Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
Universitas Kristen Petra
2. STUDI LITERATUR DAN IDENTIFIKASI DATA
2.1 Studi Literatur
2.1.1. Tinjauan Permainan
Dunia anak tak lepas dari kegiatan bermain. Bermain merupakan kegiatan
utama yang dilakukan anak dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya
untuk membangun pengetahuannya. Menurut Huizinga, permainan adalah suatu
perbuatan atau kegiatan sukarela, yang dilakukan dalam batas-batas ruang dan
waktu tertentu yang sudah ditetapkan, menurut aturan yang telah diterima secara
sukarela tapi mengikat sepenuhnya, dengan tujuan dalam dirinya sendiri, disertai
oleh perasaan tegang dan gembira, dan kesadaran”lain daripada kehidupan sehari-
hari” (39).
Menurut Bettelheim kegiatan bermain adalah kegiatan yang “tidak
mempunyai peraturan lain kecuali yang ditetapkan pemain sendiri dan tidak ada
hasil akhir yang dimaksudkan dalam realitas luar.” (dikutip dalam Prabowo 4).
Bermain merupakan aktivitas yang spontan dan melibatkan motivasi serta prestasi
dalam diri anak yang mendalam. Karena dalam alam dunianya, seorang anak
merupakan decision maker dan play master (dalam Akbar, Hawadi 5-6). Bermain
juga merupakan dunia olah raga bagi anak, di mana anak bermain tanpa aturan
dan banyak menggunakan fisik, melatih otot-ototnya (Akbar, Hawadi 6).
Bermain tentunya merupakan hal yang berbeda dengan belajar dan
bekerja. Menurut Hughes, seorang ahli perkembangan anak dalam bukunya
Children, Play, and Development, mengatakan harus ada 5 (lima) unsur dalam
suatu kegiatan yang disebut bermain. Kelima unsur tersebut adalah :
− Tujuan bermain adalah permainan itu sendiri dan si pelaku mendapat
kepuasan karena melakukannya, bukan untuk misalnya mendapatkan
uang.
− Dipilih secara bebas. Permainan dipilih sendiri, dilakukan atas kehendak
sendiri dan tidak ada yang menyuruh ataupun memaksa.
− Menyenangkan dan dinikmati.
− Ada unsur khayalan dalam kegiatannya.
http:www.petra.ac.idhttp://dewey.petra.ac.id/dgt_directory.php?display=classificationhttp://digilib.petra.ac.id/help.htlm
9
Universitas Kristen Petra
− Dilakukan secara aktif dan sadar (dikutip dalam Prabowo 5)
2.1.1.1. Karakteristik bermain
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Smith, Garvery, Rubin, Fein
dan Vandenberg diungkapkan adanya beberapa ciri kegiatan bermain, yaitu
sebagai berikut:
1. Dilakukan berdasarkan motivasi intrinsik, maksudnya muncul berdasar
keinginan pribadi serta untuk kepentingan sendiri. Perasaan dari orang yang
terlibat dalam kegiatan bermain diwarnai oleh emosi-emosi yang positif.
Kalaupun emosi positif tidak tampil, setidaknya kegiatan bermain mempunyai
nilai bagi anak. Kadang-kadang kegiatan bermain dibarengi oleh perasaan
takut, misalnya saat harus meluncur dari tempat tinggi, namun anak
mengulang-ulang kegiatan itu karena ada rasa nikmat yang diperolehnya.
2. Fleksibilitas yang ditandai mudahnya kegiatan beralih dari satu aktivitas ke
aktivitas lain.
3. Lebih menekankan pada proses yang berlangsung dibandingkan hasil akhir.
Saat bermain, perhatian anak-anak lebih terpusat pada kegiatan yang
berlangsung dibandingkan tujuan yang ingin dicapai. Tidak adanya tekanan
untuk mencapai prestasi membebaskan anak untuk mencoba berbagai variasi
kegiatan. Karena itu bermain cenderung lebih fleksibel karena tidak semata-
mata ditentukan oleh sasaran yang ingin dicapai.
4. Bebas memilih, dan ciri ini merupakan elemen yang sangat penting bagi
konsep bermain pada anak-anak kecil. Sebagai contoh, pada anak TK,
menyusun balok disebut bermain bila dilakukan atas kehendak anak. Tetapi
dikatagorikan dalam bekerja, bila ditugaskan oleh guru. Kebebasan memilih
menjadi tidak begitu penting bila anak beranjak besar. Menurut hasil
penelitian King (1979) pada anak kelas lima SD kesenangan yang didapat
lebih penting dibandingkan kebebasan untuk memilih sehingga pada usia di
atas pra sekolah, pleasure menjadi parameter untuk membedakan bermain
dengan bekerja.
5. Mempunyai kualitas pura-pura. Kegiatan bermain mempunyai kerangka
tertentu yang memisahkannya dari kehidupan nyata sehari-hari. Kerangka ini
10 Universitas Kristen Petra
berlaku terhadap semua bentuk kegiatan bermain seperti bermain peran,
menyusun balok-balok, menyusun kepingan gambar dan lain-lain. Realitas
internal lebih diutamakan dari pada realitas eksternal, karena anak memberi
'makna' baru terhadap objek yang dimainkan dan mengabaikan keadaan objek
yang sesungguhnya. Keadaan ini bisa kita simak saat anak bermain, tindakan-
tindakan anak akan berbeda dengan perilakunyan saat sedang tidak bermain.
Misalnya anak yang pura-pura minum dari 'cangkir' yang sebenarnya
berwujud balok, atau menganggap kepingan gambar sebagai kue keju.
Kualitas 'pura-pura' memungkinkan anak bereksperimen dengan
kemungkinan-kemungkinan baru (Ismail).
2.1.1.2. Pengaruh bermain bagi perkembangan anak.
Permainan meningkatkan afiliasi dengan teman sebaya, mengurangi
tekanan, meningkatkan perkembangan kognitif, meningkatkan daya jelajah dan
memberi tempat berteduh yang aman bagi perilaku yang secara potensial
berbahaya. Melalui bermain, anak melakukan proses belajar dalam pengembangan
dirinya baik fisik maupun mental yang bermanfaat bagi kehidupannya di masa
depan. Menurut Prabowo, ada banyak manfaat bermain seperti yang dijelaskan di
bawah ini :
− Perkembangan Fisik
Bermain aktif penting bagi anak untuk mengembangkan otot dan melatih
seluruh bagian tubuhnya. Bermain juga berfungsi sebagai penyaluran tenaga
yang berlebihan yang bila terpendam terus akan membuat anak tegang,
gelisah, dan mudah tesinggung.
− Dorongan Berkomunikasi
Agar dapat bermain dengan baik bersma yang lain, anak harus belajar
berkomunikasi dalam arti mereka dapat mengerti dan sebaliknya mereka
harus belajar mengerti apa yang dikomunikasikan anak lain.
− Penyaluran bagi kebutuhan dan Keinginan
Kebutuhan dan keinginan yang tidak dapat dipenuhi dengan cara lain
seringkali dapat dipenuhi dengan bermain. Anak yang tidak mampu
mencapai peran pemimpin dalam kehidupan nyata mungkin akan
11 Universitas Kristen Petra
memperoleh pemenuhan keinginan itu dengan menjadi pemimpin tentara
mainan
− Penyaluran bagi energi emosional yang terpendam
Bermain merupakan sarana bagi anak untuk menyalurkan ketegangan yang
disebabkan oleh pembatasan lingkungan terhadap perilaku mereka.
− Sumber Belajar
Seperti kata Reamonn O Donnchadha dalam bukunya The Confident Child
"Permainan akan memberi kesempatan untuk belajar menghadapi situasi
kehidupan pribadi sekaligus belajar memecahkan masalah"
(“Permainan Anak”).
− Standar Moral
Walaupun anak belajar di rumah dan di sekolah tentang apa saja yang
dianggap baik dan buruk oleh kelompok, tidak ada pemaksaan standar moral
paling teguh selain dalam kelompok bermain.
