Upload
buianh
View
244
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
18
konsentrasi yang memberikan skor kesukaan tertinggi untuk setiap panelis juga
dibandingkan antar gender dengan uji-t. Uji statistik menggunakan program SPSS
20.
Korelasi Ambang Sensori dan Preferensi
Hubungan antara ambang sensori dengan preferensi masing-masing rasa
dasar dianalisis dengan korelasi Pearson menggunakan SPSS 20, sehingga
diperoleh keeratan korelasi dengan pola kecenderungan meningkat atau menurun.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Pendahuluan
Tahap penelitian pendahuluan meliputi penentuan konsentrasi untuk setiap
senyawa rasa dasar pada uji ambang sensori serta persiapan untuk pengujian
preferensi, dengan hasil sebagai berikut.
Penentuan Seri Konsentrasi Sampel untuk Pengujian Ambang Sensori
Pengujian ambang sensori pada penelitian sebelumnya dilakukan dengan
metode yang masih dalam pengembangan, yaitu 2-AFC (Alternative Forced
Choice) (tidak dipublikasi). Pengolahan data dilakukan dengan metode BET. Seri
konsentrasi yang digunakan pada pengujian ambang sensori tersebut disajikan
pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3 Seri konsentrasi pengujian ambang sensori sebelumnya
Nomor
Konsentrasi
Konsentrasi (mM)
Sukrosa Kafein NaCl
1 0.453 0.052 0.313
2 0.906 0.103 0.625
3 1.813 0.206 1.250
4 3.625 0.413 2.500
5 7.250 0.825 5.000
6 14.500 1.650 10.000
Contoh perhitungan BET (ambang sensori) panelis untuk rasa manis sukrosa
adalah sebagai berikut:
)()( . xxmeanGeo
906.0*453.0
= 0.641
Dari jumlah panelis dengan ambang sensori tertentu, disusun grafik untuk
menentukan ketepatan seri konsentrasi yang digunakan untuk pengujian. Berikut
adalah grafik jumlah panelis dengan geo-mean tertentu untuk rasa manis sukrosa
(Gambar 4).
19
A B
Gambar 4 Grafik jumlah panelis dengan geo-mean tertentu untuk senyawa
sukrosa: Ulangan 1 (A) dan Ulangan 2 (B)
Gambar 4 menunjukkan bahwa jumlah panelis dengan geo-mean tertentu
untuk senyawa sukrosa pada Ulangan 1 dan Ulangan 2 memiliki kecenderungan
pola grafik yang sama. Nilai BET grup juga tidak terpaut jauh, menunjukkan
keterulangan yang baik. Namun pola grafik yang belum mengikuti kurva normal
menandakan bahwa konsentrasi yang digunakan belum merepresentasikan
kemampuan deteksi ambang sensori panelis secara baik. Terlihat pada Gambar 4
bahwa geo-mean tertinggi (20.506 mM) masih memiliki jumlah yang tinggi. Hal
tersebut sesuai dengan hasil pengujian yaitu masih terdapat sebagian panelis yang
menjawab salah pada konsentrasi tertinggi. Mengacu pada ASTM (2011), seri
konsentrasi yang digunakan pada pengujian ambang sensori hendaknya meliputi
konsentrasi terendah yang dapat dijawab benar oleh panelis yang sensitif, hingga
konsentrasi tertinggi yang memberikan jawaban benar dari semua panelis.
Berdasarkan ketentuan ASTM (2011) serta hasil pengolahan data yang diperoleh,
seri konsentrasi yang digunakan untuk pengujian ambang sensori rasa manis
dengan senyawa rasa dasar sukrosa) meliputi satu seri konsentrasi lebih tinggi.
Pengolahan data untuk rasa pahit dengan senyawa rasa dasar kafein serta
rasa asin dengan senyawa rasa dasar NaCl menghasilkan grafik sebagai berikut
(Gambar 5 dan Gambar 6).
A B
Gambar 5 Grafik jumlah panelis dengan geo-mean tertentu untuk senyawa kafein:
Ulangan 1 (A) dan Ulangan 2 (B)
BETg = 4.333 mM BETg = 4.456 mM
BETg = 0.258 mM BETg = 0.239 mM
20
A B
Gambar 6 Grafik jumlah panelis dengan geo-mean tertentu untuk senyawa NaCl:
Ulangan 1 (A) dan Ulangan 2 (B)
Pengujian ambang sensori rasa pahit dengan senyawa rasa dasar kafein pada
penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang berbeda pada Ulangan 1 dan 2.
Gambar 5 menunjukkan bahwa pola grafik geo-mean Ulangan 1 mendekati kurva
normal, namun tidak demikian dengan ulangan 2. BET grup kedua ulangan
tersebut menunjukkan keterulangan yang cukup baik (0.258 mM untuk Ulangan 1
dan 0.239 untuk Ulangan 2). Tingginya jumlah panelis pada geo-mean terendah
(0.037 mM) dapat disebabkan tingginya probabilitas jawaban benar, yaitu 50%,
sebab metode yang digunakan adalah 2-AFC. Pola grafik yang cukup baik
mengindikasikan seri konsentrasi yang digunakan sudah tepat, maka seri
konsentrasi yang digunakan untuk kafein pada pengujian ambang sensori
penelitian ini mengacu pada seri konsentrasi tersebut tanpa ada perubahan.
Grafik jumlah panelis dengan geo-mean tertentu untuk senyawa NaCl pada
Gambar 6 menunjukkan pola yang telah mendekati normal. Meski demikian, BET
grup pada ulangan 1 dan 2 terpaut jauh (0.897 mM untuk Ulangan 1 dan 1.003
mM untuk Ulangan 2). Terdapat kemungkinan panelis mengalami kejenuhan
akibat penyajian sampel dalam jumlah banyak untuk sekali pengujian, sehingga
BET grup mengalami peningkatan cukup tinggi dari Ulangan 1 ke Ulangan 2.
Metode yang digunakan pada penelitian ambang sensori ini berbeda dengan
metode yang digunakan sebelumnya. Oleh karena itu, mengacu pada pola grafik
geo-mean yang telah mendekati normal, digunakan seri konsentrasi NaCl yang
tepat sama.
Berdasarkan hasil pengolahan data grafik geo-mean penelitian sebelumnya,
ditentukan seri konsentrasi yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut
(Tabel 4).
Tabel 4 Seri konsentrasi pengujian ambang sensori
Nomor
Konsentrasi
Konsentrasi (mM)
Sukrosa Kafein NaCl
1 0.906 0.052 0.313
2 1.813 0.103 0.625
3 3.625 0.206 1.250
4 7.250 0.413 2.500
5 14.500 0.825 5.000
6 29.000 1.650 10.000
BETg = 0.897 mM BETg = 1.003 mM
21
Persiapan Pengujian Preferensi
Standard Operational Procedure yang telah ditentukan untuk penyiapan
sampel teh, kopi, dan sup adalah sebagai berikut.
a. SOP penyiapan sampel teh
1) Sediakan air mendidih sejumlah 200 ml
2) Tempatkan teh celup ke dalam gelas piala
3) Tuangkan air ke dalam gelas piala (kantung teh celup tersiram
langsung)
4) Diamkan selama 5 menit
5) Angkat dan celupkan kembali kantung teh sebanyak 5 kali
6) Tuangkan gula pasir, aduk hingga larut
7) Dinginkan sampel hingga mencapai suhu 50oC sebelum dituangkan
ke dalam cup saji
8) Bungkus cup saji dengan aluminium foil, tempelkan kode dan
berikan sedotan.
b. SOP penyiapan sampel kopi
1) Tempatkan air mendidih sejumlah 150 ml ke dalam gelas piala
2) Tuangkan bubuk kopi ke dalam gelas piala, aduk hingga larut
3) Tuangkan krimer ke dalam gelas piala, aduk hingga larut
4) Tuangkan gula pasir ke dalam gelas piala, aduk hingga larut
5) Dinginkan sampel hingga mencapai suhu 50oC sebelum dituangkan
ke dalam cup saji
6) Bungkus cup saji dengan aluminium foil, tempelkan kode dan
berikan sedotan.
c. SOP penyiapan sampel sup sayuran
1) Bahan-bahan yaitu wortel dan kentang terlebih dahulu dikupas.
