Upload
hoangkiet
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KURIKULUM KEISLAMAN VSEKOLAH TINGGI TEHNIK QOMARUDDIN
GRESIK
I. Tujuan a. Mahasiswa memahami secara keritis dan memperoleh pengetahuan yang
memadai tentang Nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam, dan dapat mengaktualisasikan dalam kehidupan social
b. Bersikap dewasa dan bijaksana dalam menghadapi ragam prolema social di tengah-tengah mesyarakat
II. Pokok Bahasan
AKTUALISASI NILAI ISLAM DALAM KEHUDUPAN SOSIAL
1. Sikap Keberagamaan dan cara memahami Islam sebagai agama2. Ibadah sebagai pelembagaan iman3. Dialektika Islam dan budaya4. Perspektif Islam tentang penyempurnaan kepribadian manusia5. Islam dan emansipasi kemanusiaan6. Islam dan Institusi Kenegaraan { Hubungan Islan dan Negara)7. Islam dan pembebasan kaum tertindas8. Islam dan emansipasi perempuan9. Islam dan Pluralisme (Pendidikan multi kulturalisme_10. Islam dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Daftar Pustaka:
1. Al-Qur’an dan Terjemah, Dep Agama RI2. Kontektualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Budhy Munawar Rahman
(Editor)3. Islam Doktrin Dan Peradaban, Dr. Nur Cholih Majid4. Islam Alternatif, Dr. Jalaluddin Rahmat5. Wahyu di Langit,W ahyu di Bumu, Dr. Komaruddin Hidayat6. Islam, Madzhab Masa Depan, Dr. Afif Muhammad7. Dialoq : Kritik Dan Identitas Agama, Djohan Efendi Dkk ( Editor seri DIAN)8. Islam Yang memihak, Moeslim Abdurrahman
IBADAH SEBAGAI PELEMBAGAAN IMAN
Makna Keimanan
Sebelum sampai pada pembahasan ibadah sebagai pelembagaan iman, terlebih
dahulu perlu dipahami apa makna iman itu sendiri. Kata kerja “amana” berarti
menaruh kepercayaan kepada…, dan berarti percaya akan…. Ia berasal dari akar kata
“a-m-n”, yang mengandung makna keselamatan, kaamanan dan kedamaian, Maka,
“amina” berarti merasa aman, dan mempercayai. Atas dasar ini maka makna
“amanu” tidak sekedar “percaya”, tetapi lebih memiliki penekanan yang kuat,
sehingga ia mengandung pengertian suatu hubungan dan komitmen pribadi, dan
menggambarkan orang-orang yang telah menemukan kaamanan, kedamaian dan
perlindungan Tuhan, yang selanjutnya terikat setia kepadaNya.
Dari penjelasan di atas, maka beriman menuntut adanya kepatuhan dan
kepasrahan terhadap yang diimani (Allah) dan secara aktif melaksankan aktifitas yang
sesuai dengan nilai-nilai yang dikehendaki oleh Tuhan yang diimani (Allah). Dalam
konteks ini maka sangat logis, al-Qur’an selalu menggandengkan antara iman dan
amal shalih. Jadi, keduanya merupakan rangkaian yang tak bisa dipisah dan dipilih
salah satu. Islam adalah agama yang tidak saja mengurus hubungan manusia dengan
Tuhan , tetapi sekaligus juga mengatur hubungan antar manusia dan alam lingkungan.
Para ulama lazimnya membagi ajaran Islam ke dalam empat aspek; akidah, ibadah,
muamalah dan akhlaq. Dua aspek pertama , akidah dan ibadah(dalam arti husus)
disebut “hablum min Allah”, dan dua aspek lainnya, yaitu muamalah dan akhlaq
disebut “hablum min al-nas”. Keempat aspek tersebut harus dipahami secara integral
dan tidak bisa dikapling-kapling. Itulah sebabnya, maka setiap kewajiban dari Allah
untuk manusia, pasti memiliki empat aspek di atas. Contohnya, “shalat” misalnya,
merupakan hubungan langsung dengan Allah. Ia baru dipandang sebagai ibadah jika
didasari dengan iman (akidah). Kendati demikian, ia memiliki aspek hubungan
antarmanusia, yang terlihat dalam salah satu hukmah (pesan moral) , yaitu mencegah
perbuatan keji dan mungkar.
Selain dari itu, iman akan melahirkan tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran
bahwa hidup ini bersal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan.(Inna lillahi wa inna
ilaihi raji’un). Tuhan adalah sang pencipta dan pemelihara alam semesta ini. Seorang
yang beriman harus bersedia mengakui dengan tulus bahwa hanya Tuhanlah (Allah)
satu-satunya sumber otoritas yang seba mutlak, dan pada saat bersamaan mengakui
bahwa yang selainNya adalah nisbi/relatif. Selanjutnya sebagai wujud pengakuannya
itu, maka orang beriman harus senantiasa berusaha terus menerus dengan
kesungguhan (mujahadah) melakukan kedekatan (taqarrub) kepadaNya, sebab sudah
menjadi fitrahnya bahwa manusia selalu merindukan kebenaran, dan kebenaran hakiki
hanya menjadi milik Tuhan.
Makna Ibadah
Ibadah atau tindakan ritual merupakan bagian penting dari setiap agama,
termasuk Islam. Kata “ibadah” dari sudut kebahasaan berarti tunduk, patuh dan
mengabdikan diri. Karena itu makna ibadah kepada Allah adalah tunduk dan patuh
secara tulus kepada semua ketentuanNya. Jika keseluruhan aktivitas hidup ini
dimaksudkan sebagai ibadah, maka harus dikerjakan dengan senantiasa mengikuti
seluruh yang dikehendaki oleh Allah, baik untuk kepentingan di “sini” atau untuk
kepentingan di “sana”, sebagaimana firman Tuhan : “Aku tidak menciptakan Jin dan
manusia kecualai untuk beribadah kepadaKu”. Namun dalam pengertian yang husus,
yang dimaksud ibadah adalah menunjuk kepada amal perbuatan tertentu yang secara
khas bersifat rutual keagamaan. Oleh karena itu yang perlu diperhatikan adalah
ketepatan mengikuti petunjuk agama yang bersumber dari kitab suci (dalam hal Islam
mengikuti ketentuan yang telah dicontohkan Nabi Muhammad) dengan tanpa
sedikitpun hak bagi seseorang untuk membuat kreasi sendiri, tanpa refrensi dari
sumber-sumber yang otentik.
Ibadah dalam arti yang khas, dalam islam memiliki makna yang sangat simbolik.
Ia penuh dengan perlambang yang mengandung arti pengagungan, kepetuhan dan
ketundukan total kepada Tuhan (Allah). Simbol-simbol itu bisa dalam bentuk
pernyataan verbal atau gerakan-gerakan dan aktivitas badaniyah yang bersifat
simbolik. Misalnya ibadah shalat misalnya. Di dalamnya terdapat ungkapan “takbir”.
Pernyataan mengagungkan Tuhan ini melambangkan pengakuan bahwa dalam
kehidupan ini, yang paling berpengaruh dan menentukan adalah Tuhan. Oleh karena
itu sebagai hamba seseorang harus selalu menggangtungkan diri kepadaNya. Dalam
konteks ini maka seorang yang menyatakan “takbir” dengan sunguh-sungguh, akan
memposisikan diri sebagai hamba yang lemah, dan karenanya, harus tunduk dan
mengabdi kepadaNya, namun pada saat yang sama memiliki harapan dan optimisme
yang besar, karena memiliki pelindung yang Maha Kuasa.
Jadi “ibadah” dapat menciptakan kehangatan hubungan antara manusia dan
Tuhan. Maka dg melakukan aktivitas peribadatan, seseorang dapat meningkatkan
hubungan kedekatan kepada sang Khalik, sehingga ia dapat mengharap pertolongan
dan bimbinganNya supaya mendapatkan jalan menuju kebenaran dan kebahagiaan.
Dengan melalui aktivitas peribadatan, seseorang akan mampu merasakan
kehadiranNya dalam kehidupan ini, sehingga terdorong untuk melaksanakan tanggung
jawabnya secara individual maupun kolektif, sebab merasa berada dalam pengawasan
Tuhan, tetapi pada saat yang sama merasakan damai bersamaNya.
Hubungan Iman dengan Ibadah
Pertanyaan kritis yang muncul antara lain adalah “apakah manusia tidak cukup
dengan beriman dan berbuat baik, tanpa perlu beribadah”. Pertanyaan ini sepitas lalu
tampak logis dan masuk akal. Tetapi pertanyaan ini jika dikaji lebih dalam
menimbulkan berbagai problem.
Pertama, Dalam kenyataan sejarah tidak pernah ada sistem kepercayaan yang
tumbuh tanpa mengintrodusir rutus-ritus. Bahkan pandangan hidup yang anti agama,
seperti komunisme, juga memiliki sistem ritualnya sendiri, mulai dari penghurmatan
pada lambing-lambang partai dan penghayatan terhadap ideologi partai (misalnya
upacara janji prasetia / baiat kesetiaan pada ideology). Maka agama tanpa sisten
ritus/ritual akan kehilangan kehangatan dengan ajaran yang dimiliki.
