167

2009 Folklor Jawa

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Folklor Jawa

Citation preview

2

FOLKLOR JAWA

Penulis: Dr. Purwadi, M.Hum

Desain Cover:

Haytami El-Jaid

Penerbit: Pura Pustaka Yogyakarta

ISBN: 978-979-17061-2-5

Cetakan I, Oktober 2009

3

KATA PENGANTAR

Buku ajar ini digunakan untuk memperlancar

proses belajar mengajar pada mata kuliah Folklor Jawa. Folklor Jawa menyebar di berbagai daerah dan berlangsung berabad-abad lamanya. Pewarisan folklor dari generasi ke generasi banyak dilakukan melalui tradisi lisan. Sebagai kekayaan budaya, folklor ternyata mengandung nilai kearifan lokal yang masih relevan digunakan untuk memecahkan aneka ragam problematika kultural yang terjadi di era globalisasi dewasa ini.

Dengan mengkaji definisi, fungsi, hakikat dan jenis-jenis folklor, maka akan diketahui makna yang tersirat dan tersurat yang terdapat di dalamnya. Tradisi lisan yang mempunyai nilai local wisdom ini dapat memperkokoh jati diri bangsa. Sosialisasi dan publikasi warisan budaya yang terdapat di seluruh penjuru nusantara memang perlu dilakukan, dengan harapan agar masyarakat pada umumnya dan generasi muda pada khususnya dapat memberi apresiasi yang memadai.

Kehadiran buku ajar ini merupakan usaha yang tiada henti terhadap pendokumentasian folklor di tanah Jawa. Masih banyak jenis-jenis dan bentuk folklor Jawa yang belum dicatat dalam buku ini. Mudah-mudahan ada pihak lain yang bersedia melanjutkan pekerjaan pendokumentasian budaya, sehingga ada referensi yang lebih lengkap dan berkesinambungan.

Yogyakarta, 10 Oktober 2009

Dr. Purwadi, M.Hum

4

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I. Folklor Dalam Masyarakat

BAB II. Kepercayaan Tentang Alam Lelembut

BAB III. Mitos dan Cerita Rakyat

BAB IV. Mantra Sakti dan Daya Tuahnya

BAB V. Ramalan dan Astrologi

BAB VI. Membahas Nasehat Keutamaan

BAB VII. Seni Tari dan Musik

Daftar Pustaka

Biografi Penulis

5

BAB I

Folklor Dalam Masyarakat

A. Pengertian Folklor

Kata folklor berasal dari kata majemuk bahasa

Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore. Kata

folk berarti kolektif atau kebersamaan. Kata lore berarti

tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Dengan

demikian definisi folklore secara keseluruhan adalah tradisi

kolektif sebuah bangsa yang disebarkan dalam bentuk lisan

maupun gerak isyarat, sehingga tetap berkesinambungan

dari generasi ke generasi (Dananjaya, 1984 :2).

Menurut buku Dictionary of Anthropology dijelas-

kan bahwa folklor adalah the common orally transmitted

traditions, myths, festival, songs, superstition and of all

peoples, folklore has come to mean all kind of oral artistic

expression. It may be found in societies. Originally folklore

was the study of the curiousities (Wininck, 1961: 217).

Folklor meliputi dongeng, cerita, hikayat, kepahlawanan,

adat-istiadat, lagu, tata cara, kesusastraan, kesenian dan

busana daerah. Masing-masing merupakan milik masya-

6

rakat tradisional secara kolektif. Perkembangan folklor

mengutamakan jalur lisan. Dari waktu ke waktu bersifat

inovatif atau jarang mengalami perubahan.

Oleh karena folklor berbentuk anonim, maka

seseorang atau individu tidak berhak memonopoli hak

kepemilikan. Setiap anggota masyarakat boleh untuk

merasa memiliki dan mengembangkan sesuai dengan

situasi kondisi setempat. Dapat dikatakan bahwa folklor

dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya dengan suka-

rela dan penuh semangat, tanpa ada paksaan. Di banyak

tempat, folklor berfungsi sebagai pembentuk solidaritas

sosial. Kadang-kadang penyelenggaraan folklor berkaitan

dengan ritual mistik. Tujuannya adalah untuk memperoleh

ketentraman hidup.

B. Fungsi Folklor Jawa

Pengkajian folklor Jawa yang dilakukan oleh para

ahli telah melahirkan beragam kesimpulan berbobot.

Bentuk-bentuk folklor pun beraneka rupa (Dananjaya,

1984: 21). Bentuk folklor lisan misalnya logat, julukan,

pangkat dan titel. Dalam formula ungkapan tradisional

dikenal adanya paribasan, bebasan dan saloka. Sedangkan

dalam netrum lagu muncul sekar ageng, mcapat, dan

dolanan. Dalam sajian tari-tarian terdapat tayuban, joged

dan kuda lumping.

7

Dalam peradaban Jawa terdapat dua subkultur yang

mudah untuk dibedakan. Keduanya yaitu kultur negara dan

kultur desa. Orang Jawa mengatakan, negara mawa tata,

desa mawa cara. Negara memakai aturan hukum formal,

desa menggunakan aturan adat tradisional. Negara dalam

istilah kejawen mengacu pada teritorial kota. Pendukung

utama peradaban kota adalah istana atau keraton.

Kebudayaan kraton dipublikasikan melalui babad

atau cerita sejarah (Sartono, 1986: 3). Adapun tradisi

pedesaan berupa dongeng, parikan, dan tutur lisan sebagai

sarana penyebarannya. Dipandang dari sudut fenomeno-

logis, baik sastra babad maupun cerita rakyat merupakan

konstruk dalam alam pikiran, tanpa perbedaan esensial.

Pada pokoknya babad merupakan dokumentasi tertulis,

sedangkan cerita rakyat termasuk sarana komunikasi lisan.

Dalam perkembangannya selama berabad-abad,

kebudayaan Jawa telah mengalami proses yang saling

mempengaruhi antara kedua subkultur tersebut. Folklor

Jawa sesungguhnya merupakan produk dari proses

sinkretisasi antara pelbagai unsur. Di antaranya karena

pengaruh Hinduisme, Budhisme dan Islam, yang memben-

tuk sebuah akulturasi kebudayaan. Proses tersebut amat

menguntungkan bagi pembentukan identitas lokal.

8

C. Hakikat Folklor

Hakikat folklor merupakan identitas lokal yang

terdapat dalam kehidupan masyarakat tradisional. Rasa

memiliki terhadap tradisi yang sudah mengakar dan

menyejarah menyebabkan emosi masing-masing warganya

menjadi manunggal. Perasaan senasib dan seperjuangan

terbentuk oleh karena identitas lokal sudah terlebih dahulu

lahir. Folklor Jawa yang bervariasi jumlahnya itu

merupakan kekayan batin yang perlu dikaji terus menerus.

Dalam sejarah kebudayaan justru lewat folklor dapt

diuniversalkan sehingga memperoleh tempat di kawasan

yang lebih mondial. Contohnya adalah folklor Yunani

seperti Hercules, Odipus atau Persius. Dari India muncul

ephos Mahabarata dan Ramayana. Dalam konteks kejawen,

terdapat kisah sebagaimana yang terdapat dalam kitab

Babad Tanah Jawi.

Sebagai buku putih kraton Maatram, babad Tanah

Jawi berfungsi untuk memberi legitimasi kekuasaan.

Hegemoni Mataram atas daerah takhlukan perlu adanya

integrasi politik. Dinasti Mataram yang sedang memerintah

dihubungkan dengan folklor lokal. Misalnya dengan Joko

Tarub, Ki Ageng Sela Ki Ageng Giring, Joko Tingkir, Nyai

Rara Kidul dan Sunan Kalijaga. Tradisi kenegaraan dan

pedesaan di sini terjadi asimilasi dan simbiosis yang saling

menguntungkan. Ujung-ujungnya adalah tercapainya

keselarasan sosial (Sartono, 1986 : 5).

9

Salah satu cerita rakyat yang berkembang dalam

masyarakat Jawa adalah kisah Jaka Tarub dan

Nawangwulan. Certia uang sangat populer ini kemudian

dihubungkan dengan silsilah para penguasa Mataram. Ada

lagi cerita rakyat lainnya, yaitu kisah Rara Jonggrang,

Gunung Batok, Segara Wedhi dan Rawa Pening (Soeparto,

1986 : 7). Kadang kala antar cerita rakyat itu mempunyai

pola, struktur dan tema yang sama.

Kalau diteliti lebih lanjut, ternyata folklor yang

menjadi identitas lokal tersebut merupakan kebanggaan

kolektif sekaligus wahana untuk melakukan refleksi

spiritual. Pada bulan Ruwah banyak diselenggarakan

upcara nyadran atau berziarah di makam leluhur. Para

perantau menyempatkan pulang kampung untuk

mendoakan arwah di makam. Upacara nyadran sudah

berlangsung dan lestari hingga saat ini.

D. Sifat Folklor

Monumen sejarah pada suatu wilayah merupakan

indikator mengenai historisitas dan menunjukkan unit kul-

turnya. Demikian pula manfaat folklor sebagai monumen

tradisi lisan, ternyata menunjukkan identitas kultural.

Folklor menampilkan watak atau corak kebudayaan daerah.

Historisitas daerah itu dimanivestasikan dan dengan

demikian sekaligus juga karakter atau identitasnya. dimensi

10

historis kultural di wilayah tersebut diungkapkan, maka

lewat folklor watah daerah itu tampil dengan jelas.

Beberapa folklor yang masih beredar di beberapa

wilayah di antaranya:

1. Folklor tentang Gunung Wijil

2. Folklor tentang Hutan Belang Suling

3. Folklor tentang Desa Watusigar

4. Folklor tentang Mangadeg

5. Folklor tentang Keduwang

6. Folklor tentang Tirtamaya

7. Folklor tentang Gunung Tengger

8. Folklor tentang Upacara Kesada

9. Folklor tentang Dewi Sri

10. Folklor tentang Andhe-andhe Lumut

Contoh-contoh folklor di atas merupakan sumber

informasi tentang kebudayaan daerah. Di situ dapat

dijumpai ekspresi nyata dari alam pikiran masyarakat.

Folklor mengekalkan pola-pola kebudayaan suatu

kelompok masyarakat. Dengan dikaji dan dipelajari akan

tahu motif dan arti kebudayaan mereka, sehingga pikiran,

tindakan karyanya dapat dipahami pula.

Usaha pelestarian folklor terdapat dalam ungkapan

tradisional Jawa, yang merupakan kristalisasi pengalaman,

cerminan pikiran, pantulan perasaan masyarakat pendu-

kungnya. Ungkapan tradisional sebagai kalimat pendek

yang disarikan dari pengalaman yang panjang. Di dalamnya

11

terdapat kebijaksanaan kolektif dan kecerdasan sosial

(Sumarti, 1986: 4). Bagi seseorang folkloris adalah kurang

penting menyatakan suatu dongeng itu milik pribumi asli

atau sekedar cerita impor. Yang paling penting cerita itu

terus saja diulang-ulang, sehingga membentuk ideologi.

Contohnya adalah cerita Andhe-andhe Lumut yang seperti

dongeng Cinderela dan bernilai pedagogis.

Penyebaran folklor Jawa ada yang melalui nyanyian

rakyat. Beberapa contoh nyanyian rakyat yang terkenal di

antaranya:

1. Tokung-Tokong

2. Bulan-Bulan Gedhe

3. Adang-adang Kenthang

4. Atur-atur Kumendhur

5. Dhengkul Ega-ega

6. Pring Tumpuk-tumpuk

7. Wulung-wulung

8. Wewe-wewe Blorok

9. Uri-uri

10. Embleg-embleg

11. Cengkir-cengkir Legi

12. Sluku-sluku Bathok

13. Pring Sadul-sadul

14. Dhengkul Uthek-uthek

15. Jamuran

16. Cublak-cublak suweng

12

17. Ilir-ilir

18. Menthok-menthok

19. Mbok Sibombok

20. Gundhul Gundhul Pacul

Adapun nyanyian rakyat secara keseluruhan yang

kadang-kadang sebagai pengiring permainan tersebut juga

sebagai bermasyarakat bagi anak-anak (Haryono, 1986: 9).

Pelestarian folklor melalui nyanyian rakyat tersebut tentu

sangat mengakar, karena dilakukan oleh anak-anak yang

merupakan generasi penerus bangsa. Dalam hal ini folklor

merupakan pengasah pranata sosial uang bersifat didaktis,

historis, humoris, herois dan humanis (Sardanto, 1986: 5).

Kekayaan budaya bangsa tersebut memang

berlimpah ruah bentuknya. Generasi sekarang tinggal

mewarisi dengan cara yang lebih aktif, modifikatif dan

kreatif. Folklor Jawa tersebut dapat digunakan sebagai

pengokoh jatidiri dan kepribadian nasional. Tentu saja

perlu sikap dan tindakan kolektif yang nyata dan

terprogram dalam kurun waktu yang terencana, sehingga

cita-cita luhur itu dapat terwujud.

13

BAB II

Kepercayaan Tentang Alam Lelembut

A. Makhluk Halus

Kepercayaan terhadap kehidupan makhluk halus

menyebar di berbagai wilayah tanah Jawa. Orang Jawa

menjaga hubungan dengan dunia makhluk halus. Bagi

orang yang telah mencapai ilmu sejati dalam Kejawen atau

mungkin yang sudah menguasai metafisika, dunia makhluk

halus itu biasa adanya dan bukan omong kosong.

Ada dua macam makhluk halus: Pertama, makhluk

halus asli yang memang diciptakan sebagai makhluk halus.

Makhluk-makhluk halus yang asli mereka tinggal di

dunianya masing-masing, mereka mempunyai masyarakat

maka itu ada makhluk halus yang mempunyai kedudukan

tinggi seperti raja, ratu, menteri. Sebaliknya ada yang

berpangkat rendah seperti prajurit, pegawai, pekerja.

Kedua, makhluk halus yang berasal dari manusia

yang telah meninggal. Seperti juga manusia ada yang baik

dan jahat, ada yang pintar dan bodoh. Banyak ahli Kejawen

14

mempunyai pendapat yang sama bahwasannya di dalam

dunia yang satu dan sama ini, sebenarnya dihuni oleh

beberapa macam alam kehidupan, termasuk alam yang

dihuni oleh manusia. Dunia ini terdapat beberapa lapis

alam yang ditempati oleh bermacam-macam makhluk.

Makhluk-makhluk tersebut, pada prinsipnya mengurusi

alamnya masing-masing. Aktivitas mereka tidak bercampur

dan setiap alam mempunyai urusannya masing-masing.

Alam manusia mempunyai matahari dan penduduknya

yang terdiri dari manusia, binatang dan lain-lain.

Warga alam yang lain mereka mempunyai badan

cahya ‗badan dari cahaya‘ atau yang secara populer dikenal

sebagai makhluk halus. Alam-alam itu tidak ada hari yang

terang-benderang karena tidak ada matahari. Keadaannya

seperti suasana malam yang cerah di bawah sinar bulan dan

bintang-bintang yang terang. Tidak ada sinar yang

menyilaukan seperti sinar Sang Hyang Bagaskara. Di

antaranya dapat dijelaskan sebagai berikut :

Merkayangan. Kehidupan di alam ini hampir sama

seperti kehidupan di dunia manusia, kecuali tidak adanya

sinar terang seperti matahari. Dunia merkayangan sama

seperti dunia manusia, misalnya membayar dengan uang

yang sama, memakai macam pakaian yang sama. Ada

banyak mobil yang jenisnya sama di jalan-jalan, ada banyak

pabrik-pabrik persis seperti di dunia manusia. Mereka

memiliki tehnologi yang lebih canggih dari manusia, kota-

15

kotanya lebih modern ada pencakar langit, pesawat-

pesawat terbang yang ultra modern dll. Ada juga hal-hal

yang mistis di dunia Merkayangan ini. Kadang-kadang bila

perlu ada juga manusia yang diundang oleh mereka antara

lain untuk melaksanakan pertunjukan, menghadiri upacara

perkawinan, bekerja di pabrik atau keperluan lain. Manusia

yang melakukan pekerjaan di dunia tersebut, dibayar

dengan uang yang sah dan berlaku seperti mata uang di

dunia manusia.

Siluman. Makhluk halus ini suka tinggal di daerah

seperti di danau-danau, laut, samudera. Masyarakat

siluman diatur seperti masyarakat zaman kuno. Mereka

mempunyai raja dan ratu. Terdapat golongan aristokrat,

pegawai-pegawai, prajurit, pembantu-pembantu. Mereka

tinggal di kraton-kraton, rumah-rumah bangsawan, rumah-

rumah kuno. Di Yogyakarta atau Jawa Tengah, orang akan

mendengar cerita tentang beberapa siluman laut yakni

Kanjeng Ratu Kidul, sangat berkuasa dan amat cantik. Ia

tinggal di istana Laut Selatan. Di Parangkusumo terkenal

sebagai tempat pertemuan antara Panembahan Senopati

dan Kanjeng Ratu Kidul, dalam pertemuan itu, Kanjeng

Ratu Kidul berjanji untuk melindungi semua raja dan

kerajaan Mataram. Ia mempunyai seorang patih yang sakti

yaitu Nyai Roro Kidul. Kerajaan laut selatan ini terhampar

di pantai selatan Jawa, di beberapa tempat kerajaan ini

mempunyai adipati. Seperti layaknya sebuah negeri di

16

kerajaan laut selatan ini juga ada berbagai upacara, ritual

dan mereka juga mempunyai angkatan perang.

Kajiman. Kajiman hampir sama dengan bangsa

siluman, tetapi mereka itu tinggal di daerah-daerah

pegunungan dan tempat-tempat yang berhawa panas.

Orang biasanya menyebut merak Jim.

Demit. Demit bertempat tinggal di daerah-daerah

pegunungan yang hijau dan lebih sejuk hawanya, rumah-

rumah mereka bentuknya sederhana terbuat dari kayu dan

bambu, mereka itu seperti manusia hanya bentuk badannya

lebih kecil.

Di samping masyarakat yang sudah teratur seperti

Merkayangan, Siluman, Kajiman, dan Demit masih ada lagi

sebuah alam yang terjepit, di mana roh-roh dari manusia-

manusia yang jahat menderita karena kesalahan yang telah

mereka perbuat pada masa lalu, ketika mereka hidup

sebagai manusia. Manusia yang salah itu pasti menerima

hukuman untuk menebus kesalahan yang dilakukannya.

Hukuman itu bisa dijalani pada waktu masih hidup di dunia

sesudah mati. Pemujaan dalam Kejawen bukanlah patung-

patung batu, tetapi pada sembilan macam makhluk halus

yang dipercaya bisa menolong menjadi kaya secara

material. Kesembilan makhluk jahat itu bila dilihat dengan

mata biasa kelihatan seperti :

Jaran Penoreh - kuda yang kepalanya menoleh

ke belakang

17

Kutuk Lamur - sebangsa ikan, penglihatannya

tidak terang

Gemak Melung - gemak, semacam burung yang

berkicau

Codot Ngising - kelelawar berak

Bulus Jimbung - bulus yang besar

Kandang Bubrah - kandang yang rusak

Umbel Molor - ingus yang menetes

Bajul Putih - buaya putih.

Srengara Nyarap- anjing menggigit

Urip iku mung mampir ngombe artinya hidup di

dunia ini hanyalah untuk mampir minum, itu artinya orang

hidup di dunia ini hanya dalam waktu singkat maka itu

berbuatlah yang bener lan pener. Bagi mereka yang telah

melakukan kesalahan dengan jalan memuja atau

menggunakan jasa berhala di atas, mereka tentu sesudah

kematian mereka mendapat hukuman dari sangkan

paraning dumadi. Hukuman sesudah kehidupan dipercaya

orang Jawa sebagai hukuman yang amat berat, dan tidak

ada penderitaan yang melebihi. Maka, setiap orang harus

berusaha untuk menghindarinya dengan selalu bersyukur

kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan memerintahkan

agar kita senantiasa melakukan perbuatan yang baik dan

benar, berkelakuan baik, jujur dan suka menolong.

18

Serat Kalatida karya Ranggawarsita yang sangat

terkenal menyatakan Dilalah kersaning Allah, begja

begjane wong kang lali, isih begja kang eling lan waspada,

ditafsirkan bahwa eling, berarti kita senantiasa dituntut

untuk berbakti kepada Tuhan dan selalu berzikir kepada

Tuhan, tidak melupakan dan tidak meninggalkan

sembahyang. Waspada berarti mampu membedakan yang

benar dan yang salah, artinya selalu wiweka. Hal ini

penting agar kita tidak ikut gila, tergilas oleh arus zaman

dan hanyut dalam situasi yang tidak menentu.

B. Demit Menghuni Suatu Tempat

Ada banyak versi tentang mitos penciptaan Jawa,

Babad Tanah Jawi.' Dalam suatu dongeng yang dikisahkan

kepada saya oleh seorang dalang di desa sebelah utara

Mojokuto, kisah itu mulai dengan Semar, pelawak wayang

kulit yang lucu dan bijak, pahlawan kebudayaan Jawa, yang

berbicara kepada seorang pendeta Hindu-Muslim, orang

pertama dari rangkaian panjang para kolonis Pulau Jawa.

Pendeta itu berkata kepada Semar: "Ceritakan kepadaku

kisah Pulau Jawa sebelum ada manusia." Semar mengata-

kan bahwa pada masa itu seluruh pulau diliputi oleh hutan

belantara kecuali sebidang kecil sawah tempat Semar

bertanam padi di kaki Gunung Merbabu (sebuah gunung

berapi di Jawa Tengah), tempat selama puluhan ribu tahun

ia hidup tenang bertani. "Apakah kau ini?" tanya pendeta

19

itu keheranan. "Apakah kau ini manusia? Umurmu bukan

main panjangnya! Aku tak pernah menjumpai orang yang

berumur puluhan ribu tahun! Itu tidak mungkin! Tentu kau

bukan manusia. Bahkan Nabi Adam hanya berusia seribu

tahun! Makhluk apakah kau ini? Akui saja yang

sebenarnya!"

"Sebenarnya," kata Semar, "aku bukan manusia,

aku adalah makhluk halus yang menjaga - danyang - Pulau

Jawa. Aku adalah makhluk halus yang tertua, raja dan

nenek moyang sekalian makhluk halus, dan melalui mereka

ini menjadi raja seluruh manusia." Dalam nada yang

berubah, ia melanjutkan: "Tetapi aku juga mempunyai

sebuah pertanyaan untukmu. Mengapa kau hancurkan

negeriku? Mengapa kau datang ke sini dan mengusir anak

cucuku? Makhluk-makhluk halus itu, kalah oleh kekuatan

spiritual dan ilmu agamamu, perlahan-lahan terpaksa

melarikan diri ke kawah-kawah gunung berapi atau ke

dasar Laut Selatan. Mengapa kau lakukan ini?" Pendeta itu

pun menjawab, "Aku telah diperintahkan oleh raja Rum

(sebuah negeri Arab di sebelah barat India, demikian penje-

lasan dalang itu) untuk mengisi pulau ini dengan umat

manusia. Aku harus membabat hutan untuk dijadikan

persawahan, membangun desa, dan memukimkan dua

puluh ribu orang di sini sebagai kolonis. Ini adalah titah

rajaku dan kau tak bisa menghentikannya. Tetapi roh-roh

yang mau melindungi kita akan tetap boleh tinggal di Jawa;

20

aku akan menentukan apa yang harus kalian kerjakan." Ia

melanjutkan pembicaraan dengan menggambarkan garis-

garis besar perspektif sejarah Jawa sampai dengan zaman

modern dan menjelaskan peranan Semar dalam proses itu,

yakni sebagai penasihat spiritual dan pendukung magis bagi

sekalian raja dan pangeran yang akan datang - jadi terus

menjadi ketua sekalian danyang Tanah Jawa.

Dengan demikian, paling tidak dalam versi ini,

dongeng orang Jawa dalam Babad Tanah Jawi lebih

mendekati apa yang disebut mitos kolonisasi daripada

mitos penciptaan, yang mengingat sejarah Jawa yang terus

menerus mengalami invasi orang-orang Hindu, Islam dan

Eropa, memang tidak mengherankan. Mbabad berarti

membersihkan sebidang hutan belantara untuk diubah

menjadi suatu desa lengkap dengan persawahan,

membangun sebuah pulau kecil pemukiman manusia di

tengah lautan makhluk halus yang menghuni hutan,

walaupun istilah itu kini juga dipakai untuk persiapan

umum mengolah sawah (membajak, meratakan tanah

dengan garu, dan sebagainya) yang harus dilakukan orang

dalam masa permulaan perputaran tanam padi setiap

tahunnya. Lukisan yang disampaikan oleh mitos itu adalah

gambaran masuknya para pendatang baru yang mendorong

roh-roh jahat ke gunung, tempat-tempat liar yang belum

dijamah, dan Lautan Hindia, sementara mereka bergerak

dari utara ke selatan, sambil mengangkat beberapa

21

makhluk halus yang mau menolong sebagai pelindung

mereka dan pemukiman mereka yang baru.

Nama yang lazim untuk makhluk halus dengan

tempat tinggal tetap dan mungkin mau membantu

keinginan orang adalah demit, walaupun di sini lagi-lagi

orang tidak konsisten, tetapi cenderung menggunakan

perkataan demit, danyang, lelembut dan setan, baik dalam

pengertian luas maupun sempit, untuk menyebut makhluk

halus pada umumnya maupun suatu sub jenis tertentu

secara khusus. Demit dalam arti sempit tinggal di tempat-

tempat keramat yang disebut punden, yang mungkin

ditandai oleh beberapa reruntuhan candi Hindu (mungkin

sebuah patung kecil yang sudah rusak), pohon beringin

besar, kuburan tua, sumber air yang hampir tersembunyi

atau beberapa kekhususan topografis semacam itu.

Ada sejumlah punden semacam itu di daerah

Mojokuto; pada berbagai pohon yang sangat besar atau

berbentuk aneh, pada beberapa reruntuhan candi Hindu

yang tersebar di sana-sini, tetapi yang paling terkenal,

paling sering dipuja dan dianggap paling berkuasa, adalah

makhluk halus yang tinggal di pusat kota Mojokuto, di

pinggir alun-alun, namanya mBah Buda, yang harfiah

berarti "kakek Buda" tetapi "Buda" di sini tak ada

hubungannya dengan "Gautama"; ia hanya menunjuk

kepada kenyataan bahwa tempat tinggalnya yang keramat

ditandai dengan sebuah relik Hindu-Budis.

22

Tempat keramat itu, ditutup dengan pagar putih

yang kuat, terletak di kaki sebuah pohon beringin yang

lebat dan terdiri dari patung Ganesha, dewa kebijaksanaan

agama Hindu berbentuk gajah, setinggi kaki. Ada suatu

kisah tentang itu. Dahulu kala, "pada jaman Buda", Sultan

Solo, suatu ibukota kerajaan di Jawa Tengah, terlibat dalam

peperangan dengan raja Madura. Sultan Solo menang dan

mengejar raja Madura yang melarikan diri ke timur laut ke

tempat asalnya. Dalam perjalanan itu ia singgah di

Mojokuto, yang waktu itu masih berupa hutan, dan terletak

di antara kedua kerajaan itu, untuk memberi kesempatan

istirahat kepada prajurit-prajuritnya. Dari kejadian itulah

kota yang dalam buku ini disebut Mojokuto beroleh

namanya -- nama sesungguhnya diambil dari bahasa Jawa

Kuno yang berarti "tempat istirahat". Tempat keramat itu

terjadi, karena raja meletakkan patung Ganesha untuk

menandai tempat di bawah pohon beringin besar tempat ia

beristirahat. Namun, bagaimanapun asal-usulnya, yang

jelas patung Ganesha itu sekarang dihuni oleh suatu demit.

