111
1

eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2655/1/merged (1).pdf · digunakan sebagai penyelesaian masalah harta jika terjadi perceraian dikemudian hari agar tidak terjadi perebutan harta,

Embed Size (px)

Citation preview

1

2

3

4

5

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan itu tercantum juga tujuan perkawinan yaitu untuk

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.

Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara

atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur

hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputus begitu saja.1

Dalam hukum perkawinan di Indonesia, dikenal adanya perjanjian

perkawinan yang dibuat oleh kedua belah pihak yaitu suami dan istri. Hal ini

ditegaskan dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan yang menyatakan bahwa pada waktu atau sebelum perkawinan

dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan

perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah

1 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, cet. IV, 1976,

p. 14, 15, dikutip oleh Riduan Syahrani, 2009, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata,

Bandung: PT. Alumni, hlm. 62.

6

mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut dan perjanjian

perkawinan tersebut mulai berlaku sejak perkawinan itu dilangsungkan. Akan

tetapi dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan juga menjelaskan bahwa perjanjian perkawinan tersebut tidak

dapat disahkan apabila melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan,

dan selama perkawinan berlangsung perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat

diubah kecuali ada persetujuan dari kedua belah pihak dan perubahan tersebut

tidak merugikan pihak ketiga.

Memang dalam masyarakat Indonesia sendiri kesadaran dalam

membuat perjanjian perkawinan dinilai masih rendah ketika ingin

melangsungkan perkawinan, meskipun perjanjian perkawinan ini menjadi

sangat penting apabila dikemudian hari terjadi permasalahan dalam perkawinan

kedua belah pihak terutama masalah harta benda dalam perkawinan tersebut.

Namun, masih banyak masyarakat yang kurangnya memahami tujuan dari

dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut.

Tujuan dari dibuatnya perjanjian perkawinan ini adalah apabila antara

salah satu pihak suami atau istri mempunyai harta kekayaan yang cukup besar

dibanding harta kekayaan pihak lainnya (suami atau istri), masing-masing

dari mereka memiliki usaha sehingga apabila salah satu pihak (suami atau

istri) pailit maka yang lain tidak akan ikut pailit, dan terhadap utang-utang

yang dibuat sebelum perkawinan masing-masing menanggung sendiri.

Dengan perjanjian perkawinan, kedua belah pihak akan terlindungi

secara hukum harta bawaan masing-masing artinya perjanjian kawin itu bisa

7

digunakan sebagai penyelesaian masalah harta jika terjadi perceraian

dikemudian hari agar tidak terjadi perebutan harta, maka akan jelas mana

harta bersama (gono gini) dan harta pribadi masing-masing. Selain itu pihak

istri juga akan terlindungi dengan adanya perjanjian perkawinan yaitu

membatasi kekuasaan suami untuk memindahtangankan terhadap harta

bersama (perlu persetujuan pihak istri) dan harta istri pribadi yang dibawa

atau diperoleh sepanjang perkawinan yang bisa merugikan pihak istri

misalnya suami melakukan pemborosan terhadap harta kekayaan istri atau

menggunakan harta istri untuk berjudi dan mabuk-mabukan dan sebagainya.

Perjanjian perkawinan ini juga sebagai perlindungan pihak istri dari segala

kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Perjanjian kawin biasanya disusun sebelum dilangsungkannya

perkawinan. Hal ini bertujuan mengatur terlebih dahulu sebelum adanya

pernikahan. Sehingga hak dan kewajiban para pihak akan menjadi jelas.

Pembuatan perjanjian sebelum ada perkawinan adalah agar perjanjian

tersebut berlaku efektif ketika perkawinan tersebut dilangsungkan. Sebab

ada kemungkinan jika perjanjian kawin dilaksanakan setelah adanya

perkawinan akan menjadi sebuah hal yang aneh. Karena masih saja

memikirkan harta sedangkan sudah saling terikat. Hal ini berarti ada

indikasi untuk melakukan perceraian atau memang sejak awal motivasi

perkawinan tersebut adalah motivasi ekonomi atau politis.2

Waktu pembuatan perjanjian perkawinan dalam Pasal 29 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun dalam

Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa pada waktu atau sebelum

perkawinan dilangsungkan, kedua pihak (suami istri) dengan persetujuan

bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis, hal ini untuk menghindari

2 Yasir Fatahillah. 2008. Perjanjian Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

https://fatahilla.blogspot.co.id. Dikases pada tanggal 01 Mei 2017.

8

terjadinya perselisihan dalam suatu perkawinan tersebut dikemudian hari baik

dalam masalah hak dan kewajiban masing-masing suami istri serta masalah

harta benda dalam perkawinan yang menimbulkan hilangnya kerukunan

antara suami dan istri, sehingga dibuatlah perjanjian perkawinan pada waktu

atau sebelum perkawinan dilangsungkan.

Namun seiring dengan perkembangan masyarakat kini perjanjian

perkawinan baru dirasakan perlu apabila setelah perkawinan berlangsung

lama, antara suami dan istri ini karena alasan tertentu baru merasakan adanya

kebutuhan untuk membuat perjanjian perkawinan. Misal antara suami istri

yang sudah menikah satu tahun tanpa membuat perjanjian perkawinan

sebelumnya, kemudian suami ingin membangun usaha dengan modal yang

cukup besar timbullah kekhawatiran si istri apabila usaha suami tidak dapat

berjalan dengan baik, maka utang dengan pihak ketiga akan berdampak pula

pada harta mereka, sedangkan mereka tidak ingin hal itu terjadi. Maka dari itu

ada suatu keinginan suami dan istri ini membuat perjanjian kawin selama

perkawinan berlangsung karena saat mereka menikah mungkin saja belum

terpikir untuk membangun usaha dengan modal yang lumayan.

Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan Nomor 69/PUU-

XIII/2015 tertanggal 27 Oktober 2016, terkait gugatan mengenai pengujian

Pasal 29 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan mengenai perjanjian perkawinan, Pasal 35 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harta bersama

dalam perkawinan, Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 5

9

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria mengenai Hak

Milik, Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria mengenai Hak Guna Bangunan.

Kasus ini berawal dari pemohon pengujian yang bernama Ike Farida

merupakan pelaku perkawinan campuran dengan laki-laki yang

berkewarganegaraan Jepang berdasarkan perkawinan yang sah dan telah

tercatat di Kantor Urusan Agama di Jakarta. Dimana pemohon telah membeli

rumah susun didaerah Jakarta, kemudian telah dibayar lunas, namun oleh

developer dibatalkan secara sepihak yang dikuatkan dengan putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Timur tanggal 12 November 2014, dengan alasan

bahwa warga negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran tidak

punya hak memiliki hak milik dan hak guna bangunan jika tidak mempunyai

perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat dilangsungkannya

perkawinan.

Setelah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-

XIII/2015, maka ada beberapa ketentuan yang ada dalam Pasal 29 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengalami perubahan

mengenai perjanjian perkawinan antara lain ayat (1) pejanjian perkawinan

dapat dibuat sebelum, pada saat dan selama perkawinan berlangsung; ayat (3)

perjanjian perkawinan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan atau

diberlakukan sesuai kesepakatan suami istri; ayat (4) perjanjian perkawinan

dapat dicabut atau diubah sebagian atau seluruhnya sepanjang disepakati oleh

kedua belah pihak.

10

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 ini tentunya

disambut baik oleh para pelaku perkawinan campuran baik warga negara

Indonesia dengan warga negara asing maupun perkawinan non-campuran

antara sesama warga negara Indonesia ketika mereka ingin membuat perjanjian

kawin selama perkawinan berlangsung.

Namun, disisi lain, putusan ini bisa dinilai sebagai putusan yang

memperlakukan pernikahan lebih sebagai hubungan kontraktual atau

hubungan perdata biasa sebagaimana lembaga perkawinan umumnya

diperlakukan didunia Barat. Di Indonesia, lembaga perkawinan

umumnya dianggap sebagai kewajiban agama dan bersifat sakral. “Suatu

yang sakral ataupun ikatan lahir dan bathin antara laki-laki dan

perempuan yang diatur dalam agama”.3

Ada beberapa bentuk-bentuk perjanjian perkawinan yang telah

diketahui, namun berkaitan dengan hal tersebut bentuk perjanjian perkawinan

seperti apakah yang akan dibuat kedua belah pihak (suami istri) sepanjang atau

selama perkawinan berlangsung, apakah bentuk perjanjian perkawinan yang

dibuat setelah perkawinan itu akan sama dengan bentuk perjanjian perkawinan

yang dibuat sebelum perkawinan, mengenai hal ini tentunya tidak ada

penjelasan lebih lanjut.

Ada perbedaan istilah mengenai mengikatnya pihak ketiga dalam

sebuah perjanjian perkawinan baik didalam Kitab Undang-undang Hukum

Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam Kompilasi

Hukum Islam. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata menggunakan

istilah pendaftaran sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,

Kompilasi Hukum Islam menggunakan istilah pengesahan. Terhadap istilah

3 ˍˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2016. Plus Minus Putusan MK tentang Perjanjian Perkawinan.

http://www.m.hukumonline.com. Diakses pada tanggal 15 Desember 2016.

11

yang berbeda tersebut, apakah mempunyai makna yang sama atau berbeda

terkait dengan pengesahan atau pendaftaran yang dapat mengikat pihak ketiga.

Pengesahan maupun pendaftaran sama-sama mengikat pihak ketiga dalam

perjanjian perkawinan jika ada kepentingan pihak ketiga didalamnya.

Mengenai pengesahan perjanjian perkawinan sendiri dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 mengalami perubahan yang

amar putusannya menyatakan bahwa kedua belah pihak atas persetujuan

bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai

pencatat perkawinan atau notaris, sedangkan sebelum adanya putusan ini

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan hanya

disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan saja baik pada Kantor Urusan

Agama atau Kantor Catatan Sipil. Hal ini juga akan menimbulkan

permasalahan bagi seorang notaris yang mempunyai kewenangan baru yaitu

mengesahkan perjanjian perkawinan dan nantinya akan bertanggung jawab

terhadap pembuatan akta perjanjian perkawinan, yang ternyata isi dari

perjanjian perkawinan itu akan terjadi permasalahan hukum dikemudian hari.

Sejauh mana kewenangan notaris dalam mengesahkan perjanjian

perkawinan seperti halnya Pegawai Pencatat Perkawinan di Kantor Urusan

Agama dan Kantor Catatan Sipil yang sebelumnya diatur Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Notaris mempunyai kewenangan

untuk membuat akta otentik sesuai Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2014 perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris, selain itu Pasal 15 ayat (2) notaris juga berwenang untuk mengesahkan

12

tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan

mendaftar dalam buku khusus. Dalam hal menjalankan kewenangan tersebut,

notaris hanya berwenang mengesahkan tanda tangan para pihak dan kepastian

tanggal dari surat dibawah tangan yang disebut legalisasi, lalu bagaimana

notaris melakukan pengesahan perjanjian perkawinan setelah adanya Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tidak menjelaskan

bentuk perjanjian perkawinan harus dengan akta otentik atau akta dibawah

tangan. Dan apabila kedua belah pihak (suami istri) membuat perjanjian

perkawinan dengan akta notaris atau dengan akta dibawah tangan yang

kemudian disahkan oleh notaris, apakah mereka selanjutnya juga perlu

melakukan pengesahan dengan Pegawai Pencatat Perkawinan (Kantor Urusan

Agama dan Kantor Catatan Sipil) atau kedua belah pihak cukup melakukan

pengesahan pada Notaris saja. Hal ini masih belum ada diatur dengan jelas

setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.

Ada suatu kasus mengenai perjanjian perkawinan yang tidak sah dan

menimbulkan batalnya suatu perikatan yang dilakukan dengan pihak

ketiga. Dimana suami istri ini membuat perjanjian kawin yang isinya

menyatakan bahwa istri berhak melakukan perbuatan hukum secara

pribadi atas segala bentuk harta yang beratasnamakan istrinya. Kemudian

si istri meninggal, dan rumah yang dahulu mereka beli setelah menikah

dengan sertifikat atas nama istri, telah dijual dan sudah menjadi hak milik

adik kandung istrinya. Bahkan sertifikat rumah tersebut menjadi atas

nama adik dari si istri. Akan tetapi suami istri ini tidak pernah

mendaftarkan perjanjian kawinnya pada Pengadilan Negeri setempat atau

mencatatkannya pada Kantor Catatan Sipil. Maka pihak ketiga yaitu adik

dari si istri tidak dapat menerima peralihan hak dari salah satu pihak saja,

karena prinsipnya segala harta yang diperoleh selama/setelah perkawinan

harus ada persetujuan kedua belah pihak (suami istri) apabila melakukan

13

perbuatan hukum dengan pihak lain dan untuk perjanjian kawin yang

belum didaftarkan hanya berlaku bagi suami dan istri secara internal

terkait pengurusan harta selama perkawinan berlangsung. Sehingga

mengakibatkan kebatalan atas segala perikatan yang dilakukan dengan

pihak ketiga.4

Pembuatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan membawa

akibat terhadap perubahan status hukum harta benda yang terdapat atau

diperoleh didalam perkawinan tersebut maka tentunya pembuatan perjanjian

perkawinan tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga.5

Putusan Mahkamah Konstitusi maupun UU Perkawinan tidak mengatur

hal tersebut. UU Perkawinan hanya menentukan bahwa apabila

perjanjian kawin tersebut telah disahkan oleh pegawai pencatat

perkawinan maka perjanjian perkawinan tersebut mengikat pihak ketiga.

Alangkah tidak adilnya seandainya terdapat suatu perjanjian perkawinan

yang dibuat sepanjang perkawinan, dimana perjanjian perkawinan

tersebut merugikan pihak ketiga, kemudian atas perjanjian perkawinan

tersebut dilakukannya pencatatan di Kantor Catatan Sipil. Dengan

dilakukannya pencatatan tersebut pihak ketiga terikat atas perjanjian

perkawinan tersebut, sementara perjanjian perkawinan tersebut

merugikan dirinya.6

Dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-

XIII/2015 ini khususnya merubah ketentuan yang ada dalam Pasal 29 Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menimbulkan pertanyaan

mengenai bentuk perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan dan

akibatnya bagi pihak ketiga.

Terkait dengan pihak ketiga dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (4)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan dalam

4 ˍˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2017. Intisari Online : Kasus Perjanjian Kawin yang Tak Sah Ini Penting Untuk

Disimak Pasangan yang Akan dan Sudah Menikah. http://intisari.grid.id. Diakses pada tanggal 23

April 2017. 5 Alwesius. 2016. Pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi. http://alwesius.blogspot.co.id/2016/11.html. Diakses pada tanggal 15 Desember 2016. 6 Ibid

14

ayat (1) “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah

pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang

disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga

terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”, dan dalam ayat (4)

“Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,

kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan

perubahan tidak merugikan pihak ketiga”.

Perjanjian perkawinan memang bertujuan melindungi kepentingan

kedua belah pihak yaitu suami dan istri. Perlu diperhatikan juga untuk dapat

mengikatnya pihak ketiga dalam perjanjian perkawinan, maka perjanjian

tersebut harus dilakukan pengesahan, tujuan dari pengesahan sendiri adalah

agar pihak ketiga mengetahui dan tunduk pada perjanjian perkawinan yang

dibuat suami istri juga guna melindungi kepentingan pihak ketiga, bukan

memberikan kesempatan suami dan istri untuk mengikat pihak ketiga dengan

sesuatu yang tidak benar. Misalnya suami istri membuat perjanjian perkawinan

dengan itikad buruk yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain (pihak ketiga

yang tersangkut).

Seperti yang diilustrasikan oleh Edna Hanindito Notaris dan Pejabat

Pembuat Akta Tanah dalam memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

69/PUU-XIII/2015 sebagai berikut :7 Seorang suami bersama istrinya yang

sudah menikah, kemudian membuat perjanjian perkawinan di Notaris, salah

satu isinya tentang harta kekayaan. Si istri ini sudah mempunyai aset namun

7 ˍˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2016. Putusan MK Soal Perkawinan Berpotensi Rugikan Pihak Ketiga.

http://www.gatra.com. Diakses 22 Maret 2017.

15

dia tidak mau beberapa harta tertentu misal saja rumah dan mobil dijadikan

harta gono gini. Kedua belah pihak ini menyepakati tentang klausul itu.

Kemudian pasangan suami istri tersebut kembali membuat perjanjian

perkawinan mengenai pemisahan harta di Notaris yang berbeda dan klausul

perjanjiannya juga bertentangan dengan perjanjian sebelumnya. Dengan

demikian ada dua akta perjanjian perkawinan dan kedua akta itu tentunya

berlaku. Setelah itu, istri meminjam uang ke bank dengan menjaminkan aset

berupa rumah. Pihak bank menyetujui dan dana dicairkan. Selesai pinjam di

bank dan menggunakan akta perjanjian perkawinan yang kedua yang seolah-

olah pisah harta sama sekali antara suami dan istri ini. Setelah tanda tangan

kontrak dan dana dicairkan, lalu mereka ubah akta perjanjian perkawinan itu.

Dengan fasilitas kredit yang mereka ajukan, tidak harus meminta izin terlebih

dahulu dari pasangan kawinnya dalam hal menjaminkan aset yang terdaftar

nama salah satu pihak. Karena pihak ketiga mengira dari perjanjian perkawinan

yang kedua, harta si istri ini mencukupi untuk pelunasan pinjamannya, maka

jika perjanjian perkawinan itu diubah, pihak ketiga tentunya merasa dirugikan

dengan perjanjian perkawinan tersebut.

Oleh sebab itulah, keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

69/PUU-XIII/2015 yang merubah Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan perlu memperhatikan dampaknya terhadap pihak

ketiga yang tersangkut apabila ternyata perjanjian kawin yang dibuat selama

perkawinan berlangsung itu dapat merugikan pihak ketiga sendiri, lalu apa saja

solusi hukum yang bisa diterapkan dalam masalah seperti ini, dan tidak ada

16

pengaturan lebih khusus dalam pasal perjanjian perkawinan mengenai hal itu.

Sedangkan pihak ketiga akan terikat setelah perjanjian perkawinan tersebut

didaftarkan.

Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan hanya mengatur bahwa perjanjian perkawinan tidak boleh

melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Sedangkan isi dari

perjanjian yang dibuat oleh suami istri sendiri tidak dapat diketahui apakah

bisa merugikan pihak ketiga setelah perjanjian perkawinan itu didaftarkan dan

disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik

mengangkat permasalahan ini dalam melakukan penelitian tesis dengan judul :

“PERLINDUNGAN HUKUM PIHAK KETIGA DALAM PERJANJIAN

KAWIN YANG DIBUAT SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG”

II. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang diangkat dalam

penulisan tesis ini dirumuskan pada persoalan sebagai berikut :

1. Bagaimana makna pengesahan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau

Notaris terhadap perjanjian kawin yang dibuat selama perkawinan

berlangsung?