Kedua, Sistem keimanan berbeda dengan sistem ilmu dan filsafat yang hanya
berdimensi rasionalitas. Sistem keimanan di samping memiliki dimensi rasionalitas,
juga berdimensi suprarasional atau spiritual yang mengekspresikan diri dalam
tindakan kebaktian melalui aktivitas ibadah. Melalui ekspresi ritual ini akan
memperkuat rasa kepercayaan dan memberikan kesadaran lebih tinggi dalam bidang
amal perbuatan. Di samping itu juga memberikan pengalaman keruhanian yang sangat
berarti bagi rasa kebahagiaan.
Ketiga, iman adalah persoalan yang abstrak, maka dalam rangka mewujudkan
dorongan dalam diri seseorang ke arah perbuatan yang baik haruslah memiliki
kehangatan dan keakraban dalam jiwa seorang beriman, dengan melalui kegiatan
ibadah (ubudiyah).
Keempat, Iman dapat mengalami naik-turun, atau kuat dan lemah, tebal dan tipis,
bertambah dan berkurang. Maka dengan melalui aktivitas peribadatan, seorang
beriman dapat memperoleh sokongan spiritual untuk (secara minimal) mendekatkan
diri kepada Allah, Di samping itu seorang yang beribadah dapat memperoleh
pengalaman ruhani yang dapat menjadi sumber getaran jiwa seorang manakala
disebut nama Tuhan, sehingga mampu mempertahankan, dan meningkatkan
kesadaran keimanannya.
Kelima, seorang beriman dalam menjalani kehidupan ini senantiasa menghadapi
ujian dan cobaan hidup. Jika seseorang tidak memiliki bekal kesabaran dan keteguhan
jiwa yang kuat, maka keimanannya akan trkikis dan bahkan terkalahkan. Dengan
melalui aktivitas ibadah seseorang akan memiliki keteguhan jiwa dan ketabahan hati
(kesabaran) yang sangat tinggi. Di samping itu dapat memiliki jiwa yang lebih
seimbang , penuh harapan dan kesadaran akan rahmat Tuhan. Dengan begitu ia tidak
akan berkeluh kesah menghadapi musibah, dan tidak akan kikir jika sedang
memperoleh keberuntungan. Dengan demikian, maka seorang beriman akan selalu
mengapresiasi ketentuan Tuhan secara maksimal dalam rangka memperoleh ridlaNya.
Dengan ibadah, iman akan berkembang menuju ksempurnaannya.
ISLAM DAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
Tema ini bisa mengandung berbagai perspektif; normative, filosofis, histories,
sosiologis dan sebagainya. Dalam pembahasan ini akan mengambil sudut pandang
normative, sebuah perspektif yang mengemukakan ujaran dan ajaran yang termaktub
dalam sumber utama Islam.
Secara tekstual sangat gampang dapat ditemukan berbagai firman Allah dalam al-
Qur’an dan sabda Nabi saw yang tegas-tegas mendorong supaya kaum muslimin
membaca dan memikirkan fonomena alam semesta ini. Baik yang bersifat kongkrit
maupun yang abstrak. Ketika Nabi Muhammad memperoleh wahyu pertama, ayat
yang diterimanya adalah perintah membaca (al-Alaq 1-5). Dalam ayat ini tidak
dijelaskan apa yang menjadi obyek pembacaan. Ini berarti bahwa semua fenomena
alam , seluruhnya bisa dijadikan sebagai obyek pembacaan. Surat al- Alaq hanya
memberikan garis, bahwa pembacaan itu harus dilandasi dengan “menyebut asma
Allah”. Oleh para ahli disimpulkan bahwa membaca apapun yang dilakukan umat
Islam harus dalam kerangka tugas pengabdian dan ibadah kepada Allah.
Berdasar penjelasan ini maka umat Islam memiliki hak untuk mengembangkan
berbagai pengetahuan dan tehnologi yang bermanfaat, selama tidak bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Abdus Salam, seorang muslim
pemegang hadiah Nobel 1979 dalam ilmu fisika menyatakan: “Tafakkur adalah
berefleksi, berfikir tentang dan menemukan hukum-hukum alam(sain). Sedang tasykir
adalah memperoleh pengetahuan atas alam (tehnologi). Keduanya, sepanjang zaman,
merupakan dorongan-dorongan seluruh umat manusia. Adalah keagungan Islam
bahwa al-Qur’an dengan perintah yang berulang kali, mengandung suruhan untuk
bertafakkur dan bertasykir(mengejar sain dan tehnologi), sebagai kewajiban atas
masyarakat muslim”.
Sumber-sumber Ilmu Pengetahuan
Al-Qur’an menunjukkan empat sumber untuk memperoleh pengetahuan:
1. Al-qur’an dan Sunnah Nabi. Keduanya merupakan sumber pertama ilmu. Al-qur’an
berulang kali meningatkan supaya kita memikirkan ayat-ayatNya dan mengambil
pelajaran, serta mengingatkan kita untuk mengambil Rasul sebagai contoh dan
teladan.
Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat kitab (Al Qur'an) yang nyata (dari Allah).
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab,
agar kamu memikirkan dan memahaminya.(Q.S. Yusuf 1-2)
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah
supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai pikiran.(QS. Shad 29)
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.(QS. Al-Ahzab 21)
2. Alam semesta adalah sumber kedua. Al-qur’an menyuruh kita memikirkan
keajaiban ciptaan Allah, proses pertubahannya dan hubungannya dengan manusia.
Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung
dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan
berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkan.(QS. Al-Ra’du 3)
Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air
dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian
ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam
warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan,
kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal.(QS. Az-Zumar 21)
Allahlah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar
padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-
Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur.(QS. Al-Jatziyah 12)
3. Diri manusia adalah sumber ke tiga. Manusia secara pisik maupun psikis supaya
dijadikan bahan renungan dan pemikiran, agar dapat mengambil pelajaran yang
berharga bagi penyempurnaan kehidupan.
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?.(QS.Al-
Thariq 5)
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya
(neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka
bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.(QS.al-Tin 4-6)
4. Sejarah umat manusia adalah sumber ke empat
Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan
memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum
mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah
mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah
mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan
membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim
kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri.
(QS. Ar Rum 9)
Arah Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Menurut al-Qur’an, tujuan utama mengenal ilmu pengetahuan adalah memahami
tanda-tanda Allah, menyaksikan kehadirannya diberbagai fenomena yang kita amati,
sehingga menimbulkan kesadaran untuk mengagung kan dan bersyukur kepada Allah
Sang Pencipta dan Pemelihara Alam semesta ini. Sebagaimana diisyaratkan dalah al-
qur’an:
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-
binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fatir 28)
Ilmu dan tehnologi bagaikan pedang bermata dua. Ia dapat digunakan untuk tujuan
yang baik sekaligus tujuan yang jahat. Tehnologi muttahir memang telah memberi
manfaat yang banyak bagi kehidupan ini, tetapi madharrat yang telah ditimbulkannya
jauh lebih banyak lagi. Tehnologi nuklir telah banyak membantu memebrikan sumber
energi, dan membantu dunia kedokteran untuk mendiagnose penyakit serta
membunuh sel-sel kangker. Tetapi seperti telah diketahui bahwa 50.000 dari senjata
nuklir yang ada di dunia ini mampu dan memiliki daya penghancur jutaan kali bom
yang dijatuhkan di Nagasaki. Untuk itu maka kekuatan iman harus dimaksimalkan,
supaya mampu memberikan arah yang benar terhadap pendaya gunaan ilmu dan
tehnologi.
Masa depan umat manusia sepenuhnya akan ditentukan oleh kolaborasi iman dan
ilmu. Jika kolaborasi sinergis dapat berjalan dengan baik, maka masa depan yang
menggembirakan akan terwujud. Sebaliknya jika tidak dapat bertemu dan bahkan
ilmu dan tehnologi yang menang, maka masa depan dunia ini akan suram. Para
ilmuwan dan agamawan supaya dapat duduk bersama memecahkan persoalan
kemanusiaan dengan pikiran jernih. Para ilmuwan diharapkan bersikap rendah hati
dan dapat menerima pesan-pesan agama. Begitu pula kaum agamawan harus
membuka diri dengan temuan dan tawaran ilmu pengetahuan.
Tehnologi memang hanya menawarkan jasa teknik untuk hidup lebih nyaman,
tetapi secara social dampaknya akan sangat besar, karena dapat mengubah pola hidup
beragama.. Teknologi telepon misalnya akan mengubah tatakrama silaturrahim,
komputer mengubah cara belajar dan televisi akan mendominasi wacana dalam rumah
tangga. Sehingga tanpa di sadari tehnologi akan menjelnya menjadi ideologi (agama)
baru. Dengan begitu kehidupan ini akan sangat ditentukan oleh ilmu dan tehnologi,
tetapi sekaligus akan dibayangi oleh proses pendangkalan terhadap penghayatan
makna hidup, sebab manusia akan menjadi manja. pragmayis dan kurang peka
terhadap dimensi spiritual.