Patung itu pernah dipindahkan ke Bragang, kurang lebih

dua puluh kilometer jauhnya, tetapi ia kembali dengan

kekuatannya sendiri. Pada suatu kejadian lain, seorang

kontrolir Belanda (pejabat Eropa tingkat paling bawah

dalam birokrasi kolonial) yang ditugaskan di Mojokuto

memukul patung Ganesha itu - tentu untuk menghinakan

alat peribadatan para penyembah berhala - tetapi satu

23

minggu kemudian ia mati dengan leher patah, dan dalam

jangka waktu satu tahun seluruh keluarganya menyusulnya

ke alam baka.

Kalau seseorang menginginkan mBah Buda menga-

bulkan hajatnya, ia harus pergi ke tempat keramat itu -

sekalipun beberapa orang mengatakan bahwa orang bisa

melakukannya di rumah - minta pengampunan serta maaf

dari demit itu, dan berjanji akan mengadakan slametan

untuk menghormati demit itu kalau permohonannya

dikabulkan. Sangat penting untuk keberhasilan maksud itu

kalau orang mengharap dengan sungguh-sungguh, memo-

hon dengan fikiran menunggal dan tak tergoyahkan, dan

tidak memikirkan apa pun lainnya sampai permohonannya

dikabulkan. Seorang pemohon membandingkannya dengan

tangisan anak kecil: "Tetapi anda tidak tampak menangis,

karena menangis di dalam, di hati anda; anda harus kuat-

kuat mengharapkannya, hingga bakal mati kalau tidak

terpenuhi; dan kalau keinginan anda begitu kuat serta

tahan begitu lama, maka hampir dapat dipastikan

keinginan anda itu akan terpenuhi." Yang biasa diinginkan

orang adalah pulihnya kesehatan dirinya atau keluarganya,

atau mungkin juga mencari sesuatu benda yang hilang atau

meminta keselamatan dalam perjalanan yang memakan

waktu lama. Ada perbedaan pendapat tentang bisa tidaknya

orang mengharapkan hal-hal seperti menang judi, meminta

gong baru untuk orkes gamelannya, atau meminta agar

24

cintanya pada isteri orang lain kesampaian; beberapa orang

berpendapat bahwa rnBah Buda hanya mempertimbang-

kan permohonan yang serius; tetapi jelas orang meminta

berkah yang agak kurang mulia kadang-kadang:

Dalam hubungan ini (masalah perceraian) Sutinah

(informan) menceritakan kepada saya tentang suatu waktu

tatkala ia melakukan Slametan sebagai persembahan

kepada mBah Buda, ketika kakak perempuannya masih

terikat perkawinan dengan suaminya yang kedua. Ia

mengatakan kepada kakak perempuan itu: "Kalau kau bisa

memperoleh perceraian tanpa banyak kesulitan, segalanya

mudah dan lancar, saya akan mengadakan slametan untuk

mBah Buda." Kemudian, sesudah perceraian, ia mengada-

kan Slametan dan mengirimkan sekedar hidangan kepada

kakak perempuannya, disertai dengan catatan bahwa

slametan ini diadakan untuk kau-tahu-sendirilah.

Slametan untuk demit setelah seseorang dikabulkan

permohonannya (kalau orang lupa melakukannya, seekor

ular hitam dengan tanda panah putih di punggungnya akan

merayap di antara dua kakinya untuk memberi peringatan)

harus diadakan pada hari yang khusus, yakni ketika hari

Jumat dari mingguan kalender Barat bertemu dengan hari

Legi menurut pasaran Jawa yang lima hari itu, yang terjadi

tiga puluh lima hari sekali (Clifford Geertz, 1983).

Slametan itu sederhana saja, terdiri dari nasi, ayam

atau sedikit ikan basah, kue kacang kedele dan sebagainya,

25

ditambah beberapa bunga-bungaan. Orang dapat memba-

wanya sendiri ke tempat keramat itu atau mengirim

seorang anak ke sana, seperti yang dilakukan kebanyakan

orang. Di tempat keramat itu, anak tersebut memberikan

hidangan kepada pejabatnya, mengutarakan kepadanya

untuk apa slametan itu apa "maksud"nya. Juru kunci akan

menerima hidangan itu, membakar kemenyan, dan

menaburkan bunga ke atas kepala patung Ganesha.

Kemudian ia mengumpulkan bunga-bunga layu yang sudah

ditaburkan oleh orang sebelumnya, lalu dimasukkan ke

dalam kantong untuk diberikan kepada anak itu. Bunga-

bungaan ini dibawa pulang, lalu dimasukkan ke dalam air

dan orang yang menyelenggarakan slametan itu akan

meminumnya atau akan menggunakannya sebagai obat

penawar untuk keperluan kesejahteraan umum atau

keslametan keseluruhan. Orang yang merasa kikuk kalau

harus membikin nasi buat slametan, bisa membeli bunga di

pasar seharga setali dan memberi satu rupiah kepada juru

kunci sebagai ganti nasi. Makanan itu dibagi-bagikan

kepada fakir miskin yang berkerumun menanti di sekitar

tempat keramat itu (atau setiap orang yang mau meminta-

nya, kata juru kunci itu), tetapi tiap kali saya perhatikan

upacara ini, nampaknya juru kunci itu memperoleh bagian

yang paling besar, suatu hal yang masuk akal mengingat ia

sendiri tak begitu kaya. Pada hari baik saya pernah melihat

lebih dari lima puluh orang, beberapa di antaranya datang

26

dari jauh, tiga puluh kilometer jauhnya dari situ, melakukan

upacara slametan untuk mBah Buda.

Salah satu sumbangan Jawa menghadapi zaman

ialah Kidung Rumeksa Ing Wengi, karya Sunan Kalijaga.

Kidung ini sudah terkenal di wilayah nusantara dan sering

dinyayikan di pedesaan pada pertunjukan ketoprak, wayang

kulit, atau peronda di malam hari yang sunyi. Bait yang

utama dari kidung itu sangat dikenal karena berisi mantra

tolak bala.

Inti laku pembacaan Kidung Rumeksa Ing Wengi

adalah agar kita senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan

Yang Maha Esa, sehingga terhindar dari kutukan dan

malapetaka yang lebih dahsyat. Dengan demikian kita

dituntut untuk senantiasa berbakti, beriman dan taqwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mengenai fungsi kidung

secara eksplisit tersurat dalam kalimat kidung itu, yang

antara lain :

Penyembuh segala macam penyakit.

Pembebas pageblug.

Mempercepat jodoh bagi perawan tua.

Penolak bala di malam hari, seperti teluh,

santet, hama dan pencuri.

Menang dalam perang.

Memperlancar cita-cita luhur dan mulia

Kidung Rumeksa Ing Wengi terdiri atas sembilan

bait yang disertai laku dan fungsi pragmatisnya secara

27

spesifik. Bagian pertama terdiri lima bait yang wajib

diamalkan setiap malam. Bagian kedua, terdiri empat bait

berupa petunjuk yang menyertai laku dan wajib dilaksana-

kan oleh setiap orang yang mengamalkannya.

Wong sing kudu nglakoni dadi danyang minangka

pidana tumrap marang kaluputane (ngambah papan

pengalapan) kabeh padha mesti sepuluh taun, sawise

pundat nglakoni pidana sepuluh taun suwene dadi danyang

banjur manjing marang sagara lebur ragane bali dadi

Padmasari maneh, jiwa lan angen-angen (wadah lan isine)

bali menyang pangayunaning Pangeran dari Rijal wujud

badan cahya kuning kawengku ireng saklenteng gedhene.

Sawise dadi Rijal telung taun suwene utawa sewu dina

manut anggering kodrat atas kersane sang Maha Kuwasa

kudu tumitah maneh, nanging ora jumeneng manungsa

utawa jalma, kudu ngliwati dadi kewan dhisik sakturunan,

dene tumrap marang wong sing duwe dosa pati kudu manut

cacahing jiwa sing diprejaya, yen jiwa siji sakturunan, yen

jiwa loro rong turunan, mangkono sapiturute.

Cacahing kewan sing minangka papan pidana ana

warna telulas : kucing, sagawon, jaran, wedus, babi, celeng,

bangsaning munyuk, menjangan, kancil, bangsaning

macan, gajah, onta lan warak.

C. Papane para Danyang

Danyang umumnya adalah nama lain dari demit

28

(yang adalah akar kata Jawa yang berarti "roh"). Seperti

demit, danyang tinggal menetap pada suatu tempat yang

disebut punden: seperti demit, mereka menerima permo-

honan orang untuk minta tolong dan sebagai imbalannya

menerima persembahan slametan. Seperti demit, mereka

tidak menyakiti orang, melainkan hanya bermaksud

melindungi. Namun, berbeda dari demit, beberapa

danyang dianggap sebagai roh tokoh-tokoh sejarah yang

sudah meninggal: pendiri desa tempat mereka tinggal,

orang pertama yang membabat tanah. Setiap desa biasanya

mempunyai seorang danyang utama.

Danyang desa ini, ketika mereka masih hidup

sebagai manusia, datang ke desa itu selagi masih berupa

hutan belantara, membersihkannya, dan membagi-bagi

tanah kepada pengikutnya, keluarganya, teman-temannya,

dan ia sendirilah menjadi kepala desanya (lurah) yang

pertama. Sesudah mati, biasanya ia dimakamkan di dekat

pusat desa, dan makamnya lalu menjadi punden. la sendiri

terus memperhatikan kesejahteraan desanya (namun

kadang-kadang makam khusus untuk danyang pendiri ini

tidak ada). Orang-orang tertentu mungkin masih mengang-

gap diri keturunannya, dan ia dianggap masih menentukan

secara magis tentang siapa yang akan jadi kepala desa,

dengan jalan mengawasi gerak-gerik suatu jenis roh politik

yang khusus yang disebut pulung (kebanyakan orang

mengatakan bahwa ia sendirilah yang menjadi pulung itu):

29

Ia mengatakan bahwa ada semacam "barang

rohaniah" yang disebut pulung, bisa dilihat dan berbentuk

seperti bulan, yang turun kepada calon yang terpilih untuk

kepala desa. Hanya para kepala desa dan raja yang memiliki

pulung (pulung raja lebih besar), yang menunjukkan bahwa

kedudukan lurah adalah lebih penting daripada bupati atau

wedono (masing-masing mengepalai kabupaten dan kawe-

danaan). Ketika seorang lurah mcninggal atau mcletakkan

jabatan, pulungnya meninggalkan dia dan mencari lurah

baru. (Kadang-kadang pulung itu pergi ke luar dan tampak

ketika lurah yang bersangkutan masih memangku jabatan

kalau ada sesuatu yang istimewa terjadi atau ketika desa itu

berada dalam bahaya). Para calon seringkali duduk di

lapangan desa, dan pulung itu melayang-layang di atas

mereka untuk memilih orang yang paling murni. Calon

lurah kadang-kadang mengadakan slametan di makam

danyang untuk menarik pulung itu. Hanya ada satu pulung

untuk setiap desa. Ia tinggal bersama lurah sampai ia

meninggal atau tak mampu lagi berbuat mulia. Dalam kasus

terakhir, pulung itu meninggalkannya, dan desanya akan

tertimpa penyakit, kelaparan atau kacau balau; orang tak

lagi taat kepada kepala desa. Tak lama kemudian ia akan

terpaksa mcletakkan jabatan, dan orang yang menerima

pulung kemudian akan menjadi lurah. Saya bertanya

kepadanya tentang pulung yang dahulu-tinggal pada raja,

dan ia mengatakan bahwa menurut dugaannya pulung itu

30

telah pergi ke Jakarta dan Bung Karnolah sekarang yang

memiliki pulung raja itu.

Daerah yang berada di bawah kekuasaan danyang

desa disebut kumara. Kumara (atau kemara) berarti suara

yang tiba-tiba muncul dari ketiadaan, seperti kalau seorang

dukun termasyhur meninggal, dua minggu sesudahnya

orang akan mendengar suaranya secara tiba-tiba, tanpa

ketahuan sumbernya. Dengan demikian kumara meliputi

seluruh ruang angkasa desa, di mana orang bisa mendengar

suara manusia yang berbicara dari permukaan tanah.

Sebagai tambahan, keempat pojok desa kadang-kadang

dianggap dihuni oleh roh pelindung, seringkali juga disebut

danyang, yang dianggap sebagai anak-anak danyang

utama, yang bertempat tinggal di pusat desa.

Di kota Mojokuto sendiri, yang menjadi danyang

desa adalah seorang pencuri, Maling Kandari, yang

dimakamkan di kuburan tua sebelah timur pusat kota.

Tetapi, sejalan dengan gejala umum kemerosotan struktur

politik desa dalam lingkungan kota, dia tak lagi memainkan

peranan yang teramat penting dalam benak warga kota.

Hanya beberapa orang yang lebih tua dari kalangan bawah

saja yang agaknya tahu banyak tentang danyang itu, dan

itu pun ia hanya karena memperoleh kekuasaannya di

kawasan kota dengan jalan muslihat, penipuan dan

mengadakan hubungan dengan roh-roh jahat.

31

Papane para danyang nganggo unda usuk manut

gedhe ciliking dosane, yen dosane gedhe kudu manggon ing

alas utawa ing pagunungan sing arang diambah ing wong,

dene sing dosane cilik mapane ing wit-witan uga telulas: wit

sawo, kemuning, sirsak, jambu, wit kembang kantil, wit

kembang kenanga, wit serut, lo, waringin, randu alas,

kambil sawit, wuni lan siwalan.

Bangsa alus, memedi, gendruwo, lelembut, setan,

jim, tuyul, demit, danyang - barisan bocah-bocah gundul,

macan putih, dan ayam yang selalu menghentakkan

kakinya- memberikan kepada mereka yang percaya satu

rangkaian jawaban yang sudah tersedia untuk pertanyaan-

pertanyaan yang timbul dari berbagai pengalaman yang

seperti teka-teki, rangkaian imajinasi yang piktografi

simbolis, dalam kerangka mana bahkan hal-hal yang ganjil

nampaknya tak bisa dihindari. Apakah Mbakyu Suwarni

telah sembuh dari sakit kepala yang memusingkan? Hal itu

terjadi karena ketika ia pergi ke kakus ada lelembut yang

sedang duduk di sana - yang lalu menampar keningnya

karena marah dan merasa terhina. Apakah Haji Abdullah

setelah kematian saudara dan istrinya dalam satu tahun lalu

jadi kaya? Gabungan keadaan-keadaan itu jelas sekali

mengisyaratkan adanya tuyul. Dunia makhluk halus adalah

dunia sosial yang dirubah bentuknya secara simbolis,

makhluk halus priyayi memerintah makhluk halus

abangan, makhluk halus Cina membuka toko dan memeras

32

penduduk asli, dan makhluk halus santri melewatkan

waktunya dengan sembahyang dan memikirkan cara-cara

mempersulit mereka yang tak beriman.

Namun, sekalipun ada kekaburan, kontradiksi dan

diskontinuitas dalam kepercayaan abangan mengenai

makhluk halus, kepercayaan itu juga memberikan makna

yang lebih luas dan lebih umum daripada sekedar penjelas-

an terpisah yang mungkin diharapkan orang mengenai luka

yang tak tersembuhkan, fuga-fuga psikologis dan kesialan

yang tak masuk akal. Semuanya itu melukiskan kemenang-

an kebudayaan atas alam, dan keunggulan manusia atas

bukan manusia.

Sementara kebudayaan orang Jawa berkembang

dan hutan tropis yang lebat berubah menjadi tanah

persawahan dan perumahan, makhluk-makhluk halus

mundur ke sisa hutan belantara, puncak-puncak gunung

berapi, dan Lautan Hindia (di mana Lara Kidul, Ratu Laut

Selatan dan barangkali satu-satunya lelembut Jawa yang

paling berkuasa menunggu seseorang yang cukup tolol dan

keras kepala untuk memakai pakaian hijau di dekat

rumahnya buat ditenggelamkan ke dasar samudra). Serupa

itu pula, bila seseorang jadi makin beradab dalam pola

Jawa, sedikit sekali kemungkinan ia akan kosong, bingung

atau tersesat, yang menyebabkannya rawan terhadap

kesurupan roh:

Parto mengatakan bahwa orang yang mudah

33

dirasuki setan dan makhluk halus sebangsanya adalah

orang-orang yang tak percaya kepada Tuhan, tak pernah

puasa, dan tak punya keteraturan hidup; karena jiwa orang-

orang ini dikatakan kosong dan dengan demikian mudah

dimasuki setan. Orang yang kuat imannya terhadap Tuhan

dan "tahu aturan" tidak akan mudah dimasuki setan demit,

dan bahaya-bahaya lain serupa itu yang bisa menimpa

seorang makhluk.

Dalam konteks ini slametan merupakan penegasan

dan penguatan kembali tata kebudayaan umum kekuasaan-

nya untuk menghilangkan kekuatan-kekuatan yang me-

ngacau. Slametan memusatkan, mengorganisasi, serta

meringkaskan ide umum abangan tentang tata, "pola

hidup" mereka. Dalam bentuknya yang kurang dramatis, ia

menyatakan nilai-nilai yang menjiwai kebudayaan tani

Jawa tradisional; menyesuaikan satu sama lain berbagai

kehendak yang saling bergantung, menahan diri dalam

menyatakan perasaan dan mengatur dengan hati-hati

tingkah laku ke luar. Slametan cenderung untuk ber-

langsung pada titik-titik demikian ini dalam kehidupan

orang Jawa, ketika kebutuhan untuk menyatakan nilai-nilai

itu mencapai puncaknya, dan ketika makhluk-makhluk

halus dan kekacauan tak manusiawi yang mewakilinya

sangat mengancam (Clifford Geertz, 1983 : 34-35).

34

D. Lelembut Ing Nusa Jawi

1. Dhemit Jawa Timuran

Sinom

Apuranen sun angetang lelembut ing nusa Jawi

kang rumeksa ing nagara

para ratuning dhedhemit

agung sawabe ugi yen eling sadayanipun

pedah kinaya tulak

ginawe tunggu wong sakit

kayu neng lemah sangar dadi tawa.

Kang rumiyin ing bang wetan

Durganeluh Maospahit lawan Raja Bahureksa

iku ratuning dhedhemit

Blambangan kang winarni

awasta Sang Balabatu

aran Butalocaya

kang rumeksa ing Kadhiri

Prabuyeksa kang rumeksa Giripura.

Sidagori ing Pacitan

Kaduwang si Klenthingmungil

Endrayaksa ing Magetan

Jenggala si Tunjungputih

Prangmuka Surabanggi

35

Pananggulan Abur-abur

Sapujagat ing Jipang

Madiyun si Kalasekti

pan si Koreb lelembut ing Pranaraga.

Singabarong Jagaraga

Majenang Trenggilingwesi

Macan-guguh Garobogan

Kalajangga Singasari

Sarengat Barukuping

Balitar si Kalakatung

Batukurda ing Rawa

Kalangbret si Sekargambir

Carub-awor kang rumaksa ing Lamongan.

Gurnita ing Puspalaya

si Lempur ing Pilangputih

si Lancuk aneng Balora

Pagambiraa Kalasekti Kedhunggene

Ni Jenggi Ki Bajangklewer puniku

ngLangsem Kalabrahala Sidayu si Cicingmurti

Ki Jalangkah ing candi Kahyanganira.

2. Dhemit Jawa Tengahan

Semarang Baratkatiga

Pakalongan Gunturgeni Pecalang si Sambangyuda

36

Sarwaka ing Sukawati ing padhas Nyai Ragil

Jaya lelana ing Suruh

Butatrenggiling Tegal

ing Tegal si Gunting-geni Kaliwungu

Gutuk-api kang rumeksa.

Magelang ki Samaita Dhadhungawuk Geseng nenggih

Butasalewah ing Pajang

Manda-manda ing Matawis

Paleret Rajekwesi Kutagedhe Nyai Panggung

Pragota Kartasura

Cirebon Setan Koberi Jurutaman

ingkang aneng Tegallayang.

Genawati ing Seluman

Ki Kemandhang Wringinputih Si Karetek Pajajaran

Sapuregel ing Batawi

Ki Drusul ing Banawi

ingkang aneng gunung Agung

Ki Tlekah ngawang-awang ki Tlapa ardi Marapi

Ni Taruki ingkang ana ing Tunjungbang.

Setan Kareteg ing Kendal

Pamasuhan Sapuangin

Kresnapada ing Rangkudan

Ni Pandansari ing srisig

37

kang aneng Wanapeti

Palangkarsa wastanipun

Ki Candhung ing Sawahan

Plabuhan Ki Dudukwarih

Batutukang kang aneng ing palayangan.

Ni Rara Aris ing Bawang

ing Tidar Ki Kalasekti

Ki Padareksa Sundara Ki Jalela ardi sumbing

Ngungrungan Kesbumurti

Ki Krama ardi Rebabu

Nirbangsan ardi Kombang

Prabu Jaka ardi Kelir

Ajidipa gunung Kendeng kang den reksa.

Ing pasisir Butakala ing Tlacap

si Kalasekti Kalanadhah ing Banyumas

Sigaluh aran si Pentul

Banjaran Ki Wewasi Kyai Korog ing Lowanu

gunung Duk Geniyara Nyai Bureng Parangtritis

Drembamoha ingkang aneng Prabalingga

Ki Kerta Sangkalbolongan Kedhunggandong

Winongsari ing Jenu Ki Karungkala

ing Pengging Banjaransari

ing Kedhu kang nenggani

38

anama Ki Candralatu

gunung Kendhalisada

Ketek putih kang anenggani

Bataglemboh ing Ayah kahyanganira.

Ni Roro Dhenok ing Demak

ing Tuban Nyai Bathinthing

ing Kuwu Kajualpayal

si Jungkit ing Guyang nenggih

Trenggalek Ni Daruni Tunjungseta Cmarasewu

Kalawadhung Kenthongan Jepara Ki Wanengtaji

Bagus Anom ing Kudus kahyanganira.

Magiri Ki Manglarmonga

ing Gading Ki Puspasari Ketanggung

Ki Klanthungwelah

Brengkelan si Banaspati

Ni Kopek ing Manolih

ing Tengah si Sabuk-ala

Nglandak Ki Mayangkara

si Gori Kedhungcuwiri

Baruklinthing ingkang ana ing Bahrawa.

Sunan Lawu ing Argapura ing Bayat si Puspakati

Cucukdhandang ing Kartikan

kulawarga Tasik Wedhi

39

kali opak winarni

Singgabawana ranipun

si Kecek Pajarakan

Cingcinggoling Kaliwening

ing Dhahrama Ulawelang kang rumeksa.

Kang aneng Kayulandheyan Ki Daruna Ni Daruni

Bagus Karang aneng Roban Sangujaya Udanriris

Sidarangga Delepih si Gadhung Kedhunggarunggung

kang neng Bojanagara Citranaya kang nenggani

Genapura kang aneng ing Majapura.

3. Dhemit Keturunan Madura

Ki Logening ing Juwana

ing Rembang si Bajulbali

Ki Lender ing Wirasaba

Madura ki Batagrigis

kang ngreksa ing Matesih Jaranpanolih ranipun

Ki Londir Pacangakan

si Landhep ing Jatisari Ondar andir

ingkang aneng Jatimalang.

Arya Taron ing Lodhaya

Sarpabangsa aneng Pening Parangtan

dang ing Kasanga

ing Crewek Ki Mandamandi setan Telaga pasir

40

ingkang aran Ki Jalingkung

Kalanadhah ing Tuntang Bancuri Kalabancuri

kang rumeksa sukune ardi Baita.

Ragadungik Randhulawang

ing Sendhang Retna Pengasih Butakapa

ing Prambanan Bok Sampurna ardi Wilis

Raden Galinggangjati

kang rumeksa Gajahmungkur

si Gendruk ing Talpegat Ngembet Raden Panjisari

Pagerwaja kang aran Udakusuma.

Ki Penthul ing Pakacangan

Cangakan si dodotkawit

kalangkung ing sektinira

titihane kuda putih

Cakra payungireki

larwaja kekemulipun

pan sami rinajengan

respati rajege wesi

camethine pat-upate ula lanang.

4. Dhemit Keturunan Bali

Sinabetaken mangetan

ana lara teka bali

tinulak bali mangetan mangidul

41

panyabetneki

lara prapta ambalik

tinulak bali mangidul ngulon

panyabetira ana lara teka bali

pan tinulak mangulon bali kang lara.

Mangalor panyabetira

ana lara teka bali

mangalor balitinulak anulya nyabet manginggil

lara prapta ambalik

tinulak bali mandhuwur nulya nyaber mangandhap

ana lara teka bali

pan tinulak larane bali mangandhap.

Dhemit kang aneng Jepara

lan dhemit kang aneng Pati

kalangkung kasektenira

Juweya wastanireki Gus Rema Tam

baksuli Kudapeksa ing Delanggung

Ki Klunthung Ringinpethak Ni Gambir

ing Glagahwangi

si Kacubung Kadilangu kang den reksa.

Ni Duleg ing Pamancingan Guwa langse Nini Suntring

kang rumeksa Parangwedang Raden Arya Jayengwesti

kabeh urut pasisir kulawarga Nyai Kidul

42

sampun pepak sadaya

para ratuning dhedhemit

nusa Jawa paugeran kang rumeksa.

5. Dhang Hyang Reksapraja

Sinom

Ingkang para jin winarna

ratune sawiji-wiji

jin ijo naren dranira

awasta Sri Danapati gangsal gatra prajurit

jin ijo ing warnanipun wadyane jin sadaya

panganggone sarwa wilis

ing Jungrata wastane nagaranira.

Jin kuning nagaranira ing lmantara narpati

wasta Raja Wijanarka

busanane sarwa kuning balane sami kuning

jin abang nagaranipun

inggih ing nusa Jawa

bisikanireng narpati Maha Raja Baskara Sri Naranata.

Balanya samya jin abang

busanane sarwa abrit jin putih nagaranira

ing Madyantara narpati

bisikanira aji Raja Anggaskara Prabu bala putih sadaya

43

busananya sarwa putih

punang gaman sadaya pan sarwa pethak.

Jin ireng nagarinira ing Megantara narpati

wasta Raja Manonbawa

ireng warnaning prajurit

gegaman ireng sami

panganggone sarwa wulung sami awas sadaya

tur pangajenging prajurit kang jin

dadu nagarane Ngarpengtara.

Balane dadu sadaya,

bisikanireng

narpati Maha Raja Manon tara

dadu kinarya pawingking

busana dadu sami

jin biru nagarinipun

anenggih Ngabyantara

bisikanireng narpati

Taman tara kang bala biru sadaya.

Gantya ingkang winursita

dhanghyang kang ngreksa nagari

jroning praja Surakarta

ingkang pinurwa ing kawi

Andana pangreksaning

44

kang ngripta wilapa kidung

Kyai Rangga Sutrasna

ngemban timbalan Sang Aji

kang jumeneng Pakubuwana ping Lima.

6. Dhemit dari Surakarta

Kasmaran gantya ginupit

luputa ing ila-ila

den dohna tulah sari ke

ngetang sagunging lelembat

kabeh si Goplem samya

dhemit lit-alit sadarum

pan dede dhemit narendra.

Setan brakasakan sami

si Goplem kabayanira

dhemit jron nagara kabeh

sawabe kinarya tengga

wong sakit budur samya

liya iku tan pakantuk

mung sakit budur lan napas.

Si Goplem wismanireki

neng Witana Sitibentar

Gombel Tratag rambat nggone

kang rumeksa aneng Gayam

45

Kalabancuri ranya

kang ngreksa Bangsal ranipun

Kalakentung Kalakentung.

