Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Universitas Kristen Petra
10
2. LANDASAN TEORI
2.1 Telaah Pustaka
2.1.1 Budget
Budget merupakan elemen untuk sistem pengendalian manajemen yang
berfungsi sebagai alat perencanaan dan pengendalian agar manajer dapat
melaksanakan kegiatan organisasi agar lebih efektif dan efisien. Budget juga
merupakan sebuah pernyataan fungsional yang disiapkan sebelum periode waktu
yang telah ditentukan dari kebijakan yang akan ditempuh selama periode itu
dimaksudkan untuk memperoleh tujuan tertentu. Menurut Adler dan Reid (2008),
budget adalah perangkat organisasi yang secara umum digunakan untuk
perencanaan, koordinasi, evaluasi, dan pengendalian. Budget digunakan untuk
menyatukan semua fungsional dari organisasi (Horngren, 2004), budget tentu
berdampak dan serta akan dipengaruhi oleh berbagai individu, unit, dan macro
level structures dan proses (Covaleski et al., 2003) dalam Adler dan Reid (2008).
Budget dapat didefinisikan sebagai laporan keuangan rinci yang
menunjukkan rincian pendapatan dan pengeluaran, (Yakubu, 2011) dalam Olaoye
dan Ogunmakin (2014), selain itu juga perkiraan pengeluaran dan pendapatan
untuk jangka waktu tertentu; biasanya satu tahun (Olaoye dan Ogunmakin, 2014).
Kata ‘Budget’ berarti kantong uang atau dompet yang berfungsi sebagai
penampung untuk pendapatan dan belanja (Adams, 1998) dalam Ugoh dan
Ukpere (2009). Menurut Ugoh dan Ukpere (2009) bahwa budget merupakan
dokumen yang komprehensif yang menguraikan kegiatan ekonomi dan non-
ekonomi berfokus khusus pada kebijakan dan strategi dengan tujuan yang
memproyeksikan pendapatan dan pengeluaran. Edy Sukarno (2000) dalam
(Kuhuparuw, 2014) berpendapat bahwa anggaran merupakan rencana yang
terorganisasi dan menyeluruh dan dinyatakan dalam unit moneter untuk operasi
dan sumber daya suatu perusahaan selama periode tertentu dimasa yang akan
datang. Selain itu menurut Joshi et al., (2003) berpendapat bahwa anggaran
sebagai alat perencanaan keuangan suatu perusahaan merupakan pedoman untuk
menilai kinerja manajer dan bawahannya dengan cara membandingkan target
anggaran dengan realisasinya.
Universitas Kristen Petra
11
Menurut Ninemeier (2004) dalam Oak dan Schmidgall (2009),
keefektifan anggaran dapat dilihat jika tercapainya sasaran anggaran perusahaan
baik secara kuantitatif maupun kualitatif sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan, dengan menunjukkan perbandingan antara keluaran (output) dengan
tujuan. Untuk meningkatkan efektivitas anggaran, suatu anggaran juga harus
memperhatikan aspek perilaku manusia agar anggaran tersebut mampu
memotivasi manajer pelaksana untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan
dalam anggaran. Selain itu, Wagh dan Gadade (2013) menyatakan untuk
mencapai keefektifan anggaran makan diperlukan sebuah kontrol anggaran yang
terdiri dari pembuatan laporan anggaran periodik yang membandingkan hasil
aktual dengan tujuan yang direncanakan dengan menganalisis perbedaan untuk
menentukan penyebab dan juga untuk mengambil langkah-langkah perbaikan
yang tepat. Penelitian yang dilakukan oleh Okoye dan Odum (2003) menyatakan
bahwa anggaran akan menjadi efektif itu jika merupakan upaya bersama dari
banyak orang.
2.1.2 Budget Participation
Dalam persaingan lingkungan bisnis yang semakin ketat, anggaran
merupakan suatu kunci utama agar perusahaan dapat berjalan dengan baik serta
dapat mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Oleh karena itu, lahirlah proses
budget participation dimana menjadi salah satu pendekatan ketika melakukan
proses penganggaran.
Pada dasarnya participation adalah proses alami dalam suatu organisasi,
di mana individu terlibat langsung dalam pengambilan keputusan yang akan
mempengaruhi individu tersebut (Hashim et al., 2014). Budget participation
menggambarkan keterlibatan manajer dalam menyusun aggaran pada pusat
pertanggungjawaban manajer yang bersangkutan. Secara lebih rinci meliputi
keterlibatan individual, penyusun target, evaluasi kinerja dan mungkin
penghargaan, selain itu dalam lingkungan organisasi, partisipasi dapat
dipertimbangkan sebagai suatu alat untuk mengurangi perbedaan kekuasaan, lebih
menekankan pada pengembangan manusia yang lebih baik dari pada produktifitas
Universitas Kristen Petra
12
dan cenderung diterima sebagai kriteria organisasional yang lebih efektif
(Brownell dan McInnes, 1986).
Penyusunan anggaran yang memungkinkan bawahan untuk ikut bekerja
sama menentukan rencana merupakan yang disebut dengan budget participation
(Kuhuparuw, 2014). Menurut Adler dan Reid (2008), proses penyusunan
anggaran, dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan yaitu top-down, bottom
up atau partisipasi. Proses penyusunan anggaran dengan metode top–down
merupakan penganggaran yang keseluruhannya disusun dan disahkan oleh pihak
manajemen level atas dan pihak manajemen level bawah hanya melaksanakan
anggaran yang telah disahkan. Sedangkan proses penyusunan anggaran bottom–up
(partisipatif) merupakan penyusunan anggaran dengan memberikan kewenangan
kepada pihak manajemen level bawah untuk kemudian diajukan kepihak manajer
atas. Srinivasan (1987) dalam Joshi et al., (2003) berpendapat bahwa anggaran
harus digunakan untuk memotivasi bawahan untuk meningkatkan output dan
efisiensi dengan mendorong partisipasi mereka selama persiapan anggaran.