− Rangsangan bagi kreativitas
Melalui eksperimentai dalam bermain, anak-anak menemukan bahwa
merancang sesuatu yang baru dan berbeda dapat menimbulkan kepuasan.
Selanjutnya mereka dapat mengalihkan minat kreatifnya ke situasi di luar
dunia bermain
− Perkembangan Wawasan Diri
Dengan bermain anak mengetahui tingkat kemampuannya dibandingkan
dengan temannya bermain. Ini memungkinkan mereka untuk
mengembangkan konsep dirinya dengan lebih pasti dan nyata
− Belajar Bermasyarakat
Dengan bermain bersama anak lain, mereka belajar membentuk hubungan
sosial dan menghadapi serta memecahkan masalah yang timbul.
− Perkembangan Ciri Kepribadian
Dari hubungan dengan anggota kelompok teman sebaya dalam bermain, anak
belajar bekerjasama, murah hati, jujur, sportif dan disukai orang (7-8).
Dengan kegiatan bermain memberikan kesempatan kepada anak untuk
mempraktikkan rasa percayanya kepada orang lain dan kemampuan dalam
12 Universitas Kristen Petra
bernegosiasi, memecahkan masalah (problem solving) atau sekedar bergaul
dengan orang sekitarnya. (“Permainan Anak”).
2.1.1.3. Kategori Permainan
Dibawah ini merupakan kategori permainan menurut beberapa pakar,
seperti yang diulas dalam artikel Education Games.
1. Mildred Parten (1932)
Dalam Lifespan Development karya Jeffrey Turner dan Donald B. Helms
(1993), Mildred Parten menyoroti kegiatan bermain sebagai sarana sosialisasi.
Ia pun mengamati ada enam bentuk interaksi antar anak yang terjadi saat
mereka bermain. Pada keenam bentuk kegiatan bermain tersebut terlihat
adanya kadar interaksi sosial, mulai dari kegiatan bermain sendiri sampai
bermain bersama. Selengkapnya perkembangan tersebut yaitu:
a. Unoccupied play (bermain tidak sibuk)
Pada tahap ini anak tidak benar-benar terlibat dalam kegiatan bermain,
melainkan hanya mengamati kejadian di sekelilingnya yang menarik
perhatian anak. Bila tidak ada hal yang menarik, anak akan menyibukkan
diri dengan melakukan berbagai hal, seperti memainkan anggota tubuhnya,
mengikuti orang lain, berkeliling atau naik turun kursi tanpa tujuan yang
jelas.
b. Solitary play (bermain sendiri)
Solitary play biasanya tampak pada anak yang berusia amat muda. Anak
sibuk bermain sendiri, dan tampaknya tidak memperhatikan kehadiran anak-
anak lain di sekitarnya. Perilakunya egosentris, dengan ciri-ciri antara lain
tidak ada usaha untuk berinteraksi dengan anak lain. Mencerminkan sikap
memusatkan perhatian pada diri sendiri dan kegiatannya sendiri. Anak lain
baru dirasakan kehadirannya manakala misalnya mengambil alat
permainannya.
c. Onlooker play (penonton/pengamat)
Onlooker play yaitu kegiatan bermain dengan mengamati nak-anak lain
yang melakukan kegiatan bermain, dan tampak adanya minat yang semakin
besar terhadap kegiatan anak lain yang diamatinya. Jenis kegiatan bermain
13 Universitas Kristen Petra
ini pada umumnya tampak pada anak usia 2 tahun, atau dapat juga tampak
pada anak yang belum kenal dengan anak lain di suatu lingkungan baru,
sehingga malu atau ragu-ragu untuk bergabung dalam kegiatan bermain
yang sedang dilakukan anak-anak lainnya.
d. Parallel play (bermain Paralel)
Permainan model ini dilakukan secara bersama-sama oleh dua atau lebih
anak, namun belum tampak adanya interaksi di antara mereka. Mereka
melakukan kegiatan yang sama secara sendiri-sendiri. Bentuk kegiatan ini
akan tampak pada anak-anak yang sedang bermain mobil-mobilan, membuat
bangunan dari alat permainan lego atau balok-balok menurut kreasi masing-
masing. Bentuk lainnya dapat berupa bermain sepeda atau sepatu roda tanpa
berinteraksi.
e. Assosiative play (Permainan bersama)
Permainan ini ditandai dengan adanya interaksi antar anak yang bermain,
saling tukar alat permainan, tetapi jika diamati akan tampak bahwa mereka
sebenarnya tidak terlibat dalam kerja sama. Misalnya anak yang sedang
menggambar, mereka saling memberi komentar terhadap gambar masing-
masing, berbagi pensil berwarna, ada interaksi di antara mereka, namun
sebenarnya kegiatan menggambar itu mereka lakukan sendiri-sendiri.
Kegiatan bermain ini biasa tampak pada anak usia pra sekolah.
f. Cooperative Play (permainan bekerja sama)
Permainan ini ditandai dengan adanya kerja sama atau pembagian tugas dan
pembagian peran antara anak-anak yang terlibat dalam permainan, untuk
mencapai satu tujuan tertentu. Misalnya bermain dokter-dokteran, bekerja
sama membuat karya bangunan dari balok-balok dan semacamnya. Kegiatan
seperti ini biasanya tampak pada anak usia lima tahun, namun demikian
perkembangannya tergantung pada latar belakang orang tua, sejauh mana
meraka memberi kesempatan dan dorongan agar anak mau bergaul dengan
sesama temannya. Kegiatan bermain bersama teman sebenarnya merupakan
sarana untuk anak bersosialisasi atau bergaul atau membaur dengan orang
lain.
14 Universitas Kristen Petra
2. Jean Piaget (1962)
Sejalan dengan perkembangan kognisi atau daya pikir anak, Jean Piaget
mengemukakan tahapan bermain sebagai berikut:
a. Sensory Motor Play (Bermain yang mengandalkan indera dan gerakan-
gerakan tubuh, +3 atau 4 bulan - setengah tahun).
Bermain dimulai pada periode perkembangan kognitif sensori motor,
sebelum usia 3-4 bulan, gerakan atau kegiatan anak belum dapat
dikategorikan bermain, kegiatan anak semata-mata merupakan kelanjutan
dari kenikmatan yang diperolehnya. Kegiatan bayi hanya merupakan
pengulangan dari hal-hal yang dilakukan sebelumnya. Jean Piaget
menamakannya dengan reproductive assimilation. Meskipun demikian
kegiatan tersebut merupakan cikal-bakal dan kegiatan bermain di tahap
perkembangan selanjutnya.
Sejak usia 3-4 bulan, kegiatan anak lebih terkoordinasi dan dari
pengalamannya anak belajar bahwa dengan menarik mainan yang tergantung
di atas tempat tidurnya, maka mainan tersebut akan bergerak dan berbunyi.
Kegiatan seperti ini diulang berkali-kali dan menimbulkan rasa senang,
senang yang sifatnya fungsional dan senang karena dapat menyebabkan
sesuatu terjadi. Pada usia 7-11 bulan kegiatan yang dilakukan anak bukan
semata-mata berupa pengulangan, namun sudah disertai variasi.
