050710171 ARRIDA SANI

Embed Size (px)

Citation preview

SKRIPSI

ARRIDA SANI

PROFIL SISTEM DOKUMENTASI PENGADAAN OBAT DI APOTEK WILAYAH SURABAYA

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA DEPARTEMEN FARMASI KOMUNITAS SURABAYA 2011

Lembar Pengesahan

PROFIL SISTEM DOKUMENTASI PENGADAAN OBAT DI APOTEK WILAYAH SURABAYA

SKRIPSI

Dibuat untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Airlangga 2011

Oleh: ARRIDA SANI NIM. 050710171

Disetujui Oleh:

Pembimbing Utama

Pembimbing Serta

Dr. Wahyu Utami, Apt., M.S. NIP. 195812101985032002 ii

Dra. Liza Pristianty, Apt., M.Si, M.M. NIP. 196211151988102002

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul PROFIL SISTEM DOKUMENTASI PENGADAAN OBAT DI APOTEK WILAYAH SURABAYA untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet, digital library Perpustakaan Universitas Airlangga, atau media lain untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Demikian pernyataan persetujuan publikasi skripsi/karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Surabaya, 23 Agustus 2011

Arrida Sani NIM. 050710171

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa sesungguhnya hasil skripsi/tugas akhir ini adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri. Apabila di kemudian hari diketahui menggunakan data fiktif atau merupakan hasil dari plagiarisme, maka saya bersedia menerima sangsi berupa pembatalan kelulusan dan pencabutan gelar yang saya peroleh.

Surabaya, 23 Agustus 2011

Arrida Sani NIM. 050710171

iv

KATA PENGANTARPuji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia yang dilimpahkanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Profil Sistem Dokumentasi Pengadaan Obat di Apotek Wilayah Surabaya ini dapat diselesaikan dengan baik, yang mana skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Sarjana Strata 1 di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Skripsi ini dapat diselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga atas fasilitas, sarana dan prasarana yang digunakan penulis selama penyelesaian pendidikan sarjana. 2. Ibu Dr. Wahyu Utami, Apt., M.S. selaku dosen pembimbing utama sekaligus dosen wali yang telah membimbing, mengarahkan serta memberi masukan dan nasihat kepada penulis dengan kesabaran dan keikhlasan hati baik dalam penyelesaian skripsi ini maupun selama masa studi penulis di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. 3. Ibu Dra. Liza Pristianty, Apt., M.Si, M.M. dan Ibu Arie Sulistyarini, S.Si., Apt. selaku dosen pembimbing serta I dan II yang telah membimbing, mengarahkan dan memberi masukan kepada saya dengan kesabaran dan keikhlasan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 4. Ibu Ekarina Ratna Himawati, M.Kes., Apt. dan Ibu Elida Zairina, Apt.,MPH selaku dosen penguji yang telah memberikan nasehat dan saran untuk perbaikan usulan skripsi sehingga memudahkan peneliti dalam pelaksanaan penelitian. 5. Para dosen Fakultas Farmasi Universitas Airlangga yang telah mendidik dan membimbing serta membantu penulis dalam penyelesaian studi di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. 6. Bapak dan Ibu Dosen serta staf Departemen Farmasi Komunitas yang telah membantu saya dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Keluarga tercinta terutama ayah dan ibu yang telah memberikan dorongan semangat dan doa selama penyelesaian skripsi ini dan masa studi saya.

v

8. Ukhti Auliya, Bella, Mulat, Dewi, Novita, Nurul serta saudara perempuan dan saudara laki-laki penulis lainnya yang setiap saat selalu ada untuk mengobarkan semangat dalam hidup penulis. 9. Beastudi Etos-Dompet Dhuafa Republika dan orang-orang luar biasa di dalamnya yang telah memberikan secercah harapan di awal masa studi penulis sehingga penulis berkesempatan mengeyam studi di perguruan tinggi serta mampu terus bertahan dan melanjutkan hingga saat ini. 10. Teman-teman penulis seperjuangan: Edo, Mbak Devinda, Farid, Gendhis, Beti, Ninis, Mela, Alfi, Fenita dan teman-temanku angkatan 2007 lainnya serta seluruh keluarga besar Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. 11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang secara langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu penyelesaian penulisan ini. Tidak lupa penulis mengucapkan permohonan maaf yang terdalam apabila terdapat kesalahan dan kekurangan yang telah penulis lakukan baik disengaja maupun tidak, serta segala kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga mengharapkan banyak kritik dan saran dalam rangka penyempurnaan naskah akhir skripsi ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga apa yang telah penulis buat dapat bermanfaat dan digunakan sebagaimana mestinya.

Surabaya, 23 Agustus 2011

Penulis

vi

RINGKASANPROFIL SISTEM DOKUMENTASI PENGADAAN OBAT DI APOTEK WILAYAH SURABAYA Arrida Sani Apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian sekaligus tempat dilakukannya praktik kefarmasian oleh apoteker (PP No.51, 2009). Dalam rangka mempertanggungjawabkan praktik kefarmasian, semua aktivitas manajemen harus dituangkan dalam sistem dokumentasi sebagai bukti praktis. Kunci sukses pelayanan kefarmasian terletak pada kemampuan apoteker dalam mengelola obat yang meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan (Kepmenkes No.1027, 2004). Pengadaan obat sebagai bagian dari pelayanan kefarmasian menjadi sangat penting karena obat menjadi produk utama seorang apoteker yang melakukan praktik di apotek. Pada kenyataannya, setiap proses pengadaan tidak dapat dipisahkan dan selalu diawali dengan perencanaan. Salah satu standard dari setiap aktivitas apoteker adalah dokumentasi yaitu dengan cara merekam fakta dari suatu kejadian dan mengabadikannya dalam bentuk dokumen. Informasi dalam dokumen tersebut dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan oleh apoteker saat mengambil keputusan selama praktik profesi dalam pelayanan kefarmasian. Dokumen-dokumen pada setiap pelayanan kefarmasian akan tertata dengan baik jika didukung dengan sistem dokumentasi yang baik. Adanya dokumen dan sistem dokumentasi sangat berperan dalam usaha peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian yang berasaskan pharmaceutical care. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian pada proses pengadaan obat untuk mengetahui sejauh mana aktivitas pelayanan kefarmasian didokumentasikan, terutama oleh apoteker, dalam usaha menjamin ketersediaan obat di apotek. Dengan demikian pelayanan kefarmasian yang bermutu dapat tercapai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil sistem dokumentasi pengadaan obat di apotek wilayah Surabaya yang meliputi bentuk dokumen, pelaksana dokumentasi, batas penyimpanan dokumen dan tindakan terhadap dokumen yang melewati batas penyimpanan, serta pemeriksaan yang perlu dilakukan terhadap dokumen yang terkait dan peluang terjadinya ketidaksesuaian antar dokumen yang terkait dengan obat yang datang. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Pemilihan apotek yang digunakan sebagai tempat pengambilan data dengan besar sampel 50 apotek dipilih secara simple random sampling. Pengumpulan data penelitian ini diperoleh dengan bantuan instrument berupa kuisioner. Data yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari jawaban kuisioner yang dientry ke dalam file dalam bentuk (.xls), diolah menggunakan program Microsoft Office Excel 2007 dan disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh apotek melakukan perencanaan sebelum melakukan pengadaan obat mendokumentasikannya dalam bentuk buku (80%), lembaran (18%) dan notulen rapat (2%). Dari seluruh apotek, 100% apotek yang melakukan pengadaan obat selain

vii

narkotik dan psikotropik, 96% melakukan pengadaan obat narkotik dan 98% melakukan pengadaan obat psikotropik. Pencatatan saat penerimaan obat datang 84% dilakukan oleh apotek dengan bentuk dokumen 50% berupa buku penerimaan obat. Pemeriksaan yang dilakukan saat penerimaan obat 92% terhadap kesesuaian faktur dengan SP, 100% terhadap kesesuaian obat dengan faktur, 81% terhadap tanggal kadaluarsa, nomor batch dan harga obat, serta 90% terhadap kondisi fisik obat. Ketidaksesuaian yang pernah terjadi pada 94% apotek dengan frekuensi yang paling sering terjadi adalah 47,62% obat sesuai SP tapi tidak sesuai dengan faktur dan sebaliknya, obat sesuai faktur tapi tidak sesuai SP. Pemeriksaan terhadap faktur 98% dilakukan dengan memperhatikan nama obat, 96% jumlah obat dan 94% tanggal kadaluarsa. Pengarsipan faktur dilakukan oleh apotek 72% dalam map/folder/buku. Pencatatan setelah obat datang yang dilakukan oleh 98% apotek dilakukan 87,76% atas daar penambahan stok dan 55,10% dilakukan pada kartu stok. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa dokumentasi yang dilakukan pada proses pengadaan obat dilakukan oleh sebagian besar apotek. Belum adanya ketentuan tentang bentuk dokumen dan batas waktu penyimpanan, menjadikan SOP (Standard Operational Procedure) perlu diteliti sebagai acuan sistem dokumentasi di masing-masing apotek. Seorang apoteker yang bertanggung jawab atas pengelolaan obat sebagai salah satu pekerjaan kefarmasian harus selalu berusaha untuk mendisiplinkan diri dan memahamkan kepada petugas apotek yang lain akan pentingnya pelaksanaan dokumentasi untuk menjamin ketersediaan obat di apotek dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kefarmasian. Namun, masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penelitian ini sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang dokumentasi pengadaan obat khususnya dan pelayanan kefarmasian pada umumnya.

viii

ABSTRACTTHE PROFILE OF DRUG PROCUREMENT DOCUMENTATION SYSTEM IN COMMUNITY PHARMACIES IN SURABAYA Drug management is a series of activities including planning, procurement, storage and service. Each of these activities require a planning, therefore planning plays an important role in drug management. One of the standards of the activities is documentation which is done by recording the fact of every incident as a document. Documents in pharmaceutical services will be well arranged if supported by good documentation system. The existence of the documents and documentation system are very useful to increase the quality of pharmaceutical services based on pharmaceutical care. The aim of this research was to find out the profile of drug procurement documentation system at community pharmacies in Surabaya. The data of this description study were collected by questionnaire from 50 community pharmacies that were selected by simple random sampling technique. Data were analyzed descriptively using Microsoft Excel 2007. Some tables, pie and bar charts were made to describe the profile of drug procurement documentation system in community pharmacies in Surabaya. The result showed that most of the community pharmacies in Surabaya have conducted the drug procurement documentation system. Keywords: documentation pharmacies system, drug procurement, community

ix

DAFTAR ISIhalaman Halaman Judul.............................................................................................. Lembar Pengesahan...................................................................................... LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH................... LEMBAR PERNYATAAN........................................................................ KATA PENGANTAR................................................................................. RINGKASAN.............................................................................................. ABSTRACT................................................................................................. DAFTAR ISI................................................................................................ DAFTAR TABEL........................................................................................ DAFTAR GAMBAR................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ DAFTAR SINGKATAN.............................................................................. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah............................................................ 1.2 Rumusan Masalah Penelitian.................................................... 1.3 Tujuan Penelitian....................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian..................................................................... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Apotek dan Apoteker................................................................. 2.1.1 Definisi Apotek................................................................ 2.1.2 Definisi Apoteker............................................................. 2.2 Obat................................ .......................................................... 2.3 Pengelolaan Obat....................................................................... 2.3.1 Perencanaan Pengadaan Obat........................................... 2.3.2 Pengadaan Obat................................................................ 2.3.3 Penyimpanan Obat............................................................ 2.3.4 Pelayanan Obat................................................................. 2.4 Asuhan Kefarmasian.................................................................. 4 4 4 4 4 5 6 9 10 10 1 3 3 3 i ii iii iv v vii ix x xiv xv xvii xviii