Sadar akan kekurangan ini maka sekali lagi agama sudah semestinya tampil
mendampingi IPTEK supaya dapat memberikan makna dan arah jalannya sejarah
manusia kearah yang manusiawi, sesuai dengan harkat dan martabatnya yang fitri,
yaitu makhluk yang dicipta secara material dan spiritual.
ISLAM DAN PEMBEBASAN KAUM TERTINDAS
Ada pernyataan menarik untuk kita renungkan dari Moeslim Abdurrahman
(2005) bahwa “kemungkaran sosial lebih berbahaya secara kemanusiaan daripada
kelalaian ritual normatif”. Pernyataan ini sejalan dengan ketentuan bahwa pada
hakikatnya, agama Islam diturunkan untuk kepentingan manusia, bukan untuk
kepentingan Tuhan. Dalam rumusan Imam al-Syathibi, agama disebut sesuatu yang
”bersumber dari Tuhan tapi diperuntukkan bagi manusia” (Ilâhiyatul masdhar wa
insâniyyatul maudhû’).
Rumusan ini menggambarkan bahwa pola keberagamaan yang ideal adalah
terjadinya pergulatan antara hubungan manusia kepada Tuhan dan kepada sesamanya.
Ini juga berarti bahwa pelaksanaan ritual-formal-individual agama harus bersinergi
dengan upaya pembelaan atas nilai-nilai kemanusiaan (hablum minallah dan hablum
minannas).
Kini, fenomena religiusitas masyarakat Indonesia mengalami peningkatan
yang cukup pesat. Gairah religiusitas masyarakat mengalami eskalasi yang sangat
menggembirakan. Namun, tingkat korupsi juga semakin mengharu-biru. Ini kenyataan
yang ironis, karena kenyataan itu terjadi di negara berpenduduk Muslim terbesar di
dunia.
Selama ini ada asumsi umum (salah kaprah) cukup kuat di tengah masyarakat
bahwa substansi agama terletak pada ritual-formal-individual setiap pemeluk agama.
Amalan-amalan ritualistik ini diyakini sebagai kunci penting menuju surga. Ia akan
membawa pada keselamatan dan kebahagiaan eskatologis yang abadi. Akibat pola
pemahaman agama semacam ini, seseorang yang makin saleh secara ritual tidak
secara otomatis peduli terhadap persoalan kemanusiaan.
Karena itu, menumbuhkan semangat pembaruan dan penyegaran pemahaman
keagamaan cukup mendesak untuk dilakukan. Pola keberagamaan seseorang sejatinya
baru dapat dinilai ideal dan utuh (kaffah) apabila dibarengi upaya serius bagi
pemihakan terhadap orang-orang yang tesisihkan (mustad'afin). Dengan kata lain,
tingkat kesalehan ritual-formal-individual haruslah bersinergi dengan kesalehan sosial
dan perhatian terhadap aspek kemanusiaan.
Ajaran Islam Sebagai Kekuatan Pembebas
Di bawah ini akan dikemukakan konstruksi Agama Islam yang kaffah, agama
yang senantiasa menuntut umatnya tidak hanya shalih secara ritual , tapi juga harus
shalih secara social secara sinergis, terutama dalam membebaskan kaum tertindas
(mustadh’afin).
Pertama, dari sisi historis awal mula kelahiran agama Islam, adalah untuk
merespons penderitaan dan kesengsaraan yang mencekam kehidupan umat manusia
akibat penindasan dan eksploitasi yang dilakukan komunitas sosial maupun individul
yang dominan. Agama Islam lahir sebagai bentuk keprihatinan atas realitas sosial
yang timpang. Untuk itu, kehadirannya merupakan upaya kritik dan pembelaan atas
upaya-upaya dehumanisasi, penistaan terhadap harkat dan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam catatan sejarah, sejumlah pendiri agama (Nabi) justru datang dari
komunitas sosial yang mengalami penindasan dan eksploitasi cukup lama. Nabi Musa
tampil karena prihatin atas penderitaan Bani Israil yang dalam rentang waktu cukup
lama ditindas Fir’aun. Isa al-Masih , putra Maryam juga datang kerena prihatin atas
penderitaan rakyat banyak pada zamannya.
Nabi Muhammad juga mempunyai peranan dan misi yang sama. Pada awal
masa kelahirannya, Islam melontarkan kritik cukup mendasar pada sistem sosial-
ekonomi dan budaya Quraisy Mekkah. Sistem sosial-ekonomi yang menindas dan
diskriminatif serta ketiadaan tanggung jawab sosial (sense of social responsibility) itu
cukup mengakar dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Melihat kondisi sosial yang amat timpang ini, Nabi Muhammad saw
mengambil peran sebagai pemimpin kaum tertindas dan lebih memilih gaya hidup
mereka (bersahaja dan kesederhanaan). Kemudian beliau melakukan upaya
pembelaan terhadap mereka. Itulah uraian ringkas yang cukup mudah kita temukan
dalam beberapa literatur sejarah agama Islam dan pendirinya.
Kedua, dari sisi doktrinal-normatif agama, teks-teks suci agama yang bersifat
normatif sangat perlu dipahami secara utuh, sehingga nilai-nilai substansial agama
dapat ditangkap secara keseluruhan. Dalam banyak ayat Alqur'an, misalnya, kita
dapat menemukan penjelasan bahwa agama megidealkan antara dua kepentingan,
kepada Tuhan dan manusia. Bahkan problem kemanusiaan terkadang lebih penting
untuk dikedepankan.
Surat-surat awal Alqur’an seperti al-Ma’un, al-Kautsar, al-Humazah, al-Fajr,
al-Lail dan al-Balad, menunjukkan indikasi ke arah itu. Surat-surat tersebut sangat
mengecam praktik akumulasii kekayaan yang diperoleh melalui cara eksploitasi sosial
ekonomi dalam bentuk ketidakpedulian atas penderitaan orang-orang tertindas dan
lemah (anak yatim, miskin, dll.).
Dalam surat al-Ma'un juga ditegaskan bahwa para pendusta agama adalah
mereka-mereka yang hanya menikmati sembahyang (juga ritual-ritual formal lainnya),
tapi lupa akan nasib orang-orang yang tereliminasi dan menderita secara sosial-
ekonomi. Bahkan, dari sekian banyak ayat Alquran, jumlah ayat-ayat yang berkaitan
dengan kehidupan sosial jauh lebih banyak ketimbang ayat-ayat ibadah ritual-formal-
individual. Bahkan, perbandingannya hampir satu berbanding seratus.
Hal ini cukup menjadi bukti bahwa agama Islam, sejatinya untuk menjaga
nilai dan memenuhi kepentingan kemanusiaan. Dalam kaidah usul fikih pun
disebutkan bahwa “amal perbuatan yang dapat dirasakan mamfaatnya oleh orang
banyak lebih utama daripada amalan yang manfaatnya hanya dirasakan diri sendiri”
(al-muta’addî afdlal minal qâshir). Itulah penjelasan cukup valid yang mudah
ditemukan, ketika kita membaca beberapa literatur sejarah agama Islam dan sumber
doktrinal-normatif nya secara utuh.
Dalam surat al-A’raf: 157 dinyatakan dengan tegas bahwa misi Nabi
Muhammad yang menjadi cirikhas umat Muhammad adalah untuk membebaskan
belenggu yang melilit umat manusia.
عندهم مكتوبا يجدونه الذي األمي النبي الرسول يتبعون ذينال ويحل المنكر عن وينهاهم بالمعروف مهيأمر واإلنجيل التوراة في واألغالل إصرهم عنهم ضع وي الخبائث عليهم ويحرم الطيبات لهم النور واتبعوا ونصروه وعزروه به ءامنوا فالذين عليهم كانت التي(157) لمفلحون ا هم أولئك معه أنزل الذي
“Yaitu orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka
dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh
mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang
mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-
belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya,
memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan
kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Atas dasar inilah , maka Dr. Ali Syari'ati mendefinisikan ”manusia
tercerahkan” adalah ”mereka-mereka yang tak hanya memiliki tanggung jawab
ibadah-ritual kepada Allah, tapi sekaligus orang yang punya tanggung jawab sosial
kemanusiaan pada sesama saudara manusianya”. Tanpa adanya komitmen sosial
(ibadah sosial) seseorang belum dapat dikatakan sebagai manusia yang tercerahkan
dan pola keberagamaannya tidak dapat dianggap utuh.
Sampurnan, 19 Januari 2008
HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA
Berbicara tentang hubungan Islam dan Negara merupakan hal yang sangat menarik.
Selama ini paling tidak ada dua pandangan di kalangan umat Islam; apakah negara
kaum muslimin itu harus berupa negara agama(dalam arti kekuasaan negara
dikendalikan oleh kaum agamawan dan norma-agama, misalnya negara harus
berbentuk Khilafah) atau boleh negara sekuler (dalam arti institusi kenegaraan yang
digunakan dan norma yang mengendalikan dirumuskan berdasar kesepakatan warga
negara, misalnya dalam bentuk negara nasional).
