22
6 Keanekaragaman Hayati “Keanekaragaman hayati terus mengalami penyusutan. Hutan tropika yang menjadi gudang keanekaragaman hayati telah menyusut lebih dari setengahnya. Kecenderungan penyusutan ini memerlukan perhatian khusus dan penanganan yang lebih serius.” Kerbau liar diantara pohon nipah. Lokasi Cagar Alam Tambling, Lampung Barat Foto: Siswanto Suratmin KLH

6_keanekaragamanHayati

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 6_keanekaragamanHayati

6Keanekaragaman

Hayati

“Keanekaragaman hayati terus

mengalami penyusutan. Hutan

tropika yang menjadi gudang

keanekaragaman hayati telah

menyusut lebih dari setengahnya.

Kecenderungan penyusutan ini

memerlukan perhatian khusus dan

penanganan yang lebih serius.”

Kerbau liar diantara pohon nipah. Lokasi Cagar Alam Tambling, Lampung Barat

Foto: Siswanto Suratmin KLH

Page 2: 6_keanekaragamanHayati

��STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008

Keanekaragaman Hayati

KEANEKARAGAMAN hayati di ujung tanduk, begitu­lah keadaan keanekaragaman hayati pada tingkatan global di seluruh dunia. Tidak berbeda keadaannya dengan di Indonesia. Bangsa di bagian dunia mana­pun akan tergantung pada keanekaragaman hayati untuk kelangsungan hidupnya. Keanekaragaman hayati merupakan suatu fenomena alam mengenai keberagaman makhluk hidup, dan komplek ekologi yang menjadi tempat hidup bagi makhluk hidup. Ke­anekaragaman hayati dengan pengertian seperti itu mencakup interaksi antara berbagai bentuk kehidupan dengan lingkungannya, yang membuat bumi ini men­jadi tempat yang layak huni dan mampu menyediakan jumlah besar barang dan jasa bagi kehidupan dan ke­sejahteraan manusia (Perhimpunan Biologi Indonesia, 2007).

Berdasarkan data dan fakta yang ada, terlihat bah­wa keanekaragaman hayati terus menerus mengal­ami penyusutan. Hutan tropika yang menjadi gudang keanekaragaman hayati telah menyusut lebih dari setengahnya. Kecenderungan penyusutan keanek­aragaman hayati yang disebabkan oleh berbagai ka­sus lingkungan memerlukan perhatian khusus dan penanganan yang lebih serius. Perubahan status dan/atau fungsi kawasan hutan untuk kegiatan lain misalnya perkebunan kelapa sawit dan hutan tana­man industri, penebangan ilegal, penambangan ilegal, perburuan dan perdagangan satwa, serta introduksi spesies asing adalah beberapa faktor yang dapat menyebabkan ancaman terhadap keanekaragaman hayati. Perubahan iklim, sebagai salah satu fenomena perubahan alam yang juga dipicu oleh berbagai akti­vitas manusia akan menjadi ancaman serius keaneka­ragaman hayati di masa mendatang.

6.1. Kondisi Keanekaragaman Hayati

Indonesia dikenal sangat kaya akan keanekaragaman hayatinya, baik di darat maupun di laut. Secara bio­geografi, kawasan Indonesia berada dalam kawasan Malesia (kawasan Asia Tenggara sampai dengan Pa­pua sebelah barat) dengan dua pusat keanekaragaman yaitu Borneo dan Papua serta tingkat endemisitas yang sangat tinggi dan habitat yang unik. Sebagai contoh, di kawasan Papua, tingkat endemisitas flora menca­pai sekitar 60 ­ 70%. Di antara dua pusat keragaman tersebut, terdapat kawasan transisi yang berada di selat Makasar (Wallace’s line) dimana dapat ditemukan flora ecotype.

Dipandang dari segi biodiversitas, posisi geografis Indonesia sangat menguntungkan. Negara ini terdiri dari beribu pulau yang berada di antara dua benua, ya­itu Asia dan Australia, serta terletak di khatulistiwa. Dengan posisi seperti ini, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Dengan luas wilayah 1,3%

dari luas muka bumi, sebagai negara megabiodiversity, keanekaragaman hayati Indonesia terdiri dari: mama­lia 515 species (12 % dari jenis mamalia dunia), rep­tilia 511 jenis (7,3 % dari jenis reptilia dunia), burung 1.531 jenis (17% dari jenis burung dunia), amphibi 270 jenis, binatang tak bertulang belakang 2.827 je­nis dan tumbuhan sebanyak ± 38.000 jenis, di anta­ranya 1.260 jenis yang bernilai medis.

6.1.1. Ekosistem

Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal­balik antara organisme (makh­luk hidup) atau unsur biotik dengan lingkungannya atau unsur abiotik. Ekosistem dapat dianggap sebagai komunitas dari seluruh tumbuhan dan satwa terma­suk lingkungan fisiknya yang secara bersama­sama berfungsi sebagai satu unit yang tidak terpisahkan atau saling bergantung satu sama lainnya. Kompo­nen­komponen pembentuk ekosistem adalah kompo­nen hidup (biotik) dan komponen tak hidup (abiotik). Kedua komponen tersebut berada pada suatu tempat dan berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur.

Keanekaragaman ekosistem berkaitan dengan ke­anekaragaman tipe habitat, komunitas biologis dan proses­proses ekologis dimana keanekaragaman spe­sies dan genetik terdapat di dalamnya. Sekitar 90 je­nis ekosistem berada di Indonesia, mulai dari padang salju tropis di Puncak Jayawijaya, hutan hujan dataran rendah, hutan pantai, padang rumput, savana, lahan basah sungai, danau, rawa, muara dan pesisir pan­tai, mangrove, padang lamun, terumbu karang, hingga perairan laut dalam. Mengingat keragaman yang tinggi, maka sangat mungkin ditemukan dan dikembangkan jenis­jenis yang berpotensi sebagai sumber pangan, obat dan bahan dasar industri lainnya.

Laut Nusantara yang mempunyai luas sekitar 3,1 juta km2, terdiri atas laut teritorial 0,3 juta km2 dan laut pedalaman 2,8 juta km2, di samping perairan ZEEI (Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia) seluas 2,7 juta km2. Selain itu, jumlah pulaunya yang lebih dari 17.000 mempunyai total panjang garis pantai lebih dari 80.000 km. Data itu katanya, telah memberikan informasi betapa luasnya dimensi ruang Laut Nusan­tara sebagai tempat hunian bagi banyak biota laut, di samping itu sekitar 60 persen penduduk Indonesia bermukin di kawasan pesisir.

Laut Nusantara juga dikenal mempunyai keaneka­ragaman hayati yang tinggi (marine megadiversity). Rumput laut (makro alga) ada lebih dari 700 je­nis, karang batu lebih dari 450 jenis, moluska lebih dari 2.500 jenis, ekonodermata sekitar 1.400 jenis, krustasea lebih dari 1.500 jenis dan ikan lebih dari 2.000 jenis. Kekayaan keanekaragaman hayati di per­

Page 3: 6_keanekaragamanHayati

�00 STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008

Keanekaragaman Hayati

airan itu memberikan potensi yang tinggi pula untuk pemanfaatannya, baik secara langsung ataupun tak langsung.

Hingga saat ini masih banyak pulau kecil dan terpen­cil yang belum dieksplorasi. Sebagai contoh telah di­lakukan Ekspedisi Widya Nusantara Puslit Biologi­LIPI tahun 2007 di Pulau Waigeo yang menjadi salah satu dari empat pulau besar di Kepulauan Raja Ampat, Irian Jaya Barat. Penetapan lokasi untuk kegiatan ekspe­disi ini dengan pertimbangan adanya peluang mem­peroleh temuan baru (new records, new finding, new discoveries, new environment), serta mengingat kajian wilayah tersebut belum pernah dilakukan atau infor­masi ilmiahnya masih terbatas.

6.1.2. Spesies

Penyebaran tumbuhan Indonesia tercakup dalam ka­wasan Malesia, yang juga meliputi Philipina, Malaysia dan Papua Nugini. Kawasan ini ditentukan berdasar­kan persebaran marga tumbuhan yang ditandai oleh 3 simpul demarkasi yaitu pertama, Simpul Selat Torres menunjukkan bahwa 644 marga tumbuhan Irian Jaya tidak bisa menyeberang ke Australia dan 340 mar­ga tumbuhan Australia tidak dijumpai di Irian Jaya. Kedua, Tanah Genting Kra di Semenanjung Malaya merupakan batas penyebaran flora Malesia di Thai­land. Demarkasi ini menyebabkan adanya 200 marga tumbuhan Thailand yang tidak dapat menyebar ke ka­wasan Malesia, dan 375 marga Malesia tidak dijumpai di Thailand. Ketiga, simpul di sebelah selatan Taiwan menjadi penghalang antara flora Malesia dan Flora Taiwan. Adanya demarkasi ini menyebabkan 40% marga flora Malesia tidak terdapat di luar kawasan Malesia dan flora Malesia lebih banyak mengandung unsur Asia dibanding unsur Australia.

Pecahnya benua selatan Gendawa pada 140 juta ta­hun yang lalu menjadi Paparan Sunda (berasal dari benua utara Laurasia) dan Paparan Sahul (berasal dari Gondawa) menyebabkan penyebaran tumbuhan yang terpusat di Paparan Sunda seperti jenis durian, rotan, tusam dan artocarpus (Endarwati, 2005).

Pola penyebaran hewan di Indonesia diwarnai oleh pola kelompok kawasan oriental di sebelah barat dan kelompok kawasan Australia di sebelah timur. Kedua kawasan ini sangat berbeda. Namun demikian kare­na Indonesia terdiri dari deretan pulau yang sangat berdekatan, maka migrasi fauna antar pulau memberi peluang bercampurnya unsur dari dua kelompok ka­wasan tersebut. Percampuran ini mengaburkan batas antara kawasan oriental dan kawasan Australia.

Memperhatikan sifat hewan di Indonesia, Wallace membagi kawasan penyebaran fauna menjadi dua kelompok besar yaitu fauna bagian barat Indonesia (Sumatera, Jawa, Bali, Madura, Kalimantan) dan fau­na bagian timur yaitu Sulawesi dan pulau di sebelah timurya. Dua kelompok fauna ini mempunyai ciri yang berbeda dan dipisahkan oleh Garis Wallace (garis an­tara Kalimantan dan Sulawesi, berlanjut antara Bali dan Lombok).

