9
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI © 2013 Magister Psikologi UMM, ISSN: 2303-2936 Volume I (2), 190 - 198 190 Konseling logoterapi untuk meningkatkan kebermaknaan hidup lansia Hana Uswatun Hasanah Suprapto Madiun Jawa Timur 1 1 Korespondensi ditujukan kepada Hana Uswatun Hasanah S, [email protected], telepon: 085643233777 Abstraksi Menjadi tua adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari. Saat memasuki periode lansia, menjadi seseorang yang lebih berarti dalam hidup tampaknya sangat penting. Lansia akan menghadapi berbagai persoalan yang terkait dengan beberapa perubahan yang dialami lansia, yaitu perubahan dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial. Hal tersebut akan menimbulkan berbagai dampak bagi lansia, salah satunya ialah perasaan tidak bermakna dalam hidup yang dapat menyebabkan terjadinya gejala fisik. Subjek ialah lansia yang mengalami ketidakbermaknaan hidup dan berdampak pada gejala fisik. Penanganan yang diberikan terhadap subjek ialah konseling logoterapi dengan metode dereflection. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan studi kasus tunggal. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pengisian Kuesioner Kebermaknaan Hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konseling logoterapi dapat meningkatkan kebermaknaan hidup pada lansia. Kata kunci Konseling logoterapi, kebermaknaan hidup, lansia Pendahuluan Menjadi seseorang yang berarti dalam hidup tampaknya sangat penting saat memasuki periode lansia (Wong, 2007). Pada masa ini, lansia harus dapat menerima, bersikap positif, serta dapat menjalani masa tuanya dengan te- nang. Lansia akan menghadapi berbagai per- soalan seperti perasaan kesepian, menurun- nya kondisi fisik dan kognitif, perasaan tidak mampu, kematian pasangan atau orang-orang terdekat (Suri, 2010), hilangnya dukungan so- sial (Tang, 2008; Umberson & Montez, 2010), serta penurunan kesempatan dalam hal eko- nomi karena tidak bekerja atau pensiun (Vla- deck & Segel, 2010). �erbagai persoalan terse- �erbagai persoalan terse- but dapat mempengaruhi lansia dalam me- maknai kehidupan. Persoalan yang terjadi pada masa lansia tersebut terkait dengan beberapa perubahan yang dialami lansia, yaitu perubahan yang meliputi aspek fisik (Smith & Gove, 2005), kog- nitif (Duff, et al., 2010), dan psikososial (�rown & Lowis, 2003). Perubahan-perubahan yang terjadi dapat mempengaruhi individu dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Ayranci & Ozdac, 2006) serta dalam hubungan sosialnya dengan orang lain (Holt-Lunstad, Smith, & Lay- ton, 2010). Lansia dapat mengalami kecema- san terhadap perubahan-perubahan tersebut, dan mempengaruhi mereka dalam memaknai hidupnya. Lansia yang tidak mampu melalui berbagai perubahan secara baik akan merasa kehilangan makna dan tujuan dari hidupnya. Hal tersebut akan dapat berdampak bagi lan- sia, misalnya neurosis, khususnya noogenic neuroses, yaitu neurosis yang lebih dikarena- kan tidak terpenuhinya keinginan untuk hi- dup bermakna (Frankl, 2008). Kebermaknaan hidup lansia berkaitan dengan persepsi terhadap kualitas hidup (Ala- vi et al., 2011), yang mencakup kesejahteraan psikologis, fungsi fisik yang baik, hubungan dengan orang lain, kesehatan, dan aktivitas sosial. Proses penuaan mengakibatkan penu- runan dalam banyak hal, terutama dalam hal kesehatan dan kekuatan fisik. Kebermak- naan hidup juga berkaitan dengan kematian di usia tua (Krause, 2009). Lansia yang merasa hidupnya bermakna akan memiliki usia ha-

1496-3450-1-PB

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 1496-3450-1-PB

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI © 2013 Magister Psikologi UMM, ISSN: 2303-2936Volume I (2), 190 - 198

190

Konseling logoterapi untuk meningkatkan kebermaknaan hidup lansia

Hana Uswatun Hasanah Suprapto Madiun Jawa Timur1

1 Korespondensi ditujukan kepada Hana Uswatun Hasanah S, [email protected], telepon: 085643233777

Abstraksi Menjadi tua adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari. Saat memasuki periode lansia, menjadi seseorang yang lebih berarti dalam hidup tampaknya sangat penting. Lansia akan menghadapi berbagai persoalan yang terkait dengan beberapa perubahan yang dialami lansia, yaitu perubahan dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial. Hal tersebut akan menimbulkan berbagai dampak bagi lansia, salah satunya ialah perasaan tidak bermakna dalam hidup yang dapat menyebabkan terjadinya gejala fisik. Subjek ialah lansia yang mengalami ketidakbermaknaan hidup dan berdampak pada gejala fisik. Penanganan yang diberikan terhadap subjek ialah konseling logoterapi dengan metode dereflection. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan studi kasus tunggal. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pengisian Kuesioner Kebermaknaan Hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konseling logoterapi dapat meningkatkan kebermaknaan hidup pada lansia.

Kata kunci Konseling logoterapi, kebermaknaan hidup, lansia

Pendahuluan

Menjadi seseorang yang berarti dalam hidup tampaknya sangat penting saat memasuki periode lansia (Wong, 2007). Pada masa ini, lansia harus dapat menerima, bersikap positif, serta dapat menjalani masa tuanya dengan te-nang. Lansia akan menghadapi berbagai per-soalan seperti perasaan kesepian, menurun-nya kondisi fisik dan kognitif, perasaan tidak mampu, kematian pasangan atau orang-orang terdekat (Suri, 2010), hilangnya dukungan so-sial (Tang, 2008; Umberson & Montez, 2010), serta penurunan kesempatan dalam hal eko-nomi karena tidak bekerja atau pensiun (Vla-deck & Segel, 2010). �erbagai persoalan terse-�erbagai persoalan terse-but dapat mempengaruhi lansia dalam me-maknai kehidupan.

