Upload
afif
View
80
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kepala madrasah adalah sebagai pengelola institusi atau pelembagaan
pendidikan tentu saja mempunyai peran yang teramat penting karena ia sebagai
desainer, pengorganisasian, pelaksana, pengelola tenaga kependidikan, pengawas,
pengevaluasi program pendidikan dan pengajaran di lembaga yang dipimpinnya.
Secara operasional kepala madrasah memiliki standar kompetensi untuk
menyusun perencanaan strategis, mengelola tenaga kependidikan, mengelola
kesiswaan, mengelola fasilitas, mengelola sistem informasi manajemen,
mengelola regulasi atau peraturan pendidikan, mengelola mutu pendidikan,
mengelola kelembagaan, mengelola kekompakan kerja (teamwork), dan
mengambil keputusan.
Selain kepala madrasah, guru pun juga mempunyai peran yang sangat
penting, yaitu sebagai ujung tombak pelaksana proses kegiatan belajar mengajar.
Di lapangan guru berperan sebagai transformator (orang yang memindahkan)
ilmu pengetahuan, teknologi, menanamkan keimanan, ketaqwaan dan
membiasakan peserta didik berakhlakul karimah serta mandiri. Sesuai dalam
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional
bahwa : Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Agar tercapai tujuan pendidikan seperti yang disebutkan diatas, tentu
diperlukan sistem kerjasama yang baik antara kepala madrasah dan guru untuk
meningkatkan kompetensi professional guru khusunya dan semua pihak yang
berkepentingan (stake holder) dengan pendidikan di madrasah.
Peran kepala madrasah yang efektif tentu akan mempengaruhi kinerja
guru, sehingga guru menjadi bersemangat dan profesional dalam menjalankan
tugasnya dan mampu menunjukkan prestasi kerja. Hal ini disebabkan guru merasa
1
mendapat perhatian, rasa aman, dan pengakuan atas prestasi kinerjanya, yang pada
akhirnya membawa pekerjaannya dapat dilakukan secara baik dan hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan dan juga memuaskan (accountable and satisfied).
Dalam makalah ini akan membahas tentang Kepemimpinan Kepala
Madrasah dalam Meningkatkan Kompetensi Professional Guru dari strateginya,
respon dan implementasi strategi itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian kepemimpinan?
2. Bagaimana gaya kepemimpinan dalam perspektif total quality
management?
3. Apa saja tugas kepemimpinan Kepala Madrasah?
4. Bagaimana pemahaman profesionalisme guru?
5. Bagaimana pengembangan profesionalisme guru?
6. Bagaimana ciri guru yang profesional?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian kepemimpinan.
2. Untuk mengetahui gaya kepemimpinan dalam perspektif total quality
management.
3. Untuk mengetahui tugas kepemimpinan Kepala Madrasah.
4. Untuk mengetahui pemahaman profesionalisme guru.
5. Untuk mengetahui pengembangan profesionalisme guru.
6. Untuk mengetahui ciri guru yang profesional.
2
BAB II
PEMBAHASAN
KEPEMIMPINAN KEPALA MADRASAH DALAM
MENINGKATKAN KOMPETENSI PROFESIONAL GURU
A. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan pada dasarnya berarti kemampuan untuk memimpin;
kemampuan untuk menentukan secara benar apa yang harus dikerjakan. Menurut
Gibson, kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, yang
dilakukan melalui hubungan interpersonal dan proses komunikasi untuk mencapai
tujuan1. Newstrom & Davis berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan suatu
proses mengatur dan membantu orang lain agar bekerja dengan benar untuk
mencapai tujuan2.
Sedangkan Stogdill berpendapat bahwa kepemimpinan juga merupakan
proses mempengaruhi kegiatan kelompok, dengan maksud untuk mencapai tujuan
dan prestasi kerja.3 Oleh karena itu, kepemimpinan dapat dipandang dari pengaruh
interpersonal dengan memanfaatkan situasi dan pengarahan melalui suatu proses
komunikasi ke arah tercapainya tujuan khusus atau tujuan lainnya. Pernyataan ini
mengandung makna bahwa kepemimpinan terdiri dari dua hal yakni proses dan
properti. Proses dari kepemimpinan adalah penggunaan pengaruh secara tidak
memaksa, untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan kegiatan dari para anggota
yang diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi. Properti dimaksudkan, bahwa
kepemimpinan memiliki sekelompok kualitas dan atau karakteristik dari atribut-
atribut yang dirasakan serta mampu mempengaruhi keberhasilan pegawai4.
Karol Kennedy sebagaimana dikutip oleh Mustopadijajamengemukakan
perbedaan keduanya secara ekstrim dengan menyatakan bahwa :
1 James L Gibson, , et . all., Organisasi Perilaku, Struktur, Proses, Alih bahasa : Djarkasih, (Jakarta : Erlangga, 1988), 334
2 Keith Davis, and John W. Newstrom. Human Behaviour at Work : Organizational Behaviour. (New York Mc. Graw-Hill Inc., 1985), 122
3 James L. Gibson, dkk,, 3424 Victor H. Vroom dan Jago, Arthur G. The New Leadership: Managing Participation in
Organizations. Englewood Cliffs, (New Jersey: Prentice Halls, 1988). 34
3
“Leadership is about a sense of direction. The word lead comes from
Anglo-Saxon word, common to north European languages, which means a
road, a way, the path of a ship at sea. It’s knowing the next step is……
“Managing is a different image. It’s from the Latin manus, a hand. It’s
handling a sword, a ship, a horse. It tends to be closely linked with the
idea of machines. Managing had its origins in the 19th century with
engineers and accountants coming in to run entrepreneurial outfits. They
tended to think of them as systems”.5
Adair mendefinisikan kepemimpinan dalam tiga konsep “Task, Team, and
Individual” dalam lingkaran saling terkait, sehingga merupakan satu kesatuan
konsep ACL (Action-Centered Leadership); dan menyatakan “… leadership is
about teamwork, creating teams. Teams tend to have leaders, leaders tend to
create teams”6. Adair berkeyakinan bahwa working groups atau teams akan
memberikan tiga kontribusi pada pemenuhan kebutuhan bersama, berupa “the
need to accomplish a common task, the need to be maintained as acohesive social
unit or team, and the sum of the groups’s individual needs”; serta
mengidentifikasi enam fungsi kepemimpinan berikut :
1. Planning (seeking all available information; defining groups tasks
or goals; making a workable plan);
2. Initiating (briefing the group; allocating tasks; setting groups
standards);
3. Controlling (maintaining groups standard; ensuring progress
towards objectives; ‘prodding’ action sand decisions);
4. Supporting (expressing acceptance of individual contributions;
encouraging and disciplining; creating team spirit; relieving tension
with humour; reconciling disagreements);
5 Mustopadidjaja, Beberapa dimensi dan Dinamika Kepemimpinan Abad 21, dalam aparaturnegara.bappenas.go.id/.../Pelayanan%20Publik/Dimensi%20&%20Dinamika%20KEPIM%20ABAD%2021.pdf, diakses 22 April 2008.
6 Ibid.
4
5. Informing (clarifying task and plan; keeping group informed;
receiving information from the group; summarizing ideas and
suggestions); dan
6. Evaluating (checking feasibility of ideas; testing consequencies;
evaluating group perfomance; helping group to evaluate itself).7
Dalam pada itu Zwell mengidentifikasi sekurangnya 15 fungsi yang secara
umum dilakukan oleh pemimpin, yaitu :
…modeling the corporate culture, developing the corporate philosophy,
establishing and maintaining atandards, understanding the business, determining
strategic direction, managing change, being agood follower : aligning with
superior, inspiring and motivating, establishing elignment, establishing focus,
holding ultimate responsibility, dealing with authority issues, determining
successors, managing ambiguity, and optimizing orgaizational structure and
process.8
Dibalik fungsi-fungsi tersebut terdapat tugas dan peran kepemimpinan.