6.1.2.1 Populasi Satwa dan Tumbuhan yang Dilind-ungi

Sampai dengan akhir tahun 2007, Departemen Ke­hutanan telah menetapkan jenis flora dan fauna yang dilindungi yaitu mamalia (127 jenis), burung (382 je­nis), reptilia (31 jenis), ikan (9 jenis), serangga (20 jenis), krustasea (2 jenis), anthozoa (1 jenis) dan bi­valvia (12 jenis).

Tabel 6.1. Populasi Satwa yang Dilindungi 10 Tahun Terakhir

No TahunKelas Satwa yang dilindungi

Mamalia Aves Reptilia Pisces Insecta Molusca Crustacea Anthozoa Bivalvia

1 1998/1999 126 382 31 8 20 12 3 ­ ­

2 1999/2000 127 382 31 8 20 ­ 2 1 12

3 2000 127 382 31 9 20 ­ 2 1 12

4 2001 127 382 31 9 20 ­ 2 1 12

5 2002 127 382 31 9 20 ­ 2 1 12

6 2003 127 382 31 9 20 ­ 2 1 12

7 2004 127 382 31 9 20 ­ 2 1 12

8 2005 127 382 31 9 20 ­ 2 1 12

9 2006 127 382 31 9 20 ­ 2 1 12

10 2007 127 382 31 9 20 ­ 2 1 12

Sumber: Departemen Kehutanan, 2008

Page 4: 6_keanekaragamanHayati

�0�STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008

Keanekaragaman Hayati

Tabel 6.2. Populasi Tumbuhan yang Dilindungi 10 Tahun Terakhir

No Tahun

Kelas Tumbuhan yang dilindungi

Palmae Rafflesia Orchida- ceae

Nephen- taceae

Diptero- carpacea Araceae Parasite

PlantApocy- naceae Cykas

1 1998/1999 12 11 29 8 13 2 ­ ­ ­

2 1999/2000 12 11 29 8 13 2 ­ ­ ­

3 2000 12 11 29 8 13 2 ­ ­ ­

4 2001 12 11 29 8 13 2 ­ ­ ­

5 2002 12 11 29 8 13 2 ­ ­ ­

6 2003 12 11 29 8 13 2 ­ ­ ­

7 2004 12 11 29 8 13 2 ­ ­ ­

8 2005 12 11 29 8 13 2 ­ ­ ­

9 2006 12 11 29 8 13 2 ­ ­ ­

10 2007 12 11 29 8 13 2 ­ ­ ­

Sumber: Departemen Kehutanan, 2008

6.1.2.2. Ekspor Satwa Liar dan Tumbuhan

Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan, pada tahun 2007, nilai ekspor satwa liar Indonesia yang terdiri dari mamalia, amphibia, koral, buaya/kulit bua­ya dan ikan, mencapai Rp 2,285 miliar. Nilai ekspor

terbesar diperoleh dari ekspor ikan arwana sebesar Rp 1,280 miliar.

Ekspor beberapa jenis tumbuhan, di antaranya ang­grek, gaharu, pakis dan ramin yang menghasilkan nilai ekspor sebesar Rp 85,935 juta.

Tabel 6.3. Ekspor Satwa dan Nilai Ekspor 2007

No Kelas Satuan Realisasi Ekspor

Jumlah Surat Angkut Satwa ke

Luar Negeri

Nilai Ekspor (Rp)

Perkiraan Devisa (US$)

1 Mamalia ekor/lembar 43.993 3.055 609.126 1.1292 Mamalia *1) ekor ­ 2.951 531.180 9843 Amphibia ekor 228.720 118.541 7.285.950 13.4934 Amphibi hidup ekor ­ 5.480 328.800 6095 Kulit amphibi *1) lembar 144.000 ­ ­ ­6 Primata ekor 4.922 37.440.000 69.3337 Kulit amphibi lembar 144.000 ­ ­ ­8 Kupu­kupu ekor ­ 116.155 15.836.700 29.3279 Arthopoda ekor 237.147 14.492 1.432.569 2.65310 Tanduk rusa kg 58.000 23.500 70.500.000 130.55611 Reptil hidup ekor 574.173 232.365 84.161.000 155.85412 Reptil hidup *1) ekor ­ 75.793 15.746.500 29.16013 Kulit reptile lembar 1.424.930 1.165.323 54.284.439 100.52714 Kulit buaya ekor/lembar 37.500 22.710 68.230.000 126.35215 Daging Buaya *2) kg ­ 1.200 2.600.000 6.66716 Daging Reptil *2) kg ­ 26.150 6.435.000 11.91717 Ikan Arwana ekor ­ 40.590 1.279.854.000 2.370.10018 Ikan Arwana Irian ekor ­ 42.590 102.000.000 188.88919 Coral *1) buah 530.080 198.475 ­ 99.49220 Coral buah/kg 2.137.050 2.105.100 478.367.904 885.86621 Kuda laut ekor 37.000 18.408 3.314.440 6.13622 Ikan Napoleon ekor 8.000 6.228 56.052.000 103.80023 Kimia *1) ekor ­ 250 ­ 27824 Burung App *1) ekor ­ 20 144.000 267

25Sarang burung walet *3)

kg ­ 145.819 ­ 162.021.111

Jumlah 2.285.153.608 166.354.497

Sumber: Departemen Kehutanan, 2008

Page 5: 6_keanekaragamanHayati

�0� STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008

Keanekaragaman Hayati

Tabel 6.4. Ekspor Tumbuhan dan Nilai Ekspor 2007

No Kelas Satuan Realisasi Ekspor

Jumlah Surat Angkut Satwa ke

Luar Negeri

Nilai Ekspor (Rp)

Perkiraan Devisa (US$)

1 Anggrek batang 4.000.000 550.928 40.427.700 74.866,11

2 Gaharu kg 30.000 ­ ­ ­

3 Kemedangan kg 30.000 17.695 ­ 39.322,22

4 Abu kg ­ 65.028 ­ 10.838,00

5 Stack kg ­ 87.488 ­ 14.581,33

6.Gaharu Indonesia Timur

kg 100.000 ­ ­ ­

7 Kemedangan kg 100.000 95.980 ­ 213.288,89

8 Pakis batang 1.000.500 505.642 45.507.780 84.273,67

9 Ramin M3 5.909 1.349.000 ­ 13.564,94

10 Abu kg ­ 225.293 ­ 37.548,83

11 Stack kg ­ 234.924,00 ­ 39.154,00

Jumlah 85.935.480 527.438

Sumber : Departemen Kehutanan, 2008

6.1.2.3. Penemuan Spesies Baru

a. Ekspedisi Widya Nusantara Puslit Biologi LIPI

Ekspedisi Widya Nusantara Puslit Biologi LIPI dilaku­kan pada tahun 2007 di Pulau Waigeo yang menjadi salah satu dari 4 pulau besar di Kepulauan Raja Am­

pat, Papua Barat. Penetapan lokasi untuk kegiatan ekspedisi ini dengan pertimbangan adanya peluang memperoleh temuan baru (new records, new finding, new discoveries, new environment), serta mengingat wilayah tersebut belum pernah dikaji atau informasi ilmiahnya masih terbatas (Kotak 1).

Kotak 6.1

Keanekaragaman Hayati Pulau Waigeo,Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat

Tim E-WIN Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor

Hasil Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN) Pusat Penelitian Biologi­LIPI menunjukkanl berbagai temuan baru berupa jenis baru, rekaman baru, koleksi baru dan tambahan koleksi bagi MZB dan Herbarium Bogoriense. Hasil EWIN tersebut sebagai berikut :Telah diteliti berbagai tipe vegetasi yang terdapat di Pulau Waigeo mulai dari kawasan pantai hingga ke kawasan pegunungan. Terdapat 9 tipe vegetasi di Pulau Waigeo, antara lain : vegetasi hutan bakau (mangrove), vegetasi hutan rawa air tawar dan hutan sagu (swamp forest vegetation and sago forest), vegetasi pantai (beach vegetation), vegetasi dataran rendah (lowland vegetation), Vegetasi hutan sekunder (secondary forest vegetation), savana dan semak belukar (savanna and schrubs), vegetasi bukit kapur dataran rendah (lowland forest on limestone vegetation), vegetasi ultra basic (lowland ultrabasic vegetation), vegetasi kaki pegunungan (submotane vegetation).

Temuan kandidat jenis baru (new species) berjumlah 42 jenis, meliputi: (a) Tumbuhan 7 jenis (1 jenis pohon, 1 jenis Tapeino-chilus, 3 jenis Piper, dan 2 jenis tumbuhan paku); (b) Jamur 7 jenis baru; (c) Herpetofauna 5 jenis (2 amphibi dan 3 reptil); (d) Ichtyologi 4 jenis; (e) Kopepoda 1 jenis; (f). Insecta 10 jenis; (g). Amblypygi 1 jenis; dan (h) Bakteri 7 jenis.

Catatan baru/rekaman baru/new record: lebih dari 166 jenis, meliputi: (a) jenis Pandanaceae 13 jenis; (b) Jenis Piper 2 jenis; (c) Jenis paku lebih dari 15 jenis; (d) Jenis jamur 9 jenis; (e) Jenis kelelawar 4 jenis; (f) herpetofauna 20 jenis; (g) kopepoda 45 jenis; (h) serangga 3 jenis; dan (i) krustasea 56 jenis.

Koleksi baru (new collection): (a) 20 jenis mamalia; (b) 8 jenis Herpetofauna; (c) 27 jenis burung; (d) Moluska terestrial; dan (e) lebih dari 55 jenis tumbuhan.

Page 6: 6_keanekaragamanHayati

�0�STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008

Keanekaragaman Hayati

Secara rinci temuan­temuan baru tersebut terangkum sebagai berikut:

1. Taksonomi tumbuhan telah dikumpulkan sebanyak lebih dari 650 spesimen meliputi tidak kurang dari 70 famili dan 400 jenis. Setelah dilakukan identifikasi ditemukan beberapa temuan baru, di antaranya adalah:

a. Dari jenis tumbuhan tingkat tinggi ditemukan kemungkinan jenis baru yaitu Osmoxylon sp. nov. (Araliaceae) dan Ta-peinochilus sp. nov (Zingiberaceae).

b. Suku Pandanaceae terkoleksi 13 jenis dan kesemuanya merupakan rekaman baru (new record).

c. Suku Piperaceae, dari 48 nomor koleksi, 3 jenis diduga sebagai jenis baru (new species) yaitu Piper sp1. nov., Piper sp2. nov., dan Piper sp3. nov.

d. Jenis Tumbuhan Paku : terkoleksi 164 nomor jenis paku­pakuan yang terdiri dari 23 suku dan 124 jenis. Dua jenis tumbuhan paku diduga jenis baru yaitu Trigonospora sp. nov., dan Microsorium sp. nov.

e. Keanekaragaman jenis jamur : ditemukan 7 jenis yang diduga baru yaitu Boletus sp.nov., Tulostoma sp1.nov., Tulos-toma sp2. nov., Oudenmansiella sp. nov., Xylaria sp.nov., Tectella sp.nov., dan Volvariella sp.nov.