Adanya partisipasi mendorong setiap manajer untuk meningkatkan prestasinya
dan bekerja lebih keras karena mereka menganggap bahwa target organisasi
merupakan target pribadinya. Budget participation memungkinkan pengawas
untuk merancang skema remunerasi yang efektif dengan tujuan mendorong
karyawan untuk mencapai tujuan anggaran (Kenis, 1979; Brownell, 1982) dalam
Kung et al., 2013. Dalam partisipasi akan memungkinkan terjadinya komunikasi
yang semakin baik, berinteraksi satu sama lain, serta bekerja sama dalam tim
untuk mencapai tujuan perusahaan. Berbagai fungsi anggaran pada dasarnya
merupakan konsep anggaran yang lebih luas, yakni sebagai alat pengendalian
yang mencakup pengarahan atau pengaturan dalam suatu organisasi (Joshi et al.,
2003)
Partisipasi dalam konteks penganggaran adalah proses dimana individu
yang kinerjanya dievaluasi dan diberikan penghargaan berdasarkan pencapaian
dari anggaran. Dalam konteks yang lebih luas, pada dasarnya partisipasi adalah
proses organisasi, di mana anggota organisasi mengambil bagian dan memiliki
pengaruh dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal yang berkaitan dengan
anggota orgsnisasi (Brownell dan McInnes, 1986).
Universitas Kristen Petra
13
Milani (1975) menyatakan tingkat keterlibatan dan pengaruh individu
dalam penyusunan budget merupakan faktor yang menjadi ukuran terjadinya
budgeting participation dalam suatu perusahaan. Hal ini dapat dilihat dari :
1. Sejauh mana budget yang dibuat dipengaruhi oleh keterlibatan oleh
anggota perusahaan
2. Alasan-alasan manajer puncak atau pimpinan perusahaan dalam
memproses pembuatan budget.
3. Keinginan anggota perusahaan berpartisipasi dalam penyusunan
budget tanpa diminta oleh manajer puncak atau pimpinan
perusahaan.
4. Sejauh mana anggota perusahaan mempunyai pegaruh dalam budget
akhir
5. Kepentingan adanya anggota perusahaan dalam partisipasinya
terhadap budget.
6. Budget didiskusikan antara manajer puncak dengan anggota
perusahaan pada saat budget disusun.
Tanase (2013) menyatakan bahwa partisipasi yang baik membawa
beberapa keuntungan sebagai berikut :
1. Membantu membangun komunikasi yang baik antara atasan dan
bawahan serta membantu menjaga pertukaran informasi yang
berguna
2. Menopang alokasi sumber daya yang efisien serta membantu
memperoleh anggaran yang lebih handal, akurat dan realistis
3. Menentukan bawahan untuk mengembangkan sikap positif terhadap
anggaran, manajemen dan entitas
4. Memotivasi bawahan serta meningkatkan kepuasan yang dirasakan
oleh karyawan di tempat kerja
5. Menjelaskan tugas pekerjaan dan mengurangi ketidakjelasan peran
6. Meningkatkan komitmen organisasi
7. Meningkat akuntabilitas bawahan
8. Menentukan bawahan untuk lebih berdedikasi dalam mencapai
tujuan mereka
Universitas Kristen Petra
14
9. Membantu pembentukan tujuan yang lebih realistis dan dapat
dicapai
10. Meningkatkan kinerja individu
Hal ini mendukung pendapat Milani (1975) bahwa penyusunan anggaran
secara partisipatif diharapkan dapat meningkatkan kinerja manajer, yaitu ketika
suatu tujuan dirancang dan secara partisipasi disetujui maka karyawan akan
mengintemalisasikan tujuan yang ditetapkan dan memiliki rasa tanggung jawab
pribadi untuk mencapainya, karena mereka ikut terlibat dalam penyusunan
anggaran.
Menurut Kuhuparuw (2014), Budget participation mempunyai dampak
positif terhadap motivasi manajerial karena dua alasan:
1. Kemungkinan ada penerimaan yang lebih besar atas cita-cita
anggaran jika anggaran dipandang berada dalam kendali pribadi
manajer, dibandingkan bila dipaksakan secara eksternal. Hal ini
mengarah pada komitmen pribadi yang lebih besar untuk mencapai
cita-cita tersebut.
2. Hasil penyusunan anggaran partisipatif adalah pertukaran informasi
yang efektif. Besar anggaran yang disetujui merupakan hasil dari
keahlian dan pengetahuan pribadi dari pembuat anggaran.
Budget participation didefinisikan sebagai tingkat keterlibatan dan
pengaruh manajer memiliki dalam proses pengaturan anggaran. Budget
participation sebagai variabel independen ini diukur dengan menggunakan
penelitian yang dikembangkan oleh Milani (1975) dan terdiri dari six-item
questionnaire. Setiap responden di minta menjawab enam butir pertanyaan untuk
mengukur tingkat partisipasi dan pengaruh yang dirasakan serta kontribusi
responden dalam penyusunan anggaran. Jawaban diberikan dengan cara memilih
skala dengan rentang antara 1 (Sangat sedikit) sampai dengan 5 (Sangat banyak).
