Upload
akademia
View
97
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Naskah buku
Catatan-catatan Ringan Aktivis
Rekonstruksi Nalar Religius
Memahami Posisi Islam dalam Konstelasi Geo Sosio Politik
Oleh :
Abaz Zahra
1
Sebagai Jembatan Awal Menatap Dunia Yang Sesungguhnya
2
Pengantar Penulis
Sejak diterbitkannya buku terbaru Samuel P. Huntington yang berjudul
Who Are We?- ˆ: The Challenges to America's National Identity tahun 2004 lalu
kondisi Islam dalam konstelasi geopolitik semaki1n tertantang. Dalam buku
sebelumnya, The Clash of Civilization, penasehat awakan Gedung Putih ini belum
terang-terangan mengatakan bahwa Islam adalah musuh besar bagi Amerika Serikat,
namun dalam buku terbarunya itu, Huntington mengatakan dengan tegas bahwa
Islam Fundamental adalah musuh besar yang harus dibasmi.
Ketika dilihat dalam buku tersebut memang tercantum Islam
Fundamental yang militant sebagai musuhnya, namun pada realitas di lapangan
semua kelompok Islam, baik Islam moderat, Islam liberal dan kelompok Islam
lainnya mendapatkan serangan dan warning yang sama dari Amerika Serikat.
Secara politis demikian, bahwa kondisi percaturan politik global dalam
pemetaan Huntington sebelumnya, Islam merupakan salah satu kekuatan besar
yang akan menjadi lawan dari peradaban Barat. Benturan peradaban yang akan
terjadi salah satunya adalah antara Islam dan Barat, disamping nanti muncul
Confucianisme yang berkembang di China. Ini memberi alamat yang semakin
jelas bagi perkembangan Islam ke depan, apalagi setelah Irak dan Afghanistan
diserang secara membabi buta oleh Amerika Serikat serta Libanon oleh Israel, ini
mengalamatkan bahwa Islam secara politis akan terus diserang tanpa ampun
1
3
untuk memenuhi ambisi Amerika Serikat dan mematahkan kekuatan Islam dalam
konstelasi geopolitik.
Di samping penyerangan secara politis, Barat (baca: Amerika Serikat)
juga menyerang sisi kebudayaannya, dalam bahasa Hassan Hanafi disebut
dengan imperialisme budaya. Dimana kebudayaan non-Barat secara perlahan
akan diputus akar kesejarahannya dan menggantinya dengan budaya popular ala
Barat.
Penyerangan sisi budaya ini berbuntut pada hilangnya khazanah local
yang dimiliki oleh negara-negara non-Barat, tradisi dan ritus budaya akan tergilas
oleh kemasan budaya popular yang memang lebih menarik perhatian
dibandingkan dengan khazanah local. Inilah yang kemudian menjadi persoalan
pelik disamping persoalan pada ranah politik.
Sementara itu, dalam tubuh Islam sendiri, komunikasi internal juga
belum selesai, dimana satu madzhab dengan madzhab lainnya belum berada pada
satu pandangan yang sama untuk menentukan satu musuh bersama (common
enemy). Kalaupun telah mencapai kesepakatan itu, jalur pergerakan yang
dilakukanpun masih khilafiyah dikarenakan perbedaan penafsiran atas model
perjuangan (jihad).
Indonesia yang merupakan kandangnya warga Islam dengan jumlah
penduduk yang menganut agama Islam terbesar di dunia tentunya juga menjadi
wilayah yang turut serta tergabung dalam permainan sosio politik dunia. Dan ini
juga tidak hanya terjadi saat ini saja, campur tangan Barat terhadap kemerdekaan
secara sosial telah terjadi sejak zaman kuno hingga sekarang.
4
Percaturan politik nasional tidak terlepas dari persoalan politik global,
karena diakui atau tidak Indonesia telah terpetakan sebagai negara Islam moderat
yang dengan mudah telah menjadi boneka Amerika Serikat.
Tulisan yang ada disini merupakan ungkapan dari keresahan yang saya
alami ketika saya membaca buku-buku. Dari buku saya menjadi tahu kondisi
yang sebenarnya tentang dunia ini, tetapi, berangkat dari tanggung jawab saya
sebagai kader organisasi pergerakan, saya tidak mampu melakukan apapun untuk
merubah tatanan busuk ini. Oleh karena itulah saya ingin membagi keresahan
yang saya alami ini kepada semua orang.
Buku kecil ini merupakan wujud konkrit ucapan terima kasih saya
kepada kedua orang tua tersayang atas perjuangannya mendidik saya untuk selalu
resah dengan kemapanan, adik dan kakak beserta anak-anaknya atas
dukungannya dalam menatap masa depan, We will always together.
Wacana-wacana yang digulirkan dalam buku kecil ini merupakan buah
dari diskusi rutin yang diadakan oleh PC PMII Wonosobo, oleh karena itu
melalui buku ini saya hendak mengucapkan terima kasih kepada Pengurus PC
PMII Wonosobo, PMII Komisariat Ahimsa Unsiq, BEM Unsiq, Senat Fakultas
Dakwah dan Komunikasi, PPTQ Al Asy’ariyyah, LPM SQ dan kawan-kawan
teater BanyuDahsyat. Alumni PMII di Wonosobo yang telah memberikan
motivasi berlebih kepada saya.
Terima kasih buat sahabat pemburu ilmu, Nadr Rose, Parman, Pak Dhe
Tujo, Dhe Ulfi, Ushi Myut, Yuti Riau, Ipul Lampung, Fredy Nabire, Mudzakir,
Masruh, Mat Leader, Fasihul Lisan dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu
5
persatu, yang paling utama untuk De’ Titin Apriyani yang telah memberi
semangat berlebih secara spiritual dan sugesti yang besar dalam bergerak.
Perhatian dan pengarahan dari ‘Wong Gedhe’ seperti Mas Hasan
Asy’ari, S.Pd.I (PKB), Pak Drs. Arifin Shidiq, M.Pd (PCNU/KPU), Mas Arif
Ruba’I (KM’B’PI), Mas Syarif Abdillah (KMNU Jateng), Mas Bobby (PKC
PMII Jateng), Pak Kholiq Arif, M.Si (Bupati Wonosobo), Mas Herry Haryanto
Azumy (PB PMII) dan lain-lain. Bimbingan dari Dosen Muda Gaul, Om Mubin,
Mas Haqqy, Bang Wondo, Om To’am, Mas Amirrudin, Dekan Fakultas, Drs.
Samsul Munir, MA dan Rektor, Prof. Dr. Zamachsari Dhofier, MA merupakan
pembangkit sugesti yang besar.
Banjarnegara, Februari 2008
Abaz Zahra
6
Daftar Isi
Halaman Judul :..............................................................................
Pengantar Penulis :..............................................................................
Daftar Isi :..............................................................................
Islam Revolusioner :.............................................................................
Dekonstruksi Pemahaman Klasik atas Ajaran Islam : .........................
Jalan Baru, Mungkinkah? :..........................................................................
Dirasat Islamiyyah Hassan Hanafi :
• Al Yasar Al Islam :
• Oksidentalisme :
• Oksidentalis atau Tukang Ramal?
Jihad, Dulu, Sekarang dan yang akan Datang: .....................................
Jihad Hari Ini dan yang Akan Datang :........................................................
Islamophobia :.............................................................................
• Islamophobia Max Weber................................................................
• Kritik Agama Marx :........................................................................
• Dampak Islamophobia : ..................................................................
Konstelasi Geo Sosio Politik dan Pengaruhnya terhadap Geografi
Sosio Religius Nasional
:
7
• Definisi dan Gambaran Global :
• Realitas Geopolitik Hari Ini :
• Geneologi Sosial Politik (Geosospol) :
• Islam Indonesia :
• Konstelasi Geopolitik dan Geografi Sosio Religius Nasional :
Daftar Pustaka :
Biografi Penulis :
8
ISLAM REVOLUSIONER
Sebelum sampai pada makna yang sesungguhnya dari Islam
Revolusioner yang sebenarnya esensinya tidak terlalu jauh berbeda dengan apa
yang menjadi tesis Hassan Hanafi yakni The Left Of Islam (Al Yassar Al Islam)
atau Islam Pembebasan (Islam and the Relevance to our age) yang ditulis oleh
Asghar Ali Engineer, ada satu hal yang seharusnya kita kaji dulu dalam Islam itu
sendiri terkait dengan ajaran-ajaran serta semua hal yang melingkupi tentangnya.
Banyak sesungguhnya di dalam Al Qur’an yang mengatakan bahwa
Islam merupakan agama revolusioner atau agama yang hendak merubah tatanan
sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat secara kolektif ke arah yang lebih
baik. Di dalam Al Qur’an, tidak terlalu tampak secara berlebihan tentang
revolusionernya secara implisit, namun secara eksplisit ketika ayat tersebut
ditafsirkan dengan metode kontekstual histories (meminjam istilah Hassan
Hanafi) hampir sebagian besar isi Al Qur’an merupakan upaya untuk merubah
atau tepatnya menjadikan Al Qur’an sebagai media utama revolusi.
Satu hal lagi yang perlu ditekankan dalam hal ini, yakni terkait dengan
makna Islam revolusionernya sendiri. Bahwa revolusioner yang diangkat dalam
Islam itu tidak hanya hal-hal besar yang cakupannya global saja, tetapi hal-hal
kecil sampai detail merupakan objek perubahan. Sebagai pembandingnya, Islam
tidak hanya merubah tatanan geososiopolitik saja tetapi melakukan perubahan
sampai hal yang sifatnya personal dan tabu sekalipun seperti berkhitan,
9
memotong bulu kemaluan, sex dan sebagainya. Artinya, revolusi yang
ditawarkan oleh Islam sebagai solusi kolektif atas berbagai persoalan yang
sifatnya mendunia hari ini berangkat dari hal-hal yang sebenarnya ringan dan
tidak terpikirkan oleh kita untuk diubahnya, karena sesungguhnya Islam
mempercayai bahwa hal-hal yang kita anggap sepele akan berbuntut pada hal-hal
yang besar yang terkadang kita sendiri tidak mampu mengatasinya.
Persoalan sederhana yang kita hadapi sehari-hari dengan sendirinya
akan menjadi kebiasaan dan seterusnya mampu menjadi persoalan besar. Ini
memang benar adanya, artinya dalam hal ini Islam mencoba menggulirkan satu
wacana baru tentang bagaimana memanage hal-hal sepele dalam hidup kita
sebagai langkah antisipatif terhadap munculnya hal-hal besar. Analogi
sederhananya, ibaratkan persoalan sepele itu setitik debu, maka lama-kelamaan
debu itu akan bergabung bersama debu-debu lainnya, menggumpal dan kemudian
menjadi batu gunung yang besar yang mampu meremukkan apapun yang
dilewatinya.
Dalam wilayah sederhana ini, kemudian Islam mengajak umatnya untuk
berkaca pada sejarah masa lalu untuk di jadikan referensi dan mempelajari
kejadian tersebut mulai dari tahap penampilan masalah sampai pada ending dari
sejarah itu. Klimaks konflik dan anti klimaksnya yang kemudian harus
mendapatkan perhatian khusus agar persoalan-persoalan yang muncul dapat
segera diketahui penyebabnya serta kemudian merumuskan strategi untuk
bagaimana persoalan tersebut mendapat penyelesaian yang paling baik dan
solutif.
10
Hal ini ada kaitannya dengan apa yang dikatakan oleh penganut filsafat
materialisme historis (evolusionisme mekanis) yang cenderung mempercayai
bahwa sejarah pada dasarnya selalu berputar, apa yang terjadi pada kejadian hari
ini dan akan datang sesungguhnya telah terjadi juga di masa lampu dengan
konsep yang sama. Perbedaan dari kejadian itu hanya terletak pada kuantitas dan
kualitasnya saja. Dapat dicontohkan misalnya imperialisme dan kolonialisme
ekonomi hari ini yang kita rasakan sesungguhnya telah terjadi pada masa lampau
dengan kejadian yang sama namun dalam konsep yang berbeda, kolonialisme dan
imperialisme ekonomi yang terjadi pada masa lampau dilakukan dengan system
yang sederhana dan strategi yang masih dangkal.
Islam dikatakan membawa sejarah sebagai referensi umat Islam dalam
menyelesaikan persoalan menjadi alasan kenapa Allah kemudian banyak
menceritakan kisah-kisah para nabi dan rasul terdahulu dalam Al Qur’an. Yang
ditulis di dalam Al Qur’an, terutama kisah-kisah para nabi dan rasul ini bukan
hanya untuk diketahui sebagai pengetahuan umum untuk kemudian di
dongengkan kepada anak cucunya saja tetapi untuk dipelajari dan diambil makna
dari cerita itu. Tiap tokoh kemudian dikaji dari berbagai sisi, baik sisi sosial,
ekonomi maupun budayanya dan kemudian dibandingkan dengan tokoh-tokoh
lainnya, bagaimana munculnya konflik, penyelesaian konflik sampai pada
bagaimana menciptakan tata sosial yang baru pasca konflik.
Kisah-kisah nabi dan rasul terdahulu ketika dikaji dengan model
kontekstual histories dapat ditemukan banyak hal terkait dengan persoalan yang
dilematis hari ini. Persoalan mengenai konflik antara rakyat dengan penguasa
11
dapat dijumpai pada kisah nabi Yusuf dan nabi Musa, bagaimana Yusuf bersikap
ketika sedang dalam masa hukuman di penjara, tentang bagaimana Nabi Musa
bersama pasukannya melawan dominasi kekuatan Raja Fir’aun2. Persoalan
mengenai politik dapat berkaca dari Nabi Sulaiman, tentang manajemen Negara
sebesar negara Sulaiman yang dilakukan secara sentralistik yang langsung
kepada Raja Sulaiman, bagaimana Nabi Sulaiaman melakukan penggabungan
negara dengan negara ratu Bilqis, di bidang militer Kisah Nabi Sulaiman dengan
tentara dari manusia, binatang dan jin dapat di control dalam one man one
commando di tangan nabi Sulaiman.
Di bidang pendidikan, kisah nabi Musa ketika mencari Nabi Khidzir,
ketabahannya dan kesabarannya dalam menuntut ilmu dapat menjadi rujukan hari
ini bagaimana menyelesaikan persoalan rendahnya sugesti masayarakat untuk
bersekolah, sehingga negara kita dilanda kebodohan kolektif. Manajemen
pendidikannya, dapat diambil dari kisah nabi-nabi yang menyampaikan
risalahnya secara kontinyu dengan tempat seadanya dan waktu sesenggangnya.
Artinya belajar dapat dimanapun, kapanpun dengan guru siapapun.
Banyak kejadian sejarah dari para nabi terdahulu yang dapat dijadikan
rujukkan untuk mencari solusi kolektif atas multiproblem yang terjadi di tengah-
tengah kita hari ini.
2 Kisah ini disebutkan dalam Al Qur’an saat bagaimana Bani Isra’il yang dipimpin Musa melawan Fir’aun, pada akhir cerita Allah menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya saat menyeberangi lautan. Allah berfirman; “Maka Fir'aun dengan bala tentaranya mengejar mereka, lalu mereka ditutup oleh laut yang menenggelamkan mereka” (QS.20.78)
12
Sederhananya, dari kisah sejarah yang dituliskan dalam Al Qur’an saja
dapat kita ambil banyak pelajaran untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang
dilematis di tengah-tengah kita hari ini. Belum lagi ketika kita buka ayat-ayat
makiyyah yang di turunkan di Makkah yang kebanyakan isinya tentang hukum
syariat yang mengatur hubungan teologis dan hubungan muammalah
(sosiologis), disini secara lebih jelas diatur mengenai bagaimana seharusnya kita
berpolitik, bagaimana menciptakan tata sosial yang madani, tentang apa yang
seharusnya dilakukan ketika berhubungan dengan Allah dan seterusnya.
Dalam Al Qur’an, kisah-kisah nabi terdahulu tidak hanya untuk
kemudian dijadikan petuah dan dongeng saja, akan tetapi apa yang digambarkan
tentang kemurkaan Allah terhadap suatu kaum yang mengabaikan kepentingan
teologis dan humanis di tengah-tengah kaumnya secara nyata, kemudian atas
mereka Allah dengan kebesarannya kemudian menurunkan beraneka bencana
yang terkadang diluar akal sehat manusia. Kaum Nabi Nuh yang berada di sekitar
gurun berpasir oleh Allah kemudian diturunkan bencana berupa banjir bah yang
besar sehingga seluruh kaum, kecuali pengikut nabi Nuh, tenggelam oleh banjir
tersebut. Atau yang lebih jelas lagi, Raja Ramses (Fir’aun) di zaman nabi Musa
ditenggelamkan di dalam lautan ketika nabi Musa berhasil membelah lautan
hanya dengan pukulan tongkatnya.
Satu hal lagi, bahwa selain memberikan petuah secara implicit dan
eksplisit, Al Qur’an juga memberikan jawaban atas persoalan motivasi dalam
melakukan revolusi (perubahan) sebagai manifestasi atas ajaran yang terkandung
13
di dalam Islam, seperti misalnya, Allah memberikan sindiran halus dengan
Firmannya
“… Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga kaum itu
sendiri merubahnya”.3
Disinilah kemudian apa yang dimaksud Hassan Hanafi bahwa Islam itu
harus mampu menciptakan antroposentrisme yakni peradaban yang berpusat pada
manusia memperoleh legitimasi selain dari ayat yang mengatakan bahwa
manusia adalah khalifatu fi al ardl yang berhak memanage dunia beserta isinya.
Di sisi lain, bahwa terkait dengan manusia sebagai khalifatu fi al ardl maka
manusia memperoleh kebebasan dan tanggung jawab untuk melakukan
perubahan terhadap tata sosial masyarakat dan alam sekitarnya yang tidak sesuai
dengan hokum Islam untuk menciptakan kemaslahatan bersama (kesalehan
kolektif). Allah berfirman :
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi”4
Jabatan khalifatu fi al ardl dan keharusan manusia melakukan
perubahan terhadap negaranya apabila negara tersebut di pegang oleh kekuasaan
yang menindas dan sewenang-wenang memberikan inspirasi lebih bahwa dengan
3 Surat Al Ra’d ayat 11
4 Surat Al Baqarah [2] 30
14
hanya dua tanggung jawab ini motivasi untuk revolusi dapat dimunculkan dengan
bermodalkan keberanian dan tanggung jawab secara kolektif masyarakat Islam di
dunia, tanpa membedakan status dan madzhab yang dianut.
Disini baru satu sumber utama, sumber yang kedua berupa hadits dapat
lebih jauh lagi diketahui tentang bentuk revolusi yang ditawarkan oleh Islam
sebagai langkah efektif untuk dapat merubah tatanan ipoleksosbudhankam yang
dilematis dan menindas. Hadits memberikan jabaran lebih luas dan mendalam
serta lebih detail, tugas hadits adalah menterjemahkan isi Al Qur’an secara lebih
luas dan teknis, oleh karena itu peran hadits sebagai penerjemah akan lebih luas
cakupannya di bandingkan dengan sumber utamanya.
Menjabarkan tentang peran hadits dalam melakukan dukungan
revolusioner terhadap Al Qur’an akan di temukan penjelasan yang lebih
mendalam, mengingat hadits tidak hanya ucapan nabi Muhammad, tetapi juga
tindakan dan sikapnya maka dapat dengan mudah diketahui tindakan
revolusioner nabi Muhammad dalam melakukan perubahan di tanah Arab
khususnya dan dunia pada umumnya.
Masyarakat Arab sebelum nabi Muhammad diangkat menjadi
Rasululullah banyak tindakan yang tidak manusiawi muncul. Bayi yang lahir
dengan jenis kelamin perempuan akan dikubur hidup-hidup, berjudi dan mabuk-
mabukan merupakan identitas mereka, perbudakan, penindasan dan kesewenang-
wenangan terhadap kaum miskin dapat mudah dijumpai. Sesembahan mereka
berupa batu yang dipahat berbentuk berhala yang di letakkan di bangunan suci
15
Nabi Ibrahim, Ka’bah, yang mereka namai Latta dan ‘Uzza. Dan sederetan
tindakan jahiliyyah lainnya.
Dari fenomena yang kurang manusiawi di tengah-tengah masyarakat
Arab ini, Muhammad muncul sebagai orang yang berhati halus, jujur, berotak
cerdas dan oleh masyarakatnya Muhammad mendapatkan gelar Al Amin5.
Muhammad yang merasa prihatin dengan kondisi ini kemudian menyeret dirinya
untuk merenungi dan menyendiri berkontemplasi di gua Hira’, sebuah gua yang
berada di pegunungan berbatu di luar kota Makkah.
Ditengah kontemplasinya yang dilakukan secara kontinyu (istiqamah),
Jibril kemudian atas perintah Allah menurunkan wahyu pertama yang membuat
Muhammad merasa ketakutan. Asghar Ali Engineer6 mencatat dalam peristiwa
penurunan wahyu pertama ini, bahwa wahyu yang pertama kali secara esensial
memang berwatak religius, namun tetap menaruh perhatian lebih kepada
fenomena sosial yang ada di sekitarnya.
Makkah yang ketika itu merupakan pusat perdagangan yang penting.
Dimana secara geografis Makkah menjadi kota yang paling diperuntungkan
karena menjadi jalur perdagangan dari Arabia Utara ke Arabia Selatan atau
sebaliknya. Makkah menjadi jalur utama perdagangan dan menjadi pusat
pertemuan para pedagang dari kawasan Laut Tengah, Teluk Parsi, Laut Merah
melalui Jeddah. Pedagang dari Afrika pun banyak yang melakukan transaksi
perdagangan melalui rute Makkah ini. Dari keadaan inilah Makkah kemudian
5 Gelar Al Amin diterima oleh Muhammad sebelum ia diangkat menjadi Rasulullah. Al Amin adalah gelar yang diberikan kepada orang yang jujur, menjaga amanat dan dapat dipercaya.
6 Asghar Ali Engineer, 2007, Islam and Relevance to Our Age, Penerj. Hairus Salim dkk, LKiS Jogjakarta, hal. 4
16
diuntungkan sebagai kota penting yang menjadi pusat keuangan dari kepentingan
internasional yang besar.
Seiring dengan perubahan kota Makkah menuju wilayah perdagangan
internasional ini, maka secara perlahan masyarakat arab tata nilai sosialnya
sedikit demi sedikit bergeser ke arah baru yang lebih praktis. Masyarakat yang
sebelumnya lebih mengutamakan sentiment kesukuan atau sentiment Klan untuk
kemudian mengalami transisi sosial. Dan ternyata tidak hanya perubahan pada
wilayah kesukuan saja, tetapi juga perubahan terjadi pada wilayah kepercayaan
dan pandangan hidup masyarakat.
Masyarakat Badui yang tinggal di sekitar kota Makkah mungkin yang
paling merasakan pil pahit dari perubahan sosial dan ekonomi ini. Biaya hidup
yang harus ditanggung oleh masyarakat suku Badui dan suku-suku lainnya
semakin meningkat karena pertumbuhan ekonomi yang cepat ini.
Hal yang terjadi pada suku Badui ini berbanding terbalik dengan
kondisi ekonomi para pedagang. Dimana ketika masyarakat Badui menderita
karena tekanan ekonomi dengan biaya hidup yang semakin tinggi, justru para
pedagang di kota Makkah merasakan sebaliknya, mereka berlomba-lomba
memperkaya diri dengan menjual komoditas perdagangan yang banyak disukai
oleh pangsa pasar.
Keadaan yang terlalu kacau balau ini, merupakan akar pusat yang
menyebabkan banyaknya konflik sosial di kota Makkah. Dimana dari persoalan
kesenjangan ekonomi ini, kemudian secara perlahan mulai menurun pada bidang
sosial lainnya.
17
Para pedagang yang memegang kendali atas dunia perdagangan pada
saat itu kemudian melakukan berbagai cara untuk memusatkan kekayaan pada
diri mereka masing-masing. Berbagai koorporasi perdagangan kemudian muncul
sebagai akibat dari keinginan untuk terus memperkaya diri. Koorporasi ini selain
untuk menguasai arus perdagangan dalam satu wilayah juga untuk melakukan
monopoli perdagangan sepenuhnya atas wilayah yang telah dikuasainya itu.
Sebagai bentuk tandingan atau strategi banding atas kekuasaan ekonomi
dalam koorporasi itu, orang-orang miskin Makkah kemudian membentuk
komunitas yang sama. Tujuannya adalah untuk mengurangi dominasi ekonomi
para pedagang yang monopolistic, dimana system ini menjerat dan
menyingkirkan secara perlahan kaum miskin. Komunitas ini mereka namai
sebagai al Fudul7 (Liga orang-orang tulus). Dalam pembentukan komunitas ini,
Muhammad turut serta menghadirinya dan menyatakan menyetujui dan
mendukung berdirinya komunitas kaum tertindas ini.
Selain untuk menjaga integritas perdagangan, komunitas ini juga
bertugas untuk mencegah keluarnya para pedagang Yaman dari kota Makkah.
Hal ini disebabkan karena pedagang Yaman merupakan para pedagang yang
cerdas dalam managemen perdagangan antar kota, sehingga apabila pedagang
Yaman harus keluar dari Makkah, sebagai akibatnya, komunitas al Fudul ini
harus mengirimkan kafilahnya ke Yaman.
Pedagang yang kaya raya menguasai secara sepenuhnya kehidupan
sosial masyarakat Makkah. Sehingga dari sini, selain menindas secara ekonomi,
7 Sering dijumpai nama-nama lain untuk menyebut komunitas kaum tertindas ini selain Al Fudul.
18
juga melakukan penindasan sosial dengan pembudakan manusia. Orang-orang
merupakan komoditas perdagangan yang dapat diperjual belikan antar orang kaya
untuk dieksploitasi tenaganya. Selain eksploitasi tenaga, untuk budak wanita
diperalat untuk memenuhi hasrat seksual para pedagang.
Nabi Muhammad setelah diangkat menjadi Rasul melakukan revolusi
sosial masyarakat Makkah, dengan tegas ia melawan setiap tindakan
pemberhalaan terhadap batu, mengubur bayi perempuan hidup-hidup, berjudi,
penindasan ekonomi dan sosial dan sebagainya8. Revolusi ini jelas tidak mudah
dilakukan, hal ini dikarenakan tindakan jahiliyah merupakan sesuatu yang telah
masuk dalam lingkaran tradisi masyarakat Arab sehingga untuk merubah tradisi
tersebut akan mendapatkan perlawanan yang jauh lebih tegas dari serangan yang
dilakukan Muhammad.
Nyawa Muhammad menjadi taruhan sebagai konsekuensi dari revolusi
yang ia lakukan bersama pasukannya. Ia tidak menyerah meskipun mendapatkan
pertentangan dari setiap arah. Sampai-sampai karena revolusi yang beliau
lakukan membuatnya di usir dari Makkah dan bersama-sama sahabatnya hijrah
ke kota Madinah yang masih dalam wilayah Hijaz.
Di Madinah, Muhammad bersama-sama sahabatnya masih terus
mendapatkan desakkan dari berbagai pihak, tidak hanya kaum Quraisy di
Makkah saja, tetapi wilayah-wilayah luar Makkah dan Madinah yang mengetahui
tentang kerasulan dan agama baru yang dibawa Muhammad.
8 Pada tahap awal Muhammad melakukan sosialisasi secara sembunyi-sembunyi tentang wahyu yang diperolehnya kepada istri dan sahabatnya untuk mendapatkan dukungan dalam menyebarkan paham baru yag dia peroleh. Tahap selanjutnya, Muhammad mulai menyebarkan Islam dengan terang-terangan sebagai agama yang hendak memperbaiki moral (akhlaq) masyarakat.
19
Al Qur’an di Madinah masih tetap turun dengan berbagai kondisi social
dan kondisi pribadi Muhammad yang berbeda-beda. Sering kali pula Allah
menurunkan Ayat yang berisi tentang cerita-cerita kenabian terdahulu untuk
menjadi cermin oleh Muhammad dalam menghadapi setiap serangan dari pihak
luar. Ayat-ayat yang turun kemudian oleh nabi dimanifestasikan dalam setiap
gerakan dan perjuangan melawan desakan dan tantangan yang ia terima.
Disinilah peran hadits sebagai penerjemah dari Al Qur’an dapat di
ketahui, bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad adalah hadits dan
hadits tersebut merupakan pengejawantahan dari apa yang dikatakan dalam Al
Qur’an. Selain dalam bidang teknis, hadits secara tekstual juga banyak yang
mendukung revolusionisme Al Qur’an.
Misalnya saja, hadits tentang berperang melawan kebatilan, penindasan,
kesewenang-wenangan dan sebagainya banyak muncul dalam periode kehidupan
nabi Muhammad, hadits tentang berperang merupakan realisasi dari perintah
jihad yang diperintahkan oleh Allah dalam Al Qur’an.
Sampai pada wafatnya nabi Muhammad, perubahan di bidang politik
dan budaya banyak dilakukan dan banyak menyebar di berbagai negara. Revolusi
terhadap budaya lain yang tidak humanis di wilayah Negara lainpun ia lakukan
dengan strategi yang halus dan manusiawi. Perubahan social yang paling kentara
adalah berubahnya pandangan hidup yang semula berwatak imperialistic dan
kolonialistik antara orang kaya dengan orang miskin sedikit demi sedikit mulai
terkikis, Islam yang dibawa Muhammad membawa ajaran agar orang kaya
menyantuni orang miskin. Diakui atau tidak, Islam saat ini merupakan gerakan
20
yang sedang melakukan revolusi total, dimana Islam mengibarkan bendera kiri
(perlawanan) terahadap system yang primitive.
Terkait dengan Tesis Hassan Hanafi dengan Kiri Islamnya, maka posisi
Islam Revolusioner merupakan harga mati. Hubungan antara Islam Revolusioner
dan Kiri Islam adalah searah dan saling melengkapi, Tugas Kiri Islam adalah
menguak unsur-unsur revolusioner dalam agama, dan menjelaskan pokok-pokok
pertautan antara agama dan revolusi. Atau dengan kata lain, memaknai agama
sebagai revolusi. Tugas ini merupakan sebuah ‘tuntutan zaman’ yang telah
menerapkan sebuah system yang sistematis tetapi menindas dan melakukan
kesewenang-wenangan halus.
Dikatakan sebagai tuntutan zaman mengingat bahwa hari ini fenomena
kapitalisasi di segala bidang kehidupan telah mencapai titik kritis. Semua bidang
kehidupan telah disusupi oleh kapitalisme yang kapitalisme sendiri menjajah
berbagai peradaban lain yang mencoba menggugurkannya. Dan parahnya lagi
posisi Islam hari ini oleh para penganutnya dianggap sebagai agama teosentris
dimana peran tuhan sebagai pemegang utama atas kendali dunia berperan
dominan, manusia adalah boneka yang harus mengikuti apa yang dikehendaki
oleh Tuhan, sehingga tidak ada kebebasan manusia untuk melakukan perubahan
atas segala yang terjadi pada Islam dan penganutnya.
Paradigma fungsionalis ini menganggap bahwa Tuhan adalah sentral
peradaban, apa yang terjadi di dunia ini adalah merupakan kehendak Tuhan, atau
istilahnya takdir, manusia tidak berhak untuk melakukan perlawanan atau
merubah kehendak Tuhan, tugas manusia adalah sabar menghadapinya dan
21
tawakal ketika kesabaran itu telah habis. Penindasan, kesewenang-wenangan
yang terjadi atas mereka oleh siapapun merupakan kehendak Tuhan yang harus
diterima dengan lapang dada.
Dari sinilah kemudian memunculkan persoalan yang sangat fatal dan
riskan untuk merealisasikan Islam sebagai agama revolusi. Orang-orang Islam
mayoritas tidak memiliki paradigma yang strukturalisme radikal, hanya sebagian
orang Islam yang sadar dan menganggap bahwa dunia ini merupakan ‘peradaban’
yang dipegang oleh manusia dan manusia diberi kebebasan untuk mengelola dan
memanfaatkan segala sesuatu yang ada di dunia. Apabila terjadi something
trouble dalam system kesetaraan kosmologi maka hal yang harus dilakukan
adalah melawan terhadap apapun atau siapapun yang membuat kesetaraan itu
mengalami something wrong.
Paradigma masyarakat kebanyakan dalam memandang penindasan
kapitalisme dilihat dari kaca mata religiusitas, merupakan sesuatu yang telah
ditakdirkan oleh Tuhan, sebagai muslim yang taat maka harus menerimanya
dengan lapang dada dan sabar. Penjajahan ekonomi harus diterima dengan
tawakal, penguasaan akses politik dan ekonomi oleh ‘orang hitam’ merupakan
sesuatu yang harus ditawakali dan berpasrah karena semua itu merupakan
kehendak dari Allah yang merupakan cobaan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tugas Islam untuk mampu
menjadi agama revolusioner ada dua macam, dan keduanya merupakan rangkaian
yang tidak mungkin terputus salah satunya, yakni pertama Islam harus mampu
merubah paradigma pemeluknya dari Islam yang konservatif fundamentalis
22
dengan paradigma fungsionalis ke budaya humanis dengan paradigma
strukturalisme radikal.
Setelah semua pemeluknya merubah paradigmanya dan telah sampai
pada common sense (satu pandangan) maka untuk selanjutnya yang kedua Islam
baru dapat melakukan revolusi total di segala bidang kehidupan untuk melawan
dominasi kapitalisme yang menjerumuskan. Namun, satu hal yang kemudian
sampai saat ini belum dapat terrealisasi yakni pengkondisian masyarakat muslim
itu sendiri. Artinya, masyarakat muslim masih terkotak-kotak berdasarkan
madzhab, aliran dan kepercayaan yang berbeda-beda sebagai akibat dari
kesalahan sejarah yang telah membudaya di tengah-tengah Islam. Inilah yang
kemudian membuat komunikasi internal di dalam Islam sampai sekarang belum
dapat terjadi dialog yang komunikatif dan konstruktif. Semuanya berjalan
menurut kepercayaan dan ajaran mereka.
