3
573 CDK-196/ vol. 39 no. 8, th. 2012 TINJAUAN PUSTAKA PENDAHULUAN Apabila seorang wanita pada usia reproduksi sering mengeluh dan mengalami gejala si- klus haid tidak teratur, haid yang tidak ada dan kadang hanya sedikit, kegemukan dengan ja- ringan lemak yang meningkat, timbul jerawat pada bagian wajah atau badan, tumbuhnya rambut yang berlebihan pada wajah atau badan, dan apabila wanita tersebut sudah menikah dan ingin memiliki anak namun sulit menjadi hamil, mungkin wanita ini meng- alami gejala/manifestasi klinis yang disebut dengan sindrom ovarium polikistik atau poly- cystic ovary syndrome (PCOS). Sindrom ovarium polikistik merupakan salah satu penyebab ketidaksuburan (infertilitas) karena kegagalan terjadinya proses ovulasi, ke- luarnya sel telur (ovum) dari indung telur (ova- rium). Sindrom ovarium polikistik didefinisikan sebagai kumpulan gejala yang ditandai de- ngan adanya proses anovulasi (tidak keluarnya ovum) kronis disertai perubahan endokrin (se- perti hiperinsulinemia dan hiperandrogenemia). Beberapa komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi pada pengidap sindrom ovarium polikistik meliputi peningkatan risiko diabetes melitus tipe 2, gangguan toleransi glukosa (resistensi insulin), kadar lipid dalam darah ab- normal (dislipidemia), penyakit kardiovaskular, penebalan dinding rahim, dan infertilitas. Sin- drom ovarium polikistik biasanya terjadi pada usia reproduktif (antara 15 sampai 40 tahun) dan angka kejadiannya sekitar 5-10%. Meskipun angka kejadian PCOS dijumpai cukup tinggi pada wanita usia reproduktif, penyebab pastinya hingga kini belum ba- nyak diketahui. Sindrom ovarium polikistik pertama sekali ditemukan oleh Stein dan Leventhal pada sekitar tahun 1935. 1 Kelainan atau sindrom ini bukanlah sebuah penya- kit, melainkan kelompok gejala. Gambaran klinis yang dijumpai pada umumnya berupa amenorea (tidak ada menstruasi/haid), oli- gomenorea (haid yang sedikit), infertilitas (ketidaksuburan), hirsutisme (tumbuhnya rambut berlebihan), adipositas (kegemukan), dan pembesaran kedua ovarium. 1,2 Sindrom ovarium polikistik ini cukup erat kaitannya dengan peristiwa tidak terjadinya proses ovu- lasi (anovulasi); setiap kondisi atau keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya anovu- lasi kronis akan menyebabkan terjadinya sin- drom ovarium polikistik. Adanya gangguan haid berupa tidak terjadi- nya haid minimal dalam waktu tiga bulan di- sebut amenorea, sedangkan bila memiliki jarak menstruasi lebih dari 35 hari disebut oligome- Sindrom Ovarium Polikistik dan Penggunaan Analog GnRH Ali Baziad Divisi Imunoendokrinologi Reproduksi, Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia ABSTRAK Sindrom ovarium polikistik (polycystic ovary syndrome, PCOS) merupakan salah satu penyebab ketidaksuburan (infertilitas) karena kegagalan proses ovulasi. Meskipun angka kejadian sindrom ini dijumpai cukup tinggi pada wanita usia reproduktif, penyebab pastinya hingga kini belum diketahui. Pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis sindrom ovarium polikistik adalah laparoskopi. Bagi wanita yang belum ingin memiliki anak, cukup diobati dengan pemberian pil kontrasepsi kombinasi oral yang mengandung estrogen dan progesteron sintetik. Penggu- naan pil kontrasepsi ini bertujuan untuk menekan fungsi ovarium sehingga menurunkan sekresi testosteron. Pengobatan utama bagi semua wanita pengidap PCOS yang kegemukan (overweight) ialah menurunkan berat badan. Dengan cara yang sederhana ini, kadang-kadang proses ovulasi dapat terjadi secara spontan. Dewasa ini, analog GnRH (gonadotropin-releasing hormone) sudah digunakan untuk menekan tingginya kadar LH (luteinizing hormone), tetapi tidak begitu kuat menekan sekresi FSH (follicle stimulating hormone) dan sintesis prolaktin. Kata kunci: sindrom ovarium polikistik, FSH, LH, testosteron, GnRH ABSTRACT Polycystic ovary syndrome (PCOS) is one of the causes of infertility because of ovulation process failure. The incidence of PCOS is higher in reproductive age, but the etiology is still unknown. The gold standard procedure for PCOS diagnosis is laparoscopy. Women who don’t plan to concieve can use oral contraceptives containing combination of synthetic oestrogen and progesterone to suppress ovarii function and therefore reduce testosterone. Main treatment for overweight polycystic ovary syndrome women is bodyweight reduction. This simple way sometimes induced spontaneous ovulation process. Recently, gonadotropin-releasing hormone (GnRH) analogue is used to suppress high LH (luteinizing hormone) level but less suppress FSH (follicle stimulating hormone) secretion and prolactin synthesis. Ali Baziad. Polycystic Ovary Syndrome and GnRH-Analog Use. Key words: polycystic ovary syndrome, FSH, LH, testosterone, GnRH CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 573 CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 573 8/6/2012 3:14:39 PM 8/6/2012 3:14:39 PM

