20
4 3. Memperoleh Data dan informasi suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan pemberian kualitas pakan berbeda. 4. Penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi perah dengan manajemen pakan sebagai salah satu bahan di dalam menterapkan kebijakan untuk pengembangan peningkatan produksinya. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Menganalisis suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH di dua daerah dengan lingkungan lingkungan dataran berbeda. 2. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan waktu pemberian pakan berbeda. 3. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan pemberian kualitas pakan berbeda. 4. Menyusun dan penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi perah dengan manajemen pakan untuk diterapkan sesuai dengan suhu lingkungannya. 2 TINJAUAN PUSTAKA Lingkungan Sapi Perah Sapi-sapi perah Eropa mempunyai kisaran suhu nyaman yang rendah sehingga lebih toleran terhadap suhu lingkungan dingin dibandingkan dengan suhu lingkungan panas. Supaya sapi perah Fries Holland yang diternakkan di suatu daerah dapat memberikan produksi maksimal sesuai dengan kemampuan genetiknya, maka kondisi lingkungan di daerah tersebut harus sesuai dengan kondisi lingkungan asalnya. Sebagai perbandingan, menurut Pane (1986) bahwa produksi susu sapi perah FH di daerah asalnya rata-rata 6352 kg per laktasi, sedangkan di daerah tropis sekitar 2500-5000 kg per laktasi. Iklim sangat berpengaruh terhadap produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan dalam keseimbangan panas tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi, dan tingkah laku. Fungsi-fungsi tersebut saling berhubungan dan melibatkan sistem neuroendokrin. Selain itu, faktor iklim secara tidak langsung mempengaruhi ketersediaan bahan makanan ternak, air minum serta berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh lingkungan. Di daerah tropis pengaruh iklim yang langsung maupun tidak langsung secara bersama-sama menjadi faktor pembatas terhadap penampilan produksi ternak (Purwanto et al. 2003). Suhu lingkungan tinggi berpengaruh langsung terhadap sifat-sifat fisiologis sapi perah, sehingga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap produksi. Meskipun demikian, suhu lingkungan merupakan faktor iklim yang sering dijadikan pertimbangan sebagai faktor membatasi

2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu . 6 ... Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu . 6 ... Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman

4

3. Memperoleh Data dan informasi suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi

dara FH dengan pemberian kualitas pakan berbeda.

4. Penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi perah dengan

manajemen pakan sebagai salah satu bahan di dalam menterapkan kebijakan

untuk pengembangan peningkatan produksinya.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai

berikut:

1. Menganalisis suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH di dua

daerah dengan lingkungan lingkungan dataran berbeda.

2. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan waktu

pemberian pakan berbeda.

3. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan

pemberian kualitas pakan berbeda.

4. Menyusun dan penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi perah

dengan manajemen pakan untuk diterapkan sesuai dengan suhu lingkungannya.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Lingkungan Sapi Perah

Sapi-sapi perah Eropa mempunyai kisaran suhu nyaman yang rendah

sehingga lebih toleran terhadap suhu lingkungan dingin dibandingkan dengan

suhu lingkungan panas. Supaya sapi perah Fries Holland yang diternakkan di

suatu daerah dapat memberikan produksi maksimal sesuai dengan kemampuan

genetiknya, maka kondisi lingkungan di daerah tersebut harus sesuai dengan

kondisi lingkungan asalnya. Sebagai perbandingan, menurut Pane (1986) bahwa

produksi susu sapi perah FH di daerah asalnya rata-rata 6352 kg per laktasi,

sedangkan di daerah tropis sekitar 2500-5000 kg per laktasi.

Iklim sangat berpengaruh terhadap produksi sapi perah, karena dapat

menyebabkan perubahan dalam keseimbangan panas tubuh ternak, keseimbangan

air, keseimbangan energi, dan tingkah laku. Fungsi-fungsi tersebut saling

berhubungan dan melibatkan sistem neuroendokrin. Selain itu, faktor iklim secara

tidak langsung mempengaruhi ketersediaan bahan makanan ternak, air minum

serta berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh lingkungan.

Di daerah tropis pengaruh iklim yang langsung maupun tidak langsung

secara bersama-sama menjadi faktor pembatas terhadap penampilan produksi

ternak (Purwanto et al. 2003). Suhu lingkungan tinggi berpengaruh langsung

terhadap sifat-sifat fisiologis sapi perah, sehingga pada akhirnya akan

berpengaruh terhadap produksi. Meskipun demikian, suhu lingkungan merupakan

faktor iklim yang sering dijadikan pertimbangan sebagai faktor membatasi

Page 2: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu . 6 ... Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman

5

produksi, namun kelembaban udara tinggi mempunyai pengaruh sama menekan

produksi (Esmay 1986).

Wilayah yang sesuai untuk pengembangan sapi perah adalah daerah yang

mempunyai suhu lingkungan antara 0-20 0C. Jika suhu lingkungan turun hingga 0

0C atau kurang, produksi akan berkurang. Suhu kritis di daerah subtropis

menyebabkan penurunan produksi susu pada bangsa sapi Holstein dan Jersey

adalah 21-25 0C, Brown Swiss adalah 30-32

0C, dan Brahman adalah 38

0C

(Sainsbury dan Sainsbury 1982). Suhu kritis untuk sapi Holstein adalah 21 0C,

Brown Swiss dan Jerseys adalah 24-27 0C, dan untuk Brahman adalah 32

0C.

Beberapa peneliti berpendapat bahwa kisaran suhu lingkungan yang ideal

bagi sapi perah Eropa berkisar antara 1.1-21.1 0C, sehingga sapi perah dapat

berproduksi maksimal, sedangkan suhu kritis adalah 27 0C. Selengkapnya

pendapat beberapa peneliti tentang suhu ideal bagi sapi perah tersaji dalam Tabel

1

Tabel 1 Suhu lingkungan ideal dan suhu kritis untuk sapi perah FH (0C)

Peneliti Suhu ideal Suhu kritis

Schmidt (1972) 4.4 - 21.1 -

McDowell (1972) 13 - 10 27

Sutardi (1981) 18.5 - 21.1 27

Yousef (1985) 4 - 25 27

Sudono (2003) 18.3 - 21 27

Di antara bangsa sapi perah, Fries Holland (FH) merupakan sapi tergolong

ke dalam bangsa sapi paling rendah daya tahan panasnya. Namun demikian, hasil

penelitian di kawasan tropis memperlihatkan produksinya tidak berbeda jauh

dibandingkan dengan di negara asalnya, jika suhu lingkungannya sejuk, yaitu

sekitar 18.3 0C, dengan kelembaban udara sekitar 55 %, dan penampilan produksi

masih cukup baik jika suhu lingkungan meningkat sampai 21.1 0C (Sudono et al.

2003). Dengan demikian, daerah di Indonesia untuk perkembangan sapi perah

yang sesuai adalah daerah sejuk, berketinggian tempat di atas 1000 meter dari

permukaan laut.

Produksi Panas

Ternak menghasilkan sejumlah panas metabolisme tergantung dari tipe

ternak yaitu bobot badan, jumlah makanan dikonsumsi dan kondisi lingkungan

mikro. Panas dihasilkan dalam kandang harus diprediksi untuk mendisain sistem

kontrol lingkungan. Panas yang dihasilkan dan kemudian dilepas oleh tubuh

hewan terdiri atas panas sensibel (sensible heat) dan panas laten (latent heat).

Panas sensibel dan panas laten dihasilkan oleh hewan dalam kandang merupakan

komponen kritis keseimbangan panas untuk kondisi setimbang dalam struktur

kandang.

Perolehan panas dari luar tubuh (heat gain) menambah beban panas bagi

ternak, bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman. Sebaliknya, akan terjadi

kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu

Page 3: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu . 6 ... Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman

6

nyaman. Perolehan dan penambahan panas tubuh ternak dapat terjadi secara

sensible melalui mekanisme radiasi, konduksi dan konveksi. Pada saat suhu udara

lebih tinggi dari suhu nyaman ternak, jalur utama pelepasan panas hewan terjadi

melalui mekanisme evaporative heat loss dengan jalan melakukan pertukaran

panas melalui permukaan kulit (sweating) atau melalui pertukaran panas di

sepanjang saluran pernapasan (panting) (Purwanto 1993) dan sebagian melalui

feses dan urin (McDowell 1972).

Gambar 1 Diagram produksi panas sapi perah pada beberapa suhu lingkungan.

Penampilan produksi terbaik sapi perah FH akan dicapai pada suhu

lingkungan 18.3 oC dengan kelembaban 55 %, bila melebihi suhu tersebut, ternak

akan melakukan penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah laku

(behaviour). Secara fisiologis ternak sapi FH mengalami cekaman panas akan

berakibat pada : 1) penurunan nafsu makan, 2) peningkatan konsumsi minum, 3)

penurunan anabolisme dan peningkatan katabolisme, 4) peningkatan pelepasan

panas melalui penguapan, 5) penurunan konsentrasi hormon dalam darah, 6)

peningkatan temperatur tubuh, respirasi dan denyut jantung (McNeily 2001), dan

7) perubahan tingkah laku (Philips 2002), dan 8) meningkatnya intensitas

berteduh sapi (Schutz et al. 2008).