Pada usia 18 bulan baru tampak adanya percobaan-percobaan aktif
pada kegiatan bermain anak. Anak sudah semakin mampu memvariasikan
tindakannya terhadap berbagai alat permainan. Hal ini merupakan awal dari
penjelajahan sistematik terhadap lingkungannya.
b. Symbolic atau Make Believe Play (+2-7 tahun)
Periode pra operasional yang terjadi antara 2-7 tahun dapat dikategorikan
Symbolic atau Make Believe Play, tandanya ialah anak dapat bermain khayal
dan bermain pura-pura. Pada masa ini anak lebih banyak bertanya dan
menjawab pertanyaan, mencoba berbagai kegiatan yang berkaitan dengan
konsep angka, ruang, kuantitas dan sebagainya. Seringkali anak menanyakan
sesuatu hanya sekedar bertanya, tidak terlalu memperdulikan jawaban yang
diperolehnya. Walau sudah dijawab anak akan terus bertanya lagi. Anak
15 Universitas Kristen Petra
sudah mulai dapat menggunakan berbagai benda sebagai simbol atau
representasi benda lain. Misalnya menggunakan sapu sebagai kuda-kudaan,
menganggap sobekan kertas sebagai uang dan lain-lain. Bermain simbolik
juga berfungsi untuk mengasimilasikan dan mengkonsolidasikan
(menggabungkan) pengalaman emosional anak. Setiap hal yang berkesan
bagi anak, akan dilakukan kembali dalam kegiatan bermainnya. Dalam
perkembangan selanjutnya, kegiatan bermain simbolik ini akan akan
semakin bersifat konstruktif dalam arti lebih mendekati kenyataan,
merupakan latihan berpikir serta mengarahkan anak untuk dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
c. Social Play Games with rules (+8-11 tahun)
Dalam bermain pada tahap yang tertinggi, penggunaan simbol lebih banyak
diwarnai oleh nalar dan logika yang bersifat objektif. Sejak usia 8-11 tahun
anak lebih banyak terlibat dalam kegiatan games with rules, di mana
kegiatan anak lebih banyak dikendalikan oleh aturan permainan.
d. Games with Rules and Sports (11 tahun ke atas)
Contoh lain dari kegiatan bermain yang memiliki aturan adalah olah raga.
Kegiatan bermain ini masih menyenangkan dan dinikmati anak-anak,
meskipun aturannya jauh lebih ketat dan diberlakukan secara kaku
dibandingkan dengan jenis permainan yang tergolong games seperti kartu
atau kasti. Anak senang melakukannya berulang-ulang dan terpacu untuk
mencapai prestasi sebaik-baiknya (Piaget, 1951; dalam Mayke, 2001).
Dengan demikian bagi Jean Piaget, bermain pada awalnya dilakukan hanya
sekedar demi kesenangan, lambat laun mengalami pergeseran. Bukan hanya
rasa senang yang menjadi tujuan, tetapi ada suatu hasil akhir tertentu yang
ingin dicapai, seperti ingin menang dan memperoleh hasil kerja yang baik.
2.1.1.4. Jenis Permainan
1. Permainan sensorimotor ialah perilaku yang diperlihatkan oleh bayi untuk
memperoleh kenikmatan dari melatih perkembangan (skema) sensorimotor
mereka.
16 Universitas Kristen Petra
2. Permainan praktis melibatkan pengulangan perilaku ketika keterampilan-
keterampilan baru sedang dipelajari atau ketika penguasaan dan koordinasi
keterampilan-keterampilan fisik atau mental dalam games atau olahraga.
3. Permainan pura-pura/simbolis terjadi ketika anak mentransformasikan
lingkungan fisik ke dalam suatu simbol (DeHart & Smith, 1991; Fein, 1986;
Howes, Unger & Seidner, 1989; Rogers & Sawyers, 1988).
4. Permainan sosial ialah permainan yang melibatkan interaksi sosial dengan
teman-teman sebaya.
5. Permainan konstruktif mengombinasikn kegiatan sensorimotor/praktis yang
berulang dengan representasi gagasan-gagasan simbolis. Permainan
konstruktif terjadi ketika anak-anak melibatkan diri dalam suatu kreasi atau
konstruksi suatu produk atau suatu pemecahan ciptaan sendiri.
6. Games ialah kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh kenikmatan yang
melibatkan aturan dan seringkali kompetisi dengan satu atau lebih orang.
(Santrock 274-5)
2.1.2. Tinjauan Permainan Edukatif
Beberapa orang tua sering menganggap bahwa bermain merupakan
aktivitas yang membuang waktu dan tidak berguna, mereka cenderung menuntut
anak mereka untuk belajar terus menerus demi memacu prestasi. Mereka lebih
suka melihat anaknya belajar dengan duduk rapih tanpa keributan, daripada
bergerak dan bersuara. (“Permainan Anak”). Padahal lewat bermain, anak-anak
dapat belajar banyak hal. Di bawah ini adalah unsur-unsur dari mainan Edukatif :
− Multifungsi
Dari satu mainan bisa didapat berbagai variasi mainan sehingga stimulasi yang
didapat anak juga lebih beragam.
− Melatih problem solving
Dalam memainkannya anak diminta untuk melakukan problem solving. Dalam
17 Universitas Kristen Petra
permainan puzzle misalnya, anak diminta untuk menyusun potongan-
potongannya menjadi utuh.
− Melatih konsep-konsep dasar
Lewat permainan ini, anak dilatih untuk mengembangkan kemampuan
dasarnya seperti mengenal bentuk, warna, besaran, juga melatih motorik halus.
− Melatih ketelitian dan ketekunan
Dengan mainan edukatif, anak tak hanya sekadar menikmati tetapi juga
dituntut untuk teliti dan tekun ketika mengerjakannya.
− Merangsang kreativitas
Permainan ini mengajak anak untuk selalu kreatif lewat berbagai variasi
mainan yang dilakukan. Bila sejak kecil anak terbiasa untuk menghasilkan
karya, lewat permainan rancang bangun misalnya, kelak dia akan lebih
berinovasi untuk menciptakan suatu karya, tidak hanya mengekor saja.
− Melatih kemampuan motorik
Stimulasi untuk motorik halus diperoleh saat anak menjumput mainannya,
meraba, memegang dengan kelima jarinya, dan sebagainya. Sedangkan
rangsangan motorik kasar didapat anak saat menggerak-gerakkan mainannya,
melempar, mengangkat, dan sebagainya.
− Melatih konsentrasi
Mainan edukatif dirancang untuk menggali kemampuan anak, termasuk
kemampuannya dalam berkonsentrasi. Saat menyusun pasel, katakanlah, anak
dituntut untuk fokus pada gambar atau bentuk yang ada di depannya -- ia tidak
berlari-larian atau melakukan aktivitas fisik lain sehingga konsentrasinya bisa
lebih tergali. Tanpa konsentrasi, bisa jadi hasilnya tidak memuaskan.
− Mengenalkan konsep sebab akibat
Contohnya, dengan memasukkan benda kecil ke dalam benda yang besar anak
akan memahami bahwa benda yang lebih kecil bisa dimuat dalam benda yang
lebih besar. Sedangkan benda yang lebih besar tidak bisa masuk ke dalam
18 Universitas Kristen Petra
benda yang lebih kecil. Ini adalah pemahaman konsep sebab akibat yang
sangat mendasar.
− Melatih bahasa dan wawasan
Permainan edukatif sangat baik bila dibarengi dengan penuturan cerita. Hal ini
akan memberikan manfaat tambahan buat anak, yakni meningkatkan
kemampuan berbahasa juga keluasan wawasannya.
− Mengenalkan warna dan bentuk
Dari mainan edukatif, anak dapat mengenal ragam bentuk dan warna. Ada
benda berbentuk kotak, segiempat, bulat dengan berbagai warna; biru, merah,
hijau, dan lainnya (“Pilihan Mainan Edukatif agar Si Kecil Rukun” ).
2.1.3. Tinjauan Perkembangan Anak Usia 6-9 Tahun.
Papalia dan Old (1987) membagi masa kanak-kanak dalam lima tahap :
1. Masa Prenatal, yaitu diawali dari masa konsepsi sampai masa lahir
2. Masa bayi dan tatih, yaitu saat usia 18 bulan pertama kehidupan merupakan
masa bayi, di atas usia 18 bulan sampai dengan tiga tahun merupakan masa
tatih. Saat tatih inilah, anak-anak menuju penguasaan bahasa dan motorik serta
kemandirian.
3. Masa kanak-kanak pertama, yaitu rentang usia 3-6 tahun, masa ini dikenal
juga dengan masa prasekolah.
4. Masa kanak-kanak kedua, yaitu usia 6-12 tahun, dikenal pula sebagai masa
sekolah. Anak-anak telah mampu menerima pendidikan formal dan menyerap
berbagai hal yang ada di lingkungannya.