Wortel, kentang, daun bawang, dan seledri dicuci dan dipotong
kecil, kemudian ditimbang sesuai resep
2) Rebus sejumlah air (sesuai resep) hingga mendidih
3) Masukkan wortel, rebus sampai setengah matang
4) Masukkan kentang, daun bawang, dan seledri, rebus hingga matang
5) Saring sayur-sayuran dan sisihkan
6) Tuangkan larutan sup sejumlah yang telah ditentukan ke dalam
gelas piala
7) Tuangkan bubuk bawang putih, aduk hingga larut
8) Tuangkan bubuk lada putih, aduk hingga larut
9) Tuangkan garam, aduk hingga larut
10) Dinginkan sampel hingga mencapai suhu 50oC sebelum dituangkan
ke dalam cup saji
11) Bungkus cup saji dengan aluminium foil, tempelkan kode dan
berikan sedotan.
Jumlah bahan yang dibutuhkan untuk pembuatan sup adalah sebagai berikut
(Tabel 5).
22
Tabel 5 Jumlah bahan untuk pembuatan sup sayuran
No Bahan 6 Resep (untuk 30 orang)
1 Wortel 300 g
2 Kentang 600 g
3 Daun bawang 30 g
4 Seledri 12 g
5 Air 4000 ml
Minuman kopi diformulasikan dengan seri konsentrasi kopi (jumlah kopi
yang dicampurkan) berbeda-beda, namun konsentrasi gula dan krimer tetap sama.
Jumlah gula dan krimer minuman kopi sejumlah 150 ml berturut-turut ditetapkan
12.5 g dan 3.0 g. Larutan sup untuk pengujian preferensi diformulasikan dengan
seri konsentrasi garam yang berbeda-beda, dengan konsentrasi bawang putih
bubuk dan lada bubuk yang sama, yaitu 0.2 g dan 0.1 g untuk 200 ml larutan.
Konsentrasi senyawa rasa dasar dalam matriks pangan ditentukan dengan
menghitung persentase senyawa rasa dasar (dalam gram) yang ditambahkan ke
dalam matriks pangan dengan volume 100 ml, sesuai dengan metode penyiapan
yang umum dilakukan. Seri konsentrasi senyawa rasa dasar dalam teh, kopi, dan
sup disajikan pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6 Seri konsentrasi pengujian preferensi
Nomor
Konsentrasi
Konsentrasi (g/100 ml)
Gula pasir dalam
minuman teh
Bubuk kopi dalam
minuman kopi
Garam dalam
larutan sup
1 2.500 1.000 0.375
2 5.000 1.167 0.500
3 7.500 1.330 0.612
4 10.000 1.500 0.750
5 12.500 1.667 0.875
6 15.000 1.833 1.000
Focus Group Discussion
FGD untuk penentuan sampel pengujian preferensi dilakukan selama 1 jam,
melibatkan perwakilan masing-masing suku, yaitu 3 panelis suku Jawa, 3 panelis
suku Minang, dan 2 panelis Nusa Tenggara, dengan total 8 panelis. Panelis yang
dipilih untuk menjadi perwakilan sukunya adalah yang terlihat bekerja sama
dengan baik serta tidak ragu bertanya atau menyatakan pendapat selama tahapan
rekrutmen panelis. Tiga sesi diskusi dilaksanakan untuk menilai sampel kopi, sup,
dan teh. Dari enam seri konsentrasi pada masing-masing sampel, dipilih sampel
dengan konsentrasi terendah, tertinggi, dan pertengahan. Sampel disajikan dalam
gelas kaca berwarna hitam untuk menghindari penilaian pada warna sampel.
Penyajian sampel dilakukan secara acak untuk menghindari bias panelis ketika
memperoleh sampel dengan intensitas konsentrasi yang jelas meningkat atau
menurun. Dokumentasi pelaksanaan FGD terdapat pada Lampiran 10 (halaman
100).
Hasil diskusi untuk sampel kopi menunjukkan bahwa panelis dari ketiga
suku tersebut cenderung menyukai minuman kopi dengan rasa pahit yang tidak
23
dominan. Meski demikian, panelis ketiga suku juga tidak terlalu menyukai
minuman kopi yang terlalu manis. Panelis Nusa Tenggara menyatakan belum
terbiasa mengonsumsi kopi dengan rasa gurih. Rasa gurih tersebut diduga berasal
dari krimer yang digunakan dalam formulasi. Panelis suku Jawa cenderung
menyukai kopi yang lebih manis, panelis suku Minang cenderung menyukai kopi
yang lebih pahit, sedangkan panelis Nusa Tenggara cenderung menyukai kopi
dengan formulasi sedang. Seri konsentrasi kopi yang ditetapkan telah
merepresentasikan preferensi panelis ketiga suku, namun penyesuaian berupa
pengecilan rentang konsentrasi dilakukan agar minuman kopi yang disajikan tidak
terlalu manis dan tidak terlalu pahit.
Sampel kedua yang dinilai oleh panelis adalah sup. Hasil FGD
menunjukkan bahwa panelis suku Jawa cenderung lebih menyukai sup dengan
konsentrasi garam sedang, sedangkan panelis suku Minang cenderung lebih
menyukai sup dengan konsentrasi garam tinggi. Panelis memiliki kesukaan
terhadap intensitas lada yang berbeda-beda secara individu, tidak ditentukan oleh
asal sukunya. Panelis Nusa Tenggara menyukai sup dengan konsentrasi garam
sedang hingga tinggi. Catatan respon panelis yang unik adalah kurangnya rasa
gurih pada sup. Panelis diberikan penjelasan bahwa formulasi sup untuk
pengujian memang tidak menggunakan daging atau kaldu, untuk menghindari
interaksi rasa gurih dengan asin yang dapat mengakibatkan bias saat penilaian.
Berdasarkan hasil diskusi, ditetapkan bahwa seri konsentrasi yang digunakan saat
pengujian preferensi dinaikkan satu seri.
Hasil FGD sampel teh menunjukkan bahwa teh dengan konsentrasi gula
tinggi disukai oleh panelis suku Jawa, sedangkan panelis suku Minang dan Nusa
Tenggara berpendapat bahwa sampel tersebut terlalu manis. Semua panelis
berpendapat sama mengenai sampel dengan konsentrasi gula terendah, yaitu rasa
manis tidak terasa. Sampel ketiga dengan konsentrasi gula sedang disukai oleh
semua panelis, namun dengan catatan teh kurang kental. Secara keseluruhan,
panelis ketiga suku cenderung menyukai teh dengan konsentrasi gula sedang
hingga tinggi. Seri konsentrasi yang telah ditetapkan telah sesuai dengan
preferensi panelis sehingga tidak dilakukan perubahan.
Berdasarkan hasil FGD, seri konsentrasi yang digunakan pada pengujian
preferensi adalah sebagai berikut (Tabel 7).
Tabel 7 Seri konsentrasi pengujian preferensi berdasarkan hasil FGD
Nomor
Konsentrasi
Konsentrasi (g/100 ml)
Gula pasir dalam
minuman teh
Bubuk kopi dalam
minuman kopi
Garam dalam
larutan sup
1 2.500 1.067 0.500
2 5.000 1.200 0.612
3 7.500 1.333 0.750
4 10.000 1.467 0.875
5 12.500 1.600 1.000
6 15.000 1.733 1.125
24
Identifikasi Cita Rasa Dominan pada Makanan dan Minuman Khas dari
Tiga Suku di Indonesia
Sebagian hasil pendataan disajikan pada Tabel 8, 9, dan 10 (selengkapnya
pada Lampiran 8, halaman 58). Dari pendataan yang dilakukan, teridentifikasi
makanan khas sejumlah 54 jenis dari suku Minang, 78 jenis dari suku Jawa, dan
91 jenis dari Nusa Tenggara. Minuman khas teridentifikasi sejumlah 44 jenis dari
suku Minang, 44 jenis dari suku Jawa, dan 37 jenis dari Nusa Tenggara.