2.5 Pelayanan Kefarmasian............................................................... 12 2.6 Dokumen..................................................................................... 12

x

2.7 Sistem Dokumentasi...................................................................

13

2.7.1 Definisi Profil..................................................................... 13 2.7.2 Definisi Sistem................................................................... 13 2.7.3 Definisi Dokumentasi........................................................ 2.7.4 Dokumentasi dalam Pharmaceutical Care........................BAB III KERANGKA KONSEPTUAL...................................................... BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian.......................................................................... 4.1.1 Berdasarkan Sifat atau Tempat Data Diperoleh................... 4.1.2 Berdasarkan Tujuan Penelitian........................................... 4.1.3 Berdasarkan Waktu Pengumpulan Data.............................. 4.2 Sumber Data............................................................................. 4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................... 4.4 Populasi Penelitian.................................................................... 4.5 Sampel Penelitian...................................................................... 4.5.1 4.5.2 4.5.3 Teknik Pengambilan Sampel............................................... Jumlah Sampel.................................................................... kriteria Inklusi dan Eksklusi............................................... 17 17 17 17 17 17 18 18 18 18 19 20 21 22 23 23 23 24

13 1516

4.6 Variabel Penelitian..................................................................... 4.7 Definisi Operasional................................................................. 4.8 Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian.............. 4.9 Kerangka Operasional Penelitian............................................. 4.10 Pengujian Instrumen................................................................. 4.10.1 Uji Validitas................................................................. 4.11 Teknik Analisis Data................................................................ BAB V HASIL PENELITIAN

5.1

Perencanaan Pengadaan Obat................................................... 5.1.1 Bentuk Dokumen Perencanaan Obat............................ 5.1.2 Pelaksanaan Dokumentasi Perencanaan....................... 5.1.3 Batas Penyimpanan Dokumen Perencanaan................ 5.1.4 Tindakan terhadap Dokumen Perencanaan yang Melewati Batas Penyimpanan......................................

26 27 27 28

29

xi

5.2

Pengadaan Obat...................................................................... 5.2.1 Obat Golongan Narkotik............................................ 5.2.1.1 Sumber Pengadaan Obat Golongan Narkotik 5.2.1.2 Pembuat Surat Pesanan Obat Golongan Narkotik........................................................ 5.2.1.3 Batas Penyimpanan Dokumen SP Narkotik 5.2.1.4 Tindakan terhadap Dokumen SP Narkotik yang Melewati Batas Penyimpanan............. 5.2.2 Obat Golongan Psikotropik.......................................... 5.2.2.1 Sumber Pengadaan Obat Golongan Psikotropik...................................................... 5.2.2.2 Pembuat Surat Pesanan Obat Golongan Psikotropik......................................................

30 30 30

30 31

31 32

32

33

5.2.2.3 Batas Penyimpanan Dokumen SP Psikotropik 33 5.2.2.4 Tindakan terhadap Dokumen SP Psikotropik yang Melewati Batas Penyimpanan.............. 5.2.3 Obat Selain Golongan Narkotik dan Psikotropik.......... 5.2.3.1 Sumber Pengadaan Obat Selain Golongan Narkotik dan Psikotropik................................ 5.2.3.2 Pembuat Surat Pesanan Obat Selain Golongan Narkotik dan Psikotropik............... 5.2.3.3 Batas Penyimpanan Dokumen SP Obat Selain Golongan Narkotik dan Psikotropik... 5.2.3.4 Tindakan terhadap Dokumen SP Obat Selain Golongan Narkotik dan Psikotropik yang Melewati Batas Penyimpanan..................... 5.2.3.5 Cara Pemesanan Obat Selain Golongan Narkotik dan Psikotropik.............................. 5.2.3.6 Bentuk DokumenPemesanan Obat Selain Golongan Narkotik dan Psikotropik.............. 5.3 Penerimaan Obat...................................................................... 5.3.1 Bentuk Dokumen Pencatatan saat Penerimaan Obat...38 39 39 37 37 36 35 34 34 34

xii

5.3.2 Komponen yang Dicatat Ulang saat Penerimaan Obat 5.3.3 Pemeriksaan saat Penerimaan Obat............................. 5.3.4 Ketidaksesuaian yang Terjadi pada Pemeriksaan saat Penerimaan Obat......................................................... 5.3.5 Hal-hal yang Diperhatikan saat Penerimaan terhadap Faktur.......................................................................... 5.3.6 Pengarsipan Faktur...................................................... 5.3.6.1 Bentuk Dokumen Faktur............................... 5.3.6.2 Batas Penyimpanan Dokumen Faktur........... 5.3.6.3 Tindakan terhadap Dokumen Faktur yang Melewati Batas Penyimpanan....................... 5.4 Pencatatan Obat...................................................................... 5.4.1 Pertimbangan dalam Melakukan Pencatatan Obat..... 5.4.2 Bentuk Dokumen Pencatatan Obat............................, 5.4.3 Penggunaan Dua Macam Kartu Stok.......................... 5.4.3.1 Kartu Stok Gudang....................................... 5.4.3.2 Kartu Stok Pelayanan.................................... 5.4.4 Penggunaan Satu Macam Kartu Stok.......................... 5.4.5 Penggunaan Komputer................................................BABVI PEMBAHASAN.................................................................................. BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 7.2 Kesimpulan................................................................................. Saran...........................................................................................

40 40

41

43 43 43 44

45 45 45 46 48 48 49 51 52 54

68 68 69 71

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... LAMPIRAN.................................................................................................

xiii

DAFTAR TABEL

halaman Tabel IV.1 Variabel Penelitian................................................................ Tabel V.1 Pelaksanaan Perencanaan Pengadaan Obat............................ Tabel V.2 Pelaksana Dokumentasi Perencanaan..................................... Tabel V.3 Pelaksanaan Pengadaan Obat Narkotik.................................. Tabel V.4 Pelaksanaan Pengadaan Obat Psikotropik.............................. Tabel V.5 Pelaksanaan Pengadaan Obat Selain Narkotik dan Psikotropik............................................................................... 34 Tabel V.6 Pembuat SP Obat Selain Narkotik dan Psikotropik................ 36 Tabel V.7 Bentuk Dokumen Pemesanan Obat Selain Narkotik dan Psikotropik............................................................................. Tabel V.8 Pelaksanaan Dokumentasi saat Penerimaan Obat................. Tabel V.9 Komponen yang Dicatat Ulang saat Penerimaan Obat......... Tabel V.10 Pemeriksaan yang Dilakukan saat Penerimaan Obat........... Tabel V.11 Pelaksanaan Dokumentasi terhadap Faktur......................... Tabel V.12 Pelaksanaan Dokumentasi setelah Obat Datang................. Tabel V.13 Frekuensi Pengisian Kartu Stok Gudang............................ Tabel V.14 Frekuensi Pengisian Kartu Stok Pelayanan........................ Tabel V.15 Frekuensi Pengisian Kartu Stok Obat................................ Tabel V.16 Frekuensi Pengisian Komputer..........................................

20 26 28 30 32

39 39 40 41 43 45 48 50 51 53

xiv

DAFTAR GAMBAR

halaman Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konseptual.............................................. Gambar 4.2 Bagan Kerangka Operasional Penelitian............................ Gambar 5.1 Data Responden Penelitian................................................ Gambar 5.2 Bentuk Dokumen Perencanaan.......................................... Gambar 5.3 Pelaksana Dokumentasi Perencanaan................................ Gambar 5.4 Batas Penyimpanan Dokumen Perencanaan...................... Gambar 5.5 Tindakan terhadap Dokumen Perencanaan........................ 16 23 26 27 27 29 29

Gambar5.6 Sumber Pengadaan Narkotik.............................................. 30 Gambar 5.7 Pembuat SP Narkotik......................................................... Gambar 5.8 Batas Penyimpanan Dokumen SP Narkotik...................... Gambar 5.9 Tindakan pada Dokumen SP Narkotik.............................. Gambar 5.10 Sumber Pengadaan Psikotropik......................................... Gambar 5.11 Pembuat SP Psikotropik.................................................... Gambar 5.12 Batas Penyimpanan Dokumen SP Psikotropik................. Gambar 5.13 Tindakan pada Dokumen SP Psikotropik......................... Gambar 5.14 Sumber Obat Selain Golongan Narkotik dan Psikotropik Gambar 5.15 Pembuat SP Obat Selain Narkotik dan Psikotropik.......... Gambar 5.16 Batas Penyimpanan Dokumen SP Obat Selain Narkotik dan Psikotropik................................................................ Gambar 5.17 Tindakan pada Dokumen SP Obat Selain Narkotik dan Psikotropik...................................................................... Gambar 5.18 Cara Pemesanan Obat Selain Narkotik dan Psikotropik Gambar 5.19 Bentuk Dokumen Pemesanan Obat Selain Narkotik dan Psikotropik....................................................................... 38 37 37 36 31 31 32 32 33 33 34 35 36

Gambar 5.20 Bentuk Dokumen Pencatatan Ulang saat Penerimaan Obat 39 Gambar 5.21 Ketidaksesuaian antara SP, Faktur dan Obat.................. Gambar 5.22 Jenis Ketidaksesuaian yang Pernah Terjadi.................... 41 42

xv

Gambar 5.23 Hal-hal yang Diperhatikan saat Pemeriksaan terhadap Faktur.............................................................................. Gambar 5.24 Bentuk Dokumen Pengarsipan Faktur di Apotek.......... Gambar 5.25 Batas Penyimpanan Dokumen Faktur............................ Gambar 5.26 Tindakan terhadap Dokumen Faktur.............................. Gambar 5.27 Pertimbangan dalam Melakukan Pencatatan Obat........ Gambar 5.28 Bentuk Dokumen saat Pencatatan Obat......................... Gambar 5.29 Penggunaan Dokumen Pencatatan Obat......................... Gambar 5.30 Komponen yang Dicantumkan pada Kartu Stok Gudang Gambar 5.31 Frekuensi Pengisian Kartu Stok Gudang........................ Gambar 5.32 Pelaksana Pengisian Kartu Stok Gudang........................ 43 44 44 45 46 47 47 48 49 49

Gambar 5.33 Komponen yang Dicantumkan pada Kartu Stok Pelayanan 50 Gambar 5.34 Pelaksana Pengisian Kartu Stok Pelayanan..................... Gambar 5.35 Komponen yang Dicantumkan pada Kartu Stok Obat.... Gambar 5.36 Frekuensi Pengisian Kartu Stok Obat.............................. Gambar 5.37 Pelaksana Pengisian Kartu Stok Obat.............................. Gambar 5.38 Komponen yang Dicantumkan pada Komputer............... Gambar 5.39 Pelaksana Pengisian pada Komputer................................ 50 51 52 52 53 53