5. Masa remaja, yaitu rentang usia 12-18 tahun. Saat anak mencari identitas
dirinya dan banyak menghabiskan waktuya dengan teman sebayanya serta
berupaya lepas dari kungkungan orang tua. (Akbar, Hawadi 4)
19 Universitas Kristen Petra
Dan yang dibahas lebih lanjut disini adalah rentang usia sasaran pengguna yang
dibidik. Berikut merupakan deskripsi perkembangan dalam masa kanak-kanak
kedua:
− Perkembangan Fisik
Dalam usia ini, otot-otot anak menjadi lebih kuat dan tulang-tulang tumbuh
menjadi lebih besar dan keras (Akbar, Hawadi 6). Damon & Hart menyatakan
bahwa kemampuan fisik berkaitan erat dengan self-image anak. Anak yang
memiliki kemampuan fisik yang lebih baik di bidang olah raga akan
menyebabkan dia dihargai teman-temannya (dikutip dalam Wijaya).
− Perkembangan Motorik
Menurut Petterson, usia emas dalam perkembangan motorik adalah middle
childhood atau masa pertengahan anak-anak/ masa kanak-kanak kedua
(dikutip dalam Wijaya). Selama masa pertengahan dan akhir anak-anak,
perkembangan motorik anak-anak menjadi lebih halus dan terkoordinasi
daripada pada masa awal anak-anak. Ketika anak-anak memasuki sekolah
dasar, mereka memperoleh kendali yang lebih besar atas tubuh mereka dan
dapat duduk serta berdiri dalam waktu yang lebih lama. Perkembangan
motorik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
perkembangan individu secara keseluruhan. Beberapa pengaruh
perkembangan motorik terhadap konstelasi perkembangan individu
dipaparkan oleh Hurlock sebagai berikut (dikutip dalam Wijaya):
− Melalui keterampilan motorik, anak dapat menghibur dirinya dan
memperoleh perasaan senang. Seperti anak merasa senang dengan
memiliki keterampilan memainkan boneka, melempar dan menangkap
bola atau memainkan alat-alat mainan.
− Melalui perkembangan motorik, anak dapat menyesuaikan dirinya
dengan lingkungan sekolah.
− Melalui perkembangan motorik yang normal memungkinkan anak dapat
bermain atau bergaul dengan teman sebayannya, sedangkan yang tidak
normal akan menghambat anak untuk dapat bergaul dengan teman
20 Universitas Kristen Petra
sebayanya bahkan dia akan terkucilkankan atau menjadi anak yang
terpinggirkan.
− Perkembangan keterampilan motorik sangat penting bagi perkembangan
self-concept atau kepribadian anak.
Stimulasi yang bisa diberikan untuk mengoptimalkan perkembangan motorik
anak adalah:
1. Dasar-dasar keterampilan untuk menulis (huruf arab dan latin) dan
menggambar.
2. Keterampilan berolah raga (seperti senam) atau menggunakan alat-alat
olah raga.
3. Gerakan-gerakan permainan, seperti meloncat, memanjat dan berlari.
4. Baris-berbaris secara sederhana untuk menanamkan kebiasaan
kedisiplinan dan ketertiban.
5. Gerakan-gerakan ibadah shalat (dikutip dalam Wijaya par.2)
− Perkembangan Kognitif
Dalam keadaan normal, pada periode ini pikiran anak berkembang secara
berangsur – angsur. Jika pada periode sebelumnya, daya pikir anak masih
bersifat imajinatif dan egosentris, maka pada periode ini daya pikir anak sudah
berkembang ke arah yang lebih konkrit, rasional dan objektif. Daya ingatnya
menjadi sangat kuat, sehingga anak benar-benar berada pada stadium belajar.
Menurut teori Piaget, pemikiran anak – anak usia sekolah dasar disebut
pemikiran Operasional Konkrit (Concrete Operational Thought), artinya
aktivitas mental yang difokuskan pada objek – objek peristiwa nyata atau
konkrit. Dalam upaya memahami alam sekitarnya, mereka tidak lagi terlalu
mengandalkan informasi yang bersumber dari pancaindera, karena ia mulai
mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh mata
dengan kenyataan sesungguhnya. Dalam masa ini, anak telah mengembangkan
3 macam proses yang disebut dengan operasi – operasi, yaitu:
21 Universitas Kristen Petra
− Negasi (Negation)
Yaitu pada masa konkrit operasional, anak memahami hubungan –
hubungan antara benda atau keadaan yag satu dengan benda atau
keadaan yang lain.
− Hubungan Timbal Balik (Resiprok)
Yaitu anak telah mengetahui hubungan sebab-akibat dalam suatu
keadaan.
− Identitas
Yaitu anak sudah mampu mengenal satu persatu deretan benda-benda
yang ada. Operasi yang terjadi dalam diri anak memungkinkan pula
untuk mengetahui suatu perbuatan tanpa melihat bahwa perbuatan
tersebut ditunjukkan. Jadi, pada tahap ini anak telah memiliki struktur
kognitif yang memungkinkanya dapat berfikir untuk melakukan suatu
tindakan, tanpa ia sendiri bertindak secara nyata.
a. Perkembangan Memori
Selama periode ini, memori jangka pendek anak telah berkembang
dengan baik. Akan tetapi, memori jangka panjang tidak terjadi
banyak peningkatan dengan disertai adanya keterbatasan –
keterbatasan. Untuk mengurangi keterbatasan tersebut, anak
berusaha menggunakan strategi memori, yaitu merupakan perilaku
disengaja yang digunakan untuk meningkatkan memori. Matlin
(1994) menyebutkan 4 macam strategi memori yang penting, yaitu :
1. Rehearsal (Pengulangan): Suatu strategi meningkatkan memori
dengan cara mengulang berkali-kali informasi yang telah
disampaikan.
2. Organization (Organisasi): Pengelompokan dan pengkategorian
sesuatu yang digunakan untuk meningkatkan memori. Seperti,
anak SD sering mengingat nama-nama teman sekelasnya
menurut susunan di mana mereka duduk dalam satu kelas.
3. Imagery (Perbandingan): Membandingkan sesuatu dengan tipe
dari karakteristik pembayangan dari seseorang.
22 Universitas Kristen Petra
4. Retrieval (Pemunculan Kembali): Proses mengeluarkan atau
mengangkat informasi dari tempat penyimpanan. Ketika suatu
isyarat yang mungkin dapat membantu memunculkan kembali
sebuah memori, mereka akan menggunakannya secara spontan.
Selain strategi-strategi memori diatas, terdapat hal lain yang
mempengaruhi memori anak, seperti tingkat usia, sifat anak (termasuk
sikap, kesehatan dan motivasi), serta pengetahuan yang diperoleh anak
sebelumnya.
b. Perkembangan Pemikiran Kritis
Perkembangan Pemikiran Kritis yaitu pemahaman atau refleksi
terhadap permasalahan secara mendalam, mempertahankan pikiran
agar tetap terbuka, tidak mempercayai begitu saja informasi-
informasi yang datang dari berbagai sumber serta mampu befikir
secara reflektif dan evaluatif.
c. Perkembangan Kreativitas
Dalam tahap ini, anak-anak mempunyai kemampuan untuk
menciptakan sesuatu yang baru. Perkembangan ini sangat
dipengaruhi oleh lingkungan, terutama lingkungan sekolah.
d. Perkembangan Bahasa
Pada masa pertengahan dan akhir anak-anak, anak-anak menjadi
lebih analitis dan logis di dalam pendekatan kata-kata dan tata bahasa
(Santrock 336). Perbendaharaan kosa kata dan cara menggunakan
kalimat bertambah kompleks. Perkembangan ini terlihat dalam cara
berfikir tentang kata-kata, struktur kalimat dan secara bertahap anak
akan mulai menggunakan kalimat yang lebih singkat dan padat, serta
dapat menerapkan berbagai aturan tata bahasa secara tepat.
e. Perkembangan psikososial
Pada tahap ini, anak dapat menghadapi dan menyelesaikan tugas
atau perbuatan yang dapat membuahkan hasil, sehingga dunia
23 Universitas Kristen Petra
psikososial anak menjadi semakin kompleks. Anak sudah siap untuk
meninggalkan rumah dan orang tuanya dalam waktu terbatas, yaitu
pada saat anak berada di sekolah. Melalui proses pendidikan ini,
anak belajar untuk bersaing (kompetitif), kooperatif dengan orang
lain, saling memberi dan menerima, setia kawan dan belajar
peraturan – peraturan yang berlaku. Dalam hal ini proses sosialisasi
banyak terpengaruh oleh guru dan teman sebaya. Identifikasi bukan
lagi terhadap orang tua, melainkan terhadap guru. Selain itu, anak
tidak lagi bersifat egosentris, ia telah mempunyai jiwa kompetitif
sehingga dapat memilah apa yang baik bagi dirinya, mampu
memecahkan masalahnya sendiri dan mulai melakukan identifikasi
terhadap tokoh tertentu yang menarik perhatiannya.