Persoalan yang terjadi pada masa lansia tersebut terkait dengan beberapa perubahan yang dialami lansia, yaitu perubahan yang meliputi aspek fisik (Smith & Gove, 2005), kog-nitif (Duff, et al., 2010), dan psikososial (�rown & Lowis, 2003). Perubahan-perubahan yang terjadi dapat mempengaruhi individu dalam

melakukan aktivitas sehari-hari (Ayranci & Ozdac, 2006) serta dalam hubungan sosialnya dengan orang lain (Holt-Lunstad, Smith, & Lay-ton, 2010). Lansia dapat mengalami kecema-san terhadap perubahan-perubahan tersebut, dan mempengaruhi mereka dalam memaknai hidupnya. Lansia yang tidak mampu melalui berbagai perubahan secara baik akan merasa kehilangan makna dan tujuan dari hidupnya. Hal tersebut akan dapat berdampak bagi lan-sia, misalnya neurosis, khususnya noogenic neuroses, yaitu neurosis yang lebih dikarena-kan tidak terpenuhinya keinginan untuk hi-dup bermakna (Frankl, 2008).

Kebermaknaan hidup lansia berkaitan dengan persepsi terhadap kualitas hidup (Ala-vi et al., 2011), yang mencakup kesejahteraan psikologis, fungsi fisik yang baik, hubungan dengan orang lain, kesehatan, dan aktivitas sosial. Proses penuaan mengakibatkan penu-runan dalam banyak hal, terutama dalam hal kesehatan dan kekuatan fisik. Kebermak-naan hidup juga berkaitan dengan kematian di usia tua (Krause, 2009). Lansia yang merasa hidupnya bermakna akan memiliki usia ha-

Page 2: 1496-3450-1-PB

191

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 190 - 198

rapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan lansia yang merasa hidupnya tidak bermakna. Kebermaknaan hidup juga memi-liki keterkaitan dengan fungsi tubuh pada lan-sia. Lansia yang merasa tidak bermakna dapat merasa putus asa dan sia-sia dalam menjalani hidupnya, bahkan merasa menjadi beban bagi orang lain (Langle & Probst, 2000).

Lansia yang memiliki makna hidup dapat melihat tujuan yang lebih besar dan saling keterkaitan dalam kehidupan, merasa lebih memegang kendali dalam mengarahkan hi-dupnya, serta menunjukkan keinginan kuat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik (Reker & Woo, 2011). Mereka tidak mudah mengalami depresi dibandingkan dengan in-dividu yang mementingkan diri sendiri, tanpa memiliki komitmen nyata untuk pengemba-ngan pribadi, interpersonal, atau masyarakat (Reker & Woo, 2011). Memiliki makna hidup berarti dapat meningkatkan semangat hidup dan meletakkan dasar untuk kesejahteraan (Wong, 2007). Kehilangan makna hidup dapat menurunkan semangat untuk hidup, yang pada gilirannya dapat menyebabkan perasaan kekosongan dan depresi, dan dalam kasus ter-buruk, hingga bunuh diri.

Untuk mengatasi perasaan tidak bermak-na dalam hidup, lansia membutuhkan bantu-an untuk mendapatkan makna hidupnya kem-bali. Konseling logoterapi merupakan sarana bagi lansia untuk menemukan dan mening-katkan makna dan tujuan hidupnya. Salah sa-tunya ialah logo-autobiografi, pengembangan dari logoterapi, untuk meningkatkan keber-maknaan hidup dan kesehatan mental (Cho, 2008). Penanganan konseling logoterapi dapat dilakukan melalui beberapa metode. Salah sa-tunya ialah metode dereflection dimana klien mengabaikan gejala fisik yang dialami dan lebih memperhatikan hal yang positif dan ber-manfaat. Metode ini dapat digunakan pada berbagai kasus gangguan psikologis, seperti Skizofrenia (Lantz, 1982). Keluarga diajarkan metode dereflection sehingga dapat berperan sebagai terapis bagi individu skizofrenia de-ngan lebih memberikan perhatian terhadap minat dan aktivitas yang lebih bermanfaat.

�erdasarkan permasalahan yang dialami subjek yaitu merasa kehilangan makna hidup yang berakibat pada gejala-gejala fisik pada subjek, maka penanganan yang akan diberi-kan kepada subjek ialah konseling logoterapi dengan metode dereflection. Tujuan penanga-nan tersebut ialah agar subjek memahami per-

masalahan yang dihadapinya sehingga dapat menemukan makna dan tujuan hidupnya kembali serta mandiri dan bertanggungja-wab terhadap pilihan-pilihan hidup yang lebih positif dan bermanfaat. Penelitian ini diharap-kan dapat memberikan kontribusi terhadap wawasan dan wacana dalam pengembangan ilmu psikologi, terutama pada bidang psikolo-gi konseling, psikologi klinis, serta psikologi perkembangan, dimana konseling logoterapi dapat diterapkan pada kasus yang sama terha-dap individu yang mengalami gangguan fisik akibat perasaan tidak bermakna dalam hidup.

Tinjauan Pustaka

Upaya manusia untuk mencari makna hidup merupakan motivator utama dalam hidup, yang muncul karena dorongan nalurinya, yang hanya dapat dipenuhi oleh orang yang bersangkutan (Frankl, 2008; Macdonald, Wong, & Gingras, 2011). Keinginan untuk mencari makna hidup tersebut dapat terham-bat karena berbagai hal, biasa disebut dengan frustasi eksistensial (Frankl, 2008). Seseorang dikatakan sehat secara mental yang didasar-kan pada tingkatan ketegangan tertentu di-mana terdapat jarak antara ketegangan yang telah dialami dengan ketegangan yang masih dapat dicapai; atau kesenjangan kondisi sese-orang pada saat tertentu dengan kondisi yang seharusnya dicapai (Frankl, 2008). Dengan mengalami ketegangan tersebut, seseorang dapat meninjau kembali makna hidupnya. Se-seorang yang merasa tidak memiliki makna hidup, tidak melihat makna yang layak dalam hidupnya dan mengalami kekosongan batin yang biasa disebut kehampaan eksistensial (Macdonald, Wong, & Gingras, 2011). Hal terse-but banyak dialami oleh lansia, yang terlihat dalam bentuk rasa bosan karena kurangnya aktivitas, terutama bila para lansia tersebut telah pensiun atau berhenti bekerja.