Artinya benar kata Samuel P. Huntington bahwa perang yang terjadi
hari ini dan seterusnya bukan berlatar belakang adu kekuatan militer serta
penguasaan satu negara oleh negara lainnya, tetapi lebih pada perang antar
peradaban (The Clash of Civilization). Perang untuk menjadi weltanschauungs
yang diakui di seluruh dunia sebagai paradigma yang berkuasa dan harus dianut
oleh seluruh lapisan masyarakat di dunia. Peradaban yang menang merupakan
peradaban yang akan menguasai masyarakat dunia secara kolektif dan menjadi
kiblat atas peradaban-peradaban kecil yang dikalahkannya.
Sebelum terlalu jauh, konsep ini akan lebih baik lagi ketika ditarik
dalam wilayah keberagamaan, terutama Islam. Dalam Islam, selalu dipercayai
23
bahwa setiap orang lahir dalam keadaan suci, tidak ada dosa, tidak ada kejahatan
dan kebaikan, istilah mudahnya, manusia yang baru lahir dalam keadaan fithri.
Begitu pula, dalam relung kesadaran manusia dan dalam naluri kemanusiaannya
mempunyai tendensi ke arah wilayah hanif, yang pro kemanusiaan dan
kebenaran.
Namun nalar dan kefitrahan itu akan terkikis ketika manusia dalam
pandangan sadarnya melihat ke fenomena sekelilingnya yang ternyata tidak
sesuai dengan naluri kemanusiaan yang dimiliki. Ada penyelewengan ke arah
pemberontakan terhadap kefitrahannya itu. Sebagai akibatnya, manusia tersebut
akan terjadi pergoalakan bathin yang mencoba mengambil keputusan untuk ikut
serta dalam ‘penyelewengan’ tersebut atau tetap mengikuti naluri dan fitrahnya
sebagai manusia dengan konsekuensi akan kehilangan sesuatu yang menjadi
target dari ‘penyelewengan’ itu.
Dari sinilah kemudian penyadaran akan sangat dibutuhkan dan agama
menjadi solusi atas transisi sosial dan konflik sosial semacam ini. Jadi benar
bahwa kebaikan pada dasarnya telah tercetak dalam relung kesadaran yang
terdalam dalam diri manusia, manusia telah mengetahui kebenaran dan kebaikan
dalam bersikap, dan oleh karena itulah maka proses penyadaran ini sangat
dibutuhkan sebagai usaha untuk menempatkan kembali pada ranah kefitrahan.
Perubahan sosial yang terjadi dalam Islam akhir-akhir ini dalam era
kapitalisme global yang tidak mengenal batas wilayah hunian manusia dan tradisi
lokalnya telah terjadi secara radikal. Dalam keadaan seperti ini, tidak hanya
capitalisme yang sulit dibatasi, berlari ke wilayah manapun selama di tempat itu
24
menjanjikan keuntungan secara kapitalistik, tetapi juga kekuatan capital itu telah
mempunyai akibat terhadap aspek sosial dan kemanusiaan yang lain.
Kapitalisme yang selama ini telah dianggap sebagai kekuatan lawan
yang tangguh yang menggerogoti Islam bukan hanya satu-satunya lawan yang
harus dibasmi. Tetapi akibat turunan dari kapitalisme itu justru telah menjadi
salah satu madzhab dalam Islam sendiri, kapitalisme telah me-make up dirinya
sehingga berwajah Islam.
Artinya hari ini Islam sebenarnya dihadapkan pada persolan dilematis,
dimana selain mempunyai musuh besar berupa kapitalisme, ternyata koordinasi
internal Islam sendiri belum selesai, tidak ada integrasi secara paradigmatic
dalam Islam. Selain harus berperang melawan kapitalisme, Islam juga harus
menyembuhkan penyakit yang ada dalam tubuhnya sendiri.
25
DEKONSTRUKSI PEMAHAMAN KLASIK
ATAS AJARAN ISLAM
Membuka Jalan Baru Menuju Pemahaman Ajaran Islam
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa masyarakat Islam sampai hari
ini masih terus terjebak pada pemahaman secara teks normative terhadap ajaran-
ajaran yang ada dalam Islam. Sebagai akibatnya, perkembangan pemikiran dan
tindakan masyarakat secara kolektif belum bisa tersentuh, yang muncul adalah
perubahan-perubahan yang bersifat revolutif dan pencarian paradigma baru
dalam memahami isi kandungan ajaran Islam pada masyarakat muslim kelas
menengah dan intelektual-intelektual muslim. Pemerataan terhadap pemahaman
baru dalam memahami ajaran Islam belum bisa dilakukan secara menyeluruh.
Banyak hal yang menyebabkannya, selain diantaranya kepercayaan
public terhadap ajaran Islam yang telah mengakar juga disebabkan karena
rendahnya kesadaran intelektual masyarakat muslim untuk melakukan kajian-
kajian yang bersifat pencarian cara pandang baru dalam beragama. Untuk banyak
kalangan, agama hanya selesai pada dataran teosentris dan itu cukup dilakukan
hanya dengan shalat lima waktu, puasa, berzakat, haji kalau mampu dan
seterusnya. Sementara aspek keberagamaan yang sifatnya muammalah
revolusioner, bagi banyak kalangan, merupakan bukan esensi dari kehidupan
keagamaan.
Kehidupan keberagamaan masyarakat yang cenderung fundamentalis
ini, dalam berbagai wilayah, merupakan penyakit yang mematikan untuk
26
perkembangan Islam sendiri. Kurangnya kesadaran untuk menumbuhkan jiwa-
jiwa religiusitas dalam ranah muammalah revolutif menyebabkan Islam
peranannya akan semakin mundur dalam percaturan memperebutkan mainstream
paling berpengaruh untuk menjadi weltanschauungs yang diakui diseluruh dunia.
Baiklah, untuk selanjutnya kita kaji dari awal mulai dari penyebab
munculnya fundamentalisasi keberagamaan masyarakat hingga upaya yang
mungkin dapat dilakukan untuk menghilangkan ekstrimisme beragama semacam
itu dan kemudian menanamkan pola keberagamaan baru yang lebih fleksibel dan
sesuai dengan kondisi social politik hari ini.
Tindakan semacam ini, dalam kaca mata kita, ada beberapa
kemungkinan yang mungkin membuat pola keberagamaan semacam ini.
Pertama, ini merupakan reaksi atas tindakan ghuluw (melampaui batas), artinya
keberagamaan mereka merupakan kesadaran keberagamaan teosentris yang
melebihi batas ketentuan. Ini disebabkan karena keyakinan mereka yang berlebih
atas ‘Teo’ yang mereka sembah, sehingga sebagai manifestasi atas keyakinan
yang berlebih itu, mereka mengekspresikan rasa tersebut dengan tindakan
ghuluw dalam beribadah, yang kemudian oleh masyarakat secara umum ditiru
tanpa dipandang dari sisi lain. Ini cukup mempengaruhi mengingat bahwa dalam
kepercayaan masyarakat secara umum, fenomena keagamaan merupakan
hubungan teosentrisme, sementara humanisme yang dimunculkan dalam ekspresi
keagamaan merupakan ajaran subdominant dalam agama.
27
Dalam masalah ghuluw ini, secara tegas Allah telah memperingatkan
manusia untuk tidak melakukan tindakan semacam ini dalam beragama dalam Al
Qur’an yang artinya :
“Katakanlah, ‘Wahai Ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas)
dalam beragama. Dan jangnlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah
sesat dahulunya, dan menyesatkan banyak orang, sehingga mereka sesat dari jalan
yang sama”9
Untuk lebih mudah dipahami oleh umat Islam pada zaman Rasulullah
tentang ayat ini, nabi Muhammad SAW juga telah memperingatkan kepada umat
Islam untuk menjauhi tindakan ghuluw dalam beragama. Beliau bersabda ;
“Takutlah akan berlebih-lebihan dalam beragama. (kaum10) sebelumnya telah binasa
karena berlebih-lebihan”11
Hadits di atas secara tidak langsung memberi peringatan kepada umat
Islam agar lebih waspada terhadap munculnya sikap ghuluw, karena terkadang
9 QS. Al Maidah Ayat 77. Peringatan ini ditujukan kepada Ahlul Kitab serta orang Yahudi atau Nasrani secara keseluruhan yang meng-’itiqad-kan Isa a.s sebagai Tuhan. Mereka diserukan untuk tidak mengekspresikan keberagamaan mereka secara berlebih supaya tidak tersesat dalam beragama, serta tidak mengikuti orang-orang yang telah sesat sebelumnya karena ekspresi keagamaan yang berlebih.
10 Kaum yang dimaksud oleh nabi Muhammad adalah, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an, Yahudi dan Nasrani.
11 Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal, Abu Abd al Rahman al Nasa’I dan Abu Abdillah ibn Majah dalam Sunan mereka.
28
sifat semacam ini muncul tanpa dapat kita sadari. Ghuluw dapat terjadi dengan
kita melakukan tindakan yang tidak ada gunanya dan selanjutnya menjalar pada
ghuluw dalam tingkatan yang sebenarnya.
Di riwayatkan, dalam perjalanan Haji Wada’, setelah sampai di
Muzdalifah Nabi Muhammad SAW meminta Abdullah Ibn Abbas untuk
mengumpulkan beberapa batu untuknya. Ibn Abbas memilih batu-batu yang
kecil. Setelah melihat batu-batu itu, Nabi Muhammad SAW menyetujui
ukurannya dan berkata; “Ya, seperti itu. Berhati-hatilah akan berlebih-lebihan
dalam agama”12.
Dari permisalan melalui batu dalam hadits di atas, Nabi mengisyaratkan
bahwa, dalam memilih batu-batu (dapat di terjemahkan sebagai ritual
keagamaan) harus dapat menetukan ukuran yang dinamis. Tidak terlalu besar
(berlebihan) dan tidak terlalu kecil (kurang).
Orang tidak harus untuk sepanjang hari menyembah kepada Allah,
meskipun itu baik sebenarnya, sementara kewajiban lain yang harus di kerjakan
seperti memberi nafkah, mencari sumber penghasilan (terkait manusia sebagai
khalifatu fi al ardl) dan sebagainya kemudian ditinggalkan. Atau karena semua
itu, sebagai kebalikan atas yang pertama tadi, kemudian Allah ditinggalkan
begitu saja. Karena bekerja lupa shalat dan sebagainya.
Manusia harus fleksibel dalam mengatur masalah keberagamaan, karena
pada dasarnya Allah menurunkan Islam semata-mata tidak hanya untuk manusia
menyembahnya, tetapi untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Manusia harus
tahu porsinya sebagai abdillah dan sebagai khalifatu fi al ardl. Ada kalanya
12 Diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
29
orang harus tunduk pasrah kepada Allah, dan pada kesempatan yang lain,
manusia juga diberi kebebasan untuk memanage bumi dengan tanpa intervensi
dari Allah.
Sekali lagi untuk mempertegas itu, Allah telah berfirman;
“Wahai Ahli Kitab, Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu”13
Kedua, dapat juga diketahui bahwa keberagamaan masyarakat yang
demikian itu disebabkan oleh sikap tanattu’ (berlebihan, keberagamaan yang
terlalu ketat). Sikap semacam ini disebabkan, masih berkutat pada wilayah yang
sama, oleh pemahaman teosentrisme beragama. Perbedaan dari yang pertama
adalah, dalam wilayah ini orang cenderung ekstrim terhadap ritual keagamaan
dan terlalu berhati-hati dalam bertindak.
Berhati-hati yang berlebih dalam beragama ini menyebabkan seolah
agama merupakan wilayah yang sacral dalam mengatur manusia, sehingga ketika
masuk di dalamnya orang terikat dengan peraturan dan doktrin keagamaan yang
ketat. Sementara, wilayah lain yang memberikan ruang kebebasan terkadang
tidak berani disentuh karena kehati-hatiannya itu. Yang kemudian patut
disayangkan adalah, kehati-hatian itu hanya berlaku pada hubungan teosentris
saja, kehati-hatian tidak pada aspek pengembangan keagamaan dan
pemberdayaan masyarakat muslim.
Nabi bersabda :
13 Surat An Nisa’ ayat 171.
30
“Kehancuranlah bagi merkea yang berpuas diri dalam tanattu’”14
Ketiga, tasydid (Kekakuan, kesederhanaan berlebih). Orang yang
berpandangan seperti ini, sulit untuk dapat menerima factor eksternal yang
mencoba masuk kedalam wilayah keberagamaan mereka, tidak hanya factor
eksternal saja, tetapi inovasi dan kreasi yang muncul dalam internal agama itu
sendiri terkadang banyak ditolak dengan serta merta. Menanggap itu sebagai
bid’ah yang tidak pantas untuk dilakukan dan sampai pada pengecapan bahwa
tindakan inovatif tersebut adalah syirik dan seterusnya.
Artinya, sesungguhnya dari berbagai sudut pandang, dapat diketahui
bahwa Islam merupakan agama yang selalu mengajarkan keseimbangan,
menempatkan diri pada posisi moderat. Islam selalu menyeimbangkan antara
kebutuhan yang bersifat rohani dan kebutuhan jasmani, rohani tercukupi dengan
tepat, jasmani juga terpuaskan. Islam sangat mengecam berlebih-lebihan
meskipun dalam beragama. Nabi sendiri memperingatkan kepada sahabat-
sahabatnya yang berlebih-lebihan dalam beribadah dan terlalu asketik, karena
tindakan ini merupakan tindakan melompat dari garis Islam moderat.
Islampun tidak pernah melarang untuk umatnya menikmati keindahan
dunia dan menikmati kenikmatannya. Karena Allah menciptakan semua itu untuk
di nikmati oleh manusia. Allah berfirman;
14 H.R. Muslim
31
“Wahai anak-anak Adam! Pakailah perhiasanmu setiap kali pergi ke Masjid, makan
dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sungguh ia tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan”
“Katakanlah: “Siapa yang mengharamkan perhiasan tuhan yang di sediakan untuk
hamba-hamba-Nya, dan rezeki yang baik. Katakanlah, ia untuk orang-orang yang
beriman…”15
Fenomena keberagamaan masyarakat yang jumud dan fundamentalis
merupakan tindakan yang berlebih-lebihan atau bahkan asketis. Mengingat posisi
keberagamaan fundamental lebih mengutamakan agama hanya hubungan
teosentris semata yang kemudian sebagai ekspresi atas keberagamaannya itu
dinyatakan dalam peribadatan yang berlebih. Sementara itu, fundamentalisme
beragama seringkali menyingkirkan aspek-aspek muammalah (humanisme)
dalam beragama. Secara dangkal dapat dikatakan bahwa fenomena
keberagamaan semacam ini merupakan penafsiran sepihak atas agama.
Dalam beribadah, juga harus mengedepankan unsure humanisme, dalam
wilayah teosentris juga tidak bisa terlepaskan dari humanisme. Sebagaimana
Nabi pernah sabdakan:
Pada suatu ketika nabi berpesan pada imam shalat dengan marah yang tidak biasa
“Beberapa di antara kalian telah membuat orang-orang tidak menyukai shalat.
Maka, siapa saja di antara kalian yang menjadi imam harus melakukannya dengan
singkat, karena di antara mereka (makmum) ada yang lemah, tua, seseorang yang
mempunyai bisnis yang harus diperhatikan…”16
15 Surat Al Maidah ayat 31-3216 H.R Bukhari
32
Orang yang memiliki sifat semacam ini (berlebih-lebihan) akan
menutup diri dari masuknya pemahaman lain tentang apa yang dilakukannya. Dia
tidak akan mengadukan secara ilmiah ataupun cultural tentang ritualitas yang dia
lakukan dengan bentuk-bentuk lain. Ia hanya akan mencari pendukung untuk
kemudian membawa masyarakat ke dalam barisannya.
Hari ini masyarakat Islam telah terkontaminasi virus semacam ini.
Orang menganggap bahwa Islam hanyalah agama teosentris, dan oleh karenanya
hanya ibadahlah yang harus dilakukan. Di sisi lain, asketisme masyarakat dan
sifat acuh tak acuh terhadap ritual keberagamaan juga marak. Islam hari ini telah
lari dari posisi moderatnya.
Posisi semacam ini menyebabkan Islam tidak dapat berkembang dengan
pesat, ketika Islam hanya dibangun pada satu sisi, yakni sisi ubudiyah semata,
maka yang akan terjadi adalah Islam tergilas pada hubungan muammalah-nya
karena wilayah ini tidak dapat dibangun. Islam hanya di beratkan pada sisi
timbangan hablum minallah saja, sementara mangkuk timbangan hablum
minannas masih kosong, apalagi hablum minal ‘alam.
Ketimpangan atas kesetaraan dalam Islam ini kemudian berbuntut pada
hilangnya kreativitas dan inovasi orang-orang muslim dalam mempertahankan
dan mengembangkan agamanya. Orang Islam cenderung untuk mendiskreditkan
persoalan penyesuaian Islam dengan zaman, sehingga fenomena yang terjadi hari
ini bukan zaman sesuai dengan Islam tetapi Islam sesuai dengan zaman. Islam
tidak mampu mengolah zaman dan hanya menjadi satu bagian dari zaman itu.
33
Autentitas nilai Islam sesungguhnya merupakan problematic dalam
sejarah yang harus di rekonstruksi terus menerus dan bukanlah nilai yang sudah
jadi, tanpa imajinasi kaum muslim sendiri. Sehingga, apa yang sering kita
bayangkan sebagai sesuatu Islam yang ‘murni’ dan yang ‘asli’, tidak lain itu
semua adalah bagian dari pengalaman sejarah yang menempatkan nama orang
atau tokoh dengan pikiran dan sikapnya yang terlibat dalam ‘proses’, tatkala
kitab suci dan tradisi itu berhadapan dengan konteksnya masing-masing.
Sederhananya, Islam pada dasarnya merupakan nilai yang bukan harga
mati, yang kemudian harus begini begitu saja. Islam fleksibel dan selalu dapat
masuk dalam zaman manapun dan kondisi social apapun, dengan catatan, yang
membawa Islam pada zaman atau kondisi tersebut dapat menyesuaikan konteks
ke-Islam-annya dengan kondisi riil yang terjadi.
Pada gambaran di atas, kebanyakan orang selalu mengaitkan Islam yang
sesungguhnya dengan tradisi Islam dahulu. Bahwa Islam yang ‘benar’ adalah
Islam yang telah diejawantahkan oleh orang-orang sebelumnya dengan beragam
pemikirannya yang diakui sampai sekarang oleh masyarakat kebanyakan.
Saat ini, mau atau tidak mau, kita harus meyakini bahwa Islam yang
benar (tanpa tanda kutip) adalah Islam yang sesuai dengan Al Qur’an dan Al
Hadits yang merupakan dasar hukum terpercaya dalam Islam.
Selanjutnya, untuk dapat menerapkan Islam yang sesuai dengan konteks
social hari ini adalah bagaimana kita mampu menterjemahkan Al Qur’an dan
hadits tersebut sesuai kondisi riil yang terjadi. Maksudnya, dalam menafsirkan Al
Qur’an dan Al Hadits, agar dapat diterima oleh masyarakat secara keseluruhan,
34
harus dipertimbangkan aspek social yang sedang terjadi. Tujuannya adalah agar
Islam tetap berada pada posisinya sebagai agama moderat yang berada pada titik
tengah dan dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat non muslim sekalipun.
Al Qur’an dan Hadits selalu bersesuaian dengan zaman. Islam selalu
sesuai dengan zaman apapun dan kondisi bagaimanapun. Yang sesungguhnya
membuat Al Qur’an dan hadits tidak dapat menyesuaikan dengan zaman adalah
kita sendiri yang salah dalam menterjemahkannya. Sehingga, Islam hari ini
banyak dicap dengan asumsi-asumsi kotor yang nyata-nyata tidak sesuai dengan
Islam itu sendiri.
Dapat dipastikan apabila kita mampu membawa Islam pada kondisi
social apapun, kebenaran bahwa setiap ide-ide kemanusiaan yang muncul telah
terdapat dalam Al Qur’an. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
semakin pesat ide-ide dasarnya telah tercantum dalam Al Qur’an ataupun hadits
meskipun hal tersebut disebutkan secara implicit.
Ketika hal ini telah dapat diyakini oleh masyarakat secara keseluruhan,
tentulah pergulatan pemikiran Islam dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari pembentukan referensi universal dari setiap peradaban baru.
Dalam memahami teks kitab suci, dan untuk mengetahui makna yang
paling dalam atas teks-teks tersebut, maka harus disekularisasikan dan
dirasionalisasikan. Tanpa melakukan berpikir sejarah (historical thinking) atau
mencari kebenaran dalam proses (truth as process), maka teks hanya akan
menghasilkan pengikut-pengikut yang imannya bersemangat, tapi mereka hidup
dalam kesadaran-kesadaran palsu yang menentramkan.
35
Fenomena yang terjadi hari ini demikian, dalam pandangan kaum
muslim kebanyakan teks-teks suci (baca : Al Qur’an) merupakan teks yang
dimuliakan dan dibaca terus menerus yang akan menghasilkan umat yang secara
keimanan dan ketakwaan bersemangat. Sementara untuk penggalian unsur-unsur
dan makna yang terkandung di dalamnya secara lebih dalam orang Islam hari ini
kebanyakan mengabaikannya, bahkan asbab an nuzul atau dalam konteks
masyarakat yang seperti apa teks yang mereka baca tersebut turun sama sekali
tidak diketahuinya.
Inilah yang sesungguhnya konsep masyarakat yang kurang begitu
diharapkan oleh Islam sendiri. Yakni orang yang menganggap Al Qur’an sebagai
kitab suci dan sesuatu yang harus dipuji dan dimuliakan. Sementara peran Al
Qur’an sebagai pedoman dan petunjuk diabaikan. Ini berarti al Qur’an telah
mengalami disfungsi dan dikebiri secara perlahan-lahan oleh umatnya.
Orang yang hanya menganggap teks suci hanya sebagai bahan bacaan
sebagai bentuk perwujudan atas keimanan dan ketakwaannya kepada Allah
berarti orang tersebut tidak memuliakan Al Qur’an. Yang diburu hari ini adalah
bagaimana orang berlomba-lomba untuk membaguskan suaranya dalam
membaca Al Qur’an, sementara pada sisi lainnya, makna yang terkandung di
dalam Al Qur’an sendiri tidak pernah disentuh. Lalu penghormatan semacam apa
yang di berikan orang Islam kepada teks sucinya? Apakah penghormatan hanya
cukup dengan membacanya tanpa mengkajinya?
Tercatat sejak abad ke VII M umat Islam mulai masuk pada
fundamentalisme beragama. Orientasi keberagamaan manusia saat itu selalu
36
merujuk pada fiqh sebagai justifikasi keselamatan dan kesesatan. Fiqh berada
pada puncak kesakralan dan kemapanan. Sebagai sebuah rujukan hukum, fiqh
tampak subjektif, hitam putih, benar salah, halal haram. Dengan sifat-sifat yang
demikian itu, fiqh membuat kreativitas dan kebebasan manusia menjadi hal yang
mahal. Dan ortodoksi fiqih ini juga mendapatkan perlindungan pengamanan
sempurna dari penguasa, sehingga mulai saat itu dan hingga hari ini, fiqh menjadi
satu-satunya justifikasi dalam menentukan hukum social dan ubudiyah, dan
semua orang Islam harus mengikutinya tanpa kreativitas apapun.
Kemandekan kreativitas dalam mengekspresikan kegagamaan juga di
topang oleh booming besar para ulama yang mengeluarkan statemen bahwa pintu
ijtihad telah tertutup. Gerakan menjaga otoritas fiqh ini selanjutnya
mengorientasikan umat Islam untuk selalu taklid terhadap peraturan-peraturan
yang diciptakan berabad silam tanpa melihat perubahan zaman yang semakin
maju dan komplektisitas permasalahan.
Belakangan ini, barulah ortodoksi fiqh sedikit demi sedikit mulai
mencair. Namun itu, sekali lagi, belum menyentuh umat Islam secara
keseluruhan pada lapisan grass root dan Islam abangan.
Banyak sudah percobaan-percobaan yang dilakukan oleh pemikir-
pemikir besar yang menggoncangkan dunia Islam, khususnya untuk kaum
fundamental. Dimana pemikiran-pemikiran mereka membuat orang muslim
fundamental gundah dan merasa dilecehkan keislamannya. Nasr Hamid Abu Zaid
terpaksa mengungsi ke Leiden karena membuat lembaga-lembaga keagamaan di
Mesir kebakaran jenggot dengan “Kritik Wacana Keagamaan” yang ia
37
publikasikan. Muhammad Syahrur juga ikut berperan serta dalam
‘pembangkangan’ ortodoksi fiqh dengan menulis buku Al Kitab wa Al Qur’an:
Qira’ah Muassirah, Muhammad Said al Asymawi, seorang pemikir secular
Mesir juga turut serta melontarkan ide-ide pembaharuannya dengan perspektif
humanisme. Hassan Hanafi dengan Al Yasar Al Islam dan Oksidentalisme,
Muhammad Abed al Jabiri, Muhammad Arkoun, Ali Gharb, Jamaludin Al
Afghani, Muhammad Abduh dan sederet nama-nama pemikir lainnya.
Di Indonesia sendiri, banyak pemikir besar yang turut serta ‘melawan’
ortodoksi fiqh dengan ide-ide pembaharuannya. Tercatat ada Munawir Sadzali,
(Alm) Nur Kholis Majid, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ulil Abshar Abdalla,
Prof. Dr. Harun Nasution dan lainnya yang mencoba menggulirkan wacana-
wacana dan pemahaman yang baru dalam memandang Islam. Bahkan Ulil
Abshar Abdalla yang juga coordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) oleh
kebanyakan ulama salaf di fatwa-kan halal darahnya karena pemikirannya yang
cenderung memancing konfrontasi antara Islam liberal yang dipimpinnya dengan
aliran Islam lain yang ada di Indonesia. Tulisannya di Koran Kompas yang
berjudul “Menyegarkan Kembali Islam Kita” merupakan titik awal tokoh ini
dikenal di blantika intelektual muslim Indonesia.
Para pembaharu, baik di dalam maupun di luar Indonesia banyak
menuai kritik pedas dari ulama-ulama fundamental. Mereka seringkali tidak
hanya difatwakan halal darahnya, tetapi juga mendapatkan serangan-serangan
yang ‘keji’ melalui pembantahan wacana yang ada. Merekapun mendapatkan
gelar riddah17 dari para ulama fundamental. Dalam pandangan ulama
17 Istilah yang digunakan untuk menyebutkan orang keluar dari agama (murtad).
38
fundamentalis, riddah konsepnya tidak hanya terhenti pada perpindahan dari satu
agama ke agama yang lain saja, tetapi juga tindak sparatis terhadap peraturan
yang telah ada. Sehingga ulama-ulama salaf banyak menganugerahi gelar riddah
untuk para pemikir yang mencoba memperbaharui tatatan pemahaman dan
gerakan dalam Islam. Mereka dianggap melakukan tindak provokasi terhadap
masayakat untuk lepas dari kekuatan tiranik Fiqh salafiyyah.
Parameter yang digunakan oleh para pembaharu dalam memperbaharui
Islam adalah dengan menguji pada wilayah umat secara kolektif. Tujuannya agar
tidak terjadi penimpangan terhadap hukum yang telah ada sebelumnya. Seberapa
jauhkan hukum baru yang diciptakan oleh para pembaharu itu dapat menyentuh
kemaslahatan kolektif (kesalehan social) dan sejauh mana hukum tersebut dapat
digunakan tanpa melanggar batas-batas norma social. Maksudnya, dalam
menentukan hukum, mereka mempertimbangkan sisi humanisme dan sisi social
disamping sumber hukum tetap Islam.
Hasil ciptaan hukum para pembaharu tersebut sering kali
memancing kontroversi di tengah-tengah kemapanan ortodoksi pemahaman
Islam. Taruhlah mislanya Munawir Sadzali yang melakukan kritik pedas
terhadap ayat-ayat dan hadits tentang hukum waris yang tidak seimbang
pembagiannya antara laki-laki dan perempuan, Jaringan Islam Liberal yang
memfatwakan kebolehan tidak menggunakan jilbab bagi wanita, dan sebagainya.
Baiklah, sebelum sampai jauh, marilah kita tinjau kembali salah satu
tesis yang diajukan oleh pakar keagamaan samawi Karen Amstrong18 dalam
18 Karen Amstrong, The History of God, Mizan Pustaka, Bandung
39
pengantar di buku best sellernya The History of God. Tesis yang dia ajukan
adalah, fenomena keagamaan kita (manusia secara keseluruhan) lebih di
dominasi pada kecondongan ketakutan terhadap sosok makhluk yang diberi nama
neraka, dan kecenderungan mengharapkan sorga, bahkan dari ketakutan terhadap
itulah, manusia sering kali lebih takut pada nerakanya tuhan dibandingkan takut
terhadap tuhan yang menciptakan neraka itu.
Pandangan terhadap sorga dan neraka (yang tentunya immaterial dan
mistis) dengan mudah dapat membawa orang untuk menitik beratkan agama pada
wilayah teologis. Artinya, sorga dalam pandangan awam jelas hanya mampu di
dapat dengan terus menerus beribadah kepada tuhan. Dan untuk menjauhi neraka
(yang penuh dengan siksaan sebagai balasan atas tindakan buruk) juga melalui
peribadatan dan penghambaan sepenuhnya kepada tuhan. Dalam ketakutan dan
harapan ini, pada intinya, yang dibangun dalam agama lebih pada jiwa-jiwa
teologinya saja, sementara aspek humanisme menjadi sesuatu yang di
diskreditkan dalam kehidupan beragama. Fenomena ini banyak dijumpai dengan
banyaknya sufi-sufi yang selalu menghambakan diri sepenuhnya kepada tuhan.
Allah dalam Al Qur’an telah berfirman:
(apakah) perumpamaan (penghuni) sorga yang dijanjikan kepada orang-orang yang
bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada beubah rasa dan
baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak beubah rasanya, sungai-sungai dari
khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang
disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan
40
ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam Jahannam dan
diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya?19
Dari ayat ini setidaknya dapat memberikan gambaran jelas bahwa
harapan-harapan terhadap kenikmatan di sorga selalu akan mengarahkan manusia
untuk lebih mendekati tuhan, menyembahnya dan kemudian mengabdi
kepadanya sepenuhnya. Apalagi ketika melihat neraka sebagai balasan atas
kehidupan dunia yang berbuat dosa sebagai air yang mendidih dan dapat
memotong usus manusia, tentunya mereka akan semakin berlari untuk mengejar
tuhan dibandingkan harus berurusan dengan dunia.
Pada titik ini, manusia akan kehilangan satu hal yang penting dan
merupakan tanggung jawab manusia, yakni jabatan manusia sebagai khalifah fi
al ardl yang mewajibkan manusia untuk menjaga keseimbangan ekosistem alam
di dunia (termasuk manusia). Yang dibangun hanya pada jabatan manusia
sebagai ‘abdillah yang harus selalu menyebah kepada-Nya.
Dan sebagai dampak selanjutnya, Islam juga kehilangan posisinya
sebagai agama moderat. Ia hanya dipandang sebagai agama vertical yang
membangun wilayah ubudiyah, di doktrin untuk selalu bertaqwa dan beriman.
Tidak ada aspek humanisme dalam Islam.
Jalan Baru, Mungkinkah?
Fenomena di atas, setidaknya memberikan gambaran bahwa ternyata
masyarakat muslim di seluruh dunia masih terkungkung dalam keterbelakangan
19 Surat Muhammad [47] ayat 15
41
dan kemunduran dalam bidang sains dan teknologi, namun cukup maju dalam
bidang teologi keagamaan (teological religious). Dan sayangnya, kemajuan
bidang ini tidak begitu mampu menjamin kemerdekaan bidang lainnya yang
dapat menjamin kemajuan umat Islam sendiri dalam perebutan wilayah di era
sekarang, termasuk sains dan teknologi tentunya.
Dalam catatan Dr. M. Amin Abdullah20, memberikan gambaran lugas
tentang alur pemahaman agama. Pada penghujung abad ke-19, lebih-lebih pada
pertengahan abad ke-20, terjadi pergeseran paradigma pemaham tentang ‘agama’
dari yang dahulu hanya berkisar pada ‘doktrin’ ke arah entitas ‘sosiologis’, dari
diskursus ‘esensi’ ke arah ‘eksistensi’.
Terlepas dari benar atau tidaknya catatan ini, setidaknya ada beberapa
wilayah yang kemudian harus dikaji lebih jauh. Terkait dengan perkembagan ini,
ada kemungkinan bahwa yang terjadi perubahan hanya di kalangan ‘atas’ yakni
kalangan intelektual agama dan akademisi yang berada pada disiplin ilmu ini.
Perubahan secara social yang menyeluruh belum dapat terjamah.
Dr. Amin Abdullah juga menegaskan bahwa fenomena keagamaan hari
ini telah menjadi sesuatu yang kompleks, dan untuk dapat memahaminya, tidak
hanya dapat di dekati secara teologis normative saja. Salah satu penyebabnya
adalah terbukanya batas-batas ‘geografis’ dalam kebudayaan, percampuran antar
satu budaya dengan budaya yang lainnya menjadi hal yang biasa dan memang
perlu dilakukan untuk mempertahankan eksistensi budaya itu sendiri.
20 Dr. M. Amin Abdullah, 2004, Study Agama, Normativitas atau Historisitas, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, hal. 9
42
Dalam rangka mendekati agama hari ini, maka, dalam pandangan Dr.
Amin Abdullah, tidak dapat disalahkan ketika orang mengkaji agama secara
aspectual, dimensional, dan bahkan multi dimensional approaches. Diluar
keberadaan agama yang mempunyai doktrin teologis normative, sebagai letak inti
dari keberagamaan manusia, agama dapat pula dipandang sebagai tradisi.
