasi langsung. Kini mulai muncul corak-corak baru
dalam FDI seperti pemberian lisensi atas penggunaan teknologi tinggi. Sebagian besar
FDI ini merupakan kepemilikan penuh atau hampir penuh dari sebuah perusahaan.
Termasuk juga perusahaan-perusahaan yang dimiliki bersama (joint ventures) dan aliansi
strategis dengan perusahaan-perusahaan lokal. Joint ventures yang melibatkan tiga pihak
atau lebih biasanya disebut sindikasi (atau ‘syndicates‘) dan biasanya dibentuk untuk
proyek tertentu seperti konstruksi skala luas atau proyek pekerjaan umum yang
melibatkan dan membutuhkan berbagai jenis keahlian dan sumberdaya.
Salah satu aspek penting dari FDI adalah bahwa pemodal bisa mengontrol atau
setidaknya punya pengaruh penting manajemen dan produksi dari perusahaan di luar
negeri. Hal ini berbeda dari portofolio atau investasi tak langsung, dimana pemodal asing
membeli saham perusahaan lokal tetapi tidak mengendalikannya secara langsung.
Biasanya juga FDI adalah komitmen jangka-panjang. Itu sebabnya ia dianggap lebih
bernilai bagi sebuah negara dibandingkan investasi jenis lain yang bisa ditarik begitu saja
ketika ada muncul tanda adanya persoalan.
2.2 Hubungan Investasi Indonesia dan Amerika Serikat
Nilai investasi Amerika Serikat ke Indonesia pada 2011 mencapai USD 1,5
miliar, dengan porsi 7,6% dari total investasi dan meningkat dibanding tahun sebelumnya
yang mencapai US$ 1 miliar. Hubungan investasi asing langsung (Foreign Direct
Investment - FDI) mencakup 4% dari total nilai FDI di Indonesia secara keseluruhan.
Posisi FDI Amerika Serikat di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2005, namun
kemudian menurun hingga bernilai negatif di 2006. Tren posisi FDI dari 2007 hingga
2010 mengalami penurunan.
Pasang surut FDI AS ke Indonesia tidak terlepas dari perubahan rezim atau
undang-undang yang berlaku di Indonesia. Selama periode tahun 1980-2000. Pemerintah
Indonesia telah menginisiasi liberalisasi investasi asing di Indonesia. Terdapat dua
reformasi penting terkait dengan peraturan invetasi asing di Indonesia.
Reformasi pertama terjadi pada tahun 1980, pemerintah menghapuskan
pembatasan modal, penjualan, serta perdagangan pada beberapa sektor tertentu. Selain
itu, pada periode tersebut, pemerintah juga mengizinkan adanya joint venture dan
mengizinkan kepemilikan 100% oleh pihak asing. Reformasi kedua, pada pertengahan
1990-an, peraturan terkait divestasi yang mensyaratkan perusahaan asing untuk menerima
minority ownership dan memberikan kesempatan kepada investor asing untuk melakukan
investasi pada beberapa sektor vital seperti batubara, pelabuhan, telekomunikasi, listrik,
komunikasi, pelayaran, transportasi udara, rel kereta api, dan media massa (Heggard
2000). Dengan adanya liberalisasi ini, pada 1994-1997 FDI yang masuk ke Indonesia
mencapai US$ 4.3 miliar per tahunnya. Hal yang serupa juga terjadi pada portfolio
capital, yang berada pada level yang tinggi.
Krisis yang terjadi pada tahun 1998 telah menyebabkan Indonesia tidak lagi
menjadi tujuan investasi yang menarik dimata investor asing. Sebagai respon dari hal ini,
Presiden RI waktu itu, BJ.Habibie, melakukan upaya liberalisasi undang-undang investasi
dengan menghapuskan batasan maksimum kepemilikan asing, mengurangi daftar
kegiatan yang tidak diizinkan bagi investor asing, dan mengeliminasi pengendalian harga
dan pajak ekspor. Liberalisasi ini merupakan usaha yang paling ‘bebas’ jika
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN yang juga ikut terkena dampak krisis.