Nilai skala menunjukkan nilai skor jawaban setiap butir pertanyaan. Instrumen
ini telah digunakan secara luas dan diuji dalam studi akuntansi manajemen
mengenai budget participation. Instrumen pengukuran ini sudah diuji dan
digunakan pada studi akuntansi.
Universitas Kristen Petra
15
2.1.3 Managerial Performance
Milani (1975) menyatakan bahwa anggaran disusun secara partisipatif
(budget participation) diharapkan dapat meningkatkan managerial performance.
Keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuan organisasi dalam memenuhi
tanggung jawab sosialnya tidak lepas dengan peran dan kinerja manajer dalam
suatu perusahaan. Manajer yang akan menentukan apakah organisasi mampu
mencapai sasaran dan tujuan yang dikehendaki.
Kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas yang dicapai
oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya, selain itu kinerja dibedakan menjadi dua yaitu kinerja
individu adalah hasil kerja karyawaan baik dari segi kualitas maupun kuantitas
berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan, sedangkan kinerja organisai
adalah gabungan dari kinerja individu dengan kinerja kelompok (Mangkunegara
dalam Trisnaningsih, 2007) dalam Kuhuparuw, 2014. Kinerja adalah
multidimensi, pengukuran untuk kinerja juga bervariasi tergantung pada
kompleksitas faktor-faktor yang membuat kinerja (Mahmudi, 2010) dalam
Deliana (2015). Kinerja organisasi yang dihasilkan tersebut erat kaitannya dengan
kinerja manajerial. Hal ini dikarenakan semakin baiknya kinerja seorang manajer
akan berpengaruh dengan semakin baiknya kinerja organisasi tersebut.
Mah’d et al. (2013) mengatakan bahwa penilaian kinerja adalah
penentuan secara periodik dari efektivias suatu organisasi, bagian organisasi dan
karyawannya berdasarkan standar dan kriteria yang telah diterapkan sebeumnya.
Mah’d et al. (2013) menjelaskan bahwa seseorang yang memegang posisi
manajerial diharapkan mampu menghasilkan suatu kinerja manajerial. Berbeda
dengan kinerja karyawan umumnya yang bersifat konkrit, kinerja manajerial
adalah bersifat abstrak dan kompleks. Manajer menghasilkan kinerja dengan
mengerahkan bakat dan kemampuan, serta usaha beberapa orang lain yang berada
didalam daerah wewenangnya. Managerial performance merupakan salah satu
faktor yang dapat dipakai untuk meningkatkan efektivitas organisasi. Managerial
performance ini membantu perusahaan untuk mencapai sebuah kinerja organisasi
yang baik dengan segala arah dan tindakan yang dilakukan oleh manajer (Mah’d
et al., 2013).
Universitas Kristen Petra
16
Managerial performance didefinisikan sebagai tingkat kecakapan
manajer dalam melaksanakan aktivitas manajemen, selain itu managerial
performance merupakan salah satu faktor yang dapat dipakai untuk meningkatkan
efektivitas organisasi (Mah’d et al., 2013). Semakin efektif dan efisiennya
organisasi tentu berpengaruh terhadap kemampuan organisasi untuk tetap
bertahan di tengah persaingan usaha yang semakin tinggi (Mah’d et al., 2013).
Managerial performance mengacu pada kinerja manajer dalam kapasitas
pengambilan keputusan mereka (Kung et al., 2013). Mahoney et al. (1963) dalam
Yahya et al. (2008) menyatakan kinerja (performance) adalah hasil kerja yang
dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi,
sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka
mencapai tujuan organisasi. Managerial performance adalah kinerja individu
anggota organisasi dalam kegiatan manajerial yang didasarkan pada fungsi-fungsi
manajemen yang meliputi perencanaan, investigasi, pengkoordinasian, evaluasi,
pengawasan, pemilihan staf, negosiasi, dan perwakilan (Mahoney et al., 1963)
dalam Deliana (2015).
Mahoney et al. (1963) dalam Deliana (2015). mengukur kinerja
manajerial dengan menggunakan indikator sebagai berikut:
1. Perencanaan, dalam arti kemampuan untuk menentukan tujuan,
kebijakan dan tindakan/pelaksanaan, penjadwalan kerja,
penganggaran, merancang prosedur, dan pemrograman.
2. Investigasi, yaitu kemampuan mengumpulkan dan menyampaikan
informasi untuk catatan, laporan, dan rekening, mengukur hasil,
menentukan persediaan, dan analisis pekerjaan.
3. Pengkoordinasian, yaitu kemampuan melakukan tukar menukar
informasi dengan orang lain di bagian organisasi yang lain untuk
mengkaitkan dan menyesuaikan program, memberitahu bagian lain,
dan hubungan dengan manajer lain.
4. Evaluasi, yaitu kemampuan untuk menilai dan mengukur proposal,
kinerja yang diamati atau dilaporkan, penilaian pegawai, penilaian
catatan hasil, penilaian laporan keuangan, pemeriksaan produk.
Universitas Kristen Petra
17
5. Pengawasan (supervisi), yaitu kemampuan untuk mengarahkan,
memimpin dan mengembangkan bawahan, membimbing, melatih
dan menjelaskan peraturan kerja pada bawahan, memberikan tugas
pekerjaan dan menangani bawahan.