Tabel 8 Beberapa makanan dan minuman khas Sumatera Barat (Suku Minang)
Frekuensi Nama Makanan/minuman Cita Rasa Dominan
30 Rendang gurih, pedas, manis
15 Galamai / kalamai manis
13 Keripik balado pedas, manis
8 Lemang manis, asin
7 Keripik sanjai asin, gurih, pedas
6 Dendeng balado gurih, pedas
5 Dendeng gurih
18 Teh telur / teh talua manis, pahit
10 Teh manis
10 Kopi manis, pahit
10 Air aka manis, asin, gurih
8 Kelapa muda manis
7 Kawa daun kopi pahit
7 Kawa daun manis
Tabel 9 Beberapa makanan dan minuman khas Jawa Tengah (Suku Jawa)
Frekuensi Nama Makanan/minuman Cita Rasa Dominan
14 Nasi megono asin, gurih
7 Emping asin
7 Kluban asin, gurih
6 Lanting / kriyik gurih
6 Sayur asam asam
5 Sayur bening / tegean asin, gurih
4 Gethuk lindri manis
21 Wedang ronde manis
11 Wedang jahe pedas, segar, manis
11 Es dawet / dawet ireng manis
8 Teh manis
8 Kopi tahlil manis
7 Kopi hangat pahit, manis
5 Kopi susu manis
25
Tabel 10 Beberapa makanan dan minuman khas Nusa Tenggara
Frekuensi Nama Makanan/minuman Cita Rasa Dominan
6 Jagung bose manis, pahit
6 Plecing pedas, asin
5 Singang manis, asin, gurih, asam
4 Jagung titi gurih
4 RW asin, pedas
4 Sepat gurih, asin, asam
3 Pelopo manis
10 Kopi manis, pahit
10 Tuak manis, asam
7 Teh manis
4 Sopi / sofi pahit
4 Air kelapa manis
4 Air blo' manis
4 Kopi beras (ai kawa) manis, pahit
Hasil pengolahan data cita rasa dominan pada makanan dan minuman khas
ketiga suku disajikan pada Gambar 7 dan 8.
Gambar 7 Grafik cita rasa dominan pada makanan khas tiga suku di Indonesia
Gambar 7 menunjukkan bahwa secara keseluruhan rasa gurih dan manis
berkontribusi cukup besar pada makanan khas ketiga suku tersebut, meski dengan
persentase yang berbeda-beda. Cita rasa gurih berada dalam kisaran 42-60%,
sedangkan cita rasa manis berada dalam kisaran 37-57%. Cita rasa gurih paling
dominan terdapat pada makanan khas suku Minang (59.26%). Kontribusi rasa
manis pada makanan khas Nusa Tenggara (56.84%) lebih besar dibandingkan
dengan makanan khas Jawa (48.72%). Kekhasan makanan suku Minang terdapat
pada cita rasa pedas yang cukup dominan (33.33%), yang tidak ditemukan dalam
jumlah cukup besar pada dua suku lainnya yaitu Jawa dan Nusa Tenggara. Hal
tersebut sesuai dengan penelitian Ariyani (2013) yang menyatakan bahwa suku
Minang cenderung menyukai makanan atau masakan yang pedas. Rasa asin dan
26
asam dalam makanan khas tidak jauh berbeda antara tiga suku tersebut. Selain itu,
rasa pahit teridentifikasi pada makanan khas Jawa dan Nusa Tenggara, sedangkan
makanan khas Minang tidak satu pun teridentifikasi memiliki rasa dominan pahit.
Gambar 8 Grafik cita rasa dominan pada minuman khas tiga suku di Indonesia
Pada Gambar 8 terlihat bahwa minuman khas atau yang biasa dikonsumsi
ketiga suku tersebut memiliki cita rasa dominan manis, dengan persentase jauh
lebih tinggi dibandingkan cita rasa lainnya. Kekhasan minuman Nusa Tenggara
adalah memiliki cita rasa pahit yang dominan (27.03%) di samping rasa manis.
Rasa pahit juga teridentifikasi pada minuman khas Jawa, namun dengan
persentase tidak terlalu besar (18.18%). Pada minuman khas Jawa tidak terdapat
satu jenis pun yang memiliki cita rasa dominan asin atau gurih. Makanan dan
minuman khas Nusa Tenggara paling kaya akan cita rasa, sebab semua cita rasa
berkontribusi terhadap rasa dominan.
Ambang Sensori Tiga Suku di Indonesia
Hasil pengolahan data pengujian ambang sensori dibahas dalam sub-subbab
berikut.
Ambang Sensori Rasa Manis (Senyawa Sukrosa)
Pengolahan data ambang sensori rasa manis dengan senyawa rasa dasar
sukrosa pada masing-masing suku memberikan hasil yang disajikan pada Gambar
9. Jika dirata-ratakan pada setiap suku, ambang sensori atau BETgrup rasa manis
tertinggi dimiliki panelis suku Minang, yaitu 8.139 mM. Hal tersebut sesuai
dengan Gambar 9A yang menunjukkan bahwa masih terdapat panelis Minang
pada geo-mean tertinggi seri konsentrasi yang digunakan (41.012 mM), sementara
tidak terdapat panelis suku Jawa dan Nusa Tenggara pada geo-mean tersebut.
Sebanyak 60% panelis suku Minang memiliki ambang sensori rasa manis lebih
tinggi dari BETg, sedangkan 40% panelis memiliki ambang sensori lebih rendah
dari BETg.
27
A B
C
Gambar 9 Grafik jumlah panelis dengan ambang sensori tertentu untuk rasa
manis pada suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C)
Suku Jawa memiliki ambang sensori 6.610 mM, lebih rendah dari suku
Minang. Pola grafik ambang sensori rasa pada Gambar 9B menunjukkan pola
yang paling mendekati kurva normal dibandingkan dua suku lainnya. Distribusi
frekuensi yang mendekati pola bentuk lonceng (kurva normal) menandakan
representasi yang baik dari ambang sensori grup (Meilgaard et al. 2007).
Sebanyak 12 panelis (40%) memiliki ambang sensori rasa manis pada konsentrasi
10.253 mM sukrosa. Frekuensi panelis suku Jawa dengan ambang sensori rasa
manis lebih tinggi dan lebih rendah dari BETg masing-masing sebesar 53% dan
47%.
Panelis dengan ambang sensori rasa manis terendah adalah panelis Nusa
Tenggara, yaitu 4.070 mM. Gambar 9C menunjukkan bahwa ambang sensori rasa
manis panelis Nusa Tenggara tersebar merata pada konsentrasi 1.282, 2.564,
5.127, dan 10.253 mM sukrosa, masing-masing sebanyak enam panelis. Sama
seperti suku Jawa, frekuensi panelis dengan ambang sensori rasa manis lebih
tinggi dan lebih rendah dari BETg masing-masing sebesar 53% dan 47%.
Frekuensi panelis dengan ambang sensori rasa manis yang mendekati BETg pada
ketiga suku menunjukkan bahwa pengukuran ambang sensori lebih mendekati
ambang deteksi, yang mensyaratkan 50% panelis memberikan jawaban benar.
Ambang deteksi adalah konsentrasi terendah dari suatu senyawa dalam medium
tertentu yang terdeteksi memberikan stimulus terhadap panelis (ASTM 2011).
Pengolahan data ambang sensori rasa manis dengan senyawa rasa dasar
sukrosa pada tiga suku di Indonesia memberikan hasil sebagai berikut (Gambar
10).