2. Bagaimana perlindungan hak bagi pihak ketiga apabila dirugikan setelah

dibuatnya perjanjian kawin dalam suatu perkawinan?

17

III. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran terdapat karya-karya ilmiah yang

dipublikasikan dan pernah diangkat sebelumnya, namun dari judul tentunya

tidak sama dengan judul yang diangkat peneliti termasuk juga rumusan

masalah sangat berbeda dengan rumusan masalah yang diangkat peneliti yaitu

sebagai berikut:

1. Zulfanovriyendi, S.H. 2008. Program Studi Magister Kenotariatan

Universitas Diponegoro Semarang. Judul : Akibat Hukum Pendaftaran

Perjanjian Perkawinan Terhadap Pihak Ketiga. Rumusan Masalah : 1.

Bagaimanakah sebuah perjanjian perkawinan dapat mengikat terhadap

pihak ketiga, 2. Apakah akibat hukumnya jika perjanjian perkawinan tidak

didaftarkan.

2. Ramadhan Wira Kusuma. 2010. Program Studi Magister Kenotariatan

Universitas Diponegoro Semarang. Judul : Pembuatan Perjanjian Kawin

Setelah Perkawinan dan Akibat Hukumnya Terhadap Pihak Ketiga (Studi

Kasus Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor.

207/Pdt.P/2005/PN.Jkt.Tmr dan Penetapan Pengadilan Negeri

Nomor.459/Pdt.P/2007/PN.Jkt.Tmr). Rumusan Masalah : 1. Apa yang

menjadi dasar dan pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur

mengabulkan permohonan Penetapan terhadap Pembuatan Perjanjian

Kawin yang dilakukan setelah perkawinan, 2. Bagaimana akibat

hukumnya Pembuatan Perjanjian Kawin setelah perkawinan yang

didasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

18

3. Marshella Laksana. 2012. Program Studi Magister Kenotariatan

Universitas Indonesia Depok. Judul : Efektivitas Perjanjian Perkawinan

Yang Tidak Didaftarkan Terhadap Pihak Ketiga. Rumusan Masalah : 1.

Bagaimana keberlakuan perjanjian perkawinan yang hanya berdasarkan

pada Surat Keterangan Dina Kependudukan, Catatan Sipil dan Tenaga

Kerja, 2. Bagaimana keabsahan akta kesepakatan jual beli tanpa

persetujuan pihak isteri yang didasarkan dari perjanjian perkawinan yang

belum didaftarkan di Kantor Catatan Sipil terhadap pihak ketiga.

4. Maharani Kartika Puji Karishma, S.H. 2011. Program Magister

Kenotariatan Universitas Indonesia Depok. Judul : Akibat Hukum

Perjanjian Kawin Yang Dibuat Setelah Perkawinan (Studi Kasus :

Penetapan Pengadilan Negeri Nomor.459/Pdt.P/2007/PN.Jkt.Tmr).

Rumusan Masalah : 1. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam

pemberian putusan terkait dalam Penetapan Pengadilan Negeri

Nomor.459/Pdt.P/2007/PN.Jkt.Tmr, 2. Bagaimanakah akibat hukum dari

perjanjian kawin tersebut bagi pasangan suami istri serta bagi pihak ketiga

setelah dikeluarkannnya Penetapan Pengadilan Negeri

Nomor.459/Pdt.P/2007/PN.Jkt.Tmr tersebut.

IV. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari

penelitian ini sebagai berikut:

19

1. Untuk menganalisis makna pengesahan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan

atau Notaris terhadap perjanjian kawin yang dibuat selama perkawinan

berlangsung.

2. Untuk menganalisis perlindungan hak bagi pihak ketiga apabila dirugikan

setelah dibuatnya perjanjian kawin dalam suatu perkawinan.

Sedangkan Kegunaan Penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis : sebagai salah satu sumbangan pemikiran untuk

perkembangan ilmu pengetahuan bagi para akademisi dan peneliti hukum

juga bagi para pihak yang terkait dalam pembuatan perjanjian kawin yang

dibuat selama perkawinan berlangsung.

2. Manfaat Praktis :

1) Untuk menambah bahan masukan referensi di dalam pengembangan

ilmu pengetahuan hukum, Perlindungan Hukum Pihak Ketiga Dalam

Perjanjian Kawin yang Dibuat Selama Perkawinan Berlangsung.

2) Untuk dijadikan bahan masukan dan acuan bagi para praktisi dan

masyarakat luas yang menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan

masalah ini.

20

V. Tinjauan Pustaka

A. Perkawinan Secara Umum

1.1 Pengertian Perkawinan

Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, perkawinan diartikan adalah

suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang

memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan hukum perkawinan.8

Secara yuridis batasan pengertian perkawinan disebutkan dalam

Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut

ketentuan ini, dikatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara

seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa“.

Dalam rumusan perkawinan itu dinyatakan dengan tegas bahwa

pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan harus didasarkan

pada agama dan kepercayaan masing-masing.”9 Oleh sebab itu, dalam Pasal 2

ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dinyatakan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Kemudian dalam Penjelasan atas Pasal 2 Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan:

8 R. Wirjono Prodjodikoro. 1991. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Bandung : Sumur

Bandung, hlm. 7. 9Riduan Syahrani. 2009. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: PT

Alumni, hlm. 63.

21

"Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu sesuai dengan

Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan

yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang

tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini."

Perkawinan merupakan perikatan suci. Perikatan tidak dapat

melepaskan dari agama yang dianut suami-istri. Perkawinan salah satu

perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk

membentuk keluarga.10

Sedangkan menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan

menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau

mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah.

1.2 Dasar dan Tujuan Perkawinan

Dasar dan tujuan perkawinan telah tercantum dalam Pasal 1 Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di mana perkawinan itu

merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai

suami istri yang tujuan dari perkawinan itu sendiri ialah membentuk keluarga

yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut K. Wantjik Saleh, perkawinan yang bertujuan untuk membentuk

keluarga yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu

haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu

saja. Pemutusan karena sebab-sebab lain dari kematian diberikan suatu

pembatasan yang ketat. Sehingga suatu pemutusan yang berbentuk

10

Rosnidar Sembiring. 2016. Hukum Keluarga: Harta-harta Benda Dalam Perkawinan.

Jakarta: Rajawali Pers, hlm.43.

22

perceraian hidup akan merupakan jalan terakhir, setelah jalan lain tidak

dapat ditempuh lagi.11

Hal ini dapat diartikan bahwa perkawinan itu tidak hanya untuk

jangka waktu yang singkat atau jangka waktu tertentu saja, akan tetapi

perkawinan sesuai tujuannya dilangsungkan untuk selamanya atau seumur

hidup. Oleh sebab itu lah dalam perkawinan terdapat prinsip mempersulit

terjadinya perceraian kecuali ada alasan-alasan tertentu didepan sidang

pengadilan.

Dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, Perkawinan bertujuan untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

1.3 Syarat Perkawinan

Untuk dapat melangsungkan perkawinan secara sah, harus dipenuhi

syarat-syarat perkawinan. Syarat-syarat perkawinan tersebut diatur dalam

Pasal 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai;

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mendapat umur

21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua;

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau

dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin

dimaksud cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan

kehendaknya;

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan

tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari

wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan

darah dalam garis keturunan ke atas selama mereka masih hidup dan

dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya;

5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang tersebut atau salah

seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka

11

Rachmadi Usman. 2006. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dam Kekeluargaan di

Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 296.

23

pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan

melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat

memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut;

6. Ketentuan tersebut diatas berlaku sepanjang hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak

menentukan lain.

Dalam Penjelasan atas Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan mempunyai

maksud agar suami isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia

dan sesuai pula dengan hak asasi manusia maka perkawinan harus disetujui

oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada

paksaan dari pihak manapun.

Selanjutnya dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan ditegaskan hal-hal berikut :

1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Ketentuan ini

diadakan untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan, dan karena

itu dipandang perlu diterangkan batas umur untuk perkawinan;

2. Dalam hal penyimpangan batas umur perkawinan, dapat meminta

dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua

orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Dengan berlakunya adanya

ketentuan ini, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang

pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang dimaksud seperti diatur

dalam KUH Perdata dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen

(Staatsblad Tahun 1933 Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku;

3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang

tua tesebut, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi batas umur

perkawinan dengan tidak mengurangi ketentuan di atas.

B. Perjanjian Secara Umum

2.1 Pengertian Perjanjian

Sumber perikatan ada dua macam yaitu yang lahir dari undang-

undang dan lahir dari perbuatan manusia. Perikatan yang lahir dari undang-

24

undang seperti alimentasi, hubungan darah yang menimbulkan kewajiban

pemberian nafkah oleh orang tua kepada anaknya atau anak kepada orang

tuanya yang tidak mampu lagi mencari nafkah. Sedangkan perikatan yang

lahir karena perbuatan manusia dibagi menjadi dua yaitu perbuatan yang

dibolehkan salah satunya adalah pembayaran tanpa terutang, wakil tanpa

kuasa, adapun perikatan yang timbul dari perbuatan yang tidak sesuai hukum

adalah perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 sampai dengan 1380 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata).12

Perjanjian merupakan sumber dari perikatan, perikatan adalah

hubungan hukum antara dua pihak didalam lapangan hukum harta kekayaan,

dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain

(debitur) berkewajiban memenuhi prestasi (Riduan Syahrani, 2004; 196).13

Berdasarkan pengertian perikatan diatas ini, dalam satu perikatan

terdapat hak disatu pihak dan kewajiban dipihak lain. Jadi, dalam perjanjian

timbal-balik dimana hak dan kewajiban disatu pihak saling berhadapan

dipihak lain terdapat dua perikatan.14

Adapun perjanjian dalam arti sempit dan arti luas yaitu dalam arti sempit

perjanjian hanya mencakup kepada hubungan dalam lapangan hukum harta

kekayaan saja sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang

Hukum Perdata, sedangkan perjanjian dalam arti luas mencakup semua

perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang dikehendaki

para pihak. Jadi, perjanjian dalam arti luas tidak hanya diatur dalam

lapangan hukum harta kekayaan saja, tetapi juga mencakup Buku I Kitab

Undang-undang Hukum Perdata seperti perjanjian kawin (J.Satrio, 1995,

28).

12

Wawan Muhwan Hariri. 2011. Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan dalam

Islam. Bandung : Pustaka Setia, hlm. 64. 13

Zakiyah. 2011. Hukum Perjanjian Teori dan Perkembangannya. Yogyakarta: Pustaka

Felicha, hlm. 5. 14

Riduan Syahrani. Op.Cit., hlm. 196.

25

Dengan demikian pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata adalah perbuatan dengan mana satu orang

atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Dalam sebuah perjanjian dikenal dengan asas kebebasan berkontrak

yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata

menyatakan bahwa “Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Artinya Buku III Kitab

Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur hukum perikatan menganut

sistem terbuka, dimana hukum perjanjian itu memberikan kebebasan yang

seluas-luasnya kepada setiap orang untuk membuat sebuah perjanjian baik

mengenai dengan siapa akan membuat perjanjian, apa saja yang akan menjadi

objek dari perjanjian, serta penyelesaian sengketa apabila terjadi dikemudian

hari, yang pada dasarnya isinya itu tidak bertentangan dengan Pasal 1337

Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu Undang-undang, kesusilaan dan

ketertiban umum.

Konsekuensi yuridis dari perjanjian yang sah adalah mengikat bagi

para pihak laksana undang-undang (Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata), disamping itu juga menjadikan para pihak wajib melaksanakannya

dengan i’tikad baik dan tidak bisa memutuskan perjanjian secara sepihak.15

Mengenai hukum perjanjian yang juga menganut asas I’tikad baik dalam

pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan

15

Abdul Ghofur Anshori. 2010. Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (konsep, regulasi,

dan implementasi). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, hlm. 8.

26

bahwa “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan i’tikad baik”. I’tikad

baik dalam pasal tersebut berarti sebuah perjanjian tanpa adanya tipu

muslihat, tanpa tipu daya. Suatu perjanjian itu harus dilaksanakan dengan

jujur, terbuka dan saling percaya.

2.2 Syarat Sah Perjanjian

Syarat-syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Syarat “sepakat dan kecakapan” merupakan syarat subyketif, yang

apabila tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan

syarat “suatu hal tertentu dan sebab yang halal” merupakan syarat obyektif,

apabila syarat obyektif ini tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum.

a) Sepakat (Toestemming)

Sepakat (Toestemming) adalah pertemuan dua kehendak yang saling

mengisi atau saling bersesuaian dengan cara dinyatakan, atau dapat dikatakan

bahwa sepakat adalah bertemunya penawaran dan penerimaan (J.Satrio,

1995;165).16

16

Zakiyah. Op.Cit., hlm. 33.

27

Dianggap tidak ada kesepakatan kalau didalamnya terdapat paksaan,

kekhilafan, maupun penipuan.17

Tiga hal tersebut dikenal dengan cacat

kehendak dalam kesepakatan, paksaan berarti kehendak yang berbentuk

karena adanya rasa takut, bisa terjadi karena adanya ancaman dari pihak lain,

kekhilafan artinya seseorang keliru mengenai orangnya atau mengenai ciri

atau hakikat bendanya namun ia telah memperoleh haknya, sedangkan

penipuan berarti sesuatu yang dilakukan dengan sengaja misalnya dengan

tipu muslihat agar pihak lain memberikan persetujuannya.

b) Kecakapan

Kecakapan terbagi dua yaitu kecakapan bertindak dan kewenangan

bertindak. Kecakapan bertindak (bersifat umum) melakukan suatu tindakan

hukum pada umumnya, seperti sehat pikiran, dewasa, tidak dilarang undang-

undang melakukan perbuatan hukum. Sedangkan kewenangan bertindak

(bersifat khusus) kewenangan untuk bertindak dalam suatu peristiwa tertentu,

mereka umumnya cakap untuk bertindak namun tidak berwenang

melaksanakan tindakan hukum secara sah dalam peristiwa tertentu.

Menurut Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tidak

cakap untuk melakukan suatu perjanjian adalah :

1. Orang-orang yang belum dewasa;

2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

3. Orang-orang yang telah ditetapkan oleh undang-undang dilarang membuat

perjanjian-perjanjian tertentu.

17

Abdul Ghofur Anshori. Op.Cit., hlm. 9.

28

c) Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu merupakan obyek dari perjanjian atau disebut

prestasi, dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata prestasi berupa :

1. memberikan sesuatu

2. berbuat sesuatu

3. tidak berbuat sesuatu

d) Suatu sebab yang halal

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan

dengan undang-undang, bertentangan dengan kesusilaan baik atau

bertentangan dengan ketertiban umum.

Sebuah perjanjian yang tidak melanggar undang-undang, kesusilaan

dan ketertiban umum seperti halnya perkawinan sesama jenis, perjanjian

membuat provokasi kerusuhan (sebagai bentuk perjanjian yang melanggar

ketertiban umum), transaksi jual beli obat-obatan terlarang, jual beli organ

tubuh, ingkar janji dalam pelaksanaan perjanjian, atau jual beli pisau yang si

penjual hanya bersedia menjual jika si pembeli mau membunuh dengan pisau

itu, dan contoh lain seperti jual beli barang dari hasil curian dimana kedua

belah pihak mengetahui asal usul barang tersebut.

29

C. Konsep Perjanjian Perkawinan

3.1 Pengertian Perjanjian Perkawinan

Perjanjian perkawinan adalah suatu jenis perjanjian. Ia merupakan

species dari genus perjanjian. Dengan demikian harus memenuhi syarat-

syarat dari genusnya dan disamping itu ia mengandung pula sesuatu unsur

yang menjadikannya sebagai species.18

Menurut Saifuddin Arief dalam bukunya Notaris Syariah Dalam

Praktik, Jilid I Hukum Keluarga Islam menyatakan bahwa yang dimaksud

perjanjian perkawinan adalah akad yang dibuat oleh pasangan calon

pengantin sebelum perkawinan dilangsungkan, yang isinya mengikat

hubungan perkawinan keduanya (pasangan pengantin).19

Perjanjian perkawinan adalah contoh dari perjanjian formil, merupakan

suatu perjanjian yang tidak hanya mensyaratkan kata sepakat saja, tetapi

juga mensyaratkan penuangan perjanjian tersebut kedalam suatu bentuk

bentuk perjanjian tertentu atau disertai dengan formalitas tertentu, selain

harus memenuhi syarat sahnya perjanjian secara umum dan juga harus

dituangkan dalam akta otentik.20

Seorang sarjana modern yang lain, Van der Pleeg memberi rumus

material yakni, “Tiap ketentuan yang mengatur kedudukan hukum harta

kekayaan antara calon suami-istri, yang timbul dari perkawinan mereka,

adalah perjanjian perkawinan (overeenkomst van huwelijksvoorwarden).21

Dalam Peraturan Pelaksanaan Nomor 9 Tahun 1975 tidak mengatur

lebih lanjut bagaimana perjanjian perkawinan dimaksud hanya disebutkan

18

Rosnidar Sembiring. Op.Cit., hlm.64. 19

Mardani. 2016. Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenadamedia

Group, hlm. 82. 20

Zakiyah. Op.Cit., hlm. 12. 21

Rosnidar Sembiring. Op.Cit., hlm.66.

30

bahwa kalau ada perjanjian perkawinan harus dimuat didalam Akta

Perkawinan.22

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, campur kekayaan

suami dan istri hanya dapat dihindarkan apabila sebelum perkawinan mereka

mengadakan perjanjian perkawinan. Isi dari perjanjian perkawinan itu dapat

berupa campur keuntungan dan kerugian serta campur bunga dan hasil

kekayaan.23

Berdasarkan Pasal 151 Kitab Undang-undang Hukum Perdata seorang

anak belum dewasa yang dianggap cakap membuat perjanjian kawin dengan

syarat sudah cakap untuk melangsungkan perkawinan dan harus dibuat

dengan bantuan atau didampingi oleh orang yang seharusnya berwenang

untuk memberikan izin pembuatan tersebut. Sedangkan orang tua atau wali

hanya memberikan izin baik tertulis maupun ikut hadir dan menandatangani

akta perjanjian kawin tersebut.24

Pada umumnya perjanjian kawin dibuat :25

1. Bilamana terdapat sejumlah kekayaan yang lebih besar pada salah satu

pihak dari pihak lain;

2. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (inbreng) yang

cukup besar;

22

K. Wantjik Saleh. cet. IV, 1976. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta : Ghalia

Indonesia, hlm. 32. 23

Mr Wirjono Prodjodikoro. Cetakan Kedua. Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung :

Vorkink-Van Hoeve, hlm. 95. 24

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan. 2008. Hukum Orang dan Keluarga

(Personen En Familie-Recht). Surabaya : Airlangga University Press, hlm. 75. 25

Rosnidar Sembiring. Op.Cit., hlm.73.