2.1.4 Masa emas belajar bahasa
Banyak orang tua yang berbondong-bondong mengajak anak mereka
untuk kursus bahasa asing terutama bahasa inggris. Mereka beranggapan bahwa
usia anak-anak lebih mudah untuk belajar bahasa asing tersebut dan tentunya
berharap bahwa mereka sudah mahir saat dewasa nanti. Tampaknya hal ini juga
menjadi pandangan serius bagi beberapa pakar.
Seperti yang dipaparkan oleh Kafka dalam blog-nya dikatakan bahwa
beberapa pakar bahasa mendukung pandangan "Semakin dini anak belajar bahasa
asing, semakin mudah anak menguasai bahasa itu ". Misalnya, McLaughlin dan
Genesee menyatakan bahwa anak-anak lebih cepat memperoleh bahasa tanpa
banyak kesukaran dibandingkan dengan orang dewasa.
Demikian pula Eric H. Lennenberg, ahli neurologi, berpendapat bahwa
sebelum masa pubertas, daya pikir (otak) anak lebih lentur. Makanya, ia lebih
mudah belajar bahasa. Sedangkan sesudahnya akan makin berkurang dan
pencapaiannya pun tidak maksimal.
Dr. Bambang Kaswanti Purwo, ketua Program Studi Linguistik Terapan
Bahasa Inggris, Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, dalam tulisannya
Pangajaran Bahasa Inggris di SD dan SMTP, menyebut bahwa usia 6 - 12 tahun,
24 Universitas Kristen Petra
merupakan masa emas atau paling ideal untuk belajar bahasa selain bahasa ibu
(bahasa pertama). Alasannya, otak anak masih plastis dan lentur, sehingga proses
penyerapan bahasa lebih mulus. Masa emas itu sudah tidak dimiliki oleh orang
dewasa (Kafka).
2.1.5 Standar Ukuran Sepatu Anak-anak
Tabel 2.1. Sepatu Anak Perempuan
Sumber: International Shoe Size Conversion Charts (2006)
Tabel 2.2. Sepatu Anak Laki-laki
Sumber: International Shoe Size Conversion Charts (2006)
25 Universitas Kristen Petra
Tabel 2.3. Sepatu Wanita Dewasa
Sumber: International Shoe Size Conversion Charts (2006)
Tabel 2.1 dan Tabel 2.2 menunjukkan standar nomor ukuran kaki anak-
anak, ukuran tersebut bermanfaat sebagai standar ukuran media permainan yang
akan dirancang. Sedangkan pada Tabel 2.3. juga dipaparkan untuk melihat
perbandingan konversi nomor sepatu ke dalam cm yang digunakan sebagai
pedoman ukuran sepatu anak-anak dalam satuan centimeter (cm).
2.2. Identifikasi Data
2.2.1. Identifikasi Data Engkle
a. Sejarah
Permainan tradisional adalah permainan yang dikenal sejak jaman dulu kala
dan mempunyai unsur budaya dan tradisi yang tinggi. Permainan tradisional pada
umunya memiliki nilai filosofis tinggi dan memiliki sisi positif bagi
perkembangan kepribadian anak.
Permainan engkle dikenal dengan banyak nama, ada yang menyebut
ingkling, sundah mandah, taplak kuping dan lain-lain. Permainan engkle di
Indonesia ini belum diketahui secara jelas bagaimana sejarah dan asal-usulnya.
Namun di luar negeri permainan ini cukup dikenal dengan sebutan hopscotch.
Seperti yang dijelaskan dalam Wikipedia, sejarahnya, permainan ini diciptakan
oleh The Great Alexander. Pada awalnya permainan ini diciptakan untuk melatih
kekuatan pasukan Romawi yang harus sanggup berlari di medan pertempuran
26 Universitas Kristen Petra
yang penuh dengan senjata dan disinyalir bahwa latihan ini dapat meningkatkan
kemampuan dan kekuatan kaki mereka. Hopscotch berawal dari Inggris kuno pada
masa kekuasaan kekerajaan Romawi. Awal dari area permainan Hopscotch ini
berukuran sebesar 100 kaki jauhnya. Tentara Romawi berlari melewati area
Hopscotch dengan membawa senjata dan perlengkapannya serta diajarkan bahwa
permainan Hopscotch ini akan meningkatkan stamina dan kemampuan kaki kaki
mereka. Anak anak para sergacon Romawi ini menirukan kelakuan para sergacon
ini dengan menggambarkan area permainan Hopscotch ini dalam buku catatan
mereka berupa papan serta menciptakan metode penilaian sendiri, hingga
akhirnya Hopscotch menyebar keseluruh eropa.
Gambar 2.1. Permainan Engkle berisi sajak “Magpie” (puisi berima)
berada di Morecambe, Inggris.
Sumber: Hopscotch (2009)
b. Etimologi
Kata “Hopscotch” merupakan gabungan dari kata “Hop” (lompatan
pendek) dan “Scoth” (Garis yang digambarkan). Disebut sebagai Lompatan yang
dipandu akan garis, istilah ini digunakan sejak tahun 1677. Bagaimanapun juga,
“hop” dan “skoc” (sama cara lafalnya dgn “scoth”) juga berarti “melompat”
27 Universitas Kristen Petra
dalam bahasa Ceko (begitu juga dalam bahasa Polandia “skocz”). Tapi permainan
ini juga disebut sebagai “panák” (postur) di Ceko.
c. Jenis-jenisnya
Ada beberapa macam dari permainan “Hopscotch” yang dimainkan di
seluruh dunia. Di Rusia dan negara-negara berbahasa Rusia banyak dikenal
sebagai knaccuku (kata lain dari ruang kelas). Di Polandia, disebut sebagai Klasy,
yang artinya kelas. Di Kroasia disebut dengan istilah Skolica, yang artinya sekolah
kecil. Di Malaysia tipe “Hopscotch” yang paling populer disebut Tengteng. Di
Meksiko, disebut sebagai bebeleche yang artinya minum susu. Di Romania
permainan ini disebut sotron dan banyak dimainkan oleh anak-anak diseluruh
negeri.
d. Tempat, peralatan, waktu dan cara bermain di Indonesia.
− Tempat
Engkle adalah permainan yang relatif mudah dimainkan. Untuk
memainkannya, hanya dibutuhkan lapangan datar berupa tanah atau tanah
bersemen sekitar 2x3 meter. Lapangan datar tersebut kemudian diberi
garis dengan menggunakan gacon, atau menggunakan kapur tulis jika
tanahnya bersemen, yang bentuknya disesuaikan dengan jenis engkle yang
hendak dimainkan. Ada engkle pesawat yang bentuknya menyerupai
pesawat; engkle gunung dan engkle kitiran (kincir angin) yang bentuknya
seperti gunung dan kitiran; engkle saruk yang dimainkan dengan susunan
kotak engkle pesawat dan engkle segi empat. Disebut engkle saruk karena
gaconnya disaruk (ditendang dengan menggunakan ujung kaki).
Oleh karena tempat yang diperlukan untuk memainkan engkle tidak
terlalu luas, maka permainan ini dapat dimainkan di emperan dan halaman
rumah, halaman sekolah, masjid, gereja, atau surau. Dengan kata lain,
dimana tersedia tempat untuk membuat lapangan engkle, di situlah
permainan ini dapat dimainkan.