Dalam hubungan itu, pada tahun 1990 John P. Kotter pada satu pihak
mengidentifikasi tiga tugas prinsipil kepemimpinan, yaitu :
1. Establishing direction, developing a vision and strategies for the future of
the business;
2. Aligning people - getting others to ‘understand, accept and line up in the
chosen direction’, dan
3. Motivating and inspiring people by appealing to very basic but often
untapped human needs, value and emotions.9
Pada lain pihak, ia pun mendefinisikan empat peran manajemen berikut;
1. Planning and budgeting, setting short-to medium-term targets;
2. Establishing steps to reach them and allocating resources;
7 Ibid.8 Michael Zwell, Creating a Culture of Competency, (New York, Wiley, 2000), 2989 John P. Kotter, Leading Change. (Boston, MA: Harvard Business School Press 1996),
76
5
3. Organizing and staffing, establishing an organizational structure to
accomplish the plan, staffing the jobs; communicating the plan, delegating
responsibility and establishing systems to monitor implementatio;
4. Controlling and problem solving, monitoring results, identifying problems
and organizing to solve them.10
B. Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan, pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu
perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut
kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk
suatu pola atau bentuk tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini
sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis dan Newstrom. Keduanya
menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang
dipersepsikan atau diacu oleh bawahan tersebut dikenal sebagai gaya
kepemimpinan.11
Gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin, pada dasarnya dapat
diterangkan melalui tiga aliran teori berikut ini.
1. Teori Genetis (Keturunan). Inti dari teori menyatakan bahwa “Leader are
born and nor made” (pemimpin itu dilahirkan (bakat) bukannya dibuat).
Para penganut aliran teori ini mengetengahkan pendapatnya bahwa
seorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan
dengan bakat kepemimpinan. Dalam keadaan yang bagaimanapun
seseorang ditempatkan karena ia telah ditakdirkan menjadi pemimpin,
sesekali kelak ia akan timbul sebagai pemimpin. Berbicara mengenai
takdir, secara filosofis pandangan ini tergolong pada pandangan fasilitas
atau determinitis.
2. Teori Sosial. Jika teori pertama di atas adalah teori yang ekstrim pada satu
sisi, maka teori inipun merupakan ekstrim pada sisi lainnya. Inti aliran
teori sosial ini ialah bahwa “Leader are made and not born” (pemimpin itu
dibuat atau dididik bukannya kodrati). Jadi teori ini merupakan kebalikan
10 Ibid…, 12411 Keith Davis, and John W. Newstrom, 267
6
inti teori genetika. Para penganut teori ini mengetengahkan pendapat yang
mengatakan bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan
pendidikan dan pengalaman yang cukup.
3. Teori Ekologis. Kedua teori yang ekstrim di atas tidak seluruhnya
mengandung kebenaran, maka sebagai reaksi terhadap kedua teori tersebut
timbullah aliran teori ketiga. Teori yang disebut teori ekologis ini pada
intinya berarti bahwa seseorang hanya akan berhasil menjadi pemimpin
yang baik apabila ia telah memiliki bakat kepemimpinan. Bakat tersebut
kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman
yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Teori ini
menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori terdahulu sehingga dapat
dikatakan merupakan teori yang paling mendekati kebenaran. Namun
demikian, penelitian yang jauh lebih mendalam masih diperlukan untuk
dapat mengatakan secara pasti apa saja faktor yang menyebabkan
timbulnya sosok pemimpin yang baik.
Selain pendapat-pendapat yang menyatakan tentang timbulnya gaya
kepemimpinan tersebut, Hersey dan Blancharddalam Sutarto12 berpendapat bahwa
gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen,
yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan
tersebut diwujudkan. Bertolak dari pemikiran tersebut, Hersey dan Blanchard
mengajukan proposisi bahwa gaya kepemimpinan (k) merupakan suatu fungsi dari
pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi tertentu (s)., yang dapat dinotasikan sebagai
: k = f (p, b, s).
Kepemimpinan sama dengan gabungan dari fungsi (f) pimpinan (p),
bawahan (b) dan situasi(s). Menurut Hersey dan Blanchard, pimpinan (p) adalah
seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan
unjuk kerja maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi atau
lembaga. Organisasi akan berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai
kecakapan dalam bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang
12 Sutarto, Dasar-dasar Kepemimpinan Administrasi ( Yogyakarta., Gadjah Mada University Press, 1991), 65
7
berbeda, seperti keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan
bawahan adalah seorang atau sekelompok orang yang merupakan anggota dari
suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap saat siap melaksanakan perintah
atau tugas yang telah disepakati bersama guna mencapai tujuan. Dalam suatu
organisasi, bawahan mempunyai peranan yang sangat strategis, karena sukses
tidaknya seseorang pimpinan bergantung kepada para pengikutnya ini. Oleh sebab
itu, seorang pemimpinan dituntut untuk memilih bawahan dengan secermat
mungkin. Dengan bawahan yang tepat maka team kerja dapat bekerja secara
maksimal. Sedangkan bila tidak dapat memiliki bawahan yang dapat diandalkan,
pada akhirnya beban akan kembali ke pimpinan.
Adapun situasi (s) menurut Hersey dan Blanchard adalah suatu keadaan
yang kondusif, di mana seorang pimpinan berusaha pada saat-saat tertentu
mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam
rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan pimpinan
pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang dilakukan pada
saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan demikian,
ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu pimpinan,
bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan
akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan. Hubungan antara ketiganya
yang saling mendukung merupakan sinergi yang akan meningkatkan tingkat
keberhasilan kepempimpinan mereka.
Dalam prakteknya, dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut berkembang
beberapa gaya kepemimpinan; di antaranya adalah: Gaya Otokratis, Gaya
Demokratis, Gaya Laissez Faire (Pendelegasian wewenang terjadi secara
ekstentif) yang ketiganya telah dibahas dalam makalah “Tipologi kepemimpinan
kependidikan Islam” dan dalam makalah sebelum dan sesudahnya.
C. Kepemimpinan Kepala madrasah
Di antara pemimpin pendidikan yang bermacam-macam jenis dan
tingkatannya, kepala madrasah merupakan pemimpin pendidikan yang sangat
penting karena kepala madrasah berhubungan langsung dengan pelaksanaan
program pendidikan di sekolah. Ketercapaian tujuan pendidikan sangat
8
bergantung pada kecakapan dan kebijaksanaan kepala madrasah sebagai salah satu
pemimpin pendidikan. Hal ini karena kepala madrasah merupakan seorang pejabat
yang profesional dalam organisasi sekolah yang bertugas mengatur semua sumber
organisasi dan bekerjasama dengan guru- guru dalam mendidik siswa untuk
mencapai tujuan pendidikan.
Kegiatan lembaga pendidikan sekolah di samping diatur oleh pemerintah,
sesungguhnya sebagian besar ditentukan oleh aktivitas kepala madrasahnya.