Cekaman panas dapat direduksi dengan menurunkan suhu tubuh sapi FH

melalui penyemprotan air dingin ke seluruh permukaan tubuh (Shibata 1996).

Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan suhu lingkungan mikro (sekitar

kandang) sebesar 5 oC dapat meningkatkan produksi susu sapi FH sebesar 10

kg/hari yaitu dari 35 kg/hari menjadi 45 kg/hari (Berman 2005).

Bangunan perkandangan akan mendapatkan perolehan dan kehilangan panas

dan massa dari dan ke lingkungan sekitarnya melalui proses perpindahan panas

dan massa secara konduksi, konveksi dan radiasi. Perpindahan panas konduksi

terjadi melalui dinding dan atap bangunan dengan arah masuk dan keluar

bangunan termasuk konduksi panas dari dan ke dalam tanah. Perpindahan panas

Page 4: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu . 6 ... Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman

7

dan massa secara konveksi terjadi karena aliran udara masuk dan keluar melalui

bukaan ventilasi. Perpindahan panas radiasi gelombang pendek dari radiasi

matahari dan refleksinya serta difusivitasnya selalu memiliki nilai positif.

Perpindahan panas radiasi gelombang panjang adalah radiasi dipancarkan oleh

permukaan bangunan dan diterima dari lingkungan di sekitar bangunan. Panas

lainnya ditimbulkan penghuni atau peralatan yang ada di dalam kandang juga

harus dapat diperhitungkan (Soegijanto 1999).

Perpindahan panas radiasi gelombang panjang terjadi antara ternak (sapi

perah FH) dengan lingkungan di sekitarnya melalui kulit sapi FH dominan

berwarna putih atau hitam. Perpindahan panas radiasi gelombang panjang pada

ternak dengan lingkungannya terjadi, karena ternak mengeluarkan panas tubuhnya

melalui permukaan kulit dan saluran pernafasan (Esmay dan Dixon 1986).

Perpindahan panas secara konveksi pada kandang sapi perah FH di lingkungan

tropika basah terjadi pada atap bangunan kandang, lantai, bangunan penopangnya

seperti dinding, kerangka dan peralatan lainnya.

Keseimbangan panas di permukaan lantai pada bangunan perkandangan

ternak sapi perah FH meliputi radiasi gelombang panjang dari lantai ke atap,

pindah panas konveksi dari permukaan lantai ke udara dalam kandang, dan pindah

panas konduksi dari permukaan lantai ke lapisan di bawahnya atau sebaliknya.

Keseimbangan panas di udara dalam kandang sapi perah lebih mudah dihitung

karena proses pindah panas terjadi secara konveksi dari penutup (atap) kandang ke

udara dalam kandang terjadi secara alami dan melalui bukaan ventilasi baik

masuk maupun keluar (Esmay dan Dixon 1986). Perpindahan panas konveksi

dipengaruhi koefisien konveksi udara, kecepatan angin dan suhu lingkungan.

Semakin besar nilai koefisien konveksi dan kecepatan angin, maka akan semakin

cepat keseimbangan panas dalam ruangan konveksi.

Perpindahan panas secara konduksi terjadi pada penutup (atap) kandang sapi

FH, dinding bangunan, kerangka bangunan, ternak (sapi FH), air minum sapi FH,

tubuh sapi FH. Perpindahan panas konduksi sangat dipengaruhi oleh

konduktivitas bahan dan suhu lingkungan. Semakin besar nilai konduktivitasnya,

bahan tersebut semakin cepat merambatkan panas (Esmay dan Dixon 1986).

Distribusi suhu dan kelembaban udara (Rh) pada kandang sapi perah FH

dipengaruhi luas dan tinggi bangunan, jumlah ternak, suhu lingkungan, sistem

ventilasi, radiasi matahari, peralatan peternakan, kecepatan angin, pergerakan

udara di sekitar bangunan. Pada bangunan pertanian (greenhouse), faktor desain

sangat menentukan distribusi suhu dan kelembaban udara adalah dimensi

bangunan, posisi dinding atau atap ventilasi, sudut pembukaan ventilasi, jumlah

span dan sebagainya (Boutet 1987). Pertukaran udara dalam kandang sapi perah

dipengaruhi besarnya suhu lingkungan, produksi panas hewan, kelembaban,

konsentrasi gas dalam kandang, jenis bahan atap bangunan, pindah panas dari

lantai, sistem dan luasan ventilasi, luas dan tinggi bangunan kandang (Hellickson

dan Walker 1983).

Pindah panas pada kandang sapi perah dapat terjadi secara radiasi, konveksi

maupun konduksi (Wathes dan Charles 1994), mengakibatkan adanya distribusi

suhu dalam kandang. Pindah panas secara radiasi dipengaruhi besarnya radiasi

matahari atau bahan, kecepatan angin dan suhu lingkungan. Pindah panas pada

bahan bangunan kandang dipengaruhi konduktivitas bahan, tebal bahan dan

Page 5: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu . 6 ... Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman

8

waktu. Secara konveksi sangat dipengaruhi suhu lingkungan, kecepatan angin,

waktu dan luasan daerah konveksi.

Analisis distribusi suhu dalam bangunan peternakan dapat dilakukan dengan

perhitungan besarnya pindah panas dan massa pada bangunan melalui sistem

ventilasi, sehingga menghasilkan aliran udara yang baik di dalam kandang.

Pemecahan analisis aliran udara pada kandang sapi perah dalam 2 atau 3 dimensi

dapat dilakukan dengan metode finite element, metode finite difference (Cheney

dan Kincaid 1990), metode spectral dan finite volume dengan computational fluid

dynamics atau CFD (Versteeg dan Malalasekera 1995).

Ventilasi pada bangunan peternakan digunakan untuk mengendalikan suhu,

kelembaban udara, kotoran ternak dan pergerakan udara, sehingga kondisi

lingkungan mikro dibutuhkan ternak dapat terpenuhi. Ventilasi terjadi jika

terdapat perbedaan tekanan udara. Ventilasi dengan tekanan udara tertentu dapat

mempengaruhi kecepatan pergerakan udara, arah pergerakan, intensitas dan pola

aliran serta rintangan setempat (Takakura 1979). Laju ventilasi diukur dengan

satuan massa udara per unit waktu. Laju ventilasi minimum pada kandang

biasanya didasarkan pada kebutuhan pergerakan udara untuk kontrol kelembaban

(Esmay 1986).

Di daerah tropis seperti Indonesia, ventilasi bangunan kandang biasanya

digunakan adalah ventilasi alami, karena dapat menekan biaya dan tenaga kerja

dibanding dengan ventilasi lainnya. Ventilasi alami terjadi karena adanya

perbedaan tekanan udara akibat faktor angin dan faktor termal. Faktor angin dan

termal ini dimanfaatkan untuk menggerakkan udara dan menentukan laju ventilasi

alami yang terjadi. Laju ventilasi alami memiliki hubungan linier dengan

kecepatan udara dan tergantung pada perbedaan tekanan udara yang ditimbulkan

oleh perbedaan temperatur lingkungan (Takakura 1979). Laju pertukaran udara

dipengaruhi oleh total luas bukaan, arah bukaan, kecepatan angin, dan perbedaan

temperatur di luar dan di dalam kandang.

Kontrol manual sistem ventilasi alami dapat dilakukan dengan pembukaan

dan penutupan lubang ventilasi serta pengaturan bukaan pada dinding (Takakura

1979). Pengaturan ventilasi alami agar tetap kontinyu sulit dilakukan, karena

dipengaruhi temperatur, kecepatan dan arah angin yang tidak mudah dikendalikan.

Efek angin digolongkan menjadi dua komponen, yaitu efek turbulen dan

efek steady. Efek steady terjadi karena pada saat angin bertiup di atas dan di

sekeliling bangunan. Pergerakan angin ini dapat membangkitkan perbedaan

tekanan pada lokasi berbeda menghasilkan distribusi tekanan pada bangunan.

Distribusi tekanan di sekitar bangunan dinyatakan sebagai distribusi dari koefisien

tekanan. Apabila koefisien tekanan bernilai positif maka akan terjadi aliran udara

masuk (inflow) melalui bukaan pada bangunan. Apabila koefisien tekanan bernilai

negatif maka akan terjadi aliran udara keluar dari bangunan (outflow). Efek

turbulen terjadi karena kecepatan angin tidak bersifat statis melainkan bervariasi

secara kontinyu menghasilkan fluktuasi tekanan.