Namun, usaha ini tampaknya belum berhasil meningkatkan tingkat FDI ke
Indonesia. Keadaaan politik dalam negeri yang tidak stabil dan implementasi yang masih
setengah-setengah merupakan penyebab dari belum tercapainya tujuan dari kebijakan ini.
Pasca krisis Indonesia mengalami net divestasi dan rendahnya FDI inflow yang masuk ke
Indonesia. Pada tahun 1996, saham FDI hanya 15% dari total seluruh FDI yang masuk ke
negara-negara ASEAN yang saat itu masih berjumlah tujuh negara.
Tabel Penanaman Modal Swasta Asing Secara Langsung (FDI), 1970-1997
Penanaman FDI Penerima Utama FDI, 1997
Tahun
Total FDI netto
(dalam US$ miliar)
Negara Penerima FDI yang diterima
(persentase total)
1970
1980
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
3,1
10,9
23,7
35,1
42,5
53,2
78,1
96,3
118,9
119,4
Cina
Brasil
Meksiko
Indonesia
Polandia
Malaysia
Argentina
India
Venezuela
Negara-negara
berkembang lainnya
31
13
7
5
4
3
3
3
2
29
Keadaan ini mulai membaik setelah tahun 2001. Sikap pemerintah yang lebih
terbuka untuk investasi asing, daya tawar perusahaan-perusahaan Indonesia yang
kompetitif, privatisasi dan rekapitalisasi bank-bank yang ada di Indonesia, dan privatisasi
beberapa BUMN di Indonesia telah menarik kembali minat investor, baik investor yang
berasal dari luar negeri, maupun investor domestik yang tengah ‘memarkirkan’ dananya
di luar negeri.
Selanjutnya dibawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
pemerintah Indonesia mengadakan International Infrastructure Summit pada tanggal 17
Januari 2005 dan BUMN summit pada tanggal 25-26 Januari 2005. Infrastructure summit
menghasilkan keputusan eksplisit bahwa seluruh proyek infrastruktur dibuka bagi
investor asing untuk mendapatkan keuntungan, tanpa perkecualian. Pembatasan hanya
akan tercipta dari kompetisi antar perusahaan. Pemerintah juga menyatakan dengan jelas
bahwa tidak akan ada perbedaan perlakuan terhadap bisnis Indonesia ataupun bisnis asing
yang beroperasi di Indonesia.
BUMN summit menyatakan jelas bahwa seluruh BUMN akan dijual pada sektor
privat. Dengan kata lain, artinya tak akan ada lagi barang dan jasa yang disediakan oleh
pemerintah dengan biaya murah yang disubsidi dari pajak. Di masa depan seluruh barang
dan jasa bagi publik akan menjadi barang dan jasa yang bersifat komersial yang
penyediaannya murni karena motif untuk mendapatkan laba. Kebijakan-kebijakan ini
menunjukkan proses liberalisasi yang saat ini sedang berlangsung di semua sektor di
Indonesia dan menunjukkan pentingnya FDI bagi pemerintah Indonesia.
2.2 Studi Kasus tentang PT. Freeport Indonesia
PT. Freeport Indonesia merupakan sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport-Mc
Moran Copper & Gold Inc. PT. Freeport Indonesia menambang, memproses, dan
melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak.
Beroperasi di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Indonesia.
PTFI mmemasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas, dan perak ke seluruh
penjuru dunia.
Awal berdirinya PTFI bermula saat seorang manajer eksplorasi Freeport Minerals
Company, Forbes Wilson melakukan ekspedisi pada tahun 1960 ke Papua setelah
membaca sebuah laporan tentang telah ditemukannya Ertsberg (Gunung Bijih), sebuah
cadangan mineral, oleh seorang geolog Belanda, Jean Jacues Dozy pada tahun 1936.
Rezim militer Orde Baru mendukung upaya investasi PTFI di Papua dengan cara
melahirkan dua Undang-Undang yakni, UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing (UUPMA) dan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan pokok pertambangan.
Dengan dasar undang-undang tersebut, Kontrak Karya (KK) I dengan rezim
militer Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 5 April 1967 dan berlaku selama 30 tahun,
terhitung sejak eksplorasi Erstberg beroperasi pada bulan Desember. Freeport pertama
kali melakukan penambangan pada bulan Desember 1967 pasca-Kontrak Karya I (KK I).