Telah disepakati bahwa hubungan antara agama dan negara, keduanya saling
membutuhkan guna saling memperkokoh cita-cita dan eksistensi masing-masing.
Sebab dalam negara harus ada values (nilai-nilai) yang biasanya ada dalam ajaran
agama. Oleh karena itu sesungguhnya negara memerlukan dukungan dan kontrol dari
agama. Demikian pula sebaliknya, karena agama juga membutuhkan struktur dan
fasilitas politik untuk menyebarkan nilai dan misi agama , maka agamapun
membutuhkan negara.
Persoalan yang dihadapi, bahwa sekarang ini tidak ada negara yang tumbuh di luar
wilayah nasionalitas (yang dihuni oleh pemeluk agama yang plural), dan karena
pemeluk agama adalah juga sebagai warga negara, maka tuntutan agama dan negara
bertemu dalam sebuah pribadi. Oleh karena itu secara politis harus dicarikan titik
temu dan rambu-rambu, supaya kehidupan negara dan warganya berjalan secara
damai. Namun dalam perjalanan sejarahnya sering kali terjadi benturan antara agama
dan negara. Hal ini terjadi karena berbagai factor. Antara lain adalah, karena artikulasi
agama sering kali ditentukan oleh kepentingan individu dan kelompok, sehingga bisa
terjadi benturan dengan kepentingan individu dan kelompok yang sedang bertengger
dipuncak kekuasaan negara. Di sinilah dapat dipahami mengapa perebutan kekuasaan
antara berbagai kepentingan terjadi, termasuk antar pemeluk agama sering dijumpai.
Islam Dan Institusi Negara
Jika kita meperbincangkan geneologi civil society, antara tradisi yang berkembang
di Barat dan Islam memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Yesus (Nabi Isa as)
lahir dan berjuang tetapi kalah dihadapan kekuasaan politik. Sementara itu Nabi
Muhammad saw lahir di padang pasir, kemudian berjuang dan menang, bahkan
menegakkan kekuasaan politik dan mewariskannya kepada generasi sesudahnya. Di
sinilah jelas perbedaannya. Oleh karena itu, di Barat pemisahan agama dan negara di
dasarkan pada sejarah dan ajaran yang berbeda dari pengalaman Islam. Negara begitu
mandiri dan independen, serta didukung oleh rasionalitas sekuler. Sedangkan dalam
pengalaman sejarah Islam intervensi ulama dan agama sangat kuat. Jika di Barat
secara empiris-historis mereka sepakat membangun negara sipil berdasar humanisme
rasional, maka dalam Islam hingga sekarang ini masih sedang mencari format yang
pas dalam konteks negara modern. Boleh saja kita berpendapat bahwa negara
Madinah adalah egaliter, adil dan demokratis, namun perlu dicatat bahwa factor Nabi
Muhammad saw sebagai figur sentral yang sangat kuat, yang menjamin persamaan.
Setelah Nabi saw wafat , maka persamaan itu lenyap dan digantikan oleh faham
dinastiisme.
Lalu bagaimana sebenarnya konsep Islam.Tidakkan konsep khilafah yang pernah
berjaya pada masa sahabat dan dinasti sesudahnya itu merupakan contoh ideal yang
harus diadopsi dan diperjiangkan?. Dalam hal ini sampai kini masih diperdebatkan.
Jik kita melihat pada doktrin keagamaan otentik berupa nash, maka pandangan
tentang khilafah sebagai institusi kenegaraan yang mengikat, agaknya cukup sulit.
Berbagai data histories menunjukkan bahwa khilafah sebenarnya tidak termasuk
bagian dari doktrin keagamaan, tetapi masuk pada wilayah instutusi social. Dan
sebagai institusi social, maka konsep khilafah selalu berubah secara dinamis,
mengikuti dinamika social di sekitarnya. Khilafah yang terbentuk sebara demokratis
(dengan segala variannya) di masa khulafaurrasyidin, pada ahirnya berubah menjadi
autokratik-monarkhis. Dan sebutan kholifah juga mengalami perkembangan, seperti
Amirul Mukminin, Sulthan, Amirul Umara’, Imam, Syarif, Khan dll.
Kelemahan konsep khilafah untuk dijadikan sebagai rujukan tunggal sebagai
institusi kenagaraan kaum muslimin, di samping tidak adanya landasan tekstual yang
kongklusif, juga tidak ditemukannya struktur organisasi yang baku dan landasan
filosofis yang dapat dijadikan sebagai acuan secara universal, sekalupun sejak zaman
nabi Muhammad , masyarakat muslim telah terhimpun dalam sebuah organisasi
politik bernama negara. Sebagai negara yang berdaulat, khilafah tentu saja telah
memiliki struktur, walaupun sederhana, tetapi itu bukan berdasar landasan normative,
tetapi bergerak atas kebutuhan histories, berdasar ijtihad para ulama sesuai zaman dan
tantangan yang dihadapi. Landasan tekstual yang ada hanya memberikan konsep dasar
yang tidak bersifat kelembagaan, tepi lebih bersifat moral dan spiritual. Misalnya
perintah musyawwarah, berbuat adil, persamaan hak didepan hokum.
Bukti klasik tentang tidak adanya rujukan tekstual yang kongklusif tersebut adalah
bahwa setelah Rasulullah wafat, para sahabat tidak memperoleh acuan normative dari
Nabi/Rasulullah untuk menentukan figure penggantinya sebagai penyelenggara tugas-
tugas ekskutif pemerintahan Madinah. Nabi tidak menentukan siapa penggantinya
kelak setelah beliau wafat. Keriteria yang diperlukan untuk mengangkat pengganti
beliau justru diperoleh dari gagasan para sahabat, yang kemudian mereka tuangkan
dalam prosedur pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Prosedur pemilihan yang dikenal
dengan bay’at tsaqifah ini ditetapkan oleh muslim sunni sebagai landasan ideal untuk
menyelenggarakan suksesi kepemimpinan dalam Islam. Terhadap prosedur pemilihan
Abu Bakar ini, para ahli menilainya sebagai asas konsep demokrasi dalam Islam.
Argumentasi yang dijadikan pertimbangan ialah adanya tiga komponen penting yang
dilaluinya, yaitu pencalonan (nomination), kompromi antar kelompok (mutual
consultation) dan bay’at (kontrak antara publik dan pemimpin terpilih).
Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa suksesi kepemimpinan versi sunni
(ahlu sunnah), dari sudut kelembagaannya masuk katagori institusi social.
Pengkatagorian ini berangkat dari legitimasi yang diperolehnya berdasar consensus
publik serta dibuat atas dasar akad kontrak antara pemimpin terpilih dengan rakyat.
Maka sebagai institusi social , khilafah memiliki ruang gerak yang dinamis, mengikuti
dinamika social yang berlangsung. Oleh karena itu, nama dan struktur kenegaraan
Islam dapat berubah sesuai dengan perkembangan. Itulah sebabnya, maka sejarah
ke=khalifahan dalam Islam berkembang sesuai dengan konteks kemaslahatan yang
dihadapi. Dengan demikian, maka institusi kenegaraan yang berbentuk republik atau
monarkhi sebagaimana Arab Saudi dan sebagainya, selama menghadirkan
kemaslahatan, maka Islam tidak mengingkarinya.
Dalam konteks ini yang penting digaris bawahi adalah tegaknya keadilan,
kemaslahatan dan kedamaian warganya. Oleh karena itu peran agama menjadi sangat
penting untuk dijadikan sebagai acuan moral dan spiritual. Kaidah Fiqih
menyatakan :”Tasharruful Imam manutun bilmaslahat” (Aktivitas dan kebijakan
kepala negara dalam penyelenggaraan pemerintahan harus sesuai dengan tuntutan
kemaslahatan warga negara). Nabi juga menyatakan : “tidak ada ketaatan kepada
seseorang yang melakukan penyimpangan agama”.
Sebagai acuan moral dan spiritual, maka agama (Islam) akan memberikann
arah bagi negara supaya tetap berjalan dan dapat dipertangung jawabkan sesuai
dengan cita kemanusiaan dan ketuhanan. Dari sudut pandang Islam, Negara adalah
instrumen , alat yang penting untuk menyosialisasikan cita-cita moral Islam. Dan
sebagai alat, maka negara tidak harus bernama Islam. Karena itu untuk kasus
Indonesia, negara Pancasila dapat dijadikan sebagai instrumen guna melaksanakan
cita moral Islam berupa kebebasan, keadilan, kemakmuran, persamaan, persaudaraan
dan sebagainya.
Persoalan yang muncul kemudian adalah maukah Pancasila menerima
landasan moral Islam (Nilai-nilai kenabian). Meminjam teori A.J. Taynbee, bila kita
berbicara tentang nilai kenabian, maka semua agama samawi banyak memiliki
persamaan. Dengan demikian usaha bersama untuk menggali dan merumuskan nilai-
nilai itu antar berbagai pemeluk agama sangat mungkin dilakukan, asal iklim yang
baik dan segar dapat diciptakan. Kesemuanya ini tergantung kemauan politik yang
bertangungjawab dan tulus serta sifat kenegarawanan yang dewasa.