Menurut Pidarta, kepala madrasah merupakan kunci kesuksesan sekolah dalam
mengadakan perubahan13. Sehingga kegiatan meningkatkan dan memperbaiki
program dan proses pembelajaran di sekolah sebagian besar terletak pada diri
kepala madrasah itu sendiri. Pidarta menyatakan bahwa kepala madrasah memiliki
peran dan tanggungjawab sebagai manajer pendidikan, pemimpin pendidikan,
supervisor pendidikan dan administrator pendidikan.14
a. Manajer Sekolah
Kepala madrasah sebagai manajer di sekolah. Tugas manajer pendidikan
adalah merencanakan sesuatu atau mencari strategi yang terbaik,
mengorganisasi dan mengkoordinasi sumber-sumber pendidikan yang masih
berserakan agar menyatu dalam melaksanakan pendidikan, dan mengadakan
kontrol terhadap pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kepala madrasah memiliki
kewenangan dalam mengambil keputusan, karena atas perannya sebagai
manajer di sekolah dituntut untuk mampu : (1) mengadakan prediksi masa
depan sekolah, misalnya tentang kualitas yang diinginkan masyarakat, (2)
melakukan inovasi dengan mengambil inisiatif dan kegiatan-kegiatan yang
kreatif untuk kemajuan sekolah, (3) menciptakan strategi atau kebijakan untuk
mensukseskan pikiran-pikiran yang inovatif tersebut, (4) menyusun
perencanaan, baik perencanaan strategis maupun perencanaan operasional, (5)
menemukan sumber-sumber pendidikan dan menyediakan fasilitas
pendidikan, (6) melaku kan pengendalian atau kontrol terhadap pelaksanaan
pendidikan dan hasilnya.
13 Made Pidarta. Cara belajar di Universiti Negara Maju: Suatu studi kasus. (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), 75
14 Made Pidarta, Landasan Kependidikan : Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, (Bandung : Rineka, 1997), 68
9
b. Pemimpin Sekolah
Menurut Lipoto peranan kepemimpinan kepala madrasah adalah sebagai:
(1) figurehead (symbol); (2) leader (memimpin; (3) liason (antara); (4)
monitor memonitor; (5) disseminator (menyebarkan) informasi; (6)
spokesmen (juru bicara); (7) entrepreneur ( wiraswasta); (8) Disturbance
handler ( menangani gangguan); (9) Resource allocator (pengumpul dana);
(10) negotiator ( perunding)15.Lebih lanjut Lipoto mengatakan bahwa sebagai
pemimpin, maka kepala madrasah harus mampu menggerakkan orang lain
agar secara sadar dan sukarela melaksanakan kewajibannya secara baik sesuai
dengan apa yang diharapkan pimpinan dalam mencapai tujuan.
Kepemimpinan kepala madrasah terutama ditujukan kepada para guru karena
merekalah yang terlibat secara langsung dalam proses pendidikan. Namun
demikian, kepemimpinan kepala madrasah juga ditujukan kepada para tenaga
kependidikan lainnya serta siswa.
Hal senada dikatakan Wahjosumidjo peran kepala madrasah sebagai
pemimpin sekolah memiliki tanggung jawab menggerakkan seluruh
sumberdaya yang ada di sekolah sehingga melahirkan etos kerja dan
produktivitas yang tinggi dalam mencapai tujuan. Hick, dalam Wahjosumido,
berpendapat bahwa untuk dapat menjadi pemimpin sekolah yang baik, kepala
madrasah harus : (1) adil, (2) mampu memberikan sugesti (suggesting), (3)
mendukung tercapainya tujuan (supplying objectives), (4) mampu sebagai
katalisator, (5) menciptakan rasa aman (providing security), (6) dapat menjadi
wakil organisasi (representing), (7) mampu menjadi sumber inspirasi
(inspiring), (8) bersedia menghargai (prising).16
Dalam pelaksanaannya, keberhasilan kepemimpinan kepala madrasah,
sangat dipengaruhi hal-hal sebagai berikut: (1) Kepribadian yang kuat; kepala
madrasah harus mengembangkan pribadi agar percaya diri, berani,
bersemangat, murah hati, dan memiliki kepekaan sosial. (2) Memahami tujuan
pendidikan dengan baik; pemahaman yang baik merupakan bekal utama
kepala madrasah agar dapat menjelaskan kepada guru, staf dan pihak lain serta
15 Lipoto, Kepemimpinan Kepala madrasah, (Bandung : Tarsito, 1998),. 816 Wahjosumidjo, Kepemimpinan dan Motivasi, (Jakarta :Ghalia Indonesia,. 1987), 98
10
menemukan strategi yang tepat untuk mencapainya. (3) Pengetahuan yang
luas; kepala madrasah harus memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas
tentang bidang tugasnya maupun bidang yang lain yang terkait. (4)
Keterampilan professional yang terkait dengan tugasnya sebagai kepala
madrasah, yaitu: (a) keterampilan teknis, misalnya: teknis menyusun jadwal
pelajaran, memimpin rapat. (b) keterampilan hubungan kemanusiaan,
misalnya : bekerjasama dengan orang lain, memotivasi, guru dan staf (c)
Keterampilan konseptual, misalnya mengembangkan konsep pengembangan
sekolah, memperkirakan masalah yang akan muncul dan mencari
pemecahannya.17
Dalam masalah ini Wahjosumidjo berpendapat, bagi kepala madrasah
yang ingin berhasil menggerakkan para guru/staf dan para siswa agar
berperilaku dalam mencapai tujuan sekolah adalah: (1) menghindarkan diri
dari sikap dan perbuatan yang bersifat memaksa atau bertindak keras terhadap
guru, staf dan para siswa; (2) harus mampu melakukan perbuatan yang
melahirkan kemauan untuk bekerja dengan penuh semangat dan percaya diri
terhadap para guru, staf dan siswa, dengan cara meyakinkan dan membujuk.18
Meyakinkan (persuade) dilakukan dengan berusaha agar para guru, staf dan
siswa percaya bahwa apa yang dilakukan adalah benar. Sedangkan membujuk
(induce) adalah berusaha meyakinkan para guru, staf dan siswa bahwa apa
yang dilakukan adalah benar. Pemimpin yang efektif selalu memanfaatkan
kerjasama dengan para bawahan untuk mencapai cita-cita organisasi
Disamping itu menurut Mulyasa, kepala madrasah yang efektif adalah
kepala madrasah yang; (1) mampu memberdayakan guru-guru untuk
melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar dan produktif; (2)
dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah
ditetapkan; (3) mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat
sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan
tujuan sekolah dan pendidikan; (4) berhasil menerapkan prinsip
kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain
17 Departemen Pendidikan Nasional, Panduan KTSP, (Jakarta : Depdiknas, 2006),34518 Wahjosumidjo, 129
11
di sekolah; (5) bekerja dengan tim manajemen; (6) berhasil mewujudkan
tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan.19
c. Administrator Sekolah
Kepala madrasah sebagai administrator dalam lembaga pendidikan
mempunyai tugas-tugas antara lain : melakukan perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan terhadap
bidang-bidang seperti ; kurikulum, kesiswaan, kantor, kepegawaian,
perlengkapan, keuangan, dan perpustakaan. Jadi kepala madrasah harus
mampu melakukan; (1) pengelolaan pengajaran; (2) pengelolaan kepegawaian;
(3) pengelolaan kesiswaan; (4) pengelolaan sarana dan prasarana; (5)
pengelolaan keuangan dan; (6) pengelolaan hubungan sekolah dan
masyarakat.
d. Supervisor Sekolah
Supervisi merupakan kegiatan membina dan dengan membantu
pertumbuhan agar setiap orang mengalami peningkatan pribadi dan
profesinya.
Menurut Sahertian, supervisi adalah usaha memberi layanan kepada guru-guru
baik secara individual maupun secara berkelompok dalam usaha memperbaiki
pengajaran dengan tujuan memberikan layanan dan bantuan untuk
mengembangkan situasi belajar mengajar yang dilakukan guru di kelas.20
Supervisi merupakan pengembangan dan perbaikan situasi belajar
mengajar yang pada akhirnya perkembangan siswa. Itu perbaikan situasi
belajar mengajar bertujuan untuk : (1) menciptakan, memperbaiki, dan
memelihara organisasi kelas agar siswa dapat mengembangkan minat, bakat,
dan kemampuan secara optimal, (2) menyeleksi fasilitas belajar yang tepat
dengan problem dan situasi kelas, (3) mengkoordinasikan kemauan siswa
mencapai tujuan pendidikan, (4) meningkatkan moral siswa.