6. Pengaturan staf (staffing), yaitukemampuan untuk mempertahankan
angkatan kerja di bagian anda, merekrut, mewawancarai dan
memilih pegawai baru, menempatkan, mempromosikan dan mutasi
pegawai.
7. Negosiasi, yaitu kemampuan dalam melakukan pembelian, penjualan
atau melakukan kontrak untuk barang dan jasa, menghubungi
pemasok, tawar menawar dengan wakil penjual, tawar menawar
secara kelompok.
8. Representatif, yaitu kemampuan dalam menghadiri pertemuan-
pertemuan dengan perusahaan lain, pertemuan perkumpulan bisnis,
pidato untuk acara-acara kemasyarakatan, pendekatan
kemasyarakatan, mempromosikan tujuan umum perusahaan.
Managerial performance sebagai variable dependen ini diukur dengan
menggunakan instrumen self rating yang di kembangkan oleh Mahoney et al.
(1963) Jermias dan Yigit (2013). Instrumen ini telah teruji dalam penelitian
terdahulu, antara lain, oleh Brownell dan McInnes (1986), Frucot dan Shearon
(1991). Setiap responden diminta mengukur kinerjanya sendiri. Setiap responden
di minta menjawab sembilan butir pertanyaan berdasarkan delapan indikator
kinerja menurut Mahoney et al. (1963) dalam Jermias dan Yigit (2013) untuk
mengukur tingkat kinerja berdasarkan indikator terkait. Jawaban diberikan dengan
cara memilih skala dengan rentang antara 1 (Sangat buruk) sampai dengan 5
(Sangat baik). Nilai skala menunjukkan nilai skor jawaban setiap butir pertanyaan.
2.1.4 Procedural Fairness
Maiga dan Jacobs (2007) mengemukakan bahwa organizational fairness
memiliki dua aspek penting, yaitu procedural fairness dan distributive fairness.
Suatu bentuk keadilan / fairness ini sangat penting dalam suatu organisasi/
perusahaan, dimana bahwa implementasi akan prosedur yang adil (procedural
Universitas Kristen Petra
18
fairness) mengarah pada terpenuhinya atau dipatuhinya aturan dan keputusan
yang berhubungan dengan prosedur. Sebaliknya, kurang dipatuhinya suatu
prosedur dianggap tidak adil. Menurut Langevin (2010) berpendapat bahwa
budgeting juga mengandung aspek procedural fairness. Procedural fairness
adalah suatu bentuk keadilan dalam prosedur yang digunakan untuk menentukan
alokasi sumber daya organisasi, bukan jumlah sumber daya itu sendiri (Allen,
1982) dalam (Staley et al., 2003), selain itu (Thibaut dan Walker, 1975) dalam
(Staley et al., 2003) mendefinisikan procedural fairness merupakan reaksi
individu dalam sebuah organisasi tergantung pada kecukupan prosedur yang
digunakan untuk mengalokasikan sumber daya organisasi karena keyakinan
bahwa prosedur yang adil akan memberikan individu lebih banyak kontrol atas
proses keputusan, pada akhirnya akan menghasilkan hasil yang lebih
menguntungkan.
Procedural fairness didefinisikan sebagai "persepsi individu” dari
kewajaran komponen prosedural yang mengatur proses alokasi (Langevin, 2010).
Prosedur yang tidak adil akan mengarah menuju tingkat ketidakpatuhan yang
lebih tinggi. Ketidakadilan ini tentu akan menyebabkan ketidak puasan dan
tentunya akan sangat berpengaruh pada suatu organisasi/ perusahaan. Dengan
mempertimbangkan nilai dari procedural fairness, maka ada kecenderungan
bahwa perusahaan yang terikat dengan nilai dari pemeliharaan suatu keadilan,
akan bertindak untuk memastikan bahwa procedural fairness yang ada bernilai
tinggi.
Langevin (2010) berpendapat bahwa norma manajer dalam menilai
keadilan prosedural membutuhkan, misalnya, bahwa prosedur organisasi yang
formal memberikan kesempatan untuk menyuarakan pendapat mereka (Thibaut
dan Walker, 1975) dan untuk mengajukan banding terhadap keputusan yang tidak
menguntungkan (Greenberg, 1986), bahwa prosedur yang diterapkan secara
konsisten (Barrett-Howard dan Tyler, 1986) dan bahwa prosedur memastikan
bahwa informasi yang akurat dimasukkan ke pengambilan keputusan (Leventhal,
1980). Organisasi menerapkan prosedur penganggaran yang menentukan
bagaimana anggaran tujuan ditetapkan, kinerja diukur dan akhir tahun imbalan
yang diberikan. Sebagai manajer hendaknya memperhatikan kewajaran prosedur
Universitas Kristen Petra
19
tersebut. Satu penjelasan untuk procedural fairness adalah bahwa karyawan
melihat prosedur alokasi yang adil sebagai cara untuk memastikan mereka akan
menerima distribusi yang adil atau baik dari organisasi (Leventhal, 1980; Brett,
1986) dalam Magner and Johnson (1995). Menurut Magner and Johnson (1995)
proses alokasi yang adil menyiratkan bahwa karyawan dipandang sebagai tujuan
dan dengan demikian akan meningkatkan martabat dan harga diri karyawan.