31

3. Masing-masing mempunyai usaha sendiri, apabila salah satu jatuh pailit

yang lain tidak tersangkut;

4. Atas utang mereka yang dibuat sebelum kawin, masing-masing akan

bertanggung jawab sendiri-sendiri.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata perjanjian perkawinan

diatur Pasal 139 menyatakan bahwa :

Dengan mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami istri adalah

berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang

sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata

susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala

ketentuan dibawah ini.

Selanjutnya perjanjian perkawinan diatur dalam Bab V Pasal 29

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut :

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas

persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan

oleh Pegawai pencatat perkawinan,setelah mana isinya berlaku juga

terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas

hukum, agama dan kesusilaan.

(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,

kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan

perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Maksud dari 139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, bahwa kedua

calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari

peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan dengan adanya

perjanjian kawin ialah untuk menghindari pencampuran harta perkawinan

secara bulat, karena dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata prinsipnya

apabila terjadi perkawinan maka harta menjadi persatuan bulat maka kedua

32

belah pihak (suami dan istri) dapat menyimpangi dengan mengadakan

perjanjian kawin.

Dalam Pasal 139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pasal 29

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga menyatakan

bahwa sebuah perjanjian kawin tidak boleh melanggar batas hukum, agama

dan kesusilaan, sebagai contohnya perjanjian kawin yang berisi tentang

keharusan suami untuk menikahi saudara kandung istri, atau perjanjian kawin

yang memuat ketentuan bahwa istri kehilangan haknya untuk melepas atau

menolak hak bagian atas harta persatuan, serta perjanjian kawin yang memuat

apabila mendapatkan harta bersama mereka (suami dan istri) atau salah satu

pihak misal suami akan membuka perjudian.

Selain itu perjanjian perkawinan juga diatur dalam Bab VII Pasal 45

sampai dengan Pasal 52 Kompilasi Hukum Islam, yaitu :

Pasal 45

Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan

dalam bentuk :

1. Taklik talak, dan

2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Pasal 46

(1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan denga hukum Islam.

(2) Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi

kemudian, tidak dengan sendirinya jatuh talak. Supaya talak sungguh-

sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan

Agama.

(3) Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap

perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak

dapat dicabut kembali.

33

Pasal 47

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dialngsungkan kedua calon

mempelai dapat membuat kedua calon mempelai dapat membuat

perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai

kedudukan harta dalam perkawinan.

(2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi pencampuran harta

pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal

itu tidak bertentangan dengan Islam.

(3) Disamping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) diatas, boleh juga isi

perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk

mengadakanikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau

harta syarikat.

Dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 47 menyatakan bahwa perjanjian

kawin bisa dalam bentuk taklik talak dan perjanjian lainnya asalkan tidak

bertentangan dengan hukum islam. Yang dimaksud taklik talak dijelaskan dalam

Pasal 1 Ketentuan umum Kompilasi Hukum Islam adalah perjanjian yang

diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta

Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang

mungkin terjadi dimasa yang akan datang.

Taklik talak bukanlah suatu yang diwajibkan dalam suatu prosesi

pernikahan, taklik talak ini untuk memberikan perlindungan kepada

pihak isteri, karena dikhawatirkan ada pihak suami yang menelantarkan

isterinya, sehingga pelanggaran taklik talak ini dapat dijadikan alasan

oleh para isteri untuk menggugat cerai suaminya jika dia tidak berkenan

diperlakukan seperti itu.26

Jika suami dan istri ingin melakukan perjanjian lain yang tidak

bertentangan dengan harta kekayaan, maka hal ini diperbolehkan oleh

Kompilasi Hukum Islam asalkan tidak bertentangan dengan hukum

Islam. Misalnya perjanjian yang dibuat oleh suami istri bertujuan untuk

memperoleh keturunan dari wanita lain. Kemudian setelah anak itu

dilahirkan wanita yang menjadi istri kedua tersebut diceraikan maka

26

Aulia Muthiah. 2017. Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga. Yogyakarta :

Pustaka Baru Press, hlm. 100.

34

perjanjian seperti ini dilarang karena telah melakukan kedzaliman

terhadap istri kedua.27

Contoh perjanjian kawin yang melanggar hukum islam dalam Kompilasi

Hukum Islam seperti tidak ada hak waris mewaris antara suami dan istri, dalam

perkawinan si istri tidak akan kawin lagi, jika akad nikah sudah dilangsungkan

agar masing-maasing pindah agama, tidak boleh berkunjung kepada kedua orang

tua dan harus mau makan daging babi.

3.2 Bentuk Perjanjian Perkawinan

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

perjanjian perkawinan ditetapkan dalam bentuk tertulis, disini tidak

dipersyaratkan dengan akta notarial, artinya tidak harus dibuat secara notarial,

cukup dibawah tangan saja dengan ditandatangani oleh suami istri yang

mengadakan perjanjina perkawinan.28

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata mensyaratkan

perjanjian perkawinan harus dibuat secara notarial, termasuk perubahannya,

kalau tidak maka perjanjian perkawinannya akan diancam batal demi hukum.

Dalam Pasal 147 Kitab Undang-undang Hukum Perdata antara lain

dinyatakan bahwa atas ancaman kebatalan, setiap perjanjian perkawinan

harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 148 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata antara lain menyatakan bahwa segala perubahan dalam perjanjian

27

Aulia Muthiah. Op.Cit., hlm.102. 28

Rachmadi Usman. Op. Cit., hlm. 287.

35

perkawinan tidak dapat diselenggarakan dengan cara lain, melainkan dengan

akta dan dalam bentuk yang sama seperti perjanjian kawin yang dulu

dibuatnya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan dalam Pasal 47 ayat

(1) bahwa kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis mengenai

kedudukan harta dalam perkawinan, artinya perjanjian kawin menurut

Kompilasi Hukum Islam seperti halnya Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, tidak harus dibuat dalam bentuk akta notaris, tetapi

bisa dibuat dibawah tangan saja yang kemudian perjanjian kawin itu akan

disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Pada umumnya dalam perjanjian perkawinan mengatur pemisahan

harta perkawinan, persatuan untung rugi, dan persatuan hasil dan pendapatan,

yang perinciannya sebagai berikut :29

a. Pemisahan harta perkawinan.

Apabila sebelum perkawinan suami-istri tidak membuat perjanjian kawin,

maka secara hukum terjadi persatuan bulat. Artinya akibat hukum dan

konsekuensi masuknya harta yang dibawa oleh suami dan istri menjadi

satu dalam harta kekayaan perkawinan. Kedua belah pihak harus

menyatakan dengan tegas bahwa antara mereka tidak ada persatuan harta

dan tidak menghendaki terjadinya persatuan harta dalam bentuk lain,

misalnya persatuan untung dan rugi atau persatuan hasil dan pendapatan.

Menurut Pasal 144 Kitab Undang-unndag Hukum Perdata dikatakan

bahwa “ketiadaan persatuan harta kekayaan tidak berarti tak adanya

persatuan untung dan rugi, kecuali jika inipun kiranya dengan tegas

ditiadakan”.

29

J. Andy Hartanto. 2017. Hukum Harta Kekayaan Perkawinan Menurut Burgerlijk

Wetboek dan Undang-undang Hukum Perkawinan. Yogyakarta : Laksbang Pressindo, hlm. 51-57.

36

Apabila perjanjian kawin berisi pemisahan harta perkawinan, maka

masing-masing pihak (suami istri) tetap menjadi pemilik dari barang-

barang yang mereka bawa kedalam perkawinan, begitu juga dengan tidak

adanya persatuan untung dan rugi maka hasil yang diperoleh baik hasil

usaha maupun hasil yang diperoleh dari harta pribadi tetap menjadi milik

masing-masing. Dengan terjadinya pemisahan harta maka dalam

perkawinan tersebut terdapat dua harta yaitu harta pribadi suami dan harta

pribadi istri.

b. Persatuan untung rugi.

Dengan terjadinya persatuan untung dan rugi maka semua keuntungan dan

kerugian yang diperoleh sepanjang perkawinan akan menjadi hak dan

tanggungan suami-istri secara bersama-sama serta menjadi bagian beban

suami-istri menurut perbandingan yang sama besarnya. Apabila dalam

perjanjian kawin ditentukan adanya persatuan untung rugi, maka terhadap

harta yang berupa barang bergerak harus dicatat dalam akta perjanjian

kawin tersebut.

Pembagian dari pencampuran untung rugi biasanya dilaksanakan dalam

dua bagian yang sama besarnya, kecuali mengenai pembagian ini dalam

perjanjian kawin ditentukan lain (Pasal 156 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata).

c. Persatuan hasil dan pendapatan.

Ketentuan mengenai persatuan hasil dan pendapatan, yaitu Pasal 164

Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan “Perjanjian,

bahwa antara suami-istri hanya akan berlaku persatuan hasil dan

pendapatan, berarti secara diam-diam suatu ketiadaan persatuan harta

kekayaan seluruhnya menurut undang-undang, dan ketiadaaan persatuan

untung dan rugi”.

Maksud pasal diatas ialah persatuan hasil dan pendapatan adalah bentuk

lain dari macam harta perkawinan yang tidak berupa pemisahan harta

secara keseluruhan dan bukan pula persatuan untung dan rugi. Persatuan

hasil dan pendapatan prinsipnya hampir sama dengan persatuan untung

rugi, hanya saja bentuk persatuan ini dilakukan dengan pembatasan bahwa

hutang-hutang yang melebihi aktiva persatuan hasil dan pendapatan akan

menjadi tanggungan si pembuat hutang tersebut.

37

Dengan demikian semua hutang-hutang ada diluar persatuan atau dengan

perkataan lain hutang-hutang tersebut akan menjadi kewajiban/tanggungan

pribadi dari pihak yang berhutang tersebut kepada pihak ketiga (kreditur).

Selain macam perjanjian perkawinan diatas, perjanjian perkawinan

juga bisa terkait dengan pewarisan, yang berisi masalah pisah harta apabila

salah satu meninggal dunia maka harta peninggalan tidak perlu lagi dibagi

dua dengan pasangan kawinnya, tetapi keseluruhan harta warisan dapat

langsung dibagi kepada ahli waris. Adanya perjanjian perkawinan mengenai

pewarisan tidak menyebabkan hilangnya hak pasangan untuk mewaris.

3.3 Isi Perjanjian Perkawinan

Hal-hal apa saja yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian

perkawinan tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Kedua belah pihak (suami-istri) secara bersama-sama bebas

menentukan isi perjanjian perkawinannya asalkan perjanjiannya tidak

melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan. Perjanjian perkawinan

ada yang mengatur adanya ketentuan pengaturan harta dan ada pula

perjanjian perkawinan dengan pisah harta.30

Didalam peraturan pelaksananya sendiri, yaitu dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sepanjang mengenai

perjanjian perkawinan ini tidak mengatur lebih lanjut tentang

pembatasan-pembatasan apa saja yang dapat diperjanjikan, apakah

mengenai harta benda misalnya, maka yang dapat ditafsirkan banyak

berbagai hal.31

30

Rosnidar Sembiring. Op.Cit., hlm.69. 31

Soedharyo Soimin. 2004. Hukum Orang dan Keluarga : Perspektif Hukum Perdata/BW,

Hukum Islam, dan Hukum Adat. Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 20.

38

Perjanjian mengenai kedudukan harta dalam perkawinan tersebut

dapat meliputi hal-hal sebagai berikut :32

1. Perjanjian percampuran harta pribadi. Perjanjian ini dapat meliputi semua

harta, baik yang dibawa masing-masing kedalam perkawinan maupun

yang diperoleh masing-masing selama perkawinan. Dapat juga

diperjanjikan bahwa pencampuran harta pribadi tersebut hanya terbatas

pada diri pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan,

sehingga pencampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh

selama atau sebaliknya;

2. Pemisahan harta pencaharian masing-masing;

3. Perjanjian mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat yang

dibuat, tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi

kebutuhan rumah tangga. Apabila dibuat perjanjian perkawinan yang tidak

memenuhi ketentuan tersebut, maka dianggap tetap terjadi pemisahan

harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung

biaya kebutuhan rumah tangga;

4. Disamping itu, boleh juga isi perjanjian pencampuran harta pribadi dan

pemisahan harta pencaharian masing-masing itu menetapkan kewenangan

masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan

harta bersama atau harta syarikat.

Sebagai akibatnya perjanjian perkawinan mengenai harta itu,

mengikat kepada para pihak suami istri dan pihak ketiga serta hanya dapat

32

Rachmadi Usman. Op.Cit., hlm. 289.

39

dicabut atas persetujuan bersama suami istri serta wajib mendaftarkan di

Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan. Sejak

pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat suami istri, tetapi terhadap

pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu

diumumkan oleh suami istri dalam suatu surat kabar setempat. Apabila

pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan dalam tempo 6 (enam)

bulan, maka pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak

mengikat kepada pihak ketiga. Perlu diperhatikan pencabutan perjanjian

perkawinan mengenai harta itu tidak boleh merugikan perjanjian yang telah

diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga. Pelanggaran atas perjanjian

perkawinan, baik berupa taklik talak maupun perjanjian lainnya, memberi hak

kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai

alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.33

Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga membatasi dengan

melarang hal-hal tertentu untuk dimuat didalam perjanjian perkawinannya.

Hal-hal yang dilarang dimuat didalam perjanjian tersebut meliputi :34

1. Sebagaimana ketentuan Pasal 139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,

bahwa perjanjian perkawinan yang diadakan tidak boleh berlawanan atau

melanggar hukum, ketertiban umum, atau kesusilaan; calon suami-istri

dapat saja mengadakan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-

undangan sekitar persatuan harta kekayaan sepanjang perjanjiannya

tersebut tidak menyalahi kesusilaan atau ketertiban umum serta

33

Ibid, hlm. 289-290. 34

Rachmadi Usman. Op.Cit., hlm.287-288.

40

mengindahkan pula segala ketentuan yang diatur didalam Kitab Undang-

undang Hukum Perdata.

2. Didalam perjanjian perkawinannya :

a. Tidak boleh mengurangi segala hak yang disandarkan pada kekuasaan

si suami sebagai kepala rumah tangga;

b. Tidak boleh mengurangi kekuasaan suami terhadap anak pada saat

perpisahan meja dan ranjang;

c. Tidak boleh mengurangi hak-hak yang diberikan undang-undang

kepada suami-istri yang hidup terlama;

d. Tidak boleh mengurangi hak-hak yang dilimpahkan kepada suami

sebagai kepala keluarga (Pasal 140 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata);

3. Tidak diperbolehkan mengadakan perjanjian yang melepaskan hak-hak

yang diberikan undang-undang kepada suami istri atas harta peninggalan

keluarga sedarah dalam garis kebawah, termasuk tidak boleh mengatur

harta peninggalan itu (Pasal 141 Kitab Undang-undang Hukum Perdata);

4. Tidak diperbolehkan memperjanjikan bahwa sesuatu pihak harus

membayar sebagian utang yang lain yang lebih besar daripada

keuntungannya (Pasal 142 Kitab Undang-undang Hukum Perdata);

5. Tidak boleh diperjanjikan dengan kata-kata sepintas lalu atau umum

memperjanjikan bahwa ikatan perkawinan mereka akan diatur oleh

undang-undang luar negeri, adat kebiasaan, peraturan daerah (Pasal 143

Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

41

Perjanjian pernikahan dalam pembahasan Kompilasi Hukum Islam

berkaitan dengan harta kekayaan, baik harta kekayaan yang didapat sebelum

perkawinan (harta bawaan) maupun harta kekayaan yang didapat sesudah

perkawinan.35

Dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 52 Kompilasi Hukum Islam,

menjelaskan hal-hal mengenai apa saja yang diperjanjikan dalam perjanjian

kawin, sebagai berikut

Pasal 48

(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama

atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan

kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan

tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama

atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya

kebutuhan rumah tangga.

Pasal 49

(1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik

yang dibawa masing-masing kedalam perkawinan maupun yang

diperoleh masing-masing selama perkawinan.

(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga

diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat

perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi

harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.

Pasal 50

(1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan

pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan

dihadapan Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan

bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai

Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan.

(3) Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami

isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak

35

Aulia Muthiah. Loc.cit.

42

tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam suatu surat kabar

setempat.

(4) Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan

yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur

dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.

(5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh

merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak

ketiga.

Pasal 51

Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada isteri untuk

meminta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan

perceraian ke Pengadilan Agama.

Pasal 52

Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan

keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya

rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu.

3.4 Harta Dalam Perkawinan

Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang

diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan

perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa

mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun.36

Harta perkawinan mencakup (Soekanto : 1954) :37

1. Harta suami atau istri yang diperoleh sebelum perkawinan atau sebagi

warisan (=gawan atau harta asal),

36

Mardani. Op.Cit., hlm. 121. 37

Soerjono Soekanto. 1992. Intisari Hukum Keluarga. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,

hlm. 61-62.

43

2. Harta suami atau istri yang didapatkan atas hasil usahanya sebelum atau

semassa perkawinan (=harta pembujangan atau harta penantian),

3. Hartayang diperoleh suami dan istri bersama-sama selam perkawinan

(=gono-gini),

4. Harta yang diberikan kepada mempelai ketika menikah.

Harta bawaan adalah harta yang dikuasai masing-masing oleh suami

atau istri sebagai pemiliknya, dimana mereka masing-masing berhak

sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta tersebut.

Harta pribadi meliputi :38

a. Harta yang dibawa masing-masing suami-istri ke dalam perkawinan

termasuk utang yang belum dilunasi sebelum perkawinan dilangsungkan;

b. Harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau pemberian dari pihak lain

kecuali ditentukan lain;

c. Harta yang diperoleh suami atau istri karena warisan kecuali ditentukan

lainnya;

d. Hasil-hasil dari harta milik pribadi suami-istri sepanjang perkawinan

berlangsung termasuk utang yang timbul akibat pengurusan harta milik

pribadi tersebut.

Dalam Pasal 119 Kitab Undang-undang Hukum Perdata diatur

mengenai persatuan harta kekayaan yang menyatakan sebagai berikut :

“Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan

bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan

perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain.

38

Rosnidar Sembiring. Op.Cit., hlm.105.

44

Persatuan itu sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan atau diubah

dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri.”

Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, harta benda dalam perkawinan tercantum pada Bab VII Pasal 35

sampai dengan Pasal 37 sebagai berikut :

Pasal 35

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah

penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menetukan lain.

Pasal 36

(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas

persetujuan kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai

hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta

bendanya.

Pasal 37

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut

hukumnya masing-masing.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pengaturan mengenai harta kekayaan

dalam perkawinan tercantum dalam Bab XIII Pasal 85 sampai dengan Pasal

97 sebagai berikut :

Pasal 85

Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup

kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.

Pasal 86

45

(1) Pada dasarnya tidak ada pencampuran antara harta suami dan harta isteri

karena perkawinan.

(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya,

demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh

olehnya.