Sisi lainnya, agama yang semula berangkat dari keyakinan bathiniah
yang mendalam (esoteris) perlahan-lahan berubah menjadi lembaga-lembaga
agama di mana di dalamnya terlibat pranata-pranata social yang kadang juga
bersifat birokratis. Dan untuk selanjutnya, kelembagaan-kelembagaan agama itu
sudah dapat dipastikan mengalami proses evolutif dalam bidang ekonomi, social,
militer dan berbagai kevenderungan manusiawi lain yang tidak kalah
kompleksnya dibanding dengan urusan esoteris sebagai inti dasar agama.
Lembaga-lembaga agama ini semakin lama juga akan semakin berkembang
kuantitasnya, dalam satu agama saja misalnya, akan tumbuh berbagai macam
lembaga-lembaga yang antara satu lembaga dengan lembaga yang lain saling
terkait dan hubungannya lebih bersifat kompetitif.
Terlepas dari itu semua, kembali pada bagaimana proses evolusi
keagamaan masyarakat dapat dilakukan. Perubahan secara paradigmatic
membutuhkan perangkat yang lebih kompleks, berbanding searah dengan
komplektisitas masyarakat itu sendiri.
Bagaimana hari ini agama (teologi), dalam perspektif awam, tidak lagi
hanya terbatas sekedar menerangkan hubungan antara manusia dan tuhan, tetapi
juga melibatkan kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarian asal
43
usul agama (antropologis), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian
yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis).
Nasib agama hari ini secara umum cukup memprihatinkan, sama halnya
dengan nasib filsafat, pada awalnya filsafat dianggap sebagai “The Mother of
Knowledge” yang menjadi induk dari semua ilmu hari ini filsafat hanya
difungsikan sebagai metodologi berpikir yang kritis konstruktif dalam segala
cabang keilmuan. Agama tidak jauh berbeda, agama yang dahulu memperoleh
predikat sebagai “The Queen of Knowledge” hari ini hanya ditelaah seabgat
aspek-aspek yang terkait dengan doktrin keagamaan secara normative. Dan ini
juga memberikan arahan bahwa agama (teologi) harus mampu bertanding
melawan kawan sejawatnya seperti psychology of religion, sociologi of religion,
history of religion atau phenomenology of religion agar agama mampu kembali
menjadi “Queen” dari semua cabang ilmu yang ada.
Untuk semakin mempermudah dalam mengkaji persoalan agama, Islam
khususnya, maka kita juga harus membedakan terlebih dahulu apa yang
dimaksud dengan agama (religiositas) itu sendiri dan ekspresi keberagamaan.
Yang pertama lebih mengarah pada esoteris dan yang kedua (ekspresi
keberagamaan) lebih menjurus ke arah eksoteris. Yang pertama akan diwakili
pada munculnya truth (iman) dan yang kedua dimanifestasikan dalam ritual
keagamaan (shalat dsb). Sejauh mana pengaruh dari keduanya terhadap eksistensi
Islam, dan metodologi yang seperti apa yang mungkin dapat digunakan untuk
mendekati salah satu diantara keduanya secara lebih jelas dan terstruktur, kedua
44
hal ini agaknya (dan memang bahkan) mutlak dilakukan untuk membuktikan
fenomena Islam yang sekarang ini.
Iman sebagai pengejawantahan atas nilai religiusitas membawa
penganutnya pada pandangan tentang hal-hal yang harus diyakini eksistensi dan
keberadaannya. Objeknya pun berragam, mulai dari persoalan yang tidak mampu
untuk dikaji dengan nalar (mistis) hingga persoalan sejarah dan masa depan. Pada
titik ini, umat Islam lebih mengarahkan arti iman untuk mempercayai keberadaan
Allah sebagai tuhan umat manusia, mempercayai keberadaan malaikat yang
selalu bertasbih kepada Allah, meyakini keberadaan nabi-nabi yang telah
menyebarkan agama Allah kepada kaum-kaumnya, meyakini adanya kitab-kitab
suci Allah yang dibawa oleh nabi untuk kaumnya, percaya pada keberadaan
sejarah masa depan berupa hari kiamat dan mempercayai adanya qadha dan qadar
yang Allah telah tentukan untuk manusia.
Kesemuanya itu merupakan kerangka awal yang akan membentuk
ekspresi keagamaan atas apa yang diyakininya. Sebagai manifestasi atas
keimanannya kepada Allah, manusia akan mengekspresikan keagamaannya itu
dengan shalat, puasa, haji, membaca al qur’an dan sebagainya. Untuk
mengkspresikan keyakinannya atas keberadaan hari kiamat, umat Islam
mempersiapkan diri untuk menghadapinya dengan beramal baik sesuai dengan
syari’at Islam. Ekspresi meyakini kebenaran nabi-nabi terdahulu, umat Islam
mengkaji sejarah kehidupannya dan meniru tindakan nabi tersebut.
45
DIRASAT ISLAMIYYAH HASSAN HANAFI
Hassan Hanafi adalah pemikir besar yang berasal dari Kairo, Mesir.
Dalam sejarahnya, Mesir merupakan Negara yang paling awal merasakan
masuknya Islam sejak Islam disana dibawah pemerintahan Amr bi Ash pada abad
ke-IV, dan wajarlah ketika Mesir kemudian mendapatkan gelar The Earliest
Arabised Country. Hal ini berbeda dengan kondisi Islam di nusantara dan
wilayah Asia Tenggara lainnya yang termasuk The Least Arabised Country.
Sejak awal perkembangannya, Mesir merupakan pusat peradaban Islam yang
cukup maju, maka kemudian tidak mengejutkan ketika dari Negara ini
memunculkan banyak intelektual Muslim yang handal.
Banyak karya-karya besar yang lahir di Negara sungai Nil ini, mulai
dari Tafsir Al Qur’an sampai wacana politik Islam yang controversial. Pada abad
XX saja misalnya, dinegara ini telah melahirkan tokoh-tokoh besar dunia seperti
Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, Ali Abdur Raziq, Thaha Hussein Muhammad
Al Ghazali, Sayyid Qutb, Yusuf Al Qardhawi dan lainnya. Termasuk diantaranya
tokoh yang menjadi panutan Muhammad Abduh, Jamaluddin Al Afghani juga
menerapkan ilmunya di Negara Mesir ini hingga keduanya diasingkan oleh
pemerintah Mesir ke Prancis.
Tokoh-tokoh yang lahir di Mesir ini, selain aktivis pergerakan
terkemuka, juga memiliki kecemerlangan pemikiran. Sebagian pemikiran mereka
mampu menembus menjadi mainstream dalam pemikiran keagamaan dan
pemikiran politik tidak hanya di Mesir saja, tetapi juga menembus sampai dunia
46
Islam secara keseluruhan. Demikian juga pemikir paling mutakhir diantara
mereka yang sangat kontroversi, Hassan Hanafi yang mencetuskan gagasan Kiri
Islam (Al Yasar Al Islam atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai Islamic Left)
dan Oksidentalisme (Occidentalism).
Hassan Hanafi lahir pada tanggal 13 Februari 1953. Sejak masa
mudanya, Hanfi sudah tertarik dengan wacana politik di negaranya dan wacana-
wacana politik Islam di dunia Islam secara keseluruhan. Dengan cermat
perubahan dan kejadian politik yang terjadi di negaranya diamati, mulai dari
pertarungan sengit antara Ikhwanul Muslimin dibawah pimpinan Sayyid Qutb
melawan Pemerintahan otoriter Gamal Abdul Nasser hingga pada persoalan
ketertarikannya terhadap organisasi pergerakan Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul
Muslimin dikaji secara serius oleh Hassan Hanafi terutama dalam keberhasilan
dan kegagalannya dalam perjuangannya melawan Rezim Nasser serta pemikiran-
pemikiran religio-politik Sayyid Qutb. Dari wacana-wacana yang digulirkan oleh
Sayyid Qutb inilah, terutama wacana agama dan revolusi, Hassan Hanafi
kemudian konsis menggeluti dunia Revolusi agama.
Selain bergelut dibidang politik dengan semangat turunan dari Sayyid
Qutb, Hanafi juga merasakan keprihatinannya terhadap arus Barat yang terus
melanda negerinya (westernisasi). Keprihatinannya berangkat dari
pengamatannya terhadap perkembangan Barat yang semakin mengikis khazanah
local yang dimiliki oleh Mesir. Dunia Islam pada umumnya selalu terjebak dan
menjadikan Barat sebagai tolok ukur kemodernan dan kemajuan dalam berbagai
aspek kehidupan. Keperihatinan semacam ini yang kemudian Hanafi harus
47
mencari solusinya dan menggulirkan wacana oksidentalisme sebagai antitesis
melawan westernisasi dan orientalisme.
Selain terpikat pada wacana-wacana revolusioner dan westernisasi,
Hanafi sejak mudanya juga tertarik kajian-kajian pemikiran dan Filsafat, baik
yang berangkat dari Barat ataupun yang tumbuh dan berkembang di dalam Islam.
Hal ini pula yang menjadikan sugestinya untuk mempelajari lebih dalam di
Universitas Kairo semakin memanas. Di Universitas ini, Hanafi berhasil
menyelesaikan studynya pada tahun 1956 dan melanjutkan pendidikannya di
Sorbonne University di Paris Prancis. Di Sorbonne University inilah dia berhasil
menggondol dua gelar sekaligus, master dan doctor untuk kajian keilmuan
filsafat.
Dalam disertasi doktoralnya, Hanafi menyelesaikannya dengan hasil
luar biasa. Disertasi yang ia susun setebal 900 halaman dengan jugul ‘L’
Exegesses de la Phenomenologie, L’etat actuel de la Methode Phenomenologie
et son Application au Phenomene Religiux. Disertasi yang ia susun termasuk
paling unik karena dalam disertasi ini dia ‘mengawinkan’ antara Usul Fiqh
dengan Fenomenologi Edmund Husserl. Keunikan pembacaan Usul Fiqh yang
dikaji melalui perspektif filsafat fenomenologi inilah yang kemudian
mengantarkan Hanafi pada titik awal ketenarannya sebagai seorang pemikir
revolusioner Islam.
Dalam studynya di Sorbonne University, Hanafi tidak hanya terpaku
pada kajian filsafat dan usul fiqh saja, tetapi di universitas ini, Hanafi berhasil
mempelajari secara lengkap kajian puncak dari filsafat dan pemikiran Eropa.
48
Hanafi dengan cerdas dapat menyerap gagasan-gagasan liberalisme, demokrasi,
filsafat penmcerahan dan rasionalisme Cartesian. Dan jelasnya, Hanafi juga
mempelajari dengan sempurna filsafat fenomenologi Edmund Husserl, Martin
Heifegger, Marxisme-Sosialisme dengan berbagai varian tafsirannya.
Dari sederet pengetahuannya yang ia geluti di Paris ini, wacana yang
paling membuatnya terpengarah dan mengikutinya secara lebih teliti adalah
wacana filsafat fenomenologinya Edmund Husserl dan Marxisme-sosialisme.
Hanafi dengan tegas mengambil metode materialisme sejarah (Historical
Materialism) dan dialektika materialism (dialectic materialism) sebagai
perangkat metodologi dan piau bedah analisisnya. Hanafi menggunakan ajaran
Karl Marx ini untuk memahami berbagai persoalan sosial, keagamaan dan
politik, karena memang apa yang didoktrinkan Marx bergelut pada ranah ini.
Sebagai contoh, dia menjelaskan sejarah perkembangan pemikiran
Islam dan perjuangan Islam melawan hegemoni cultural Barat dengan metode
dialektika. Dengan metode yang sama ia juga menentukan apa dan bagaimana
sebuah revolusi Islam bisa dilakukan di Dunia Islam. Dengan kuatnya pemikiran
yang diambil dari Karl Marx ini, sering kali ia dituding sebagai Marxis.
Hassan Hanafi dalam meniti karirnya di bidang akademis hingga
menjadi Guru Besar Fakultas Filsafat di tempatnya belajar filsafat pertama kali
(Universitas Kairo) sama sekali tidak meninggalkan sisi revolusionernya.
Disamping kesibukannya menularkan ilmu filsafatnya, ia tetap melakukan kajian
kritis terhadap gagasan-gagasan westernisasi dan orientalisme.
49
Menarik apa yang dituturkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam
pengantar buku tentang kajian pemikiran Hasan Hanafi yang ditulis oleh Kazuo
Shimogaki21. Pemikir Indonesia ini mengatakan, bahwa eksperimentasi yang
dilakukan oleh Hassan Hanafi menunjukkan penalaran yang semakin meningkat
tatarannya. Dari kajian ilmiah atas satu bidang studi keislaman, ia menaikkan
taraf pemikirannya kepada pembuatan paradigma ideology baru, termasuk
pengajuan Islam sebagai alternatif pembebasan bagi rakyat jelata di hadapan
kekuasaan kaum feudal. Pendekatan tersebut diproklamasikan sebagai Kiri Islam.
‘Pujian’ Gus Dur untuk pemikiran solutif-efektifnya Hassan Hanafi ini
kemudian membuka ruang yang lebih luas dalam mempublikasikan wacana-
wacana yang digagas oleh Hassan Hanafi di Indonesia. Bukan berarti karena Gus
Dur pernah kuliah di Mesir dengan serta merta kemudian dia menerima
pemikiran orang Mesir ini, tapi ini memang nyata dan tidak lagi dapat dinafikkan
keberadaannya. Proyek besar ini menurut Gus Dur telah mampu membawa Islam
berfungsi orientatif bagi ideology populistik yang ada, yang waktu itu diwakili
oleh berbagai bentuk sosialisme. Hanafi dengan mengambil posisi kekirian (Al
Mauqif al Yassari) didasari atas kenyataan bahwa ia membawa gagasan
pembebasan melalui penghancuran konstruk lama yang serba reaksioner dari
feodalisme kapitalistik, yang menguasai masyarakat-masyarakat dunia yang
sedang berkembang.
Buku yang diterbitkan Hassan Hanafi pada tahun 1988 yang bertitel
Min al-‘Aqidah ila ats-Tsaurah merupakan salah satu model dari sekian banyak
21 Kazuo Shimogaki, 2001, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading, Penerjemah, M. Jadul Maula, LKiS, Jogjakarta, Hal. xviii
50
model buku yang paling diminati dan ditunggu-tunggu kehadirannya oleh para
pengikut dan peminat kajian Hassan Hanafi. Paling tidak, buku ini tentunya
mendapatkan tempat tersendiri bagi para peminat kajian Hassan Hanafi yang
telah membaca kajian-kajiannya secara terus menerus. Hanafi yang juga seorang
penulis produktif yang berwawasan luas serta memiliki pisau analisis yang cukup
tajam dalam setiap riset dan kajiannya tentunya telah matang dalam melakukan
kajian yang mendalam mengenai buku barunya ini.
Sampai saat ini (1988), sedikitnya ada lima volume buku yang menjadi
hasil riset dan kajian Hassan Hanafi. Volume pertama terfokus pada premis-
premis teorits (Al Muqaddimah an Nazhariyyah) ; volume kedua lebih membahas
tentang ketahuidan (at Tauhid); volume ketiga memperbincangkan tentang
keadilan (al- ‘Adl); volume ke empat bertajuk kenabian (An nubuwwah al Mu’ad)
dan volume yang terakhir mendiskusikan tentang amal, keimaman dan imamah
(al Iman wa al ‘Amal wa al Imamah). Dalam pengakuannya, kelima seri buku
tersebut memakan waktu penulisan yang cukup lama, yakni mencapai satu
dasawarsa. Sebuah kajian yang tentunya dipikir secara matang dan bersih.
Al Yassar Al Islam
Islam pada eranya pernah memimpin peradaban dunia, Islam menjadi
central pengetahuan, tolok ukur peradaban dan menjadi sumber utama kajian-
kajian wacana keagamaan. Pada saat itu, Islam mampu membangunkan dunia
dari tidur panjangnya yang terkungkung dalam keterbelakangan.
51
Kejayaan ini, banyak kalangan mempercayai bahwa ini semua
berangkat dari kekuatan benteng tauhid yang kemudian merambah untuk
melakukan developmentalisasi di berbagai bidang lainnya. Demikian juga Hassan
Hanafi, dia mempercayai bahwa tauhid merupakan kekuatan besar yang mampu
merubah tatanan dunia, dalam bukunya Madza Ya’ni Al Yassar Al Islam
sebagaimana dikutip oleh Kazuo Shimogaki22 dia mengatakan
Tauhid menjadi kekuatan dalam kehidupan di bumi ini, dan ia mempunyai fungsi
praktis untuk melahirkan perilaku dan keyakinan yang kuat guna mentransformasikan
kehidupan sehari-hari muslim dan system sosialnya.
Yang kemudian menjadikan pertanyaan yang paling mungkin adalah
kenapa hari ini Islam ternyata tidak mampu menjawab tantangan zaman untuk
kembali memimpin peradaban. Dengan kata lain, Islam hari ini mengekor zaman
yang sedang berjalan, dia tidak mampu menembus pemimpin peradaban untuk
menjadi pimpinan dari pemimpin peradaban sekarang ini.
Pada dasarnya, dalam system dunia hari ini hanya ada dua kemungkinan
dalam peradaban, yakni pemain dan yang dimainkan. Pemain sebagai subjek
yang mengatur peradaban. Sedangkan yang dimainkan merupakan objek yang
dimainkan oleh pemain dalam percaturan peradaban. Sebagai akibatnya, pemain
akan terus mendominasi system peradaban dan berhak atas otoritarianisme
peradaban.
22 Kazuo Shimogaki, 2001, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading, Penerjemah, M. Jadul Maula, LKiS, Jogjakarta, Hal. 93
52
Islam hari ini merupakan objek yang terus dimainkan oleh dominasi
pemain rezim imperialisme. Apa yang dikatakan oleh Barat merupakan tolok
ukur untuk peradaban Islam, baik dari sisi pengetahuan maupun pada wilayah
praksis kebudayaan dan tradisi. Inilah yang sekarang menyebabkan Islam
kehilangan ‘harga diri’ dan dengan terpaksa kemudian menyerahkan haknya
untuk melakukan perubahan dalam tubuh Islam sendiri, sebagai dampaknya,
kemandirian dalam Islam dalam menentukan nasibnya sendiri hilang tertelan oleh
peradaban Barat yang mendominasi.
Fenomena ini yang kemudian oleh Jamaludin Al Afghani, setelah
melakukan kajian kritis atas Islam yang demikian, merupakan dampak dari
munculnya something trouble dalam semangat ketauhidan. Menambah analisis
Al Afghani, Hanafi lebih kritis memandangnya, selain karena hilangnya
semangat ketauhidan sebagai pandangan dunia yang monoteistik, juga karena
dari dalam tubuh Islam sendiri terdapat dualisme yang kuat. Penyebab dari
munculnya dualisme dalam Islam adalah, kata Hanafi, hilangnya semangat tauhid
dan beraneka ragamnya pandangan dunia yang dualistic.
Akhirnya, hal ini akan memaksa kita untuk kembali merumuskan dari
awal tentang Islam itu sendiri dan relevansinya dalam ranah sosio politik global.
Sempat muncul wacana bahwa dalam Islam tidak ada istilah ‘kanan’
dan ‘kiri’, Islam adalah Islam yang mengadung ajaran transcendental dan
humanisme. Tidak ada ‘kanan’ yang sok religius dan tidak ada ‘kiri’ yang sok
jagoan.
53
Pada wacana ini, Hanafi menolak dengan tegas. Hanafi berpendapat
bahwa dalam Islam tetap ada ‘kanan’ dan ‘kiri’. Wacana tersebut dalam
pandangan Hassan Hanafi bersifat naïf dan mengacu pada prinsip atau sesuatu
yang berada diluar relaitas histories umat Islam. Pandangan tidak adanya kanan
dan kiri dalam Islam berwatak ahistoris karena mengabaikan realitas sosial
budaya umat Islam masa lampau dan masa kini. Hanafi lebih tegas lagi
mengatakan, bila kita berpikir empiris maka sesungguhnya Islam dihadapkan
pada pertarungan dan wadah berbagai kepentingan yang kuat antara kiri
(tertindas) dan kanan (penindas).
Ciri utama Kiri Islam adalah dia mengeluarkan slogan-slogan yang
revolusioner, radikal dan berpihak pada kaum tertindas. Slogan-slogan itu
menurut hanafi banyak ditemukan dalam teks-teks Al Qur’an dan tradisi Islam
Klasik. Terminology Kiri hendak menyadarkan umat Islam yang berada dalam
situasi ketertindasan dan keterbelakangan, sehingga diharapkan dari kesadaran
yang tumbuh itu akan memunculkan gerakan untuk merubahnya.
Terkait dengan terminology ‘Kiri’ yang ada dalam Al Qur’an, sempat
banyak ilmuwan yang tidak sependapat pada penggunaan kata ‘Kiri’ itu. Al
Qur’an banyak yang mengidentifikasikan makna ‘Kiri’ dalam artian yang
negative. Kiri dalam Al Qur’an lebih disebut sebagai orang-orang yang banyak
melakukan dosa besar, penghuni neraka, orang-orang Kafir, munafik dan orang-
orang yang termasuk dalam golongan al ashab asy syimal (golongan orang-orang
yang merugi). Sedangkan Kanan selalu diidentikan dengan golongan al ashab al
54
Yamin (orang-orang yang beruntung) yang sholeh, beriman, penghuni sorga dan
seterusnya.23
Pengambilan kata kiri dalam kiri Islam oleh Hassan Hanafi tidaklah
demikian penafsirannya, yang diarahkan oleh Hassan Hanafi mengambil kata kiri
adalah lebih pertimbangan pada keilmiahan bahasa tersebut. Kiri dalam kajian
ilmu politik melambangkan resistensi dan kritisisme. Artinya, penggunaan kata
Kiri oleh Hanafi tidak bersumber dari Al Qur’an yang mengilustrasikan kiri
sebagai orang yang tersesat, tetapi dia memilih menggunakan kata kiri dalam
perspektif kajian ilmiah yang menandakan resistensi, yang menjelaskan jarak
antara idealitas dan realitas.
Kiri Islam yang merupakan karya terbesar Hanafi dipublikasikan dalam
jurnal Al Yasar Al Islam (Kiri Islam) di Mesir. Menurut berbagai sumber, bahwa
munculnya jurnal ini terinspirasikan oleh jurnal Al Urwah Al Wustqa
(Jalamaluddin Al Afghani & Muhammad Abduh) dan Jurnal Al Manar. Jurnal ini
sayangnya hanya terbit sekali pada bulan Januari 1981 di Kairo, Mesir. Namun
kematian jurnal Al Yasar Al Islam tidak kemudian dapat dengan serta merta
menghapus makna kedatangan gagasan-gagasan Kiri Islam-nya.
Meskipun jurnal itu tidak terbit untuk edisi selanjutnya, Hassan Hanafi
yang paling bertanggung jawab atas jurnal itu serta segala esensi yang
terkandung didalamnya terus secara intens mengawal wacana Kiri Islam itu.
Pergulatan Hanafi dengan khazanah klasik (turats qadim) dan apresiasinya yang 23 Secara jelas dapat dilihat dalam surat Al Waqi’ah ayat 8-9. Disini Al Qur’an membagi umat manusia dalam dua golongan, yakni golongan Kanan yang memperoleh kebahagiaan dan golongan kiri yang memperoleh siksa dan keterhinaan dihadapan Allah. Lebih terperinci lagi, pembagian kanan dan kiri dalam al Qur’an disesuaikan dengan pembagian catatan amal, yakni apabila menerima catatan amal dengan tangan kanan maka dia termasuk golongan kanan yang beruntung, demikian pula sebaliknya.
55
mendalam terhadap tradisi Barat (turats Gharbi) merupakan bukti konkrit
kekokohan Kiri Islam yang tidak terpengaruh matinya Jurnal Al Yasar Al Islam.
Namun ada satu hal yang kemudian harus dikaji lebih mendalam
mengenai pergulatan Hassan Hanafi dengan budaya (tradisi) baik tradisi local
(khazanah klasik), tradisi Barat ataupun tradisi Islam.
Dalam buku Min al-‘Aqidah ila ats-Tsaurah, Hassan Hanafi
memasukkan satu premis yang bombastis dengan ide-ide cemerlangnya yang ia
beri judul At Turats wa at Tajdid. Jika dalam buku itu ia menyatakan sikapnya
terhadap tradisi masa lampau (al Mauqif min at turats al qadim) maka pada
bagian kedua ini ia menyatakan sikapnya terhadap tradisi Barat (Al Mauqif min
at turats al Gharbi).
Hassan Hanafi dalam buku tersebut juga menunjukkan pandangannya
terhadap tradisi, baik dalam ranah cara memahami dan menafsirkannya ataupun
metode-metode pengkajiannya. Hal itu dilakukan sejak awal hingga sekarang,
yakni mulai dari keyakinan (Al Aqidah) sampai revolusi (Ats tsaurah). Dalam
pandangannya, Hassan Hanafi keyakinan merupakan tradisi (at turats),
sedangkan revolusi adalah pembaharuan (at tajdidi). Demikan juga ia melakukan
pembacaan ulang terhadap Islam untuk merekonstruksi dan mereformulasinya,
yakni mencari (melacak kembali) dasar-dasar dan membangun kembali serta
memperbaharui pengetahuan masa lampau.
Menarik pula ketika dalam bagian pengantar volume pertama, yang
bertitel, al muqaddimat at taqlidiyyah, bahwa secara tegas ia menolak premis-
premis ortodoks yang terdapat dalam ilmu ushul ad Din al Islami, yakni ilmu
56
kalam. Menurutnya, karena premis-premis tersebutmerupakan premis keimanan
murni yang mengungkapkan keimanan sejati-murni (al Imanu khalish dzati) dan
yang bersumber dari kegaiban (Al Ghaib).
Sementara menurut pandangan Hassan Hanafi, pengetahuan yang benar
(Al Ma’rifah ash shalihah) tidak datang dan menjadi sempurna begitu saja seperti
wahyu dan ilham, tetapi hadir melalui perenungan dalam seperangkat data-data
pikiran dan kenyataan, dan menjadi sempurna melalui analisis penalaran dengan
menyimpulkan kejadian-kejadian. Sederhananya, pengetahuan yang benar
menurut keyakinan Hassan Hanafi adalah yang tidak bersumber dari kegaiban
( Al Ghaib) atau hanya sebatas informasi tanpa data dan analisis yang rasional.
Dalam pengantarnya ini pula, ia secara tegas menolak ide-ide mengenai
tradisionalisme (taqlidisme) yang membelenggu dan memenjarakan kebebasan
berpikir masyarakat. Ia juga secara tegas menyatakan untuk tidak mengikuti jejak
para as salaf ash shalih. Dalam pandangannya, orang-orang tersebut (as salaf
ash shalihin/qudama’) juga manusia yang sama seperti manusia saat ini. Jadi
tidak menjadi persoalan ketika mempelajari teori-teori yang disajikan oleh
Qudama’ tersebut, namun dalam menentukan sikap untuk menolak atau
mengikutinya adalah hak-hak individual yang tidak dapat diintervensi secara
bebas. Apa yang para as salaf ash shalihin katakana tidak harus diikuti dan
menjadikan perdebatan yang sengit, tetapi harus dikaji secara kritis sebagai
pijakan untuk merekonstruksi dan melihat ulang.
57
Mengenai mati surinya Al Yasar Al Islam, Hassan Hanafi mengatakan
ketika dihubungi secara langsung oleh Kazuo Shimogaki24.
“Saya kecewa bukan oleh nasib jurnal itu, melainkan oleh sikap intelektual muslim
lain. Ada di antara merekamenuduh saya marxis, yang lain marah-marah dengan
istilah ‘Kiri’ yang saya gunakan, dan tidak tertarik pada proyek inovatif ini. Memang
saya tidak bisa melanjutkan menerbitkan jurnal ini, tetapi bukan berarti saya
menghentikan proyek ini. Saya hanya kesulitan financial”.
Pemikiran Kiri Islam yang digagas Hanafi berangkat dari
pengamatannya terhadap gerakan-gerakan Islam revolusioner di Sudan (Revolusi
Al Mahdi), Libya (Revolusi Sanusiyyah), Aljazair (Revolusi Islam), Maroko dan
yang paling berpengaruh diantaranya adalah revolusi yang dilakukan oleh
Gerakan Ikhwanul Muslimin dibawah Sayyid Qutb (Revolusi jihad Ikhwan) di
negaranya.
Hanafi dengan cerdas mempelajari dan mendalami revolusi-revolusi di
Negara-negara Islam tersebut, selain itu, dia juga mempelajari bagaimana
terjadinya revolusi-revolusi dalam sejarah keagamaan yang kemudian dari situ
membuat dia yakin bahwa setiap agama revolusioner bersifat Kiri. Setiap agama
mengandung dalam dirinya ajaran-ajaran pembebasan manusia dan perlawanan
terhadap segala bentuk kejahatan yang menistakan dirinya.
Dalam sejarah revolusi keagamaan, seringkali perlawanan terhadap
penindasan dan gerakan pembebasan manusia dipelopori oleh para pemuka
24 Kazuo Shimogaki, 2001, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading, Penerjemah, M. Jadul Maula, LKiS, Jogjakarta, Hal. 72
58
agama. Di zaman Mesir kuno, Nabi Musa membebaskan bangsa Israel (Yahudi)
dari perbudakan Raja Fir’aun. Isa Al Masih (Yesus Kristus) membebaskan
bangsa Yahudi dari penindasan Imperium Romawi. Ayatollah Khomaini
menentang rezim represif Pahlevi yang dikendalikan Amerika Serikat bersama
dengan Ali Syari’ati.
Pada agama lain, gerakan-gerakan pembebasan di Amerika Latin
dipimpin para uskup dan Kardinal Katolik dengan teologi pembebasannya
(theology of liberation). Di Vietnam, para biksu agama Buddha mempelopori
gerakan-gerakan revolusioner menentang kekuasaan tiranik. Di Filipina cardinal
Jaime Sin, pimpinan katholik, menjadi oposisi terhadap rezim repressif koruptif
marcos. Para pendeta di Thailand mengalami penyiksaan, pemenjaraan dan
bahkan pembunuhan karena mempelopori aksi-aksi perlawanan terhadap tirani
kekuasaan.
Hanafi mengklaim bahwa pemikiran Kiri Islam yang digagasnya itu
memiliki akar histories intelektual dalam revolusi-revolusi agama diatas.
Dalam penjelasannya, Hanafi melihat bahwa dalam percaturan geo
sosio politik, dunia dibagi menjadi dua wilayah, yakni pemain atau penindas
(penguasa) dan yang dimainkan atau yang ditindas (rakyat). Hanafi membagi dua
kelas ini tidak hanya berdasarkan realitas di lapangan saja, tetapi dia juga
mengambil pembagian ini atas isi dari Al Qur’an. Sejarah dalam Al Qur’an yang
paling kentara mengenai pembagian ini adalah kisah Fir’aun sebagai penguasa
dan Bani Israil yang dipimpin oleh Nabi Musa. Fir’aun adalah profil yang
59
digambarkan oleh Al Qur’an sebagai tokoh yang menindas dengan kekuasaannya
atas kebebasan Bani Isra’il.
Dari gambaran itu, kemudian Hanafi meletakkannya pada dunia
kontemporer, dia menganalogikan Fir’aun sebagai Negara-negara kapitalis
imperialis dan Bani Isra’il sebagai Negara-negara Islam yang terus menerus
mengalami penindasan. Hubungan antara ‘Fir’aun’ dan ‘Bani Isra’il’ mengalami
ketimpangan yang luar biasa, ‘Fir’aun’ melakukan eksploitasi besar-besaran
terhadap Negara-negara Islam. Selain eksploitasi, Negara kapitalis-imperialis
juga melakukan hegemoni di segala bidang kehidupan untuk diikuti sebagai
‘takdir’ zaman.
Di wilayah inilah kemudian Kiri Islam berperan. Kiri Islam harus
menentang ‘Fir’aun’ itu. Titik utama perlawanan yang harus dilakukan adalah
pada wilayah hegemoni budaya, atau lebih tepatnya imperialisme kebudayaan
Barat. Pertanyaannya, kenapa harus imperialisme kebudayaan yang menjadi
focus utamanya.
Dalam kesempatan lain Hanafi25 memperincinya, bahwa imperialisme
kebudayaan inilah yang menghancurkan Islam dengan meotong sejarah umat
Islam saat ini dari akar-akar tradisi dan budaya klasiknya (turats qadim) sehingga
mereka seakan terserabut (up rooted) dari masa lampaunya. Selanjutnya setelah
memotong akar kesejarahan tradisi ini, Negara imperialis budaya ini kemudian
memasukkan apa yang dibahasakan Hanafi sebagai turats gharbi (khazanah
Barat) atau proses westernisasi.
25 Hassan Hanafi, 2007, Dirasat Islamiyah, Penerj. Miftah Faqih, LKiS, Jogjakarta
60
Segala produk budaya Barat disuntikkan ke Negara-negara non-Barat.
Ekspor budaya ini bertujuan untuk menghilangkan kekhasan dunia non Barat dan
memutuskan akar sejarah budayanya. Ambisi utamanya dari semua itu adalah,
semua Negara non Barat akan berkiblat pada Barat, untuk itulah selanjutnya
semua cara dibenarkan dalam upaya westernisasi ini.
Tindakan ini jelas berakibat fatal bagi budaya-budaya non Barat,
budaya ini secara perlahan akan tergeser, karena terbukti budaya popular (yang
dikemas Barat) ternyata lebih menarik perhatian dari pada turats qadim yang
dimilikinya sebagai khazanah klasik. Akhirnya, Negara-negara non-Barat akan
kehilangan harapan untuk menentukan masa depannya sendiri, independensi
Negara tersebut hilang dan harus dependensi terhadap Barat.
Selain itu, secara tidak langsung dengan proses westernisasi yang
dikemas dalam budaya popular ini, Barat juga menggulirkan wacana bahwa apa
yang dikeluarkan oleh Barat merupakan produk unggulan, yang terbaik dan
diakui seluruh dunia, sementara produk local non Barat dianggap sesuatu yang
jumud, terbelakang, tradisional dan primitive. Stereotype rasial semacam ini jelas
akan semakin menunggulkan budaya popular kemasan Barat di tengah-tengah
peradaban dunia.