Teori dari procedural fairness berkaitan dengan dampak dari fairness
dari prosedur dalam pengambilan keputusan pada sikap dan perilaku orang-orang
yang terlibat dan dipengaruhi oleh keputusan-keputusan (Lind and Tyler, 1988;
Leventhal, 1980) dalam Maiga dan Jacobs, 2007. McFarlin dan Sweeney (1992)
dalam Aryani dan Rahmawati (2010) menjelaskan bahwa procedural fairness
berhubungan dengan persepsi bawahan mengenai seluruh proses yang diterapkan
oleh atasan mereka, sebagai sarana untuk mengkomunikasikan feed-back kinerja
dan untuk menentukan reward bagi mereka seperti promosi atau kenaikan gaji,
selain itu procedural fairness berkaitan dengan apakah karyawan percaya atau
menganggap prosedur dan hasil telah adil, bukan apakah prosedur dan hasil telah
adil dalam pengertian yang lebih obyektif (Lind dan Tyler,1988) dalam Maiga dan
Jacobs, 2007.
Procedural fairness sering dilihat sebagai having ‘voice’ dalam
budgetary process (Byrne and Damon, 2008) dalam Zainuddin dan Isa, 2011.
‘Voice’ merupakan sebuah keterlibatan dalam berkontribusi memberikan opini
ketika proses pembuatan pengambilan keputusan dalam penyusuan anggaran,
‘Voice’ dipandang sebagai sesuatu yang adil karena memungkinkan karyawan
memiliki kesempatan untuk mempengaruhi hasil atau proses keputusan yang
mempengaruhi mereka (Zainuddin dan Isa, 2011). Procedural fairness
menunjukkan bahwa jika individu memiliki kesempatan untuk mengekspresikan
pendapat mereka, mereka akan merasa bahwa mereka dapat mengontrol hasil
mereka. ‘Voice’ dipandang sebagai fairness karena memungkinkan karyawan
kesempatan untuk mempengaruhi hasil atau proses keputusan yang
mempengaruhi mereka. Dengan adanya partisipasi dalam proses penganggaran,
bawahan akan diberikan kesempatan untuk mengekspresikan pandangan mereka
dan ini akan meningkatkan kepuasan bawahan dalam melaksanakan tugas-tugas
Universitas Kristen Petra
20
mereka meskipun anggaran tak terjangkau atau tidak adil (Zainuddin dan Isa,
2011).
Dalam penelitian yang dilakukan Magner dan Johnson (1995), Leventhal
(1980) mengusulkan kepada orang-orang untuk menerapkan kriteria berikut dalam
mengevaluasi kewajaran (fairness) dari proses alokasi, meliputi:
1. Representativeness - proses penggabungan pemikiran dan nilai-
nilai dari semua subkelompok yang terkena dampak daru sebuah
keputusan.
2. Accuracy - keputusan didasarkan pada informasi yang akurat dan
ahli atau pendapat yang dinformasikan dengan baik.
3. Competency - semua orang yang terkena dampak proses dari
sebuah keputusan menerima perlakuan yang sama (contohnya:
consistency across persons) dan proses yang digunakan setiap
kali dengan cara yang sama (contohnya: consistency across
time.).
4. Bias suppression - pengambil keputusan tidak memiliki
kepentingan dalam sebuah keputusan dan memberikan semua
sudut pandang yang memadai.
5. Correctability - proses yang berisi ketentuan untuk mengoreksi
keputusan yang buruk. -
6. Ethicality - proses sesuai dengan standar pribadi etika dan
moralitas.
Ketika distribusi anggaran ditentukan secara adil, maka informasi
mengenai proses penentuannya menjadi tidak penting dalam memotivasi
pencapaian target. Di lain pihak, ketika distribusi anggaran ditentukan dengan
tidak adil, maka individu (manajer pusat pertanggungjawaban) berusaha mencari
informasi mengenai bagaimana proses penentuan distribusi anggaran tersebut.
Jika hal itu dihasilkan dari proses yang tidak adil, maka individu menjadi merasa
sangat marah (tidak puas), sehingga kurang termotivasi untuk mencapai target
anggaran. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Maiga dan Jacobs (2007) yang
diadaptasi dari penelitian sebelumnya (Levanthal, 1980; Magner and Johnson,
Universitas Kristen Petra
21
1995; Greenberg, 1993), maka diperoleh indikator yang digunakan untuk
mengukur procedural fairness pada penelitian ini yakni :
1. Prosedur penganggaran diterapkan secara sama disemua divisi.
2. Prosedur penganggaran diterapkan secara sama dari waktu ke waktu.
3. Keputusan penganggaran untuk suatu area didasarkan pada
pertanggungjawaban berdasarkan informasi akurat dan opini yang
diinformasikan secara baik.
4. Prosedur penganggaran yang sedang berjalan berisi aturan untuk
semua divisi
5. Prosedur penganggaran yang sedang berjalan sesuai standar etika
dan moralitas.
6. Pengambil keputusan penganggaran adil dalam mengambil
keputusan.
7. Prosedur penganggaran yang sedang berjalan menjawab
permasalahan pada semua divisi.
8. Pengambil keputusan memberikan informasi yang cukup mengenai
cara alokasi anggaran untuk suatu divisi.
Procedural fairness sebagai variable intervening ini diukur
menggunakan delapan pertanyaan Linkert scale type questionnaire.