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

halaman Lampiran 1 Bagan Alur Pengadaan Obat.............................................. Lampiran 2 Kuisioner................................................ Lampiran 3 Hasil Pilot Study................................................................. Lampiran 4 Daftar Nama Apotek di Wilayah Surabaya Tahun 2011.... 71 72 76 93

xvii

DAFTAR SINGKATAN

AA APA CD Depkes Kepmenkes PBF PP PSA RI SMS SOP SK SP UU

: Asisten Apoteker : Apoteker Pengelola Apotek : Compact Disc : Departemen Kesehatan : Keputusan Menteri Kesehatan : Pedagang Besar Farmasi : Peraturan Pemerintah : Pemilik Sarana Apotek : Republik Indonesia : Short Message Service : Standard Operational Procedure : Surat Keputusan : Surat Pesanan : Undang-Undang

xviii

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik

kefarmasian oleh apoteker (PP No.51, 2009). Pelayanan kefarmasian harus memenuhi standard mutu yang telah ditetapkan (UU No.36, 2009; PP No.51, 2009; Kepmenkes No.1027, 2004) sehingga semua hal yang terkait dengan penjaminan mutu praktik kefarmasian di apotek, harus bisa

dipertanggungjawabkan oleh apoteker baik dari aspek legalitas, aspek manajemen maupun etika. Dalam rangka mempertanggungjawabkan kegiatan praktiknya, perlu dibuktikan secara praktis yaitu dengan cara semua aktivitas manajemen harus dituangkan dalam sistem dokumentasi. Aktivitas praktik kefarmasian di apotek lebih mengedepankan bidang pelayanan kefarmasian dimana kunci sukses dari pelayanan kefarmasian di apotek terletak pada kemampuan apoteker dalam mengelola obat mulai dari pengadaan obat sampai penjaminan penggunaan obat yang benar. Menurut Depkes RI (1991), pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut empat fungsi pokok yaitu perencanaan, pengadaan, pendistribusian dan penggunaan obat dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia, mencakup pola/ tata laksana dan perangkat lunak lainnya, tenaga, sarana dan dana dalam rangka mencapai tujuan. Namun pada kenyataannya, perencanaan tidak dapat dipisahkan dari proses pengadaan dalam setiap kegiatan pengelolaan obat, sebagaimana disebutkan oleh Seto & Nita (2004) bahwa

pengelolaan/manajemen adalah suatu proses kegiatan yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan dengan memadukan penggunaan ilmu dan seni untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan kata lain, setiap proses pengadaan selalu diawali dengan perencanaan. Perencanaan pengadaan merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat (Kepmenkes No.1197, 2004). 1

2

Sedangkan pengadaan adalah sebuah tahapan penting dalam manajemen pengelolaan obat yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan operasional yang telah ditetapkan di dalam fungsi perencanaan yang telah dilakukan sebelumnya (Omi, 2002; Seto & Nita, 2004). Menurut International Pharmacy Federation (1997), apoteker memiliki tanggung jawab profesi untuk mendokumentasikan pengalaman dan aktivitas praktik untuk ikut serta dalam praktik penelitian farmasi dan penelitian terapi. Dokumentasi dari setiap kegiatan apoteker merupakan salah satu standard dari aktivitas penyediaan dan penggunaan obat maupun produk kesehatan lain yang dilakukan dengan merekam fakta dari suatu kejadian dan mengabadikannya untuk digunakan di waktu yang akan datang (Guzman & Verstappen, 2003). Dengan demikian, dokumentasi dapat diartikan sebagai aktivitas dari perekaman informasi, atau pengumpulan dan pengelolaan dokumen-dokumen. Definisi dokumentasi menurut Vesper (1998) adalah lembar informasi yang terorganisasi sebagai bukti yang sah menurut ketentuan yang berlaku. Sebagai seorang pengambil keputusan, apoteker dapat menjadikan informasi dalam dokumen sebagai dasar pertimbangan saat mengambil sebuah keputusan selama praktik profesi dalam kegiatan pelayanan kefarmasian. Dokumendokumen pada setiap kegiatan pelayanan kefarmasian akan tertata dengan baik dengan adanya sistem dokumentasi yang baik. Sistem dokumentasi didefinisikan sebagai suatu tatanan yang sistematik dari kegiatan-kegiatan perekaman informasi atau pengelolaan dokumen-dokumen dari suatu fakta atau kejadian. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1027 tahun 2004, dijelaskan tentang perlunya pelaksanaan kegiatan administrasi dalam pelayanan kefarmasian di apotek yang meliputi pencatatan, pengarsipan dan dokumentasi. National Association of Pharmacy Regulatory Authorities menyebutkan bahwa pharmaceutical care yang berorientasi lebih kepada pasien daripada produk/obat, sangat bergantung pada catatan informasi yang tepat sebagai dasar pengambilan keputusan dan tindakan. Dapat disimpulkan bahwa adanya dokumen dan sistem dokumentasi sangat berperan dalam usaha peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian yang berasaskan pharmaceutical care.

3

Oleh karena itu, diperlukan adanya penelitian tentang profil sistem dokumentasi khususnya pada proses pengadaan obat di apotek. Lokasi untuk penelitian ini adalah di apotek wilayah Surabaya, dengan pertimbangan Surabaya merupakan kota dengan jumlah penduduk terbanyak kedua setelah Jakarta. Lingkungan penduduk yang padat dengan daya beli yang rata-rata tinggi memungkinkan pendirian apotek yang cukup banyak sehingga variasi kondisi yang akan ditemui oleh peneliti di lapangan pun lebih banyak. Dengan besarnya jumlah penduduk tersebut, diperlukan adanya jaminan mutu pelayanan kesehatan terutama pelayanan kefarmasian. Kegiatan pengadaaan obat sebagai bagian dari pelayanan kefarmasian di apotek menjadi sangat penting dalam menjamin ketersediaan obat dimana obat menjadi produk utama seorang apoteker yang melakukan praktik di apotek. Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran profil sistem dokumentasi pada proses pengadaan obat di apotek wilayah Surabaya.

1.2.

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan

permasalahan yaitu bagaimana profil sistem dokumentasi pengadaan obat di apotek wilayah Surabaya?

1.3.

Tujuan Tujuan yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah untuk

mengetahui profil sistem dokumentasi pengadaan obat di apotek wilayah Surabaya.

1.4.

Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai manfaat, yaitu untuk memberikan gambaran

umum sistem dokumentasi pada pengadaan obat di apotek wilayah Surabaya yang nantinya dapat menjadi informasi dan bahan evaluasi untuk lebih merapikan dokumentasi pelayanan kefarmasian di apotek dan menyusunnya secara sistematis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 2.1.1

Apotek dan Apoteker Definisi Apotek Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun

2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker. 2.1.2 Definisi Apoteker Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.

2.2

Obat Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,

obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.

2.3

Pengelolaan Obat Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu

sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Salah satu wujud dari pelaksanaan pekerjaan kefarmasian yaitu pengadaan sediaan farmasi (PP No.51, 2009). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004, pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. Yang dimaksud sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. Sedangkan perbekalan kesehatan adalah

4

5

semua bahan selain obat dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Pengelolaan obat adalah suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut empat fungsi pokok yaitu perencanaan, pengadaan, pendistribusian, dan penggunaan obat dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia, mencakup pola/tata laksana dan perangkat lunak lainnya, tenaga, sarana dan dana dalam rangka mencapai tujuan. Tujuan pengelolaan obat adalah memelihara dan meningkatkan penggunaan obat secara rasional dan ekonomis di unit-unit pelayanan kesehatan melalui penyediaan obat-obatan yang tepat jenis, tepat jumlah dan tepat waktu dan tempat (Depkes RI, 1991). Manajemen/pengelolaan adalah suatu proses kegiatan yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan dengan memadukan penggunaan ilmu dan seni untuk mencapai tujuan organisasi (Seto & Nita, 2004).

2.3.1

Perencanaan Pengadaan Obat Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit menyebutkan bahwa perencanaan pengadaan merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Perencanaan mencakup kegiatan dalam menetapkan sasaran-sasaran, pedoman-pedoman, garis-garis besar apa yang akan dituju dan pengukuran penyelenggaraaan bidang logistik. Penentuan kebutuhan merupakan perincian dari fungsi perencanaan, bilamana perlu semua faktor yang mempengaruhi penentuan kebutuhan harus diperhitungkan terutama menyangkut keterbatasan organisasi. Dalam penentuan kebutuhan adalah menyangkut proses memilih jenis dan menetapkan dengan prediksi jumlah kebutuhan persediaan barang/obat

perjenisnya di apotek ataupun rumah sakit. Penentuan kebutuhan dapat dikatakan

6

merupakan perincian yang konkrit dan detail dari perencanaan logistik (Seto & Nita, 2004). Dalam skripsinya, Henny Febriawati menuliskan kegiatan pokok dalam proses perencanaan pengadaan obat meliputi (Pancaningrum, 2008): 1. Pemilihan jenis obat 2. Penentuan jumlah kebutuhan obat 3. Menentukan tata cara pemesanan 4. Pemilihan pemasok Menurut Yenis Sutan (1999), beberapa kriteria dalam seleksi pemasok diantaranya (Pancaningrum, 2008): Harga terjangkau dengan diskon besar Kualitas barang (Expired Date minimal satu tahun, terdapat label dengan tulisan nama obat, tanggal produksi, cara penyimpanan, nama dan alamat pabrik). Pelayanan (garansi, pengiriman tidak terlambat, pengalaman konsumen lain).

2.3.2

Pengadaan Obat Pengadaan merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan pekerjaan

kefarmasian. Dalam Peraturan Pemerintah No.51 (2009), terdapat pasal yang mengatur bahwa: Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat dibantu oleh Apoteker Pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian. Pada bab ketentuan umum, dijelaskan bahwa yang termasuk Tenaga Teknis Kefarmasian adalah Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker (PP No.51, 2009). Pengadaan adalah sebuah tahapan yang penting dalam manajemen pengelolaan obat dan menjadi sebuah prosedur rutin di dalam sistem manajemen obat. Proses pengadaan yang efektif akan menjamin ketersediaan obat dalam jumlah yang benar dan harga yang pantas serta kualitas obat yang terjamin (Omi, 2002).

7

Pengadaan merupakan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan operasional yang telah ditetapkan di dalam fungsi perencanaan (Seto & Nita, 2004). Menurut Anief (1995), pengadaan barang dalam sehari-hari disebut juga pembelian dan merupakan titik awal dari pengendalian persediaan (Pancaningrum, 2008). Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam melakukan pengadaan menurut Anief (1995) seperti yang telah dituliskan oleh Dyah Ayu Pancaningrum dalam skripsinya tahun 2008, antara lain: Waktu pembelian, untuk mencegah kekosongan persediaan. Lokasi, perlu memperhitungkan lokasi PBF berada. Bila waktu yang diperlukan untuk pengiriman singkat, maka waktu pembelian dapat dilakukan pada saat barang hampir habis. Frekuensi dan volume pembelian. Makin kecil volume/jumlah barang yang dibeli, makin tinggi frekuensi dalam melakukan pembelian. Adapun yang harus dilakukan saat penerimaan barang/obat, diantaranya: 1) Menerima barang/obat dan dokumen-dokumen pendukungnya, antara lain Surat Pesanan/surat kontrak, surat kiriman, faktur barang/obat (Seto & Nita, 2004). 2) Memeriksa barang/obat dengan dokumen-dokumen yang bersangkutan baik dari segi jumlah, mutu, tanggal kadaluwarsa, merk, harga dan spesifikasi lain bila diperlukan (Seto & Nita, 2004). 3) Obat-obatan yang diterima dibuatkan berita acara/tanda penerimaan dan pemeriksaan obat sesuai dengan hasil pemeriksaan menggunakan formulir Daftar Permintaan/Penyerahan obat. Berita acara pemeriksaan penerimaan obat adalah dokumen tanda bukti pemeriksaan pada penerimaan obat yang mencantumkan tanggal penerimaan, jenis, keadaan, banyaknya, sumber dan lain-lain yang bersangkut paut dengan obat tersebut (Depkes RI, 1991). 4) Pencatatan untuk menjamin obat-obat yang ada dalam persediaan digunakan secara efisien, perlu dilakukan pencatatan-pencatatan atas persediaan obat tersebut. Dengan adanya pencatatan yang dikerjakan secara teratur dan terus-menerus, diharapkan Apotek, PBF, Industri Farmasi dan Farmasi Rumah Sakit akan dapat mengikuti perkembangan persediaan bahan-