Gedhong upas kang nenggani

Kalajanggolsikil rannya

kang ngreksa Wringin kembare

Kalasorogsilit rannya

si Biti ing Pandeyan

lawan si Gunthulpinanggul

si Angklung aneng Gapura.

Si Lempur Wringin-waringin

Bajangklewer aneng Gladag

Jin putih neng Masjid-gede

Kyai Lotis ing Jeksan

Klentung Mangkubumenan

Jungkit Patihan nggenipun

Kyai Modin Buminatan.

Tambur Pagongan nggenneki

Bajangangkrik Tepasanan

Bagus Bengkak rumeksane

ing Paseban Prangwadanan

Gotik ing Pangurakan

si Bodong neng Loji-wurung

46

Bagus Keret ing Magangan.

Ing Kareteg Wewegerit

Gandor Loji cilik-wetan

Lungkrah aneng dedalane

Pak Tekik aneng Pacinan

Angkrik ing pasar besar

kang rumeksa aneng

Panggung-Jebres wasta ki Balendhang.

Gue Lempor Jagalan nenggih

Ki Busik ing Loji besar

Ki Lotis ing Krapyak nggone

Balabidhir ing Gendhingan

Sangkrah Ki Rajaputra

Kethik-kethik aneng Jurug

ing Beton si Kalanadhah.

Ing Ganggang Blegthuthur

nenggih Patunggon si Basahlungkrah

Sanasewu dhedhanyange

Bok Suwanggi namanira

Koplak-kolik Sampangan

wus tamat sagung lelembut

kang ngreksa Karaton Jawa.

47

BAB III

Mitos Dan Cerita Rakyat

A. Gugon Tuhon

Gugon tuhon iku kapitayan sing isih dipercaya

saktengahing bebrayan, sanadyan ora bisa dibuktekake

kanthi nalar lan kasunyatan. Ing tanah Jawa sing diarani

gugon tuhon mesthi ana ing sadhengah papan. Sing dijaluk

aja nganti anane gugon tuhon mau nuwuhake dredah lan

pasulayan. Antarane sing percaya karo sing ora kudu tansah

samad-sinamadan. Kang kalebu gugon tuhon sing isih ana

kang percaya, contone :

1. Para linuwih dianggep ora mati, ana sing mrayang

utawa nitis ing wong liya.

2. Mbabarake ananing jeneng utawa nyritakake

sawijining negara utawa panggonan diwenehi jeneng

mengkono. Jeneng mau ana kang lugu ana kang

diowahi supaya cocok karo dongenge.

3. Nyritakake dumadine kali, sendhang, gunung, telaga

lan sak panunggalane. Kang akeh ngandhakake

kasektene para dewa, mukjizat para nabi, kramate

para wali utawa mangunahe para mukmin.

48

4. Adat tatacara. Dedongengan mula-bukane ana tata

cara kang diestokake ing wong-wong ing sawijining

desa utawa panggawe kang disirik wong-wong

sawijining panggonan.

5. Gugon tuhon sok wor-suh karo dongeng suci kang

nyritakake mukjijate para nabi utawa wali.

6. Sato bisa tata janma lan sato gadhungan.

7. Cipta, sabda (presapa, ipat-ipat).

8. Dongeng memedi utawa gendruwo.

9. Patilasane para linuwih kang dianggep wingit utawa

singit ana kramate.

Dongeng suci iku lumrahe nyritakake mukjijate para

wali, nabi utawa mangunahe para alim. Dedongengan kang

kaya mengkono iku maune uga ana kang kelakon temenan,

nanging akeh rerenggane nganti ngilangake lajering crita.

Rehning dongeng suci iku akeh kang gegayutan karo

agama utawa piandel, mulane sok ana prekara kang

diugem-ugemi utawa dinaluri kaya kalakon temenan. Dene

satemene kang diarani dongeng suci iku ya mung kang

pancen dedongengan bae.

Ewodene kang karan dongeng anggitan, yaiku

dongeng kang ora mirid babad kang klakon temenan, dadi

mung anggitane wong bae. Lelakone akeh sing neka-neka,

jenenge iya sakecandhake bae, kayata, Pak Entak, Utak-

utak Ugel, mBok Randha Dhadhapan, Bawang, Brambang,

49

Trasi. Mungguh wijang-wijange dongeng kapratelakake ing

ngisor iki umpamane dongeng menungsa malih kewan

utawa kosokbaline, lan kewan bisa tata janma.

Ana wong njala ing kali mbeneri sebel ora oleh apa-

apa. Bareng arep mulih, nibakake jalane, bareng diangkat

krasa abot, jebul sing abot mau ula. Wong njala kaget, ula

arep dipateni nanging banjur calathu, ―Aku aja kokpateni.

Malah nek kowe gelem ngopeni aku, bakal sempulur

rejekimu.‖

Ula digawa mulih, dideleh ing senthong. Nuju ing

sawiji dina anake wadon juru amek iwak mau ngimpi

ketemu karo jaka bagus. Ki jaka weling, yen kepengin dhaup

karo dheweke, supaya kandha marang bapakne, njaluk

didhaupna karo ula sing olehe njala mau.

Cekaking kandha bocah wadon didhaupake karo ula

mau. Si ula yen bengi malih dadi nonoman bagus, yen rina

malih ula maneh. Nuju ing sawiji dina ing wayah bangun

esuk juru amek iwak mulih saka segara, weruh ana walung-

sungan ula, dijupuk nuli diobong. Bojone mbok nganten

metu arep ngrasuk walungsungane, nanging wis ora ana,

malah disapa karo pak juru amek iwak, kamanungsan

lestari dadi menungsa lan lestari dadi bojone bok nganten.

Dongeng liyane sing memper kuwi: Lutung Kesarung lan

Dongeng Srimulya.

50

B. Jaka Kendhil

Jembar segarane ateges gampang menehi pangapura

marang kaluputane liyan, kaya dene critane Jaka Kendhil

iki. Kacarita, Mbok randha Dhadhapan anake lanang mung

siji, rupane ala banget, wetenge mlenthi kaya kendhil,

mulane diparabi Jaka Kendhil. Bareng Jaka Kendhil wis

diwasa njaluk rabi putri Mesir. Abote ditangisi ing anak,

Mbok Randha uga mangkat. Bareng wis marak ing sang

nata, Mbok Randha ngaturake apa sedyane.

Sang Nata nari putrane kang pambarep aran Dewi

Kenanga. Ature nyerik-nyerikake, wose ora saguh nglakoni,

Sang Prabu nuli nari putra kang panggulu aran Dewi

Menur, ature ya padha bae karo mbokayune. Sang Nata nuli

nari putrane kang wuragil aran Dewi Melathi, jebul ature

sendika.

Sang Nata dhawuh marang nyai randha, pangandika-

ne, ―Nyai, anakku Dewi Melathi iya wis saguh takdhaupake

oleh anakmu, nanging aku duwe kudangan, besuk ketemu-

ning penganten supaya diarak ing gamelan Lokananta kang

nabuh para dewa, gagarmayang kayu dewandaru, waringin

kang awoh brondong, gedang emas apupus cindhe, ati

tengu gedhene sawungkal. Yen kowe ora bisa nekani

panjalukku kuwi mau, anakmu iya ora sida dhaup karo nini

putri.‖

Bok Randha mundur saka ngarsane Sang Nata,

sadalan-dalan tansah nangis bae. Tekan ngomah kandha

51

menyang anake ngandhakake apa pundhutane Sang Nata.

Jaka Kendhil banjur muja samadi sidhakep sluku tunggal

nutupi babahan nawa sanga. Ketrima samadine dirawuhi

ing Sang Hyang Nerada sarta disaguhi arep diparingi apa

panuwune.

Bareng tumeka titi mangsa pengaraking panganten, si

Kendhil nunggang jaran diarak ing para dewa. Sasrahan

dilakokake ing ngarep. Dhauping penganten mawa

pahargyan gedhen. Kocap Dewi Melathi tansah dipoyoki

dening mbakyu-mbakyune dene dhaup oleh kendhil.

Nuju mbeneri dina Setu ing alun-alun ana watangan.

Sang Nata karo Prameswari mirsani saka ing pepanggung-

an, para putri padha nderek. Ana satria anyar katon bagus

rupane nunggang jaran melu watangan, gawe cingake para

putri. Dewi Kenanga mbebeda kang rayi, ―Dhiajeng Melathi,

lah rak ngana kae satria bagus! Ora kaya garwamu, rupane

kaya kendhil.‖

Dewi Menur uga melu mbebeda.

Dewi Melathi dibebeda mau rumangsa isin, nuli mbolos

ndhisiki kondur. Tekan ing dalem njujug ing kamar

pasarean, jebul nemu kendhil kothong. Kendhil dicandhak

binanting. Bareng satria anyar mau kondur, njujug ing

kamar pasarean, arep ngrasuk busana agem-agemane

kendhil, wis ora ana. Jaka Kendhil kamanungsan babar

dadi satria bagus anom, sarta lestari dadi garwane Dewi

Melathi.

52

Pak Karya

Pak Karya Pengung ing desa Waru kesed banget.

Tangine awan, nyambutgawene sakepenake bae. Yen

menyang tegal angger weruh ana rewange anake apa

mantune, durung wisan gawe wis mulih. Tekan ngomah

njaluk mangan bojone. Lebar mangan nuli turu, tangine

ngarepake surup srengenge. Yen bengi ora tau melu runda

kampung, ana bae pawadane: sing mules wetenge, sing

ngelu, sing kadhemen.

Yen disambat ing tanggane ngedegake omah iya teka,

marga mung melik suguhane. Ana ing pasambatan kono ya

mung wira-wiri bae, rewa-rewa rewang, sajatine ora.

Tangga-tanggane wis padha ngerti, nuli padha ayon, yen

kenduren aja diundang.

Mbeneri pak lurah duwe gawe, wong sadesa diundang

kondangan, mung pak Karya Pengung sing diliwati ora

diundang. Pak Karya Pengung ya mara menyang kalurahan,

wira-wiri ing latar kono karo dheham-dhehem, nanging ora

ana kang ngrewes. Bareng kaume ndonga, wong-wong

padha muni, ―Amin! Amin! Amin!‖ Pak Karya Pengung ya

melu ngamini saka ing jaba, nanging ora ana kang nawani

mlebu, wasana banjur mulih.

Jaka Bodho

Ana bocah lanang wis wayah diwasa. Saking bangeting

bodho banjur karan Jaka bodho. Pinuju Jaka bodho

53

menyang alas weruh bangkene wong wadon sumene ing

uwit. Disapa karo Jaka bodho ora mangsuli, dijak guneman

ora mangsuli.

Ciptane Jaka bodho, ―Lah iki bocah anteng, pantes dadi

bojoku. Biyen simbok kandha, aku dikon golek bocah sing

anteng.‖

Bangke digendhong digawa mulih, diturokake ing

sentong.

Embokne krungu anake teka, takon saka ing pawon,

―Le, lah endi kayune?‖

Wangsulane, ―Aku ora sida golek kayu, mbok. Aku mau

weruh bocah anteng, takgendhong, takgawa mulih. Patut

yen dadi bojoku. Lah iki taturokake ing amben.‖

Embokne mara arep weruh kok ana nalar aneh

mengkono. Weruh mayit mau banjur calathu kamoran

kaget, ―Lo, kuwi rak wong mati. Wadhuh, ambune! Gelis

buangen menyang ing kali.‖

Bangke digendhong digawa menyang bengawan

dicemplungake ing banyu. Jaka Bodho sarehne mentas

nggawa bangke wis mambu, dadi awake iya ketularan

ambuning bangke. Wis adoh lakune saka kali isih mambu

ganda ora enak. Ciptane, ―Iki apa awakku sing mambu iki!‖

Tangane diambu nyata mambu.

Ciptane, ―Nek ngono aku wis mati, tandhane

awakku wis mambu.‖ Jaka bodho bali menyang kali nyegur

ing banyu dadi lan tiwase.

54

C. Sunan Pandhan Arang

Ki Pandhan Arang maguru menyang Sunan Kali

Jaga didhawuhi ndherek menyang ing gunung Jabalkat,

saiki aran gunung Tembayat. Nyai Pandhan Arang uga

ndherek. Bareng nglakune wis ngliwati kali Tuntang, ana

begal loro metu saka ing grumbul. Sunan Kali karo Ki

Pandhan Arang ora dikapak-kapakake sarta banjur dikon

terus mlaku marga ora nggawa apa-apa kang pengaji, mung

Nyai Pandhan Arang kang dibegal, direbut tekene. Teken

mau isi mas picis rajabrana. Begal durung marem, isih arep

mblejedi Nyai Pandhan Arang.

Nyai banjur nguwuh-uwuh, ―Kyai, entenana aku,

ana wong salah gawe mengkene kok kowe ki tega‖.

Desa ing kono ketelah aran desa Salahtega banjur

owah dadi Salatiga. Ana ing desa sakidul kulone Klaten, Ki

Pandhan Arang ngenger Mbok randha Tasik, ngaku jeneng

Gus Slamet. Mbok Tasik pangupajiwane adol srabi. Nuju

ing sawiji dina gus Slamet dikon ngadang beras. Ana wong

nyunggi beras diwadhahi ing goni.

Gus Slamet takon, ―Sing mang sunggi niku napa,

Kang?‖

Wong mau mangsuli sembranan, ―Iki wedhi‖.

Gus Slamet calathu, ―E, enggih empun nek wedhi,

wong kula ajeng tuku beras, kok.‖

Wong desa calathu, ―Lah iki rak ya beras.‖

55

Olehe calathu mengkono iku sambi nyelehake

sunggene, diuculi taline arep dituduhake isine menyang Gus

Slamet. Nanging sepira kagete bareng weruh yen berase

mau malih wedhi kabeh. Wiwit kuwi desa ing kono banjur

karan desa Wedhi.

D. Bledug ing Kuwu

Prabu Ajisaka kagungan putra salah kedaden dadi

ula kang gedhe banget. Ula mau sowan ing Sang Nata ngaku

yen putrane. Sang Prabu dhawuh marang ula, didhawuhi

mateni mungsuhe, yaiku baya putih ing segara kidul

nganggo wineling ora kena liwat ing daratan, mundak gawe

girise wong-wong, nanging didhawuhi metu ing sajroning

lemah, baline iya mengkono uga. Yen klakon bisa bali entuk

gawe, iya diaken putra.

Ula mangkat metu ing sajroning lemah, tekan ing

Segara Kidul nuli pancakara karo Bayaputih, klakon

Bayaputih sirna dening ula. Baline ula menyang ing

kedhaton ing Medangkamolan rada tuna dungkap, durung

tekan ngenggon wis mencungul. Bareng weruh yen kleru,

nuli ambles maneh. Kang mengkono mau nganti rambah

kaping sanga. Ing panggonan jumedhule ula mau saka ing

sajroning lemah, ing kono ana embel, banyune asin, yaiku

banyu segara kang katut mrono. Panggonan mau diarani

bledug, yaiku bledug ing Kuwu, lan sakiwatengene. Mulane

diarani bledug, marga kala-kala metu gase nyemprot-

56

nyemprot katutan endhut mawa suwara kaya barang

mbledos.

Gunung Bathok

Dewaning Semeru kagungan putra wadon aran

Juwita. Putri mau dilamar ing Raksasa, awake gedhe

sagunung anakan. Sang Hyang Semeru ora pati lila nanging

arep nulak ora wani, nuli kagungan pamundut marang

Raksasa digawekna jagang ing sakubenging Brama, supaya

lahar lan awune aja nganti tekan ing Semeru, jagang mau

kudu rampung ing sajroning sawengi.

Raksasa nuli tumandang. Lemah ing sakubenge

Brama dikedhuki nganggo bathok, suwarane gumludhug

nggegirisi. Sang Hyang Semeru weruh yen penggaweane

Raksasa meh rampung, banjur nuthuki lesung, jago-jago

padha kluruk. Raksasa krungu unining jago kluruk atine

ngedap. Bathok kang kanggo ngedhuki lemah anggone

nyekeli nggregeli, tibane mengkureb, dadi gunung kang

saiki aran Gunung Bathok, dumunung ing segara wedhi

kaprenah sakulone kawah Brama.

Kali Winanga

Wong-wong kang dedunung ing saurute kali

Winanga kang ngliwati ing kutha Yogyakarta sisih kulon

yen slametan sasi Ruwah, sajene nganggo candu utawa tike

disandingi papah kates minangka bedutane. Sajen kuwi

57

mau disetokake lan diemen-emenake dening wong-wong

ing sakiwa tengene Kali Winanga. Dedongengane meng-

kene: Dhek biyen ana abdi-dalem prajurit aran Kyai Jayuda

(Brajayuda), tapa ing pinggiring kali nenuwun ing Pangeran

diparingana kaluwihan. Ananging Kyai Jayuda mau ilang

ora karuan, pengirane wong-wong, mrayang dadi lelembut,

pasabane iya ana ing saurute kali Winanga mau. Dhek uripe

kyai Jayuda pakaremane nyeret. Mulane wong slametan

ruwahan nganggo sajen tike utawa candu, sabab yen ora

mengkono, jare sok ditemoni sarana mrimpeni.

Pupak Puser

Bayi iku yen wis pupak pusere kudu dieleki ing

tangga teparo utawa wong tuwa-tuwa. Bayi dipangku ing

dhayoh genti-genti sawengi, esuk lagi kena diselehake ing

peturon. Nalikane dipangku mau peturone bayi didokoki

gandhik digambari mata, cangkem, irung nganggo enjet

nuli digedong cara bayi, diglethakake ing tampah dilemeki

godhong sente. Kejaba iku ing sakubenging omah

dikentengi benang, saben pojoking omah didokoki keris-

kerisan wilah diclonehi enjet, godhong nanas karo godhong

apa-apa utawa alang-alang.

Karepe sarat mau mengkene: sapuputing puser,

prabot-praboting bayi kayata: getih, kawah, coplokan puser,

kunir landesan puser, kabeh padha dadi lelembut jenenge

sarap sawan. Lelembut mau arep masesa bayi, nanging ora

58

wani mlebu ing omah marga weruh sarat-sarat mau katone

kaya pedhang temenan. Ewasemono iya sok bisa mlebu ing

omah njujug ing peturone bayi. Bayi dikerah ora pasah

marga liniru ing gandhik, wasana padha mundur pelarasan,

kapok ora bali-bali.

Kleting Kuning

Kleting Kuning arep nyabrang bengawan Silungga.

Sakawit njaluk tulung Yuyu Kangkang, nanging Yuyu

Kangkang ora gelem nyabrangake Kleting Kuning, marga

penganggone gombalan, pupure tembelek. Kleting Kuning

banjur nyabetake sada lanang ing banyu. Padha sanalika

bengawan mau asat. Kleting Kuning bisa nyabrang.

Andhe Andhe Lumut

Putraku si Andhe Andhe Lumut

Tumuruna ana putri kang ngunggah-unggahi

Putrine sing ayu rupane, Kleting Abang iku kang dadi arane

Dhuh ibu, kula boten purun

Dhuh ibu, kula boten mudhun

Nadyan ayu sisane si Yuyu Kangkang

Putraku si Andhe Andhe Lumut

Tumuruna ana putri kang ngunggah-unggahi

Putrine sing ayu rupane, Kleting Ijo iku kang dadi arane

Dhuh ibu, kula boten purun

59

Dhuh ibu, kula boten mudhun

Nadyan ayu sisane si Yuyu Kangkang

Putraku si Andhe Andhe Lumut

Tumuruna ana putri kang ngunggah-unggahi

Putrine sing ala rupane, Kleting Kuning iku kang dadi arane

Dhuh ibu, kula inggih purun

Dhuh ibu, kula badhe mudhun

Nadyan ala puniku kang kula suwun

Watu Telu

Ana bocah picak duwe watu telu peparinging dewa.

Watu iku yen diuncalakake mendhuwur karo muni apa

kang dipengini sanalika iku uga banjur klakon karepe.

Bocah mau nguncalake watune siji karo muni

mengkene, ―Dhuh Dewa, kula nyuwun mripat ingkang wiar

bawera, supados saged ningali ing samukawis.‖

Sanalika bocah mau diparingi mata amba, meh

ngebaki sakubenging rai. Bungah banget dene weruh apa-

apa kang maune durung tau weruh. Nanging ora suwe ana

lesus nggawa bledug nampeg ing raine bocah mau. Mripate

krasa pedhes, banjur njungkel ngrasakake larane. Batine,

―Kok ora kepenak ngene. Mata amba kuwi mau marakake

ribed bae.‖

Bocah mau nguncalake watune, dadi saiki wis

kalong loro. Calathune, ―Dhuh Dewa, kula nyuwun mripat

60

ingkang ciut kemawon.‖ Sanalika iku uga mripate malih

ciut, mlingup mung saelenging dom. Kabeh kang sinawang

katon nglangut. Bocah mau iya wis trima, tinimbang ora

weruh babar pisan. Nanging ora suwe ana cleret barungan.

Bocah mau kaget banget. Batine, ―Ya ora enak senajan

mripatku mengkene.‖

Bocah mau banjur nguncalake watune kari siji karo

muni, ―Dhuh Dewa, kula nyuwun wangsul picak malih

kemawon.‖ Sanalika iku uga bocah mau banjur picak

maneh.

Timun Emas

Timun Emas ngenger ana omahe Mbok randha

Dadapan. Ana ing desane Mbok randha, Timun Emas

diparani buta arep dimangsa. Nuli dikon sumingkir

disangoni uyah, trasi karo tebu. Buta weruh yen Timun

Emas wis sumingkir saka ing desa kono, banjur matak aji

penggandan, nuli dilacak, suwe-suwe katon banjur dituruti.

Bareng wis cedhak, Timun Emas mbuang tebune, tebu

thukul dadi alas. Buta rekasa lakune, nasak-nasak ing alas

tebu. Kala-kala iya leren karo mangan tebu. Timun Emas

bisa sangsaya adoh. Suwe-suwe buta kelingan marang

beburone, banjur ditututi maneh. Bareng wis cedhak Timun

Emas mbuang uyahe, dadi segara. Buta rekasa banget

anggone nyabrang, nanging suwe-suwe iya bisa nututi.

Timun Emas meh kecandhak, nuli mbuang trasine, trasi

61

malih dadi embel, buta mau keblader-blader ing embel,

saka sayane suwe-suwe ora bisa obah, wasana mati ambles

ing embel.

Kang dadi jejering kandha: menungsa bisa malih

macan, malihe iku nalikane isih urip utawa sawise mati.

Kang kecrita akeh wong bisa malih macan iku ing alas

Lodaya (Blitar) lan ing desa Gadhungan bawah Pare

(Kediri). Dongenge iya rupa-rupa banget, jare menungsa

meguru menyang macan.

Nalika Sinuwun Paku Buwana ing Kartasura lolos

saka praja marga ana geger Pecina, ana ing dalan ketagihan

candu. Patih Cakrajaya nuli musus tangane karo ngesti

puja, sanalika bisa nyaosi pamundhute gustine. Wiwit iku

Sang Nata ndhawuhake presapa mengkene, ―Anak putuku

aja ana kang duwe pakareman nyeret, mundhak gawe ribed.

Tujune iki mau isih ana wong tiyasa kaya wakne cakrajaya.

Anua rak sida bilai temenan.‖

Prasapa Panembahan Senapati

Nalika Raden Ngabehi Sutawijaya mangsah prang

mungsuh Arya Penangsang ing Jipang, titihane jaran isih

belo batilan Jaran mau kena ditumbak ing Arya

Penangsang, njola-njola. Nuli mbandang sarosane ora kena

dipekak. Arep dijambak ora kena marga ora ana surine.

Suwe-suwe iya kena dipekak. Raden Ngabehi ndhawuhake

62

presapa, ―Saturun-turunku yen mangun perang, aja ana

sing nunggang jaran batilan.‖

Pepali Ki Ageng Sela

Ki Ageng Sela lagi ngemban putrane ngagem sarung

mung disuwelake bae. Bareng ana geger teka, Ki Ageng rada

karepotan, mlayu ing latar kesrimped-srimped ing wuluh,

sarunge mlorot meh kawirangan. Ki Ageng banjur presapa,

―Saturun-turunku aja ana sing nandur waluh, mangan

waluh iay ora kena.‖

Ipat-ipate Sunan Mangkurat

Nalika Sunan Mangkurat gerah santer ing Aji-

barang, mundut degan menyang Pangeran Adipati Anom.

Pangeran Adipati dhawuh marang abdine ngunduh degan,

nuli dicaosake wis parasan sarta banjur dibolong pisan.

Sunan semu runtik, ngendika mangkene, ‖Thole, taktrima

banget anggonmu aweh degan, nanging rehning wis

parasan, iku ateges kowe nggege mangsa. Ya ta, mangsa

wurunga kowe gumanti nata, nanging ambok aja kesusu.

Ing wuri turunmu ora bisa nutugake lelakonku. Karo maneh

saturun-turunmu, aja ana sing nyadran menyang kuburku.‖

Wong Tani karo Anak-anake

Ana wong tani duwe anak lanang lima, kabeh padha

cecongkrahan. Nuju ing sawiji dina anak-anake diundang.

63

Bareng wis mara, diulungi sada sabongkok. Celathune

bapakne, ―Coba, sapa sing bisa nugel sada iki takganjar sapi

siji.‖

Anak-anake padha tumandang, nyoba nyoklek sada

mau kalandhesake ing dhengkul, nanging ora ana sing bisa.

Bapakne banjur njupuk sada mau, diuculi taline nuli

dicokleki siji-siji, gampang bae. Anake kang tuwa dhewe

calathu, ―Mesti mawon Pak, kula neggih saged yen ngaten.‖

Bapakne mangsuli, ―Iya, kabeh uwong iya bisa.

Kowe ngretia: sada iki prelambange awakmu saksedulur.

Yen kowe padha crah, gampang bisamu nemu pakewuh

utawa bebaya, mengkono uga mungsuh, iya gampang bae

yen arep gawe cilakane awakmu sasedulurmu kabeh.

Nanging yen kowe rukun karo sedulur-sedulurmu, angel

bisamu tumeka ing sangsara. Mula eling-elingen ujaring

bebasan: Rukun agawe santosa, crah mahanani bubrah.‖

Dewi Ragil Kuning

Dewi Ragil Kuning putri nata ing Jenggala lolos

saka ing kaputren. Ana ing tengah alas dioyak-oyak utusane

raja Bugis arep dipundhut garwa. Ragil Kuning nyegur ing

kali banjur keli, nuli ditulungi ing juru nambang, dijak

mulih, dipasrahake marang bojone, disedulurake karo

anake wadon aran Brambang, diparabi Si Bawang.

Bojone juru nambang iku siya banget menyang

anake pupon. Penggawean saomah sing nandangi Si

64

Bawang. Brambang mung ngenak-enak mangan turu bae.

Mbok juru nambang uga duwe anak lanang isih bayi,

jenenge Trasi. Si Bawang penggaweane saben dina umbah-

umbah, nyapu, ngangsu, olah-olah. Yen ora kebeneran

setitik bae diujar-ujari.

Nuju ing sawiji dina Si Bawang olehe ngumbah

popok keli siji, beruke uga keli. Tekan ngomah disrengeni

biyunge, dikon nggoleki maneh sing nganti ketemu. Bawang

banjur bali menyang kali, takon ing panggonane mbah Buta

Ijo. Popok karo beruk ditemu Buta Ijo. Bareng ditembung

sing duwe, Bawang dikon mususi berase dhisik karo

nggawakake mulih. Tekan ing omahe Buta Ijo dikon olah-

olah ing pawon, weruh dandange gembung uwong,

enthonge epek-epek, mangkoke cumplung. Bawang dipek

anak Buta Ijo.