Terdapat beberapa hal yang dapat di-lakukan untuk meningkatkan makna hidup pada lansia, salah satunya melalui konseling logoterapi. Konseling logoterapi merupakan ba-gian dari pendekatan eksistensial yang diper-kenalkan oleh Viktor Frankl pada tahun 1992 dalam bukunya, Man’s Searching for Meaning (Glassman, 1995). Frankl berpendapat bahwa gangguan yang dialami individu merupakan hasil dari kegagalan mencari makna hidup yang biasanya diperoleh dari penderitaan dan kehilangan, serta kegagalan dalam membuat

Page 3: 1496-3450-1-PB

192

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 190 - 198

pilihan yang bermakna dan memaksimalkan potensi individu (Gladding, 2004). Frankl ber-pendapat bahwa setiap saat terdapat kesempa-tan baru untuk membuat pilihan dan mencip-takan apapun (Bekerian & Levey, 2005; Basta-man, 2007).

Tiap individu memiliki makna hidup yang berbeda, termasuk pada lansia. Menurut Frankl, setiap individu memiliki keinginan un-tuk bermakna dalam hidupnya, yang bersifat independen, tidak berdasarkan jenis kelamin, usia, kapasitas intelektual, karakteristik ke-pribadian, atau agama (Takkinen & Ruoppila, 2001). Sebagian lansia menyatakan bahwa makna hidup mereka ialah hubungan mereka dengan orang lain (Takkinen & Ruoppila, 2001). Sebagian lain merasa hidupnya bermakna saat mereka dapat melakukan aktivitas baru yang melibatkan kepentingan sosial, terutama setelah pensiun atau tidak bekerja (Takkinen & Ruoppila, 2001; Wong, 2007). Melalui kon-seling logoterapi, konselor memberikan bantu-an psikologis kepada lansia mengenai dirinya berkaitan dengan kebermaknaan hidup.

Tahapan dalam konseling logoterapi men-cakup perkenalan, pengungkapan dan penja-jagan masalah, pembahasan bersama, evalu-asi dan penyimpulan, serta pengubahan sikap dan perilaku untuk meningkatkan kebermak-naan hidup (�astaman, 2007). Proses dan tahapan konseling logoterapi sejalan dengan konseling pada umumnya, dan komponen logoterapi dibahas selama pelaksanaan kon-seling yang bertujuan agar lansia menemu-kan makna dan tujuan hidupnya. Konseling logoterapi merupakan konseling pada individu yang mengalami ketidakjelasan makna dan tujuan hidup sehingga menyebabkan keham-paan dan kehilangan gairah hidup, bukan un-tuk kasus patologis berat yang membutuhkan psikoterapi (�astaman, 2007).

Empat langkah konseling logoterapi yaitu (1) mengambil jarak atas gejala (distance from symptoms) dimana konselor membantu me-nyadarkan subjek bahwa gejala sama sekali tidak identik dan mewakili diri subjek, namun semata-mata merupakan kondisi yang diala-mi dan dapat dikendalikan; (2) modifikasi si-kap (modification of attitude) dimana konselor membantu subjek untuk mendapatkan pan-dangan baru atas diri dan kondisinya, selan-jutnya subjek menentukan sikap baru untuk menentukan arah dan tujuan hidupnya; (3) pengurangan gejala (reducing symptoms) di-mana konselor menggunakan teknik logote-

rapi berupa dereflection untuk menghilangkan atau mengurangi dan mengendalikan gejala pada subjek; (4) orientasi terhadap makna (orientation toward meaning) dimana konselor bersama subjek membahas bersama nilai-nilai dan makna hidup yang secara potensial ada dalam kehidupan subjek, memperdalam dan menjabarkannya menjadi tujuan yang lebih konkrit. (�astaman, 2007) melalui langkah-langkah tersebut, subjek akan menemukan makna hidupnya dan dapat mengendalikan gejala fisik yang dirasakan subjek.

Dalam pendekatan humanistik eksisten-sial, terdapat beberapa gangguan yang dapat dialami individu. Salah satunya ialah neurosis noogenik yaitu gangguan yang disebabkan ti-dak terpenuhinya keinginan untuk hidup ber-makna. Metode dereflection dalam konseling logoterapi dapat digunakan untuk mengatasi neurosis noogenik yang terjadi pada lansia. Metode ini memanfaatkan kemampuan tran-sendensi diri yang terdapat pada setiap indivi-du dewasa dimana klien tidak memperhatikan kondisi yang menimbulkan ketidaknyamanan sehingga lebih memperhatikan hal-hal yang positif dan bermanfaat (�astaman, 2007). Melalui metode ini, klien akan mengalami pe-rubahan sikap, yaitu dari sikap yang terlalu memperhatikan diri menjadi memiliki komit-men terhadap suatu yang penting baginya.

Melalui langkah-langkah dan metode pada konseling logoterapi tersebut, lansia yang ke-hilangan makna hidupnya dapat berusaha untuk memperolehnya kembali. Seharusnya masa tua memberikan kesempatan bagi lansia untuk memberikan perhatian pada kondisi ke-sehatan, serta menjalin hubungan yang lebih dekat dengan keluarga dan para sahabat. Lan-sia yang hidup secara bermakna digambarkan sebagai individu yang menerima dan bersi-kap positif terhadap proses menjadi tua dan dapat menjalaninya dengan tenang (�asta-man, 2007). Kondisi kesehatan mereka terjaga dan sejahtera, dihormati dan menjadi panutan dalam keluarga dan lingkungannya, serta ber-sedia membagi pengalaman-pengalamannya yang bermanfaat. Lansia yang memperoleh makna dari kehidupannya, akan menjadi pri-badi yang lebih terbuka, bersedia melakukan pengalaman baru, menjadi pribadi yang me-nyenangkan, dan lebih berhati-hati (Reker & Woo, 2011).