8

bahan/obat jadi dengan baik. Oleh karena itu, sangat penting mencatat semua barang (bahan/obat) yang ada di dalam persediaannya agar dapat mengikuti perkembangan keadaaan usahanya dari waktu ke waktu (Seto & Nita, 2004). Menurut Depkes RI (1991), pencatatan stok obat adalah rangkaian kegiatan dalam rangka penatausahaan obat-obatan secara tertib, baik obat-obatan yang diterima, disimpan, didistribusikan maupun yang digunakan di unit-unit pelayanan puskesmas dan rumah sakit, serta merupakan sarana perhitungan dalam rangka pertanggungjawaban obat-obatan yang berada dalam gudang obat. Selain itu, pencatatan stok obat juga menjadi sarana informasi dalam rangka pengendalian persediaan. Kegiatan pencatatan stok obat meliputi (Depkes RI, 1991): (1) Pencatatan atas penerimaan obat. (2) Pencatatan atas pengeluaran/pemakaian obat. (3) Pencatatan atas persediaan obat. Tiap pengeluaran obat harus segera dicatat pada kartu stok obat, kartu persediaan obat, dokumen permintaan/penyerahan obat (Depkes RI, 1991). Untuk persediaan narkotika dan psikotropika harus dilakukan pencatatan sesuai dengan Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika pasal 14 ayat 2 menyebutkan bahwa Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam pengusaannya (UU No.35, 2009). Aturan pencatatan untuk psikotropika terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 (1997) Pasal 33 ayat 1 disebutkan bahwa Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan, wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan masingmasing yang berhubungan dengan psikotropika. Pada ayat 2 disebutkan bahwa

9

Menteri melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas pelaksanaan pembuatan dan penyimpanan catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (UU No.5, 1997).

2.3.3

Penyimpanan Obat Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1027/Menkes/SK/IX/2004 yang perlu diperhatikan pada penyimpanan: 1. Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah yang baru, wadah sekurang-kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluarsa. 2. Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan menjamin kestabilan bahan. Perlu juga diperhatikan lokasi dari tempat penyimpanan di gudang untuk menjamin bahwa barang/obat yang disimpan mudah diperoleh dan diatur sesuai penggolongan barang, kelas terapi obat/khasiat obat dan sesuai abjad (Seto & Nita, 2004). Menurut Farmakope Indonesia edisi IV tahun 1995, suhu penyimpanan obat dibedakan menjadi lima, yaitu: 1. Dingin. Dingin adalah suhu tidak lebih dari 8o, lemari pendingin mempunyai suhu antara 2o dan 8o, sedangkan lemari pembeku mempunyai suhu antara 20o dan -10o. 2. Sejuk. Sejuk adalah suhu antara 8o dan 15o. Kecuali dinyatakan lain, bahan yang harus disimpan pada suhu sejuk dapat disimpan di lemari pendingin. 3. Suhu kamar. Suhu kamar adalah suhu pada ruang kerja. Suhu kamar terkendali adalah suhu yang diatur antara 15o hingga 30o. 4. Hangat. Hangat adalah suhu antara 30o dan 40o. 5. Panas berlebih. Panas berlebih adalah suhu di atas 40o.

10

2.3.4

Pelayanan Obat Fasilitas pelayanan sediaaan farmasi berupa: apotek; instalasi farmasi

rumah sakit; puskesmas; klinik; toko obat; atau praktek bersama. Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker (PP No.51, 2009). Pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan obat dan informasi obat yang lengkap. Menurut Juliantini dan Widayawati (1996), pelayanan informasi obat tersebut bertujuan untuk menunjang penggunaan obat secara benar dan obyektif agar efektif, aman, rasional, bermutu, murah dan mudah didapat (Pratiwiningsih, 2008).

2.4

Asuhan Kefarmasian Asuhan kefarmasian adalah suatu kegiatan pelayanan dimana praktisinya

memiliki tanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan (informasi) pasien tentang obatnya dan efek terapetik yang akan diperoleh karena mengkonsumsinya. Asuhan kefarmasian merupakan sebuah pelayanan profesional baru yang sedang dikembangkan dalam profesi kefarmasian. Keberadaanya tidak ditujukan untuk mengambil alih peranan dokter atau praktisi lainnya, tetapi lebih untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap sistem pelayanan kesehatan yang mulai banyak bermunculan, banyaknya produk obat dan informasi obat yang muncul di masyarakat, peningkatan kompleksitas dari terapi obat, ditemukannya banyak kasus morbiditas dan mortalitas karena penggunaan obat dan banyaknya penggunaan obat yang tidak rasional (Cippole, 1998). Asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) seperti didefinisikan oleh Hepler dan Strand, adalah merupakan bentuk tanggung jawab moral profesi poteker dalam penyediaan layanan sehubungan dengan terapi obat dengan tujuan untuk memperoleh kepastian efek terapi yang dapat meningkatkan kondisi kesehatan dan kualitas hidup pasien. Pemberian layanan asuhan kefarmasian dimaksudkan untuk membantu pasien lebih mengerti status kesehatan dan terapi obat mereka. Tujuannya adalah peningkatan dari kondisi kesehatan dan kualitas hidup pasien, terkait didalamnya yaitu identifikasi, pencegahan dan penyelesaian masalah-masalah terkait dengan obat (Cippole, 1998).

11

Filosofi dari asuhan kefarmasian menjabarkan adanya pendekatan yang difokuskan pada pasien, hal ini melibatkan kebutuhan sosial pasien terkait obat, dan hal-hal explisit lain yang diperlukan pasien selama mendapat pelayanan yang merupakan bentuk tanggung jawab farmasis untuk membuat pasien merasa yakin bahwa terapi obat yang diterimanya sudah sesuai, dan yang paling efektif dari yang tersedia, yang paling aman, dan diberikan sesuai dengan yang diindikasikan (Cippole, 1998). Asuhan kefarmasian muncul karena adanya kebutuhan masyarakat, yang kemudian berlanjut dengan pendekatan kepada pasien untuk memahami dan mengetahui apa yang dibutuhkan pasien. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran untuk pengembangan dan pengadaan dari kerjasama terapetik, dan diakhiri dengan deskripsi dari praktisi mengenai tanggung jawab yang lebih spesifik (Cippole, 1998). Dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas terkait obat di masyarakat menunjukkan semakin diperlukannya tenaga profesional untuk merancang dan melakukan pembenahan. Untuk lebih jauh lagi bisa disimpulkan mengenai filosofi dari asuhan kefarmasian adalah tanggung jawab yang sebenar-benarnya dari seorang farmasis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan terapi obat yang sesuai, efektif, aman dan nyaman digunakan (Cippole, 1998). Pendekatan yang terpusat pada pasien berarti bahwa seluruh kebutuhan pasien terkait dengan obat dilihat sebagai suatu bentuk tanggung jawab dari praktisi, tidak terbatas pada kategori obat tertentu atau penyakit tertentu. Tentunya seluruh perhatian, harapan, pengertian pasien tentang penyakitnya dan yang berhubungan dengan terapi obat yang dijalani pasien menjadi tanggung jawab penuh praktisi, dengan menekankan pada kebutuhan pasien bukan pada anjuran dari praktisi, dalam melaksanakan praktik dari asuhan kefarmasian (Cippole, 1998).

12

2.5

Pelayanan Kefarmasian Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung

jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Fasilitas pelayanan kefarmasian dapat dilakukan melalui praktik di apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama. Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat dibantu oleh apoteker pendamping dan/atau tenaga teknis kefarmasian (PP No.51, 2009). Pelayanan kefarmasian adalah pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan secara menyeluruh yang dilaksanakan secara langsung dan bertanggung jawab demi tercapainya kualitas hidup manusia (Aziza, 1996).

2.6

Dokumen Dokumen adalah lembar informasi yang terorganisasi sebagai bukti yang

sah menurut ketentuan yang berlaku. Dokumen bisa diartikan sebagai sesuatu yang dicatat atau dicetak pada kertas sesuai dengan aslinya, resmi, atau lembaran yang sah dari sesuatu hal. Di zaman multimedia saat ini, dokumen bisa lebih dari sekedar simbol di atas kertas. Pesan suara atau video bisa menjadi dokumen. Suatu dokumen bisa juga berupa kode digital dalam perangkat komputer (Vasper, 1998). Dokumen adalah pembawa informasi, bisa disebut materi informasi atau materi sederhana (Guzman & Verstappen, 2003).

13

2.7 2.7.1

Sistem Dokumentasi Definisi Sistem Sistem adalah sehimpunan unsur yang melakukan sesuatu kegiatan atau

menyusun skema atau tata cara melakukan sesuatu kegiatan pemrosesan untuk mencapai sesuatu atau beberapa tujuan dan hal ini dilakukan dengan cara mengolah data dan atau energi dan atau barang (benda) di dalam jangka waktu tertentu guna menghasilkan informasi dan atau energy dan atau barang (benda) (Amirin, 2003). Definisi lain dikutip Tatang M. Amirin dari Elias M. Award (1979:4) sistem dikatakan merupakan sehimpunan komponen atau sub sistem yang terorganisasikan dan berkaitan sesuai dengan rencana untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu (Amirin, 2003).

2.7.2

Definisi Dokumentasi Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan

kegiatan administrasi yang meliputi (Depkes RI, 2004): 1. Administrasi Umum. Pencacatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan

dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2. Administrasi Pelayanan. Pengarsipan resep, pengarsipan cacatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat. Dokumentasi dapat diartikan sebagai pengumpulan dokumen-dokumen dari suatu pekerjaan atau perekaman dari suatu kejadian. Di beberapa bagian di dunia, arti dari kata "dokumentasi" membawa pemikiran yaitu pengumpulan dokumen. Definisi ini cenderung memberi makna yang sebenarnya dari

pengumpulan dokumen yang telah tersimpan. Dokumentasi, dalam arti perekaman dari suatu fakta dan proses dalam membuat dokumen, terkadang sangat penting dalam hal penemuan atau suatu praktek kegiatan yang bermanfaat untuk yang lainnya. Jadi, kita mendengar dokumentasi dari sebuah penemuan, dari sebuah teknik dari suatu produksi atau dari suatu keberhasilan di seluruh dunia (Guzman & Verstappen, 2003).