Efek termal timbul dari perbedaan temperatur di dalam dan di luar kandang

(Bockett dan Albright 1987). Konveksi panas dari atap dan material penyusun

kandang dapat meningkatkan temperatur udara dan menurunkan kerapatan udara

dalam kandang sehingga mengakibatkan perbedaan tekanan udara di dalam dan di

Page 6: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu . 6 ... Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman

9

luar kandang yang pada akhirnya terjadi aliran udara keluar masuk kandang

melalui bukaan.

Akibat faktor termal, terdapat suatu bidang pada bukaan kandang yang tidak

terjadi aliran udara, karena tekanan udara di dalam dan di luar kandang besarnya

sama. Bidang ini disebut bidang tekanan netral. Posisi bidang tekanan netral

memberikan gambaran bukaan yang berfungsi sebagai saluran masuk dan saluran

keluarnya udara. Pada bagian bawah bidang tekanan netral, tekanan udara luar

lebih tinggi daripada tekanan udara di dalam kandang sehingga terjadi aliran udara

masuk ke dalam kandang. Pada bagian di atas bidang tekanan netral, tekanan

udara di dalam lebih tinggi dari tekanan udara di luar, sehingga terjadi aliran

udara keluar (Brockett dan Albright 1987).

Daya tahan panas (heat tolerance) ternak sebagai manifestasi adaptasi,

merupakan kemampuan tubuh ternak untuk mempertahankan diri dari serangan

panas tanpa menderita akibat dari pengaruh tidak menguntungkan (Soeharsono

2008). Prinsip dasar pengukuran daya tahan panas seekor ternak ialah tingkat

perubahan suhu tubuh ternak tersebut, sebab pada umumnya perubahan-perubahan

fungsi fisiologis organ lainnya hanya usaha tubuh agar suhu tubuh tidak terus

naik. Ternak yang mudah naik suhu tubuhnya akibat meningkatnya suhu

lingkungan, dikatakan bahwa ternak tersebut rendah daya tahan panasnya. Salah

satu cara digunakan untuk mengukur toleransi panas, dengan melihat tinggi

rendahnya reaksi organ yang dianggap paling mudah berubah, akibat perubahan

suhu lingkungan, yaitu organ pernapasan dan pengaturan suhu tubuh.

Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tahan panas seekor ternak, yaitu

bangsa, jenis kelamin, dan kondisi tubuh ternak. Sapi potong mempunyai daya

tahan panas lebih tinggi daripada sapi perah. Ternak yang mempunyai volume

tubuh lebih besar lebih rendah daya tahan panasnya dibanding dengan yang kurus

(Soeharsono 2008). Hal ini erat kaitannya dengan luas permukaan tubuh ternak

tersebut, yang menunjukkan bahwa semakin kecil ternak maka luas permukaan

tubuhnya relatif lebih besar, sehingga lebih banyak panas yang diradiasikan dari

dalam tubuh. Begitu juga ternak muda lebih rendah daya tahan panasnya daripada

ternak tua (Soeharsono 2008). Hal tersebut disebabkan organ berkaitan dengan

pembuangan panas pada ternak dewasa sudah lebih berkembang fungsinya

daripada organ-organ tubuh ternak muda.

Pengukuran daya tahan panas seekor ternak dapat digunakan dua cara, yaitu

(1) metode Iberia dengan menggunakan parameter suhu tubuh dan diukur dalam 0F, (2) metode Benezra dengan parameter suhu tubuh (

0C) dan frekuensi

pernapasan. Rumus yang digunakan Benezra atau dikenal dengan Benezra

Coefficient (BC) sebagai berikut:

BC = Benezra Coefficient

RT = Rectal Temperature

NR = Number of Respiratory Rate

38,33 = Temperatur normal sapi (standard temperature)

23 = Frekuensi pernapasan normal (standar respiratory rate)

Selanjutnya Soeharsono (2008) menggantinya dengan IA yakni singkatan dari

Indeks of Adaptability. Dengan demikian rumus tersebut menjadi

Page 7: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu . 6 ... Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman

10

RT1 = suhu tubuh siang hari

RT 0 = suhu tubuh pagi hari

NR1 = frekuensi pernapasan siang hari

NR0 = frekuensi pernapasan pagi hari

Menurut perhitungan dengan cara tersebut, toleransi panas optimal, bila nilai IA =

2. Semakin tinggi nilai IA, semakin rendah toleransi panas ternak.

Suhu dan Kelembaban Udara

Faktor-faktor iklim, khususnya suhu lingkungan sangat berpengaruh

terhadap produksi dan konsumsi (Rahardja 2007). Suhu lingkungan naik sampai

27 oC, bagi sapi FH sedang laktasi mengebabkan produksi susu menurun.

Penurunan produksi tersebut disebabkan rendahnya napsu makan. Dengan adanya

pemanasan global di masa sekarang sangat mempengaruhi naik dan turunnya

produksi susu secara drastis, sehingga dapat merugikan peternak. Sapi perah

berada pada suhu lingkungan tergolong tinggi dan diberikan pakan, maka

berusaha meningkatkan pengeluaran panas serta efek kalorigenik pakan (EKP)

merupakan tambahan beban panas, yang akhirnya dapat menurunkan produksi

susu.

Iklim memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan sapi. Bagi sapi perah FH

serta PFH pada suhu lingkungan naik di atas normal, yaitu lebih dari 30 0C,

termasuk lingkungan suhu kritis. Suhu tinggi memaksa sapi tinggal di lingkungan

tersebut harus beradaptasi berat. Sapi perah yang hidup di suatu lingkungan

bersuhu tinggi tidak dapat hidup nyaman (not comfortable), napsu makan

berkurang, sehinga produksi susu menurun (Rahardja 2007).

Stress panas terjadi apabila suhu lingkungan berubah menjadi lebih tinggi di

atas zona termonetral. Pada kondisi tersebut, toleransi ternak terhadap lingkungan

menjadi rendah atau menurun, sehingga ternak mengalami cekaman. Efek stress

panas akan berpengaruh terhadap pertumbuhan, reproduksi, dan masa laktasi pada

sapi perah, serta termasuk di dalamnya pengaruh terhadap hormonal, produksi

susu, dan komposisi susu (Bond dan McDowell 2008).

Kelembaban merupakan jumlah air dalam udara. Fungsi kelembaban udara

sangat penting, karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak.

Lebih lanjut bahwa kelembaban dapat menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan

panas melalui kulit dan saluran pernafasan. Kelembaban biasanya diekspresikan

sebagai kelembaban relatif (Relative Humidity). Pada saat kelembaban tinggi,

evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas serta akhirnya dapat

mempengaruhi keseimbangan termal ternak (Sientje 2003).

Kemampuan berproduksi sapi perah FH menurut beberapa penelitian

menunjukkan bervariasi dengan adanya perbedaan temperatur lingkungan. Seperti

halnya penelitian pengaruh stress panas terhadap konsumsi bahan kering, produksi

susu, dan konsumsi air yang dapat ditunjukkan pada Tabel 2.

Page 8: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu . 6 ... Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman

11

Suhu efektif adalah suhu dimanfaatkan ternak untuk kehidupannya yang

dipengaruhi suhu dan kelembaban udara (Rh), radiasi matahari dan kecepatan

angin (West 1994). Suhu efektif dapat memperlihatkan tingkat kenyamanan dan

stress bagi sapi perah. Hubungan suhu efektif dengan paremeter iklim mikro

ditunjukkan pada beberapa persamaan berikut (Yamamoto 1983): (1) hubungan

suhu efektif dengan suhu bola basah dan bola kering, (2) hubungan suhu efektif

dengan suhu bola kering (suhu tubuh sapi) dan kecepatan angin, (3) hubungan

suhu efektif dengan suhu bola kering (suhu pernafasan) dan kecepatan angin, (4)

hubungan suhu efektif dengan suhu bola kering dan radiasi matahari, (5)

hubungan suhu efektif dengan suhu bola basah dan suhu udara lingkungan.

Tabel 2 Perubahan relatif pada konsumsi bahan kering dan produksi susu serta

konsumsi air dengan meningkatnya temperatur lingkungan

Temperatur (oC) Perkiraan Konsumsi

dan produksi

Bahan kering (lb) Produksi Susu (lb) Air (Galon)

20 40.1 59.5 18.0

25 39.0 55.1 19.5

30 37.3 50.7 20.9

35 36.8 39.7 31.7

40 32.5 26.5 28.0

Sumber : Pennington dan VanDevender (2004)

Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang

mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan

keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi

dan keseimbangan tingkah laku ternak (Esmay 1986). McDowell (1974)

menyatakan bahwa untuk kehidupan dan produksinya, ternak memerlukan suhu

lingkungan yang optimum. Zona termonetral suhu nyaman untuk sapi Eropa

berkisar 13 – 18 oC (McDowell 1972); 4 – 25

oC (Yousef 1985), 5 – 25

oC (Jones

dan Stallings 1999). Bligh dan Johnson (1985) membagi beberapa wilayah suhu

lingkungan berdasarkan perubahan produksi panas hewan, sehingga didapatkan

batasan suhu yang nyaman bagi ternak, yaitu antara batas suhu kritis minimum

dengan maksimum (Gambar 1). Hubungan besaran suhu dan kelembaban udara

atau biasa disebut Temperature Humidity Index (THI) yang dapat mempengaruhi

tingkat stres sapi perah. Sapi perah FH akan nyaman pada nilai THI di bawah 72.