Pada wilayah ini Hanafi menginginkan penempatan yang seperti tatanan
semula. Barat ditempatkan kembali di peradabannya sendiri, dan Timur juga
berhak mengunggulkan turats qadim yang dimilikinya sendiri. Barat harus
didorong kembali ke belakang untuk duduk kembali di tempat duduk asalnya.
Dalam hal inilah kemudian yang mendorong Hanafi mengembangakan wacana
61
oksidentalisme (Occidentalism) sebagai anti tesis terhadap orientalisme
(Orientalism).
Orientalisme dalam pandangan Hanafi telah dijadikan senjata Barat
yang paling ampuh untuk menghadirkan alam fikiran, pandangan hidup dan
pandangan dunia serta motivasi-motivasi kolonialistik-imperialistik Barat
dibawah selubung kajian keilmuan tentang dunia Timur. Dengan orientalisme ini,
segala sesuatu tentang Timur telah diketahui oleh Barat sehingga kelemahan-
kelemahan yang dimiliki oleh peradaban Timur dapat terbaca dengan jelas.
Sehingga untuk menyusupi ke arah itu, Barat dapat dengan mudah menentukan
produk mana yang akan diekspor ke Timur.
Melalui oksidentalisme Hanafi berharap akan mampu membaca kondisi
Barat, mulai dari hal-hal besar hingga hal-hal kecil yang untuk selanjutnya dapat
mendorong kembali Barat untuk duduk kembali pada posisinya. Tidak hanya itu,
Hanafi juga berpesan untuk mewaspadai dua kekuatan lain yang mulai muncul
dan menghancurkan Islam yakni zionisme dan kapitalisme. Oksidentalisme
diharapkan juga mampu mengatasi dua musuh besar ini yang mencoba
mengeksploitasi peradaban pemikiran ketimuran.
Oksidentalisme,
al Muhawilah al Kamilah al Ula26
26 Permulaan yang sempurna, pujian kepada Hassan Hanafi atas kesuksesannya dalam merumuskan teori tentang oksidentalisme yang ternyata memang sama dengan kondisi yang dibutuhkan oleh Islam hari ini. Dalam rumusan teori oksidentalisme ini, Hassan Hanafi banyak diserang oleh Ilmuwan-ilmuwan lain yang berada di sekitarnya, salah satunya adalah Ali Harb yang menyerang Hassan Hanafi dengan teori-teorinya dan menyebut oksidentalisme sebagai ramalan yang tidak memiliki landasan epistemology dan aksiologi. Dia menyebut Hassan Hanafi sebagai Tukang Ramal dan menyamakan dengan Francis Fukuyama dalam karya “Ramalannya” yang berjudul The End of History.
62
Oksidentalisme termasuk disiplin ilmu baru kaitannya sebagai wacana
intelektual dan akademis, ia pertama kali dicetuskan oleh Dr. Hassan Hanafi,
guru besar filsafat di Universitas Kairo pada tahun 1980-an.
Oksidentalisme lahir berangkat dari keprihatinan Hanafi terhadap
keterbelakangan dunia Islam. Hanafi gerah melihat dunia Islam pada umumnya
yang begitu terhegemoni dan terdominasi oleh peradaban Barat dan semakin
rapuhnya tradisi Islam klasik dalam tubuh Islam sendiri. Hanafi lebih jauh
memandang bahwa orang Timur (muslim) cenderung terbuka dalam menerima
paham peradaban baru yang datang dari Barat pada satu sisi, dan pada sisi lain,
orang Islam sendiri menolak khazanah klasik yang dimilikinya sendiri. Sebagai
akibatnya, umat Islam mengalami krisis cultural yang sangat parah.
Disamping itu, Hanafi berharap dengan memasyarakatnya
oksidentalisme, maka wacana orientalisme yang selama berabad-abad
mendominasi dunia mendapatkan counter part yang setaraf. Oksidentalisme akan
dibenturkan dengan orientalisme pada satu sisi, dan pada sisi lain, Hanafi
berharap, tradisi klasik yang dimiliki oleh Islam akan kembali pada posisinya
yang terhormat. Dengan inilah kemudian Hanafi yakin bahwa umat Islam akan
berhasil mengatasi krisis cultural yang dialaminya sampai hari ini.
Oksidentalisme pada dasarnya adalah kajian orang-orang non Barat
(Islam) mengenai segala aspek kehidupan Barat. Oksidentalisme hendak
menjadikan Barat sebagai objek kajian keilmuan dengan segala aspek
kepentingan yang muncul di dalamnya. Bila dalam orientalisme Barat
menjadikan Timur sebagai ‘objek’, maka oksidentalisme membalik formula ini.
63
Melalui oksidentalisme ini kemudian orang Timur dapat mempelajari dan
memahami Barat.
Hanafi juga mengharapkan, dengan munculnya oksidentalisme maka
Timur tidak hanya selalu menjadi inferior dan terbelakang sementara Barat
sebagai superior dan maju. Inferioritas terhadap Islam dan timur akan terkikis
dan tercipta hubungan Timur dan Barat yang seimbang. Hanafi yakin, ketika
hubungan Barat dan Timur telah sederajat, tidak lagi ada hubungan superior-
inferior, tuan-budak, beradab-biadab, maka dialog antara Barat dan Timur baru
dapat diciptakan. Barat menjadikan Timur sebagai partner atas kepentingannya,
dan Timur menjadikan Barat relasi atas kepentingannya.
Apakah ketika Barat dan Timur telah mencapai kesetaraan, maka
keduanya akan semakin terbuka terhadap peradabannya masing-masing. Timur
(muslim) membuka diri menerima peradaban Barat dan Barat juga menerima
warisan cultural orang-orang Muslim? Padahal, sejauh yang banyak di ketahui
produk-produk budaya yang diciptakan Barat cenderung ‘haram’ dan kurang
dapat menyesuaikan dengan hukum Islam.
Pada pertanyaan ini, Hanafi menjelaskan bahwa tujuan oksidentalisme
menyetarakan dirinya dengan Barat, tidak lalu berarti Timur dan Islam menolak
atau menerima apapun yang berasal dari Barat. Tidak membenarkan atau
menyalahkan produk-produk Barat. Bagi Hanafi, Islam dan Barat masing-masing
harus tetap objektif dan kritis terhadap persilangan peradaban. Timur tetap kritis
dan objektif dalam memahami Barat dan menerima ‘warisan kultural’ Barat yang
sejalan dengan khazanah klasik yang ada dalam Timur sendiri, demikian juga
64
sebaliknya, Barat tetap menerima peradaban Timur yang sesuai dengan produk-
produknya sendiri.
Oksidentalisme tetap berbeda dengan orientalisme. Kalau orientalisme
lebih subjektif dalam pengkajiannya terhadap kepentingan imperialis dan
kolonialis, maka oksidentalisme lebih mengutamakan prinsip netralitas dan
objektifitas dalam mempelajari Barat. Maksudnya, bahwa kajian oksidentalisme
tidak ada keberpihakan apapun dengan kepentingan politis seperti imperialisme
kolonialis dan sebagainya. Oksidentalisme terlepas dari keinginan untuk
melakukan hegemoni terhadap peradaban dunia secara keseluruhan. Tidak ada
upaya dari oksidentalisme untuk melakukan imperialisme cultural terhadap Barat.
Oksidentalisme murni kajian ilmiah, tidak ada keberpihakan di dalamnya.
Pada oksidentalisme, wilayah geraknya sudah mulai di tata dan di
bidikkan arahannya. Oksidentalisme secara sederhana merupakan kerja lanjutan
atas proyek-proyek peradaban yang dilakukan pada decade 1980-an yang Hanafi
menamakan “Tradisi dan Pembaharuan” (al turats wa al tajdid). Setidaknya ada
tiga masalah pokok yang dikaji dalam oksidentalisme yakni pertama, sikap kita
terhadap tradisi lama, kedua, Sikap kita terhadap tradisi Barat, dan yang ketiga
Sikap kita terhadap realitas (prinsip interpretasi).
Pada wilayah pertama, yakni menyikapi tradisi lama (turats qadim),
Hanafi mencoba menempatkan turats qadim ini sebagai alat dobrak kesadaran
berpikir dan berperilaku. Bahwa perlu ada transformasi dari teologi ke revolusi,
transferensi ke inovasi, dari teks ke rasio. Tujuan adanya transformasi semacam
ini adalah untuk mengembalikan posisi turats qadim ke tempat asalnya sebagai
65
sebuah peradaban yang terhormat yang oleh Hanafi di pandang banyak
digunakan sebagai topeng oleh antek kapitalisme.
Turats qadim (tradisi lama) yang mencoba di bangkitkan kembali oleh
Hanafi menurutnya banyak menyimpan potensi untuk melakukan serangan balik
terhadap tradisi-tradisi Barat yang terus menelanjangi turats qadim dalam tatanan
peradaban internasional. Keyakinan ini muncul mengingat dalam sejarah
perjalanan Islam, Islam sering kali menjadi pemenang dalam perebutan wilayah
peradaban dengan ideology besar lain yang tidak sesuai dengan Islam.
Dalam memahami turats qadim, Hanafi berpendapat bahwa dalam
mengkaji wilayah ini merupakan wilayah garapan yang terpanjang di bandingkan
dengan dua agenda selanjutnya. Hal ini didasarkan bahwa dalam mendalami
khazanah klasik, maka peran sejarah dan perkembangan ideology dalam sejarah
itu tidak bisa dilepaskan. Kajian histories dan antropologis yang berkembang
sejalan dengan proses sejarah merupakan syarat mutlak untuk dapat membedah
khazanah klasik.
Dalam bahasa Hanafi, dia memberi nama pada khazanah klasik dengan
Al Madhi (kemarin) yang kemudian dipersonifikasikan dengan turats qadim.
Agenda yang kedua adalah sikap kita terhadap esok (al Mustaqbal). Al
Mustaqbal dipersonifikasikan oleh Hanafi sebagai peradaban Barat (turats
gharbi). Disinilah letak oksidentalisme sebenarnya berjalan. Bahwa dalam
wilayah ini, kita setidaknya harus mengkaji secara serius proses sejarah turats
gharbi dan perkembangannya serta langkah-langkah yang dilakukannya untuk
memenuhi ambisinya menguasai peradaban dunia.
66
Dalam catatannya itu, Hanafi mencatat setidaknya ada tiga agenda besar
yang harus dilakukan dalam mengkaji agenda kedua dari oksidentalisme ini.
Pertama, mengkaji akar sejarah peradaban Eropa. Di titik ini diteliti factor-faktor
atau tradisi peradaban yang menjdi dasar pemikiran dan filsafat pembentukan
peradaban Eropa. Termasuk diantaranya membedah sejauh mana peran
peradaban Yunani-Romawi, peradaban Yahudi dan Nasrani serta peradaban besar
lain seperti Mesir (peradaban Timur) dalam membentuk peradaban Barat.
Kedua, Hanafi mengkaji proses bagaimana kesadaran Eropa muncul,
khususnya pada zaman Reformasi Protestan abad XV-XVI, pada zaman
Rasionalisme Cartesian di abad XVII dan zaman Renaissance di abad XVIII. Dan
yang ketiga, Akhir Kesadaran Eropa. Dalam pandangan Hanafi, Kesadaran Eropa
dimulai dari munculnya filsafat ‘saya berfikir’ menjadi ‘saya ada’. Di fase ini,
kesadaran Eropa melakukan otokritik terhadap masa lampaunya, hasil karya
peradabannya, kritik terhadap idealisme dan positivisme serta ditemukannya
‘jalan ketiga’ dan fenomenologi.
Tujuan dari digulirkannya wacana oksidentalisme adalah untuk
mengurangi ketergantungan Timur terhadap Barat. Disini Timur hendak
menemukan dirinya kembali dalam rangka menentukan jalan yang akan
ditempuh. Tidak ada hegemoni, tidak ada imperialisme. Timur hendak
mengembalikan kekuatan khazanah klasik yang kaya akan rasionalisme tanpa ada
mitologi di dalamnya.
Dari menggulirnya wacana oksidentalisme, setidaknya masyarakat
Timur percaya bahwa penjajahan cultural yang dilakukan oleh peradaban Barat
67
telah menindas habis khazanah klasik ketimuran, dan hal ini membutuhkan
perlawanan. Kolonialisme dan imperialisme cultural harus diakhiri.
Wacana oksidentalisme, oleh banyak pemikir, baik dalam Islam atau
non Islam dianggap sebagai wacana utopis, di mana esensi dari kajian ini hanya
merupakan khayalan yang tidak mungkin terjadi. Namun, sebaiknya, hal ini tidak
menjadi hambatan untuk merealisasikan proyek besar peradaban Hanafi untuk
merevitalisasi khazanah klasik dan mendialogkan antara Timur dan Barat dalam
kesejajaran untuk kepentingan kemaslahatan bersama.
Oksidentalis atau Tukang Ramal?
Dalam setiap kajiannya, terutama yang menyangkut tentang teori
pembangunan peradaban, Hassan Hanafi memberikan rumusan yang sangat tepat
dan jelas mengenai definisi peradaban. Dalam bagian ini, sedikit banyak saya
lebih menyitir pendapat-pendapat Ali Harb dalam salah satu bukunya yang
berjudul, Naqd an Nashsh. Pada bagian pertama buku ini, pemikir besar dari
Libanon ini menitik beratkan kajian tentang pemikiran Hassan Hanafi yang dia
nilai negative atau tidak tepat.
Dari berbagai macam kritikan terhadap Hassan Hanafi, dapat
dirangkum sedikitnya ada tiga belas kritik yang diberikan Ali Harb terhadap
pemikiran-pemikiran revolusioner Hassan Hanafi yang sebenarnya menurut
banyak kalangan termasuk karya monumental. Kritik Ali Harb-pun tidak hanya
pada satu sisi, yakni objek kajiannya tetapi juga dalam sisi lain seorang Hassan
Hanafi. Kritik terhadap Hassan Hanafi sebagai seorang filosof, Kritik sebagai
68
seorang akademisi, Kritik sebagai seorang pembaharu, kritik sebagai seorang
pengamat peradaban, sebagai seorang pemikir hingga pada Hassan Hanafi dalam
wilayah pribadinya sebagai seorang warga masyarakat yang beragama Islam.
Judul pada sub bab ini merupakan salah satu kritik yang diberikan Ali
Harb dalam menyoal masalah Oksidentalisme dan kajian tradisi Hassan Hanafi.
Ali Harb memandang Hassan Hanafi terlalu berlebihan dalam memandang
persoalan peradaban, terutama persoalan terhadap ramalan masa depan. Sehingga
Ali Harb menyebutnya sebagai Tukang Ramal dan menyamakan kedudukannya
itu sama seperti kedudukan Francis Fukuyama yang meramalkan sejarah masa
depan dalam bukunya The End of History.
Kajian Hanafi tentang peramalan masa depan dengan melihat kejadian
pada masa lampau, terutama pembagian fase sejarah yang di soroti oleh Ali Harb,
yang membagi fase sejarah Islam menjadi masa keemasan dan masa pemunduran
dengan rentang waktu masing-masing tujuh abad. Pada 7 abad pertama, Islam
mengalami masa keemasan, dengan gilang-gemilang membawa kemenangan dan
kemajuan yang luar biasa dari sisi islam sebagai agama, sebagai tata social,
sampai islam sebagai aturan politik (Syiasah).
Di bidang ilmu pengetahuan, islam mengalami kejayaan dengan
banyaknya ilmuwan muslim yang berhasil memecah misteri dunia dan makhluk
hidup yang ada di dalamnya. Taruhlah nama-nama seperti Ibnu Sina (Avicena),
Ibnu Rusyd (Averous), Al Khawarizmi, Al Ghazali merupakan sebagian kecil
ilmuwan muslim yang mampu memecah kebekuan cara pandang manusia
terhadap alam sebelum bangsa Barat mampu berkata apa-apa.
69
Sementara itu, pada tujuh abad berikutnya, Islam mengalami
kemunduruan yang telak dan memukul kaum muslim terdepak ke pinggiran.
Masa ini dimulai dengan revolusi industri di Inggris, revolusi Prancis dan
revolusi-revolusi yang lainnya di dataran Eropa. Pada saat ini, ditengah Eropa
mengalami Pencerahan (renaissance) justru hal yang antagonis terjadi dalam
dunia Islam, Islam mengalami kemunduran di berbagai bidang. Sampai pada hari
ini, fenomena ini masih dapat kita saksikan.
Dalam kajian Hassan Hanafi tentang Barat, dia menuturkan hal yang
sama terjadi dalam Islam di Barat. Bahwa dalam peradaban Barat mengalami
masa-masa yang demikian itu dengan rentang waktu yang sama, tujuh abad.
Hanya saja, kalau dalam Islam Hanafi membaginya menjadi dua bagian, antara
masa keemasan dan masa kemunduruan, maka ketika Hanafi mengkaji mengenai
Barat dia membagi dalam tiga bagian, yakni masa kebangkitan, masa
kemunduruan dan kemudian diakhiri dengan masa kebangkitan.
Kajian Hanafi ini berkaca dari sejak zaman mula kebangkitan bangsa
Barat, kebangkitan pertama, yang terjadi selama tujuh abad. Pada masa ini dapat
diprediksikan dengan kemajuan Negara-negara Eropa sebelum masehi, baik pada
masa kebesaran suku Arya yang hamper menguasai dunia dan bangsa Yunani dan
Romawi, demikian selanjutnya terjadi secara berurutan sampai pada masa
penurunan dan kemudian kebangkitan kembali seperti yang kita lihat sekarang ini
Barat dengan kemajuan berbagai bidang kehidupan.
Dan pastinya, kemajuan yang sekarang Barat alami, Hanafi meyakini
bahwa dalam akhir masa kebangkitan ini, Barat akan mengalami kemunduran
70
yang memukul habis kemajuan peradaban mereka tanpa ampun. Dan kemudian
yang terjadi dalam Islam, Islam mengalami kemajuan yang pesat dan memegang
kendali peradaban dunia selama kurun waktu tujuh abad.
Hal ini memungkinkan adanya hubungan yang tidak harmonis antara
Barat dan Timur. Ketika Barat sedang mengalami kemajuan pesat, maka Timur
(Islam) memegang kendali atas peradaban dunia, demikian juga sebaliknya
ketika Islam sedang pada masa kemunduran maka Barat akan dengan leluasa
menguasai dunia.
Pemetaan terhadap Islam lebih dikiblatkan pada wilayah Timur Tengah
yang merupakan central peradaban Islam. Sehingga akan muncul pertanyaan,
dimana posisi Negara-negara di Afrika Tengah, Afrika Selatan, Asia Tenggara
dan Negara-negara etnis China. Karena dalam analisis ini, Hanafi hanya
membagi peradaban dunia secara bipolar antara Islam dan Barat. Apakah Negara-
negara tersebut masuk dalam peradaban Barat atau Islam tidak ada penjelasan
yang meyakinkan tentang itu.
Selanjutnya, dalam beberapa referensi hadits yang ada, Nabi
Muhammad pernah berkata bahwa yang akan menguasai peradaban dunia adalah
etnis China (Ras Mongoloid) dengan berbagai variannya. Anjuran untuk belajar
dari peradaban China juga ada referensi yang khusus yang dikatakan oleh Nabi
Muhammad SAW. Dapat dipastikan dengan sabda Nabi Muhammad SAW ini
tentunya membawa arus tersendiri bagi etnis Tionghoa yang ada di berbagai
belahan dunia. Pada suatu ketika Nabi Muhammad SAW bersabda mengenai
China ini
71
“Tuntutlah Ilmu meskipun sampai ke negeri China”
Ini memberikan gambaran yang lugas bahwa selain keharusan
memetakan peran China dalam konstelasi geocultural ini, upaya memetakannya
juga dianjurkan oleh nabi Muhammad SAW untuk belajar secara mendalam
tentang China dan berbagai wilayah dalam peradabannya yang telah Berjaya
sejak zaman pra sejarah.
72
JIHAD
DULU, SEKARANG DAN YANG AKAN DATANG
Para ahli logika sering kali menegaskan bahwa seseorang tidak dapat
menentukan sebuah keputusan terhadap sesuatu, kecuali jia ia mempunyai
konsepsi yang jelas tentang sesuatu itu, karena sesuatu yang tidak diketahui dan
tidak memiliki batasan jelas tak dapat dipertimbangkan. Oleh karena itu, satu hal
yang harus dilakukan sebelum sampai pada pembahasan mengenai konsep jihad
adalah menganalisis serta menterjemahkan apa arti kata jihad. Dari analisis ini
selanjutnya barulah dapat ditentukan untuk menolaknya atau menyambutnya
sebagai upaya untuk mempertahankan identitas keislaman pada era global ini.
Dalam Al Qur’an kata jihad disebutkan sebanyak 14 kali yang tersebar
dalam 19 surat. Sebanyak 28 ayat berisi perjuangan seperti tercantum dalam surat
Al Baqarah [2] ayat 216, Ali Imran [3] ayat 142, an Nisa [4] ayat 95, Al Ma’idah
[5] ayat 35 dan 54, Al Anfal [7] ayat 72 dan 74-75, at Taubah [9] ayat 16, 19, 20,
24, 41, 44, 73, 81, 86 dan 88, an Nahl [16] ayat 110, al Hajj [22] ayat 78, al
Furqan [25] 52, al Ankabut [29] 6 dan 69, Muhammad [47] ayat 31, al Hujarat
[49] ayat 15, al Mumtahanah [60] ayat 1. keseluruhan dari turunnnya ayat
tersebut terbagi dalam waktu turun di Makah dan Madinah.
Dalam Al Qur’an pemaknaan jihad yang diartikan atau dikaitkan
dengan perang agama (holly war), yakni perang kaum muslim melawan orang-
orang kafir, musyrik dan munafik terdapat pada Surat Al Baqarah [2] ayat 190,
an Nisa [4] ayat 74, at Taubah [9] ayat 122-123, al Hajj [22] ayat 39-40, Al
73
Furqan [25] ayat 52, Al Azhab [33] ayat 48, al Hujarat [49] ayat 9, al Shaff [61]
ayat 4 dan al Tahrim [66] ayat 9.
Dari terjemahan normative teks al Qur’an tentang jihad, yakni bahwa
jihad adalah peperangan melawan orang kafir, musyrik dan munafik yang
bertujuan untuk mempertahankan Islam dari penghancuran yang dilakukan oleh
orang-orang tersebut, jihad kemudian dijadikan sebagai key word yang menjadi
legitimasi bagi munculnya gerakan fundamentalisme dan radikalisme dalam
Islam. Artinya, fundamentaisme, sebagai model gerakan perlawanan, pada
akhirnya mendapatkan infuse dengan hadirnya kata jihad dan “Seruan berperang”
yang terdapat dalam Al Qur’an.
Bersamaan dengan melemahnya kekuatan Islam dan perkembangan
Barat yang semakin menguat, sedikit demi sedikit fenomena dan wacana tentang
jihad tidak pernah muncul di permukaan. Kalaupun muncul, itu hanya sekedar
wacana dan mengingat kembali kebesaran Islam di masa lampau sebagai sebuah
kebanggaan terhadap sejarah. Pada kurun waktu ini, jihad sama sekali tidak
terlihat gerakannya secara konkrit. Seandainya jihad dapat disamakan dengan
harimau ganas yang menakutkan dan mampu menerkam musuh-musuh Islam,
maka pada kurun waktu ini jihad adalah harimau yang sedang tidur karena cakar
kuku dan taringnya terlepas, sehingga tidak berbahaya ketika musuh Islam berdiri
dan menari diatas harimau itu.
Untuk mengobati harimau yang kehilangan taring dan cakarnya itu,
serta untuk membangkitkan semangat naluri melawan dari harimau jihad itu,
maka pada decade 40-an Imam Syahid Hasan al Banna menulis buku yang
74
berjudul Risalah al Jihad yang berusaha mengembalikan lagi posisi jihad dalam
Islam. Ia menetapkan bahwa jihad adalah faridah (kewajiban) masa lampau
hingga pada hari kiamat.
Dalam buku itu Hasan Al Banna banyak menyitir dari teks-teks yang
terdapat dalam Al Qur’an terkait dengan jihad dan persoalan lainnya terkait
dengan jihad. Sebagai penyokong atas ayat-ayat Al Qur’an, dalam buku itu
Hasan al Banna juga menuliskan hadits-hadits yang jumlahnya melebihi jumlah
ayat Al Qur’an yang tercantum serta pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh
para ulama abad pertengahan.
Akan tetapi, Hasan al Banna hanya mencadangkan peran jihad kala itu
untuk melawan penjajahan, dan baru benar-benar mengumandangkannya ketika
ia menyusun angkatan sukarelawan perang yang pergi ke Palestina dan berjuang
di front terdepan melawan penjajah Israel.
Para sukarelawan tersebut juga berpren menggempur instalasi-instalasi
militer Inggris di daerah Qinal pada tahun 1951 dan mempersembahkan gelar
syuhada-nya dalam perang tersebut.
Jihad dalam artian sebuah upaya untuk mempertahankan eksistensi
Islam merupakan sebuah keharusan yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja.
Setiap orang Islam harus selalu melakukan jihad untuk mempertahankan
keutuhan Islam, baik pengertian Islam sebagai agama ataupun Islam dalam
tafsiran lainnya seperti Islam sebagai ideology, Islam sebagai nalar gerak, Islam
sebagai kebudayaan dan seterusnya. Intinya bahwa Islam, dalam tafsiran apapun,
75
harus tetap dipertahankan untuk mendapatkan keutuhan Islam sebagaimana yang
diharapkan oleh semua orang muslim agar Islam dapat berjaya sampai hari akhir.
Pada zaman Rasulullah SAW, jihad banyak dilakukan untuk
mempertahankan keutuhan Islam dari perlawanan yang dilakukan oleh kaum
Jahiliyyah dan kaum lainnya yang tidak menyepakati munculnya Islam yang
dibawa oleh Muhammad. Perlawanan itu muncul dikarenakan Muhammad secara
tegas menolak system tradisi lama kaum Quraisy dan sekitarnya yang masih
terkungkung pada peradaban picik yang mengutamakan kesejahteraan pribadi
orang tertentu dan menindas orang lain secara ekonomi, politik, sosial bahkan
sampai penindasan pada level pribadi perseorangan.
Kepala suku yang dibawahnya terdapat banyak Klan-Klan sebagai basis
kekuatan keturunan keluarga tertentu mendapatkan keuntungan yang lumayan
besar sebagai pendapatan pribadi yang kemudian digunakan untuk kesejahteraan
pribadi. Sebagai akibatnya, ketika Rasulullah datang membawa ajaran Islam yang
mencoba menggugurkan tradisi yang telah membudaya tersebut, maka tidak
dapat ditutup lagi, pembesar-pembesar Quraisy yang merasa posisinya akan
terancam segera melakukan perlawanan untuk mendapatkan posisinya di tengah
kehidupan sosial masyarakat Arab saat itu. Rasulullah tidak hanya diserang
secara fisik oleh para pembesar Quraisy, tetapi juga ditindas secara ekonomi
dengan pemutusan akses ekonomi, penindasan sosial dengan pengucilan, dan
penindasan-penindasan lainnya yang mendiskreditkan peran Muhammad sebagai
salah satu bagian dari masyarakat sosial Arab.
76
Pertentangan oleh pembesar Arab tidak hanya terhenti saat Muhammad
berhasil mendapatkan banyak pengikut. Desakan demi desakan yang dilakukan
oleh para pembesar suku Quraisy terus berlanjut hingga sampai Muhammad
beserta pengikutnya memutuskan untuk melakukan hijrah ke kota Madinah untuk
mendapatkan ketenangan hidup dan keleluasaan untuk menyebarkan agama
Islam ke semua lapisan masyarakat.
Seringkali ketika di Makkah Muhammad diperlakukan seperti binatang
oleh para pengikut pembesar suku Quraisy, ketika sedang lewat di jalan,
pakaiannya sering diludahi, dilempar kotoran, batu dan sebagainya. Tetapi
Rasulullah, mengingat posisinya sebagai uswatun khasanah bagi para
pengikutnya, selalu sabar untuk menghadapi setiap perlakuan yang tidak
manusiawi oleh masyarakat suku quraisy.
Seruan untuk menyebarkan Islam semakin diperluas wilayahnya, kali
ini tidak hanya Negara Arab saja yang menjadi objek penyebaran Islam, tetapi
Mesir, Persia, Syam dan wilayah lainnya. Ada banyak Negara / suku yang
kemudian dengan lapang dada menerima kehadiran Islam di tengah-tengah
mereka, namun juga tidak sedikit yang menolaknya bahkan mengajak
Muhammad untuk berperang untuk mendapatkan kepercayaan public bahwa apa
yang dilakukan oleh Muhammad hanyalah bualan belaka, tidak ada hikmah yang
dapat diambil dari apa yang diperjuangkan oleh Muhammad bersama kaumnya.
Disinilah kemudian peran Muhammad sebagai panglima perang,
pemimpin umat Islam, utusan Allah, dan uswatun khasanah diuji. Muhammad
selalu melakukan apapun untuk menjaga keutuhan Islam sebagai agama yang
77
dianugerahkan untuk kesejahteraan umat manusia di seluruh dunia, berperang
bersama pasukan untuk melawan kekuatan tentara lawan yang hendak
menghancurkan Islam. Setiap peperangan yang beliau bersama pasukannya
lakukan selalu mengalami kekalahan secara kuantitatif dengan pasukan lawan,
namun secara kualitatif dan hasil Muhammad banyak mendapatkan kemenangan.
Keuletan dan kecerdikan Muhammad dalam mengatur strategi perang,
memimpin pasukan serta mengatur hasil rampasan perang sering kali membuat
lawannya merinding. Kekuatannya dihadapan kaum kafir tidak terukur oleh
apapun, dan wajar saja ketika dari sini kemudian dapat dikatakan bahwa
kemenangan tentara Islam dalam setiap peperangan didominasi oleh factor
semangan kaum muslimin dalam berperang dan pengaturan strategi perang yang
lebih termanage sesuai kondisi peperangan. Muhammad dapat secara cepat
mengambil keputusan meskipun dalam kondisi terjepit sekalipun sehingga
Muhammad sebagai seorang panglima perang pantas untuk mendapatkan
pengakuan sebagai panglima perang hebat.
Kekalahan kaum muslimin dalam salah satu peperangan yang dilakukan
menjadi pelajaran yang kemudian dari situlah menemukan kelemahan-kelemahan
strategi yang Muhammad dan kaumnya lakukan. Dari kekalahan ini tidak
membuat Muhammad bersama pasukannya lantas meninggalkan peperangan dan
menyerah begitu saja pada kekuatan lawan, yang terjadi justru sebaliknya, ketika
kaum muslimin mengalami kekalahan, kemudian mengevaluasi peperangan yang
telah dilakukan untuk menemukan strategi peperangan yang lebih efektif dan
efesien tanpa harus mengorbankan nyawa dan harta yang berlebih.
78
Dari kisah Muhammad dan kaumnya diatas, merupakan sebuah upaya
untuk mempertahankan eksistensi Islam atau istilahnya jihad. Dalam konteks saat
itu, jihad direpresentasikan dalam bentuk berperang melawan musuh dan
mendapatkan kemenangan untuk kesejahteraan dan kemerdekaan Islam untuk
masyarkat dunia, karena Islam lahir pada dasarnya adalah rahmatal lil ‘alamin
yang akan memberikan rahmat kepada semua alam semesta, tidak hanya manusia
saja, tetapi binatang, tumbuhan serta mahluk hidup lainnya yang tidak dapat
dilihat secara kasat mata. Intinya bahwa jihad dengan berperang seperti yang
Muhammad lakukan adalah untuk kesejahteraan kolektif semua makhluk.
Perkembangan pemahaman terhadap jihad pasca jihad Hasan Al Banna
terjadi diluar control. Beragam perkembangan itu selanjutnya mendorong
sekelompok dai untuk memulai apa yang di akhiri oleh Hasan al Banna. Mereka
kemudian tidak merasa puas dengan hukum dasar jihad yang hanya, menurut
Hasan al Banna, faridah saja, tetapi menambahi kata sandang di depannya untuk
memperkuatnya sehingga menjadi al faridah serta memperluas basis
yurisdiksinya, sebagai sebuah perkembangan baru dari jihad, menjadi media
penebaran Islam dan penyelamatan Negara-negara Eropa dari kungkungan
kapitalisme dan setan dunia lainnya serta melakukan penyembuhan terhadap
pemujaan terhadap personal dan menggantinya menjadi penyembahan kepada
Allah SWT, satu-satunya tuhan yang harus disembah.
Jihad semacam ini kemudian mendorong mereka untuk ‘berjihad fi
sabilillah’ melawan Negara ang dalam pandangan mereka tidak memakai hukum
sebagaimana yang telah diturunkan oleh Allah. Berangkat dari pemahaman
79
semacam inilah kemudian banyak Negara-negara yang di black list untuk
menjadi objek jihad.
Sebagai akibat fatalnya. Mereka kemudian terpeleset pada usaha-usaha
pembunuhan terhadap aparatur, termasuk pembunuhan kepala Negara,
pembantaian orang-orang non muslim, pengeboman tempat-tempat wisata religi
non muslim, penghancuran tempat hiburan, perampokan toko-toko dan tindakan
anarkhis lainnya yang tidak jauh berbeda dengan tindakan mafia.
Pada titik inilah kemudian kita akan sampai pada pemahaman bahwa,
diakui atau tidak, persoalan jihad merupakan problem yang paling controversial
dari sejak zaman dahulu sampai sekarang. Diskursus mengenai jihad telah
mencapai banyak interpretasi sehingga kemudian sekarang dikonsepsikan sebagai
ajaran yang mengajarkan kekerasan untuk mempertahankan diri. Ini merupakan
pengertian yang paling kurang tepat, dan wajar bila Jamal Al Bana27 kemudian
mengatakan bahwa di era modern ini jihad menjadi wacana yang di dzalimi, baik
oleh kalangan pro maupun kontra syari’at. Juga di dzalimi di dalam dan di luar
Islam, serta paling disalahtangani pula oleh kaum orientalis Barat dan kalangan
organisasi Islam sendiri.