Pasal 87

(1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh

masing-masing sebagai hadiah atatu warisan adalah dibawah

penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain

dalam perjanjian perkawinan.

(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan

perbuatan hukum atas harta msing-masing berupa hibah, hadiah,

sodaqah atau lainnya.

Pasal 88

Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama,

maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.

Pasal 89

Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun

harta sendiri.

Pasal 90

Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta

suami yang ada padanya.

Pasal 91

(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 diatas dapat berupa

benda berwujud atau tidak berwujud.

(2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak,

benda bergerak dan surat-surat berharga.

(3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun

kewajiban.

(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu

pihak atas persetujuan pihak lainnya.

Pasal 92

46

Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual

atau memindahkan harta bersama.

Pasal 93

1. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada

hartanya masing-masing.

2. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan

keluarga, dibebankan kepada harta bersama.

3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.

4. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta

isteri.

Mengenai harta bawaan atau harta pribadi masing-masing suami dan istri,

mereka mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap

harta bawaan tersebut tanpa adanya persetujuan dari pihak lawan kawinnya.

Sedangkan Harta bersama adalah harta yang diperoleh oleh suami dan istri

sepanjang perkawinan itu berlangsung sampai putusnya perkawinan diluar

warisan.

Asas sifat dan kebersamaan harta perkawinan dalam Pasal 119 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata, yang pada pokoknya menyatakan apabila tidak

dibuat perjanjian kawin oleh calon suami istri sebelum perkawinan

dilangsungkan, maka akan terjadi apa yang dinamakan “Kebersamaan Harta

Kekayaan” antara suami istri itu karena undang-undang.39

Calon suami istri dapat mengadakan penyimpangan-penyimpangan atas

ketentuan-ketentuan yang mengatur kebersamaan harta kekayaan dengan

membuat perjanjian kawin, sebelum perkawinan dilangsungkan. Pasal 139 Kitab

39

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan. Op.Cit., hlm. 53.

47

Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa calon suami istri dengan

perjanjian kawin dapat “membatasi” atau “meniadakan”.40

Harta bersama meliputi :41

a. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung;

b. Harta yang diperoleh sebagai hadiah, pemberian atau warisan apabila tidak

ditentukan demikian;

c. Utang-utang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang

merupakan harta pribadi masing-masing suami-istri.

Mengenai harta bersama antara suami dan istri apabila ingin melakukan

perbuatan hukum terhadap harta bersama tersebut maka harus dengan persetujuan

kedua belah pihak.

3.5 Pihak Ketiga Dalam Perjanjian Perkawinan

Pihak ketiga disini yang dimaksudkan dalam perjanjian kawin yang

tidak boleh dirugikan adalah orang lain diluar kedua belah pihak (suami dan

istri) yang tersangkut dalam perjanjian kawin seperti halnya kreditur yang

telah mengadakan perjanjian dengan salah satu pihak antara suami atau istri.

Dimana perjanjian kawin itu mengenai harta kekayaan dalam perkawinan.

Akibat hukum perjanjian kawin terhadap pihak ketiga dapat dijelaskan

dengan ilustrasi sebagai berikut, pasangan suami istri menikah pada

bulan Oktober 2010 dengan tidak membuat perjanjian pisah harta,

sehingga terjadi pencampuran harta (Pasal 119 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata). Dengan demikian untuk tindakan hukum masing-

masing pasangan suami istri tersebut harus mendapat persetujuan dari

kawan kawinnya. Apabila ada sertifikat atas nama suami yang hendak

40

Ibid. 41

Rosnidar Sembiring. Op.Cit., hlm.92.

48

dialihkan (dijual) atau dijaminkan, maka persetujuan istri mutlak

diperlukan. Persetujuan itu dapat dilakukan baik dengan akta notariil

maupun akta dibawah tangan yang dilegalisasi notaris. Apabila pada

tahun 2013 pasangan suami istri ini minta dibuatkan akta perjanjian

perkawinan mengenai pisah harta, dimana masing-masing pihak baik

suami atau istri berwenang untuk melakukan kegiatan hukum seorang

diri, maka tentunya akan timbul masalah dengan akta-akta yang telah

dibuat mereka sebelum tahun 2013.42

Untuk mengikatnya pihak ketiga perjanjian perkawinan harus

disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan di Kantor Urusan Agama atau

Kantor Catatan Sipil sesuai Undang-Undang 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata menyatakan untuk mengikatnya pihak ketiga maka perjanjian

perkawinan harus didaftarkan dalam register umum Kepaniteraan Pengadilan

Negeri setempat.

Perjanjian perkawinan tidak hanya mengatur mengenai harta kekayaan

dalam perkawinan saja, perjanjian kawin juga bisa mengatur hal lain diluar

harta kekayaan. Namun, perjanjian seperti apakah yang bisa melibatkan pihak

ketiga dalam perjanjian tersebut. Dalam Pasal 152 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata menerangkan bahwa perjanjian perkawinan yang

mengandung penyimpangan dari persatuan menurut undang-undang

seluruhnya atau sebagian, tidak akan berlaku bagi pihak ketiga sebelum

didaftarkan. Dan dalam Pasal 50 Kompilasi Hukum Islam bahwa perjanjian

kawin mengenai harta mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung

mulai tanggal dilangsungkan perkawinan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah.

42

Dhyah Madya Ruth SN. 2016. Perjanjian Perkawinan.

http://www.indonesianotarycommunity.com. Diakses pada tanggal 22 Maret 2017.

49

Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan

perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga. Namun

dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak

dijelaskan perjanjian seperti apa yang dapat mengikat pihak ketiga, Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya menjelaskan kedua

belah pihak dapat mengadakan persetujuan tertulis, setelah disahkan maka

isinya berlaku bagi pihak ketiga yang tersangkut.

3.6 Pengesahan Perjanjian Perkawinan

Pengesahan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses,

cara, perbuatan mengesahkan, pengakuan berdasarkan hukum, peresmian,

pembenaran.

Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menyebutkan bahwa “Pada waktu atau sebelum perkawinan

dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan

perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah

mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga

tersangkut”.

Dalam Pasal 47 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa “pada

waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat

membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah (pada

Kantor Urusan Agama saja) mengenai kedudukan harta dalam perkawinan”.

50

Pengesahan perjanjian perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan

dapat dilakukan di Kantor Urusan Agama (bagi yang beragama Islam) dan

Kantor Catatan Sipil (bagi yang non muslim).

Sedangkan Putusan Mahkamah Konstitusi menambahkan perubahan

baru mengenai pengesahan perjanjian perkawinan, pengesahan perjanjian

perkawinan tidak hanya dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan tetapi

juga bisa disahkan oleh Notaris.

3.7 Pendaftaran Perjanjian Perkawinan

Pendaftaran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah proses,

cara, perbuatan mendaftarkan, dengan kata lain pencatatan nama, alamat, dan

sebagainya dalam daftar.

Pendaftaran perjanjian perkawina hanya dikenal dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 dan Kompilasi Hukum Islam tidak mengenal istilah pendaftaran

perjanjian perkawinan. Akan tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam hanya

mengatur pendaftaran mengenai pencabutan perjanjian perkawinan, pada

Pasal 50 ayat (2), (3) dan (4) perjanjian perkawinan dapat dicabut dan wajib

mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah (Kantor urusan Agama),

sejak pendaftaran tersebut pencabutan mengikat kepada suami isteri tetapi

juga terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal

pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam suatu surat kabar setempat.

51

Dan dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan, pendaftaran

pencabutan gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.

Dalam Pasal 147 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata sejak

berlangsungnya perkawinan, maka sejak saat itu berlakulah perjanjian kawin

antara kedua belah pihak suami dan istri. Sedangkan terikatnya pihak ketiga

dijelaskan dalam Pasal 152 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang

menyatakan bahwa ketentuan yang tercantum dalam perjanjian perkawinan,

tidak akan berlaku bagi pihak ketiga, sebelum hari ketentuan-ketentuan itu

dibukukan dalam suatu register umum, yang harus diselengarakan untuk itu

di kepaniteraan pada Pengadilan Negeri dalam daerah hukum perkawinan itu

dilangsungkan atau jika perkawinan berlangsung diluar negeri, di

kepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukan.

Salah satu syarat agar pihak ketiga terikat terhadap suatu perjanjian

kawin maka perjanjian perkawinan tersebut harus didaftarkan pada register

umum di kepaniteraan pengadilan, sehingga dapat diketahui oleh publik.43

Namun tentunya isi dari perjanjian kawin itu sendiri tidak boleh merugikan

perjanjian sebelumnya dengan pihak ketiga.

Dengan demikian, akibat dari adanya perjanjian perkawinan yang

didaftarkan maka pihak ketiga terikat dengan isi perjanjian perkawinan itu,

namun apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan maka hanya akan

berlaku dan mengikat kedua belah pihak saja. Anggapan tidak tahunya pihak

ketiga tentang ada perjanjian perkawinan hanya dapat diberikan pada pihak

43

J. Andy Hartanto. Op.Cit., hlm.63.

52

ketiga yang memang tidak mengetahui bahwa suami istri telah membuat

perjanjian perkawinan dan mereka belum mendaftarkannya.

Jadi, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, untuk

mengikatnya pihak lain diluar suami istri sepanjang pihak lain tersangkut,

maka perjanjian perkawinan itu harus didaftarkan (dibukukan) dalam register

umum di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tempat perkawinan itu

dilangsungkan. Jika tidak didaftarkan maka tidak dapat mengikat pihak lain

hanya berlaku secara internal bagi suami dan istri.

3.8 Asas Publisitas Dalam Perjanjian Perkawinan

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

tidak ada ketentuan bahwa perjanjian perkawinan harus didaftarkan pada

register umum di kepaniteraan pengadilan tetapi cukup disahkan oleh

pegawai pencatat nikah. Hal ini tentunya akan menyulitkan pihak ketiga

untuk mengetahui ada tidaknya perjanjian perkawinan diantara suami-istri

jika tidak dicatatkan register umum di kepaniteraan pengadilan.44

Sementara

pengesahan dari pegawai pencatat nikah bukan merupakan pengumuman

adanya perjanjian perkawinan. Tindakan pengesahan oleh pegawai pencatat

nikah hanya bersifat melegitimasi perjanjian kawin dengan melibatkan

petugas pencatat nikah sebagai wakil dari instansi pencatat perkawinan baik

44

Ibid.

53

Kantor Urusan Agama (bagi mereka yang beragama Islam) maupun Kantor

Catatan Sipil (bagi mereka yang beragama selain Islam).45

Tujuan pendaftaran tersebut adalah untuk memenuhi asas publisitas

karena menyangkut harta kekayaan perkawinan yang harus diketahui oleh

pihak ketiga. Apabila tidak didaftarkan, maka perjanjian perkawinan tersebut

tidak berlaku bagi pihak ketiga, dalam arti pihak ketiga dapat menganggap

tidak ada perjanjian kawin antara suami-istri bersangkutan.46

Dalam Perjanjian yang harus diumumkan itu seperti perubahan

perjanjian perkawinan karena adanya perjanjian perkawinan yang baru,

terhadap perjanjian perkawinan yang lama dilakukan pencabutan dan tidak

berlaku lagi. Perubahan perjanjian perkawinan ini berlaku bagi pihak lain

setelah aktanya didaftarkan kemudian diumumkan dalam surat kabar

setempat agar pihak lain yang tersangkut bisa mengetahui.

Dalam Pasal 50 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan mengenai

pencabutan perjanjian kawin mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap

pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu

diumumkan suami isteri dalam suatu surat kabar setempat. Dan dalam tempo

6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan, pendaftaran pencabutan gugur

dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.

Jadi, tujuan dari adanya asas publisitas dalam perjanjian perkawinan

adalah supaya pihak ketiga (diluar suami dan istri) mengetahui dan tunduk

45

Ibid. 46

Ibid, hlm.64.

54

pada aturan dalam perjanjian perkawinan yang telah dibuat oleh suami istri.47

Yang dimaksud asas publisitas disini bukan hanya pengumuman sebagaimana

tercantum dalam Pasal 50 Kompilasi Hukum Islam tetapi juga pendaftaran

atas perjanjian perkawinan yang dibuat kedua belah pihak (suami istri).

D. Definisi Perlindungan Hukum

Beberapa ahli untuk mengungkapkan pendapatnya mengenai

pengertian dari perlindungan hukum diantaranya:48

1. Menurut Satjipto Raharjo mendefinisikan Perlindungan Hukum adalah

memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang

lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka

dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.

2. Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa Perlindungan Hukum

adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap

hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan

ketentuan hukum dari kesewenangan.

3. Menurut CST Kansil Perlindungan Hukum adalah berbagai upaya hukum

yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa

aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai

ancaman dari pihak manapun.

47

Irma Devita Purnamasari. 2013. Sahkah Perjanjian Kawin Yang Tak Didaftarkan ke

Pengadilan. http://m.hukumonline.com. Diakses pada tanggal 22 Maret 2017. 48

ˍˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2014. Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli.

http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/. Diakses pada tanggal

10 Maret 2017.

55

4. Menurut Philipus M. Hadjon Perlindungan Hukum adalah Sebagai

kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari

hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan

perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang

mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.

5. Menurut Muktie, A. Fadjar Perlindungan Hukum adalah penyempitan arti

dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja.

Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak

dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek

hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya.

Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk

melakukan suatu tindakan hukum.

Jadi, Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang

diberikan terhadap subyek hukun dalam bentuk perangkat hukum baik yang

bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun

tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran

dari fungsi hukum., yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu

keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.49

49 Prasko. 2011. Definisi Pengertian Perlindungan Hukum.

http://prasko17.blogspot.co.id/2011/02/definisi-pengertian-perlindungan-hukum.html. Diakses

pada tanggal 10 Maret 2017.

56

VI. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

hukum normatif, yaitu suatu jenis penelitian hukum yang diperoleh dari studi

kepustakaan, dengan menganalisis suatu permasalahan hukum melalui

peraturan perundang-undangan, literatur-literatur dan bahan-bahan referensi

lainnya yang berhubungan dengan permasalahan.

2. Jenis Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian terhadap

kekosongan hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku, yaitu penelitian terhadap peraturan yang menjadi dasar hukum

dimana tidak adanya aturan yang mengatur mengenai permasalahan yang

diangkat.

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan perundang-undangan (statute aproach) yang merupakan suatu

penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-

undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang

menjadi tema suatu penelitian, selain itu penulis juga menggunakan

pendekatan kasus (case approach) untuk menelaah pada kasus-kasus yang

berkaitan dengan penelitian.

57

4. Jenis Bahan Hukum

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini ada 3 (tiga) yaitu :

1) Bahan hukum primer yang terdiri dari :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019).

c. Kompilasi Hukum Islam (Intruksi Presiden Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991).

d. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 69/PUU-XIII/2015.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder berupa karya-karya ilmiah buah fikiran para

pakar hukum baik dalam bentuk Literatur-literatur, jurnal hukum, hasil

penelitian, bahan seminar, artikel-artikel hukum ataupun bentuk karya-

karya ilmiah lainnya termasuk yang dipublikasikan dalam internet yang

berkaitan dengan pokok permasalahan dalam penulisan ini.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier yang terdiri dari kamus hukum, kamus bahasa

Indonesia, dan ensiklopedi yang ada relevansinya dengan pokok

bahasan dalam penelitian ini.

58

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Dalam penelitian ini peneliti mengolah dan menganalisis bahan

hukum dengan langkah berpikir sistematis, dimana bahan hukum primer

dianalisis dengan langkah-langkah normatif dan dilanjutkan dengan

pembahasan secara deskriftif analitik, terhadap bahan hukum sekunder

dilakukan dengan penelaahan dengan mengacu terhadap pokok bahasan

permasalahan. Bahan hukum tersier dilakukan penelaahan dengan mengacu

kepada petunjuk yang mampu menjelaskan tentang istilah-istilah.

Bahan-bahan hukum tersebut kemudian diolah dan dibahas dengan

metode analisis isi (content analysis) yaitu menelaah peraturan perundang-

undangan dimaksud.

VII. Pertanggungjawaban Sistematika Penulisan

Dalam penulisan tesis ini, penulis membagi penelitian kedalam 4

(empat) bab, yang mana setiap bab terdiri dari sub-sub bab guna memberi

penjelasan yang sistematis dan efektif.

Pada Bab I penulis memulainya dengan PENDAHULUAN, di

dalam pendahuluan terdapat latar belakang masalah mengapa penulis

mengangkat judul tesis ini, rumusan masalah guna membatasi permasalahan

agar tidak melebar, tujuan penulisan yang ingin dicapai, metode yang

penulis gunakan dalam meneliti didalamnya terdapat penjelasan mengenai

jenis penelitian, tipe penelitian, pendekatan, dan bahan hukum. Kemudian

disambung dengan pertanggungjawaban sistematika.

59

Pada Bab II penulis melakukan PEMBAHASAN Makna Pengesahan

Oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris Terhadap Perjanjian Kawin

yang Dibuat Selama Perkawinan Berlangsung. Sub bab dari pembahasan

rumusan masalah ini dimulai dari Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor : 69/PUU-XIII/2015 dan Pengesahan

Perjanjian Perkawinan Oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris.

Untuk Bab III penulis melakukan PEMBAHASAN Perlindungan Hak

Bagi Pihak Ketiga Apabila Dirugikan Setelah Dibuatnya Perjanjian Kawin

Dalam Suatu Perkawinan. Sub bab dari pembahasan rumusan masalah ini

dimulai dari Mengikatnya Pihak Ketiga Dalam Perjanjian Perkawinan dan

Perlindungan Hak Bagi Pihak Ketiga Setelah Dibuatnya Perjanjian Kawin

Dalam Suatu Perkawinan.

Pada Bab IV adalah PENUTUP yang didalamnya terdapat kesimpulan

dari penelitian tesis dan untuk menyempurnakannya penulis memberikan

saran.

60

BAB II

MAKNA PENGESAHAN OLEH PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN

ATAU NOTARIS TERHADAP PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT

SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG

a. Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :

69/PUU-XIII/2015

Perkawinan merupakan sesuatu yang sakral dan mulia, perkawinan

harus dilandaskan pada rasa saling percaya dan mengasihi antara kedua

mempelai. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dinyatakan bahwa : Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Mahaesa.

Dalam sebuah perkawinan masyarakat dahulu mengenal adanya

pencampuran harta perkawinan, dan mereka tidak pernah meributkan harta

masing-masing pihak karena adanya saling percaya dan memahami yang

menjadi landasan dalam penyatuan harta perkawinan. Perlahan budaya asing

masuk ke Indonesia, diperparah dengan adanya globalisasi yang

mementingkan semangat individualistis. Banyak pasangan yang kini

melakukan perjanjian perkawinan. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan

nilai yang ada dalam masyarakat timur, dengan berbagai alasan mereka

membuat perjanjian perkawinan kepada masing-masing pasangannya.