19 Mulyasa, .. Implementasi Kurikulum 2004; Panduan Pembelajaran KBK. (Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya. 2004), 65
20 Piet A.. Sahertian, Konsep dasar dan teknik supervisi pendidikan dalam rangka membangun sumberdaya manusia, (Jakarta: Rineka Cipta : 2000), 127
12
Lebih lanjut Ngalim Purwanto mengemukakan bahwa supervisi ialah
suatu aktivitas pembinaan yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan
sekolah maupun guru, oleh karena itu program supervisi harus dilakukan oleh
supervisor yang memiliki pengetahuan dan keterampilan mengadakan
hubungan antar individu dan ketrampilan teknis21.
Supervisor di dalam tugasnya bukan saja mengandalkan pengalaman
sebagai modal utama, tetapi harus diikuti atau diimbangi dengan jenjang
pendidikan formal yang memadai. Beberapa paparan di atas dapat
disimpulkan bahwa kepala madrasah merupakan penyelenggara pendidikan
yang juga, yaitu : (1) menjadi manajer lembaga pendidikan, (2) menjadi
pemimpin, (3) sebagai penggerak lembaga pendidikan, (4) sebagai supervisor
atau pengawas, (5) sebagai pencipta iklim bekerja dan belajar yang kondusif.
Sesuai dengan peran dan tugas-tugas di atas, kepala madrasah sebagai
manajer sekolah dituntut untuk dapat menciptakan manajemen sekolah yang
efektif. Menurut Mantja, keefektifan manajemen pendidikan ditentukan oleh
profesionalisme manajer pendidikan22. Adapun sebagai manajer terdepan
kepala madrasah merupakan figur kunci dalam mendorong perkembangan dan
kemajuan sekolah. Kepala madrasah tidak hanya meningkatkan tanggung
jawab dan otoritasnya dalam program-program sekolah, kurikulum dan
keputusan personil, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan
akuntabilitas keberhasilan siswa dan programnya. Kepala madrasah harus
pandai memimpin kelompok dan mampu melakukan pendelegasian tugas dan
wewenang. Tidak semua pekerjaan harus dikerjakan sendiri oleh kepala
madrasah, tetapi ia dapat memberikan sebagian wewenangnya kepada
bawahannya yang layak diberi tugas tertentu.
Menurut Wohlstetter dan Mohrman23 peran kepala madrasah dalam MBS
adalah sebagai designer, motivator, fasilitator, dan liaison. Sebagai designer
kepala madrasah harus membuat rencana dengan memberikan kesempatan
untuk terciptanya diskusi-diskusi menyangkut isu-isu dan permasalahan di 21 Ngalim Purwanto, Supervisi Pendidikan. (Bandung. Remaja Rosda Karya. 1997), 3422 Willem Mantja, Manajemen Pendidikan dalam Era Reformasi (Malang : Universitas
Negeri Malang, 2002), 8723 Wohlstetter, P., & Mohrman, S. A.. School-based management: Strategies for success
[Online]. http://www.ed.gov/pubs/CPRE/fb2sbm.html akses tgl. 28 September 2007
13
seputar sekolah dengan tim pengambil keputusan sekolah. Tentu saja dalam
hal ini harus melibatkan berbagai komponen terkait secara demokratis.
D. Memahami Profesionalisme dan Guru
Profesional adalah : 1) bersangkutan dengan profesi; 2) memerlukan
kepandaian khusus untuk menjalankanya24; 4) pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang
memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu
atau suatu norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.25
Guru adalah : 1) orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya,
profesinya) mengajar26; 2) pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah27, Maksudnya adalah kemampuan guru untuk
mengaktualisasikan tugasnya dalam proses dan hasil kerjanya sesuai dengan
profesinya sebagai pendidik.
1. Makna Profesional
Ornstein/Levine (1985) menegaskan bahwa “An occupation involving
relatively long and specialized preparation on the level of higher education
and governed by its own code of ethics“. Artinya bahwa profesi bukanlah
hanya sekedar pekerjaan saja, melainkan suatu pekerjaan yang relatif
memerlukan persiapan lama dan spesifik berdasarkan tingkat pendidikan
tinggi dan dikendalikan oleh kode etiknya sendiri.
2. Kriteria sebuah profesional
Berdasarkan Robin Ann Martin (2004) bahwa profesi dapat
dikarakteristikkan sebagai berikut:
a. Memberikan suatu layanan sosial yang unik, tertentu, dan esensial.
b. Penekanannya pada teknik-teknik intelektual dalam menunjukkan
layanannya.
24 Surayin, 2003:45725 UU sistem Pen. Nasional. Guru dan Dosen, 2007:8526 Surayin, 2003:15527 UU Sistem Pen. Nas Guru dan Dosen, 2007:85
14
c. Membutuhkan waktu yang lama untuk latihan keahliannya.
d. Rentangan otonominya luas baik sebagai praktisi secara individual,
maupun kolektif.
e. Diterima oleh para praktisi akan tanggung jawab personalnya secara
meluas akan penilaian yang dibuat dan tindakan yang ditunjukkan.
f. Penekanan organisasional pada layanan yang diberikan, daripada
pemerolehan ekonomik.
g. Memiliki oragnisasi profesional yang mandiri.
h. Adanya kode etik.
Di samping kriteria tersebut, Ornstein/Levine (1985) mencoba membuat
sebanyak 14 karakteristik yang dapat dimilik oleh sebuah pekerjaan yang
profesional, di antaranya:
a. Rasa melayani masyarakat: suatu komitmen sepanjang waktu terhadap
karir.
b. Pengetahuan dan keterampilannya di atas kemampuan orang pada
umumnya..
c. Aplikasi riset dan teori terhadap praktek (berkenaan dengan problem
kemanusiaan).
d. Membutuhkan waktu yang panjang untuk latihan spesialisasi.
e. Adanya kontrol terhadap strandar lisensi dan persyaratan masuk.
f. Otonomi dalam membuat keputusan tentang bidang ketja pilihan.
g. Suatu penerimaan tanggung jawab terhadap penilaian yang dibuat dan
tindakan yang dipertunjukkan berkaitan layanan yang diberikan:
seperangkat standar penampilan.
h. Komitmen terhadap kerja dank lien: penekanan pada layanan yang
diberikan.
i. Penggunaan administrator untuk menfasilitasi kerja profesional: kebebasan
yang relatif dari adanya supoervisi.
j. Suatu organisasi yang mandiri terdiri atas anggota-anggota profesi.
15
k. Asosiasi profesional dan kelompok elit yang memberikan penghargaan
akan prestasi individual.
l. Adanya kode etik yang membantu untuk mengklarifikasi masalah-masalah
atau hal-hal yang meragukan berkaitan dengan layanan yang diberikan.
m. Tingkat kepercayaan publik yang tinggi terhadap para praktisi secara
individual.
n. Prestise dan penghargaan ekonomik yang tinggi.
E. Mengajar sebagai Profesional
Guru merupakan faktor utama dalam proses pendidikan. Oleh karenanya,
peranan guru dalam sebuah proses pendidikan sangat sentral. Guru yang
profesional dengan kinerja maksimal, totalitas dedikasi, dan loyalitas pengabdian
dapat dijadikan sebagai tumpuan untuk mengubah wajah pendidikan menjadi
lebih cerah di masa mendatang. Latar belakang peneliti melakukan penelitian ini
karena melihat fenomena kualitas pendidikan di Indonesia yang kurang bermutu.