Penyebab adanya kesalahan ini, berangkat dari pencampuradukkan
antara perang (wars/qital) dengan jihad. Pengertian diantara keduanya dicampur
aduk sehingga, sebagai akibatnya, anggapan setiap orang, baik muslim ataupun
bukan perang merupakan manifestasi dari jihad, keduanya berhubungan erat
sebagai arti yang sejiwa. Lebih jauh lagi, konsep jihad ini lebih didominasi oleh
27 Jamal Albana, 2005, Al Jihad, Dar al-Fikr al Islam, penerj. Kamran A. Irsyadi, Pilar Media, Jogjakarta, hal. xx
80
peperangan, dan perang merupakan bagian terpenting dari jihad. Interpretasi
semacam inilah yang kemudian membuat kesalahan pemahaman dan keluar dari
konteks yang sebenarnya diharapkan.
Ini merupakan kesalahan penafsiran yang sangat vatal, sehingga segala
sesuatu yang terkait dengan perang merupakan upaya untuk berjihad. Pada
dasarnya, jihad adalah terminology yang memiliki akar kata dan derivasi bahasa
yang menunjukkan muatan tertentu, dan lebih lanjut memiliki sarana dan target
yang menunjukkan atau diingini muatannya. Sementara perang (wars/qital)
merupakan akar kata dan derivasi bahasa yang menunjukkan muatan tertentu
yang berbeda dengan asal kata jihad, begitu juga sarana dan targetnya. Secara
ringkas, dapat dikatakan bahwa antara jihad dan perang merupakan wilayah yang
berbeda baik secara terminology ataupun aksiologi.
Diantara keduanya (jihad dan perang) tidak selalu berjalan beriringan,
meskipun dalam beberapa kasus tertentu kemudian dapat dijumpai pertemuan
antara keduanya. Masing-masing memiliki tujuan dan target yang berbeda. Lebih
lanjut, Jamal Albana kemudian memisahkan keduanya sebagai deduktif induktif,
yakni jihad sebagai sesuatu yang pokok (dalam konsepsi umum), sementara
perang merupakan bagian dari jihad yang dapat dilakukan apabila mendesak dan
memang diperlukan sekali. Artinya, perang merupakan bagian terkecil jihad yang
hanya dan hanya boleh dilakukan apabila dalam kondisi terdesak dan memang
diperlukan sekali.
Satu contoh yang diambil dari kisah Rasulullah misalnya, bahwa
Rasulullah bersama sahabatnya telah melakukan jihad di tanah Makkah selama
81
13 tahun dengan menggunakan sarana-sarana jihad yang mengandung
pendekatan hikmah, mau’idzah hasanah, nasihat, petunjuk, ketabahan dan
militansi.
Sampai disini kemudian dapat diambil makna yang sesungguhnya dari
jihad itu sendiri, serta sejauh mana perang memiliki kaitan dengan jihad. Dan
tentunya persoalan jihad ini tidak akan membuat penganutnya terjebak pada
model jihad yang mengutamakan heroisme sesaat dengan mengorbankan banyak
nyawa dan dengan hasil yang percuma.
Kesalahan penginterpretasian dari kata dan makna jihad ini lebih
disebabkan karena dari para pengkajinya hanya mengambil satu referensi ayat
atau beberapa ayat dan hadits tanpa menghiraukan hadits atau ayat yang lainnya.
Pun kesalahan dapat ditemui ketika menafsirkan / menterjemahkan ayat tersebut
dengan mengesampingkan kontekstualitasnya. Makna yang tersirat secara
implicit tidak tersentuh oleh para pengkajinya.
Wacana sepenting jihad ini, seharusnya dalam membahasnya tidak
hanya membahas satu persatu ayat atau hadits saja, tetapi harus dikaji secara
keseluruhan dan menemukan ayat atau hadits lainnya yang terkait dengan makna
jihad dan tidak ketinggalan pula untuk menterjemahkan dengan melihat
kontekstual historisnya. Hal ini karena persoalan jihad merupakan persoalan yang
penting yang seharusnya tidak disalahartikan karena menyangkut masa depan
Islam sendiri serta penganutnya secara keseluruhan.
Jihad Hari ini dan yang akan datang
82
Jihad berperang saat itu merupakan sebuah hal yang sangat diidamkan
oleh para pengikut Muhammad (baca : sahabat), hal ini di dasarkan pada doktrin
yang diajarkan oleh Islam bahwa orang yang meninggal dalam peperangan untuk
membela Islam maka baginya ditempatkan di tempat tertinggi yang ada di sorga.
Untuknya diampuni segala dosa yang pernah dia lakukan. Bahkan untuk
menghormati syahid (orang yang meninggal dalam peperangan untuk membela
Islam), Rasulullah melarang untuk mengganti kain yang dikenakannya dengan
kain kafan dalam proses pemakamannya, jenazah para sahabat yang sahid
dibiarkan tetap menggunakan pakaian yang digunakannya ketika meninggal,
bahkan dimandikanpun tidak. Alasannya adalah dengan pakaian yang dikenakan
itu, dengan kondisi meninggal yang seperti itu dapat dijadikan saksi ketika
berada di akhirat kelak. Pakaian yang dikenakan pada saat meninggal itu akan
bersaksi bahwa si pemakainya menggunakan baju tersebut untuk mencari
kesyahidan, darah yang mengalir akan berkata bahwa darah tersebut keluar
karena digadaikan demi kejayaan dan keutuhan Islam.
Jihad merupakan kewajiban untuk semua orang Islam, semua muslim
wajib melakukan pembelaan ketika Islam sedang diserang oleh lawan, tidak ada
kata tidak untuk itu. Dalam kondisi apapun orang Islam harus turut serta
melakukannya. Tujuannya adalah agar Islam sebagai agama tetap terjaga
keutuhannya untuk kesalehan kolektif semua makhluq.
Saat itu ketika jihad dilakukan dengan berperang merupakan langkah
yang paling tepat. Ini semua disebabkan karena musuh yang menentang Islam
telah tampak di depan mata. Musuh yang diperangi merupakan orang yang sama
83
seperti yang lainnya. Para musuh Islam muncul dengan senjata yang lengkap saat
itu untuk bagaimana mampu menjatuhkan Muhammad.
Dan secara sosio psikologis ini merupakan hal yang lumrah dan
manusiawi mengingat bahwa secara psikologis orang akan mengalami
kegoncangan jiwa yang selanjutnya akan melakukan perlawanan ketika dirinya,
orang tuanya, anak-anaknya atau apapun yang dia cintai diserang, dilawan, dihina
dan sebagainya secara membabi buta oleh orang yang bahkan tidak dikenalnya.
Artinya, sugesti yang timbul untuk melakukan jihad berangkat dari
adanya kecintaan yang berlebih (islamoholic) terhadap Islam yang selanjutnya
merasa tidak terima ketika Islam yang nota benenya dicintainya itu harus dihina
dan dilawan.
Kecintaan terhadap Islam oleh penganutnyapun memiliki alasan yang
tepat, yakni bahwa Islam yang mereka anut oleh mereka dipercaya mampu
membawa ke arah tata sosial yang lebih baik dibandingkan tata sosial yang telah
ada. Meskipun mereka percaya bahwa Islam tidak hanya mengatur kehidupan
sosial saja, tetapi juga bidang ubudiyah yang mengatur tata hubungan antara
manusia sebagai makhluk dengan Allah sebagai khaliq yang menciptakannya.
Ini semua mereka lakukan karena mereka telah jenuh dan bosan dengan
system sosial yang sedang berjalan, dimana system sosial ini cenderung
kapitalistik, feodalistik, imperialistic dan patrialistik. Dibidang ubudiyah mereka
telah dikenyangkan dengan kebohongan berhala yang mereka anggap memiliki
kekuatan gaib yang mampu memberikan keberkahan hidup dan ketenangan jiwa
84
yang pada nyatanya hanya merupakan batu yang dibentuk sedemikian rupa
hingga seolah tampak memiliki charisma.
Dari sinilah kemudian mereka meyakini, bahwa Islam mampu
membawa mereka pada satu aturan baru yang memungkinkan untuk
mendapatkan pencerahan jiwa dan kesalehan kolektif serta mencapai tata sosial
yang humanis, pluralis, agamis sesuai yang dijanjikan Islam sendiri.
Kembali pada persoalan jihad, bahwa, sekali lagi, wajar saja jihad
dilakukan saat itu dengan berperang, karena musuh utama saat itu adalah orang
yang masih menggunakan kekuatan fisiknya untuk menghancurkan Islam secara
serta merta. Kekuatan militer seringkali digunakan sebagai upaya agar Islam
beserta pemimpinnya dan bala tentaranya tertawan dan dibunuh sehingga jamur
Islam tidak dapat tumbuh kembali.
Islam bagi sebagian besar masyarakat Arab dan sekitarnya saat itu
merupakan virus yang mudah menyebar, sehingga para pembesar suku yang tidak
menyepakati munculnya Islam selalu mencari formula baru untuk mendapatkan
antivirus yang mampu membunuh virus Islam itu. Ini sangat wajar mengingat
ketika Islam maju dan berkembang pesat maka secara politis pemimpin suku
yang tadinya menempati urutan pertama dalam tata politik sukunya untuk
kemudian dapat tergeser pada nomor-nomor terbelakang, karena mau tidak mau
ketika Islam muncul dan berkembang dalam satu wilayah tertentu, maka
Muhammad adalah orang yang akan mereka elu-elukan sebagai pemimpin
mereka.
85
Secara sederhana, perlawanan yang muncul dari arah luar Islam adalah
disebabkan karena kepentingan politis dimana para pembesar suku tidak mau
kemudian disingkirkan dari posisinya sebagai pemimpin.
Untuk selanjutnya, seringkali selain pertentangan fisik yang dilakukan,
penyerangan dengan model pengguliran wacana islamophobia juga sering
muncul di masyarakat sebagai langkah antisipatif terhadap masyarakat wilayah
tertentu oleh para pemimpinnya agar Islam tidak mampu menembus wilayah
sosial daerah tersebut.
Misalnya dengan pengguliran wacana bahwa Islam merupakan agama
militer yang selalu berperang untuk mendapatkan wilayah dan mendapatkan
penghasilan tambahan dari tanah jajahannya. Islam merupakan agama eksploitatif
yang akan mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang
ada di tanah yang telah ditaklukannya. Orang-orang yang setia terhadap
Muhammad hanya didasarkan pada harapan memperoleh tanah jajahan dan
mengumpulkan harta rampasan perang dari peperangan yang dilakukan.
Pertentangan dengan pengguliran wacana semacam inilah yang
kemudian membuat Islam akan semakin terpojok posisinya ketika memasuki
wilayah yang telah bergulir wacana semacam ini.
Pada konteks hari ini, jihad yang harus dilakukan kalau kita akan
mengikuti sunnah nabi Muhammad adalah dengan melawan hawa nafsu yang
muncul dalam diri kita sendiri. Artinya setiap hawa nafsu yang muncul dari
dalam hati kita yang tentunya menjebak kita dalam kebahagiaan sementara di
86
dunia merupakan jihad yang pahalanya sama dengan orang yang mati dalam
peperangan ketika orang Islam mampu melawan hawa nafsu yang muncul.
Untuk mendapatkan penafsiran baru terhadap berbagai konsep jihad
yang muncul hari ini, terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah melakukan
analisis geososiopolitik. Hal ini terkait bahwa Islam merupakan satu dari
berbagai system ideology yang muncul dan berkembang di dalam tata politik
dunia.
Dalam bukunya, The Clash of Civilization, Samuel P. Huntington
melakukan analisis kritis terhadap perkembangan politik dunia pasca perang
dingin. Dalam masa perang dingin kekuatan antara blok Timur yang
direpresentasikan oleh kekuatan Uni Soviet (USSR) dan kekuatan Barat yang
direpresentasikan oleh Amerika Serikat (USA) mengalami masa yang tegang
dan menegangkan. Meskipun dalam perang dingin (cold war) yang terjadi saat
itu tidak memunculkan perang terbuka, namun berbagai konflik politik yang
terjadi di setiap belahan dunia tidak bisa dilepaskan dari kedua kekuatan tersebut.
Perlombaan senjata dengan saling menciptakan teknologi persenjataan
yang paling mutakhir terjadi dan membuat bulu kuduk merinding. Keduanya
menciptakan senjata pemusnah massal yang membahayakan ketenangan dunia.
Selain itu konflik politik internal Negara lain yang terjadi selalu di setting oleh
kekuatan ini, pecahnya Korea menjadi Korea Utara dan Korea Selatan juga
merupakan ulah dari USSR dan USA yang hendak berperang dengan
memanfaatkan konflik internal Negara tertentu.
87
The End of History yang dituliskan oleh Francis Fukuyama
memprediksikan peta politik global pasca perang dingin, dimana kedua kekuatan
tersebut akan mengalami kehancuran salah satu diantara keduanya yang
kemudian salah satu dari keduanya itu akan menguasai geopolitik dan
geoideologi di dunia tanpa adanya perlawanan yang berarti dari pihak yang
kalah. Amerika Serikat sebagai pihak yang diunggulkan akan mampu
mematahkan kekuatan Uni Soviet dibawah pemerintahan Mikhail Gorbacev saat
itu dan kemudian Amerika Serikat sebagai pihak yang memenangkan perang
dingin tersebut akan menjadi satu-satunya kekuatan yang mampu menghegemoni
dunia dengan berbagai kekuatan yang dimilikinya.
Namun sekali lagi, ternyata apa yang diprediksikan oleh Francis
Fukuyama itu sedikit meleset dan kurang tepat. Pada saat perang dingin itu,
Amerika Serikat terus memacu perkembangan militernya sehingga persoalan
ekonomi dalam negeri mengalami deficit. Sebagai akibatnya hadiah dari
kemenangan Amerika Serikat dalam perang dingin ini adalah PR untuk
menyetabilkan kondisi perekonomian dalam negeri.
Sibuk dengan urusan ekonomi dalam negerinya itu, terjadi hal yang
tidak dapat diduga sama sekali oleh Amerika sebagai kekuatan terbesar dunia
saat itu. Terjadi perubahan terhadap konstelasi geopolitik. Negara-negara
pecahan Uni Soviet yang sebelumnya berbasiskan Islam telah kembali pada
Islam, sementara itu, China, sebagai Negara dengan penduduk terbesar di dunia
meningkatkan bidang perekonomiannya. Disamping membangun bidang
perekonomian, ideology, tradisi dan peradaban yang dimiliki China sebagai
88
warisan nenek moyang mulai go public dan secara tidak langsung mengadakan
launching agar peradabannya mampu menembus dunia internasional.
China yang kaya akan kebudayaan klasik, mampu menyihir dunia
menjadi tercengang, bahkan hampir di setiap negara, budaya China tumbuh
subur, dimana-mana Klenteng dapat berdiri, ramalan-ramalah Feng Shui laku
laris di setiap pelosok dunia, produk-produk alternatif China bahkan menembus
pasar internasional dan mendominasinya. Di dukung dengan letak geografis yang
berpotensi untuk menjadi central pasar internasional, semakin memposisikan
China, juga dengan kekuatan ekonomi, sosial budaya dan lainnya yang tidak
lekang oleh zaman. Ini semua membuat Huntington menghitung China sebagai
kekuatan yang akan mendominasi dunia, meskipun dengan strategi yang halus.
Sementara itu, Islam, yang sampai hari ini menjadi kekuatan kiri yang
paling berbahaya bagi Amerika Serikat, disamping kiri lainnya, dengan jumlah
penganutnya yang makin lama makin meningkat, membuat Islam semakin di
perhitungkan juga. Apalagi dengan bangkitnya kekuatan negara-negara Islam.
Iran yang dipimpin oleh pemimpin ‘keras kepala’ terhadap AS, Mahmoud
Ahmadinejad, membangkitkan program nuklir, serta ilmu pengetahuan modern
lainnya.
Bukan itu saja yang membuat Islam diperhitungkan oleh Huntington,
Islam, khususnya yang ada di Timur Tengah, merupakan negara-negara penghasil
minyak bumi yang besar dan potensial memenuhi kebutuhan minyak dunia.
Selain minyak bumi, barang tambang lainnya Islam juga mendominasi.
89
Yang selanjutnya terjadi, berdasarkan analisis pakar geo politik dari
Harvard University, Samuel P. Huntington adalah bahwa perang yang terjadi
pasca perang dingin adalah perang antar peradaban, bukan lagi perang antar
Negara, perang antar blok dan seterusnya. Kedepan ideology-ideologi besar yang
berkembang saat ini akan terjadi clash, benturan antara satu peradaban dan
peradaban lainnya yang kemudian akan menentukan peradaban mana yang
mampu mendominasi dunia.
Perang antar peradaban yang diilustrasikan Samuel P. Huntington
mengunggulkan tiga peradaban besar yang berada di dunia, yakni antara Islam,
Kapitalisme Amerika dan China. Ketiga kekuatan ini akan saling mengalami
benturan dan menentukan ideology mana yang akan berhasil menjadi ideology
dominant dan mampu menggilas habis ideology lainnya.
Fenomena geososialpolitik hari ini adalah mendominasinya system
sosial, budaya popular (popular culture), system perekonomian, tata
geoantropologis yang diciptakan Amerika dan sekutunya. Sebagai akibatnya,
dunia hari ini dikuasai oleh sistemnya Amerika dan sekutunya. Setiap persoalan,
baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya harus berkiblat pada apa
yang difatwakan oleh Amerika.
Dampak yang paling utama adalah, Islam mengalami kehancuran secara
sosiopolitik, keterbelakangan ekonomi, kesesatan kebudayaan dan sebagainya.
Melihat kondisi geopolitik yang seperti ini, maka akan didapati objek
jihad yang baru dan merupakan upaya untuk mempertahankan eksistensi Islam.
Karena pada dasarnya jihad adalah upaya mempertahankan eksistensi Islam
90
dalam kondisi apapun. Maka hari ini yang harus dilakukan adalah berjihad untuk
mengembalikan kejayaan Islam sebagai agama yang rahmatal lil ‘alamin.
Persoalan selanjutnya yang muncul adalah bagaimana mendapatkan
solusi yang kreatif dan tepat untuk berjihad. Karena jelas ketika kita jihad secara
fisik, melakukan perlawanan militer dengan Amerika dan sekutunya yang
mengklaim diri sebagai polisi dunia maka jelas Islam akan mengalami kekalahan.
Hal ini dapat dibuktikan dan menjadikan pelajaran dari konflik yang terjadi di
Timur Tengah, tepatnya yang terjadi di Irak, Lebanon, Afghanistan dan
sebagainya yang diporak-porandakan oleh kekuatan militer Amerika dan Israel
serta sekutunya yang lain.
Karena fenomena sosio politik global ini merupakan permainan, maka
hanya ada dua kemungkinan yang akan muncul terhadap Islam dan masa
depannya, yakni Islam akan menjadi pemain atau Islam yang akan menjadi
sesuatu yang dimainkan. Ini semua tergantung dari Islam itu sendiri.
Dan untuk lebih tegasnya, permainan yang terjadi hari ini adalah
permainan system, bukan lagi permainan militer seperti yang terjadi di zaman
Nabi Muhammad, maka perlawanan yang harus dilakukanpun mendapatkan
antitesis terhadap system permainan Amerika Serikat.
System kapitalistik telah mendapatkan antitesis meskipun pada decade
terakhir abad dua puluh mengalami kehancuran, yakni Marxisme, dimana ajaran
komunismenya Karl Marx dalam Das Kapital dan MDH-nya yang mengangkat
konflik buruh majikan dan kelas sosial masyarakat sedikit banyak mampu
91
memukul kekuatan kapitalisme dengan penghapusan kepemilikan pribadi dalam
tata sosial serta pengaturan tentang alat produksi.
Kemudian dalam konteks hari ini, yang harus dilakukan oleh Islam
sebagai upaya melakukan perlawanan terhadap neo mperialisme dan neo
kolonialisme yang di telorkan oleh Barat adalah dengan kembali menjadikan
Islam sebagai agama revolusi yang akan merubah tatanan dunia yang sesuai
dengan hokum Islam seperti apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad.
Perbedaan dengan apa yang dilakukan Nabi Muhammad adalah, bahwa
pertentangan yang dilakukan Nabi Muhammad terjadi secara fisik dan face to
face antara kawan dan lawan, maka karena yang terjadi hari ini merupakan
pertentangan system dan peradaban, yang harus dilakukan adalah mencari system
yang mampu menyerang system kapitalistik.
Jadi agaknya menarik juga persoalan ini, dan ini optimis akan
terrealisasi, mengingat bahwa menurut study yang dilakukan Max Weber tentang
Islam yang belum diselesaikannya saat dia meninggal telah memberikan
gambaran yang cerah dan menimbulkan motivasi lebih dan keyakinan akan
kemampuan Islam itu.
Sosiologi yang menjadi bidangnya Max Weber menggunakan metode
verstehende dimana Islam merupakan lahan yang paling gersang untuk
tumbuhnya system kapitalisme. Ini berangkat setelah The Protestan Ethic and
the Spirit of Capitalism di pelajari lebih luas sehingga menemukan factor-faktor
lebih detail yang kemudian ternyata merupakan sesuatu yang dikotomik dengan
Islam.
92
Sisi lainnya, melihat catatan Bryan S. Turner28 dalam Weber and Islam,
memberikan gambaran tentang posisi Islam dalam bidang sosiologi. Menurutnya,
dibanding dengan kepustakaan tentang agama-agama dunia lain dan peradaban
mereka yang telah mapan dan berkembang, study yang sistematik tentang Islam
merupakan sebuah bidang yang terabaikan dalam sosiologi, fenomenologi dan
sejarah agama. Para islamolog terkadang menjelaskan tak adanya tradisi ilmiah
karena sulit ditemukannya sumber terkait yang memadai tentang Islam.
Artinya bahwa Islam telah mendapatkan tempat yang cukup strategis
untuk membuat ideology besar sebagai antitesis terhadap ideology kapitalisme
yang cenderung mendominasi. Dari gambaran-gambaran diatas sudah dapat
ditarik kesimpulan bahwa Islam dalam jangka panjang akan mampu merebut
posisi tata sosial dunia.
Dunia dalam masa postmodernisme ini, menurut Asghar Ali Enginer,
berbagai system kepercayaan diuji secara kritis dalam wilayah yang sangat luas.
Tak ada system pemikiran atau kepercayaan yang saat ini tidak terbuka untuk
diuji.29
Dari sini memberikan gambaran bahwa adanya persaingan masing-
masing ideology untuk bersaing dalam ‘ujian’ untuk membuktikan bahwa
ideology tertentu mampu menembus batas dan pantas untuk mendominasi tata
sosio antropologis masyarakat global. Persaingan ini menimbulkan semacam
28 Bryan S. Turner,2005, Weber and Islam, penerjemah; Mudhofier Abdullah, Suluh Press Jogjakarta, hal. 1129 Asghar Ali Enginer, 2004, Islam Masa Kini, Penerjemah, Tim
FORSTUSIDA, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, Hal. 3
93
diskriminasi bahkan eliminasi terhadap ideology lainnya yang menjadi lawan dari
ideology tersebut.
Kembali kepada persoalan jihad di abad post modern hari ini. Bahwa
karena peperangan yang akan terjadi adalah peperangan system maka, Islam
harus mampu merubah paradigma penganutnya dari yang fenomenologis dengan
nalar teosentrisme kepada paradigma strukturalisme radikal yang mengatakan
bahwa antrposentrisme merupakan hal yang mutlak yang harus dilakukan untuk
mendapatkan kekuatan yang lebih.
Hal ini juga didukung oleh ayat Al Qur’an yang mengatakan bahwa
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga kaum itu sendiri yang
merubahnya. Dimana dalam ayat ini selain dukungan terhadap penguasaan
aspek-aspek keduniawiyan oleh manusia juga Allah memerintahkan untuk
melakukan perubahan disegala bidang kehidupan untuk kemudian menciptakan
satu tatanan sosial yang berwatak civil society. Legitimasi atas gerakan manusia
untuk melakukan perubahan ini sama hal nya dengan sebuah perintah untuk
mempertahankan tatanan yang tepat dan meninggalkan atau merubah tatanan
yang bobrok, kesalehan palsu dan seterusnya.
Ini menunjukkan bahwa manusia diberi kebebasan untuk memanage
dunia ini serta melakukan perubahan yang berarti terhadap system yang sedang
berlaku sekarang. Dan inilah yang kemudian memberikan inspirasi lebih serta
motivasi untuk menciptakan Islam Revolusioner.
Jelas ini menjadi tugas manusia, karena secara tegas Allah berfirman
bahwa Dia tidak akan melakukan intervensi terhadap persoalan sosio-politik
94
manusia. Dan ini juga bukan berarti bahwa Allah kemudian dengan serta merta
meninggalkan manusia dan hanya menunggu penyembahan manusia saja diatas
singgasana-Nya seperti yang ditudingkan Karl Marx dalam mengkritisi agama.
Bahwa Allah itu maha feudal yang mengatur tata kelas sosial, Allah maha
kapitalis, Allah yang maha menguasai dan sebagainya.
System yang digunakan Islam adalah menjadikan Islam sebagai agama
Islam kiri, atau dalam bahasa Hassan Hanafi disebut sebagai al Yasar al Islam.
Ini akan menjadi solusi yang jitu kiranya. Mengingat ternyata apa yang
ditelorkan oleh Karl Marx pada dasarnya banyak di jumpai dalam teks normative
dan jurisprudensi hukum Islam.
Isi Das Kapital secara global telah tercantum dalam Al Qur’an ataupun
Al Hadits, yang ternyata dalam Islam sendiri perkembangannya mengalami
banyak hambatan sehingga sering mengalami keterbelakangan dan ketinggalan
dari yang lainnya yang mau untuk lebih konsentrasi dalam perkembangannya.
95
ISLAMOPHOBIA
Hari ini banyak diskursus-diskursus yang berkembang ditengah-tengah
kehidupan sosial politik global yang mengangkat isu tentang Islam dan sejarah
perkembangannya. Baik yang sifatnya menyambut maupun yang menentang
dengan keras. Hal ini didasari sejak mencuatnya nama Islam ketika aksi terror
terhadap WTC 11 September 2001 yang membawa panji-panji Islam oleh kaum
fundamental anarkis Islam.
Penggambaran kartun nabi Muhammad yang digambarkan dengan
wajah yang bengis, memakai sorban dan bertutup kepala kain dengan bom
diatasnya, ditangannya memegang pedang dan memenggal kepala, bersama
pasukkannya menyerbu kota dan lainnya yang diedarkan secara terbuka di Eropa
juga salah satu dari banyaknya pihak yang melakukan penolakan terhadap Islam.
Diskursus yang semacam inilah yang kemudian menimbulkan ketakutan
luar biasa di tengah-tengah masyarakat dunia bahwa Islam merupakan agama
yang keras, agama militer, agama perang, agama yang hanya mengerti kapan
waktu untuk berperang dan bagaimana merebut tanah jajahan dan sebagainya.
Sebagai akibatnya muncul ketakutan-ketakutan terhadap orang-orang Islam,
orang yang bersurban dan memakai jubah dianggap sebagai teroris, setiap orang
muslim yang hendak melakukan perjalanan antar Negara harus diperiksa hingga
hal-hal yang personal, di Negara Barat, banyak orang Islam yang didiskriditkan
dalam kehidupan sosial.
96
Parahnya pandangan terhadap Islam inilah yang selanjutnya banyak
menimbulkan pemahaman yang keliru terhadap orang-orang Islam secara
keseluruhan. Persoalannya hanya tertumpu pada gerakan yang dilakukan oleh
kelompok Islam fundamental yang anarkhis kemudian menjadi persoalan yang
pelik yang melibatkan orang muslim secara keseluruhan.
Islamophobia Max Weber
Weber dalam catatannya, selain telah melakukan kajian kritis terhadap
Protestan dan kapitalisme dalam The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism, juga meneliti dalam tentang Islam, namun sayangnya sebelum dia
sempat menyelesaikan essay-essaynya tentang Islam, ahli sosiologi ini meninggal
dunia. Ini bukan berarti bahwa apa yang ditulis oleh Weber tentang Islam tidak
berlaku dan dianggap tidak ada karena belum selesai, tetapi justru ini menjadi
buku sosiologi yang paling kontradiktif dibandingkan dengan kajiannya terhadap
sosiologi agama lainnya seperti protestant.
Karena sebab belum tercetak dan tersebar luasnya kajian Weber tentang
Islam ini maka kemudian harus merumuskan cara untuk dapat melakukan kajian
yang sama sebagai serangan balik terhadap teori-teori yang dikaji oleh Weber
tentang Islam dan Muhammad.
Sedikitnya ada tiga kunci yang dapat digunakan untuk memasuki kajian
tentang Weber dan Islam. Yakni, Memaparkan apa yang sebenarnya ditulis
Weber tentang Islam, Muhammad dan komunitas muslim, serta mengaitkan
komentar-komentar Weber yang belum selesai dengan minatnya yang besar pada
97
agama dalam struktur-struktur sosial (Lihat. Economy and Society, Max Weber).
Max Weber sangat dikenal karena studinya tentang Protestantisme dan
munculnya kapitalisme Eropa, yang secara keliru mengklaim bahwa Calvinisme
telah menyebabkan kapitalisme.
Penyebab dari seringnya kesalahan atau kekeliruan dalam penelitiannya
Max Weber terhadap sosiologi agama, selain factor kesalahan ilmiah juga
dikarenakan adanya upaya untuk melakukan pematahan terhadap setiap teori
yang dikeluarkan oleh Karl Marx atau bahkan Maxisme. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa apa yang dikaji oleh Weber merupakan anti tesis terhadap apa
yang dirumuskan oleh Karl Marx.
Dalam pandangan Weber, Islam merupakan agama militer atau agama
para tentara (a religion of warrior). Islam sebagai religion of warrior ini
setidaknya telah mampu menghasilkan sebuah etos yang sesuai dengan semangat
kapitalisme. Dalam catatan lebih lanjut, Weber merumuskan bahwa Islam adalah
agama yang menghambat munculnya prakondisi-prakondisi kapitalis yaitu
hukum yang rasional, pasar kerja bebas, kota-kota yang otonom, perekonomian
uang (a money economy) dan kelas borjuis.
Dapat diketahui bahwa apa yang dikatakan Weber bahwa Islam
merupakan lahan yang paling tandus untuk tumbuhnya kapitalisme merupakan
sesuatu yang luar biasa. Bahwa Islam ternyata tidak mampu menciptakan
prakondisi-prakondisi untuk tumbuhnya kapitalisme, sebagai akibatnya maka
masyarakat Arab, tidak dapat tersentuh oleh kapitalisme Eropa. Tidak mampunya
kapitalisme memasuki ranah sosio ekonomi masyarakat Islam banyak disebabkan
98
oleh kebudayaan Timur sendiri yang cenderung chauvimistik dan lebih
mengunggulkan rasnya, klannya, sukunya dibandingkan harus mengikuti doktrin
dari orang lain yang bahkan tidak dikenalnya.
Disinilah kemudian apa yang dirumuskan oleh Weber bertemu kembali
dengan apa yang ditulis oleh Karl Marx dalam Cara Produksi Asia (Asiatic Mode
of Production). Meskipun dalam beberapa wilayah penelitian diantara keduanya
banyak ditemui perbedaan, namun setidaknya dari keduanya itu dapat ditemukan
hal yang dikotomik. Kalau Weber memfokuskan pembahasannya mengenai relasi
monopoli kekuasaan politik, maka Marx lebih memfokuskan penelitiannya pada
penguasaan ekonomi.
Sosiologi interpretative Weber (sosiologi verstehende) merupakan
sebuah kritik serius terhadap keragaman positivisme yang mengabaikan peran
aktor tentang realitas dengan cara memaksakan interpretasi-interpretasi dan
kategori-kategori para sosiolog dan pengamat sosial pada realitas sosial.
Verstehende merupakan suatu pendekatan yang berusaha mengerti makna yang
mendasari peristiwa sosial dan histories.
Terlepas dari pertarungan dua ilmuwan ini, ada hal yang lebih penting
yang kemudian harus dikritisi lebih jauh terkait dengan islamophobia yang terjadi
di berbagai belahan dunia. Yakni tentang essay-essay yang dikeluarkan oleh Max
Weber untuk meneliti dan kemudian menyelewengkan ajaran Islam sehingga
Islam dapat dipandang seolah memiliki kekuatan yang dapat menakutkan orang
diseluruh dunia.
99
Salah satu aspek yang, mungkin, membuat Weber tertarik untuk
mengkaji Islam diantaranya adalah rendahnya kajian terhadap Islam.
Dibandingkan dengan kepustakaan tentang agama-agama dunia lain dan
peradaban mereka yang telah mapan dan berkembang, study yang sistemik
tentang Islam merupakan bidang yang mendapatkna tempat paling terbelakang
dalam sosiologi, fenomenologi dan sejarah agama. Hanya sedikit kajian-kajian
sosiologis penting tentang Islam dan komunitas muslim, beberapa penulis seperti
R. Levy menulis, The Structure of Islam, Clifford Geertz, dengan tesisnya yang
berjudul Islam Observed, Maxim Rodinson, Islam et capitalisme, selain itu hanya
sedikit sekali kajian-kajian yang kemudian menjadi salah satu tema pembahasan
yang penting dalam kajian sosiologi, fenomenologi, antropologi dan cabang ilmu
lainnya.