Lansia yang bermakna dalam hidupnya selalu memiliki harapan pada dirinya akan menjadi lebih baik dan bersedia untuk mem-

Page 4: 1496-3450-1-PB

193

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 190 - 198

perbaiki diri, berguna dan bermanfaat pada lingkungan atau komunitas yang terkait de-ngan kehidupannya sebagai lansia (�astaman, 2007). Hubungan sosial dengan orang lain juga merupakan salah satu faktor yang terkait de-ngan perasaan bermakna dalam hidup. Lansia yang memiliki makna dalam hidupnya mampu hidup secara mandiri dan tidak terlalu bergan-tung pada keluarga, memiliki hubungan yang dekat dengan keluarga serta memiliki teman dan sahabat sebagai wadah untuk bersosia-lisasi di luar rumah (�astaman, 2007).

Apabila lansia yang mengalami ketidakber-maknaan dalam hidup mulai menyadari dan menemukan makna hidupnya kembali, konse-lor yang berperan sebagai participating partner dapat menarik keterlibatan dengan klien se-dikit demi sedikit (�astaman, 2007). Karakte-ristik konseling logoterapi ialah jangka pendek, berorientasi masa depan dan berorientasi pada makna hidup (�astaman, 2007). Hubungan konselor dengan klien ditandai dengan keakra-ban dan keterbukaan, saling menghargai, me-mahami, dan menerima. Konseling logoterapi dapat dilakukan secara fleksibel, yaitu direk-tif atau non direktif dan tidak terpaku dalam tahapan pelaksanaannya (�astaman, 2007).

Metode Penelitian

Rancangan penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan studi kasus tunggal (single case study), dimana suatu kasus diperdalam de-ngan batas-batas tertentu dari waktu ke wak-tu secara detil, pengumpulan data mendalam yang melibatkan berbagai sumber informasi (seperti observasi, wawancara, materi audiovi-sual, dokumen) dan deskripsi kasus (Creswell, et al., 2007; Fellows & Liu, 2008). Studi kasus tunggal diterapkan untuk melakukan evaluasi terhadap peranan dan pengaruh suatu inter-vensi pada kasus tunggal (Kazdin, 1998).

Subjek penelitian Subjek penelitian ialah individu berusia 62 ta-hun, sering mencari pelayanan medis karena merasakan berbagai keluhan fisik, diantara-nya sakit kepala (pusing), punggung kaku, nyeri di persendian tangan & kaki, dada sesak, perut kembung, lambung perih, lemah pada bagian kaki dan suara serak. Subjek meya-kini bahwa keluhan fisik yang dirasakannya

adalah nyata dan mengarah pada penyakit ter-tentu, meski dokter dan paramedis tidak men-emukan hal serius berkaitan dengan penyakit kronis.

Metode pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan wawan-cara dan pengisian kuesioner kebermaknaan hidup. Wawancara dilakukan terhadap subjek dan istri serta anak subjek. Informasi yang di-peroleh pada saat asesmen atau pra konseling digunakan untuk menentukan langkah-lang-kah yang akan dilakukan pada saat konse-ling. Informasi yang diperoleh pada saat pro-ses konseling digunakan untuk mengetahui perkembangan subjek pada setiap sesi. Infor-masi yang diperoleh pada saat pasca konse-ling digunakan untuk mengetahui perubahan subjek secara keseluruhan, serta informasi yang diperoleh dari keluarga subjek diguna-kan untuk mengetahui kesesuaian informasi perubahan yang disampaikan subjek, sedang-kan informasi yang diperoleh pada saat tindak lanjut digunakan untuk mengetahui apakah perubahan pada subjek bersifat menetap atau tidak. Jenis wawancara yang digunakan ialah tidak terstruktur dimana wawancara dilaku-kan secara informal, pertanyaan-pertanyaan diajukan dengan bebas kepada subjek (Zuriah, 2005; Vanderstoep & Johnston, 2009). untuk mengumpulkan data-data terkait dengan sub-jek sebagai penunjang dalam penentuan inter-vensi yang sesuai dengan permasalahan yang dialami subjek.

Kuesioner kebermaknaan hidup diadapta-si dari The Meaning in Life Questionnaire MLQ (Steger, Frazier, Oishi et al., 2006). MLQ memi-liki reliabilitas .70 untuk item presence (1, 4, 5, 6, 9) dan .73 untuk item search (2, 3, 7, 8, 10) serta nilai validitas .70 untuk item presence dan .33 untuk item search. Tujuan diberikan kuesioner ini ialah untuk mengetahui keber-maknaan hidup subjek sebelum dan setelah dilakukan konseling, (Steger et al., 2006). Kue-sioner diberikan pada awal dan akhir konse-ling, dan merupakan alat ukur semantik dife-rensial yang bersifat menilai kesesuaian item dengan kondisi subjek sehingga interpretasi-nya dilakukan pada setiap item untuk me-ngetahui kondisi kebermaknaan hidup subjek saat pengukuran dilakukan (Widhiarso, 2012). Kuesioner ini telah digunakan untuk pengu-kuran dalam kegiatan terapi dan penelitian, serta sebagai sarana untuk memahami subjek

Page 5: 1496-3450-1-PB

194

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 190 - 198

saat akan memulai konseling untuk mencari dan membangun makna dan tujuan hidupnya selama proses konseling (Steger & Shin, 2010).

