13
BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Saat ini, sebagian besar masyarakat di Indonesia telah banyak menggeluti profesi  peternak sapi, khususnya di wilayah pedesaan, baik pemeliharaan ternak secara personal mau pun kel omp ok. Sap i ada lah hewan ternak angg ota famili a  Bovidae dan subfamilia  Bovinae. Sapi dipelihara terutama untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya sebagai bahan  pangan. Hasil sampingan, seperti kulit, jeroan, dan tanduknya juga kemudian dimanfaatkan. Di sejumlah tempat, sapi juga dipakai untuk membantu bercocok tanam, seperti menarik gerobak atau bajak. Profesi peternak sapi ini cukup banyak menjanjikan hasil bagi peternak, serta telah mampu diandalkan sebagai profesi utama dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari,  juga untuk memenuhi permintaan pasar.  Namun demikian, oleh karena kurangnya tingkat kewaspadaan peternak dalam menjaga sanitasinya, hal ini menyebabkan sering terjadi gangguan kesehatan pada ternak sapi tersebut. Penyakit pencernaan, respirasi, kulit, kelamin dan lain sebagainya tak jarang ditemui  pada pemeliharaan dan managemen yang kurang tepat. Penyakit saluran pernafasan adalah masalah utama untuk ternak dan menyebabkan kerugi an ekonomi yang ser ius bagi pr odusen.  Bovine Respiratory Disease (BRD) menyebabkan meningkatnya kematian serta biaya pengobatan, tenaga kerja dan kehilangan  produksi. Banyak agen infeksi yang berbeda dapat mengakibatkan gejala klinis yang serupa. Pen yak it per naf asan pad a hewan tern ak seri ng dik aitk an den gan hewan ter mud a seperti anak sapi, sapi betina atau sapi jantan (Hartel et al . 2004; Ames, 1997). kebanyakan Page | 1

97918353-Malakah-Respirasi-IPDV

  • Upload
    emil

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

7/15/2019 97918353-Malakah-Respirasi-IPDV

http://slidepdf.com/reader/full/97918353-malakah-respirasi-ipdv 1/13

BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Saat ini, sebagian besar masyarakat di Indonesia telah banyak menggeluti profesi

 peternak sapi, khususnya di wilayah pedesaan, baik pemeliharaan ternak secara personal

maupun kelompok. Sapi adalah hewan  ternak  anggota familia  Bovidae dan subfamilia

 Bovinae. Sapi dipelihara terutama untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya sebagai bahan

 pangan. Hasil sampingan, seperti kulit, jeroan, dan tanduknya juga kemudian dimanfaatkan.

Di sejumlah tempat, sapi juga dipakai untuk membantu bercocok tanam, seperti menarik 

gerobak atau bajak. Profesi peternak sapi ini cukup banyak menjanjikan hasil bagi peternak,

serta telah mampu diandalkan sebagai profesi utama dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari,

 juga untuk memenuhi permintaan pasar.

 Namun demikian, oleh karena kurangnya tingkat kewaspadaan peternak dalam

menjaga sanitasinya, hal ini menyebabkan sering terjadi gangguan kesehatan pada ternak sapi

tersebut. Penyakit pencernaan, respirasi, kulit, kelamin dan lain sebagainya tak jarang ditemui

 pada pemeliharaan dan managemen yang kurang tepat.

Penyakit saluran pernafasan adalah masalah utama untuk ternak dan menyebabkan

kerugian ekonomi yang serius bagi produsen.  Bovine Respiratory Disease (BRD)

menyebabkan meningkatnya kematian serta biaya pengobatan, tenaga kerja dan kehilangan

 produksi. Banyak agen infeksi yang berbeda dapat mengakibatkan gejala klinis yang serupa.