Ketika negara melakukan penyimpangan moral, maka agama (Islam) dan
ulamaknya harus melakukan koreksi dan kritik membangun. Ketika masyarakat
menglami tingkat ekonomi yang surplus, agama akan menawarkan keseimbangan
yang bersifat etik dan spiritual. Menghadapi masyarakat yang tingkat pendidikannya
rendah dan terbelakang, agama akan dating memberikan seruan untuk meningkatkan
etos belajar. Ketika terjadi ketimpangan ekonomi, agama akan berjihad untuk
menyerukan pemberantasan kemiskinan, dan ketika korupsi tak terbendung, maka
agama akan berjihad menyerukan pemberantasan korupsi.
Modus kehadiran agama seperti ini biasanya bersifat langgeng, menyertai
kehidupan manusia yang fluktuatif. Di sini agama selalu hadir memberikan jawaban
yang pasti, berupa kesejukan, ketentraman dan kepasrahan. Dari penjelasan ini dapat
dipahami mengapa jarang sekali didapati negara yang dapat melepaskan diri dari
pengaruh agama sama sekali. Negara-negara barat, termasuk Amerika, tidak pernah
sepi dari pengaruh kaum agamawan, seperti Paus di Vatikan.
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA
Yang dimaksud judul ini adalah hubungan timbal balik yang saling membutuhkan
dan mempengaruhi. Islam merupakan ajaran keselamatan yang bersifat spiritual. Oleh
sebab itu ia harus diformulasikan oleh bahasa budaya yang penuh bijak, lembut dan
beradab.
Kaum positivisme menganggap agama sebagai puncak ekspresi kebudayaan.
Akan tetapi sebaliknya menurut kaum teolog dan agamawan, kebudayaan merupakan
perpanjangan dari prilaku beragama. Agama bagaikan ruh yang datang dari langit,
sedangkan budaya adalah jasad bumi yang siap menerima ruh agama, sehingga
pertemuan keduanya melahirkan peradaban. Ruh tak bisa beraktifitas dalam pelataran
sejarah tanpa jasad. Sebaliknya jasad akan mati dan tak sanggup menggapai makna
dan nilai-nilai tanpa agama.
Untuk memahami kehidupan beragama, bisa dipahami melalui dua dimensi;
personal dan cultural. Melalui dimensi personal, agama memberikan acuan hidup
seseorang dan untuk memberikan makna bagi setiap tindakan yang dilakukan. Jika
sain dan teknologi menawarkan jasa tehnik menyelenggarakan hidup, maka agama
akan memberikan arah dan makna serta tujuan hidup. Sedang dimensi cultural,
memahami hehadiran agama akan bergerak dan tumbuh melalui wadah kultur,
sehingga akan muncul kultur yang bercirikan agama, atau simbul-simbul cultural
yang digunakan untuk mengekpresikan nilai agama. Oleh karena itu mengingat
masyarakat tumbuh dalam sebuah kultur yang beragam, maka ekspresi sebuah agama
secara kultural dan simbolik bisa juga beragam, sekalipun pesan yang dibawa sama.
Selanjutnya mengingat kualitas individu dan budaya di mana sebuah agama
tumbuh bukanlah seperti kaset kosong , maka antara agama dan budaya pada ahirnya
tidak mungkin dipisahkan , Keyakinan agama seseorang akan merasuki kehidupan
dan tindakannya. Menyadarai hal ini maka sangat logis bahwa ekspresi dan artikulasi
keagamaan tidak pernah berwajah tunggal. Dalam konteks Islam. Sekalipun terdapat
ajaran baku yang diyakini bersama, namun pada level pemahaman, penafsiran , tradisi
ban keyakinan, akan dijumpai keragaman. Bahkan sebagian keragaman ini telah
melembaga sebagai madzhab (school of thought)
PERSPEKTIF ISLAM TENTANG PENYEMPURNAAN
KEPRIBADIAN MANUSIA
Di kalangan Sufi, dikenal suatu riwayat sebagai semboyan “siapa yang dapat
mengenali diriya maka ia akan mengenal Tuhannya”.Dari ungkapan ini, maka
mengenali diri sendiri merupakan tangga yang harus dilewati seseorang untuk
mendaki ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka mengenal (memahami) Tuhan.
Namun persoalan serius yang dihadapi manusia (sebagaimana diakui para psikolog,
failosof dan para ahli lainnya), pada umumnya mereka mengalami kesulitan, bahkan
gagal dalam mengenali jati diri dan hakikat kemanusiaannya.
Siapa sesungguhnya hakikat manusia, apakah ia mahluk material/jasmani,
ataukah ia sesungguhnya mahluk sepiritual. Dalam al-Qur’an ia terkadang disebut
dengan “ basyar” dan kadang disebut dengan “insan”. Kata “basyar” memiliki makna
tampak dan indah. Dari sini manusia berbeda dengan jin yang tak tampak. Kata
“basyar” biasanya digunakan untuk menyebut proses kejadian dan perkembangan
manusia mulai awal hingga mencapai dewasa. Sedangkan kata “insan” terambil dari
akar kata “uns” yang artinya jinak dan harmonis. Kata “insan” ini digunakan untuk
menunjuk totalitas manusia yang meliputi jiwa, raga , pisik dan psikis dengan segala
keunikannya.
Dalam al-Qur’an dinyatakan secara tegas bahwa manusia merupakan makhluk
ciptaan Allah yang terbaik di banding makhluk lainnya(al-Alaq: 4). Ia memiluki
potensi yang demikian prima. Namun begitu Allah segera memperingatkan bahwa
kualitas kemanusiaannya (secara actual), masih belum selesai (setengah jadi),
sehingga masih harus berjuang untuk menyempurnakan dirinya.(al-Syams: 7-10).
Proses penyempurnaan ini sangat mungkin untuk dilakukan, sebab pada naturnya
manusia itu fitri , hanif dan berakal.Bahkan disamping sebagai hamba Allah, manusia
ditugasi memikul amanat sebagai khalifah (pemimpin untuk memakmurkan bumi)di
muka bumi ini.
Kemudian bagaimana proses penyempurnaan itu harus dilakukan. Banyak
para ulama menyampaikan pendangan dan pengalamannya. Di antaranya Ibnu Arabi.
Ia menggambarkan bahwa di dalam diri manusia terdapat tiga komponen yang amat
menentukan kualitas kemanusiaannya; yaitu ruh, jasad dan nafsu. Ruh diciptakan
Allah dari spiritNya, karena itu dia cenderung pada hal-hal yang suci dan baik.
Sedang jasad manusia diciptakan dari tanah, karena itu memiliki kecenderungan yang
rendah dan kotor. Adapun nafsu diciptakan sebagai barzah(terminal) yang ada di
antara ruh dan jasad. Nafsu merupakan motor yang mendorong seseorang untuk
berbuat sesuatu. Jika nafsu dapat didekatkan kepada ruh, maka ia akan cenderung
kepada hal-hal yang suci dan baik. Dan pada gilirannya manusia akan memiliki
kecenderungan untuk berbuat baik dan suci. Sebaliknya jika nafsu manusia dekat
dengan jasad, maka ia akan memiliki kecenderungan kepada hal-hal yang buruk dan
rendah. Maka pada gilirannya manusia akan gemar melakukan perbuatan tercela dan
rendah. Atas dasar ini, maka proses penyempurnaan dirinya, manusia harus
senantiasa berjuang mendekatkan nafsunya kepada hal-hal yang bersifat spiritual dan
suci, supaya nafsunya menjadi nafsu mutma’innah.yaitu nafsu yang damai dan
mendapat ridlo Allah.
Mengapa nafsunya yang dikendalikan, sebab masalah utama yang dihadapi
manusia supaya hidupnya damai, adalah memelihara da meningkatkan kesucian
jiwanya. Dengan jiwa yang bersih, maka ia akan senantiasa berpikir pisitif dalam
menghadapi berbagai romantika dan problema kehidupan ini.
Salah satu tahapan untuk meningkatkan kesucian jiwa yaitu melalui tiga
maqam tahapan; ta’alluq, takhalluq dan tahaqquq. Pertama, proses ta’alluq ini bisa
dilakukan melaui dzikir, yaitu berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati
dan pikiran kita kepada Allah. Di manapun kita berada jangan sampai lepas dan
melupakan Allah sebagai Tuhan dan Pemelihara alam semesta ini.Perbuatan ibadah
mahdlah (murni) seperti shalat misalnya merupakan sarana dzikir yang paling ampuh
(Aqimisshalata li zdikri). Kedua, takhalluq; yaitu secara sadar berusaha meniru sifat-
sifat Allah yang Maha Mulya, sehingga setiap mukmin memiliki sifat dan prilaku
yang terpuji. Proses ini disebut juga sebagai proses internalisasi sifat-sifat Tuhan ke
dalam diri manusia. Maqam Ketiga tahaqquq, yaitu suatu kemampuan untuk
mengaktualkan kesadaran dan kapasitas diri sebagai mukmin yang (dalam dirinya)
telah didominasi oleh kesucian dari sifat-sifat Tuhan, sehingga prilaku dan sikapnya
secara otomatis mencerminkan kecian dan kemulyaan sifat-sifat tersebut (berakhlaqul
karimah).