Karenanya, peran guru sangat penting untuk meningkatkan kualitas dan sumber
daya manusia di bidang pendidikan.28
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat cepat serta hampir
mewarnai seluruh aspek kehidupan manusia. Untuk mengimbangi perkembangan
IPTEK tersebut, pemerintah berupaya meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu
cara untuk mencapai kualitas pendidikan tersebut adalah melalui peningkatan
kemampuan guru, sebab guru memiliki peran utama dalam menentukan
keberhasilan pengajaran yang dilaksanakannya. Guru harus memikirkan dan
membuat secara seksama dalam meningkatakan kesempatan belajar bagi siswanya
dan memperbaiki kualitas mengajarnya. Kehadiran guru dalam proses belajar
mengajar belum dapat digantikan oleh mesin, radio, tape recorder ataupun
computer yang paling modern sekalipun. Oleh karena itu, guru harus selalu
meningkatkan dan mengembangkan kemampuannya sehingga keprofesionalan
mengajar akan tampak dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan permasalahan
28 Husnul Khotimah, Skripsi: Implementasi Kompetensi Profesional: Upaya Dalam Meningkatkan Kualitas Profesionalisme Guru (Studi di Madrasah Aliyah Negeri Malang 1), dalam http://student-research.umm.ac.id/index.php/department_of_tarbiyah/article/view/7753, diakses 13 November 2011.
16
di atas, maka permasalahan yang perlu dikaji adalah bagaimana profesionalitas
guru dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Faktor-faktor apa yang
mempengaruhi peningkatan profesionalitas guru agama. Bagaimana kepala
madrasah meningkatkan profesionalitas guru agama dan bagaimana juga upaya
guru agama dalam meningkatkan keprofesionalannya.29
Menyadari akan kompleksitas karakteristik suatu pekerjaan yang
profesional, maka guru memiliki posisi yang relatif. Mengajar dapat juga disebut
sebagai semiprofesional, karena pelatihan (guru) itu lebih pendek, statusnya
kurang legitimate (rendah atau menengah), haknya untuk berkomunikasi kurang
ditegakkan, kurang membutuhkan pengetahuan yang spesifik, dan mereka kurang
memiliki otonomi dari perlakuan supervisi atau kontrol masyarakat, bila
dibandingkan dengan preofesi lain. Robert Howsam menyatakan bahwa mengajar
seharusnya dipandang sebagai suatu profesi yang muncul (emerging profession),
dan kemudian statusnya lebih tinggi daripada semiprofesional, mendekati dengan
status profesi penuh. Dalam kaitannya dengan ini, profesi yang muncul dan penuh
dikenal di dalam persidangan sebagai kompeten dalam memberikan persaksian
ahli.
Bertitik tolak dari ini, maka mengajar kini belum dipandang sebuah pekerjaan
profesional secara penuh. Dengan kata lain bahwa mungkin tidak satupun profesi
yang dapat memenuhi secara penuh karakteristik seseorang itu profesional, tanpa
terkecuali profesi mengajar. Setelah dilakukan pengkajian, ternyata guru setidak-
tidaknya memenuhi sebagian karakteristik mengajar, di antaranya ada empat
karakteristik yang sangat penting, yaitu: (1) mengajar didasarkan atas penguasaan
pengetahuan dan keterampilan di atas kemampuan orang pada umumnya, (2)
adanya kontrol terhadap standar lisensi atau persyaratan masuk, (3) otonom dan
membuat keputusam tentang bidang-bidang kerja terpilih, dan (4) prestasi dan
penghargaan ekonomik yang tinggi. Walaupun tidak ada satupun profesi yang
memenuhi semua karakteristik sebuah profesi, namun guru tetap masih berada
jauh di bawah profesi medis dan hukum.
F. Pengembangan Profesionalisme Guru
29 Lihat: http://lib.uin-malang.ac.id/files/thesis/abstract/03310155.pdf , diakses 18 Juni 2011.
17
Peningkatan kualitas guru madrasah harus terus ditingkatkan, karena sampai
saat ini lulusan madrasah belum kompetitif karena tidak mungkin siswa mencapai
kompetensi tinggi jika guru yang mendidiknya tak memiliki kompetensi yang
sesuai.
Dikatakan peningkatan kualitas guru madrasah dilakukan untuk
meningkatnya kualifikasi guru, kompetensi guru, kinerja guru, kesejahteraan guru,
prestasi peserta didik serta kualitas pendidikan madrasah.30
Guru disebut profesional jika didalam dirinya melekat intelektualitas yang
mencakup kemampuan berpikir kritis, analistis, kreatif, inovatif, objektif, rasional
dan reflektif; kepribadian yang mencakup berpenampilan menarik, berwibawa
serta sehat fisik dan cerdas emosional; miliki komitmen artinya benar-benar
terpanggil untuk menjadi guru, memiliki rasa kecintaan terhadap anak dan rasa
kebanggaan terhadap profesi guru serta memiliki moralitas artinya menjunjung
tinggi norma, etika dan moral.
Untuk dapat mencapai profesionalisme guru, maka upaya yang dapat
dilakukan adalah:
a. Pengembangan Standar Profesional (Kompetensi profesional, personal,
dan sosial).
b. Pengujian kompetensi (baik guru-guru baru maupun lama).
c. Menekankan kualitas guru daripada kuantitas, walaupun dalam batas
tertentu, kuantitas guru itu diperlukan.
d. Evaluasi guru secara periodik.
e. Pengembangan profesional (inservice training)
f. Penegakan kode etik.31
G. Ciri Guru Madrasah Profesional
30 Siwalimanews, Kualitas Guru Madrasah harus ditingkatkan, dalam http://www.siwalimanews.com/show.php?mode=artikel&id=2070, diakses 13 November 2011.
31 Rochmat Wahab, Profesionalisme Guru Madrasah, dalam http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/rochmat-wahab-mpd-ma-dr-prof/profesionalisme-guru-madrasah-mts.pdf , diakses 13 November 2011.
18
Untuk mendukung pencapaian kompetensi di tingkat madrasah, diperlukan
dukungan dari berbagai pihak yang berkepentingan dalam pendidikan di
madrasah, baik pengelola madrasah, orang tua siswa, tokoh masyarakat, siswa dan
terutama guru. Dalam hal ini guru menjadi penentu dalam mencapai keberhasilan
pembelajaran, sebab ia dituntut untuk melakukan kreasi agar tercipta suasana
belajar yang efektif. Untuk itu, diperlukan tenaga guru yang profesional dan
mempunyai komitmen tinggi dalam bidang pendidikan di madrasah. Dengan kata
lain, dibutuhkan guru yang profesional, dengan ciri-ciri sebagai berikut32:
1. Selalu membuat perencanaan konkrit dan detail yang siap untuk
dilaksanakan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Sebelum mengajar guru
harus sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin baik persiapan fisik, mental,
maupun materi tentang mata pelajaran yang diampu. Persiapan fisik berupa
penampilan jasmani balk berupa pakaian, kerapian dan kebugaran jasmani.
Persiapan mental mencakup sikap batin guru untuk mempunyai komitmen dan
mencintai profesi pendidik untuk membantu siswa mencapai taraf kedewasaan
dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Sedangkan kesiapan materi
meliputi penguasaan bahan siswaan yang akan disampaikan kepada siswa.