Di lain sisi, Islam memiliki sejarah yang cukup unik, dengan kekayaan
budaya dan keragaman tradisi. Islam telah mampu mendobrak tatanan sosial
dunia sebelum Barat mampu berkata apa-apa. Banyak ilmuwan Islam yang hasil
penelitiannya dijadikan rujukan untuk perkembangan sains hari ini. Taruhlah
Ibnu Sina (Avicena) yang ahli dalam bidang kedokteran, berbagai hasil
penelitiannya mengenai kedokteran dan cabang ilmu lainnya dijadikan rujukan
untuk ilmu kedokteran yang sekarang semakin berkembang. Ibnu Rusyd dan
Imam Ghazali yang fasih berbicara filsafat juga mendapat tempat dalam kajian
mengenai sejarah dan dialektika filsafat. Serta ilmuwan lainnya yang telah
meneliti tentang tata surya, matematika, kimia sampai pada peneitian mengenai
100
evolusi manusia yang kemudian di kumandangkan dalam The Origin of Species
oleh Charles Darwin.
Pada zaman Islam awal juga dapat menjadi daya tarik, dimana
Muhammad yang yatim piyatu, miskin, ternyata mampu melakukan perubahan
yang begitu mencengangkan. Sebuah revolusi yang dapat dikatakan lebih dahsyat
dibandingkan dengan revolusi sosial di Prancis, Revolusi Bolshevick di Rusia
dan revolusi besar lainnya. Tatanan sosial, ekonomi, budaya dan religius mampu
di ubah untuk mencapai satu tatanan yang lebih tertata dan terarah. Sebuah
kebesaran atas perjuangan Islam kiranya.
Dari beberapa factor itulah yang mungkin membuat Weber tertarik
untuk mengkaji Islam, disamping disiplin ilmu yang dia sendiri pelajari sebagai
ahli sosiologi yang tentunya tidak dapat terlepas dari kajian sosiologi agama
sebagai objek pembahasan karena agama merupakan salah satu factor yang
paling mempengaruhi tata sosial masyarakat. Atau besar kemungkinan, alasan
Weber melakukan kajian tentang Islam didorong oleh sebab Karl Marx dan
Emile Durkheim jarang membicarakan tentang Islam dalam setiap study-nya.
Kajian Weber terhadap Islam dalam batasan-batasan tertentu kelihatan
sebagai bagian sosiologis bagi analisisnya tentang Etika Protestan. Memang,
Weber menganggap Islam sebagai lawan dari Puritanisme. Menurut Weber,
Islam menerima spirit kaum hedonis murni, terutama kecenderungan pada kaum
wanita, kemewahan dan hak milik. Apa yang ada dalam Islam seperti tentara
militer dan kondisi-kondisi ekonomi masyarakat Islam tidak cocok bagi
perkembangan kapitalisme karena Islam di dominasi oleh feodalisme dan
101
birokrasi patrimonial. Bahkan tidak hanya kapitalisme, pra syarat munculnya
kapitalisme pun tidak dapat dijumpai dalam Islam.
Dalam hal ini, Bryan S. Turner30 memberikan dua komentar yang tepat
untuk Weber. Pertama, analisis Weber tentang etika Islam nampak tidak
berkaitan dengan analisisnya tentang struktur sosio-ekonomi masyarakat Islam.
Tak ada upaya yang dilakukan weber untuk mengaitkan apa yang ia anggap
sebagai etika tentara dengan kekuasaan patrimonial para sultan dan para khalifah.
Kedua, bila orang memperhatikan lebih dekat, argument Weber tentang Etika
tentara Islam, maka akan ditemukan bahwa sebenarnya ia bukanlah argument
dari pandangan kaum idealis tentang disiplin ilmu sejarah, tetapi ia juga bukan
analisis tentang ‘pertalian elektif’.
Tidak ada hubungan alamiah, kata Weber, antara monoteisme kenabian
Muhammad di Makkah dan gaya hidup para tentara Arab. Lebih jauh, bahwa
masyarakat kesukuan dan tentara di pengaruhi pesan-pesan Muhammad. Dia
mendesain ajaran-ajaran untuk memenuhi syarat-syarat kehidupan mereka. Ia
merupakan kebutuhan para tentara sebagai sebuah kelompok status yang
ditentukan oleh pandangan dunia Islam dan bukan oleh sikap psikologis atau nilai
sosial yang dibentuk Islam.
Weber secara tegas mengatakan bahwa isi Al Qur’an dan hadits
merupakan rekayasa dari ajaran-ajaran yang didesain sendiri oleh Muhammad.
Dan cerdasnya, Muhammad ternyata memiliki keahlian khusus dalam
mempropagandakan ajaran-ajaran yang didesainnya sendiri. Disamping itu,
Weber juga terlalu tegas ketika dia mengatakan bahwa kehidupan sosial para
30 ibid, Hal. 21
102
tentara harus menyesuaikan dengan desain keagamaan yang disusun oleh
Muhammad. Ini merupakan satu hal yang harus digaris bawahi, bahwa dari sini
Weber ternyata dalam mengkaji Islam tidak berangkat dari objektifitas yang
ilmiah tetapi dari subjektif emosional.
Apa yang di tulis oleh Weber berangkat dari catatan individu dan
emosionalitas dirinya sendiri, sehingga syarat utama dalam mengkaji ilmu
pengetahuan, yakni objektif dikesampingkan. Dalam wilayah subjektifitas,
beberapa bagian mungkin dapat dimaklumi mengingat Verstehende31 juga
berlandaskan pada makna subjektif atas tindakan.
Pada kesempatan lain, Weber sempat melakukan analisis tentang
pemimpin kharismatik yang dianggapnya memiliki kekuatan hegemonic yang
luar biasa. Pemimpin kharismatik hanya berhasil jika pesannya dipatuhi oleh
kelompok-kelompok yang mengakomodasi doktrin baru untuk kelompok atau
kepentingan-kepentingan mereka.
Ketika rumusan ini diterapkan dalam kehidupan Muhammad dan Islam,
Weber berpendapat, bahwa pandangan dunia seorang Nabi secara sosial menjadi
berarti hanya setelah ia diterima dan dibentuk ulang oleh suku-suku badui sejalan
dengan gaya hidup mereka dan kepentingan-kepentingan ekonomi mereka.
Selanjutnya, Weber secara implicit mengatakan bahwa Muhammad adalah
seorang oportunis dan bahwa para pengikutnya yang setia pada Islam semata-
31 Verstehende adalah metode yang digunakan Weber dalam mengkaji sosiologi. Metode ini dilakukan dengan pendekatan yang berusaha mengerti makna yang mendasari peristiwa sosial dan histories. Pendekatan ini berpijak pada ide, bahwa setiap situasi sosial didukung oleh jaringan makna yang dibuat oleh sang aktor yang terlibat di dalamnya. Jadi pendekatan ini berusaha mengungkap suatu makna subjektif sebuah gagasan dari actor yang melakukannya.
103
mata didorong oleh harapan-harapan memperoleh harta rampasan dan
penaklukkan.
Statement yang dikeluarkan oleh Weber ini cukup keras dan berani,
Sosok Muhammad yang mendirikan komunitas kaum tertindas di Makkah dari
penindasan para pedagang yang kapitalistik, yang diantara para anggota dari
komunitas tersebut juga orang-orang Badui, dalam pandangan Weber, kehidupan
dunia Muhammad merupakan settingan dari Suku Badui. Persoalan apakah
Muhammad diterima dalam komunitas suku Badui, seperti yang Weber
tuduhkan, Muhammad dalam hal ini jelas diterima, meskipun dalam beberapa
wilayah Muhammad mendapat perlawanan dari suku badui. Dengan kemampuan
Muhammad untuk mengakomodir aspirasi yang muncul dari suku badui yang
merasakan ketertindasan karena naiknya biaya hidup serta melakukan langkah
konkrit untuk mengantisipasi hal tersebut menunjukkan bahwa Muhammad telah
diterima di tengah-tengah komunitas badui.
Kemudian tesis yang keras bahwa Muhammad adalah seorang oportunis
murni dan orang-orang yang setia pada Muhammad adalah dimotivasi adanya
janji mendapatkan harta rampasan perang dan tanah jajahan serta kekuasaan pada
tanah jajahan tersebut merupakan hal yang sangat bertentangan dengan nilai
dasar jihad. Bahwa peperangan yang dilakukan oleh orang-orang muslim didasari
karena wilayah kerajaan lain (suku lain) yang telah diajak secara damai untuk
memeluk Islam ternyata justru menantang kehebatan tentara Muhammad secara
fisik. Persoalan tanah jajahan dan harta rampasan perang sebenarnya tidak masuk
akal, yang diharapkan oleh Muhammad dan para sahabatnya dalam setiap
104
peperangan adalah untuk dapat memiliki pintu masuk agama Islam dalam suku
atau wilayah tersebut.
Tidak cukup menuduh demikian, Weber memperkeras asumsinya
tentang peperangan Muhammad ini. Weber berpendapat bahwa komitmen pada
harta rampasan perang benar-benar dapat diterima sebagai ‘kesdaran nabi yang
paling jelas dan nyata’ bahwa Islam menyandarkan pada kepentingan-
kepentingan material untuk klan-klan tentara militer.
Sesungguhnya, Al Qur’an dan catatan-catatan biografi awal
menunjukkan bahwa nabi Muhammad dan para sahabatnya menlestarikan
permusuhan permanent dengan para oportunis yang komitmennya pada Islam itu
palsu. Contohnya, ada kutukan yang keras dan efektif terhadap orang-orang
munafik. Sampai-sampai karena itu, Al Qur’an menyediakan satu surat khusus
dalam Al Qur’an tentang keberadaan orang munafik beserta segala sesuatu yang
akan menjadi balasan atas apa yang dilakukan. Al Qur’an sendiri telah
melakukan pembagian secara terperinci mengenai pengertian orang muslim yang
beriman (mukmin), orang yang menolak Islam dengan keras (kafir) dan orang
yang mengaku muslim tetapi sesungguhnya dalam hatinya menolak Islam
(munafik), mereka memeluk Islam untuk tujuan-tujuan untuk memperoleh
keuntungan pribadi jangka pendek dan dari sinilah sesungguhnya orang-orang
munafik masih tetap bersikap oportunis.
Weber dalam hal ini terjebak dalam menafsirkan, dia meng-gebrah
uyah-kan (menggeneralisasikan) bahwa setiap orang muslim adalah oportunis,
dengan hanya melihat kejadian yang terjadi pada diri orang munafik. Padahal,
105
dapat dikatakan bahwa orang-orang oportunis hanya dapat dijumpai pada orang-
orang kafir dan orang-orang munafik. Disinilah kemudian Weber kehilangan
kembali nilai objektif dalam kajiannya.
Muhammad olehnya digambarkan sebagai panglima perang yang gagah
berani, dengan pedang yang diasah tajam, kuda yang kuat, dan kekuatan militer
yang telah terlatih untuk berperang dalam medan-medan berat sekalipun dan
seterusnya. Klaim-klaim kejelekan terhadap Islam muncul menjamur dengan
manisnya.
Dan tentunya, Weber tidak sendirian dalam menolak gagasan-gagasan
Islam secara serius dan objektif. Dalam biografi Muhammad yang ditulis oleh
Maxime Rodinson berusaha memperjelas muatan agama Islam awal menurut
pengertian Marxis dan Freudian.
Beberapa biografi nabi Muhammad lainnya yang ditulis oleh orang
Eropa menyebutkan bahwa Muhammad secara psikologis normal tetapi dia tidak
jujur ketika menyampaikan pesan dari Allah. Ada manipulasi data yang
dilakukan oleh Muhammad, data yang seharusnya disampaikan dengan X
misalnya, oleh Muhammad disampaikan pada kaumnya dengan Y yang esensi
dari keduanya sangat dikotomik.
Atau bahwa Muhammad itu tidak waras yang mempercayai kebenaran
kebenaran dari misi kenabiannya. Rodinson ingin menyelamatkan Muhammad
dari tuduhan sebagai orang gila dan munafik. Tapi, pada awal kajiannya,
Rodinson mengakui bahwa dia adalah seorang ateis dan ateisme ini menimbulkan
problem tertentu dari penafsirannya.
106
Karena Rodinson adalah seorang ateis, maka harus dipahami bahwa dia
telah meyakini bahwa Muhammad adalah orang yang jujur dan benar, tetapi
karena ateisnya itu, jelas Rodinson akan beranggapan bahwa Al Qur’an adalah
palsu, apa yang tertulis dalam Al Qur’an merupakan karangan semata. Pada titik
ini kemudian kajian Rodinson mengenai biografi Muhammad bertemu dengan
hal-hal yang antagonis antara data yang satu dengan data yang lainnya. Pesan
yang ada dalam Al Qur’an ditemukan dalam kondisi psikologi Muhammad
sedang mengalami ketidaksadaran. Qur’an yang diciptakan oleh Muhammad
merupakan foto copy yang diperbaharui oleh Muhammad dari kitab-kitab suci
yang turun sebelumnya dari agama Yahudi atau Nasrani. Isi Al Qur’an tidak jauh
berbeda dengan kitab suci agama-agama tersebut.
Secara lengkap Rodinson mengatakan, Sulit dipahami bahwa, dalam
kata-kata yang datang kepadanya elemen-elemen dari pengalaman aktualnya,
kesanggupan pikiran-pikirannya, mimpi-mimpinya dan meditasi-meditasinya,
serta semua memori dari penjelasan bahwa dia telah mendengar bisa
dimunculkan kembali, dipotong, diubah dan dibentuk dengan penampakan
realitas yang langsung...
Walaupun Rodinson menyatakan bahwa Muhammad itu normal, tetapi
Rodinson mengakhiri komentarnya dengan pandangan bahwa Muhammad itu
salah. Qur’an bukan pesan illahi, ia adalah produk dari penciptaan kembali
ketidaksadaran Muhammad tentang pengalaman-pengalaman dan pengetahuan
masa lalu yang secara salah dicocok-cocokkan oleh Nabi Muhammad.
107
Kritik Agama Marx
Untuk memahamai pemikiran Karl Marx terhadap agama yang
dianggapnya candu untuk masyarakat perlu penalaran untuk memahami terlebih
dahulu kerangka berpikir penulis Das Kapital ini serta kondisi sosialnya.
Seperti telah diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat bahwa candu
adalah obat yang memabukkan dimana intensitas kesadaran berpikir orang
diminimalisir seminimal mungkin sehingga orang akan lupa diri, terbuai dengan
mimpi-mimpi dan semakin menjauh dari kenyataan yang ada dalam hidupnya.
Candu dapat membebaskan orang dari segala penat yang sedang dialaminya,
terbebas dari tekanan hidup yang menghimpitnya untuk sementara waktu, candu
tidak dapat menghilangan semua kepenatan dan tekanan hidup. Candu bukan
solusi untuk memecahkan masalah, juga bukan alternative lain yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan setiap persoalan, bahkan candu dapat menjadi
akar dari persoalan yang akan muncul selanjutnya sebagai turunan dari masalah
yang sedang dihadapinya. Intinya, bahwa candu merupakan sarana pelarian orang
yang sedang bermasalah, namun sama sekali tidak mampu menyelesaikan
masalah itu.
Sedangkan agama adalah merupakan sistematisasi kepercayaan atau
dalam bahasa yang lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa agama merupakan
instutusi kepercayaan, keyakinan manusia akan hal yang transcendental, dimana
didalam agama itu terdapat dogma, ajaran, hukum dan seagala macam olah
kesalehan. Agama menjadi sandaran psikologi dan sandaran spiritualitas
108
manusia, karena pada dasarnya manusia membutuhkan sandaran spiritual untuk
memenuhi kebutuhan rohani yang tidak tampak.
Dikatakan agama itu candu oleh Marx, berangkat dari fenomena sosial
yang terjadi di sekitar Marx, baik pada saat masih tinggal di Trier Jerman
ataupun telah mengungsi ke Paris, Inggris dan kota besar lainnya. Dimana disana
banyak terjadi penindasan, kesewenang-wenangan, intimidasi dan penguasaan
sector public pada individu lainnya. Tindakan semacam ini yang dialami oleh
masyarakat, kemudian masyarakat lari kepada agama yang oleh mereka dianggap
mampu memberikan solusi atas pembodohan dan pemelaratan semacam ini.
Ternyata, dalam bacaan Marx, agama yang diharapkan mampu
memberikan alternative pemecahan masalah semacam ini berbanding terbalik
dengan yang diharapkan oleh masyarkat. Agama hanya mampu memberikan
‘resep-resep’ terhadap penyakit ini. Resep yang berupa keharusan menerima
perlakuan semacam itu dengan sabar dan tabah sebagai ujian dari Tuhan.
Ketika orang sedang menghadap tuhannya sebagai bentuk ritual wajib
atas klaim keagamaannya itu, orang tersebut akan mengalami kebebasan
masalah, ketenangan jiwa, ketenangan bathin, sehingga seolah-olah orang
tersebut terbebas dari masalah yang sedang menghimpitnya. Masalah yang
sedang dihadapi terlihat seolah terlepaskan ketika orang sedang memuja
tuhannya. Pada titik ini orang akan mendapatkan obat penenenang atas derita
yang sedang dialaminya.
Namun ketika prosesi pemujaan itu telah selesai, ketika ritual
penghadapan tuhan telah usai, orang tersebut akan kembali pada lingkungan
109
riilnya yang masih terus merasakan penindasan, kesewenang-wenangan,
pembodohan, pemiskinan oleh para antek kapitalis. Sikap ini juga didukung oleh
dogma agama yang menyuruh untuk selalu qana’ah (nrimo ing pandhum),
menerima apa adanya dari apa yang diberikan oleh Tuhan sebagai cobaan.
Hal ini jelas akan membuat antek kapitalis dapat bersantai ria dalam
melakukan eksplotasi terhadap kaum mustad’afin (proletariat). Dalam doktrin
keagamaan yang mereka terima selalu mengajarkan untuk menerima apa yang
diterima sebagai berkah apabila itu baik dan cobaan apabila itu buruk. Dalam
menghadapinya harus dengan tabah dan sabar. Sehingga dari doktrin ini mereka
percaya bahwa ketika melakukan perlawanan terhadap pihak yang menindas
berarti mereka melakukan ‘perlawanan’ juga terhadap tuhan karena melawan apa
yang digariskan oleh tuhan.
Mengingat Marx bukanlah seorang teolog atau ahli agama dan
keahliannya dia dalam menganalisis bidang sosiologi, Marx hanya memandang
fenomena yang tampak dalam kehidupan sosial saja32. Dalam pandangannya,
agama memberikan legitimasi atas munculnya kemiskinan, pemelaratan,
penderitaan dan penindasan yang dialami masyarakat, karena agama tidak
mampu memberikan solusi kreatif atas persoalan semacam ini. Agama hanya
dapat memberikan ‘resep’ yang harus dibeli di apotek diri sendiri berupa
ketabahan dan kesabaran menerima setiap cobaan yang dialaminya.
Marx sangat menginginkan orang-orang semacam itu untuk ‘bertobat’
atas dosa yang dilakukannya, dia menginginkan agar mereka menyadari bahwa
32 Eusta Supono, 2007, Agama Solusi atau Ilusi, Kritik atas Kritik Agama Karl Marx, Komunitas Studi Didaktika, Jogjakarta, Hal. 38
110
manusia adalah mahluk otonom yang berwenang menentukan masa depannya
sendiri tanpa campur tangan agama atau institusi lainnya. Marx sangat meyakini
ketika orang menyandarkan persoalannya pada institusi-institusi, baik itu institusi
keagamaan ataupun institusi lainnya, institusi tersebut akan diperalat oleh antek
kapitalis yang terus mencoba melakukan eksploitasi.
Marx yakin bahwa manusia merupakan makhluk yang otonom,
sehingga orang lain ataupun pihak lain tidak mungkin dapat melakukan
intervensi terhadap kepentingan pribadinya secara penuh. Sehingga kemungkinan
untuk dapat mengubah perlakuan, semacam perlakuan dalam agama, dapat
dilakukan dengan menyadarkan posisi mereka ditengah kehidupan sosial.
Artinya, bahwa kritik Marx terhadap agama dalam wilayah ini bersifat
emansipatoris, untuk menciptakan tata sosial yang bebas, adil tanpa penindasan.
Bidikan Marx terhadap kritik agama ini sebenarnya lebih pada pola
perilaku hidup beragama yang tidak sesuai dengan logika pembebasan, yang
seharunya menjadi target utama institusi agama dalam bidang humanisme.
Sehingga dalam pandangannya, dia memunculkan asumsi bahwa agama turut
serta dalam pembangunan kemiskinan dan pembodohan dan turut
melestarikannya. Semua perilaku hidup sosial manusia harus tunduk pada
peraturan dan ajaran agama yang didalamnya termuat paham takdir
(predestinasi). Dalam paham takdir ini, setiap tindakan manusia telah diatur oleh
Tuhan dan manusia sama sekali tidak berwenang mencampuradukkan apa yang
telah dirancang oleh Tuhan. Bagi Marx, jargon agama semacam ini merupakan
persoalan yang serius dalam agama kaitannya dengan kehidupan sosial, yang
111
sadar atau tidak, agama tersebut telah meracuni masyarakat dan mengabadikan
penindasan, kemiskinan dan keterasingan manusia dari dirinya sendiri,
masyarakat, dan bahkan keterasingan dengan hasil-hasil produksinya sendiri.
Institusi agama yang diperalat oleh kapitalis ini Marx dengan tegas
menggugat keberadaannya. Agama yang terus menerus melanggengkan
penindasan terhadap masayarakat serta mendukung kapitalisme melakukan
pemiskinan secara structural dan cultural, maka agama harus dibubarkan, tuhan
harus dibunuh.
Perlakuan ‘tuhan’ terhadap manusia merupakan sebuah tindak
penindasan yang tidak dapat ditolerir. ‘tuhan’ telah memaksa manusia untuk
meneguk opium yang telah disediakan oleh ‘tuhan’ untuk memabukkan manusia
sehingga seagala penderitaan yang dialaminya akan hilang untuk sementara
waktu, dan selanjutnya, setelah opium itu habis fungsinya untuk memabukkan
maka ‘tuhan’ akan mengembalikan manusia kedalam kesengsaraan yang tidak
berujung dengan bekal bahwa manusia harus tabah menghadapinya.
Dampak Islamophobia
Gambaran terhadap Islam melalui wacana-wacana yang diusung oleh
para ilmuwan menimbulkan bekas yang mendalam yang kemudian muncul dalam
presepsi setiap orang sebagai citra diri agama Islam. Yang memang menulis
Islam apa adanya, itu tidaklah menjadi persoalan, karena pada dasarnya Islam
memang seperti itu, kalaupun ada penambahan, itu semata-mata hanya dikaitkan
dengan fenomena sosial hari ini yang terus berkembang.
112
Tetapi akan lain ketika wacana-wacana tersebut justru berbalik
menyerang Islam dan menganggap Islam sebagai agama yang paling tidak terpuji
yang tidak pantas untuk dipeluk. Dampak yang mungkin akan terjadipun jelas
beraneka ragam sesuai pencitraan yang memakan wacana tersebut. Wacana yang
berkembang semacam itu, selain akan membuat Islam semakin terpojokkan
posisinya ditengah kehidupan multi agama di dunia, juga akan berakibat fatal
pada garis perjuangan Islam sendiri sebagai agama yang bercita-cita untuk
memperbaiki tata sosial masyarakat secara keseluruhan.
Kesalahan penafsiran terhadap agama Islam berakibat pada munculnya
pandangan-pandangan yang keliru terhadap Islam, ajaran, dogma dan ritual
religiusitas Islam. Berangkat dari kesalahan penafsiran itu maka turunan dari
semua yang ada dalam Islam adalah sesuatu yang juga haram untuk disentuh oleh
setiap kalangan karena jelas akan membahayakan bagi keselamatan bersama.
Islam saja misalnya, kata Islam yang berarti keselamatan, kemudian,
seperti wacana yang diusung Weber diatas, ditafsirkan sebagai agama perang,
agama militer yang terus mencoba melakukan invasi ke daerah lainnya untuk
mendapatkan tanah jajahan. Ini kan sudah menunjukkan ketidaksinkronan dalam
memadukan dua wacana yang justru dikotomik.
Study yang dilakukan dalam pengkajian Islam, dengan metode atau
kerangka epistimologi apapun, selama itu bertolak dari kenyataan yang
sebenarnya maka study tersebut hanya omong kosong.
Sebagai contoh, dapat saja saya mengatakan bahwa Hugo Chavez
adalah seorang presiden yang paling kejam dan nekat, dia berani menantang
113
Bush di tempat yang sama dengan mengatakan bahwa Bush adalah setan, iblis,
anjing dan seterusnya yang dapat menjatuhkan image Bush di tengah masyarkat
dunia sebagai ‘Jenderal Besar’ Polisi Dunia.
Atau keberanian Mahmoud Ahmadinejad yang mengirimkan surat
dakwah kepada Bush yang intinya menyuruh Bush untuk segera bertobat atas
setiap tindakan yang dilakukannya. Ahmadinejad meninginkan agar Bush
menarik pasukannya dari Irak, membiarkan Irak menjadi Negara otonom yang
menentukan masa depannya sendiri. Dia juga menginginkan agar Bush tidak lagi
bergaya sebagai ‘Jenderal Besar’ polisi dunia yang arogan, nonkooperatif,
eksploitatif dan imperialis.
Kedua presiden revolusioner dari Irak dan Bolivia itu satu sisi dapat
dikatakan sebagai presiden yang berani dan memang tidak takut terhadap sesuatu
yang paling ditakuti di seluruh dunia. Satu sisi benar demikian, tapi apakah pada
sisi yang lain Mahmoud Ahmadinejad atau Hugo Chavez juga sama beraninya
dan sama kejamnya ketika berhadapan dengan warga negaranya? Ketika
dihadapan istri dan anak-anaknya? Apakah Ahmadinejad juga akan seberani itu
dihadapan kedua orang tuanya?. Jelas ini tidak mungkin dilakukan oleh mereka,
meskipun dalam beberapa tempat ada juga yang bersikap seperti ini sebagai
dampak atas ‘kemanusiaan’ mereka, luapan emosional.
Dalam setiap pidatonya, kalau Mahmoud Ahmadinejad selalu membuka
dengan ucapan salam dan keselamatan, Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh, maka Hugo Chavez selalu memberanikan diri untuk membuka
setiap pidato dan orasinya dengan salam pembuka, Bush Iblis, Bush Anjing dan
114
seterusnya yang jelek-jelek. Hal yang sangat kontras meskipun diantara keduanya
merupakan presiden revolusioner yang ditakuti oleh Bush. Ahmadinejad bersikap
lebih toleran dibandingkan dengan sikap yang ditunjukkan oleh Hugo Chavez.
Kembali pada masalah kesalahan penafsiran terhadap Islam, baha apa
yang mereka baca sebagai Islam adalah point terburuk yang dilakukan segelintir
orang. Metode verstehende yang mengungkap makna subjektif setiap tindakan
dari actor (pelaku) hanya digunakan untuk menyoroti subjek dari Islam yang
telah ‘mengkafirkan’ diri dari Islam sebagai tokoh paling munafik.
Seperti halnya kesalahan penafsiran dalam menafsirkan jihad pada
pembahasan sebelumnya, kesalahan pembahasan mengenai kata Islam oleh para
‘ilmuwan’ Barat merupakan satu ciri bahwa ‘ilmuwan’ tersebut kurang begitu
mendalami Islam. Islam hanya dilihat pada satu sisi, sementara sisi yang lain
diabaikan.
Kemudian akan sangat wajar ketika banyak ilmuwan (tanpa tanda petik
diantaranya) banyak yang mengatakan bahwa seorang ilmuwan tidak boleh
menolak atau menyambut segala sesuatu selama sesuatu itu belum benar-benar
dimengerti sepenuhnya, baik dari esensinya maupun pandangan sosial atasnya.
Secara pribadi penulis tidak pernah menyalahkan Max Weber secara
pribadi dan atas tulisan-tulisannya yang kontradiktif. Hal yang mendasari bahwa
Weber dalam hal ini hanya mengalami ‘kecelakaan’ dimana dia tanpa dia sadari
meninggalkan metode-metode yang diciptakannya sendiri dalam setiap mengkaji
masalah sosiologi (verstehende). Persoalan apakah ‘kecelakaan’ itu memang
sengaja dia lakukan atau tidak itu diluar batas pengkajian dan yang jelas makna
115
subjektif dari apa yang dilakukan Weber ini hanyalah Weber yang tahu, bisa jadi
Weber mengatakan demikian karena dia menginginkan Islam tidak hanya
dipandang pada sisi jeleknya saja, tetapi makna sesungguhnya dalam Islam yang
mengajarkan kesalehan kolektif.
Namun sayangnya, catatan-catatannya tentang Islam dia tinggalkan
sebelum dia sendiri mampu menyelesaikannya, dia telah mendapatkan ‘anugerah’
bagi Islam dengan kepergiannya dalam rangka menerima pahala atau sebaliknya
dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Anugerah bagi Islam yang dimaksudkan adalah
dengan kepergiannya sang Begawan sosiologi ini maka catatan-catatannya
mengenai Islam yang belum selesai ini tidak dapat diselesaikan dan tidak
dipublikasikan secara lebih luas seperti halnya The Protestan Ethic and the Spirit
of Capitalism sebagai catatan atas teologi Calvinis yang ditudingnya sebagai
induk semang dari kapitalisme.
Dampak yang sampai hari ini terjadi dari proses islamophobia oleh para
ilmuwan ini yang paling kentara adalah ketakutan masyarakat dunia terhadap
Islam. Dimana Islam dianggap sebagai agama yang paling tidak manusiawi,
nabinya mengajarkan bagaimana berperang dan kewajiban berperang atas semua
umatnya, nabinya menyuruh untuk selalu merebut wilayah Negara lain untuk
dijadikan tanah jajahan. Nabinya juga menyuruh bagaimana memberikan
intimidasi yang tepat kepada semua orang.
Hal ini juga ada kaitannya dengan banyaknya tindakan-tindakan anarkis
yang dilakukan oleh tokoh Islam garis keras (Islam fundamental) yang selalu
menafsirkan jihad sebagai peperangan menghancurkan kekuaan lawan yang
116
mencoba menghancurkan Islam dan semua ajaran yang ada didalam Islam.
Membunuh setiap orang yang memiliki pandangan yang berbeda, mereka selalu
menganggap orang yang berbeda paham dengan mereka adalah orang kafir yang
dimana darah, jiwa dan hartanya halal untuk diambil.
Maraknya aksi terorisme yang berbaju agama seperti ini semakin
memperkeruh posisi Islam di mata peradaban dunia. Islam yang pada dasarnya
adalah agama perdamaian sebagai mana namanya, oleh para penganutnya
kemudian diselewengkan menjadi agama yang keras dan radikal. Sungguh
fenomena yang luar biasa, dimana kekuatan dalam Islam sendiri justru
menggerogoti Islam secara sistematis.
Dampak lainnya adalah, sebagai turunan atas ketakutan public terhadap
Islam adalah semakin tertutupnya pintu dakwah untuk menyebarkan agama serta
memperbaiki pemahaman public atas Islam.
117
KONSTELASI GEO SOSIO POLITIK
DAN GEOGRAFI SOSIO RELIGIUS NASIONAL
Konstelasi geo politik, diakui atau tidak, erat kaitannya dengan geografi
sosio-religius local. Ada semacam pola umum (Weltanschauungs) yang
melingkupi wilayah sosio religius secara global dan pengaruhnya mengakar
hingga tatanan sosial terrendah sekalipun. Tatanan global ini yang kemudian
menjadi satu kesepahaman bersama sebagai satu ideology internasional yang
menjadi tolok ukur.
Artinya, dalam tatanan ini menciptakan suatu arah bersama secara
perlahan menuju satu titik dengan jalan yang berbeda-beda. Berbagai bidang
kehidupan mengikuti alur ini sebagai tolok ukur dan standar kompetensi. Ini
menarik untuk di perhatikan, bahwa dari berbagai ideology yang berlaku dalam
wilayah internasional kemudian mengakar dan mematahkan ideology lainnya
yang berkembang sebagai antitesisnya.
Dunia dalam masa postmodernisme ini, menurut Asghar Ali Enginer33,
berbagai system kepercayaan diuji secara kritis dalam wilayah yang sangat luas.
Tak ada system pemikiran atau kepercayaan yang saat ini tidak terbuka untuk
diuji.
Dari sini memberikan gambaran bahwa adanya persaingan masing-
masing ideology untuk bersaing dalam ‘ujian’ untuk membuktikan bahwa
ideology tertentu mampu menembus batas dan pantas untuk mendominasi tata
33 Asghar Ali Enginer, 2004, Islam Masa Kini, Penerjemah, Tim FORSTUSIDA, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, Hal. 3
118
sosio antropologis masyarakat global. Persaingan ini menimbulkan semacam
diskriminasi bahkan eliminasi terhadap ideology lainnya yang menjadi lawan dari
ideology tersebut.
Gambaran globalnya kurang lebih demikian. Terjemahannya, dalam
konstelasi geopolitik ini, yang pada perang dingin berlaku system bipolar, dua
ideology besar yang menghegemoni masyarakat internasional, yakni Kapitalisme
yang direpresentasikan oleh negara Amerika Serikat dan sekutunya serta
Komunisme yang menjadi tatanan sosio-politik hasil dari revolusi Bolsheviks di
Rusia dibawah pimpinan Vladimir Illich Lenin.
Namun realitas ini kemudian terbalik pasca perang dingin, dengan
ditandai terpecahnya Uni Soviet, banyak system yang berlaku secara global, atau
istilah tepatnya multipolar. Masing-masing ideology ini kemudian mencoba
membangun pengaruh di dunia internasional serta bersaing dengan ideology lain
yang menjadi lawannya.
Kurang lebih demikian deskripsi global kontelasi politik global hari ini.
Tentang sejauh mana konstelasi geopolitik mampu mempengaruhi tatanan sosio
religius di Indonesia, secara lebih detail akan mendapatkan tempat tersendiri
nantinya.