2. Studi etnobiologi telah dideskripsi pengetahuan lokal masyarakat di kawasan Teluk Manyailibit, Pulau Waigeo, tercatat lebih 250 jenis tumbuhan berguna di kawasan ini.

3. Studi ekologi: terdapat 9 tipe ekosistem di kawasan terestrial Pulau Waigeo dan masing­masing tipe ekosistem telah dianalisis keanekaragaman jenis tumbuhannya.

4. Studi fitokimia: beberapa jenis tumbuhan, di antaranya adalah Pandanus polycephalus mengandung senyawa flavonoid yang mempunyai aktivitas sebagai antioksidan dan immunomodulator.

5. Studi keanekaragaman jenis mamalia berhasil dikumpulkan sejumlah spesimen dan koleksi baru serta temuan­temuan jenis baru, di antarnya adalah :

a. Jenis burung: terkoleksi 66 individu terdiri atas 28 jenis dan 7 jenis di antaranya adalah endemik, 27 jenis meru­pakan koleksi baru MZB.

b. Mamalia: terkoleksi 124 spesimen terdiri atas 24 jenis (15 jenis bangsa Chiroptera, 3 jenis bangsa Marsupialia, 1 jenis bangsa Actiodactyla, dan 5 jenis bangsa Rodentia). 4 jenis bangsa kelelawar merupakan catatan baru (new record), 1 koleksi kuskus waigeo (Spilocuscus papuensis) merupakan jenis endemik dan koleksi baru bagi MZB, dan 19 jenis merupakan koleksi baru yang barasal dari Waigeo.

c. Ikhtiologi (ikan): terkumpul 591 spesimen meliputi 60 jenis dan 29 suku. Sebanyak 23 jenis belum tuntas diidentifi­kasi. Satu jenis Melanotaenia catherinae merupakan jenis endemik. Satu jenis yaitu Melanotaenia sp.nov., merupakan jenis baru. Selain itu satu jenis ikan pipa (Syngnathidae) diduga merupakan jenis baru (new species), demikian juga ditemukan satu jenis yang mirip dengan jenis Belobranchus belobranchus yang berukuran besar dan ada kemungkinan sebagai jenis baru (new species), perlu studi lebih lanjut.

d. Herpetofauna: terkoleksi 194 spesimen meliputi 12 jenis amphibia dan 32 jenis reptilia. Dua jenis amphibi dan 3 jenis reptilia diduga sebagai jenis baru (new species). Untuk jenis amphibi yaitu Litoria sp.nov., dan Callulops sp.nov., dan untuk jenis reptilia yaitu dua jenis kadal (Emoia sp.nov., dan Spenomorphus sp.nov.) dan satu jenis ular yaitu Stegonotus sp. nov.

e. Moluska: teridentifikasi sebanyak 24 jenis dan 6 suku. Semua jenis moluska terestrial merupakan koleksi baru bagi MZB.

f. Krustacea kopepoda: terkumpul 38 nomor meliputi 4 ordo kopepoda. Ditemukan 1 jenis sebagai kandidat jenis baru yaitu Pontella sp.nov.

Page 7: 6_keanekaragamanHayati

�0� STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008

Keanekaragaman Hayati

g. Insekta: terkumpul 242 spesimen, 3 jenis baru dari sub famili Eulophine yaitu Euplectrus sp4.nov., Euplectrus sp3.nov., dan Deutereulophus sp.nov., dan 3 jenis sebagai new record untuk kawasan ini. Dari jenis tungau, ditemukan 3 jenis kandidat jenis baru yaitu Macrocheles sp1. nov., Macrocheles sp2. nov., dan Macrocheles sp3. nov. Untuk jenis lalat buah, teridentifikasi 4 jenis kandidat jenis baru yaitu jenis Bactrocera sp1. nov., Bactrocera sp2. nov., Bactrocera sp3. nov., dan Bactrocera sp4. nov.

h. Krustacea dekapoda: terkumpul lebih dari 2000 spesimen, meliputi 18 suku, 31 marga dan 70 jenis. Kesemuanya merupakan rekaman baru (new record). Tercatat pula 7 jenis udang dari marga Caridina merupakan new record untuk kawasan Waigeo.

i. Gua dan faunanya: terdata 19 gua tersebar di kawasan teluk Manyailibit dan ditemukan 1 jenis kandidat jenis baru (new species) yaitu Charinus sp.nov.

6. Studi mikrobiologi: untuk sementara dari 54 sampel yang diuji, ditemukan 7 jenis isolat sebagai kandidat jenis baru yaitu: Streptomyces sp1. nov., Streptomyces sp2. nov., Streptomyces sp3. nov., Streptomyces sp4. nov., Actinoplanes sp1. nov., Actinoplanes sp2. nov., dan Actinoplanes sp3. Nov.

Sumber : Puslit Biologi-LIPI, 2007

b. Nusa Penida Marine Rapid Assessment Pro-gram

Selama sepuluh hari, dari tanggal 20 – 30 Novem­ber 2008, Conservation International Marine Program, mengadakan Nusa Penida Marine Rapid Assessment Program (MRAP) dengan mengikutsertakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Ne­gara Riset dan Teknologi (RISTEK), Balai Riset Ke­lautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan. Kegiatan ini juga didukung oleh Ba­lai Konservasi Laut Daerah (BKSDA), Southeast Asia Center for Ocean Research and Monitoring (SEACORM), Pemerintah Provinsi Bali, Pemerintah Kabupaten Klungkung, Yayasan Bahtera Nusantara, Universitas Udayana, dan Universitas Warmadewa.

Hasil identifikasi sementara menunjukkan, di sekitar kawasan Nusa Penida terdapat 562 spesies ikan ka­rang yang merupakan campuran dari spesies ikan di

Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Penelitian ini juga berhasil menemukan 5 spesies ikan jenis baru. Ikan tersebut antara lain Chromis sp., Priolepis 33 sp., Priolepis 11 sp., Pseudochromis sp., dan Trimma sp.

Selain ikan karang, tim ini juga mencatat setidaknya ada sekitar 34 spesies ekinodermata dari jenis bin­tang laut, bintang mengular, bulu babi dan timun laut. Satu jenis bulu babi yang ditemukan belum bisa di­identifikasi, dan diharapkan merupakan temuan spe­sies baru.

Tim juga mengidentifikasi adanya 174 jenis moluska yang terdiri dari 149 jenis gastropoda dan 25 jenis bi-valvia atau kerang­kerangan. Dapat dikatakan bahwa Nusa Penida memiliki keanekaragaman jenis moluska yang tinggi. Hal menarik lainnya, sama seperti ikan ka­rang, jenis ekinodermata dan moluska ini juga meru­pakan gabungan dari spesies yang ada di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Gambar 6.1. Spesies Ikan Jenis Baru yang Ditemukan di Kawasan Nusa Penida, Bali

Trimma sp Priolepis 11 sp

Priolepis 33 sp Pseudochromis sp

Page 8: 6_keanekaragamanHayati

�0�STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008

Keanekaragaman Hayati

Foto­foto : Gerald Allen, CISumber: Tropika, Edisi Oktober 2008

Pseudochromis sp

6.1.3. Sumber Daya Genetik

Keanekaragaman genetik merupakan keanekaragaman sifat yang terdapat dalam satu jenis. Tidak ada satu mahklukpun yang sama persis dalam penampakan­nya. Matoa Pometia pinnata di Irian Jaya mempunyai 9 macam penampilan dari seluruh populasi yang ada. Dengan kemampuan reproduksi baik vegetatif mau­pun generatif, populasi sagu di Ambon mempunyai 6 macam pokok sagu yang berbeda. Berdasarkan jumlah jenis durian liar yang tumbuh di Kalimantan yang jum­lahnya mencapai 19 jenis, diduga Kalimantan meru­pakan pusat keanekaragaman genetik durian.

Dengan teknik budidaya, semakin banyak jenis tum­buhan hasil rekayasa genetik seperti padi, jagung, ke­tela, semangka tanpa biji, jenis­jenis anggrek, salak pondoh, dan lain­lain. Keanekaragaman plasma nut­

fah di Indonesia tampak pada berbagai hewan piara­an. Ternak penghasil pangan yang telah diusahakan adalah 5 jenis hewan ternak yaitu sapi biasa, sapi Bali, kerbau, kambing, domba dan babi. Lalu 7 jenis ung­gas yaitu ayam, itik, entok, angsa, puyuh, merpati dan kalkun serta hewan piaraan yang lain seperti cucak rowo, ayam bekisar, dan lain­lain. Keanekaragaman genetik hewan ini tidak semunya berasal dari negeri sendiri. Namun demikian melalui proses persilangan, jenis­jenis hewan ini memperbanyak khasanah ke­anekaragaman genetik di Indonesia.

Plasma nutfah pada lembaga penelitian telah diman­faatkan sejak puluhan tahun yang lalu. Penggunaan plasma nutfah sebagai sumber persilangan dalam pengembangan varietas telah menghasilkan varie­tas unggul pertanian. Varietas unggul ini telah ber­kembang luas dan meningkatkan pendapatan petani.