Ana utusane sang nata ing Jenggala jenenge Bancak

karo Dhoyok nggoleki gustine nganggo disranani mbarang

jantur. Lakune suwe-suwe tekan ing gunung Wilis ing

dhangkane Buta Ijo, ditanggap. Bareng wis wengi Buta Ijo

lanang wadon padha arip suwe-suwe keturon. Dewi Ragil

Kuning kondur didherekake Bancak Dhoyok.

65

BAB IV

Mantra Sakti & Daya Tuahnya

A. Mantra Kadigjayan

1. Mantra Siyung Wanara

Gebyar sapisan sakehing cahya padha sirna, gebyar

pindho sakehing roh padha sirep, rep sirep sajagade,

kepyar–kepyur si bajul padha lumayu bubar. Lakune

nglowong 3 dina 3 bengi, wiwite dina Setu Kliwon. Mantra

diwaca kanggo nyingkirake baya lan buron banyu kang

galak, sarta uga diwedeni wong akeh.

2. Mantra Panawaran

Niyatingsun dhahar, rowaningsun tapa kang dha-

har. Niyatingsun sare, rowangingsun tapa kang sare, krana

ingsun iki wus kawengku ing alam nasut, Malaekat Jabarut

yaiku kang dhahar, kang sare jagade sahir kabir, cahya

mangan ras, rasa mangan cahya, cahya mulya, rasa

sampurna. Lakune mutih 3 dina 3 bengi, sarta nglowong 3

dina 3 bengi, wiwite dina Jumuah Pahing.Mantra

66

diwacayen arep mamangan, supaya manawa diracun ing

wong, bisa tawar ora tumama.

3. Mantra Panulak Wesi Aji

Ingsun kawulaning Allah, kang matek saka

suryakumar, bukiyadi angambang jagad walikan, langgeng

tan kenaning owah, huyahu, huyahu, huyahu, sallahu

ngalahi wasalam, dating suci ing sahudaya, ratuning

sadatulah, ingsun lanang sejati, kang tan pasah sakehing

tumumpang ampang ngalumpruk kadi tibaning kapuk,

yahu jabardas, bar tan tedhas ing keris suleman lan

sakehing gagaman kabeh. Lakune ora mangan uyah 40

dina, banjur mutih 3 dina 3 bengi lan patigeni sadina

sawengi, wiwite dina Kemis Wage. Mantra diwaca ana ing

paperangan lan yen ana babaya pakewuh.

4. Mantra Pagering Awak

Allahumma kulhuwallah, lungguhku imbar, payung-

ku imbar, wong sajagad kabeh kang sumedya ala marang

aku, nyawane kari sadhepa, sa‘asta, sakilan. Wong kang

sengit marang aku, cupeten angen-angene, sandhang

pangane lan sabarang niate kabeh, pet cupet karsaning

Allah. Lakune mutih 7 dina 7 bengi, wiwite dina Kemis

Wage. Mantra diwaca yen ana rerusuh utawa yen perang.

67

5. Mantra Siluman

Salallahu ngalaihi wasalam, alahuma kulhu allah,

lungguhku imbar, payungku imbar, mimang mimong si

Wisakarma tengahing angin, apipit maya-maya ora katon

apa-apa, kang hima kakalangan petheng dhedhet alimengan

si imbar ngemuli aku, wong sabuwana bloloken ora weruh

aku. Lakune pasa 21 dina, kanane mangan (buka) mung

sapisan sabenjam 12 bengi, yen pasane wis rampung banjur

ngebleng 7 dina 7 bengi, wiwite dina Rebo Pon. Mantra

diwaca yen ana bebaya utawa yen perang. Yen ketrima bisa

ngilang ora diweruhi wong.

6. Mantra Pambukak

Walahumin walaihim mukitum balhuwa kur‘anu

mujidu sakabehing karsane Pangeran ya karepku, ora ana

barang angel ora ana barang ora tumeka, gampang tumeka

kersaning Allah. Lakune mutih 7 dina 7 bengi, ngebleng 3

dina 3 bengi, wiwite dina Kemis Wage, ing dina iku

bancakan jajan pasar lan jenang abang putih, baro-baro.

Mantra diwaca kaping 7, yen katrima bisa mbuka barang

kang tinutup utawa kinunci, sanajana ana sajroning peti

wesi pisan iya bisa mbuka. Patrape sarampung maca donga,

barang mau kasikut nganggo sikute kiwa nuli kadamu ping

3. Insya Allah yen tinarima bisa menga dhewe. Sawise

rampung tirakate banjur dicoba, yen durung katrima,

dibaleni tirakat maneh.

68

B. Aji Jaya Kawijayan

1. Aji Tanggul Balik

Kulhu buntet, badaningsun Kanjeng Nabi panutan,

rasaningsun Rasul, tekeningsun Malaikat, luputa kang den

arah, ambalik marang kang ngarah. Aji Tunggal balik iku

perlu kanggo panulak cabare panggawening mungsuh.

Lakune patigeni 3 dina 3 bengi, wiwite dina Selasa Kliwon,

Aji diwaca ana ing latar ajeg sabenjam12 bengi, sajroning

mumungsuhan.

2. Aji Panglarutan

Simaling sekti roh ilapi ratuningroh kabeh, sira sun

kongkon soroten banyune ratuning rasa, laruten karepe

si.......... (disebut jenenge), aja dibajurake sedya kang ala ora

bener, lemes, cabar, bubar karebe tan dadi. Lakune

nglowong 3 dina 3 bengi, wiwite dina Kemis Wage. Aji

diwaca sakira mungsuh arep nekani, sarta yen arep utawa

wus nindakake pakean.

3. Aji Panglimunan

Bismillahir rahmanir rahim, dat gumilang tanpa

sangkan, gumilang tanpa enggon, liyep ilang salin raga, ina

fatohia lakoratkanmubila, alahumma alip sirolah, sir

Muhammad, sir Abu Bakar, Sir Ngumar, sir Ngali, sir

Jabarail, sir allahailulah Muhammad rasulullah, sir wali, sir

kuwat berkat, sir teguh sir luput, sir ora katon, sirep berkat

69

saking Nabi Muhammad, lailahailalah, hu yahu, anta, anta,

hem, hem, iya iya, hum nasrum hu Allah.

Lakune ngebleng 7 dina 7 bengi, wiwit dina Selasa

Kliwon. Yen wus tutug anggone nglakoni banjur

dinyatakake, yaiku ing wayahesuk pinujusrengenge metu,

ndelenga wawayangane dhewe, yen wewayangane ora

katon, tandha wus tinirima bisa ngilang, yen ijih katon

wewayangane durung tinirima, iku kena dibaleni ngebleng

maneh nganti bisa tinirima. Ajidiwaca yen ana kaperluane.

Yen wus bisa ngilang, ora kena nindakake barang panggawe

kang ora bener. Dene kenane mungkanggo ngalahake

ngapokake mungsuh kang cidra durhaka maring sapa-

padhane.

4. Aji Panglimunan

Ingsun amatek si Ajisaka, ingsun mancik bumine

Allah, ya aku anake Jan Banujan, aku kilat buwana,

sakabehing mungsuh ora padha weruh maring aku, matane

dak tutupi bathok bolu, peteng dhedhet alimengan,

sakehing mungsuh padha cadok cato-cato pala bingung

kersaning Allah. Lakune ngebleng 7 dina 7 bengi, wiwit dina

Selasa Kliwon. Yen wus tutug anggone nglakoni banjur

dinyatakake, yaiku ing wayah esuk pinuju srengenge metu,

ndelenga wawayangane dhewe, yen wewayangane ora

katon, tandha wus tinirima bisa ngilang, yen ijih katon

wewayangane durung tinirima, iku kena dibaleni ngebleng

70

maneh nganti bisa tinirima. Aji diwaca yen ana kaperluane.

Yen wus bisa ngilang, ora kena nindakake barang panggawe

kang ora bener.

5. Aji Panglamporan

Ingsun amatak ajiku si Panglamporan, kangaran

Nabi, Wali, banyu, barat, geni, sira wengakna lawang

suwarga kang tunda pitu, menga mblarat luwar kersaning

Allah. Banjur katerusake matak aji Welutputih, unine,

Ingsun amatak ajiku Welutputih arsa mrocot jroning watu,

mrocot kersaning Allah. Lakune mutih 7 dina 7 bengi

kemulan lawon putih, wiwite dina Selasa Kliwon. Ajidiwaca

sajroning peperangan utwa yen ana bebaya pakewuh.

6. Aji Panawaran

Ingsun amatakajiku si panawaran, ingsun lanang

sejati, ngadeg tengahing tawang, urip langgeng gumantung

tanpa enggon, gumilang tanpa wawayangan, hu ingsun

sajatining suksma langgeng. Sakehing braja tumiba ing

tawang tan tumamam ing badaningsun. Lakune nglowong

7 dina 7 bengi, wiwite dina Kemis Wage, Aji diwaca

sajroning perang, utawa yen ana bebaya pakewuh.

7. Aji Lembu Sakilan

Ingsun amatak ajiku si Lembusakilan, rasulku

lungguh, brahim nginep babahan, kep-karekep barukut

71

kinemulan wesi kuning wesi mekangkang sacengkang

sakilansadempu, sakehing braja tan ana nedhasi, bedhil

pepet mriyem buntu tan tumama kersaning Allah. Lakune

40 dina mung mangan gogodhongan dikulup bumbune

mung uyah, ngombene banyu kendhi, yen wis tutug 40 dina

banjur nglowong 3 dina 3 bengi, wiwite dinan Kemis Wage.

Aji diwaca sajroning perang, nirokake unine sapi sarta

mangan daging sapi.

8. Aji Petake Jeyengrama

Ingsun amatak ajiku, Jayabarut ingsun jumeneng

datullah, umadeg tengahing jagad, sakabehing mungsuh

sakubenging cakrawala kang padha durhaka, krungu petak

gelap sakethi, padha bedhah kupinge, pecah endhase.

Lakune pasa 40 dina mangan mung sapisan sabenjam 12

bengi, sawise pasa tutug 40 dina, banjur ngebleng 7 dina 7

bengi, wiwite dina Rebo Pon. Aji diwaca yen campuh

perang sarta ngarepake campuh.

9. Aji Gelap Ngampar

Ingsun amatak ajiku si Gelapngampar, gebyar-

gebyar ana ing dadaku, ula lanang guluku, macan galak ana

raiku, surya kembar ana netraku, durga deg lak ana

pupuku, gelap ngampar ana pangucapku, gelap sewu ana

suwaraku, ah aku si gelap sewu. Lakune pasa 40 dina,

mangane mung sapisan saben jam 12 bengi, sawise pasane

72

tutug 40 dina, banjur nglowong 7 dina 7 bengi, wiwite dina

Setu Kliwon. Aji diwaca yen campuh perang sarta

ngarepake campuh.

10. Aji Brajamusti

Ingsun amatak ajiku si Brajamusti, kang aneng

Pringgodani, purubaya, purubaya, ototku kawat, balungku

wesi, kulitku tembaga, dengkulku paron, dagingku waja,

epek-epekku wesi menkangkang anteb tanpa sama, ajur

mumur katiban tanganku, heh ya aku purubaya ratuning

wesi kabeh, sakehing braja nglumpruk kadi kapuk tan ana

tumama ing badanku. Lakune nlowong 7 dina 7 bengi,

wiwite dina selasa Kliwon. Aji diwaca yen campuh perang

lan sa‘arepe perang.

11. Aji Bandung Bandawasa

Ingsun amatak ajiku Bandungbandawasa, kang

mengkoni ratuning wesi, kulitku tembaga, dagingku waja,

ototku kawat, balungku wesi, bayuku rasa, dengkulku

paron, heh ya aku Badung Bandawasa ratuning karosan

kabeh, sarupaning gegaman tan ana tumama ing badanku.

Lakune nglowong 7 dina 7 bengi, wiwite dina Setu Kliwon

Aji diwaca yen adhep-adhepan lan mungsuh yen wis arep

perang.

73

12. Aji Balasrewu

Ingsun amatak ajiku balasrewu, kang tapa

guwagarbane siBagaspati, sakabehing widadara widadari,

Malaekat, Nabi, Jim setan peri prayangan wis luluhsarira

tunggal. Sakehing mungsuh ngarep mburikiwa tengen

keblat papat padha kamigilan kaprabawan ajiku si

balasrewu kang mbrubul metu maewu-ewu tan kena pati,

temah pad agiris lumayu bubar sar-saran, iya ingsun atining

bumi. Lakune nglowong 7 dina 7 bengi, turune yen bengi

ana ing tritisan lemek godong gedanag bantal bata, yen

awan kena ana omah, wiwite dina Rebo Pon. Aji diwaca yen

maju perang.

13. Aji Cindhe Amoh

Ingsun amatak ajiku si Cindeamoh, sirig-sirig ubed-

ubed sabukclana cinde amoh, rontang-ranting saluwir

tinutupan wulan purnama srengenge sewu, hewu, hewu, iya

ingsun kang abadan wesi kuning, angrasuk sarira Nabi

Suleman kang sekteningsun, Sis utekingsun, Adam atining-

sun, Muhammad paningalingsun, Brahim nyawaningsun,

Isa napasingsun, Yakup karnaningsun, Musa lesaningsun,

Dawud swaraningsun, sakabat papat kulit daging getih lan

balungingsun, Ayub ususingsun, Yunus ototingsun, Nuh

jantungingsun, Idris rambut wuluningsun, wus pepak

jumeneng sarira Nabi, sakehing teluh tuju, tenung, braja,

cakra, curiga, watang limpung, bedhil, mriyem narantaka

74

ora tumeka, ajur omah ting saluwir tanpa bahya, hu akbar,

hu akbar. Lakune nglowong 7 dina 7 bengi, wiwite dina

Jumuah Paing. Aji diwaca yen mangsah perang, utawa yen

ana rerusuhan.

14. Aji Pengabaran

Ingsun amatak ajiku Maliwis putih, ilatku pamor,

suwaraku gelap ngampar, mripatku kaca benggala, kulitku

tembaga, wuluku dom, drijiku supit wesi purasani,

dlamakanku rajeg wesi, cangkinganku angin, pengiringku

jagad, heh si Maliwis putih cucukana patukana tladungana

mungsuh ingsun, lebur luluh ambruk tan mindo gawe, saka

kersaning Allah. Lakune pas 21 dina, banjur ngebleng 3

dina 3 bengi, wiwite dina Setu Kliwon. Aji diwaca yen wis

adhep-adhepan lan mungsuh, sarta yen arep mangkat

perang.

C. Mantra Sri Sejeki

1. Mantra Sugih Banda

Ing wayah bedhug awan, ana ing latar ngadeg

madhep mangidul, madep mangetan, mantra, Sentanaku

juru gedong Retna Dumilah arane, kang rumeksa

gedhongku ing jagad wetan, bukaken gedhongku kang isi

inten berlean lan sarupaning manik-manik, ingsun arep

nganggo.

75

Ing wayah bedug awan, ana ing latar ngadeg

madhep mangidul, mantra, Sentanaku juru gedhong

bambang Bunarbuwana arane kang rumeksa gedhong ing

jagad kidul, bukaken gedhongku kang isi busana wastra

sapanunggalane ingsun arep nganggo. Ing wayah sore

mbarengi suruping srengenge ana ing latar ngadeg madhep

mangulon, mantra, Sentanaku juru gedhong Nurkencana

remeng arane, kang rumeksa gedhongku ing jagad kulon,

bukaken gedhongku kang isi kencana mulya lan kang sarwa

picis sapepake ingsun arep nganggo.

Ing wayah bedhug bengi ana ing latar ngadeg

madhep mangalor, mantra, Sentanaku juru gedhong

Srikolem arane, kang rumeksa gedongku ing jagad lor,

bukaken gedhongku kang isi sawarnaning pangan kang

bangsa pari, palagumantung, palaka pendhem, pala-

kasimpar, bangsaning iber-iberan, kewan belehan lan

sarupane iwak loh ingsun arep bujana, ayo, ayo, ayo enggal

enggal padha tumandhanga, saben Kliwon pada teka

babarengan nggawa sakabehing kabutuhaningsun. Banjur

temenga mandhuwur karo muni: bapa akasa, nuli

tumungkul mangisor, muni: ibu pertiwi, nyuwun bantu.

Lakune pasa 40 dina, kenane mangan mung sapisan saben

jam 12 bengi, wiwite dina Kemis Wage. Sabanjure saben

bengi tumindak mangkono iku, dadi turune sawise jam 12

bengi, puwasane mung cukup 40 dina bae.

76

2. Mantra Sowan Ratu Gustine

Niyatingsun ngukup madah jayaning ratu, winadah-

an cupu kencana mulya, Adam sumingkir, Muhammad

teka, Allahwis ana kene. Lakune mung setya tuhu

marangratu gustine, mantra diwaca ana ing pasowanan.

3. Mantra Nyuwun Derajat

―Bismillahir rahmanir rahim, derajatku kang

gumantung durung tumurun, muga Pangeran maringake

saka wetan, kidul, kulon, lor, ngisor, nduwur, kang sampun

tinampen roh robani. Lakune ngebleng 7 dina 7 bengi ana

paturon ora kena mudhun saka amben, kajaba yen arep

bebuwang utawa sene, nanging uga ora kena metu saka

seruhong, wiwite dina Selasa Kliwon. Mantra diwaca rina

wengi tanpa petungan sakarepe.

4. Mantra Nyuwun Munggah Derajat

Nugrahaning darajat kang kunci jro peti purasani,

soronge rasa jati, Sang Hyang Semar wus nurunake tanda

mubyar kukuncunge, cahya manour umanjing jiwa ragaku,

kanigara sabuk benag bara-bara, tumurune payung agung,

wus tinampah roh robani, alahuma darajati turunsih.

Lakune mutih 7 dina 7 bengi. Sawise tutug mutih 7 dina,

kabajutake sajrone 9 wulan puwasa saben Senin Kemis,

mangane sapisan saben jam 12 bengi, wiwite dino Rebo

Pon. Nalikane mutih 7 dina 7 bengi ora kena mudhun saka

77

paturon. Mantra diwaca saben jam 12 bengilan bangun

esuk.

5. Mantra Murih Tineka Karepe

Kang cahya roh rahmani, roh jasmani, roh robani,

roh kewani, kaki tumekane bapa, bisaa ............ (disebutkake

apa kang dikarepake), beda apa kang cahya, kunpayakun

tanpa ashadu kodratollah, pan ingsun pinayungan dening

Allah. Lakune pasa 21 dina, mangane mung sapisan saben

jam 12 bengi, wiwite ing dina kelahirane dhewe (wetone),

mantra diwaca yen arep mangan jam 12 bengi.

5. Mantra Panyuwunan

Sallahu ngalaihi wasalam, sallalahu ngalaihi

wasalam, sallalahu ngalaihi wasalam. Gusti Allah kang

maha agung, maha luhur, maha suci, mugi Pangeran

nyembadanana pinuwunan kula, kula nyuwun ......

(disebutake panyuwune). Sallahu ngalaihi wasalam, sallahu

ngalaihi wasalam, sallahu ngalaihi wasalam. Lakune

sadurunge tinekan karepe, yen turu sawise jam 12 bengi ana

tritisan. Mantra diwaca ana ing latar, yen esuk madhep

mangetan, bedhug awan madhep mangidul, mahrib

madhep mangulon, bedhug bengi madhep mangalor.

78

6. Mantra Pameling

Allahu zat, allahu sifat, allahu asma, Allahu afgal,

Allahu sidik, roh kudus,roh ilapi, roh sira rohingsun

rohingsun dhewe Si ........ sebutna jenenge) tekaa enggal

katemu aku. Lakune oran mangan ujah 40 dina, wiwite

dina rebo Pon. Mantra diwaca mbarengi pleteking

srengenge, ngadhepake prenahe omahe wong kang

diundang supaya teka.

7. Mantra Supaya Duwe Anak

Sri putih sir ening, sri abang sir karep, tempuk

watune ki jabang, urip jabang bayi rineksa sakadange, nir

babaya tanpa lari. Lakune mutih 7 dina, wiwite dina

Jumuah Legi wis rampung tirakate, ing bengi Jumuah

Paing. Ing malem Jumuah Legi wis rampung tirakate, ing

bengi Jumuah Paing. Ing malem Jumuah iku banjur

saresmi, yen arep saresmi mantra mau diwaca, sabanjure

yen saresmi kudu mung malem Senin lan Kemis.Sarta

nganggo srana ngrujak nanas kang ijihenom dipangan

lanang wadon, sarta diwenehake marang wong kang sugih

anak.‖

1. Mantra Weruh Sadurunge Winarah

Sir rahsa cahyaning rahsa, mut maya tejaning maya.

Lakune saben duwe niat aarep meruhi sabarang kang

durung kelakon, banjur mutih 3 dina 3 bengi lan patigeni

79

sadina sawengi, wiwite dina Jumuah Pahing. Mantra

diwaca kaping 5000 saben arep mapan. Mantra panulak

tenung tuju layar.

2. Mantra Tujuh Layar

Allahumma kulhu buntet, kulhu balik, durgateluh,

jim setan peri prayangan pada mara padha mati, jalma

marang jalma mati, mati karsaning Allah.

Lakune mutih 7 dina 7 bengi lan pati geni sadina

sawengi, wiwite dina Setu Kliwon. Mantra diwaca mbarengi

surup srengnge, diwaca ing banyu diwadhahi pinggan,

banyu kadamu ping 3, banjur kaombekake marang wong

kang kena tenung utawa tujulayar.

3. Mantra Makdum Sarpin

Sang kun dat suksmadiningsih kang ngideri jroning

wawayangan, sira aja ngaling-ngalingi aku, aku arep

katemu kadangku kang sajati, kang langgeng tan owah

gingsir, sira metua dok kongkon (disebutake Kaperluan).

Lakune ngebleng 7 dina 7 bengi wiwite dina Selasa Kliwon.

Mantra diwaca jam 12 bengi.

4. Mantra Durgateluh

Allahuma durgateluh bolak-balik kasumpet, mara

ngetan, pepet, ngidul sumpet, karsaning Allah ana tengah

dheleg-dheleg ngedeprek bingung kami tenggengeng. Laku

80

ngebleng 7 dina 7 bengi, wiwite dina Jumuah Kliwon

mantra diwaca yen adhep-adhepan karo mungsuh arep

perang.

5. Mantra Panglarutan

Raga sukma rasa diluwih, aja pepeka sirasun

kongkon lolosana otot banyune mungsuhku kabeh, elingna

utawa ilangna sedyanane anggone memungsuh karo ingsun

iki, nglemprek keder larut saparan-paran ninggal paprang-

an kersaning Allah. Lakune patigeni 3 dina 3 bengi, wiwite

dina Setu Kliwon. Mantra diwaca sajroning peperangan.

6. Mantra Nelukake Mungsuh

Heh satruku si jabang bayi (diarani jenenge), ingsun

wus weruh ajal kamulanira, asalira sukma tunggal, tunggal

rasa, tunggal ilatku, kaya baya ngangsar raiku, gajah meta

awakku, macan nggero swaraku, banteng ketaton tandang-

ku, jahulante nggraut nyawamu, tanpa tenggok tanpa sirah

yen mbregagah, lah tundhuka bae, ya wis kasur sari

jinebadan, yen sira tunduk maring aku, tundhuk rasane

tunggal. Lakune pasa 21 dina, mangane sapisan jam 12

bengi, mutih 3 dina 3 bengi lan patigeni sadina sawengi,

wiwite dina Rebo Kliwon. Mantra diwaca yen ketemu

mungsuhe.

81

7. Mantra Pralambang Dhiri

Ingsun muja pupujaningsun, sarining bumi,

sarining banyu, sarining angin, ingsun racut dadi salira

tunggal, amora kumandhang suwaraningsun, manjinga

cahyaningsun, dadia paninggalingsun, daya pangrungu-

ningsun, lepas panggandaningsun, rame wicaraningsun, ya

ingsun manungsa sajati, gustine manungsa kabeh, rep sirep

tan ana wani maringsun. Lakune ngebleng 3 dina 3 bengi,

wiwite ing dina Setu Kliwon. Mantra diwaca yen adhep-

adhepan lan mungsuh, utawa yen kumpulan lan wong akeh.

8. Mantra Pamikat Dhiri

―Bismillahir rahmanir rahim, sajatine sariraning-

sun, sirining bapa aksara, sarining ibu pertiwi, sarining

semarabumi, sarining srengenge, sarining rembulan,

sarining lintang, sarining angin, sarining geni, sarining

banyu, ingsun nganggo sandangan roh ilapi, jroning roh

ilapi cahyaningsun kang pinuji, ingsun nganggo sandangan

suksma nyawa, jroning suksma nyawa, napasingsun kang

landhepe pitung panyukur, awor jatining paningalingsun,

pangrunguningsun, panggandaningsun kang sun puja lan

swaraningsun kemput ngideri buwana, teka kedep teka

sirep wong sajagad kabeh. Lakune mutih 3 dina 3 bengi,

nglowong 3 dina 3 bengi, wiwite dina Rebo Pon. Mantra

diwaca yen adhep-adhepan lan mungsuh utawa yen campuh

perang, utawa ana babaya pakewuh.

82

9. Mantra Prabawa

―Bismillahir rahmanir rahim, ka adama sumingkir

kaolah wis ana kene, kul ndhekukul si jabangbayine..........

(disebutake jenege) kaya kebo dhungkul tanpa bahya, si

dhungkul anggaru maluku pasawahanku.‖ Lakune ngebleng

7 dina 7 bengi, wiwite dina Rebo Pon. Mantra diwaca yen

wis adhep-adhepan lan yen lawane yen ngrembug prakara

negaralan wong manca, utawa yen sowan ratu.

10. Mantra Tukar Wicara

Ora nekuk-nekuk ilatku, nanging nekuk ilat lan

pikire si......... (disebutake jenege lawane tukar bicara),

kodenga kablinger ilang pikire, wel-welan ucape, cep

meneng lambe panatri. Lakune mutih 7 dina 7 bengi

patigeni sadina sawengi, wiwite dina Selasa Kliwon. Mantra

diwaca yen wus adu arep, pamacane mung kabatin bae karo

nekuk ilate dewe.

11. Mantra Senggara Macan

Ana kedawang miber ing tawang alat-alat, macan

sewu ing mripatku, macan putih ing dhadhaku, gelap

ngampar suwaraku, durga mendhak kala mendhak, teka

kedhep teka wedi, teka asih mungsuhku, kodheng madhep

manut sakarepku karsaning Allah. Lakune mutih 3 dina 3

bengi lan patigeni sadina sawengi, wiwite dina Jumuah

83

Pahing. Mantra diwaca yen wis adhep-adhepan lan

mungsuh.

12. Mantra Panglereman

Yen ana ing dalan begal durjana. Suksma nuksma,

nyawa sirna, roh njendhel, rep sirep si jabang bayi katrem

ing dlamakanku. Mantra kawaca sapisan karo mandeng

mripate wong kang arep mbegal. Lakune pasa 21 dina

mangane saben jam 12 bengi lan patigeni sadina sawengi,

wiwite dina Rebo Pon.

13. Mantra Kateguhan

Kaki kala ingsun njaluk klambi watu, watu sakilan

sageblog kandele, rasukan ing badanku, sakehing braja

dawa tuna, cendhak, cupet tiba ing ngarepku, saka

karsaning Allah. Lakune nglowong 3 dina 3 bengi, wiwite

dian Rebo Pon. Mantra diwaca yen ana babaya pakewuh

utawa yen maju perang.