Jika nilai THI melebihi 72, maka sapi perah FH akan mengalami stres ringan (72

THI 79), stres sedang (80 THI 89) dan stres berat ( 90 THI 97)

(Wierema 1990).

Perubahan suhu pada kandang dapat mempengaruhi perubahan denyut

jantung dan frekuensi pernapasan sapi FH. Denyut jantung sapi FH sehat pada

daerah nyaman (suhu tubuh 38,6oC) adalah 60 – 70 kali/menit dengan frekuensi

pernafasan 10 – 30 kali/menit (Ensminger 1971). Reaksi sapi FH terhadap

perubahan suhu dilihat dari respons pernapasan dan denyut jantung, merupakan

mekanisme dari tubuh sapi untuk mengurangi atau melepaskan panas diterima

dari luar tubuh ternak. Peningkatan denyut jantung merupakan respons dari tubuh

ternak untuk menyebarkan panas diterima ke dalam organ-organ lebih dingin

(Anderson 1983).

Page 9: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu . 6 ... Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman

12

Modifikasi Lingkungan Suhu Mikro

Pemecahan masalah untuk mengatasi suhu lingkungan tinggi dengan cara

menurunkan suhu udara di sekitar sapi perah, melalui modifikasi lingkungan

mikro dalam kandang. Hal ini bisa ditempuh dengan cara pemberian naungan,

pemilihan bahan atap, tinggi atap, alas bahan lantai, pendingin udara (air

condioning), pendinginan melalui penguapan (evaporative cooling), dan kipas

angin (electric fan). Upaya menggunakan pendinginan tersebut sudah pasti

memerlukan tambahan biaya tidak sedikit, maka untuk peternakan sapi perah

rakyat di Indonesia belum bisa dilaksanakan (Sudono et al. 2003).

Kendala utama untuk menampilkan produktivitas ternak yang dipelihara

secara ekstensif pada kondisi suhu lingkungan panas adalah karena intensitas

matahari yang tinggi (McDOwell 1972; Mount 1979). Hal tersebut

mengakibatkan terjadinya perubahan tingkah laku ternak, merumput dilakukan

malam hari dan siang harinya lebih banyak digunakan untuk berteduh (Ingram dan

Dauncey 1985). Pengaruh intensitas matahari yang tinggi juga terjadi pada

pemeliharaan ternak secara intensif, karena pengaruh panas radiasi tersebut

mengakibatkan terjadinya perubahan faktor mikroklimat di dalam kandang

(Esmay 1986; Hahn 1985).

Radiasi matahari menimbulkan cekaman panas pada sapi digembalakan

(Gebremedhin 1985). Pengaruh negatif radiasi matahari dapat dikurangi dengan

menggunakan naungan, untuk mengurangi intensitas dan lama penyinaran

(Roman-Ponce et al. 1977; Esmay 1986) atau kombinasi naungan dengan sistem

pendinginan lain (Armstrong 1997; Igono et al. 1987). Berdasarkan hal tersebutr

Yamamoto et el. (1994) menekankan pentingnya pengetahuan tentang peranan

naungan dalam termoregulasi sapi perah di daerah berudara panas dalam

manajemen sapi perah.

Berdasarkan tujuan mengurangi radiasi langsung dari sinar matahari dalam

pembuatan kandang sapi perah, perlu dipilih bahan-bahan yang mampu

memantulkan dan menyerap radiasi langsung, sehingga dapat mengurangi

penghantaran panas ke dalam kandang. Semua bahan akan memantulkan,

meneruskan dan menyerap radiasi gelombang pendek dan gelombang panjang

dengan proporsi berbeda-beda, tergantung pada jenis bahan. Perbedaan ini

disebabkan berbedanya suhu absolut bahan, sifat fisik dan kimiawi bahan serta

daya hantar energi panas (bahang) dan panjang gelombang radiasi matahari

(Charles 1981). Hahn (1985) menyatakan bahwa bahan atap rumput kering atau

jerami paling efektif menahan radiasi matahari yang terpancar langsung,

sedangkan bahan padat kurang efektif kecuali kalau dicat putih. Demikian pula,

bahan atap dari bilah-bilah kayu yang disusun tidak rapat kurang efektif untuk

menahan radiasi matahari.

Radiasi matahari yang diabsorbsi bahan akan diubah menjadi bahang,

kemudian dihantar ke bagian lebih dingin atau dipancarkan kembali sebagai

radiasi gelombang panjang. Kemampuan menghantar bahang (konduktivitas)

masing-masing bahan dari terendah hingga tertinggi berturut-turut adalah asbes,

beton, baja, seng, dan alumunium (Charles 1981). Bahan tipis seperti kebanyakan

logam mempunyai koefisienan konduksi yang besar, sehingga suhu di atas dan di

bawah bahan hampir sama (Esmay 1978). Hasil penelitian Santoso (1996)

Page 10: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu . 6 ... Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman

13

memperlihatkan bahwa lingkungan mikro di dalam kandang beratap rumbia

dengan ketinggian 2 meter paling nyaman dibandingkan dengan lingkungan mikro

di dalam kandang dengan atap ketinggian 2 meter, serta kandang dengan atap

rumbia dan genteng ketinggian 3 meter pada siang hari.

Konduktivitas bahang bahan dipengaruhi jenis dan ketebalan bahan (Whates

1981). Semakin tinggi suhu di bagian bawah bahan atap, semakin tinggi pula suhu

di dalam kandang. Hal ini disebabkan penyebaran bahang lebih cepat pada bahan

tersebut, baik secara konduksi, konveksi maupun radiasi. Kandang beratap rumbia

dan genteng ketinggian 2 meter menyebabkan respon termoregulasi sapi-sapi di

dalamnya lebih rendah, pertambahan bobot badan serta efisiensi pakan lebih

tinggi dibanding dengan sapi-sapi yang tidak di dalam kandang beratap rumbia

dan genteng 3 meter (Santoso 1996).

Berkaitan dengan hantaran bahang dan konduksi, yang perlu diperhatikan

adalah konduktivitas dan kapasitas bahang tersebut. Perbandingan antara

konduktivitas dan kapasitas bahang merupakan daya difusivitas bahan yang

mencerminkan kemampuan bahan untuk melakukan difusi bahang ke lingkungan

sekitarnya (Mount 1979). Whates (1981) menyatakan kapasitas bahang dari bahan

tergantung pada kadar air bahan. Makin tinggi kadar air bahan, kapasitas

bahangnya makin tinggi. Santoso (1996) melaporkan bahwa tidak terjadi

perbedaan respon termoregulasi, konsumsi pakan, dan air minum dalam kandang

beratap rumbia dengan genteng pada ketinggian atap sama.

Selain memilih bahan atap berkonduktivitas rendah, usaha lain yang

ditempuh untuk memanipulasi lingkungan mikro di dalam kandang adalah dengan

memperbesar ukuran kandang. Salah satu caranya adalah dengan meninggikan

atap kandang, sehingga volume udara dan aliran udara masuk ke dalam kandang

lebih besar dan pergantian udara lebih cepat (Carpenter 1981). Pengaruh

ditimbulkan dari keadaan tersebut adalah terjadinya penurunan suhu di dalam

kandang. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa cekaman panas di dalam

kandang berkurang, di samping itu terjadi pelepasan panas dari tubuh ternak

melalui kulit (sweating) berjalan lebih baik.

Daerah-daerah yang cerah dengan sinar matahari penuh, tinggi atap kandang

sebaiknya antara 3.6 dan 4.2 m dan untuk daerah berawan, ketinggian atap

kandang antara 2,1 dan 2,7 m lebih efektif membatasi difusi radiasi matahari yang

diterima ternak di dalam kandang (Hahn 1985). Ketinggian atap antara 2 dan 3 m

untuk daerah tropis basah dan antara 4 dan 5 m untuk daerah beriklim panas

kering (McDowell 1972), antara 3 dan 4 m untuk daerah semi arid (Wiersma et al.

1984; Marai dan Forbes 1989). Sastry dan Thomas (1980) menyarankan

pengaturan ketinggian atap kandang sapi perah untuk daerah panas dengan curah

hujan sedang sampai curah hujan tinggi adalah 175 cm, yang diukur dari sisi atap

terendah ke lantai.