Tabel 6.5. Jenis Tanaman dan Manfaatnya

Spesies Nama Tanaman Daerah Asal Nilai dan ManfaatColocasia esculenta Taro India PanganAnanas comosus Nenas Amerika Selatan Vitamin, seniCamellia sinensis The Asia Tengah Minuman & eksportCarica papaya Pepaya Amerika Tengah Sumber vitaminBeta vulgaris Gula Bit Eropa GulaSpinacia oleracea Bayam Asia Barat Daya SayuranCarthamus tinctorius Safflower Near East MinyakHelianthus annuus Bunga matahari USA bagian Tengah Minyak/bahan kosmetikaLuctuca sativa Selada Mediterranean Sayuran

Ipomoea batatas Ubi JalarAmerika Tengah dan Amerika Selatan

Karbohidrat

Manihot esculenta Ubi Kayu In the wild state Karbohidrat/patiBrassica oleracea / B.rapa Kol Eropa SayuranBrassica napus, B. rapa Rape Not exist in the wild Sayuran/minyakCitrullus lanatus Melon Afrika SelatanCucumis sativus Mentimun India SayuranCucurbite maxima Labu Amerika Sayuran

Dioscorea spp Ubi KelapaAsia, Afrika, tropical Amerika

Karbohidrat pangan/pati

D. hispida Gadung Asia/Indonesia Karbohidrat pangan/patiD. esculenta Gembili Asia/Indonesia Karbohidrat pangan/patiCanna edulis Ganyong Asia/Indonesia Pangan/bahan kosemtika

Marantha arundinaceae Garut Asia/IndonesiaPangan, emping, pati (sebagai peluang export) dan pakan

Xanthosoma Kimpul Asia/Indonesia Pangan/kripik

Page 9: 6_keanekaragamanHayati

�0� STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008

Keanekaragaman Hayati

Tabel 6.5. Jenis Tanaman dan Manfaatnya (lanjutan)

Spesies Nama Tanaman Daerah Asal Nilai dan manfaat

Amorphophalus sp. Iles­oiles Asia/IndonesiaPangan, pati, bahan kosmetika

Suweg Asia/Indonesia

Oryza glaberrima, O.sativa PadiO.sativa: tidak pastiO.glaberrima: Nigeria Utara

Karbohidrat

Saccarhum officinarum Tebu New Guinea GulaSecale cereal Rye Asia Barat Daya KarbohidratSorghum bicolor Sorgum AfrikaTriticum aestivum, T.turgidum Gandum Mediterranean, Near East KarbohidratZea mays Jagung Meksiko, Amerika Tengah Karbohidrat/minyak/pakanPersea americaca Alpukat Amerika Tengah Buah­buahanArachis hypogaea Kacang Tanah Amerika Selatan Protein/minyak goreng

Phaseolus vulgaris Kacang buncisAmerika Tengah dan Selatan

Sayuran

Cajanus cajan Kacang Gude India ProteinGlycine max Kedelai China Protein/pangan/pakan

Pisum sativum Kacang PolongEthiopia, Mediterranean, Asia Tengah

Protein

Vigna unguiculata Kacang tunggak Ethiopia ProteinAllium cepa : Allium fistulosum Bawang Merah Asia Tengah ProteinAllium sativum Bawang Putih Asia Tengah BumbuGossypium barbadense G.hirsutum

Kapas Biji Amerika Selatan Pakan/minyak kapasMusa acuminate; M.x paradisiaca

Pisang Malay peninsula/Indonesia Vitamin/buah segar

Cocos nucifera KelapaAfrika, Indian coasts, Indian Ocean, Asia Tenggara and Pasific

Vitamin/buah segar/obat tradisional mengurangi kerontokan rambut

Elaeis guineensis Kelapa Sawit Afrika Barat Minyak gorengPiper ningrum Lada Malabar,Baratdaya India BumbuCucumis melo Melon Eastern, Afrika Buah segarMangifera indica Mangga India Timur Laut Pangan/Vitamin/buah

Fragaria x ananassa StrawberiBersilang di Eropa pada abad ke 18

Buah­buahan

Malus pumila Apel Asia Tengah, Himalayan Buah segar/ sirup

Sumber : BB-Biogen, Badan Litbang Pertanian, 2007

6.2. Ancaman Keanekaragaman Hayati

Ancaman terhadap keanekaragaman hayati di Indone­sia umumnya disebabkan oleh kerusakan dan peman­faatan yang berlebihan. Fenomena perubahan iklim akhir­akhir ini juga merupakan suatu ancaman serius bagi keberlangsungan hidup keanekaragaman hayati di Indonesia. Dengan naiknya suhu global rata­rata permukaan bumi sebesar 1,5 – 2,5oC risiko kepunahan tumbuhan dan hewan akan meningkat menjadi sebe­sar 20 – 30 %.

6.2.1. Perubahan Ekosistem

Ancaman yang paling utama dalam pelestarian eko­sistem hutan adalah kebakaran hutan dan lahan, il-legal logging, pemanfaatan sumber daya hayati yang berlebihan, perambahan kawasan hutan, dan eksploi­tasi yang bersifat destruktif turut memberikan andil besar dalam proses deforestasi dan degradasi ling­

kungan yang dapat mengancam keseimbangan eko­sistem secara keseluruhan.

Pada tahun 2007, luas kawasan hutan di Indonesia yang terbakar mencapai 6.974,62 hektar (ha). Dari luasan hutan yang terbakar itu, 228 ha adalah hutan lindung, 349,6 ha merupakan hutan suaka alam, 40 ha taman wisata alam, 4 ha taman hutan raya, 86 ha taman buru dan 5.256,42 ha merupakan taman nasional.

Selama tahun 2007 pula, tercatat berbagai gangguan yang mengancam eksistensi dan kondisi kawasan hu­tan. Gangguan berupa penyerobotan kawasan hutan oleh masyarakat mencapai luasan 32.678,39 ha, se­dangkan gangguan terhadap tegakan hutan berupa penebangan ilegal diperkirakan telah mengakibatkan kehilangan kayu sebanyak 3.650,59 m3 kayu bulat. Untuk lebih jelasnya mengenai kerusakan hutan dapat dilihat pada Bab 4 Lahan dan Hutan.

Page 10: 6_keanekaragamanHayati

�0�STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008

Keanekaragaman Hayati

6.2.2. Perburuan dan Perdagangan Ilegal Satwa Liar

Perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar meru­pakan ancaman serius bagi kelangsungan hidup satwa tersebut. Tingginya harga barang­barang kerajinan yang berasal dari bagian tubuh satwa liar merupakan pemicu peningkatan perburuan dan perdagangan ile­gal satwa liar.

Kuota tangkap monyet ekor panjang kembali naik. Untuk tahun 2008, berdasarkan rekomendasi dari LIPI, kuota tangkap keseluruhan adalah 5.100 ekor, dengan rincian 2.000 ekor untuk induk penangkaran, 3.000 untuk riset biofarma, dan 100 ekor untuk PS IPB. Kuota tangkap ini belum disahkan oleh Departe­men Kehutanan atau masih dalam proses. Pada tahun 2007, kuota tangkap monyet ekor panjang 4.100. Se­

dangkan pada tahun 2006, kuota tangkap dari alam untuk monyet ekor panjang adalah 2.000 ekor yang dimanfaatkan hanya untuk pengganti induk tangkar (Kotak 2).

Jika rekomendasi LIPI tersebut disahkan, tentunya mengancam keberadaan monyet ekor panjang di alam. Belum lagi pada banyak kasus, kuota tangkap banyak disalahgunakan untuk penangkapan dengan tujuan perdagangan ilegal. Kuota tangkap dari alam yang dikontrol pemerintah secara resmi pada tahun 2007 hanya 4.100 ekor. Akan tetapi berdasarkan pantauan, penangkapan dari alam yang dijual bebas di pasar bu­rung di Pulau Jawa dan Bali pada tahun 2007 tidak kurang dari 5.000 ekor. Belum lagi di pulau­pulau lain yang masih banyak eksplotasi monyet ekor panjang ini.

Kotak 6.2

Kuota Monyet Ekor Panjang Terus Meningkat

Berdasarkan rekomendasi dari LIPI, kuota tangkap monyet ekor panjang kembali naik. Untuk tahun 2008, kuota tangkap keseluruhan adalah 5.100 ekor, dengan rincian 2.000 ekor untuk induk penangkaran, 3.000 ekor untuk riset biofarma, dan 100 ekor untuk PS IPB. Pada tahun 2007, kuota tangkap monyet ekor panjang adalah 4.100. Se­dangkan pada tahun 2006, kuota tangkap dari alam untuk monyet ekor panjang adalah sebanyak 2.000 ekor dan hanya dimanfaatkan untuk pengganti induk tangkar.

Di Indonesia, monyet ekor panjang belum termasuk jenis satwa dilindungi secara hukum. Peningkatan kuota penangkapan ini akan mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup monyet ekor panjang di alam. Dalam beberapa kasus, kuota tangkap banyak disalahgunakan untuk penangkapan dengan tujuan perdagangan ilegal.

Dengan eksploitasi yang dilakukan secara terus­menerus, tentunya akan mempengaruhi jumlah monyet ekor panjang di alam, selain penyebaran monyet ekor panjang yang tidak merata di setiap daerah, dan hilangnya habitat monyet ekor panjang akibat meningkatnya kegiatan pembangunan di semua sektor. Habitat monyet ekor panjang telah hilang 70 % dari luas habitat semula 217.981 km2 menjadi 73.371 km2 dan di dalam kawasan konservasi menempati areal 7.525 km2.

Perdagangan Ilegal Terus Berjalan

Kuota tangkap dari alam yang dikontrol pemerintah secara resmi untuk tahun 2007 hanya 4.100 ekor. Namun demikian, berdasarkan pantauan ProFauna Indonesia, penangkapan dari alam yang dijual bebas di pasar burung di Jawa dan Bali pada tahun 2007 tidak kurang dari 5.000 ekor. Belum lagi di pulau­pulau lain yang masih mengeksplotasi monyet ekor panjang ini.

Pemanfaatan monyet ekor panjang untuk penelitian penyakit dan penelitian biofarma hendaknya segera digan­tikan dengan alternatif bukan satwa. Selain itu, kuota tangkap monyet ekor panjang dari alam diharapkan dapat diturunkan bahkan ditiadakan karena indikasi berkurangnya populasi di alam yang disebabkan hilangnya habitat. Penurunan jumlah kuota tangkap sampai nihil untuk monyet ekor panjang adalah upaya perlindungan maksimal yang seharusnya bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi ancaman kepunahan satwa ini.

Sumber: Profauna Indonesia, 2007Foto: www.detik.com

Page 11: 6_keanekaragamanHayati

�08 STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008

Keanekaragaman Hayati

Dalam laporan utama newsletter Satwa Liar Volume 5 Tahun III September 2008 dipaparkan bahwa pada tahun 2003 terdapat 56 kasus pidana pelanggaran perundangan lingkungan hidup (penebangan liar, per­buruan satwa dilindungi, perambahan dan perusakan hutan serta pembakaran hutan) di Taman Nasional

Way Kambas (TNWK) di Kabupaten Lampung Timur, Lampung. Kemudian di tahun 2004 kasus itu turun menjadi 36 kasus, tahun 2005 sebanyak 15 kasus, 2006 sebanyak 9 kasus dan di tahun 2007 juga se­banyak 9 kasus. Pada tahun 2008 masih terdapat 5 kasus.

Kotak 6.3

Tiap Tahun 500 Orang Utan Diperjualbelikan

Lebih dari 500 ekor orang utan Kalimantan (Pongo Pygmaeus) beredar di pasaran setiap tahun, padahal satwa ini tercantum dalam Appendix I CITES atau spesies sangat langka dan dilindungi. Orang utan yang diperjualbelikan adalah orang utan bayi, sehingga untuk menangkap bayi orang utan, induknya harus dibunuh. Jika kondisi tersebut tidak diperbaiki, dalam 50 tahun ke de­pan, orang utan Kalimantan akan punah, apa lagi karena habitat orang utan terus berkurang dengan kecepatan sampai 3 km2 per tahun.