14. Mantra Arya Bangah

Wiyak bumi wiyak langit, jagad suwung tan ana

babaya, ingsun sajatining manungsa anukarasa bissekulem

tan ana babayane, tikur, tikur, tekane, mulihe ndhungkul.

Lakune mutih 3 dina 3 bengi lan patigeni sadina sawengi,

wiwite dina Rebo Pon. Mantra diwaca yen ana babaya, utwa

yen lemebu ing alas, sato galak padha wedi.

84

1. Doa Derajat Kecantikan

Pitung dina ora kena mundur. Iki dongane,

―Darajatku kang durung diparengake, Gusti Allah maring-

ake saka lor, wetan kidul, kulon, ngisor, duwur, wus

katampan dening Roh rabani.‖

2. Lakune Wong Nandur Pari

Wiwid jaman Budha kudu wiwiti ana padon, sarta

njupuk jenjeming dina naptu 10 iya nandur 10 ceblokan,

sajen lan rampe uga ana lan iki dongane, ―Angin-angin

amun-amun endheng-endheng isining beras aos-aos saking

karsaning Allah.‖

3. Panyuwunan Sabarang Kareb

Lakune adus esuk jam 4, iki lekase: Yen dina Akad

dongane, ―Niyat ingsung adus ing dina akad, gumilang-

gilang ana usul khatap, tes-tumetes langkung badan turap

prelu krana Allah.‖ Yen dina Senin dongane, ―Niyat ingsun

adus dina Senin, arum candhana matsirsani, ingsun

nampani tingal langkung nur zat Allah prelu krana Allah.‖

Yen dina Selasa dongane, ―Niyat ingsun adus ingdina

Selasa, iki kencane mulya, metu saking akhadiyat

Muhammad, mulya ana donya mulya ana akhirat, prelu

krana Allah.‖

Yen dina Rebo dongane, ―Niyat ingsun adus ing

dina Rebo, roh tan arah samodraning badan iya ingsun

85

angumpulake banyu pitu, lakune banyu kang abang banyu

rahmat,kangireng banyu nugraha, kang kuning banyu

nikmat, kang dadu banyu suwarga, kang biru banyu urip,

urip donya urip akherat, prelu krana Allah.‖ Yen dina Kemis

dongane, ―Niyatingsun adus ing dina Kemis, ing banyu

kama-wulan, ancik-ancik watu gilang, alungguh ing sela

kembar, ingsun angumpulake sadulurku papat lima badan,

nem roh, pitu nyawa, prelu krana Allah.‖ Yen dina Jumuah

dongane, ―Niyatingsun adus ing dina Jumuah, oh, Allah

manikku, Muhammad badanku, ingsun angrawati sakehing

cahya, cahyaning lintang, cahyaning rembulan, cahyaning

srengenge, mustikaning Allah ana kene, iya aku kang

jumeneng roh idhafi kang ngratoni sakalir, prelu krana

Allah.‖

4. Pujine Wong Arep Turu

Panyuwun sabarang. Iki dongane, Bismillahir

rahmanir rahim, kawaca ping 33. Ya subhanallah, kawaca

ping 33. Ya arhamar rahimin kawaca ping 33.

5. Panyuwun Sabarang

Jam 4 esuk diapalke madhep mangaten ping 33,

mangidul ping 33, mangulon ping 33, mangalor ping 33.

Lakune ora mangan iwak, uyah, sega, iki dongane,

―Bismillahir rahmanir rahim, subkhanallah ilaha qulli sai in

qodir, wahuwa lisuhu, wahuwa sirruhu, wahuwa rijkuhu

86

birahmatika ya arhamarrahimiin.‖ Saben esuk madhep

mangetan, sore madhep mangulon, iki dongane, ―Sallallahu

alaihi wasalam.‖ Ping 3. Gusti kang Maha Agung Gusti Kang

maha Luhur, Gusti Kang Maha Suci Gusti Allah kaparenga

panyuwun kawula diedanana dening kun.‖ Kawaca ping 3.

Marang tabik-tabik Kanjeng Sunan Kalijaga, kanggo

sabarang karep, lakune mutih pitung dina, yen mangan

ketan 40 dina, yen wayah bengi ana jaba sarana dedupa

macaa ―Kun payakun nyuwun saking kun.‖ Tumuli

ngapalake Allahumma sirhu ping 100, Sifat Allahu ping

100, Wujud Allahu ping 100, Darajad Allahu ping 100,

Rijquhu ping 100.

Lakune mangan gandum lan wedang bubuk pitung

dina ana jaba, sawengi adus ping telu, yen arep adus mawa

dedupa sarta pujine, ―Dremba muha keblat lamat-lamat

ngetoko aku, Kyai Sumberagung kula nyuwun rejeki kang

agung. Kun payakun, nyuwun ........ saking kun. Allahumma

mangkurat ya aku kang sinung kuwat, ya aku kang sinung

darajat, ya aku kang sinung supangat, ya aku kang sinung

sugih donya, sugih saking karsane Allah.‖

Marang leluhure dhewe iki dongane, ―Sirkumaya,

kumayane simbah (eyang saliyan kang sumare ana

pasareyan ........... or katon, kang katon sajatining urip, urip

tan kenane pati, langgeng tan kenane owah, mulya ora

kewoworan, kula nyuwun ...........‖ Lakune pasa Senin

Kemis, iki dongane, ―Wit iman babakan mertokhim, pang

87

kalima pancer, gedhong dina Senin Kemis woh paji lan

dhikir Allah sing dak sedya, tek gampang, gampang teka

ngarepanku, teka saking karsane Allah.‖

7. Pangrereman

Iki dongane, ―Kitab agung isine aksara ba‘, karepe

sing ala si anu ba‘, ba‘ saking karsane Allah, Allahumma ba‘

pasar, sawan wurung ba‘ bubar ba‘, warung ba‘ bubar ba‘.‖

Lakune ngebleng telung dina telung bengi, iki dongane,

―Baga-baga, kaprusa-kaprusa, sira baga ratu tunggal anut

sapa sira, yen ora anut aku.‖

Lakune kungkum ana ing kali, iki dongane, ―Kang

Maha Suci, kang jumeneng ing Gunungjati kaparenga

panyuwun kula. Kakang kawah kang rumeksa awak-mami,

tekakna sedyaku, adhi ari-ari kang mayungi ngenakake

pangarah, ponah getih ing rahina wengi rewangan aku,

Allah kang kuwasa, kaparenga panyuwun kula, puser

turutana panjalukku, papat kalima pancer kang lair bareng

sadinaa sing metu marga ina, sing ora metu marga ina sing

karawatan, kumpul ingsun ora pisah.‖

4. Mantra Kutug

―Sih lumintu, rejeki aja towong, jisim alus, roh alus

kang ikal bakal, kang cikal bakal ing ......., ingsun asung

dhahar ganda arum,ingsun ngobong dupa, menyan madu,

areng sejati, areng menyan kayu manuk putih, kukusing

88

menyan sira sun-kongkon marang swarga, seger kuwarasan

padhanging ati, aja sira nyimpang marga, yen nyimpang

marga kena supatane Kanjeng Nabi Adam, Gusti Allah,

kawula nyuwun wilujeng.―

5. Mantra Manawa Sore

―Aja sira turu sore, wong anom akeh dosane, tengah

wengi anglilira, nyebut pangeranira, ana dewa ngilang

jagad, nggawa bokor kencana isi sandang kalawan pangan,

paringna kang muji amuji rina wengi, yen lara oleha tamba,

tambanana muksa ilang godhogen kuwali olah, genenana

kayu tawa, kekepana Waliullah, lailahailallahu Muhammad

Rasulullah.‖

6. Mantra Mapage Tanggal

―Ajiku puspanegara, pang pradapa sasi, godhong

widadari, kembang lintang, woh srengenge, sira bagea

mbok lara tanggal, sak tuwa-tuwaku, isih tuwa kowe, sa

enom-enommu, isih enom aku.‖

7. Mantra Sorabat

―Ingsun amuji puji donga serabat, simbar

Muhammad pinayungan Nabi Dawud, andhawut sakehing

lara, andhawut sakehing dosa, andhawut sakehing rindu,

rindu aja ngrindu marang badanku, aja ngrindu anak

89

putuku, sinampar bubar, sinandung lebur, musna ilang dadi

banyu kungkulan dongaku serabat.

8. Mandekake Ujar

Lamun arep mandi ujare, iki ismune, ―Sumulung

jatine tunggal, nu tunggal ora karsa, nu tunggal ora

ngandika.‖ Dongane wong srengen, darapon kamitengge-

ngen kang den srengeni, iki dongane, ―Lamaujuda illallah.‖

Winaca kaping telu.

9. Upas-upasan

Iki ismune kang winaca, ―Rasa jati rasa Allah, mulya

jati mulya Allah, e ana upase, sarwi dariji tengah punika

kadumukaken kangbadhe dhinahar.‖ ―Ya rahum ya rahuna

ya rihanun ya alimun.‖

10. Nyuwun Pangapura Ing Allah

Demikianlah bunyi mantranya, ―Allahumma ghfir

lana dhunubana wakaffir lana ansyiatina watawa fana ma‘al

abror.‖

11. Pangracutan Jasad Sunan Kalijaga

―Badaningsun jasmani wus suci, ingsun gawa

maring kaanan jati tanpa jalaran pati bisa mulya sampurna

urip salawase, ana ing alam donya ingsun urip tumekane

alam kaanan jati ingsun urip, saka kodrat iradatingsun,

90

dadi saciptaningsun, ana sasedyaningsun, teka sakarsa-

ningsun.‖

12. Donga Atine Sami An‘am

Sapa-sapa kang maca ayat iki, nalikane ana wong

kang kepanjingan setan utawa wong klenger, nuli

diwacakake surat An‘am kaping sawelas ana ing kupinge.

Iki dongane, ―Bismillahir rahmanir rahim. Lakod jaakum

rosulum min anfusikum azierun ma anittum kharisun

alikum bilmukminiina roufurrahim fa‘in tawallau fakul

khasbiyallallahu lailaha illa huwa alaihi tawakkaltu wa

huwa robul arsiel adhim.‖

13. Donga Gaib Sulaiman

Donga gaib Sulaiman iki paedhahe diwaca nalikane

arep turu, terus metu saka omah ana plataran madhep

mangulon, diwaca saben jam 12 bengi kaping sapisan,

nganti tekan patang puluh dina suwene, nuli sidhakep

kanthi nyenyuwun maring Allah, mangka wong iku

pinaringan rejeki kang ajeg, iki dongane, ―Allahumma in

dakhola fi surati Sulaiman,wa mulki sulaiman, mina

masyriki wal maghribi Idhatihi wa sifatihi wa quwatihi wa

Jibrila wa Mikala Israfila wa Izroila wa mulki Sulaiman,

minal masyriki wal maghribi jinnan wa tasan wa riekhan wa

ghomanan wa sallama taslieman kasiran jalla jallaluh ya

91

iblies-sa‘tani fitdhulumati wannur rabana takabal Sulaiman

birahmatika ya arhamarrahimien.‖

14. Donga Nurbuat

Donga nurbuat iki dongan kang agung paedahe,

wanaca ginawe katemu karo wong luhur, utawa caos maring

wong gedhe-gedhe utawa panggedhe supaya kinasih-

an.Wong kang duwe sedya ala ora tumeka. Tur maneh bisa

nambahae rejeki. Iki dongane, ―Allahumma disultanil

radhiem, wadhil mannil kadhiem wa dhiewajhikal karim,

wa waliyil kalimatief wa dakwatil mustajabi akilil khasani

min anfusil khakki alnul wal jinni, wasayatini waiyiyakadu

ladhiena kafaru liyuzlikunaka biabsarihim lamma

smiuddikra wa yakulluna innahu la mainun wa-ma huwa

illa mana alwahdud dhul arsil majied. Touwil umuri wa

sahihk jasadi waqdi khajati, wagsir amwali,wa auladi wa

khabibun linnasi ajma‘in, wataba adol adawautu min bani

Adam mankadna khayyan wa yakhikkol kaulu alal kafirin.

Innaka ala kulli syain kodier.Subkhanaka rabika robil izzati

amma yasifun wa salamun alal mursalin wal khamdulillahi

robil alamien.‖

15. Donga Jabur

Donga jabur iki agung paedahe, winaca lamun arep

lelungan utawa arep mlebu ana ingpanggonan kang sangar

utawa angker kang ora tau dirambah manusa, nuli maca

92

dongan iki, aja nganti putus-putus nganti teka ngliwati

panggonan iku, iki dongane,

―Allahumma anta awwalu, falaisa qobalaka syaiun

wa antaakhiru fawa antal aliemu innaka ala kulli syiin

aliem, wa antal qodiru innaka ala kulli syaiin qodhier, wala

yaudhuhu ibdhuhuma wahuwal aliyul adhiem fallahu

khoirunkhhafidon min kullii syaitonin maried wa khafidna

min kulli syaitonirrojiem, wa khifdon dhalika takdirul azizil

aliem, innahu huwa yaubdiu wa yu‘it, wa huwal ghofururul

wadhut, dul arsil majied fak alullimayuried, illahi wakhtiem

lana bikhoiri waya khaeran naasirien.‖

1. Donga Kanjeng Nabi

Wus ngandika Kanjeng Nabi Muhammad SAW

sapa-sapa kang maca kalimah iki, mangka wong iku ora

kena bilahi wiwit saka esuk saengga sore, nuli maca ayat iki

sadina sapisan, esuk utawa sore, iki dongane, ―Bismillahir

rahmanir rahim. Allahumma anta robi lailaha illa anta

alaika tawakkaltu wa anta robul arsiel adhiem, la khaula

wala kuwwata illa billahi aliyil adhiem, masya allah ka-ana

wamalam yasyak lam yakun. Ashadu annalloha alaa kulli

syaiin qodhier, wa annalloha qod akhato biqulli syaiin ilma

wa akhso kulla syaiin adada wa anna sa‘ata atitun la roiba

fiiha wa annallahu yab‘asu man fil qubur. Allahumma inni

audgubika min syarri nafsi wa min syarri wa min kuli

dhaabatin anta akhidun binasiyati. Inna robi alla syiratim

93

mustakiem wa anta alaa kulli syain khafid. Inna

waliyyalllahu ladhie nazzalal kitaaba wa huwa yatawallas

solikhien, fain tawallau fakul khasbiyallahu lailaha illa

huwaallahi tawakkaltu wahuwa rabul arsil adhiem.‖

2. Wasiyate Imam Sofyan Sori

Miturut ujare Imam Sofyan Sori, sapa-sapa kang

nduweni pikiran kang rupek utawa ruwed, olehe golek

sandhang pangan utawa liya-liyane karep kang sumedya

becik, mangka wong iku nuli macaa donga iki saben-saben

arep mapan turu, kalawan menganggo kang sarwo resik lan

pikiran kang tetep winaca ambal kaping pitu terus 7 dina

lawase, olehe maca madhep mangulon, wanci jam 12 bengi

kalawan lunggguh kang jejeg, insya Allah pinaringan

gangsar enggone golek sandhang pangan. Iki ismune kang

winaca:

―Allahumma ya robana kulli sai‘in wa ilaha kulli

sai‘in wa waliya kulli sai‘in,wa khuliko kulli sai‘in wa khoira

kulli sai‘in wa alimu bikulli sai‘in wal khakimu ala kulli

sai‘in wal kohiru al akulli si‘in, qudrotuka ala kulli sai‘in,

faghfirli kulla sai‘in wakdhi li kula sai‘in wahabli kulla sai‘in

walatas alni an sai‘in, wa tukha sibni bisa‘in, birahmatika

ya arhamarrahimien.‖

94

3. Puji Teguh Rahayu

Iki pujine yen mangan tawa sakalir, teguh rahayu,

sakawit yen lepas arep madhang, muji mangkene, ―Mung

Allah anglilanana, anggen kula mangan kamurahaning

Allah.‖ Nunten njimpit sekul dinenek sakiwaning ajang,

nyebut, ―Maelkat Kiraman Katibin, ayo mangan.‖ Lajeng

njimpit sekul malih, dinenek satengahing ajang , nyebut,

―Sadulur kang maratapa ayo mangan.‖

Lajeng muluk sekul thok rambah kaping telu,

punika pujine, ―Bis teguh, mil luput, lah ora katon.‖ Lajeng

dhahar, muji punika, ―Bismillahi aal rohmani al rahim.‖ Yen

ngunjuk punika pujine, ―Allah alhamdulillahi robil

alamien.‖

4. Pasucen Yen Adus

Iki sucen yen adus, supaya manther cahayane. Iki

pujine kang winaca, ―Murub-murub zatullah, metu murub

Rasulullah, Allah mobah sajroning urip. Allah mosik

sajroning rasa. Ya rasahing Allah Kang Kuwasa.‖

5. Pasucen Toya Sahadat

Iki pasucen toya sahadat mili langgeng, kanggone

yen adus tangi turu, utawa yen arep turu, iki pujine,

―Tanjebing sampurnaning badan, ning sejati tanjebing kulit,

ning kempet lungguh ing daging, nurullah lungguh ing

bebalungan pangusen khak lungguh ing sungsum.

95

6. Pujine Yen Kepegatan Tresna

Yen kepegatan tresna, iki pujine, Sang Teng malang

atikel, dosaku sawidak windu, sanapura dening Allah.

7. Aji Yuwana Mimis Sumingkir

Iki ajiyuwana mimis sumingkir, lakune mutih

pitung dina, lakune pati geni sadina sawengi. Iki ajine kang

winaca: ―Prucut sira sumingkirra, sadulurmu Ki Ageng

Bakal ana kene.

8. Tawa Ing Geni

Iki aji tawa ing geni, lakune pas pitung dina kaya

dene pasa ing sasi romadhon, banjur nglowong sadina

sawengi.

9. Ismu Akeh Paedahe

Iki ismu akeh paedahe, lakune manas pitung dina

saben esuk. Iki ismune, ―Allahumma, ya ratu wailaihi,

ajemangin, zat-zat ing ratu sipating ratu, apa ngalu illahi

ing ratu, sarengat imaman ratu, tarekat hakikat yen

makripat yahu ratu. Iki uga ismu akeh paedahe, lakune

manas (dhede) pitung dina (saben esuk), yen bisa api-apia

maju pat le sa-tasta, den enggoni ing tengah, pitung kesuk,

tanpa manas. Iki isune, ―Man waliyuppa wadalduna khak,

nur jati putih, sang langlangbuwana hu sadege , la la la.‖

96

10. Donga Kayu Angker

Iki dongane kang winaca. ―Bismillahir rahmanir

rahim, kulatu sungsang, rajah iman kedhungku, Jabarail

tetekenku, jungkat Nabi Muhammad, la ilaha illallah

Muhammadur Rasululah.―

11. Panawar Antup Sakalir

Iki panawar antup-antup sakalir, lakune mutih

pitung dina, banjur nglowong sadina sawengi, yen ora kelar

mutih kaya ing dhuwur mau, kena mung mutih saben

Jum‘at, antuk pitung Jum‘at banjur nglowong sadina

sawengi, kasiyate sabarang antup ora tumama, lan kena den

anggo nambani wong kena antup sarana ingidonan. Iki

kang winaca, ―Allahumma Sang Kalika ing sabrang, tuwuh

ing lautan, tawanen apase si Ceketit, tawanen upase si

Klabang Kalajengking kabeh, tawi tawa tawar, ketiban

iduku putih.‖

12. Mantra Betah Luwe

―Ajiku si ceplukan, kedhondhong isine madu,

guruku salenglengan dom, usuku sadami aking, set set

singset saking karsaning Allah.‖

97

13. Mantra Betah Melek

―Biyung, aku njaluk padhang, aku ora duwe,

bapakmu sing duwe, byar padhang mencorong saking

karsaning Allah.‖

14. Mantra Padhang Atine

Ati-ati katengi aku njaluk padhanging ati, ora ana

padhanga ati, damar kurung cumanthel pulunging ati, byar

padhang wus oleh padhang ati saking karsaning Allah.

1. Nukat Gaib

―Bismillahir rahmanir rahim. Ingsun wis tanpa

paningkahe rasa jati, kaanane Pangeran.‖

2. Adus Sawise Ngarap Sari

―Bismillahir rahmanir rahim. Nawaitu niyat ingsun

adus ke, rah keli sari bali, sunatan lillahi ta‘ala, sah badanku

sinampurna, tumibaa bumi suka, banyu sukci, aslupa

marang badan sariraku, kembang pudhak, sategal, kembang

cepaka sedheng, aslupa marang badan sariraku. Allahu

Akbar X 3, banjur ndamu banyu kaping 3.

3. Gangsar Golek Sandhang Pangan

Demikianlah bunyi mantranya, ―Allahumma puji

langgeng, suksma mulya, kumpula badan sarira, oleha

rahmating Allah, oleha marga sing gampang, gampang

98

saking karsaning Allah, lailaha illallah Muhammad

Rasulullah.‖

4. Nyuwuk Bocah Lara

Demikianlah bunyi mantranya, ―Wewe putih

gunung sembung, gandruwo wulune bumi, Sang Prabu

abala yaksa, nir mala bayane ngati, aja wuruk sudi karya,

suwuken anakku iki.‖

5. Manawa Kapapag Layon

―Assalamu‘alaikum, alaikum salam, sawan wangkel

sampar wangke, tali wangkel, lepasa parane, jembara

kubure, diakua umating Allah, oleha rahmating Pangeran,

kang lungo slamet.‖

6. Ora Kambah Durjana

Saranane pojoking omah papat didodoki jambe

jebug siji-siji. Demikianlah bunyi mantranya, ―Singa barong

kang mbau reksa ana ing Lodhaya, ingsun njaluk tulung

reksanen papan pomahanku yen ana kang ganggu gawe sira

balekna.‖ Kacarita yen katrima ing papan pakarangan kono

katon wewayangane macan putih nggero.

7. Nglerepake Wong Nepsu

Demikianlah bunyi mantranya, ―Jro mripatmu

Muhammad, jrone mripatku Allah, jrone mripatmu Allah,

99

jrone mripatku Muhammad.‖ Sarana kapandeng tengahing

manik.

8. Dina Neptu 40

Lamun bakal ora kekurangan rezeki, lakune sesirik

ora mangan sega ing dalem telung dina neptu 40 rambah

kaping 6 demikianlah bunyi mantranya, ―Ya Allah ya

Ghafur ya Allah ya Karim.‖

9. Mantra Pinaringan Rejeki

Sandhungane sok pinaringan rejeki kang agung,

lakune puwasa telung dina neptu 40 rambah kaping 6,

pungkasane ngebleng sadina sawengi, demikianlah bunyi

mantranya, ―Ya fattah ya ngalim, ya rojak ya karim ―

Wong tua ora kena dadi mungsuhe anak. Orang tua

tidak boleh menjadi musuhnya anak. Parents shall not

make of themselves the enemy of their children. Golek

jodoh aja mung mburu indahing warna.Senajan ayu utawa

bagus, yen atine durjana, ora wurung disirik liyan. Mencari

jodih jangan haya memburu tampang yang cantik rupawan.

Biarpun cantik atau tampan kalau hatinya jahat, pasti

dijauhi orang. When looking for a wife are a husbad do not

seek beautiful appearance only. Beautiful or handsome one

may be, if one has an evil heart others will keep away (Siti

100

Hardiyati, 1991: 13-14). Ungkapan tersebut berguna untuk

menjadi tuntunan kehidupan sehari-hari.

101

BAB V

Ramalan Dan Astrologi

A. Ilmu Laduni

Ramalan adalah wejangan yang disampaikan oleh

pujangga waskita, berpengetahuan ilmu laduni (dianuge-

rahi pengetahuan langsung datang dari Tuhan) sehingga

dapat merala dengan tepat berbagai peristiwa-peristiwa

yang akan terjadi pada masa mendatang dan belum terjadi

pada saat menyusun naskah itu (+ 1850). Ramalan tersebut

adalah sebagai berikut : Ramalan pertama mengandung

prakondisi globalisasi dunia, pendudukan Jepang, perang

kemerdekaan, pertempuran Ambarawa, dan tercapainya

kemerdekaan Indonesia lewat KMB pada tanggal 27

Desember 1949.

Ramalan kedua (pascakemerdekaan) ialah peru-

bahan politik dahsyat yang akan terjadi pada tahun 2074

Saka, 100 tahun setelah Perang Sabil, ternyata adalah

perubahan politik yang dahsyat yang terjadi pada tahun

1998, yaitu 90 tahun setelah Kebangkitan Nasional 1908,

dan turunnya Soeharto sebagai Presiden serta dimulainya

era reformasi yang akan membangun masyarakat yang adil

102

dan makmur sesuai dengan cita-cita Pancasila dan UUD

1945 (Yoedoprawiro, 2000).

Terlepas dari sumber kisah yang mana, serta siapa

sebenarnya penyusun ramalan-ramalan itu, sosok Ratu Adil

yang digambarkan di dalam berbagai versi di dalam kisah

ramalan itu memiliki kemiripan ciri-ciri yang sangat tepat

jika hal itu dimiliki oleh seorang pemimpin bangsa yang

sudah berada di ambang kehancuran ini. Husein

Djayadiningrat mengatakan, bagi orang Jawa, menunjuk

pada peristiwa-peristiwa penting dalam bentuk ramalan

atau mimpi adalah untuk menjelaskan atau memberikan

pembenaran atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar

perkembangan yang biasa; juga untuk memberikan kesan

yang mendalam. Karena itu ramalan-ramalan mengenai

peristiwa yang akan terjadi tampil tidak lama setelah

kejadiannya sendiri (Swantoro, 2000).

Suatu contoh, dalam Kitab Pararaton. Ken Arok

memperistri Ken Dedes, karena wanita itu diramalkan

sebagai ardhanariswari, seorang perempuan yang gua

garbanya bersinar, suatu pertanda bahwa ia adalah paro

perempuan dari satu kesatuan Siwa Durga. Siapapun yang

berhasil memperistri ardhanariswari akan menurunkan

raja-raja. Maka di kemudian hari, kita ketahui bahwa Ken

Arok telah menurunkan sebagian raja-raja Singosari,

termasuk Raden Wijaya, pendiri Majapahit (1294-1309).

103

Contoh lagi, dalam Babad Tanah Jawi. Ketika

Panembahan Senopati pendiri Dinasti Mataram sedang

berupaya melepaskan diri dari kekuasaan Pajang, pada

suatu malam ia pergi ke Lipuro dan tidur di atas sebuah

batu datar. Di tempat itulah ia dijumpai oleh Ki Juru

Martani, guru spiritualnya. Ia dibangunkan. Ketika itu pula

sebuah bintang turun di dekat kepalanya. Maka terjadilah

dialog. Si bintang berucap, keinginan Senopati akan

diluluskan oleh Hyang Maha Kuasa. Ia akan memerintah

Mataram, demikian pula anak dan cucunya. Akan tetapi

buyutnya akan menjadi raja terakhir Mataram. Kerajaannya

akan ditimpa bencana. Buyut itu tidak lain adalah

Mangkurat I, putra Sultan Agung. Ia terpaksa meninggal-

kan Mataram pada 28 Juni 1677, akibat pemberontakan

Trunajaya. Setelah peristiwa itu, kraton dipindahkan oleh

Mangkurat II ke Wonokerto yang kemudian diubah

namanya menjadi Kartosuro (Swantoro, 2000).

Babad Tanah Jawi juga meriwayatkan Pangeran

Pekik, putra Pangeran Surabaya melakukan perjalanan ke

Mataram setelah Surabaya ditaklukkan oleh Sultan Agung

pada tahun 1625. Pada suatu malam di pemakaman Butuh,

ia mendengar suara yang mengatakan cucunya akan

menjadi raja dan bertahta di Wonokerto. Cucu Pangeran

Pekik itu adalah Mangkurat II. Ramalan tersebut sekaligus

juga merupakan pembenaran dipilihnya Wonokerto sebagai

ibukota baru Kerajaan Mataram.