Respon Fisiologis

Semua ternak termasuk homoitherm, dalam keadaan sehat mempunyai suhu

tubuh praktis konstan. Untuk pengaturan suhu tubuh, terdapat pusat pengatur

suhu yang terletak di bagian anterior hipotalamus, yakni di daerah supraoptik dan

preoptik yang mudah dirangsang bila suhu tubuh naik. Begitu juga, pusat

Page 11: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu . 6 ... Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman

14

pengaturan suhu di daerah posterior hipotalamus sangat mudah dirangsang,

apabila suhu tubuh menurun. Kedua pusat yang masing-masing terletak di

hipotalamus anterior dan posterior ini merupakan pusat suhu yang berlawanan,

artinya bila satu aktif maka lainnya dengan sendirinya menjadi pasif.

Pengaturan suhu tubuh bergantung pada produksi panas melalui

metabolisme dan pelepasan panas ke lingkungan. Hensel (1981) mengemukakan

bahwa adanya kontinuitas produksi panas oleh tubuh, maka keseimbangan hanya

terjadi bila ada kontinuitas aliran panas pada perbedaan temperatur antara tubuh

dan lingkungan. Menurut Isnaeni (2006), kesulitan dalam pelepasan panas secara

sensible menyebabkan ternak untuk melepaskan panas secara insensible

(evaporasi). Alfarez-Rodriguez dan Sanz (2009), bahwa sapi meningkatkan panas

secara evaporasi dengan panting dan sweting. Evaporasi pada dasarnya dikontrol

oleh ternak dan stres panas yang secara tiba-tiba, dapat segera menyebabkan

proses fisiologis pada sapi (Schutz et al. 2008). Pada saat istirahat, ternak lebih

toleransi pada suhu tinggi.

Temperatur mengacu pada kemampuan tubuh untuk menyerap panas. Pada

ternak lebih aktif, maka lebih banyak energi dikeluarkan untuk aktivitasnya dan

faktor ekstrinsik berupa temperatur yang paling besar mempengaruhi metabolisme

(Tyler dan Enseminger 2006). Homeotermi adalah hasil dari keseimbangan antara

produksi panas dengan pelepasan panas (Gambar 2), serta faktor-faktor yang

mempengaruhi produksi panas yaitu ukuran tubuh, spesies dan bangsa,

lingkungan, pakan, dan air.

Hipotermia Hipertermia

Normal

Suhu tubuh, 0C

Gambar 2 Suhu tubuh sebagai keseimbangan antara pelepasan panas dengan

produksi panas

Dipengaruhi oleh:

Luas permukaan tubuh

Penutup tubuh

Pertukaran air

Aliran darah

Lingkungan :

Suhu

Kecepatan angin

Kelembaban

Dipengaruhi oleh:

Hormon kalorigenik

Produksi :

susu

daging

wool

aktivitas otot

kebutuhan pokok

Sumber :

Makanan

Cadangan tubuh

Permentasi

rumen/sekum

Lingkungan

Sensible Radiasi Konveksi Konduksi

Non sensibel Evaporasi Evaporasi -respirasi -kulit -

Pelepasan panas

Pelepasan panas

Page 12: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu . 6 ... Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman

15

Suhu tubuh menunjukkan kemampuan tubuh untuk melepas dan menerima

panas. Pengukuran suhu tubuh sapi pada dasarnya sulit dilakukan, karena

pengukuran suhu tubuh merupakan resultan dari berbagai pengukuran di berbagai

tempat (Schmidt-Nielsen 1997). Suhu tubuh dapat dihitung pada beberapa lokasi

yaitu salah satunya pada rektal, karena cukup mewakili dan kondisinya stabil.

Temperatur rektal dan kulit saat siang hari meningkat akibat dehidrasi, frekuensi

respirasi dan suhu tubuh berfluktuasi lebih besar (Weeth et al. 2008).

Suhu tubuh diukur dengan termometer klinis bukan indikasi dari jumlah

total panas yang diproduksi, tetapi hanya merefleksikan keseimbangan antara

panas yang diproduksi dengan panas yang dilepaskan. Walaupun temperatur

rektal tidak mengindikasikan suhu tubuh pada ternak, tetapi rektal adalah tempat

yang tepat untuk menginformasikan suhu tubuh . Suhu rektal ternak berumur di

atas satu tahun berkisar 37.8-39.2 0C (Kelly 1984).

Pelepasan panas dari tubuh akan tergantung pada sistem pengendalian panas

tubuh sebagai reaksi terhadap perubahan-perubahan faktor iklim sekitarnya.

Kisaran suhu lingkungan pada kondisi tropis, umumnya lebih tinggi dibandingkan

dengan kisaran suhu lingkungan yang serasi bagi ternak. Kenaikan suhu

lingkungan akan diikuti oleh peningkatan suhu tubuh, yang akan menyebabkan

terganggunya keseimbangan panas tubuh (Sudarmoyo 1988). Perubahan-

perubahan fisiologis pada tubuh sapi FH yang menderita cekaman panas disajikan

pada Tabel 3. Pengaruh cekaman panas terhadap respon fisiologis sapi perah

sangat jelas pada peningkatan suhu rektal, frekuensi pernafasan, dan denyut

jantung.

Tabel 3 Suhu rektal, denyut jantung, dan frekuensi pernapasan sapi FH

Parameter Sumber Suhu lingkungan

Netral Cekaman

Suhu rektal (oC) 1

2

38.7

38.8

40.0

39.8

Denyut jantung (kali per menit) 1

2

77.0

64.0

79.0

67.0

Pernapasan (kali per menit) 1

2

48.0

31.0

87.0

75.0

Sumber : 1) Kibler (1962). Sapi FH dengan suhu netral 21.6oC dan suhu cekaman

32.2oC. 2) Purwanto (1993a). Sapi FH dengan suhu netral 15

oC dan

suhu cekaman 30oC.

Sistem respirasi memiliki fungsi untuk memasok oksigen ke dalam tubuh

serta membuang karbondioksida dari dalam darah. Fungsi-fungsi sekunder

membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstraseluler dalam tubuh, membantu

pengendalian suhu , eliminasi air, dan pembentukan suara. Sistem respirasi dapat

mengatur kelembaban dan suhu udara yang masuk (dingin atau panas) agar sesuai

dengan suhu tubuh.

Frekuensi respirasi normal pada ternak sapi dewasa adalah 10-30 kali/menit,

sedangkan pada pedet sebanyak 15-40 kali/menit. Mekanisme respirasi dikontrol

Page 13: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu . 6 ... Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman

16

oleh medulla yang sensitif terhadap CO2 pada tekanan darah. Jika tekanan darah

meningkat sedikit, pernafasan menjadi lebih dalam dan cepat. Peningkatan

frekuensi respirasi terjadi ketika ada peningkatan permintaan oksigen, yaitu

setelah olah raga, suhu lingkungan dan kelembaban relatif tinggi, dan kegemukan

(Kelly 1984).

Respon pernafasan dan denyut jantung merupakan mekanisme dari tubuh

sapi perah untuk mengurangi atau melepaskan panas yang diterima dari luar tubuh

ternak. Frekuensi pernafasan dan denyut jantung akan meningkat sejalan dengan

peningkatan suhu lingkungan. Peningkatan denyut jantung merupakan respons

dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ

yang lebih dingin, sedangkan pernafasan merupakan respon tubuh ternak untuk

membuang panas atau mengganti panas dengan udara di sekitarnya. Apabila

kedua respons tersebut tidak berhasil menghilangkan atau mengurangi tambahan

panas dari luar tubuh, maka akan berakibat terhadap peningkatan suhu organ

tubuh (Anderson 1983). Selain itu, mekanisme pengurangan beban panas terutama

ditempuh melalui permukaan tubuh dengan cara pengeluaran keringat dan

sebagian lagi melalui pengeluaran urin (Tabel 4).

Roman-Ponce et al. (1982) mengemukakan bahwa sapi perah yang

ditempatkan pada kandang sebagai pelindung dari sengatan matahari pada suhu

lingkungan 28.4 oC menghasilkan suhu tubuh 38.9

oC, dan sapi-sapi tanpa

kandang pelindung pada suhu lingkungan 36.7 oC diperoleh suhu tubuh 39.4

oC.

Wolfenson et al. (1988) mengemukakan bahwa pendinginan tubuh dengan

pembasahan dan hembusan angin terhadap sapi perah Israel-Holstein pada musim

panas pada suhu lingkungan 31 oC, suhu tubuhnya meningkat 0.2

oC, dari suhu

tubuh 38.7 oC menjadi 38.9

oC. Sapi-sapi tanpa perlakuan pendinginan, suhu

tubuhnya meningkat 0.5 oC, dari suhu tubuh 38.7

oC menjadi 39.2

oC.

Tabel 4 Konsumsi minum, volume urine, dan evaporasi sapi FH laktasi dalam

kondisi suhu lingkungan yang berbeda

Parameter Suhu

18 oC 30

oC

Konsumsi minum (kg/hari)

Volume urine (kg/hr)

Evaporasi melalui (g m-2

hari-1

)

a. permukaan tubuh

b. respirasi

57.9

11.2

94.6

60.6

74.7

12.8

150.6

90.9

Sumber : McDowell (1972).