06_196Sindrom Ovarium Polikistik Dan Penggunaan Analog GnRH

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Sindrom Ovarium polikistik Amenorhea

Citation preview

  • 573CDK-196/ vol. 39 no. 8, th. 2012

    TINJAUAN PUSTAKA

    PENDAHULUANApabila seorang wanita pada usia reproduksi sering mengeluh dan mengalami gejala si-klus haid tidak teratur, haid yang tidak ada dan kadang hanya sedikit, kegemukan dengan ja-ringan lemak yang meningkat, timbul jerawat pada bagian wajah atau badan, tumbuhnya rambut yang berlebihan pada wajah atau badan, dan apabila wanita tersebut sudah menikah dan ingin memiliki anak namun sulit menjadi hamil, mungkin wanita ini meng-alami gejala/manifestasi klinis yang disebut dengan sindrom ovarium polikistik atau poly-cystic ovary syndrome (PCOS).

    Sindrom ovarium polikistik merupakan salah satu penyebab ketidaksuburan (infertilitas) karena kegagalan terjadinya proses ovulasi, ke-luarnya sel telur (ovum) dari indung telur (ova-rium). Sindrom ovarium polikistik didefi nisikan

    sebagai kumpulan gejala yang ditandai de-ngan adanya proses anovulasi (tidak keluarnya ovum) kronis disertai perubahan endokrin (se-perti hiperinsulinemia dan hiperandrogenemia). Beberapa komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi pada pengidap sindrom ovarium polikistik meliputi peningkatan risiko diabetes melitus tipe 2, gangguan toleransi glukosa (resistensi insulin), kadar lipid dalam darah ab-normal (dislipidemia), penyakit kardiovaskular, penebalan dinding rahim, dan infertilitas. Sin-drom ovarium polikistik biasanya terjadi pada usia reproduktif (antara 15 sampai 40 tahun) dan angka kejadiannya sekitar 5-10%.

    Meskipun angka kejadian PCOS dijumpai cukup tinggi pada wanita usia reproduktif, penyebab pastinya hingga kini belum ba-nyak diketahui. Sindrom ovarium polikistik pertama sekali ditemukan oleh Stein dan

    Leventhal pada sekitar tahun 1935.1 Kelainan atau sindrom ini bukanlah sebuah penya-kit, melainkan kelompok gejala. Gambaran klinis yang dijumpai pada umumnya berupa amenorea (tidak ada menstruasi/haid), oli-gomenorea (haid yang sedikit), infertilitas (ketidaksuburan), hirsutisme (tumbuhnya rambut berlebihan), adipositas (kegemukan), dan pembesaran kedua ovarium.1,2 Sindrom ovarium polikistik ini cukup erat kaitannya dengan peristiwa tidak terjadinya proses ovu-lasi (anovulasi); setiap kondisi atau keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya anovu-lasi kronis akan menyebabkan terjadinya sin-drom ovarium polikistik.