14

Menurut Guzman & Verstappen (2003) dokumentasi terdiri dari beberapa hal: a. Mengidentifikasi informasi apa yang dibutuhkan dan bagaimana cara untuk mendapatkannya. b. Merekam informasi yang ada dan mengumpulkannya dalam suatu kumpulan (disebut dokumen) atau mengumpulkan dokumen yang mengandung informasi yang dibutuhkan. c. Mengelola dokumen dan membuatnya mudah diakses, dan menyediakan dokumen-dokumen untuk pihak yang membutuhkan informasi tersebut. Dokumentasi juga berarti bagian spesifik dari suatu proses. Jadi, dokumentasi dapat diartikan aktivitas dari perekaman informasi, atau aktivitas dari pengumpulan dan pengelolaan dokumen-dokumen. Dokumentasi dilakukan untuk merekam fakta dari suatu kejadian dan mengabadikannya untuk digunakan di waktu yang akan datang (Guzman & Verstappen, 2003). Dokumentasi merupakan suatu aktivitas pengamatan balik, maksudnya untuk melihat kebutuhan di masa depan. Seseorang yang memastikan suatu informasi akan membutuhkan dokumen-dokumen yang bisa menjadi acuan. Bahkan, jika telah didokumentasikan sebagaimana mestinya, informasi bisa digunakan kembali (Guzmen & Verstappen, 2003). Menurut Vasper (1998) beberapa alasan dari sudut bisnis dan ilmiah dokumentasi perlu dilakukan adalah karena: 1. Dokumen merupakan sumber yang berharga 2. Dokumen digunakan untuk memudahkan komunikasi 3. Dokumen memudahkan seorang pengambil keputusan dapat menjadikan informasi dalam dokumen sebagai dasar pengambilan keputusannya 4. Dokumen dapat menyediakan suatu rekaman bagaimana sesuatu bisa terjadi atau sebagai alasan rasional pengambilan suatu keputusan 5. Dokumen mengabadikan data dan pengamatan 6. Dokumen memperkuat suatu tuntutan 7. Dokumen menyediakan sebuah tempat untuk menganalisa dan

menginterpretasi.

15

Dokumentasi dari setiap kegiatan/aktifitas apoteker merupakan salah satu standard dari aktivitas penyediaan dan penggunaan obat yang diresepkan dan produk kesehatan yang lain (International Pharmacy Federation, 1997). Sistem dokumentasi dapat diartikan sebagai suatu tatanan yang sistematik dari kegiatan-kegiatan perekaman atau pengelolaan dokumen-dokumen dari suatu fakta atau kejadian (Wahmuda, 2009).

2.7.3

Dokumentasi dalam Pharmaceutical Care National Association of Pharmacy Regulatory Authorities mengatakan

bahwa dokumentasi proses pharmaceutical care dimulai dari skala besar yang dapat berkembang secara pesat, secepat membedah tubuh atau tindakan medis yang lain. Di semua upaya perencanaan farmakoterapi, pasien seharusnya menerima informasi komunikatif yang cukup untuk memungkinkan mereka dapat mengutarakan alasan menurut pemikiran mereka dan untuk memikirkan kembali semua cara alternatif, resiko, keuntungan dan segala kemungkinan yang akan berhubungan dengan keputusan mereka sendiri. Informasi yang tersedia untuk pasien dianggap/dinilai bermutu apabila memenuhi dua standar yaitu: 1. Informasi secara umum didapatkan dari praktisi yang kompeten meliputi para spesialis dalam masyarakat. 2. Informasi tersebut akan memperkenankan orang yang memiliki alasan untuk membuat pilihan tepat yang menyangkut keperluan mereka sendiri. Pharmaceutical care tidak dapat diwujudkan tanpa adanya perekaman atau dokumentasi dari informasi, keputusan dan tindakan yang tepat (National Association of Pharmacy Regulatory Authorities, 2002-2004).

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL

Pelayanan Kefarmasian

Pekerjaan Kefarmasian Perencanaan Pengadaan Obat Pengadaan Obat Penyimpanan Obat Pendistribusian Obat D o S k i u s m t e e n m t a s i

Pengelolaan Obat

Menjamin Ketersediaan Obat secara Efektif dan Efisien Pelayanan Kefarmasian yang Bermutu Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konseptual

16

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

4.1 4.1.1

Jenis Penelitian Berdasarkan Sifat atau Tempat Data Diperoleh Penelitian ini termasuk penelitian observasi. Observasi adalah suatu

metode pengumpulan data secara sistematis melalui pengamatan dan pencatatan terhadap fenomena yang diteliti. Metode ini menuntut adanya pengamatan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap obyek penelitiannya (Hariwijaya, 2008). 4.1.2 Berdasarkan Tujuan Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif karena bertujuan untuk membuat profil/gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai faktafakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki (Nazir, 2005). 4.1.3 Berdasarkan Waktu Pengumpulan Data Penelitian ini termasuk penelitian Cross Sectional di mana data yang menyangkut variabel bebas atau resiko dan variabel terikat atau akibat, akan dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2010).

4.2

Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Data yang diperoleh dengan bantuan instrumen berupa kuisioner. 2. Data apotek di wilayah Surabaya yang diperoleh dari survei pendahuluan.

4.3

Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di apotek wilayah Surabaya selama bulan April

sampai bulan Mei 2011.

17

18

4.4

Populasi Penelitian Populasi dalam penelitian ini sejumlah 625 apotek yang diperoleh dari

survei pendahuluan, yaitu dengan cara meninjau kembali keberadaan lokasi apotek di wilayah Surabaya.

4.5 4.5.1

Sampel Penelitian Teknik Pengambilan Sampel Teknik sampling yang digunakan adalah dengan simple random sampling.

Menurut Notoatmodjo (2010), simple random sampling yaitu teknik pengambilan sampel dimana setiap anggota populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diambil menjadi sampel. Teknik random sampling ini hanya boleh digunakan apabila setiap anggota populasi bersifat homogen atau diasumsikan homogen. Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel secara random sampling menggunakan bantuan program Microsoft Excel 2007.

4.5.2

Jumlah Sampel Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian yang diambil dari

keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Dari survei pendahuluan, diperoleh jumlah keseluruhan populasi dalam penelitian ini adalah 625 apotek. Dengan kata lain, jumlah sampel penelitian dapat diketahui dengan menghitung sample size menggunakan rumus sebagai berikut:

Rumus (Lwanga & Lameshow, 1997): n= NxZ 2 x pxq d 2 x(N - 1) Z 2 x pxq

19

Keterangan: N Z2 p q d n

= Jumlah populasi = Standar deviasi normal, ditentukan Z = 1,96 yang sesuai dengan derajat kemaknaan () = 95% = Proporsi untuk sifat tertentu yang diperkirakan terjadi pada populasi. Apabila tidak diketahui proporsi atau sifat tertentu tersebut, maka p = 0,5 = 1,0 p = Penyimpangan terhadap populasi atau derajat ketepatan yang diinginkan = Besarnya sampel

Jika jumlah populasi (N) = 631, dengan harga d = 0,15, maka diperoleh jumlah sampel: n= 625x(1,96) 2 x 0,5x0,5 (0,15) 2 x(625 - 1) (1,96) 2 x 0,5x0,5 n = 40,02 50 sampel

4.5.2

Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria sampel yang akan dimasukkan dalam penelitian ini adalah seluruh

apotek yang ada di wilayah Surabaya pada periode bulan April sampai bulan Mei tahun 2011. Sampel ini tidak termasuk apotek yang berada di rumah sakit karena diperkirakan manajemen pengadaan obatnya berbeda dengan apotek lain.

20

4.6

Variabel Penelitian Tabel IV.1 Variabel Penelitian Variabel Indikator Dokumen perencanaan Parameter Ketersediaan dokumen Bentuk dokumen Pelaksana dokumentasi Penyimpanan dokumen Lama dokumen disimpan Tindakan terhadap dokumen Surat Pesanan Obat Narkotik Ketersediaan dokumen Lama dokumen disimpan Pelaksana Tindakan terhadap dokumen Sumber obat Surat Pesanan Obat Psikotropik Ketersediaan dokumen Lama dokumen disimpan Pelaksana Tindakan terhadap dokumen Sumber obat Surat Pesanan Obat selain Narkotik dan Psikotropik Ketersediaan dokumen Lama dokumen disimpan Pelaksana Tindakan terhadap dokumen Sumber obat Pelaksanaan pemesanan obat Bentuk dokumen Faktur Obat Ketersediaan dokumen Bentuk dokumen Macam pemeriksaan No. 7 No. 8 No. 9 No. 6 No. 5 No. 4 No. 3 Butir Pertanyaan No. 1 No. 2

Perencanaan Pengadaan Obat

Pemesanan Obat

Penerimaan Obat

21

Pemeriksaan terhadap faktur Ketidaksesuaian yang sering terjadi Arsip faktur Ketersediaan dokumen Bentuk dokumen Lama penyimpanan Tindakan terhadap dokumen Pencatatan Obat Dokumen pencatatan obat Dokumen stok obat Ketersediaan dokumen Bentuk dokumen Ketersediaan dokumen Bentuk dokumen Frekuensi pelaksanaan Pelaksana

No. 10 No. 11

No. 12

No. 13

No. 14

4.7

Definisi Operasional Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan istilah-istilah di bawah ini

adalah sebagai berikut: 1. Sistem dokumentasi Keterkaitan antara aktivitas/kegiatan satu dengan lainnya dengan bukti proses berupa dokumen. 2. Pengadaan obat Kegiatan pengadaan obat mulai dari perencanaan, pemesanan hingga penerimaan dalam rangka menjamin ketersediaan obat di apotek. 3. Perencanaan Kegiatan yang mengawali proses pengadaan obat, meliputi penentuan jenis dan jumlah obat yang habis atau akan dipesan serta PBF mana yang dituju. 4. Dokumen Perencanaan Segala bentuk catatan/perekaman informasi yang digunakan untuk membantu dalam kegiatan perencanaan pengadaan obat di apotek.

22

5. Salesman Orang yang datang ke apotek untuk menawarkan atau mengantar obat sebagai utusan distributor/PBF. 6. Pemesanan Kegiatan permintaan untuk mengadakan atau membeli obat yang disampaikan baik secara lisan (bertatap muka langsung/telepon) atau tertulis (surat pesanan/email). 7. Rekaman Tertulis Pemesanan Obat melalui Telepon Dokumen yang berupa ringkasan pemesanan obat melalui telepon berisi daftar rancangan nama dan jumlah obat yang akan dipesan, nama PBF yang akan dituju serta tanggal pemesanan obat. 8. Penerimaan Kegiatan menerima obat yang datang dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan kesesuaian dengan surat pesanan dan faktur. 9. Obat sesuai SP, tapi tidak sesuai faktur Obat yang dikirim ke apotek sudah sesuai dengan spesifikasi yang tercantum pada SP (nama obat, kekuatan obat, sentuk sediaan dan nama pabrik tertentu) tetapi tidak sesuai dengan apa yang tertulis pada faktur yang menyertai obat. 10. Obat sesuai faktur, tapi tidak sesuai SP Obat yang dikirim ke apotek sudah sesuai dengan spesifikasi yang tercantum pada faktur tetapi tidak sesuai dengan apa yang tertulis pada SP (nama obat, kekuatan obat, sentuk sediaan dan nama pabrik tertentu). 11. Faktur sesuai SP, tapi tidak sesuai obat Spesifikasi yang tercantum pada faktur sudah sesuai dengan yang ditulis pada SP tetapi tidak sesuai dengan obat yang dikirim ke apotek. 12. SOP (Standard Operasional Prosedur) Catatan berisi uraian pelaksanaan kegiatan yang disusun secara rinci dan sistematis sebagai pedoman atau petunjuk pelaksanaan pada suatu proses.

23

4.8

Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan oleh peneliti untuk

pengumpulan data (Notoatmodjo, 2005). Instrumen yang digunakan pada penelitian ini berupa kuesioner. Kuisioner adalah daftar pertanyaan yang digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data dari sumbernya secara langsung melalui proses komunikasi atau dengan mengajukan pertanyaan (Hendri, 2009). Pada lembaran pertama dari kuisioner dijelaskan tentang tujuan penelitian, serta petunjuk atau penjelasan tentang bagaimana menjawab atau mengisi kuisioner tersebut, seperti dengan cara memberikan tanda check () pada kolom pilihan jawaban. Kuisioner (daftar pertanyaan) tidak selalu responden sendiri yang mengisi, ada kuisioner yang ditanyakan secara lisan kepada responden dan yang mengisi adalah peneliti berdasarkan jawaban lisan dari responden.