Ekspor pertama konsentrat tembaga dimulainya pada Desember 1972 dan beberapa bulan
kemudian tepatnya Maret 1973, proyek pertambangan dan Kota Tembagapura ini
diresmikan Presiden Soeharto. Proses penandatanganan KK I ini dianggap illegal karena
terjadi sebelum 2 tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dan PBB pun
belum mengakui Papua sebagai wilayah Indonesia.
Setelah sekian lama dilakukan ekplorasi dan tentunya eksploitasi, kandungan
tembaga semakin berkurang. Tapi pada 1986 ditemukan sumber penambangan baru di
puncak gunung rumput atau dikenal dengan nama Grasberg. Di daerah ini, kandungannya
jauh lebih besar dibanding sebelumnya. Kandungan bahan tambang emas terbesar di
dunia ini diketahui sekitar 2,16 hingga 2,5 miliar ton dan kandungan tembaga sebesar 22
juta ton lebih. Diperkirakan dalam sehari diproduksi 185.000 hingga 200.000 ton biji
emas/tembaga. Melihat potensi itu, Freeport memperpanjang KK I dan dibuatlah KK II
pada Desember 1991 yang memberikan hak kepada Freeport selama 30 tahun dengan
kemungkinkan perpanjangan selama 2x10 tahun. Ini berarti KK II itu akan berakhir pada
tahun 2021 dan jika diperpanjang, maka akan berakhir 2041 nanti. Sehingga setelah 35
tahun, tepatnya tahun 2041 barulah Freeport kembali menjadi milik Indonesia. Namun
KK II ini dianggap mengandung unsur Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), sebab
dilakukan 6 tahun sebelum KK I berakhir, sangat tetutup, dan tidak melalui konsultasi
dengan masyarakat pemilik hak ulayat.
Jumlah nilai investasi PFTI berdasarkan data terakhir di MP3EI s/d tahun 2012
sebesar US$ 8,6 Miliar dengan perkiraan tambahan investasi sebesar US$ 16-18 Miliar
untuk pengembangan bawah tanah ke depan.
2.3 Analisis
Pada rezim Orde Baru PTFI dianggap dapat memberikan banyak kontribusi bagi
pertumbuhan ekonomi Indonesia dan Papua khususnya. Mulai dari investasi sebesar >
US$ 7, 8 Miliar untuk membangun infrastruktur, kebijakan PTFI dibuat untuk
memberikan kesempatan bekerja yang sama kepada seluruh masyarakat. PT Freeport
Indonesia juga menjunjung tinggi hak pekerja sesuai dengan hukum yang berlaku di
Indonesia. PTFI juga memiliki komitmen untuk melindungi hak asasi manusia dan sudah
secara tegas memberlakukan dan menegakkan kebijakan hak asasi manusia di dalam
perusahaan. Selain itu, pemerintah akan mendapatkan keuntungan langsung dari PTFI
berupa: pajak, royalti, diveden, biaya dan dukungan langsung lainnya. Sedangkan
keuntungan tidak langsung dari PTFI berupa: gaji dan upah, pembelian dalam negeri,
pengembangan regional, dan investasi dalam negeri.
Kontribusi Tahun 2011 Sejak 1991-2011
Keuntungan Langsung bagi Indonesia (dari
pajak, royalty, dividen, biaya, dan dukungan
langsung lainnya)
USD 2,4 Miliar USD 13,8 Miliar
Keuntungan tidak langsung (Gaji dan upah,
pembelian dalam negeri, pengembangan regional
dan investasi dalam negeri)
USD 2,5 Miliar USD 19,6 Miliar
Kontribusi dan peranan PT Freeport Indonesia bagi Negara :
Menanam Investasi > USD 7,8 Miliar untuk membangun infrastruktur perusahaan
dan sosial di Papua, dengan rencana investasi-investasi yang signifikan di masa
datang.
Menyediakan lapangan pekerjaan bagi sekitar 23.000 orang di Indonesia (karyawan
PT FI terdiri dari 30% karyawan Papua, serta 2% karyawan Asing).
Membayar Pajak 1,42% dari anggaran nasional Indonesia.
Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, PTFI telah memberikan kontribusi lebih
dari USD 46 Miliar dan dijadwalkan untuk berkontribusi lebih banyak lagi terhadap
pemerintah Indonesia hingga lebih dari USD 6,5 Miliar dalam waktu empat tahun
mendatang dalam bentuk pajak, dividen, dan pembayaran royalti.
Keuntungan finansial langsung ke pemerintah Indonesia dalam kurun waktu empat
tahun terakhir adalah 54%, sisanya ke perusahaan induk (FCX) 46%. Hal ini melebihi
jumlah yang dibayarkan PTFI apabila beroperasi di negara-negara lain.
Kajian LPEM-UI pada dampak multiplier effect dari operasi PTFI di Papua dan
Indonesia di 2010: 1,59% untuk PDB Indonesia, 68% untuk PDRB Provinsi Papua,
dan 96% untuk PDRB Mimika.
Membiayai >50% dari semua kontribusi program pengembangan masyarakat melalui
sector tambang di Indonesia.
PTFI telah membeli > USD 6 Miliar barang dan jasa domestik sejak 1992.
Membentuk 1,67% dari semua pendapatan rumah tangga di Indonesia.
Membentuk 34,89% dari pemasukan rumah tangga di provinsi Papua.
Sepanjang sepuluh tahun ini (1996-2005), dana 1 persen yang telah dikucurkan
PT FI sebesar Rp. 1.615.635.852.591 (190.847.906 US$). Jika tahun 1996, dana 1 persen
itu sejumlah 25 miliar, maka pada tahun 2005 Rp. 393 miliar (tabel). Sebagian besar dana
itu digunakan untuk sektor pendidkan dan kesehatan. Sebagai contoh, tahun 2005 dana
pendidikan sebesar Rp. 63,32 miliar (24 %) dan dana kesehatan Rp. 70,61 miliar (27 %).
Sektor lainnya yang dibiayai dengan dana 1 persen itu antara lain pengembangan
ekonomi dan pengambangan desa, dukungan adat, dukungan agama, serta manajemen
dan kapital dengan jumlah yang variatif.
Tabel Penerimaan dana 1 persen (1996-2005)
Tahun Dalam US$ Dalam Rupiah
1996 10.810.150 25.208.728.000
1997 12.742.915 38.751.186.601
1998 16.625.288 179.704.641.750
1999 21.117.015 158.043.612.470
2000 13.504.330 117.256.285.550
2001 17.317.229 179.636.056.710
2002 18.313.298 172.305.938.178
2003 21.841.766 189.037.735.585
2004 18.041.433 161.838.029.479
2005 40.534.482 393.853.618.268
Total 190.847.906 1.615.635.852.591
Dengan berdirinya PTFI diklaim juga akan mendorong terjadinya pembangunan
berkelanjutan di Papua sebagai sarana pendukung kegiatan operasional perusahaan.
Beberapa pembangunan yaitu sebagai berikut:
a. Pembangunan Pembangkit Daya Listrik. Memiliki kapasitas pembangkitan sekitar
385MW listrik (250MW kapasitas tetap) terdiri dari PLTU berbahan bakar batubara
berkapasitas 195MW di Portsite dan pembangkit diesel (terutama di Mil l). Jaringan
distribusi memasok listrik dari PLTU menuju Mil l.
b. Perkotaan & Camp. Lokasi kota menyediakan berbagai jasa untuk memenuhi
kebutuhan karyawan PTFI, mulai dari toko retail, restoran, sarana hunian, sekolah,
sarana kesehatan, perpustakaan, bank, jasa pos, sarana pelatihan, hingga sarana
rekreasi.
c. Klinik Kesehatan & Rumah Sakit. PT. Freeport memiliki rumah sakit untuk karyawan
berkapasitas 100 tempat tidur di Tembagapura dan banyak klinik di daerah sekitar.
Selain itu, juga memberikan dana rumah sakit berkapasitas 74 tempat tidur di desa
Waa-Banti yang berdekatan, dan sebuah rumah sakit berkapasitas 101 tempat tidur di
Timika.
d. Penerbangan. Bandara di Timika merupakan sentra bagi penerbangan ke/dari wilayah
proyek PTFI. Melalui salah satu mitra, PTFI menjalankan penerbangancharter untuk
mengangkut karyawan antara Papua dan kota asal mereka di bagian lain Indonesia.