    Adanya gangguan haid berupa tidak terjadi-nya haid minimal dalam waktu tiga bulan di-sebut amenorea, sedangkan bila memiliki jarak menstruasi lebih dari 35 hari disebut oligome-

    Sindrom Ovarium Polikistik dan Penggunaan Analog GnRH

    Ali Baziad Divisi Imunoendokrinologi Reproduksi, Departemen Obstetri dan Ginekologi

    Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia

    ABSTRAKSindrom ovarium polikistik (polycystic ovary syndrome, PCOS) merupakan salah satu penyebab ketidaksuburan (infertilitas) karena kegagalan proses ovulasi. Meskipun angka kejadian sindrom ini dijumpai cukup tinggi pada wanita usia reproduktif, penyebab pastinya hingga kini belum diketahui. Pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis sindrom ovarium polikistik adalah laparoskopi. Bagi wanita yang belum ingin memiliki anak, cukup diobati dengan pemberian pil kontrasepsi kombinasi oral yang mengandung estrogen dan progesteron sintetik. Penggu-naan pil kontrasepsi ini bertujuan untuk menekan fungsi ovarium sehingga menurunkan sekresi testosteron. Pengobatan utama bagi semua wanita pengidap PCOS yang kegemukan (overweight) ialah menurunkan berat badan. Dengan cara yang sederhana ini, kadang-kadang proses ovulasi dapat terjadi secara spontan. Dewasa ini, analog GnRH (gonadotropin-releasing hormone) sudah digunakan untuk menekan tingginya kadar LH (luteinizing hormone), tetapi tidak begitu kuat menekan sekresi FSH (follicle stimulating hormone) dan sintesis prolaktin.

    Kata kunci: sindrom ovarium polikistik, FSH, LH, testosteron, GnRH

    ABSTRACTPolycystic ovary syndrome (PCOS) is one of the causes of infertility because of ovulation process failure. The incidence of PCOS is higher in reproductive age, but the etiology is still unknown. The gold standard procedure for PCOS diagnosis is laparoscopy. Women who dont plan to concieve can use oral contraceptives containing combination of synthetic oestrogen and progesterone to suppress ovarii function and therefore reduce testosterone. Main treatment for overweight polycystic ovary syndrome women is bodyweight reduction. This simple way sometimes induced spontaneous ovulation process. Recently, gonadotropin-releasing hormone (GnRH) analogue is used to suppress high LH (luteinizing hormone) level but less suppress FSH (follicle stimulating hormone) secretion and prolactin synthesis. Ali Baziad. Polycystic Ovary Syndrome and GnRH-Analog Use.

    Key words: polycystic ovary syndrome, FSH, LH, testosterone, GnRH

    CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 573CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 573 8/6/2012 3:14:39 PM8/6/2012 3:14:39 PM

  • CDK-196/ vol. 39 no. 8, th. 2012574

    TINJAUAN PUSTAKA

    norea. Mayoritas wanita dengan sindrom ovarium polikistik memiliki masalah kegemuk-an/obesitas dan mengalami resistensi insulin yang menyebabkan keadaan hiperandrogen (kadar androgen yang tinggi) pada ovarium dengan akibat akan menghambat perkem-bangan folikel dan memicu terjadinya siklus anovulatorik.

    ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGIPenyebab sebenarnya sindrom ovarium po-likistik hingga saat ini belum diketahui pasti. diduga faktor penyebabnya terletak pada gangguan proses pengaturan ovulasi dan ketidakmampuan enzim yang berperan pada proses sintesis estrogen di ovarium.2

    Pada kebanyakan wanita dengan PCOS, akan dijumpai pengeluaran LH (luteinizing hor-mone) yang berlebihan; LH menyebabkan terjadinya peningkatan sintesis androgen di ovarium.3 Dijumpai peningkatan rasio LH ter-hadap FSH (follicle stimulating hormone). Penye-bab peningkatan pengeluaran LH dari hipo-fi sis dan peningkatan sintesis hormon steroid seks di ovarium masih belum diketahui. Kadar hormon androgen yang tinggi menyebabkan kapsul ovarium fi brotik, hirsutisme, akne, se-boreik, pembesaran klitoris, dan pengecilan payudara. Pada perempuan dengan PCOS, tidak dijumpai gangguan sintesis estrogen, tetapi justru ditemukan produksi estrogen yang tinggi yang meningkatkan risiko ter-kena kanker endometrium dan payudara. Penelitian terakhir tentang sindrom ovarium polikistik mengungkap adanya hubungan antara hiperinsulinemia dengan peningkat-an kadar testosteron plasma.4,5 Pengeluaran insulin memicu sekresi testosteron dari ova-rium dan menghambat sekresi sex hormone binding globulin (SHBG) dari hati.6,7 Pada se-bagian wanita dengan PCOS dan anovula-torik, ditemukan peningkatan kadar insulin dalam darah. Namun, perlu diketahui bahwa PCOS bukan hanya disebabkan oleh kadar insulin yang tinggi. Para wanita gemuk atau obes, anovulasi serta kadar insulin yang tinggi merupakan faktor risiko terkena penyakit jan-tung koroner.3,4 Hiperinsulinemia berkaitan cukup erat dengan kadar lipid abnormal dan peningkatan tekanan darah. Kegemukan dan siklus haid yang anovulatorik merupakan fak-tor risiko terjadinya hiperplasia endometrium yang dapat berubah menjadi keganasan.3 Ri-siko terkena kanker payudara juga akan me-ningkat.

    DIAGNOSISPerlu dibedakan antara PCOS simtomatik dan PCOS asimtomatik. Pada sindrom ovarium polikistik, selalu dijumpai ovarium yang mem-besar. Pembesaran ovarium ini dapat dengan mudah dideteksi dengan ultrasonografi /USG (kepekaan 95%). Pemeriksaan baku emas un-tuk menegakkan diagnosis sindrom ovarium polikistik adalah laparoskopi. Dengan USG, ditemukan PCOS pada sekitar 25% populasi wanita normal.8,9 Analisis pemeriksaan hor-monal untuk menentukan apakah itu LH, FSH, prolaktin, atau testosteron, sangat tergantung dari gambaran klinis. Pada wanita dengan amenorea, perlu dilakukan pengukuran ka-dar FSH dan prolaktin. Kadar FSH yang tinggi mengambarkan adanya kegagalan ovarium, se-dangkan kadar prolaktin yang tinggi mengam-barkan adanya tumor hipofi sis (prolaktinoma). Bila ditemukan kadar FSH dan prolaktin yang normal, perlu dilakukan USG dan uji dengan progesteron (uji P). Hasil uji P akan menjadi negatif pada wanita dengan amenorea hipo-talamik dan hasil ultrasonografi menggambar-kan adanya ovarium polikistik. PCOS, hasil uji P pada umumnya positif. Pada wanita dengan wajah dan badan yang ditumbuhi rambut (hir-sutisme), dianjurkan melakukan pemeriksaan testosteron dan dehidroepiandosteron sulfat (DEAS) untuk mengetahui apakah terdapat tumor di ovarium dan suprarenal. Kadar DEAS yang tinggi menggambarkan adanya tumor di kelenjar suprarenal. Kadang-kadang, perlu juga dilakukan pemeriksaan hormon 17-alfa hidroksi progesteron; kadarnya yang tinggi menandakan adanya hiperplasia adrenal ko-ngenital (defi siensi enzim 21-hidroksilase).