Penguasaan ini tercermin dari pemahaman yang utuh tentang materi pokok
yang ada dalam kurikulum dan diperkaya dengan wawasan keilmuan
mutakhir. Dengan demikian. guru diharapkan tidak sekedar menyampaikan
materi pokok yang tertuang dalam kurikulum baku, namun harus
dikembangkan dan diperkaya dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
2. Berkehendak mengubah pola pikir lama menjadi pola pikir baru yang
menempatkan siswa sebagai arsitek pembangun gagasan dan guru berfungsi
untuk “melayani” dan berperan sebagai mitra siswa supaya peristiwa belajar
bermakna berlangsung pada semua individu. Dalam Islam siswa disebut
dengan terma “thalib” yang artinya orang yang aktif mencari ilmu
pengetahuan. Untuk itu, guru perlu mengkondisikan kegiatan pembelajaran
yang memungkinkan siswa aktif mencari dan mengembangkan ilmu
pengetahuan. Hal ini dapat terjadi jika ditunjang oleh penerapan strategi
32 Tim Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, Kurikulum Berbasis Kompetensi : Kegiatan Pembelajaran Qur’an Hadits Madrasah Aliyah, (Jakarta : Dirjen Binbaga Islam Depag RI, 2003), 14-16
19
belajar yang mendorong siswa terlibat secara fisik dan psikis tentang proses
pembelajaran.
3. Bersikap kritis dan berani menolak kehendak yang kurang edukatif. Guru
diharapkan mengembangkan dan mengelaborasi sendiri materi pokok yang
ditetapkan dalam kurikulum. Untuk itu, sikap kritis harus dimiliki oleh guru
yang tercermin antara lain dari praktek pembelajaran yang mengaitkan dengan
problem realitas yang ada di sekitarnya. Selain itu, guru juga diharapkan
berani memberikan masukan tentang praktek pendidikan di sekitarnya,
terutama di lingkungan sekolahnya, yang tidak mencerminkan praktek
pendidikan, misalnya praktek pendidikan yang tidak membuat siswa aktif dan
kreatif malah mengekang siswa melalui stratagi pembelajaran yang diterapkan
para guru lain.
4. Berkehendak mengubah pola tindakan dalam menetapkan peran siswa,
peran guru dan gaya mengajar. Peran siswa digeser dari peran sebagai
“konsumen” gagasan, seperti menyalin, mendengar, menghafal, ke peran
sebagai “produsen” gagasan, seperti bertanya, meneliti dan mengarang. Peran
guru harus berada pada fungsi sebagai fasilitator (pemberi kemudahan
peristiwa belajar) dan bukan pada fungsi sebagai penghambat peristiwa
belajar. Gaya mengajar lebih difokuskan pada model pemberdayaan dan
pengkondisian daripada model latihan (drill) dan pemaksaan (indoktrinasi).
Hal ini akan terwujud jika guru mempunyai pemahaman atau kesadaran
tentang hakikat pendidikan, yakni sebagai proses memanusiakan manusia
(siswa) dengan cara mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Untuk itu,
kegiatan pembelajaran yang diterapkan guru harus selalu mempertimbangkan
kondisi siswa, bukan memaksakan kehendak atau persepsi guru yang kadang
tidak sesuai dengan kecenderungan siswa.
5. Berani meyakinkan kepala sekolah, orang tua dan masyarakat agar dapat
berpihak pada mereka terhadap beberapa inovasi pendidikan yang edukatif
yang cenderung sulit diterima oleh orang awam dengan menggunakan
argumentasi yang logis dan kritis. Dalam sistem Kurikulum Timgkat Satuan
Pendidikan yang sbenarnya merupakan penjabaran/pengembangan dari
kurikulum sebelumnya yang berbasis kompetensi, keberpihakan pada
20
kepentingan siswa perlu ditekankan dalam kegiatan pembelajaran, dalam
pengertian bahwa semua aktifitas pembelajaran pada dasarnya diperuntukkan
untuk kemanfaatan dan kebermaknaan siswa. Untuk itu, guru dituntut aktif
dan kreatif mengembangkan dan menciptakan kegiatan pembelajaran yang
memungkinkan siswa aktif. Kegiatan pembelajaran ini tidak hanya dipahami
sebatas yang berlangsung dl dalam kelas, tapi juga di luar kelas. Sebagai
contoh, kegiatan pembelajaran untuk mata pelajaran qur’an hadits tidak akan
berjalan secara maksimal ketika hanya berlangsung di ruang kelas, namun
harus dikondisikan juga di luar kelas, sebab qur’an hadits bukan menekankan
aspek kognitif yang cukup diberikan di kelas, namun harus dipraktekkan.
Karena itu, upaya menjalin sinergi perlu diciptakan oleh guru sehingga ada
keterpaduan antara yang disampaikan di kelas dengan yang dipraktekkan
siswa di luar kelas, terutama di keluarga dan masyarakat.
6. Bersikap kreatif dalam membangun dan menghasilkan karya pendidikan
seperti pembuatan alat bantu belajar, analisis materi pembelajaran,
penyusunan alat penilaian yang beragam, perancangan beragam organisasi
kelas dan perancangan kebutuhan kegiatan pembelajaran lainnya. Untuk
mengoptimalkan kegiatan belajar mengajar, guru perlu memanfaatkan sumber
belajar yang ada di sekitar sekolah, baik sumber belajar yang dirancang
khusus untuk tujuan pembelajaran maupun sumber belajar yang sudah tersedia
secara alami yang tinggal dimanfaatkan oleh guru33
H. Analisis Pemakalah
1. Cara Bagaimana Meningkatkan Mutu Pendidikan
Untuk meningkatkan mutu pendidikan kita perlu melihat dari banyak
sisi. Telah banyak pakar pendidikan mengemukakan pendapatnya tentang
faktor penyebab dan solusi mengatasi kemerosotan mutu pendidikan di
lndonesia. Dengan masukan ilmiah ahli itu, pemerintah tak berdiam diri
sehingga tujuan pendidikan nasional tercapai.
33 Zainal Muttaqien, 6 Ciri Guru Madrasah Profesional dalam https://izaskia.wordpress.com/2010/04/18/6-ciri-guru-madrasah-profesional, diakses 13 November 2011.
21
Masukan ilmiah yang disampaikan para ahli dari negara-negara yang
berhasil menerapkannya, seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Selandia
Baru dan Singapura selalu memunculkan konsep yang tidak selalu bisa diadopsi
dan diadaptasi. Karena berbagai macam latar yang berbeda. Situasi, kondisi, latar
budaya dan pola pikir bangsa kita tentunya tidak homogen dengan negara-negara
yang diteladani. Malahan, konsep yang di impor itu terkesan dijadikan sebagai
“proyek” yang bertendensi pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Artinya, proyek bukan sebagai alat melainkan sebagai tujuan.
Beberapa penerapan pola peningkatan mutu di Indonesia telah banyak
dilakukan, namun masih belum dapat secara langsung memberikan efek perbaikan
mutu. Di antaranya adalah usaha peningkatan mutu dengan perubahan kurikulum
dan proyek peningkatan lain; Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah (MPMBS), Proyek Perpustakaan, Proyek Bantuan Meningkatkan
Manajemen Mutu (BOMM), Proyek Bantuan lmbal Swadaya (BIS), Proyek
Pengadaan Buku Paket, Proyek Peningkatan Mutu Guru, Dana Bantuan Langsung
(DBL), Bantuan Operasioanal Sekolah (BOS), Bantuan Khusus Murid (BKM)
dan bahkan baru-baru ini proyek sertifikasi guru. Dengan memperhatikan
sejumlah proyek itu, dapatlah kita simpulkan bahwa pemerintah telah banyak
menghabiskan anggaran dana untuk membiayai proyek itu sebagai upaya
meningkatkan mutu pendidikan.