104

B. Ratu Adil

Sedangkan mitos tidak bisa dipisahkan dalam

sejarah hidup orang Jawa. Kisah Kanjeng Ratu Kidul

misalnya, yang istananya berada di Laut Selatan, dan

menjadi permaisuri raja-raja Jawa, umumnya dipandang

sebagai mitos. Pengertian tersebut bagi kalangan masyara-

kat Jawa dianggab benar-benar ada dan terjadi. Banyak

yang menunjukkan bukti-bukti pengalaman pribadi. Bagi

mereka Kanjeng Ratu Kidul dianggap benar-benar

mewujud.

Harapan bakal tampilnya Ratu Adil untuk membe-

baskan masyarakat dari situasi krisis yang berkepanjangan,

bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk mitos (Swantoro,

2000). Harapan mesianistik itu mengalir langsung dari ide

mengenai fungsi raja, atau Ratu Adil sebagai pembaharu

dan penyelenggara tertib kosmik. Dukungan yang sangat

besar terhadap Pangeran Diponegoro pada tahun 1825-

1830, yang ―memitoskan diri‖ sebagai herucakra, sebutan

untuk Ratu Adil, tidak lepas dari kuatnya harapan

mesianistik tersebut. Demikian pula sama halnya dengan

harapan akan tampilnya satria piningit pada masa

sekarang ini, untuk membebaskan dan mencerahkan

bangsa Indonesia.

Dari sebutannya, Ratu Adil dapat ditafsirkan

sebagai seorang yang mampu menempatkan sesuatu pada

tempatnya. Ratu Adil juga pasti mampu menjadi pelindung

105

atau pengayom dari seluruh rakyat tanpa membedakan

golongan, tanpa keberfihakan kecuali hanya berfihak

kepada kebenaran hakiki yang bersifat universal. Dengan

ciri ini maka sulitlah kiranya jika Ratu Adil ini berasal dari

salah satu kelompok kepentingan yang dibesarkan oleh

kelompok kepentingan itu. Hal ini wajar karena seorang

yang dibesarkan oleh suatu partai, tidaklah berlebihan jika

sudah berkuasa juga akan memberikan balas budi kepada

partai yang membesarkannya. Apa lagi jika partai itu juga

dibesarkan oleh sekelompok pengusaha atau sekelompok

kepentingan, maka pasti akan terjadi proses balas budi

secara berantai yang merupakan pintu terjadinya kolusi,

manipulasi, korupsi, dan nepotisme.

Di dalam ramalan Joyoboyo, Ratu Adil juga disebut

sebagai Ratu Amisan. Sementara orang menafsirkan Ratu

Amisan adalah sosok pemimpin pertama, sehingga ada

yang menafsirkan bahwa Ratu Amisan itu adalah presiden

pertama. Namun tafsir itu kandas ketika banyak orang

mulai kecewa dengan presiden pertama.

Kata amisan sebenarnya lebih tepat ditafsirkan

sebagai pemimpin yang benar-benar baru tampil, sehingga

belum terkontaminasi dengan sistem percaturan bisnis

politik yang sarat dengan berbagai siasat kotor demi

kepentingan kelompok dan kekuasaan. Di dalam bagian

lain ramalan juga disebutkan lagi adanya ciri bahwa Ratu

Adil itu adalah satriya piningit (ksatria yang tersembunyi)

106

yang dapat ditafsirkan sebagai tokoh baru bagaikan tunjung

putih semune pudhak kasungsang/pudhak sinumpet

(tokoh yang masih bersih, yang keindahan perangainya

bagaikan bunga teratai putih yang wanginya seperti bunga

pandan yang masih tersembunyi).

Kata amisan dapat pula diartikan sekali (sepisan)

memimpin. Oleh karena itu kata amisan mengandung

makna bahwa sang ratu adil itu bukan sosok yang tamak

atau haus akan kekuasaan. Ciri ini mengisyaratkan bahwa

seorang ratu adil itu tidak akan berjuang menghalalkan

berbagai cara hanya untuk sekedar mempertahankan atau

melanggengkan kekuasaannya.

C. Pemimpin Kharismatik

Pemimpin kharismatik dalam budaya Jawa kerap

dibayangkan sebagai tokoh Ratu Adil. Ratu Adil itu juga

seorang yang mampu sebagai manajer profesional negara.

Ciri ini nampaknya yang sering disebut-sebut sebagai

natanagara. Natanagara itu bermakna menata, mengatur,

mengelola negara secara adil dan bertanggungjawab.

Natanagara bukan berarti menguasai negara, apalagi kalau

kekuasaannya itu hanya untuk mengambil keuntungan dari

negara demi partai, kelompok kepentingan, atau para

pengusaha yang mendanai sang pemimpin atau partainya

itu. Natanagara itu adalah sosok yang mampu mengelola,

menyelaraskan, serta mempersatukan keberagaman go-

107

longan, kepentingan dan tingkatan sosial masyarakat

sehingga semua kebijakannya akan memuaskan semua

lapisan, sehingga dapat dikatakan bahwa wadya punggawa

sujud sadaya, tur padha rena prentahe ( semua fihak taat

serta merasa puas terhadap kebijakannya). Dengan

demikian secara nalar sulitlah kiranya jika seorang Ratu

Adil ini masih terlibat secara langsung di dalam salah satu

partai, apa lagi menjadi ketua atau penanggungjawab akan

jatuh bangunnya partai itu.

Kepiawaiannya mengelola negara menyebabkan

semua rakyat tidak merasa terperas tenaganya dengan

beban-beban pajak, yang di dalam Serat Joyoboyo Musarar

juga disebutkan bahwa wong desa iku wedale kang duwe

pajek sewu pan sinuda dening narpati mung metu satus

dinar (orang desa/rakyat biasa yang berpenghasilan

terkena pajak seribu, diturunkan pajaknya oleh sang raja

menjadi seratus), bukan malah dinaikkan beban-bebannya

di satu fihak untuk menutup kerugian negara akibat orang

kota alias para konglomerat nakal. Semua kekayaan serta

potensi persada tanah air dikelola dengan baik oleh negara

untuk kemakmuran rakyat, bukan diprivatisasi demi kepen-

tingan konglomerat yang mau diajak saling bersepakat, dan

bukan pula untuk kepentingan asing yang dapat memberi-

kan restu memperkuat kekuasaannya.

Ratu Adil Natanegara tidak merasa malas dan juga

tidak terlalu bodoh ataupun ceroboh di dalam melakukan

108

pengelolaan negara secara profesional, sehingga tidaklah

mungkin menyewakan, menggadaikan, melelang atau men-

jual aset-aset negara demi komisi untuk kepentingan

pribadi, partai, kelompok kepentingan atau kroni-kroninya.

Salah satu versi ramalan menyebut Ratu Adil itu

dengan sebutan Herucakra yang berarti payung musti-

ka/lambang pengayoman, persaudaraan, serta pelayanan.

Sang Herucakra ini hanya berpenghasilan tujuh ribu reyal

per tahun. Penghasilan yang sangat terbatas ini mengisya-

ratkan bahwa sang Herucakra tidak mungkin menempuh

money politic untuk mencapai tahtanya.

Dari berbagai ciri yang tersebar di dalam berbagai

versi ramalan tersirat bahwa di dalam sosok Ratu Adil itu

bersemayam keterpaduan serta keselarasan jiwa atau ruh

panca pa manunggal (lima pa yang bersatu), yaitu

Pandita, Pangayom, Panata, Pamong, Pangreh (pendeta,

pelindung, manajer, pelayan, dan pemimpin).

Sebagai pendeta, seorang pemimpin harus bertakwa

kepada Tuhan Yang Mahaesa, jujur dan bersih dari moral,

sifat serta perilaku buruk. Sebagai pengayom, seorang

pemimpin harus mampu melindungi serta mengayomi

seluruh lapisan masyarakat. Sebagai manajer, seorang

pemimpin harus mampu mengelola negara. Sebagai

pelayan, seorang pemimpin harus mampu mengakomodasi-

kan kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Sebagai

109

pemimpin, seorang pemimpin harus memiliki kewibawaan

dan jiwa kepemimpinan yang baik.

110

BAB VI

Membahas Nasehat Keutamaan

A. Taat Beragama

Agama ageming aji

Agama pakaian raja.

Agama adalah dasar kekuasaan raja Jawa. Raja

memerintah berlandaskan agama. Maka para sultan dan

sunan Jawa bergelar Ngabdurrahman Sayidin Panata

Gama Khalifatullah. Agama menjadi pedoman hidup yang

tak ternilai. Rakyat atau kawula dasih di Jawa mengikuti

apa agama rajanya. Ketika Kerajaan Majapahit yang

berkuasa di Jawa, maka orang Jawa beragama Hindu-Buda,

sesuai agama rajanya. Namun, orang Jawa serta merta

memeluk agama Islam sejak Kerajaan Demak berdiri dan

diteruskan Kerajaan Pajang dan Mataram.

Aja dumeh ayu banjur kumayu.

Jangan mentang-mentang cantik lantas sok cantik.

111

Tidak baik memamerkan kecantikan tanpa

imbangan kemampuan lain, misalnya kepandaian dan

kesalehan. Wanita cantik apabila budi pekertinya yang baik,

akan luntur di mata lelaki. Kecantikan wanita akan luntur

di mata lelaki apabila tidak pandai bergaul dan tidak

terampil dalam ngadi busana ‗berdandan‘.

Aja dumeh bagus banjur gumagus.

Jangan mentang-mentang tampan lantas sok tampan.

Maknanya tampan boleh tapi sok tampan tidak

boleh karena berarti sombong, pamer, dan riya. Lelaki yang

tampan tetapi bodoh dan rendah perilakunya akan terlihat

kurang berwibawa di mata orang lain. Lelaki akan tampak

lebih tampan apabila memiliki derajat ‗kebangsawan‘,

pangkat ‗jabatan‘, dan semat ‗kekayaan‘.

Aja dumeh menang, banjur sewenang-wenang.

Jangan mentang-mentang menang lantas sewenang-

wenang.

Kemenangan atau kekuasaan itu untuk kebaikan.

Sewenang-wenang pada yang lemah dan kalah akan

membuat diri kita jatuh. Kemenangan bukan berarti

kekuasaan untuk berbuat aniaya, melainkan justru dijaga

dengan eling lan waspada. Orang menang yang sejati

adalah yang bisa mengalahkan hawa nafsu dan keinginan

diri pribadi, mengelola ego dan tidak sentimentil.

112

Aja dumeh sugih banjur semugih.

Jangan mentang-mentang kaya lantas sok kaya.

Orang kaya yang bermewah-mewah membuat orang

miskin sakit hati. Menyombongkan kekayaan menjadi tidak

bijaksana. Sebaliknya, kekayaan harus dijaga dengan

perilaku rendah hati, keshalihan dan kedermawanan agar

kekayaan itu berkah dan halal. Kaya yang sesungguhnya

adalah kaya hati. Orang kaya yang sesungguhnya adalah

orang yang suka memberi.

Aja gumunan.

Jangan mudah terkagum-kagum.

Kehidupan dunia ini beraneka ragam. Mudah

terkagum-kagum dengan suatu hal yang baru, menyebab-

kan kita akan mudah terperdaya. Aja gumunan kaya kethek

mlebu kutha. Jangan mudah terkagum-kagum seperti kera

masuk kota. Orang yang gumunan akan mudah tergoda dan

tidak waspada.

Aja kagetan.

Jangan mudah terkejut.

Mudah terkejut ketika menerima berita, melihat

sesuatu yang menakjudkan, atau melihat suatu kejadian

membuat jantung berdetak keras. Orang yang mudah

terkejut, akan terlihat jelas kurang matang ilmu jiwanya.

Sebaliknya, perlu membaca masa depan dan melihat

113

berbagai kemungkinan yang akan terjadi, sehingga segala

sesuatu menyangkut diri kita dapat kita ketahui dan

kendalikan.

Aja mburu menange dhewe.

Jangan merasa menang sendiri.

Orang hidup perlu tenggang rasa. Mengejar

kesenangan dan kemenangan diri sendiri dengan mengha-

lalkan segala cara membuat kita harus berhadapan dengan

banyak musuh. Win win solution merupakan jalan terbaik

untuk menghadapi konflik, agar tidak ada yang merasa

terkalahkan. Seribu kawan masih kurang, seorang musuh

sudah lebih dari cukup. Persahabatan membuat dunia

makin luas, permusuhan membuat dunia makin sempit.

Aja nggege mangsa.

Jangan mempercepat waktu.

Memburu sesuatu yang belum waktunya, mungkin

justru berakibat fatal. Segala sesuatu itu akan tiba masanya.

Ada rahasia Allah yang tidak bisa dipercepat maupun

diperlambat. Karena itu, kita semestinya selalu bersandar

kepada-Nya. Sunnah-Nya adalah tangan misterius yang

tidak kelihatan tapi dapat kita rasakan. Segala sesuatu akan

tiba waktunya. Bahkan, seorang petinju yang hampir knock

out, akan diselamatkan oleh bel.

114

Aja nggugu karepe dhewe.

Jangan berbuat sekehendak sendiri.

Manusia hidup bergandengan tangan dengan

manusia lain. Rantai kehidupan menyambungkan setiap

manusia dengan lainnya. Karena itu, semestinya kita selalu

berempati dan bersimpati terhadap orang lain. Wujudnya

ialah tenggang rasa, memperhatikan pikiran dan perasaan

orang lain serta berani melihat suatu persoalan dengan cara

pandang orang lain.

Aja nuhoni benere dhewe.

Jangan merasa benar sendiri.

Persoalan yang tidak pernah selesai didiskusikan di

dunia ini adalah tentang kebenaran. Kebenaran itu sering

kali tergantung siapa dan dari mana melihatnya. Oleh sebab

itu, tenggang rasa dengan berani melihat kebenaran secara

obyektif diperlukan. Maka kita perlu melihat kebenaran

menurut versi orang lain dan berkewajiban menghormati-

nya. Benar menurut kita belum tentu benar menurut orang

lain.

Aja pijer mangan nendra.

Jangan mengutamakan makan tidur.

Mengurangi makan dan tidur berfaedah tidak

mudah terkena penyakit dan waktu lebih produktif. Terlalu

banyak makan dan tidur membuat kita menjadi malas dan

115

tidak sensitif terhadap penderitaan orang lain. Sebaliknya,

orang Jawa mengajarkan agar kita suka berpuasa dan

berprihatin agar indra menjadi awas lan eling.

Aji mumpung.

Ilmu mumpung.

Menyalahgunakan kesempatan untuk kepentingan

pribadi. Misalnya mumpung punya kekuasaan mengatur

anggaran negara lantas korupsi dan manipulasi. Senyam-

pang menjadi pejabat yang berwenang lantas menindas

rakyat. Sebaliknya, kekuasaan dan jabatan wajib digunakan

untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Contoh lain

adalah mumpung tidak ada pengawasan yang ketat lalu

nekat, mumpung tidak ada aturan yang jelas lalu nerabas,

dan sebagainya. Integritas atau track record kita akan

terbangun dengan kejujuran pribadi dan dedikasi yang

tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal.

Ajining dhiri dumunung ing kedaling lathi.

Nilai diri seseorang terletak pada gerak lidahnya.

Harga diri seseorang terletak pada ucapannya. Bila

kata-katanya yang keluar dari mulut itu baik, maka ia pun

akan dikatakan sebagai orang baik. Sebaliknya, bila ia

menipu, maka ia pun akan dicap sebagai penipu. Semua

pemimpin yang sukses memiliki ketrampilan dalam orasi,

diplomasi dan negosiasi. Bila ingin sukses dalam kehidup-

116

an, maka belajar bercakap yang baik adalah syarat utama.

Diam adalah emas kata peribahasa, namun kadang kala

diam adalah mala petaka. Sebaliknya, berbicara adalah

emas, namun kadang kala juga karena berbicara akan

celaka. Ada waktu, tempat, suasana, kepentingan, dan

sebagainya yang perlu dipertimbangkan ketika seseorang

akan berbicara.

Ajining sarira dumunung ing busana.

Nilai badaniah seseorang terletak pada pakaiannya.

Harga diri fisikal seseorang terletak pada

penampilan pertama. Penampilan pertama seseorang dapat

dilihat dari busana yang dipakai. Semakin tinggi kelas sosial

seseorang biasanya ia berpakaian yang lebih baik.

Penampilan dalam zaman modern sangat penting agar

dihargai orang.

Akal okol.

Akal dan tenaga.

Manusia dikaruniai kekuatan akal pikiran. Akal

pikiran itu perlu digunakan semaksimal mungkin. Akal

pikiran dan fisik merupakan sarana perjuangan hidup

setiap manusia. Dengan kombinasi kedua potensi ini, cita-

cita setinggi apapun akan bisa tercapai, meskipun

mengeringkan samudra dan merobohkan gunung.

117

Alelungan datan kongsi bebasahan kaselak kam-

puhe bedhah.

Bepergian belum sampai mencapai tujuan, belum-belum

kainnya sobek.

Perlambang tragedi politik di Kraton Demak (1478

– 1533). Sultan Demak membawa misi mendakwahkan

Islam belum sampai tuntas dan mencapai kejayaan, keburu

Sultan Trenggana mati syahid dan kerajaannya bubar. Misi

mengislamkan tanah Jawa belum tuntas. Namun kekuatan

utama yang disimbolkan dengan kampuh sudah bedhah

atau sobek. Kekuasaan kenegaraan Demak, robek setelah

Sultan wafat, sementara para pewarisnya saling berebut

tahta. Tiga kubu yang berebut kekuasan Demak adalah Arya

Penangsang di Jipang – Blora, Jaka Tingkir di Pajang, dan

Pangeran Prawata di Kota Demak. Ketegangan ini berakhir

dengan naik tahtanya Jaka Tingkir menjadi Sultan Pajang

dengan gelar Sultan Hadiwijaya.

Alon-alon kelakon.

Pelan-pelan selamat.

Bekerja bertujuan dua hal, yaitu sukses tercapai

maksudnya dan diri kita selamat. Prinsip bekerja menurut

orang Jawa yakni tepat cara kerja dan tepat waktu. Tepat

cara kerja artinya sungguh-sungguh dan tidak sembarang-

an, tepat waktu artinya tidak terburu-buru dan tidak

berlambat-lambat. Jika dalam keadaan genting harus

118

memilih, maka orang Jawa memilih pelan-pelan asal

sempurna.

Aluamah amarah supiyah muthmainah

Nafsu makan, amarah, seksual, kesucian.

Perlambang empat nafsu manusia. Tiga nafsu

pertama, yakni suka makanan enak, suka marah, dan akan

suka kenikmatan seksual, jika sudah berhasil dikendalikan

maka manusia baru akan mencapai ketenangan dan

kesucian diri atau muthmainah.

B. Keadilan Sosial

Ambaudhendha nyakrawati.

Merengkuh dan menggenggam dunia.

Kekuasaan seorang pemimpin atau raja adalah

menjadi pengayom dan pengatur dunia. Karena tugas raja

Jawa yang besar itulah, maka ia diberi kekuasan yang

amurba amasesa wong sanegari. Untuk bisa memimpin

dengan benar, maka orang Jawa memberikan kekuasaan

raja secara mutlak, gung binathara ‗besar seperti

kekuasaan dewa‘. Kekuasaan menurut orang Jawa adalah

tunggal sebagaimana Tuhan itupun tunggal.

Ambeg adil paramarta.

Penuh rasa keadilan dan bijaksana.

119

Sikap adil dan bijaksana dalam menghadapi

persoalan hidup, apalagi yang berkaitan dengan orang lain.

Seorang pemimpin secara cerdik dan cerdas menentukan

prioritas atau mengutamakan hal-hal yang lebih penting

bagi kesejahteraan dan kepentingan umum. Pemimpin

bertugas memberi ganjaran kepada yang berjasa dan

menghukum kepada yang berdosa.

Ambuncang reretuning jagad.

Membuang kotoran dunia.

Mengatasi permasalahan-permasalahan sosial,

menghilangkan segala persoalan yang membuat rusaknya

kesejahteraan masyarakat. Bahasa Arabnya, nahi munkar,

yakni mencegah kemungkaran.

Amemangun karyenak tyasing sesama.

Membuat enaknya perasaan orang.

Karena manusia tinggal dalam lingkungan masya-

rakat. Saling menjaga perasaan sangat diperlukan agar

jangan sampai menyakiti orang lain. Sebaik-baik manusia

adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Sikap

among rasa ‗menjaga perasaan‘ perlu dikedepankan agar

komunikasi sosial menjadi lancar.

Amit-amit karo mbah buyut mengko kuwalat.

Permisi kepada kakek buyut agar tidak kena tuahnya.

120

Orang Jawa sangat sopan dan santun kepada

leluhur, karena tanpa adanya leluhur diri kita tidak akan

ada. Sering diucapkan ketika orang Jawa memasuki suatu

daerah baru yang belum dikenalnya. Filsafat ini merupakan

mantra ketuk pintu dan sekaligus sebagai donga tulak atau

doa penolak dari segala macam mara bahaya.

Ana awan ana pangan.

Ada siang ada makanan.

Keyakinan kepada Tuhan bahwa rizki pasti akan

datang setiap hari jika manusia berusaha. Filsafat yang

sejenis adalah ana dina ana upa, sapa obah mamah.

Manusia jika berusaha pasti akan dimudahkan oleh Gusti

Allah. Ibarat ayam, jika ia mau cakar-cakar, maka ia akan

mendapatkan makanan.

Ana pangan padha dipangan ana gaweyan padha

ditandangi.

Ada makanan sama dimakan ada pekerjaan sama

dikerjakan.

Semangat kebersatuan dan solidaritas suatu kelom-

pok atau suatu keluarga untuk mencapai tujuan. Semangat

kebersatuan ini juga tercermin dalam filsafat tiji tibeh

dalam semboyan Pangeran Sambernyawa. Istilah filsafat

tersebut bermakna mati siji makti kabeh, mukti siji mukti

121

kabeh. Artinya mati satu mati semua, mulia satu mulia

semua.

Andhap asor

Rendah hati.

Sifat rendah hati dan lapang dada. Orang yang

rendah hati akan disukai orang banyak sehingga banyak

pula saudaranya. Sebaliknya sikap sombong berarti

mengusir para sahabat kita, meskipun sahabat yang paling

kental.

Anggayuh kasampurnaning urip

Mencari kesempurnaan hidup.

Tujuan akhir kehidupan manusia adalah mencapai

kesempurnaan. Sempurna berarti dapat kembali kepada

Tuhan dalam keadaan bersih dan lapang, tidak

meninggalkan kemudharatan bagi anak cucu, mampu

memberi manfaat kepada masyarakat sekitar, dan amal

shalih yang berpahala. Karena Tuhan Maha Suci, maka kita

hanya dapat kembali kepada Tuhan dalam keadaan suci

pula.

Anutupi babahan hawa sanga.

Mati raga menutup lubang angin sembilan.

Dengan sungguh-sungguh menutupi hawa nafsu

dan keinginan yang muncul dari sembilan lubang dalam

122

tubuh manusia yakni: kedua mata, kedua telinga, dua

lubang telinga, ditambah mulut, kemaluan dan anus.

Sembilan lubang ini sangat penting bagi manusia. Tujuh

lubang di kepala merupakan indera yang sangat penting,

sebagai alat komunikasi dengan dunia luar.

Asta brata.

Delapan ajaran.

Delapan butir ajaran tentang kehidupan dan

kepemimpinan, sesuai filsafat bumi, air, api, angin,

matahari, bulan, bintang dan awan. Bumi sabar, air tenang,

api memberi semangat, angin dinamis, matahari memberi

keadilan, bulan menyejukkan, bintang rendah hati, dan

awan merahmati.

Atining kebo entek dipangan tumaning kinjir

Hati kerbau habis dimakan kutu babi.

Pasemon untuk kesedihan hati Prabu Brawijaya V

Majapahit, ketika mendapat serangan dari putranya di

Demak. Ia kecewa dan sangat marah tapi tidak mau

memerangi putra sendiri karena namanya akan hancur di

mata dunia. Kekecewaan dan kemarahan Prabu Brawijaya

ini karena akibat serangan ini maka dapat dipastikan

Majapahit, kraton warisan leluhurnya akan hancur. Dan

ternyata benar, istana raja Jawa di Trowulan itu hancur

lebur pada tahun 1478 M.

123

Ayu hayu rahayu.

Baik, selamat, sejahtera.

Harapan, doa atau cita-cita agar mendapat

kebaikan, keselamatan dan kesejahteraan dalam menjalani

hidup. Hidup tanpa keselamatan adalah celaka, hidup tanpa

kebaikan adalah hina, dan hidup tanpa kesejahteraan akan

sengsara.

Bandha bandhu bandhung sentana.

Kaya harta dan banyak saudara.

Keselamatan hidup didapat dari banyaknya

saudara. Kesejahteraan hidup diukur dari banyaknya harta.

Orang yang banyak memiliki harta dan banyak saudara

dikatakan mulia, sejahtera dan ternama. Sebaliknya, orang

yang terkucil akan hina dan sengsara karena tidak ada yang

akan menolongnya jika mendapat musibah.

Banyak, dhalang, sawung, galing, arda walika.

Angsa, ayam jago, naga, sapu tangan emas.

Adalah alat upacara Kraton Jawa. Merupakan

simbol kebesaran dan kekuasaan raja atas dunia material

maupun spiritual. Benda-benda upacara tersebut merupa-

kan lambang kedaulatan, kemakmuran dan keamanan

kerajaan. Simbol tersebut hampir sama kedudukannya

dengan keris dan tumbak yang disimpan di gedong pusaka

124

sebagai sipat kandel. Kerajaan Jawa dianggap sah jika

memiliki simbol-simbol ini.

Beda-beda panduming dumadi.

Berbeda-beda pemberian Tuhan.

Keadaan manusia di dunia ini berbeda-beda. Ada

yang kaya, ada yang miskin. Ada yang baik, ada yang buruk.

Semua adalah anugrah Tuhan yang pantas disyukuri. Kita

dituntut untuk bisa meraih hikmah keadilan ilahi yang

berada di balik semua perbedaan tersebut. Perbedaan

dengan demikian merupakan rahmat. Tanpa ada yang

cacat, maka tidak ada pula yang sempurna.

Bener ketenger, becik ketitik.

Benar dikenal baik dilirik.

Artinya, segala tindakan yang benar akhirnya akan

nampak dengan jelas. Sebaliknya, filsafat ala ketara

bermakna bahwa tindakan yang buruk, lambat atau cepat

akan diketahui orang lain. Ibaratnya, meskipun

disembunyikan dengan rapat, bau bangkai yang busuk akan

tercium. Kebaikan dan kejahatan meskipun sebesar biji

sawi yang lembut akan mendapat ganjaran dan balasan

yang setimpal oleh Tuhan. Hikmahnya, kejujuran pada diri

sendiri adalah sangat penting.

125

Ber budi bawa leksana.

Penuh rasa keadilan.

Ber budi bawa leksana adalah orang yang

bijaksana, baik hati, adil dalam memandang dan memutus-

kan persoalan. Kebijaksanaan sangat penting artinya bagi

seorang pemimpin. Kehormatan dan kehinaannya

tergantung pada nilai kebijaksanaan yang ditaburkannya

pada masyarakat yang dipimpinnya.

Binneka tunggal ika.

Berbeda-beda tetapi satu jua.

Semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Walaupun terdiri dari berbagai perbedaan, tetapi

hakikatnya satu Indonesia. Filsafat ini dituliskan oleh Empu

Tantular dalam Kitab Sutasoma pada zaman kebesaran

Majapahit (1284-1478). Pada waktu itu, nusantara terdiri

dari berbagai suku, agama, ras, bahasa.

Bobot, bibit, bebet

Kepandaian, keturunan, kekayaan.

Tiga ajaran bagaimana cara memilih pasangan

hidup. Bibit adalah faktor darah dan keturunan. Siapakah

orang tua dan keluarganya, apakah sehat jasmani dan

ruhani, dari latar budaya bagaimana dan sebagainya. Bebet

adalah faktor status sosial mempelai dan keluarganya.

Apakah mempelai berasal dari keluarga yang baik-baik dan

126

sebagainya. Sedangkan bobot adalah faktor kesiapan

material untuk memulai langkah meniti hidup baru.

Cangkrama putung watange.

Pergi berburu patah tombaknya.

Pasemon kepada Kerajaan Pajang (1433 – 1472 M)

yang kehilangan wahyu kerajaan sehingga hanya sekali

periode raja Sultan Hadiwijaya saja selama 36 tahun,

kemudian kraton berpindah ke Mataram. Sultan

Hadiwijaya dan Pangeran Benawa, putranya, terpaksa

merelakan tahta Pajang kepada Panembahan Senopati di

Mataram.

Catur rana semune segara asat.

Empat gerbang seperti lautan kering.

Melambangkan empat negara Jawa, yaitu Kediri,

Jenggala, Singasari dan Ngurawan pada tahun 1100 – 1222

M yang selalu bertikai, akhirnya sama-sama rusaknya dan

tidak ada kemakmuran bagi rakyat. Gambaran hidup ini

melahirkan filsafat yang penuh kebijaksanaan seperti rukun

agawe santosa crah agawe bubrah, artinya kerukunan

menambah kekuatan, perpecahan membuat kerusakan.

Cegah dhahar lawan guling.

Mengurangi makan dan tidur.

127

Anjuran berpuasa dan berprihatin dengan

mengurangi makan dan tidur. Terlalu banyak makan dan

tidur membuat kita menjadi malas dan tidak sensitif

terhadap kehidupan. Sebaliknya, orang Jawa mengajarkan

agar kita suka berpuasa dan berprihatin agar indra menjadi

awas. Sikap cegah dhahar lawan guling ini merupakan

tahab awal untuk bisa mendalami jagad batin orang Jawa,

Datan kober apepaes tan angulah kemben sinjang.

Tidak sempat berbias tidak mengenakan kain sinjang.

Perlambang untuk Paku Buwana IV dan V yang

tidak sempat mengatur negara karena banyaknya persoalan

negara, terutama campur tangan Belanda. Kondisi campur

tangan asing ini membuat sangat sulit bagi kerajaan Jawa

untuk maju dan berkembang menentukan nasip sendiri.

Den ajembar, den momot lawan den mengku, den

kaya segara.

Diperluas, diperbanyak muatannya, direngkuh seperti

lautan.

Senantiasa belajar untuk menambah pengetahuan,

memperbanyak ilmu, kuat menahan penderitaan seperti

lautan yang mampu menampung muatan apapun dari

sungai. Kesabaran dan ketabahan seperti autan yang dalam

dan luas, siap hangabehi atau mengatasi segala persoalan.

128

Digdaya tanpa aji.

Digjaya tanpa ajian.

Digdaya tanpa aji adalah orang yang sakti

mandraguna tanpa harus memiliki ajian, jimat, atau benda-

benda keramat lainnya. Ia dapat menaklukkan lawan bukan

dengan kekerasan tetapi justru dengan kasih sayang. Orang

yang sakti sebenarnya orang yang sedikit rintangan dari

orang lain. Supaya lepas rintangan maka seseorang itu

wajib memperbanyak sahabat dengan berprinsip bahwa

satu musuh sudah terlalu banyak, apalagi dua. Alangkah

mulianya orang yang digdaya tanpa aji.

Dilalah kersa Allah.

Kebetulan atas kehendak Allah.

Ketika kekuatan kita sudah tidak berdaya lagi, tapi

ada peristiwa kebetulan yang menguntungkan kita. Itulah

dilalah kersaning Allah, karena itu segala sesuatu harus

disandarkan kepada takdir dan kekuasaan-Nya. Ndilalah

adalah derivat dari kata alhamdulillah, yang merupakan

pujian terhadap kebesaran dan keagungan Allah.

Esem bupati.

Senyum bupati.

Manusia dalam kehidupan bermasyarakat terdiri

dari kelas-kelas sosial. Kita perlu memahami kelas sosial itu

agar tahu diri dan dapat bersikap sebaik-baiknya dengan

129

siapa kita berbicara. Demikian pula ketika hendak

melemparkan kritikan. Cara mengritik orang lain setingkat

bupati cukup dengan senyuman.

Ewuh pakewuh.

Repot dan segan

Ketika seseorang berbicara dengan orang lain, ia

perlu memahami kata-kata orang itu. Tanpa memahami

kata-katanya, kita tidak akan tahu jiwanya. Tanpa

mengetahui jiwanya, kita tidak akan tahu dengan siapa kita

berbicara. Karena itu, orang Jawa menganjurkan untuk

merendahkan diri, kalau perlu sikap ewuh pakewuh, agar

tepat menjiwai perasaan orang lain.

C. Menghindari Pelanggaran

Ewuh aya ing pambudi.

Repot dan susah dalam bersikap.

Suatu keadaan zaman yang rusak dan membuat

orang susah untuk mengambil sikap, susah mencari rizki.

Perputaran dunia yang seperti cakra manggilingan

seringkali membuat kita harus lincah dan trampil dalam

mengukur diri dan mawas diri. Ewuh pakewuh kadang

kala diperlukan, tapi saat yang lain harus ditinggalkan.

Pandai-pandai bersikap dan membawa diri adalah kunci

kesuksesan.

130

Gajah meta cinancang wit sidaguri, mati cineker

ayam.

Gajah mengamuk diikat di pohon sidaguri, mati dicakar

ayam.

Perlambang Geger Pacinan di Kraton Kartasura

yang ditunggangi Belanda pada tahun 1740-1744 M. Akibat

geger ini, Kraton Kartasura rusak parah, Sunan Paku

Buwana II mengungsi ke Ponorogo. Setelah kembali,

membangun istana baru di Dusun Solo dan dinamai dengan

membalik nama Kartasura menjadi Surakarta.

Gajah meta semune tengu lelaki

Gajah mengamuk dikira tengu kawin.

Pasemon untuk Paku Buwana II raja Kartasura yang

sangat disegani, ternyata ketika mendapat berbagai

gangguan pemberontakan ia berhati kecil dan mengungsi ke

Ponorogo lalu mengawini putri bupati Ponorogo dengan

maksud agar mendapat bantuan.

Ganda kentir semune liman pepeka.

Ban hanyut dikira singa bijaksana.

Melambangkan Prabu Ganda Kusuma di Pajajaran

yang menghanyutkan putranya yang bernama Siimg

Wanara di Sungai Kerawang. Akhirnya suatu ketika dibalas

oleh Siung Wanara dengan perlakuan serupa hingga tewas

di Sungai Kerawang.

131

Gandrung-gandrung ing lelurung andulu gelung

kekendon, keris parung tanpa karya, edolen

tukokna uleng-uleng campur bawur.

Jatuh cinta menjadi satu-satunya kerepotan, keris senjata

tak berguna, juallah belikan makanan campur baur.

Jika negara diatur dengan baik maka sesungguhnya

akan makmur sentosa, tenteram, bahagia. Tidak ada orang

merasa repot, kecuali hanya yang jatuh cinta. Aman

nyaman hingga keris parung tak berguna, dan sebarang

senjata lebih baik ditukar dengan makanan apa saja, karena

tidak ada kekerasan lagi.

Glondhong pengareng-areng, peni-peni raja peni

guru bakal guru dadi.

Harta benda yang mahal harganya, bahan mentah bahan

jadi.

Upeti yang harus diserahkan kepada raja dari para

adipati, atau dari wedana ke bupati. Upeti tersebut berupa

hasil bumi yang terbaik dan emas permata yang mahal-

mahal. Pemberian ini adalah pajak yang harus dibayarkan

oleh daerah kepada raja selaku pemilik hak atas tanah

wilayah. Daerah taklukan memiliki kewajiban untuk

memberikan sebagian hasil bumi kepada istana.

Goroh growah.

Bohong terluka.

132

Orang yang berbohong lama-lama akan erosi

kepercayaan dirinya. Orang yang berbohong sama halnya

dengan melukai diri sendiri. Sekali berbohong, maka

menimbulkan serangkaian kebohongan lain untuk menu-

tupi kebohongan yang lama. Akhirnya kebohongannya

terbuka dan akan mendapat celaka. Seorang pemimpin

yang melakukan tindak kebohongan akan melukai dan

menipu publik secara luas. Lama-lama, kebohongan ini

akan terbongkar.

Gremat-gremet waton slamet.

Merayap pelan-pelan asal selamat.

Artinya biar lambat dalam melakukan suatu

pekerjaan secara lahiriah namun yang penting selamat.

Pekerjaan memerlukan kehati-hatian agar tercapai tujuan

dengan selamat. Cermat dan hati-hati merupakan unsur

terpenting dalam melakukan pekerjaan. Seorang penge-

mudi, jika lengah dari kewaspadaan, bisa mengakibatkan

nyawa puluhan bahkan ratusan penumpang terancam.

Guci lenga kayu gapuk.

Lugu suci, mentheleng lunga, kaku ngguyu, lega dipukpuk.

Sebuah filsafat perkawinan Jawa. Keluarga

hendaknya dibangun dengan niat bersih, lugu dan suci.

Setiap persoalan selesaikan dengan kepala dingin, jangan

memelototkan mata atau mentheleng agar pasangan kita

133

tidak lunga 'pergi'. Jika salah satu kaku, maka yang lain

harus ngguyu 'senyum'. Jika suatu ketika suami menjadi

api yang membakar, maka istri harus menjadi air yang

memadamkan. Jika suami menjadi gas yang mendorong,

maka istri menjadi rem yang mengendalikan. Perasaan

tulus ikhlas atau lila legawa harus dipuk-puk 'dibangun'.

Gugon tuhon.

Suatu yang dipercaya dengan sungguh-sungguh.

Suatu takhayul yang dipercayai kebenarannya. Atau,

ajaran yang tidak ada sumbernya secara jelas, akan tetapi

digugu 'dipercaya' dengan satuhu 'benar-benar'. Banyak

adat istiadat yang terbangun dengan gugon tuhon ini. Suatu

fakta yang sulit diungkap secara rasional, namun sulit

diingkari.

Gumelaring agesang.

Bentangan kehidupan.

Tergelarnya alam kehidupan manusia. Alam jagad

raya ini adalah alam makrokosmos atau jagad gumelar, di

mana tata surya diatur oleh suatu sunnatullah yang teratur,

rapi, ajeg dan terencana. Manusia adalah mikrokosmos,

atau jagad gumulung, di mana manusia wajib berusaha

meraih kesempurnaan hidup dengan keshalehan pribadi

maupun keshalehan sosial.

134

Guna kaya purun.

Kepandaian, kekayaan dan kemauan.

Tiga bekal yang hendaknya dimiliki setiap orang

untuk mengabdi kepada negara dan berjuang demi

masyarakat, yakni kepandaian, kekayaan dan kemauan.

Kepandaian dicari dengan belajar giat, kekayaan dicari

dengan kerja keras, sedangkan kemauan dicari dengan

kepedulian. Cita-cita untuk menjadi manusia yang berguna,

tidak akan terlaksana jika seseorang tidak memiliki guna

‗kepandaian‘, kaya ‗kekayaan‘ dan purun ‗kemauan‘.

Gunung Kendheng semune kenya musoni.

Gunung Kendheng ternyata gadis menyusui.

Perlambang raja yang usia kekuasaannya panjang

tetapi kurang melakukan gerakan penting bagi kemajuan

kerajaan, malahan disinggung oleh para pujangga seperti

anak kecil. Salah satu raja yang dimaksud adalah Sunan

Paku Buwana I, raja Kartasura. Kalangan rakyat kecewa

karena negara sebagai pengayoman dan pendorong

kehidupan bermasyarakat dalam kondisi kurang terarah

dan akhirnya peluang pihak asing untuk mengintervensi

semakin melebar.

Guru rupaka.

Guru merawat.

135

Orang tua yang melahirkan kita sangat berjasa,

karena beliau telah memelihara kita sejak dari dalam

kandungan. Ibu mengandung kita selama sembilan bulan.

Laki-laki lahir dari perempuan dan perempuan lahir karena

laki-laki.

Guru pengajian.

Guru belajar.

Bapak dan Ibu guru yang memberikan ilmu disebut

orang tua kedua. Beliau sebagai pengganti orang tua untuk

mendidik dan membimbing anak-anak di sekolah maupun

di luar sekolah. Ilmu adalah sesuatu kebenaran yang tidak

tampak oleh mata. Guru membukakan mata muridnya

untuk melihat segala sesuatu atau apapun yang tidak kasat

mata. Hormat kepada guru ilmu adalah bagian dari barokah

ilmu.

Guru wisesa.

Guru kuasa.

Pemerintah membuat undang-undang atau peratur-

an untuk kepentingan bersama. Pemerintah juga mengatur

kekayaan alam untuk kepentingan kita bersama. Salah satu

contoh kekuasaan negara adalah pada tanah yang kita

miliki. Seberapa mahal pun kita membayar hak atas tanah

kita, tetapi kita tidak akan pernah memiliki sepenuhnya.

Buktinya kita masih harus membayar pajak. Pemerintah

136

adalah guru kuasa yang berwenang dan berkewajiban

mengatur kehidupan masyarakat.

Guru swadaya.

Guru mandiri.

Tuhan. Dialah Guru Yang Maha Pandai, yang

menciptakan alam semesta beserta dengan isinya. Dialah

pembimbing setiap makhluk sekalian alam. Dialah disebut

guru sejati, yang apabila seluruh batang pohon di dunia ini

dijadikan pena dan air lautan dijadikan tinta untuk

menuliskan ilmunya, maka tidaklah akan mencukupi.

Apabila seluruh manusia di dunia menyembahnya maka

tidak akan bertambah wibawa Tuhan dan sebaliknya,

apabila semua manusia di dunia mengingkarinya, tidak

akan berkurang kewibawaan Tuhan.

Gusti Allah ora sare.

Tuhan tidak tidur.

Gusti Allah selalu menjaga hamba-Nya, kapan saja

dan di mana saja. Gusti Allah Maha Penjaga, yang tahu

sekecil apapun peristiwa di muka bumi, meskipun selembar

daun yang menguning dan jatuh. Dialah Tuhan yang

mengetahui segala pernik gejolak batin dan perilaku kita.

Hadigang-hadigung hadiguna.

Kekayaan, kekuatan dan kekuasaan.

137

Manusia dikatakan kuat jika memiliki kekayaan

yang berlimpah, kekuatan yang besar dan kekuasan yang

tinggi. Orang yang kuat ini berkewajiban melindungi orang

yang lemah, bukan sebaliknya. Menyombongkan harta

benda, kekuatan dan kekuasaan tidak akan membuat

manusia bahagia. Sebaliknya, sikap ambeg adil paramarta

membuat para tetangga simpati dan empati terhadap kita.

Heru cakra.

Lingkaran dunia.

Lambang Ratu Adil, raja atau pemimpin agung yang

dipercaya akan membebaskan rakyat dari segala macam

penderitaan dan diskriminasi. Sesuatu yang paling

diimpikan rakyat pada negara adalah keadilan. Pemimpin

yang mampu menegakkan keadilan dalam harapan semua

masyarakat.

Holopis kuntul baris.

Holopis kuntul baris.

Salah ucap dari nama Don Lopis Comte du Paris,

seorang kapten prajurit Belanda yang berasal dari Paris,

Francis. Ia menyuruh rakyat untuk bekerja rodi sambil

mengucap namanya keras-keras. Semboyan rasa kebersa-

maan dalam melakukan kerja.

138

Hyang kalingga surya.

Raja bertubuh matahari.

Pemimpin yang tangguh dan pelindung yang baik

seperti memiliki tubuh matahari menyinari luasnya dunia.

Matahari menyamari dunia tanpa membeda-bedakan

kawula. Datang secara pasti setiap pagi hari dan memberi

kesempatan manusia untuk beristirahat di malam hari.

Ibu bumi bapa akasa.

Ibu bumi, ayah langit.

Falsafah Jawa mengatakan bahwa bumi adalah

simbol ibu karena menumbuhkan tetanaman, sedangkan

langit adalah simbol ayah karena melindungi dan

menurunkan hujan. Bumi bersifat momor ‗komunikatif‘,

momong ‗persuasif‘ dan momot ‗akomodatif‘. Sedangkan

langit bersifat nyandhangi ‗memberi pakaian‘, nyandhingi,

‗memberi rasa aman atau pengayoman‘ dan tidak

nyandhungi ‗menjadi penghalang‘.

Ing madya mangun karsa.

Di tengah menyatukan tujuan.

Seorang pemimpin ketika berada di tengah

masyarakat, hendaknya bisa menjadi penyatu tujuan dan

cita-cita masyarakat. Seorang pemimpin di antara umatnya

senantiasa berkonsolidasi memberikan bimbingan dan

139

mengambil keputusan dengan musyawarah dan mufakat

yang mengutamakan kepentingan masyarakat.

Ing ngarsa sung tuladha.

Di depan memberi tauladan.

Seorang pemimpin ketika berada di depan

hendaknya bisa menjadi tauladan atau contoh; seorang

pemimpin sebagai seorang yang terdepan dan terpandang

senantiasa memberikan panutan-panutan yang baik

sehingga dapat dijadikan suri tauladan bagi masyarakatnya.

Ingkang pantes dhawah ing sambawa kalian

sembada.

Yang pantas sesuai keadaan dan mumpunilah.

Bertindak dengan mempertimbangkan empan

papan atau suasana, waktu dan tempat agar pantas dan

wajar. Dalam filsafat Hindu Jawa manusia dituntu untuk

bertanggung jawab, dan memperhatikan desa ‗tempat‘, kala

‗waktu‘ dan patra ‗suasana‘.

Jagad cilik.

Dunia kecil.

Tubuh manusia dalam falsafah Jawa disebut jagad

cilik. Pada dasarnya, badan manusia memiliki sunnatullah

yang luar biasa tertib dan teratur. Jantung selalu berdetak

memompa darah dengan pola dan irama yang tetap, darah

140

mengalir ke seluruh tubuh membawa dzat makanan,

sedangkan indera membangun kesadaran kemanusiaan.

Karena itulah, tubuh manusia dalam konsep Jawa disebut

jagad cilik atau mikrokosmos.

Jagad gedhe.

Dunia besar.

Alam semesta dan seisinya. Alam semesta ini

memiliki keteraturan dan ketertiban yang luar biasa.

Matahari, bumi, bulan dan sebagainya berputar pada

porosnya tanpa bertabrakan. Air laut menguap menjadi

awan, awan mengembun menjadi hujan, hujan membasahi

bumi dan menumbuhkan tetanaman dan seterusnya.

Jagad pramudita.

Penguasa dunia.

Yang menguasai dunia. Adalah kekuasaan Tuhan

Semesta Alam. Dalam bahasa Arab disebut asmaul husna

atau nama-nama yang baik, sesuai dengan kemahakuasaan

Tuhan atas hamba-hamba-Nya.

Janma patrap kenging tinulat ing kautamen.

Manusia mapan bisa ditiru keutamaannya.

Orang bijaksana yang tindakannya dapat menjadi

suri tauladan utama. Tauladan adalah cermin yang

memantulkan keindahan dan kebajikan yang layak ditiru

141

dan diikuti pikiran dan sikap hidupnya. Pemimpin bangsa

hendaknya merupakan orang yang bisa ditiru dalam segala

sisi kehidupannya, karena pemimpin selalu berada di

depan.

142

BAB VII

Seni Tari Dan Musik

A. Tari Gandrung

Salah seorang penari laki-laki dalam seni

pertunjukan Gandrung Banyuwangi, yang bertugas sebagai

pengatur giliran menari bagi para tamu atau pemaju.

Tukang gedog muncul ketika penari Gandrung telah selesai

membuka acara Gandrung dengan tarian Jejer. Ia menari

sejenak bersama-sama sang Gandrung untuk kemudian

mengantar penari Gandrung itu ke tempat duduk tamu-

tamu yang hadir. Tariannya bersifat spontanitas tetapi

kelihatan gagah dengan hentakan-hentakan bunyi

kendhang yang sangat intens. Tidak banyak ragam gerak

yang dipakai, karena tampak sekedar upacara berganti gi-

liran menjadi pemaju itu. Tetapi setiap kali suatu

rombongan Pemaju selesai menari dan perlu diganti yang

lain, tukang gedog ini naik ke pentas dan sekali lagi

melakukan tarian bersama penari Gandrung tersebut.

Dengan demikian iapun semalam-malaman menerima

tugas itu.

Tukang gedog rupanya harus dipilih di antara

143

mereka yang pandai menari, pandai bergaul dan tahu benar

siapa saja tamu-tamunya. Apabila tukang Gedog melakukan

kesalahan dalam mengatur giliran, misalnya seseorang yang

berkedudukan tinggi di masyarakat justru di berikan giliran

belakang maka pastilah menimbulkan kesan kurang enak.

Bahkan tidak jarang tamu yang bersangkutan marah,

terjadi perselisihan atau pertikaian atau dengan cara yang

keras si tamu meninggalkan tempat perjamuan. Tentu saja

ini membuat aib bagi yang punya hajad. Karenanya tukang

Gedog harus dipilih benar-benar agar tak terjadi kesalah

fahaman itu.

Pakaian Tukang Gedog adalah pakaian pesta pada

umumnya, jadi tak ada rias maupun kostum yang khusus.

Hanya saja ia mengenakan sampur. Lagu-lagu yang dipakai

untuk mengiringi tariannya adalah lagu-lagu yang pendek

saja atau kadang-kadang hanya tabuhan dari musiknya

yang terdiri dari Kendang, Biola, Kethuk-kenong, Gong dan

Kernpul. Apabila tukang Gedog bersama Gandrungnya

tengah menuju tempat tamu, biasanya biola itu digesek

dengan lagu yang panjang-panjang yang disebut Ranginan.

Waderperi Nungsung Beji

Salah satu tarian di dalam drama tari Wayang

Topeng Tradisionil di daerah Malang, terutama di Desa

Jabung, Kecamatan Tumpang. Ditarikan sebagai atraksi

lawak dalam bentuk gerak tari ketika bagian Klana gunung

144

saru-Patrajaya dipertunjukkan. Menurut istilah setempat

adegan semacam itu disebut 'permainan'. Penarinya adalah

peran Gunungsari-Patrajaya, keduanya dimainkan oleh

penari laki-laki, masing-masing dalam gaya yang kontras

berbeda. Garapan tarinya bersifat pantomime.

‗Waderpari nungsung Beji‘ menggambarkan sikap

dan tingkah laku seekor ikan jenis kecil yang di sebut

'Waderpari' di dalam air. Air itu adalah air di pancuran atau

pemandian di kaki tebing yang menurut istilah setempat di-

sebut 'Beji'. Jadi tingkah laku ikan itulah yang diungkapkan

serta dikembangkan secara pentomimik, spontan dan

kreatif. Gerak tarinya lebih bersifat representatif.

Patrajaya akan mengungkapkannya dengan lucu

sekali sehingga menimbulkan gelak tawa penontonnya.

Kemudian Gunungsari akan memberikan contoh geraknya

yang lebih tepat, indah dan menarik. Disinilah sebenarnya

terletak tuntutan teknis yang baik bagi penarinya.

Kreatifitaspun dikembangkan disana, misalnya,

bagaimana si ikan berenang kesana-kemari, maju Mundur,

naik turun, berputar di tempat, menyambar mangsanya,

bernafasan dipermukaan air dan sebagainya. Iringan untuk

tarian ini adalah gendhing Kembangkacang atau Nduk Cici,

Pelog Patet Barang. Instrument gamelannya adalah

gamelan Pelog Lengkap. Kendang dimainkan secara

improvisatoris menyesuaikan diri serta menghidupkan

gerak tarinya.

145

Sebenarnya selain 'Waderpari nungsung Beji' masih

ada sebelas macam jenis 'permainan' tersebut seluruhnya.

Ke sebelas macam itu adalah : Waderpari Nungsung Beji,

Jalak Kecancang, Biyada Mususi, Sinatriya nJala, Gambuh

Mara Seba, Mundur Cecebolan, Dali Nyampar Banyu,

Merak Ngigel, Merak Kesimping, Temanten Purik, Tikus

Ngungsi Salang. Penari Gunungsari mengenakan mahkota

dari kulit, celana panji-panji, kain batik dengan lipatan di

samping kiri, rapek, setagen, sampur di sampir di pundak

keris, gongseng. Patrajaya mengenakan baja komprang,

celana komprang pinggang dililit kain batik, ikat kepala

batik, sampur di pundak dan gongseng. Keduanya

mengenakan topeng, Gunungsari bertopeng putih, halus

dan bagus. Patrajaya bertopeng kecoklatan, tanpa dagu,

bermata sipit dan lucu.

Walang Semirang — Walang Wati

Disebut juga dengan judul LEMBU GUMARANG —

LALER WILIS. Adalah salah satu lakon yang cukup

digemari dalam pertunjukan dramatari Wayang Topeng

tradisionil di Malang. Ditarikan oleh tujuh sampai sepuluh

penari untuk memerankan kurang lebih 35 peran. Dengan

demikian setiap penari memegang beberapa peran dengan

cara mengganti topengnya.

Pementasannya di arena terbuka dengan satu sisi

tertutup tirai dimana di belakangnya dapat dipergunakan

146

untuk persiapan para penari. Penonton ada di tiga sisi yang

lain. Gamelan disalah satu sisinya sedang dalang duduk di-

sudut panggung sehingga dapat mengatur keluar masuknya

pemain maupun mengatur para penabuh gamelan.

Pertunjukkan lakon ini diselenggarakan untuk

pesta-pesta kawin, khitanan, bersih desa atau pesta-pesta

yang lain. Pementasannya berlangsung pada jam 09.00 -

17.00 siang atau pada jam : 21.00 - 05.00 malam hari.

Dialognya dilakukan oleh sang Dalang sementara para

penarinya berpantomime mengexpresikan isi dialog

tersebut. Hanya tokoh Semar, Bagong, Patrajaya saja yang

berdialog sendiri.

Ada anasir trawesti dimana peran-peran wanitanya

tetap dilakukan oleh penari-penari laki-laki. Adapun isi

ceritanya adalah sebagai berikut :

Adalah seorang pertapa mempunyai dua orang anak

yaitu Walang Semirang yang laki-laki dan Walang Wati

yang perempuan. Banyak para raja ingin mem persunting

Walang Wati tetapi gadis ini belum bersedia kawin. Lagi

pula kakaknya berniat mencarikan jodoh satriya yang

tangguh. Karena itu barang siapa dapat mengalahkan

Walang Semirang dalam perkelaian maka dialah yang

berhak mempersunting adiknya itu. Tetapi sang pertapa

tidak menyukai keadaan itu, lalu kedua anaknya itu disuruh

bersembunyi saja di sebuah goa agar tidak lagi di

pertanyakan orang. Kedua anak itupun pergi memenuhi

147

perintah ayahandanya. Tetapi lama kelamaan kedua kakak

beradik itu bahkan jatuh cinta satu sama yang lain.