Bandara tersebut juga telah menarik beberapa penerbangan komersial. PTFI
menyediakan pesawat helikopter dan dukungan sarana penerbangan lainnya dalam
rangka upaya operasional dan eksplorasi PTFI.
e. Pabrik Pengolahan Batu Gamping. PTFI telah membangun tambang (quarry) dan
pabrik pengolahan batu gamping. Pabrik tersebut menghasilkan batu gamping yang
dikonsumsi di tambang maupun Mill.
f. Sarana Perbengkelan & Perawatan. PTFI memiliki sejumlah bengkel berlokasi di
wilayah proyek, mulai dari bengkel perawatan peralatan hingga bengkel fabrikasi
baja di daerah dataran rendah. Beberapa mitra juga telah mendirikan sarana-sarana di
daerah dataran rendah dalam rangka mendukung usaha mereka untuk menyediakan
jasa bagi kegiatan operasional PTFI sendiri.
g. Logistik. PTFI mempunyai jaringan terbukti untuk memasok bahan-bahan ke Portsite
- berikut armada kendaraan yang diperlukan untuk mengangkut bahan-bahan dari
Portsite menuju lokasi operasional PTFI di seluruh wilayah proyek. Salah satu mitra
PTFI lainnya menjalankan operasi logistik dilokasi dari pelabuhan kepada pengguna,
selain kegiatan perawatan tertentu untuk peralatan non tambang, perawatan jalan, dan
angkutan bus karyawan.
h. Jasa boga. Mengingat jumlah orang yang berada di lokasi, maka salah satu mitra
PTFI menyediakan jasa boga untuk menyediakan makanan bagi pekerja PTFI, selain
jasa pengelolaan barak dan pembersihan.
Namun hingga kini, PTFI dianggap masih belum memberi keadilan bagi pemilik
sumber daya alam yang mereka keruk selama ini. Bahkan Majelis Rakyat Papua (MRP)
dalam surat keputusannya bernomor 08/MRP/2006 Tentang Keberadaan PT. Freeport
Indonesia yang berisi empat poin, salah satunya merekomendasi kepada pemerintah agar
PTFI ditutup.
Mulai dari rezim Orde Baru sampai saat ini pemerintah selalu berupaya untuk
meningkatkan investasi asing khususnya investasi AS di Indonesia. Kunjungan Presiden
AS dari mulai George Bush sampai Obama selalu dibumbui dengan keinginan
Pemerintah Indonesia agar perusahaan-perusahaan Paman Sam meningkatkan
investasinya di Indonesia.Pemerintah selalu beralasan bahwa meningkatan investasi asing
akan meningkatkan perekonomian Indonesia, yang akhirnya akan meningkaatkan
kesejahteraan rakyat.
Namun faktanya dilihat dari fenomena yang ada sekarang selama ini, investasi
asing ternyata lebih banyak merugikan dan menyengsarakan rakyat apalagi keberadaan
PTFI di Papua. Kebijakan PTFI yang awalnya dibuat untuk memberikan kesempatan
bekerja yang sama kepada seluruh masyarakat, khususnya masyarakat Papua nyatanya
masyarakat lokal hanya dijadikan buruh dengan upah yang tidak sesuai dengan
keuntungan yang didapat oleh PTFI per tahun. Ratusan ribu ton bijih Emas, Perak, dan
tembaga dihasilkan dan di bawa ke Amerika yang diambil dari Negara Indonesia tanpa
ada dampak positif bagi masyarakat setempat. Tidak ada perbaikan kualitas pendidikan,
pekerjaan, maupun penghasilan yang didapat masyarakat Papua dari keberadaan PTFI di
Indonesia. Dengan hasil tambang jutaan Ton, tidak ada pembangunan infrastruktur bagi
masyarakat setempat.
Papua memiliki 42 juta hektar hutan dengan keanekaragaman hayati yang sangat
kaya, seperti bahan tambang, minyak dan gas bumi, serta hutan dan laut yang berlimpah.