BETg = 8.139 mM
BETg = 4.070 mM
BETg = 6.610 mM
28
Gambar 10 Ambang sensori rasa manis tiga suku di Indonesia
Gambar 10 menunjukkan adanya perbedaan ambang sensori rasa manis
pada tiga suku di Indonesia. Rata-rata ambang sensori seluruh panelis adalah
6.027 mM sukrosa. Populasi dengan ambang sensori rasa manis tertinggi adalah
panelis laki-laki suku Jawa (9.678 mM). Tingginya ambang sensori rasa manis
tersebut mungkin berkaitan dengan hasil penelitian Ariyani (2013) bahwa orang
Jawa cenderung menyukai makanan dengan rasa manis. Terlihat perbedaan
ambang sensori yang cukup jauh pada panelis laki-laki dan perempuan suku Jawa,
dengan ambang sensori rasa manis panelis perempuan adalah 5.127 mM. Panelis
laki-laki Nusa Tenggara memiliki ambang sensori rasa manis 4.839 mM,
sedangkan panelis perempuan dari Nusa Tenggara memiliki ambang sensori lebih
rendah, yaitu 3.626 mM. Panelis laki-laki dan perempuan suku Minang memiliki
ambang sensori yang tidak jauh berbeda, yaitu 7.682 mM dan 8.458 mM.
Secara keseluruhan, populasi yang memiliki ambang sensori rasa manis
lebih tinggi dari rata-rata seluruh panelis adalah panelis suku Minang (laki-laki
dan perempuan) serta panelis laki-laki suku Jawa. Populasi lainnya, yaitu panelis
perempuan suku Jawa serta panelis Nusa Tenggara (laki-laki dan perempuan)
memiliki ambang sensori rasa manis lebih rendah dari rata-rata seluruh panelis.
Populasi dengan ambang sensori rasa manis paling rendah, yaitu yang paling
sensitif terhadap rasa manis, adalah panelis perempuan dari Nusa Tenggara.
Analisis data dengan One-way ANOVA menunjukkan terdapat perbedaan
signifikan antara ambang sensori rasa manis pada ketiga suku tersebut (p=0.034).
Uji lanjut Duncan menunjukkan adanya dua subset, yaitu subset 1 (Nusa Tenggara
dan Jawa) serta subset 2 (Jawa dan Minang) (Lampiran 9, halaman 70). Ambang
sensori rasa manis Nusa Tenggara tidak berbeda signifikan dengan suku Jawa,
begitu pula ambang sensori rasa manis suku Jawa tidak berbeda signifikan dengan
suku Minang. Terdapat perbedaan signifikan ambang sensori rasa manis antara
Nusa Tenggara dan Minang.
Selama ini terdapat informasi informal di masyarakat mengenai
kecenderungan suku Jawa terhadap rasa manis, yang didukung hasil penelitian
Ariyani (2013). Identifikasi cita rasa dominan makanan dan minuman khas ketiga
suku menghasilkan rasa manis sebagai salah satu cita rasa dominan tidak hanya
pada suku Jawa, tetapi juga pada dua suku lainnya. Pada penelitian ini identifikasi
cita rasa dominan pada makanan khas tidak disertai intensitas rasanya, sehingga
belum dapat diperkirakan pengaruhnya terhadap ambang sensori.
29
Ambang Sensori Rasa Pahit (Senyawa Kafein)
Pengolahan data ambang sensori rasa pahit dengan senyawa rasa dasar
kafein pada masing-masing suku memberikan hasil yang disajikan pada Gambar
11. Rata-rata ambang sensori rasa pahit tertinggi hingga terendah berturut-turut
dimiliki panelis suku Minang (0.770 mM), suku Jawa (0.703 mM), dan Nusa
Tenggara (0.671 mM). Pada suku Minang (Gambar 11A) dan Nusa Tenggara
(Gambar 11C) masih terdapat panelis pada geo-mean tertinggi yaitu 2.333 mM
kafein. Sebanyak masing-masing 12 panelis (40%) panelis suku Jawa memiliki
ambang sensori rasa pahit pada konsentrasi 0.584 dan 1.167 mM kafein (Gambar
11B). Grafik ambang sensori rasa pahit pada ketiga suku tersebut cukup
mendekati kurva normal, menandakan representasi yang baik dari ambang sensori
grup (Meilgaard et al. 2007).
A B
C
Gambar 11 Grafik jumlah panelis dengan ambang sensori tertentu untuk rasa
pahit pada suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C)
Sebanyak 53% panelis suku Minang memiliki ambang sensori rasa pahit
lebih tinggi dari BETg, sedangkan 47% panelis memiliki ambang sensori lebih
rendah dari BETg. Frekuensi panelis suku Jawa dengan ambang sensori rasa pahit
lebih tinggi dan lebih rendah dari BETg masing-masing sebesar 47% dan 53%.
Pada panelis Nusa Tenggara, frekuensi panelis dengan ambang sensori rasa pahit
lebih tinggi dan lebih rendah dari BETg masing-masing sebesar 40% dan 60%.
Frekuensi panelis dengan ambang sensori rasa pahit yang mendekati BETg pada
ketiga suku menunjukkan bahwa pengukuran ambang sensori lebih mendekati
ambang deteksi, yang mensyaratkan 50% panelis memberikan jawaban benar.
Ambang deteksi adalah konsentrasi terendah dari suatu senyawa dalam medium
tertentu yang terdeteksi memberikan stimulus terhadap panelis (ASTM 2011).
BETg = 0.770 mM
BETg = 0.671 mM
BETg = 0.703 mM
30
Pengolahan data uji ambang sensori rasa pahit dengan senyawa rasa dasar
kafein pada tiga suku di Indonesia memberikan hasil pada Gambar 12 berikut.
Gambar 12 Ambang sensori rasa pahit tiga suku di Indonesia
Ambang sensori seluruh panelis untuk rasa pahit adalah 0.713 mM kafein.
Populasi yang memiliki ambang sensori rasa pahit lebih tinggi dari rata-rata
keseluruhan adalah panelis laki-laki suku Minang (0.825 mM), panelis perempuan
suku Minang (0.735 mM), dan panelis perempuan suku Jawa (0.735 mM). Tiga
populasi lainnya memiliki ambang sensori rasa pahit lebih rendah dari rata-rata,
yaitu panelis laki-laki suku Jawa (0.656 mM), panelis laki-laki Nusa Tenggara
(0.694 mM), dan panelis perempuan Nusa Tenggara (0.655 mM). Panelis yang
paling sensitif terhadap rasa pahit adalah panelis perempuan Nusa Tenggara
karena memiliki ambang sensori terendah, sedangkan yang paling tidak sensitif
adalah panelis laki-laki suku Minang dengan ambang sensori tertinggi.
Tren grafik pada Gambar 12 menunjukkan bahwa secara keseluruhan
ambang sensori rasa pahit setiap populasi tidak jauh berbeda, masih mendekati
rata-rata. Analisis statistik dengan One-way ANOVA memberikan hasil bahwa
tidak terdapat perbedaan signifikan pada ambang sensori rasa pahit ketiga suku
tersebut (Lampiran 9, halaman 70). Dengan demikian, perbedaan suku tidak
berpengaruh signifikan terhadap ambang sensori rasa pahit. Hal tersebut diduga
berkaitan dengan hasil identifikasi berupa rendahnya kontribusi rasa pahit pada
makanan khas ketiga suku, yaitu kurang dari 5%.
Ambang Sensori Rasa Asin (Senyawa NaCl)
Pengolahan data ambang sensori rasa asin dengan senyawa rasa dasar NaCl
pada masing-masing suku memberikan hasil yang disajikan pada Gambar 13.
Perhitungan BET grup memberikan hasil bahwa panelis yang paling sensitif
terhadap rasa asin berasal dari Nusa Tenggara (1.895 mM). Pola grafik pada
Gambar 13C paling mendekati kurva normal. Panelis suku Minang memiliki rata-
rata ambang sensori rasa asin sebesar 1.984 mM, sedangkan panelis suku Jawa
yang paling tidak sensitif terhadap rasa asin memiliki nilai ambang sensori rata-
rata 2.177 mM. Dapat terlihat pula pada Gambar 13B bahwa sebanyak 16 panelis
suku Jawa (53%) memiliki ambang sensori rasa asin sebesar 1.768 mM, serta
tidak terdapat panelis yang memiliki ambang sensori pada geo-mean terendah
yaitu 0.221 mM. Grafik ambang sensori rasa asin pada ketiga suku tersebut cukup
31
mendekati kurva normal, menandakan representasi yang baik dari ambang sensori
grup (Meilgaard et al. 2007).