Akhir-akhir ini banyak terjadi kasus perceraian dikalangan

masyarakat, pada umumnya mereka sebelum melangsungkan perkawinan

61

telah memiliki harta kekayaan masing-masing. Harta bersama (harta gono

gini) dalam perceraian merupakan masalah utama munculnya perjanjian

perkawinan. Kesadaran sebagian masyarakat tentang pentingnya membuat

perjanjian perkawinan sudah mulai dirasakan dari masyarakat menengah

keatas khususnya mereka yang menikah sama-sama bekerja dan mempunyai

penghasilan atau kedua calon suami istri ini sama-sama bekerja sebagai

pengusaha. Perjanjian perkawinan merupakan upaya yang akurat untuk

menghindari terjadinya konflik masalah harta ketika terjadi perceraian, dan

sangat dimungkinkan akan memberikan jaminan kepada masing-masing

suami istri untuk menjaga kesejahteraan hidupnya jika terjadi perceraian,

misal ketika usaha dari suami yang seorang pengusaha mengalami bangkrut,

dengan adanya perjanjian perkawinan maka harta pribadi istri masih bisa

menjadi harapan untuk mencukupi kebutuhan mereka.

Pada prinsipnya perjanjian perkawinan ini yang menjadi sumber dari

berbagai bentuk harta benda dalam perkawinan.50

Sebelum adanya Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perjanjian perkawinan

diatur dalam Pasal 139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perjanjian

perkawinan dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dengan tujuan untuk

melakukan penyimpangan dari persatuan harta secara bulat antara suami dan

istri asalkan tidak bertentangan dengan tata susila yang baik dan tertib umum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata tentang persatuan harta kekayaan sejak perkawinan dilangsungkan.

50

R. Soetojo Prawirohamidjojo. 2006. Pluralisme Dalam Perundang-undangan

Perkawinan di Indonesia. Surabaya : Airlangga University Press, Cet. IV, hlm. 58.

62

Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh dua orang calon

suami istri sebelum dilangsungkannya perkawinan mereka, untuk

mengatur akibat-akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan.

Perjanjian kawin lebih bersifat kekeluargaan sehingga tidak semua

ketentuan hukum perjanjian yang terdapat dalam buku III Kitab Undang-

undang Hukum Perdata berlaku, misal suatu aksi (gugat) berdasarkan

suatu kekhilafan (dwaling/error) tidak dapat dilakukan.51

Dalam pembuatan perjanjian perkawinan waktu untuk mengadakan

atau membuat perjanjian perkawinan tersebut sesuai pasal 147 Kitab Undang-

undang Hukum Perdata ialah sebelum perkawinan dilangsungkan, dan

perjanjian perkawinan juga harus dibuat dengan akta notariil. Apabila sebuah

perjanjian perkawinan tidak dibuat dengan akta otentik (akta notaris) maka

ancaman kebatalan terhadap perjanjian perkawinan tersebut.

Perjanjian perkawinan merupakan sebuah perjanjian yang harus

dituangkan dalam sebuah akta otentik. Perjanjian kawin juga mengacu pada

Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang merupakan syarat

sah dari perjanjian itu sendiri. Syarat sah perjanjian terbagi menjadi syarat

subyektif yaitu sepakat dan kecakapan, serta syarat obyektif yaitu suatu hal

tertentu dan sebab yang halal (kausa yang halal). Apabila syarat subyektif

tidak terpenuhi maka suatu perjanjian dapat dibatalkan, namun jika syarat

obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut akan batal demi hukum.

Suatu perjanjian perkawinan juga melihat dari syarat sahnya suatu perjanjian,

untuk terpenuhinya syarat dalam pembuatan perjanjian perkawinan baik dari

segi kecakapan dan kesepakatan kedua belah pihak antara suami dan istri

yang membuatnya serta memperhatikan isi dari perjanjian perkawinan.

51

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan. 2008. Hukum Orang dan Keluarga

(Personen En Familie-Recht). Surabaya : Airlangga University Press, hlm. 74.

63

Apabila perjanjian perkawinan telah dibuat maka suami istri bisa

mendaftarkan perjanjian perkawinan mereka dalam register umum

Kepaniteraan Pengadilan Negeri dalam daerah hukum perkawinan itu

dilangsungkan sesuai Pasal 152 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, agar

ketentuan yang tercantum dalam perjanjian perkawinan tersebut berlaku juga

terhadap pihak ketiga. Jadi, untuk mengikatnya pihak ketiga maka perjanjian

perkawinan itu harus didaftarkan (dibukukan) baik itu hanya sebagian klausul

dari perjanjian perkawinan maupun seluruh klausulnya.

Setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, perjanjian perkawinan diatur pada Pasal 29 ayat (1)

sampai dengan ayat (4). Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan dibuat pada

waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Dengan ketentuan atas

persetujuan bersama suami istri dapat membuat perjanjian tertulis artinya

perjanjian perkawinan yang ada dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan tidak menyebutkan perjanjian perkawinan itu dibuat

dengan akta otentik atau akta dibawah tangan, berarti jika antara suami istri

jika ingin membuat perjanjian perkawinan bisa secara akta notaris maupun

berupa akta dibawah tangan saja tergantung kesepakatan mereka.

Begitu juga yang diatur dalam pasal 47 Kompilasi Hukum Islam

bahwa kedua belah pihak (suami dan istri) dapat mengadakan perjanjian

tertulis, bisa akta perjanjian perkawinan itu dengan akta otentik maupun

dengan akta bawah tangan. Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan hal

64

yang sama bahwa perjanjian perkawinan dibuat pada waktu atau sebelum

perkawinan dilangsungkan.

Apabila dilihat dari kekuatan hukumnya sebuah perjanjian perkawinan

yang dibuat dengan akta notaris dan akta dibawah tangan, sesuai Pasal 1868

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan akta otentik adalah

akta yang didalam bentuk yang ditentukan dalam undang-undang, dibuat oleh

atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat

dimana akta dibuatnya. Maka jelas akta yang dibuat secara notaril

mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna didepan pengadilan,

berbeda dengan kata dibawah tangan baru memiliki kekuatan pembuktian

sempurna apabila isi dan tanda tangan didalam kata tersebut tidak disangkal

oleh pihak-pihak yang membuatnya.

Perjanjian kawin harus disahkan petugas pencatatan perkawinan.

Sebenarnya diperbolehkan untuk menyusun perjanjian secara pribadi atau

hanya melibatkan pihak ketiga. Kemudian surat perjanjian tersebut

diserahkan pada pagawai pencatatan untuk dilakukan pengesahan.

Perjanjian kawin yang dilakukan seperti itu dikatakan sah namun

kekuatan hukumnya lemah. Oleh karena itu banyak pihak yang membuat

perjanjian ini dihadapan Notaris dengan menggunakan akta Notariat. Jika

perjanjian dilakukan dengan notaris maka kekuatan hukum perjanjian

tersebut kuat dan tidak diragukan.52

Secara hukum para pihak saling terkait dengan diadakannya perjanjian

kawin dan masing-masing harus melaksanakan kewajiban dan haknya. Para

pihak juga harus siap dengan konsekuensi hukum yang akan timbul bila

melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kawin.53

52

Yasir Fatahillah. 2017. Perjanjian Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

https://fatahilla.blogspot.co.id/2008/06/perjanjian-kawin-menurut-kuh-perdata.html. Diakses pada

tanggal 16 Mei 2017. 53

Ibid.

65

Ketentuan Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang

khusus mengatur tentang Perjanjian Perkawinan dan Pasal 35 Tahun

1974 tentang Perkawinan, yang khusus mengatur tentang Harta Bersama,

dimaksudkan oleh pembuat undang-undang agar dapat memberikan

kepastian hukum yang berkeadilan kepada para pihak dalam mengarungi

mahligai rumah tangga. Pasangan suami isteri yang telah mengikatkan

diri ke dalam suatu tali pernikahan, pada perjalanannya tidak sedikit yang

berakhir dengan perceraian, karena itu UU mengatur bagaimana

melindungi kedua belah pihak khusus yang berkaitan dengan harta benda

yang ada pada saat perkawinan maupun harta banda sebagai hasil usaha

bersama dalam perkawinan. Bahkan sesungguhnya Perjanjian

Perkawinan juga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum

kepada para pihak ke tiga, yang memiliki hubungan kepentingan dengan

harta benda para pihak dalam perkawinan.54

Pasal 29 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan dibuat oleh kedua belah

pihak secara tertulis dan dicatatkan, pada waktu atau sebelum

perkawinan dilangsungkan. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan

kepastian kepada kedua belah pihak mana-mana harta masing-masing

sebagai harta bawaan dan harta bersama. Karena harta bersama sebagai

harta yang dihasilkan setelah atau selama perkawinan telah diatur dalam

Pasal 35 yang menyebut kan “(1) Harta benda yang diperoleh selama

perkawinan menjadi harta bersama bersama, (2) Harta bawaan dari

masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-

masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan

masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.55

Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-

XIII/2015, perjanjian perkawinan dibuat sebelum atau saat perkawinan

dilangsungkan, hal ini tertuang dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan. Artinya jika tidak ada perjanjian

perkawinan sebelumnya, maka harta yang diperoleh selama atau sepanjang

perkawinan menjadi harta bersama suami istri sampai putusnya perkawinan.

Sebagaimana diatur Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

54

Yoyon M. Darusman. 2016. “Kajian Yuridis Pengujian Pasal 29 ayat (1), ayat (3), ayat

(4), Pasal 35 ayat (1) UU No. 1.1974 tentang Perkawinan (Studi pada Putusan MK No.69/PUU-

XIII/2015)”. Disajikan pada Prosiding Seminar Ilmiah Nasional. Tangerang Selatan : Program

Pascasarjana Universitas Pamulang, hlm. 328. 55

Ibid

66

Perkawinan mengenai harta bersama bahwa harta benda yang diperoleh

selama perkawinan menjadi harta bersama sedangkan harta bawaan masing-

masing suami dan istri dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para

pihak tidak menentukan lain.

Prinsip asas terpisah sebagaimana dianut oleh Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia, hal ini merupakan upaya

yang sangat akurat untuk menghindari terjadinya konflik masalah harta

ketika terjadi perceraian. Pemisahan harta pribadi atau harta bawaan

suami istri berlaku dengan sendirinya tanpa harus dibuat suatu perjanjian

perkawinan. Prinsip pada asas harta terpisah sangat dimungkinkan akan

memberikan jaminan kepada masing-masing suami istri untuk menjaga

kesejahteraan hidupnya pasca terjadinya perceraian andaikata harus

terjaid perceraian.56

Perjanjian perkawinan hanya dapat dilakukan pada waktu atau

sebelum perkawinan dilangsungkan, ketentuan ini bersifat wajib artinya jika

ketetentuan ini tidak dipenuhi maka perjanjian perkawinan tersebut bukan

tidak sah melainkan tidak mempunyai kekuatan hukum, berakibat secara

yuridis dinyatakan tidak pernah ada.57

Yang dimaksud kalimat pada waktu perkawinan dilangsungkan,

artinya suatu perbuatan hukum dinyatakan terjadi pada saat terjadinya ijab

kabul (akad nikah), maka perjanjian perkawinan itu dinyatakan mempunyai

kekuatan hukum manakala dilakukan bersamaan dengan akad nikah atau

sebelum akad nikah dilakukan.58

Pada tanggal 27 Oktober 2016, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan

Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 merubah ketentuan dalam Pasal 29

56

M. Ansary. 2016. Harta Bersama Perkawinan dan Permasalahannya. Bandung : Mandar

Maju, hlm. 16-17. 57

Ibid. hlm. 14. 58

Ibid.

67

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perjanjian perkawinan,

berawal dari kasus pemohon Ike Farida berkewarganegaraan Indonesia yang

menikah dengan laki-laki berkewarganegaraan Jepang berdasarkan

perkawinan yang sah dan dicatatkan di Kantor Urusan Agama Jakarta Timur

tahun 1995, dan telah dicatatkan juga pada Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta

tahun 1999. Terkait pernikahnnya, Ike Farida ini tidak memiliki perjanjian

perkawinan pisah harta, tidak pernah melepas kewarganegaraannya dan tetap

memilih kewarganegaraan Indonesia serta tinggal di Indonesia.

Pada tanggal 26 Mei 2012, Ike Farida membeli 1 (satu) unit Rusun

(rumah susun) di Jakarta, akan tetapi setelah membayar lunas Rusun tersebut,

Rusun tidak diserahkan bahkan perjanjian pembelian dibatalkan secara

sepihak oleh pengembang dengan alasan suami dari Ike Farida adalah warga

negara asing dan mereka tidak memiliki perjanjijan perkawinan, dalam

suratnya pengembang menyatakan sesuai Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa

perempuan yang kawin dengan warga negara asing dilarang untuk membeli

tanah dan atau bangunan dengan status hak guna bangunan oleh karenanya

pengembang memutuskan untuk tidak melakukan Perjanjian Pengikatan Jual

Beli ataupun Akta Jual Beli dengan Ike Farida karena hal itu melanggar Pasal

36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria.

Selain itu dalam surat pengembang juga menyatakan bahwa

berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

68

Perkawinan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta

bersama. Maka apabila seorang suami atau istri membeli benda tidak

bergerak (dalam hal ini rumah susun/apartemen) sepanjang perkawinan maka

apartemen tersebut akan menjadi harta bersama/gono gini suami istri yang

bersangkutan, termasuk juga jika perkawinan campuran (antara WNI dan

WNA) yang dilangsungkan tanpa perjanjian kawin pisah harta, maka demi

hukum apatemen yang dibeli oleh seorang suami/istri WNI dengan sendirinya

menjadi milik istri/suami yang WNA juga.

Penolakan pembelian dari pengembang kemudian dikuatkan oleh

Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 12 November 2014, bahwa tidak

terpenuhinya syarat objektif sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal

1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu pelanggaran Pasal 36 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria dan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan.

Hal ini lah yang menjadikan pemohon Ike Farida mengajukan judicial

review beberapa pasal yaitu Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria, dan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 35 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, karena pasal-

pasal tersebut berpotensi merugikan hak konstitusional Ike Farida (pemohon)

yang dapat menghilangkan dan merampas haknya untuk dapat mempunyai

hak milik dan hak guna bangunan.

69

Ike Farida (pemohon) sebagai warga negara yang taat dan menjunjung

tinggi hukum justru diperlakukan secara diskriminatif oleh negara hanya

karena menikahi seorang warga negara asing. Keberadaan pasal-pasal yang

dimohonkan tersebut bukan saja merampas keadilan dan hak asasi dari Ike

Farida (pemohon) tetapi juga merampas hak asasi seluruh warga negara

Indonesia yang menikah dengan warga negara asing.

Berlakunya Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,

dan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 35 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merampas hak

konstitusionalnya sebagai warga negara. Sebagaimana hak konstitusionalnya

antara lain hak untuk bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang

baik. Setiap orang ingin memiliki atau memberikan bekal bagi dirinya

maupun anak-anaknya salah satunya dengan membeli tanah dan bangunan

sebagai tempat tinggal atau bekal dimasa depan.

Namun, Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan permohonan dari

Ike Farida (pemohon) untuk sebagian saja yaitu Pasal 29 ayat (1), ayat (3),

dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Mengenai pengujian Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi menyatakan

mengenai hubungan manusia Indonesia dengan tanah mengandung karakter

spesifik yang dikonsepkan dengan hak bangsa yang bersifat sakral, abadi dan

70

asasi. Salah satu prinsip atau asas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria adalah asas nasionalitas

(kebangsaan) yang menyatakan bahwa hanya warga negara Indonesia saja

yang mempunyai hak milik atas tanah yang boleh mempunyai hubungan

denga bumi (tanah), air dan ruang angkasa dengan tidak membedakan laki-

laki dan perempuan serta sesama warga negara. Tujuannya untuk melindungi

segenap rakyat Indonesia dari ketidakadilan dan perlakuan sewenang-wenang

yang diatur dalam peraturan yang dibuat dan berlaku pada masa sebelum

kemerdekaan bangsa Indonesia.

Pemberlakuan asas nasionalitas adalah sebagai jaminan hak-hak

warga negara terhadap hal-hal yang berkaitan dengan sistem pertanahan dan

sebagai pembatas hak-hak warga negara asing terhadap tanah di Indonesia.

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria menegaskan hanya warga negara Indonesia yang

berhak memiliki tanah di Indonesia sedangkan warga negara asing atau badan

usaha asing hanya dapat mempunyai hak yang terbatas atas tanah selama

kepentingan warga negara Indonesia tidak terganggu dan perusahaan asing itu

dibutuhkan untuk kepentingan negara Indonesia dalam pembangunan

ekonomi Indonesia. Sebab sebelum disahkan dan diundangkannya Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,

Indonesia terdapat dualisme hukum yang mengatur hukum pertanahan yaitu

orang yang tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan orang

pribumi tunduk pada hukum adat. Dualisme hukum dengan penggolongan

71

penduduk dan perbedaan hukum yang berlaku sengaja diciptakan untuk

kepentingan politik hukum dan keuntungan ekonomi Belanda.

Kemudian dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, hanya warga negara Indonesia

yang dapat mempunyai sertifikat dengan hak milik atas tanah dan apabila

bersangkutan setelah menerima sertifikat hak milik menikah dengan

ekspatriat (bukan WNI) maka dalam waktu 1 (satu) tahun, harus melepaskan

hak milik atas tanah tersebut kepada subjek hukum lain yang berhak.

Dasar pemikiran yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria mencegah

penguasaan tanah oleh pihak asing pemilik kapital yang dapat mengancam

dan menggerogoti kedaulatan negara.

Terhadap pengujian Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi

menyatakan bahwa perkawinan sebagaimana dimaksud Pasal 1 Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah ikatan lahir batin

antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang

dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga maupun

dalam pergaulan masyarakat, sehingga segala sesuatu dalam keluarga dapat

dimusyawarahkan bersama suami dan istri.

72

Kesepakatan atau perjanjian yang dilakukan dengan cara musyawarah

dapat dilakukan suami dan istri sebagaimana ditegaskan Pasal 29 Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, karena didalam kehidupan

suatu keluarga dalam rumah tangga masalah hak dan kewajiban sebagai

suami istri serta masalah harta benda merupakan salah satu faktor timbulnya

berbagai perselisihan didalam perkawinan bahkan dapat menghilangkan

kerukunan antara suami istri. Untuk menghindari hal tersebut, maka dibuatlah

perjanjian perkawinan antara suami dan istri sebelum melangsungkan

perkawinan dan disahkan oleh Petugas Pencatat Perkawinan. Perjanjian

perkawinan ini berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya, dan berlaku juga bagi pihak ketiga yang memiliki kepentingan

terhadapnya.