Prosedur penelitian

Prosedur penelitian studi kasus tunggal di-lakukan dalam beberapa tahap (Lesmana, 2008), yaitu tahap persiapan penelitian dilaku-kan dengan menentukan intervensi yang akan diberikan kepada subjek dengan administrasi yang dapat dilakukan secara berulang. Pada penelitian ini intervensi yang diberikan ialah konseling logoterapi. Tahap pelaksanaan di-mana peneliti membangun hubungan dengan subjek sehingga subjek dapat menjelaskan permasalahan yang dialaminya. Peneliti mu-lai mengumpulkan data mengenai subjek me-lalui wawancara. Pada awal konseling, peneliti dan subjek membuat kesepakatan mengenai tujuan konseling, frekuensi konseling, durasi setiap sesi konseling, lama konseling atau jum-lah sesi keseluruhan, harapan subjek, serta kesediaan subjek untuk berkomitmen. Se-lanjutnya subjek diminta mengisi MLQ untuk mengetahui tingkat kebermaknaan hidup sub-jek pada awal konseling. Selama pelaksanaan konseling, subjek menuliskan keadaannya se-tiap hari dan evaluasi dilakukan pada setiap sesi untuk mengetahui perkembangan subjek. Pada akhir konseling, evaluasi dilakukan pada seluruh proses konseling, dengan indikator tu-juan dan harapan yang telah dise-pakati pada awal konseling. Konseling diakhiri saat kondisi subjek mengalami perkembangan ke arah le-bih baik. Selanjutnya subjek diminta mengisi MLQ kembali untuk mengetahui tingkat keber-maknaan hidup subjek pada akhir konseling. Tahap penutup atau pasca konseling dimana peneliti menghentikan intervensi dan mem-berikan kesimpulan akhir dari keseluruhan intervensi yang telah dilakukan. Dilakukan wawancara terhadap istri subjek untuk me-ngetahui perubahan yang terjadi pada subjek, apakah sesuai dengan yang telah disampaikan oleh subjek. Tahap follow up dilakukan untuk mengetahui keadaan subjek setelah konseling berakhir, apakah keterampilan mengatasi ma-salah yang dipelajari selama konseling dapat dipertahan-kan oleh subjek dalam keseharian-nya, serta apakah subjek telah menunjukkan pemahaman diri yang positif.

Rancangan intervensi

Intervensi yang akan diberikan kepada sub-jek ialah untuk konseling logoterapi mengatasi

permasalahan yang dialami subjek dan tujuan yang akan dicapai subjek. Lukas (�astaman, 2007) menjabarkan empat langkah konse-ling logoterapi yaitu (1) mengambil jarak atas gejala (distance from symptoms) dimana kon-selor membantu menyadarkan subjek bahwa gejala sama sekali tidak identik dan mewakili diri subjek, namun semata-mata merupakan kondisi yang dialami dan dapat dikendalikan; (2) modifikasi sikap (modification of attitude) dimana konselor membantu subjek untuk mendapatkan pandangan baru atas diri dan kondisinya, selanjutnya subjek menentukan sikap baru untuk menentukan arah dan tu-juan hidupnya; (3) pengurangan gejala (redu-cing symptoms) dimana konselor mengguna-kan teknik logoterapi berupa dereflection un-tuk menghilangkan atau mengurangi dan mengendalikan gejala pada subjek; (4) orien-tasi terhadap makna (orientation toward mea-ning) dimana konselor bersama subjek memba-has bersama nilai-nilai dan makna hidup yang secara potensial ada dalam kehidupan subjek, memperdalam dan menjabarkannya menjadi tujuan-tujuan yang lebih konkrit.

Metode analisis dan interpretasi data

Analisis data penelitian dilakukan pada saat tahap pra konseling, pelaksanaan konseling, pasca konseling, dan pada tahap tindak lanjut atau follow-up. Analisis data pada penelitian ini memfokuskan pada peningkatan yang te-lah dicapai oleh subjek selama pemberian kon-seling (Kazdin, 1998). Analisis data dilakukan melalui pengumpulan hasil wawancara kemu-dian dirangkum untuk mendapatkan inti dari hasil wawancara. Kuesioner Kebermaknaan Hidup dianalisa dan diinterpretasi secara des-kriptif pada setiap item untuk mengetahui perkembangan subjek pada awal konseling de-ngan akhir konseling.

Analisis data pra konseling dilakukan un-tuk mengetahui kondisi awal subjek dan hal-hal yang telah dilakukan untuk mengatasi per-masalahan yang dialami subjek serta tingkat kebermaknaan hidup subjek. Sedangkan ana-lisis data pada pelaksanaan konseling dilaku-kan untuk mengetahui perkembangan kondisi subjek berkaitan dengan kebermaknaan hidup dan mengidentifikasikan perubahan ataupun hambatan yang dialami subjek selama men-jalani proses konseling. Selanjutnya analisis data pasca konseling dilakukan untuk menge-tahui peningkatan kebermaknaan hidup dari awal hingga akhir konseling. Pada tahap ini, subjek diharapkan telah mencapai level nor-

Page 6: 1496-3450-1-PB

195

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 190 - 198

matif dari seorang individu normal, masalah yang dialaminya telah diatasi, gejala atau ke-luhan yang dirasakan subjek telah berkurang, tidak ditemukan kriteria diagnosa yang mung-kin pada awal konseling, serta orang-orang terdekat merasakan peningkatan kondisi sub-jek setelah konseling (Kazdin, 1998). Selain itu, dapat diketahui faktor yang berperan terhadap peningkatan kondisi subjek tersebut. Anali-sis data pada tahap tindak lanjut dilakukan untuk mengetahui kemampuan subjek untuk mempertahankan perbaikan yang dicapai se-lama konseling, setelah konseling dihentikan, serta untuk mengetahui kemampuan subjek untuk mengaktualisasikan kebermaknaan hi-dup yang telah dicapainya hingga akhir konse-ling melalui aktivitas sehari-hari.