24

4.9

Kerangka Operasional Penelitian Survei Pendahuluan Pembuatan Instrumen (kuisioner) Uji coba Instrumen (kuisioner)

Random Sampling terhadap populasi Diperoleh jumlah sampel

Terjun ke lapangan

DATA diperoleh

Pengolahan DATA

Pembuatan NASKAH

Penarikan kesimpulan Gambar 4.2 Bagan Kerangka Operasional Penelitian

4.10

Pengujian Instrumen Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa

4.10.1 Uji Validitas yang ingin diukur (Singarimbun & Effendi, 1995). Pada penelitian ini, digunakan pengujian validitas isi. Selain dari literatur, isi kuisioner juga diperoleh melalui diskusi dengan para dosen dan mengacu pada variabel penelitian (Tabel IV.1). Dalam variabel penelitian tersebut, terdapat indikator dan parameter yang ingin diteliti serta nomor butir pertanyaan pada kuisioner.

25

4.11

Teknik Analisis Data Pada penelitian ini, analisis data dilakukan secara deskriptif. Data

penelitian yang diperoleh dari lembar kuisioner dientry ke dalam lembar pengumpul data dalam bentuk soft file (.xls). Setelah itu, data diolah dengan menggunakan bantuan program Microsoft Excel 2007 pada komputer dan disajikan dalam bentuk diagram atau tabel.

BAB V HASIL PENELITIAN

Penelitian ini diawali dengan pelaksanaan pilot study pada 11 apotek yang terpilih secara acak untuk menguji validitas isi dari kuisioner yang akan digunakan. Data dari pilot study dicoba untuk diolah dan disajikan dalam bentuk tabel (Lampiran 3). Selanjutnya, dilakukan pengambilan data penelitian pada 50 apotek di wilayah Surabaya dari bulan April sampai dengan Mei 2011. Apotek yang disurvei meliputi 48 apotek (92%) milik swasta/perseorangan dan enam apotek (12%) milik swasta/jaringan. Responden yang mengisi kuisioner penelitian ini 42% adalah seorang AA, 10% adalah Apoteker Pendamping, 16 % adalah APA sekaligus PSA, 22% adalah APA, 6% adalah PSA dan 4% lainnya adalah karyawan dan asisten PSA.n = 50

Gambar 5.1 Data Responden Penelitian

5.1.

Perencanaan Pengadaan Obat Kegiatan perencanaan sangat penting dilakukan sebelum apotek

melakukan pengadaan obat. Dari 50 apotek yang diteliti, diperoleh bahwa semua apotek (100%) melakukan perencanaan sebelum melakukan pengadaan obat.

Tabel V.1 Pelaksanaan Perencanaan Pengadaan Obat Aktivitas Dilakukan Tidak Perencanaan Pengadaan Obat 50 apotek 0 100% 0% Persentase

26

27

5.1.1

Bentuk Dokumen Perencanaan Pada saat perencanaan, dibutuhkan suatu dokumen yang dapat membantu

dan memudahkan apotek dalam melakukan perencanaan sebelum melakukan pengadaan obat. Sejumlah 40 apotek (80%) mendokumentasikan perencanaannya dalam bentuk buku, sembilan apotek (18%) mendokumentasikan dalam bentuk lembaran dan satu apotek (2%) mendokumentasikan dalam bentuk notulen rapat.n = 50

Gambar 5.2 Bentuk Dokumen Perencanaan

5.1.2

Pelaksana Dokumentasi Perencanaan Kegiatan pendokumentasian saat perencanaan pengadaan obat di apotek

bisa dilaksanakan oleh satu orang atau lebih. Dokumentasi perencanaan di 21 apotek (42,86%) dilakukan oleh lebih dari satu orang, 28 apotek (57,14%) dilakukan oleh satu orang tertentu dan ada satu apotek yang tidak memberi keterangan siapa pelaksana dokumentasi perencanaan di apotek (Tabel V.2). Secara keseluruhan, Dokumentasi perencanaan di apotek yang terbanyak (46,94%) dilakukan oleh AA, 18 apotek (36,73%) dilakukan oleh APA, sembilan apotek (18,37%) dilakukan oleh PSA, lima apotek (10,20%) dilakukan oleh Apoteker Pendamping dan 14 apotek (28,57%) dilakukan oleh petugas/karyawan bagian tertentu seperti kasir, karyawan bagian gudang dan lain sebagainya.n = 49

Gambar 5.3 (a) Pelaksana Dokumentasi Perencanaan

28

n = 49

Gambar 5.3 (b) Pelaksana Dokumentasi Perencanaan Tabel V.2 Pelaksana Dokumentasi Perencanaan Apotek Pelaksana Dokumentasi 21 apotek APA (dilakukan lebih dari satu AA orang) PSA Apoteker Pendamping Lainnya: Karyawan Kasir Semua karyawan (bergantian) 28 apotek APA (dilakukan oleh satu orang) AA PSA Apoteker Pendamping Lainnya: Karyawan bagian gudang Dokter-Dokter 1 apotek Tidak ada keterangan 5.1.3 Batas Penyimpanan Dokumen Perencanaan Kegiatan pendokumentasian saat perencanaan pengadaan obat di apotek tidak hanya meliputi pencatatan, tetapi juga penyimpanan dokumen selama rentang waktu tertentu. Sejumlah 46 apotek (92%) menyimpan dokumen perencanaan dengan 31 apotek (65,96%) menyimpan dokumen sampai buku habis, tujuh apotek (14,89%) menyimpan dokumen selama satu tahun, tiga apotek (6,38%) menyimpan dokumen selama satu bulan dan satu apotek (2,13%) menyimpan dokumen selama satu minggu. Sedangkan lima apotek (10,64%) memberikan jawaban di luar pilihan jawaban yang telah disediakan dengan satu apotek (2,13%) menyimpan dokumen selama lebih dari satu tahun, satu apotek

n 9 12 5 4 2 1 8 9 11 4 1

(%) (18,37) (24,49) (10,20) (8,16) (4,08) (2,04) (16,33) (18,37) (22,45) (8,16) (2,04)

2 (4,08) 1 (2,04)

29

(2,13%) menyimpan dokumen selama tiga tahun, dua apotek (4,25%) menyimpan dokumen selama lebih dari tiga tahun dan satu apotek (2,13%) menyimpan dokumen sampai lembaran habis. Ada satu apotek yang memilih dua jawaban, yaitu menyimpan dokumen sampai buku habis dan diberi batas penyimpanan selama lebih dari satu tahun.n = 46

Gambar 5.4 Batas Penyimpanan Dokumen Perencanaan

5.1.4

Tindakan terhadap Dokumen Perencanaan yang Melewati Batas Penyimpanan Setiap apotek memiliki ketentuan mengenai batas waktu penyimpanan

dokumen perencanaan dan tindakan yang dilakukan terhadap dokumen yang melewati batas penyimpanan tersebut. Sejumlah 28 apotek (60,87%) akan memusnahkan dokumen, sedangkan 18 apotek (39,13%) tetap menyimpan dokumen.n = 46

Gambar 5.5 Tindakan terhadap Dokumen Perencanaan

30

5.2 5.2.1

Pengadaan Obat Obat Golongan Narkotik Apotek merupakan tempat penyaluran obat yang resmi bagi masyarakat,

terutama untuk obat golongan narkotik. Dari 50 apotek yang diteliti, ada dua apotek (4%) yang tidak menyediakan atau melayani obat golongan narkotik. Tabel V.3 Pelaksanaan Pengadaan Obat Narkotik Aktivitas Dilakukan Tidak Pengadaan Obat Golongan Narkotik 48 apotek 2 apotek 96% 4% Persentase 5.2.1.1 Sumber Pengadaan Obat Golongan Narkotik Penyaluran obat golongan narkotik yang diperbolehkan diatur dalam undang-undang. Sejumlah 43 apotek (89,58%) melakukan pengadaan obat golongan narkotik melalui distributor, satu apotek (2,08%) melakukan pengadaan obat melalui apotek lain dan empat apotek (8,33%) melakukan pengadaan obat melalui distributor dan apotek lain.n = 48

Gambar 5.6 Sumber Pengadaan Narkotik

5.2.1.2 Pembuat Surat Pesanan Obat Golongan Narkotik Setiap apotek yang melakukan order obat golongan narkotik harus membuat dan mengirimkan SP terlebih dulu kepada salesman. SP obat golongan narkotik di 37 apotek (75,51%) dibuat oleh APA, di 10 apotek (20,41%) dibuat oleh AA dan di dua apotek (4,08%) dibuat oleh Apoteker Pendamping.

31

n = 48

Gambar 5.7 Pembuat SP Narkotik

5.2.1.3 Batas Penyimpanan Dokumen SP Narkotik Lembar SP Narkotik yang dimiliki tiap apotek dibuat rangkap empat. Selain diserahkan kepada salesman untuk kepentingan order, apotek juga menyimpan lembar yang terakhir untuk dijadikan arsip. Sejumlah 23 apotek (47,92%) menyimpan dokumen SP obat golongan narkotik selama satu sampai tiga tahun, 21 apotek (43,75%) menyimpan dokumen selama lebih dari tiga tahun, dua apotek (4,17%) menyimpan dokumen selama satu bulan sampai kurang dari satu tahun, satu apotek (2,08%) menyimpan dokumen selama kurang dari satu bulan dan satu apotek (2,08%) menyimpan dokumen sampai lembaran SP habis.n = 48

Gambar 5.8 Batas Penyimpanan Dokumen SP Narkotik

5.2.1.4 Tindakan terhadap Dokumen SP Narkotik yang Melewati Batas Penyimpanan Setiap apotek memiliki ketentuan mengenai batas waktu penyimpanan dokumen SP narkotik dan tindakan yang dilakukan terhadap dokumen yang melewati batas penyimpanan. Terdapat 26 apotek (54,17%) yang memusnahkan dokumen, sedangkan 22 apotek (45,83%) tetap menyimpan dokumen.