A B
C
Gambar 13 Grafik jumlah panelis dengan ambang sensori tertentu untuk rasa
asin pada suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C)
Sebanyak 47% panelis suku Minang memiliki ambang sensori rasa asin
lebih tinggi dari BETg, sedangkan 53% panelis memiliki ambang sensori lebih
rendah dari BETg. Frekuensi panelis suku Jawa dengan ambang sensori rasa asin
lebih tinggi dan lebih rendah dari BETg masing-masing sebesar 33% dan 67%.
Pada panelis Nusa Tenggara, frekuensi panelis dengan ambang sensori rasa pahit
lebih tinggi dan lebih rendah dari BETg hampir serupa dengan suku Jawa,
masing-masing sebesar 37% dan 63%. Frekuensi panelis dengan ambang sensori
rasa asin yang mendekati BETg pada ketiga suku menunjukkan bahwa
pengukuran ambang sensori lebih mendekati ambang deteksi, yang mensyaratkan
50% panelis memberikan jawaban benar. Ambang deteksi adalah konsentrasi
terendah dari suatu senyawa dalam medium tertentu yang terdeteksi memberikan
stimulus terhadap panelis (ASTM 2011).
Pengolahan data ambang sensori rasa asin dengan senyawa rasa dasar NaCl
pada tiga suku di Indonesia memberikan hasil yang disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14 menunjukkan nilai ambang sensori rasa asin yang bervariasi. Ambang
sensori seluruh panelis untuk rasa asin adalah 1.982 mM NaCl. Hasil tersebut jauh
lebih rendah dibandingkan dengan ambang sensori rasa asin penduduk Irlandia
berusia 22-56 tahun, yaitu 10.08 mM NaCl (Mitchell et al. 2013). Suku Minang
memiliki ambang sensori rasa asin tertinggi dan terendah pada panelis laki-laki
(3.536 mM) dan perempuan (1.350 mM). Panelis laki-laki Nusa Tenggara serta
panelis laki-laki dan perempuan suku Jawa memiliki ambang sensori rasa asin
yang lebih tinggi dari rata-rata seluruh panelis, yaitu berturut-turut 2.500 mM,
BETg = 1.984 mM BETg = 2.177 mM
BETg = 1.895 mM
32
2.360 mM, dan 2.062 mM. Ambang sensori rasa asin panelis perempuan Nusa
Tenggara lebih rendah dari rata-rata, yaitu 1.575 mM. Analisis statistik dengan
One-way ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan pada
ambang sensori rasa asin ketiga suku tersebut (Lampiran 9, halaman 71).
Gambar 14 Ambang sensori rasa asin tiga suku di Indonesia
Penelitian yang dilakukan oleh Okoro et al. (1998) terhadap panelis usia 9-
17 tahun di Nigeria juga menggunakan senyawa rasa dasar NaCl namun dengan
seri konsentrasi 30, 60, 120, dan 180 mM, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
seri konsentrasi yang digunakan pada penelitian ini. Hasil studi tersebut
menunjukkan bahwa sebanyak 35% panelis tidak mampu mengidentifikasi rasa
asin pada konsentrasi 30 mM. Dinyatakan bahwa nilai ambang sensori tersebut
mungkin berkaitan dengan kebiasaan makan yang mengandung garam tinggi.
Pada penelitian ini, identifikasi cita rasa dominan pada makanan khas memperoleh
hasil bahwa cita rasa asin terdapat pada makanan khas ketiga suku tersebut
dengan persentase yang tidak jauh berbeda, yaitu pada kisaran 22-31%. Hasil
identifikasi tersebut sesuai dengan analisis statistik yang menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan nyata pada ambang sensori rasa asin ketiga suku.
Pengaruh Gender terhadap Ambang Sensori
Perhitungan ambang sensori populasi berdasarkan gender memperoleh hasil
bahwa ambang sensori rasa manis, pahit, dan asin berturut-turut untuk populasi
panelis perempuan adalah 5.397 mM sukrosa, 0.708 mM kafein, dan 1.637 mM
NaCl. Populasi panelis laki-laki memiliki ambang sensori rasa manis, pahit, dan
asin berturut-turut 7.112 mM sukrosa, 0.722 mM kafein, dan 2.753 mM NaCl.
Secara umum, panelis perempuan memiliki ambang sensori lebih rendah (lebih
sensitif) dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut sesuai dengan Gambar 10,
12, dan 14 yang menunjukkan bahwa panelis laki-laki memiliki ambang sensori
lebih tinggi dari panelis perempuan, kecuali ambang sensori rasa manis pada suku
Minang dan ambang sensori rasa pahit pada suku Jawa. Untuk rasa asin (Gambar
14), panelis laki-laki dari ketiga suku menunjukkan nilai ambang sensori yang
lebih tinggi dari panelis perempuan.
Hasil analisis statistik untuk mengetahui signifikansi gender terhadap
ambang sensori secara lengkap terdapat pada Lampiran 9 (halaman 72), dan
secara ringkas disajikan pada Tabel 11 berikut.
33
Tabel 11 Hasil uji-t pengaruh gender terhadap ambang sensori
No Rasa Dasar Nilai p
1 Manis 0.611
2 Pahit 0.450
3 Asin 0.004*
*perbedaan signifikan pada taraf 0.05
Tabel 11 menunjukkan bahwa perbedaan gender tidak memberikan
pengaruh signifikan pada ambang sensori rasa manis dan pahit (nilai p > 0.05),
namun berpengaruh signifikan pada ambang sensori rasa asin (nilai p < 0.05). Uji-
t gender dalam suku memberikan hasil yang serupa, yaitu perbedaan gender
hanya berpengaruh signifikan terhadap ambang sensori rasa asin terutama pada
Suku Minang (Lampiran 9, halaman 81). Hasil tersebut sesuai dengan studi oleh
Mitchell et al. (2013), terdapat perbedaan signifikan antara ambang sensori rasa
asin pada panelis perempuan (8.71 ± 0.69 mM) dan laki-laki (11.88 ± 1.54 mM)
berusia 22 – 56 tahun di Dublin. Studi lainnya oleh Okoro et al. (1998) terhadap
panelis usia 9-17 tahun di Nigeria menyatakan bahwa panelis laki-laki memiliki
ambang sensori rasa asin yang lebih tinggi dibandingkan dengan panelis
perempuan, yang sesuai dengan hasil penelitian ini.
Secara keseluruhan, ambang sensori tiga rasa dasar pada tiga suku di
Indonesia disajikan pada Gambar 15 berikut.
Gambar 15 Ambang sensori tiga rasa dasar pada tiga suku di Indonesia
Terlihat pada Gambar 15 bahwa tiga rasa dasar yaitu manis, pahit, dan asin
membutuhkan konsentrasi stimulus yang berbeda-beda untuk dapat dikenali
(mencapai ambang sensori). Senyawa sukrosa membutuhkan konsentrasi larutan
paling tinggi untuk memberikan sensasi rasa, dengan kisaran 4.070 – 8.139 mM.
Untuk memberikan sensasi rasa asin, dibutuhkan konsentrasi NaCl dengan kisaran
1.895 – 2.177 mM. Dibandingkan dua rasa dasar lainnya, senyawa kafein
membutuhkan konsentrasi stimulus terendah untuk dapat memberikan rasa pahit
yang dapat dikenali, yaitu pada kisaran 0.671 – 0.770 mM. Kisaran terbesar
terdapat pada ambang sensori rasa manis, dengan sensitivitas yang berbeda
antarsuku. Rasa asin dan pahit menunjukkan kisaran yang tidak terlalu besar. Hal
34
tersebut sesuai dengan hasil analisis statistik yang menunjukkan bahwa perbedaan
signifikan hanya terdapat pada ambang sensori rasa manis untuk tiga suku yaitu
Minang, Jawa, dan Nusa Tenggara. Pada penelitian ini, identifikasi cita rasa
dominan dalam makanan dan minuman khas masing-masing suku tidak disertai
intensitas rasa, sehingga belum dapat diprediksi pengaruh kebiasaan makan
terhadap ambang sensori rasa tertentu.