Pertanyaan yang akan diajukan diambil dari penelitian Maiga dan Jacobs
(2007) yang terdiri dari enam pertanyaan yang diadaptasi berdasarkan
penelitian dari Magner dan Johnsons (1995), yang berkaitan dengan lima dari
enam aturan berdasarkan penelitian oleh Leventhal (1980) untuk menentukan
kewajaran/ fairness dari alokasi prosedur. Dua pertanyaan tersisa
dikembangkan berdasarkan penelitian dari Leventhal (1980) untuk mengatasi
aturan keterwakilan dan aspek informasi dari procedural fairness (Greenberg,
1993) dalam (Magner dan Johnsons, 1995). Setiap responden di minta
menjawab delapan butir pertanyaan untuk mengukur tingkat procedural
fairness dalam suatu organisasi. Jawaban diberikan dengan cara memilih
skala dengan rentang antara 1 (Sangat tidak setuju) sampai dengan 5 (Sangat
setuju). Nilai skala menunjukkan nilai skor jawaban setiap butir pertanyaan.
Universitas Kristen Petra
22
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai dampak budget participation terhadap manager
performance telah banyak dilakukan. Penelitian kali ini mencoba melihat
bagaimana dampak budget participation terhadap manager performance jika
melalui procedural fairness sebagi variable intervening.
Peneltian mencoba meneliti dampak budget participation terhadap
manager performance, bahwa peneliti hubungan budget participation secara
positif mempengaruhi managerial performance (Adler dan Reid, 2008; Breaux et
al., 2011; Brownell dan Mcillness, 1986; Hashim et al., 2014; Frucot dan White,
2006; Mah’d et al., 2013; Leach-Lopez et al., 2009; Yahya et al., 2008; Kren,
1992; Hanifah, 2013; Leach-Lopez et al., 2008; Jermias dan Yigit (2013); Chong
dan Tak-Wing, 2003; Deliana, 2015; Kenis, 1979). Sementara itu, beberapa
peneliti menemukan hasil yang berbeda, seperti Kuhuparuw (2014); Stedry
(1960), Bryan dan Locke (1967) dalam penelitian Kuhuparuw (2014),
menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara budget participation dan
managerial performance. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Douglas et al.
2007; Etemadi et al. 2009; Dakhli 2010 dalam Jermias dan Yigit (2013),
menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara budget participation dan
managerial performance. Cheng (2012) menemukan terdapat hubungan yang
negatif antara budget participation dan managerial performance jika faktor
broad-scope management accounting systems rendah.
Peneltian mencoba meneliti dampak budget participation terhadap
procedural fairness, seperti yang dilakukan oleh Maiga dan Jacobs (2007);
Rachman (2012); Langevin (2010); Magner dan Johnson (1995); Owusu et.al,
(2014); Zainuddin dan Isa (2013) menemukan bahwa budget participation
berpengaruh positif secara signifikan terhadap procedural fairness. Zainuddin dan
Isa (2011), menemukan bahwa bahwa budget participation berpengaruh terhadap
procedural fairness.
Peneltian mencoba meneliti dampak procedural fairness terhadap
manager performance, seperti yang dilakukan oleh Astuty (2014); Rachman
(2014); Aryani dan Rahmawati (2010); Siahay (2014); menemukan bahwa
procedural fairness berpengaruh secara positif terhadap managerial performance,
Universitas Kristen Petra
23
sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila prosedur penyusunan anggaran
dipersepsikan adil (procedural fairness), maka akan berpengaruh terhadap
peningkatan kinerja manajerial manajer pusat pertanggungjawaban. Namun
berbeda dengan penelitian yang dilakukan Hayat dan Laksamana (2014) yang
menemukan bahwa procedural fairness berpengaruh secara positif tidak
signifikan terhadap managerial performance.
Peneltian mencoba meneliti dampak budget participation terhadap
manager performance melalui procedural fairness, seperti yang dilakukan oleh
Siahay (2014); Astuty (2014); Aryani dan Rahmawati (2010) menemukan bahwa
terdapat hubungan positif secara signifikan antara budget participation dan
managerial performance melalui procedural fairness.
2.3 Hubungan antar variabel
2.3.1 Pengaruh Budget Participation terhadap Manager
Performance
Bagi beberapa orang, partisipasi merupakan bagian yang penting dalam
bekerja pada suatu organisasi melalui peningkatan kinerja. Para manajer lebih
termotivasi untuk meningkatkan kinerja manajerial sesuai dengan anggaran,
dimana mereka terlibat dalam proses penyusunannya dan menerima pendelegasian
wewenang yang relatif besar dalam pembuatan keputusan yang berkaitan dengan
anggaran. Penelitian yang dilakukan Yucel & Gunluk (2007) dalam Deliana
(2015) menyatakan budget participation adalah alat penting untuk perencanaan
dan memotivasi kinerja bawahan. Keterlibatan manajer dalam proses
penganggaran akan menyebabkan manajer merasa dihargai, serta akan
meningkatkan rasa tanggung jawab untuk anggaran telah disiapkan, sehingga akan
meningkatkan kinerja manajer. Menurut Hanifah (2013), ketika anggaran yang
ditetapkan dengan melibatkan bawahan sehingga akan menumbuhkan rasa untuk
berkomitmen dari bawahan maka akan meningkatkan upaya mereka untuk
mencapai target anggaran dan meningkatkan kinerja mereka. Selain itu menurut
Bahrul (2002) dalam Hashim et al. (2014) menunjukkan bahwa partisipasi dalam
penyusunan anggaran memberikan kesempatan bagi para pemimpin dan staf turun
untuk bernegosiasi dengan atasan mereka tentang kemungkinan target anggaran
Universitas Kristen Petra
24
yang dapat dicapai dan lebih realistis. Hal ini tentu akan berdampak pada kinerja
dari manajer itu sendiri.