A. Definisi dan Gambaran Global.
Menelusuri akar epistemology kontelasi geo politik untuk mendapatkan
satu tafsiran yang jelas sehingga memberikan pemahaman yang lebih mendetail,
serta, dan tentunya, mampu menjadi satu pandangan global. Perlu kiranya kajian
119
epistemology di-kaji secara lebih kritis. Termasuk di dalamnya tentang akar
aksiologinya.
Dalam kajian bahasa, kata geo berarti bumi, tanah dan seterusnya,
sedangkan politik adalah satu strategi, cara, metode dan hal lainnya yang terkait
dengan itu. Geopolitik adalah tatanan politik internasional, demikian secara
sederhana kira-kira. Sedangkan sosio berasal dari kata sosial, yang berarti tatanan
masyarakat dan hal yang melingkupinya. Religius, berasal dari kata religio,
bahasa Yunani, yang kemudian di pingit dalam tata bahasa Inggris menjadi
Religious yang berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan keagamaan.
Sedangkan secara terminology, geopolitik berarti suatu tatanan politik
yang bersifat mendunia dan menjadi system yang berlaku secara internasional.
Berlakunya system ini, baik secara resmi ataupun datang dengan sendirinya
dalam kehidupan sosial atau bidang lainnya.
Sosio religious ditinjau dari sisi terminology berarti tatanan masyarakat
yang agamis, atau pendek kata dapat berarti tata masyarakat yang beragama.
Atau tatanan masyarakat yang terbentuk dengan pandangan yang sama tentang
agama.
Selanjutnya istilah ideology, istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh
Destut De Tracy34 (1796) ketika Prancis sedang mengalami proses
transformasinya dibawa system politik republiken. De Tracy memberikan
pengertian bahwa ideology adalah suatu system pengetahuan tentang ide, yang
menjelaskan konsep-konsep praktis di dalam ilmu pengetahuan tentang segala
34 PC PMII Purworejo, Makalah ini disajikan dalam Pelatihan Kader Dasar (PKD) PMII Cabang Pureworejo 19-23 Desember 2006.
120
yang ada. Dalam pengertian ini, ideology bersifat positif dan lagi oleh konseptor
awalnya, ideology hendak dijadikan dasar moralitas bagi ilmu politik yang
berkutat dalam pembentukan kebijakan-kebijakan publik.
B. Realitas Konstelasi Geopolitik Hari Ini.
Sebelum membicarkan posisi dan peran stategis Inonesia dalam
kontalasi politik internasional, terlebih dahulu perlu dibicarkaan bentuk dari
system internasional itu sendiri serta gerakannya dan sejarah pemikirannya.
Dalam sejarah perkembangan Negara bangsa Indonesia dari dulu tidak
dapat dengan begitu saja terlepaskan dari konstelasi geopolitik, Indonesia
mempunyai peran strategis dalam wilayah perpolitikan global sejak awal
berdirinya. Dari bukti-bukti sejarah yang ada, Indonesia banyak disusupi wacana-
wacana dan system perpolitikan global yang terkadang berwatak imperalis dan
kapitalis. Satu hal yang sungguh menjadi problem terbesar bagi bangsa.35
Terkadang bangsa Indonesia terlalu bangga ketika harus menelan
wacana-wacana ideology yang datang dari Barat, sampai-sampai terkadang, baik
Negara ataupun rakyatnya, tidak menyadari bahwa Indonesia telah masuk dalam
kungkungan hegemoni yang dilakukan Barat. Sebagai dampaknya, Indonesia
tidak hanya masuk dalam lingkungan hegemoni Barat akan tetapi secara tidak
sadar kemudian masuk dalam wilayah imperialisme dunia yang sangat
hegemonic. Menjadi bagian dari objek imperialisme yang dilakukan oleh Barat.
35 Hasyim Wahid dkk, 1999, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia, LKiS, Jogjakarta, Hal. 3
121
Dampak turunannnya, Indonesia selalu dikendalikan oleh Negara-
negara Barat dalam wilayah sosial, ekonomi, kebudayaan, politik, ideology dan
sebagainya. Tidak ada kemandirian dalam wilayah itu, karena segala sesuatu
terkait dengan hal tersebut diatas telah disetting sedemikian rupa untuk
selanjutnya menjadi bagian pendukung kelestarian budaya imperialisme dan
neoimperialisme Barat terhadap Negara dunia ketiga. Telikungan imperalisme
hegemonic ini yang kemudian menelusupkan akar serabutnya kesetiap Negara-
negara yang baru berkembang dengan kemasan yang sangat apik berupa
kapitalisme global.
Kapitalisme dalam sejarah perkembangannya di nusantara selalu saja
mendominasi sebagai watak ideology terbesar. Berbagai bidang kehidupan tidak
terlepas dari kungkungan kapitalisme global dari dulu hingga sekarang. Sebagai
imbas dari semua itu, banyak kemudian kebudayaan local yang di banggakan
oleh Indonesia sebagi produk local yang mendunia secara perlahan-lahan mulai
terseret pada jurang kehancuran dan lambat laun semakin hilang terkikis oleh
kemasan kapitalisme dalam bentuk budaya popular (popular culture).
Program utama budaya popular adalah menghapuskan ‘negara’ dalam
artian yang lain, yakni menghilangkan batas geografis tiap Negara dengan
menyeragamkan kebudayaannya. Setiap kebudayaan dalam setiap Negara tolok
ukurnya sama, yakni budaya popular itu sendiri. Untuk kemudian, setelah semua
Negara memiliki kebudayaan yang sama, sebagai efek samping atas merebaknya
budaya popular itu adalah hilangnya kearifan local dan tradisi local yang ada
disetiap Negara.
122
Sebagai contoh sederhana misalnya, hari ini orang akan cenderung lebih
menyukai menonton televisi dengan berbagai kemasan acaranya seperti musik
dan lainnya dibandingkan harus menonton wayang kulit atau lenggeran semalam
suntuk yang diadakan oleh masyarakat sendiri. Atau lainnya misalnya, balet dan
sexy dance lebih popular dikalangan masyarakat dibandingkan dengan jaipongan
atau tarian daerah yang mengandung unsure seni lebih dalam.
Penguasaan sector budaya ini agaknya menjadi penyakit yang paling
menyakitkan. Apa yang kita miliki sebelumnya sebagai kebudayaan yang lebih
tinggi disbanding kebudayaan lainnya pada awal berdirinya, dengan serta merta
hilang begitu saja tergilas oleh kemasan budaya kapitalisme yang cenderung
mengeksploitasi dan menelanjangi kebudayaan kita.
Belum lagi penguasaan kapitalisme di bidang politik yang mencolok
terlihat jelas. Dari sejak berdaulatnya Indonesia sebagai Negara bangsa (nation
state) telah banyak kejadian sejarah dalam bidang politik yang dicampurtangani,
direkayasa bahkan dibuat sedemikan rupa oleh kapitalisme. Dan kadang kita
tidak menyadari hal itu, anggapan kita itu hanya merupakan benturan politis antar
tokoh di Negara kita. Sebut saja misalnya tragedy berdarah G30S/PKI yang
penuh trik intrik oleh tokoh nasional yang disetting oleh kapitalisme, runtuhnya
orde lama yang di pimpin Soekarno dan naiknya rezim orde Baru Soeharto,
sampai kejadian turunnya Soeharto sebagai jenderal Besar penguasa Orde Baru.
Artinya, dari sini dapat diketahui bahwa konstelasi politik nasional
berkibar dibawah bendera kapitalisme global. Untuk mengenal lebih dalam
sejauh mana pengaruh yang masuk ke Indonesia sebagai dampak percaturan dari
123
geopolitik, mungkin akan lebih baik ketika mengkaji terlebih dahulu sepak
terjang benturan antar ideology politik sejak zaman dahulu hingga sekarang.
Di mulai dari Perang Dunia II yang membagi kekuatan dunia menjadi
dua blok, antara blok Barat dengan Amerika Serikat dan Inggris sebagai
representasinya, dan blok Timur yang di jendrali oleh Uni Soviet. Pembagian ini
didasarkan atas ambisi keduanya untuk menguasai dunia sebagai kekuatan
hegemonic yang terbesar sehingga akses sosial politik berada dibawah control
salah satu diantara keduanya.
Perang Dunia II selain perang terbuka antara dua kekuatan terbesar di
dunia ini, ada juga perang dingin sebagai titik akhir dari bentuk perang terbuka.
Kedua kekuatan ini tidak pernah terlihat perang dalam satu medan. Tetapi di
balik perang-perang kecil dalam beberapa negara di dunia, peran dari kedua
kekuatan ini tidak bisa dihindari. Kasus terpecahnya korea, antara Korea Utara
yang beraliran ala Uni Soviet dan Korea Selatan yang ideologinya sama dengan
apa yang dianut oleh orang Barat. Perang Vietnam juga sama halnya, dan perang-
perang besar lainnya seperti kasus di buatnya Tembok Berlin di Jerman untuk
membagi Jerman Timur dan Jerman Barat.
Dua kekuatan ini selain bersaing dalam perang, juga ada kompetisi
ideology yang mendasari terjadinya perang. Amerika Serikat dengan ideology
kapitalisme-nya mencoba menjadi satu kekuatan terbesar yang menghegemoni
dunia. Demikian juga Uni Soviet dengan ajaran komunisme-nya. Kalau
kapitalisme sudah membudaya saat itu dan menjadi tatanan dunia baru di Barat,
maka komunisme yang di gagas Karl Marx dan Friedrich Engels dalam Das
124
Kapital datang sebagai pembanding yang hendak meruntuhkan tradisi
kapitalisme yang cenderung eksploitatif dan imperialis.
Dari sini menarik apa yang dikaji oleh Anthony Giddens dalam
bukunya The Third Ways, dari adanya dua kekuatan besar yang mencoba
mendapatkan posisi dalam kancah perpolitikan dunia. Anthony Giddens36 dalam
pemikirannya perlu ada satu jalan lain yang harus ditempuh oleh negara-negara
yang tidak terlibat dalam dua kekuatan ini. Jalan Ketiga yang di gagas oleh
Giddens sebagai langkah yang solutif bagi negara-negara lain yang tidak ingin
melibatkan dirinya, termasuk Indonesia dengan politik luar negeri bebas aktifnya.
Terlepas dari apakah Giddens menulis The Third Ways untuk kepentingan seperti
ini atau tidak, yang jelas karena ternyata apa yang digagas oleh Giddens tepat
ketika diaplikasikan dalam fenomena politik semacam ini, maka kita gunakan
saja sebagai sebuah alternative yang solutif.
Sebenarnya langkah yang diambil oleh Anthony Giddens ini telah
dirumuskan oleh Soekarno dan sahabatnya dalam bentuk pendeklarasian Gerakan
Non Blok (GNB) yang mencoba melepaskan dunia ketiga dari pengaruh dua
ideology besar ini. Dalam organisasi Gerakan Non Blok ini, Soekarno dan
kawan-kawan dari Negara dunia ketiga lainnya kemudian menggagas pola baru
perlawanan yang diserangkan untuk kedua blok dominant tersebut. Dapat
dikatakan pada era Soekarno ini, peta politik dunia dibagi menjadi tiga kekuatan,
yakni Blok Barat, Blok Timur dan gerakan Non Blok.
Setelah perang terbuka antara dua kekuatan besar ini, muncullah konsep
perang baru yang disebut sebagai perang dingin. Yakni perang dengan tidak
36 Anthony Giddens, 2000, The Third Ways, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 5
125
menggunakan senjata. Perang dingin lebih didominasi dari persaingan intelektual
dan perlombaan pembuatan senjata. Perang dingin ini membuat negara-negara
yang tidak tergabung dengan dua kekuatan ini menjadi takut, apalagi dengan
persaingan senjata nuklir yang dalam skala besar.
Dalam hal ini, Francis Fukuyama sebagai pengamat konstelasi geo
politik dalam bukunya The End of History ‘memberikan ramalan’ bahwa setelah
runtuhnya perang dingin ditandai dengan satu diantara dua kekuatan yang
mendominasi maka akan muncul satu kekuatan besar yang menghegemoni dunia
(unipolar). Amerika Serikat, sebagai pihak yang diunggulkan dalam tesis
Fukuyama ini akan menjadi kekuatan terbesar yang pada nantinya akan
menguasai dunia. Yang perlu digaris bawahi dalam ‘ramalan’ Francis Fukuyama
ini adalah, menurutnya Amerika Serikat sebagai pihak yang menang akan
menjadi satu-satunya kekuatan yang menjadi penguasa dunia.
Namun ternyata apa yang diramalkan oleh Francis Fukuyama ini
bertolak belakang dari realitas yang terjadi sebenarnya. Setelah Amerika Serikat
memenangkan perang dingin ditandai dengan runtuhnya negara Uni Soviet.
Ternyata Amerika Serikat tidak menjadi satu-satunya kekuatan yang mampu
menghegemoni dunia.
Samuel P. Huntington dalam tesis terbesarnya The Clash Of
Civilization, and the Remaking New Order, mendeskripsikan secara rinci,
termasuk kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja terjadi dalam konstelasi
politik global yang sedang berlangsung ini.
126
Di awali dari runtuhnya Uni Soviet, maka secara resmi Amerika Serikat
memenangkan Perang yang selama berpuluh-puluh tahun berlangsung. Setelah
perang fisik semacam ini, kata Huntington37, dalam jangka waktu kedepan tidak
terlalu mendominasi perang seperti perang dingin, perang yang akan terjadi
adalah perang antar peradaban, bukan lagi perang antar negara dan seterusnya.
Setelah perang dingin berakhir politik internasional telah mengalami
beberapa perubahan besar yang cukup mendasar. Perubahan yang paling
mencolok adalah berubahnya system internasional bipolar menjadi suat system
yang multipolar.
Semula perang dingin kerangka politik internasional dibentuk oleh dua
negara adi daya, Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang saling bertentangan.
Konflik antara dua negara adidaya ini berskala global karena baik AS maupun
US berusaha menarik negara-negara lain sebagai sekutu atau simpatisannya, atau
setidaknya mencegah agar suata negara tidak masuk dalam lingkungan pengaruh
pihak lawan. Konflik regional antara negara tetangga dan konflik nasional antara
berbgai kelompok kepentingan, tidak jarnag ikut terseret dalam pertarungan
antara kedua adi daya tersebut.
Dengan runtuhnya Uni Soviet, system politik bipolar yang telah hadir
sejak berakhirnya perang dunia II juga telah menjadi sejarah. Amerika Serikat
menjadi satu-satunya negara adi daya sehingga sempat menimbulkan
kekhawatiran bahwa politik internasional akan menjadi unipolar dibawah suata
Pax-Americana. Pada kenyataannya baik keinginan maupun kemampuan AS
37 Samuel P. Huntington, 2001, The Clash of Civilization, and the Remaking New Order, Mitra Pustaka, Jogjakarta, hal. 8
127
untuk menjadi pemimpin tunggal dunia juga semakin memudar. Robohnya Uni
Soviet merupakan kemenangan bagi system politik AS. Namun kenyataannya,
AS juga harus membayar sangat mahal untuk dapat tampil unggul dalam perang
dingin.
Selama bertahun-tahun AS di bawah Partai Republik sangat kurang
memperhatikan masalah-masalah ekonomi dan sosial dalam negeri, sehingga
masyarakat AS mengalami kemunduran yang cukup tajam dalam bidangini.
Berakhirnya perang dingindilihat oleh masyarakat dan pemerintah AS yang baru
sebagai kesempatan untuk mengatasi masalah-masalah di dalam negeri,
sedangkan maslah internasional kurang mendapat perhatian yang serius.38
Inilah kecerobohan dan kekurangcermatan AS, dimana ketika setelah
memenangkan perang dingin, AS yang berobsesi menjadi penguasa dunia malah
berpaling dan berkonsentrasi mengurusi urusan dalam negeri di tengah
kejayaannya. Akibatnya, AS secara tidak langsung memberikan kesempatan
kepada negara lain untuk membangun kekuatan dan peradaban yang tidak
sepaham dengan AS, sehingga obsesi AS untuk menjadi satu-satunya penguasa
dunia mengalami gangguan.
Huntington menganalisis factor eksternal dari tubuh AS dengan
munculnya kekuatan yang multipolar di tengah konstelasi geopolitik hari ini.
Setelah runtuhnya Uni Soviet, negara-negara bekas Uni Sovet yang pada awalnya
berhaluan Islam kembali ke rumah lama. Negara-negara seperti Aljazair,
Turkmenistan, Uzbekistan, Afghanistan dan sebagainya kembali pada Islam.
38 M. Dawam Raharjo, e.d, 1997, Reformasi Politik: Dinamika Politik Nasional dalam Arus Politik Global, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 34
128
Dari berpuluh-puluh kekuatan dunia yang ada, Huntington kemudian
membaginya secara garis besar, kekuatan pertama, Kapitalisme Amerika, kedua
kekuatan China dan yang terakhir dan paling actual adalah kekuatan Islam.
China yang kaya akan kebudayaan klasik, mampu menyihir dunia
menjadi tercengang, bahkan hampir di setiap negara, budaya China tumbuh
subur, dimana-mana Klenteng dapat berdiri, ramalan-ramalah Feng Shui laku
laris di setiap pelosok dunia, produk-produk alternatif China bahkan menembus
pasar internasional dan mendominasinya. Di dukung dengan letak geografis yang
berpotensi untuk menjadi central pasar internasional, semakin memposisikan
China, juga dengan kekuatan ekonomi, sosial budaya dan lainnya yang tidak
lekang oleh zaman. Ini semua membuat Huntington menghitung China sebagai
kekuatan yang akan mendominasi dunia, meskipun dengan strategi yang halus.
Sementara itu, Islam, yang sampai hari ini menjadi kekuatan kiri yang
paling berbahaya bagi Amerika Serikat, disamping kiri lainnya, dengan jumlah
penganutnya yang makin lama makin meningkat, membuat Islam semakin di
perhitungkan juga. Apalagi dengan bangkitnya kekuatan negara-negara Islam.
Iran yang dipimpin oleh pemimpin ‘keras kepala’ terhadap AS, Mahmoud
Ahmadinejad, membangkitkan program nuklir, serta ilmu pengetahuan modern
lainnya.
Bukan itu saja yang membuat Islam diperhitungkan oleh Huntington,
Islam, khususnya yang ada di Timur Tengah, merupakan negara-negara penghasil
minyak bumi yang besar dan potensial memenuhi kebutuhan minyak dunia.
Selain minyak bumi, barang tambang lainnya Islam juga mendominasi.
129
Samuel P. Huntington sebagai seorang intelektual Amerika Serikat serta
penasehat Gedung Putih telah berkiprah banyak dalam wilayah percaturan politik
dunia. Selain dari buku The Clash of Civilization yang dimana dalam buku ini
dia memprediksikan kondisi sosial politik masyarkat pasca perang dingin. Serta
ramalan akan adanya benturan antar peradaban antara Barat yang teridi dari
WASP (White Anglo-Saxon Protestant) dan Timur yang teridir dari Islam dan
Confucianisme.
Pada buku ini, Huntington tidak secara terbuka mengatakan bahwa
Islam dan Confucianisme merupakan musuh terbesar Amerika Serikat (Barat),
akan tetapi ketika buku selanjutnya diluncurkan (Who Are We?: The Challenges
to America's National Identity, New York: Simon & Schuster, 2004) menyatakan
dengan tegas bahwa musuh utama Amerika Serikat setelah perang dingin adalah
Islam Militan. Serangannya tidak hanya Islam radikal, tetapi juga komunitas
Islam yang tidak mau mengikuti Bush dianggap teroris. Bush dalam persoalan ini
membaca hitam putih, melalui pernyataannya, "either you are with us or you are
with the terrorists", jelas menunjukkan bahwa Bush memberikan kesempatan
kepada setiap Negara dan organisasi massa lainnya yang memiliki jaringan
global untuk menentukan sikap apakah akan mengikuti garis Bush atau
mengikuti garis Islam. Antara kekuatan jahat (evil) dan kekuatan baik (good).
Bagi Bush dan Huntington, tragedi 11 September 2001 juga telah
membuka kemungkinan berubahnya parameter yang digunakan AS dalam
menilai sebuah negara. Sekarang ini, AS cenderung lebih hirau pada masalah
terorisme ketimbang isu demokrasi dan hak asasi manusia. Kenyataan bahwa
130
Presiden Pervez Musharraf di Pakistan dan militer Thailand di bawah Panglima
Angkatan Darat Jenderal Sonthi Boonyaratglin naik ke tangga kekuasaan melalui
kudeta militer tidak lagi menjadi kendala dan penghalang bagi AS untuk menjalin
aliansi antiterorisme dengan kedua negara itu.
Dalam persoalan ini, Huntington mendukung agar AS/Barat melakukan
preemptive strike terhadap kaum militan. Nasihat Huntington memang telah
dijalankan Gedung Putih dengan menyerang Irak dan Afganistan serta
mengintervensi Palestina, apalagi pada 2002 doktrin preemptive strike (serangan
dini) dan defensive intervention (intervensi defensif) telah secara resmi
diumumkan. Kekuatan Islam militan di berbagai belahan bumi pun ''disikat'' oleh
AS, dan yang disebut sebagai Islam militan bukan hanya Usamah bin Ladin atau
kelompok Al-Qaidah, melainkan mencakup juga banyak kelompok lain yang
bersifat negatif terhadap AS.
Pandangan Huntington mempengaruhi Bush, terutama persepsi bahwa
apa yang dulu dilakukan oleh komunis internasional juga dilakukan kini oleh
kelompok-kelompok Islam militan, seperti aksi protes dan demonstrasi damai,
dan partai-partai Islam ikut bertanding dalam pemilihan umum. Kalangan Islam
militan juga melakukan kerja-kerja amal sosial dan kultural.
Analisis terhadap Amerika hari ini dan kedepan sebenarnya merupakan
satu kemenangan bagi Negara-negara berkembang karena lambat laun sekutu
Amerika akan lepas dari persekutuan. Australia misalnya, yang dahulu menjadi
sekutu utama, sehidup semati dengan Amerika setelah John Horward yang
menjadi Perdana Menteri cukup lama di negeri Kanguru telah kalah dengan
131
kekuatan Partai Buruh dan dalam kepemimpinan Partai Buruh ini Australia akan
menempatkan Amerika sama dengan hubungan bilateral dengan Negara
manapun. Kerja sama bilateral yang akan lebih ditingkatkan lagi oleh Australia
adalah dengan China.
Australia dan China akan menguatkan basis militer, social, politik,
pendidikan dan ekonomi masing-masing Negara dengan kerja sama bilateral
yang lebih akrab lagi, bahkan tidak menutup kemungkinan menjadi sekutu.
Kedua Negara ini akan terjalin intimitas hubungan yang tinggi karena Partai
Buruh Australia dan Partai Komunis China memiliki korelasi yang mutualisten.
Dimana ada keterkaitan secara politik dan gerakan diantara keduanya.
Australia sendiri, dalam waktu dekat akan menarik tentaranya yang
berada di Irak yang membantu Amerika pada perang Irak tahun 2003 lalu. Ini
merupakan wujud konkrit Australia mencoba menjauh dari hubungan intim
bilateral Negara dengan negeri Paman Sam.
Sementara itu, Amerika dibawah pengaruh Bush yang masa jabatannya
hampir habis akan kehilangan beberapa sekutu, sementara itu, senat dan
parlemen Amerika telah dikuasai oleh Partai Demokrat, sehingga kemungkinan
besar pasca Bush yang akan menduduki jabatan Presiden berasal dari Partai
Demokrat yang kemungkinan akan lebih halus dalam hubungan internasional,
tidak ambisius seperti yang dilakukan Bush terhadap Negara lain yang
mengklaim diri Amerika menjadi Polisi Dunia (World Police) yang mempunyai
hak menindak kasus hokum internasional dengan sanksi sekehendaknya.
132
Islam Indonesia tidak ketinggalan, dengan berbagai corak yang khas,
menjadikan Islam Indonesia di tempatkan di garda depan, apalagi di dukung
dengan status Indonesia sebagai negara dengan jumlah penganut Islam terbesar di
dunia.
C. Geneologi Sosial Politik (Geosospol)
Setiap upaya untuk mengatasi persoalan yang terjadi di Indonesia tanpa
melihat keterkaitan dengan konstelasi global, niscaya akan menemukan
kegagalan yang mutlak. Karena, Indonesia sebagai negara yang berdaulat, tidak
bisa lepas dari konstelasi global internasional. Bahkan ada yang mengatakan
sejarah bangsa Indonesia tidak lain adalah permainan dari pertarungan
kepentingan sosial, politik, ekonomi dan wacana yang bermain di dunia
internasional.
Sedikti menengok pada masa pra kemerdekaan (1596) bangsa
asingmenginjakkan kaki ke Nusantara dan menanamkan pengaruhnya. Jatuhnya
kedaulatan nusantra ketangan asing ditandai sejak berdirinya VOC pada tahun
1602. kehidupan bangsa Indonesia dikendalikan oleh penjajahan bangsa asing.
Pada abad ke-19 terjadi perubahan fundamental di Eropa, yaitu sejak
pemikiran Ernest Renant. Tentang negara bangsa (nation state) mempengaruhi
kawasan Eropa dan berdirilah berbagai Negara bangsa di Eropa. Terjadinya
perubahan ini sangat berpengaruh pada negara-negara jajahan termasuk Hindia
Belanda. Selain itu, pengaruh terhadap Hindia Belanda terlihat sejak keluarnya
133
kebijakan poltik etis oleh anggota parlemen Belanda yang bernama C. Th. Van
Deventer.
Dampak yang diperoleh penduduk pribumi sejak munculnya konsep
negara bangsa dan kebijakan politik etis adalah kaum pribumi dapat memperoleh
pendidikan modern ala Barat. Yang mulanya hanya dinikmati oleh kalangan
tertentu saja (golongan priyayi) kaum priyayi rendahanpun dapat menikmati
pendidikan tersebut, sehingga ada perubahan signifikan struktur sosial
masyarakat Hindia Belanda.
Pengaruh pemikiranala Barat pada masyarakat pribumi yang
mengenyam pendidikan ala Barat ini akhirnya munculnya semangat nasionalisme
dan berdirinya organisasi-organisasi kepemudaan dan kemasyarkatan (meskipun
masih bersifat island people), seperti Boedi Oetomo (1908), Jong Sumatea, Jong
Islament Bond, Jong Cilebes, SI, Muhammadiyah dan organisasi lainnya.
Ditengah suasana konstelasi politik global yang tidak menentu.
Akhirnya bangsa Indonesia mengkonstruksikan faham kebangsaan yang utuh dan
lahirlah Sumpah Pemuda (1928) yang kemudian memunculkan wacana Negara
Bangsa Indonesia. Sementara itu, antara berbagai negara imperialis semakin
menajam dan mencapai puncaknya pada Perang Dunia II (1939). Indonesia
menjadi rebutan negara-negara yang sedang bertikaian untuk menjadikan
pangkalan dan mempertahankan kepentingan geopolitik dan geo strategi masing-
masing pihak. Ditengah suasana perang asifik yang memanas dijadikan moment,
oleh para aktivis gerakan, untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
134
Dari sedikit penelusuran akar histories bangsa, terkait dengan posisi
Indonesia dalam konstelasi geopolitik sebelum kemerdekaan Indonesia. Ada satu
hal yang perlu di garis bawahi bahwa keberadaan Indonesia dalam konstelasi
geopolitik tidak bisa terlepas begitu saja dari geo strategi oleh pihak-pihak global
yang mendominasi, artinya ada pengaruh-pengaruh dari dunia internasional
dalam wilayah sosio antropologis politis di Indonesia. Setidaknya ada empat
pengaruh global yang mewarnai dinamika sosio antropologis politis di Indonesia,
yakni, Indianisasi, Chinaisasi, Eropanisasi dan Islamisasi.
Adanya pengaruh India di Indonesia tidak bisa dilepas begitu saja,
warna bernuansa India telah mengakar kuat di Indonesia, hal ini tidak terlepas
dari pernah berjayanya agama Hindu dalam sejarah keagamaan nasioal. Agama
Hindu yang menjadi agama mayoritas di India, telah berkembang pesat di
Indonesia. Dan yang paling dapat dilihat secara eksplisit adalah adanya
kebudayaan India yang justru berkembang pesat di Indonesia, khususnya Jawa,
yakni seni patung, seni Candi, seni pewayangan, seni memahat dan alat-alat
musik yang bernuansa India lainnya. Ini menjadi hal yang menarik untuk dikaji.
Selain itu, ada satu hal yang kurang popular dalam sejarah nasional,
tetapi toh tetap membuat pengaruh India di Indonesia terlihat lebih jelas juga.
Pemberontakan kaum Sepoy di Jawa Tengah tahun 1815. pada tahun 1945 ketika
orang Inggris mendarat di Surabaya yang membawa kontingen-kontingen India-
Bengali, setelah merebut Yogyakarta, ternyata Kapten Subandar atau Dhukul
Singh terkejut melihat bahwa Jawa adalah tanah Brahmana dan Sunan adalah
keturunan Rama.
135
Namun dari semua itu, yang paling membuat pengaruh India di
Indonesia terenal hingga dataran global adalah peneliti-peneliti Eropa sebelum
abad ke-19 yang melakukan penelitian di Indonesia seperti Raffles yang
mengangkat Indianisasi di Indonesia sebagai topik yang paling ia gemari. Hal ini
dia tunjukkandengan mengaitkan Jawa dengan kemaharajaan India Inggris.
Misalnya, dalam buku The History of Java, disini ia tampilkan gambar-gambar
patung yang bernuansa Hindu India dengan berbagai coraknya.
China datang ke Indonesia kurang lebih pada abad ke-13/14. Namun
yang penting dri terjadinya perpaduan antar kedua kerajaan itu adalah masa
dinasti Ming (China) dengan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera dan Majapahit di
Jawa.
Masuknya masyrakat China ke Indonesia, berdasarkan bukti sejarah,
ditandai dengan ditemukannya makam putri Campa (tertulis 1370). Putri Campa
dalam sejarah nasional adalah saudara raja Pandita dan Raden Rahmat. Keduanya
aalah anak dari keturunan Arab, yang telah mempersuntung gadis setempat. Putri
Campa adalah muslim termasyhur yang datang untuk menikah dengan seorang
pangeran Majapahit. Adapun ia dimakamkan di Trowulan pada tahun 1448.
Versi lain sejarah, mengatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah
berasal dari dataran China yang mengungsi secara berangsur-angsur ke wilayah
selatan yang lebih subur untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Pendapat ini diperkuat dengan masyarkat Indonesia pada umumnya termasuk ras
Mongoloid dengan ciri-ciri bertubuh pendek, warna kulit sawo matang, mata sipit
dan memiliki rambut berwarna hitam pekat.
136
Terlepas dari semua itu, yang menjadi persoalan adalah, adanya
pengaruh kebudayaan China di Nusantara. Banyak sudah hal-hal yang berbau
China di Indonesia, mulai dari menjamurnya Barongsai, pakaian muslim (Baju
Koko) yang mengambil corak pakaian adat China (di populerkan oleh
Laksamana Cheng Ho), hingga pada diresmikannya agama Konghucu oleh
Presiden Abdurrahman Wahid sebagai agama yang sah di Indonesia.
Demikian halnya dengan budaya Indonesia yang terpengaruh warna
China seperti tata budaya masyarkat, Indonesia merupakan lahan yang subur
untuk perkembangan budaya China sampai hari ini, ditandai dengan maraknya
peringatan-peringatan seperti tahun baru Imlek, kiriman Angpao, klenteng-
klenteng, lampion, hingga pada makanan khas China yang berkembang dan
berproduksi sampai-sampai orang Indonesia mengatakan bahwa itu merupakan
produk local.
Orang Eropa yang pertama kali menginjakkan kaki ke nusantara adalah
Marcopolo. Pelaut tangguh ini memberi nama untuk pulau Jawa sebagai Java
Mayor dan Sumatera sebagai Java Minor.
Pengaruh Eropa dalam tata masyarakat Indonesia terlihat sangat jelas,
apalagi ketika menilik pada negara kita yang berabad-abad mengenyam
imperialisme dan kolonialisme dari negara-negara Barat. Negara Barat yang
pengaruhnya paling mencokol adalah negara Belanda, hal ini disebabkan negara
Belanda selama kurang lebih 3,5 abad menjajah negeri kita ini.
Dimulai dari arsitektur bangunan model Barat yang kemudian banyak
ditiru untuk model bangunan modern saat ini. Dengan tiang yang besar, dinding
137
yang tebal, pintu tinggi lebar, serta banyak gambar-gambar bernuansa seni pada
kaca-kaca jendela dan seterusnya.
Warisan kolonial lainnya adalah undang-undang dan system
bermasyarakat yang berlaku di negara kita. Undang-undang banyak sekali yang
sampai hari ini merupakan turunan dari warisan zaman londho. Sementara system
feodalisme, kapitalisme dan exploitation de I’home par I’home masih mengakar
di tengah masyarkat kita sampai hari ini.
Pengaruh-pengaruh Eropa, selain berupa peninggalan fisik diatas, ada
satu hal yang penting, yakni ideology dan dasar pemikiran. Dimana banyak sekali
intelektualis Indonesia yang berkiblat pada kebudayaan Barat. Katakanlah
Mohammad Hatta, Sutan Syahrir dan kawan-kawannya yang menempuh
pendidikan di Belanda. Atau Presiden Soekarno, Tan Malaka, H. Agoes Salim,
HOS Tjokroaminoto, Sukarni dan tokoh nasional lainnya yang melakukan
peletakan dasar negara Indonesia, dan tentunya suasana Belanda masih sangat
kental terasa. Mereka itulah yang menggunakan kendaraan pendidikan ala Eropa.