Rata-rata ambang sensori rasa dasar yang diperoleh pada penelitian ini lebih
tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya dengan panelis
mahasiswa domisili Jakarta dan sekitarnya (tidak dipublikasi). Perbedaan metode
yang digunakan dapat menyebabkan perbedaan nilai ambang sensori yang
diperoleh. Metode yang digunakan pada penelitian sebelumnya adalah metode
yang belum terstandar dan masih dalam pengembangan, yaitu metode 2-AFC
(alternative forced choice) dengan penyajian konsentrasi secara acak. Metode 2-
AFC memungkinkan panelis untuk memberikan jawaban benar dengan peluang
lebih besar, yaitu 50%. Gambar 4 hingga Gambar 6 memperlihatkan bahwa grafik
frekuensi geo-mean kurang sesuai dengan kurva normal. Metode yang digunakan
pada penelitian ini, yaitu 3-AFC ascending concentration, memberikan peluang
jawaban benar yang lebih kecil, yaitu 33%. Dengan demikian, jawaban bernilai
benar dari panelis yang diikuti dengan jawaban benar pada semua konsentrasi
lebih tinggi dapat lebih dipastikan sebagai ambang sensori senyawa rasa dasar
yang bersangkutan.
Perbedaan ambang sensori dapat pula diakibatkan adanya ulangan sebanyak
dua kali yang dilakukan pada penelitian sebelumnya, sehingga kemungkinan
jawaban benar lebih besar. Bitnes et al. (2007) menyatakan bahwa usia (ageing),
pengalaman (experience), dan pengulangan pengujian (exposure) berkorelasi
positif terhadap pemberian jawaban yang benar pada identifikasi rasa. Metode
ASTM E679 (2011) yang digunakan pada penelitian ini tidak mensyaratkan
adanya ulangan. Hasil penelitian Kolpin (2008) menyatakan bahwa pengujian
ambang sensori rasa pahit pada asam hop bir dan madu dengan metode ASTM
E679 (tanpa ulangan) memberikan hasil yang tidak berbeda signifikan dengan
metode ASTM 1432 (5-7 kali ulangan), sehingga metode ASTM E679 sudah
cukup valid untuk pengujian.
Preferensi Tiga Suku di Indonesia terhadap Rasa Dasar dalam
Matriks Pangan
Hasil pengolahan data pengujian preferensi disajikan dan dibahas dalam
sub-subbab berikut.
Preferensi Rasa Manis dalam Minuman Teh
Gambar 16 menunjukkan pola preferensi rata-rata tiga suku di Indonesia
terhadap rasa manis dalam minuman teh. Terlihat pada Gambar 16 bahwa panelis
dari ketiga suku memiliki kecenderungan preferensi yang sama untuk rasa manis
dalam minuman teh. Rata-rata panelis memberikan skor kesukaan yang rendah
pada konsentrasi gula terendah (2.5% b/v). Skor yang diberikan semakin tinggi
seiring dengan meningkatnya konsentrasi gula dalam teh. Secara keseluruhan,
skor kesukaan tertinggi diberikan panelis pada teh dengan konsentrasi gula 12.5%.
35
Depkes RI (2000) menyatakan bahwa 8 g gula setara dengan 1 sdm (sendok
makan) ukuran rumah tangga. Jika dikonversi, minuman teh dengan 12.5% gula
setara dengan 200 ml minuman teh yang ditambahkan 3.125 sendok makan gula.
Gambar 16 Preferensi rata-rata tiga suku di Indonesia terhadap rasa manis teh
Gambar 16 menunjukkan perbedaan antarsuku pada konsentrasi gula dalam
teh yang memberikan skor kesukaan tertinggi. Panelis suku Minang memberikan
rata-rata skor penilaian tertinggi (7.60 = sangat suka) pada teh dengan konsentrasi
gula 12.5%. Tingginya preferensi suku Minang terhadap rasa manis dalam
minuman teh diduga berkaitan dengan tingginya ambang sensori rasa manis.
Panelis dari kedua suku lainnya yaitu Nusa Tenggara dan Jawa memberikan rata-
rata skor penilaian tertinggi pada teh dengan konsentrasi gula 10% (Nusa
Tenggara = 7.27 dan Jawa = 7.10, agak suka). Setelah mencapai skor maksimum,
grafik skor kesukaan suku Minang dan Nusa Tenggara masih cenderung tinggi
pada kisaran 7 (agak suka), sedangkan grafik skor kesukaan suku Jawa cenderung
menurun ke kisaran skor 6 (sedikit suka).
Analisis statistik One-way ANOVA dilakukan terhadap konsentrasi yang
memberikan skor kesukaan tertinggi, dengan faktor suku. Diperoleh nilai
signifikansi 0.107, berarti tidak terdapat perbedaan preferensi yang signifikan
antarsuku untuk rasa manis dalam minuman teh (Lampiran 9, halaman 84). Hasil
yang diperoleh tersebut berbeda dengan Ariyani (2013) yang menyatakan bahwa
suku Jawa memiliki kecenderungan menyukai makanan atau masakan dengan cita
rasa manis. Meski demikian, perbedaan preferensi yang tidak signifikan tersebut
sesuai dengan hasil identifikasi cita rasa dominan pada makanan dan minuman
khas dari tiga suku yang diuji, yaitu rasa manis sebagai salah satu cita rasa
dominan pada makanan dan minuman ketiga suku.
Preferensi Rasa Pahit dalam Minuman Kopi
Hasil pengolahan data terhadap skor kesukaan rasa pahit dalam minuman
kopi disajikan pada Gambar 17. Gambar 17 menunjukkan bahwa panelis dari
ketiga suku cenderung menyukai minuman kopi dengan konsentrasi bubuk kopi
yang rendah (rasa minuman kopi agak manis). Skor yang tinggi diberikan pada
minuman kopi dengan konsentrasi bubuk kopi yang rendah, dan skor kesukaan
cenderung menurun dengan semakin tingginya konsentrasi bubuk kopi (semakin
36
pahit). Hal tersebut menunjukkan kecenderungan panelis dari tiga suku di
Indonesia yang menyukai minuman kopi namun tidak menyukai rasa pahit dalam
minuman kopi. Diduga kesukaan terhadap minuman kopi lebih dipengaruhi flavor
kopi. Secara keseluruhan, skor kesukaan tertinggi diberikan panelis pada
konsentrasi 1.07% bubuk kopi dalam minuman kopi. Pada kemasan kopi
komersial yang digunakan, tercantum 2 g bubuk kopi setara dengan 1 sendok teh.
Dengan demikian, minuman kopi dengan skor kesukaan tertinggi (1.07%) setara
dengan bubuk kopi sejumlah 4/5 (0.8) sendok teh yang diseduh dengan 150 ml
air.
Gambar 17 Preferensi rata-rata tiga suku di Indonesia terhadap rasa pahit kopi
Panelis Nusa Tenggara memberikan skor kesukaan tertinggi (7.37 = sangat
suka) pada konsentrasi bubuk kopi 1.07%, setelah itu skor kesukaan berada pada
kisaran 6 (sedikit suka) dan terendah adalah 4.20 (tidak suka) pada konsentrasi
bubuk kopi tertinggi (1.73%). Panelis suku Minang memberikan rata-rata skor
kesukaan tertinggi (6.93 = agak suka) pada konsentrasi bubuk kopi 1.2%. Skor
tersebut tidak berbeda jauh dengan minuman dengan konsentrasi bubuk kopi
1.07%. Sampel minuman kopi dengan konsentrasi bubuk kopi lebih tinggi
memperoleh skor pada kisaran 6.47 (sedikit suka) hingga 4.23 (tidak suka). Skor
kesukaan tertinggi (7.00 = agak suka) diberikan oleh panelis suku Jawa pada
minuman kopi dengan konsentrasi bubuk kopi 1.33%, tertinggi dibandingkan
panelis suku lainnya. Sampel lainnya memperoleh rata-rata skor kesukaan pada
kisaran 6.93 (agak suka) hingga 5.37 (antara suka dan tidak suka). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa suku Jawa cenderung menyukai kopi yang lebih pahit
dibandingkan dengan suku Minang dan Nusa Tenggara.