Hasil analisis dan interpretasi data

Hasil analisis dan interpretasi data mengenai kondisi subjek sebelum diberikan konseling, hal yang dilakukan konselor selama konseling, serta kondisi subjek setelah diberikan konse-ling.�erdasarkan hasil analisis dan interpretasi data menunjukkan bahwa konseling logotera-pi dapat meningkatkan kebermaknaan hidup pada lansia. Hal tersebut dapat diketahui pada pra, proses, dan pasca konseling serta pengisi-an Kuesioner Kebermaknaan Hidup yang me-nunjukkan peningkatan kebermaknaan hidup pada subjek. Konseling logoterapi diberikan pada subjek karena konseling ini merupakan konseling yang diberikan pada individu yang

Sebelum Konseling Pemberian Intervensi Setelah Konseling

1. Subjek sering mencari pelayanan medis karena merasakan berbagai keluhan fisik : sakit kepala (pusing), punggung kaku, nyeri di persendian tangan & kaki, dada sesak, perut kembung, lambung perih, lemah pada bagian kaki, suara serak

2. Subjek tidak dapat menerima kenyataan bahwa keadaan keluarga tidak tercukupi secara finansial karena subjek tidak mampu memberikan nafkah bagi keluarganya

3. Subjek menjadi mudah marah dan merasa tidak dihormati sebagai kepala keluarga karena istri dan anak-anaknya sering tidak menuruti perkataan subjek

4. Permasalahan yang dihadapi subjek membuatnya merasa tidak berharga, merasa tujuan hidupnya tidak terpenuhi dan merasa hidupnya tidak bermakna

Konseling logoterapi diberikan dalam 4 langkah, yaitu:1. mengambil jarak atas gejala (distance

from symptoms) dimana konselor membantu menyadarkan subjek bahwa gejala sama sekali tidak identik dan mewakili diri subjek, namun semata-mata merupakan kondisi yang dialami dan dapat dikendalikan;

2. modifikasi sikap (modification of attitude) dimana konselor membantu subjek untuk mendapatkan pandangan baru atas diri dan kondisinya, selanjutnya subjek menentukan sikap baru untuk menentukan arah dan tujuan hidupnya;

3. pengurangan gejala (reducing symptoms) dimana konselor menggunakan teknik logoterapi berupa dereflection untuk menghilangkan atau mengurangi dan mengendalikan gejala pada subjek;

4. orientasi terhadap makna (orientation toward meaning) dimana konselor bersama subjek membahas bersama nilai-nilai dan makna hidup yang secara potensial ada dalam kehidupan subjek, memperdalam dan menjabarkannya menjadi tujuan-tujuan yang lebih konkrit.

1. Keluhan yang dirasakan subjek telah berkurang dan mampu diabaikan oleh subjek sehingga tidak memenuhi kriteria diagnosa untuk gangguan psikologis

2. Subjek telah mampu menerima kondisi bahwa ia tidak mampu memberikan nafkah bagi keluarganya dan lebih memperhatikan hal-hal yang dapat dilakukannya untuk membahagiakan keluarganya

3. Subjek dapat mempertahankan pengendalian emosi yang telah berhasil dilakukannya agar dapat terus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari

4. Pernyataan dari anggota keluarga bahwa terdapat perubahan subjek ke arah yang lebih baik berkaitan dengan sikapnya terhadap anggota keluarga

5. Subjek telah memiliki tujuan hidup, yaitu membahagiakan dan mensejahterakan keluarga meski tidak berupa materi, dapat bermanfaat bagi orang lain, dan lebih dekat dengan Tuhan

Tabel 1Kondisi subjek sebelum dan setelah konseling

Page 7: 1496-3450-1-PB

196

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 190 - 198

mengalami ketidakjelasan makna dan tujuan hidup. Hal tersebut menyebabkan subjek me-ngalami kehampaan dan kehilangan gairah hidup. Konseling logoterapi juga diberikan pada subjek karena konseling ini tidak diterap-kan untuk kasus patologis berat yang membu-tuhkan psikoterapi. Selain itu, konseling logo-terapi memiliki karakteristik jangka pendek, berorientasi masa depan dan berorientasi pada makna hidup (�astaman, 2007).

Dalam pendekatan humanistik eksisten-sial, subjek mengalami neurosis noogenik ya-itu gangguan yang disebabkan tidak terpenu-hinya keinginan subjek untuk hidup bermak-na, gangguan tersebut berupa beberapa ke-luhan fisik yang dialami subjek. Penanganan yang diberikan pada subjek ialah konseling logoterapi dengan menggunakan metode dere-flection. Metode ini memanfaatkan kemampu-an transendensi diri yang terdapat pada setiap individu dewasa seperti subjek dimana subjek diarahkan untuk tidak memperhatikan kondi-si yang menimbulkan ketidaknyamanan (�as-taman, 2007). Melalui metode tersebut subjek lebih memperhatikan hal-hal yang positif dan bermanfaat dan mengalami perubahan sikap, yaitu dari sikap yang terlalu memperhatikan diri menjadi sikap yang memiliki komitmen terhadap suatu yang penting bagi subjek. Da-lam kasus ini, hal yang penting bagi subjek ialah menentukan tujuan hidup dan menemu-kan makna hidupnya kembali. Metode dere-flection lebih adaptif untuk dilakukan, dimana subjek lebih mudah menerima kondisi dirinya, karena metode tersebut tidak membutuhkan banyak hal yang berkaitan dengan kontrol ter-hadap pribadinya sebagai seorang lansia. Me-lalui metode dereflection, subjek dapat melihat hal yang berarti dalam kehidupan mereka dan dapat mengatasi kehampaan eksistensial yang dialaminya. Konseling logoterapi membantu subjek untuk menemukan sendiri makna hi-dupnya, menyadari bahwa mereka memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan hidup dan bertanggung jawab terhadap pilihan hi-dup tersebut (Sugioka, 2011).