28 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.2. Jenis lapangan permainan Engkle
Sumber: Utomo (2007)
− Peralatan
Peralatan yang diperlukan untuk memainkan engkle adalah sebuah
gacon, yaitu berupa benda pipih berdiameter sekitar 4-5 cm. Gacon
biasanya dibuat dari pecahan genteng atau tegel. Penggunaan gacon
dengan spesifikasi pipih, karena benda pipih akan lebih mudah dikontrol
ketika dilemparkan ke dalam kotak engkle.
− Waktu
Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak-anak pada pagi hari
ketika hendak masuk kelas, pada saat jam istirahat, atau sore hari sekitar
pukul 15-17 waktu setempat.
− Pemain
Engkle biasanya dimainkan oleh dua orang anak atau lebih yang
berumur 7-12 tahun. Jika hanya dimainkan oleh dua orang anak, untuk
menentukan siapa yang berhak bermain terlebih dahulu ditentukan melalui
pingsut. Sedangkan jika lebih dari dua orang, maka penentuan urutannya
dilakukan dengan hompimpa. Oleh karena pemain pertama mempunyai
kesempatan lebih besar untuk memiliki kotak engkle, maka mereka akan
berusaha agar pada saat pingsut atau hompimpa menjadi pemenangnya.
− Tata Cara Permainan
Secara garis besar, permainan engkle terdiri dari dua tahapan, yaitu
persiapan dan permainan.
29 Universitas Kristen Petra
a. Persiapan
− Mengumpulkan anak yang hendak bermain.
− Membuat gacon.
Bahan untuk membuat gacon biasanya berasal dari pecahan
genteng atau tegel.
− Setiap anak menunjukkan gaconnya.
− Membuat lapangan
Yaitu dengan membuat garis-garis di atas tanah sesuai dengan jenis
engkle yang hendak dimainkan.
b. Permainan
− Menentukan urutan pemain
Urutan pemain biasanya ditentukan dengan pingsut jika pemain
hanya terdiri dari dua orang, atau hompimpa jika pemain lebih dari
dua orang.
− Pemain yang berhasil mendapatkan urutan pertama dapat memulai
permainan dengan melemparkan gaconnya pada kotak pertama.
Jika gacon yang dilemparkan ke luar dari kotak yang menjadi
target, atau berada di atas garis antar kotak, maka pemain tersebut
dinyatakan gugur dan kesempatan diberikan kepada pemain
selanjutnya. Setiap pemain yang gagal harus menunggu giliran
sampai seluruh pemain mendapat giliran. Seandainya pada putaran
tersebut ia sukses, si pemain dapat melemparkan gaconnya pada
kotak berikutnya. Selanjutnya sesuai dengan tata cara yang awal,
yaitu berjalan melompat-lompat, dan pada kotak yang ada engkle
miliknya, dia harus melompatinya. Demikian seterusnya sampai
gaconnya melewati semua kotak yang ada pada arena engkle.
− Mendapat Sawah
Bagi yang berhasil melewati semua kotak, maka dia bepeluang
untuk memiliki secara eksklusif sebuah kotak, yaitu pemain lain
tidak boleh menginjakkan kaki pada kotak yang telah ada
pemiliknya. Namun sebelum memiliki kotak secara eksklusif,
peserta harus memutari kotak-kotak engkle dengan melompat-
30 Universitas Kristen Petra
lompat menggunakan satu kaki, dan meletakkan gaconnya pada
bagian punggung tangannya. Setelah itu, ia dapat menentukan
kotak miliknya dengan melemparkan gaconnya ke kotak engkle
dengan membelakangi arena permaianan. Kotak tempat jatuhnya
gacon itulah yang berhak menjadi sawahnya. Untuk menandai
kepemilikannya, biasanya kotak yang menjadi miliknya diberi
tanda khusus, seperti gambar bintang.
− Saling berbagi dan penentuan pemenang
Jika salah satu pemain memiliki banyak kotak, dan pemain lain
kesulitan untuk melompati kotak-kotak yang telah ada pemiliknya
tersebut, maka pemain yang lain dapat meminta bagian dari kotak
yang telah ada pemiliknya tersebut. Dipenuhi atau tidaknya
permintaan untuk membagi kotak, sepenuhnya ditentukan oleh
kebaikan si pemilik kotak. Namun biasanya akan dikabulkan,
karena jika tidak mengabulkan pemain tersebut dianggap pelit.
Pada akhirnya, pemenang permainan ini adalah pemain yang
mempunyai banyak sawah.
e. Manfaat bermain Engkle
− Melatih dan meningkatkan fisik anak.
Ketika anak-anak melompat-lompat dengan menggunakan satu kaki secara
langsung sama seperti melakukan latihan agar otot-otot tubuh berkembang
dan berkoordinasi dengan baik. Motorik kasar dan motorik halus si anak
dilatih dan dikembangkan secara bersama-sama sehingga mereka
mempunyai kemampuan untuk menjaga keseimbangan badan, melatih
kemampuan reka visual, mengembangkan kemampuan motor planning
(perencanaan gerak) dan meningkatkan kemampuan differensiasi tekstur.
− Menghilangkan stres dan menumbuhkan keceriaan.
Gerakan berjalan melompat-lompat dengan satu kaki selain bermanfaat
untuk mengembangkan fisik juga berfungsi untuk melepaskan energi
stress. Suasana ceria yang dibangun senantiasa melahirkan dan
menghasilkan kebersamaan yang menyenangkan. Pada saat inilah, spirit
hidup rukun dan harmonis pada anak dikembangkan.
31 Universitas Kristen Petra
− Bersosialisasi dan bernegosiasi.
Ketika beberapa anak berkumpul dan bersepakat untuk bermain engkle,
misalnya, maka pada saat itu mereka belajar untuk bersosialisasi dan
bernegosiasi. Tentu setiap anak mempunyai keinginan berbeda-beda
tentang permainan apa yang hendak dimainkan, namun karena tidak semua
permainan dapat dilakukan secara bersamaan, maka mereka harus
mengkomunikasikan keinginannya masing-masing. Terjadilah negosiasi
walaupun mungkin dalam kategori yang sangat sederhana. Ketika mereka
bernegosiasi, maka mereka juga belajar untuk menghargai dan
menghormati pendapat dan keinginan anak yang lain. Selain itu, mereka
juga belajar untuk bisa menerima jika usulnya tidak terpilih.
− Membangun kreativitas dan sportivitas.
Ketika anak-anak bersepakat untuk bermain engkle, maka mereka semua
mempunyai tanggung jawab agar permainan berlangsung semarak,
menyenangkan, dan adil. Untuk menciptakan kondisi demikian, mereka
bersama-sama harus membuat aturan. Untuk menghasilkan aturan yang
baik, anak-anak tersebut harus mengerahkan nalar budinya secara
sungguh-sungguh walaupun mungkin tidak mereka sadari. Selain itu,
adanya obsesinya pada setiap anak untuk memenangkan pertandingan,
juga menuntut anak-anak untuk membuat dan merumuskan strategi
pemenangannya. Mereka belajar berkompetisi, belajar memenangkannya,
dan juga belajar bagaimana menerima kekalahan secara kesatria.
− Mentaati aturan.
Setelah anak-anak berkreasi membuat aturan permainan, maka pada saat
bersamaan mereka dituntut untuk mentaati aturan yang telah mereka
sepakati. Bagi anak-anak yang bertindak curang, atau tidak mematuhi
aturan main, dia akan mendapatkan sanksi sosial dari sesamanya. Pada
kesempatan ini, anak mulai belajar hidup bermasyarakat dan menjadi
bagian dari masyarakat. Jika anak yang melakukan kecurangan mengakui
kesalahannya, maka teman-temannya yang lain biasanya bersedia
32 Universitas Kristen Petra
menerimanya kembali. Suatu bentuk proses belajar memaafkan dan
menerima kembali mereka yang telah mengakui kesalahannya.
− Mengenal lingkungan.