Upaya pemerintah yang begitu mahal belum menunjukkan hasil
menggembirakan. Ada yang berpendapat mungkin manajemennya yang kurang
tepat dan ada pula yang mengatakan bahwa pemerintah kurang konsisten dengan
upaya yang dijalankan. Karena itu, kembali pada apa yang kita sebut sebagai
kekayaan lokal, bahwa tidak sepenuhnya apa yang dapat dipraktikkan dengan baik
di luar negeri bisa seratus persen juga berhasil di Indonesia, semua itu
membutuhkan tahapan, namun dengan kerangka yang jelas dan tidak dibebani
oleh proyek yang demi kepentingan sesaat atau golongan. Hal-hal berikut adalah
elemen dasar bagaimana kita dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
2. Insan Pendidikan Patut Mendapatkan Penghargaan Karena itu
Berikanlah Penghargaan
22
“Manajemen Sumber Daya Manusia” mengatakan, penghargaan diberikan
untuk menarik dan mempertahankan SDM karena diperlukan untuk
mencapai saran-saran organisasi. Staf (guru) akan termotivasi jika
diberikan penghargaan ekstrinsik (gaji, tunjangan, bonus dan komisi)
maupun penghargaan instrinsik (pujian, tantangan, pengakuan, tanggung
jawab, kesempatan dan pengembangan karir). Mc. Keena & Beech (1995 :
161).
Manusia mempunyai sejumlah kebutuhan yang memiliki lima tingkatan
(hierarchy of needs) yakni, mulai dari kebutuhan fisiologis (pangan,
sandang dan papan), kebutuhan rasa aman ( terhindar dari rasa takut akan
gangguan keamanan), kebutuhan sosial (bermasyarakat), kebutuhan yang
mencerminkan harga diri, dan kebutuhan mengaktualisasikan diri di
tengah masyarakat. (Abraham H. Maslow).
Pendidik dan pengajar sebagai manusia yang diharapkan sebagai ujung
tombak meningkatkan mutu berhasrat mengangkat harkat dan martabatnya.
Jasanya yang besar dalam dunia pendidikan pantas untuk mendapatkan
penghargaan intrinsik dan ekstrinsik agar tidak termarjinalkan dalam kehidupan
masyarakat.
3. Meningkatkan Profesionalisme Guru dan Pendidik
Kurikulum dan panduan manajemen sekolah sebaik apapun tidak akan
berarti jika tidak ditangani oleh guru profesional. Karena itu tuntutan terhadap
profesinalisme guru yang sering dilontarkan masyarakat dunia usaha/industri,
legislatif, dan pemerintah adalah hal yang wajar untuk disikapi secara arif dan
bijaksana.
Konsep tentang guru profesional ini selalu dikaitkan dengan
pengetahuan tentang wawasan dan kebijakan pendidikan, teori belajar dan
pembelajaran, penelitian pendidikan (tindakan kelas), evaluasi pembelajaran,
kepemimpinan pendidikan, manajemen pengelolaan kelas/sekolah, serta
tekhnologi informasi dan komunikasi. Sebagian besar tentang indikator itu
sudah diperoleh di LPTK antara lain IKIP, FKIP, dan STKIP non-refreshing.
Fenomena menunjukkan bahwa kualitas profesionalisme guru kita
masih rendah. Faktor-faktor internal seperti penghasilan guru yang belum
23
mampu memenuhi kebutuhan fisiologis dan profesi masih dianggap sebagai
faktor determinan. Akibatnya, upaya untuk menambah pengetahuan dan
wawasan menjadi terhambat karena ketidak mampuan guru secara finansial
dalam pengembangan SDM melalui peningkatan jenjang pendidikan. Hal itu
juga telah disadari pemerintah sehingga program pelatihan mutlak diperlukan
karena terbatasnya anggaran untuk meningkatkan pendidikan guru. Program
pelatihan ini dimaksudkan untuk menghasilkan guru sebagai tenaga yang
terampil (skill labour) atau dengan istilah lain guru yang memiliki kompetensi.
UU Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 42 ayat (1) menyebutkan “Pendidik
harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang
kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Uraian pasal 42 itu cukup
jelas bahwa untuk menjadi guru sebagai tahapan awal harus memenuhi
persyaratan kualifikasi minimal (latar belakang pendidikan keguruan/umum
dan memiliki akta mengajar). Setelah guru memenuhi persyaratan kualifikasi,
maka guru akan dan sedang berada pada tahapan kompetensi. Namun,
fenomena menunjukkan bahwa pendidik di sekolah masih banyak yang tidak
memenuhi persyaratan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa lapangan
pekerjaan guru sangat mudah untuk dimasuki oleh siapa saja.
4. Sebisa Mungkin Kurangi dan Berantas Korupsi
Menurut laporan BPK tahun 2003 lalu, Depdiknas merupakan lembaga
pemerintah terkorup kedua setelah Departemen Agama. Kemudian Laporan
ICW (Indonesia Corruption Watch) menyebutkan bahwa korupsi dalam dunia
pendidikan dilakukan secara bersama-sama (Amin Rais menyebutnya korupsi
berjamaah) dalam berbagai jenjang mulai tingkat sekolah, dinas, sampai
departemen. Pelakunya mulai dari guru, kepala sekolah, kepala dinas, dan
seterusnya masuk dalam jaringan korupsi. Sekolah yang diharapkan menjadi
benteng pertahanan yang menjunjung nilai-nilai kejujuran justru
mempertotonkan praktik korupsi kepada peserta didik.
Korupsi itu berhubungan dengan dana yang berasal dari pemerintah
dan dana yang langsung ditarik dari masyarakat. Jika selama ini anggaran
pendidikan yang sangat minim dikeluhkan, ternyata dana yang kecil itupun tak
24
luput dari korupsi. Hal ini tidak terlepas dar kekaburan sistem anggaran
sekolah. Kekaburan dalam sistem anggaran (RAPBS) itu memungkinkan
kepala sekolah mempraktikkan Pembiayaan Sistem Ganda (PSG). Misalnya
dana operasional pembelian barang yang telah dianggarkan dari dana
pemerintah dibebankan lagi kepada masyarakat.
Semakin terpuruknya peringkat SDM Indonesia pada tahun 2004, tak perlu
hanya kita sesali, melainkan menjadikannya sebagai motivasi untuk bangkit
dari keterpurukan. Jika kondisi itu mau diubah mulailah dari menerapkan
konsep yang berpijak pada akar masalah.
5. Berikan Sarana dan Prasarana Yang Layak
Menurut Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan
Minimal (SPM), sekolah harus memiliki persyaratan minimal untuk
menyelenggarakan pendidikan dengan serba lengkap dan cukup seperti, luas
lahan, perabot lengkap, peralatan/laboratorium/media, infrastruktur, sarana
olahraga, dan buku rasio 1:2. Kehadiran Kepmendiknas itu dirasakan sangat
tepat karena dengan keputusan ini diharapkan penyelenggaraan pendidikan di
sekolah tidak “kebablasan cepat” atau “keterlaluan tertinggal” di bawah
persyaratan minimal sehingga kualitas pendidikan menjadi semakin terpuruk.
Selanjutnya, UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 45 ayat (1) berbunyi,
setiap satuan pendidikan menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi
keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi
fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.