Landasan dibuatnya perjanjian perkawinan selama dalam ikatan

perkawinan atau dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi

menyebut perjanjian setelah perkawinan ialah adanya ketidaktahuan atau

kealpaan mengenai ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan yang mengatur masalah perjanjian perkawinan. Dalam

Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa

perjanjian perkawinan itu dibuat “pada waktu atau sebelum perkawinan

dilangsungkan”. Sedangkan alasan lainnya adalah adanya risiko yang

mungkin timbul dari harta bersama dalam perkawinan karena ada pekerjaan

suami atau istri memiliki tanggung jawab pada harta pribadi, sehingga

masing-masing harta yang diperoleh dapat tetap menjadi milik pribadi.

73

Sehingga frasa “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan”

dalam Pasal 29 ayat (1), frasa “sejak perkawinan dilangsungkan” dalam Pasal

29 ayat (3), dan frasa “selama perkawinan berlangsung” dalam Pasal 29 ayat

(4) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, membatasi

kebebasan 2 (dua) orang individu untuk melakukan atau kapan akan

melakukan perjanjian sehingga bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2)

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015

tanggal 21 Maret 2016, yang merubah ketentuan dalam Pasal 29 Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang amarnya berbunyi

sebagai berikut:

1. Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1

dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)

bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu, sebelum

dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak

atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang

disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana

isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga

tersangkut”.

2. Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1

74

dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pada

waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan

kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan

perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan

atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga

sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

3. Pasal 29 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1

dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)

bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Perjanjian tersebut mulai

berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam

Perjanjian Perkawinan”.

4. Pasal 29 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1

dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai

“Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan,

kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan”.

5. Pasal 29 ayat (4) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1

dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)

75

bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Selama perkawinan berlangsung,

perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau

perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari

kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan

perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga”.

6. Pasal 29 ayat (4) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1

dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai

“Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat

mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah

atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk

mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak

merugikan pihak ketiga”.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 telah

mengubah dua ketentuan dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan yaitu waktu pembuatan perjanjian perkawinan dan

pengesahan perjanjian perkawinan.

Perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan memang tidak

populer di masyarakat. Bahkan peraturan perundang-undangan tidak

76

mengatur hal ini. Sementara disisi lain, ada kebutuhan untuk membuat

perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan.59

Sebelumnya Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menentukan waktu pembuatan perjanjian perkawinan yaitu pada

waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, bentuk perjanjian yang

dibuat sebelum perkawinan ada beberapa yaitu perjanjian perkawinan pisah

harta, persatuan untung rugi, dan persatuan hasil dan pendapatan. Namun,

kebanyakan dari yang ada dalam masyarakat perjanjian perkawinan yang

mereka buat berbentuk perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta.

Walaupun Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak

mengatur apa saja bentuk perjanjian perkawinan ini. Kemudian didalam

Kompilasi Hukum Islam, bentuk perjanjian perkawinan dapat berupa taklik

talak dan perjanjian lainnya, taklik talak suatu perjanjian perkawinan yang

diucapkan pada saat perkawinan itu dilangsungkan atau pada saat akad nikah,

sedangkan yang dimaksud perjanjian lainnya adalah bisa berupa perjanjian

perkawinan pemisahan harta yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan

atau bentuk apapun asalkan tidak bertentangan dengan hukum islam, suami

istri boleh menentukannya sendiri bagaimana isi perjanjian perkawinan

tersebut.

Perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan

berlangsung, sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Sedangkan perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan,

belum diatur. Tentu diperlukan instrumen hukum agar dapat

mengakomodir permasalahan ini. Permasalahan ini harus direspon

59

Majalah Konstitusi Nomor 117 ISSN : 1829-7692. November 2016. Perjanjian Dalam

Ikatan Perkawinan. hlm. 3.

77

dengan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya sehingga

menjamin kepastian hukum.60

Menurut Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, terhadap bentuk dan

isi perjanjian perkawinan tergantung kesepakatan suami dan istri, kedua belah

pihak diberikan kebebasan atau kemerdekaan seluas-luasnya sesuai dengan

asas hukum kebebasan berkontrak asal tidak bertentangan dengan undang-

undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan.61

Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-

XIII/2015 perjanjian perkawinan dibuat pada waktu, sebelum atau selama

dalam ikatan perkawinan. Artinya perjanjian perkawinan bisa dibuat kapan

saja, Mahkamah Konstitusi telah memperlonggar aturan yang ada dalam

Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan

memberikan kesempatan pada suami dan istri karena alasan tertentu tidak

membuat perjanjian perkawinan sebelumnya, sekarang bisa dibuat selama

dalam masa perkawinan. Perjanjian perkawinan yang dibuat selama dalam

ikatan perkawinan ini lebih mengarah pada bentuk perjanjian perkawinan

pemisahan harta saja.

b. Pengesahan Perjanjian Perkawinan Oleh Pegawai Pencatat Perkawinan

atau Notaris

Meskipun makna Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan telah diperluas Mahkamah Konstitusi, redaksi pasal itu

masih mempertahankan frasa perjanjian perkawinan dengan perjanjian

tertulis. Karena itu, perjanjian perkawinan perlu dengan akta notaris

60

Ibid. 61

Ibid. hlm.13.

78

karena sifatnya yang berlaku jangka panjang dan baru berakhir jika

perkawinan berakhir akibat kematian atau perceraian. Harus pula ada

jaminan isi perjanjian perkawinan tersebut tidak mudah diubah oleh para

pihak. Jika perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris, lalu

ditandatangani para pihak, berarti notaris menjamin isi perjanjian

perkawinan sesuai dengan apa yang tercantum dalam minuta akta.62

Didalam Hukum Perkawinan mengenal dengan adanya beberapa

istilah mengenai pencatatan, pendaftaran dan pengesahan. Terhadap istilah-

istilah tersebut tentunya mempunyai arti yang berbeda. Istilah Pencatatan

pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tercantum

dalam pasal 2 ayat (2), Pasal 60 ayat (2), pasal 61 ayat (1) menyebutkan

bahwa yang dicatatkan itu ialah perkawinannya. Kemudian istilah

pendaftaran ada pada Pasal 56 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan mengenai kewajiban didaftarkannya surat bukti

perkawinan suami istri yang menikah diluar wilayah Indonesia. Sedangkan

pengesahan hanya Pasal 29 yang menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan

dilakukan pengesahan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Jadi, istilah

mengenai pencatatan itu hanya pada perkawinan dan pendaftaran hanya pada

surat bukti perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia, bukan pada

perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan hanya perlu disahkan oleh

Pegawai Pencatat Perkawinan.

Jika dalam praktiknya ditambahkan pencatatan ataupun pendaftaran

perjanjian perkawinan, maka hal tersebut bukan menentukan mengikat atau

62

Norman Edwin Elnizar. 2017. Tips Aman Membuat Perjanjian Kawin ala Notaris dan

Hakim Agung. http://www.m.hukumonline.com. Diakses pada tanggal 20 Mei 2017.

79

tidaknya suatu perjanjian perkawinan.63

Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa pengesahan perjanjian perkawinan

hanya dapat dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 69/PUU-XIII/2015,

juga merubah ketentuan mengenai pengesahan perjanjian perkawinan bahwa

pengesahannya selain bisa dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan juga

bisa dilakukan pengesahan oleh Notaris. Dengan keluarnya Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, maka ada kewenangan

baru bagi para notaris yaitu dalam hal mengesahkan perjanjian perkawinan.

Hal ini berarti perjanjian perkawinan tidak hanya disahkan atau dibuat

dihadapan Pegawai Pencatat Perkawinan, akan tetapi juga dapat dibuat

dihadapan Notaris selaku pejabat umum. Ketentuan tersebut mengakomodasi

dalam K.U.H Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian kawin harus dibuat

dengan akta notaris.64

Pengesahan perjanjian perkawinan oleh Pegawai

Pencatat Perkawinan dapat dilakukan didua instansi yakni di Kantor Urusan

Agama bagi yang beragama islam dan di Kantor Catatan Sipil bagi yang

beragama selain islam.

Jika dilihat dari kewenangan dari Pegawai Pencatat Nikah (bagi yang

bergama Islam) yaitu melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan

pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat dan

bimbingan perkawinan serta menandatangani akta nikah, akta rujuk, buku

63

Zul Fadli. 2017. Perjanjian Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi.

http://www.boyyendratamin.com. Diakses pada tanggal 20 Mei 2017. 64

J. Andy Hartanto. 2017. Hukum Harta Kekayaan Perkawinan Menurut Burgerlijk

Wetboek dan Undang-undang Hukum Perkawinan. Yogyakarta : Laksbang Pressindo, hlm. 81.

80

nikah(kutipan akta nikah) dan/atau akta rujuk. Dari kewenangan Pegawai

Pencatat Nikah tersebut, bisa dilihat bahwa kewenangan dari Pegawai

Pencatat Perkawinan pada umumnya adalah melakukan serangkaian kegiatan

baik berupa pencatatan, pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan juga

pengesahan mengenai perkawinan.

Berbeda dengan kewenangan seorang Notaris, yang disebutkan dalam

Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 perubahan atas Undang-

undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris adalah sebagai

berikut:

Ayat (1) “Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua

perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan

perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan

untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan

akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,

semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau

dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh

undang-undang”.

Ayat (2) “Notaris berwenang pula :

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal

surat dibawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus;

b. Membukukan surat-surat dibawah tangan dengan mendaftarkan

dalam buku khusus;

81

c. Membuat kopi dari salinan asli surat-surat dibawah tangan

berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan

digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat

aslinya;

e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan

akta;

f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

g. Membuat akta risalah lelang.

Ayat (3) “selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan”.

Pada dasarnya Notaris berwenang dalam pembuatan akta otentik

sesuai Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 perubahan atas

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dalam Pasal

15 ayat (2) menyebutkan kewenangan Notaris yang mengesahkan tanda

tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan

mendaftarkan dalam buku khusus atau biasa disebut dengan legalisasi.

Legalisasi merupakan pengesahan terhadap akta dibawah tangan yang dibuat

oleh orang perseorangan atau oleh para pihak diatas kertas yang bermaterai

cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan oleh

Notaris.

82

Perubahan Mahkamah Konstitusi mengenai pengesahan perjanjian

kawin oleh Notaris, tidak hanya monopoli dari Pegawai Pencatat Perkawinan,

ini norma baru yang tentunya dipandang progresif oleh sebagian kalangan.

Masyarakat yang memerlukan perjanjian kawin tidak harus disahkan Pegawai

Pencatat Perkawinan akan tetapi memiliki alternatif lain yakni Notaris.65

Menurut Hakim Agung Gayus Lumbuun, putusan Mahkamah

Konstitusi telah memberikan pilihan mengenai pengesahan perjanjian

perkawinan, terlebih dibuat setelah perkawinan berlangsung. Yang terpenting

adalah perjanjian perkawinan itu setidaknya dicatat dengan akta notaris. Akan

tetapi, jauh lebih baik jika tetap dilakukan pengesahan dan/atau didaftarkan

ke pejabat pencatat perkawinan di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan

Sipil.

Lalu Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa perjanjian perkawinan

itu bisa disahkan oleh Notaris, bagaimanakah Notaris melakukan pengesahan

terhadap perjanjian perkawinan, didalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2014 perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris mengenai pengesahan ada beberapa pasal yaitu Pasal 15 ayat (2)

huruf a, Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 48 ayat (2) dan Pasal 50 ayat (2).

Apabila dilihat dari kewenangan Notaris sesuai Pasal 15 Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 perubahan atas Undang-undang Nomor 30

Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka notaris berwenang mengesahkan

tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan atau

65

Zul Fadli. Op.Cit.

83

biasa disebut legalisasi, namun Notaris dalam hal ini hanya berwenang

mengesahkan tanda tangan para pihak tetapi berlaku untuk surat dibawah

tangan saja tidak terhadap akta otentik.

Jika Notaris ingin mengesahkan keseluruhan perjanjian perkawinan maka

pengesahannya dengan dituangkan ke dalam akta Notaris. Akta Notaris

merupakan akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris yang

bentuk dan tata caranya ditentukan oleh UUJN. Maka dengan dituangkan

kedalam akta Notaris mulai dari kepala akta hingga seluruh tanda tangan

para pihak maupun saksi disahkan oleh Notaris selaku pejabat umum.

Dengan dituangkan kedalam akta Notaris, tidak perlu lagi adanya

pengesahan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.66

Perjanjian perkawinan lazimnya dituangkan kedalam akta Notaris,

kemudian disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan sebelum adanya

Putusan Mahkamah Konstitusi karena hanya Pegawai Pencatat

Perkawinan yang berwenang mengesahkan perjanjian perkawinan, mau

tidak mau akta Notaris tentang Perjanjian perkawinan pun mesti disahkan

oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Namun setelah adanya Putusan

Mahkamah Konstitusi tentang perjanjian perkawinan, maka tidak perlu

lagi adanya pengesahan Pegawai Pencatat Perkawinan jika perjanjian

kawin telah dituangkan ke dalam akta Notaris.67

Walaupun Mahkamah Konstitusi mengubah ketentuan yang ada dalam

Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pekawinan, terkait

pengesahan perjanjian dengan menambahkan bisa disahkan oleh Notaris,

namun jika melihat konsekuensi dari pengesahan itu adalah mengikatnya

pihak ketiga terhadap isi dari perjanjian perkawinan, maka perlunya

pengesahan dari Pegawai Pencatat Perkawinan sendiri terhadap perjanjian

perkawinan baik yang dituangkan dengan akta notaris atau hanya dibuat

dengan surat dibawah tangan saja. Namun, untuk mempunyai kekuatan

hukum yang sempurna perjanjian perkawinan harus dituangkan dalam bentuk

66

Ibid. 67

Ibid.

84

akta Notaris, agar dapat dijadikan dasar apabila terjadi permasalahan

dikemudian hari.

Pengesahan sendiri sangat perlu dilakukan oleh Pegawai Pencatat

Perkawinan, supaya asas publisitas dalam perjanjian perkawinan terpenuhi

dengan tujuan pihak lain diluar suami istri dapat mengetahui atau tunduk

pada klausula yang ada dalam perjanjian perkawinan tersebut. Jika setelah

adanya Putusan Mahkamah Konstitusi, makna pengesahan perjanjian

perkawinan yang dilakukan oleh Notaris selaku pejabat umum, hanya cukup

dituangkan dengan akta Notaris saja tanpa perlu disahkan lagi oleh Pegawai

Pencatat Perkawinan maka hal seperti ini menyulitkan bagi pihak lain diluar

suami istri (pihak ketiga) yang mempunyai kepentingan, untuk mengetahui

adanya suatu perjanjian perkawinan yang dibuat kedua belah pihak. Karena

apabila Mahkamah Konstitusi memaknai pengesahan perjanjian perkawinan

cukup dengan akta Notaris saja, hal ini bisa saja menimbulkan masalah bagi

pihak ketiga yang tersangkut. Dengan demikian, pengesahan perjanjian

perkawinan seharusnya tetap dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan

meskipun perjanjian perkawinan itu dibuat dengan akta notaris supaya tidak

ada pihak lain diluar suami istri yang dirugikan kemudian hari.

85

BAB III

PERLINDUNGAN HAK BAGI PIHAK KETIGA APABILA DIRUGIKAN

SETELAH DIBUATNYA PERJANJIAN KAWIN DALAM SUATU

PERKAWINAN

a. Mengikatnya Pihak Ketiga Dalam Perjanjian Perkawinan

Perjanjian kawin salah satu sarana untuk melakukan proteksi terhadap

harta calon suami dan istri dan bentuk antisipasi dengan resiko atau kerugian

jika terjadi suatu saat perceraian. Melalui perjanjian ini para pihak dapat

menentukan harta bawaan masing-masing dan juga harta bersama, apakah

sejak awal ada pemisahan harta dalam perkawinan atau ada diatur pembagian

harta bersama bila terjadi perceraian.

Harta bersama adalah harta yang diperoleh dalam perkawinan. Hal ini

menimbulkan konflik bilamana terjadi perceraian dan salah satu pihak

menuntut pembagian harta, tidak menjadi masalah bila para pihak dapat

melakukan kompromi. Yang sering terjadi dalam kehidupan adalah masing-

masing bersikukuh untuk mengakui harta pasangannya.68

Pada Pasal 36

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa

suami atau istri masing-masing pihak dapat bertindak atas persetujuan

bersama atas harta bersama dalam perkawinan. Suami dan isteri juga

mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai

harta bawaan.

68

Yasir Fatahillah. 2017. Perjanjian Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

https://fatahilla.blogspot.co.id/2008/06/perjanjian-kawin-menurut-kuh-perdata.html. Diakses pada

tanggal 16 Mei 2017.

86

Manfaat dari perjanjian perkawinan ialah sebagai berikut :69

1. Perjanjian perkawinan dibuat untuk melindungi secara hukum harta

bawaan masing-masing pihak (suami/istri). Artinya perjanjian

perkawinan dapat berfungsi sebagai media hukum untuk menyelesaikan

masalah rumah tangga yang terpaksa harus berakhir, baik karena

perceraian maupun kematian. Dengan adanya perjanjian perkawinan,

maka akan jelas dibedakan mana yang merupakan harta gono-gini (yang

perlu dibagi dua secara merata), dan mana yang merupakan harta pribadi

masing-masing (tidak perlu dibagi).

2. Perjanjian perkawinan juga berguna untuk mengamankan aset dan

kondisi ekonomi keluarga. Jika suatu saat terjadi penyitaan terhadap

seluruh aset keluarga karena bisnis bangkrut, dengan adanya perjanjian

perkawinan, pasangan ekonomi keluarga akan bisa aman. Ketika hendak

membuat perjanjian perkawinan pasangan calon pengantin biasanya

memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya membentuk suatu rumah

tangga saja, namun ada sisi lain yang harus dimasukkan dalam poin-poin

perjanjian. Tujuannya tidak lain agar kepentingan mereka tetap terjaga.

3. Perjanjian perkawinan juga sangat bermanfaat bagi kepentingan kaum

perempuan. Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka hak-hak dan

keadilan kaum perempuan (istri) dapat terlindungi. Perjanjian

perkawinan dapat dijadikan pegangan agar suami tidak memonopoli

harta gono gini dan harta kekayaan pribadi istrinya. Di samping itu dari

69

Happy Susanto. 2008. Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian, Cetakan

Kedua. Jakarta: PT. Transmedia Pustaka, Cet.Ke-1. hlm. 81.

87

sudut pemberdayaan perempuan, perjanjian tersebut bisa menjadi alat

perlindungan perempuan dari segala kemungkinan terjadinya kekerasan

dalam rumah tangga.

Perjanjian perkawinan juga sama seperti perjanjian pada umumnya,

harus memnuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. Sebuah perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang

membuatnya sesuai dengan asas kekuatan mengikat suatu perjanjian pada

umumnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-

undang Hukum Perdata. Asas kekuatan hukum mengikat ini untuk

menciptakan kepastian hukum bagi para pihak dalam perjanjian.