Upaya untuk mengatasi cekaman panas pada sapi perah, di antaranya

melalui perbaikan sistem perkandangan dan pendinginan tubuh. Gomila et al.

(1976) menjelaskan bahwa rataan frekuensi pernafasan sapi Fries Holland dan

Guernsey yang mendapatkan perlakuan pendinginan tubuh pada suhu lingkungan

Page 14: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu . 6 ... Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman

17

27.4 – 29.2 oC adalah 64.7 kali per menit, sedangkan pada sapi tanpa pendinginan

tubuh adalah 76.5 kali per menit.

Jantung merupakan struktur otot berongga yang bentuknya menyerupai

kerucut, dan siklusnya adalah urutan peristiwa yang terjadi selama suatu denyut

lengkap. Jantung memiliki suatu kapasitas yang kompleks untuk berkontraksi

tanpa stimulus eksternal. Faktor-faktor yang mempengaruhi denyut jantung pada

ternak normal, yaitu spesies, ukuran, umur, kondisi fisik, jenis kelamin, tahap

kebuntingan, ransangan, tahap laktasi, posisi tubuh, aktivitas sistem pencernaan,

ruminasi, dan temperatur lingkungan (Frandson 1992). Denyut jantung normal

pada sapi dewasa 55-80 kali/menit dan pada pedet 100-120 kali/menit.

Perubahan dalam kardiovaskular terjadi hampir pada setiap perubahan

kondisi lingkungan sekitar ternak (Soeharsono 2008). Bila thermostat yang

terdapat pada hipothalamus posterior didinginkan, maka akan timbul

vasokontriksi di seluruh tubuh. Terjadinya vasokontriksi ini ternyata mencegah

sistem radiator dalam pengeluaran panas. Secara umum, kerja dari pusat panas ini,

apabila keadaan cuaca dingin, mula-mula thermoreceptor yang terdapat dalam

sistem di permukaan tubuh menderita terlebih dahulu. Dalam hal ini, darah yang

terdapat di periferi menerima rangsangan tersebut dan membawanya ke seluruh

tubuh. Suhu yang disebarkan tersebut sampai di pusat pengaturan suhu. Pusat ini

sangat sensitif terhadap setiap perubahan suhu darah. Sewaktu suhu darah

menurun, terjadi suatu reaksi tertahan, sehingga semua pembuluh darah di periferi

mengecil karena kerja hormon.

Reaksi kardiovaskuler terhadap perubahan suhu lingkungan terjadi adanya

penyempitan (kontriksi) dan pembesaran (dilatasi) pembuluh darah. Hal ini terjadi

sebagai manifestasi kerja pusat pengatur suhu yang terletak di dalam hipotalamus

(Soeharsono 2008). Denyut nadi merupakan manifestasi denyut jantung, yang

secara normal keduanya mempunyai ritme yang bersamaan. Denyut nadi

meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan, tetapi ada pula denyut nadi

yang menurun dengan meningkatnya suhu lingkungan. Soeharsono (2008)

mengemukakan dari hasil penelitiannya pada sapi perah Fries Holland, bahwa

pada suhu lingkungan 28.3 oC, frekuensi denyut nadi 72.3 kali per menit dan pada

suhu lingkungan 30.2 oC naik menjadi 76.6 kali per menit. Seath dan Miller

(2008), perubahan pada suhu udara memiliki efek yang relatif kecil terhadap

denyut jantung, dengan nilai korelasi kurang dari 0.2.

Manajemen Pakan

Manajemen pakan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan

produktivitas dan keuntungan sapi perah. Pemberian pakan pada sapi perah

hendaknya memperhatikan dua hal, yaitu kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan

produksi. Pada sapi dara, pemberian pakan dapat menunjang kebutuhan hidup

pokok dan produksi, dengan fokus utama adalah pertambahan berat badan (PBB).

Manajemen pemberian pakan kepada ternak, terutama berdasarkan waktu dan

jumlah pemberian pakan, dan kualitas pakan. Tiga hal tersebut, perlu diperhatikan

mengenai jumlah dan kualitas pakan, yaitu bahan kering (BK), protein kasar, dan

energi (TDN), karena komposisi tersebut berperan penting untuk kelangsungan

hidup dan produksi sapi dara.

Page 15: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu . 6 ... Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman

18

Pemberian pakan pada sapi perah yang ideal ditinjau dari segi respon

fisiologis dan ekonomis, terdiri dari sejumlah hijauan dan konsentrat sebagai

tambahan. Pakan yang hanya terdiri dari hijauan saja akan sulit untuk mencapai

produksi tinggi. Begitu juga, bila sapi perah hanya diberikan konsentrat, produksi

akan tinggi, dengan biaya akan menjadi relatif mahal dan terjadinya gangguan

pencernaan.

Pemberian pakan hijauan dan konsentrat pada sapi perah merupakan

makanan yang dibutuhkan sapi perah untuk berbagai fungsi tubuhnya. Agar

pemberian pakan yang dibutuhkan itu dapat terpenuhi, hijauan dan konsentrat

perlu diformulasikan menjadi suatu ransum. Dengan demikian, formulasi ransum

sapi perah bertujuan untuk menyusun suatu ransum dapat memenuhi zat-zat

makanan dibutuhkan sapi perah. Dalam formulasi ransum, kebutuhan air tidak

diikutsertakan. Hal ini dikarenakan air minum pada sapi perah terutama sedang

laktasi, harus selalu cukup tersedia (Siregar 1992).

Berkenaan hubungan antara waktu, jumlah, dan konsumsi pakan dengan

faktor iklim terutama suhu lingkungan perlu diperhatikan. Purwanto et al. (1993)

mengemukakan bahwa faktor iklim berpengaruh langsung terhadap konsumsi

pakan dalam hal perilaku merumput, pengambilan dan penggunaan makanan (feed

intake), pengambilan dan penggunaan air minum (water intake), efisiensi

penggunaan makanan, dan hilangnya zat-zat makanan karena berkeringat dan air

sumber makanan di wilayah tersebut.

Bahan pakan merupakan segala sesuatu yang dapat diberikan kepada ternak,

baik berupa bahan organik maupun anorganik yang sebagian atau seluruhnya

dapat dicerna tanpa mengganggu kesehatan ternak. Albright (1992)

mengemukakan bahwa palatabilitas memiliki pengaruh besar terhadap konsumsi

pakan pada ruminansia dan sensor terhadap rasa sangat berkembang pada ternak

sapi. Chiy dan Philips (1999) melaporkan hasil penelitian, konsentrat yang manis,

dengan kadar karbohidrat larut air yang sama (198g/kg bk), dikonsumsi ternak

lebih cepat dibanding konsentrat yang asin dan pahit tanpa bahan aditif lain.

Fungsi fisiologis daripada pakan adalah menyediakan bahan-bahan untuk

membangun dan memperbaharui jaringan tubuh aus terpakai, mengatur

kelestarian proses-proses dalam tubuh dan kondisi lingkungan dalam tubuh, dan

menyediakan energi untuk melangsungkan berbagai proses dalam tubuh. Energi

dibutuhkan untuk mendukung fungsi normal tubuh ternak seperti respirasi,

pencernaan, dan metabolisme untuk pertumbuhan dan produksi susu. Sapi dara

sedang tumbuh memerlukan ekstra energi untuk jaringan tubuhnya selama

pertumbuhan dari anak hingga menjadi ternak dewasa (Etgen 1987; Lawrence dan

Fowler 2002).

Kandungan pakan dapat berfungsi baik bagi tubuh sebagai sumber energi

adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Bahan-bahan pakan tersebut memiliki

karakter nutrisi dan efek berbeda-beda terhadap kondisi fisiologis ternak.

Makanan berserat menghasilkan panas paling tinggi dalam proses pencernaannya,

selanjutnya diikuti oleh protein, karbohidrat dan disusul lemak. Lemak memiliki

kadar energi paling tinggi, akan tetapi lemak menghasilkan panas terbuang (heat

increament) relatif lebih rendah dibanding protein dan karbohidrat (Parakkasi

1995). Penambahan lemak dalam ransum dapat meningkatkan konsumsi energi.

Page 16: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu . 6 ... Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman

19

Zat pakan yang memiliki kandungan kalori tinggi dan heat increament rendah

seperti lemak sangat sesuai diberikan bila ada cekaman panas.