Inilah salah satu kesimpulan dari proses yang ditawarkan Allah jika seseorang
ingin mendapatkan kebahagiaan hidup, yaitu mensucikan jiwa, sebagaimana
diisyaratkan dalam surat al-Syams 7-10 :
) سواها وما (7ونفس وتقواها) فجورها (8فألهمها زكاها) من أفلح )9قد
) دساها من خاب )10وقد
ISLAM DAN EMANSIPASI KEMANUSIAAN
Kata “emansipasi” berasal dari bahasa Inggris yang artinya pembebasan, yakni
pembebasan dari berbagai belenggu yang mengganggu eksistensi dan martabatnya
sebagai manusia. Tema yang akan dibicarakan ini dalam rangka menjawab sebuah
pertanyaan; Apakah Islam (ajaran-ajarannya) sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan?.
Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Tin, bahwa manusia merupakan puncak
ciptaan Allah dan makhlukNya yang tertinggi. Hal ini mengambarkan betapa
tingginya harkat dan martabat kamanusiaan. Tetapi dalam surat tersebut juga
ditegaskan bahwa derajat dan martabat manusia bisa terprosok dan jatuh pada kaadaan
yang paling rendah, bahkan dalam surat al-A’raf 179 dinyatakan bahwa kejatuhan
mereka itu bisa lebih rendah di bawah derajat binatang. Untuk menjaga dan
membebaskan dirinya dari kejatuhan itu diserukan supaya manusia mempercayai
Allah (iman) dan berbuat kebajikan (amal shalih).
Dari penjelasan kitab suci al-Qur’an di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut asal
kejadiannya(potensi), manusia itu merupakan makhluk mulya, tetapi kerena berbagai
hal yang muncul, dan disebabkan oleh kelalaian dan kecerobohannya sendiri (secara
actual), manusia sering kali keluar (bahkan menyimpang) dari fitrahnya, sehingga
terjatuh ke dalam lembah kehinaan. Manusia akan terlesamatkan jika ia memiliki
komitmen terhadap nilai-nilai ilahiyah dan berbuat baik kepada sesamanya. Dari
perspektif ini maka dapat dipahami bahwa kehadiran para Rasul di tengah-tengah
kehidupan manusia adalah untuk memimpin manusia melawan kejatuhannya sendiri.
Atau dalam bahasa lain para Rasul itu memimpin manusia untuk membebaskan harkat
dan martabatnya dari kejatuhan dan kehinaan.
Syirik dan Kufur : Problem Utama Kemanusiaan
Di antara sekian persoalan yang dihadapi umat manusia adalah meraja lelanya
kezaliman , sehingga kadilan nampak sebagai fatamorgana dan ilusi. Eksploitasi,
pemerasan, dan penindasan manusia atas manusia lain merupakan realitas actual yang
menghiasi wajah kehidupan setiap bangsa di muka bumi ini (baik secara politis,
ekonomi maupun budaya). Mengapa manusia melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu sebab paling utama yang
memicu munculnya prilaku tersebut adalah sikap Syirik (politeisme) dan kufur
(menentang dan ingkar kepada Allah)
Syirik pada hakikatnya adalah pengangkatan sesuatu selain Tuhan (Allah) secara
batil sedemikian rupa sehingga memiliki nilai lebih tinggi dari manusia sendiri.
Dengan kata lain, orang yang melakukan syirik secara apriori menempatkan diri,
harkat serta martabatnya lebih rendah dari obyek yang di syirikkan (pada hal manusia
adalah mahluk termulya). Dalam kaadaan selanjutnya orang yang bersangkutan dapat
terjerumus ke dalam pola dan sikap hidup atas belas kasih sesuatu yang dimitoskan
tersebut. Ini artinya manusia telah kehilangan harkat dan martabatnya yang tinggi, ia
tidak lagi wujud sebagai manusia yang merdeka, sebab dirinya telah menjadi hamba
dari obyek yang diagungkannya.
Obyek yang disyirikkan bisa berupa sesuatu atau gejala alam, sesama manusia atau
bahkan dirinya sendiri. Seorang musyrik akan terbelenggu oleh sesuatu yang
dimitoskan, karena itu maka ia cenderung menolak kebenaran. Jika yang dimitoskan
adalah dirinya sendiri (karena didorong oleh hawa nafsunya), maka manusia akan
cenderung besikap angkuh dan sombong serta memutlakkan pandangan dan
fikirannya. Orang yang demikian akan mudah terseret kepada sikap-sikap tertutup dan
fanatik, yang akan bereaksi secara negatif terhadap sesuatu kebenaran yang datang
dari luar. Inilah salah satu bentuk kungkungan atau perbudakan oleh tirani egoisme.
Gambaran mengenai kenyataan ini disebut dalam al-Qur’an surat al-Jatsiyah 23:
علم على الله وأضله هواه إلهه اتخذ من أفرأيت غشاوة بصره على وجعل وقلبه سمعه على وختم(23تذكرون) أفال الله بعد من يهديه فمن
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah
mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”
Selanjutnya jika yang dimitoskan berupa alam/gejala alam, maka belenggu itu
akan berwujud tertutupnya kemampuan manusia untuk melihat hokum-hukum alam
secara obyektif. Dengan kata lain syirik menutup pintu ilmu pengetahuan, karena
pendekatan yang digunakan selalu melalui mitologi(mitos) yang lebih banyak
bersandar pada hayalan. Sedangkan mitologi terhadap sesama manusia akan
menghasilkan tirani dan kultus. Hal ini akan menghasilkan efek pembelengguan yang
sangat kuat berupa perampasan hak dan kemerdekaan harkat kemanusiaan, baik dalam
bidang politik, ekonimi dan lain sebagainya. Maka disebabkan sifat pembelengguan
yang menghancurkan harkat dan martabat manusia inilah, perbuatan syirik dinyatakan
sebagai dosa besar yang tidak terampuni. Di anatara tokoh yang dicontohkan sebagai
tiran (thoghut) adalah Fir’un. Ia memerintah sebagai penguasa yang obsolut dan
sewenang-wenang, bahkan mengaku sebagai tuhan.
Islam dan Emansipasi Kemanusiaan
Islam adalah agama kedamaian, keselamatan, dan kesejahtraan. Karena itu
ajarannya selalu ditujukan kepada terwujudnya pribadi dan masyarakat yang adil dan
sejahtra, lahir maupun batin. Ada tiga kata kunci yang sangat penting dalam Islam,
yaitu Iman, Islam dan taqwa. Tiga istilah tersebut memiliki makna mirip dan saling
menyempurnakan. Kata Islam berasal dari “salima, silm dan aslama”. Artinya
selamat, sejahtra dan berserah diri. Dari makna ini dapat disimpulkan bahwa siapa
yang berserah diri kepada Allah, maka akan semat dan sejahtra. Sedangkan kata iman
baerasal dari ungkapan “amana, amanat dan amn”, artinya mempercayai, dapat
dipercaya dan aman. Dari istilah ini maka disimpulkan bahwa siapa yang
membercayai Allah akan menjadi orang yang dapat memegang amanat dan
terlindungi/aman. Adapun istilah taqwa berasal dari kata “waqa, dan wiqayah”,
artinya takut, menjaga diri dan terlindungi. Dari sisni kemudian disimpulkan bahwa
siapa yang takut kepada Allah dengan menjaga ajaranNya, maka akan
terlindung/selamat dari api neraka.
Telah diketahui bersama bahwa titik tekan seruan dan dakwah Islam adalah
bagaimana supaya manusia beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa secara
benar. Oleh karena itulah maka seruan al-qur’an tentang keimanan banyak ditujukan
kepada kaum musyrik. Yaitu keimanan yang mengajarkan bagaimana mengubah
manusia dari paham tuhan palsu kepada aqidah tauhid. Demi harkat dan martabatnya
sendiri, manusia harus menghambakan diri hanya kepada Allah Yang Esa. Dalam
gambaran grafisnya, manusia harus melihat ke atas hanya kepada Allah Yang Maha
Tinggi, dan kepada alam harus melihat ke bawah. Sedangkan kepada sesama manusia
harus melihat secara mendatar (horizontal). Hanya dengan sikap seperti itu manusia
akan menumukan hakikat dirinya, makhluk ciptaan Allah yang dimulyakannya.
Aqidah tauhid, mengantarkan manusia untuk menjadikan Allah sebagai satu-
satunya tujuan dan orientasi hidupnya. Ungkapan bahwa hidup ini karena dan demi
ridla Allah, menggambarkan orientasi tersebut. Dalam Istilah agama orang yang
bersikap demikian itu dinyatakan mengikuti “jalan lirus” (sirat al-mustaqim), jaitu
jalan yang membentang searah dengan kehendak Allah. Dalam realitas keseharian,
manusia harus senantiasa berjuang untuk hidup sejalan dengan bisikan hati nurani
yang selalu menghendaki kebaikan dan kesucian. Dus ia akan bertindak manusiawi,
karena hati nurani merupakan inti kemanusiaan.