Jika kita lihat kenyataan di lapangan bahwa hanya sekolah-sekolah tertentu di
beberapa kota di Indonesia saja yang memenuhi persyaratan SPM, umumnya
sekolah negeri dan swasta favorit. Berdasarkan fakta ini, keterbatasan sarana
dan prasarana pada sekolah-sekolah tertentu, pengadaannya selalu dibebankan
kepada masyarakat. Alasannya pun telah dilegalkan berdasarkan
Kepmendiknas No. 044/U/2002 dan UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 56 ayat
(1). Dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi
perencanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan melalui dewan
pendidikan dan komite sekolah/madrasah, ayat (2) Dewan pendidikan, sebagai
lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan
25
pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga,
sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan ditingkat nasional,
provinsi dan kabupaten/ kota yang tidak mempunyai hubungan hierarkis, dan
ayat (3) Komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan
berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dan memberikan pertimbangan,
arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan
pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
Menyikapi keadaan yang demikian sulit, apalagi kondisi negara yang
kian kritis, solusi yang ditawarkan adalah manfaatkan seluruh potensi sumber
daya sekolah dan masyarkat sekitar, termasuk memberdayakan dewan
pendidikan dan komite sekolah. Mudah-mudahan dengan sistem anggaran
pendidikan yang mengacu pada UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 46 dan 49
permasalahan ini dapat diatasi dengan membangun kebersamaan dan
kepercayaan antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Dengan melandaskan pada cita-cita luhur pendidikan, diharapkan mutu
pendidikan Indonesia terus meningkat dan terjadi perkembangan pada
perbaikan yang terus menerus.
6. Miliki Sertifikat Ke-Profesionalan Guru
Pada awal tahun 2012 pemerintah juga telah membuat gebrakan baru
tentang kebijakan dalam meningkatkan keprofesionalan guru, seorang guru
dikatakan professional dan layak mendapatkan tunjangan tambahan, khusunya
guru baru (junior) yang diutamakan, adapun guru senior dengan cara
sertifikasi (sergur), dengan demikian harapan pemerintah khususnya dan
rakyat umumnya untuk memajukan dunia pendidikan Indonesia secara merata
hingga dapat bersaing segara sehat dengan negara-negara maju lainnya dapat
terjawab.34
BAB III
PENUTUP
34 Berita Yahoo, CPNS Guru Harus Mengantongi Piagam Keprofesionalan, dalam yahoo.co.id, diakses pada Rabu 31 Januari 2012
26
Kesimpulan
Kepemimpinan menyangkut sebuah proses pengaruh sosial yang dalam hal
ini pengaruh yang disengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk
menstruktur aktifitas-aktifitas serta hubungan-hubungan di dalam sebuah
kelompok, organisasi atau lembaga. Kedudukan kepala madrasah sangat unik
karena ia memiliki beberapa posisi, yaitu sebagai pejabat formal, sebagai manajer,
sebagai pemimpin, sebagai pendidik, dan sebagai staf, merupakan kedudukan
yang melekat pada diri kepala madrasah.
Profesional adalah : 1) bersangkutan dengan profesi; 2) memerlukan
kepandaian khusus untuk menjalankanya; 3) pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang
memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu
atau suatu norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Guru disebut profesional jika didalam dirinya melekat intelektualitas yang
mencakup kemampuan berpikir kritis, analistis, kreatif, inovatif, objektif, rasional
dan reflektif; kepribadian yang mencakup berpenampilan menarik, berwibawa
serta sehat fisik dan cerdas emosional; miliki komitmen artinya benar-benar
terpanggil untuk menjadi guru, memiliki rasa kecintaan terhadap anak dan rasa
kebanggaan terhadap profesi guru serta memiliki moralitas artinya menjunjung
tinggi norma, etika dan moral.
Ciri guru professional: 1) Selalu membuat perencanaan konkrit dan detail
yang siap untuk dilaksanakan siswa dalam kegiatan pembelajaran; 2)
Berkehendak mengubah pola pikir lama menjadi pola pikir baru yang
menempatkan siswa sebagai arsitek pembangun gagasan; 3) Bersikap kritis dan
berani menolak kehendak yang kurang edukatif; 4) Berkehendak mengubah pola
tindakan dalam menetapkan peran siswa, peran guru dan gaya mengajar; 5) Berani
meyakinkan kepala sekolah, orang tua dan masyarakat agar dapat berpihak pada
mereka terhadap beberapa inovasi pendidikan yang edukatif yang cenderung sulit
diterima oleh orang awam dengan menggunakan argumentasi yang logis dan
kritis; 6) Bersikap kreatif dalam membangun dan menghasilkan karya pendidikan
seperti pembuatan alat bantu belajar, analisis materi pembelajaran, penyusunan
27
alat penilaian yang beragam, perancangan beragam organisasi kelas dan
perancangan kebutuhan kegiatan pembelajaran lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional, Panduan KTSP, Jakarta : Depdiknas, 2006
28
Khotimah, Husnul, Skripsi: Implementasi Kompetensi Profesional: Upaya Dalam Meningkatkan Kualitas Profesionalisme Guru (Studi di Madrasah Aliyah Negeri Malang 1), dalam http://student-research.umm.ac.id/index.php/department_of_tarbiyah/article/view/7753, diakses 13 November 2011.
Gibson, James L, , et . all., Organisasi Perilaku, Struktur, Proses, Alih bahasa : Djarkasih, Jakarta : Erlangga, 1988
http://lib.uin-malang.ac.id/files/thesis/abstract/03310155.pdf , diakses 18 Juni 2011
Jago, Arthur G dan Victor H. Vroom. The New Leadership: Managing Participation in Organizations. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Halls, 1988
John W dan Keith Davis, Newstrom. Human Behaviour at Work : Organizational Behaviour. New York Mc. Graw-Hill Inc., 1985
Kotter, John P., Leading Change. Boston, MA: Harvard Business School Press 1996
Lipoto, Kepemimpinan Kepala madrasah, Bandung : Tarsito, 1998
Mantja, Willem, Manajemen Pendidikan dalam Era Reformasi Malang : Universitas Negeri Malang, 2002
Mulyasa, .. Implementasi Kurikulum 2004; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya. 2004
Mustopadidjaja, Beberapa dimensi dan Dinamika Kepemimpinan Abad 21, dalam aparaturnegara.bappenas.go.id/.../Pelayanan%20Publik/Dimensi%20&%20Dinamika%20KEPIM%20ABAD%2021.pdf, diakses 22 April 2008.
Muttaqien, Zainal, 6 Ciri Guru Madrasah Profesional dalam https://izaskia.wordpress.com/2010/04/18/6-ciri-guru-madrasah-profesional, diakses 13 November 2011
Piet A.. Sahertian, Konsep dasar dan teknik supervisi pendidikan dalam rangka membangun sumberdaya manusia, Jakarta: Rineka Cipta : 2000
Pidarta, Made. Cara belajar di Universiti Negara Maju: Suatu studi kasus. Jakarta: Bumi Aksara, 1990
_________, Landasan Kependidikan : Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, Bandung : Rineka, 1997
Purwanto, Ngalim, Supervisi Pendidikan. Bandung. Remaja Rosda Karya. 1997
Siwalimanews, Kualitas Guru Madrasah harus ditingkatkan, dalam http://www.siwalimanews.com/show.php?mode=artikel&id=2070, diakses 13 November 2011
Sutarto, Dasar-dasar Kepemimpinan Administrasi, Yogyakarta., Gadjah Mada University Press, 1991
Tim Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, Kurikulum Berbasis Kompetensi : Kegiatan Pembelajaran Qur’an Hadits Madrasah Aliyah, Jakarta : Dirjen Binbaga Islam Depag RI, 2003
29
Undang - Undang Sistem Pendidikan Nasional. Guru dan Dosen, 2007
Wahjosumidjo, Kepemimpinan dan Motivasi, Jakarta :Ghalia Indonesia,. 1987
Wahab, Rochmat, Profesionalisme Guru Madrasah, dalam http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/rochmat-wahab-mpd-ma-dr-prof/profesionalisme-guru-madrasah-mts.pdf , diakses 13 November 2011
Wohlstetter, P., & Mohrman, S. A.. School-based management: Strategies for success [Online]. http://www.ed.gov/pubs/CPRE/fb2sbm.html akses tgl. 28 September 2007
Zwell, Michael, Creating a Culture of Competency, New York, Wiley, 2000
30