Berbagai peneliti telah meneliti hubungan dan pengaruh budget
participation dan managerial performance, namun banyak peneliti yang
menemukan banyak perbedaan dalam hasil penelitiannya. Adler dan Reid, 2008;
Breaux et al., 2011; Brownell dan Mcillness, 1986; Hashim et al., 2014; Frucot
dan White, 2006; Mah’d et al., 2013; Leach-Lopez et al., 2009; Yahya et al.,
2008; Leslie Kren, 1992; Hanifah, 2013; Leach-Lopez et al., 2008; Jermias dan
Yigit (2013); Chong dan Tak-Wing, 2003; Deliana, 2015; Kenis, 1979;
menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara budget participation
dan managerial performance.
Sementara itu, beberapa peneliti menemukan hasil yang berbeda, seperti
Kuhuparuw (2014); Stedry (1960), Bryan dan Locke (1967) dalam Kuhuparuw
(2014), menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara budget participation
dan managerial performance. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Douglas
et al. 2007; Etemadi et al. 2009; Dakhli 2010 dalam Jermias dan Yigit (2013),
menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara budget participation dan
managerial performance. Cheng (2012) menemukan terdapat hubungan yang
negatif antara budget participation dan managerial performance jika faktor
broad-scope management accounting systems rendah.
Berdasarkan teori-teori sebelumnya di atas, maka hipotesis dalam
penelitian ini adalah:
H1: Budget Participation berpengaruh positif terhadap Managerial
Performance.
2.3.2 Pengaruh Budget Participation terhadap Procedural Fairness
Adanya partisipasi mendorong setiap manajer untuk meningkatkan
prestasinya dan bekerja lebih keras karena mereka menganggap bahwa target
organisasi merupakan target pribadinya juga (Hariadi,2002) dalam Kuhuparuw,
2014. Menurut (Brownell dan Mcilnnes, 1986) menyatakan bahwa partisipasi
dalam konteks penganggaran adalah proses dimana individu yang kinerjanya
Universitas Kristen Petra
25
dievaluasi dan diberikan penghargaan berdasarkan pencapaian dari anggaran,
partisipasi dan berpengaruh dalam proses penganggaran. Menurut Langevin
(2010) partisipasi anggaran adalah unsur keadilan prosedural karena memberikan
manajer perasaan untuk memiliki kontrol tertentu atas proses dengan
memungkinkan mereka untuk mengekspresikan pendapat mereka. Ketika individu
berpartisipasi dalam proses penganggaran, mereka mendapatkan kontrol atas
proses ini. Disini procedural fairness bersangkutan pada pengambilan sebuah
keputusan atau proses diterapkannya untuk menentukan anggaran akhir.
Teori dari procedural fairness merupakan berkaitan dengan dampak dari
fairness dari prosedur pengambilan keputusan pada sikap dan perilaku orang-
orang yang terlibat dan dipengaruhi oleh keputusan-keputusan (Lind and Tyler,
1988; Leventhal, 1980) dalam Maiga dan Jacobs, 2007. McFarlin dan Sweeney
(1992) dalam Aryani dan Rahmawati (2010) menjelaskan bahwa procedural
fairness berhubungan dengan persepsi bawahan mengenai seluruh proses yang
diterapkan oleh atasan mereka, sebagai sarana untuk mengkomunikasikan feed-
back kinerja dan untuk menentukan reward bagi mereka seperti promosi atau
kenaikan gaji, selain itu procedural fairness berkaitan dengan apakah karyawan
percaya atau menganggap prosedur dan hasil telah adil, bukan apakah prosedur
dan hasil telah adil dalam pengertian yang lebih obyektif (Lind dan Tyler,1988)
dalam Maiga dan Jacobs, 2007. Procedural fairness bersangkutan atas kewajaran
prosedur dalam pengambilan keputusan atau proses diterapkan untuk menentukan
anggaran akhir. Berdasarkan teori procedural fairness, partisipasi memungkinkan
bawahan untuk memiliki voice dan vote, yang membuat mereka merasa bahwa
prosedur adil (Lindquist, 1995) dalam Zainuddin dan Isa (2011). Ketika mereka
memiliki voice dan vote, mereka merasa bahwa mereka memiliki tingkat kontrol
yang tinggi dari proses dalam anggaran (Lindquist, 1995) dalam Zainuddin dan
Isa (2011). Dengan demikian, disarankan bahwa ketika tingkat kontrol proses
meningkat, persepsi keadilan prosedural juga akan meningkat.
Berbagai peneliti telah meneliti hubungan pengaruh budget participation
dan Procedural Fairness. Maiga dan Jacobs (2007), menemukan bahwa budget
participation berpengaruh positif secara signifikan terhadap procedural fairness.
Zainuddin dan Isa (2011), menemukan bahwa bahwa budget participation
Universitas Kristen Petra
26
berpengaruh terhadap procedural fairness. Siahay (2014), juga menemukan
bahwa budget participation berpengaruh positif secara signifikan terhadap
procedural fairness. Selain itu, Rachman (2012) menemukan bahwa hubungan
antara budget participation dan procedural fairness berpengaruh positif secara
signifikan. Selain itu, Langevin (2010), Magner dan Johnson (1995) dan Owusu
et.al, (2014) juga menemukan bahwa budget participation berpengaruh positif
secara signifikan terhadap procedural fairness.