Engkle merupakan salah satu permainan anak tradisional yang
peralatannya berasal dari alam. Lapangan sebagai tempat bermain dan
gaconnya yang terbuat dari pecahan genteng atau tegel semuanya tersedia
secara gratis. Hal ini melahirkan interaksi antara anak dengan lingkungan
sedemikian dekatnya. (Salehudin, par. 21).
2.2.2. Identifikasi Data Kuesioner
Penulis memberikan kuesioner kepada target sasaran pengguna yang dibidik
untuk mengetahui sekiranya bentuk dan warna seperti apa yang disukai oleh
mereka. Dalam pertanyaan pertama, penulis memberikan alternatif pilihan bentuk
yang dipilih dari sekian banyak sketsa bentuk yang bisa digunakan sebagai alas
engkle yang membutuhkan petak-petak yang ukurannya hampir sama dan
mempunyai ruang yang cukup untuk diinjak serta ukuran yang menghemat
tempat. Sedangkan dalam pilihan warna, penulis memberikan pilihan warna-
warna umum namun terbagi dalam dua kategori yaitu cerah dan gelap.
2.2.2.1 Pertanyaan Kuesioner
1. Mana yang kamu suka? Berilah tanda √
Gambar 2.3. Pertanyaan Kuesioner no.1
33 Universitas Kristen Petra
2. Yang mana warna favoritmu? Urutkan ya!
Gambar 2.4 Pertanyaan Kuesioner no.2
2.2.2.2 Data Responden
Jumlah responden : 55 orang (29 perempuan dan 26 laki-laki)
Tempat Tinggal : di Surabaya
Pendidikan : SD Swasta dan Negeri, Kelas 1-5
Usia : 6-11 tahun
Tabel 2.4. Data Responden
No Nama Kelas Nama sekolah Jenis
kelamin 1 Aude 3 SD. Kr Petra 9 P 2 Sarah 4 SD. Kr Petra 13 P 3 Dominique 4 SDK. Santa Carolus P 4 Mercy 5 SD. Kr Petra 13 P 5 V.K Lativa 3 SDK. Santa Carolus P 6 Diahayu Ramadhanik 3 SDN Jemur W.Sari P 7 Karissa 2 SD. Kr Petra 13 P 8 Alyaa Shinta Vania 4 SDN Menanggal 3 P 9 Fitri 1 SDK. Santa Carolus P 10 Riska Dewi Zandra 4 SDN Pakis 8 P 11 Vita 1 SD. Kr Petra 13 P 12 Brigitta A 3 SD. Kr Petra 13 P 13 Tirza 1 Petra P 14 Angelyn 1 SD. Kr Petra 13 P 15 Aricha Khoirunnisa 3 SDK. Santa Carolus P 16 Lala 1 SD. Kr Petra 13 P 17 Angelina 3 SD. Santo Yosep P 18 Regine 3 SD. Kr Petra 13 P
34 Universitas Kristen Petra
19 Claudia - - P 20 Tia 3 SDN Jemur W.Sari I P 21 Yovita 3 SD. Santa Maria P 22 Ina-Ai - - P 23 Janice 2 SD. Kr Petra 13 P 24 Vanessa 5 SD. Kr Petra 5 P 25 Marciella 2 SD. Kartika P 26 Livia 3 Petra P 27 Aurelia 3 SD. Kr Petra 9 P 28 Ferren 2 SD. Kr Petra 9 P 29 Maria.S 3 SD. Kr Petra 9 P 30 Ansell 3 SD. Kr Petra 13 L 31 Michael Petra L 32 Owens 1 SD. Kr Petra 13 L 33 Monti 3 SD. Santo Yusup L 34 Rayhan R.A 4 Petra L 35 Dicky 3 SD. Kr Petra 13 L 36 Darren 3 Petra L 37 Steven 3 SD. Kr Petra 13 L 38 Dimas 2 SD. Dahanrejo L 39 Roviado.Y.W 2 SDN Ponganan I L 40 Nanda 2 Petra L 41 Roni 3 SD. Kr Petra 13 L 42 Hans 4 SD. Kr Petra 13 L 43 Danny 4 SD. Kr Petra 13 L 44 Akbar 3 SDN Jemur W.Sari I L 45 Dylan 2 SD. Kr Petra 13 L 46 Terence 3 SD. Kr Petra 13 L 47 Antonio 3 SD. Kartika L 48 Bobby 1 SD. Tunas Bunga L 49 Andrew. K 5 SD. Kr Petra 9 L 50 Willy 2 SD. Kr Petra 9 L 51 Henry 2 SD. Kr Petra 9 L 52 Pieter 2 SD. Kr Petra 9 L 53 Stanley 3 SD. Kr Petra 9 L 54 Richard 1 SD. Kr Petra 9 L 55 Henry 1 SD. Kr Petra 13 L
35 Universitas Kristen Petra
2.2.2.3 Jawaban pertanyaan
a. Jawaban pertanyaan No.1
Tabel 2.5. Data penghitungan jawaban soal kuesioner No.1
Bentuk Jumlah Pohon 21 Ikan 15 Bola 19
Gambar 2.5. Grafik Penghitungan Jawaban No.1
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa bentuk pohon menempati urutan tertinggi
dengan jumlah 21 pemilih, sedangkan bola di urutan kedua dengan 19 pemilih dan
bentuk ikan menempati urutan terakhir dengan 15 jumlah pemilih. Dan
kesimpulannya, bentuk pohon merupakan bentuk, yang paling diminati.
b. Jawaban pertanyaan No.2
Tabel 2.6. Data Hasil Penghitungan Kuesioner Responden Anak Perempuan
Warna Urutan Nilai
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 merah 6 11 3 2 4 0 2 1 0 0 oranye 3 4 3 7 6 2 1 2 1 0 kuning 6 3 5 3 3 4 2 1 1 1 hijau 2 3 4 4 4 5 4 2 0 1 biru 4 2 4 4 5 4 1 5 0 0
biru tua 0 1 2 2 1 4 9 6 3 1 ungu 4 1 7 3 3 1 3 6 1 0
marun 1 5 0 3 2 5 5 5 1 2 coklat 0 0 0 2 1 1 1 1 16 7 hitam 1 0 1 1 0 3 1 0 6 16
36 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.6 Grafik Penghitungan Jawaban No.2 (Responden Anak Perempuan
Berdasarkan Urutan Nilai 1-10)
Penjelasan diagram :
Melalui grafik di atas dapat dilihat bahwa warna yang disukai oleh anak
perempuan dan menempati urutan pertama adalah warna merah dan kuning,
urutan kedua warna merah lagi, urutan ketiga warna ungu, di urutan keempat dan
kelima warna oranye, keenam warna hijau dan marun, ketujuh diduduki warna
biru tua, ke delapan warna biru tua dan ungu, kesembilan dan sepuluh warna
coklat dan hitam.
Tabel 2.7. Data Hasil Penghitungan Kuesioner Responden Anak Laki-laki
Warna Urutan Nilai
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 merah 8 4 1 3 6 2 2 0 0 0 oranye 3 3 4 7 3 2 1 2 0 1 kuning 1 2 7 2 2 2 4 0 5 1 hijau 4 4 2 3 4 2 3 1 1 2 biru 6 7 3 4 2 1 1 1 1 0
biru tua 1 1 6 2 3 7 1 2 2 1 ungu 1 2 1 2 4 4 4 4 0 5
marun 0 1 1 0 1 2 3 9 8 1 coklat 0 1 0 2 0 3 7 3 7 4 hitam 2 1 1 1 1 0 0 5 2 12
37 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.7 Grafik Penghitungan Jawaban No.2 (Responden Anak Laki-Laki
Berdasarkan Urutan Nilai 1-10)
Penjelasan diagram :
Melalui grafik di atas dapat dilihat bahwa warna yang disukai oleh anak laki-laki
pada urutan pertama adalah warna merah, urutan kedua adalah warna biru, urutan
ketiga warna kuning, di urutan keempat warna oranye, urutan kelima adalah
warna merah, keenam warna biru tua, ketujuh diduduki warna coklat, ke delapan
warna marun, kesembilan warna marun dan kesepuluh adalah warna hitam.