Hasil dari konseling logoterapi ini didu-kung oleh kemauan dan motivasi subjek untuk meningkatkan kebermaknaan hidupnya serta dukungan dari anggota keluarga subjek. Istri subjek menyatakan bahwa terdapat peruba-han subjek ke arah yang lebih baik berkaitan dengan sikapnya terhadap istri dan anak-anak subjek. Istri subjek tidak lagi menemui kebia-saan subjek untuk memeriksakan kondisi fi-siknya secara berlebihan ke puskesmas. Istri

subjek juga menyatakan bahwa subjek kini lebih dapat mengendalikan emosi daripada sebelumnya. Selain dari proses konseling lo-goterapi, peningkatan kondisi subjek tersebut dipengaruhi oleh pihak lain, yaitu penjelasan dari saudara subjek yang berprofesi dokter yang dapat meyakinkan subjek bahwa gejala fisik yang dikeluhkannya bukan merupakan gejala dari penyakit kronis tertentu. Serta per-cakapan yang sering dilakukan subjek den-gan temannya dimana subjek diajarkan untuk mengubah sikapnya dalam menjalani hidup dan dalam menyikapi orang lain. Subjek me-nyadari bahwa masukan dari dua pihak terse-but serta proses konseling yang telah dilaku-kan memiliki manfaat yang besar terhadap di-rinya untuk menjadi lebih baik di waktu yang akan datang.

Selanjutnya berdasarkan Kuesioner Ke-bermaknaan Hidup yang diisi oleh subjek, terdapat perbedaan yang signifikan pada be-berapa poin di awal konseling dengan di akhir konseling. Hal tersebut menunjukkan bahwa subjek belum menemukan tujuan hidupnya sebelum diberikan konseling dan telah mam-pu menentukan tujuan hidupnya secara jelas setelah diberikan konseling, yaitu dapat mem-bahagiakan keluarga, dapat bermanfaat bagi orang lain, serta lebih dekat dengan Tuhan. Pada poin lain juga terdapat perbedaan yang signifikan, dimana hasil pengisian kuesioner menunjukkan bahwa pada awal konseling sub-jek belum menemukan makna hidupnya dan pada akhir konseling subjek telah menemukan makna hidupnya. Sedangkan hasil pengisian kuesioner secara keseluruhan, kondisi subjek menunjukkan adanya perubahan pada awal dan akhir konseling. Subjek telah mampu me-nentukan tujuan hidupnya secara jelas dan te-lah menemukan makna hidupnya kembali.

Selama proses konseling logoterapi, peneli-ti dan subjek memiliki hubungan yang akrab, terbuka, saling menghargai, memahami dan menerima, sehingga proses konseling dapat dilakukan secara fleksibel. Konseling bersifat direktif dimana peneliti memberikan pengara-han pada subjek mengenai hal-hal yang dapat dilakukan subjek sebagai proses untuk me-nemukan makna hidupnya. Peneliti berperan sebagai participating partner yang menarik ke-terlibatan dengan subjek sedikit demi sedikit setelah subjek mulai menyadari dan menemu-kan makna hidupnya (�astaman, 2007).

Keterbatasan dalam penelitian ini ialah faktor eksternal yang tidak dapat dikontrol oleh peneliti, yang kemungkinan dapat mempenga-

Page 8: 1496-3450-1-PB

197

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 190 - 198

ruhi hasil konseling. Faktor eksternal tersebut ialah pengaruh dari keluarga, saudara, serta sahabat subjek. Keluarga, terutama istri sub-jek, memberikan dukungan setiap saat agar subjek dapat menerima kondisi fisiknya dan menjalani hidup dengan lebih tenang. Selama proses konseling, keluarga mendukung subjek untuk melakukan hal-hal yang positif dan ber-manfaat sehingga kebermaknaan hidup sub-jek meningkat. Saudara subjek yang berprofesi dokter juga memberikan pengaruh terhadap hasil konseling. Saudara subjek tersebut me-lakukan pemeriksaan terhadap kondisi fisik subjek dan tidak menemukan kemungkinan yang mengarah pada penyakit kronis tertentu. Saudara subjek menjelaskan bahwa gejala fisik yang dialami subjek akibat kondisi fisik subjek yang mengalami penurunan karena memasu-ki masa lansia, dan meyakinkan bahwa sub-jek tidak perlu mengkhawatirkan gejala-geja-la tersebut. Selanjutnya sahabat subjek yang sering melakukan percakapan dengan subjek juga memberikan dukungan pada subjek. Ia meyakinkan bahwa subjek dapat memiliki ke-hidupan yang lebih tenang dengan menerima kondisi fisiknya yang menurun. Sahabat sub-jek yang mengalami kelumpuhan tersebut me-nyampaikan bahwa ia dapat menjalani hidup-nya dengan melakukan hal-hal yang berman-faat, sehingga ia berharap subjek dengan kon-disi fisik yang lebih baik juga dapat melakukan hal-hal yang bermanfaat.

Diharapkan setelah konseling dihentikan, subjek dapat mempertahankan atau mening-katkan kebermaknaan hidupnya sehingga menjadi pribadi yang lebih terbuka dan menye-nangkan, bersedia melakukan pengalaman baru (Reker & Woo, 2011), selalu memiliki ha-rapan menjadi lebih baik dan bersedia untuk memperbaiki diri, berguna dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar (�astaman, 2007). Se-lain itu, sebagai proses meningkatkan keber-maknaan hidupnya, subjek diharapkan dapat mempertahankan ketertarikan, aktivitas, dan interaksi sosial selama periode lansia (Feld-man, 2003) serta mampu menemukan mak-na yang positif dari kehidupan dan kematian, bahkan dalam kondisi fisik yang tidak baik, seperti penurunan fungsi tubuh (Wong, 2007).