Walaupun kekayaan alam itu sudah dieksploratif secara ekstraktif selama puluhan tahun
oleh perusahaan-perusahaan asing PTFI khususnya, rakyat Papua yang bejumlah sekitar
dua juta jiwa masih tergolong penduduk termiskin di republik ini. Ironisnya, ketika
sumber daya alam mereka menghasilkan uang bertriliun-triliun, sekitar 80 %
penduduknya masih hidup pada tingkat subsisten. Masih banyak warga yang hanya
memakai koteka. Data Badan Pusat Statisitik (BPS) pada tahun 2004 menunjukkan
penduduk miskin di Papua pada tahun 2002 mencapai 39 %. Angka ini akan menjadi
lebih besar karena sebagian besar penduduk miskin ini berada pada warga asli yang
jumlahnya sekitar 60 % dari total jumlah penduduk provinsi ini. Di kabupaten Mimika
sendiri, sejak 3 tahun yang lalu angka kemiskinan penduduk Mimika hampir dua kali
lipat kemiskinan tingkat nasional. Dari jumlah penduduk sebanyak 131.715 jiwa kala itu,
penduduk miskinnya mencapai 32,75 %. Runyamnya, angka kemiskinan itu mengalami
kemiskinan sepanjang tahun.
Dalam laporan Conservation Internasional Indonesia 2004 dikatakan warga Papua
mempunyai tingkat kesehatan yang memprihatinkan, angka kematian bayi di Papua
cukup tinggi, yaitu 100 per seribu kelahiran bayi hidup. Angka itu hampir tidak berubah
sesudah otonomi khusus. Angka kematian ibu juga paling tinggi di negeri ini, yaitu 60-
700 per 100.000 kelahiran. Selain itu tingkat harapan hidup juga rendah.
Dari sisi pendidikan, 44,13 % warga Papua buta huruf. Ketidakseimbangan dalam
bagi hasil penerimaan dan pengelolaan sumber daya alam dianggap sebagai biang keladi
kemiskinan dan ketertinggalan ini. Padahal, ketika republik ini mengalami krisis, produk
domesitk regional bruto (PDRB) Papua melonjak dari Rp. 9 triliun pada tahun 1997
menjadi Rp. 19 triliun pada tahun 1998. ini disebabkan total nilai tambah dari sector
pertambangan meningkat 38 %. Padahal, Papua merupakan propinsi dengan tingkat
PDRB kempat tertinggi stelah Riau, DKI Jakarta dan Kalimantan Timur. Sektor
pendidikan yang semestinya menjadi sektor paling dasar, ternyata hanya membuat hati
terenyuh. Di pedalaman-pedalaman, sekolah-sekolah nyaris tidak memiliki guru. Sistim
sekolah hancur. Akibatnya sekolah-sekolah sering diliburkan. Walaupun ada kebijakan
penerapan dana 1 persen dari PTFI untuk masyarakat sekitar, namun trenyata dana
tersebut tidak dirasakan oleh masyarakat sekitar.
Selain itu PTFI telah melakukan pelanggaran hukum berkaitan dengan
pelanggaran HAM dan pencemaran lingkungan. Kasus pertikaian berdarah yang terjadi di
tanah papua antara kaum asli papua dengan pihak PTFI. Kaum asli papua merasa sebagai
pemilik tanah yang asli yang termarginalkan di tanahnya sendiri. Selain itu, PTFI tidak
mengindahkan keselamatan pekerjanya yaitu masyarakat Papua sendiri. Hal ini terbukti
saat terjadi runtuhnya tambang pada akhir 2012 lalu, tidak ada penanganan serius dari
PTFI bagi para korban (dan keluarga). Bahkan kunjungan menteri dan instansi terkait
untuk melakukan penyelidikan kasus, dihambat oleh Pimpinan PTFI. Kehidupan
masyarakat setempat juga terancam dengan keberadaan PTFI asal Amerika tersebut,
karena masyarakat yang bukan pekerja PTFI bisa di usir, bahkan di tembak jika
mendekati area pertambangan tanpa izin, walaupun masyarakat Papua hanya mencari
hasil hutan di sekitar PTFI. Freeport Indonesia, sehingga penyelidikan lebih lanjut tidak
bisa dilakukan. Warga yang bertikai menuntut penutupan PTFI karena dinilai tidak
memberikan keuntungan yang adil bagi warga lokal.