Sejak adanya UU No 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya, orang utan sebenarnya sudah dimasukkan dalam daftar satwa

yang dilindungi dan bagi pemeliharanya merupakan pelanggaran hukum. Dengan adanya UU tersebut banyak yang kemudian menyerahkan satwa liar peliharaannya kepada Balai Konservasi Sumber daya Alam.

Namun dikarenakan adanya izin memelihara satwa liar yang sampai saat ini masih berlaku, setiap orang utan yang ditemukan dipelihara dengan ilegal tidak dimasukkan dalam dokumen penyitaan dan hanya dimasukkan dalam dokumen penyerahan.

Pihak­pihak yang menyerahkan satwa ini ke pusat rehabilitasi banyak disebabkan karena orang utan yang dipelihara sudah berumur lebih dari tiga tahun. Hal ini merupakan beban bagi si pemelihara karena biaya pemeliharaan yang harus dikeluarkan semakin besar.

Permasalahan lain karena kapasitas pusat­pusat rehabilitasipun sudah tak lagi mampu menampung orang utan yang ingin diserahkan pemiliknya dan adanya pihak­pihak yang kebal hukum memperdagangkannya secara ilegal. Menurut pakar orang utan dari LIPI, ada empat spesies kera besar di dunia, tiga di antaranya ada di Afrika dan satu spesies hanya ada di Indonesia dan Malaysia yakni orang utan. Populasi orang utan Kalimantan (Pongo pygmaeus) saat ini tinggal 50.000 ekor dan orang utan Sumatera (Pongo abelii) tinggal 6.650 ekor serta telah dimasukkan dalam daftar merah sedang terancam punah. Jumlah populasi kedua jenis satwa langka ini merupakan separuh dari jumlah populasi 20 tahun lalu.

Sumber : Antara, 10 Februari 2009

6.2.3. Konflik Manusia dan Satwa

Konflik antara manusia dan satwa liar cenderung se­makin meningkat. Konflik ini terjadi karena aktivitas manusia di sekitar habitat satwa liar semakin tinggi yang mengganggu ketersediaan air, satwa mangsa dan ruang jelajah bagi satwa liar tersebut. Kerusakan tanaman pertanian dan perkebunan serta ternak sering terjadi akibat konflik antara manusia dan satwa

liar. Namun pada akhirnya seringkali satwa liar yang berkonflik dengan manusia ini yang menjadi korban.

Berdasarkan hasil patroli Wildlife Response Unit di sekitar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, pada sekitar bulan Maret dan April 2008 telah terjadi kon­flik antara manusia dan harimau yang mengakibatkan kerugian 5 ekor kambing, 3 ekor anjing dan 1 orang korban jiwa serta 1 ekor harimau.

Page 12: 6_keanekaragamanHayati

�0�STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008

Keanekaragaman Hayati

Gambar 6.2 Konflik Antara Manusia dan Satwa

Konflik antara manusia dan gajah di Ulu Semong, Lampung

Konflik antara manusia dan harimau di sekitar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Sumber: http://www.wildlifecrimesunit.com/

6.2.4. Sumber Daya Genetik

Indonesia yang sangat kaya dengan sumber daya ge­netik (SDG) belum memanfaatkan SDG asli Indonesia secara optimal. Banyak SDG yang dibudidayakan dan dimanfaatkan di Indonesia berasal dari negara lain. Sebaliknya, negara lain sudah banyak memanfaatkan SDG yang berada di Indonesia. Banyak SDG Indonesia diteliti dan dimanfaatkan negara lain untuk dijadikan obat komersial dan dipatenkan. Apabila pemanfaatan SDG Indonesia ini terus dibiarkan, kondisi ini akan menjadi ancaman bagi kelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.

Penggunaan varietas unggul secara monokultur, juga akan menggusur varietas lokal dan mempersempit basis genetis tanaman pertanian yang akhirnya ber­potensi terhadap kepunahan varietas lokal tersebut.

6.3. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati

6.3.1. Kebijakan dan Program

6.3.1.1. Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati

1) Penanaman 12.000 bibit karet dan 4.000 bibit tanaman buah dan tanaman hutan di kawasan seluas 30 ha pada awal tahun 2008 dalam rangka rehabilitasi lahan kritis di daerah pe­nyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh.

2) Peresmian Taman Keanekaragaman Haya­ti Jawa Tengah pada 27 November 2008. Dalam Taman Keanekaragaman Hayati juga ditanam 15.000 tanaman yang terdiri dari 39 jenis tanaman lokal Jawa Tengah.

6.3.1.2. Pengembangan Kebijakan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik

Pada pasal 15 Konvensi Keanekaragaman Hayati telah diamanatkan mengenai pengaturan sumber daya genetik, khususnya akses terhadap sumber daya ge­netik dan pembagian keuntungan dari pemanfaatan­nya. Pembagian keuntungan secara adil dan merata dari pemanfaatan sumber daya genetik tersebut juga diamanatkan dalam tujuan ketiga KKH.

Mengacu pada pasal 15 KKH tersebut, masing­masing negara pihak memiliki mandat untuk mengatur akses pada kekayaan sumber daya hayati yang berada di wilayah kedaulatannya dengan penerapan pengaturan nasional yang sesuai. Namun demikian, masih banyak permasalahan yang harus diupayakan penyelesaiannya agar pengaturan tersebut dapat diimplementasikan, yang meliputi cakupan wilayah pengaturan sumber daya genetik, konsep kepemilikan dari sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional, cakupan wilayah akses, prosedur perijinan akses, kelembagaan dan perlindungan hak kekayaan intelektual atas peman­faatan sumber daya genetik.

Mengingat isu yang terkait dengan perlindungan hak kekayaan intelektual atas pemanfaatan sumber daya genetik terkait dengan rejim hak kekayaan intelek­tual, maka dalam proses penyusunan pengaturan isu tersebut perlu dilakukan pembahasan khusus dengan instansi yang memiliki kewenangan dalam pengaturan perijinan perlindungan hak kekayaan intelektual. Se­bagai anggota negara pihak pada Patent Cooperation Treaty (PCT)-WIPO dan WTO, pengaturan perlindungan hak kekayaan intelektual yang ada masih mengadopsi penuh aturan yang ada pada TRIPs Agreement pada WTO. Sedangkan prinsip pengaturan perlindungan

Page 13: 6_keanekaragamanHayati

��0 STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008

Keanekaragaman Hayati

yang ada pada TRIPs Agreement-WTO bertentangan dengan prinsip pengaturan yang ada pada CBD.

Pada CBD terdapat ketentuan yang mengatur me­ngenai pembagian keuntungan dari pemanfaatan sum­ber daya genetik dan mengakui kedaulatan negara untuk mengatur sumber daya alam yang dimilikinya, termasuk sumber daya genetik. Sedangkan pada TRIPs Agreement tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pembagian keuntungan dari pemanfaatan sumber daya genetik yang telah diberikan hak perlind­ungan kekayaan intelektualnya dan dikomersialisasi­kan. Pada TRIPs Agreement tidak ada ketentuan yang mengharuskan proses pemberian perlindungan hak kekayaan intelektual memperhatikan kedaulatan ne­gara asal sumber daya genetik sehingga perlindungan hak kekayaan intelektual yang diberikan terkadang ti­dak sesuai dengan aturan nasional asal sumber daya genetik tersebut.

Indonesia, sebagai salah satu negara megabiodiver-sity harus mempersiapkan posisi atas isu tersebut agar dapat memperoleh manfaat dengan adanya pengaturan tersebut. Gambaran sikap Indonesia pada tingkat internasional tersebut merefleksikan bagaimana pengaturan nasional akan diformulasikan dan diimplementasikan, seperti yang akan dituang­kan dalam penyempurnaan subtansi RUU Pengelolaan Sumber Daya Genetik.

Seiring dengan hal tersebut, Indonesia harus mem­persiapkan pula database SDG dan pengetahuan tradi­sional yang terkait dengan SDG, mengingat database ini merupakan hal yang sangat penting terkait dengan dasar atau bukti kepemilikan SDG dan pengetahuan tradisional bagi Indonesia apabila pengaturan interna­sional akan diimplementasikan. Selain itu, dokumen­tasi secara lengkap mengenai sumber daya genetik sangat diperlukan guna mendukung upaya pengelolaan sumber daya genetik secara berkelanjutan dan men­dukung upaya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Dokumentasi ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi pendukung oleh pengambil keputusan dalam proses akses dan pembagian keuntungan atas peman­faatannya.

6.3.1.3. Implementasi Kerangka Kerja Keamanan Hayati

1) Pembentukan Komisi Keamanan Hayati.

2) Penyusunan manual pengkajian risiko dan pengelolaan risiko produk rekayasa genetik.

3) Penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Ke­anekaragaman Hayati Nasional.

6.3.1.4. Implementasi Perangkat Konservasi Ke-anekaragaman Hayati

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Keaneka­ragaman Hayati (KKH) melalui Undang­Undang No.5 Tahun 1994 dengan National Focal Point (NFP) adalah Deputi III Bidang Peningkatan SDA dan Pengenda­lian Kerusakan Lingkungan­KLH. Sebagai NFP KKH, Deputi III­KLH berfungsi sebagai koordinator dalam pelaksanaan pasal­pasal KKH dan agenda kerja na­sional dari pelaksanaan keputusan Conference of the Parties (COP).

A. Penyusunan Posisi Delri pada Pertemuan Subsid-iary Body on Scientific, Technical and Technological Advice (SBSTTA)

Pertemuan SBSTTA telah dilaksanakan di Roma, Italia pada tanggal 18­22 Februari 2008 dengan dihadiri oleh wakil dari LIPI sebagai salah satu NFP SBSTTA. Tujuan pertemuan ini adalah membahas beberapa isu sebagai bahan masukan pada pertemuan COP­9 dari segi teknis dan ilmiah berdasarkan hasil riset dan stu­di ilmiah terhadap isu­isu yang terkait dengan CBD. Beberapa isu yang dibahas pada pertemuan tersebut, antara lain :

1) Agricultural biodiversity2) Forest biodiversity3) Marine and coastal biodiversity4) Invasive alien species5) Climate change6) New and emerging isues relating to the conserva­

tion and sustainable use of biodiversity

Hal penting yang perlu dicermati dan ditindaklanjuti adalah isu pemanfaatan energi alternatif, khususnya biofuel. Perlu dilakukan penjajakan mengenai kemung­kinan pembahasan sumber energi alternatif selain minyak kelapa sawit, seperti jarak, singkong, tebu, palem­paleman dan kacang­kacangan lainnya sebagai energi alternatif. Isu lain yang perlu mendapat perha­tian pada sektor kehutanan adalah istilah illegal logging dalam draf rekomendasi konvensi yang dirubah men­jadi illegal and unathorized harvesting. Istilah ini akan menguntungkan bagi Indonesia, karena tidak melihat hanya dari sisi penghasil kayu saja tetapi perlu dilihat dari sisi penerima kayu dimana pihak penerima atau konsumen juga memiliki tanggung jawab untuk tidak menggunakan kayu yang diperoleh secara ilegal.