Menurut Subekti, tujuan asas kekuatan mengikat adalah untuk

memberikan perlindungan kepada para pihak agar mereka tidak perlu merasa

khawatir akan hak-haknya karena perjanjian yang mereka buat tersebut

berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.70

Sama halnya dengan perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami

dan istri, perjanjian perkawinan tersebut akan berlaku secara internal bagi

kedua belah pihak yang membuatnya. Namun, perjanjian perkawinan itu akan

berlaku bagi pihak lain diluar suami istri yang disebut pihak ketiga sepanjang

pihak ketiga tersebut tersangkut, apabila perjanjian perkawinan itu dilakukan

pengesahan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang tercantum dalam Pasal

29 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

70

Zakiyah. 2011. Hukum Perjanjian Teori dan Perkembangannya. Yogyakarta: Pustaka

Felicha, hlm.21.

88

Pihak ketiga yang menjadi kreditur (dalam perjanjian hutang piutang)

penting untuk mengetahui bagaimana kedudukan harta dalam perkawinan

antara suami dan istri tersebut. Hal ini berkaitan dengan kepastian

terlunasinya hutang.

Walaupun terdapat perbedaan pada Kitab Undang-undang Hukum

Perdata yang menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan itu baru mengikat

pihak ketiga setelah didaftarkan ke Paniteraan Pengadilan Negeri setempat

dimana perkawinan itu dilangsungkan. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

tidak menyebutkan perjanjian perkawinan itu perlu disahkan oleh Pegawai

Pencatat Perkawinan hanya cukup didaftarkan saja.

Apabila suami dan istri tidak menghendaki bahwa perjanjian perkawinan

akan berlaku terhadap pihak ketiga, maka seluruh perjanjian perkawinan

tidak harus didaftarkan dalam register umum tersebut. Akan tetapi bila

mereka menghendaki agar hanya beberapa ketentuan yang berlaku

terhadap pihak ketiga, maka hanya ketentuan-ketentuan itu saja yang

harus dibukukan dalam register-register tersebut.71

Sedangkan pada Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sama-sama menyebutkan

perjanjian perkawinan itu perlu disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan

baik (Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil), setelah mana

disahkan tersebut isi dari perjanjian perkawinan ini akan berlaku juga bagi

pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Untuk pengesahan sendiri, dilakukan pengesahan perjanjian

perkawinan secara keseluruhan bukan untuk sebagian saja untuk mengikatnya

71

R. Soetojo Prawirohamidjojo. 2006. Pluralisme Dalam Perundang-undangan

Perkawinan di Indonesia. Surabaya : Airlangga University Press, Cet. IV, hlm. 83.

89

pihak ketiga, tidak seperti halnya didaftarkan dalam Kitab undang-Undang

Hukum Perdata mengenai jika suami dan istri hanya menghendaki sebagian

isi perjanjian perkawinan yang berlaku bagi pihak ketiga maka beberapa

ketentuan saja yang akan didaftarkan dalam register umum.

Anggapan tidak tahunya pihak ketiga terhadap perjanjian perkawinan

yang dibuat oleh suami dan istri hanya dapat diberikan kepada pihak ketiga

yang tidak mengetahui bahwa suami dan istri telah membuat perjanjian

perkawinan namun belum melakukan pengesahan ataupun pendaftaran.

Pihak ketiga selama perjanjian perkawinan belum dilakukan

pengesahan dapat saja menganggap bahwa perkawinan antara suami dan sitri

ini terjadi persatuan harta selama perkawinan berlangsung.

Jika dilihat tentunya memiliki perbedaan antara Kitab Undang-undang

Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan atau Kompilasi Hukum Islam, dimana Kitab Undang-undang

Hukum Perdata menyebutkan hanya didaftarkan saja perjanjian perkawinan

ini akan berlaku bagi pihak ketiga, sedangkan kedua aturan lainnya

menyebutkan perjanjian perkawinan dapat dilakukan pengesahan. Namun

dari konsekuensi aturan antara pendaftaran dan pengesahan yaitu sama-sama

mengikat pihak ketiga.

Karena Kitab Undang-undang Hukum Perdata merupakan hukum

kolonial Belanda, dimana sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, peraturan tersebutlah yang akan berlaku

mengenai hukum perkawinan yang terdapat pada Buku I tentang Orang dalam

90

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tetapi setelah adanya Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (lex spesialis derogat legi

generalis), adanya aturan khusus yang mengatur mengenai perkawinan, maka

hukum yang umum bisa dikesampingkan.

Maka dari itu, mengenai perjanjian perkawinan mengacu pada Pasal

29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang

menyatakan perjanjian perkawinan itu dapat dilakukan pengesahan oleh

Pegawai Pencatat Perkawinan. Dan ada penambahan setelah adanya Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor : 69/PUU-XIII/2015, yang menyebutkan

pengesahan perjanjian perkawinan dapat juga dilakukan oleh Notaris.

Meskipun perjanjian perkawinan setelah disahkan oleh pejabat yang

berwenang, pastinya perlu diketahui bagaimana suatu perjanjian perkawinan

itu dapat mengikat pihak ketiga atau tidak mengikat sama sekali terhadap

pihak ketiga. Perjanjian perkawinan bisa mengikat pihak ketiga sesudah

perjanjian perkawinan itu dibuat dan disahkan oleh pejabat yang berwenang

kemudian antara suami dan istri ini melakukan hubungan hukum dengan

pihak ketiga, yang menimbulkan salah satu klausul dalam perjanjian

perkawinan itu berlaku juga bagi pihak ketiga tadi.

Terikatnya pihak lain diluar suami istri dalam suatu perjanjian

perkawinan bukan berarti pihak ketiga tersebut disebutkan juga dalam

perjanjian perkawinan tersebut, akan tetapi pihak ketiga tersebut terikat pada

perjanjian perkawinan itu dikarenakan ada kepentingan atau hak pihak ketiga

91

terhadap harta perkawinan suami istri yang tercantum dalam isi perjanjian

perkawinan.

Tidak semua pihak ketiga dapat terikat pada suatu perjanjian

perkawinan yang dibuat oleh suami dan istri. Jika pihak ketiga tidak

mempunyai kepentingan terhadap harta yang dijadikan salah satu klausul

perjanjian perkawinan, maka pihak ketiga disini tidak terikat. Meskipun

dalam Pasal 50 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menjelaskan perjanjian

perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak (suami istri) dan

pihak ketiga yang tersangkut. Artinya pihak ketiga hanya terikat terhadap

perjanjian perkawinan mengenai harta saja, tetapi bisa saja klausul perjanjian

perkawinan itu tidak mengikat pihak ketiga apabila suami dan istri ini

membuat perjanjian perkawinan tidak ada kepentingan pihak lain terikat

dengan harta tersebut.

Contohnya antara suami dan istri ingin melakukan hubungan hukum

dengan pihak ketiga dalam hal perjanjian hutang piutang atau perjanjian jual

beli dan lain sebagainya, dengan menjaminkan harta bersama atau menjual

harta bersama mereka kepada pihak ketiga, suami istri tersebut membuat

perjanjian perkawinan terlebih dahulu supaya harta istri terlindungi dengan

adanya perjanjian perkawinan, karena dikhawatirkan jika suami membuat

perjanjian dengan pihak ketiga dengan jaminan harta bersama, kemudian

harta bersama tidak mencukupi untuk melunasi hutang suaminya, sehingga

dengan adanya perjanjian perkawinan harta dari istri terlindungi.

92

Dalam pengajuan kredit, misalnya bank menganggap harta suami istri

adalah harta bersama, utang juga jadi tanggungan bersama, dengan perjanjian

kawin, pengajuan utang jadi tanggungan pihak yang mengajukan saja

sedangkan pasangannya bebas dari kewajiban. Lalu kalau debitur dinyatakan

bangkrut, keduanya masih punya harta yang dimiliki pasangannya untuk

usaha lain dimasa depan, untuk mejamin kesejahteraan keuangan kedua belah

pihak terutama anak-anak.

Pada uraian contoh diatas, dapat diketahui perjanjian perkawinan itu

mengikat juga bagi pihak ketiga. Pentingnya suatu pengesahan yang

dilakukan pejabat yang berwenang ini agar pihak ketiga mengetahui dan

tunduk pada perjanjian perkawinan tersebut, misalnya jika terjadi jual beli

atau terjadi perjanjian hutang piutang oleh suami atu isteri, jika ada Perjanjian

Perkawinan, maka perjanjian tersebut akan mengikatnya dalam tindakkan

hukum yang akan dilakukannya.

Perjanjian Perkawinan dapat mengikat pihak ketiga sepanjang pihak

ketiga memang tersangkut dalam Perjanjian Perkawinan dan baru akan

berlaku pada pihak ketiga apabila Perjanjian Perkawinan tersebut telah

disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan di Kantor Urusan Agama atau

Kantor Catatan Sipil. Apabila melihat bunyi dari Pasal 29 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak tampak adanya

keharusan Perjanjian Perkawinan tersebut untuk disahkan oleh Pegawai

Pencatat Perkawinan di Kantor Urusan Agama atau Catatan Sipil, namun

prosedur tersebut penting dilakukan oleh pasangan yang mempunyai

93

Perjanjian Perkawinan agar Perjanjian Perkawinan tersebut nantinya dapat

mengikat pihak ketiga.

Dasar hukum yang dijadikan untuk mengikatnya sebuah perjanjian

perkawinan terhadap pihak ketiga dapat dilihat berdasarkan Pasal 29 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana kedua

belah pihak (suami dan istri) yang mengadakan perjanjian perkawinan dapat

disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana isi dari perjanjian

perkawinan ini juga akan berlaku bagi pihak ketiga yang tersangkut.

Oleh karena itu, selain disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan

ataupun Notaris, diperlukan perjanjian perkawinan itu dilakukan

pengumuman baik pada surat kabar atau media lainnya agar pihak ketiga

mengetahui dan tunduk pada isi perjanjian perkawinan yang dibuat oleh

suami istri dan telah disahkan tersebut. Kalau hanya disahkan tanpa adanya

suatu pengumuman bisa saja pihak ketiga karena suatu sebab tertentu tidak

mengetahui antara suami istri ini telah melakukan perjanjian perkawinan

tanpa perlu pihak ketiga memeriksa pada Kantor Urusan Agama atau Kantor

Catatan Sipil atau pada Notaris dimana perjanjian perkawinan itu disahkan.

b. Perlindungan Hak Bagi Pihak Ketiga yang Dirugikan Setelah Dibuatnya

Perjanjian Kawin Dalam Suatu Perkawinan.

Pihak ketiga dalam perjanjian perkawinan adalah pihak lain diluar

suami dan istri yang mempunyai kepentingan terhadap harta benda

perkawinan yang dijadikan sebagai klausul perjanjian perkawinan oleh suami

94

istri. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan bahwa perjanjian perkawinan akan mengikat pihak

ketiga setelah dilakukan pengesahan.

Mahkamah dalam putusannya bernomor 69/PUU-XIII/2015 ini

memberi tafsir konstitusional terhadap Pasal 29 ayat (1), (3), (4) Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait perjanjian

perkawinan. Mahkamah memperluas makna perjanjian perkawinan yang

pembuatannya disesuaikan dengan kebutuhan hukum masing-masing

pasangan. Dengan amar putusan sebagai berikut :

(1) Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan

perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat

mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat

perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak

ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas

hukum, agama dan kesusilaan.

(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan,

kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.

(4) Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai

harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut,

kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau

mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak

ketiga.

95

Adanya kesamaan antara perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum

atau selama perkawinan berlangsung yaitu keduanya baru berlaku dan sah

mengikat pihak ketiga setelah dilakukan pengesahan oleh Pegawai Pencatat

Perkawinan atau Notaris dan perjanjian perkawinan tersebut mulai berlaku

sejak perkawinan dilangsungkan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian

perkawinan.

Apabila oleh suami-isteri dibuat perjanjian perkawinan sepanjang

perkawinan sedangkan perjanjian tersebut dinyatakan berlaku sejak saat

perkawinan maka terhadap harta campur yang selama ini telah ada perlu

diperhatikan apakah harta benda perkawinan terdiri dari benda yang

dapat dibagi atau tidak dapat dibagi. Misalnya mereka memiliki sebuah

rumah, sebuah mobil dan uang berupa deposito/tabungan. Dalam situasi

seperti itu menjadi sulit untuk membagi rumah dan mobil tersebut

sedangkan uang berupa deposito/tabungan dapat dibagi maka sebaiknya

dianjurkan agar sejak saat perkawinan hingga tanggal perjanjian

perkawinan dibuat tetap rumah dan mobil merupakan harta campur

sedangkan sejak perjanjian perkawinan terjadi pisah harta yang dimulai

dengan membagi uang deposito/tabungan kepada masing-masing suami-

isteri. Hal tersebut terlebih lagi apabila rumah atau mobilnya telah

diagunkan pada bank yang apabila dilakukan pembagian diantara suami-

isteri dapat merugikan pihak bank.72

Membagikan dan memisahkan benda tetap atau benda yang tidak dapat

dibagi, misalnya tanah hak dan rumah kepada salah seorang suami atau

istri tidak dapat dilakukan karena tidak adanya alasan untuk

melakukannya berkaitan dengan pemilikan bersama yang terikat tidak

dapat setiap saat diakhiri atau dipisahkan dan dibagikan bagian tak

terbagi atas suatu kebendaan walaupun suami-isteri mempunyai

pemilikan bersama yang tak terbagi. Pemilikan bersama yang terikat baru

dapat diakhiri dengan meninggalnya suami atau isteri atau perceraian

suami isteri.73

Pada prinsipnya, substansi perjanjian perkawinan tidak terbatas hanya

mengenai kedudukan harta benda perkawinan. Namun pihak ketiga juga

72

Herlien Budiono. 2017. “Beberapa Catatan Pembuatan Akta Notaris Didalam Praktek”.

Rapat Pleno INI Kalimantan Selatan serta Pembekalan Dan Penyegaran Pengetahuan. Hotel G

Sign, Jl A. Yani Km. 4.5 Nomor 448, Banjarmasin. hlm. 7-8. 73

Ibid. hlm.8.

96

terikat dengan perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami istri sebatas

hanya mengenai harta benda. Hal-hal lain di luar pengaturan mengenai harta

benda perkawinan, pihak ketiga tidak terikat terhadap segala akibat yang

ditimbulkannya. Pihak ketiga juga dapat mengajukan pembatalan perjanjian

perkawinan tersebut, terhadap seluruh isi atau sebagian klausula yang

merugikan pihak ketiga.

Adapun tujuan pokok diadakannya perjanjian kawin adalah mengatur

antara suami isteri apa yang akan terjadi mengenai harta kekayaan yang

mereka bawa dan atau yang akan mereka peroleh masing-masing.74

Perjanjian perkawinan sebenarnya dibuat bertujuan untuk melindungi

harta kekayaan masing-masing suami maupun istri dan juga melindungi dari

pihak ketiga apabila terjadi kepailitan oleh salah satu pihak, sehingga pihak

lainnya tidak ikut menanggung kerugian. Hal ini terkait dengan keberlakuan

perjanjian perkawinan tersebut dengan pihak ketiga, para kreditur perlu

mengetahui perjanjian perkawinan antara suami istri mengenai harta pribadi

dan percampuran harta secara bulat karena untuk menentukan harta mana

yang dapat dieksekusi apabila antara suami istri yang menjadi debitur

terhadap hutang mereka yang telah jatuh tempo tetapi mereka tidak dapat

melunasinya disebabkan suatu hal tertentu.

Tujuan pendaftaran atau pengesahan perjanjian perkawinan adalah

untuk memenuhi asas publisitas yang menyangkut harta kekayaan

perkawinan yang harus diketahui oleh pihak ketiga. Akan tetapi apabila

74

Mochammad Djais. 2003. Hukum Harta Kekayaan Dalam Perkawinan, Semarang:

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, hlm. 9.

97

perjanjian perkawinan itu tidak didaftarkan maka hanya mengikat kedua

belah pihak saja yaitu suami dan istri secara intern, dan terhadap pihak ketiga

sebagai akibat hukumnya perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan

tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, dengan

pendaftaran perjanjian perkawinan ini, apabila melakukan cidera janji

terhadap pihak ketiga yang berkepentingan maka pihak ketiga dapat menuntut

ganti rugi ke pengadilan negeri terhadap perjanjian perkawinan tersebut.

Pada Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, juga dijelaskan bahwa perjanjian perkawinan itu tidak dapat

diubah atau dicabut kecuali ada dari kedua pihak (suami dan istri) ada

persetujuan untuk mengubah atau mencabut dan perubahan atau pencabutan

tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga.

Hal tersebut dimaksudkan demi perlindungan terhadap pihak ketiga

(kreditur) supaya tidak dihadapkan kepada situasi yang berubah-ubah, yang

dapat merugikan dirinya (dalam arti jaminan harta debitur atas piutang

kreditur).75

Menurut Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan, sebuah perjanjian kawin dapat mengikat terhadap pihak

ketiga apabila perjanjian kawin tersebut disahkan atau didaftarkan kepada

pegawai pencatat perkawinan maka dengan sendirinya perjanjian kawin

tersebut mempunyai kekuatan yang mengikat terhadap pihak ketiga.

75

Happy Susanto, 2014. Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadinya Perceraian.

Jakarta: Visimedia, hlm. 97.

98

Hal yang sama juga ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pada

Pasal 50 disebutkan perjanjian kawin mengenai harta, mengikat kepada para

pihak dan pihak ketiga, terhitung mulai tanggal dilangsungkannya

perkawinan di hadapan pegawai pencatat nikah.

Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-

XIII/2015, pada tanggal 21 Maret 2016 terjadi perubahan berkaitan

dengan pembuatan perjanjian perkawinan. Apabila sebelumnya

perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat

perkawinan saja maka kini perjanjian perkawinan dapat juga dibuat oleh

suami isteri sepanjang perkawinan mereka. Mereka yang ingin membuat

perjanjian perkawinan dapat membuatnya secara tertulis dan kemudian

disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau mereka dapat meminta

bantuan notaris untuk membuat akta Perjanjian Perkawinan tersebut.

Berkaitan dengan pembuatan perjanjian perkawinan tersebut tentunya

Notaris tidak serta begitu saja memberikan bantuannya untuk membuat

perjanjian perkawinan tersebut. Notaris harus memperoleh kepastian

bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat tersebut tidak merugikan pihak

ketiga.76

Didalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015

disebutkan di dalam ketentuan Pasal 29 ayat (3) : ” Perjanjian tersebut mulai

berlaku sejak perkawinan berlangsung, kecuali ditentukan lain dalam

Perjanjian Perkawinan”.

Ini berarti, sebagai ketentuan umum perjanjian perkawinan berlaku

sejak perkawinan berlangsung tetapi suami-isteri dapat menentukan waktu

lain untuk berlangsungnya perjanjian perkawinan. Adanya Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap kapan dibuatnya

perjanjian perkawinan berakibat hukum diantaranya:77

76

Alwesius. 2016. Pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi. http://www.notary.my.id/2016/11/pembuatan-perjanjian-perkawinan-pasca.html.