Simpulan dan Rekomendasi

Dari hasil penelitian secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa konseling logoterapi dapat meningkatkan kebermaknaan hidup pada lan-sia melalui empat tahapan dalam konseling logoterapi yaitu mengambil jarak atas gejala,

modifikasi sikap, pengurangan gejala, serta orientasi terhadap makna. Hambatan yang telah dikemukakan dapat menjadi pertimba-ngan dan perbaikan bagi penelitian selanjut-nya. Peneliti selanjutnya disarankan untuk memonitor perkembangan subjek setelah tin-dak lanjut guna mengetahui seberapa jauh efek konseling logoterapi terhadap subjek serta melibatkan keluarga sebagai orang-orang ter-dekat subjek guna memberikan dukungan ter-hadap perubahan subjek ke arah lebih baik.

Daftar Pustaka

Alavi, K., et al. (2011). Exploring the meaning of ageing and quality of life for sub-urban older people. Per-tanika Journal Social, Science and Humanistic, 19, 41-48.

Ayranci, U., & Ozdag, N. (2006). Health of elderly: Im-portance of nursing and family medicine care. The Internet Journal of Geriatrics and Gerontology, 3 (1), archive http://www.ispub.com/journals

�astaman, H. D. (2007). Logoterapi-psikologi untuk me-nemukan makna hidup dan meraih hidup bermakna. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Baxter, P., & Jack, S. (2008). Qualitative case study me-thodology: Study design and implementation for novice researchers. The Qualitative Report, 13 (4), 554-559.

Bekerian, D. A., & Levey, A. B. (2005). Applied psycho-logy-putting theory into practice. New York: Oxford University Press.

Brown, C., & Lowis, M. J. (2003). Psychosocial develop-ment in the elderly: An investigation into erikson’s ninth stage. Journal of Aging Studies, 17, 415-426.

Cho, S. (2008). Effects of logo-autobiography program on meaning in life and mental health in the wives of alcoholics. Asian Nursing Research, 2 (2), 129-139.

Creswell, J. W., et al. (2007). Qualitative research de-signs: Selection and implementation. The Counse-ling Psychologist, 35 (2), 236-264.

Duff, K., et al. (2010). Predicting cognitive change in older adults: The relative contribution of practice Eeffects. Archives of Clinical Neuropsychology, 25 (2), 81-88.

Feldman, R. S. (2003). Essentials of understanding psy-chology (5th ed.). New York: McGraw-Hill.

Fellows, R., & Liu, A. (2008). Research methods for con-struction (3rd ed.). Malden, MA: Wiley-Blackwell.

Frankl, V. E. (2008). Optimisme di tengah tragedi, anali-sis logoterapi. Bandung: Penerbit Nuansa.

Gladding, S. T. (2004). Counseling a comprehensive pro-fession (5th ed.). USA: Pearson Prentice Hall.

Glassman, W. E. (1995). Approaching to psychology (2nd ed.). Philadelphia: Open University Press.

Holt-Lunstad, J., Smith, T. �., & Layton, J. �. (2010). So-cial relationships and mortality risk: A meta-analy-tic review. Plos Medicine, 7 (7), 1-20.

Page 9: 1496-3450-1-PB

198

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 190 - 198

Kazdin, A. E. (1998). Methodological issues and strategies in clinical research (2nd ed.). Washington: American Psychological Association.

Krause, N. (2009). Meaning in life and mortality. Journal of Gerontology: Social Sciences. 64B (4), 517-527.

Lantz, J. E. (1982). Dereflection in family therapy with schizophrenic clients. International Forum for Logo-therapy, 5 (2), 119-122.

Langle, A. & Probst, C. (2000). Existensial questions of the elderly. International Medical Journal, 7 (3), 193-196.

MacDonald, M. J., Wong, P. T., & Gingras, D. T. (2011). Meaning-in-Life measures and developmental of a brief version of the personal meaning profile. The Human Quest for Meaning, 17, 357-382.

Reker, G. T., & Woo, L. C. (2011). Personal meaning orien-tations and psychosocial adaptation in older adults. Sage open, 28 April, 1-10.

Smith, S., & Gove, J. E. (2005). Physical changes of ag-ing. The Institute of Food and Agricultural Sciences - University of Florida.

Sugioka, Y. (2011). Integrative medicine and dimensional anthropology. Journal of Philosophy and Ethnics in Health Care and Medicine, 5, 112-130.

Steger, M. F., & Shin, J. Y. (2010). The relevance of the meaning in life questionnaire to therapeutic prac-tice: A look at the initial evidence. The International Forum for Logotherapy, 33, 95-104.

Steger, M. F., et al. (2006). The meaning in life question-naire: Assessing the presence of and search for

meaning in life. Journal of Counseling Psychology, 53 (1), 80-93.

Suri, R. (2010). Working with the Eelderly: Existential-humanistic approach. Journal of Humanistic Psy-chology, 50 (2), 175-186.

Takkinen, S., & Ruoppila, I. (2001). Meaning in life in three samples of elderly persons with high cogni-tive functioning. International Journal Aging and Human Development, 53 (1), 51-73.

Tang, Y. (2008). Social support of elderly caregivers. In-ternational Journal of Business and Management, 3 (8), 81-84.

Umberson, D., & Montez, J. K. (2010). Social relation-ships and health: A flashpoint for health policy. Journal of Health and Social Behavior, 51, S54-S66.

Vanderstoep, S. W., & Johnston, D. D. (2009). Research methods for everyday life-blending qualitative and quantitative approaches. San Francisco: Jossey-Bass A Wiley Imprint.

Vladeck, F., & Segel, R. (2010). Identifying risks to healthy aging in new york city’s varied NORCs. Journal of Housing for The Elderly, 24 (3), 1-19.

Widhiarso, W. (2012). Skala Psikologi. Retrieved 2012, from http://www.widhiarso.staff.ugm.ac.id

Wong, P. T. (1998-2007). International network on per-sonal meaning. Retrieved 2012, from http://www.meaning.ca

Zuriah, N. (2005). Metodologi penelitian sosial dan pen-didikan: Teori dan aplikasi. Jakarta: PT Bumi Ak-sara.