Kebutuhan pakan pada makhluk hidup berbeda-beda sesuai dengan

karakter fisiologisnya, diantaranya bergantung pada tingkat stress terhadap

cekaman panas dan fase pertmbuhan. Pada ruminan, seperti sapi perah, hasil

fermentasi karbohidrat berupa VFA (volatile fatty acid) diserap langsung melalui

dinding rumen, hanya sedikit bagian dari VFA yang termetabolisme dalam

dinding rumen (Parakkasi 1995). VFA merupakan sumber energi utama pada

ruminansia. Lemak pakan dalam rumen ruminansia dewasa mengalami proses

hidrolisis, fermentasi gliserol dan galaktosa, dan hidrogenasi asam lemak tak

jenuh oleh mikroorganisme rumen. Hidrolisis lemak pada anak sapi sangat

terbatas kesanggupannya, sehingga banyak di antara lemak tersebut harus diserap

secara langsung masuk ke dalam saluran limfe (Parakkasi 1995).

Kandungan energi pakan harus dimodifikasi selama suhu tinggi. Rao et al.

(2002) melaporkan bahwa konsentrasi energi harus ditingkatkan 10 % selama

stress panas dan konsentrasi nutrisi lain juga ditingkatkan 25 %. Konsentrasi

energi (DE atau TDN) yang baik lebih tinggi pada pakan disuplementasi lemak

dibanding tidak disuplementasi. Sapi diberi pakan dengan lemak dengan

suplementasi sebanyak 1.2 Mkal/hari, energinya lebih banyak tercerna

dibandingkan tidak disuplementasi lemak (Weiss dan Wyatt 2004).

Energi metabolis sesuai dengan karakter metabolisme hewan dan juga

bergantung pada panas, aktivitas, dan pertumbuhan (Lawrence dan Fowler 2002).

Aktifitas dapat meningkatkan panas tubuh metabolis. Pada kasus yang biasa

dilakukan seperti aktivitas berdiri dari posisi duduk, dapat meningkatkan produksi

panas metabolis dari 40 % menjadi 45 % berdasarkan pengukuran menggunakan

calorimeter. Produksi panas metabolis pada saat diam, lebih rendah, karena terjadi

perubahan postur saat berlari, perubahan pada pelepasan panas sensible, dan atau

peningkatan suhu tubuh karena berlari (Yousef 1985).

Hasil penelitian Sporndly (2003), dengan penambahan 10 % kadar lemak

pada konsentrat atau 3 % dari seluruh ransum tidak memberikan efek yang relatif

besar pada konsumsi bahan kering atau kecernaan, dan terbaik pada penambahan

lemak dengan kadar maksimal 5 % telah direkomendasikan untuk sapi perah di

Swedia. Lebih lanjut hasil penelitian menunjukkan bahwa ternak ruminansia

mampu mentoleransi kandungan lemak hingga 10 % tanpa mengalami gangguan

pencernaan.

Efisiensi penggunaan bahan kering ransum tertinggi dicapai pada pemberian

minyak kelapa 200 gr/ekor/hari, yang setara dengan penambahan 3.73 % lemak

dari bahan kering ransum (Anggarawati 1980). Kandungan energi tercerna

minyak kelapa sebesar 0.8 kcal/kg dan koefisien cerna protein dan ether extract

lebih besar saat pakan mengandung minyak kelapa sebanyak 10 % (Creswell dan

Brooks 1971). Hasil penelitian Sitoresmi (2009) menunjukkan, penambahan

minyak hingga level 5 % mampu menurunkan produksi metan hingga 15.80 %

tanpa berefek negatif terhadap kadar NH3, kadar VFA, aktivitas CMC-ase, dan

kadar protein mikrobia. Nilai kalori tinggi dari lemak sangat sesuai digunakan

sebagai pakan, untuk meningkatkan rasio densitas energi pakan tanpa terlalu

menambah peningkatan panas hasil fermentasi sistem pencernaan (Wang et al.

2010).

Page 17: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu . 6 ... Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman

20

Ruminasi dipengaruhi faktor-faktor nutrisi berupa kecernaan pakan,

konsumsi NDF, komposisi pakan, dan kualitas bahan baku pakan. Peningkatan

efisiensi mengunyah saat ruminasi adalah salah satu faktor dapat meningkatkan

daya konsumsi atau cerna setelah ternak disapih, dan bersamaan dengan

meningkatnya fungsi-fungsi rumen lain (Hooper dan Welch 1983). Peningkatan

mengunyah pada saat ruminasi seiring dengan meningkatnya konsumsi hay (Bae

et al. 1979). Peningkatan ruminasi pada sapi perah berpengaruh terhadap

peningkatan produksi saliva dan peningkatan kesehatan rumen. Peningkatan

jumlah lemak jenuh yang melintasi duodenum, dapat meningkatkan waktu

ruminasi harian (Harvatine dan Allen 2005). Hasil Observasi menggunakan Hi-

Tag rumination monitoring system yang dilakukan Schirmann (2009), waktu

yang diperlukan untuk ruminasi selama 35.1 ± 3.2 menit, waktu tersebut hampir

sama dengan pengamatan langsung, yaitu 34.7 ± 2.3 menit.

Konsumsi Pakan

Upaya mencapai tingkat produksi tinggi sesuai dengan potensi genetiknya,

sapi perah perlu memperoleh zat gizi yang diperlukan. Pakan diberikan kepada

sapi perah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan

produksi. Sebagai pakan untuk hidup pokok harus mengandung sejumlah zat gizi

yang mencukupi untuk mempertahankan fungsi-fungsi tubuh dalam keadaan

normal yaitu pernapasan, pencernaan makanan serta memperbaiki bagian-bagian

tubuh yang rusak (Foley et al. 1973). Kandungan zat gizi yang tersedia di dalam

pakan terlebih dahulu akan digunakan tubuh untuk memenuhi kebutuhan hidup

pokok, selanjutnya untuk kebutuhan pertumbuhan dan reproduksi, serta sisanya

digunakan untuk memenuhi kebutuhan produksi. Energi dan protein dibutuhkan

sapi perah dalam jumlah cukup banyak, tetapi vitamin dan mineral dibutuhkan

dalam jumlah sedikit. Air dibutuhkan sangat banyak, karena berfungsi sebagai

media pengangkut dan pembentukan energi dalam tubuh.

Jumlah bahan kering dikonsumsi sapi perah sangat beragam sesuai dengan

kondisi lingkungannya, yaitu berkisar antara 2.2 – 3.0 % dari bobot hidup. Pakan

dikonsumsi sapi perah tergantung pada selera makan serta dipengaruhi oleh

bangsa sapi, periode laktasi, efisiensi metabolisme dan perkembangan rumen,

suhu lingkungan, kandungan air bahan makanan, dan adanya bahan makanan

tambahan (Sudono et al. 2003).

Konsumsi pakan sapi perah dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya suhu

dan kelembaban udara, umur ternak, jenis makanan, dan bangsa sapi perah. Di

antara faktor-faktor tersebut, suhu dan kelembaban udara merupakan salah satu

faktor yang sangat penting dan berpengaruh terhadap konsumsi ransum. Sudono

et al. (2003) mengemukakan bahwa suhu lingkungan tinggi dapat menurunkan

konsumsi pakan pada seluruh bangsa sapi perah. Konsumsi ransum mulai turun

apabila suhu lingkungan naik dari 24 – 25 0C pada sapi Fries Holland, 26 – 29

0C

pada sapi Jersey, di atas 29.5 0C pada sapi Brown Swiss, dan 32-35

0C pada

Brahman. Konsumsi pakan sapi Fries Holland laktasi akan menurun 20 % pada

suhu 32 0C dan akan berhenti makan pada suhu di atas 40

0C.

Page 18: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu . 6 ... Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman

21

Kadar lemak susu sebagian besar diperoleh dari sapi yang mengkonsumsi

pakan berserat kasar tinggi, karena serat kasar merupakan makanan ternak

ruminansia yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi tinggi (Quinn

1980). Kadar serat kasar dalam pakan sapi perah biasanya berkisar antara 16 – 18

% dari total bahan kering yang diberikan. Kadar serat kasar terlalu tinggi di dalam

rumen mengakibatkan ransum sulit dicerna, sedangkan kadar serat kasar terlalu

rendah dalam pakan dapat mengakibatkan gangguan pencernaan (Cullison 1978;

Suherman 2003).

Sapi perah tidak terlalu bergantung pada protein yang tersedia dalam

ransum, karena urea atau nitrogen non protein dapat dibentuk menjadi asam

amino essensial yang dibutuhkan. Kandungan protein tinggi secara utuh akan

difermentasi oleh mikroorganisme rumen dan sebagian lagi akan diubah menjadi

protein mikroba yang mempunyai nilai biologis dan kecernaan sangat rendah

(Czerkawski 1985).

Suhu lingkungan tinggi menurunkan nafsu makan dan mengurangi

konsumsi ransum serta meningkatkan konsumsi air minum. Hal tersebut akan

menghambat pertumbuhan dan produksi susu. Turunnya konsumsi ransum

sebagai respon terhadap peningkatan suhu lingkungan, untuk mempertahankan

keseimbangan panas tubuh dengan cara mengurangi panas tambahan dari ransum.