B. Penyusunan Posisi Delri pada Conference of the Parties (COP) Convention on Biological Biodiversity (CBD) yang ke-9

Pertemuan COP­9 telah dilaksanakan di Bonn, Jer­man pada tanggal 18­30 Mei 2008. Pertemuan bertu­juan untuk membahas implementasi pasal­pasal yang

Page 14: 6_keanekaragamanHayati

���STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008

Keanekaragaman Hayati

ada pada KKH serta menjalin kerjasama antar pihak dalam melaksanakan KKH. Beberapa isu yang diba­has, antara lain :

1) Agriculture biodiversity2) Forest biodiversity3) Protected areas4) Access and benefit sharing5) Article 8(j) and related provisions (traditional knowl-

edge)6) Biodiversity in marine and coastal areas7) Global Taxonomy Initiative (GTI)8) Global Strategy for Plant Conservation (GSPC)9) Biodiversity and Climate Change10) Financial resources and financial mechanism

Isu yang menjadi perhatian utama Delegasi Republik Indonesia (Delri) antara lain:

1) Agriculture biodiversity and biofuel Indonesia menekankan perlunya melakukan upa­

ya­upaya untuk meningkatkan manfaat positif dan mengurangi dampak negatif dari produksi dan penggunaan biofuel secara berkelanjutan.

2) Access and benefit sharing (ABS) Delri menyampaikan pentingnya negara pihak un­

tuk dapat segera menyelesaikan pembahasan ABS serta mencapai kesepakatan mengenai rejim in­ternasional ABS sebelum COP­10 pada tahun 2010. Pada COP­9 telah berhasil disepakati Bonn Roadmap dalam menyelesaikan perundingan bagi pembentukan rezim internasional mengenai ac-cess and benefit sharing (ABS) yang harus selesai sebelum COP­10 tahun 2010.

3) Protected areas Coral Triangle Initiative (CTI) yang merupakan ini­

siatif Pemerintah Indonesia, Philipina, Papua dalam konservasi laut.

4) Climate Change. Delri menyampaikan perlu adanya sinergi antara

ketiga konvensi, yaitu KKH, UNFCC dan UNCCD.

Beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti dari COP­9 antara lain :

1. Untuk membentuk rezim internasional mengenai ABS, Indonesia perlu melaksanakan lokakarya na­sional dengan melibatkan berbagai pakar hukum internasional yang memahami isu ABS. Para pakar ini diharapkan dapat memberikan analisis hukum dan rekomendasi atas komponen­komponen dari rancangan rezim internasional ABS yang akan di­negosiasikan melalui Ad Hoc Open-Ended Working Group on ABS mulai tahun 2009. Hal ini telah ditindaklanjuti yaitu dengan melibatkan pakar hu­

kum internasional.

2. Indonesia perlu mengadakan lokakarya nasional dan kajian sustainable production and use of bio-fuels untuk meningkatkan manfaat dan mengurangi dampak negatifnya.

C. Sosialisasi KKH dan Hasil COP-9 CBD kepada Stakeholder

KKH telah disosialisasikan ke berbagai stakeholder baik di pusat maupun di daerah (Yogyakarta dan Makasar). Pada sosialisasi tersebut disampaikan pro­gram kerja yang ada pada KKH dan menyampaikan informasi tentang agenda pertemuan pakar maupun working group yang diterima dari Sekretariat KKH.

Pada bulan Juni 2008, KLH sebagai NFP KKH me­ngadakan sosialisasi ke berbagai stakeholder tentang hasil COP­9. Pada pertemuan tersebut disampaikan beberapa hal antara lain :

1. Masing­masing sektor akan menindaklanjuti kepu­tusan­keputusan COP­9 sesuai dengan tupoksi masing­masing sektor.

2. Isu pemanfaatan komponen kehati sebagai sumber energi alternatif (biofuel) perlu mendapat perha­tian besar, karena isu ini merupakan isu penting yang dibahas pada COP­9. Hal ini didasari adanya indikasi praktik pembukaan hutan dan kawasan gambut untuk penanaman tanaman sumber alter­natif energi (kelapa sawit dan jarak) yang menye­babkan kemerosotan keanekaragaman hayati.

3. Sebelum menetapkan rezim internasional untuk ABS di COP­10 pada tahun 2010, Indonesia perlu melakukan kajian hukum serta manfaat bagi In­donesia dan bagaimana konsekuensi terhadap aturan nasional.

6.3.2. Konservasi In-Situ

Konservasi in-situ merupakan metode dan alat untuk melindungi jenis, variasi genetik dan habitat dalam ekosistem aslinya. Pendekatan in-situ meliputi pene­tapan dan pengelolaan kawasan lindung seperti : cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wi­sata alam, hutan lindung, sempadan sungai, kawasan plasma nutfah dan kawasan bergambut.

Di bidang kehutanan dan pertanian, pendekatan in-situ juga digunakan untuk melindungi keanekaragaman genetik tanaman di habitat aslinya serta penetapan spesies dilindungi tanpa menspesifikasikan habitat­nya. Pendekatan in-situ juga termasuk pengelolaan satwa liar dan strategi perlindungan sumber daya di luar kawasan lindung.

Page 15: 6_keanekaragamanHayati

��� STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008

Keanekaragaman Hayati

Tabel 6.6. Jumlah dan Luas Kawasan Konservasi Tahun 2007

No Fungsi Kawasan Konservasi

Daratan Perairan Jumlah Daratan dan Perairan

Unit Luas (Ha) Unit Luas (Ha) Unit Luas (Ha)

1. Cagar alam 236 4.588.665,44 8 273.515,10 244 4.862.180,54

2. Suaka Margasatwa 75 5.099.849,06 6 338.940,00 81 5.438.789,06

3. Taman Nasional 50 12.298.216,34 7 4.043.541,30 57 16.341.757,64

4. Taman Wisata Alam 105 257.316,53 19 767.120,70 124 1.024.437,23

5. Taman Hutan Raya 21 343.454,91 ­ ­ 21 343.454,91

6. Taman Buru 14 224.816,04 ­ ­ 14 224.816,04

Jumlah Kawasan Konservasi 501 22.812.318,32 40 5.423.117,10 541 28.235.435,42

Sumber: Departemen Kehutanan, 2008

Pada tahun 2007, terdapat 236 unit Cagar Alam Da­rat dengan total luas 4.588.665,44 ha, dan 8 unit Cagar Alam perairan dengan luas sekitar 273.515,00 ha. Sedangkan Suaka Margasatwa darat sebanyak 75 unit dengan luas 5.099.849,06 ha serta 6 unit Suaka Margasatwa perairan dengan luas sekitar 338.940,00 ha.

6.3.3. Konservasi Ex-Situ

Konservasi ex-situ bertujuan untuk melindungi jenis tanaman, satwa liar dan organisme mikro serta va­rietas genetik di luar habitat atau ekosistem aslinya. Kegiatan yang umum dilakukan antara lain penang­karan, penyimpanan atau pengklonan karena alasan: (1) habitat mengalami kerusakan akibat konversi; (2) materi tersebut dapat digunakan untuk penelitian, percobaan, pengembangan produk baru atau pendi­dikan lingkungan. Dalam metode tersebut termasuk: pembangunan kebun raya, koleksi mikologi, museum, bank biji, koleksi kultur jaringan dan kebun binatang. Mengingat bahwa organisme dikelola dalam lingkung­an buatan, metode ek-situ mengisolasi jenis dari pro­ses­proses evolusi.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Ta­hun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa, pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habi­tatnya (ex-situ) dilaksanakan untuk menyelamatkan sumber daya genetik dan populasi jenis tumbuhan dan satwa. Upaya ini meliputi juga koleksi jenis tumbuhan dan satwa di lembaga konservasi.

6.3.4. Konservasi Plasma Nutfah

Konservasi plasma nutfah pada dasarnya dilakukan dengan dua cara, yaitu konservasi in-situ dan ex-situ

dan akhir­akhir ini berkembang dengan pelestarian lekat lahan (on-farm conservation) untuk tanaman ekonomis. Program pelestarian in-situ dilakukan di habitatnya (tempat tumbuh aslinya), yaitu di dalam kawasan suaka alam (cagar alam), kawasan pelestari­an alam (taman nasional, hutan rawa), cagar biosver. Bahkan akhir­akhir ini telah ditetapkan “Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah“ di setiap Areal Hak Pe­ngusahaan Hutan (HPH) seluas minimal 300 ha, dan telah tersedia pula pedoman pengelolaannya (Komisi Nasional Plasma Nutfah, 1997). Sedangkan pelestari­an ex-situ dilakukan dengan memindahkan individu dari tempat tumbuh alaminya dan dilestarikan di tem­pat lain seperti: di Bank Gen, kebun koleksi, arbore­tum, kebun plasma nutfah, kebun botani dan koleksi biak.

Program pelestarian ex-situ merupakan salah satu butir yang tertuang dalam konvensi tentang keaneka­ragaman hayati. Di dalam dokumen itu disebutkan pula bahwa terutama di negara­negara asal komponen keanekaragaman hayati berada perlu dikembangkan konservasi ex-situ. Termasuk di sini adalah plasma nutfah nabati dan jasad renik.

Walaupun program pelestarian plasma nutfah dalam dasawarsa terakhir semakin meningkat, tetapi perlu pula disebutkan bahwa tindakan pelestarian tersebut telah pula dilakukan jauh sebelum Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati dicanangkan, seperti yang dilaporkan oleh KPPNN (1982). Kegiatan pelestarian plasma nutfah tumbuhan dan tanaman telah lama di­lakukan oleh berbagai pihak seperti lembaga peneli­tian, perguruan tinggi, LSM, petani dan masyarakat tradisional, namun pelestarian mikroba (jasad renik) secara ex-situ masih terbatas pada lembaga peneli­tian.