Salah satu konsekuensi logis paham Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid) yang
sangat kuat ialah adanya dampak pembebasan social, yaitu munculnya semangat
egalitarianisme (paham persamaan derajat). Maka atas dasar inilah, ajaran tauhid
menghendaki system kemasyarakatan yang demokratis berdasarkan musyawarah,
yang terbuka, di mana masing-masing anggota masyarakat saling mendengar dan
menghargai, memperingatkan tentang apa yang baik dan benar, tentang ketabahan
menghadapi problema kehidupan. Dari sini dapat dipahami mengapa Islam
menentang absolutisme antar sesama manusia. Kebebasan berdasar kan Tauhid
menghendaki adanya kemampuan menghargai pendapat orang lain, karena mungkin
pendapat yang lain lebih baik dari pada pendapatnya sendiri.
Dengan semangat paham tauhid, tidak dibenarkan adanya klaim seseorang yang
memegang kebenaran mutlaq, dan sebaliknya pahan ini mengharuskan seseorang
berani memikul tanggungjawabnya sendiri, tanpa perantara orang lain. Kebebasan dan
tanggung jawab merupakan dua sisi mata uang yang tak terpisah; tidak ada kebebasan
tanpa tanggung jawab, sebaliknya tidak ada tangung jawab , jika seseorang tidak
bebas. Inilah salah satu dari makna kalimat Suyahadat: Pembebasan dari semua
belenggu kepercayaan yang batal, disusul kepercayaan dan tanggung jawab kepada
Allah, Tuhan yang benar (hak).
Emansipasi Wanita Dalam Perspektif Islam
Al-Qur'an sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil 'âlamîn) diturunkan untuk memberikan pencerahan. Ayat-ayat al-Qur'an berobsesi untuk mewujudkan keadilan di dalam masyarakat. Oleh karena itu, setiap penafsiran yang telah melahirkan diskriminasi, termasuk menyangkut jender harus ditinjau kembali, karena tidak sejalan dengan misi utamanya.
Penafsiran terhadap ayat-ayat jender selama ini umumnya masih mempertahankan status quo, di mana laki-laki diberikan peran dominan dalam dunia publik, sedangkan perempuan diberikan peran di dunia domestik. Pembagian peran berdasarkan jenis kelamin jelas merugikan perempuan dan menguntungkan bagi laki-laki. Pembagian seperti ini tidak sejalan dengan semangat yang ingin ditumbuhkan oleh Al-Qur'an.
Dalam bidang kepemimpinan, kaum perempuan memperoleh akses yang kurang sekali karena seolah-olah sudah mengendap di alam bawah sadar dalam masyarakat bahwa kaum laki-lakilah yang harus menjadi pemimpin bagi kaum perempuan. Dalam bidang ekonomi, kaum perempuan juga banyak dirugikan karena adanya pembagian peran berdasarkan jenis kelamin. Kaum perempuan disudutkan pada sektor domestik dengan alasan kodrat. Kodrat difahami sebagai pemberian Tuhan (Devine Creation), padahal sebagian besar yang disangka kodrat itu sesungguhnya adalah ciptaan masyarakat (social construction). Demikian pula dalam bidang pendidikan, kaum perempuan dianggap tidak mempunyai kemampuan intelektual sebagaimana halnya laki-laki, karena adanya nash yang difahami secara tekstual dan parsial, sehingga tidak sejalan dengan semangat umum al-Qur'an yang menghendaki pemberdayaan manusia sebagai khalifah dan sebagai hamba tanpa membedakan jenis kelaminnya.
Kisah tentang kebesaran Ratu Balqis diuraikan tidak kurang dari dua surah (an-Naml dan al-Anbiyâ’). Kisah panjang tentang penguasa Saba’ yang makmur tentu bukan sekedar “cerita pengantar tidur”, tetapi sarat(penuh) dengan makna dalam kehidupan umat manusia. Setidaknya, al-Qur’an mengisyaratkan dan sekaligus mengakui keberadaan perempuan sebagai pemimpin. Kita diingatkan bahwa di dalam al-Qur’an pernah ada tokoh perempuan yang mengendalikan kekuasaan besar dan di sekelilingnya banyak tokoh laki-laki.
Kenyataan yang diperankan Ratu Balqis dan isyarat persamaan hak-hak politik antara laki-laki dan perempuan, lebih otentik dan lebih serasi dengan visi dan misi global al-Qur’an. Al-Qur'an jelas-jelas tidak membenarkan adanya diskriminasi berdasarkan etnik, ras, dan jenis kelamin (49:13).
Isteri-isteri Nabi sendiri menunjukkan aktivitasnya di bidang ekonomi dalam beragam profesi, seperti Khadijah, konglomerat yang berhasil dalam usaha ekspor-impor; Shafiyah binti Huyay, perias pengantin; dan Zainab binti Jahsy, yang menggeluti industri rumahan menyamak kulit binatang. Ada juga Raithah, isteri Abdullah Ibn Mas’ud yang aktif berbisnis karena suaminya tidak mampu mencukupi
kebutuhan keluarga. Juga Asy-Syifa, seorang perempuan yang ditugasi Umar mengurusi pasar di kota Madinah.
Jika ditelusuri ternyata ditemukan beberapa hadis Nabi Saw. yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada laki-laki maupun perempuan. Dari Anas, dia berkata bahwa Rasululah Saw. bersabda: “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim” (HR. Baihaqi dan Ibnu Majah).
Para perempuan di zaman Nabi Saw, pernah memohon kepada beliau agar bersedia menyisihkan waktu khusus agar mereka dapat menuntut ilmu, kemudian permohonan ini dikabulkan oleh Nabi (HR. Bukhari dan Muslim).
Sejarah menunjukkan bahwa banyak perempuan yang sangat menonjol dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, sehingga menjadi rujukan sekian banyak tokoh laki-laki. Isteri Nabi Saw, ‘Aisyah Ra, adalah salah seorang yang mempunyai ilmu pengetahuan yang sangat dalam dan terkenal pula sebagai seorang kritikus, sampai-sampai ada ungkapan terkenal yang dinisbahkan oleh sebagian ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad Saw, “Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira (yakni ‘Aisyah)”.
Kemudian, asy-Syaikhah Syuhrah yang bergelar Fakhr An-Nisâ (kebanggaan perempuan) adalah salah seorang guru Imam Syafi’i, tokoh mazhab fiqh yang pandangan-pandangannya menjadi anutan umat Islam di seluruh dunia. Al-Muqari dalam bukunya Nafhu Ath-Thib, sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu Al-Mutharraf, seorang pakar bahasa pada masanya, pernah mengajarkan seorang perempuan liku-liku bahasa Arab. Sampai akhirnya, ia memiliki kemampuan yang melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam bidang puisi, sehingga ia dikenal dengan nama Al-’Arudhiyat, karena keahliannya itu.
Secara historis, apa yang dilakukan Nabi merupakan reformasi yang luar biasa untuk menempatkan posisi perempuan setara dengan laki-laki. Tetapi, tidak semua sahabat dapat dengan segera memberikan respon yang emansipatif terhadap reformasi sosial ini. Setidaknya, Umar bin Khattab pernah mengingatkan Nabi bahwa memberikan hak terlalu banyak kepada kaum perempuan, sama artinya dengan membiarkan diri mereka dikuasai oleh kaum perempuan. Ia menghendaki agar Islam lebih menekankan perubahan di dunia publik, tetapi tetap mempertahankan moralitas dunia privat berdasarkan tradisi Arab lama. Karena itu, Umar tetap menginginkan perempuan lebih banyak berperan di bidang domestik.
Islam memang cenderung membedakan fungsi antara laki-laki dan perempuan tetapi perbedaan itu tidak mengandung unsur diskriminatif. Dasar perbedaan tersebut didasarkan atas kondisi fisik biologis yang ditakdirkan Tuhan berbeda antara satu dengan lainnya, terutama organ seksual. Perempuan memiliki organ reproduksi, seperti rahim untuk mengandung, buah dada untuk menyusui bayi, dan lain sebagainya, sementara laki-laki tidak memiliki organ tersebut. Namun demikan, perbedaan itu tidak mesti diartikan laki-laki lebih utama dan lebih unggul daripada
perempuan. Kedua jenis makhluk ini masing-masing memiliki keutamaan dan keunggulan.
Fazlur Rahman pernah menegaskan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan bukanlah perbedaan hakiki tetapi fungsional. Jika seorang isteri di bidang ekonomi dapat berdiri sendiri, baik karena warisan atau kemampuannya sendiri, dan memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan suaminya akan berkurang karena sebagai seorang manusia, ia tidak memiliki keunggulan dibanding isterinya.