Dalam kasus pencemaran lingkungan, selama penambangan sejak awal berdiri
PTFI sudah banyak kerusakan lingkungan yang nyata terjadi di daerah Papua. Sungai
yang tercemar logam berat sampai kerusakan permanen pada hutan di sekitar
pertambangan yang turut merusak kekayaan hayati di Indonesia. Dampak secara tak
langsung juga merugikan masyarakat yang hidup bergantung pada sungai di Papua.
Sebanyak kurang lebih 300.000 Ton/Hari Limbah dihasilkan dan dibuang dari proses
pertambangan oleh perusahaan Amerika tersebut ke hutan dan sungai sehingga
menyebabkan matinya hewan dan tumbuhan serta meracuni penduduk yang bergantung
pada lingkungan di Papua. Kerusakan lingkungan hidup tidak begitu di perhatikan oleh
PTFI asal Amerika tersebut karena tidak menguntungkan pada perusahaan. PTFI juga
dinilai telah gagal mematuhi permintaan pemerintah untuk memperbaiki praktik
pengelolaan limbah berbahaya terlepas rentang tahun yang panjang di mana sejumlah
temuan menunjukkan perusahaan telah melanggar peraturan lingkungan. PTFI telah lalai
dalam pengelolaan limbah batuan, bertanggung jawab atas longsor berulang pada limbah
batuan Danau Wanagon yang berujung pada kecelakaan fatal dan keluarnya limbah
beracun yang tak terkendali (2000). Pelanggaran dan pencemaran lingkungan diantaranya
adalah menghamburkan tembaga, penggunaan teknologi yang tidak layak, pembekapan
tanaman, perusakan pada habitat muara, kontaminasi yang diakbatkan oleh racun tailing,
dan masih banyak lainnya.
Dari isu penembakan komunitas lokal oleh aparat keamanan di lokasi
pertambangan hingga perusakan ekosistem yang dilakukan perusahaan. Secara kasat
mata, fenomena konflik sekitar Freeport memberikan sebuah gambaran yang menarik
untuk dicermati. Berbagai konflik yang berkaitan dengan eksistensi Freeport di
Kabupaten Mimika itu, bukanlah merupakan satu fenomena baru.Menurut mereka, sejak
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian Barat 1969 dilaksanakan, Pepera telah
melenceng jauh dari amanat rakyat Papua. Kemudian, kontrak yang dilakukan
Pemerintah Indonesia bersama PTFI mereka nilai tidak mengakomodasi hak rakyat
Papua. Sebab tak mustahil konflik ini imbas ketidakberesan penanganan perusahaan
multinasional selama ini sebagai warisan kebijakan pemerintah Orde Baru.
Selain fenomena yang telah diuraikan di atas, juga diperkuat dengan adanya 3
faktor yang bisa kita jadikan bukti bahwa Investasi AS khususnya PTFI telah banyak
merugikan perekonomian indonesia dan menyengsarakan rakyat. Pertama, Investasi yang
dilakukan perusahan AS seperti Exxon Mobil Oil, Caltex, Newmont, dan khususnya
PTFI adalah investasi di bidang ekploitasi barang tambang. Salah satu alasan pemerintah
mengundang investasi asing adalah untuk mengatasi pengangguran padahal Investasi
dibidang tambang tidak banyak menyerap tenaga kerja sehingga tidak akan mampu
mengurangi pengangguran yang terjadi saat ini. Kedua, Para Investor dengan prinsip
kapitalis yaitu meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya telah mengakibatkan
kerusakan ekosisitem dan lingkungan alam serta lingkungan sosial. Penambangan yang
dilakukan PTFI khususnya dan beberapa perusahan tambang lainnya telah menghasilkan
galian berupa potential acid drainase (air asam tambang) dan limbah tailing. Ketiga,
Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau kontrak karya selalu berpihak dan menguntungkan
investor akan tetapi merugikan pemerintah dan rakyat dalam kasus Freport di Papua
Pemrintah Indonesia hanya mendapatkan 18,72 % itupun 9,36 % miliki swasta sedangkan
sisanya dimiliki Freepoort padahal PT Freeport saat ini telah berhasil mengeruk sekitar
30 juta ton tembaga dan 2,744 milyar gram emas Indonesia mengeksploitasi
pertambangan di Papua bekerja atas dasar kontrak karya yang ditandatangani dengan
pemerintah Indonesia.