Hasil analisis statistik One-way ANOVA memberikan nilai signifikansi
0.031, berarti terdapat perbedaan signifikan preferensi rasa pahit dalam minuman
kopi pada tiga suku di Indonesia. Uji lanjut Duncan menunjukkan adanya dua
subset, yaitu 1 (Nusa Tenggara dan Minang) serta 2 (Minang dan Jawa)
(Lampiran 9, halaman 85). Dengan demikian, suku Nusa Tenggara dan Jawa
memiliki preferensi rasa pahit dalam minuman kopi yang berbeda signifikan.
Tidak terdapat perbedaan signifikan dalam preferensi rasa pahit minuman kopi
antara Nusa Tenggara dan suku Minang, begitu pula dengan suku Minang dan
suku Jawa. Jika dibandingkan dengan hasil uji ambang sensori, diduga tidak
37
terdapat keterkaitan antara sensitivitas terhadap rasa pahit dengan preferensinya
dalam matriks pangan.
Preferensi Rasa Asin dalam Sup
Hasil pengolahan data skor kesukaan yang diberikan panelis terhadap rasa
asin dalam sup disajikan pada Gambar 18 berikut.
Gambar 18 Preferensi rata-rata tiga suku di Indonesia terhadap rasa asin sup
Terlihat adanya variasi pemberian skor kesukaan terhadap rasa asin dalam
matriks larutan sup pada Gambar 18. Panelis Nusa Tenggara cenderung
memberikan skor kesukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan panelis suku
lainnya, pada konsentrasi garam yang sama dalam sup. Skor kesukaan tertinggi
(5.83 = sedikit suka) diberikan panelis Nusa Tenggara pada sup dengan
konsentrasi garam tertinggi yaitu 1.125%. Pada konsentrasi lainnya, skor
diberikan pada kisaran 4.10 – 5.33 (antara suka dan tidak suka). Sama seperti
panelis Nusa Tenggara, panelis Jawa memberikan skor kesukaan tertinggi pada
sup dengan konsentrasi garam tertinggi yaitu 1.125%, dengan skor 5.20 (antara
suka dan tidak suka). Berbeda dengan dua suku lainnya, panelis Minang
memberikan skor kesukaan tertinggi (5.53 = sedikit suka) pada konsentrasi garam
terendah yaitu 0.5%.
Analisis statistik dengan One-way ANOVA (Lampiran 9, halaman 85)
memperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan preferensi rasa asin
dalam sup pada tiga suku di Indonesia (nilai signifikansi 0.707). Variasi skor
kesukaan yang tinggi pada grafik, tren yang tidak pasti, serta tidak adanya
perbedaan preferensi yang signifikan dapat disebabkan penyajian sampel yang
berbeda dengan kondisi konsumsi normal. Pada pengujian, yang disajikan hanya
larutan sup saja, dengan cara konsumsi yang berbeda pula menggunakan sedotan,
sehingga kemungkinan panelis mengalami bias dalam menentukan skor kesukaan.
Selain itu, diduga matriks pangan yang digunakan kurang tepat, sebab panelis
memiliki persepsi bahwa rasa lainnya (gurih) seharusnya juga terdapat dalam sup
yang disajikan.
38
Pengaruh Gender terhadap Preferensi Rasa Dasar dalam Matriks Pangan
Variasi skor kesukaan rasa manis dan pahit yang diberikan oleh panelis
dengan gender berbeda disajikan pada Gambar 19 dan 20 berikut.
A B
C
Gambar 19 Variasi skor preferensi rasa manis dalam teh yang diberikan
panelis suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C)
A B
C
Gambar 20 Variasi skor preferensi rasa pahit dalam minuman kopi yang
diberikan panelis suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C)
39
Pada Gambar 19, terlihat bahwa panelis laki-laki dan perempuan pada suku
Minang memberikan skor kesukaan dengan tren yang sama, skor kesukaan
tertinggi juga terdapat pada konsentrasi gula yang sama dalam minuman teh, yaitu
12.5%. Hal yang sama terlihat pada grafik skor preferensi rasa manis oleh suku
Jawa dan Nusa Tenggara, namun konsentrasi yang memberikan skor kesukaan
tertinggi adalah 10% gula dalam minuman teh. Gambar 19 menunjukkan bahwa
panelis laki-laki cenderung memberikan skor yang lebih tinggi dibandingkan
panelis perempuan pada konsentrasi gula yang sama, namun pengolahan data
menunjukkan bahwa panelis perempuan cenderung lebih menyukai rasa teh yang
manis (12.5% gula) dibandingkan laki-laki (10% gula).
Gambar 20 menunjukkan bahwa secara umum panelis laki-laki lebih
menyukai kopi pahit dibandingkan panelis perempuan. Hal tersebut didukung
hasil pengolahan data yaitu panelis laki-laki cenderung lebih menyukai rasa kopi
yang pahit (1.2% kopi) dibandingkan perempuan (1.07% kopi). Panelis laki-laki
suku Minang cenderung memberikan skor kesukaan lebih tinggi pada konsentrasi
kopi lebih tinggi dibandingkan panelis perempuan, begitu pula pada panelis Nusa
Tenggara. Hal tersebut menunjukkan bahwa panelis laki-laki Minang dan Nusa
Tenggara menyukai kopi yang lebih pahit dibandingkan dengan panelis
perempuan. Panelis perempuan suku Jawa memberikan skor kesukaan yang lebih
tinggi pada konsentrasi kopi 1.07-1.47%, namun pada dua konsentrasi berikutnya
(1.6 dan 1.73%) panelis laki-laki memberikan skor kesukaan lebih tinggi.
Variasi skor kesukaan terhadap rasa asin yang diberikan oleh panelis dengan
gender berbeda disajikan pada Gambar 21 berikut.
A B
C
Gambar 21 Variasi skor preferensi rasa asin dalam sup yang diberikan panelis
suku Minang (A), Jawa (B), dan Nusa Tenggara (C)
40
Pada Gambar 21, terlihat bahwa panelis perempuan suku Minang dan Jawa
memiliki tren skor kesukaan yang sama. Skor kesukaan pada konsentrasi garam
terendah berada pada kisaran 5 (antara suka dan tidak suka), kemudian menurun
pada konsentrasi garam sedang, dan kembali meningkat dengan meningkatnya
konsentrasi garam dalam larutan sup dengan skor pada kisaran 5. Populasi panelis
lainnya, yaitu panelis laki-laki suku Minang, Jawa, dan Nusa Tenggara serta
panelis perempuan Nusa Tenggara memberikan tren skor kesukaan yang naik-
turun. Secara umum, mayoritas panelis memberikan skor kesukaan tertinggi pada
sup dengan konsentrasi garam tertinggi yaitu 1.125%.
Hasil analisis statistik untuk mengetahui signifikansi gender terhadap
preferensi secara lengkap terdapat pada Lampiran 9 (halaman 86), dan secara
ringkas disajikan pada Tabel 12 berikut.
Tabel 12 Hasil uji-t pengaruh gender terhadap preferensi
No Rasa Dasar Nilai p
1 Manis 0.408
2 Pahit 0.555
3 Asin 0.531
*perbedaan signifikan pada taraf 0.05
Tabel 12 menunjukkan bahwa ketiga rasa dasar memberikan nilai p > 0.05,
dengan demikian perbedaan gender tidak memberikan pengaruh signifikan pada
preferensi rasa dasar dalam matriks pangan. Uji-t gender dalam suku memberikan
hasil yang serupa, yaitu perbedaan gender tidak berpengaruh signifikan terhadap
preferensi rasa dasar dalam matriks pangan (Lampiran 9, halaman 87). Hal
tersebut sesuai dengan studi sebelumnya oleh Lanfer et al. (2013) mengenai
preferensi tiga rasa dasar (manis, asin, dan gurih) dalam matriks pangan dengan
panelis anak-anak dari delapan negara Eropa, yang memberikan hasil bahwa jenis
kelamin tidak memengaruhi preferensi rasa secara konsisten. Mitchell et al.