Penyakit pernafasan pada hewan ternak sering dikaitkan dengan hewan termuda

seperti anak sapi, sapi betina atau sapi jantan (Hartel et al . 2004; Ames, 1997). kebanyakan

Page | 1

7/15/2019 97918353-Malakah-Respirasi-IPDV

http://slidepdf.com/reader/full/97918353-malakah-respirasi-ipdv 2/13

kasus muncul sebelum usia dua tahun (Crowe, 2001) dan penyakit pernafasan merupakan

 penyebab utama dari kerugian, terutama dalam produksi sapi potong. (Prado et al. 2005;

Kapil & Basaraba, 1997; Johnson, 1991).

Salah satu penyakit pernapasan yang menyebabkan kerugian ekonomi peternak adalah

 Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR). Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) merupakan

 penyakit menular yang menyerang alat pernafasan bagian atas dan alat reproduksi ternak 

sapi.

Page | 2

7/15/2019 97918353-Malakah-Respirasi-IPDV

http://slidepdf.com/reader/full/97918353-malakah-respirasi-ipdv 3/13

BAB II

PEMBAHASAN

II.I Pengertian

Penyakit  Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit menular yang

disebabkan oleh  Bovine herpesvirus 1 (BoHV-1) yang dapat menyerang alat pernafasan

 bagian atas dan alat reproduksi ternak sapi. Biasanya penyakit ini menyerang ternak sapi

yang ditandai dengan gejala demam tinggi 40,5 ± 42 °C, nafsu makan menurun dan dijumpai

leleran hidung, hipersalivasi, produksi air susu menurun disertai dengan kekurusan

(Kurniadhi, 2003).

II.II Epidemiologi

Dalam masa penggemukan, IBR umumnya diamati dan mungkin berhubungan dengan

infeksi mata (konjungtivitis), aborsi atau infeksi bakteri sekunder. Meskipun segala usia dan

keturunan ternak rentan terhadap IBR, penyakit ini paling sering terjadi pada anak sapi lebih

dari enam bulan, pada saat imunitas yang diterima melalui penurunan kolostrum bendungan

dan paparan meningkatnya virus. Wabah biasanya terjadi pada musim gugur dan musim

dingin ketika banyak hewan rentan dicampur bersama-sama dan terbatas di masa

 penggemukan.

BHV-1 sangat menular, khususnya dalam keadaan dimana anak sapi rentan berada

dalam kontak dekat. Akibatnya, virus dapat menyebar dengan sangat efisien dalam kondisi

 berdesakan dan pencampuran pada penggemukan. Faktor tambahan yang berkontribusi

terhadap tingginya insiden infeksi IBR di penggemukan termasuk tingkat stres yang tinggi

karena penyapihan dan transportasi, serta paparan simultan untuk beberapa patogen pada saat

kedatangan. Transmisi terjadi melalui hidung, air liur dan tetesan aerosol yang mengandung

Page | 3

7/15/2019 97918353-Malakah-Respirasi-IPDV

http://slidepdf.com/reader/full/97918353-malakah-respirasi-ipdv 4/13

virus. Wabah penyakit terjadi melalui pengenalan hewan yang terinfeksi menjadi

 penggemukan atau ternak atau dengan reaktivasi virus laten sudah ada dalam penggemukan

sapi, yang kemudian menyebar ke yang baru tiba, hewan rentan. Wabah IBR biasanya

 berlangsung selama dua sampai empat minggu.

Dibawah ini merupakan epidemiologi dan penyebab penyakit yang mengganggu

respirasi pada hewan ternak, khususnya pada sapi.

Table I: Main respiratory disorders in cows: cause and epidemiology

Name Agent FrequencyClinical

Impact

Affected

animalsEpidemiology

RhinitisBacterial, fungic

irritant, allergic+ + Young > old Sporadic or enzootic

Sinusitis Various ++ ++ Young > old Sporadic (Dehorning)

Laryngitis Various + +++ Young > old

Enzootic for 

youngsters Sporadic

in adults

IBR BoHV1 Variable 0 to +++++

Commercial

impactAll ages

Enzootic

Pneumonic

 Pasteurella

+/- pleuritis M. haemolytica

 P.