BAB III
PENUTUP3.1 Kesimpulan
Akhir dekade 1990-an ini merupakan periode yang menarik bagi kita untuk
menilai kembali segala dampak kualitatif maupun kuantitatif yang ditimbulkan oleh
investasi yang dilakukan perusahaan-perusahaan raksasa multinasional terhadap kondisi
social-ekonomi Negara-negara berkembang yang bertindak sebagai tuan rumahnya.
Kerjasama hubungan investasi Indonesia dengan Amerika mengalami defisit.
Bentuk kerjasama selama ini yang dilakukan harus dievaluasi dan direnegosiasikan lagi.
Disamping itu investasi asing dalam hal ini yang dilakukan oleh perusahaan Amerika
justru lebih banyak menimbulkan kerugian dibandingkan dengan keuntungan yang
diperoleh bangsa Indonesia. Artinya, investasi yang dilakukan RI-AS meskipun sudah
memberikan dampak positif (profit), tetapi masih dipandang lebih banyak dampak negatif
(loss)-nya, seperti halnya dalam menentukan berbagai kebijakan ekonomi/perdagangan
seringkali tunduk pada kebijakan Amerika ketimbang kebutuhan nasional, termasuk
keputusan negara dalam bidang politik ekonomi selalu yang tidak independen.
Karenanya dapat disimpulkan bahwa hubungan ekonomi antara RI dan Amerika
lebih menguntungkan bagi Amerika dan lebih merugikan bagi RI. Dengan kata lain,
Indonesia harus berani secara tegas melakukan terobosan dalam strategi perdagangan
internasionalnya dengan tanpa mengikuti ‘pesanan dan tekanan’ politik Amerika dan
merenegosiasi berbagai kerjasama bidang ekonomi yang seringkali keuntungan yang
didapatkan lebih sedikit dibandingkan kerugiannya, oleh karena itu, saatnya Indonesia
menentukan sikapnya sendiri dalam berekonomi tanpa dikendalikan oleh kepentingan
Amerika dengan dalih efisiensi.
3.2 Saran
Dalam bidang investasi, perlu dirumuskan kebijakan-kebijakan yang dapat
menstimulus peningkatan investasi Amerika Serikat di Indonesia dengan tetap
mempertimbangkan cost and benefit yang diperoleh Indonesia dari investasi tersebut.
Amerika Serikat merupakan salah satu sumber FDI terbesar bagi Indonesia. Hal ini dapat
dilihat dari banyaknya jumlah perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat yang
melakukan investasi langsung di Indonesia, yang meliputi sektor migas, pertambangan,
perbankan dan investasi, perhotelan, dan farmasi. Sementara itu, di pasar modal
Indonesia, dari total investor asing yang tercatat di bursa, 9% berasal dari Amerika
Serikat. Agar dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi perekonomian Indonesia,
maka pemerintah harus dapat memaksimalkan pendapatan negara melalui pajak dan
royalti yang diperoleh dari investasi Amerika Serikat ke Indonesia. Untuk itu, perlu
ditinjau kembali mengenai peraturan pajak dan royalti atas investasi Amerika Serikat di
Indonesia.
Daftar Pustaka
Official Website GEPI. 13 Agustus 2011. Sekilas Tentang GEPI - Global Entrepreneurship
Program Indonesia. Diakses 21 November 2013.
http://www.financeindonesia.org/showthread.php?2503-Sekilas-Tentang-GEPI-Global-
Entrepreneurship-Program-Indonesia
El-fajri. Globalisasi Ekonomi : Dampak Positif Dan Negatif Serta Peluang Dan Tantangannya.
Diakses 21 November 2013. http://yahyahadi.blogspot.com/2011/04/globalisasi-ekonomi-
dampak-positif-dan.html