(2013) juga menyatakan bahwa perbedaan signifikan dalam ambang sensori rasa
asin antara panelis laki-laki dan perempuan tidak memengaruhi skor penerimaan
sup sayuran.
Sejauh ini, studi multikultural mengenai sensori dilakukan antarnegara yang
berbeda. Kultur atau budaya umumnya didefinisikan dalam batasan negara. Sobal
(1998) mendefinisikan penelitian cross-cultural sebagai penelitian yang dilakukan
melibatkan beberapa budaya, lintas negara, maupun studi migrasi. Berbagai studi
memberikan hasil yang berbeda-beda mengenai keterkaitan antara preferensi rasa
dasar dalam pangan dengan negara asal panelis. Lanfer et al. (2013) melakukan
studi preferensi tiga rasa dasar (manis, asin, dan gurih) dalam matriks pangan
dengan panelis anak-anak dari delapan negara Eropa. Hasil studi tersebut
menunjukkan bahwa jenis kelamin, pendidikan orang tua, pola makan ketika bayi,
serta kebiasaan menonton TV tidak memengaruhi preferensi rasa secara konsisten.
Belum ditemukan faktor yang dapat menjelaskan perbedaan preferensi rasa dalam
pangan pada penduduk negara yang berbeda selain perbedaan negara.
Studi lainnya oleh Prescott et al. (1997) terhadap panelis Jepang dan
Australia menunjukkan bahwa kedua populasi panelis tersebut memiliki
perbedaan persepsi intensitas sensori rasa manis dalam produk jus jeruk,
41
cornflake, dan es krim. Meski produk yang digunakan sebagai sampel berasal dari
Australia, baik panelis dari Australia maupun Jepang memberikan penilaian yang
tepat sama mengenai tingkat kemanisan yang optimum untuk ketiga jenis produk
pangan. Penilaian yang tepat sama tersebut mengindikasikan bahwa kedua
populasi panelis memiliki persepsi kesukaan dan penilaian rating yang sama
terhadap rasa manis. Studi preferensi rasa dasar asam, asin, dan pahit dalam
produk pangan yang dilakukan terhadap panelis Jepang dan Australia juga
menunjukkan tidak adanya perbedaan cross-cultural dalam persepsi intensitas
rasa (Prescott et al. 1998). Kedua populasi panelis juga memilih tingkatan rasa
yang sama untuk rasa yang optimal dalam produk pangan.
Pengenalan panelis terhadap produk pangan yang diuji menjadi salah satu
penentu nilai preferensi yang diberikan. Ward et al. (1998) melakukan studi
mengenai kesukaan terhadap prototip keripik yang mengandung cowpea, jagung,
dan gandum pada konsumen Amerika dan Afrika Barat. Hasil studi menunjukkan
bahwa konsumen Afrika Barat, yang lebih familiar terhadap polong-polongan,
memberikan nilai penerimaan lebih tinggi terhadap produk prototip dibandingkan
dengan konsumen Amerika. Prescott et al. (1998) menyatakan bahwa kesamaan
penilaian konsumen Australia dan Jepang terhadap tingkatan rasa yang optimal
dalam produk pangan dapat disebabkan produk-produk pangan Australia yang
digunakan sebagai sampel sudah cukup dikenal oleh panelis Jepang.
Mitchell et al. (2013) dalam penelitiannya pada penduduk Dublin (Irlandia,
Eropa) memperoleh hasil bahwa individu yang mengonsumsi makanan dengan
kadar garam tinggi akan cenderung membutuhkan garam lebih banyak untuk
memperoleh sensasi rasa yang sama dibandingkan dengan individu yang lebih
tidak sensitif terhadap garam. Pada penelitian ini dilakukan identifikasi cita rasa
dominan dalam makanan dan minuman khas masing-masing suku, namun
identifikasi tersebut tidak disertai intensitas rasa. Dengan demikian belum dapat
diprediksi pengaruh kebiasaan makan terhadap preferensi rasa dasar dalam produk
pangan.
Penelitian yang dilakukan antar kelompok budaya dalam masyarakat yang
kompleks dalam bentuk perbandingan kelompok suku dan studi akulturasi, seperti
yang dilakukan pada penelitian ini, tergolong sub-cultural. Penelitian sub-cultural
dapat pula dipengaruhi faktor akulturasi, yang dapat memberikan perubahan
terhadap pola makan karena adanya penyesuaian terhadap budaya baru (Sobal
1998). Sejauh ini studi sensori lebih banyak dilakukan secara cross-cultural,
sehingga belum diperoleh acuan yang lebih sesuai mengenai ambang sensori dan
preferensi sub-cultural.
Salah satu faktor yang memengaruhi hasil penelitian ini adalah keterbatasan
pengujian preferensi rasa dasar hanya dalam satu matriks pangan untuk setiap
jenis rasa. Identifikasi preferensi rasa sebaiknya dilakukan pada lebih dari satu
matriks pangan untuk setiap rasanya, sebab preferensi sangat bergantung pada
medium atau matriks pangan yang digunakan. Penggunaan beberapa jenis matriks
pangan dapat memperkuat validitas data dari studi yang dilakukan (Lanfer et al.
2013).
42
Korelasi Ambang Sensori dengan Preferensi
Hasil analisis korelasi secara lengkap terdapat pada Lampiran 9 (halaman
98), dan secara ringkas disajikan pada Tabel 13 berikut.
Tabel 13 Korelasi ambang sensori dengan preferensi
No Korelasi Koefisien Korelasi
Pearson
1 Ambang sensori rasa manis dan preferensinya
dalam minuman teh
-0.081
2 Ambang sensori rasa pahit dan preferensinya
dalam minuman kopi
-0.227
3 Ambang sensori rasa asin dan preferensinya dalam
larutan sup
0.000
Hasil analisis menunjukkan bahwa semua rasa dasar memiliki nilai korelasi
yang rendah dengan preferensinya dalam matriks pangan. Nilai korelasi ambang
sensori rasa asin dengan preferensinya dalam larutan sup sangat rendah, hanya
0.0004. Dari ketiga rasa dasar tersebut, nilai korelasi tertinggi (0.227) terdapat
pada korelasi ambang sensori rasa pahit dengan preferensinya, namun dengan
hubungan yang tidak kuat. Diduga tidak terdapat korelasi antara ambang sensori
dengan preferensinya dalam matriks pangan.
Perbedaan sensitivitas seseorang terhadap suatu rasa dasar belum tentu
memberikan perbedaan terhadap preferensinya pada rasa dasar tersebut dalam
suatu produk pangan. Hasil penelitian Mitchell et al. (2013) menunjukkan hal
yang serupa dengan hasil penelitian ini, yaitu tidak terdapat korelasi signifikan
antara ambang sensori rasa asin dengan skor penerimaan sup sayuran, dengan
korelasi bernilai positif (r = 0.154). Hal tersebut didukung oleh Lucas et al. (2011)
yang menyatakan bahwa ambang sensori rasa asin tidak berasosiasi dengan
penerimaan dan kesukaan daging hash brown dengan konsentrasi garam yang
berbeda-beda. Studi yang berkaitan dengan rasa pahit dilakukan oleh Catanzaro et
al. (2013). Hasilnya, tidak terdapat perbedaan signifikan antargrup panelis dengan
sensitivitas rasa pahit yang berbeda-beda (PROP supertasters, mediumtasters, dan
nontasters) dalam kesukaannya terhadap kopi hitam, dark chocolate, anggur
merah, bir, salad dressing, atau mayonaise.
Lanfer et al. (2013) menyatakan bahwa ambang sensori, yaitu konsentrasi
terendah yang dapat dirasakan, tidak relevan dengan sensasi rasa yang diterima
sehari-hari. Pada umumnya persepsi hedonik (preferensi) berada pada konsentrasi
rasa di atas ambang sensori. Terdapat kemungkinan adanya keterkaitan antara
intensitas penilaian supra-threshold (di atas ambang deteksi) dengan preferensi
rasa dalam pangan.