Page 16: 6_keanekaragamanHayati

���STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008

Keanekaragaman Hayati

a. Kegiatan pelestarian ex-situ

1). Eksplorasi dan pengumpulan yang dilakukan ham­pir di seluruh provinsi di Indonesia, walaupun hasil yang diperoleh masih jauh dari mencukupi karena terbatasnya dana dan tenaga. Provinsi­provinsi yang pernah dieksplorasi adalah:

• Aceh (padi dari seluruh kabupaten), buah­buah­an, kacang­kacangan, ubi­ubian, Pinus merkusii).

• Sumatera Utara (padi dan palawija, Pinus merkusii, pisang, anggrek).

• Sumatera Barat (padi, pisang, ubi­ubian).

• Sumatera Selatan (padi, buah­buahan, ubi­ubian, kacang­kacangan).

• Jambi dan Bengkulu (padi dan palawija).

• Lampung (padi dan palawija).

• Seluruh Pulau Jawa (padi dan palawija, buah­buahan, ubi­ubian, sayur­sayuran).

• Kalimantan Tengah (padi).

• Kalimantan Timur (padi, anggrek, buah­buahan, Dipterocarpaceae).

• Kalimantan Barat (padi dan palawija, buah­bua­han, ubi­ubian).

• Kalimantan Selatan (padi, Pericopsis, rotan).

• Bali (padi, anggrek, kedelai).

• Nusa Tenggara Barat (padi, kacang­kacangan).

• Nusa Tenggara Timur (padi, ubi­ubian, kacang­kacangan, Eucalyptus).

• Sulawesi Utara (padi, kelapa).

• Sulawesi Tenggara (buah­buahan, ubi­ubian, tanaman hias).

• Sulawesi Tengah (padi dan palawija).

• Sulawesi Selatan (padi dan palawija).

• Maluku (padi dan palawija, tebu, anggrek, ubi­ubian).

• Irian Jaya (padi liar) (Merauke dan Taman Na­sional), tebu, pisang, anggrek.

Pengumpulan dilakukan dalam bentuk biji, tumbuhan hidup, dan spesimen herbarium dari tumbuhan liar maupun tanaman budidaya.

2). Karakterisasi dan evaluasi sifat.3). Pendokumentasian koleksi (database).4). Pemonitoran erosi dari koleksi.

Jumlah koleksi plasma nutfah pertanian yang telah dikumpulkan di Badan Litbang tertera dalam Tabel 6.7, 6.8, dan 6.9 dikonservasi di Bank Gen (Cold Stor-age dan Koleksi Lapang).

Tabel 6.7. Koleksi Plasma Nutfah Padi dan Palawija

No. Jenis Tanaman Total Koleksi

1.Padi ( O. sativa) Padi liar (wild rice spp.)

3583 (aksesi)90

2. Jagung 875

3. Sorgum 209

4. Kacang kedelai 750

5. Kacang hijau 917

6. Kacang tanah 1194

7. Kacang potensial 180

8. Ubi jalar 1767

9. Ubi kayu 560

10. Ubi­ubian potensial 190

11. Talas 220

Sumber: BB-Biogen, 2007

Page 17: 6_keanekaragamanHayati

��� STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008

Keanekaragaman Hayati

Tabel 6.8 Koleksi Plasma Nutfah Tanaman Hortikultura, Rempah dan Obat 2007

Komoditas Lokasi JumlahRempah dan obat Balitro­Bogor 274 jenisSayuran Balitsa­Lembang 1507 aksesiBuah­buahan BPTP, Subang 52 jenis

Balitbu, Solok (Sumbar) 190 klon pisang dan 22 jenis buah lainnyaBPTP Sumut (Gurgur) 73 jenis

BPTP Sukarami 5 jenisSukarami 5 jenis

Tanaman hias (mawar) Cipanas 33 jenisSegunung 23 jenisPs. Minggu 25 jenis

Sumber: BB-Biogen, 2007

Tabel 6.9 Plasma Nutfah Tanaman Serat dan Perkebunan 2007

Komoditas Lokasi Jumlah aksesiTanaman serat Balit Tembakau dan 43 jenis

­ Kapas Tanaman Serat, Malang 678­ Tembakau 1335­ Rami ­ Kenaf­ Wijen­ Jarak Kepyar (untuk

pelumas)70

­ Jarak Pagar(untuk Biofuel)

194

­ Rosella 1527­ Kapuk­ Abaca 54­ Linum 28

Karet Medan 9130Kina Balit Teh dan Kina, Gambung 600Teh Balit Teh dan Kina, Gambung 870Kopi Balit Kopi dan Kakao, Jember 1292Kakao Balit Kopi dan Kakao, Jember 570Kelapa sawit PPKS, Medan 7788Kelapa Balitka, Manado 64Pinang Balitka, Manado 33Sagu Balitka, Manado 7Aren Balitka, Manado 15Tebu Pasuruan 6009 aksesi

Sumber: BB-Biogen, 2007

Pengelolaan operasional plasma nutfah tanaman se­bagaian besar dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Balai Penelitian Komoditas Pertanian, di bawah Badan Litbang Pertanian. Pusat atau Balai Penelitian komo­ditas mengelola koleksi plasma nutfah komoditi yang menjadi tanggung jawabnya. Koleksi plasma nutfah ini pada dasarnya dimaksudkan untuk mendukung pro­gram pemuliaan, sehingga sifat koleksi lebih sebagai “Koleksi material kerja” (working collection).

b. Koleksi Plasma Nutfah oleh LIPI

Kegiatan pelestarian keragaman plasma nutfah tana­man di lingkup institusi LIPI merupakan bagian dari koleksi spesies tanaman (keragaman hayati flora) dalam bentuk kebun raya, cagar alam, kebun kolek­si spesies. Koleksi plasma nutfah tanaman dilaku­kan terhadap spesies anggrek, bambu, dan beberapa tanaman lainnya seperti (koleksi ubi­ubian: Colocasia,

Page 18: 6_keanekaragamanHayati

���STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008

Keanekaragaman Hayati

Dioscorea, Xanthosoma, Alocasia, Amorphophallus; ka­cang­kacangan: Phosphocarpus, Vigna, Cajanus, Gly-cine, Mucuna, jenis kacang lain; buah­buahan: pisang, buah­buahan lain; sayur­sayuran: Amaranthus; tana­man industri: tanaman obat, anggrek, tebu; lain­lain: koleksi kebun raya, biak jasa renik) – biji simpan aktif, tanaman hidup.

c. Koleksi Plasma Nutfah pada Lembaga Non Pe-merintah

LSM dan Lembaga kemasyarakatan seperti PKK, Ka­rang Taruna banyak memiliki kebun koleksi spesies (koleksi keragaman hayati), masing­masing spesies terdiri dari beberapa “varietas”. Pada koleksi spesies yang berupa koleksi keragaman hayati, status koleksi plasma nutfahnya minimal. LSM pelestari padi yakni : SPTN – HPS (DIY); Yayasan Padi di Kalimantan Timur; dan LSM di Kalimantan Barat.

d. Koleksi Plasma Nutfah oleh Pengusaha

Perorangan, koperasi, atau perusahaan yang berkai­tan dengan usaha­komersial tanaman hias, sering mempunyai koleksi plasma nutfah dari spesies ter­tentu, seperti anggrek, palem, mawar, dan lain­lain, tetapi koleksinya terbatas pada plasma nutfah yang memiliki keunikan sifat hiasan. Koleksi tanaman hias merupakan komoditas penting dalam perdagangan in­ternasional, namun konservasinya belum optimum.

e. Koleksi Plasma Nutfah di Fakultas Pertanian

Secara terbatas, beberapa Fakultas Pertanian memi­liki koleksi plasma nutfah tanaman. Sebagai contoh: Institut Pertanian Bogor (koleksi rambutan, durian, alpukat, mangga, nangka, kentang dan ubi­ubian), Fakultas Pertanian UGM memiliki koleksi ganyong, kacang­kacangan, padi gogo; Fakultas Pertanian Univ. Jember koleksi tembakau, pisang dan kede­lai; Fakultas Pertanian UNPAD koleksi kedelai, cabe merah; Fakultas Pertanian UNIBRAW koleksi pisang, Universitas Udayana (jeruk), Universitas Sebelas Ma­ret (koleksi mangga); Universitas Mulawarman (koleksi padi).

Mengingat pentingnya plasma nutfah sebagai bahan pembelajaran bagi mahasiswa, pemeliharaan koleksi

plasma nutfah di Fakultas Pertanian perlu lebih di­tingkatkan.

f. Koleksi Plasma Nutfah pada Petani di Pedesaan

Plasma nutfah tanaman yang berupa varietas lokal banyak dipelihara petani dan dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan usaha budidaya. Walaupun setiap petani mungkin hanya memiliki satu­dua varietas lokal alamiah, tetapi dengan banyaknya petani di seluruh Indonesia, maka total koleksi plasma nutfah varietas lokal untuk komoditi tertentu sangat besar. Contoh : Petani Tradisional Dayak melestarikan : padi, paku danum; Padi spesifik di daerah masing­masing (Mentik dan Rojolele di Jawa Tengah, Padi Sikodok, Siramos, Arias di Sumatera Utara, Padi Mayas di Kalimantan Timur).

g. Plasma Nutfah di Habitat Asli (in-situ)

Plasma nutfah yang terdapat di habitat asli terutama adalah plasma nutfah spesies asli Indonesia, seperti durian, salak, tebu, palem, rambutan, umbi­umbian (yam/Dioscorea), pisang, anggrek, rotan dan kemung­kinan masih banyak spesies tanaman lain yang plasma nutfahnya cukup banyak yang belum teridentifikasi. Pelestarian plasma nutfah secara in-situ ini sangat ra­wan kerusakan, karena eksploitasi dan konversi hutan yang kurang bersifat konservatif. Kebijakan pelestari­an plasma nutfah secara in-situ kita masih lemah.

6.3.5. Penangkaran dan Budidaya

Agar tidak mengalami kepunahan, pemerintah telah mendorong pengembangan berbagai kegiatan penang­karan flora dan fauna. Kegiatan ini terutama dilaku­kan untuk menyelamatkan spesies flora dan fauna yang terancam punah, membantu re-stocking populasi hidupan liar yang ada di alam, meneliti, dan memenuhi kebutuhan permintaan pasar baik domestik maupun ekspor.

Penangkaran untuk tujuan pemanfaatan jenis tum­buhan dan satwa liar dilakukan melalui kegiatan pengembangbiakan satwa atau perbanyakan tumbuh­an secara buatan dalam lingkungan yang terkontrol dan penetasan telur dan atau pembesaran anakan yang diambil dari alam (Tabel 6.10).