    PENGOBATANBagi wanita yang belum ingin memiliki anak, cukup diobati dengan pil kontrasepsi kombi-nasi oral, yang di Indonesia terkenal dengan sebutan pil KB. Pil KB yang sering digunakan adalah jenis pil kombinasi yang mengandung estrogen dan progesteron sintetik. Peng-gunaan pil KB ini bertujuan untuk menekan fungsi ovarium, sehingga sekresi hormon tes-tosteron menurun. Komponen estrogen yang terdapat dalam pil kontrasepsi akan memicu terjadinya produksi SHBG di hati. Hormon SHBG yang tinggi tersebut akan mengikat lebih banyak lagi testosteron di dalam darah. Komponen progesteron yang terdapat dalam pil kontrasepsi akan mencegah terjadinya hi-perplasia endometrium. Pada wanita dengan gejala dan tanda hirsutisme, lebih dianjurkan

    pemberian pil kontrasepsi yang mengandung hormon antiandrogen siproteron asetat (SPA); siproteron asetat dapat juga diberikan tidak dalam bentuk pil kombinasi. Siproteron asetat termasuk jenis hormon progestogen alamiah yang sangat kuat efek antiandrogeniknya. Namun, di negara seperti Indonesia, kaum perempuan masih menganggap bahwa pil kontrasepsi banyak efek sampingnya sehing-ga penggunaannya kurang disukai.

    Pengobatan utama pada semua wanita de-ngan sindrom ovarium polikistik yang ke-gemukan adalah menurunkan berat badan. Dengan cara yang sederhana ini kadang-ka-dang proses ovulasi dapat terjadi secara spon-tan. Bila dengan menurunkan berat badan tetap tidak terjadi proses ovulasi, perlu diberi obat-obat pemicu ovulasi, seperti klomifen si-trat, atau FSH murni. Pada semua wanita yang ingin mempunyai anak, pengobatannya ada-lah pemberian obat-obat pemicu proses ovu-lasi. Namun, selama kadar LH masih tinggi, akan sangat sulit terjadi proses ovulasi, apalagi ke-hamilan. Dewasa ini, mulai dicoba pengobatan sindrom ovarium polikistik dengan analog go-nadotropin-releasing hormone (GnRH).10 Cara ini adalah cara pengobatan yang dapat menekan tingginya kadar LH dalam waktu relatif cepat. Selain itu, pemberian analog GnRH menekan fungsi ovarium dengan kuat sehingga produk-si testosteron di ovarium tertekan. Keuntungan lain penggunaan GnRH analog adalah bahwa hormon ini tidak begitu kuat menekan penge-luaran FSH (follicle-stimulating hormone) dan sintesis prolaktin. FSH sangat dibutuhkan un-tuk pematangan folikel di ovarium, sedangkan prolaktin dibutuhkan untuk membantu sintesis progesteron di korpus luteum. Penurunan ka-dar progesteron darah yang signifi kan sering menyebabkan terjadinya keguguran (abortus). Tidak dijumpai adanya perbedaan angka ke-jadian kehamilan yang bermakna pada semua jenis pengobatan yang diuraikan di atas.

    Tindakan pembedahan atau operatif berupa eksisi baji sudah mulai ditinggalkan dan di-ganti dengan tindakan elektrodiatermi pada setiap folikel yang terlihat (drilling). Cara ini da-pat dilakukan dengan teknik laparoskopi.

    Namun, dalam konteks terjadinya proses ke-hamilan, ternyata tidak dijumpai perbedaan bermakna antara penggunaan obat-obat pemicu proses ovulasi maupun penggunaan analog GnRH. Tindakan drilling pada ovarium

    CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 574CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 574 8/6/2012 3:14:39 PM8/6/2012 3:14:39 PM

  • 575CDK-196/ vol. 39 no. 8, th. 2012

    TINJAUAN PUSTAKA

    perempuan dengan sindrom ovarium polikis-tik ini mulai diperdebatkan di kalangan ahli. Banyak dilaporkan kasus menopause dini akibat kerusakan folikel saat tindakan drill-ing. Karena itu, perlu kehati-hatian dan kom-petensi operator yang cukup dalam melaku-kan tindakan drilling ini. Cara lain untuk menekan produksi testosteron di folikel-foli-kel kecil ialah dengan memberikan preparat analog GnRH yang mempunyai efek sangat kuat menekan sintesis testosteron dan hampir tidak pernah menyebabkan komplikasi klinis berupa menopause dini. Seorang perempuan yang didiagnosis mengalami menopause dini sudah pasti akan sulit mendapatkan ketu-runan. Perempuan tersebut juga harus diberi terapi sulih hormon jangka panjang, dengan risiko kanker payudara.