multocida

++++

++++

All ages

Young > old

Enzootic Sporadic

and chronic possible

if ineffective primary

therapy

Pneumonic

 Mycoplasma Mycoplasma

bovis+++ ++++ All ages

Enzootic Associated

signs: arthritis

(youngsters)

Mastitis (adults)

Viral

interstitial

 pneumonia

BRSVPI3

 Adenovirus

BVD

(associated)

+++++ ++++

All ages

Young>old

Enzootic

(youngsters)Enzootic but rare and

clinically

undifferentiated in

adults (cough, milk 

drop…)

Lungworm Dictyocaulus

viviparus0 to +++++ + to +++++

All ages now

 possible

Enzootic (contagious

aspect) Chronic

aspect

Ehrlichiosis

 Anaplasma

 phagocytophilu

m

Often

unknown

0 to +++?

0 to +++ Old > youngEnzootic (contagious

aspect)

Page | 4

7/15/2019 97918353-Malakah-Respirasi-IPDV

http://slidepdf.com/reader/full/97918353-malakah-respirasi-ipdv 5/13

Q fever Coxiella

burnettii?

0 to ++

(respiratory

signs)

Old > youngEnzootic Associated

sign : abortion

Catarrhal

malignant

fever 

OvHV2AHV1

++++++ Old > young

Sporadic

Multiple associated

signsDeath

Fog fever 3 MI + ++++ OldEnzootic: pasture-

associated syndrome

Vena caval

thrombosis

Pulmonary

thrombo-

embolism

+ +++++ Old > young

Sporadic

Multiple associated

signs

Possible confusion

with chronic

 pneumonia

Extrinsic

allergicalveolitis

 Micropolyspora

 foeni and other spores

++ ++++ Old Sporadic

Tumor Primary or 

secondaryrare ++++ Old Sporadic

Fibrosing

alveolitisUnknown rare ++++ > 6 years Sporadic

Sumber :

II.III Gejala Klinis

Bentuk pernafasan (IBR) adalah manifestasi paling signifikan dan ekonomis penting

dari BHV-1 infeksi, khususnya dalam penggemukan. IBR akut ditandai oleh kombinasi

tanda-tanda klinis seperti bernapas cepat, tidak bernafsu, suhu 40-42 ° C (104-108 ° F),

 batuk, nasal discharge, air liur berbusa, pernafasan dengan mulut terbuka, merobek,

 peradangan parah dari bagian hidung (red nose) dan jaringan sekitar mata (konjungtivitis),

dan kehilangan berat badan dan kondisi ( Foto 1 ). Perjalanan infeksi IBR berlangsung

selama 7 sampai 10 hari. Namun, IBR mungkin memiliki beberapa gejala sisa. Infeksi di

 betis 4-6 bulan usia telah menghasilkan sesekali pada meningitis, dengan tanda-tanda yang

menunjukkan keterlibatan sistem saraf pusat, dan sapi kemungkinan mengalami keguguran,

khususnya jika paparan terjadi antara 5,5 dan 7,5 bulan usia kehamilan. Seringkali, IBR 

diikuti dengan infeksi bakteri sekunder, seperti Pasteurella haemolytica, yang menghasilkan

radang paru - paru berat dan terkadang menyebabkan kematian.

Page | 5

7/15/2019 97918353-Malakah-Respirasi-IPDV

http://slidepdf.com/reader/full/97918353-malakah-respirasi-ipdv 6/13

 

 Foto 1:

 Nasal discharge typical 

of IBR.

Meskipun jarang, IBR dapat terjadi

 pada anak sapi muda dan

menyebabkan salah satu penyakit

 pernapasan yang parah atau

 penyakit sistemik yang fatal dan kematian yang cepat. Infeksi neonatal IBR mungkin terjadi

karena kurangnya kekebalan ibu dan ini dipersulit oleh sejumlah faktor manajemen (gizi,

stres, penyakit lain).

Dalam divaksinasi, populasi rentan, IBR umum mempengaruhi 20 sampai 30% atau

lebih dari hewan yang terpajan. Meskipun tingkat kematian akibat IBR sangat rendah, rata-

rata dari 1 sampai 2%, infeksi bakteri sekunder dapat menyebabkan radang paru paru berat

dan kematian. Sedangkan kenaikan berat badan berkurang adalah kerugian ekonomi besar di

antara betis sapi, kerugian pada hewan susu biasanya karena produksi susu berkurang, aborsi

dan penyakit pada anak sapi yang baru lahir. Kematian adalah kebanyakan hasil dari infeksi

 bakteri sekunder di kedua daging sapi dan sapi perah.

II.IV Diagnosa dan Pengobatan

Page | 6

7/15/2019 97918353-Malakah-Respirasi-IPDV

http://slidepdf.com/reader/full/97918353-malakah-respirasi-ipdv 7/13

Dengan pengalaman, diagnosis IBR tanpa komplikasi biasanya dapat dibuat

 berdasarkan gejala klinis, pola serangan dan luka. Namun, diagnosis ini harus dikonfirmasi

dengan tes laboratorium. BHV-1 dapat dengan mudah diisolasi dari menyeka semua luka,

karena virus tumbuh baik pada sel sapi dalam budaya.Karena virus replikasi maksimal dan

 penumpahan terjadi antara tiga dan enam hari setelah infeksi, penyeka untuk isolasi virus

harus diambil pada awal perjalanan penyakit. The penyeka harus disimpan dingin dan dikirim

secepat mungkin ke laboratorium diagnostik. Sejumlah tes diagnostik yang tersedia. Di antara

mereka adalah metode yang spesifik dan sensitif yang dikenal sebagai reaksi rantai

 polimerase (PCR). Dengan metode ini memungkinan untuk mendeteksi jumlah yang sangat

kecil virus didalam sekresi hidung atau jaringan. Karena sensitivitas tinggi, teknik ini secara

khusus mungkin menemukan aplikasi penting sebagai metode deteksi BHV-1 dalam air mani

sapi. Salah satu alat diagnostik yang paling relevan untuk mendeteksi BHV-1 ternak yang

terinfeksi masih serologi menggunakan netralisasi virus (VN) tes atau enzyme-linked

immunosorbent assay (ELISA). Lebih disukai, dua sampel darah harus diambil, satu per 

timbulnya penyakit dan lainnya tiga minggu kemudian. Sebuah peningkatan empat kali lipat

dalam BHV-1 titer antibodi spesifik serum harus dipertimbangkan diagnostik infeksi BHV-1

aktif.

Karena tidak ada antivirus yang tersedia secara komersial, pengobatan IBR 

merupakan tanda. Selama wabah IBR, hewan sakit harus diidentifikasi dan

diisolasi. Tergantung pada beratnya penyakit, betis yang terinfeksi dapat diobati dengan

spektrum luas antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi bakteri sekunder (Kahrs,

1977). Selama wabah tidak dianjurkan untuk memperkenalkan ternak rentan. Hewan status

vaksinasi tidak diketahui harus divaksinasi segera pada saat kedatangan dan ditempatkan

secara terpisah dari sisa hewan.

Page | 7

7/15/2019 97918353-Malakah-Respirasi-IPDV

http://slidepdf.com/reader/full/97918353-malakah-respirasi-ipdv 8/13

II.V Pencegahan dan Pengendalian

Sudarisman (2007) mengemukakan bahwa keberhasilan pengawasan penyakit pada

lembaga-lembaga pembibitan ternak akan dapat dicapai melalui beberapa tahapan seperti

 berikut:

1. Menghindarkan faktor resiko yang ada pada inseminasi buatan. Memisahkan hewan yang

serologik positif dan yang negatif. Hambat impor hewan yang serologik positif, embrio

dan semen yang telah terkontaminasi virus BHV-1 untuk tujuan pembibitan ternak 

ataupun program inseminasi buatan.

2. Mempertahankan kelompok ternak yang bebas BHV-1, melakukan uji serologik dan

isolasi virus dua kali setahun pada ternak-ternak yang ada pada pusat pembibitan dan

 pusat inseminasi buatan terhadap adanya virus BHV-1. Keluarkan hewan yang positif 

BHV-1 berdasarkan isolasi virus dan kelompok hewan yang serologik positif dapat

dilakukan vaksinasi, terutama dengan vaksin yang mati guna mencegah infeksi laten.

Hindarkan penggunaan vaksin hidup. Penggunaannya dapat dilakukan bila ada outbreak 

 pada beberapa kelompok hewan serta pengawasan hewan yang telah divaksinasi harus

lebih ketat.

3. Tidak mentolerir adanya pejantan yang serologic positif terhadap BHV-1 pada Balai

Inseminasi Buatan (BIB). Hal ini merupakan jaminan terhadap produksi semen beku yang

dihasilkan. Reputasi BIB sangat tergantung dari bebasnya pejantan dari penyakit menular 

Alternatif lain dalam program pemberantasan penyakit adalah mengontrol terjadinya

infeksi dengan mengembangkan pengebalan ternak akibat infeksi alamataupun akibat

vaksinasi. Berdasarkan akan efektifitas dari imunisasi aktif setelah terinfeksi secara alami,

kini vaksin digunakan untuk melakukan program kontrol penyakit IBR. Vaksin yang

digunakan dapat dalam bentuk “modified live virus vaccines”dan “inactivated vaccines”.

Page | 8

7/15/2019 97918353-Malakah-Respirasi-IPDV

http://slidepdf.com/reader/full/97918353-malakah-respirasi-ipdv 9/13

Kedua vaksin ternyata sama-sama menghasilkan antibodi humoral. Beberapa kelemahan

terjadi dalam penggunaan vaksin IBR. Vaksin yang diberikan secara intranasal akan

menghasilkan interferon lokal dan antibodi lokal. Sub unit vaksin kini juga telah banyak 

digunakan akan tetapi beberapa laporan menunjukkan bahwa subunit vaksin tidak dapat

mencegah infeksi klinis akibat IBR. Beberapa vaksin hidup berdampak pada terjadinya

keguguran/abortus dan dapat mengakibatkan endometritis. Untuk menghindari hal tersebut,

 beberapa negara menggunakan vaksin hidup intranasal dan ini masih ada yang melaporkan

kemungkinan menjadi ganas kembali. Vaksin inactive/mati banyak yang melaporkan derajat

kekebalannya tidak tinggi kecuali dengan penggunaan adjuvant yang baik (Sudarisman,

2003).

Waktu vaksinasi setidaknya sama pentingnya dengan pilihan vaksin. Karena

 perlindungan yang maksimal umumnya tidak terjadi sampai sekitar tiga minggu setelah

vaksinasi, anak sapi harus divaksinasi dua sampai tiga minggu sebelum dilakukan

 penyapihan, pada saat itu mereka mulai berada pada risiko infeksi. Sebuah vaksinasi tunggal

akan mengurangi keparahan penyakit, tetapi tidak memberikan perlindungan

lengkap. Disarankan untuk kembali memvaksinasi saat tiba di masa penggemukan dan lagi

 pada 60-70 hari pasca kedatangan jika penyakit diamati pada waktu itu di masa

menyusui. Pada sapi / lembu lembu dan ternak penghasil susu, sapi pengganti harus

divaksinasi di lima sampai enam bulan usia dan lagi setidaknya dua minggu sebelum

 pembibitan (Hjerpe, 1990).

Pencegahan juga dilakukan dengan pemeriksaan awal terhadap sapi-sapi impor dari

daerah atau negara lain yang tertular penyakit ini serta perlu benar-benar bebas dari caplak 

dan bebas antibodi terhadap virus IBR. Sedangkan pengobatan penderita IBR umumnya

hanya bersifat simptomatik (Anonimous, 2008).

Page | 9

7/15/2019 97918353-Malakah-Respirasi-IPDV

http://slidepdf.com/reader/full/97918353-malakah-respirasi-ipdv 10/13

BAB III

PENUTUP

Page | 10

7/15/2019 97918353-Malakah-Respirasi-IPDV

http://slidepdf.com/reader/full/97918353-malakah-respirasi-ipdv 11/13

III.I Kesimpulan

 Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) merupakan penyebab utama kerugian

ekonomi untuk industri sapi potong. Vaksinasi telah menjadi strategi yang paling penting

untuk mencegah dan mengendalikan infeksi IBR pada sapi. Untuk vaksinasi untuk secara

optimal efektif, waktu sangat penting sehingga hewan terlindungi pada saat masuk ke dalam

situasi berisiko tinggi. Oleh karena itu, hewan harus divaksinasi setidaknya tiga minggu

sebelum masuk penggemukan, serta segera setelah itu, karena dua dosis salah satu vaksin

yang tersedia saat dibutuhkan untuk perlindungan lengkap. Vaksinasi ulang pada

reimplanting mungkin diperlukan jika wabah IBR telah terjadi pasca kedatangan di masa

 penggemukan tersebut. Pencegahan juga dilakukan dengan pemeriksaan awal terhadap sapi-

sapi impor dari daerah atau negara lain yang tertular penyakit ini serta perlu benar-benar 

 bebas dari caplak dan bebas antibodi terhadap virus IBR.

Daftar Pustaka

Anonimus. 2008. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhino Tracheitis pada

Sapi dan Kerbau di Indonesia http://peternakan.Iitbang. deptan.go.id.

Page | 11

7/15/2019 97918353-Malakah-Respirasi-IPDV

http://slidepdf.com/reader/full/97918353-malakah-respirasi-ipdv 12/13

Ames TR. Dairy calf pneumonia. The disease and its impact. Vet Clin North Am Food Anim

Pract, 1997; 13:379-391.

Crowe JE, Jr. Influence of maternal antibodies on neonatal immunization against respiratory

viruses. Clin Infect Dis, 2001; 33:1720-1727.

Hartel H, Nikunen S et al. Viral and bacterial pathogens in bovine respiratory disease in

Finland. Acta Vet Scand, 2004; 45(3-4):193-200.

Hjerpe, C.A. 1990. Bovine vaccines and herd vaccination programs. Vet. Clin. N. Am. Food

Anim. Pract. 6: 188-194.

Johnson B. Nutritional and dietary interrelationships with diseases of feedlot cattle. Vet Clin

 North Am Food Anim Pract, 1991; 7(1):133-142.

Kahrs, R.F. 1977. Infectious bovine rhinotracheitis: A review and update. J.A.V.M.A. 171:

2055-2064.

Kapil S, Basaraba RJ. Infectious bovine rhinotracheitis, parainfluenza-3, and respiratory

coronavirus. Vet Clin North Am Food Anim Pract, 1997; 13:455-469.

Kurniadhi. P. 2003. Teknik pembuatan biakan sel Primer Ginjal Janin Sapi Untuk 

Menumbuhkan Virus Infectious Bovine Rhinotracheitis. Bogor 

Prado ME, Prado TM et al. Maternally and naturally acquired antibodies to  Mannheimia

haemolytica and  Pasteurella multocida in beef calves. Vet Immunol Immunopathol,

2005 (Epub ahead of print).

Sudarisman, 2003. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi di Lembaga

Pembibitan Ternak di Indonesia. Wartazoa Vol. 13 No. 3 Th. 2003.

Page | 12

7/15/2019 97918353-Malakah-Respirasi-IPDV

http://slidepdf.com/reader/full/97918353-malakah-respirasi-ipdv 13/13

Sudarisman, 2003. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR)

 pada Sapi dan Kerbau di Indonesia. Wartazoa Vol. 17 No. 1 Th. 2007

.

Page | 13