Mengetahui hal itu ayahanda amat marah lalu dikutuklah

mereka menjadi seekor lembu dan seekor lalat. Kutuk itu

baru akan berakhir bila nanti ada seorang satriya yang

berhasil mematahkan tanduk si lembu. Kedua mahluk

itupun disuruhnya pergi ke suatu tempat dengan tugas

menolong siapa saja yang diganggu orang dalam

perjalanan.

Akhirnya mereka bertemu dengan Sang Panji

Asmarabangun yang sedang pergi mencari isterinya,

Sekartaji. Terjadilah perkelahian dengan si Lembu namun

Panji dapat mengalahkannya dan kembalilah si lembu

menjadi Walang Semirang sebagai semula. Demikian pula

dengan si Lalat, ia pun kembali menjadi Walangwati.

Walangwati diperisterikan Sang Panji dan Walang

Semirang menjadi prajurit Sang Apanji sampai dapat

mengalahkan Bali.

Penari-penarinya mengenakan topeng dengan

berbagai karakter menurut peran-peran masing-masing.

Karakter itu ditandai oleh warna serta bentuk-bentuk

topeng. Mereka mengenakan mahkota dari kulit, kain batik

dengan lipatan samping kiri, celana panji-panji, setagen,

sampur di pundak, keris, gongseng serta atribut-atribut

hiasan seperlunya.

Iringan gamelannya terdiri dari serangkaian

148

gendhing-gendhing Jawa Timuran berlaras Pelog semua.

Instrumennya adalah gamelan Pelog Lengkap. Lakon ini

sering kali dibuat fragment juga karena orang ingin melihat

yang singkat-singkat juga.

B. Terbang Gendhing

Suatu tarian berlatar belakang kultur masyarakat

Madura yang terdapat di daerah Probolinggo. Ditarikan

oleh dua orang laki-laki tua dan dua anak laki-laki remaja

sekitar 10 - 14 tahun umurnya. Tidak jelas tema yang

dikemukakan kecuali mereka menari menurut ritme lagu

yang diperdengarkan yaitu gendhing Walangkekek dengan

instrument Ter-bang Gendhing. Orkes Terbang Gendhing

ini terbuat dari sembilan macam rebana dalam berbagai

ukuran dan bentuk yang masing-masing dibuat sedemikian

hingga mewakili satu nada. Nada yang dimaksud adalah

nada gamelan Jawa dalam sistim laras Pelog ataupun

Slendro. Secara keseluruhan orkes ini menghasilkan suatu

musik yang khas walaupun dalam lingkungan laras gamelan

Jawa.

Dengan lagu Walangkekek itulah ke empat penari

dengan asyiknya di arena. Yang tua-tua nampak memimpin

tarian itu sedang dua orang anak laki-laki yang muda

mengikutinya. Penari tua nampaknya begitu keras tarian-

nya sementara si anak agak kewanita-wanitaan. Tarian ini

dipertunjukkan sebagai hiburran dalam pesta-pesta rakyat,

149

misalnya perkawinan, khitanan, bersih desa dan

sebagainya.

Tariannya nampak spontan dengan banyak

menghentak-hentakkan kaki serta membuka tangan agak ke

belakang tubuh. Tidak lupa mereka mengenakan 'gongseng'

atau gentha-gentha kecil melilit kaki kanan sebagai penga-

tur irama. Mereka mengenakan ikat kepala, baju hitam

serta celana komprang sebagai dipakai para nelayan

masyarakat Madura. Kain batik melilit dipinggangnya.

Warok Suromenggolo

Suatu jenis tarian kreasi baru yang bersifat

dramatis. Terdapat di daerah Ponorogo. Ditarikan oleh tiga

atau empat orang penari. Masing-masing memegang peran

tertentu. Seorang sebagai Warok Suromenggolo, seorang

sebagai Warok Surogentho, ini biasanya ditarikan oleh

penari laki-laki yang kekar dan kuat otot-ototnya.

Kemudian seorang penari wanita berperan sebagai

Suminten dan seorang penari wanita lagi yang berperan

sebagai laki-laki bernama Reden Mas Soebroto.

Sebagai tarian pertunjukkan tarian ini biasanya

ditampilkan sebagai nomor tarian lepas di samping tarian-

tarian yang lain: Dipertunjukkan dalam pesta-pesta atau

resepsi sebagai tarian hiburan. Tariannya bersifat dramatari

dengan mengambil gerak-gerak yang memperlihatkan

kekuatan fisik dan kekerasan tingkah laku, sebagai sering

150

terlihat pada pertunjukkan Reyog Ponorogo. Gerak-gerak

tari-tari perangnya diliputi oleh pelukisan kekuatan-

kekuatan magis sebagaimana biasa terjadi di kalangan

kehidupan jagoan-jagoan berkelahi.

Adapun kisahnya kurang lebih demikian :

Tersebutlah Warok Suromenggolo yang telah

berhasil menertibkan keamanan di daerah Trenggalek,

mendapatkan janji dari Bupati Trenggalek bahwa puteri

Sang Warok akan dikawinkan dengan putera Sang Bupati.

Puteri Sang Warok bernama Suminten sedang Putera Sang

Bupati bernama Raden Mas Soebroto. Tetapi Raden Mas

Soebroto tidak mau dikawinkan dengan gadis itu. Malahan

is mencintai Cempluk Warsiyah anak puteri dari Warok

Surogentho. Kejadian ini membuat Suminten menjadi gila,

sementara Raden Mas Soebroto sudah berjanji akan kawin

dengan Cempluk Warsiyah. Terjadilah perselisihan faham

antara Warok Suromenggolo dengan Warok Surogentho,

yang berkembang dengan perkelahian yang hebat karena

masing-masing adalah jagoan-jagoan yang kebal. Pada

akhir ceritera Warok Suromenggolo terbunuh namun se-

benarnya ceriteranya masih berkembang lebih jauh.

Di dalam tarian ini hanya thema itulah yang

diwujudkan dalam bantuk tarian itu. Penari Warok-

waroknya menggenakan ikat kepala hitam batik, bercelana

komprang warna hitam, bersabuk kulit yang besar, dengan

atribut untaian benang lawe yang konon sangat sakti

151

sebagai alat pemukul lawannya. Rias muka galak, seram

dan menakutkan. Sementara itu Raden Mas Soebroto

berpakaian seperti bangsawan pada abad ke 19 di Jawa. Si

penari Suminten mengenakan kain kebaya dan kain batik

bersanggul sabagaimana pakaian wanita pedesaan.

Iringan tari adalah gamelan Slendro dengan

gendhing-gendhing yang diangkat dari iringan Reyog

Ponorogo. Sebagai tarian kreasi baru, tarian ini sering di-

pertunjukkan sebagai kebanggaan daerah Ponorogo.

C. Seni Musik Rakyat

Suatu kelompok alat musik tradisionil yang telah

berkembang dan dikenal sejak lama dalam kehidupan dunia

seni suara di kalangan suku Jawa, Sunda, Madura dan Bali.

Gamelan ini dengan kelengkapannya yang maksimal

diwujudkan dari berbagai macam bentuk dan bahan antara

lain : bentuk-bentuk bundaran besar dan kecil, dengan

bisul-bisulan (pencon) lempengan (bilahan) besar dan kecil,

dawai (kawat), kayu, kulit dan bambu.

Caranya menabuh ialah dipukul dengan alat,

tangan, digesek, ditiup dan dipetik. Gamelan pada masa

sekarang ini selain khususnya terdapat di Jawa, Madura

dan Bali, juga karena pengaruh perkembangan dan pening-

katan appresiasi masyarakatnya sendiri, jangkauan

perkembangannya sudah dapat merata di seluruh pelosok

tanah air, bahkan sampai melebar ke luar negeri.

152

Gamelan pada prinsipnya mempunyai dasar laras

yang berpijak pada dasar sistim Slendro pentatonik, suatu

sistim nada seni suara yang berpangkal pada penggunaan

lima nada sebagai nada pokok. Dalam hal ini Slendro

adalah merupakan laras yang dominan dalam kehidupan

seni suara di Jawa, khususnya di Jawa Timur. Di samping

laras Slendro, maka gamelan juga diwujudkan dalam laras

Pelog. Khususnya gamelan-gamelan yang berasal dari Jawa

Tengah dan Bali.

Gambyak

Suatu istilah untuk memberikan sebutan kepada

salah satu corak kendangan dalam karawitan Jawa

Timuran, terutama di trapkan dalam garapan gendhing

klenengan ataupun untuk mengiringi suatu gerak tarian

(Tani Ngremo) tari Beskalan dan tari Tayub. Kendangan

gambyak memberi sifat garapan gendhing menjadi hidup

bergairah, dinamis dan ekspresif.

Dalam hal ini kendang dipukul secara padat, penuh

berisi variasi dan bersifat improvisatoris. Ke ciri khasan

warna karawitan Jawa Timuran, justru tercermin pada pola

kendangan gambyakan, yang dalam hal ini ditandai oleh

pukulan stacato dan syncope yang bersifat dominan.

Gemakan

Salah satu corak tabuhan instrumen slenthem

153

dalam Karawitan Jawa Timuran. Dalam hal ini slentem

ditabuh secara pukulan bertolak irama dari pukulan

balungan gendhing yang sewajarnya. (sejenis "syncope"

dalam musik Barat).

Adapun sebagai dasar laras nada untuk pegangan

tabuhan gemakan slentem, ialah mengambil nada balungan

gendhingnya yang jatuh pada hitungan sabetan genap

(sabetan/pukulan ke dua dan ke empat dalam setiap

kelompok empat deretan nada balungan atau dalam

Karawitan Jawa Tengah di sebut hitungan "dong").

Sebagai contoh :

Nada balungan :

1 6 3 2 6 5 3 2

Slentem gemakan

6 0 6 0 2 0 2 0 5 0 5 0 2 0 2 0

Dan seterusnya.

Sesungguhnya tabuhan gemakan slentem itu

diterapkan khusus hanya kalau suatu garapan gendhing

Jawa Timuran ada iringannya "bonang penem- bung",

tetapi pada prakteknya sekarang ini sering juga dalam

garapan gendhing-gendhing Jawa Timuran, tabuhan

slentem dipukul secara gemakan, meskipun tanpa adanya

kelengkapan bonang penembung.

154

Gembyang

Suatu istilah karawitan yang telah umum dikenal

baik dalam kalangan kaniyagan Jawa Timuran maupun

Jawa Tengah, untuk memberikan sebutan kepada suatu

jarak antara dua buah nada yang sejenis/selaras, besar dan

kecil/rendah dan tinggi.

Sebagai contoh : 2…………2

1 gembyang

6…………6

1 gembyang

Dalam kalangan musik Barat istilah gembyang

adalah identik dengan pengertian "octaaf". Dalam proses

garapan gendhing Jawa Timuran, tabuhan gembyang pada

dasarnya adalah diterapkan oleh bonang penerus. Sebagai

pedoman untuk pukulan gembyang, maka bonang penerus

mengambil dasar nada balungan gendhingnya yang jatuh

pada hitungan sabetan genap (dong) hitungan sabetan ke

dua dan ke empat dalam setiap kelompok empat deretan

nada balungan.

Di bawah ini contoh pola tabuhan gembyangan

Bonang Penerus Jawa Timuran ditulis dalam notasi sistim

Kepatihan.

Balungan 1 6 3 2

Bonang penerus 6 0 6 0 6 0 6 0 2 0 2 0 2 0 2 0

155

6 6 6 6 2 2 2 2

Balungan 6 5 3 2

Bonang penerus 5 0 5 0 5 0 5 0 2 0 2 0 2 0 2 0

Gedug B E M

Gedug Bem adalah nama suatu jenis pola pukulan

gendang dalam Karawitan Jawa Timuran. Dalam hal ini

yang dipukul hanya satu jenis kendang saja yang lazim

dipergunakan dalam karawitan Jawa Timuran untuk

keperluan klenengan maupun untuk mengiringi tari

Ngremo.

Kendangan gedung bem ini biasanya dilaksanakan

pada saat gendhing masih dalam proses permulaan,

sebelum masuk ke kendangan gambyak (Jawa Tengah:

ciblon). Dalam pengertian karawitan Jawa Tengah,

kendangan gedug bem dapat disamakan dengan kendang

"satunggal" (kendang satu).

Gembyung

Suatu istilah yang dikenal dalam dunia seni

karawitan Jawa Timuran untuk memberikan sebutan

kepada dua buah laras nada yang tidak sejenis, namun

kalau dibunyikan secara bersama terdengar selaras (

harmonis ).

156

Sebagai contoh : 2, 3

6 5

dan sebagainya

Dalam perwujudan prakteknya, kalau ditabuh pada

urutan tangga nada bilahan gamelan, maka di sini

pelaksanaannya adalah : menabuh dua laras nada bilahan,

dengan jarak antara 2 (dua) bilah, ditabuh secara bersama-

sama, seperti contoh tersebut di atas.

Pukulan gembyungan adalah merupakan salah satu

unsur corak pukulan polifonis yang terdapat dalam dunia

musik pentatonik, antara lain :

1. Angklung Banyuwangi, sering terdapat pada pukulan

saronnya

2. Karawitan Jawa Tengahan, sering terdapat pada

pukulan instrumen bonang barung, gender, gambang,

gesekan rebab.

Dalam istilah karawitan Jawa Tengahan, Gembyung

lebih dikenal dengan sebutan Kempyung ( Surakarta ).

Gending

Gendhing pada hahekatnya adalah merupakan

suatu sebutan yang diberikan kepada sesuatu bentuk/corak

lagu yang pengungkapannya selalu berhubungan erat

dengan instrumen gamelan.

Dalam membawakan suatu gendhing, masing-

masing instrumen gamelan berperanan sesuai dengan

157

fungsinya, hal ini sangat bergantung kepada bentuk dan

jiwa gendhingnya. Misalnya saron ditabuh nacah, slentem

ditabuh secara gemakan, bonangnya ngracik dan sebagai-

nya. Seperti hal di Jawa Tengah, Sunda dan Bali, penotasian

gendhing-gendhing di Jawa Timur juga menggunakan

sarana titilaras sistim Kepatihan.

Khususnya dalam "Karawitan Jawa Timuran" maka

bentuk-bentuk gendhing di Jawa Timur dapat dibagi :

1. Gendhing Giro, misalnya: Giro Endro, Giro Bali, Giro

Becekan dan Giro Runtung.

2. Gendhing Gagahan, misalnya: Gajahendro, Gejig jagung

dan lain sebagainya.

3. Gendhing Ketawangan, misalnya: Cokronegoro,

Beskalan, Samirah, dan lain sebagainya.

4. Gendhing Gede, misalnya: Gondokusumo, Kutut-

manggung, Bedat dan sebagainya.

D. Gendhing Bonangan

Suatu corak gendhing Jawa Timuran yang dalam

penggarapannya hanya menggunakan instrumen gamelan

terbatas. Dalam hal ini instrumen gamelan yang ditabuh

antara lain: bonang babok, bonang penerus, demung, saron,

peking, slentem, kenong, gong/kempul dan kendang.

Disebut gendhing bonangan karena dalam hal ini

instrumen bonang babok menjadi peranan utama, baik

dalam memulai (mengawali/buka) gendhingnya, maupun

158

dalam memproses gendhingnya yang secara dominan

tampak lebih menonjol dibanding dengan tabuhan lain-lain

instrumen pendukungnya.

Sifat gendhingnya adalah dinamis, hidup dan

bersemangat. Sering juga dengan istilah yang lain

dinamakan gendhing "gagahan". Di bawah ini salah satu

contoh jenis gendhing bonangan Jawa Timuran ditulis

dengan notasi sistim Kepatihan.

Gender

Salah satu nama dari pada alat gamelan yang

terbuat dari lempengan logam tipis. Lempengan logam

sebanyak + 14 buah ini ditaruh berjajar dari ukuran besar

sampai kecil dengan bantuan dua utas jajaran tali, dimana

masing-masing bilah tersebut teiikat pada ke dua jajaran

tali itu dengan melalui semacam lubangan kecil sebanyak

dua buah, yang terletak dekat pada ke dua ujungnya.

Sebagai penguat ikatan, maka disisipkan semacam pasak-

pasakan kecil di antara tali dengan bilah, dengan posisi

tepat di bawah masing-masing lubangan tersebut.

Adapun lempengan gender sebanyak 14 buah

tersebut tersusun dari kiri ke kanan, dengan urutan laras

nada rendah sampai meninggi (dilihat dari posisi duduk

menghadap deretan dengan bilah besar/nada rendah pada

sebelah tangan kifi).

Kemudian deretan bilah gender yang terikat pada

159

kedua jajaran tali tersebut dengan bantuan alat penompang

(semacam tiang-tiangan kecil) ditaruh di atas semacam

pangkon, terbuat dari kayu.

Pada ke dua ujung pangkon ini, ke dua jajaran tali

pengikat bilahan tersebut diikatkan pada semacam kayu

bulat panjang, sedemikian rupa, sehingga lempengan bilah

gender ini dapat terletak berjajar/berderet dengan posisi

menggantung, di atas pangkon.

Sebagai alat resonator, maka tepat di bawah

masing-masing bilahan ditempatkan semacam bumbungan

terbuat dari bahan bambu atau seng, dengan posisi berjajar

sebanyak jumlah lempengannya, dimulai dari bumbungan

ukuran besar, untuk nada rendah dan berturut-turut

mengecil untuk nada-nada di atasnya.

Adapun laras nada bilahan gender sebanyak 14

buah ini, untuk gamelan Jawa Timuran, lazimnya dimulai

dengan 1 (barang gede) dan ber akhir dengan nada 5 (lima

kecil, lima cilik), sedangkan untuk gamelan Jawa Tengahan

pada umumnya dimulai dengan nada 6 (nem besar) dan

berakhir pada nada 3 (telu kecil = dada cilik ).

Jenang Jagung

Adalah salah satu jenis lagu anak-anak khas

Banyuwangi, yang terkenal di daerah pedesaan. Dasar laras

lagu ini Slendro dan termasuk lagu lama. Lagunya terdiri

dari dua baris kalimat, merupakan pantun. Kalimat

160

pertama, merupakan bahasa liris, sebagai sampirannya,

sedangkan kesimpulannya adalah kalimat yang ke dua.

Siapa pencipta lagu ini tidak diketahui. Demikian juga

kapan timbulnya serta bagaimana latar belakang sejarahnya

tidak diketahui. Di bawah ini lagu dan syairnya, ditulis

dengan notasi sistim Kepatihan.

Jenang Jagung Ri, ri, ri kolek jenang Jagung pupu sampai Bibik dilag-dilog paman mumpung teka manol Terjemahan : Ri, ri, ri kolek jenang jagung pupu gempol (bahasa liris) Bibi merenung sedih, karena paman marah-marah Setelah datang dari kerja keras.

Kalong Embat — Embat

Adalah salah satu jenis lagu rakyat Banyuwangi,

yang sekarang ini sangat populer di dalam seni Angklung

Banyuwangi. Dasar laras lagu ini adalah Slendro. Lagu ini

termasuk lagu lama, kemudian oleh seniman setempat

diangkat ke dalam seni Angklung Banyuwangi dengan

merubah beberapa kata yang disesuaikan dengan kemajuan

dan situasi jamannya.

Lagu ini terdiri dari enam baris kalimat, tiga

kalimat di bagian atas merupakan sampirannya, yang tidak

dapat dipahami maksudnya secara keseluruhan. Sedangkan

tiga kalimat di bawah merupakan simpulannya.

161

Siapa pencipta lagu ini tidak diketahui, demikian

pula kapan timbulnya serta bagaimana latar belakang

sejarahnya juga belum diketahui. Di bawah ini lagu dan

syairnya, ditulis dalam notasi sistim Kepatihan.

Kalong Embat—Embat Kalong embat-embat, kalong embat-embat Tukokena tumbak, tumbake kek Cendala Kalong embat-embat, kalong embat-embat Abote keliwat, aja katik sambat Kadung arep urip enak sampurna Ayo kanca pada bersatua

Kuluban Buncis

Adalah salah satu jenis lagu anak-anak khas Banyu-

wangi terutama dikenal di daerah pedesaan, Dasar laras

lagu ini Slendro dan termasuk lagu lama. Ditilik dari

kalimat yang ada di dalamnya menunjukkan adanya

sindiran kepada seseorang. Siapa pencipta lagu ini tidak

diketahui. Demikian pula kapan timbulnya serta bagaimana

latar belakang sejarahnya tidak diketahui.

Biasanya kagu ini dibawakan secara bersama-sama,

tetapi kadang-kadang dibawakan secara perseorangan.

Adapun waktunya terutama pada saat-saat terang bulan,

suatu saat dimana biasanya anak-anak berkumpul bermain

dan berlagu. Di bawah ini lagu dan syairnya, ditulis dalam

notasi sistim Kepatihan.

162

Kuluban Buncis Tim, timbul, kuluban buncis Atim ngambul njalukan picis Sing duweni kelantur nangis Bokong kandel kakehan tepis

Kebyokan

Kebyokan adalah suatu istilah untuk memberikan

sebutan kepada suatu pola pukulan instrumen bonang

penerus dalam karawitan Jawa Timuran. Kebyokan ini

lazimnya dilaksanakan oleh bonang penerus dalam mengi-

ringi gendhing-gendhing bonangan.

Jadi di satu pihak, bonang babok ditabuh secara

"ngracik" di lain pihak, sebagai imbangannya bonang pene-

rus ditabuh secara "kebyokan". Dalam hal ini pelaksanaan

pola pukulannya adalah secara gembyangan (pukulan atas

dasar nada oktaf), dengan mengambil dasar laras-nada

balungan gendhing yang jatuh pada hitungan "dong"

(pukulan hitungan genap).

Kempul

Kempul adalah termasuk kelengkapan instrument/

gamelan yang susunannya menjadi satu rumpun dengan

gong. Bentuknya adalah seperti bundaran mangkuk besar,

bergaris tengah 40 cm a 50 cm dengan permukaan datar

dan semacam bisul ( jawab : pencon ) di tengah-tengah.

163

Kempul ini ditempatkan tergantung pada semacam

gawang yang disebut gayor bersama dengan gong. Pada

gamelan Jawa Timuran khususnya, hanya mengenal

penggunaan satu kempul saja dengan dasar laras nada Nem

/6) atau Lima (5) Slendro. Sedangkan pada gamelan versi

Jawa Tengahan pada umumnya menggunakan lebih dari

satu kempul, bahkan kadang-kadang sebanyak laras nada

yang terdapat dalam susunan Slendro Pantatonik ataupun

Pelog. Hal ini tergantung kepada selera dan kesukaan dari

yang empunya gamelan.

Dalam proses penampilan gendhing Jawa Timuran

bunyi kempul adalah sangat dominan, hal ini khususnya

pada gendhing-gendhing Krucilan Jawa Timuran, di sini

kempul dibunyikan secara menitir terus-menerus sampai

berhentinya proses gendhing.

Kula Nunggang Sepur

Lagu ini adalah salah satu jenis lagu rakyat

Banyuwangi yang populer di kalangan masyarakat luas.

Kemungkinan lagu ini berasal dari Jawa Tengah, yang

dikenal sebagai "Sinten numpak sepur", yang kemudian

dioleh, sehingga pola lagunya menjadi gaya Banyuwangi.

Dasar laras lagu ini ialah Slendro. Lagu ini termasuk

lagu lama yang timbulnya pada masa perjuangan. Ditilik

kalimatnya, mudah dimengerti maksudnya. Kalimat pada

baris pertama dan ke tiga hanya sekedar sampiran, yang

164

dipentingkan adalah pada baris ke dua dan ke empat. Siapa

pencipta lagu ini tidak diketahui, sedangkan timbulnya

diperkirakan pada masa-masa perjuangan kemerdekaan.

Lelagon Milang Kori Kutha Yogyakarta mas misuwur gudhege Tlatah Wonosari sing kondhang gaplek telane Yen Yogya mangidul jajan geplak Bantul Mesthi bakal tuman mundhut salak pondhoh Sleman Njajah desa milang kori nggoleki condhonging ati Tempe baceme gebleg Wates tambah pantes Mantingan peyek jingkinge Sargedhe kondhang yangkone.

165

Daftar Pustaka

Anjar Any, 1990, Ramalan Jayabaya, Sabdo Palon, dan Rangga Warsita, Apa Yang Terjadi, Semarang: Aneka Ilmu.

Bratadiningrat, 1990, Asal Silah Warni-Warni, Surakarta.

Charles Winick. 1961. Dictionary of Anthropology. Little

Field Adams & Co. Clifford Geertz, 1983, Santri Abangan dan Priyayi,

Jakarta: Pustaka Jaya. Damardjati Supadjar, 1978, Unsur Kefilsafatan Sosial yang

Terkandung dalam Serat Sastra Gendhing, Yogyakarta: Bentang.

Djamhari, 1971, Primbon Kawedar, Madiun. Graff, 1987. Awal Kebangkitan Mataram Masa

Pemerintahan Senopati. Jakarta: Grafiti Pers. Haryana Hardjawiyana. 1986. Bentuk Ulang dalam

Nyanyain Rakyat Jawa. Yogyakarta : Depdikbud Hazeu, 1987. Kawruh Asalipun Ringgit sarta

Gegepokanipun Kaliyan Agami ing Jaman Kina. Jakarta: Balai Pustaka.

James Dananjaya. 1984. Folklor Indonesia. Jakarta :

Grafitit Press. ______________. 1986. Andhe-andhe Lumut : Dongeng

Cinderela yang mempunyai Nilai Pedagogis. Yogyakarta : Depdikbud

Jayasubrata, 1917, Babad Tanah Jawi, Semarang: Van Dorp & Co.

166

Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka.

Padmosukotjo, 1995. Silsilah Wayang Purwa Mawa

Carita. Surabaya: Citra Jaya Murti. Sardanto Cokrowinoto, 1986. Manfaat Folklor bagi

Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta : Depdikbud Sartono Kartodirdjo. 1986. Suatu Tinjauan Fenomenologis

Tentang Folklor Jawa. Yogyakarta : Depdikbud. Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Rang-

gawarsita: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati, Jakarta: UI Press.

Siti Hardiyati. 1991. Butir-Butir Budaya Jawa. Jakarta :

Gramedia. Siti Woerjan Soemadijah Noeradyo, 1991. Kitab Primbon

Betaljemur Adammakna. Yogyakarta: Soemodidjojo Maha Dewa.

Soepanto. 1986. Folklor Sebagai Sumber Informasi

Kebudayaan Daerah. Yogyakarta : Depdikbud Sumarti. 1986. Ungkapan Tradisional Jawa Sebuah

Tinjauan Awal. Yogyakarta : Depdikbud Soetardi Soerjohoedojo, 1996, Pepali Ki Ageng Sela,

Surabaya : Citra Jayamurti. Suripan Sadi Hutomo, 2001, Sinkretisme Jawa – Islam,

Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta. Tanaya, R. 1979. Kidungan ingkang Jangkep. Solo : Sadu

Budi.

167

Biografi Penulis

DR. PURWADI, M.HUM lahir di Grogol,

Mojorembun, Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 16

September 1971. Pendidikan SD sampai SMA diselesaikan

di tanah kelahirannya. Gelar sarjana diperoleh di Fakultas

Sastra UGM yang ditempuh tahun 1990-1995. Kemudian

melanjutkan studi pada Program Pascasarjana UGM tahun

1996-1998. Gelar Doktor di UGM diperoleh pada tahun

2001.

Kini bertugas sebagai Dosen di Jurusan Pendidikan

Bahasa Daerah Fakultas Bahasa dan Seni Universitas

Negeri Yogyakarta. Tinggal di Jl. Kakap Raya 36 Mino-

martani Yogyakarta 55581. Telp 0274-881020.