McDowell et al. (1976) mengemukakan bahwa musim panas produksi susu sapi

perah turun sebesar 21 % dan konsumsi ransum turun sebesar 14 % dibanding

musim dingin.

Kelembaban udara tidak memberikan pengaruh nyata terhadap produksi

susu pada suhu 24 0C, sedangkan pada suhu 34

0C akan menyebabkan penurunan

produksi (Johnson dan Vanjonack 1975). Selanjutnya dijelaskan bahwa sapi perah

Fries Holland lebih besar penurunan produksinya di daerah tropis dan relatif

sensitif terhadap perubahan kelembaban udara dibanding sapi Jersey dan Brown

Swiss. Pada ISK tinggi, penurunan produksi susu tampak jelas terjadi pada sapi

yang menghasilkan susu tinggi (25 kg per hari). Sapi-sapi yang menghasilkan

susu 25 kg per hari mengalami penurunan produksi 0.8 kg per hari untuk setiap

kenaikan ISK satu satuan ISK, sementara sapi perah produksinya 15 kg per hari

mengalami penurunan produksi sekitar 0.3 kg per hari, untuk setiap kenaikan satu

satuan ISK di atas 74.5 (Esmay 1986).

Peningkatan suhu lingkungan mempengaruhi konsumsi ransum, air

minum, produksi susu, kadar lemak, bahan kering tanpa lemak, untuk lebih

jelasnya disajikan pada Tabel 5. Di Indonesia, temperatur lingkungan mencapai

29 oC menurunkan produksi susu menjadi 10.1 kg/ekor/hari dari produksi susu

11.2 kg/ekor/hari pada saat temperatur lingkungan hanya berkisar 18 – 20 oC

(Talib et al. 2002). Penelitian Roman-Ponce et al. (1977) bahwa konsumsi hijauan

turun sebesar 10 % pada sapi perah yang dipelihara tanpa memakai peneduh

dibanding memakai peneduh, dan produksi susu lebih rendah sebesar 6%.

Komposisi susu sangat dipengaruhi stres panas. Sapi perah yang mengalami

stres panas akan mendapatkan pengaruh negatif terhadap komposisi susu, seperti

kadar lemak, protein, dan laktosa susu (Anderson 1985). Hasil penelitian Talib et

al. ( 2002), mendapatkan penurunan kadar lemak susu sapi perah di Indonesia

menjadi 3.2 % pada temperatur lingkungan mencapai 29 oC, jika dibandingkan

dengan kadar lemak susu 3.7 % pada temperatur lingkungan 18–20oC. Demikian

halnya hasil penelitian di Taiwan yang dilakukan oleh Mei dan Hwang (2002),

Page 19: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu . 6 ... Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman

22

mendapatkan lemak susu (3.58 %), protein susu (3.13 %), dan bahan padat bukan

lemak (8.87 %) dari susu pada sapi yang menderita stres panas, hasil ini lebih

rendah dibanding sapi tidak mengalami stres panas, namun kemudian dapat diatasi

dengan pemberian ransum pada keseimbangan energi dan protein.

Tabel 5 Perbandingan konsumsi pakan, air minum, produksi susu, dan bobot

badan pada suhu 18 0C dan suhu 30

0C

Parameter 18 0C 30

0C % perbedaan

Konsumsi rumput kering per hari (kg) 5.8 4.5 -22.4

Konsumsi konsentrat per hari (kg) 9.7 9.2 -5.1

Konsumsi air minum per hari (kg) 56.99 74.7 29.0

Produksi susu per hari (kg) 18.4 15.7 -14.6

Lemak susu 0.63 0.38 -39.7

Bahan kering tanpa lemak 1.59 1.29 -18.9

Protein susu 0.59 0.49 -16.9

Bobot badan (kg) 486.0 482.0 -0.9

Efisiensi (Mcal milk) 59.0 38.1 -35.4

Sumber : McDowell (1972)

Igono et al. (1985) telah meneliti pengaruh penyiraman air pada sapi perah

di musim panas terhadap produksi susu, kualitas susu, suhu rektal. Hasilnya

adalah terjadi perbedaan suhu rektal antara sapi perlakuan dan sapi kontrol, yaitu

masing-masing sebesar 38.8 0C dan 39.1

0C, serta produksi susu meningkat

sebesar 0.7 kg dibandingkan dengan sapi tanpa perlakuan.

Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network)

Jaringan Syaraf Tiruan (JST) atau Artificial Neural Network merupakan

suatu metode komputasi yang meniru sistem jaringan syaraf biologis. Metode ini

menggunakan elemen perhitungan tidak linier dasar yang disebut neuron, serta

diorganisasikan sebagai jaringan saling berhubungan, sehingga mirip dengan

jaringan syaraf manusia. Eliyani (2005) mengemukakan bahwa JST dibentuk

untuk memecahkan suatu masalah tertentu, seperti pengenalan pola atau

klasifikasi karena proses pembelajaran.

Sejak ditemukan pertama kali oleh McCullochme dan Pitts pada tahun 1948,

JST telah berkembang pesat dan telah digunakan pada banyak aplikasi. Teori yang

menginsipirasi lahirnya JST muncul dari bermacam disiplin ilmu, terutama dari

neuron science, teknik, komputer, psikologi, matematika, fisika, dan ilmu bahasa.

Ilmu-ilmu ini bekerja bersama untuk satu tujuan yaitu pengembangan sistem

kecerdasan (Kusumadewi 2003).

Beberapa hal ingin dicapai dengan melatih JST adalah untuk mencapai

keseimbangan antara kemampuan memorisasi dan generalisasi (Puspatiningrum

2006). Kemampuan memorisasi adalah kemampuan JST untuk mengambil

kembali secara sempurna sebuah pola yang telah dipelajari. Kemampuan

generalisasi adalah kemampuan JST untuk menghasilkan respon yang bisa

Page 20: 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu . 6 ... Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman

23

diterima terhadap pola-pola input serupa (tidak identik) dengan pola-pola

sebelumnya telah dipelajari. Hal tersebut sangat bermanfaat bila pada suatu saat

ke dalam JST diinputkan informasi baru yang belum pernah dipelajari, maka JST

masih tetap dapat memberikan tanggapan baik dan memberikan keluaran paling

mendekati.

Prinsip kerja JST tersebut mengadopsi prinsip kerja penyaluran informasi

sistem jaringan syaraf manusia. Namun demikian, keterbatasan yang dimiliki JST

merupakan sebagiankecil dari kemampuan sistem syaraf pada manusia.

Kusumadewi (2003) mengemukakan bahwa setiap pola-pola informasi input dan

output yang diberikan ke dalam JST diproses dalam neuron. Neuron-neuron

tersebut terkumpul di dalam lapisan-lapisan yang disebut Neuron layer, terdiri

dari lapisan input, lapisan tersembunyi, dan lapisan output.

Konsep kerja informasi tersalurkan dalam JST dimulai dari node-node

input. Bila ada sinyal yang masuk ke node input, maka node-node input ini

memiliki fungsi untuk menerima sinyal informasi dari luar dan meneruskannya ke

node-node pada lapisan tersembunyi. Besarnya sinyal yang disampaikan

tergantung pada tingkat kekuatan hubungan antara tiap- tiap node input dengan

masing-masing node tersembunyi. Tingkat kekuatan hubungan node digunakan

faktor pembobot (weight), sehingga sinyal yang diterima node-node di lapisan

tersembunyi merupakan sinyal terbobot atau weigthed signal.

Metode propagasi balik perambatan galat mundur (back propagation)

merupakan sebuah metode sistematik untuk pelatihan multilayer JST. Metode

back propagation memiliki dasar matematis yang kuat, obyektif, dan algoritma ini

mendapatkan bentuk persamaan dan nilai koefisien, dalam formula dengan

meminimalkan jumlah kuadral galat error melalui model yang dikembangkan

(training set) (Brace 1977). Langkah pada lapisan masukan, dihitung keluaran dari

setiap elemen pemroses melalui lapisan luar. Dihitung kesalahan pada lapisan luar

yang merupakan selisih antara data aktual dan target. Kesalahan tersebut

ditransformasikan pada kesalahan yang sesuai di sisi masukan elemen pemroses.

Propagasi balik dilakukan terhadap kesalahan tersebut, pada keluaran setiap

elemen pemroses kesalahan yang terdapat pada masukan, proses ini diulangi

sampai masukan tercapai. Seluruh bobot diubah dengan menggunakan kesalahan

pada sisi masukan elemen dan luaran elemen pemroses yang terhubung.

Tiruan neuron dalam struktur JST sebagai elemen pemroses ditunjukkan

pada Gambar 3 (Eliyani 2005).

aj ai = g(ini)

Wj,I

Input Output

Links Links

Input Activation Output

Function function

Gambar 3 Tiruan neuron dalam struktur JST sebagai elemen pemroses

Ini g ai

∑ ∫