    DAMPAK PSIKOLOGIS PCOSKegemukan dan hirsutisme membuat para pengidapnya menjadi malu bergaul. Rasa kurang percaya diri dan tertekan akibat be-lum memiliki keturunan serta akibatnya akan sering menyebabkan gangguan siklus haid. Kadar testosteron yang tinggi dapat mening-katkan libido sehingga menimbulkan rasa malu, berdosa, atau frustrasi. Hal ini perlu mendapat perhatian bagi kalangan dokter dalam menangani kasus sindrom ovarium polikistik.

    Pemberian preparat analog GnRH hampir tidak pernah menyebabkan gejala psikologis pada perempuan dengan sindrom ovarium polikistik karena estrogen masih tetap ter-sedia dalam jumlah cukup di dalam darah.

    PENUTUPWanita dengan sindrom ovarium polikistik (PCOS) memerlukan pemeriksaan seksama dan menyeluruh agar dapat dilakukan pena-talaksanaan yang tepat untuk hasil yang op-timal. Secara prinsip, penanganannya adalah dengan perangsangan proses ovulasi melalui obat-obatan, seperti metformin (untuk meng-atasi terjadinya resistensi insulin) dan perubahan gaya hidup pasien untuk mengatasi kegemuk-an atau obesitas. Proses penebalan pada dinding ovarium dapat diatasi dengan tindakan pem-bedahan, seperti laparoskopi, guna membantu terjadinya ovulasi. Kegemukan atau obesitas sebaiknya diatasi/dihindari; tidak adanya obe-sitas berdampak baik terhadap upaya menu-runkan kadar insulin dan membantu proses pematangan sel telur (ovum).

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Stein IF, Leventhal ML. Amenorrhea associated with bilateral polycystic ovaries. Am J Obstet Gynecol 1935:29:181-91

    2. Matthiessen SH. Gynakologie und Gebursthilfe. F.K Schattauer Verlag. Stuttgart New-York, 1976:10-11

    3. Eden JA. The polycystic ovary syndrome. Aust NZ J Obstet Gynecol 1989:29:67-72.

    4. Norman J,Masters SC, Hague W.Metabolic approaches to the subclassifi cation of polycstic ovary syndrome. Fertil Steril 1995:63:329-35

    5. Birdsall MA,Farquar CM, White HD. Association between polycystic ovaries and extend of coronary artery disease in women having cardiac catherization. Ann Intern Med 1977:126:32-

    6. Crulet H, Hecart AC,Delemer B. Roles of LH and insulin resistance in lean and obese polycystic ovary syndrome. Clin Endocrinol 1993:38:621-6.

    7. Nestler JE, Powers LP, Mat DW. A direct eff ect of hyperinsulinemia on serum sex hormone-binding globulin levels in obese women with the polycystic ovary syndrome. J Clin Endocrinol

    Metab 1991:72:83.

    8. Polson DW, Adams J. Polycystic ovaries_a common fi nding in normal women.Lancet 1998:1:870.

    9. Edden JA.Polycystic ovary syndrome: Diagnostic and clinical aspects. Gynaecology Forum

    1997:2:5-7

    10. Genazzani AD, Petraglia F, Battaglia C, Gamba O, Volpe A, Genazzani AR. A long-term treatment with gonadotropin-releasing hormone agonist plus a loe-dose oral contraceptive improves

    the recovery of the ovulatory function in patients with polycystic ovary syndrome. Fertil Steril. 1997;67:463-8.

    CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 575CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 575 8/6/2012 3:14:40 PM8/6/2012 3:14:40 PM