Diakses pada tanggal 11 Mei 2017. 77

Herlien Budiono. Op.Cit., hlm. 6.

99

1) Dengan diperbolehkannya pembuatan perjanjian perkawinan pada waktu,

sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan, berarti

bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat kapan saja yakni sebelum

perkawinan menurut hukum, masing-masing agamanya dan

kepercayaannya, sebelum pencatatan perkawinan Pegawai Pencatat

Perkawinan atau selama perkawinan berlangsung;

2) Saat berlakunya perjanjian perkawinan adalah sejak perkawinan

dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Penentuan tanggal berlakunya perjanjian perkawinan sejak perkawinan

dilangsungkan untuk perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang

perkawinan akan berakibat terhadap harta benda perkawinan yang telah

terjadi sebelum perjanjian perkawinan dibuat. Dengan demikian akibat

serta kepastian hukumnya terhadap pihak ketiga tergantung pada penentuan

kapan berlakunya perjanjian perkawinan;

3) Diperbolehkannya selama perkawinan berlangsung atas persetujuan kedua

belah pihak (suami-isteri) mengubah atau mencabut perjanjian perkawinan

yang dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, asal

perubahan dan pencabutan tidak merugikan pihak ketiga;

4) Atas perubahan dan pembatalan perjanjian perkawinan harus pula disahkan

oleh pejabat pencatat perkawinan yang tidak jelas dinyatakan di dalam MK

tapi seyoganya pengesahan tersebut harus dilakukan agar berlaku terhadap

pihak ke tiga sesuai dengan sistem yang berlaku.

100

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 membawa

dampak terhadap isi perjanjian perkawinan sehingga harus dibedakan,

apabila didalam perjanjian perkawinan ditentukan berlakunya sejak

perkawinan berlangsung, sedangkan perjanjian perkawinan dibuat selama

perkawinan berlangsung, maka harta bersama yang telah terjadi sebelum

perjanjian perkawinan dibuat harus dibagi dua dan ditentukan mana

merupakan bagian suami dan mana yang merupakan bagian istri. Oleh

para pihak dapat ditentukan bahwa sebelum perjanjian perkawinan terjadi

percampuran harta, sedangkan sejak perjanjian perkawinan terjadi

perpisahan harta bersama. Ketentuan mengenai perkawinan bersifat

memaksa kecuali adanya kebebasan bagi calon suami-istri atau suami

istri selama dalam ikatan perkawinan diberi kebebasan untuk membuat

perjanjian perkawinan baik sebelum perkawinan maupun sepanjang

perkawinan yang menyimpang terhadap harta benda yang diperoleh

selama perkawinan yang menjadi harta bersama. Walaupun adanya

kebebasan tersebut tetap dibatasi dengan rambu-rambu bahwa isi

perjanjian perkawinan yang dapat mengenai harta perkawinan atau

perjanjian lainnya tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan

yang bersifat memaksa, kesusilaan baik dan ketertiban umum. Sehingga

dengan demikian terhadap isi perjanjian perkawinan para notaris harus

dapat mengkaji agar supaya tidak terdapat hal-hal yang merugikan pihak

ketiga.78

Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi ini yang merubah

ketentuan pembuatan perjanjian perkawinan bahwa perjanjian perkawinan itu

bisa dibuat selama dalam ikatan perkawinan, maka perjanjian perkawinan

yang dibuat selama perkawinan berlangsung bisa berpotensi bisa merugikan

pihak ketiga.

Untuk melindungi kepentingan pihak ketiga tersebut sudah seharusnya

terdapat tatacara yang harus ditempuh agar pihak ketiga diberikan

kesempatan untuk mengajukan keberatan terhadap perjanjian perkawinan

yang akan dibuat oleh suami isteri sepanjang perkawinan yang ternyata

merugikan dirinya. Sepanjang belum diatur tatacara tersebut maka

sebaiknya para notaris didalam melayani permintaan pembuatan akta

perjanjian perkawinan terlebih dahulu meminta kepada para pihak untuk

melakukan pengumuman di dalam surat kabar yang terbit di kota dimana

78

Ibid

101

para pihak berdomisili, yang mempunyai peredaran yang luas dan

tentunya ditempatkan pada halaman yang mudah terbaca. Untuk itu harus

ada tata cara yang harus ditempuh sebelum dibuatnya perjanjian

perkawinan tersebut untuk memberi kesempatan kepada pihak ketiga

yang ingin mengajukan keberatannya atas pembuatan perjanjian

perkawinan tersebut.79

Dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan, disebutkan bahwa perjanjian perkawinan itu tidak boleh

merugikan pihak ketiga, namun mengenai pengaturan tersebut tidak

dijelaskan lebih rinci jika dikemudian hari ternyata timbul kerugian bagi

pihak lain diluar suami istri akibat dibuatnya perjanjian perkawinan yang

dibuat selama perkawinan berlangsung, dengan kata lain perjanjian

perkawinan itu bisa dibuat kapan saja.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini masih terdapat kekurangan, dimana

perjanjian perkawinan hanya disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan

atau Notaris, sehingga tidak ada pengumuman bagi pihak ketiga apabila ada

pasangan yang hanya membuat di Notaris, bisa saja mereka membuat

perjanjian perkawinan sampai tiga kali agar menguntungkan mereka.80

Dengan adanya peluang membuat perjanjian perkawinan selama

perkawinan itu berlangsung, suatu ketika dimungkinkan akan menemukan

pasangan suami dan istri yang memiliki itikad tidak baik dalam membuat

perjanjian perkawinan yang bisa merugikan pihak lain.

Misalnya saja, suami dan istri yang membuat perjanjian perkawinan

selama perkawinan berlangsung atau kapan saja perjanjian perkawinan itu

79

Alwesius. Loc.Cit. 80 ˍˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2016. Ini Evolusi Perjanjian Perkawinan dari Dulu Hingga Putusan MK.

http://m.hukumonline.com. Diakses 30 Mei 2017.

102

diperlukan pasangan suami dan istri dengan tujuan untuk menghindari

tanggung jawabnya terhadap pihak ketiga, mereka membuat perjanjian

perkawinan dengan kata notaril yang kemudian disahkan oleh Notaris,

sedangkan klausul dari perjanjian perkawinan itu sendir akan merugikan

pihak lain yang berkepentingan, tentunya hal seperti itu perlu dihindari dan

tidak diinginkan terjadi setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi

tersebut. Karena dikhawatirkan dengan perjanjian perkawinan dibuat selama

perkawinan berlangsung dimanfaatkan oleh pasangan suami dan istri yang

beritikad buruk. Sehingga diperlukan sebuah perlindungan hukum yang

khusus terhadap pihak ketiga selain dari mengajukan keberatan terhadap

perjanjian perkawinan yang merugikannya itu, dan juga diatur dalam

peraturan perundang-undangan agar ketika hal tersebut terjadi pihak ketiga

mempunyai sebuah perlindungan bagi dirinya sendiri.

Peranan Notaris dalam pembuatan perjanjian perkawinan juga sangat

diperlukan, karena dalam perjanjian perkawinan mengatur banyak hal,

khususnya mengenai harta kekayaan. Wewenang Notaris dalam pembuatan

akta hanya sebatas isi perjanjian yang telah memenuhi syarat sahnya

perjanjian berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.81

Terhadap isi perjanjian perkawinan para Notaris harus dapat mengkaji

supaya tidak terdapat hal-hal yang merugikan pihak ketiga.82

Para notaris

didalam menerima pembuatan akta perjanjian perkawinan yang

dilangsungkan sepanjang perkawinan hendaknya berhati-hati, oleh karena

81

Susisusanti G. Pakaya. 2016. Perlindungan Hukum Terhadap Harta Bawaan Dengan

Akta Perjanjian Kawin. Jurnal Ilmu Hukum Edisi 2 Volume 4, hlm.9. 82

Herlien Budiono. Op.Cit., hlm.7.

103

walaupun Mahkamah Konstitusi telah memutuskan dibolehkannya

pembuatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan, akan tetapi masih

ada kendala atau permasalahan terkait dengan pembuatan perjanjian

perkawinan tersebut, khususnya terkait dengan pembuatan tersebut tidak

boleh merugikan pihak ketiga.

Menurut Ketua Umum Ikatan Alumni Kenotariatan Universitas

Diponegoro, Otty H.C Ubayani Panoedjoe, perjanjian perkawinan

sejatinya harus seimbang antara suami istri dan pihak ketiga. Jangan

sampai ada pihak ketiga yang dirugikan karena adanya pisah harta

diantara mereka. Misal pihak ketiga adalah anak-anak pasangan tersebut,

apabila satu orang dinyatakan pailit dan pisah harta, maka anak-anak

tidak akan terlantar karena masih ada harta yang menjadi haknya baik

dari suami ataupun istri.83

Perlindungan hukum yang berkeadilan bagi pihak ketiga pada

perjanjian perkawinan yang bisa diterapkan hanya berupa putusan pengadilan

yang memutuskan hak-hak yang dilanggar oleh pasangan suami istri kepada

pihak ketiga dikarenakan itikad buruk dan kelalaian kewajiban pasangan

suami istri yang seolah-olah tidak ada perjanjian. Perjanjian yang dibuat tidak

boleh diubah dikarenakan untuk melindungi pihak ketiga karena bisa

menimbulkan kerugian, yang suatu ketika dapat disalahgunakan oleh suami

istri. Meskipun ada batasannya dan harus memperhatikan larangan - larangan

yang dibuat dalam perjanjian perkawinan tersebut.

Dengan demikian, perjanjian perkawinan setelah adanya Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XII/2015, sangat bagus bagi pasangan

ketika sebelum perkawinan tidak membuat perjanjian perkawinan

83

ˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2017. Pasca Putusan MK; IKANOT Undip Sambut Baik UU Perkawinan.

http://baruada.com. Diakses pada tanggal 01 Juni 2017.

104

dikarenakan ketidaktahuan mereka mengenai tujuan dibuatnya perjanjian

perkawinan, dan setelah putusan ini mereka mempunyai peluang untuk bisa

membuat perjanjian perkawinan selama perkawinan berlangsung jika

dirasakan perlu oleh pasangan suami istri dengan alasan tertentu. Namun

mereka juga perlu memperhatikan hal-hal yang dilarang dalam pembuatan

perjanjian perkawinan seperti yang tercantum dalam Pasal 29 Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974, dan juga memperhatikan kepentingan pihak lain yang

terkait agar jangan sampai dikemudian hari dengan adanya perjanjian

perkawinan yang mereka buat tersebut merugikan pihak ketiga.

105

BAB IV

PENUTUP

a. Kesimpulan

1. Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

mengatur mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat pada waktu atau

sebelum perkawinan dilangsungkan dan hanya dapat dilakukan pengesahan

oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XII/2015

yang mengubah ketentuan dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan yaitu mengenai waktu pembuatan perjanjian

perkawinan yang bisa dibuat selama dalam ikatan perkawinan dan

pengesahan perjanjian perkawinan juga bisa dilakukan oleh Notaris.

Makna pengesahan oleh Notaris terhadap perjanjian kawin yang dibuat

selama perkawinan berlangsung adalah pengesahan terhadap perjanjian

perkawinan yang disahkan oleh Notaris cukup hanya dengan sebuah akta

otentik yang berupa akta perjanjian perkawinan, karena pengesahan disini

artinya Notaris mengesahkan dari kepala akta sampai akhir akta (kepala

akta, isi akta, tanda tangan para pihak, tanda tangan saksi) yang diakhiri

dengan tandatangan Notaris sendiri. Dan dengan akta otentik tersebut tidak

perlu lagi disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan sebab Notaris telah

melakukan pengesahan terhadap perjanjian perkawinan yang dituangkan

dengan akta notaril.

106

2. Perjanjian perkawinan akan mengikat kepada pihak ketiga setelah perjanjian

perkawinan itu dilakukan pengesahan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan

atau Notaris sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-

undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Perjanjian Perkawinan yang dibuat selama dalam ikatan perkawinan setelah

keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XII/2015 ini bisa

berpotensi merugikan pihak lain diluar suami dan istri (pihak ketiga), sebab

Putusan tersebut memberikan peluang bagi pasangan suami dan istri untuk

membuat perjanjian perkawinan kapan saja tergantung keperluan dan

keinginan mereka. Namun dimungkinkan peluang tersebut disalahgunakan

oleh pasangan suami istri yang mempunyai itikad buruk dengan tujuan ingin

merugikan pihak ketiga atau menghindari tanggung jawabnya terhadap

pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap harta perkawinan yang

ada didalam salah satu klausul perjanjian perkawinan.

Perlindungan hak bagi pihak ketiga apabila dirugikan setelah dibuatnya

perjanjian kawin dalam suatu perkawinan adalah dengan mengajukan upaya

hukum berupa mengajukan keberatan terhadap perjanjian perkawinan yang

dibuat oleh pasangan suami istri karena ada hak pihak ketiga yang dirugikan

dalam klausul perjanjian perkawinan, agar perjanjian perkawinan tersebut

dapat dibatalkan.

107

b. Saran

1. Sebaiknya ada penjelasan lebih lanjut mengenai pengesahan perjanjian

perkawinan yang dilakukan oleh Notaris, agar jangan sampai nantinya

apabila perjanjian perkawinan itu disahkan dapat merugikan pihak lain

karena tidak ada penjelasan lebih lanjut Mahkamah Konstitusi dalam

memutuskan bahwa perjanjian perkawinan bisa disahkan oleh Notaris.

2. Mengenai perlindungan hukum bagi pihak ketiga apabila dirugikan dengan

dibuatnya perjanjian perkawinan saat perkawinan berlangsung juga

seharusnya ada pengaturan yang jelas sebagai bentuk antisipasi kedepan

apabila hal ini terjadi. Diharapkan ada bentuk perlindungan khusus bagi

pihak ketiga yang dirugikan selain dari upaya hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Literatur:

Anshori, Abdul Ghofur. 2010. Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (konsep, regulasi,

dan implementasi). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Ansary, M. 2016. Harta Bersama Perkawinan dan Permasalahannya. Bandung :

Mandar Maju.

Djais, Mochammad. 2003. Hukum Harta Kekayaan Dalam Perkawinan,

Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Hariri, Wawan Muhwan. 2011. Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan dalam

Islam. Bandung : Pustaka Setia.

Hartanto, J. Andy. 2017. Hukum Harta Kekayaan Perkawinan Menurut Burgerlijk

Wetboek dan Undang-undang Hukum Perkawinan. Yogyakarta : Laksbang

Pressindo.

Mardani. 2016. Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group.

Muthiah, Aulia. 2017. Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga.

Yogyakarta : Pustaka Baru Press.

Prodjodikoro, R. Wirjono. 1991. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Bandung :

Sumur Bandung.

Prawirohamidjojo, R. Soetojo. 2006. Pluralisme Dalam Perundang-undangan

Perkawinan di Indonesia. Surabaya : Airlangga University Press, Cet. IV.

Prodjodikoro, Mr Wirjono. Cetakan Kedua. Hukum Perkawinan di Indonesia.

Bandung : Vorkink-Van Hoeve.

Rahmida Erliyani, 2016, Aspek Hukum Perjanjian Perkawinan, Yogyakarta, K-

Media, Cet I.

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan. 2008. Hukum Orang dan

Keluarga (Personen En Familie-Recht). Surabaya : Airlangga University

Press.

Saleh, K. Wantjik. cet. IV, 1976. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta : Ghalia

Indonesia.

Sembiring, Rosnidar. 2016. Hukum Keluarga: Harta-harta Benda Dalam

Perkawinan. Jakarta: Rajawali Pers.

Soekanto, Soerjono. 1992. Intisari Hukum Keluarga. Bandung : PT. Citra Aditya

Bakti.

Soimin, Soedharyo. 2004. Hukum Orang dan Keluarga : Perspektif Hukum

Perdata/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Jakarta : Sinar Grafika.

Susanto, Happy. 2008. Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian,

Cetakan Kedua. Jakarta: PT. Transmedia Pustaka, Cet.Ke-1.

Susanto, Happy. 2014. Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadinya Perceraian.

Jakarta: Visimedia.

Syahrani, Riduan. 2009. Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung:

PT. Alumni.

Usman, Rachmadi. 2006. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dam Kekeluargaan di

Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Zakiyah. 2011. Hukum Perjanjian Teori dan Perkembangannya. Yogyakarta:

Pustaka Felicha.

Peraturan Perundang-undangan:

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (terjemahan Prof. R. Subekti, S.H. dan R.

Tjitrosudibio)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3019).

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 perubahan atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

Kompilasi Hukum Islam (Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

1991 tanggal 10 Juni 1991).

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 69/PUU-XIII/2015.

Jurnal Hukum Publikasi:

Pakaya, Susisusanti G. 2016. Perlindungan Hukum Terhadap Harta Bawaan

Dengan Akta Perjanjian Kawin. Jurnal Ilmu Hukum Edisi 2 Volume 4.

Majalah Publikasi:

Majalah Konstitusi Nomor 117 ISSN : 1829-7692. November 2016. Perjanjian

Dalam Ikatan Perkawinan.

Makalah Seminar Ilmiah:

Budiono, Herlien. 2017. “Beberapa Catatan Pembuatan Akta Notaris Didalam

Praktek”. Rapat Pleno INI Kalimantan Selatan serta Pembekalan Dan

Penyegaran Pengetahuan. Hotel G Sign, Jl A. Yani Km. 4.5 Nomor 448,

Banjarmasin.

Makalah Seminar Ilmiah yang Dipublikasi:

Darusman, Yoyon M. 2016. “Kajian Yuridis Pengujian Pasal 29 ayat (1), ayat (3),

ayat (4), Pasal 35 ayat (1) UU No. 1.1974 tentang Perkawinan (Studi pada

Putusan MK No.69/PUU-XIII/2015)”. Disajikan pada Prosiding Seminar

Ilmiah Nasional. Tangerang Selatan : Program Pascasarjana Universitas

Pamulang.

Internet:

ˍˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2016. Plus Minus Putusan MK tentang Perjanjian Perkawinan.

http://www.m.hukumonline.com.

ˍˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2016. Putusan MK Soal Perkawinan Berpotensi Rugikan Pihak Ketiga.

http://www.gatra.com.

ˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2014. Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli.

http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-

ahli/.

ˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2017. Intisari Online : Kasus Perjanjian Kawin yang Tak Sah Ini Penting Untuk

Disimak Pasangan yang Akan dan Sudah Menikah. http://intisari.grid.id.

ˍˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2016. Ini Evolusi Perjanjian Perkawinan dari Dulu Hingga Putusan MK.

http://m.hukumonline.com.

ˍˍˍˍˍˍˍˍ. 2017. Pasca Putusan MK; IKANOT Undip Sambut Baik UU Perkawinan.

http://baruada.com.