Page 19: 6_keanekaragamanHayati

��� STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008

Keanekaragaman Hayati

Tabel 6.10 Jumlah Penangkaran Satwa dan Tumbuhan 2006 dan 2007

NO Provinsi

Jumlah Perusahaan Penangkar

Tumbuhan dan Satwa Liar yang Dilindungi

Tumbuhan dan Satwa Liar yang Tidak Dilindungi

2006 2007 2006 2007

A. Tumbuhan

1 Sumatera Utara ­ 1

2 Jawa Barat ­ 5

3 Jawa Timur ­ 1

4 Sulawesi Selatan ­ 1

Jumlah A ­ 8

B. Satwa

1 Nangroe Aceh Darussalam ­ ­

2 Sumatera Utara 5 ­

3 Sumatera Barat ­ ­

4 Riau 8 7

5 Jambi ­ ­

6 Bengkulu ­ ­

7 Sumatera Selatan 4 ­

8 Lampung ­ 1

9 DKI Jakarta 14 7

10 Jawa Barat 26 16

11 Jawa Tengah 2 2

12 DI Yogyakarta 1 1

13 Jawa Timur 1 2

14 Bali 7 17

15 Nusa Tenggara Barat 2 ­

16 Nusa Tenggara Timur 2 2

17 Kalimantan Barat 69 ­

18 Kalimantan Tengah 1 ­

19 Kalimatan Selatan 2 ­

20 Kalimatan Timur 3 ­

21 Sulawesi Utara 5 ­

22 Sulawesi Tengah ­ 1

23 Sulawesi Selatan 5 1

24 Sulawesi Tenggara ­ ­

25 Maluku 56 ­

26 Papua ­

Jumlah B 213 57

Sumber: Departemen Kehutanan, 2008

Page 20: 6_keanekaragamanHayati

���STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008

Keanekaragaman Hayati

Serangkaian penelitian yang dilakukan Badan Litbang Kehutanan saat ini telah menghasilkan teknik budi­daya pohon penghasil gaharu dengan baik, mulai dari perbenihan, persemaian, penanaman, hingga pemeli­haraannya. Sejumlah isolat jamur pembentuk gaharu hasil eksplorasi dari berbagai daerah di Indonesia telah teridentifikasi berdasar ciri morfologis. Pene­litian yang dilakukan juga telah menghasilkan empat isolat jamur pembentuk gaharu yang telah teruji dan mampu membentuk infeksi gaharu dengan cepat. Inokulasi menggunakan isolat jamur tersebut telah menunjukkan tanda­tanda keberhasilan hanya dalam waktu satu bulan. Uji coba telah dilakukan di Kaliman­tan Selatan, Kalimantan Barat, Jawa Barat (Sukabumi dan Darmaga), dan Banten (Carita).

Untuk mengantisipasi kemungkinan punahnya pohon penghasil gaharu jenis­jenis langka sekaligus peman­faatannya secara lestari, Badan Litbang Kehutanan melakukan upaya konservasi dan budidaya serta rekayasa untuk mempercepat produksi gaharu den­gan teknologi induksi atau inokulasi.

Secara teknis, garis besar tahapan rekayasa produksi gaharu dimulai dengan isolasi jamur pembentuk yang diambil dari pohon penghasil gaharu sesuai jenis dan ekologi sebaran tumbuh pohon yang dibudidayakan. Isolat tersebut kemudian diidentifikasi berdasar tak­

sonomi dan morfologi lalu dilakukan proses skrining untuk memastikan bahwa jamur yang memberikan respon pembentukan gaharu sesuai dengan jenis po­hon penghasil gaharu agar memberikan hasil optimal. Tahap selanjutnya adalah perbanyakan jamur pem­bentuk gaharu tadi, kemudian induksi, dan terakhir pemanenan.

Di pasar dalam negeri, kualitas gaharu dikelompokkan menjadi 6 kelas mutu, yaitu Super (Super King, Super, Super AB), Tanggung, Kacangan (Kacangan A, B, dan C), Teri (Teri A, B, C, Teri Kulit A, B), Kemedangan (A, B, C) dan Suloan. Klasifikasi mutu tersebut ber­beda dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang membagi mutu gaharu menjadi 3 yaitu Klas Gubal, Kemedangan, dan Klas Abu. Perbedaan klasifikasi tersebut sering merugikan pencari gaharu karena ti­dak didasari dengan kriteria yang jelas (Pusat Peneli­tian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor).

6.3.6. Kemitraan

Pengelolaan atau konservasi keanekaragaman hayati merupakan tanggung jawab pemerintah serta semua pihak terkait seperti organisasi non pemerintah, ka­langan akademi, lembaga penelitian serta masyarakat yang diwujudkan melalui konsep pengelolaan sumber daya alam secara terpadu dengan memasukkan prin­sip pendekatan ekosistem.

Pada tingkat lokal, peran pemerintah daerah dan ma­syarakatnya sangat penting dalam menilai keberadaan kenakeragaman hayati sebagai aset pembangunan. Kerjasama di tingkat lokal ini bertujuan utama un­tuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati di kawasan lokal. Sejarah ekologi di kawasan tertentu sudah dimiliki masyarakat lokal dengan melakukan pemanfaatan berdasarkan pengetahuan tradisional. Pola pemanfaatan tradisional yang berkelanjutan dapat dijadikan pertimbangan dalam penyusunan perenca­naan pembangunan daerah. Keberhasilan kerjasama mitra konservasi dapat ditentukan dengan melihat tingkat kesejahteraan masyarakat dan pemerintah serta tingkat kerusakan ekosistem.

a. Penanaman Pohon di TWA Gunung Pancar

Aksi penanaman dan pemeliharaan pohon ini dilaku­kan dalam lanjutan rangkaian acara Hari Ulang Ta­hun (HUT) KORPRI ke 37 tanggal 29 November 2008, dalam kegiatan Bhakti Lingkungan. Diharapkan keg­iatan ini dapat memicu dan memotivasi seluruh ang­gota KORPRI baik di pusat maupun di daerah yang jumlahnya lebih dari 4 juta orang, untuk ikut berpar­tisipasi mensukseskan gerakan penanaman 100 juta pohon pada Bulan Desember sebagai Bulan Menanam Pohon Nasional.

Gambar 6.3. Gerakan Menanam

Page 21: 6_keanekaragamanHayati

��8 STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008

Keanekaragaman Hayati

Mengingat KORPRI sebagai bagian dari elite masyara­kat yang dapat menjadi pelopor, pemrakarsa, dan pendorong pembaharuan maupun kegiatan pada ma­syarakat, maka sangat strategis peran KORPRI untuk menjadi pelopor, penggerak, contoh dan teladan dalam upaya rehabilitasi lahan dan hutan serta perbaikan lingkungan melalui upaya penanaman dan pemeli­haraan pohon.

Pada Aksi Penanaman dan Pemeliharaan Pohon di TWA Gunung Pancar ini, ditanam lebih dari 400 po­hon, dengan jenis kayu­kayuan dan Multi Purpose Trees Spesies (MPTS) oleh Para Ketua dan Anggota Unit Nasional KORPRI. Bibit jenis kayu­kayuan antara lain Mahoni, Sengon, Filisium, Bungur, Acacia mangi-um, Bintaro, Flamboyan. Sedangkan jenis MPTS an­tara lain Mangga, Rambutan dan Lengkeng. Kepada Para Ketua Unit Nasional KORPRI, Menteri Kehutanan akan menyerahkan bibit jenis unggul Kelengkeng Bola Pingpong, untuk ditanam di lingkungan kantor mas­ing­masing.

Taman Wisata Alam Gunung Pancar merupakan Ka­wasan Pelestarian Alam seluas 447,5 ha yang me­miliki nilai strategis. Selain berada di dekat wilayah perkotaan yaitu Jakarta dan Bogor, hutan di Kawasan Gunung Pancar ini menjadi salah satu sumber air bagi pemukiman penduduk di Kecamatan Babakan Madang dan perumahan Bukit Sentul serta menjadi sumber air bagi DAS Cikeas. Kawasan Gunung Pancar ini juga mempunyai potensi alam yang sangat menarik untuk kegiatan wisata alam seperti hiking, tracking, berke­mah, bersepeda, outbond, dan pemandian air panas bebas belerang dengan suhu 600oC.

b. Aksi Penanaman Pohon Serentak di Desa Ciuyah, Lebak, Banten

Gerakan Aksi Penanaman Pohon di Desa Ciuyah yang dipimpin oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla akan diikuti antara lain oleh Menteri Kehutanan, Panglima TNI, beberapa menteri kabinet Indonesia Bersatu, serta gubernur dan muspida Banten. Sususan acara ger­akan aksi penanaman pohon adalah, yang pertama sambutan selamat datang oleh Gubernur Banten, Ibu Ratu Atut Chosiah, dilanjutkan sambutan Panglima TNI, Menteri Kehutanan dan Wakil Presiden RI. Kemu­dian doa dilanjutkan dengan penanaman pohon secara serentak yang dipimpin oleh Wakil Presiden RI.

Aksi penanaman pohon ini menanami areal seluas 10 ha dengan berbagai jenis tanaman kayu­kayuan dan tanaman serbaguna antara lain nyamplung, damar, mahoni, salam, sengon, pulai, buni, puspa, suren, ke­mang, mangga, sukun, durian, dan pala. Sebelumnya, pada bulan November sampai dengan Desember 2008 telah ditanami pohon turus jalan sepanjang 26,5 km berawal dari kota Serang sampai dengan lokasi aksi penanaman di Desa Ciuyah, yang merupakan parti­sipasi dari APHI, Forum Reklamasi Bekas Tambang, PLN, Pemda Lebak, dan TNI. Kegiatan penanaman pohon pengembangan hutan rakyat juga dilakukan di Desa Mekarsari seluas 25 ha oleh masyarakat setem­pat beserta Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabu­paten Lebak.

Keberhasilan rakyat Indonesia dalam Gerakan Pena­naman dan Pemeliharaan Pohon, sangat bermanfaat untuk merehabilitasi hutan, lahan, dan perbaikan ling­kungan. Manfaat penanaman dan pemeliharaan pohon ini antara lain : mencegah pemanasan global dan pe­rubahan iklim secara ekstrem, menghindari berbagai bencana alam banjir dan tanah longsor di musim hu­jan, serta mengatasi kekeringan dan kekurangan air bersih di musim kemarau.

Gambar 6.4. Menanam pohon

Page 22: 6_keanekaragamanHayati

���STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008

Keanekaragaman Hayati

Gambar 6.3. Kebakaran hutan mengahancurkan keanekaragaman hayati Foto: Dok PPLH Reg Sumatera

���STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2008