Ajaran Islam tidak secara skematis membedakan faktor perbedaan laki-laki dan perempuan tetapi lebih cenderung memandang kedua insan ini secara utuh, antara satu dengan lainnya secara biologis dan secara sosial saling membutuhkan. Boleh jadi, suatu peran dapat diperankan keduanya, tetapi dalam peran-peran tertentu hanya dapat diperankan oleh salah satunya. Yang jelas, Islam telah berperan besar dalam mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan. Kalau dalam masyarakat sebelumnya perempuan diperlakukan sebagai "barang", maka setelah Islam datang membawa ajarannya, perempuan terangkat menjadi manusia yang tak berbeda dengan laki-laki.
Dalam gerakan Islam modern, salah satu aspek yang berusaha ditonjolkan adalah pemahaman baru terhadap ajaran Islam yang berkaitan dengan kaum perempuan. Rifa’at at-Tahthawi menyatakan bahwa kaum perempuan mesti memperoleh pendidikan yang sama dengan laki-laki. Mereka harus memperoleh pendidikan agar dapat menjadi isteri yang baik dan menjadi partner suami dalam kehidupan intelek dan sosial, juga agar dapat bekerja seperti laki-laki sesuai dengan batas-batas kesanggupan dan pembawaannya. Ide ini dibawa lebih lanjut oleh Qasim Amin yang menulis buku Tahrîr al-Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadîdah yang di dalamnya dia menekankan emansipasi perempuan dalam Islam. Senada dengan hal tersebut, Muhammad Iqbal menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan pada masa sekarang sudah harus disejajarkan
Emansipasi Wanita Dalam Islam
Posted December 30th, 2008 by i_dare_u
BAB IIIPEMBAHASANA. Fungsi dan Peran Wanita di dalam Kehidupan
A.1 Dalam Ibadah dan MasyarakatSebelumnya kita lihat Firman Allah dalam Al Qur’an yang menyebutkan :“ Dan orang - orang mukmin lelaki dan orang mukmin perempuan sebagian mereka mengasihani sebagiannya , mereka menyuruh akan kebajikan dan melarang dari kejahatan , mereka mendirikan shalat , mereka mengeluarkan zakat dan mereka ta’at / patuh kepada Allah dan RasulNya , mereka itulah yang Allah beri kasih sayang atas mereka , karena sesungguhnya Allah itu mulia lagi bijaksana .” ) Surat At Taubah ayat 71 (Bila kita pahami dan kita tela’ah maksud dari ayat ini menunjukkan bahwa kaum wanita Islam itu dalam beribadah kepada Allah dan dalam masyarakat , tidaklah diperbedakan penghargaan Allah atas kaum wanita dan kaum laki – laki . Begitu juga tugas antara kaum lelaki dan kaum wanita . Meskipun dalam urusan ibadah kaum muslimat itu kadang – kadang ada perbedaan dengan kaum muslimin . Seperti dalam sholat , kaum wanita pada saat kedatangan haidh , tidaklah mereka itu berkewajiban mengerjakannya , demikian juga pada waktu melahirkan ) Nifas ( . Dan selama mereka meninggalkan sholat itu mereka tidak diwajibkan untuk meng-qadha ) membayar ( .Bila kita pahami dan kita tela’ah maksud dari ayat ini menunjukkan bahwa kaum wanita Islam itu dalam beribadah kepada Allah dan dalam masyarakat ramai , tidaklah diperbedakan penghargaan Allah atas kaum wanita dan kaum laki – laki . Begitu juga tugas antara kaum lelaki dan kaum wanita . Meskipun dalam urusan ibadah kaum muslimat itu tempo – tempo ada perbedaan dan kadang – kadang ada berlainan dengan kaum
muslimin . Seperti dalam sholat , kaum wanita pada saat kedatangan haidh , tidaklah mereka itu berkewajiban mengerjakannya , demikian juga pada waktu melahirkan ) Nifas ( . Dan selama mereka meninggalkan sholat itu mereka tidak diwajibkan untuk meng-qadha ) membayar ( . Begitu pula dalam ibadah puasa , jika mereka kedatangan haidh atau nifas mereka tidak diwajibkan untuk mengerjakanya tetapi berkewajiban unutk meng-qadha ) membayarnya ( dibelakang harinya semua yang telah ditinggalkan .Tentu saja ini berlaku bagi kaum wanita . Untuk kaum lelaki sekiranya tidak ada halangan yang menyebabkan lelaki meninggalkan ibadah kecuali orang-orang yang tidak memenuhi syarat untuk menjalankan ibadah. Hal ini menunjukkan keadilan Allah SWT. Kita juga harus bersyukur , karena bangsa kita Indonesia telah memberikan persamaan hak antara Wanita dan Pria dalam hal beribadah dan hidup bermasyarakat . Terbukti dengan banyaknya kaum wanita Indonesia yang telah mampu dan berhasil melaksanakan ibadah Haji serta ibadah yang lain .Bahkan ada juga diantara para kaum wanita yang telah menjadi seorang pemimpin Islam maupun masyarakat dan Negara.A.2 Dalam pendidikan dan pengajaranAda sebuah hadist yang menyebutkan :“ Menuntut ilmu itu wajib atas tiap – muslim lelaki dan perempuan “.) Riwayat Imam Ibnu ‘ady dan Al Balhaqy dari shahabat. Anas r.a. ( Hadist tersebut menunjukkan bahwa pendidikan itu tidak hanya khusus bagi kaum laki –laki saja tetapi juga bagi kaum perempuan .Bagaimana perempuan akan dapat megerjakan ibadah jika mereka tidak di didik sampai mengerti pengetahuan tentang ibadah tersebut . Tidak mungkin orang dapat mengerjakan sesuatu pekerjaan dengan tidak mengerti ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang akan dikerjakan .Sebab dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang pasti membutuhkan pengetahuan , dan pengetahuan itu tentu akan di dapat dari belajar .Pendidikan itulah yang akan membuat seseorang menjadi tahu dan mengerti.
Selanjutnya dalam Islam kaum Wanita juga tidak dilarang untuk memberikan pengajaran atau mengajarkan ilmu yang telah dimilikinya . Jadi tidak hanya pria saja yang bisa menjadi guru wanita pun juga demikian . Kalau kita mau menelusuri sejarah , kita akan mengetahui betapa besar peranan wanita dalam bidang pengajaran .Bukan hanya menjabat sebagai guru saja tetapi juga sebagai advisur ) Mufti ( dalam urusan ilmu keagamaan dan hukum – hukum yang berkenaan dengan kewanitaan.Jadi kaum wanita dalam Islam itu diberi kebebasan untuk menuntut pengetahuan dan memberikan pengajaran tentang ilmu yang telah diketahuinya .
B. Ketentuan Al-Qur’an Yang Mengatur Wanita“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin[1218], laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut )nama( Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.)Al-Ahzab : 35(”Dari ayat diatas kita bisa melihat betapa islam tidak membedakan antara wanita dan laki-laki, semua sama dihadapan Allah Ta’ala, yang membedakan adalah mereka yang paling tinggi taqwanya.
C. Peran Wanita Sebagai Istri dan IbuC.1 Sebagai IstriSebagai tingkatan hidup yang kedua yang pasti dijalani oleh setiap wanita adalah sebagai istri . Yang dimaksud dengan istri adalah pada waktu wanita telah dinikah / dikawin dengan cara yang sah oleh seorang lelaki /
calon suami .Pada saat itulah mereka lepas dari tanggung jawab bapak dan ibunya untuk ikut suaminya sebagai kepala rumah tangganya . sewaktu mereka menjadi istri tentu akan menempuh kehidupan baru , kehidupan yang ada kalanya bagaikan hidup di surga dan adakalanya sebagai neraka . Yakni sesudah mereka dipersuamikan , setelah mereka memutar roda rumah tangga , memutar haluan hidup dan pada tahap inilah mereka mulai menduduki bangku masyarakat yang pertama kali . Karena dalam mengendalikan perputaran hidup dan menjabat selaku ibu rumah tangga , mereka akan hidup bersama famili dan disamping sorang laki –laki yang mungkin menjadi kawan hidup selama – lamanya . Wanita yang telah menjadi istri hendaknya pandai dan cakap mengendalikan dan memimpin serta mengatur rumah tangga , nama selaku kehormatan bagi dirinya tentu diberikan oleh suaminya yang selanjutnya oleh pergaulan lingkungan masyarakatnya. Kewajiban kaum wanita selaku istri diantaranya adalah patuh dan taat terhadap suaminya . Wanita yang baik adalah apabila suaminya melihat kepadanya ia selalu menyenangkan hati suaminya , dan jika diperintah oleh suaminya ia selalu taat dan patuh . Juga sewaktu ditinggal pergi suaminya ia selalu senantiasa menjaga nama baik suaminya .
C.2 Sebagai IbuPada tahap inilah kewajiban seorang wanita menjadi lebih berat . Karena kecuali mereka bertanggung jawab akan kebaikan susunan hidup dalam rumah tangganya , juga bertanggung jawab akan keselamatan anak –anak yang diasuhya. Kebaikan disini yang dimaksud adalah berdasarkan ilmu ketuhanan , berdasarkan pimpinan dari agama yang disertai dengan keterangan dari ilmu pengetahuan , yang dampaknya dapat membawa kearah alam kebahagiaan dan kesejahteraan hidup baik dalam rumah tangga ataupun dalam masyarakat .