2.3 Analisa data 2.3.1. Analisa data literatur
Analisa data studi literatur dengan mencari data tentang perkembangan
anak dalam berbagai segi, baik motorik, kognitif, maupun perkembangan
psikososialnya. Dalam tahap perkembangan motorik, pada rentang umur ini, anak-
anak sudah memiliki kemampuan motorik yang cepat, halus dan sudah cukup
matang. Sedangkan pada perkembangan kognitifnya, anak-anak sudah mampu
mengenal realitas, tidak seperti pada rentang anak usia pra sekolah yang
cenderung berpikiran imajinatif. Sedangkan dalam perkembangan psikososialnya,
anak sudah mampu menerima peraturan karena sudah terbiasa dengan aturan-
aturan yang mengatur mereka di sekolah. Mereka tahu mana yang benar dan salah
38 Universitas Kristen Petra
dan jiwa kompetitif yang dimiliki lebih kuat karena mereka mulai mengenal
persaingan seperti dalam nilai-nilai yang diperoleh dari hasil belajar.
Seperti yang diungkapkan oleh Petterson bahwa masa emas perkembangan
motorik anak-anak adalah masa pertengahan anak-anak yaitu dalam rentang usia
6-11 tahun. Oleh karena itu olahraga merupakan suatu aktivitas penting bagi
perkembangan fisik dan motorik anak-anak. Sedangkan anak-anak sekarang, sejak
taman kanak-kanak sudah banyak yang terbiasa bermain video game maupun
game komputer yang menyebabkan tubuh mereka kurang beraktifitas. Maka
permainan yang diperlukan bagi anak-anak usia 6-9 adalah permainan yang
memerlukan unsur gerakan aktif yang dapat melatih perkembangan motorik
mereka.
Sedangkan dalam perkembangan bahasa, Dr. Bambang Kaswanti Purwo,
ketua Program Studi Linguistik Terapan Bahasa Inggris, Universitas Katolik
Atma Jaya, Jakarta, dalam tulisannya Pangajaran Bahasa Inggris di SD dan
SMTP, menyebut bahwa usia 6 - 12 tahun, merupakan masa emas atau paling
ideal untuk belajar bahasa selain bahasa ibu (bahasa pertama). Alasannya, otak
anak masih plastis dan lentur, sehingga proses penyerapan bahasa lebih mulus.
Masa emas itu sudah tidak dimiliki oleh orang dewasa (Kafka). Oleh karena itu
perancang memilih bahasa inggris sebagai unsur yang diterapkan dalam
permainan, karena bahasa inggris merupakan bahasa internasional yang paling
utama penting untuk dipelajari. Sehingga nantinya materi bahasa Inggris yang
diterapkan disesuaikan dengan porsi kemampuan dan mata pelajaran bahasa
inggris di sekolah yang diterima pada umunya.
2.3.2. Analisa hasil Observasi 2.3.2.1. Analisa melalui Pengamatan Lapangan
Awalnya penulis membidik usia 4-6 tahun sebagai target sasaran pengguna
dalam perancangannya. Namun setelah melakukan observasi ke sebuah sekolah
TK di kawasan Pondok Tjandra Indah yang bernama TK. Sarinah, penulis
memperoleh sebuah kenyataan bahwa anak usia tersebut masih belum bisa
menguasai permainan engkle dikarenakan aturan yang dimilikinya terlalu
kompleks dan kemampuan keseimbangan tubuh anak-anak di usia tersebut masih
39 Universitas Kristen Petra
belum cukup kuat untuk melompat secara berkelanjutan. Mereka juga masih
memiliki kepercayaan diri yang tipis serta jiwa kompetitif yang rendah. Hal ini
terlihat saat mereka bermain melawan temannya, beberapa anak masih menunggu
anak yang lain bukannya berusaha untuk menjadi pemenang. Oleh karena itu
target sasaran pengguna disesuaikan menjadi anak usia 6-9 tahun yang sudah usia
sekolah dasar, dimana mereka sudah mengenal peraturan dan perkembangan fisik
serta motoriknya sudah cukup matang.
Sedangkan dari pengamatan lapangan, dimana saya mengamati
bagaimana tingkah laku 2 orang anak berusia 6 dan 9 tahun, dalam kegiatan
sehari-hari mereka menyukai kegiatan yang aktif dan tidak terbiasa berdiam diri.
Jika tidak melakukan apapun, kegiatan berlari kejar-kejaran pun bisa menjadi hal
yang menarik bagi mereka. Di waktu luang, mereka juga sangat suka bermain, dan
sangat mudah bosan jika tidak ada yang dikerjakan. Intinya mereka menyukai
kegiatan yang bersemangat. Dan melihat sisi pendidikan mereka, di sekolah sudah
mulai dibiasakan menggunakan bahasa inggris, hal ini bisa dilihat dari penulisan
jadwal kegiatan di agenda yang menggunakan bahasa inggris. Kemudian,
meninjau perkembangan bahasa inggris yang didapat oleh sekolah adalah
pelajaran dasar yang masih mudah dicerna. Anak kelas satu sudah mempelajari
arti benda-benda dalam ruangan. Sedangkan pelajaran anak kelas 3 SD sudah
berupa kalimat yang lebih panjang. Sedangkan dalam pelajaran matematika, di
kelas 1 SD sudah mempelajari angka 1-100 beserta penjumlahan dan pengurangan
sederhana.
Sedangkan hal-hal yang disukai oleh anak adalah yang berbau kartun, lucu
dan ceria. Hal ini bisa dilihat dari ketertarikan mereka terhadap film kartun dan
konsentrasi yang dicurahkan mereka saat menonton film kartun.
2.3.2.2. Analisa Observasi melalui kegiatan uji coba permainan. Uji coba dilakukan kepada anak SD kelas 1 dan kelas 3, yang tinggal di
lingkungan perumahan. Setelah permainan diuji cobakan, memang untuk pertama
kali, mengenai aturan permainan harus dibimbing oleh orang dewasa, namun
setelah sekali mencoba anak-anak langsung mengerti.
40 Universitas Kristen Petra
Saat menebak kata, anak kelas 1 sedikit kesulitan dalam menebak kategori
animal. Sedangkan anak kelas 3 tidak mengalami kesulitan tersebut. Di sisi lain,
terkadang mereka merasa kesulitan saat menulis kata yang mereka tebak terdiri
dari huruf apa saja. Di saat tertentu mereka tak segan membisikan anak lain untuk
memberi clue.
Untuk keseimbangan tubuh dalam kegiatan melompat, tergantung dari
setiap anak, karena di sini anak kelas 1 memiliki keseimbangan yang lebih kuat
daripada anak kelas 3. Mereka memang tidak mengenal engkle sehingga mungkin
dalam panduan permainannya dibutuhkan gambar sebagai contoh posisi badan
saat engkle harus bagaimana. Sedangkan dalam kegiatan berhitung, mereka sudah
cukup lancar dan tidak mengalami kesulitan. Disamping itu, ada kesulitan lain
yang dirasakan oleh anak kelas 1, awalnya mereka belum mengenal istilah huruf
vokal dan huruf mati (konsonan), namun setelah dijelaskan mereka sudah
mengerti. Kemudian dalam pencapaian poin tertinggi, tidak ada kesulitan karena
dalam waktu yang tidak terlalu lama (kurang lebih 1 jam), angka 50 sudah bisa
dicapai apabila jumlah pemain 2 orang, semakin banyak jumlah pemain maka
semakin lama pencapaian poinnya.
2.3.3. Analisa data Kuesioner Dalam memilih bentuk, yang paling banyak dipilih adalah bentuk pohon
sedangkan pada pertanyaan kedua dimana pertanyaan ini menyuruh anak-anak
untuk mengurutkan warna favorit mereka diperoleh bahwa warna yang sebagian
besar disukai oleh anak-anak adalah warna merah, kuning, oranye, biru, hijau
sehingga dapat disimpulkan bahwa mereka menyukai warna-warna yang cerah
dan ceria.
master index: back to toc: help: ukp: