28
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DEPAN ………………………………………………… i HALAMAN SAMPUL DALAM………………………………………………... ii HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM …………………… iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ……………………... iv HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………..…………v KATA PENGANTAR ………………………………………………………….. vi HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN …………………………. ix DAFTAR ISI ……………………………………………………………………. x ABSTRAK …………………………………………………………………….. xiii ABSTRACT …………………………………………………………………….. xiv BAB I : PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1 1.1. Latar Belakang ……………………………………..………..……… 1 1.2.Rumusan Masalah ……………………………………….…..……… 9 1.3.Ruang Lingkup Masalah …………………………………………… 10 1.4.Orisinalitas Penelitian …………………………………………....… 10 1.5.Tujuan Penelitian …………………………………………….…….. 12 a. Tujuan Umum ……………………………………………………. 12 b. Tujuan Khusus …………………………………………...……... 12 1.6. Manfaat Penelitian ……………………………………...…………. 12 a. Manfaat Teoritis ………………………………………………... 12 i

ABSTRACT - sinta.unud.ac.id file... Tinjauan Umum Tentang HIV/AIDS, Kriminalisasi, Dan Diskriminasi ... 25 2.1.2 Upaya Pencegahan HIV/AIDS ... Tahun 2006 Tentang Penanggulangan HIV-AIDS

  • Upload
    dodiep

  • View
    220

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN ………………………………………………… i

HALAMAN SAMPUL DALAM………………………………………………... ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM …………………… iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ……………………... iv

HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………..…………v

KATA PENGANTAR ………………………………………………………….. vi

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN …………………………. ix

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………. x

ABSTRAK …………………………………………………………………….. xiii

ABSTRACT …………………………………………………………………….. xiv

BAB I : PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1

1.1. Latar Belakang ……………………………………..………..……… 1

1.2.Rumusan Masalah ……………………………………….…..……… 9

1.3.Ruang Lingkup Masalah …………………………………………… 10

1.4.Orisinalitas Penelitian …………………………………………....… 10

1.5.Tujuan Penelitian …………………………………………….…….. 12

a. Tujuan Umum ……………………………………………………. 12

b. Tujuan Khusus …………………………………………...……... 12

1.6. Manfaat Penelitian ……………………………………...…………. 12

a. Manfaat Teoritis ………………………………………………... 12

i

2

b. Manfaat Praktis …………………………………………………. 13

1.7. Landasan Teoritis ………………………………………………….. 13

1.8. Metode Penelitian ………………………………………………….. 19

a. Jenis Penelitian ………………………………………………….. 19

b. Jenis Pendekatan ………………………………………………... 20

c. Sumber Bahan Hukum ………………………………………….. 20

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum …………………………... 22

e. Teknik Analisis ………………………………………………….. 22

BAB II : Tinjauan Umum Tentang HIV/AIDS, Kriminalisasi,

Dan Diskriminasi ………………………………………………….…… 24

2.1. Pengertian HIV/AIDS ………………………………………….….. 24

2.1.1 Cara Penularan HIV/AIDS …………………………….…... 25

2.1.2 Upaya Pencegahan HIV/AIDS ………………………….…. 28

2.2 Pengertian Kriminalisasi …………………………………………... 29

2.2.1 Asas-asas Kriminalisasi ………………………………….... 30

2.2.2 Kriteria Kriminalisasi …………………………………….... 35

2.3 Pengertian Diskriminasi …………………………………………… 38

BAB III : Pengaturan Kriminalisasi Terhadap Orang Dengan HIV/AIDS

(ODHA) Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3

Tahun 2006 Tentang Penanggulangan HIV-AIDS………………. 43

ii

3

3.1 Pengaturan Kriminalisasi Orang Dengan HIV/AIDS

(ODHA) Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3

Tahun 2006 Tentang Penanggulangan HIV-AIDS ………… 43

3.2 Analisis subyek dan bentuk prilaku yang dikriminalisasi ……. 52

3.3 Perlindungan Hukum Yang Wajib Diberikan Kepada Orang

Dengan HIV/AIDS (ODHA) ………………………….…….. 65

BAB IV: Bentuk Diskriminasi Terhadap Orang Dengan HIV/AIDS

(ODHA) Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3

Tahun 2006 Tentang Penanggulangan HIV-AIDS ……………..… 79

4.1 Diskriminasi Terhadap Orang Dengan HIV/AIDS

(ODHA) Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3

Tahun 2006 Tentang Penanggulangan HIV-AIDS ………… 79

4.2 Pengaturan Peraturan Daerah Tentang Penanggulangan

HIV-AIDS Di Masa Yang Akan Datang ………...….…….. 87

BAB V : PENUTUP ………………………………………………….……. 98

5.1 Simpulan ………………………………………………..……. 98

5.2 Saran ………………………………………………….……… 99

iii

4

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Kriminalisasi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)

Dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006 Tentang

Penanggulangan HIV-AIDS. Latar belakang penulisan skripsi ini adalah dengan

pengaturan kriminalisasi terhadap ODHA dalam peraturan daerah menyebabkan

ODHA mengalami diskriminasi. Rumusan masalah dalam skripsi ini diantaranya :

Bagaimana pengaturan kriminalisasi terhadap ODHA dalam Peraturan Daerah

Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan HIV-AIDS? serta

Bagaimana bentuk diskriminasi terhadap ODHA dalam Peraturan Daerah Propinsi

Bali Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan HIV-AIDS?

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan kriminalisasi

terhadap Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam Peraturan Daerah Propinsi

Bali Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan HIV-AIDS serta bentuk

diskriminasi terhadap Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam Peraturan

Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan HIV-AIDS.

Kesimpulan yang dapat diambil dari skripsi ini adalah kriminalisasi

terhadap ODHA tidak akan menjamin menurunkan angka pengidap HIV/AIDS.

Langkah kriminalisasi ODHA dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3

Tahun 2006 Tentang Penanggulangan HIV-AIDS diskriminatif terhadap

pemenuhan hak asasi ODHA.

Kata Kunci : Kriminalisasi, HIV/AIDS, Peraturan Daerah

iv

5

ABSTRACT

This thesis entitled The criminalization of people living with HIV / AIDS

(PLWHA) in Bali Provincial Regulation No. 3 of 2006 on HIV-AIDS. The

background of this thesis is by setting the criminalization of people living with

HIV in provincial regulation led to people living with HIV face discrimination.

The problem of this thesis include: How will the criminalization of people living

with HIV in Bali Provincial Regulation No. 3 of 2006 on HIV-AIDS? and What

forms of discrimination against people living with HIV in Bali Provincial

Regulation No. 3 of 2006 on HIV-AIDS?

This thesis aims to find out the settings criminalization of people living

with HIV / AIDS (PLWHA) in the Provincial Regulation Bali No. 3 of 2006 on

HIV-AIDS and discrimination against people living with HIV / AIDS (PLWHA) in

the Provincial Regulation Bali No. 3 2006 About HIV-AIDS.

The conclusions of this thesis is the criminalization of people living with

HIV would not warrant reducing the number of people living with HIV / AIDS.

Step criminalization of PLWHA in Bali Provincial Regulation No. 3 of 2006 on

HIV-AIDS discrimination on the fulfillment of human rights of PLWHA.

Keyword: Criminalization, HIV/AIDS, Regional Regulation

v

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Awal tahun 1980, menjadi masa-masa awal mula didiagnosisnya

keberadaan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (selanjutnya disebut

AIDS). Pada awal tahun 1980 tersebut pula, virus penyebab AIDS yaitu Human

Imumune-Deficiency Virus (selanjutnya disebut HIV) mulai juga telah

diidentifikasi dan dilaporkan di berbagai benua.1Berkembangnya virus HIV yang

mulai teridentifikasi di berbagi negara dan benua, mengindikasikan bahwa virus

HIV bukan menjadi sebuah virus yang dapat dianggap sepele keberadaannya. Hal

ini ditunjukkan dengan sangat cepatnya virus tersebut menyebar dari satu individu

satu ke individu lainnya dengan berbagai media dan berbagai cara. Maka hingga

saat ini jelas bahwa penyakit HIV/ AIDS dapat menyebar dengan cepat dan relatif

mudah bahkan tidak hanya dalam lingkup satu Negara, namun juga sangat besar

adanya kemungkinan bahwa penyebarannya melewati lintas batas nasional.

Kenyataan bahwa begitu cepat dan mudahnya virus HIV yang bahkan

dapat melintasi batas Negara, menjadi suatu titik tolak bahwa wabah penyakit

HIV/AIDS bukan hanya menjadi sebuah permasalahan suatu negara saja,

melainkan hal ini juga menjadi permasalahan serius yang dihadapi masyarakat

internasional. Permasalahan yang serius tentunya memerlukan langkah-langkah

1 Franklyn Lisk, tanpa tahun terbit, Global Institutions and the HIV/AIDS Epidemic :

Responding to an International Crisis, hal. 2.

2

yang dipandang perlu untuk dilakukan dalam melakukan penanggulangan secara

represif maupun pencegahan secara preventif dalam menghadapi penyebaran virus

HIV/AIDS tersebut. Berbagai Negara memiliki cara-cara tersendiri dalam

melakukan hal tersebut. Salah satu cara yang dilakukan oleh beberapa negara

dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS adalah dengan jalan menerapkan

hukuman pidana terhadap Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).

Pada tahun 2008, telah tercatat lebih dari 90 negara di dunia menerapkan

hukuman pidana terhadap ODHA yang menyebarakan atau menularkan virus HIV

kepada orang lain. Adapun beberapa negara yang menerapkan aturan hukum

semacam ini antara lain sebagian besar negara di Eropa, Amerika, beberapa

negara di Afrika serta Asia.2Penerapan hukuman pidana kepada para pengidap

HIV/AIDS tersebut di satu sisi dapat menjadi suatu upaya yang strategis dari

negara-negara untuk mencegah semakin luasnya penyebaran HIV/AIDS

khususnya dalam lingkup internal negaranya dan dalam dunia internasional pada

umumnya. Namun di sisi lain, penerapan aturan hukum dari negara-negara yang

mengkriminalisasi ODHA tersebut acapkali menjadi perdebatan. Adapun salah

satu isu penting yang menjadi objek yang menjadi permasalahan dalam penerapan

aturan hukum tersebut yaitu terkait penegakan Hak Asasi Manusia.

Telah terlapor sejumlah kasus yang memposisikan ODHA sebagai pelaku

pidana dan telah dikenakan sanksi untuk berbagai tindakan penularan dan

penyebaran beresiko virus HIV. Dalam beberapa kasus mengenai pemidanaan

2 Sun Goo Lee, 2011, Criminalization of HIV in Korea : Fundamental Rights and

InternationalPerspectives.URL: http://www.quinnipiac.edu/prebuilt/pdf/School Law/HealthLaw

JournalLibrary/05_15QuinnipiacHealthLJ65(2011-2012).pdf. diakses pada tanggal 10 Desember

2015

3

ODHA tersebut,tuntutan pidana bahkan ditujukan untuk perilaku yang hanya

dianggap sebagai penyebaran yang beresiko dan terkadang dijatuhkan dengan

hukuman yang sangat keras. Beberapa yurisdiksi telah mengarah untuk

memberlakukan atau mengamandemen undang-undang khusus untuk mengatasi

perilaku tersebut.3

Perihal Hak Asasi Manusia yang menjadi suatu aspek yang sangat

dijunjung tinggi penegakannya oleh dunia internasional menjadi salah satu aspek

pula yang sangat erat kaitannya dalam hal ini dengan ODHA. Hal ini tidak dapat

dipungkiri karena Hak Asasi Manusia telah ada dan melekat kepada masing-

masing individu manusia sejak ia dilahirkan ke dunia tidak terkecuali kepada

ODHA. Berbicara mengenai keterkaitan erat antara Hak Asasi Manusia dengan

HIV/AIDS, hal ini sangat mendapat perhatian yang lebih dari dunia internasional

yang dibuktikan dengan dibentuknya dua organisasi internasional yang khusus

bergerak dalam bidang tersebut yakni Office of the United Nations High

Commissioner for Human Rights (OHCHR) dan Joint United Nations Programme

on HIV and AIDS (UNAIDS). OHCHR dalam hal ini menjadi suatu badan yang

mewakili komitmen dunia untuk terwujudnya cita-cita universal dan martabat

manusia. OHCHR memiliki mandat dari masyarakat internasional untuk

memajukan dan melindungi hak asasi manusia.4 Sedangkan UNAIDS merupakan

3UNAIDS, 2002,Criminal Law, Public Health and HIV Transmission: A Policy Options

Paper.URL: http://data.unaids.org/publications/IRC-pnb02/JC733-CriminalLaw-en.pdf; Diakses

pada tanggal 10 Desember 2015 4 Website Resmi The Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights

(OHCHR), URL: http://www.ohchr.org/EN/AboutUs/Pages/WhoWeAre.aspx Diakses pada

tanggal 10 Desember 2015

4

suatu program kerjasama yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

yang secara khusus bergerak dalam bidang HIV/AIDS.

Peringatan Hari AIDS sedunia pada tanggal 1 Desember merupakan

momentum rutin untuk mempopulerkan program global penanggulangan HIV

AIDS. Berbagai langkah dan strategi pada berbagai level sudah dilakukan untuk

mengendalikan dan menghilangkan epidemi HIV/AIDS di dunia. Namun ternyata

hingga kini perang melawan HIV/AIDS ini tidak juga berhasil. Alih-alih

berkurang atau minimal, ternyata jumlah penderita HIV/AIDS ini justru

bertambah dari tahun ke tahun. Fenomena penderita HIV/AIDS di Indonesia dapat

digambarkan seperti gunung es, yang dasarnya jauh lebih besar dibandingkan

puncak yang terlihat.

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat

limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh,

menghancurkan atau merusak sel darah putih. Sedangkan, AIDS (Acquired

Imunnodeficiency Syndrome) merupakan gejala penyakit yang disebabkan oleh

infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang merusak kekebalan

tubuh. Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan

orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tingkat HIV dalam tubuh dan

timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah

berkembang menjadi AIDS (Acquired Imunnodeficiency Syndrome).5

Pertama kali kasus HIV/AIDS di Indonesia ditemukan di Propinsi Bali

pada tahun 1987. Jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia hingga saat ini

5 Muninjaya, 1999, AIDS Dikenali Untuk Dihindari, Arcan, Jakarta, h.5.

5

menunjukkan kecenderungan meningkat. Tercatat hingga September 2014

sebanyak 150.296 orang mengidap HIV dan sebanyak 55.799 orang mengidap

AIDS. Tahun 2013 tercatat 35 juta orang diseluruh dunia mengidap virus HIV

yang meliputi 16 juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia dibawah usia 15 tahun.

Jumlah infeksi baru HIV pada tahun 2013 sebesar 2,1 juta yang terdiri dari 1,9

juta dewasa dan 240.000 anak berusia kurang dari 15 tahun. Jumlah kematian

akibat AIDS sebanyak 1,5 juta yang terdiri dari 1,3 juta dewasa dan 190.000 anak

berusia dibawah 15 tahun.6

Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di daerah maka

dikembangkan pula Peraturan Daerah tentang Penanggulangan HIV/AIDS yang

diarahkan untuk mendukung tujuan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS

secara nasional yakni: (1) mencegah dan mengurangi penularan HIV, (2)

meningkatkan kualitas hidup ODHA dan (3) mengurangi dampak sosial ekonomi

akibat HIV/AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat.7

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,

pengaturan mengenai penyakit menular diiatur dalam Pasal 152 – Pasal 157.

Dalam pasal-pasal tersebut tidak disebutkan secara spesifik tentang pengaturan

penyakit HIV/AIDS. Kebijakan kriminalisasi terhadap pengidap HIV/AIDS hanya

dituangkan melalui Peraturan Daerah.

6 Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2014, Situasi dan Analisis

HIV/AIDS.URL:http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin%20AI

DS.pdf. diakses tanggal 29 Pebruari 2016. 7 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2007, Strategi Nasional Pencegahan dan

Penanggulangan HIV & AIDS tahun 2007-2010, Jakarta, h.16

6

Peraturan Daerah tentang penanggulangan HIV/AIDS dibuat sebagai

payung hukum bagi semua pihak yang terlibat upaya tersebut. Serta jaminan

politis bagi tersedianya budget untuk pencegahan dan penanggulangan

HIV/AIDS. Untuk mendukung pencapaian tujuan penanggulangan HIV/AIDS,

maka didalam Peraturan Daerah dilakukan kriminalisasi terhadap tindakan/prilaku

beresiko ditulari dan/atau menularkan HIV.

Sampai saat ini tidak semua daerah di Indonesia yang memiliki Peraturan

Daerah yang mengatur mengenai pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

Tercatat selama kurun waktu 10 tahun terakhir, paling tidak tercatat sudah ada 55

peraturan daerah tentang penanggulangan HIV/AIDS. Perda tersebut terdiri dari

17 Perda tingkat propinsi, 11 Perda tingkat kota dan 27 Perda tingkat kabupaten.

Propinsi Bali sendiri mengatur tentang Penanggulangan HIV/AIDS dalam

Peraturan Daerah Propinsi Bali No 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan HIV-

AIDS.8

Upaya kriminalisasi terhadap orang yang dengan sengaja menyebarkan

dan/atau menularkan virus HIV/AIDS kepada orang lain dalam Peraturan Daerah

Propinsi Bali No 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan HIV-AIDS salah satunya

diatur dalam pasal 8 yang berbunyi :

(1) Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV

dilarang mendonorkan darah, produk darah, cairan sperma,

organ, dan/atau jaringan tubuhnya kepada orang lain.

8Eviana Hapsari Dewi, 2015, Satu Dekade Peraturan Daerah Penanggulangan HIV &

AIDS di Indonesia, URL :http://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/artikel/artikel-tematik/146-

satu-dekade-peraturan-daerah-penanggulangan-hiv-aids-di-indonesia. diakses tanggal 1 Januari

2016.

7

(2) Setiap orang yang melakukan skrining darah, produk darah,

cairan sperma, organ, dan/atau jaringan tubuhnya wajib

mentaati standar prosedur skrining.

(3) Setiap orang dilarang meneruskan darah, produk darah, cairan

sperma, organ, dan/atau jaringan tubuhnya yang terinfeksi

HIV kepada calon penerima donor.

Adapun ancaman pidananya diatur dalam pasal 27 yang berbunyi :

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 7, Pasal 8, Pasal

9, Pasal 10, Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) , Pasal 13

ayat (1), dan Pasal 14 dipidana dengan pidana kurungan paling

lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah

pelanggaran.

Peraturan Daerah tentang Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia telah

memuat sanksi pidana atas perbuatan terkait risiko penularan HIV (Human

Immunodeficiency Virus). Sanksi pidana bukan hanya diarahkan kepada

masyarakat secara luas, tetapi sebagian diarahkan khusus kepada ODHA yang

sudah mengetahui bahwa dirinya HIV positif namun tidak mencegah penularan

HIV. Tindak pidana dapat terjadi baik karena menyebabkan terjadinya penularan

HIV maupun sebatas menempatkan pasangan seksualnya dalam risiko penularan

HIV.

Kajian ini melihat perimbangan keadilan sosial, HAM, serta prioritas

kesehatan masyarakat dengan adanya kriminalisasi penularan HIV. Lebih lanjut

lagi, dikaji juga kegamangan normatif hukum pidana antara ultimum dan primum

remedium, serta kesulitan penempatan unsur kesalahan pada kompleksitas variasi

penularan seksual. Status HIV merupakan salah satu bentuk HAM atas privasi,

sementara sebaliknya, kriminalisasi penularan HIV secara naif menempatkan

8

unsur kesalahan pada seseorang yang tidak memberi tahu status HIV-nya kepada

pasangan seksualnya dengan asumsi bahwa HAM atas privasi dapat dilanggar

untuk melindungi HAM orang lain (kepentingan umum).

Pembatasan subyek pidana ini tidak imbang dengan fakta minimnya

pemenuhan HAM atas informasi tentang HIV, sehingga kriminalisasi bersifat

diskriminatif. Ketakutan akan tanggung jawab pidana juga menimbulkan

keengganan untuk mengetahui status HIV padahal tes HIV merupakan pintu

masuk bagi layanan kesehatan dan psikososial komprehensif, khususnya

pengobatan antiretroviral.

Pengobatan antiretroviral terbukti melindungi HAM untuk hidup, namun

hanya dapat diberikan pada orang yang sudah mengetahui status HIV. Ketika

kriminalisasi terwujud dalam peraturan, maka dapat muncul juga perasaan aman

yang palsu (false sense of security), yaitu ketika orang merasa dirinya telah

terlindungi dari HIV karena beranggapan bahwa orang lain pasti akan tunduk pada

peraturan tersebut (yang belum tentu dipatuhi merata). Maka konteks

kriminalisasi penularan HIV tidaklah menghentikan penularan HIV, tetapi justru

mengancam keadilan sosial, disinsentif bagi upaya kesehatan masyarakat, dan

melanggar HAM.

Tujuan hukum pada intinya adalah menciptakan tatanan masyarakat yang

tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan terciptanya ketertiban

9

didalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terpenuhi dan

terlindungi.9

Jelas terlihat bahwa tujuan hukum kesehatan pun tidak akan banyak

menyimpang dari tujuan umum hukum. Hal ini dilihat dari bidang kesehatan

sendiri yang mencakup aspek sosial dan kemasyarakatan dimana banyak

kepentingan harus dapat diakomodir dengan baik.

Melihat latar belakang masalah diatas maka penulis tertarik membuat

penulisan hukum atau skripsi yang berjudul “KRIMINALISASI TERHADAP

ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DALAM PERATURAN DAERAH

PROPINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN

HIV-AIDS“

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan atas uraian di atas dalam latar belakang masalah, maka dapat

dikemukakan suatu permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan kriminalisasi terhadap ODHA dalam Peraturan

Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan

HIV-AIDS?

2. Bagaimana bentuk diskriminasi terhadap ODHA dalam Peraturan

Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan

HIV-AIDS?

9 Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty,

Yogyakarta, h. 108.

10

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari

permasalahan yang di bahas maka perlulah adanya pembatasan dalam ruang

lingkup masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut :

1. Yang pertama akan dibahas mengenai pengaturan kriminalisasi

terhadap ODHA dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3

Tahun 2006 Tentang Penanggulangan HIV-AIDS.

2. Yang kedua akan dibahas mengenai bentuk diskriminasi terhadap

ODHA dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun

2006 Tentang Penanggulangan HIV-AIDS.

1.4. Orisinalitas

Penelitian skripsi dengan tema HIV/AIDS telah dilakukan oleh peneliti

lain, yakni : Agyta Gaghenggang dan I Dewa Gede Wiwaswan Nida. Adapun

perbedaan penelitian skripsi ini dengan penelitian-penelitian tersebut diatas akan

digambarkan dalam tabel berikut :

Perbedaan

Penelitian Ini Agyta

Gaghenggang

I Dewa Gede

Wiwaswan Nida

Tempat Fakultas Hukum

Universitas

Udayana, Bali

Fakultas Hukum

Universitas Sam

Ratulangi,

Manado

Fakultas Hukum

Universitas

Udayana, Bali

Tahun 2016 2013 2008

11

Permasalahan 1. Bagaimana

pengaturan

kriminalisasi

terhadap ODHA

dalam Peraturan

Daerah Propinsi

Bali Nomor 3

Tahun 2006

Tentang

Penanggulangan

HIV-AIDS?

2. Bagaimana

bentuk

diskriminasi

terhadap ODHA

dalam Peraturan

Daerah Propinsi

Bali Nomor 3

Tahun 2006

Tentang

Penanggulangan

HIV-AIDS?

1. Bagaimana

aturan hukum

dan HAM

tentang

larangan

diskriminasi

terhadap

penderita

HIV/AIDS ?

2. Bagaimana

larangan

implementasi

terhadap

penderita

HIV/AIDS?

1. Bagaimana

perlakuan

diskriminatif

yang diterima

ODHA dalam

konteks HAM

?

2. Bagaimanakah

upaya

perlindungan

hukum

terhadap

ODHA?

12

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian terkait dengan kebijakan kriminalisasi kriminalisasi

terhadap ODHA dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006

Tentang Penanggulangan HIV-AIDS ini ada dua, yaitu tujuan umum dan tujuan

khusus. Adapun tujuan tersebut antara lain:

a. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui dan lebih

memahami mengenai kriminalisasi terhadap ODHA dalam Peraturan

Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan

HIV-AIDS.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk dapat mengetahui pengaturan kriminalisasi terhadap ODHA

dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006 Tentang

Penanggulangan HIV-AIDS.

2. Untuk dapat memahami dan menganalisa bentuk diskriminasi

terhadap ODHA dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3

Tahun 2006 Tentang Penanggulangan HIV-AIDS.

1.6 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk

memberikan kontribusi pemikiran atau wacana yang luas mengenai

kriminalisasi terhadap ODHA dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali

13

Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan HIV-AIDS, dalam

rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan

kontribusi dan solusi kongkrit bagi para lembaga penegak hukum di

Indonesia. Serta diharapkan mampu memberi masukan kepada pihak-

pihak yang berkompeten, yaitu para pengambil kebijakan dan praktisi

hukum, terutama dalam memformulasikan dan menerapkan kebijakan

hukum pidana.

1.7 Landasan Teoritis

a. Teori Pemidanaan

Dalam penetapan sanksi suatu peraturan perundang-undangan tidak

terlepas dari tujuan pemidananaan itu sendiri. Dalam hukum pidana, teori

retributif atau teori absolut (teori pembalasan) dan teori utilitarian atau

teori relatif (teori tujuan) merupakan teori yang dominan untuk

pemidanaan.

Menurut teori retributif, pidana dijatuhkan semata-mata karena

orang telah melakukan suatu kejadian atau tindak pidana.10 Sehubungan

dengan itu, Karl O. Christianen yang dikutip dari bukunya Sholehuddin

mengindentifikasi lima ciri pokok dari retributif, yaitu:

10 I Gede Widhiana Suardana, 2011, Hukum Pidana: Materi Penghapus, Peringan dan

Pemberat Pidana, Bayumedia Publishing, Anggota IKAPI, h.14

14

1. “ Tujuan pidana hanyalah sebagai pembalasan

2. Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak

mengandung saran-sarana untuk tujuan lain seperti

kesejahteraan masyarakat;

3. Kesalahan moral sebagai satu-satunya syarat untuk

pemidanaan;

4. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pelaku;

5. Pidana melihat kebelakang, sebagai pencelaan yang

murni dan bertujuan tidak untuk memperbaiki,

mendidik dan merelosialisasi pelaku.”11

Sedangkan menurut teori relatif, pemidanaan bukanlah untuk

memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak

mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi

kepentingan masyarakat.

b. Teori Kebijakan Kriminal (criminal policy)

Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan

suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu

tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi, pada hakikatnya kebijakan

kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan

menggunakan sarana hukum pidana (penal) dan oleh karena itu termasuk bagian

dari kebijakan hukum pidana (penal policy).

Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan

kejahatan termasuk bidang “kebijakan kriminal” (criminal policy). Kebijakan

kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu “kebijakan

sosial” (social policy) yang terdiri dari kebijakan atau upaya-upaya untuk

11 Sholehuddin, 2007, System Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System &

Implementasinya, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 35.

15

kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan atau upaya-upaya untuk

perlindungan masyarakat (social defence policy).12

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau politik kriminal (criminal

policy) adalah suatu kebijakan atau usaha rasional untuk menanggulangi

kejahatan. Politik kriminal itu merupakan bagian dari politik penegakan hukum

dalam arti luas (law enforcement policy), yang seluruhnya merupakan bagian dari

politik sosial (social policy), yaitu suatu usaha dari masyaraat atau negara untuk

meningkatkan kesejahteraan warganya.13

Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu

sebagai berikut :

a. “Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang

menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa

pidana;

b. Dalam arti luar adalah keseluruhan fungsi dari aparatur

penegakan hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari

pengadilan dan polisi;

c. Dalam arti yang paling luas adalah keseluruhan kebijakan yang

dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi

yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari

masyarakat.”14

Barda Nawawi Arief mengemukakan, untuk menetapkan suatu perbutan

itu sebagai tindak kriminal, perlu memperhatikan kriteria umum sebagai berikut :

12 Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana

dalam Penanggulangan Kejahatan, Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda

Nawawi Arief I), h.77 13 Muladi dan Barda Nawawi, 2010, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,

h.1 14 Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya

disingkat Sudarto II), h. 113-114

16

1. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh

masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan,

mendatangkan korban, atau dapat mendatangkan korban.

2. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasil yang

akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang,

pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul

oleh korban dan pelaku kejatan itu sendiri seimbang dengan

situasi tertib hukum yang akan dicapai.

3. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum

yang seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh

kemampuan yang dimilikinya.

4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau

menghalangi cita-cita bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi

keseluruhan masyarakat.15

c. Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia

Salah satu bentuk kepedulian dunia internasional terhadap HIV/AIDS

dalam kaitannya dengan penegakan Hak Asasi Manusia yaitu dengan disusunnya

International Guidelines on HIV/AIDS and Human Rights (Pedoman Internasional

tentang HIV/AIDS dan Hak Asasi Manusia) yang terbentuk dari hasil kerjasama

antara Office of the United Nations High Commissioner for Human

Rights (OHCHR) dengan Joint United Nations Programme on HIV and AIDS

(UNAIDS).

Pedoman Internasional tentang HIV/AIDS dan Hak Asasi Manusia

tersebut dibuat karena mengingat bahwa bagi pemerintah dan elemen-elemen lain

memerlukan adanya suatu pencerahan yang berbentuk suatu pedoman yang dapat

dijadikan sebagai acuan mengenai cara-cara yang terbaik yang dapat dilakukan

15 Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana,

Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II), h.32

17

untuk memajukan, melindungi, dan memenuhi Hak Asasi Manusia dalam konteks

penularan penyakit HIV/AIDS yang semakin berkembang.16

Sebagai upaya perlindungan terhadap hak asasi manusia dari ODHA telah

terdapat berbagai dokumen maupun instrumen internasional. Hal ini dapat

dipahami sebagai upaya perlindungan hukum internasional dalam kaitannya

dengan hak asasi manusia yang melekat pada ODHA terlepas dari bentuk

dokumen atau instrumen tersebut baik itu merupakan pernyataan (deklarasi),

perjanjian atau persetujuan bersama (konvensi), resolusi ataupun masih

merupakan pedoman (guidelines).

Di antara berbagai dokumen hak asasi manusia internasional terdapat

beberapa prinsip-prinsip hak asasi manusia yang relevan dengan ODHA yaitu

antara lain:

a. Hak untuk non-diskriminasi, memperoleh perlindungan yang

sama dan persamaan di hadapan hukum(The right to non-

discrimination, equal protection and equality before the law)

b. Hak untuk hidup(The right to life)

c. Hak untuk pencapaian standar tertinggi terhadap kesehatan

fisik dan mental(The right to the highest attainable standard of

physical and mental health)

d. Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi(The right to liberty

and security of person)

e. Hak untuk kebebasan bergerak(The right to freedom of

movement)

f. Hak untuk mencari dan menikmati suaka(The right to seek and

enjoy asylum)

g. Hak privasi(The right to privacy)

h. Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi dan hak untuk

bebas menerima dan memberi informasi(The right to freedom

of opinion and expression and the right to freely receive and

impart information)

16

UNAIDS, loc.cit.

18

i. Hak atas kebebasan berserikat(The right to freedom of

association)

j. Hak untuk bekerja(The right to work)

k. Hak untuk menikah dan membentuk keluarga(The right to

marry and found a family)

l. Hak untuk akses yang sama terhadap pendidikan(The right to

equal access to education)

m. Hak atas standar hidup yang memadai(The right to an adequate

standard of living)

n. Hak atas jaminan sosial, bantuan dan kesejahteraan(The right to

social security, assistance and welfare)

o. Hak untuk berbagi dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan

kemanfaatannya(The right to share in scientific advancement

and its benefits)

p. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik dan

budaya(The right to participate in public and cultural life)

q. Hak untuk bebas dari penyiksaan dan kekejaman, serta

perlakuan dan penghukuman secara tidak manusiawi atau

merendahkan(The right to be free from torture and cruel,

inhuman or degrading treatment or punishment)

r. Hak-hak perempuan dan anak-anak. (The rights of women and

children) 17

Menurut N. Flowers, terdapat 7 Prinsip utama hak asasi manusia, meliputi:

a. prinsip universalitas;

b. pemartabatan terhadap manusia (human dignity);

c. non-diskriminasi;

d. persamaan;

e. indivisibility, maksudnya suatu hak tidak bisa dipisah-pisahkan

antara yang satu dengan yang lainnya;

f. interdependency (saling ketergantungan);

g. inalienability. Pemahaman prinsip atas hak yang tidak bisa

dipindahkan, tidak bisa dirampas atau dipertukarkan dengan hal

tertentu;

h. responsibilitas atau pertanggungjawaban.18

17 The Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights dan the Joint

United Nations Programme on HIV/AIDS,2006, International Guidelines on HIV/AIDS and

Human Rights (Consolidated Version). URL

:http://www.ohchr.org/Documents/Publications/HIVAIDSGuidelinesen.pdf Diakses pada tanggal

10 Desember 2015

19

Sementara dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia disebutkan:

“Hak asasi manusia merupakan seperangkat hak yang melekat pada

hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang

Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati,

dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah

dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan

martabat manusia.”

1.8 Metode Penelitian

a. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yaitu

suatu penelitian yang secara deduktif dimulai analisa terhadap pasal-pasal

dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur terhadap

permasalahan diatas. Penelitian hukum secara yuridis maksudnya

penelitian yang mengacu pada studi kepustakaan yang ada ataupun

terhadap data sekunder yang digunakan. Sedangkan bersifat normatif

maksudnya penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh

pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan

peraturan lain dan penerapan dalam prakteknya. Data sekunder dalam

penelitian hukum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :19

1. Bahan hukum primer, berupa ketentuan hukum dan perundang-

undangan yang mengikat serta berkaitan dengan studi ini;

18 Jimly As Shidiqie, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan

pertama, Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tatat Negara Fakultas Hukum

Univeritas Indonesia, Jakarta, h. 7 19 Sri Mamudji dkk., 2005, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan Penerbit

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 30.

20

2. Bahan hukum sekunder, berupa literatur-literatur tertulis yang

berkaitan dengan pokok masalah dalam studi ini, baik berbentuk

buku-buku, makalah-makalah, laporan penelitian, artikel surat

kabar, dan lain sebagainya;

3. Bahan hukum tersier, merupakan bahan penjelasan mengenai

bahan hukum tersier maupun sekunder, berupa kamus,

ensiklopedia, dan sebagainya.

b. Jenis pendekatan

Dalam penelitian ini digunakan jenis pendekatan perundang-undangan

(The Statue Approach) dan jenis pendekatan analisis konsep hukum

(Analitical & The Conseptual Approach). Pendekatan perundang-

undangan merupakan pendekatan yang berdasarkan pada peraturan

perundang-undangan, norma-norma hukum / kaidah-kaidah yang

berhubungan dengan kriminalisasi terhadap pengidap HIV/AIDS.

Pendekatan konsep hukum merupakan pendekatan yang digunakan untuk

memahami konsep-konsep aturan yang jelas tentang kriminalisasi

terhadap ODHA dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun

2006 Tentang Penanggulangan HIV-AIDS.

c. Sumber bahan hukum

Sumber bahan hukum yang dipakai dalam penelitian ini berasal dari :

1) Sumber bahan hukum primer

Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang

mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang

21

berkaitan, yang bersifat mengikat. Sumber bahan hukum yang

digunakan adalah :

- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

- Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

- Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan

- Peraturan Daerah Propinsi Bali No 3 Tahun 2006 tentang

Penanggulangan HIV-AIDS.

2) Sumber bahan hukum sekunder

Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder

yang digunakan adalah literatur-literatur yang relevan dengan topik

yang dibahas, baik literatur-literatur hukum (buku-buku teks (textbook)

yang ditulis para ahli yang berpengaruh (de hersender leer) ), pendapat

para sarjana, jurnal hukum yang berkaitan dengan topik penelitian

maupun literatur non hukum, dan artikel-artikel yang diperoleh via

internet.

3) Sumber bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadan bahan hukum hukum primer dan sekunder, seperti

kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum.

22

d. Teknik pengumpulan bahan hukum

Mengenai teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang

diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study

document). Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card

system) yaitu cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing

informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder.

e. Teknik analisis bahan hukum

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

deskriptif analisis dengan menggunakan metode evaluatif, metode

sistematis, metode interprestatif dan metode argumentatif. Teknik

deskriptif analisis adalah penjabaran data yang diperoleh dalam bentuk

uraian yang nantinya akan menjawab permasalahan.

Metode evaluatif adalah penelitian yang bertujuan mengumpulkan

informasi tentang apa yang terjadi yang merupakan kondisi nyata

mengenai keterlaksanaan rencana yang memerlukan evaluasi.

Metode sistematis adalah segala usaha menguraikan dan

merumuskan sesuatu dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga

membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu,

dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut obyeknya.

Metode interprestatif adalah metode yang menafsirkan peraturan

perundang-undangan dihubungkan dengan peraturan hukum atau undang-

undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum. Karena suatu undang-

23

undang pada hakikatnya merupakan bagian dari keseluruhan sistem

perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak mungkin ada satu

undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat dengan peraturan

perundang-undangan lainnya.

Metode argumentatif adalah alasan berupa uraian penjelasan yang

diuraikan secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara logis untuk

memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan,

berkaitan dengan asas hukum, norma hukum dan peraturan hukum

konkret, serta sistem hukum dan penemuan hukum, yang berkaitan dengan

obyeknya.