32

n = 48

Gambar 5.9 Tindakan pada Dokumen SP Narkotik 5.2.2 Obat Golongan Psikotropik Apotek merupakan tempat pelayanan obat yang resmi bagi masyarakat, termasuk untuk obat golongan psikotropik. Dari 50 apotek yang diteliti, ada satu apotek (2%) yang tidak menyediakan atau melayani obat golongan psikotropik. Tabel V.4 Pelaksanaan Pengadaan Obat Psikotropik Aktivitas Dilakukan Tidak Pengadaan Obat Golongan Psikotropik 49 apotek 1 apotek 98% 2% Persentase 5.2.2.1 Sumber Pengadaan Obat Golongan Psikotropik Pengadaan untuk obat golongan psikotropik diatur dalam undang-undang, sebagaimana obat golongan narkotik. Sejumlah 39 apotek (82,46%) melakukan pengadaan obat golongan psikotropik melalui distributor, tujuh apotek (14,29%) melakukan pengadaaan obat melalui distributor dan apotek lain, satu apotek (2,04%) melakukan pengadaan obat melalui distributor dan sub distributor, dua apotek (4,08%) melakukan pengadaan obat melalui apotek lain dan tidak ada apotek (0%) yang melakukan pengadaan obat melalui sub distributor.n = 49

Gambar 5.10 Sumber Pengadaan Psikotropik

33

5.2.2.2 Pembuat Surat Pesanan Obat Golongan Psikotropik Pengadaan psikotropik menggunakan SP khusus psikotropik yang dibuat rangkap dua. Untuk satu lembar SP dapat digunakan untuk memesan le bih dari satu jenis psikotropik. SP obat golongan psikotropik di 36 apotek (73,47%) dibuat oleh APA di dua apotek (4,08%) dibuat oleh Apoteker Pendamping, di satu apotek (2,04%) dibuat oleh APA dan Apoteker Pendamping, di sembilan apotek (18,37%) dibuat oleh AA dan di satu apotek (2,04%) dibuat oleh APA dan AA.n = 49

Gambar 5.11 Pembuat SP Psikotropik

5.2.2.3 Batas Penyimpanan Dokumen SP Psikotropik Lembar SP obat golongan psikotropik yang dimiliki tiap apotek juga dibuat rangkap dua. Selain diserahkan kepada salesman untuk kepentingan order, apotek juga menyimpan lembar yang kedua untuk dijadikan arsip. Sejumlah 22 apotek (44,90%) menyimpan dokumen selama satu sampai tiga tahun, 21 apotek (42,86%) menyimpan dokumen selama lebih dari tiga tahun, empat apotek (8,16%) menyimpan dokumen selama satu bulan sampai kurang dari satu tahun, satu apotek (2,04%) menyimpan dokumen selama lebih dari satu bulan dan satu apotek (2,04%) menyimpan dokumen sampai lembaran SP habis.n = 49

Gambar 5.12 Batas Penyimpanan Dokumen SP Psikotropik

34

5.2.2.4 Tindakan terhadap Dokumen SP Psikotropik yang Melewati Batas Penyimpanan Setiap apotek memiliki ketentuan mengenai batas waktu penyimpanan dokumen SP psikotropik dan tindakan yang dilakukan terhadap dokumen tersebut. Sejumlah 26 apotek (53,06%) memusnahkan dokumen ketika melewati batas penyimpanan, sedangkan 23 apotek (46,94%) tetap menyimpan dokumen.n = 49

Gambar 5.13 Tindakan pada Dokumen SP Psikotropik 5.2.3 Obat Selain Golongan Narkotik dan Psikotropik Apotek merupakan tempat penyaluran obat yang resmi bagi masyarakat, termasuk obat selain narkotik dan psikotropik. Dari 50 apotek yang diteliti, diperoleh bahwa semua apotek (100%) melakukan pengadaan obat selain narkotik dan psikotropik.

Tabel V.5 Pelaksanaan Pengadaan Obat Selain Narkotik dan Psikotropik Aktivitas Dilakukan Tidak Pengadaan Obat Selain Narkotik dan Psikotropik 50 apotek 0 100% 0% Persentase 5.2.3.1 Sumber Pengadaan Obat Selain Golongan Narkotik dan Psikotropik Pengadaan untuk obat selain golongan narkotik dan psikotropik lebih bervariasi jika dibandingkan dengan obat golongan narkotik dan psikotopik. Sejumlah 17 apotek (34%) melakukan pengadaan obat selain golongan narkotik dan psikotropik melalui distributor, sub distributor dan apotek lain, 12 apotek (24%) melalui distributor dan sub distributor, lima apotek (10%) melalui distributor dan apotek lain, empat apotek (8%) melalui sub distributor dan apotek lain, delapan apotek (16%) melalui distributor, tiga apotek (6%) melalui sub distributor dan satu apotek (2%) melalui apotek lain.

35

n = 50

Gambar 5.14 (a) Sumber Obat Selain Golongan Narkotik dan Psikotropik

Secara keseluruhan, pengadaan untuk obat selain golongan narkotik dan psikotropik terbanyak (40%) diperoleh melalui distributor, 34% melalui sub distributor dan 26% melalui apotek lain.n = 50

Gambar 5.14 (b) Sumber Obat Selain Golongan Narkotik dan Psikotropik

5.2.3.2 Pembuat Surat Pesanan Obat Selain Golongan Narkotik dan Psikotropik SP obat selain golongan narkotik dan psikotropik sebagai bukti legal bagi PBF, bisa diberikan ketika salesman mengantar obat ke apotek. SP obat selain golongan narkotik dan psikotropik terbanyak (42%) dibuat oleh APA, di dua apotek (4%) dibuat oleh Apoteker Pendamping, di 12 apotek (24%) dibuat oleh AA, di tiga apotek (6%) dibuat oleh APA dan Apoteker Pendamping, di tiga apotek (6%) dibuat oleh APA dan AA, di dua apotek (4%) dibuat oleh Apoteker Pendamping dan AA, di satu apotek (2%) dibuat oleh Apoteker di BM yang merupakan pusat pengadaan, di dua apotek (4%) dibuat oleh PSA, di dua apotek (4%) dibuat oleh AA dan karyawan, serta di dua apotek (4%) dibuat oleh semua karyawan di apotek secara bergantian.

36

n = 50

Gambar 5.15 Pembuat SP Obat Selain Narkotik dan Psikotropik Tabel V.6 Pembuat SP Obat Selain Narkotik dan Psikotropik Pembuat SP n (%) APA 27 (54,0) Apoteker Pendamping 7 (14,5) AA 19 (38,0) Lainnya: Karyawan 2 (4,0) 2 (4,0) PSA 2 (4,0) Semua karyawan (bergantian) 1 (2,0) Apoteker di BM 5.2.3.3 Batas Penyimpanan Dokumen SP Obat Selain Narkotik dan Psikotropik Lembar SP obat selain narkotik dan psikotropik yang dimiliki tiap apotek dibuat rangkap supaya dapat disimpan sebagai arsip apotek. Sejumlah 18 apotek (36%) menyimpan dokumen SP obat selain narkotik dan psikotropik selama lebih dari tiga tahun, 16 apotek (32%) menyimpan dokumen selama satu sampai tiga tahun, 10 apotek (20%) menyimpan dokumen selama satu bulan sampai kurang dari satu tahun dan enam apotek (12%) menyimpan dokumen selama kurang dari satu bulan.n = 50

Gambar 5.16 Batas Penyimpanan Dokumen SP Obat Selain Narkotik dan Psikotropik

37

5.2.3.4 Tindakan terhadap Dokumen SP Obat Selain Narkotik dan Psikotropik yang Melewati Batas Penyimpanan Setiap apotek memiliki ketentuan mengenai batas waktu penyimpanan dokumen SP obat selain golongan psikotropik dan tindakan yang dilakukan terhadap dokumen yang sudah melewati batas penyimpanan. Sejumlah 36 apotek (72%) yang memusnahkannya, sedangkan 14 apotek (28%) tetap menyimpannya.n = 50

Gambar 5.17 Tindakan pada Dokumen SP Obat Selain Narkotik dan Psikotropik 5.2.3.5 Cara Pemesanan Obat Selain Narkotik dan Psikotropik Pengadaan obat selain narkotik dan psikotropik lebih sering dilakukan daripada obat golongan narkotik dan psikotropik. Selain itu, cara pemesanannya pun lebih fleksible. Obat selain narkotik dan psikotropik dipesan oleh 23 apotek (46%) melalui telepon atau salesman yang rutin datang ke apotek; tiga apotek (6%) melalui telepon, salesman yang rutin datang ke apotek, atau SP dikirim terlebih dahulu; satu apotek (2%) melalui telepon atau SMS, salesman rutin datang ke apotek, atau SP dikirim terlebih dahulu; satu apotek (2%) melalui email; satu apotek (2%) melalui faximile; tiga apotek (6%) dengan mengirim SP dulu; enam apotek (22%) melalui telepon; tiga apotek (6%) melalui salesman yang rutin datang ke apotek; dan sembilan apotek (18%) mengirim SP dulu atau melalui telepon.n = 50

Gambar 5.18 (a) Cara Pemesanan Obat Selain Narkotik dan Psikotropik

38

Secara keseluruhan, pengadaan obat selain golongan

narkotik dan

psikotropik terbanyak (82%) dilakukan oleh apotek melalui telepon, 58% melalui salesman yang rutin datang ke apotek, 36% dengan mengirim SP dulu dan 6% melalui SMS, faximile atau email.n = 50

Gambar 5.18 (b) Cara Pemesanan Obat Selain Narkotik dan Psikotropik

5.2.3.6 Bentuk Dokumen Pemesanan Obat Selain Narkotik dan Psikotropik Sejumlah 38 apotek (76%) memiliki bentuk dokumen hanya berupa SP, sedangkan apotek lainnya juga menggunakan dokumen selain SP.n = 50

Gambar 5.19 Bentuk Dokumen Pemesanan Obat Selain Narkotik dan Psikotropik

Sejumlah lima apotek (10%) menggunakan dokumen lain selain SP berupa rekam tertulis pemesanan lewat telepon, empat apotek (8%) menggunakan dokumen yang digunakan pada saat perencanaan, satu apotek (2%) menggunakan dokumen berupa bon permintaan barang dalam bentuk soft copy dan satu apotek (2%) menggunakan dokumen yang tersimpan di komputer dalam bentuk soft copy.

39

Tabel V.7 Bentuk Dokumen Pemesanan Obat Selain Narkotik dan Psikotropik Bentuk Dokumen n (%) SP 38 (76,0) Selain SP: Rekam tertulis (pemesanan lewat telepon) 5 (10,0) Dokumen pada perencanaan 4 (8,0) Buku pencatatan barang 1 (2,0) Bon permintaan barang (soft copy) 1 (2,0) Komputer 1 (2,0) 5.3 Penerimaan Obat Pada saat penerimaan obat datang, diperlukan pencatatan

ulang/dokumentasi terkait kelengkapan data yang dibutuhkan oleh apotek. Dari 50 apotek yang diteliti, diperoleh bahwa 42 apotek (84%) yang melakukan pencatatan ulang saat penerimaan obat dan hanya delapan apotek (16%) yang tidak melakukan dokumentasi. Tabel V.8 Pelaksanaan Dokumentasi saat Penerimaan Obat Aktivitas Dilakukan Tidak Dokumentasi saat Penerimaan Obat 42 apotek 8 apotek 84% 16% Persentase 5.3.1 Bentuk Dokumen Pencatatan saat Penerimaan Obat Kegiatan dokumentasi saat penerimaan obat dapat dilakukan pada dokumen penerimaan obat yang bisa berbeda tiap apotek. Sejumlah 21 apotek (50%) melakukan dokumentasi di buku penerimaan obat, 13 apotek (30,95%) melakukannya langsung pada faktur, lima apotek (11,90%) di komputer, dua apotek (4,76%) di buku penerimaan obat dan faktur, serta satu apotek (2,38%) di buku penerimaan obat dan komputer.n = 42

Gambar 5.20 Bentuk Dokumen Pencatatan Ulang saat Penerimaan Obat

40

5.3.2

Komponen yang Dicatat Ulang saat Penerimaan Obat Setiap apotek memiliki pandangan yang berbeda mengenai poin-poin apa

saja yang harus dicatat untuk melengkapi data dalam kaitannya dengan penjaminan mutu obat. Sejumlah 83,33% apotek mencatat ulang tanggal penerimaan obat saat penerimaan obat, 69,05% apotek mencatat ulang tanggal faktur dan nama PBF, 64,29% apotek mencatat ulang nomor faktur, 61,90% apotek mencatat ulang jumlah pembayaran, 45,24% apotek mencatat ulang tanggal jatuh tempo pembayaran, serta poin-poin lainnya yang dicatat ulang saat penerimaan obat di apotek (Tabel V.4).