Islam masuk ke Indonesia memberikan corak masyarkat yang paling
menonjol, dimana disini Islam mencoba mengubah tata sosial yang sebelumnya
telah mapan dan kemudian di kemas ulang dalam tatanan yang lebih menarik. Di
Indonesia ada dua versi masuknya Islam, pertama dimulai dari perjalanan It Sing
dari China yang dalam catatannya menulis bertemu dengan seorang yang sedang
melakukan gerakan-gerkan aneh serta bacaan-bacaan aneh pula, orang ini
berperawakan Arab, serta menggunakan pakaian mirip orang-orang Arab. It Sing
memulai perjalanannya ini sekitar abad ke tujuh masehi.
138
Namun catatan sejarah lebih menyepakati versi yang kedua yakni
dengan bukti ditemukannya makam Fatiman binti Maimun yang bertuliskan
sekitar abad kesebelas masehi. Disini kemudian mengakar pada berdirinya
kerajaan Samudera Pasai di Aceh dan Kerajaan Demak Bintoro, dan kerajaan
Banten di Jawa yang bercorak kepemimpinan Islam. Disusul kemudian
munculnya Mataram Islam, Gowa, Talo dan seterusnya.
Pengaruhnya berupa banyaknya peninggalan-peninggalan sejarah yang
bercorak Islam seperti Masjid Agung Demak, Menara Masjid Kudus, makam-
makam Sunan yang tergabung dalam Walisongo, pesantren-pesantren klasik,
kebudayaan dan kesenian masyarakat, lagu-lagu (tembang) yang bernuansa
religi, dan sebagainya. Ini dapat dimaklumi bersama mengingat perkembangan
Islam di Indonesia termasuk dalam kategor cepat dan besar di dunia.
D. Islam Indonesia
Sejarah masyarakat Indonesia, sebelum sampai jauh memperbincangkan
fenomena Islam Indonesia, telah ada dan berkembang ribuan tahun sebelum
masehi. Ada sejarah panjang yang dimiliki bangsa Indonesia yang banyak
tertutup oleh sejarah, tidak pernah diungkap dan saling mengungkap sejarah
masa-masa Indonesia di era ribuan tahun sebelum masehi, kalaupun disebutkan
persoalan tersebut, hanya pada grand theme saja tanpa menyentuh hal yang lebih
detail, termasuk tokoh-tokohnya secara jelas.
Kekuarangan referensi menjadi satu alasan kuat tidak diungkapkannya
khazanah kebesaran sejarah nusantara pada era ini. Peninggalan yang ada hanya
139
sebatas peningalan-peninggalan fisik yang telah membantu dan terkubur di alam
raya yang luas ini. Tetapi ada beberapa hal yang masih harus kita banggakan
dalam kaitannya mengenai sejarah kebangsaan yang terkubur ini, yakni warisan-
warisan sejarah yang tersimpan rapi dalam alam bawah sadar kita.
Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya Islam
merupakan negara yang cukup makmur dengan tingkat keberagamaan yang
tinggi. Masyarakat Indonesia menempatkan agama pada titik tertinggi dalam
relung kesadarannya. Segala bidang kehidupan didasar atas dasar agama,
dihukumi oleh agama.
Menurut catatan sejarah dalam versi Prof. Soediman Kartohadiprojo,
SH., masyarakat Indonesia berasal dari suku Polinisia saja (Prof. Soediman
Kartohadiprojo, 1995). Sementara Agus Sunyoto dalam “Pitutur” mengatakan
bahwa orang Indonesia asli adalah pertemuan dari dua suku: suku Polinisia yang
berasal dari India yang punya kegemaran merampok, menjarah dan punya
pemahaman mistik yang sangat kental, dan ras yang dibawa adalah ras Negroid.
Kemudian bertemu dengan suku Qunlun, yakni pecahan ras Mongoloid yang
kalah perang dan terusir dari daratan Mongolia.
Perjalanan sejarah akan dimulai dari asal usul manusia Indonesia. Dari
dua perkawinan ras inilah lahir ras Javanisme yang berkarakter mistik yang
kemudian pada prosesnya muncul paham animisme dan dinamisme, suka
menjarah dan bermental kalah. Dalam psiko-Historis era sekarang, kita dapat
mengatakan bahwa ras ini melahirkan bangsa yang tidak punya mental dasar
140
persaingan (Agus Sunyoto, Kebudayaan Indonesia Hasil Asimilasi Aneka
kebudayaan).
Pada awal perkembangannya, masyarakat Indonesia mengenal agama
(kepercayaan) Kapitayan39, yakni sebuah aliran kepercayaan yang menyembah
terhadap Sang Hyang Taya. Aliran ini berkembang pesat pada saat suku Weda
(dalam beberapa referensi Suku Weda dianggap sebagai suku asli bangsa
Indonesia dari ras Negroid) menguasai tatanan social politik di Indonesia
sebelum kedatangan kaum migran besar-besaran dari Yunan, China Selatan pada
kurang lebih enam ribu tahun sebelum masehi.
Kapitayan berasal dari kata dasar Taya yang berarti kosong. Kosong
dalam filosofi kapitayan adalah menyembah kepada Sang Hyang Taya yang tidak
nampak dalam pandangan mata fisik, namun keberadaan Sang Hyang Taya dapat
dirasakan dan dilihat dalam bentuk fisik berupa alam raya. Sang Hyang Taya,
dalam pandangan mereka, adalah hal yang transenden, yang memiliki pengaruh
besar sebagai pencipta, penjaga sekaligus penghancur alam raya beserta semua
kekayaan yang ada didalamnya.
Ritus-ritus keagamaan yang dilakukan oleh penganut kapitayan adalah
sembahyang (Sembah Sang Hyang) tiga kali dalam sehari, yakni pada saat
matahari terbit, matahari diatas kepala dan pada saat matahari terbenam.
Sembahyang dilakukan di sebuah bangunan peribadatan dengan bentuk kotak
persegi empat dengan satu pintu berbentuk persegi panjang dengan bagian atas
39 Keterangan dan informasi mengenai aliran kepercayaan/agama Kapitayan penulis peroleh dari wawancara langsung dengan Agus Sunyoto serta mengikuti pelatihan-pelatihan yang beliau menjadi pematerinya terkait dengan sejarah masyarakat Indonesia. Untuk pertama kali, keterangan ini penulis dapatkan dari Pelatihan Kader Lanjut PKC PMII Jawa Tengah tahun 2007 di Kebumen.
141
setengah lingkaran yang memanjang kedalam. Tempat ini mereka menamainya
dengan langgar. Orang yang masuk didalamnya harus dalam keadaan suci dan
harus melepas alas kaki yang dikenakannya.
Dalam setiap langgar, ada alat utama yang digunakan sebagai media
mengumpulkan masyarakat untuk bersembahyang berupa beduk yang terbuat
dari kayu berlubang dengan lapisan kulit binatang. Alat ini dibunyikan pada saat
menjelang prosesi persembahyangan dimulai. Bentuk langgar yang kotak, dalam
keterangan selanjutnya, adalah representasi dari kepercayaan kadhang papat
kalimo pancer, yakni secara eksplisit melambangkan empat penjuru mata angin
dengan satu titik sentral (yang transenden) mengarah ke bagian atas. Dalam
makna implisitnya, kadhang papat kalimo pancer lebih mengarah pada
kesetaraan ruang fisik dan ruang bathin serta kaitannya mengenai transendensi
hubungan manusia dengan Sang Hyang Taya.
Agama kapitayan mengenal istilah to/tu. Setiap kata yang mengandung
kata ini adalah ajaran-ajaran yang dimiliki oleh kapitayan. Sebagai contoh,
ajaran-ajaran kebaikan mereka menyebutnya sebagai tuah, sedangkan ajaran
jahat mereka menyebutnya sebagai tulah, representasi kekuatan baik sebagai
tuhan, dan pernyataan atas kekuatan jahat disebut hantu.
Dalam ritusnya, penggunaan kata to/tu masih terlihat, keberadaan Sang
Hyang Taya direpresentasikan dalam bentuk watu, tumbak, tugu, tuk dan lainnya.
Sementara itu dalam upacara keagamaan mereka menggunakan sesaji yang
disebut tumbal (yang paling ekstrim) dan ditaruh kedalam tumbu. Sang Hyang
Taya dalam kepercayaan mereka adalah Tuhan yang memiliki kekuatan gaib
142
yang mampu menciptakan, merawat dan bahkan menghancurkan alam. Sehingga
untuk mencegah penghancuran itu, berbagai ritus keagamaan diadakan.
Peletak dasar agama kapitayan, dalam sejarah disebutkan, bernama
Semar (Bodronoyo). Semar selain mengajarkan tentang ritus peribadatan seperti
itu, juga mengajarkan tentang puasa, balasan kebaikan berupa surgaloka dan
balasan atas tindakan jahat manusia berupa nerakasengkala. Dia juga
mengajarkan tentang anjuran berbuat baik terhadap sesama manusia karena pada
akhirnya nanti setelah meninggalnya manusia akan ada kehidupan selanjutnya
yang merupakan balasan atas kehidupan sekarang di dunia.
Sementara itu, dalam referensi lain disebutkan, ajaran kapitayan ini
disebut sebagai ajaran-ajaran animisme dan dinamisme pada akhir abad ke-19
dan abad ke-20. Dengan ditemukannya peninggalan-peninggalan sejarah yang
dapat telah membatu oleh para ilmuwan rasional dari Barat.
Pada masa pra sejarah, dengan bukti diketemukannya fosil manusia
purba, negara kita telah berpengalaman lebih dalam bidang keagamaan. Terbukti
dengan diketemukannya fosil berupa menhir, dolmen, serta alat pemujaan
lainnya. Bentuk agama mereka adalah, berdasarkan penelitian dari sosiolog,
adalah animisme dan dinamisme. Animisme dan dinamisme begitu kuat
menggelora dalam relung kesadaran orang-orang purba, segala sesuatu yang
mereka lakukan sering kali atas nama kepercayaannya ini.
Belum selesai tradisi animisme dan dinamisme yang berkembang di
Indonesia, datanglah agama Hindu Budha, dimana kedua agama ini juga hampir
sama ajarannya tentang konsep ritual peribadatannya. Hindu Budha menjadi
143
sesuatu yang mudah di terima oleh masyarakat saat itu, karena apa yang
terkandung didalam ajaran Hindu Budha kebanyakan merupakan perkembangan
lebih lanjut dari apa yang telah mereka percayai sebelumnya. Tata sosial lambat
laun semakin berubah.
Perkembangan Hindu Budha yang sangat pesat memberikan warna
tersendiri bagi kebudayaan masyarkat Indonesia. Seni-seni berupa seni pahat dan
seni mematung direpresenatasikan dengan membuat Candi Borobudur, Candi
Prambanan, Candi Dieng, Candi Mendut dan sebagainya. Ajaran-ajaran berupa
puasa ngrowot (puasa tidak makan nasi), puasa Nyirih (Puasa tidak memakan
sesuatu yang bernyawa), pemberian sesaji, pelestarian terhadap lingkungan, seni
pewayangan dan seterusnya mewarnai kebudayaan Indonesia dan merupakan
peningkatan dari kebudayaan animisme dan dinamisme yang sebelumnya telah
tinggi.
Setelah maju dan berkembangnya agama Hindu Budha di Indonesia,
seiring dengan terbukanya nusantara sebagai jalur perdagangan paling potensial
di dunia, maka peleburan budaya antara budaya asli nusantara dengan budaya
asing yang masuk ke nusantara membuat perbendaharaan budaya nusantara
semakin kompleks. Kemajemukan budaya ini kemudian membuat satu daerah
dengan daerah yang lain memiliki perbedaan yang mencolok. Satu wilayah yang
kebetulan sering disinggahi oleh pedagang-pedagang asing memiliki corak
budaya yang lebih maju dibandingkan dengan wilayah lain yang sama sekali
tidak tersentuh oleh pedagang-pedagang asing. Ini membuat semakin mewarnai
multikuluralisme.
144
Sisi lain, selain kemajuan budaya, dengan seringnya masuk pedagang
dari Gujarat, India dan Persia yang menganut agama Islam, maka secara
perlahan-lahan kebudyaan nusantara khususnya pesisir mengalami perubahan.
Semakin meningkat, dan semakin mendekati pada kebudayaan Islam pada
umumnya. Hal ini dikarenakan di setiap Bandar perdagangan kerajaan pasti ada
syahbandar yang bertugas sebagai mediator bahasa antara daerah yang satu
dengan daerah yang lain.
Wilayah yang banyak melakukan transaksi perdagangan dengan
pedagang dari Gujarat, Persia dan India harus memiliki syahbandar yang
memahami dan mampu berkomunikasi dengan bahasa itu agar terjadi transaksi
yang benar-benar adil, serta tidak ada penipuan salah satu diantara keduanya.
Syahbandar yang diangkat oleh kerajaan atau bahkan sampai level
kadipaten, biasanya diambil dari orang asing yang memahami dan mampu
berkomunikasi dengan bahasa local. Misalnya, orang Gujarat yang pandai
berbahasa Jawa atau Melayu akan diangkat menjadi syahbandar di wilayah
Tuban, mengingat Tuban adalah terminal perdagangan yang cukup ramai setelah
Malaka.
Syahbandar memiliki kedudukan yang tinggi setingkat menteri untuk
saat ini, artinya kalau boleh menyamakan, posisi syahbandar sama dengan mentri
Luar Negeri atau setidaknya Juru Bicara Kenegaraan. Artinya dia memiliki
kebebasan yang mutlak atas wilayah tertentu yang menjadi garapannya.
Didukung gaya kehidupan masyarakat yang masih fedoalis, maka seolah posisi
145
syahbandar iBarat orang yang memiliki otoritas penuh terhadap masalah
hubungan eksternal dengan negara lain.
Orang Gujarat yang kebanyakan beragama Islam, yang diangkat
menjadi syahbandar, dengan bekal jabatan serta didukung gaya kehidupan
feodalistik masyarakat, maka lambat laun, tata sosial masyarakat terpengaruh
dengan gaya kehidupan syahbandar, dan secara perlahan, mereka mulai
meninggalkan kebudayaan Hindu Budha mereka dan masuk Islam.
Selain itu, banyak syahbandar atau bahkan pedagang dari Gujarat dan
wilayah Arab lainnya yang kemudian menikah dengan gadis pribumi, sehingga
model penyebaran agama melalui pernikahan banyak sekali dilakukan.
Lambat laun dari hal-hal yang semacam ini kemudian menimbulkan tata
sosial yang berlainan dengan budaya asli mereka. Pernikahan budaya antara
kebudayaan Hindu Budha dengan Islam mulai nampak, munculnya bentuk baru
pendidikan keberagamaan yang merujuk pada system pembelajaran ala Hindu
Budha banyak dilakukan oleh penyebar agama ini. Termasuk juga bentuk
bangunan masjid yang mirip dengan kebudayaan bangunan ala Hindu.
Ditarik pada wilayah agama/aliran kepercayaan Kapitayan, Islam yang
muncul di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh agama ini. Sebagai contoh,
adanya langgar (Mushola) sebagai tempat peribadatan. Pemberian nama puasa
untuk menyebut ajaran asy syiyam, menyebut Jannah sebagai
swargo/swargoloko, menyebut nerokosengkolo/neroko sebagai perlambangan
atas an nar. Bedhuk adalah identitas utama Islam Indonesia yang merupakan
salah satu peninggalan penting agam Kapitayan yang digunakan untuk
146
mengumpulkan orang-orang sebelum bersembahyang. Demikian pula untuk
menyebut kata shalat dengan mengadopsi istilah Kapitayan yakni sembahyang.
Untuk masuk kedalam mushollah (langgar) harus melepas alas kaki merupakan
salah satu khazanah yang dimiliki oleh agama Kapitayan, dalam ajaran Islam
yang lebih dikenal adalah membersihkan sepatu/sandal sebelum masuk ke tempat
peribadatan, dan upaya menganjurkan untuk melepaskannya adalah merupakan
perpaduan antara Kapitayan dengan Islam.
Dalam budaya pewayangan hingga pada khazanah lainnya yang dimiliki
oleh orang-orang Indonesia yang telah berkembang pesat sebelumnya, oleh para
founding fathers Islam di Indonesia juga sedikit demi sedikit mulai ditarik dan
diubah konsepnya agar sesuai dengan hokum-hukum islam. Kita mengenal
adanya wayang yang merupakan warisan kebudayaan suku arya dan dravida di
zaman prasejarah di India. Catatan-catatan ceritanya oleh para founding fathers
negara kita ‘dirapikan’ agar tidak melenceng dari ajaran Islam, Karena terbukti
banyak cerita dalam wayang yang bertentangan dengan hokum islam seperti
budaya poliandri dan sebagainya.
Kita juga setidaknya mengenal tambahan tokoh wayang yang paling
popular di Indonesia, yakni punakawan. Dalam versi aslinya, ponakawan tidak
ada sama sekali. Munculnya Semar, Petruk, Bagong dan Nala Gareng adalah
kekreatifan dari para founding fathers Islam di nusantara. Pemberian nama
punakawan diambil dari istilah samir (Semar) fatru’ (Petruk) mabagha
(Bagong) ‘ala ghair (Nala Gareng). Istilah ini berarti menyingsingkan lengan
baju (cancut taliwondho), meninggalkan kejelekan menuju kebenaran.
147
Intinya, Islam di Indonesia merupakan Islam yang mengambil Al
Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas sebagai rujukan utama hukum Islam. Yang
kemudian ini semua diakulturasikan dengan budaya local yang ada. Dari sinilah
memunculkan cirri kas khusus yang memberikan warna berbeda dengan Islam
daerah lainnya seperti India, Mesir, Arab Saudi, Iran, Irak dan sebagainya.
E. Konstelasi Geo Politik dan Geografi Sosio Relgius Indonesia
Menurut Alvin Toffler40, masa depan seperti yang direfleksikan oleh
perkembangan Amerika Serikat pada umumnya Barat, memasuki apa yang ia
sebutkan revolusi Gelombang ketiga (Third Wave). Gelombang pertama
dicerminkan oleh peradaban pertanian, ketika manusia mulai hidup menetap.
Keluarga bersar (Extended) yang merupakan cirri gelombang pertama ini, hidup
bertani sekedar untuk memenuhi kepertluan sehari-hari. Dijumpai pembagian
pekerjaan yang sederhana, tetapi juga kasta dan kelas masyarakat muncul.
Kedudukan seseorang bergantung pada status keluarga. Kekuasaan otoriter. Ada
juga perdagangan, tatapi terbatas, dan pelautpun berlayar tetapi tidak jauh-jauh.
Gelombang kedua dimulai dengan revolusi industri abad ke-17. revolusi
ini membawa perubahan dalam hidup manusia, dan dengan industri manufaktur,
inovasi mesin uap, listrik, mesin tik, alat pendingin dan sebagainya, hidup
dipermudah. Lambat laun apa yang kini kita pergunakan dihasilkan: Surat Kabar,
bioskop, kereta api bawah tanah, pesawat terbang. Kota-kota industri
40 Abaz Zahrotien, Kiri Islam vis a vis Peradaban Barat, http://abazzahra.blogspot.com , browsing at. 17.00 pm, may, 10th. 2007.
148
bermunculan. Akhirnya,ilmu dan teknologi mengaitkan segala sesuatu di dunia
ini, melampaui jarak dan waktu: dunia menyatu.
Pada masa gelombang keduai ini agama pada umumnya menjadi
terbatas, ia merupakan masalah individu, perseorangan. Dalam pada itu
agnosticism dan atheism juga bertambah menyebar.
Gelombang ketiga ditandai oleh dasar enerji baru yang berasal dari
sumber-sumber yang dapat diolah baru. Revolusi baru ini akan juga ditandai oleh
industri-industri baru, perlatan elektronik dan komputer yang lebih canggih,
industri pesawat lintas udara, industri lautan dalam, dan sebagainya.
Peradaban gelombang ketiga ini akan memperkenalkan flecitime: jam
kerja yang tidak ditetapkan untuk para pekerja, atau para pekerja bisa memilih
jam kerjanya sendiri. Memang ada bagian jam kerja yang pasti, tetapi inipun
bergantung pada para pekerja itu pula. Akan dijumpai juga percampuaran fungsi
antara konsumen dan produsen: prosumer sehingga konsumen juga akan
memproduksi berbagai buatannya sendiri. Ini berarti konsumen juga menjadi
produsen. Berkembang pula globalisasi produksi sebagai hasil ekspansi
korporasi-korporasi transnasional masa kini.
Intinya, pendapat Toffler tentang rumah tangga sebagai central
kehidupan, di dalam rumah, proses produksi, distribusi hingga konsumsi dapat
dengan mudah dijumpai setiap saat. Rumah menjadi sumber kehidupan. Bukan
sisi ini yang terpenting, tetapi yang lebih penting Toffler memandang bahwa
masa depan dunia akan berkembang sejalan dengan pandangan dan visi Barat.
Pemikiran tentang tiga gelombang peradaban, sama sekali tidak menyentuh
149
perdaban lain seperti China yang telah berusia ribuan tahun, India yang pernah
berjaya di zaman prasejarah, dan yang paling ‘kurang ajar’ ia melupakan
peradaban Islam yang telah begitu berjasa dalam perkembangan Barat hingga
hari ini.
Pada tahun 1944, apa yang kita kenal sekarang sebagai MNC (multi
National Coorporation) dan TNC (Trans-National Coorporation) berdiri sebagai
dampak munculnya perusahaan-perusahaan besar di negara-negara maju dan
secara perlahan masuk ke negara-negara berkembang. Munculnya perusahaan
trans nasional semacam ini merupakan dampak utama berdirinya PBB, World
Bank, IBRD, IMF dan GATT pada pertemuan Bretton Woods yang bertujuan
untuk mengantisipasi Negara-negara jajahan memproklamirkan kemerdekaannya.
Dalam pertemuan Bretton Woods, PBB, World Bank, IBRD, IMF dan GATT
baru mencapai tahap kesepakatan pendiriannya. Sedangkan pada pendirian
tepatnya masih dalam perencanaan.
Barulah satu tahun setelah itu, tepatnya tahun 1945, PBB resmi berdiri
dan ditandatanganinya deklarasi Hak Asasi Manusia. Sebagai dampak atas
kondisi konflik internasional yang memanas, banyak kemudian Negara-negara
jajahan yang memanfaatkan situasi ini untuk melepaskan diri dari belenggu
penjajahan dan memproklamasikan kemerdekaannya, termasuk Indonesia.
Bulan Oktober 1945, Sekutu kembali ke Indonesia setelah Soekarno dan
Muhammad Hatta resmi memimpin Indonesia, dan Indonesia telah berusia tiga
bulan dalam kedaulatannya. Kedatangan sekutu ini bertujuan untuk merebut
kembali Indonesia dan mencabut kedaulatan atas Indonesia.
150
TNI sebagai benteng pertahanan nasional menghadapi situasi semacam
ini tidak mengambil tindakan tegas, sehingga dengan semangat perjuangan yang
tinggi akhirnya para ulama dari Nahdlatul Ulama (NU) mengeluarkan Resolusi
Jihad yang berisi seruang perang suci untuk menghadapi serangan-serangan
sekutu. Seruan ini menyebabkan terjadi semangat yang menggelora pada setiap
perang yang tidak mengenal tempat dan waktu. Di Surabaya, pertempuran terjadi
sengit antara barisan rakyat yang dibantu kekuatan militer TNI dengan sekutu
yang mengorbankan banyak nyawa, kejadian ini selanjutnya dikenal dengan
peristiwa 10 November 1945 dan dijadikan sebagai hari pahlawan.
Amerika Serikat merasa gerah menerima perlakuan berupa
kemerdekaan di tanah jajahan Barat. Akses Sumber Daya Alam dari Negara-
negara jajahan dengan kedaulatan yang dimiliki Negara berkembang akhirnya
lambat laun akan terputus. Eksploitasi hasil alam dari Negara jajahan tidak akan
dapat diperoleh kembali.
Menghadapi situasi semacam ini, pada tahun 1948 Presiden Amerika
Serikat mengadakan pertemuan dengan para pakar di MIT untuk membahas
bentuk imperialisme yang baru terhadap Negara-negara yang baru merdeka.
Dimana dengan pertemuan itu diharapkan oleh Presiden Amerika Serikat Negara-
negara yang baru merdeka meskipun telah memiliki kedaulatan sepenuhnya
masih berada di bawah naungan Amerika.
Pada pertemuan itu, memunculkan kesepakatan untuk
memproklamirkan dan menerapkan ideology developmentalism
(pembangunanisme) pada Negara-negara yang baru merdeka itu. System
151
perekonomian yang digunakan dalam model ini adalah system perekonomian
yang digagas oleh W.W. Rostow dan Sosiologi Strukturalisme Fungsional dari
Talcott Parson.
Indonesia dibawah Soekarno saat itu sama sekali tidak tertarik dengan
ideology developmentalisme yang ditelorkan oleh Presiden Amerika Serikat dan
Pakar dari MIT. Indonesia lebih memilih untuk membangun perekonomiannya
sendiri dibawah kekuatan sendiri, karena Soekarno meyakini bahwa Indonesia
akan mampu menjadi macan Asia dengan kekayaan alam yang dimilikinya.
Soekrano menerapkan system ekonomi benteng yang mencoba membentengi diri
dari pengaruh ideology developmentalisme kapitalis.
Namun apa yang diperjuangkan oleh Soekarno yang tidak bosan-
bosannya menyerukan untuk menjalankan system perekonomian dan system
berpolitik yang berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) kemudian runtuh pada
pertengahan decade 60an. PKI, yang tentunya disetting oleh Amerika Serikat,
berhasil menggulingkan Soekarno dan mengantarkan Soeharto menjadi Presiden
kedua Republik Indonesia. Sebagai konsekuensi atas Soeharto menjadi presiden,
maka Soeharto harus menerapkan system ekonomi developmentaisme yang telah
diperbaharui oleh W.W. Rostov dan Talcott Parson pada tahun 1960.
Soeharto menjadi presiden menandakan kemenangan kapitalisme di
Indonesia. Indonesia harus mengikuti apa yang di ‘wejangkan’ oleh Amerika
Serikat dengan menetapkan sosiologi ala Strukuralisme Fungsional Talcott
Parson dan system ekonomi pertumbuhan yang dikembangkan oleh W.W.
Rostov. Rekayasa sosial bertujuan untuk menyingkirkan kelompok-kelompok
152
tradisional dan menerapkan system sosial yang modern. Selama 32 tahun
dibawah pemerintahan Soeharto dan dibawah kuasa Amerika Indonesia
mengalami kemajuan pesat di bidang ekonomi mikro dan pembangunan. Namun
disisi lain, kebobrokkan Indonesia terlihat sangat jelas, apalagi setelah
terbongkarnya ‘dosa-dosa besar’ Soeharto pada akhir decade 90an.
Terlepas dari semua itu, Indonesia sebagai bagian dari percaturan
politik internasional menyisakan satu persoalan. Persoalan yang sesungguhnya
sangat krusial namun kita sendiri terkadang meremehkannya. Ini semua karena
kita tidak atau kurang kritis dalam memandang pengaruh konstelasi geopolitik
terhadap perkembangan Islam di Indonesia.
Titik persolan yang sebenarnya adalah berkembangnya budaya Barat,
berupa kapitalisme dengan segala kemasannya seperti Globalisasi, Free Trade,
Popular Culture dan sebagainya mengancam keberlangsungan Islam dalam
menatap masa depan baru bagi Islam itu sendiri. Penyerangan berupa serbuan
terhadap peradaban Islam melalui kemasan budaya popular semacam ini sudah
marak dilakukan oleh karena itu, semua ini butuh kewaspadaan kolektif.
Jika dibiarkan, maka kondisi Islam di Indonesia, khususnya di
Indonesia akan mengalami penurunan religiusitasnya secara drastic. Dan ini
sangat memperihatinkan dan menjadi tanggung jawab kita bersama untuk,
bagaimana kita mampu menyelesaikan persoalan semacam ini dalam bingkai
Islam Indonesia yang lebih komunikatif dan lebih efektif efesien dalam
menjawab tantangan budaya popular dengan produk-produk konsumtif yang
cenderung hedonistis.
153
Penyadaran kolektif ini seharusnya menjadi pijakan awal untuk dapat
menyatukan pandangan tentang budaya Barat yang menggigit Islam. Dari siniah
kemudian dapat ditentukan ke arah mana Islam membawa langkahnya untuk
menjadi antitesis terhadap perkembangan kapitalisme yang menghancurkan
dunia. Intinya, pasca penyadaran public dapat segera terjadi revolusi total
disegala bidang kehidupan.
Revolusi merupakan sebuah kekuatan yang dibangun oleh rakyat untuk
rakyat dan dari kekuatan rakyat. Seperti yang pernah di sampaikan oleh Che
Guevara dalam sebuah pidatonya :
“Revolusi sebagaimana yang kita alami sekarang ini, adalah sebuah revolusi yang
dilakukan oleh rakyat dan untuk rakyat, sebuah revolusi yang tidak akan dapat
dicapai kecuali dengan pengerahan seluruh kekuatan massa, dan oleh massa. Ketika
megambil langkah-langkah ini, dengan penuh semangat kita harus memahami betul
proses revolusionernya, terutama sekali kita harus tahu berul mengapa kita perlu
mengambil langkah itu dan kita melakukannya dengan hati senang. Yang terpenting
adalah, dalam setiap momen pengorbanan, kita sadar mengapa kita melakukan
pengorbanan itu, karena jalan yang kita bangunmenuju industrialisasi adalah jalan
menuju kesejahteraan bersama dalam kerangka ekonomi dan bukanlah jalan yang
mudah untuk ditempuh. Inilah jalan yang maha sulit …”41
Untuk menambah keyakinan kita dalam melakukan perubahan ini,
marilah kita pegang ayat ini untuk memacu semangat kita:
41 Che Guevara, 2004, Che Guevara Speaks: Selected Speeches and Writtings, Penerj. Fuad & Gafna, Diglossia Media, Surabaya
154
Dan Katakanlah: "Yang benar Telah datang dan yang batil Telah lenyap".
Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.42
Dan satu hal lagi, bahwa kepercayaan terhadap kemenangan kita telah
digariskan oleh Allah dalam Al Qur’an:
Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan itu telah datang, Dan
kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, Maka
bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.
Sesungguhnya dia adalah Maha Penerima taubat.43
.
42 Surat Al Isra [17] ayat 81 43
4
Surat An Nasr [110] ayat 1-3
155
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta
Abdullah, M. Amin, 2004, Study Agama, Normativitas atau Historisitas,
Pustaka Pelajar, Jogjakarta
Albana, Jamal, 2005, Al Jihad, Dar al-Fikr al Islam, penerj. Kamran A. Irsyadi,
Pilar Media, Jogjakarta
Enginer, Asghar Ali, 2004, Islam Masa Kini, Penerjemah, Tim FORSTUSIDA,
Pustaka Pelajar, Jogjakarta
_________________, 2007, Islam and Relevance to Our Age, Penerj. Hairus
Salim dkk, LKiS Jogjakarta
Giddens, Anthony, 2000, The Third Ways, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Guevara, Che, 2004, Che Guevara Speaks: Selected Speeches and Writtings,
Penerj. Fuad & Gafna, Diglossia Media, Surabaya
Hanafi, Hassan, 2007, Dirasat Islamiyah, Penerj. Miftah Faqih, LKiS, Jogjakarta
Huntington, Samuel P., 2001, The Clash of Civilization, and the Remaking
New Order, Mitra Pustaka, Jogjakarta
PC PMII Purworejo, Makalah ini disajikan dalam Pelatihan Kader Dasar (PKD)
PMII Cabang Pureworejo 19-23 Desember 2006
Raharjo, M. Dawam, e.d, 1997, Reformasi Politik: Dinamika Politik Nasional
dalam Arus Politik Global, PT. Intermasa, Jakarta
156
Shimogaki, Kazuo, 2001, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought:
A Critical Reading, Penerjemah, M. Jadul Maula, LKiS, Jogjakarta
Supono, Eusta, 2007, Agama Solusi atau Ilusi, Kritik atas Kritik Agama Karl
Marx, Komunitas Studi Didaktika, Jogjakarta
Turner, Bryan S., 2005, Weber and Islam, penerjemah; Mudhofier Abdullah,
Suluh Press Jogjakarta
Wahid, Hasyim, dkk, 1999, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah
Kebangsaan Indonesia, LKiS, Jogjakarta
Zahrotien, Abaz, Kiri Islam vis a vis Peradaban Barat,
http://abazzahra.blogspot.com , browsing at. 17.00 pm, may, 10th. 2007.
157
Biodata Penulis
Nama : Abaz Zahrotien
TTL : Banjarnegara, 28 Juli 1985
Alamat : Jl. Pasar Manis, No. 07, Punggelan, Banjarnegara
Domisili : Base Camp PC. PMII Wonosobo, Kalibeber, Wonosobo
Telephone : +6281 227 057 954
E-Mail : [email protected]
Website : http://www.friendster.com/abazzahra & abazzahra.blogspot.com
Pekerjaan : Mahasiswa
Hobby : Nongkrong di Perpusda, Begadang di Warnet dan bertani
Organisasi :
1. Direktur LPM SQ Unsiq.
2. Menteri Penelitian dan Pengembangan Badan Eksekutif Mahasiswa.
3. Koordinator Lembaga Pers dan Jurnalistik PC PMII Wonosobo.
4. Pamong Praja Teater BanyuDahsyat.
5. Senat Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi Unsiq.
6. Sekjen PC PMII Wonosobo.
7. Ketua II PC PMII Wonosobo
8. Pengurus PPTQ Al Asy’ariyyah.
Pendidikan :
1. SDN Karangsari I, Punggelan Banjarnegara.
2. SLTP N I Pekuncen, Banyumas.
3. SMK N I Bawang, Banjarnegara (Drop Out).
4. SMK Takhassus Al Qur’an Wonosobo.
5. Fakultas Dakwah dan Komunikasi Unsiq.
Pengalaman Pers :
1. Majalah Multazam PPTQ Al Asy’ariyyah.
2. Bulletin Kyai Mojo, PC. PMII Wonosobo.
3. Majalah SQ Unsiq.
4. Artikel lepas di media massa.
5. Ikatan Penulis Muslim Wonosobo.
158