Berdasarkan teori-teori sebelumnya di atas, maka hipotesis dalam
penelitian ini adalah:
H2: Budget Participation berpengaruh positif terhadap Procedural
Fairness.
2.3.3 Pengaruh Procedural Fairness terhadap Manager
Performance
Sistem penganggaran merupakan komponen-komponen yang berperan
serta dalam mewujudkan tersusunnya suatu rencana keuangan baik rencana
jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan penggunaan anggaran secara
terus menerus, maka fungsi anggaran sebagai alat pengendalian akan tercapai.
Penganggaran akan berjalan lebih baik jika terdapat umpan balik dari karyawan
perusahaan, hal ini tentunya menunjukkan partisipasi yang dilakukan oleh seorang
karyawan. McFarlin dan Sweeney (1992) dalam Aryani dan Rahmawati (2010)
menyimpulkan bahwa persepsi keadilan dapat digunakan untuk mengevaluasi
kinerja staf. Hasil dari proses evaluasi tersebut dapat digunakan untuk
berkomunikasi (umpan balik) dari kinerja mereka dan memutuskan penghargaan
seperti promosi. Selain itu dalam Hayat dan Laksamana (2014) menyatakan
bahwa semakin tinggi rasa keadilan dalam prosedur penganggaran, makan
terdapat pengaruh yang besar untuk pencapaian kinerja.
Procedural fairness mengukur seberapa besar sesuatu dianggap adil.
Ketika distribusi anggaran ditentukan secara adil, maka informasi mengenai
proses penentuannya menjadi tidak penting dalam memotivasi pencapaian target.
Di lain pihak, ketika distribusi anggaran ditentukan dengan tidak adil, maka
Universitas Kristen Petra
27
individu (manajer pusat pertanggungjawaban) berusaha mencari informasi
mengenai bagaimana proses penentuan distribusi anggaran tersebut. Jika hal itu
dihasilkan dari proses yang tidak fair, maka individu menjadi merasa sangat
marah (tidak puas), sehingga kurang termotivasi untuk mencapai target anggaran
(Brownell, 1983) dalam Adler dan Reid (2008). Hal tersebut tentu akan
mempengaruhi kinerja. Hal tersebut akan mempengaruhi hubungan procedural
fairness dengan managerial performance.
Persepsi karyawan tentang aspek-aspek keadilan dalam kehidupan
organisasi merupakan bentuk reaksi karyawan yang berhubungan dengan
penilaian tentang kewajaran dan kelayakan yang terdapat dalam kehidupan
berorganisasi (Folger dan Konovsky, 1989) dalam Zainuddin dan Isa, 2011.
Procedural fairness sering dilihat sebagai having ‘voice’ dalam budgetary process
(Byrne and Damon, 2008) dalam Zainuddin dan Isa, 2011. Penelitian tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi penilaian kinerja manajer telah banyak
dilakukan, salah satu faktor yang mempengaruhi adalah adanya pengaruh dari
procedural fairness.
Berbagai peneliti telah meneliti hubungan pengaruh procedural fairness
dan manager performance. Astuty (2014) menemukan bahwa procedural fairness
berpengaruh secara positif terhadap manager performance, populasi penelitian ini
adalah semua 212 cabang pegadaian yang terletak di Sumatera Utara di mana
responden adalah individu manajer cabang yang memiliki tanggung jawab sebagai
manajer pusat laba. Rachman (2014) menemukan bahwa procedural fairness
berpengaruh secara positif terhadap manager performance, sehingga dapat
disimpulkan bahwa apabila prosedur penyusunan anggaran dipersepsikan adil
(procedural fairness), maka akan berpengaruh terhadap peningkatan kinerja
manajerial manajer sebagai pusat pertanggungjawaban. Selain itu, Siahay (2014);
Aryani dan Rahmawati (2010) juga menemukan bahwa terdapat hubungan positif
secara signifikan antara budget participation dan managerial performance
melalui procedural fairness.
Berdasarkan teori-teori sebelumnya di atas, maka hipotesis dalam
penelitian ini adalah:
Universitas Kristen Petra
28
H3: Procedual fairness berpengaruh positif terhadap Managerial
Performance.
2.4 Kerangka Pemikiran Teoritis
Model berikut menggambarkan kerangka berpikir yang digunakan dalam
penelitian ini. Dilakukan penelitian untuk meneliti pengaruh budget participation
terhadap managerial performance melalui procedural fairness sebagai variabel
intervening.
H1
H2 H3
Gambar 2.1 Model analisis hipotesis
2.5 Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis yang
merupakan jawaban sementara dari permasalahan dipenelitian ini, yaitu sebagai
berikut :
H10: Tidak terdapat pengaruh positif antara budget participation terhadap
managerial performance pada perusahaan diberbagai sektor.
H1a: Terdapat pengaruh positif antara budget participation terhadap
managerial performance pada perusahaan diberbagai sektor.
H20: Tidak terdapat pengaruh positif budget participation terhadap
procedural fairness pada perusahaan diberbagai sektor.
Budget Participation
(Variabel Independen)
Managerial Performance
(Variabel Dependen)
Procedural Fairness
(Variabel Intervening)
Universitas Kristen Petra
29
H2a: Terdapat pengaruh positif budget participation terhadap procedural
fairness pada perusahaan diberbagai sektor.
H30: Tidak terdapat pengaruh positif antara procedural fairness terhadap
managerial performance pada perusahaan diberbagai sektor.
H3a: Terdapat pengaruh positif antara procedural fairness terhadap
managerial performance pada perusahaan diberbagai sektor.