Tabel V.9 Komponen yang Dicatat Ulang saat Penerimaan Obat Bentuk Dokumen n (%) Nomor Faktur 27 (64,29) Tanggal Faktur 29 (69,05) Nama PBF 29 (69,05) Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran 19 (45,24) Jumlah Pembayaran (Rupiah) 26 (61,90) Tanggal Terima Obat 35 (83,33) Lainnya: Nama Barang 2 (4,76) Paraf 3 (7,14) Nomor Batch 1 (2,38) Paraf dan Stempel 4 (9,52) Stempel dan Nama Terang Penerima 1 (2,38) Paraf, Stempel dan Nama Terang Penerima 1 (2,38) 5.3.3 Pemeriksaan saat Penerimaan Obat Pemeriksaan yang dilakukan saat menerima obat terhadap dokumendokumen yang terkait dengan pengadaan obat sangat penting untuk dilakukan oleh pihak apotek. Dari 50 apotek yang diteliti, diperoleh bahwa pemeriksaan kesesuaian antara faktur dan SP selalu dilakukan oleh 46 apotek (92%), jarang dilakukan oleh dua apotek (4%) dan dua apotek lainnya tidak pernah. Sedangkan pemeriksaan kesesuaian antara obat yang datang dengan faktur yang menyertai secara rutin dilakukan oleh seluruh apotek (100%). Sejumlah 41 apotek (82%) selalu melakukan pemeriksaan tanggal kadaluarsa, nomor Batch dan harga obat, delapan apotek (16%) jarang melakukannya dan hanya satu apotek (2%) yang

41

tidak pernah melakukannya. Sebagian besar apotek yang diteliti (90%) selalu memeriksa tampilan/kemasan obat, hanya 10% yang jarang melakukannya. Tabel V.10 Pemeriksaan yang Dilakukan saat Penerimaan Obat Selalu Jarang Tidak Pernah Pemeriksaan yang Dilakukan n (%) n (%) n (%) Kesesuaian faktur dengan SP 46 (92,0) 2 (4,0) 2 (4,0) Kesesuaian obat dengan faktur 50 (100,0) 0 (0,0) 0 (0,0) Pemeriksaan tanggal kadaluarsa, 41 (82,0) 8 (16,0) 1 (2,0) No. Batch dan harga obat Pemeriksaan tampilan/kemasan obat 45 (90,0) 5 (10,0) 0 (0,0) 5.3.4 Ketidaksesuaian yang Terjadi pada Pemeriksaan saat Penerimaan Obat Pemeriksaan terhadap dokumen terkait saat menerima obat yang datang di apotek, sangat penting untuk dilakukan. Sebagian besar apotek yang diteliti, 47 apotek (94%) pernah menemui ketidaksesuaian saat pemeriksaan antara dokumen SP dan faktur dengan obat yang datang, hanya tiga apotek (6%) yang tidak pernah menemuinya.n = 50

Gambar 5.21 Ketidaksesuaian antara SP, Faktur dan Obat

Dari 47 apotek (94%) yang pernah menemui ketidaksesuaian (Gambar 5.20), ada lima apotek yang tidak memberikan urutan ketidaksesuaian yang pernah terjadi. Berdasarkan survei terhadap jenis dan frekuensi ketidaksesuaian yang paling sering terjadi dengan pemberian urutan, diperoleh bahwa obat yang datang sesuai dengan SP tapi tidak sesuai dengan faktur paling sering terjadi pada 10 apotek (23,81%), jenis ketidaksesuaian kedua yang sering terjadi pada 20 apotek (47,62%) dan jenis ketidaksesuaian yang paling jarang terjadi pada 12 apotek (28,57%).

42

Untuk faktur yang sesuai SP tapi tidak sesuai dengan obat yang datang, merupakan jenis ketidaksesuaian yang paling sering terjadi pada 11 apotek (26,19%), jenis ketidaksesuaian kedua yang sering terjadi pada 16 apotek (38,10%), sedangkan paling jarang terjadi pada 15 apotek (35,71%). Untuk obat datang yang sesuai dengan faktur tapi tidak sesuai dengan SP, merupakan jenis ketidaksesuaian yang paling sering terjadi pada 20 apotek (26,19%), termasuk jenis ketidaksesuaian kedua yang sering terjadi pada delapan apotek (19,05%), sedangkan paling jarang terjadi pada 14 apotek (33,33%).n = 42

Gambar 5.22 (a) Jenis Ketidaksesuaian yang Pernah Terjadi

Dengan demikian, ketidaksesuaian pada urutan pertama menurut 20 apotek (47,62%) adalah obat yang datang sesuai dengan faktur tetapi tidak sesuai dengan SP, pada urutan kedua menurut 20 apotek (47,62%) adalah dengan obat yang datang sesuai dengan SP tetapi tidak sesuai dengan faktur, sedangkan urutan ketiga menurut 15 apotek (35,71%) adalah faktur sesuai dengan SP tetapi tidak sesuai dengan obat yang datang.n = 42

Gambar 5.22 (b) Jenis Ketidaksesuaian yang Pernah Terjadi

43

5.3.5

Hal-hal yang Diperhatikan saat Pemeriksaan terhadap Faktur Faktur merupakan dokumen yang menyertai obat ketika diterima oleh

apotek. Sebagian besar apotek yang disurvei (98%) memperhatikan nama obat saat memeriksa faktur, 96% memperhatikan jumlah obat, 94% memeriksa tanggal kadaluarsa obat, 76% memperhatikan nama PBF, 70% memperhatikan bentuk sediaan obat, 44% memperhatikan nomor Batch produk obat, 42% memperhatikan kekuatan obat, 40% memperhatikan harga obat dan hanya 6% yang memperhatikan diskon.n = 50

Gambar 5.23 Hal-hal yang Diperhatikan saat Pemeriksaan terhadap Faktur

5.3.6

Pengarsipan Faktur Dokumen berupa faktur yang menyertai obat datang memiliki arti penting

bagi pihak apotek. Selain untuk penjaminan mutu obat, faktur juga dibutuhkan terkait jatuh tempo pembayaran obat ke salesman. Dari 50 apotek yang diteliti, diperoleh bahwa semua apotek (100%) melakukan pengarsipan terhadap faktur.

Tabel V.11 Pelaksanaan Dokumentasi terhadap Faktur Aktivitas Dilakukan Tidak Dokumentasi terhadap Faktur 50 apotek 0 100% 0% Persentase 5.3.6.1 Bentuk Dokumen Faktur Setiap apotek memiliki keperluan untuk menyimpan dokumen/arsip faktur dengan cara dan bentuk dokumen yang berbeda. Sejumlah 36 apotek (78%) menyimpan faktur dengan cara menyatukannya di dalam map/folder/buku (hard

44

copy) dan hanya satu apotek (2%) yang menyimpan dalam bentuk soft copy di komputer. Sejumlah 13 apotek (26%) menyimpan faktur dalam bentuk soft copy dan hard copy.n = 50

Gambar 5.24 Bentuk Dokumen Pengarsipan Faktur di Apotek

5.3.6.2 Batas Penyimpanan Dokumen Faktur Arsip faktur yang disimpan oleh tiap apotek memiliki batas waktu penyimpanan yang berbeda. Dari 50 apotek yang diteliti, ada dua apotek yang tidak memberi keterangan berapa lama arsip faktur disimpan. Sejumlah 22 apotek (45,83%) menyimpan dokumen/arsip faktur selama lebih dari 3 tahun, 18 apotek (37,50%) menyimpan dokumen selama satu sampai tiga tahun, enam apotek (12,50%) selama satu bulan sampai hampir satu tahun, dua apotek (4,17%) sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran dan tidak ada apotek yang menyimpan dokumen kurang dari satu bulan.n = 48

Gambar 5.25 Batas Penyimpanan Dokumen Faktur

45

5.3.6.3 Tindakan

terhadap

Dokumen

Faktur

yang

Melewati

Batas

Penyimpanan Setiap apotek memiliki ketentuan mengenai batas waktu penyimpanan dokumen/arsip faktur dan tindakan yang akan dilakukan terhadap dokumen tersebut. Dari 50 apotek yang diteliti, ada satu apotek yang tidak memberi keterangan tentang tindakan yang dilakukan terhadap dokumen yang melewati batas penyimpanan. Terdapat 25 apotek (51%) yang memusnahkan dokumen ketika sudah melewati batas penyimpanan, sedangkan 24 apotek (48%) tetap menyimpannya.n = 49

Gambar 5.26 Tindakan terhadap Dokumen Faktur

5.4

Pencatatan Obat Kegiatan pencatatan/dokumentasi setelah obat datang di apotek sangat

dibutuhkan untuk berbagai pertimbangan. Dari 50 apotek yang diteliti, sebagian besar apotek (98%) melakukan dokumentasi dan hanya satu apotek (2%) yang tidak melakukannya.

Tabel V.12 Pelaksanaan Dokumentasi setelah Obat Datang Aktivitas Dilakukan Tidak Dokumentasi setelah Obat Datang 49 apotek 1 apotek 98% 2% Persentase 5.4.1 Pertimbangan dalam Melakukan Pencatatan Obat Hal itu dilakukan dengan pertimbangan terbanyak (46,94%) meliputi tiga aspek, yaitu tanggal kadaluarsa, penambahan stok obat dan perubahan harga. Sebagian apotek melakukan pencatatan dengan pertimbangan dari dua aspek saja, yaitu 18,37% penambahan stok obat dan perubahan harga, sejumlah 8,16%

46

tanggal kadaluarsa dan perubahan harga, sedangkan 10,20% tanggal kadaluarsa dan penambahan stok obat. Sisanya, pencatatan setelah obat datang dilakukan hanya dengan mempertimbangkan satu aspek saja. Sejumlah 2,04% dengan pertimbangan perubahan harga, 12,24% penambahan stok obat dan 2,04% tanggal kadaluarsa.n = 49

Gambar 5.27 (a) Pertimbangan dalam Melakukan Pencatatan Obat

Pertimbangan terbanyak (87,76%) yang digunakan oleh pihak apotek dalam melakukan pencatatan setelah obat datang adalah penambahan stok obat. Sejumlah 75,51% atas dasar perubahan harga dan 67,35% atas dasar tanggal kadaluarsa.n = 49

Gambar 5.27 (b) Pertimbangan dalam Melakukan Pencatatan Obat

5.4.2 Bentuk Dokumen Pencatatan Obat Bentuk dokumen yang digunakan saat melakukan pencatatan/dokumentasi setelah obat datang berbeda pada tiap apotek. Dari 49 apotek yang melakukan dokumentasi setelah obat datang, ada 27 apotek (55,10%) yang melakukannya pada kartu stok, tiga apotek (6,12%) mendokumentasikan pada komputer, 18 apotek (36,73%) pada kartu stok dan komputer, dan hanya satu apotek (2,04%)

47

yang mendokumentasikan pada komputer, daftar harga barang dan langsung pada barang.n = 49

Gambar 5.28 (a) Bentuk Dokumen saat Pencatatan Obat

Bentuk dokumen yang terbanyak (91,84%) digunakan oleh apotek adalah kartu stok, 44,90% pada komputer dan 2,04% pada daftar harga barang dan langsung pada barang.n = 49

Gambar 5.28 (b) Bentuk Dokumen saat Pencatatan Obat

Sebagian besar apotek yang menggunakan satu macam kartu stok dan tujuh apotek (34,69%) menggunakan dua macam kartu stok, sedangkan hanya ada empat apotek (8,17%) yang menggunakan komputer.n = 49

Gambar 5.29 Penggunaan Dokumen Pencatatan Obat

48

5.4.3 Penggunaan Dua Macam Kartu Stok Apotek yang menggunakan dua macam kartu stok, biasanya membedakan kartu stok bar